JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
PERPEKTIF EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA (Kajian Literatur Varian dan Locus Media Massa dalam Lingkup Pemberitaan)
Oleh : Razie Razak Dosen Penyiaran Akademik Komunikasi Bina Sarana Informatika Jl. SMA Kapin No.292A. Kalimalang Jakarta Timur Email :
[email protected]
ABSTRACTION The concept of political economy of the mass media have a very strong philosophical cakpan. Especially on the theoretical study of media by using a critical theoretical perspective by referring to the power of media texts as a tool for power. On review of the literature with reference to the concept of political economy of media from Vincent Mosco containing locus variants and the mass media in the scope of reporting. In this study also includes how the structure as a tool of media power and media power as the holder of the economic essence of political and ideological formation. Keywords : Political Economy Media, Media Locus and Varian.
LATAR BELAKANG Setiap orang percaya bahwa media memang memiiki kekuatan persuasi meskipun secara mengejutkan adalah sulit untuk menetapkan secara akurat kekuatan jenis apakah yang dimiliki media. Kekuatan utama media terletak pada fakta bahwa media dapat membentuk apa yang kita ketahui tentang dunia dan dapat menjadi sumber utama untuk berbagai ide dan opini. Media dapat mempengaruhi cara kita berpikir dan bertindak. Kekuatan ini makin besar jika kita mengamati media secara keseluruhan bukan hanya memperhatikan media individual seperti televisi. Media mencakup bagaimana komponen utama dari komunikasi yang diantaranya seperti proses, produksi dan distribusi pesan. Institusi media adalah sumber dari banyak tipe pesan yang kita terima. Media-media ini dapat menanggapi berbagai peristiwa dan opini dalam
masyarakat secara umum, tetapi mereka pada saat yang sama merupakan komposer dan inisiator konsumen. Karena itu, kita perlu mengamati karakter mereka, cara mereka beroperasi, alasan mereka berkomunikasi, untuk memahami bagaimana dan mengapa pesan – pesan tersebut dibentuk. Semua pesan dapat didefinisikan menurut apa yang dikatakan oleh pesan tersebut dan cara pesan tersebut mengatakannya. Setiap pesan menyampaikan suatu makna kepada penerima. Namun, cara pesan itu ditangani memiliki efek yang sangat besar terhadap cara pesan tersebut dipahami, dan bahkan terhadap apa yang dipahami. Pesan pada dasarnya sama tetapi representasi yang berbeda berarti bahwa pesan-pesan tersebut tidak memiliki makna yang benar-benar sama. Semua pesan (terutama media) harus disusun (dienkodekan) dalam sebuah bentuk komunikasi. Bagaimana pesan disusun cenderung mempengaruhi bagaimana pesan tersebut dipahami. 56
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
Sebuah item berita dari masing – masing media tentunya berbeda dari sisi perspektifnya walaupun terkadang memuat pemberitaan yang sama. Hal ini tentunya ketika melihat media massa bukan hanya dipandang dari sisi pengaruh secara empiris data, melainkan juga melihat dari sisi bagaimana pesan tersebut di produksi dan apa yang ada dibalik produksi pesan tersebut. Perspektif media dalam merepresentasikan sebuah peristiwa terkadang mampu mengangkat kisah yang “melebihi” fakta yang dimana media terkadang mencampurkan opini dan berita sehingga berita yang berspektif subjektif kemudian menjadi permasalahan dalam pemberitaan terutama tidak terpenuhinya tuntutan obyektif profesionalitas dan etika media. Tak sedikit kekuatan struktur media ini mampu mempengaruhi persepsi publik. Hal ini tentunya terkait bagaimana makna dalam teks pemberitaan yang dibangun “dikonstruksi” oleh media tersebut. Dengan demikian, produksi media terselubung dalam berbagai hubungan kekuasaan dan berperan dalam memproduksi kepentingan berbagai daya sosial yang kuat, baik memajukan penguasaan maupun memperkuat berbagai individu guna melawan dan berjuang. Tetapi sebuah materialism budaya juga berfokus pada berbagai dampak bendawi dari budaya media, dengan pendapatnya bahwa berbagai citra, pertunjukan, wacana, dan tandanya memiliki dampak material pada audiens. Bagi materialisme budaya, teks-teks media menggoda, memukau, menggerakkan, menempatkan dan memberi pengaruh kepada para audiens mereka. Secara ideal, media massa melayani segala sistem komunikasi pesan dan simbol untuk masyarakat umum hal ini fungsinya untuk menghibur, dan menginformasikan, serta untuk menanamkan individu dengan nilai-nilai, keyakinan, dan kode perilaku yang akan
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
mengintegrasikan mereka ke dalam struktur kelembagaan masyarakat yang lebih luas. Ketika media didominasi oleh gaya pemegang kekuasaan, maka tak jarang media dijadikan sebagai alat propaganda. Begitu pula dalam aspek kapital yang dimana para pemegang kekuasaan dan pemilik kekayaan serta menimbulkan konflik besar antar kepentingan kelas, maka untuk memenuhi peran ini menggunakan propaganda secara sistematis. (Herman & Chomsky,1998 : 01). Media tentunya memiliki pemikiran dan strategi tersendiri dalam membangun wacana pada berita yang akan ditampilkannya. Dugaan media massa akan mengalami pertarungan di ruang redaksi saat mengkonstruksi dan merepresentasikan pemberitaan apalagi bila dikaitkan ideologi yang dimiliki oleh media dan pengaruh faktor-faktor lainnya. Ketika merepresentasikan kelompok-kelompok orang, media juga sering mengatakan berbagai hal tentang budaya, karena kelompok-kelompok orang tersebut dapat termasuk ke dalam budaya atau subkultur tertentu. Aspek kekuatan media disini dibentuk oleh budaya media itu sendiri. Sebuah budaya media telah hadir, di mana citra, suara, dan lensa membantu menghasilkan rajutan kehidupan seharihari, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan-pandangan politik dan sikap sosial, dan memberikan bahan yang digunakan orang untuk membangun identitas pribadi. Budaya media adalah budaya industri, diorganisasi atas model produksi massa dan diproduksi untuk massa audiens berdasarkan tipe (genre), mengikuti rumus, kode dan aturan – aturan yang mapan. Karena itu, media merupakan suatu bentuk budaya komersial dan produknya adalah komoditas yang berusaha menarik laba pribadi yang dihasilkan perusahaan-perusahaan raksasa dengan kepentingan mengumpulkan modal. Budaya media 57
