PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO
IWAN GUNAWAN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN IWAN GUNAWAN. Perlakuan Sterilisasi Eksplan Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) dalam Kultur In vitro. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan AGUS HIKMAT. Kerusakan hutan di Indonesia yang sampai saat ini masih banyak terjadi, akan mengancam kelestarian anggrek alam yang ada. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka tidak mustahil anggrek alam Indonesia lambat laun akan punah. Salah satu alternatif untuk melestarikan keanekaragaman anggrek alam adalah melakukan perbanyakan melalui kultur jaringan. Dengan kultur jaringan, dapat melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pelestarian anggrek yang tidak dapat dilakukan secara konvensional. Tahap awal dalam keberhasilan kegiatan kultur jaringan adalah sterilisasi eksplan. Apabila kegiatan sterilisasi ini tidak berhasil, maka kegiatan selanjutnya tidak bermanfaat. Kesulitan pelaksanaan sterilisasi terjadi apabila eksplan berasal dari lapang, eksplan terbatas, dan tidak ada informasi dari penelitian yang pernah dilakukan (tanaman baru). Eksplan yang berasal dari lapang banyak mengandung kotoran atau mikroorganisme-mikroorganisme yang membuat tanaman sangat rentan kontaminasi baik eksternal (permukaan) maupun internal (bagian dalam jaringan). Untuk tanaman baru perlu dilakukan ekplorasi dengan perlakuan khusus seefektif dan seefisen mungkin, apalagi eksplan yang digunakan terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan tahap awal untuk mencoba melestarikan spesies anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) yang terancam punah dan sudah masuk dalam CITES Apendiks II melalui perlakuan sterilisasi eksplan dalam kultur in vitro. Perlakuan sterilisasi eksplan ada dua macam, yaitu secara mekanik dan secara kimia. Perlakuan sterilisasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu secara kimia. Bahan kimia yang digunakan meliputi fungisida, bakterisida, bayclin, HgCl2, antibiotik, dan alkohol. Banyaknya faktor penyebab tingkat kontaminasi, menyulitkan penentuan suatu prosedur standar sterilisasi yang berlaku untuk semua tanaman. Percobaan dilakukan sebanyak 11 kali perlakuan dengan jumlah ulangan 30 per perlakuan kecuali pada perlakuan ke-11 jumlah ulangan sebanyak 70. Dari ke sebelas perlakuan sterilisasi tersebut, maka puncak kontaminasi paling lama yaitu 30 HSI, kontaminasi bakteri paling sedikit yaitu sebanyak 3%, dan jumlah browning paling sedikit yaitu 0% pada perlakuan sterilisasi menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan alkohol 70% selama 5 menit (FBByA 1). Untuk kontaminasi jamur paling sedikit yaitu sebanyak 10%, sumber kontaminasi pada eksplan paling sedikit yaitu sebanyak 17%, dan sumber kontaminasi pada media paling sedikit yaitu 0% pada perlakuan sterilisasi menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3). Sedangkan pada perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit dengan pembilasan yang berkali-kali dan media yang mengandung ZPT (HByBy 4), sebanyak 41% eksplan masih hidup. Kata kunci : anggrek kuping gajah, Apendiks II, kultur jaringan, sterilisasi.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perlakuan Sterilisasi Eksplan Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) dalam Kultur In vitro adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2007
Iwan Gunawan NIM E34102010
Judul Skripsi
: Perlakuan Sterilisasi Eksplan Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) dalam Kultur In vitro
Nama
: Iwan Gunawan
NIM
: E34102010
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Ir. Edhi Sandra, MSi NIP. 132 055 229
Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F NIP. 131 865 340
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799
Tanggal Lulus : 16 Maret 2007
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Hanya dengan ijin dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang dilaksanakan selama enam bulan dari September 2006 sampai Februari 2007 dengan judul Perlakuan Sterilisasi Eksplan Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum Beccarii Rchb.f) dalam Kultur In vitro. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Bapak Ir. Edhi Sandra, MSi. dan Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F. selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Hardjanto, MS. sebagai penguji wakil Departemen Manajemen Hutan dan Bapak Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan sebagai penguji wakil Departemen Hasil Hutan. Selain itu, penghargaan penulis disampaikan pula kepada staf
dan pegawai
Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak, dan seluruh keluarga, keluarga besar Paserasa Seroja Putih, serta saudara- saudaraku KSH’39 atas segala do’a dan dukungannya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar bisa lebih baik lagi di masa yang yang akan datang. Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2007 Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 27 Juli 1982 sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara pasangan Burhanudin dan Ooy. Pada tahun 2002 penulis lulus dari SMU Rimba Madya Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif disejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai ketua UKM IPB Paserasa Seroja Putih tahun 20042005 dan masih aktif sebagai anggota keluarga besar, anggota UKM IPB Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman 2004-2005, anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) ”Forestra” tahun 2003 s.d 2005 yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Pada tahun 2004 penulis bergabung dalam Tim Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (SURILI 2004) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, dan di tahun yang sama melaksanakan kegiatan magang mandiri di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Pada tahun 2005 penulis bergabung dalam Tim Ekspedisi Studi Konservasi Lingkungan (SURILI 2005) di Taman Nasional Betung Kerihun, Kalimantan Barat. Pada tahun 2006-2007 penulis dipercaya sebagai asisten dosen mata kuliah Konservasi Tumbuhan Obat dan Konservasi Tumbuhan Langka serta aktif dalam kegiatan pelatihan kultur jaringan di Unit Kultur Jaringan Lab. Konservasi Tumbuhan, DKSHE. Selain itu, di tahun 2005 penulis juga melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di KPH Ciamis, CA Leuweung Sancang, dan CA/TWA Kawah Kamojang BKSDA Jabar II. Pada tahun 2006 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian dengan judul Perlakuan Sterilisasi Eksplan Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) dalam Kultur In vitro dibawah bimbingan Ir. Edhi Sandra, Msi. dan Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F.
