Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca dari Lahan Pertanian Oleh : Prihasto Setyanto Banyak pihak menulis tentang emisi gas rumah kaca (GRK), pemanasan global dan perubahan iklim di media masa dan televise menjelang dan setelah penyelenggaraan COP 13 di Bali. Hal ini menarik karena masyarakat Indonesia mulai melihat perubahan ini bukan lagi sebagai teori yang perlu diperdebatkan tetapi sudah merupakan satu ancaman yang mulai dirasakan oleh masyarakat. Kita ketahui bersama bahwa konsentrasi GRK yang meningkat di atmosfir menyebabkan suhu bumi semakin memanas, perubahan tekanan udara akibat memanasnya bumi menyebabkan iklim secara keseluruhan berubah. Skenario-skenario perubahan iklim ke depan melalui global circulation model (GCM) banyak dikembangkan oleh peneliti untuk memprediksi laju kenaikan suhu sehingga kita perlu melakukan adaptasi dan mencari solusi mitigasi agar laju perubahan iklim dapat di hambat. Tulisan ini memberi pandangan lain bagi masyarakat bahwa pemanasan global tidak selalu identik dengan kenaikan suhu bumi. Pengaruh Terbalik Teori akan kembalinya jaman es di era modern sebagai imbas dari perubahan iklim bukan lagi merupakan satu isapan jempol. Hal ini disampaikan oleh para peneliti dari United State National Center for Atmospheric Research di Colorado. Mereka menyebutnya sebagai feedback loop (pengaruh terbalik) dari pemanasan global. Peneliti dari Britain’s National Oceanography Center melaporkan bahwa arus The Gulf Stream melemah 30% sejak tahun 1957 yang disebabkan oleh mencairnya sejumlah besar es abadi di Greenland dan Kutub Utara. Masyarakat Indonesia pada era 1990-2000 belum banyak membicarakan ancaman perubahan iklim sebagai akibat dari menumpuknya emisi gas0gas rumah kaca. Hal tersebut cenderung disebabkan oleh anggapan bahwa isu pemanasan global, perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca (GRK) dianggap sebagai upaya negara industri menghambat laju pertumbuhan ekonomi Negara berkembang sehingga berbagai scenario disusun oleh para ahli lingkungan untuk menaggulangi dan mengantisipasi ancaman ini dianggap sebagai usaha menghambat laju pembangunan.
Pemahaman ini lambat laun berubah, para pengambil kebijakan mulai melihat dampak dari perubahan iklim tersebut. Naiknya muka air laut di pesisir pantai selatan pulau Jawa dan Sumatera pada bulan Mei dan Juni 2007, dan curah hujan yang tidak menetu di sentra produksi tanaman pangan mulai dilihat sebagai bentuk nyata dari iklim yang mulai berubah. Banyak pihak mengatakan bahwa emisi gas GRK dari sector pertanian adalah rendah. Walaupun rendah tetapi apabila terus terakumulasi tetap akan membahayakan dan secara tidak langsung akan diberi kontribusi terhadap pemanasan global. Pemerintah Thailand menyadari ancaman ini akan mereka lakukan sosialisasi kepada petaninya untuk menerapkan teknologi yang ramah dan mengurangi emisi gas GRK dari lahan pertanian. Sementara di Indonesia, jangankan sosialisasi teknologi mitigasi, kita masih focus memperdebatkan besar kecilnya emisi GRK dari lahan pertanian. Ada juga yang mengatakan bahewa emisi gas GRK dari sector ini meupakan prose salami yang sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun, sedangkan di pihak lain mengatakan bahwa komitmen mengurangi emisi sector apapun adalah bagian dari konsekwensi kita yang telah meratifikasi Protokol Kyoto. Hal ini seyogyanya tidak menjadi bahan perdebatan karena akan membuat ragu pengambil kebijakn dalam mengambil sikap terhadap upaya mengurangi emisi GRK yang ujung-ujungnya introduksi teknologi mitigasi jadi terhambat. Walaupun kecil apabila dilandasi atas dasar kebersamaan tetap memberi