Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006 ISSN 1907-297X
PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU TERHADAP PSIKOLOGI BELAJAR ANAK DALAM PROSES MENCARI PENGETAHUAN Rita Eka Izzaty Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Yogyakarta Abstract. Science began from the human admiration to both large and small scopes of nature. Human being as rational animal is equipped with curiosity. The characteristic of curiosity can be seen at their childhood. With simple questions to ask is a sign of desire to start to learn and to understand the universe. To have philosophy is essentially a trip to remember any activity everyone had done and enjoyed in their childhood. One of the appropriate ways to go into philosophical world is to pay attention to the children’s questions. There is simple truth, yet important. From children themselves, adults can find wisdom to educate them by stimulating their potention. A psychological study based on epistemological approach is a good and significant bridge for educators and parents to understand children in their philosophical questions as efforts to learn finding the truth through science and knowledge. Furthermore, consistent with the cognitive concept in Psychology of Learning, the way to give meaning on the responses we given to the children’s questions should be understood as a causa of the response. Therefore, the use of reason and sensorial meaning in children will be formed early. One of the ways is giving opportunity for children to make identification on their own questions, namely by giving responses that can stimulate their thought. It is significant to develop their own ideas so that they will continuously grow in using thinking levels from the simple to complex ones. Keywords : epistemology, psychology of learning, knowledge, children
PENDAHULUAN Ilmu Pengetahuan merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di alam ini sebagai alat utama dalam penyelesaian berbagai masalah. Berbagai macam pertanyaan telah dikemukakan sepanjang sejarah manusia. Manusia terus berusaha mencari jawaban atas berbagai pertanyaan itu. Dari dorongan ingin tahu manusia terus berpikir dan berusaha mendapatkan pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya. Menurut Suriasumantri (1992), berpikir itulah yang merupakan ciri manusia dan karena berpikirlah seseorang bisa disebut sebagai manusia. Ternyata dalam sejarah perkembangan fikir manusia yang dikejar itu esensinya adalah pengetahuan yang benar, atau secara singkat disebut sebagai kebenaran (Suryabrata, 2003). Pada awalnya Ilmu Pengetahuan bermula dari kekaguman manusia akan alam yang dihadapinya baik alam besar maupun alam kecil. Manusia sebagai animal
65
Perspektif Filsafat Ilmu terhadap Psikologi Belajar Anak dalam Proses Mencari Pengetahuan
rational dibekali hasrat ingin tahu. Sifat ingin tahu manusia telah dapat disaksikan sejak manusia masih anak-anak. Pertanyaan-pertanyaan seperti “ini apa?”, “itu apa?” telah keluar dari mulut anak-anak sejak dini sebagai permulaan keingintahuannya terhadap alam semesta. Sejalan bertambahnya waktu, anak akan tumbuh dan berkembang yang diiringi dengan timbulnya pertanyaan-pertanyaan yang lebih kompleks seperti “mengapa begini?”, “mengapa begitu?”, dan selanjutnya berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan seperti “bagaimana hal itu terjadi?”, “bagaimana memecahkannya?”, sehingga terbentuklah tingkat berpikir yang tinggi dalam bentuk analisis kritis. Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar, anak-anak sering melontarkan berbagai pertanyaan yang tak terduga. Sayang, orang dewasa, termasuk guru dan orang tua seringkali kurang tanggap dan bahkan cenderung menyepelekannya. Padahal, kalau mau jujur, belum tentu orang dewasa mampu menjawab pertanyaan mereka secara memuaskan. Mereka tidak sabar dan tidak tahu bagaimana menghadapi serbuan pertanyaan anak tersebut. Kenyataan di atas telah mengusik Mattews (2003), guru besar filsafat di Universitas Massachussets, untuk mengamati dan meneliti pertanyaan-pertanyaan anak-anak dalam kaitannya dengan aktivitas berfilsafat. Matthews menemukan bahwa aktivitas berfilsafat sebenarnya secara alamiah sudah dimulai sejak usia dini. Karena itulah, berfilsafat pada hakikatnya adalah perjalanan mengenang kembali suatu aktivitas yang pernah setiap orang lakukan dan nikmati di masa kecil. Ilustrasi yang ditulis Matthews (2003)1 tentang percakapan seorang ayah dengan putrinya : Ayah itu menuturkan bahwa dirinya memiliki seorang putri berusia empat tahun yang berkata kepada ayahnya, "Aku mengetahui sesuatu secara pasti." Apakah itu ?" tanya sang ayah." "Aku tahu bahwa aku hidup," kata si putri. "Jangan-jangan, kamu hanya berimajinasi bahwa kamu hidup ?" sergah sang ayah. Si anak berpikir. "Tidak. Aku dapat berpikir," ia menegaskan. "Kita pasti mempunyai kekuatan untuk berpikir. Jika mati, kita tidak mempunyai kekuatan apapun. Sang ayah mendapat kesamaan antara penalaran putrinya dan penalaran Descartes. Descartes berkata, "Aku berpikir maka aku ada." Si putri berujar, berpikir (atau mungkin berpikir): "Aku mempunyai kekuatan untuk berpikir, maka aku hidup."
