Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 122
PERSEPSI DAN PREFERENSI STAKEHOLDER LOKAL TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG Fadjar Hari Mardiansjah1); Agung Sugiri2); Renni Nur Hayati3) Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang Email:
[email protected];
[email protected];
[email protected] Abstract The comprehension of public perception and preference offers opportunities to provide information about the public expectation, as well as information about the level of public recognition to the result of the development process. This research is aimed to comprehend the local stakeholders’ perception and preference in urban development process in the city of Semarang, in which the local stakeholder here is defined as those of the middle and low income residents in the Muncipality of Semarang. The research uses questionnaires as the tool in gathering information about perceptions and preferences of the urban communities, which are categorized by the areas where they live in the city. The information consist of information about communities’ assessments of the exsiting conditions in their neighborhood, which includes information on how they perceive the environmental quality in their neighborhood, availability and quality of infrastructure and other municipal services, as well as their generated image from the living environment. The findings of the study show the diversity of community’s perceptions and preferences. In addition to providing information about the growing preferences and expectations of the community in every area of the city, the finding obtained have shown also a positive attitude of the society towards urban development process in the city, which is shown by the good assessment given by the communities. Keywords : public perception and preference, local stakeholder, urban development, Semarang Abstrak Pemahaman terhadap persepsi dan preferensi masyarakat berpeluang memberi manfaat dalam menyediakan informasi tentang apa yang diharapkan masyarakat dan informasi tentang pengakuan masyarakat tentang hasil pembangunan kota yang telah dilakukan. Penelitian ini ditujukan untuk memahami persepsi dan preferensi stakeholder lokal di dalam proses pembangunan Kota Semarang, dimana stakeholder lokal ini didefinisikan sebagai kelompok masyarakat berpendapatan menengah-rendah yang tinggal di Kota Semarang. Untuk itu, penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat penggalian persepsi dan preferensi masyarakat, yang dikelompokkan berdasarkan kawasan tempat tinggalnya. Informasi yang dikumpulkan meliputi informasi tentang penilaian masyarakat terhadap kondisi di lingkungan tempat tinggalnya, seperti kondisi tempat tinggal, ketersediaan infrastruktur dan pelayanan kota, serta citra yang terbangun dari lingkungan tempat tinggalnya. Temuan penelitian ini memperlihatkan keragaman persepsi dan preferensi yang ada. Selain memberikan informasi tentang harapan-harapan yang berkembang, temuan studi juga memperlihatkan sikap positif dari masyarakat terhadap pembangunan di Kota
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
Semarang, yang diperlihatkan oleh kecenderungan penilaian baik yang diberikan oleh masyarakat. Kata kunci : persepsi dan preferensi pembangunan kota, Semarang Pendahuluan Partisipasi masyarakat telah direkomendasikan sebagai cara yang efektif untuk mencapai berkelanjutan pembangunan, terutama dalam merespon kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal. Perwujudan pembangunan yang berkelanjutan membutuhkan perencanaan dan penyusunan kebijakan pembangunan yang mampu mengakomodasi seluruh aktivitas perkotaan, memfasilitasi seluruh aspirasi stakeholder, dan juga menciptakan dan mendorong partisipasi dari semua stakeholer pembangunan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang efektif, maka pemahaman terhadap sikap dan persepsi masyarakat yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan dan pembangunan merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam upaya-upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan. Sebagai ibukota provinsi, Kota Semarang memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan pembangunan yang cukup pesat, yang didukung oleh ketersediaan lahan yang cukup luas dan sarana dan prasarana yang cukup lengkapdi hampir seluruh bagian wilayah kota. Dalam perkembangannya, Kota Semarang yang berpenduduk 1.572.105 jiwa pada tahun 2013 tidak hanya berkembang pada wilayah inti di bagian tengah-utara, tetapi juga memiliki perkembangan pesat dan cenderung sporadis di wilayah pinggiran yang berlokasi di bagian timur, selatan dan barat kota. Perkembangan ke wilayah pinggiran ini dapat dilihat dari semakin berkembanganya kawasan permukiman di wilayah pinggiran tersebut, seperti di wilayah Mangkang dan Ngaliyan di bagian barat kota, Gunungpati, Mijen, 84
masyarakat,
stakeholder
lokal,
Banyumanik, Tembalang dan Sendang Mulyo di bagian selatan, dan Tlogosari, Pedurungan dan Genuk di bagian timur kota. Bahkan, pada beberapa kawasan tertentu, perkembangan aktivitas Kota Semarang juga terus melebar melampaui batas wilayah administrasi kota, seperti perkembangan ke Ungaran, Kabupaten Semarang, di arah selatan, Mranggen dan Sayung Kabupaten Demak di arah timur. Pada saat ini, pembangunan di Kota Semarang sudah diarahkan untuk mewujudkan kemudahan akses masyarakat kepada fasilitas publik. Dalam kerangka pengembangan kemudahan akses tersebut, diperlukan penggalian informasi tentang persepsi masyarakat terhadap hasil pelaksanaan pembangunan yang telah berjalan. Penggalian informasi ini perlu dilakukan untuk memberikan masukan kepada pengelolaan pembangunan selanjutnya agar implementasi pembangunan yang efektif dan efisien dapat ditingkatkan. Penggalian persepsi dan preferensi stakeholder lokal terhadap pembangunan Kota Semarang ini ditujukan kepada masyarakat menengah ke bawah, dengan harapan agar informasi tersebut dapat menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan untuk pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang muncul adalah “Bagaimana persepsi dan preferensi stakeholder lokal terhadap pembangunan Kota Semarang yang telah berjalan selama ini?”. Harapannya, hasil dari kajian persepsi dan preferensi ini diharapkan dapat menjadi gambaran sekaligus bahan evaluasi terhadap pembangunan yang sudah berjalan serta menjadi bahan masukan dalam
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
penyusunan kebijakan perencanaan pembangunan Kota Semarang ke depan. Stakeholder lokal di dalam kajian ini adalah penduduk Kota Semarang yang terkategori sebagai masyarakat berpendapatan menengah dan/atau rendah, yang dikelompokkan berdasarkan kawasan tempat tinggalnya. Dengan demikian, penggalian persepsi dan preferensi ini diharapkan juga dapat menampung aspirasi masyarakat menengah ke bawah, yang juga merupakan kelompok masyarakat yang penting di dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif diwujudkan dalam penggunaan kuesioner yang disebarkan kepada masyarakat Kota Semarang. Kuesioner ini didistribusikan kepada masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan pusat kota dan di kawasan pinggiran, yang terletak di bagian barat, selatan dan timur kota. Pendekatan kualitatif digunakan dalam telaah dokumen dan beberapa pertanyaan terbuka di dalam kuesioner. Pertanyaan terbuka tersebut ditujukan untuk menggali informasi dan persepsi masyarakat terhadap pembangunan kota secara lebih dalam. Variabel-variabel penelitian yang digunakan adalah: a. Lingkungan, variabel ini untuk mengkaji persepsi masyarakat tentang kondisi lingkungan sekitar tempat tinggalnya. b. Basic Needs atau kebutuhan dasar dimana terdiri atas air bersih, energi/listrik, jalan, dan lain-lain. c. Amenities atau hiburan yang dimaksud adalah sarana rekreasi. d. Citra Kota, untuk mengkaji persepsi masyarakat mengenai pemahaman mereka terhadap Kota Semarang. Metode pengumpulan digunakan adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data sekunder, dilakukan dengan melakukan pengumpulan data sekunder dari instansi/dinas/badan/lembaga yang terkait dalam penelitian ini. b. Pengumpulan data primer, dilakukan dengan cara pengumpulan data secara langsung di lapangan. Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui kuesioner yang ditujukan ke masyarakat menengah dan masyarakat menengah ke bawah di Kota Semarang. Persepsi dan Preferensi Masyarakat dan Keterkaitannya dengan Pembangunan Kota : Sebuah Kajian Literatur Persepsi dan Preferensi Manusia di dalam Lingkungan Persepsi adalah suatu proses psikologis yang dilakukan seseorang berdasarkan pengenalan dan interpretasi yang diperolehnya dari lingkungan sekitarnya (Rookes dan Wilson, 2000). Sementara itu, Robbins dan Hudge (2009) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu mengorganisasi dan menafsirkan kesan inderanya dalam memaknai lingkungan yang mereka miliki. Sementara itu, preferensi didefinisikan oleh Merriam-Webster sebagai suatu tindakan untuk menyukai sesuatu lebih dari yang lain. Dengan perkataan lain, preferensi adalah adalah suatu ekspresi dari adanya suatu pilihan yang dilakukan secara subjektif, oleh seseorang atau suatu kelompok dari pilihan-pilihan yang dimilikinya. Biasanya, pilihan itu didasarkan kepada tujuantujuan dan kriteria-kriteria yang dimilikinya. Dalam teori keputusan, dijelaskan bahwa preferensi juga berkaitan dengan persepsi. Pada dasarnya, rasionalitas pemilihan dari masyarakat didasarkan kepada pilihan-pilihan yang dibuat oleh para individu dalam upayanya untuk 85
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
memaksimalkan manfaat atau keuntungan dan/atau meminimalkan beban atau kerugian yang akan diperoleh dari keputusan-keputusan tersebut. Setiap orang melakukan pilihan dengan membandingkan biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari pilihan-pilihannya, dalam perbandinganperbandingan yang dilakukan berdasarkan persepsi yang dimilikinya. Robbins dan Judge (2009) menyatakan bahwa persepsi belum tentu merupakan realitas yang sebenarnya. Dalam hal ini, Robbins dan Judge (2009) menekankan bahwa persepsi lebih merupakan suatu penafsiran dari realitas itu sendiri, yang dipengaruhi oleh pengenalan, pengetahuan, pemahaman dan kesan dari individu terhadap realitas tersebut. Terkait dengan hal ini, Chavis dan Wandersman (1990) mengatakan bahwa persepsi terhadap lingkungan turut melibatkan penilaian kepada lingkungan itu sendiri, misalnya, tentang kualitas yang dirasakan dari lingkungan, kepuasan dengan lingkungan, masalah dalam lingkungan dan sebagainya, sehingga penilaian yang diberikan terhadap lingkungan atau aspek spesifik dari lingkungan itu dapat membangun atau bahkan memudarkan semangatnya berkontribusi kepada lingkungan. Dalam hal ini, penilaian yang bersifat positif dapat membangun semangat untuk turut berkontribusi pada individu, dan penilaian yang bersifat negatif dapat menyebabkan kehilangan gairah untuk turut berkontribusi (Chavis dan Wandersman, 1990). Dengan demikian, persepsi dan pengetahuan memainkan peran penting di dalam tindakan dan pengambilan keputusan bagi kebanyakan orang, bahkan ketika persepsi yang dibentuk tersebut tidak menempel kepada realitas yang ada (Robbins dan Judge, 2009). Pendapat ini konvergen dengan pendapat dari Hill dan Hupe (2002) dimana mereka menyatakan bahwa 86
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
persepsi dan pengetahuan, bersama karakteristik, norma-norma dan nilainilai yang ada, menjadi faktor kunci di dalam masyarakat yang mempengaruhi perkembangan dan respon terhadap perkembangan dan perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Premis dasar dari konsep ini adalah bahwa lingkungan fisik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap orang-orang yang tinggal di dalamnya, dan pemahaman terhadap pengaruhpengaruh ini dapat meningkatkan kualitas pengelolaan dan pengaturan lingkungan fisik agar lebih sesuai dan lebih menguntungkan bagi mereka yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya. Kaplan (1988) mengemukakan bahwa salah satu sifat dasar dari suatu mahkluk hidup adalah adanya pemilihan dan kecenderungan/preferensi kepada tempat dan/atau kondisi lingkungan yang lebih sesuai baginya untuk beraktivitas, berkembang dan beradaptasi di dalam proses kehidupan dan evolusinya. Kecenderungan seperti ini juga dimiliki oleh manusia, termasuk kelompokkelompok masyarakat secara lebih spesifik. Dalam kerangka ini, kemudian Kaplan (1988) memandang bahwa preferensi manusia kepada lingkungan sebagai suatu ekspresi bias (berdasarkan persepsinya) untuk memilih unsur-unsur lingkungan dan ruang yang cocok dan diharapkan dapat mendukung aktivitasaktivitasnya dalam bertahan dan mempertahankan diri beserta akvitasaktivitasnya. Oleh karena itu, studi tentang preferensi yang berkonsentrasi kepada lingkungan seperti ini merupakan suatu proses kognitif yang sangat penting di dalam kehidupan dan evolusi manusia (Sulivan III, 1994), sebagai pemahaman tentang bagaimana masyarakat menginterpretasi lingkungan menurut kebutuhannya dan lebih memilih pengaturan di mana mereka akan mampu berfungsi secara efektif.
