Permasalahan Kebudayaan dalam Filem “My Name is Khan” Artikel Tidak Dipublikasikan Oleh : Yan Yan Sunarya Program Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain, Program Pasca Sarjana ITB, 2010 Pertama-tama, ini adalah tulisan bergaya “bebas” yang saya ekspresikan di dalam menanggapi film “My Name is Khan” dalam lingkup filsafat kebudayaan (peradaban). Jujur, film ini tidak sebegitu menghebohkan tatkala dibandingkan dengan film “WHAT THE BLEEP DO WE KNOW?” yang tempo lalu telah saya tanggapi pula dalam tugas semester lalu. Namun memang intensitas pangkal tolaknya amat berbeda, di satu sisi sebelumnya adalah berkenaan dengan masalah filsafat keilmuan (abstrak, seolah-olah intangible dan berjarak), sedangkan di sisi lain sekarang adalah masalah filsafat kebudayaan. Ia lebih membumi, lebih dapat ditafsirkan dan dipahami secara teraga (tangible) oleh manusia secara luas, seolah-olah seperti memahami kamus berjalan saja, atau layaknya menanggapi kehidupan yang berjalan dalam takaran common sense (kemasukakalan, keseharian). Selanjutnya, apabila saya sitir sinopsis film ini, pada dasarnya ia menceritakan kerangka umum, bahwa tidak bisa disangkal jika peristiwa 11 September 2001 (9/11) memang telah berdampak demikian besar bagi kehidupan orang Amerika. Peristiwa “tragis” ini membuat jurang yang sudah ada antara warga Amerika dengan imigran asal Asia dan Timur Tengah yang beragama Islam menjadi semakin lebar. Rizwan Khan adalah salah satu imigran yang menjadi korban dampak peristiwa 9/11 ini. Khan adalah pemuda muslim asal India yang menderita asperger's syndrome, kelainan yang membuatnya jadi sulit berinteraksi dengan kebanyakan orang. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke San Fransisco, Amerika Serikat, untuk mengadu nasib di negeri yang kata orang adalah tanah impian ini. Di San Fransisco ini pula Khan bertemu Mandira, wanita Hindu asal India, yang juga tinggal di sana. Meskipun mendapat tentangan dari pihak keluarga lelaki, namun kedua anak muda ini memutuskan untuk menikah dan memulai bisnis mereka sendiri. Di saat impian mulai terwujud, peristiwa “tragis” 9/11 menghancurkan mimpimimpi indah mereka berdua. Mandira yang tak sanggup menanggung beban disebut teroris dan ini membuat pernikahan Khan dan Mandira akhirnya berantakan, hingga sebelumnya putra mereka telah meninggal akibat kekerasan rasisme. Dengan tujuan merebut kembali hati wanita yang sangat dicintainya ini, Khan kemudian mengambil keputusan besar untuk melakukan perjalanan keliling Amerika Serikat. Setibanya di Bandara Los Angeles, Khan malah ditangkap petugas karena tingkah lakunya yang “sedikit aneh” dianggap sebagai tindakan mencurigakan oleh para petugas; dst., dst. Adapun beberapa “peristiwa kebudayaan penting” yang saya catat, sebagai berikut: 1. Kekerasan fisik, adalah bentuk paling primitif dari suatu tindakan yang kita sebut pada awalnya sebagai wujud metode “pemecahan masalah (problem solving)”, yang ternyata tidak selamanya menguntungkan akibat cara pandang yang sepihak (arbitrary). Ia merupakan pengejawantahan dari kebuntuan dalam tindak kemufakatan, kebuntuan atas pemahaman keberbedaan (“differance”) akan realitas, dan kekalutan atas ketaksepahaman yang menjadi wujud tindakan untuk mempersilakan kaum superiority complex terhadap kaum inferiority complex lain. Dan hal tindak kekerasan fisik ini telah membudaya selama dunia ini berputar, bahkan telah menjadi suatu bentuk “peradaban” Permasalahan Kebudayaan dalam Filem “My Name is Khan”, Yan Yan Sunarya --- 1