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................... .
i
DAFTAR TABEL........................................................................................... .
v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... .
vi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... ...
1
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................
3
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
4
2.1 Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f ) ...........
4
2.1.1 Taksonomi ......................................................................
4
2.1.2 Morfologi .......................................................................
4
2.1.3 Habitat dan Ekologi .......................................................
5
2.1.4 Penyebaran .....................................................................
5
2.2 Kultur Jaringan ...........................................................................
6
2.2.1 Pengertian Kultur Jaringan .............................................
6
2.2.2 Kultur Jaringan Anggrek ................................................
7
2.2.3 Media Kultur ...................................................................
7
2.2.4 Lingkungan Tumbuh dalam Kultur Jaringan ..................
8
2.3 Zat Pengatur Tumbuh ................................................................... 10 2.4 Kultur Jaringan sebagai Pelengkap Penyimpanan Plasma Nutfah ..........................................................................................
11
2.5 Manfaat Kultur Jaringan .............................................................
11
2.6 Eksplan ........................................................................................
12
2.7 Sterilisasi Eksplan ....................................................................... 13 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................
16
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................
16
3.2 Bahan dan Alat Penelitian ..........................................................
16
3.2.1 Bahan .............................................................................
16
iv
3.2.2 Alat-Alat ........................................................................
16
3.3 Jenis Data ....................................................................................
17
3.3.1 Data Sekunder ................................................................
17
3.3.2 Data Primer ....................................................................
17
3.4 Pelaksanaan Penelitian ................................................................
17
3.4.1 Sterilisasi ........................................................................
17
3.4.2 Pembuatan Media ........................................................... 19 3.4.3 Penanaman .....................................................................
21
3.4.4 Pengamatan ....................................................................
21
3.5 Analisa Data ................................................................................
21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................
23
4.1 Pengaruh Perlakuan Sterilisasi Eksplan ...................................... 23 4.2 Pembentukan Kalus ....................................................................
35
4.3 Tingkat Kontaminasi ...................................................................
36
4.4 Masalah dalam Kultur Jaringan dan Pengendaliannya ............... 38 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................
44
5.1 Kesimpulan .................................................................................
44
5.2 Saran ...........................................................................................
44
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 45 LAMPIRAN .....................................................................................................
47
v
DAFTAR TABEL
No 1.
Halaman Eksplan tanpa perlakuan sterilisasi di laminar air flow cabinet (Kontrol) ...................................................................................................
2.
24
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan alkohol 70% selama 5 menit (FBByA 1) .................................................
3.
25
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan alkohol 70% selama 1 menit (FBByA 2) .....................................................................
4.
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan antibiotik 5 g/l selama 4 jam dan alkohol 70% selama 7 menit (AnAl) ......................................
5.
26
27
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan bayclin 25%, 20%, dan 10% masing-masing selama 7 menit (3By 1) .................................... 28
6.
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan bayclin 25%, 20%, dan 5% masing-masing selama 7 menit (3By 2) ......................................
7.
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 10 menit (HgCl) ........................................................................................
8.
29
30
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 1) ...................................................................................
9.
31
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2) ...................................................................................
32
10. Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3) ...................................................................................
33
11. Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 4) .......................................................................................
35
vi
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) ...........................
2.