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
membidik masyarakat luas, sehingga harus berputar pada tema-tema dan masalah-masalah kekinian dan amat berhubungan dengan yang sedang digemari saat ini, memberikan suatu hieroglif tentang kehidupan sosial kontemporer. Pertunjukan budaya media mempertontonkan siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak, siapa yang diperbolehkan menggunakan paksaan dan kekuatan dan siapa yang tidak. Mereka mendramatisasi dan mengabsahkan kekuatan pihak yang berkuasa dan menunjukkan kepada yang tak berdaya bahwa jika mereka gagal ikut, mereka akan dipenjara atau dihukum. Karena itu, mempelajari cara memahami, mengintepretasikan dan mengkritik makna dan pesan budaya media adalah hal penting bagi orang-orang yang sejak awal terlahir berkutat di masyarakat media dan konsumen. Budaya media memiliki berbagai dampak materialnya, ketepatangunaannya ; dan salah satu tujuan studi budaya adalah menganalisis bagaimana berbagai teks dan jenis budaya media terentu mempengaruhi para audiensnya, dampak nyata macam apa yang ditimbulkan oleh berbagai artefak budaya media,s erta potensi dampak kontra hegemonic dan keungkinan perlawanan dan perjuangan jenis apa yang juga ditemukan dalam karya-karya budaya media.(Kellner, 2010 : 57) Media juga menginformasikan kepada kita tentang budaya – budaya kita sendiri, generasi muda, sekelompok orang dan lain sebagainya. Apakah yang diinformasikan oleh media merupakan kebenaran adalah persoalan yang lain. Namun, beberapa pandangan tentang budaya-budaya ini direpresentasikan. Terdapat pesan-pesan tentang budayabudaya tersebut. Dalam studi budaya (Cultural Studies) menyatakan bahwa bahasa pada teks bukanlah media netral bagi pembentukan makna dan pengetahuan
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
tentang dunia objek independen yang ‘ada’ diluar bahasa, tapi ia merupakan bagian utama dari makna dan pengetahuan tersebut. Jadi, bahasa memberi makna pada objek material dan praktik sosial yang dibeberkan oleh bahasa kepada kita dan membuat kita bisa memikirkan dalam konteks yang dibatasi oleh bahasa. Proses-proses produksi makna merupakan praktik pemaknaa, dan memahami kebudayaan berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis dalam bahasa sebagai suatu sistem pemaknaan. (Barker, 2004 : 08). Menurut Golding dan Murdock dalam Curran (2010 : 16) Memahami komunikasi dalam pandangan studi budaya ialah fokus pada konstruksi makna – bagaimana makna itu diproduksi, melalui bentuk yang ekspresif dan bagaimana makna itu dinegosiasikan dan didekonstruksikan melalaui paraktek kehidupan sehari-hari (Murdock, 1989). Permaslahan ini menimbulkan satu hal dengan tiga perbedaan, yakni; pertama, yang paling mendalam dan besar-fokus pada analisa teks budaya termasuk produksi makna oleh industri media. Jika diibaratkan dengan model transportasi media, sebagai thriler, opera sabun, atau film dokumenter yang menjadi kendaraan untuk menyampaikan pesan kepada konsumen. Dalam pendekatan studi budaya ini dipahami sebagai mekanisme untuk menciptakan tanda dalam berbagai cara. Pada analisa isi dilihat makna dari perkataan, tindakan kekerasan dalam drama televisi, didefinisikan dalam sebuah tindakan ‘advanced’ (tambahan) yang terlepas dari posisinya didalam teks atau hubungan program terhadap teks yang lain. Studi budaya menegaskan bahwa makna adalah variabel dan tergantung dengan konteks yang disuplai oleh narasi, genre program, dan publisitas program itu sendiri beserta bintangya. Penekanan relasi dari dimensi makna dan konsekuensi mutasinya 58
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
mengikuti riset studi budaya, yang mana audiens menginterpretasikan artefak media serta inkorperasinya dalam pandangan dan gaya hidupnya. Etnografi ini mendukung adanya kreatifitas dari konsumen (lihat willis 1990) dan menawarkan kekuatan model ‘efek’ yang sederhana. Karena memandang anggota audiens sebagai subjek yang aktif, secara kontinu berjuang untuk situasi mereka sendiri daripada sekadar objek yang pasif dari sebuah sistem dominasi produk. Hal ini bagaian dari studi budaya untuk mendapatkan kembali kompleksitas dari praktek populer dan kepercayaan. Sebagai kekuatan dalam gagasan ‘efek’ dan meremehkan adanya kritik terhadap budaya populer sebagai trivia dan manipulasi sangatlah jelas. Bagaimanapun juga bila kita mau melihat, hal ini mudah berkolusi dengan konservatif tanpa kendala dari pilihan konsumen. Dalam pemikiran umum kaum liberal mengenai ‘pasar bebas’, kaum populis studi budaya fokus pada momen pertukaran ketika makna dibawa oleh teks untuk menjumpai makna yang ada dalam referensi pembaca. Pada analisanya, ‘pertemuan’ ini dipindahkan dari konteks dan dipresentasikan sebagai kedaulatan konsumen. John Fiske juga menuliskan, ini sebagai sinyal dari resistensi popular ideologi yang mengadakan perlawanan : atas-bawah melawan bawah-atas. Dalam displin sosial ini dikenal dengan menghadapai kekacauan (Fiske 1989). Pada pandangan studi budaya jelas, persoalan ini ideologi media massa beroperasi untuk mendukung dominasinya. Namun studi budaya masih menyisakan masalah dan menawarkan analisa yakni bagaimana mereka mengoperasikannya sebagai industri? Dan bagaimana organisasi ekonomi dikaitkan dengan produksi dan sirkulasi makna? Meski mengusulkan cara bagaimana orang mengonsumsi pilihan mereka yang telah terstruktur oleh jabatan dalam formasi ekonomi.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Mengeksplorasi dinamisasi adalah tugas utama bagi ekonomi politik kritis komunikasi. Dengan demikian kita bisa mengikuti statement Raymond William yang menyatajan ‘kita seharusnya tidak melihat komponen dari produk tapi kita tinjau dari kondisi prakteknya’. Makna dikonstruksi dalam materi melalui tanda- tanda dan khususnya konvensi-konvensi. Pengkonstruksian ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh audiens serta produser. Makna tersebut bukan merupakan sesuatu yang menyerupai parsel yang dibungkus dan diberikan kepada audiens. Makna tersebut lebih menyerupai cetak biru (Blueprint) untuk suatu struktur yang diharapkan oleh para produser media untuk diikuti oleh audiens dan yang dirancang oleh para produser tersebut secara cermat. Namun, audiens dapat membangun sesuatu yang lain dari desain ini. Audiens bukanlah penerima yang pasif terhadap apa yang ditawarkan oleh media.