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
Persepsi dan Preferensi Masyarakat dalam Pembangunan Perkotaan Secara umum, pertumbuhan dan perkembangan perkotaan di negaranegara berkembang masih banyak menghadapi permasalahan. Bertambah dan berkembangnya aktivitas membawa akibat kepada perubahan dan perkembangan fisik kota. Meningkatnya ukuran dan aktivitas perkotaan ini juga diikuti oleh meningkatnya kualitas lingkungan perkotaan, terutama pada kawasan-kawasan utama kota. Namun, pada banyak kota di negara berkembang, besarnya perubahan lingkungan perkotaan ini tidak selalu diikuti oleh respon perencanaan dan pengaturan yang sesuai, sehingga membawa akibat kepada penurunan kualitas lingkungan yang ada, dan/atau ketidaksesuaian kualitas lingkungan dengan kondisi dan karakteristik dari mereka yang tinggal di dalamnya. Di dalam proses pembangunan perkotaan, persepsi dan preferensi masyarakat merupakan suatu informasi yang dapat menjadi katalisator bagi berkembangnya partisipasi masyarakat (Chavis dan Wandersman, 1990). Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat dipercaya mampu menjadi suatu metoda peningkatan kualitas pembangunan kota melalui kontribusi kepada perbaikan kepada kualitas lingkungan perkotaan, peningkatan aktivitas perekonomian kota, peningkatan kualitas layanan perkotaan, pencegahan kejahatan, dan peningkatan kondisi sosial serta kualitas hidup masyarakat (Chavis dan Wandersman, 1990). Chavis dan Wandersman (1990) juga mengatakan bahwa persepsi masyarakat terhadap lingkungan merupakan salah satu dari tiga buah komponen penting yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat. Chavis dan Wandersman (1990) menjelaskan bahwa persepsi terhadap lingkungan juga berpotensi untuk memotivasi
masyarakat untuk melakukan partisipasi di dalam aksi perbaikan lingkungan. Persepsi negatif terhadap lingkungan tidak saja dapat membawa pengaruh kepada rendahnya nilai property yang ada, tetapi juga berpotensi untuk menurunkan rasa aman, atau bahkan meningkatkan kondisi keterasingan dari lingkungan (Chavis dan Wandersman, 1990). Tingkat partisipasi tertinggi umumnya dihasilkan dari persepsi yang moderat kepada persoalan-persoalan lingkungan yang ada. Dalam konteks ini, persepsi serta penilaian terhadap lingkungan tidak hanya akan mempengaruhi di dalam hubungan dengan lingkungan fisik, tetapi juga kepada lingkungan sosial dan rasa memiliki kepada lingkungan sekitar, serta kepada tingkat kepuasan pada kawasan tempat tinggal. Chavis dan Wandersman (1990) juga menjelaskan bahwa umumnya persepsi dan penilaian terhadap lingkungan berkonsentrasi ke dalam tiga aspek, yaitu : persepsi tentang kualitas lingkungan, tingkat kepuasan warga terhadap kondisi lingkungan, dan permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam lingkungan. Sementara itu, dalam penilaiannya kepada lingkungan perkotaan yang baik, yang mampu menunjang kepada persepsi terhadap pencapaian kualitas hidup yang baik, Omuta (1988) melakukan penilaian persepsi masyarakat kepada delapan aspek lingkungan lokal kawasan perkotaan, yang meliputi : kondisi gangguan pada lingkungan, kesehatan lingkungan, penyediaan kesempatan kerja, kesempatan berekreasi, tersedianya perumahan, pelayanan pendidikan, kenyamanan lingkungan, dan gangguan keamanan. Dalam pengukuran itu, Omuta (1988) berpendapat bahwa kualitas lingkungan setempat akan sangat tergantung kepada derajat atau sejauh mana kriteria-kriteria di atas telah dicapai atau dilanggar. 87
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
Omuta tidak hanya melakukan penilaian terhadap kualitas lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Chavis dan Wandersman. Omuta juga melakukan penilaian terhadap dimensi-dimensi lain yang berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi. Bahkan, Omuta (1988) menyatakan bahwa penilaian terhadap kondisi sosial ekonomi merupakan aspek-aspek yang paling penting di dalam penilaian persepsi masyarakat kepada lingkungan perkotaan di kotakota di negara berkembang, karena sebagian besar kota di negara berkembang memiliki perbedaan fasilitas dan pelayanan antar kawasan perkotaan sebagai akibat dari perbedaan keterjangkauan dan kemampuan membayar (affordability) dari masyarakat yang tinggal di dalam kawasan-kawasan yang berbeda tersebut. Omuta (1988) juga menjelaskan bahwa penilaian kualitas lingkungan perkotaan dapat melalui dua perspektif, yaitu : penilaian yang dilakukan dari luar dan penilaian yang dilakukan dari dalam. Omuta (1988) juga menjelaskan bahwa peta kognitif spasial atau peta persepsi spasial dari lingkungan perkotaan dapat digambarkan dari kombinasi kedua perspektif penilaian tersebut. Dengan demikian, maka kualitas kehidupan perkotaan dapat dianalisis berdasarkan karakteristik masyarakat dari berbagai bagian wilayah kota. Pembangunan yang Berbasis Keadilan (Equity Based Development) Pembangunan mengharapkan agar peningkatan dalam kesejahteraan yang dialami oleh penduduk, tidak hanya dalam bentuk perbaikan penghasilan, tapi juga keamanan dan kenyamanan sosial, dan kenyamanan hidup di lingkungan binaan dan lingkungan alam yang ada. Pembangunan pun diharapkan dapat berlanjut terus sehingga generasi mendatang pun dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang setidaknya sama 88
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
dengan generasi sekarang. Hal inilah yang diamanatkan oleh konsep pembangunan berkelanjutan, suatu konsep yang melandasi pembangunan negara-negara di dunia pada tiga dekade terakhir ini. Pada pembangunan berkelanjutan terkandung keharusan untuk menjamin keadilan di dalam generasi dan antar generasi. World Commision on Environment and Development (WCED) (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengurangi kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. Sementara itu, Sugiri (2005) memberikan definisi yang menekankan kepada aspek keadilan, yaitu “pembangunan yang menerapkan keadilan (equity) sedemikian hingga baik hasil maupun kesempatan dapat terdistribusikan secara berkeadilan (equitably) di dalam generasi sekarang sementara tetap menjaga kemampuan dan kapabilitas generasi mendatang untuk melakukan hal yang minimal sama”. Pengertian keadilan (equity) menjadi penting untuk dipahami. Keadilan sering disalahartikan sebagai kesamaan (equality), apalagi jika ini menyangkut masalah kesempatan (opportunity). Padahal secara sederhana dapat dikatakan bahwa keadilan memang berhubungan dengan kesamaan, tapi tidak sama persis dengannya. Contoh mudah adalah porsi makanan untuk anak berusia 15 tahun tentu akan lebih besar dibanding porsi untuk anak berusia lima tahun. Ini adalah adil, meskipun merupakan suatu ketidaksamaan (inequality). Salah kaprah ini bahkan terjadi pada sebagian literatur pembangunan. Pieterse (2001), misalnya, ketika mengusulkan strategi pertumbuhan dengan keadilan (growth with equity), telah mengkritik dua posisi ekstrim dalam konsep, yaitu melulu
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
pertumbuhan dan menolak pertumbuhan atau menerapkan keadilan tanpa pertumbuhan. Hal ini menunjukkan seolah-olah penerapan keadilan bertentangan dengan cita-cita pertumbuhan ekonomi. Di antara berbagai pemahaman mengenai keadilan, pandangan dua filsuf modern berikut cukup penting diperhatikan, yaitu Rawls dan Sen. Menurut Rawls (1971), keadilan menuntut kesamaan terhadap barang dan jasa tertentu yang disebut dengan barang-barang utama (primary goods). Hal ini adalah untuk menjamin kesempatan yang sama bagi setiap orang. Jadi Rawls berpaham kesamaan kesempatan (equality of opportunity) untuk menjamin keadilan. Di lain pihak, Sen (1992) mengkritik primary goods-nya Rawls sebagai alat menuju kesempatan saja, bukan benar-benar kesempatan, dan karena itu tidak perlu disamakan bagi semua orang. Sen mengembangkan konsep kapabilitas sebagai kesempatan sebenarnya. Kapabilitas adalah suatu set dari fungsi-fungsi (yaitu menjadi/beings dan mengerjakan/doings) yang seorang individu mampu mencapainya. Barangbarang utama misalnya, tidak perlu dibagikan sama rata untuk semua orang, tapi harus didistribusikan sedemikian rupa sehingga semua penduduk mampu mencapai fungsi-fungsi mereka. Meskipun demikian, pada tataran praktisnya, keduanya sepakat bahwa penerapan keadilan (equity) haruslah mencakup adil (fairness) dalam proses pembangunan dan adil (justice) dalam distribusi hasil. Dalam proses pembangunan, setiap pelaku mempunyai fungsi spesifiknya masing-masing, yang ditentukan oleh potensi dan usahanya sendiri, serta mekanisme sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat. Dalam kaitan dengan fungsi spesifik inilah terjadi ketidaksamaan, dimana keragaman manusia juga meliputi keragaman fokus atau perhatian yang dimiliki. Dalam hal ini, Sen (1992)