Bagian-bagian anggrek kuping gajah
4
(Bulbophyllum beccarii Rchb.f) ................................................................
5
3.
Eksplan mati karena bahan sterilan ..........................................................
34
4.
Grafik tingkat kontaminasi jamur .............................................................. 36
5.
Grafik tingkat kontaminasi bakteri ............................................................
37
6.
a. Jamur hitam ...........................................................................................
37
b. Jamur putih ...........................................................................................
37
c. Jamur merah ..........................................................................................
38
d. Bakteri ..................................................................................................
38
7.
Kecendrungan resiko kontaminasi ............................................................
38
8.
Grafik tingkat sumber kontaminasi pada media ......................................
39
9.
Grafik tingkat sumber kontaminasi pada eksplan ...................................
40
10. Kontaminan yang menyerang bagian dalam jaringan daun ...................... 41 11. Browning (pencoklatan) ............................................................................ 42
vii
DAFTAR LAMPIRAN No 1.
Halaman Nama-nama bahan kimia untuk sterilisasi permukaan eksplan beserta kisaran konsentrasi dan lama perendamannya ...........................
48
2.
Pembuatan larutan stock MS (Murashige dan Skoog) ............................
49
3.
Skema pembuatan media MS volume satu liter ......................................
50
4.
Tingkat kontaminasi pada seluruh perlakuan sterilisasi permukaan eksplan ....................................................................................................
5.
51
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2) ................................................................................
6.
53
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3) ................................................................................
7.
54
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 4) ................................................................................
55
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga anggrek mempunyai lebih banyak spesiesnya daripada keluarga tumbuhan bunga-bungaan lainnya. Para ahli tumbuh-tumbuhan berkeyakinan anggrek mempunyai kurang lebih 25.000-43.000 spesies dari 750 genus yang berbeda yang tersebar di seluruh dunia, dan sekitar 5000 spesies terdapat di hampir semua pulau di Indonesia.
Kalimantan, Papua, Sumatera, dan Jawa
termasuk pulau-pulau yang terkenal di dunia karena kekayaan anggreknya (Darmono 2003; Rudhy 2006). Kalimantan memiliki kawasan hutan sangat luas dan berpotensi sebagai tempat tersebarnya plasma nutfah. Salah satu potensi plasma nutfah yang tidak ternilai harganya adalah anggrek. Berbagai spesies anggrek dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di hamparan belantara khatulistiwa ini. Diperkirakan hutan Kalimantan menyimpan 2.500 – 3.000 spesies anggrek. Khususnya yang tumbuh
di
Kalimantan
Paphiopedillum,
Barat
Phalaenopsis,
diantaranya
dari
genus
Dendrobium,
Dimorphorchis,
Ceologyne,
Eria,
Grammatophyllum, Aerides dan spesies Bulbophyllum beccarii Rchb.f. (Equator Online Development Team 2002). Genus Dendrobium dan Phalaenopsis merupakan anggrek komersial yang menguasai pasar anggrek lebih dari 80 % (Setiawan 2005). Di antara spesies-spesies anggrek yang ada, anggota Bulbophyllum merupakan genus yang paling besar (Hawkes 1965). Namun, di Kalimantan Barat spesies B. beccarii atau nama lokalnya anggrek kuping gajah merupakan salah satu anggrek alam yang sekarang terancam punah dan spesies ini sudah masuk dalam CITES Apendiks II (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Kekayaan spesies anggrek yang dimiliki ini merupakan potensi yang sangat berharga bagi keanekaragaman sumber daya genetik anggrek di Indonesia. Namun sangat disayangkan, keanekaragaman anggrek tersebut terancam kelestariannya karena maraknya penebangan hutan dan konversi hutan. Penyebab lain adalah banyaknya pencurian terselubung oleh orang asing terhadap anggrekanggrek asli alam dengan dalih kerjasama dan sumbangan dana penelitian. Sementara
itu,
hanya
sebagian
kecil
pihak
yang
mampu
melakukan
2