(Burton, 2008 : 39). Dalam dunia kontemporer, memaknai kerap dibuat oleh institusi yang kita kenal dengn istilah media, yang mana memproduksi makna telah menjadi profesi. Seperti halnya media-memaknai berhubungan dengan orang-orang yang perilakunya terlembaga dengan praktisi pekerja. Hal ini melibatkan munculnya hubungan kekuatan diantara orang-orang dalam pengaturan kelembagaan. Pengungkapan agenda, kepentingandan perjuangan antara orang-orang seperti itu membantu memberi kita wawasan ke dalam dunia makna yang kita lalui. Memahami makna dalam lingkungan kita tidak hanya pekerjan akademik saja. Bagaimanapun juga kegagalan dalam merefleksikan makna berpotensi dapat menimbulkan manipulasi bagi mereka yang merefleksikan proses komunikasi ini., dan mengurangi kapasitas keterlibatan dalam lingkungan demokrasi. Begitu pula dalam pemberitaan media massa, teks dapat membangun ratusan makna dan 59
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
membuahkan interpretasi bebas bagi yang membacanya,sehingga multitafsir menjadi sebuah nilai yang tak beraturan bagi pembaca dan persepsiannya. Bagi mereka yang tertarik dalam pengungkapan makna dalam perspektif kritis terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan, yang pertama dikenal dengan pendekatan studi budaya dan pendekatan ekonomi politik. Studi budaya fokus pada dekonstruksi teks dan sistem koding sebagai upaya menghilangkan ketidakjelasan makna. Ekonomi politik melihat bagaimana makna menjadi ‘nilai dagang’ yang berorientasi perolehan keuntungan dari publik. Berbagai kolam komunikasi telah muncul sebagai kelompok atau struktur makna yang telah beku dari waktu ke waktu. Kolam komunikatif ini adalah gaya komunikasi atau pola sirkulasi yang diambil pada bentuk identifikasi yang kita sebut sebagai masyarakat atau budaya. Kolam makna telah berkembang menjadi ‘budaya global’ yang telah digabungkan dari berbagai variasi sub kolam (atau masyarakat). Makna ini kita gunakan untuk menghasilkan persona, untuk negosiasi dan posisi kita di lingkungan sosial. Tetapi kita juga membantu untuk menciptakan dan meyebarkan makna ini untuk proses hidup. Karena masyarakat dan budaya tidak statis mereka terus menerus menemukan kembali serta berjuang, tiap individu memberikan kontribusi untuk membentuk makna sosial dalam proses komunikasi sehari-hari. Kita tidak dapat menolong tapi hanya mengubah struktur koding yang mana individu berjuang agar masuk akal serta memberikan bentuk terhadap dunia ini. Sebab itulah, kolam makna tadi yang membentuk kita dan pada gilirannya kita dibentuk melalui kehidupan kita. Pergesean kecil dalam kolam makna akan menjadi perbedaan dalam tiap generasi. Budaya kita berubah dan berkembang karena proses komunikasi koding dan dekoding tidak
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
dapat dihitung, kecil, dan transaksi kreatif antar manusia.(Louw, 2001 : 02). Berdasarkan beberapa permasalahan dalam kajian media sebelumnya, maka dalam hal ini, media penting untuk dikaji lebih mendalam secara sistematis baik dari segi pemahaman dasar teori dengan mengkaji dari sisi varian media maupun terapan. Media tentu tidak lepas dari bias – bias makna pada teks dan perspektif maupun persepsi yang ditampilkan. Sehingga kapasitas pemberitaan media massa dapat diamati lebih mendalam dari sisi kajian bagaimana representasi media menjadi alat komodifikasi, dan marginalisasi terhadap aktor berita. Selain itu juga dilihat bagaimana varian media yang dilihat pada komodifikasi peristiwa dan aktor, strukturasi dan locus media serta bagaimana teks dibangun dengan melihat proses gatekeeping media dan juaga penelaahan teks yang disajikan oleh media.
PEMBAHASAN Representasi Media Kajian kaum struktural mengarahkan perhatian pada sistem penandaan (signification) dan penyajian kembali (representation) isi media dengan melihat teks sebagai unit analisis, seperti teks media cetak, elektronik dan media baru. Bagian terbesar dari studi budaya terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial keada dan oleh kita. Benar, unsur utama studi budaya ini dapat dipahami sebagai studi kebudayaan sebagai praktik pemaknaan representasi. Hal ini mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual. Selain itu juga menghendaki penyilidikan tentang cara dihasilkanya makna pada beragam konteks. Representasi dan makna budaya memiliki materialitas tertentu, merek melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, 60
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
buku, majalah, dan program televisi. Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam konteks sosial tertentu. Stuart Hall menyebut representasi sebagai gambaran sesuatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to present”, “to image”, atau “to depict. Menurut Hall, representasi adalah sebuah cara dimana kita memaknai apa yang diberikan pada benda yang digambarkan. Stuart Hall, dalam bukunya Representation : Cultural Representations and Signifying Practices (2004:28), menegaskan bahwa representasi adalah sebuah proses produksi dan pertukaran makna antara manusia atau antar budaya yang menggunakan gambar, simbol dan bahasa. Representasi pada akhirnya menghubungkan antara makna dan bahasa terhadap budaya. Jika digambarkan dalam sirkuit budaya, menurut Hall, menghubungkan antara regulasi, konsumsi, produksi dan identitas ke dalam representasi. Baik representasi dan misrepresentasi tersebut adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, bias terjadi pertama-tama dengan menggunakan bahasa. Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi : ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seseorang atau suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana mestinya atau adanya. Melalui bahasa tindak misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Stuart Hall menggambarkan bahwa bahasa melukiskan relasi encoding dan decoding melalui metafora produksi dan konsumsi. Dalam hal ini peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Bagaimana peristiwa itu dikonstruksi sebagai realitas oleh wartawan/media.