menyatakan bahwa ketidaksamaan yang terjadi adalah keragaman natural, dan bukan karena ketidakadilan, sehingga tidak perlu dipermasalahkan. Karena itu, keadilan dapat terjamin ketika semua pelaku pembangunan mendapatkan kesempatan awal yang sama untuk memenuhi fungsi-fungsi spesifik masingmasing. Jadi yang perlu disamakan adalah kesempatan awal untuk masingmasing fungsi. Pembangunan di Kota Semarang Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah yang berada di jalur Pantai Utara Pulau Jawa (Pantura). Kota Semarang memiliki bentang alam berupa daerah perbukitan di wilayah bagian selatan dan daerah pesisir di wilayah bagian utara dengan panjang garis pantai 13,6 km. Kota ini memiliki luas wilayah mencapai 37.366.838 Ha atau 373,7 km2, yang terbagi ke dalam 16 kecamatan. Dalam perkembangannya, Kota Semarang yang memiliki jumlah penduduk sebesar 1.572.105 jiwa pada tahun 2013 tidak hanya berkembang pada wilayah kota inti yang terletak di bagian tengah-utara saja. Perkembangan kota juga terjadi secara sporadis di daerah pinggiran, baik di kawasan barat, selatan maupun timur. Pola perkembangan kota yang cenderung melebar dan sporadis ini memberikan pengaruh yang signifikan kepada penyediaan sarana dan prasarana perkotaan untuk mampu menjangkau kebutuhan masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas perumahan telah menjadi salah satu program pembangunan dilaksanakan di Kota Semarang. Pembangunan dan peningkatan jalan, saluran drainase dan talud juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman yang sehat. Program pembangunan tersebut dan program penanganan dan penataan permukiman kumuh diyakini mampu melayani 89
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
kebutuhan pembangunan kawasan permukiman masyarakat berpendapatan rendah. Program pembangunan yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan di Kota Semarang pada tahun 2013 lebih ditekankan pada pemberian kesempatan yang sama kepada semua anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi dan tahap perkembangan usianya. Ketersediaan sarana pendidikan yang ada di Kota Semarang, mulai dari tingkat playgroup, TK, SD, SMP, dan SMA, yang terdistribusi di seluruh wilayah Kota Semarang dan memperhatikan standar dan tingkat keterjangkauannya, diharapkan mampu memberikan pelayanan pendidikan bagi semua. Dalam pelayanan kesehatan, ketersediaan sarana kesehatan di Kota Semarang relatif telah tersebar dengan ketersediaan yang diharapkan mampu melayani kebutuhan layanan kesehatan. Berdasarkan catatan tahun 2013 terdapat 15 buah rumah sakit umum di Kota Semarang, serta sebuah rumah sakit jiwa, sebuah rumah sakit OP, sebuah rumah sakit bedah plastik, tiga buah rumah sakit bersalin, tiga buah rumah sakit ibu dan anak, enam buah pondok bersalin, 37 buah puskesmas dan 37 buah puskesmas pembantu yang dibantu oleh 37 buah puskesmas keliling dan 1.558 buah posyandu (BPS Kota Semarang, 2014). Dalam pelayanan penyediaan air bersih, Kota Semarang menerapkan dua sistem pengelolaan yaitu dengan sistem perpipaan yang dikelola oleh PDAM dan sistem non perpipaan yang diadakan dan dikelola oleh swadaya masyarakat, seperti penyediaan melalui penggunaan sumur bor dan/atau sumur arthesis. Jangkauan pelayanan dari PDAM saat ini relatif mampu melayani kebutuhan air bersih sebagian besar masyarakat di Kota Semarang, walaupun terdapat beberapa kecamatan yang belum terkoneksi seperti Kecamatan Mijen 90
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
dan Gunungpati yang memiliki topografi yang curam. Selain mengembangkan kerjasama antara PDAM Kota Semarang dan Urban Water Sanitations dan Hygiene (IUWASH) dalam rangka pembangunan air bersih dan sanitasi untuk meningkatkan kapasitas sambungan dari PDAM Kota Semarang kepada warga, beberapa program yang dilaksanakan dalam memberikan kemudahan dan memperluas akses air bersih adalah program Pamsimas yang berkonsentrasi kepada perluasan akses masyarakat terhadap air bersih dan penerapan / peningkatan sanitasi lingkungan. Selain itu, beberapa upaya juga dilakukan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap kebutuhan air bersih, seperti pengembangan kerjasama PDAM dengan perbankan membuka program kredit guna pemasangan sambungan. Program pembangunan lainnya terkait peningkatan akses layanan air bersih, yaitu pembangunan Waduk Jatibarang, yang dilakukan dengan tujuan sebagai salah satu elemen dalam pengendalian banjir dan juga sebagai tempat pariwisata serta mampu menyediakan air baku untuk meningkatkan akses layanan air bersih bagi masyarakat di wilayah bagian barat Kota Semarang serta juga terdapat potensi pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Pada pengembangan sistem drainase, pembangunan di daerah hulu dilakukan dengan pengembangan sistem banjir kanal, dimana air yang berasal dari kawasan hulu dialirkan melalui saluran banjir kanal sehingga tidak membebani kawasan bawah. Sedangkan pada daerah hilir dibuat beberapa tampungan polder, yang berfungsi untuk menampung air kiriman dari hulu. Dalam pembangunan sarana angkutan umum, Kota Semarang masih mengandalkan penyediaan pelayanan angkutan umum bus dan/atau angkot kepada operator swasta. Kota
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
Semarang juga telah melakukan introduksi penggunaan moda transportasi massal dengan menggunakan sistem Bus Rapid Transit (BRT) di tahun 2013 dengan pengoperasian pada beberapa koridor, yaitu koridor I (Mangkang-Penggaron), koridor II (Terboyo-Sisemut), koridor IV (Cangkiran-Bandara A.Yani) serta pembangunan shelter BRT sebanyak 13 unit koridor III dan 32 unit koridor IV. Diharapkan, sistem BRT ini dapat terus dikembangkan di masa mendatang sehingga transportasi publik BRT ini akan mampu melayani berbagai kawasan di Kota Semarang, termasuk di kawasan-kawasan pinggiran seperti di kawasan barat, kawasan timur, dan kawasan selatan Kota Semarang dan mengkoneksikannya dengan kawasankawasan pusat kota. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Kondisi Lingkungan dan Amenities Secara umum, sebagian besar masyarakat berpendapatan menengahrendah yang ditemui menyatakan puas atau cukup puas di dalam penilaian
terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan, hampir seluruh responden terbagi dua ke dalam kedua kategori tingkat kepuasan tersebut, dimana yang puas (52%) merupakan kelompok yang lebih dominan daripada mereka yang cukup puas (43%). Kekurangpuasan terhadap kondisi lingkungan lebih diungkapkan oleh mereka yang bermukim di kawasan timur dan pusat kota. Baiknya tingkat kepuasan tersebut dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap kondisi kawasan lingkungan tempat tinggal, termasuk kondisi gangguan dan keamanan lingkungan yang dirasakan, serta beberapa hal yang disenangi atau tidak disenangi. Hasil kuesioner memperlihatkan bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi yang baik terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Namun, masih ada sekitar 22% responden yang memiliki persepsi yang cukup dan 2% lainnya yang memiliki persepsi yang kurang baik, yang sebagian besar bertempat tinggal di kawasan pusat kota, dan sebagian lainnya di kawasan timur dan selatan kota.