pengembangan dan pemanfaatan spesies anggrek alam. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka tidak mustahil spesies anggrek alam Indonesia lambat laun akan punah. Salah satu alternatif untuk melestarikan keanekaragaman anggrek alam adalah melakukan perbanyakan melalui kultur jaringan. Dengan kultur jaringan, dapat melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan pelestarian anggrek yang tidak dapat dilakukan secara konvensional. Dengan kultur jaringan juga dapat dilakukan perbanyakan anggrek dengan jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu, bisa dihasilkan anggrek yang memiliki sifat sama dengan induknya dan pertumbuhannya relatif seragam (Sandra 2003). Dalam pelaksanaan kegiatan kultur jaringan tumbuhan, banyak sekali masalah-masalah yang muncul sebagai pengganggu dan bahkan menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan kegiatan kultur yang dilakukan. Salah satu gangguan yang sering terjadi dalam kegiatan kultur adalah berasal dari bahan tumbuhan. Misalnya, tumbuhan berasal dari alam/lapang, kondisi tumbuhan yang terserang penyakit, dan bahan yang tersedia terbatas. Tumbuhan yang berasal dari lapang sudah pasti mengandung debu, kotoran, dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya dan bahkan bisa pada bagian dalam jaringan. Kontaminan yang berasal dari lingkungan tersebut bisa mengakibatkan tumbuhan terserang penyakit. Kondisi tumbuhan yang terserang penyakit atau terkontaminasi mikroorganisme baik eksternal (permukaan) maupun internal (bagian dalam jaringan), tidak mudah untuk dilakukan pengkulturan. Kesulitan perbanyakan tumbuhan yang terkontaminasi mikroorganisme dengan kultur jaringan, yaitu bagaimana mematikan atau menghilangkan mikroorganisme dengan bahan sterilian tanpa mematikan tumbuhan (eksplan) (Darmono 2003; Santoso dan Nursandi 2002). Menurut Gunawan (1987) bahan-bahan sterilisasi yang biasa digunakan umumnya bersifat toksik terhadap jaringan. Permasalahan lain yang sering terjadi pada kegiatan kultur jaringan adalah peristiwa browning (pencoklatan). Menurut Sandra (2003), setiap tumbuhan akan mengeluarkan larutan fenol yang akan bereaksi dengan udara (oksigen) sehingga menghasilkan larutan berwarna coklat yang disebut quinon. Larutan yang berwarna coklat tersebut jika terakumulasi pada media akan meracuni eksplan.
3
Di Indonesia perbanyakan anggrek kuping gajah belum pernah dilakukan, khususnya dengan teknik kultur jaringan. Sehingga, berbagai informasi mengenai perbanyakan anggrek dengan kultur jaringan ini belum ada. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian awal dalam upaya memperbanyak anggrek kuping gajah melalui kultur jaringan. Menurut Wetherell (1982), tahap awal yang harus dilakukan dalam kegiatan kultur jaringan adalah sterilisasi eksplan. Sterilisasi ini dilakukan untuk mensucihamakan dan membebaskan eksplan dari mikroorganisme, sehingga bisa ditumbuhkan dalam media kultur dengan kondisi yang aseptik. Menurut Sandra dan Medi (2002), sterilisasi merupakan permasalahan utama yang menentukan keberhasilan kultur jaringan, terutama sterilisasi eksplan yang berasal dari luar atau lapang. Jika sterilisasi gagal maka kegiatan selanjutnya tidak bermanfaat. 1) 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh dari beberapa perlakuan sterilisasi terhadap eksplan anggrek kuping gajah dalam kultur in vitro. 1.3 Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai sterilisasi eksplan yang sesuai, sehingga ke depan bisa dilakukan penelitian kultur jaringan dengan tujuan pengembangan ke arah pemuliaan dan perbanyakan. Setelah perbanyakan berhasil dilakukan maka diharapkan dapat merubah/menghapus status anggrek kuping gajah dari CITES Apendiks II atau Genting (Endangered) menjadi CITES Non Apendiks.
1) Sandra, E. dan L. Medi. Garis Besar Bahan Kuliah Pelatihan Kultur Jaringan. Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, 2002, hal 16.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggrek Kuping Gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) 2.1.1 Taksonomi Taksonomi dari anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) menurut Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Klas
: Liliopsida
Ordo
: Asparagales
Famili
: Orchidaceae
Genus
: Bulbophyllum
Spesies
: Bulbophyllum beccarii
Gambar 1 Anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) Sumber : The Wikimedia Foundation Inc. 2006. 2.1.2 Morfologi Anggrek kuping gajah merupakan tumbuhan pemanjat sempurna dan termasuk jenis efipit. Diameter umbi batang semu (rhizome) mencapai 2.5-20 cm, gemuk, memanjat dengan bentuk melingkar (spiral) di pohon. Akar banyak
sepanjang
rhizome
dengan diameter 1-3
mm.