Uraian di atas memberi gambaran kepada kita bahwa salah satu cara yang tepat untuk memasuki dunia filsafat adalah dengan memperhatikan pertanyaan anakanak. Kebenaran-kebenaran yang sederhana tetapi penting. Ada kedekatan antara dunia filsafat dan dunia anak-anak. Darinya manusia bisa menemukan kearifan dalam mendidik anak-anak dengan menggali potensi yang besar yang terkandung pada diri anak-anak. Tanpa itu, potensi mereka akan terpendam tanpa guna bagi kehidupannya setelah dewasa.
1
Mattews, G.B. 2003. Anak-anakpun Berfilsafat. Bandung : Mizan
66
Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006 ISSN 1907-297X
Dalam proses belajar memperoleh pengetahuan, pendekatan-pendekatan secara psikologis tidak bisa ditinggalkan. Kajian akan Psikologi Belajar pada anak diharapkan akan membuka jendela hati anak dalam usaha memperoleh pengetahuan untuk mempertahankan eksistensinya sebagai manusia yang bertanggung jawab. Pemahaman dan pendekatan dengan metode yang sesuai diharapkan orangtua dan pendidik akan memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak terutama dalam usahanya memecahkan pertanyaan-pertanyaan di alam ini. Kajian-kajian Psikologi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai objek pada perilaku manusia dari serapan ranah kognitif, afektif, dan konatif juga terus berproses untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan bidangbidang lainnya. Perkembangan Psikologi tidak dapat dilepaskan dari filsafat, karena pada dasarnya berbagai konsep, pendekatan, teori maupun metode-metode yang digunakan dalam psikologi masih terus berakar dan terilhami oleh berbagai aliran dalam filsafat. Ilmuwan ataupun peneliti-peneliti bidang psikologi dalam mempelajari dan mengembangkan ilmunya selama ini diwarnai dan dilengkapi dengan tinjauan dari sudut pandang filsafat. Hal ini mengingat bahwa hakikat ilmu adalah sebab fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam manusia Dengan memahami filsafat ilmu, berarti memahami seluk beluk ilmu yang paling mendasar, sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, terjalin antar cabang ilmu yang satu dengan cabang ilmu yang lain, simplikasi dan artifisialitasnya (Wibisono, tanpa tahun, h. 14). Pada akhirnya, kajian wacana yang berjudul “Perspektif Filsafat Ilmu Terhadap Psikologi Belajar Anak Dalam Proses Mencari Pengetahuan “ menjadikan jembatan yang baik dan bermakna penting bagi para pendidik dan orangtua dalam memahami anak dalam pertanyaan-pertanyaan filosofisnya sebagai usaha untuk belajar mencari kebenaran lewat ilmu dan pengetahuan.
PEMBAHASAN Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu sosial yang bersinggungan langsung dengan perdebatan panjang tentang epistemologi pengetahuan. Dalam perspektif psikologi terdapat paradigma dan madzhab-madzhab yang mendiskusikan sekaligus menyumbangkan problem solving-nya bagi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan belajarnya. Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku. Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar. Dengan demikian, seseorang dikatakan belajar apabila setelah melakukan kegiatan belajar Manusia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu perubahan. Misalnya, ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah, keterampilannya meningkat, sikapnya semakin positif, dan sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perubahan tingkah laku tanpa usaha dan tanpa disadari bukanlah belajar.