Tabel 1 Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Kondisi Lingkungan Sekitar Tempat Tinggal di Kota Semarang Sangat Baik Jml % Kawasan Timur 6 12% Kawasan Barat 3 6% Kawasan Pusat 0% Kawasan Selatan 0% Total 9 4% Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
Baik Jml % 32 64% 40 80% 36 64% 40 77% 148 71%
Hasil kuesioner memperlihatkan keempat kawasan tersebut memiliki permasalahan lingkungan yang berbeda. Permasalahan lingkungan utama yang ada di kawasan barat berupa polusi udara, kemacetan dan kebisingan. Bisa dikatakan bahwa permasalahan utama tersebut berkaitan dengan aktivitas transportasi yang terjadi. Permasalahanpermasalahan itu juga disebabkan oleh kondisi penggunaan lahan di kawasan
Cukup Jml % 10 20% 7 14% 19 34% 10 19% 46 22%
Kurang Baik Jml % 2 4% 0% 1 2% 2 4% 5 2%
barat yang memiliki beberapa kawasan industri dan dilalui jalur pantura sehingga timbul gangguan polusi udara, kemacetan dan kebisingan akibat dari aktivitas lalu lintas dan industri yang ada. Di kawasan timur, selain kemacetan, kebisingan dan polusi udara, persoalan banjir-rob-genangan dan jalan rusak juga merupakan permasalahanpermasalahan utama yang dilontarkan oleh para responden. Permasalahan ini 91
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
juga berkaitan dengan ketersediaan jaringan jalan transportasi regional utama dan aktivitas dari beberapa kawasan industri yang ada. Besarnya aktivitas transportasi yang melalui jalan lintas kota dan pantura tersebut memberikan dampak polusi udara dan bising dari aktivitas lalu lintas. Permasalahan utama di kawasan pusat kota adalah kebisingan (20,7%) dan polusi udara (17,2%), dengan beberapa permasalahan lain sepeerti kemacetan, kebersihan, banjir-robgenangan, keamanan, jalan sempit, dan polusi limbah cair. Hal ini disebabkan aktivitas mobilitas yang sangat tinggi sehingga menimbulkan dampak pada tingginya polusi udara dan suara (bising). Gangguan lingkungan yang dirasakan masyarakat di kawasan selatan kota adalah macet, polusi udara, bising, banjir-genangan, kebersihan, dan panas/gersang, dengan gangguan utama adalah bising (14%) dan polusi udara (8,8%). Hal tersebut dikarenakan kawasan selatan kota terdapat akses/ jalur antar kota yang menghubungkan Kota Semarang dengan Ungaran serta banyak anggota masyarakat yang memiliki aktivitas di pusat kota, sehingga tingkat mobilitas di kawasan selatan tersebut tinggi dan berdampak pada tingginya tingkat polusi udara dan bising. Tentang keamanan lingkungan, secara umum dari keempat kawasan memiliki kondisi yang dapat dikategorikan aman. Sebanyak 74% dan 2% responden menyatakan bahwa lingkungan tempat tinggal mereka aman atau sangat aman. Rasa kurang aman yang muncul diakibatkan oleh adanya kekhawatiran terjadinya pencurian, baik yang berupa pencurian di waktu malam maupun di waktu siang. Namun, intensitas kejadian gangguan keamanan ini relatif masih rendah. Selain itu, khusus untuk kawasan timur dan pusat, ancaman terjadinya tawuran juga 92
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
menjadi salah satu ancaman, walaupun intensitasnya relatif tidak menentu. Faktor lokasi kawasan tempat tinggal yang dekat dengan fasiltas publik, dekat dengan jalan raya, dekat dengan lokasi tempat kerja, dekat dengan pusat kota, dan dengan fasilitas transportasi umum merupakan hal-hal yang disenangi secara umum. Namun, terdapat perbedaan antar kawasan dalam hal-hal yang disenangi dari lingkungan tempat tinggal tersebut. Masyarakat di kawasan timur dan barat lebih memperhatikan faktor-faktor lokasi seperti kedekatan dengan fasilitas publik, baik berupa pasar, fasilitas kesehatan, sarana transportasi, maupun sarana pendidikan, dekat dengan jalan raya dan dekat dengan pusat kota menjadi hal-hal yang paling disukai dari lingkungan tempat tinggal, daripada faktor-faktor yang berupa karakter kawasan seperti kenyamanan, keamanan, kerukunan dan ketenangan. Pada kawasan selatan, beberapa hal yang berkaitan dengan karakter kawasan, seperti kenyamanan, kerukunan, ketenangan dan keamanan, cenderung lebih terpilih sebagai hal-hal yang disukai masyarakat ketimbang faktor-faktor lokasi walaupun sebagian responden juga memberi tempat kepada faktor lokasi yang berupa kedekatan dengan fasilitas publik sebagai hal yang disukai. Masyarakat di kawasan pusat kota memiliki hal yang disukai yang lebih bervariasi. Walaupun berkaitan dengan faktor lokasi seperti dekat dengan fasilitas publik, strategis dan dekat pusat kota, namun terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan karakter kawasan seperti rukun dan aman turut menjadi hal yang disenangi masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggal. Harapan terbanyak masyarakat terhadap tempat tinggal adalah lingkungan yang aman dan nyaman (43%). Beberapa harapan utama lainnya adalah perbaikan lingkungan (21%) dan perbaikan kondisi penyediaan
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
infrastruktur (14%). Harapan tentang kondisi yang aman dan nyaman menjadi harapan dominan yang terkerucut pada masyarakat di kawasan timur (72%) dan di kawasan selatan (51%). Di kawasan timur, peningkatan kualitas lingkungan yang lebih bersih dan baik (22%) juga menjadi suatu harapan utama dari masyarakat, dan di kawasan selatan adalah lingkungan lebih bersih dan bagus (17%), perbaikan sarana dan prasarana (14%), dan peningkatan kemakmuran (9%). Di kawasan barat kota, harapan utama masyarakat lebih terkonsentrasi pada terciptanya lingkungan yang lebih baik (30%), terwujudnya lingkungan yang aman dan nyaman (28%), perbaikan infrastruktur (16%), dan peningkatan kelengkapan fasilitas publik (10%). Preferensi/harapan masyarakat kawasan pusat kota adalah lingkungan aman dan nyaman 20%, perbaikan sarana dan prasarana 19%, lingkungan lebih bersih dan bagus 15%, peningkatan kemakmuran dan keinginan untuk mempunyai rumah sendiri masingmasing 14%, bebas banjir 3%, dan pembinaan remaja 2%. Pada aspek ketersediaan ruang publik atau terbuka hijau di lingkungan tempat tinggal, sebagian besar masyarakat berpendapatan menengahrendah tidak memiliki ruang publik / terbuka hijau di lingkungan tempat tinggal. Tercatat sekitar 46% yang mengemukakan keberadaan ruang publik/terbuka hijau di lingkungan tempat tinggal, kawasan timur kota sebesar 42%, di kawasan barat kota sebesar 46%, di kawasan pusat kota sebesar 39%, dan kawasan selatan kota sebesar 58%. Dari informasi ini, maka pengelolaan pembangunan di Kota Semarang di masa depan perlu mengedepankan penciptaan lingkungan tempat tinggal yang aman dan nyaman, yang dilengkapi dengan perbaikan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas lingkungan agar lingkungan tempat
tinggal bisa lebih hijau dan lebih bagus, dan peningkatan kelengkapan fasilitas publik di lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat berpendapatan menengah-rendah. Keempat harapan inilah yang menjadi harapan dominan dari masyarakat berpendapatan menengah-rendah, baik di kawasan pinggiran seperti di kawasan timur, barat dan selatan, maupun di kawasan pusat kota. Selain itu, dapat diindikasikan bahwa ketersediaan dan penyediaan ruang terbuka hijau di lingkungan tempat tinggal masyarakat berpendapatan menengah-rendah masih perlu menjadi salah satu perhatian penting, khususnya di kawasan pusat kota, timur dan barat. Ruang terbuka hijau merupakan suatu penggunaan lahan yang memiliki fungsi utama ekologis, dan beberapa fungsi tambahan seperti fungsi sosial budaya, fungsi estetika dan fungsi ekonomi. Dalam konteks ini, selain memiliki fungsi ekologis sebagai penyerap air hujan dan produsen oksigen serta pengatur iklim mikro dan pengaturan sistem sirkulasi udara (paru-paru kota) dan tata air di lingkungannya, ruang terbuka hijau juga dapat berperan dalam menyediakan tempat bagi masyarakat untuk berinteraksi dengan sesamanya yang mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, dan juga sebagai sarana rekreasi, serta menjadi elemen peningkatan fungsi estetika (memperindah lingkungan kota) dan meningkatkan kenyamanan bertempat tinggal dan beraktivitas di lingkungan tersebut. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Kondisi Penyediaan Infrastruktur 1. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Penyediaan Air Bersih Analisis kuesioner yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat berpendapatan menengah93
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
rendah (58%) puas atas penyediaan air bersih yang dimiliki, dan hanya 30% dan 6% yang merasa cukup puas dan kurang puas. Sebagian besar yang cukup dan kurang puas bertempat tinggal di kawasan pusat dan kawasan selatan, namun mereka yang tidak puas merupakan kelompok yang tidak terlalu di besar di kawasan tersebut. Dilihat dari jenis sumber pemenuhan air bersih, kawasan selatan
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
merupakan kawasan yang memiliki jumlah responden dengan sambungan PDAM yang paling rendah, dan sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah di kawasan ini memperoleh air bersih melalui sumur pribadi yang dimiliki. Ditemukan bahwa di kawasan selatan dan kawasan pusat, sejumlah responden harus membeli air, karena ketiadaan sambungan PDAM dan atau sumur.