Umbi
semu
(pseudobulbs) panjangnya 18-19 cm secara terpisah. Daun panjangnya bisa mencapai 26-50 x 18.5-38 cm. Tangkai bunga panjangnya 12-43 x 7-14 cm dengan dihiasi banyak bunga yang rapat. Bunga 2 x 1.5 cm dengan bau yang kurang sedap, berwarna ungu kehitam-hitaman. Bakal buah panjangnya 2-3 cm. Kelopak tengah panjangnya 1.2 x 0.4-0.45 cm. Kelopak sisi kiri panjangnya 1.5-1.6 x 0.5-0.7 cm triangular-ovate. Tajuk bunga panjangnya 0.9-1 x 0.25-0.3 cm. Bibir bunga 0.5-0.6 cm, 0.3 lebar pada dasar. Tiang mercu bunga 3-3.5 mm, pollen berjumlah empat (Handoyono dan Prasetya 2006; Hawkes 1965; Wood 1997). Untuk bagian-bagian anggrek dapat dilihat pada Gambar 2.
5
Gambar 2 Bagian-bagian anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) Keterangan gambar : A. Akar
G. Bibir bunga (lip)
B. Daun
H. Bakal buah (pedicel with ovary)
C. Bunga
I. Tiang mercu bunga (column)
D. Kelopak tengah (dorsal sepal)
J. Tudung kepala sari (anther-cap)
E. Kelopak sisi kiri (lateral sepal)
K. Polen (pollinia)
F. Tajuk bunga (petal) 2.1.3 Habitat dan Ekologi Anggrek kuping gajah tumbuh di hutan tanah podsol bersama genus Dacrydium, Rhododendron, Tristania, dan lain-lain; hutan rawa tanah gambut bersama spesies Shorea albida, hutan dataran rendah Dipterocarpaceae dengan ketinggian 600 m dpl, serta di hutan kerangas (Chan et. al. 1994; Hawkes 1965; Wood 1997). 2.1.4 Penyebaran Anggrek kuping gajah tersebar di Brunei, Borneo (Kalbar) merupakan spesies endemik, Sabah (di daerah Nabawan bagian atas sungai Kinabatangan), dan Sarawak (Taman Nasional Bako, distrik Betong, hutan Saribas) (Chan et. al. 1994; Handoyono dan Prasetya 2006; Hawkes 1965; Wood 1997).
6
2.2 Kultur Jaringan 2.2.1 Pengertian Kultur Jaringan Kultur jaringan (tissue culture) adalah suatu teknik mengisolasi bagianbagian tanaman (sel, sekelompok sel, jaringan, organ, protoplasma, tepung sari, ovari
dan
sebagainya),
ditumbuhkan
secara
tersendiri,
dipacu
untuk
memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap yang mempunyai sifat sama seperti induknya dalam suatu lingkungan yang aseptik (bebas hama dan penyakit). Selanjutnya Teknik ini juga disebut kultur in vitro (in vitro culture) yang artinya kultur di dalam wadah gelas (Nugroho dan Sugito 2002; Wattimena et al. 1992). Menurut Albert et al. (1994) pakar biokimia dan pakar biologi berpendapat bahwa in vitro mengacu pada reaksi-reaksi biokimia yang berlangsung di luar sel hidup. Sedangkan in vivo mengacu ke reaksi-reaksi yang berlangsung dalam sebuah sel hidup. Menurut Wetherell (1982) bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara terpisah dalam suatu kultur (in vitro). Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini, memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan dalam upayanya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi tumbuhan yang utuh. Dengan kata lain bahwa di dalam masingmasing sel tumbuhan mengandung informasi genetik dan atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan pada lingkungan yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi. Kultur jaringan terdiri atas beberapa tahap kegiatan. Profesor Murashige dari Universitas California membagi kultur in vitro dalam tiga tahap. Tahap I yang juga di sebut sebagai tahap persiapan eksplan, di mana eksplan disucihamakan dan dibebaskan dari mikroorganisme, selanjutnya ditumbuhkan dalam media kultur dengan kondisi yang aseptik. Tahap II yaitu tahap penggandaan propagul dengan cara meningkatkan jumlah cabang asiler ataupun pembentukan tunastunas baru. Tahap III adalah tahap pendewasaan lebih lanjut dari calon tanaman dengan merangsang pembentukan akar dan pertumbuhan (aklimatisasi). Tahap III ini juga disebut sebagai tahap penyesuaian atau tahap pra tanam (Wetherell 1982). Tahapan-tahapan ini kemudian disempurnakan oleh Deberg dan Maena (1981)