67
Perspektif Filsafat Ilmu terhadap Psikologi Belajar Anak dalam Proses Mencari Pengetahuan
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan hasil belajar. Hal ini berarti bahwa belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu proses belajar dan hasil belajar. Perolehan hasil belajar dapat dilihat, diukur, atau dirasakan oleh seseorang yang belajar atau orang lain, tetapi tidak demikian halnya dengan proses belajar bagi seseorang yang sedang belajar. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah terjadinya proses belajar sehingga seseorang memperoleh pengetahuan? Terjadinya proses belajar sebagai upaya untuk memperoleh hasil belajar sesungguhnya sulit untuk diamati karena ia berlangsung di dalam mental. Namun demikian, kita dapat mengidentifikasi dari kegiatan yang dilakukannya selama belajar. Sehubungan dengan hal ini, para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Misalnya Piaget (sebagai “bapak” psikologi kognitif), memandang bahwa pengetahuan terbentuk melalui proses asimilasi dan akomodasi. Maksudnya, apabila pada seseorang diberikan suatu informasi (persepsi, konsep,), dan informasi itu sesuai dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka informasi itu langsung berintegrasi (berasimilasi) dengan struktur kognitif yang sudah ada dan diperoleh pengetahuan baru. Sebaliknya, apabila informasi itu belum cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki orang tersebut, maka struktur kognitif yang sudah ada direstrukturisasi sehingga terjadi penyesuaian (akomodasi) dan baru kemudian diperoleh pengetahuan baru
Implementasi Berbagai Kajian Teori Psikologi Belajar Pada Anak 1. Implementasi Pandangan Behavioristik terhadap Pemerolehan Pengetahuan Pada Anak Para penganut aliran behaviorisme memandang terbentuknya pengetahuan karena terjadinya ikatan antara peristiwa-peristiwa (stimulus) yang dirangsangkan kepada seorang pebelajar dengan tanggapannya (respon) terhadap rangsangan itu. Semakin sering ikatan stimulus (S) dan respon ( R) dipergunakan maka akan semakin kuatlah ikatan itu. Jadi, kegiatan belajar sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan, dipandang sebagai sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Semakin sering sistem respon ini dilakukan, maka akan semakin dikuasai pengetahuan yang diperoleh. Oleh karena itu, pendidik yang mengikuti faham behavioristik ini lebih banyak menggunakan pendekatan pembelajaran latihan. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Implementasi pada proses belajar anak dari paham behavioristik ini adalah a. Anak terbentuk dari kebiasaannya. Apabila anak selalu berpikir dan terbiasa dilatih untuk menggunakan ide-idenya maka ia akan dapat mengerti akan jawaban pertanyaannya. Selanjutnya diharapkan dari solusi yang ditemukan, anak akan mampu menganalogkan pada situasi yang lain, sehingga ia akan terbiasa memecahkan permasalahan yang ada yang berarti semakin banyak anak akan memperoleh pengetahuan.
68
Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006 ISSN 1907-297X
b. Pemberian respon yang cepat dan tepat pada anak akan memberikan reinforcement atau penguatan kepada anak untuk selalu berpikir dalam bertindak. Selain itu respon yang tepat akan menstimulasi daya kreativitas anak dalam berpikir ketika melihat fenomena di alam.
2. Implementasi Pandangan Gestalt terhadap Pemerolehan Pengetahuan pada Anak Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap fikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi. Sensasi atau informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru. Salah satu bentuk implementasi teori ini terhadap proses pemerolehan pengetahuan pada anak adalah dalam menjelaskan suatu hal atas pertanyaan anak, hendaknya menekankan kepada pemahaman anak akan jawaban beserta rasionalisasi yang dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan agar anak tidak hanya menghafal jawaban, melainkan memahami apa yang emlandasi jawaban tersebut. Beberapa ahli mengatakan bahwa Psikologi Gestalt ini termasuk dalam kajian Psikologi Kognitif, dimana pemahaman akan penggunaan kognitif ini sangat penting.
3.