Tabel 2 Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Ketersediaan Air Bersih Sangat Puas Jml % Kawasan Timur 3 6% Kawasan Barat 1 2% Kawasan Pusat 3 5,5% Kawasan Selatan 5 9,8% Total 12 5,8% Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
Jml 31 29 31 29 120
Kekurangpuasan yang muncul di kedua kawasan ini diakibatkan oleh masih terbatasnya jangkauan sambungan PDAM sehingga belum mampu menjangkau seluruh kawasan tempat tinggal kelompok masyarakat berpendapatan menengah-rendah di kawasan ini. Selain karena adanya kesulitan dalam memperoleh air bersih, kekurangpuasan tersebut juga disebabkan oleh biaya untuk pemenuhan air bersih, intensitas ketersediaan air, serta kualitas air bersih yang diperoleh. Namun demikian, secara umum masyarakat memiliki persepsi yang baik di dalam perolehan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini diperlihatkan oleh kondisi dimana sebagian besar masyarakat (75%) menyatakan mudah memperoleh air bersih. Pada dasarnya, kemudahan memperoleh air bersih ini juga didukung oleh keterjangkauan biaya pemenuhan air bersih, biayanya relatif terjangkau di keempat kawasan. Hanya sebagian kecil responden di kawasan pusat dan kawasan selatan yang memiliki persepsi 94
Puas % 62% 58% 56,4% 56,9% 58,3%
Cukup Jml % 14 28% 20 40% 16 29,1% 12 23,5% 62 30,1%
Kurang Puas Jml % 2 4% 0 0% 5 9,1% 5 9,8% 12 5,8%
bahwa biaya perolehan air bersih ini cukup memberatkan. Harapan/preferensi utama dari masyarakat terhadap penyediaan air bersih di Kota Semarang adalah aliran air yang lancar. Kualitas air yang lebih baik hanya menempati harapan yang kedua dari masyarakat berpendapatan menengah-rendah, dan murahnya biaya penyediaan air bersih menempati prioritas yang lebih rendah daripada kedua prioritas harapan. Lancarnya penyediaan air merupakan harapan dari sebagian besar masyarakat di seluruh kawasan, baik di kawasan timur (58%), barat (58%), pusat (40%), maupun selatan (48%). Besarnya persentase masyarakat yang menginginkan kualitas air yang lebih baik hanya sebesar 32% di kawasan timur, 22% di kawasan barat, 33% di kawasan pusat, dan 28% di kawasan selatan. 2. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Penyediaan Jaringan Jalan Lingkungan
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
Sebagian besar masyarakat (54%) menyatakan puas terhadap kondisi dan kualitas jalan lingkungan tempat tinggal. Distribusi mereka yang memiliki tingkat kepuasan tinggi umumnya berada di kawasan timur dan barat, sedangkan yang berada di kawasan pusat dan selatan memiliki besaran yang lebih rendah. Sebanyak 34% responden menyatakan cukup dan 10% responden kurang puas terkonsentrasi di kawasan pusat dan selatan. Informasi ini mengindikasikan bahwa kondisi penyediaan jalan lingkungan di kawasan timur dan barat masyarakat berpendapatan menengah-rendah relatif lebih baik daripada yang berada di kawasan pusat dan selatan. Kekurangpuasan yang terjadi, terutama pada kelompok masyarakat di
kawasan pusat dan selatan, disebabkan oleh kondisi jalan lingkungan yang mudah rusak dan lebar jalan yang sempit, serta kondisi perkerasan jalan di masing-masing kawasan yang berbeda kualitasnya atau bahkan dalam kondisi yang buruk. Kondisi jalan yang buruk umumnya diakibatkan oleh jenis perkerasan yang rusak sehingga menjadi campuran antara aspal dan tanah, atau antara aspal dan plesteran, atau pavingblok dan plesteran. Kekurangpuasan masyarakat ini juga berkaitan dengan upaya perbaikan yang biasa dilakukan, yang sebagian besar dilakukan secara swadaya. Kekurangpuasan diakibatkan pula oleh persepsi kapasitas jalan lingkungan yang mereka miliki relatif sempit dan tidak sesuai dengan kebutuhan.
Tabel 3 Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Kondisi Jalan Lingkungan Sangat Puas Puas Cukup Kurang Puas Jml % Jml % Jml % Jml % Kawasan Timur 2 4% 31 62% 15 30% 2 4% Kawasan Barat 1 2% 30 60% 19 38% 0 0% Kawasan Pusat 1 2% 23 41% 23 41% 9 16% Kawasan Selatan 0 0% 29 56% 14 27% 9 17% Total 4 2% 113 54% 71 34% 20 10% Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
Terkait dengan harapan dan preferensi yang dikemukakan masyarakat, sebagian besar masyarakat berharap kepada perbaikan kondisi jalan agar tidak berlubang dan lebih terawat, dan dilakukan pelebaran jalan sehingga tidak macet. Masyarakat di kawasan barat kota memiliki urutan prioritas yang berbeda dengan masyarakat di kawasan lainnya, dimana mereka lebih mengharapkan pelebaran jalan (58%) daripada perbaikan jalan (42%). Masyarakat di kawasan lain lebih mengharapkan perbaikan jalan, yaitu masing-masing 72% di kawasan timur dan pusat kota, serta 68% di kawasan selatan, daripada harapan terhadap pelebaran jalan. Pada dasarnya, preferensi masyarakat terhadap kondisi jalan
tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dan permasalahan lingkungan masingmasing kawasan, dimana berdasarkan hasil kajian sebelumnya, beberapa daerah di kawasan timur dan pusat kota yang memiliki permasalahan lingkungan banjir memiliki kecenderungan jalan mudah rusak. Berbeda dengan permasalahan lingkungan yang dihadapi beberapa daerah di kawasan barat kota dengan masalah macet, sehingga harapan atau preferensi masyarakat adalah pelebaran jalan. Masyarakat kawasan selatan mengharapkan perbaikan dan perawatan jalan serta kelngkapan sarana penunjang, seperti lampu penerangan, pohon peneduh, dan trotoar.
95
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
3. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap Drainase Lingkungan Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kondisi dan fungsi drainase tempat tinggal berada pada tingkat sudah puas dan cukup puas. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar kondisi dan fungsi drainase permukiman di Kota Semarang dapat dikatakan
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
sudah cukup baik, tetapi masih terdapat 24% yang berpendapat kurang puas dan 4% tidak puas. Hal ini mengindikasikan bahwa masih ada drainase yang kurang baik. Biasanya kekurangpuasan ini disebabkan karena drainase tidak mampu menampung debit air terutama saat hujan dan tersumbat banyak sampah.
Tabel 4 Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Kondisi Drainase Lingkungan Kepuasan Sangat Kurang Puas Cukup Tidak Puas Terhadap Puas Puas Kondisi & Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Fungsi Kawasan Timur 0 0% 15 30% 17 34% 18 36% 0 0% Kawasan Barat 1 2% 34 68% 12 24% 3 6% 0 0% Kawasan Pusat 0 0% 11 20% 17 30% 19 34% 9 16% Kawasan Selatan 2 4% 23 44% 17 33% 10 19% 0 0% Total 3 1% 83 40% 63 30% 50 24% 9 4% Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
Masyarakat kawasan timur dan pusat kota memiliki persepsi kurang baik terhadap kondisi jaringan drainase di sekitar lingkungan tempat tinggal, sedangkan sebagian besar masyarakat kawasan barat dan selatan kota memiliki persepsi baik. Beberapa alasannya yaitu adanya sumbatan, kotor/adanya sampah, drainase tidak mampu menampung debit air ketika hujan, kurang pemeliharaan, serta drainase kurang lebar dan tertutup. Masyarakat dengan persepsi kondisi drainase baik beralasan pada aliran air lancar dan tidak ada gangguan / penyumbatan drainase, serta tidak adanya genangan / banjir ketika hujan lebat.
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap Kondisi Penyediaan Pelayanan Publik 1. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap 96
Penyediaan Pelayanan Pendidikan Masyarakat pada umumnya cenderung menyekolahkan anakanaknya di sekolah negeri atau swasta di kawasan sekitar, namun sebagian lainnya menyekolahkan anak di sekolah negeri di luar kawasan tempat tinggal. Ketersediaan fasilitas pendidikan yang dekat dengan tempat tinggal merupakan hal penting dalam mempengaruhi pemilihan sekolah bagi anak, sehingga biaya transportasi sekolah bisa terjangkau. Selain itu, faktor biaya pendidikan yang terjangkau, dan kualitas sekolah juga merupakan faktor yang penting. Hasil kuesioner memperlihatkan bahwa sebagian besar masyarakat merasa puas terhadap pelayanan fasilitas pendidikan, bahkan masyarakat kawasan timur 100% puas. Persepsi yang berbeda diperoleh dari masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan barat kota, dimana 14% menyatakan sangat puas, 56% puas, 28% cukup puas, dan 2% menyatakan kurang puas, karena
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
masih terdapat kawasan tempat tinggal yang jauh dari fasilitas pendidikan. Masyarakat di pusat kota, memiliki persepsi 69% puas, 23% cukup puas, 6% kurang puas, dan 2% tidak
puas. Masyarakat kawasan selatan berpendapat bahwa persepsi tingkat kepuasan sebesar 2% sangat puas, 75% puas, 22% cukup, dan 2% kurang puas.