dalam berbagai turunannya yang menjelma menjadi bentuk aneka kolonialisasi, teori “survival of the fittest”, atas nama penyelamatan dan pengamanan negara, demi keutuhan nusa dan bangsa, mengutamakan kepentingan yang lebih besar, hingga menjadi “kebablasan” guna memperadabkan umat manusia! 2. Nikah beda agama, yakni Hindu (Mandira) dengan Islam (Khan), bahkan di Amerika pun –yang dijuluki Bapak Negara Demokrasi–, ternyata masih ada penentangan atas kebebasan dalam hal memilih ini. Padahal dunia beserta penghuninya ini sudah sedemikian rupa ber-evolusi dari zaman ke zaman, tetapi anehnya mengapa masalah “agama” atau “keyakinan” tak sertamerta larut, cair, dan berbaur di dalam fusi evolusi kehidupan yang kini semakin modern serta teramat kompleks (multilayering)? Memang amat banyak varian objek kebudayaan yang ada sejak manusia mengenal kebudayaan itu sendiri. Tetapi yang teramat spesifik unik, adalah justru terletak pada “agama” sebagai objek kebudayaan yang termasuk amat tua –ribuan bahkan jutaan tahun jika melihat wujud asalinya–, yang telah melahirkan, membentuk, serta menyertai banyak peradaban besar, dalam hal ini (film “My Name is Khan”) “agama” masih menjadi suguhan cerita dalam membentuk suatu citraan/opini/worldview. Padahal pada saat bersamaan citraan-citraan yang terjadi kini dalam era revolusi informatika dan digital; ia (citraan-citraan) bisa dengan “mudah” (instan) dibentuk sesuai dengan selera kekuasaan apapun, bahkan “agama” sekalipun. Ia tidak terbebas dari bentukan dan interpretasi dari kekuasaan. “Agama”, kini tidak memiliki jarak yang signifikan dengan peran media, teknologi digital, kemajuan ilmu pengetahuan; terkecuali jika memang hendak mengambil jarak dengan mereka, maka ia bisa dikategorikan dalam istilah populer: “fanatisme”, “taklid buta”, “ortodoks”, “militan”, “kultus”, dst. yang merugikan substansi asali atas kesucian dan kemanfaatan dari “agama” itu sendiri. “Agama” di dalam film ini disuguhkan sampai dibawa-bawa pada tataran sosial kehidupan yang menjadi alat doktrin bagi anak kecil sekalipun. Walaupun di akhir film dicetuskan, bahwa “being a Muslim or a Jewish is not a bad thing”. Sedemikian lugas bahkan vulgarnya, kalimat tersebut betapa penting mesti dibeberkan dalam film ini. Lantas apabila ada kalimat setara lain yang menyatakan, bahwa “being a Muslim or a Jewish is a bad thing”? Lalu sekonyongkonyong kita menyalahkan diri, menyalahkan takdir, hingga menyalahkan Tuhan, bahwasanya kita dilahirkan “being or not being a Muslim or a Jewish”? Di sinilah peran sentral manusia yang terhormat dengan segala kewibawaannya, keharkatannya, kederajatannya, kecerdasannya, keparipurnaan penciptaannya, yang ternyata tidak benar-benar dan tidak mampu memahami keluasan keberbedaan, kemajemukan, kemultikulturalan, kebhinekaan, kepluralitasan, dari aneka realitas kehidupan yang mereka jalani. Manusia semacam ini perlu diberi suntikan yang paling mematikan atas substansi kesucian dan kemanfaatan esensi dan peran “binatang kebudayaan” yang paling hakiki, sebagai upaya pembelajaran terus-menerus tanpa henti! Agar tidak terjadi perbuatan-perbuatan bodoh dalam balutan, bungkusan, cangkang dari upaya-upaya kekejaman rasisme, fasisme, holocaust, SARA, pelanggaran HAM, brutalitas genocide, dan kesewenang-wenangan di atas muka bumi. 3. Mau ketemu Presiden Amerika? Apa yang salah? Penuh protokoler, penuh penjagaan, penuh kecurigaan, penuh petata-petiti, penuh barikade, penuh appointment, dan penuh “kepalsuan” (unconsiousness & fake) penampilan? Padahal untuk ketemu Tuhan –Sang Pencipta makhluk manusia yang konon paling terhormat dan beradab–, itu semua tak ada masalah, kapan pun, di mana pun, dalam situasi kondisi apa pun, dalam pertanyaan apa pun, it is very very absolutely welcome! Ibadah shalat (praying) yang ditunjukkan Khan, merupakan manifestasi simbol manusia atas tidak ada kebergantungan terhadap apa pun, kecuali Tuhan! Doa yang dipanjatkan Khan (manusia) akan terus menembus Permasalahan Kebudayaan dalam Filem “My Name is Khan”, Yan Yan Sunarya --- 2