Implementasi Pandangan Kognitif terhadap Pemerolehan Pengetahuan pada Anak
Konstruktivisme psikologi dalam belajar dipelopori oleh Piaget (Suparno, 1997). Piaget mempunyai perbedaan pandangan yang sangat mendasar dengan pandangan kaum behavior dalam pemerolehan pengetahuan. Bagi kaum behavior pengetahuan itu dibentuk oleh lingkungan melalui ikatan stimulus-respon. Piaget berpandangan bahwa pemerolehan pengetahuan seperti itu ibarat menuangkan air dalam bejana. Artinya, pebelajar dalam keadaan pasif menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Bagi Piaget pemerolehan pengetahuan harus melalui tindakan dan interaksi aktif dari seseorang terhadap lingkungan . Proses aktif yang dimaksud tidak hanya bersifat secara mental tetapi juga keaktifan secara fisik. Artinya, melalui aktivitas secara fisik pengetahuan siswa secara aktif dibangun berdasarkan proses asimilasi pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengetahuan (skemata) yang telah dimiliki pebelajar dan ini berlangsung secara mental. Menurut Hudojo (dalam Siroj, 2003) hal-hal yang sekiranya bisa dilakukan orangtua dan pendidik dalam membuat suasana belajar pada anak yang berkenaan dengan teori kognitif, yaitu :
69
Perspektif Filsafat Ilmu terhadap Psikologi Belajar Anak dalam Proses Mencari Pengetahuan
a. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki anak sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan. b. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara. c.
Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep matematika melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
d. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara anak, guru, dan teman-teman sebayanya. e. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif. f.
Melibatkan anak secara emosional dan sosial dalam merespon jawaban atas pertanyaannya
Masa anak-anak merupakan suatu masa yang penting di dalam pertumbuhan dan perkembangan pribadi manusia. Segala macam kemampuan dan keahlian baik dari segi fisik, intelektual, emosi, sosial, dan moral berkembang sejak awal. Semua kebiasaan terbentuk karena adanya latihan atau pembiasaan seperti yang diungkapkan oleh Skinner dalam teori behaviorismenya, sehingga diharapkan ranahranah perkembangan tersebut akan berkembang secara maksimal. Dalam proses belajar yang bermula dari sejak awal ini tentunya memerlukan peranan dari semua pihak. Peranan orang tua dan pendidik memberikan pengaruh yang sangat besar pada diri manusia, terutama pada masa perkembangannya ini. Namun, seringkali kita mendengar bahwa orang tua ataupun pendidik merasa sukar untuk memahami kebiasaan dan perilaku anak-anak. Padahal pemahaman sangat diperlukan, bila orang tua dan pendidik ingin anak-anak dapat berkembang dan menemukan jati dirinya dengan benar. Berikut ini ada beberapa ciri masa kanak-kanak yang bisa dijadikan pegangan untuk memahami apa dan bagaimana dunia anak ; a. Anak adalah individu yang unik. Setiap anak punya potensi atau bakat yang berbeda satu sama lain. Sangat tidak bijaksana jika kita memaksa anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan minatnya. Masing-masing anak mempunyai ketertarikan dan minat sehingga sehingga anatara anak satu dengan anak yang lain mempunyai individual differences. Berkenaan dengan keberbedaan antara anak, tentu saja fokus yang menjadi pertanyaan dalam menjawab keingintahuan merekapun berbeda-beda. b. Anak bukan orang dewasa mini . Anak adalah anak-anak, bukan orang dewasa ukuran mini. Mereka punya keterbatasan-keterbatasan bila harus dibandingkan dengan orang dewasa; punya dunia tersendiri yang khas dan harus dilihat dengan kacamata anak-anak. Perlu kesabaran, pengertian, dan toleransi mendalam untuk memahaminya.
70
Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006 ISSN 1907-297X
c.
Dunia anak adalah dunia bermain. Dunia anak penuh dengan spontanitas dan menyenangkan. Anak akan melakukan sesuatu dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana menyenangkan. Seorang anak akan rajin belajar, mendengarkan keterangan guru atau melakukan pekerjaan rumahnya apabila suasana belajar adalah suasana yang menyenangkan dan menumbuhkan tantangan
d. Anak selalu berkembang. Selain tumbuh secara fisik, anak pun berkembang secara psikologis. Ada fase-fase perkembangan yang dilalui anak dan anak menampilkan berbagai perilaku sesuai dengan ciri masing-masing fase perkembangan tersebut. Jadi kita tak bisa menuntut anak yang berusia enam tahun untuk tetap menjadi anak yang lucu, dan penurut seperti waktu dia masih bayi. e. Anak senang meniru. Salah satu proses pembentukan tingkah laku diperoleh dengan cara meniru. Anak-anak yang gemar membaca, pada umumnya anakanak yang punya lingkungan gemar membaca. Mereka meniru orang tua, kakak, atau orang-orang lain di sekelilingnya yang punya kebiasaan membaca. Karena itulah orang tua dan pendidik dituntut untuk bisa memberikan contoh-contoh keteladanan nyata akan hal-hal baik, termasuk perilaku bersemangat dalam mempelajari hal-hal baru. f.