Tabel 5 Tingkat Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Pendidikan Sangat Kurang Tidak Puas Puas Cukup Puas Puas Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Kawasan Timur 0 0% 50 100% 0 0% 0 0% 0 0% Kawasan Barat 7 14% 28 56% 14 28% 1 2% 0 0% Kawasan Pusat 0 0% 36 69% 12 23% 3 6% 1 2% Kawasan 1 2% 38 75% 11 22% 1 2% 0 0% Selatan Total 8 3,9% 152 74,9% 37 18,2% 5 2,5% 1 0,5% Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
Oleh karena itu, harapan utama dari sebagian besar masyarakat dalam penyediaan fasilitas pendidikan di Kota Semarang adalah terwujudnya fasilitas pendidikan yang berkualitas dan bermutu dengan biaya dan jarak yang terjangkau. Selain itu, sebagian lainnya berharap sarana pendidikan yang ada memiliki fasilitas yang lebih lengkap, kemudian sarana dan prasarana pendidikan yang semakin baik dan terawat. Harapan agar layanan fasilitas pendidikan yang berkualitas dengan biaya dan jarak terjangkau dikemukakan terutama oleh hampir seluruh masyarakat di kawasan timur. Sedangkan di kawasan-kawasan lain, harapan tersebut disuarakan oleh sekitar setengah dari jumlah responden yang ditemui. 2. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap Penyediaan Pelayanan Kesehatan Berdasarkan hasil kuesioner, diperoleh informasi bahwa sebagian besar masyarakat memiliki preferensi untuk berkunjung ke puskesmas ketika membutuhkan pelayanan kesehatan atau berobat. Preferensi terbesar untuk pergi ke puskesmas terdapat pada
kelompok masyarakat di kawasan timur, dimana preferensi ini dilakukan oleh sekitar 78% responden di kawasan tersebut. Sedangkan pada kawasan lainnya, penyediaan pelayanan kesehatan ini terkombinasi oleh pelayanan lainnya, seperti pelayanan dari puskesmas (61%) dan pelayanan dari praktek dokter (23%) di kawasan pusat, puskesmas (55%) dan rumah sakit (18%) serta praktek dokter (18%) di kawasan selatan, dan puskesmas (46%) dan poliklinik/balai pengobatan (30%) serta rumah sakit (18%). Dari analisis kuesioner yang ada, tergali informasi bahwa alasan atau faktor yang mempengaruhi prioritas masyarakat dalam memilih pelayanan kesehatan tersebut sangat beragam. Namun, terdapat tiga buah faktor yang sangat berpengaruh dalam pemilihan pelayanan kesehatan. Faktor utama pertama adalah kualitas layanan dari fasilitas pelayanan yang ada, kedua adalah jarak sarana kesehatan dari tempat tinggal atau kemudahan jangkauannya, dan yang ketiga adalah biaya pelayanan, walaupun kelompokkelompok masyarakat di setiap kawasan bisa memiliki perbedaan bobot dari setiap alasan atau faktor utama tersebut. 97
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
Tabel 6 Preferensi Masyarakat dalam Pemilihan Pelayanan Kesehatan Kawasan Kawasan Selatan Tempat Berobat Ketika Kawasan Timur Kawasan Barat Pusat Sakit Jml % Jml % Jml % Jml % Rumah Sakit 8 16% 9 18% 0 0% 10 18% Puskesmas 39 78% 23 46% 34 61% 30 55% Poliklinik/Balai Pengobatan 1 2% 15 30% 4 7% 5 9% Praktek Dokter 2 4% 3 6% 13 23% 10 18% Bidan 0 0% 0 0% 1 2% 0 0% Tidak berobat dan hanya 0 0% 0 0% 4 7% 0 0% beli obat/jamu
Total Jml 27 126 25 28 1
% 12,8% 59,7% 11,8% 13,3% 0,5%
4
1,9%
Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014
Secara umum, 80% responden di keempat kawasan menunjukkan persepsi yang baik terhadap kondisi pelayanan kesehatan yang mereka miliki, dan 2% menyatakan sangat baik, serta hanya 17% yang menyatakan cukup. Sebagian besar dari masyarakat yang menyatakan bahwa kualitas pelayanan kesehatan masih dalam kategori cukup berada di kawasan barat (28%), kawasan pusat kota (25%) dan kawasan selatan (16%). Masih belum optimalnya penilaian terhadap pelayanan kesehatan ini lebih disebabkan oleh masih cukup besarnya penilaian kurang baik kepada prosedur dan pelayanan Jamkesmas, dimana 18% responden di kawasan selatan menyatakan bahwa prosedur dan pelayanan Jamkesmas di fasilitas kesehatan yang mereka gunakan relatif masih kurang baik, dan sekitar 8% responden di kawasan timur dan 6% di kawasan barat juga menyatakan hal yang sama. Hasil kuesioner memperlihatkan bahwa harapan utama masyarakat dalam pelayanan kesehatan adalah peningkatan kualitas pelayanan. Harapan ini dikemukakan oleh 63% responden di kawasan pusat kota, 62% masing-masing untuk masyarakat di kawasan selatan dan timur, dan 18% di kawasan barat. Selain itu, beberapa harapan lainnya adalah adanya ketersediaan fasilitas kesehatan yang dekat dengan tempat tinggal, keterjangkauan biaya, dan peningkatan penyediaan tenaga serta 98
peralatan kesehatan yang ada di setiap puskesmas. 3. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap Penyediaan Angkutan Umum Hasil analisis kuesioner tentang keterjangkauan lingkungan tempat tinggal dengan angkutan umum, menunjukkan hasil yang berbeda-beda, terutama kawasan timur Kota Semarang. Sebagian besar persepsi masyarakat kawasan timur menyatakan tidak terjangkau (76%) dan sisanya (24%) menyatakan terjangkau. Masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan barat kota menunjukkan hasil yang sebaliknya, yaitu sebanyak 80% menyatakan terjangkau angkutan umum dan sisanya 20% belum terjangkau. Masyarakat kawasan pusat kota menyatakan bahwa 80% terjangkau dan 20% belum terjangkau. Keterjangkauan kawasan selatan kota yaitu 73% sudah terjangkau dan 27% belum terjangkau. Sebagian besar masyarakat yang belum memiliki keterjangkauan angkutan umum di tempat tinggalnya menyatakan bahwa mereka menggunakan kendaraan pribadi jika bepergian. Penggunaan kendaraan pribadi ini merupakan cara yang paling dominan karena sekitar 73% masyarakat kawasan barat kota, 68% masyarakat kawasan timur kota, 64% kawasan pusat kota, dan 28% kawasan selatan kota menggunakan kendaraan pribadi dalam
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
melakukan mobilitasnya sehari-hari. Selain itu, sebagian lain masih tetap menggunakan kendaraan umum walau harus menempuh perjalanan berjalan kaki atau menggunakan ojek terlebih dahulu sebelum mencapai kendaraan umum. Besarnya mereka yang berjalan kaki terlebih dulu adalah sekitar 27% masyarakat kawasan barat, 28% masyarakat kawasan timur, 36% kawasan pusat, dan 56% kawasan selatan. Sedangkan untuk sebagian kecil masyarakat lainnya yang biasanya menggunakan ojek terlebih dahulu adalah sebesar 17% di kawasan selatan dan 3% responden di kawasan timur. Adapun persepsi masyarakat terhadap kondisi angkutan umum, sebagian besar menyatakan bahwa kendaraan umum yang ada cukup baik
dan nyaman. Penilaian seperti ini dilontarkan oleh mereka yang bermukim di kawasan barat kota (84%), 67% di kawasan selatan dan 61% di kawasan pusat kota. Sebagian besar masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan timur kota (58%) kurang mengetahui kondisi angkutan umum karena sebagian besar sangat jarang menggunakan angkutan umum sebagai akibat dari ketiadaan angkutan umum dari lingkungan tempat tinggalnya. Selain itu, masih terdapat 14% responden masing-masing di kawasan barat dan kawasan pusat kota serta 12% responden di kawasan selatan yang menyatakan bahwa kondisi angkutan umum kota berada dalam kategori kurang baik atau tidak baik.
Tabel 7 Keterjangkauan Angkutan Umum Kota kepada Tempat Tinggal Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan Keterjangkauan Total Timur Barat Pusat Selatan Angkutan Umum Jml % Jml % Jml % Jml % Jml % Ya 12 24% 40 80% 45 80% 38 73% 135 65% Tidak 38 76% 10 20% 11 20% 14 27% 73 35% Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
Kurang baiknya layanan angkutan umum tersebut berkaitan dengan frekuensi kedatangan angkutan umumnya. Masing-masing kawasan memiliki variasi frekuensi kedatangan. Sekitar 40% masyarakat di kawasan barat yang memiliki keterjangkauan tertinggi, harus menunggu kedatangan sekitar 10 – 30 menit, dan 42% lainnya harus menunggu sekitar 5 – 10 menit. Di kawasan selatan kota yang juga terjangkau angkutan umum memiliki frekuensi kedatangan setiap setiap 5 – 10 menit sebesar 25%, dan setiap 1030 menit sebesar 10%. Harapan masyarakat di kawasan timur terhadap penyediaan angkutan umum kota adalah agar angkutan umum bisa dikembangkan secara lebih menjangkau semua daerah (44%), sekitar 32% mengharapkan kondisi moda angkutan yang nyaman dan aman
serta biaya yang terjangkau, dan 24% lainnya berharap pada perbaikan waktu operasional agar lebih teratur waktunya di dalam melayani masyarakat. Sedangkan harapan masyarakat di kawasan barat adalah perbaikan waktu operasional (46%), kondisi moda angkutan yang nyaman dan aman (44%) serta biaya yang terjangkau (10%). Di kawasan pusat kota, harapan masyarakat adalah adanya angkutan umum yang aman dan nyaman (47%), harga terjangkau (31%), dan perbaikan operasional (20%), serta penambahan moda dan pemerataan jangkuan (2%). Di kawasan selatan, harapan terkonsentrasi kepada angkutan umum yang nyaman dan aman (54%), pelayanan yang baik dan harga terjangkau (26%), serta perbaikan operasional seperti penambahan modapenertiban-pemerataan jangkuan (20%). 99
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
4. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap Penyediaan Kesempatan Kerja Berdasarkan hasil kuesioner, sekitar 48% responden di kawasan timur menyatakan puas terhadap pekerjaan yang dimiliki. Sedangkan 48% lainnya merasa cukup puas. Di kawasan barat kota terdapat sekitar 22% yang kurang puas, dan di kawasan pusat kota,
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
39% cukup puas dan 11% kurang puas. Sedangkan pada masyarakat kawasan selatan kota, 49% cukup puas, dan 9% kurang puas. Informasi ini menunjukkan bahwa tingkat kepuasan masyarakat kepada pekerjaan yang telah ditekuni masih relatif rendah, karena sebagian besar mengatakan cukup puas karena rendahnya kesempatan untuk memperoleh alternatif pekerjaan lain.