waktu dan menebus dosa. Hingga terbersit pertanyaan dalam benak saya kepada manusia seperti yang telah digambarkan dalam bagian kalimat awal: “WAHAI ADA APAKAH GERANGAN DENGAN NAMANYA MANUSIA?” Sehingga ia terlalu bermainmain, memain-mainkan, membuat permainan, sampai termain-mainkan oleh yang namanya “KEBUDAYAAN dan PERADABAN” itu sendiri! 4. “This one I can’t repair”, kalimat itulah yang menyertai ketakmasukakalan realitas hidup yang dialami Khan dan banyak manusia lainnya. Pepatah tentang hal kelahiran, kehidupan, jodoh, dan kematian, adalah ihwal gaib yang tak dapat direncanakan oleh akal dan fisik manusia secara pasti, mutlak, dan absolut. Manusia terlalu “dungu” untuk selalu ingin disebut serbabisa atas sesuatu yang justru tidak bisa diprediksikan secara pasti, bahkan oleh seorang Freud pun. Apakah kita bisa mengendalikan sesadarsadarnya atas tindakan dan akibat dari: malas, benci, cinta, frustasi, gembira, khayali, dst.? Inilah pesan yang teramat penting bagi manusia, yang bersungguh-sungguh jika ingin disebut sebagai manusia beradab yang sejati. Ia mesti bisa memperkirakan hal-hal yang “pasti” sekaligus “tidak pasti”. Ia menjadi paripurna atas tindak kesalehan dan kedosaan yang berpadu dalam realitas kehidupan. 5. Hukum, sejatinya untuk apa dan siapa? Apakah untuk manusia yang beradabkah? Sehingga manusia yang tidak beradab itu harus mendapatkan sanksi hukuman dari manusia yang beradab? Apakah yang dinamakan beradab itu harus selalu dalam bentuk universal? Apakah ada yang lebih tinggi dari yang disebut beradab? Apakah gara-gara terpatri suatu nasihat Ibunya Sam (Mandira), bahwa di dunia ini hanya ada dua jenis manusia, yaitu “a good man” dan “a bad man”, sehingga diperbolehkanlah seseorang itu menganggap seseorang yang lainnya sebagai tidak beradab? “Good” vis a vis “Bad” dalam aneka rona, merupakan wujud implementasi dari konsep oposisi biner. Julukanjulukan teroris terhadap profil Arab-Islam yang menakutkan, lantas terjadi situasi phobia meluas terhadap muslim. Ia menjadi bahaya laten dan kini merupakan momok bagi negara Amerika. Dengan kata lain, penjajahan kebudayaan itu lebih sadis dan lebih kena sasaran. Saat ini, hegemoni konsep besar dunia dibentuk oleh jaringan media di seluruh dunia, menjadikan universalitas terhadap kekuasaan media. Suatu aliran teori kebudayaan yang “salah” (oposisi biner) apabila diacu dan dianut untuk menjadi mendunia, maka akibatnya celakalah seisi dunia (demolition, armagedon). Amerika sendiri mengatasnamakan negara yang paling beradab, namun dalam banyak hal ternyata ia hanya sebatas “pinter kodek”, “hayang meunang sorangan”, tidak mau mengerti atas keberbedaan dan kesusahan, bahkan kepiawaian negara saingannya atau negara yang berada di bawahnya. Alhasil hukum diciptakan oleh pihak yang “beradab” untuk menegakkan pihak yang “tak beradab”! Benar-benar gila (ridiculous)! 6. “A Khan always keeps a word to meet President”. Inilah yang membuat Khan hidup semakin hidup, walaupun terkena musibah tragis. Ia tetap bertahan pada niatnya yang akan bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, dan akan seraya mengucapkan kalimat lugas dan jujur: “I am a Muslim and I am not a Terorist!” Saya tidak akan mengomentari mendalam terhadap kalimat ini. Namun saya akan suguhkan analogi-analogi lain yang pernah terjadi di muka bumi ini. Pertama-tama, coba kita tarik lebih ke belakang, pada peristiwa “kebudayaan” yang telah lama terjadi jauh sebelum kasus 9/11. Kita akan mendapatkan situasi kondisi yang mirip walau tak sama persis, seperti kejadian-kejadian tragis lainnya; agar kita dapat mencapai kepahaman atas kejadian kebudayaan dan peradaban yang paling paripurna, paling utuh, paling komprehensif, paling sempurna, juga paling perfect. Dengan kata lain, saya ambil Permasalahan Kebudayaan dalam Filem “My Name is Khan”, Yan Yan Sunarya --- 3