7
dalam Wattimena et al.(1992) menjadi 5 tahap, yaitu: 1) Seleksi tanaman induk, 2) Pemantapan kultur aseptik, 3) Produksi propagul, 4) Persiapan planlet sebelum diaklimatisasi, dan 5) Aklimatisasi planlet. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman dalam kultur jaringan dapat digolongkan menjadi 4 golongan utama, yaitu: 1. Genotipe dari sumber bahan tanaman yang digunakan 2. Media, mencakup tentang komponen penyusun media dan juga zat pengatur tumbuh tanaman yang digunakan 3. Lingkungan tumbuh tanaman yaitu keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan 4. Fisiologi jaringan tanaman sebagai eksplan. Kempat faktor tersebut dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya (Wattimena et al. 1992). 2.2.2 Kultur Jaringan Anggrek Penelitian kultur jaringan anggrek yang pertama kali dipublikasikan adalah hasil percobaan George Morel pada tahun 1960 yang dilakukan untuk mendapatkan tanaman Cymbidium bebas virus (Bergman 1972 dalam Wattimena et al.1986). Sejak dipublikasikannya percobaan tersebut, pemakain kultur jaringan untuk
perbanyakan
vegetatif
anggrek
semakin
pesat
perkembangannya
(Wattimena et al.1986). Pada tahun 1964, sebuah perusahaan anggrek di Perancis berhasil memproduksi klon-klon anggrek secara komersial. Perusahaan tersebut juga menggunakan istilah mericlon bagi tanaman anggrek hasil perbanyakan lewat kultur jaringan seperti yang disarankan oleh Gordon Dilon sebelumnya (Bertsch 1967 dalam Wattimena et al.1986). 2.2.3 Media Kultur Keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in vitro terutama disebabkan pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen yang utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula),
8
vitamin dan pengatur tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter dan Constabel 1991). Media hara dapat berbentuk padat, semi padat dan cair (Wattimena et al. 1992). Komposisi formulasi dari suatu media, harus mengandung nutrien esensial makro dan mikro serta sumber tenaga. Zat-zat tersebut bisa dicampur sendiri dari bahan dasarnya atau diperoleh sudah dalam bentuk campuran. Biasanya ditambah zat pengatur tumbuh, seperti hormon-hormon dan penyangga misalnya agar. Banyak formulasi media yang ada, masing-masing berbeda dalam hal kuantitas maupun kualitas komponennya. Dari sekian banyak formulasi yang ada, beberapa buah diantaranya telah sering dipakai. Antara lain seperti yang telah dikemukakan oleh Toshio Murashige dan dipublikasikan oleh Murashige dan Skoog pada tahun 1962 (Wetherell 1982). Media yang dipakai dalam kultur jaringan telah banyak dikembangkan oleh beberapa peneliti. Di dalam media tersebut biasanya terkandung senyawasenyawa kimia yang diperlukan oleh jaringan tanaman (Drew 1980 dalam Wattimena et al.1986). Senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam media disusun dalam perimbangan tertentu. Perimbangan yang tepat dari senyawa penyusun tersebut perlu dan menentukan tipe pertumbuhan yang akan terbentuk dari eksplan yang ditanam (Drew 1980; Murashige 1977a dalam Wattimena et al.1986). Setiap media kultur mempunyai kespesifikan yang tertentu. Media Murashige dan Skoog (MS) merupakan media kultur yang umum digunakan para ahli karena dapat dipakai untuk mengulturkan berbagai macam tanaman, termasuk anggrek. Sementara itu, media Vacin dan Went (VW) merupakan media kultur yang khusus dipergunakan untuk anggrek (Sandra 2003). Keistimewaan medium MS adalah kandungan nitrat, kalium, dan amoniumnya yang tinggi (Wetter dan Constabel 1991). Dewasa ini beberapa media kultur jaringan dapat dibeli dalam bentuk bubuk yang telah dipersiapkan. Tergantung dari jenisnya, media kultur jaringan ada yang hanya mengandung garam mikro serta vitamin, ada juga yang lengkap sampai hormon dan gula (Nugroho dan Sugito 2002).