Anak sangat kreatif. Pada dasarnya, anak-anak adalah individu-individu yang kreatif. Mereka punya rasa ingin tahu yang besar, senang bertanya, punya imajinasi yang tinggi, minat luas, tak takut salah, berani menghadapi resiko, bebas dalam berpikir, dan sebagainya. Hanya dengan bersikap luwes dan kreatif pula, maka orang tua dan guru dapat memahami kreativitas yang ada pada diri anakanak.
Dari pemahaman ciri-ciri pada anak–anak diharapkan akan terbentuk pemaknaan mendalam bagi orangtua dan pendidik dalam memberikan perlakuan yang tepat bagi anak. Dunia anak adalah dunia yang lepas dari keterikatanketerikatan yang membelenggu, dimana lingkungan harus menfasilitasi kebebasan sehingga anak mampu menemukan jawaban atas keingintahuannya. Lewat aktivitas yang dilakukannya, anak akan terus berproses untuk mendapatkan pengetahuan sehingga mendapatkan titik kebenaran dari suatu hal. Dengan kata lain pemerolehan pengetahuan berawal dari pengamatan atas fenomena atau sebuah kehidupan, ataupun sebuah proses akan sebuah objek benda mati. Oleh karena itu, sebuah wilayah dari sumber dasar merupakan hal esensial untuk membantu anak mengembangkan penyelidikan ilmiah pada anak-anak. Salah satu fenomena yang bisa dilihat dari dunia saat ini adalah anak-anak bisa menikmati hasil kecanggihan budaya-budaya berpikir modern, tetapi sekaligus menanggung segala resiko buruknya. Salah satu resiko buruk itu adalah ketidakpastian pegangan dan arah untuk menentukan prioritas nilai dari makna hidup. Segala doktrin yang dahulu pernah kita anggap penting, kini tak lagi mudah mereka mengerti, apalagi mereka yakini. Sementara itu, sistem-sitem nilai semakin rancu sehingga sulit diidentifikasi. Dalam kondisi seperti ini, pendidikan cara berpikir filosofis menjadi sangat penting.
71
Perspektif Filsafat Ilmu terhadap Psikologi Belajar Anak dalam Proses Mencari Pengetahuan
Teka-teki yang membingungkan dan keingintahuan memang sangat dan keingintahuan memang sangat erat berkaitan. Aristoteles mengaitkan bahwa filsafat juga berangkat dari keingintahuan. Sementara itu Bertrand Russel (dalam Susilowatie, 2003) mengemukakan bahwa kalaupun filsafat tidak bisa menjawab semua pertanyaan yang kita ajukan, setidaknya memiliki kekuatan untuk bertanya tentang segala sesuatu yang akan menambah pesona alam semesta ini serta mampu menguak keanehan dan keajabian di balik segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini juga dikuatkan Aristoteles juga mengemukakan bahwa keingintahuan yang melahirkan filsafat berkaitan sangat erat dengan kecenderungan manusia untuk berteka-teki. Hal yang kita butuhkan untuk memahami berfilsafat pada anak-anak lewat pertanyaan dan keingintahuannya adalah pada dasarnya hanyalah menyadari bahwa siapapun yang menguasai bahasa dan konsep-konsep yang diungkapkan sudah dapat berfilsafat. Kita tinggal menambahnya dengan sedikit keuletan, kesabaran dan semangat untuk memikirkan sesuatu yang mungkin sangat sederhana atau pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar sekalipun. Selanjutnya, sesuai dengan konsep kognitif dalam Psikologi Belajar, pemaknaan akan jawaban yang kita berikan kepada pertanyaan anak-anak haruslah dipahami bagaimana causa dari jawaban itu terjadi. Sehingga penggunaan rasio dan pemaknaan secara inderawi pada anak-anak sejak awal sudah mulai terbentuk. Selain itu, agar berhasil berpikir filsafat dengan anak –anak, manusia dewasa harus menghilangkan sifat defensif dalam dirinya.. Kombinasi antara niat baik dan tanggung jawab yang diberikan orang dewasa ketika berhadapan