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Realitas selalu siap ditandakan ketika kita menganggap dan mengkonstruksi peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas. Selain itu ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Berdasarkan keterangan diatas, kita menggunakan perangkat secara teknis. Dalam bahasa tulis, alat teknis itu adalah kata, kalimat atau proposisi, grafik, dan sebagainya. Ketika merepresentasikan kelompok-kelompok orang, media juga sering mengatakan berbagai hal tentang budaya, karena kelompok – kelompok orang tersebut dapat termasuk ke dalam budaya atau sub kultur tertentu. Salah satu masalah dalam menentukan pesan dan makna ini berasal dari fakta bahwa terdapat rentang materi media seperti itu. Banyak hal yang bergantung pada apa yang dipilih oleh audiens untuk ditonton atau dibaca. Sehingga dari sini perlu bagi kita untuk melakukan pengembangan analisa makna pada media. Mengembangkan sebuah analisa makna berarti menghindari godaan ganda dari strukturasi dan instrumen. Instrumentalisme fokus pada cara kapitalis menggunakan kekuatan ekonomi dengan sistem pasar komersil untuk meyakinkan arus informasi publik sesuai dengan keinginan meraka (kapitalis). Mereka melihat privatisasi kepemilikan media sebagai instrumen kelas dominan. Persoalan ini memberikan argumentasi Edward S. Herman dan Noam Chosky, tentang persetujuan pabrik/industri: ekonomi politik media massa (1988). Metreka mengembangkan apa yang disebut dengan model propaganda dari pemberitaan media. Argumentasinya menyatakan bahwa kekuatan mampu untuk memenempatkan wacana , guna memutuskan apa yang diijinkan untuk dilihat, didengar dan dipikirkan oleh rakyat serta memanage opini publik melalui kampanye propaganda. Pemerintah dengan pebisnis 61
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
elit memiliki akses istimewa kepada redaksi. Pengiklan besar mendukung suratkabar dan program acara TV. Para pemilik media bisa menentukan garis editorial dan sikap budaya surakkabar serta stasiun TV yang mereka miliki. Melalui fokus pada intervensi strategi merekal mengabaikan kontradiksi dalam sistem. Pemilik, pengiklan serta politisi tidak bisa selamanya berbuat sesuai dengan keinginan mereka. Mereka beroperasi dalam struktur yang memaksa fasilitas, menembus batas maupun menawarkan kesempatan. Menganalisa sumber alam akan keterbatasan menjadi tugas kunci utama budaya kritis ekonomi politik. Pada waktu bersamaan sangat penting untuk menghindari bentuk strukturasi yang dibangun berdasar ketidaksukaan, solid, permanen serta tidak dapat diubah. Kita harus melihatnya dalam sebagai formasi dinamis yang secara konstan mereproduksi dan diubah melalui praktek. Dalam pandangannnya mmichel Schudson berargumentasi bahwa ekonomi politik berhubungan dengan hasil dari proses pemberitaan dengan struktur ekonomi redaksi berita, dan ‘kesemua’ itu ada dalam black box yang tidak perlu dibahas (Schudson 1989). Ini keliru. Meskipun beberapa studi membatasi diri kepada analisa struktural, hanya bagian dari cerita yang harus dipaparkan. Menganalisa cara bagaimana makna dibuat dan dibuat ulang melalaui aktifitas produser dan kesetimbangan konsumen melalaui perspektif yang dijelaskan disini. Tujuannya adalah menjelaskan bagaimana hal tersebut (makna) dihasilkan melalaui struktur yang diatur oleh sikap, dan bagaimana sikap yang diatur oleh struktur (Giddens). Ini gilirannnya, membutuhkan pemikiran kita tentang penentuan ekonomi yang lebih fleksibel. Berpegangan pada gagasan Marx, berimplikasi pada segala sesuatu yang bisa dihubungkan dengan kekuatan
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
ekonomi. Kita bisa mengikuti pemikiran Stuart Hall (1983) dalam memandang penentuan dalam menjalankan instansi. Ini bermaksud mengatakan kita berpikir ekonomi dinamis sebagai pemahaman kunci terhadap lingkungan dimana komunikasi berlangsung. Varian Media Pada konteks varian yang digunakan pada pembahasan kajian ini, diantaranya varian strukturalist. Jika kulturalisme memandang makna sebagai kategori sentral dan melihatnya sebagai produk agen manusia aktif, struralisme justru berbicara tentang praktik pemaknaan yang membangun makna sebagai hasil struktur atau keteraturan yang dapat diperkirakan dan berada di luar diri individu. Strukturalisme bersifat anti humanis dalam meminggirkan agen manusia dari inti penyelidikan, lebih memilih bentuk analisis di mana fenomena hanya memiliki makna ketika dikaitkan dengan struktur sistematis yang tidak ada individu yang menjadi sumbernya. Pemahaman strukturalis terhadap kebudayaan menaruh perhatian pada “sistem relasi’ struktur yang mendasarinya (bahasa) dan tata bahasa yang memungkinkan terciptanya makna. (Barker, 2004 : 17) Disini, penulis menggunakan asumsi the philosophy of meaning yang dimana locus pada penulisan dengan mengacu pada teks yang melihat bagaimana struktur bahasa yang dibangun oleh media massa, kemudian peran penulis dengan memaknai teks melalui struktur yang dibangun tersebut, diantaranya dengan tidak mengabaikan sense penulis namun tetap mengacu pada metode yang objektif melalui struktur analisis bahasa melalui pendekatan wacana dan pemaknaan teks pada wacana media untuk melihat bagaimana representasi tersebut dibangun oleh media dalam menyikapi suatu peristiwa. Penyudutan sisi aktor dalam media berakar dari struktur teks yang disusun 62
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