9
2.2.4 Lingkungan Tumbuh dalam Kultur Jaringan Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam lingkungan tumbuh kultur jaringan yaitu cahaya, temperatur, dan keadaan udara ruang kultur. Dari penelitian yang ada dapat menunjukkan bahwa pada umumnya cahaya dapat memperbaiki pertumbuhan. Dengan adanya cahaya dapat dihasilkan tanaman yang hijau dan berdaun normal (Murashige 1977b dalam Wattimena et al.1986). Intensitas cahaya yang rendah dapat mempertinggi embriogenesis dan organogenesis. Pembentukan kalus maksimum sering terjadi di tempat yang lebih gelap (Hendaryono dan Wijayani 1994). Menurut Wetherell (1982) bahwa sebagai sinar tiruan yang banyak disukai dalam penumbuhan tanaman adalah lampulampu fluorensi. Hal ini disebabkan lampu-lampu jenis itu selain mampu memancarkan sinar yang lebih merata, juga mempunyai kemampuan mengubah energi listrik menjadi energi cahaya yang tiga kali lebih besar daripada lampu biasa. Kekuatan penyinaran lampu fluorensi antara 100-400 foot candle (10004000 lux). Bila dipakai lampu fluorensi putih standar digunakan lampu yang berkekuatan 40 watt, dengan jarak 50-60 cm dari rak kultur. Waktu penyinaran yang paling baik berlangsungnya “foto periode” selama 16 jam. Temperatur ruang kultur terdiri dari suhu dan kelembaban relatif. Suhu ruang kultur biasanya dijaga berkisar antara 200-280C. Pada beberapa tanaman, temperatur ruangan berpengaruh pada proses morfogenesis yang terjadi dari jaringan yang ditanam (Wattimena et al.1986). Suatu kondisi dimana suhu yang dibuat berbeda untuk periode (masa) gelap dan periode terang, dengan membuat suhu pada periode gelap lebih rendah dari periode terang berpengaruh baik bagi beberapa spesies (Wetherell 1982). Suatu wadah kultur yang tertutup rapat akan jenuh oleh uap air. Bila kelembaban ruangan udara rendah, penguapan air dari media kultur akan terlalu besar. Dalam hal ini kelembaban ruang kultur perlu dinaikan, tetapi kelembaban ruang kultur yang tinggi akan menyebabkan terjadinya terjadinya pertumbuhan mikroba diluar wadah kultur dan alat-alat (Wetherell 1982). Kelembaban relatif (RH) lingkungan biasanya mendekati 100%. RH sekeliling kultur mempengaruhi pola pengembangan. Jadi, pengaturan RH pada keadaan tertentu memerlukan suatu bentuk diferensiasi khusus (Hendaryono dan Wijayani 1994).
10
Keadaan udara ruang kultur berpengaruh terhadap perkembangan kultur jaringan yang dilakukan. Gas-gas yang dikeluarkan oleh jaringan tanaman misalnya etilen, akan terkumpul dalam botol kultur dan dapat menghambat pertumbuhan jaringan. Sedangkan keadaan udara ruang kultur di luar botol jika tidak bersih dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi pada kultur yang disimpan (Wattimena et al.1986). Menurut Wetherell (1982) bahwa udara dalam ruang kultur perlu dijaga supaya tetap bersih dan bebas dari debu. Terutama karena adanya pertukaran udara dalam wadah kultur dengan udara dalam ruang kultur. Supaya dapat terjadi pertukaran udara yang bebas dari debu, maka diperlukan terjadinya aliran udara yang bertekanan dari dalam ke luar. Tanaman in vitro sangat peka terhadap polusi, gas-gas, dan lain-lain. Maka perlu juga diperhatikan bahwa tanaman harus terhindar dari pengaruh asap, gas yang berasal dari cat, etilen, belerang oksida, ozon, dan polutan lain yang dapat mengganggu pertumbuhan. 2.3 Zat Pengatur Tumbuh Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994), zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapt mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu auksin, giberelin, sitokinin, etilen, dan inhibitor dengan ciri khas serta pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis. Zat pengatur tumbuh angat diperlukan sebagai komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam media, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan kalus dan organ-organ ditentukan oleh penggunaan yang tepat dari zat pengatur tumbuh tersebut. Menurut Wattimena et al.(1992) dan BPPK DEPHUT (1994) zat pengatur tumbuh auksin mempunyai peran mendorong perpanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan xilem dan floem, pembentukan akar, pembungaan pada Bromeliaceae, pembentukan buah partenokarpi, pembentukan bunga betina pada tanaman diocious, dominan apikal, respon tropisme, serta menghambat pengguguran daun, bunga dan buah.
11
Menurut Weherell (1982) peran auksin dalam kultur jaringan yang pertama adalah merangsang pertumbuhan pucuk-pucuk baru, dan yang kedua adalah merangsang pembentukan akar. Zat pengatur tumbuh auksin seperti 2.4Dikloro fenoksiasetat (2.4-D) dan Naftalen Asam Asetat (NAA) merupakan jenis zat pengatur tumbuh yang stabil dibandingkan dengan Indol Asam Asetat (IAA). 2.4 Kultur Jaringan sebagai Pelengkap Penyimpanan Plasma Nutfah Langkah pertama menuju konservasi in vitro adalah penyimpanan plasma nutfah (Benson 1999).