dengan anak-anak akan menghasilkan suatu hubungan yang sangat istimewa. Orang dewasa lebih menguasai bahasa daripada anak-anak, termasuk konsep-konsep yang dikomunikasikan melalui bahasa. Meskipun begitu, anak-anak memiliki mata dan telinga yang lebih tajam untuk dapat memahami teka-teki dan keganjilan. Karena masing-masing pihak memiliki keunggulan sendiri, filsafat ini bisa menhadi proyek bersama; sesuatu yang sangat jarang terjadi ketika orang dewasa berhadapan dengan anak-anak. Aktifitas berfilsafat, menurut Matthews (2003) dimulai sejak usia sangat dini, usia yang penuh keingintahuan yang tak terbendung. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiharto (dalam Mattews, 2003), filsafat mengembalikan kita pada pertanyaan– pertanyaan paling mendasar yang selanjutnya mendorong kita untuk menalar pertanyaan-pertanyaan. Maka, salah satu cara yang tepat untuk memasuki dunia filsafat adalah memperhatikan pertanyaan-pertanyaan anak-anak yang menyadarkan kita bahwa banyak hal yang sebelumnya sangat jelas ternyata tidak sedemikian jelas. Inilah titik awal yang sederhana, tetapi sangat penting bagi orang dewasa untuk menikmati kembali filsafat yang umumnya terkesan rumit dan tidak membumi.
72
Paradigma, No. 02 Th. I, Juli 2006 ISSN 1907-297X
PENUTUP Membantu untuk memikirkan dan memberi jawaban atas apapun pertanyaan untuk memperoleh pengetahuan adalah penting dan bermakna bagi kehidupan anak selanjutnya. Anak-anak akan lebih mudah menemukan hal-hal lain, bila pertanyaan sebelumnya dapat terjawab dengan baik. Pengamatan atas fenomena di sekitar menjadi pengalaman belajar yang baik pada diri anak utnuk terus berpikir dalam mencari pengetahuan-pengetahuan baru. Salah satu cara memberi kemampuan anak untuk melakukan identifikasi atas pertanyaan mereka adalah dengan menempatkan jawaban yang dapat menstimulasi fikiran. Pertanyaan yang sangat terkait dengan apa yang sudah difikirkan akan sangat membantu. Hal ini sangat penting untuk mengembangkan ide-ide mereka sendiri sehingga, anak-anak akan terus berkembang dengan menggunakan taraf berpikir ke jenjang pemikiran yang lebih kompleks untuk bertanya ke hal yang lain. Kajian filsafat bukanlah belaka, yang jauh dari kenyataan hidup konkret. Akan tetapi, bila kita tinjau lebih dalam dalam segi praktisnya, filsafat akan mempengaruhi cara berfikir, mengarahkan pandangan yang dapat dipertanggungjawabkan, merasakan dan menimbulkan empati dengan apa yang terjadi di alam semesta ini, sehingga menuntun kita untuk bersikap hidup yang bijak dan benar, tanpa merugikan apa dan siapapun.
73
Perspektif Filsafat Ilmu terhadap Psikologi Belajar Anak dalam Proses Mencari Pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Mattews, G.B. 2003. Anak-anakpun Berfilsafat. Bandung : Mizan Siroj.
R.A. 2003. Cara Seseorang Memperoleh Pengetahuan Dan Implikasinya Pada Pembelajaran Matematika. Artikel lepas. http: // www.google.com
Slameto. 1991. Belajar Rineka Cipta
dan
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi.
Jakarta:
Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivissme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius Suriasumantri, J. S. Ilmu dalam Perspektif. 1992. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Suryabrata, S. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Susilowatie.R. 2003. Bagaimana Berfilsafat dengan Anak-anak? tanggal 05-10-2003.
Surabaya News,
Wibisono, K. Tanpa Tahun. Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar untuk Memahami Filsafat Ilmu. Materi Kuliah (tidak diterbitkan).
74