oleh media. Keberadaan teks ini menjadi ‘alat’ untuk membentuk perspektif khalayak dalam menyikapi permasalahan pemberitaan sebagai tujuan untuk memantau kekuasaan bahkan untuk menggunakan kekuasaan dari media itu sendiri. Menurut Saussure, makna diproduksi melalui proses seleksi dan kombinasi tanda-tanda di sekitar dua poros, yaitu poros sintagmatis dan poros paradigmatik. Saussure cukup kritis dalam mengembangkan strukturalisme. Dia menyatakan bahwa makna terbangun melalui sistem perbedaan terstruktur pada bahasa. Pemaknaan lebih sebagai hasil dari aturan dan kovensi yang mengatur bahasa (langue) ketimbang sebagai pemakaian dan ujaran spesifik yang dilakukan individu dalam kehidupan sehari – hari (parole). Selama ini makna selalu makna selalu dipahami oleh kaum strukturalis sebagai produk dari kehadiran sang subjek (Ada, kesadaran, roh, rasio). Makna diidentifikasikan dengan momen fonosentris (Saussure) atau intensionalitas yang berawal dari “kehadiran absolut” (Husserl). Sebaliknya di ujung seberang sana tanda bukanlah apa-apa selain representasi dari makna yang tidak dapat berdiri sendiri dan terpisah dari kehadiran subjek yang membentuknya. Tanda dengan kata lain, bermain pada level permukaan yang elementer dan bukan merupakan fondasi dari bangunan teks. Jika sebuah teks diibaratkan dengan panggung sandiwara maka tanda adalah dekorasi yang membuat panggung lebih megah. Tapi dekorasi hanya unsur pelengkap dari lakon dan bukan alasan mengapa seseorang harus menonton sebuah pertunjukan. Dengan memilah makna dan tanda secara hierarkis dan oposisional, strukturalisme ingin menegaskan pentingnya momen fonosentris dalam bahasa. Fonosentrisme menjembatani oposisi makna/tanda dalam rangka membentuk kembali teks secara utuh.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Dalam fungsinya sebagai mediator makna/tanda, momen fonosentrisme mirip dengan kerja Aufhebung dalam konsep Hegel, yaitu mempertemukan dua hal yang berlawanan untuk mencapai kesempurnaan yang lebih tinggi. Saussure dan strukturalismenya secara umum, lebih banyak menaruh perhatian pada struktur bahasa yang memungkinkan performa linguistik ketimbang performa yang sebenarnya dalam variasi tanpa batas. Bahasa merupakan bagian dari kehidupan sosial sehingga fungsi bahasa ditentukan oleh kesepakatan mengenai aturan atau kaidah-kaidah yang dibangun masyaraatnya yang disebut dengan parole. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam praktiknya sebagai bentuk perwujudan parole disebut langue. Minat strukturalisme untuk menarik simpul-simpul struktur dalam aktivitas berbahasa sebenarnya sudah menandakan kematian subjek. Dengan menelaah bahasa dalam kerangka sistem, tak ada lagi yang menaungi subjek selain relasi-relasi yang mempertautkan berbagai sistem penandaan. Penekanan Saussure bahwa bahasa adalah bentuk, dan bukan substansi, mempertegas bahwa kematian subjek sudah di ambang mata dan filsafat sudah tidak bisa lagi menoleh pada antroposentrisme. Pencerahan untuk mempertahankan dirinya sebagai penguasa tunggal dalam medan pemaknaan yang kian lebar dan tak terbendung. Sistem bahasa memiliki elemen – elemen di mana hubungan antarelemen dalam sistem merupakan struktur sintagmatik sedang keterkaitan antarelemen di luar sistem merupakan struktur paradigmatik. Pemikiran strukturalisme bahasa tersebut kemudian mempengaruhi pemikiran tentang kehidupan masyarakat dan analisis bahasa digunakan dalam menganalisis bidang ilmu sosial dan budaya. Secara umum yang dimaksud struktur dalam 63
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
strukturalisme merupakan kerangka pemikiran yang menganggap bahwa keteraturan dan rambu dalam kehidupan bisa memelihara dan memberikan arti pada kehidupan masyarakat. Berdasarkan konsep struktur tadi kajian kaum struktural senantiasa memandang aturan – aturan atau landasan media yang menentukan arah praktik media. (Rusadi, 2015 : 13 – 14) Lois Althusser (1971) mengambil gagasan Saussure mengenai struktur linguistik dan menggunakannya untuk mengembangkan idenya mengenai Ideological State Apparatus (ISA). Ideologi dominan/makna yang dipandang sebagai hal tetap atau kode yang akan masuk dalam kepala kita melalui ISA. Melalui dunia Althusserian-pandangan, kekuasaan berasal dari kontrol ISA. Agensi manusia diberikan lingkup yang kecil dalam pandangan struktural dan subjektifis komunikasi manusia. (Louw, 2001 : 11). Namun pandangan strukturalisme ini kemudian juga dikritik oleh Althusser dan kelompoknya dan kemudian memperbarui pandangan Marx tersebut bahwa ideologi merupakan representasi dari hubungan imajiner antara individu dengan kondisi nyata eksistensnya. Jadi, ideologi memiliki posisi otonom dan tidak ditentukan oleh ekonomi. Locus Media Pembahasan pada penulisan ini locus kajian media disini menggunakan beberapa locus seperti teks. Tentunya teks disini terkait dengan bahasa. Bahasa adalah organisme. Kata – kata berinteraksi, menyerap, diserap, dan berbiak. Dalam konteks bahasa, apa yang teks tak lebih dari himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat, sehingga sebuah teks ketika dibaca bisa mengungkapkan makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, dari sudut pandang mazhab,
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
transendentalisme hermeneutik, kebenaran yang lebih konsisten justru ketika tertuang dalam teks, bukannya dalam diri pengarangnya yang kadangkala labil dan situasional. Teks sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari – hari manusia. Jika kita memahami kegunaan teks sebagai suatu tanda yang sudah disepakati dalam konteks komunikasi sejak berabad-abad lamanya. Peranan teks dalam kehidupan manusia tidak dapat dikatakan sebagai suatu nilai yang sederhana karena di dalam balutan era seperti saat ini teks memiliki peran penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Seiring kebebasan berpendapat oleh publik dan keterbukaan informasi, masyarakat bebas untuk menuangkan segala komunikasi yang diutarakan dengan atau tanpa makna khusus di dalamnya. Teks juga sebagai realitas yang mampu membentuk beragam aspek kehidupan seseorang. Meski begitu, titik lemah ini kemudian memiliki kelemahan seperti teks juga seringkali disalah makna kan hingga kerap memunculkan kesenjangan. Kesenjangan sebagai wujud pengaruh teks yang dimulti tafsir dengan berbagai sudut pandang yang berbeda-beda sehingga ketidaksepahaman atas suatu teks kerap menjadi permasalahan. Dicontohkan pada salah penafsiran teks Undang-Undang atas ketentuan hukum yang berlaku kerapkali menjadi pedebatan dengan mempertahankan argumen sesuai dengan kepentingan masing-masing. Selain itu penafsiran teks kitab suci yang saat ini juga masih menjadi perdebatan atas dalil yang benar atau tidak. Semula Teks tidak pernah menduduki posisi yang mapan sepanjang zaman. Selama abad ke 19, ketika kaum Romantik dan Ekspresionis mendominasi praktik kajian teks, perhatian utama teori dan studi teks terfokus kepada pengarang sebagai penghasil karya sastra atau kitab ajaran. Pada era modern, teks media dan kaitannya dengan industri media juga 64