peran terhadap penekanan laju perubahan iklim. Mitigasi GRK di Lahan Pertanian Pertanian padi terutama yang selalu tergenang merupakan sumber dari tiga macam GRK yaitu karbaondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Penelitian yang komprehensif tentang emisi gas GRK dari lahan pertanian telah dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui instansi unit pelaksana teknisinya yaitu Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan). Balingtan mempunyai laboraturium khusus GRK. Pada awalnya peneliti ini hanya difokuskan untuk melihat emisi gas CH4 yang di lepas dari lahan sawah tadah hujan. Saat ini kajiannya sudah diperluas untuk melihat emisi CO2 dan N2O tidak hanya dari lahan sawah tadah hujan, tetapi juga mencakup irigasi dan lahan gambut. Kajian yang dilaksanakan di Balingtan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa emisi CO2 yang dilepas oleh lahan sawah irigasi selama satu musim tanam berkisar 3,5-4,2 ton per hektar per musim tanam pada berbagai system pertanaman padi. Walaupun emisi CO2 sangat tinggi di pertanian padi tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintensis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman. Oleh karena itu emisi CO2, dari
tanaman padi disebut sebagai zero net emission. Emisi N2O pada kajian yang sama berkisar 0,52-0,88 kg per hektar per musim tanam pada penggunaan pupuk urea 259 kg per hektar. Sumber utama emisi N2O adalah pemakaian pupuk N (urea) yang tidak tepat sasaran untuk kebutuhan tanaman, hal ini dapat diartiakan pula bahwa proses pembentukan N2O akan di hambat apabila pupuk urea diberikan tepat pada waktunya. Beberapa teknologi anjuran hasil penelitian Balingtan menunjukkan bahwa penerapan system pertanaman PTT (pengolahan tanaman terpadu) dan SRI (system of rice intensification) mempu menekan laju emisi N2O rata-rata sebesar 39-45% dibandingkan cara pengelolaan konvensional. Berbicara tentang emisi CH4 dan nilai rosotnya dari lahan petanian tidak sesederhana gas CO2 dan N2O. Metana dikenal juga sebagai gas rawa yang memiliki waktu tinggal di atmosfir selama 12 tahun. Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4 memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO2. Tidak ada potensi rosot yang jelas terhadap gas ini. Bakteri metanotrop yang ada pada lahan sawah adalah satu-satunya mikroorganisme yang dapat menggunakan CH4 sebagai bagian proses metabolismenya untuk kemudian dirubah menjadi CO2. Dengan berat molekulnya yang ringan, gas Ch4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfir dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet. (UV-B). Kehadiran gas CH4 pada lapisan denganO3 sehingga kandungannya berkurang. Metana adalah salah satu gas yang menyebabkan penipisan ozon bumi. Oleh karena itu, gas rumah kaca yang harus diwaspadai untuk diturunkan emisinya dari lahan sawah adalah metana. Enelitian tentang emisi dari CH4 lahan sawah banyak dilakukan Balingtan. Kisaran emisi metana yang dilepaskan sangat beragam tergantung dari cara pengolahan lahan pertanian padi sawah untuk tanah mineral di pulau Jawa berkisar antara 57-347 kg per hektar per nusim tanam. Emisi CH4 dari lahanpertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim sehingga dinamika kondisinya anaerobic bahan organic yang berada disekitar perakaran tanaman padi akan dilepaskan atmosfir melalui batang padi. Selain berperan sebagai “jembatan” penghubung dari bagian anaerobic (lapisan tanah dengan ketersedian oksigen rendah) tanah dengan atmosfir, perakaran dari tanaman padi juga berperan memberi suplai karbon dalam bentuk eksudat akar yang merupakan bahan pembentuk CH4 pada tanah. Prinsip utama dalam mengurangi emisi CH4 dari lahan sawah adalah dengan merubah mekanisme dekomposisi anaerobic bahan organic tanah ke dekomposisi secara aerobic sehingga yang dihasilkan gas CO2. Sepeti halnya hukum kekekalan energi yang menyebutkan bahwa energi tidak dapat diciptakan