Tabel 8 Tingkat Kepuasan Masyarakat terhadap Pekerjaan yang Digeluti Puas Kurang Tidak Puas Kepuasan Cukup Puas Terhadap Pekerjaan Jml % Jml % Jml % Jml % Kawasan Timur 24 48% 24 48% 2 4% 0 0% Kawasan Barat 7 14% 32 64% 11 22% 0 0% Kawasan Pusat 26 46% 22 39% 6 11% 2 4% Kawasan Selatan 18 42% 21 49% 4 9% 0 0% Total 75 38% 99 50% 23 12% 2 1% Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
Hasil kuesioner mengindikasikan kendala yang dihadapi masyarakat dalam melakukan pekerjaannya, yang berupa kesulitan akses transportasi menuju tempat kerja, baik yang diakibatkan oleh kemacetan maupun diakibatkan oleh persaingan dalam memperoleh angkutan umum yang cukup menyita waktu yang semestinya bisa dibagi antara keluarga dengan pekerjaan. Kesulitan lain yang terungkap adalah tidak mudahnya memperoleh peluang kerja, sehingga umumnya masyarakat berusaha mempertahankan pekerjaan yang dimiliki. Penghasilan yang tidak menentu dan adanya persaingan yang tinggi di dalam perolehan kesempatan kerja juga diungkapkan oleh sebagian masyarakat yang ditemui. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap Kondisi dan Citra Lingkungan dan Kota 1. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap 100
Citra Lingkungan Tempat Tinggalnya Hasil kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki citra yang baik dan hanya sebagian kecil dengan citra kurang baik terhadap lingkungan tempat tinggal. Beberapa citra yang diidentifikasi dari masyarakat tentang lingkungan tempat tinggal adalah citra yang positif seperti nyaman, tentram/tenang, guyub/rukun, aman, asri, maupun citra yang negative seperti panas/gersang, banjir/rob, kumuh, biasa, ramai, dan akses sulit. Kesan lingkungan yang nyaman merupakan kesan lingkungan yang paling banyak diungkapkan oleh masyarakat di keempat kawasan, dan kesan lingkungan yang rukun/guyub merupakan kesan berikutnya yang sering diungkapkan,khususnya oleh masyarakat di kawasan barat dan pusat. Kesan aman dan tentram/tenang juga merupakan kesan lingkungan yang banyak diungkap khususnya pada kelompok masyarakat di kawasan pusat, kawasan timur dan selatan. Namun, khusus untuk
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
kelompok responden di kawasan timur, terdapat salah satu kesan negatif yaitu panas dan gersang sebagai kesan utama yang sering diungkapkan. Beberapa hal yang disukai dari lingkungan tempat tinggal adalah kemudahan akses, guyub/rukun, asri, aman, nyaman, tenang/tentram, dan ramai-strategis. Masyarakat di kawasan barat dan timur lebih mengemukakan
kemudahan akses hal yang paling disukai. Sedangkan di kawasan pusat lebih mengemukakan kenyamanan yang didukung oleh lingkungan yang strategis dan dekat ke pusat pelayanan kota. Sementara itu di kawasan selatan, kondisi yang asri dan nyaman serta lingkungan yang guyub/rukun sebagai hal-hal yang paling disukai.
Tabel 9 Penilaian Masyarakat terhadap Citra Lingkungan tempat Tinggal Citra Sangat Kurang Baik Cukup Lingkungan Baik Baik Tempat Jml % Jml % Jml % Jml % Tinggal Kawasan Timur 0 0% 32 64% 14 28% 4 8% Kawasan Barat 0 0% 29 58% 21 42% 0 0% Kawasan Pusat 0 0% 24 43% 29 52% 3 5% Kawasan 1 2% 41 80% 9 18% 0 0% Selatan Total 1 0.5% 126 60.9% 73 35.3% 7 3.4% Sumber : Analisis Kuesioner, 2014.
Adapun tentang hal-hal yang tidak disukai, masyarakat di kawasan timur mengemukakan banjir/rob serta lingkungan yang polutif, gersang dan panas. Sedangkan di kawasan barat, masyarakat mengemukakan macet / bising dan aksesibilitas yang sulit serta kurangnya fasilitas perumahan. Pada masyarakat di kawasan pusat kota, halhal yang banyak muncul sebagai hal yang tidak disukai dari lingkungan adalah kemacetan dan bising serta banjir-robgenangan yang ada. Sementara itu, masyarakat kawasan selatan kota
menunjukkan kemacetan dan bising serta akses sulit sebagai hal-hal yang paling tidak disukai. 2. Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal terhadap Citra Kota Semarang Sebagian besar responden memberikan penilaian baik kepada Kota Semarang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pembangunan Kota Semarang membangun citra baik sudah terwujud, walau masih ada beberapa catatan yang harus diperbaiki dan ditingkatkan lagi.
Tabel 10 Hal yang Paling Disukai Masyarakat dari Citra Kota Semarang Hal yang Paling Kawasan Kawasan Kawasan Kawasan Disukai dari Timur Barat Pusat Selatan Kesan/Citra Kota Jml % Jml % Jml % Jml % Semarang Unik/Memiliki ciri Khas 8 16% 13 26% 11 20% 0 0% Lingkungan yang nyaman/ tenang/ bersih/ aman/ 22 44% 20 40% 30 54% 22 42% indah Kerukunan antar 2 4% 8 16% 1 2% 0 0% masyarakat/ ramah Kota yang ramai/ strategis 10 20% 2 4% 8 14% 20 38% Kota yang berbukit 7 14% 0 0% 0 0% 0 0% Tidak ada 1 2% 7 14% 6 11% 10 19%
Total Jml
%
32
15%
94
45%
11
5%
40 7 24
19% 3% 12%
Sumber : Analisis Tim Peneliti, 2014.
101
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
Namun, ketika ditanya tentang kata yang paling representatif menggambarkan citra Kota Semarang, sekitar 19% responden menyatakan bahwa kata “panas” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan citra Kota Semarang. Kata “nyaman” dipilih oleh 47,9% responden, dan beberapa kata lain yang dipilih adalah “ramai”, “banjir” dan “modern”. Simpang Lima merupakan kawasan yang paling banyak dipilih sebagai kawasan yang paling merepresentasikan Kota Semarang (67,8%), dan dua kawasan lainnya yaitu Tugu Muda dan Kawasan Kota Lama, juga dipilih masyarakat sebagai tempat yang mampu merepresentasikan Kota Semarang. Dari informasi ini, dapat diindikasikan bahwa kebutuhan akan landmark sebagai elemen penanda citra kota merupakan hal yang perlu diperhatikan di dalam pembangunan Kota Semarang. Hal ini diperlihatkan oleh besarnya masyarakat yang memberikan perhatian kepada landmark yang ada di setiap kawasan yang dipilih sebagai kawasan-kawasan yang paling disukai dan/atau sebagai kawasan yang mampu merepresentasi citra Kota Semarang tersebut. Implikasi kepada Kebijakan Pembangunan Kota Semarang Harapan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan Kota Semarang dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu harapanharapan yang berkaitan dengan pembangunan fisik dan pembangunan non fisik. Pada pembangunan yang berkaitan dengan faktor-faktor fisik kawasan lingkungan tempat tinggal, harapan masyarakat cenderung lebih mengarah kepada perbaikan drainase, peningkatan kualitas persebaran dan pelayanan angkutan umum, dan perbaikan serta pelebaran jalan di 102
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
lingkungan permukiman. Pembangunan di ketiga aspek infrastruktur tersebut merupakan harapan-harapan utama dari masyarakat berpendapatan menengahrendah dari pelaksanaan program pembangunan kota yang dilaksanakan. Sedangkan harapan yang berkaitan dengan aspek non fisik adalah harapan tentang peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan aspek dari salah satu citra lingkungan tempat tinggal mereka yang utama yaitu kenyamanan dan kerukunan/guyub yang menjadi faktorfaktor penting bagi para responden didalam membangun persepsi yang baik pada lingkungan tempat tinggal mereka. Walaupun umumnya masyarakat telah memiliki penilaian yang baik terhadap kondisi drainase di lingkungan tempat tinggal, namun perbaikan drainase masih tetap menjadi harapan yang sangat penting. Hal ini berkaitan dengan potensi bencana yang paling dominan di Kota Semarang, yaitu banjir, rob dan genangan. Terutama pada kelompok responden yang bermukim di kawasan timur dan kawasan pusat kota yang masih banyak banyak yang menyatakan kekurangpuasannya terhadap kondisi drainase di lingkungan tempat tinggalnya, harapan ini menjadi penting mengingat masih banyaknya tempattempat yang memiliki potensi bencana banjir dan/atau rob hingga saat ini. Kondisi saluran drainase yang terkadang meluap hingga ke badan jalan sebagai akibat dari tersumbatnya saluran drainase oleh kotoran menjadi penyebab dari besarnya penilaian kurang baik dari para responden di kawasan timur. Sedangkan penilaian kurang baik dari sebagian responden di kawasan pusat kota kepada kondisi drainase di lingkungan tempat tinggalnya diakibatkan oleh tersumbatnya saluran drainase yang ada, baik oleh kotoran maupun oleh hal-hal lain.