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
menjadi studi khusus yang mengkaji tentang bagaimana media memiliki peran utuh pembentuk ideology dan sebagai ‘lokomotif’ tangguh untuk menarik publik sebagai ‘gerbong’ atau pengikut dari isu dan perspektif yang ditanamkan. Penguatan tanda pada suatu teks meski sederhana dalam membuatnya. Tidak menjamin bahwa teks tersebut akan dapat memberikan makna secara jelas kepada pembaca atau pendengarnya apabila teks dibacakan. Jika ditelaah secara mendalam, pembuatan teks sebenarnya tidaklah sesederhana yang dipikirkan. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana proses ketidaksederhanaan tersebut adalah melalui proses berpikir. Mengacu pada pemikiran filosof dalam menyampaikan dasar-dasar pemikirannya yang merujuk pada sebuah kebenaran sejati yang disebarkannya melalui sebuah teks. Tentu tidak mudah bagi para filosof dalam menyampaikannya karena harus memperhatikan beberapa hal selama proses penulisan yang diantaranya memperhatikan struktur penulisan, kemudian penataan bahasa agar mudah dipahami oleh orang lain dan yang terpenting adalah membuat teks yang mampu memberikan efek pesan yang kuat dan berpengaruh pada sebuah tindak lanjut perilaku manusia dan mampu membentuk sebuah ideologi dalam berpikir maupun dalam menentukan sebuah kebijakan. Menurut Hidayat dalam Sobur (2005 : 55) dalam pengertian pandangan Ricouer, pengertian teks sebatas bentuk tulisan masih bisa didiskusikan lagi. Jika teks adalah rekaman dari sebuah wacana. Dalam membaca, seseorang diharapkan untuk melakukan dialog imajinatif dengan penulisnya, meskipun antara keduanya hidup dalam kurun waktu serta tempat yang berbeda. Maka disinilah kita dihadapkan pada sebuah prasangka hermeneutik. Jika sebuah teks tidak diteliti dan diinterogasi secara kritis, bisa – bisa kesadaran kognitif kita akan dijajah oleh teks.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
KERANGKA TEORITIS Strukturasi merupakan sebuah konsep yang dikembangkan paling mencolok di dalam karya-karya sosiologi Anthony Giddens (1984). Awalnya, Giddens menghadirkan teori strukturasi sebagai sebuah upaya untuk menjembatani apa yang dia rasa sebagai jurang antara perspektif teoretis yang melatardepani struktur dan menekankan pada tindakan dan agensi. Ini meliputi jurang (gap) antara sebagai contoh sejumlah teori struktural yang terdapat di dalam karya Durkheim, Levi Strauss, dan Althusser, dan persektif-perspektif (teori) berorientasi tindakan yang dibentangkan para sosiolog, termasuk Marx Weber, dan sejumlah teoretisi yang berorientasi fenomenologis seperti Schultz dan Gadamer. Untuk mencapai tujuan ini, Giddens mengusulkan untuk mempertimbangkan struktur sebagai sebuah dualitas, yakni berupa aturanaturan yang mengekang (constraining rules) dan sumberdaya-sumberdaya yang membebaskan (enabling resources). Tidak lebih sebagai perancah keras yang mengontrol dan memberi bentuk-bentuk pada kehidupan sosial, struktur itu membentuk tindakan dan direproduksi olehnya. Dalam hal ini, sruktur dan tindakan itu saling terhubung dalam pembentukan pola kehidupan sosial yang berlangsung terus menerus. Sebagaimana yang diakui oleh Giddens sendiri, konsep strukturasi itu bukan sesuatu yang baru dalam pemikiran sosial. Ini memang merupakan komponen utama dalam karya historisnya Marx, ia mengelaborasi dalam sebuah frase yang baik, bahwa (menurutnya) orang membuat sejarah, tetapi tidak di bawah kondisi pembuatan milik mereka. Konsep pada strukturasi terbagi dalam dua konsep yaitu ‘struktur’, ‘sistem’ dan ‘dualitas struktur’. Gagasan struktur (atau ‘struktur sosial’) tentu saja sangat penting dalam tulisan – tulisan 65
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
kebanyakan penulis fungsionalis dan telah memberikan andilnya pada tradisi ‘strukturalisme’, namun tampaknya tidak ada konsep yang paling cocok dengan tuntutan – tuntutan teori sosial. Konsepsi – konsepsi seperti itu berhubungan dengan dualism subyek dan obyek sosial : di sini ‘struktur’ ternyata sebagai sesuatu yang bersifat ‘eksternal’ bagi tindakan manusia, sebagai sumber yang mengekang (constraint) prakarsa bebas subyek yang disusun secara mandiri.(Giddens, 2011 : 29) Kasus yang selalu muncul adalah bahwa adalah bahwa aktivitas sehari – hari aktor – aktor sosial ternyata mempergunakan dan mereproduksi sifat – sifat structural sistem – sistem sosial yang lebih luas. ‘Reproduksi sosial’ hendaknya tidak disamakan dengan konsolidasi kohesi sosial. Lokasi aktor dan kolektivitas pada sektor atau kawasan yang berbeda – beda dalam sistem sosial yang lebih luas cakupannya jelas mempengaruhi dampak perilaku kebiasaannya pada integrasi totalitas kemasyarakatan. Hal ini kita mencapai batas – batas contoh linguistik yang mungkin digunakan untuk menggambarkan konsep dualitas struktur. Penjelasan yang teliti tentang masalah – masalah analisis sosial bisa diambil dari kajian kualitas keberulangan tuturan dan bahasa. Ketika kita menghasilkan ujara gramatikal, kita menggunakan aturan – aturan sintaksis yang sama sebagai aturan- aturan yang dapat membantu menghasilkan ujaran. Bukan merupakan masalah yang berhubungan dengan konsep dualitas struktur, melainkan berkaitan dengan bagaimana sistem sosial, terutama ‘masyarakat’ yang harus dikonseptualisasikan. Tabel 1. Dualitas Struktur