contoh-contoh klasik namun tragis dari peristiwa “kebudayaan”. Sehingga kita dapat menilai dengan objektif dan ilmiah, bahwa ternyata kalimat di atas sama saja dengan atau tidak ada bedanya dengan, antara lain: “Saya Konghucu dan saya bukan PKI” Coba bayangkan, jika saat itu 30 September 1965 (GESTAPU) justru menang perang atas kebudayaan yang sedang berlaku. Pasti kalimat di atas tidak akan pernah lahir, malahan bisa sebaliknya! “Saya Indonesia dan saya bukan Indon” Sebutan picik, bernada rasis, dan peyoratif (Indon) untuk para TKI di Malaysia. Coba bayangkan jika Indonesia lebih makmur daripada negara tetangganya. Pasti kalimat di atas tidak akan pernah lahir, malahan bisa sebaliknya! “Saya warga negara Jerman dan saya bukan Nazi” Coba bayangkan sekali lagi, jika Hitler memenangi pertempuran Perang Dunia I dan II, di mana sekutu Amerika, Inggris, Eropa, serta Uni Sovyet, terberangus oleh kekuatan angkatan bersenjata Jerman kala itu. Sekali lagi: pasti kalimat di atas tidak akan pernah lahir, malahan bisa sebaliknya! Pada akhirnya film “My Name is Khan”, hanyalah sebagian kecil remah-remah dari kejadian dan peristiwa kehidupan umat manusia yang amat besar, ia adalah sebagai pemicu dan pemantik bagi pemikiran besar atas nama filsafat kebudayaan (peradaban) di atas muka bumi ini. Saya hendak menyikapi picuan di atas dalam rentang ulasan terhadap perkuliahan ini (dengan menggunakan bagan) sebagai berikut :
Permasalahan Kebudayaan dalam Filem “My Name is Khan”, Yan Yan Sunarya --- 4
Filsafat kebudayaan (peradaban), bisa digambarkan seperti sebuah asap (input=subjektif) yang mengandung massa yang tetap (hukum kekekalan massa dan energi). Ia diciptakan Tuhan sebagai mainan-mainan (toys), yang digulirkan dalam suatu alat semacam lubang selang hitam/gelap/asing yang panjang, yang dinamakan sebagai alat selang aneka rumus, aneka filsafat, aneka postulat, aneka teori, aneka hipotesis, aneka sintesis, aneka jargon, apapun aneka namanya; yang terus-menerus berjalan sejak era protomodern-modern-posmodern menyusuri jalan berkelok-kelok dan berliku-liku mengikuti bentuk alat selang yang sedang berlaku pada zaman yang dilewatinya tersebut, yang akhirnya berujung pangkalnya pada ujung lainnya dari alat selang itu. Kemudian menghadirkan kekekalan massa dan energi itu yang berupa output=objektif. Semua hasilan akan disebut objektif, jika bersesuaian dengan kaidah era yang berlaku pada zaman itu. Makanya saya istilahkan dengan massa yang tetap. Asap tersebut tidak akan menghilang, tidak akan berkurang, hanya diukur dari segi kemanfaatannya saja, apakah ia berguna untuk zaman itu, atau tidak berguna. Itulah keindahan bentuk objek hasil ciptaan Tuhan –sang causa prima–, semuanya berawal dari satu bentuk kebudayaan/peradaban, yaitu ESA Kebudayaan dan ESA Peradaban! Dalam perjalanan waktu cahaya sekalipun, ia tetap ESA. Luar biasa! Yang menentukan hal ini lain daripada hal itu, adalah pada skala pengetahuan, skala pencapaian ilmu, skala pengalaman, serta skala kehidupan dari manusia itu sendiri. Manusia telah diberi “cara” melalui objek yang dinamakan “apapun” namanya. Dengan cara “apapun” namanya, ia dapat membedah kebudayaan/peradaban dengan menggunakan alat bedah