dan dimusnahkan tetapi dapat mengalami perubahan dari bentuk energi yang satu ke bentuk yang lain. Untuk itu apabila sejumlah energi karbon dalam tanah dapat dirubah menjadi CO2, maka upaya mitigasi emisi CH4 dari lahan sawah dapat berlangsung karena mekanisme rosot CO2 lebih sederhana dibandingkan CH4. Beberapa teknologi sudah dihasilkan Balingtan untuk mendukung upaya ini antara lain (1) mengganti cara pengairan sawah yang berterusan dengan cara pengairan terputus dapat mengurangi emisi CH4 sampa 78% (2) pemilihan varietas padi rendah emisi gas ini dari lahan sawah. Penciri umum dari varietas tersebut adalah berumur genjah, efektif memanfaatkan hasil fotosintesis, jumlah anakan sedikit dan memiliki kapasitas oksidasi perakaran yang kuat. Penggantian varietas Cisadane denag Way Apoburu dapat mengurangi emisi CH4 sebesar 35% pada kondisi lahan yang sama. Secara keseluruhan kajian di Balingtan menunjukkan bahwa penggantian varietas padi mampu menekan laju emisi CH4 sebesar 10-66% (3) Pemakain bahan organic yang sudah mengalami dekomposisi lanjut atau matang juga berperan menurunkan emisi sebesar 10-25% dan (4) penggunaan herbisida dengan bahan aktif paraquat dan glifosat mampu menurunkan emisi metana secara nyata antara 60-70% dibandingkan yang tidak menggunakan herbisida. Insentif Melalui Perdagangan Karbon Kendala utama teknologi introduksi mitigasi emisi gas CH4 adalah petani adalah pengaruh pasar dan kebiasaan yang dilakukan secara turun-menurun. Selain itu, petani juga akan semakin menolak apabila tidak ada jaminan kepastian penghasilan apabila teknologi mitigasi diterapkan. Oleh karena itu, upaya insentif memang menjadi pilihan terbaik agar petani mau merubah pola pengelolaan lahannya. Balingtan secara sederhana pernah menawarkan konsep untuk melaksanakan perdagangan karbon dari lahan sawah sebagai upaya untuk mendapatkan insentif tersebut, dengan target emisi yang direduksi adalah CH4. Konsep tersebut walaupun masih bersifat pilot study seyogyanya diatur melalui Clean Development Mechanisme (CDM) yang ditawarkan Protokol Kyoto. Konsep tersebut digambarkan secara sederhana sebagai berikut; apabila harga reduksi 1 ton CO2, dipasaran karbon rata-rata US$ 5,-, maka harga reduksi 1 ton CH4 adalah 21 x US$ 5,- = US$ 05,- (angka 21 digunakan karena potensi pemanasan global dari CH4 adalah 21 kali lebih tinggi dari CO2). Reduksi 1 ton CH4 per hektar dapat dihasilkan dari 8 hektar lahan pertanian yang menggantikan pola pengairan berterusan ke pola pengairan ber-selang (intermittent) dalam satu musim tanam (apabila factor emisi yang dapat dikurangi dengan aplikasi cara pengairan ini rata-rata 125 kg CH4 hektar per musim
tanam). Untuk itu insentif yang dapat diteriam oleh petani yang terlibat didalam penerapan teknologi ini sebesar US$ 105/8 = US$ 13 per hektar per musim tanam. Besarnya insentif ini akan meningkat apabila seluruh anjuran teknologi reduksi CH4 diterapkan oleh petani inti yang terlibat dalam perdagangan CH4 dari lahan sawah. Hasil penelitian di Balingtan menyebutkan bahwa perubahan dari system irigasi penuh irigasi terputus tidak berdampak terhadap penurunan produksi padi di lahan sawah irigasi. Selain itu, penerapan system intermittent ini mampu menghemat penggunaan air.
Prihasto Setyanto Balingtan,Badan Litbang Pertanian, Deptan Di muat pada surat kabar Sinar Tani, 23-29 April 2008