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Media mampu memposisikan diri sebagai alat yang mampu merubah struktur sistem sosial dengan me re produksi (produksi kembali) sistem sosial yang ada dengan menjadikan bahasa sebagai akar struktur media dengan memainkan peran kekuasaan informasi. Tentunya hal ini tidak lepas dari bagaimana pemilik media dalam organisasi media secara masif mampu memproyeksikan media untuk ‘menyusup’ dan ‘berbaur’ dalam sistem sosial. Persoalan mengenai organisasi media akan terkait pada kekuatan media yang dalam praktiknya akan tergantung pada pengendalian media. Murdock (1982) dalam Rusadi (2005 : 21), melihat media sebagai suatu badan usaha besar, industri komunikasi yang tidak sekadar menghasilkan produk berupa barang dan jasa, tetapi lebih dari itu. Industri komunikasi menggambarkan dunia kontemporer, imaji tentang kehidupan indah yang semuanya berperan penting dalam mengarahkan kesadaran manusia. Kesemuanya menyebabkan isu pengendalian (control) media mengarah pada hubungan antara faktor ekonomi dan budaya. Organisasi media memiliki otoritas penuh untuk memainkan isu peristiwa. Hal ini mengingat satu dari Fourth Theory of the Press (Empat Teori Pers), Teori Liberlisme yang menegaskan pentingnya kebebasan pers dan kebebasan media dalam menentukan sendiri kebijakannya terutama kebijakan keredaksian dalam menentukan sudut pandang berita ataupun program. Di Indonesia sendiri sudah mengacu pada UU.No 40/1999 tentang kebebasan pers dan juga mengatasnamakan Pers Pancasila, sehingga kepemilikan media atau organisasi media memiliki otoritas penuh dalam memainkan isu peristiwa dan menentukan sudut pandang berita. Kebebasan komunikasi memiliki dua aspek, yaitu menawarkan serangkaian suara dan respons terhadap berbagai kebutuhan atau tuntutan. Untuk 66
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
mengetahui keuntungan dari kebebasan berekspresi dan publikasi, dibutuhkan beberapa kondisi tertentu. Harus ada akses terhadap saluran berekspresi dan juga kesempatan untuk menerima berbagai jennies informasi. Kondisi struktural utama untuk kebebasan media efektif adalah sebagai berikut : (McQuail, 2011 : 214). 1. Ketiadaannya sensor, perizinan, atau control lain oleh pemerintah sehingga terdapat hak yang bebas rintangan untuk menerbitkan dan menyiarkan berita dan opini, serta tidak adanya kewajiban untuk menerbitkan apa yang tidak diinginkan. 2. Hak dan kesempatan yang setara untuk warga Negara untuk memiliki akses kepada saluran berekspresi dan publikasi sebagaimana akses sebagai penerima (hak untuk berkomunikasi). 3. Kemandirian yang nyata dari control berlebihan dan campur tangan pemilik dan kepentingan politik atau ekonomi dari luar. 4. Sistem yang kompetitif dengan batasan terhadap konsentrasi media dan lintas kepemilikan. 5. Kebebasan media berita untuk mengambil informasi dari sumber yang relevan. Tidak ada Undang – Undang khusus yang membahas bagaimana peran pemilik media terhadao organisasi media. Pandangan dari McQuail ini kemudian menjadi kritik bahwa kepentingan pemilik media sebagai kapitalis tidak akan pernah melepaskan perannya. Sehingga strukturasi dalam media masih memainkan peran penting ekonomi politik, seperti halnya pemberitaan mengenai kasus – kasus tertentu di media massa. Salah satu karakteristik penting teori strukturasi adalah terdepan dalam melakukan perubahan sosial, yang dilihat sebagai proses yang ada di mana-mana yang menggambarkan bagaimana struktur diproduksi dan reproduksi oleh
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
agen-agen manusia yang bertindak melalui perantara struktur-struktur tersebut. Konsep strukturasi merespons kritisisme yang diarahkan pemikiran fungsionalis, institusional, dan strukturalis yang cepat keluar dari kecenderungannya pada struktur-struktur saat ini karena terbentuk secara penuh (sempurna), menentukan entitas. Pendekatan-pendekatan ini telah berkontribusi penting pada pemahaman tentang beroperasinya (cara kerja) struktur, tetapi pendekatan tersebut tidak memberikan sebuah laporan yang cukup tentang perubahan sosial. Dalam mempertimbangkan hubungan antara struktur dan agen, kita juga perlu memeriksa hubungan antara pemeliharaan struktur dan sesuatu yang tak bisa diacuhkan dari perubahan sosial.(Mosco,2009 : 187) Problem utama dari teori strukturasi Giddens adalah bahwa teori tersebut cenderung menonjolkan agensi individu, mengabaikan konsepsi struktur yang membatasi seperangkat aturan operasi dan perbekalan sumber daya yang digunakan agen-agen individu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Konsepsi Giddens tentang strukturasi tidak selalu konsisten, tetapi problem utamanya berasal dari persektif ekonomi politik yang memisahkan strukturasi dari sebuah pemahaman tentang kekuasaan dan secara lebih umum dari pendekatan kritis tentang masyarakat. Terdapat banyak perbedaan macam aturan operasi termasuk, sebagaimana Thompson mencatat bahwa, aturan moral, aturan tata bahasa, aturan etiket, dan lain sebagainya. Tak dapat disangkal, terhadap sejumlah referensi yang mungkin membingungkan ini, Giddens tidak memberikan tanggapan yang memuaskan, dan tidak menawarkan pengertian yang gamblang mengenai apa aturan-aturan sosial itu dengan jelas, mungkin dikarenakan ketegasan aturanaturan sosial tersebut akan menyulitkan dirinya menjadikan teori strukturasi 67
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
sebagai teori transhistoris yang secara esensial beroposisi pada Marx. Seseorang dapat mengatakan hal yang sama tentang sumber daya, yang dapat memasukkan apapun dari pelayanan konseling yang ditawarkan oleh seorang petugas kesejahteraan sosial untuk komoditas masa depan yang diperdagangkan di pertukaran merkantili Chicago. Juga, pengaturan sumberdaya dalam bentuk khusus akan mengistimewakan tipe sumberdaya tersebut, seperti sumberdaya politik, melebihi sumber daya lain. Dengan cara demikian penyusunan sebuah teori umum tentang kehidupan sosial ke dalam bacaan khusus secara historis dari satu di antara banyak manifestasi. Bacaan ekonomi politik tentang strukturasi hanya membenarkan hal tersebut. Secara khusus, ekonomi politik menguasai gagasan umum Giddens tentang dualitas struktur dan tindakan, gagasan tersebut memberikan bobot lebih besar pada kekuasaan dan pada inkorporasi strukturasi ke dalam sebuah pendekatan kritis pada analisis sosial. Representasi tak lepas dari peran struktur dari media itu sendiri. Representasi dipandang media sebagai hasil (ouput) terhadap relasi – relasi gerakan sosial. Struktur mampu memberikan persepsi dan pandangan yang dihasilkan dari produksi budaya media itu sendiri sebagai upaya media memainkan peran untuk membentuk ideologinya.