filsafat/pemikiran yang tidak lain guna mempercantik dunia! “Cantik” menurut manusia pada satu sisi! Kita ilustrasikan sebagai berikut, bahwa pernah suatu ketika rasisme, adalah laksana 1 (satu) mata uang (tokken) atau yin-yang, di mana belahan pada satu sisi dianggap putih, maka pada belahan sisi lainnya dianggap hitam. Rasisme barangkali menurut Hitler itu baik, bagus, efesien, dan efektif! Tapi menurut yang lain itu buruk, barbar, dan jahat! Dan begitulah kejadian-kejadian kebudayaan di muka bumi ini selalu terjadi seperti ini. Nah, filsafat kebudayaan (peradaban) laksana tokken tadi, sepanjang masa di dunia ini, pasti dan pasti selalu begitu kejadiannya. Selalu ada yang diuntungkan dalam situasi yang dirugikan. Selalu ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Selalu ada filsafat yang sah dan filsafat yang ilegal. Manusia, pemikir, ahli, demikian amat mudah mengatakan serta mendefinisikan kebudayaan menurut seleranya. Tidak pernah ada pola baku yang abadi bertahan lama (everlasting) bagi kebudayaan. Pada teori Spiral Mesarovic, kebudayaan adalah bentukan pinjaman yang disesuaikan dengan selera dan kebutuhan kita saat itu, bergantung pada siklus waktu PAST – PRESENT – FUTURE. Adapun cara kita sekarang memaknai masa lalu, adalah merupakan bentuk rekonseptualisasi kebudayaan dalam telaah diakronik maupun sinkronik, sejak filsafat kebudayaan dan peradaban yang dilahirkan mulai dari era Kant, Schiller, Freud, Marx, Hegel, Weber, de Chardin, Popper, van Peursen, Foucault, Deleuze, Bourdieu, Rorty, Lacan, hingga Derrida, bahkan bisa jadi di Indonesia dikembangkan dalam bentuk konsep “Yasrafian” dan “Sugihartoian”! Yang merupakan bentuk hasilan pemikiran yang paling membumi dan adaptif dalam peradaban di Indonesia! Semua jawabannya ialah terletak pada pengelolaan yang proporsional atas heterogenitas kebudayaan dan peradaban di atas muka bumi. Sanwacana (afterthought) Menurut hemat saya, bahwa eksistensi Tuhan itu hadir melalui wujud rupa kebudayaan, manusia, dan peradaban. Terdapat batas demarkasi yang teramat jelas antara siapa itu Tuhan dengan manusia; Sang pencipta dengan makhluk; Aku dengan hambanya; dst. Namun dalam perjalanan kebudayaan dan peradaban, manusia telah berkali-kali (dalam sejarah Nabi-nabi, dalam sejarah sebelum lahirnya agama, bahkan dalam konstelasi kehidupan masa kini) menuhankan yang bukan Tuhan. Apapun jadi Tuhan, Tuhan jadi apapun; laksana meracik menu masakan yang Permasalahan Kebudayaan dalam Filem “My Name is Khan”, Yan Yan Sunarya --- 5
paling enak. Manusia, telah diakui sebagai makhluk yang paling kaya memiliki keprigelan, memiliki kaweruh, dan selalu “ngigelan” dunia, tapi tetap ia merupakan sosok rapuh, fana, dan tak berdaya, tatkala ditantang untuk meniupkan RUH ke dalam makhluk-makhluk atau objekobjek ciptaannya. Sejarah Hitler dengan holocaust, Stalin dengan Red Army, Mussolini dengan Fascist, Nero dengan maha kekuasaannya, Raja Belgia dengan konsep rasialis kolonialisasinya terhadap Afrika, Perancis dengan Legionaire, VOC dengan Indonesia, Jepang dengan Cahaya Asia, adalah merupakan sekelumit penjajahan budaya yang terjadi di atas muka bumi ini, yang telah “mempercantik” dan atau “memperburuk” sejarah umat manusia yang berabad. Namun, patut dicatat, adalah suatu kengerian akut, apabila kita saat terbangun dari tidur lelap, kemudian ternyata di dunia ini hanya ada kultus kultural atas satu-satunya budaya yang berlaku, laksana: Cahaya Asia, Pelindung Asia, dan Saudara Tua Asia! Semua catatan panjang-lebar di atas akan menjadi berakhir dalam intrik yang PENUH DENGAN KEPALSUAN!!!
Permasalahan Kebudayaan dalam Filem “My Name is Khan”, Yan Yan Sunarya --- 6