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian adalah peningkatan kualitas sistem transportasi umum. Dalam analisis yang dilakukan kepada kuesioner, ketiadaan atau akses yang sulit kepada sarana transportasi umum ini merupakan salah satu hal yang paling tidak disukai oleh sebagian responden, terutama yang bertempat tinggal di kawasan timur kota. Namun demikian, peningkatan kualitas pelayanan sistem angkutan umum ini tidak saja diharapkan agar mampu memiliki daya jangkau yang lebih baik hingga ke kawasan-kawasan tempat tinggal, tetapi juga diharapkan mampu memberikan kenyamanan dan keamanan di dalam mobilitas masyarakat sehari-hari. Selain itu, perbaikan dan peningkatan jalan lingkungan yang ada. Banyak dari responden yang menyatakan bahwa perbaikan dan perawatan jalan perlu dilakukan secara lebih baik agar jalanjalan lingkungan yang ada tidak berlubang-lubang yang bisa menimbulkan kemacetan dan hambatan ketika mereka menggunakannya untuk melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Ketersediaan dan keterjangkauan angkutan umum di lingkungan tempat tinggal juga merupakan salah satu perhatian utama dari masyarakat di kawasan timur kota, dimana sebagian besar responden mengungkapkan ketidak-puasan terhadap layanan angkutan umum perkotaan sebagai akibat dari banyaknya responden di kawasan tersebut yang merasa bahwa lingkungan tempat tinggalnya tidak terjangkau oleh layanan sistem angkutan umum. Berbeda dengan para responden di kawasan-kawasan lain, dimana sebagian besar di antara mereka mengungkapkan peningkatan frekuensi angkutan umum di kawasan tempat tinggal, masyarakat di kawasan timur lebih mengharapkan peningkatan kualitas pelayanan sistem angkutan umum yang mampu meningkatkan jangkauan ke lingkungan tempat tinggal sehingga dapat meningkatkan
kenyamanan dan keamanan di dalam mobilitas masyarakat sehari-hari. Sementara itu, harapan masyarakat di kawasan lainnya terhadap peningkatan kualitas angkutan umum cenderung lebih memilih perbaikan operasional dari angkutan umum sehingga pelayanan angkutan umum bisa memiliki frekuensi pelayanan yang lebih sering dan bisa lebih nyaman aman dengan harga yang terjangkau. Hal lain yang juga penting untuk dicermati di dalam pengelolaan pembangunan kota adalah perbaikan dan peningkatan jalan lingkungan yang ada. Banyak dari responden yang menyatakan bahwa perbaikan dan pelebaran jalan di lingkungan permukiman perlu dilakukan agar bisa mereduksi kemacetan dan hambatan yang ditimbulkan ketika mereka memanfaatkannya sehari-hari. Selain itu, perbaikan dan perawatan jalan perlu dilakukan secara lebih baik agar jalanjalan lingkungan yang ada tidak berlubang-lubang dan mampu berfungsi dengan baik. Dalam peningkatan kesempatan kerja, pada dasarnya harapan masyarakat yang muncul merupakan suatu respon dari tidak mudahnya masyarakat untuk memperoleh kesempatan kerja. Walaupun sebagian besar responden telah memiliki tingkat kepuasan yang cukup baik terhadap pekerjaannya saat ini, namun kesulitan yang mereka alami di dalam meeperoleh kesempatan kerja membuat harapan yang mereka miliki di dalam peningkatan kesempatan kerja ini menjadi cukup tinggi. Selanjutnya, salah satu implikasi pembangunan yang cukup penting di dari identifikasi persepsi dan preferensi stakeholder lokal ini adalah peningkatan kualitas lingkungan yang nyaman da rukun/guyub di lingkungan permukiman tempat tinggal masyarakat di Kota Semarang. Berdasarkan analisis yang dilakukan, kondisi yang nyaman, dan rukun/guyub merupakan faktor-faktor 103
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
yang sangat penting din dalam membangun citra lingkungan tempat tinggal masyarakat di Kota Semarang. Bahkan nilai baik terhadap citra lingkungan tempat tinggal pada beberapa kelompok responden, seperti para responden di kawasan timur, merupakan nilai yang paling sering muncul daripada nilai-nilai lainnya. Nyaman, aman, kemudahan akses kepada fasilitas-fasilitas publik dan lokasi yang cukup strategis merupakan faktorfaktor penting dari para responden di kawasan timur ini di dalam membangun nilai baik terhadap lingkungan tempat tinggalnya, walaupun mereka juga menyebutkan kondisi yang panas dan gersang sebagai salah satu cirri utama dari kawasan / lingkungan tempat tinggalnya selain adanya potensi gangguan banjir / rob / drainase yang tak mampu berfungsi sewaktu-waktu sebagai salah satu hal yang paling tidak disukai dari para responden di kawasan ini terhadap kondisi yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya. Pada kelompok masyarakat di beberapa kawasan lainnya, kondisi yang nyaman dan guyub juga menjadi faktorfaktor penting di dalam membangun nilai baik dan/atau cukup baik di dalam citra lingkungan tempat tinggal mereka. Faktor-faktor nyaman, tenang dan asri menjadi faktor-faktor utama yang berpengaruh di dalam penilaian baik dan/atau cukup baik pada masyarakat di kawasan selatan, dan di masyarakat di kawasan pusat juga menilai bahwa citra lingkungan tempat tinggal dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor kepedulian warga yang tinggi, rukun / guyub, nyaman dan kondisi lokasi yang strategis. Kesimpulan Kajian terhadap persepsi dan preferensi stakeholder berpeluang menjadi suatu metoda pengenalan aspirasi dan kepentingan masyarakat dari program pelaksanaan 104
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
pembangunan. Penelitian yang dilakukan ini telah menunjukkan keragaman persepsi dan harapan/preferensi dari kelompok-kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan yang berbeda-beda, walaupun seluruh kelompok masyarakat yang diamati memiliki kesamaan latar belakang social ekonomi sebagai kelompok masyarakat berpendapatan menengah-rendah. Dalam studi ini, telah diperlihatkan bahwa perbedaan lokasi tempat tinggal masyarakat, yang memiliki karakteristik yang relative berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain, telah memberikan perbedaan persepsi, kepentingan dan harapan dari setiap kelompok masyarakat. Oleh karena itu, para pengambil keputusan pembangunan perlu mempertimbangkan perbedaan persepsi, kepentingan dan harapan dari para pemangku kepentingan pembangunan ini. Mereka pun perlu memahami perbedaan dan keragaman yang ada di dalam pengambilan keputusannya, selain juga mampu menemukan beberapa kesamaan yang ada seperti alasan-alasan umum untuk bisa memperkenalkan aturan-aturan baru untuk memodifikasi kebijakankebijakan pembangunan lingkungan yang ada. Informasi yang diperoleh dari penelitian ini juga dapat berguna bagi para penyusun kebijakan, terutama kebijakan pembangunan kota dan/atau pengembangan kualitas lingkungan perkotaan yang tidak saja ditujukan untuk peningkatan kualitas pembangunan kota tetapi juga ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup masyarakatnya. Pengenalan dan pemahaman terhadap persepsi, preferensi serta kepentingan dan harapan yang berbeda di dalam masyarakat dapat berperan positif di dalam mempromosikan partisipasi masyarakat di dalam penyusunan keputusan pembangunan, dengan
Riptek Vol. 8, No. 2, Tahun 2014, Hal. 83 - 108
mengikutsertakan peersepsi, preferensi, kepentingan dan harapan public ke dalam proses pengambilan keputusan. Penelitian yang dilakukan kepada stakeholder lokal pembangunan kota, yang didefinisikan sebagai kelompok masyarakat berpendapatan menengahrendah ini juga telah menunjukkan sikap positif dari kelompok masyarakat tersebut terhadap pembangunan kota yang dijalankan di Kota Semarang, melalui pengakuan dan penilaian yang diberikan. Tanggapan positif tersebut tampak dari tingginya penilaian baik yang diberikan oleh masyarakat, walaupun dalam beberapa hal masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang memperoleh nilai manfaat yang lebih rendah daripada kelompok-kelompok masyarakat lainnya di dalam proses pembangunan yang terjadi. Nilai positif ini dapat dimanfaatkan secara positif oleh para pejabat pengambil keputusan pembangunan sebagai dukungan masyarakat di dalam perumusan dan pengembangan kebijakan pembangunan kota, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan permukiman perkotaan, yang akan meningkatkan kualitas penyediaan infrastruktur dan pelayanan kota kepada masyarakat luas termasuk kepada masyarakat berpendapatan menengahrendah yang menjadi responden dari penelitian ini. Ucapan Terima kasih Kajian ini merupakan bagian dari penelitian Kajian Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang yang dilakukan atas kerjasama Bappeda Kota Semarang dengan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. DAFTAR PUSTAKA _____. 2014. Inilah 109 Titik Rawan Bencana di Kota Semarang.
http://semarang.bisnis.com. tanggal 4 Juni 2014).
(diakses
_____. 2014. Waduk Jatibarang, Obyek Wisata Baru Semarang. http://seputarsemarang.com/waduk -jatibarang/. (diakses tanggal 6 November 2014). _____. 2012. 465 Tahun Kota Semarang, Terus Membangun Wujudkan Masyarakat Sejahtera. http://seputarsemarang.com/465tahun-kota-semarang-terusmembangun-wujudkan-masyarakatsejahtera/. (diakses tanggal 3 Juni 2014). Baxter, Judith, She’lerly, Susan M., C. Eby, I. Mason, C. Cortese, & Richard F Hamman. 1998. Social Network Factors Associated with Perceived Quality of Live. Journal of Aging and Health. 10 (3): 287-310. http://jah.sagepub.com. (diakses tanggal 3 Juli 2014). Chavis, David M. dan Abraham Wandersman. 1990. Sense of Community in the Urban Environment: a Catalyst for Participation and Community Development 1. American Journal of Community Psychology . 18 (1). Falce, David & Jonathan Perry. 1995. Quality of Life: Its Definition and Measurement. Research in Development Disability. 16 (1): 5174. Lynch, Kevin.1982. The Image of the City. Cambridge:The MIT Press. McDowell I, dan Newell C. 1996. Measuring Health: A. Guide to rating scales and Questionnaires 2nd ed. New York: Oxford University Press.
105
Persepsi dan Preferensi Stakeholder Lokal Terhadap Pembangunan Kota Semarang
Moons, P., K. Marquet, W.Budts, & S. de geest. 2004. Validity, Reliability, and Responsiveness of the “Schedule for the Evaluation of individual Quality of Live-Direct Weighting” (SEIQoL-DW) in Congenital Heart Disease. Health and Quality of Life Outcomes. http://www.hqlo.com. (diakses tanggal 3 Juli 2014). Myers, D. 1999. Close Relationship and Quality of Life. Dalam Kahneman, D., E. Diener, & N. Schwarz. WellBeing: The Foundations of Hedonic Pyschology. New York: Russel sage Foundation. Papalia, Diane E., Harvey L. S., Ruth Duskin F., & Cameron J.C. 2002. Adult Development and Aging 2nd Ed. New York: The McGrawhill Companies,Inc. Pemerintah Kota Semarang. 2014. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Walikota Semarang Akhir Tahun Anggaran 2013. ___. 2014. Kota Semarang Dalam Angka 2014. ___ 2014. Pembangunan Air Bersih dan Sanitasi bagi Warga Jombang. Diakses pada laman http://semarangkota.go.id. tanggal 4 Juni 2014.
106
(Fadjar Hari Mardiansjah, dkk)
_____. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Semarang Tahun 2010 – 2015. Power, Mick. 2003. EUROHIS: Developing a Common Instrument for Health Survey. Dalam Anatoly Nosikov dan Cl;aire Gudex. Development of A Common Instrument for Quality of Life (p. 145159). IOS Press: Amsterdam. www.euro.who.int. (diakses tanggal 2 Juli 2014). Sugiri, A., 2009. Redressing Equity Issues in Natural Resource-rich Regions: A Theoretical Framework for Sustaining Development in East Kalimantan, Indonesia, p. 107-35 in E. Weber (ed.). Environmental Ethics: Sustainability and Education. Oxford: Inter-disciplinary Press. Wahl, Astrid K., T. Rustoen, Berit Hanestad, A. Lerdal, & T. Moum. 2004. Quality of Life in The General Norwegian Population, Measured by the Quality of Life Scale (QOLS-N). Quality of Life Research. 13 (5) : 1001-1009. www.jstor.org. (diakses tanggal 2 juli 2014). Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu : Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Yogyakarta: Kanisius.