PENUTUP Produksi komunikasi, bukanlah refleksi sederhana dari kontrol kepentingan bagi mereka yang memiliki ataupun mengkontrol jangkauan modal dan peralatan yang dapat me make up makna dengan barang-barang budaya yang dibuat dan disitribusi. Media tempat dimana masyarakat bekerja adalah lapangan dari kode dan ideologi
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
profesional yang ada aspirasi personal dan sosial. Peningkatan jumlah produksi budaya disumbang oleh korporasi besar yang telah sejak lama menaruh perhatian dengan teori demokrasi. Mereka melihat kontradiksi fundamental antara idealnya media publik harus beroperasi sebagai ruang publik dan realitas pusat pribadi pemilik. Mereka khawatir para pemilik akan menggunakan hak prioritasnya guna membatasi arus dari informasi dan debat terbuka sebagai ketergantungan dari demokrasi. Tidak hanya pemilik sperti halnya Pullitzer dan Hearst di Inggris yang memiliki rantai sirkulasi suratkabar yang besar, tapi mereka secara jelas tidak memiliki keraguan untuk menggunakan media dalam rangla mempromosikan kehendak politiknya atau menjelekan orang yang tidak setuju dengan mereka (pemilik media). Ketika ekonomi politik telah memberikan perhatian pada agensi, proses, dan praktik sosial, ia cenderung fokus ada kelas sosial. Terdapat alasanalasan yang baik untuk membertimbangkan strukturasi kelas menjadi titik masuk utama untuk memahami kehidupan sosial, sebagai studi mendokumentasikan pembagian kelas secara terus menerus dalam menegaskan ekonomi politik komunikasi. Namun, terdapat dimensi lain strukturasi yang melengkapi dan bertentangan dengan analisis kelas sosial, termasuk gender, ras, dan gerakan-gerakan sosial, yang didasarkan pada isu-isu publik seperti penggunaan media massa. Bersama dengan kelas sosial, strukturasi ini merupakan bagian dari relasi sosial komunikasi. Berdasarkan penggunaan teori strukturasi ini, kita dapat berpikir tentang masyarakat sebagai sebuah bidang tindakan-tindakan yang dibentuk yang diprakarsai oleh agen-agen yang bersama-sama saling membentuk kelas, gender, ras, dan relasi-relasi gerakan sosial. Menurut pandangan ini, 68
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
masyarakat eksis, jika tidak sebagai sesuatu tanpa kelimpahan, seluruhnya terintegrasi, setidaknya sebagai bidang tempat berbagai macam proses satu sama lain membentuk hubungan-hubungan sosial yang bisa diidentifikasi. Fokus pada kelas dan relasi-relasi gerakan sosial tidak akan berarti jika sesuatu yang esensial bagi yang lainnya itu dapat dikurangi. Formulasi ini cukup menyarankan bahwa ini merupakan pintu gerbang untuk menganalisis strukturasi dan bahwa bidang sosial itu tidak sematamata sebuah rangkaian kesatuan yang ditandai dengan kategori-kategori yang memiliki nilai nominal. Selanjutnya, proses strukturasi itu membentuk hegemoni, yang didefiniskan sebagai yang diterima selaku benar (apa adanya), akal sehat, cara-cara berpikir yang diterima tentang dunia. Hegemoni memasukkan apapun dari kosmologi, melalui etika (apa yang membedakan yang benar dari yang salah ?), tentang praktik sosial (apa yang membentuk perilaku baik?), yang disatukan sekaligus dipertentangkan dalam kehidupan seharihari. Ini merupakan jaringan hidup tentang yang satu sama lain membentuk makna dan nilai. Representasi sebagai bagian dari ouput pandangan strukturalis dalam menyikapi sebuah realitas dengan menggunakan pendekatan struktur makna namun analisis yang digunakan tidak bersifat metode bebas dalam upaya menguak ideology yang digunakan media. Pada varian strukturalis berbicara tentang praktik pemaknaan yang membangun makna sebagai hasil struktur atau keteraturan yang dapat diperkirakan dan berada di luar diri individu. Sehingga pandangan strukturalis mengabaikan kebebasan kehendak atau sense dari individu. Sehingga upaya individu untuk memahami sebuah realitas tetap ‘dipaksa’ untuk berada koridor yang ditentukan tidak mengacu pada sense kehendak bebas dalam menetapkan pemaknaan sebuah teks.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Lokus media disini lebih kepada teks yang dimana teks media lebih memainkan peranan dalam mewujudkan ideologi media tersebut. Media mengimplementasikan kekuasaannya melalui teks. Sehingga memiliki dua kekuatan utama yaitu kekuatan teks dan pengetahuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault. Kerangka teori yang dibangun dalam melihat bagaimana media merepresentasikan aktor melalui isu – isu yang dibangunnya juga tak lepas dari konsep struktur media. Hal ini Giddens menegaskan bahwa kita perlu untuk mempertimbangkan struktur sebagai sebuah dualitas, yakni berupa aturanaturan yang mengekang (constraining rules) dan sumberdaya-sumberdaya yang membebaskan (enabling resources). Tidak lebih sebagai perancah keras yang mengontrol dan memberi bentuk-bentuk pada kehidupan sosial, struktur itu membentuk tindakan dan direproduksi olehnya. Dalam hal ini, sruktur dan tindakan itu saling terhubung dalam pembentukan pola kehidupan sosial yang berlangsung terus menerus. Konsep strukturasi Giddens merespons kritisisme yang diarahkan pemikiran fungsionalis, institusional, dan strukturalis yang cepat keluar dari kecenderungannya pada struktur-struktur saat ini karena terbentuk secara penuh (sempurna), menentukan entitas. Salah satu karakteristik penting teori strukturasi adalah terdepan dalam melakukan perubahan sosial, yang dilihat sebagai proses yang ada di mana-mana yang menggambarkan bagaimana struktur diproduksi dan reproduksi oleh agenagen manusia yang bertindak melalui perantara struktur-struktur tersebut. Struktur sosial sebagai bentuk yang terbangun sudah lama pada sistem sosial. Ketika media sebagai agen ide yang dihasilkan dari pemikiran yang dimana media juga industri budaya menjadikan struktur untuk dapat memasuki sistem sosial dengan kekuasaan atas pemilik 69
JURNAL LENTERA KOMUNIKASI
media dan melihat bagaimana kepentingan ekonomi dan politik.
Vol.2 No.1, Agustus 2016 / ISSN 2442-2991
Louw, Eric. 2001. The Media and Cultural Production. London : Sage Publication.
DAFTAR PUSTAKA Barker, Chris. 2004. Cultural Studies (Teori dan Praktik). Jakarta : Kreasi Wacana. Bennett, Tony melalui artikel “Theories of the media, theories of society” dalam Gurevitch, Michael, Tony Benett, James Curran and Janet Wollacot. 2005. Culture, Society, and The Media. London and New York : Routledge. Burton, Graeme. 2008. Yang Tersembunyi di Balik Media : Pengantar Kepada Kajian Media. Yogyakarta: Jalasutra. Fashri, Fauzi. 2014. Pierre Bourdie (Politik Kuasa Simbol). Yogyakarta : Jalasutra. Giddens, Anthony. 2011. The Constitution of Society (Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial). Yogyakarta : Penerbit Pedati
McQuail, Dennis. 2012. Teori Komunikasi Massa Buku 1 Ed.6. Jakarta : Penerbit Salemba Empat & Sage. Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication (2nd Edition). London : Sage Publication. Rusadi, Udi. 2015. Kajian Media : Isu Ideologis. Jakarta : Rajawali Press. Siebert, Fred.,Wilbur Schramm & Theodore Peterson. 1986. .Empat Teori Pers. Jakarta : Penerbit PT Intermasa. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media (Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Anaisis Framing). Bandung : Remaja Rosdakarya.
Golding, Peter and Graham Murdock. 1997. The Political Economy of The Media (Vol.1). US : Elgar Reference Collection. Hall, Stuart, Jessica Evans & Sean Nixon. 2004. Representations (2nd). London : Sage Publication. Ida, Rachmah. 2014. Studi Media dan Kajian Budaya. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Kellner, Douglas. Budaya Media : Cultural Studies, Identitas, dan Politik (Antara Modern dan Postmodern). Yogyakarta : Jalasutra. 70