Menurut Suryowinoto (1996), plasma nutfah adalah
tanaman yang dahulu pernah dapat memenuhi kebutuhan manusia, tanaman yang sekarang ada dan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan tumbuhtumbuhan yang diperkirakan nantinya akan berguna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dipusat-pusat penyimpanan plasma nutfah disimpan biji-biji, bagian vegetatif seperti akar rimpang, umbi atau bagian lain, disimpan selama berbulanbulan atau bertahun-tahun, tergantung macam tanamannya untuk nantinya dapat ditumbuhkan kembali seperti sediakala. Setelah bioteknologi maju pesat terutama dalam kultur in vitro, maka mulai muncul pemikiran untuk memakai hasil kultur jaringan untuk bahan plasma nutfah yang dipreservasi. Untuk cryopreservation dapat dipakai hasil-hasil kultur jaringan, antara lain plantula, kalus, protocorm like bodies (plb), embryoid, hasil kultur sel, protoplas, meristem ujung yang bebas infeksi virus. 2.5 Manfaat Kultur Jaringan Menurut Darmono (2003); Hendaryono dan Wijayani (1994); serta Sandra dan Medi (2002) manfaat yang bisa didapatkan dari kultur jaringan adalah sebagai berikut : 1. Bibit dapat diperbanyak dalam jumlah besar dan relatif cepat. 2. Bibit unggul, cepat berbuah serta tahan hama dan penyakit. 3. Seragam atau sama dengan induknya, tetapi dapat juga menimbulkan keberagaman. 4. Efisiensi tempat dan waktu. 5. Tidak tergantung musim, dapat diperbanyak secara kontinyu. 6. Untuk skala besar biaya lebih murah. 7. Cocok untuk tanaman yang sulit beregenerasi.
12
8. Menghasilkan tanaman bebas virus. 9. Menghasilkan bahan bioaktif/metabolit sekunder tanpa menanam di luar atau di lapang. 10. Kultur jaringan sesuai dengan program pemuliaan konvensional seperti penyelamatan embrio. 11. Produksi bahan-bahan sekunder dapat melalui kultur sel, jaringan, dan organ, misalnya produksi papain dari pepaya. 12. Proses tukar-menukar plasma nutfah menjadi lebih mudah. 13. Plasma nutfah bisa disimpan dalam bentuk sel-sel yang kompeten dalam regenerasi. 1) 2.6 Eksplan Eksplan adalah potongan/bagian jaringan yang diisolasi dari tanaman yang digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro (Sandra dan Karyaningsih 2000).
2)
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa ekplan yang dipilih harus merupakan bagian-bagian tanaman yang mempunyai sel aktif membelah (sel meristem), karena pada bagian-bagian sel ini mengandung hormon tanaman yang baik untuk membantu pertumbuhan. Pengambilan eksplan dari jaringan dewasa (in deferensiasi) dalam waktu lama tidak akan terbentuk kalus, sebab kemampuan untuk membentuk jaringan tidak ada. Meskipun dari tanaman dewasa ini terjadi penambahan volume, tetapi tidak terjadi penambahan sel sebab tidak mengalami pembelahan sel. Sedangkan pada jaringan meristem akan terjadi penambahan sel. Pada prinsipnya eksplan dapat diambil dari semua bagian tanaman baik dari jaringan akar, batang, dan daun. Biasanya sebagai bahan eksplan dipilih bagian-bagian jaringan yang belum banyak mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi atau dipilih bagian-bagian yang bersifat meristematik (Majnu 1975 dalam Wattimena et al.1986). Pemakain tunas pucuk, tunas samping, tunas bunga, daun bunga, daun, cabang muda, akar, umbi, bagian-bagian embrio, anther, dan beberapa bagian lainnya sering dilakukan dalam kultur jaringan beberapa tanaman tertentu (Haramaki dan Heuser 1980 dalam dalam Wattimena et al.1986). Ukuran eksplan yang dipakai bervariasi tergantung tujuan pembiakannya. Eksplan ukuran besar lebih mudah terkontaminasi, sedangkan yang kecil lebih sedikit kemungkinannya terkena kontaminasi. Namun, eksplan 2) Sandra, E. dan I. Karyaningsih. 2000. Panduan Teknis Pelatihan Kultur Jaringan. Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Jurusan Konservasi Sumberdaya hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor, 2000, hal 1.
13
yang kecil mempunyai persentase kematian jaringan yang tinggi dibandingkan eksplan yang lebih besar. Menurut Sandra (2003) bahwa secara teori setiap bagian anggrek bisa digunakan sebagai eksplan sepanjang bagian tanaman tersebut masih hidup. Perbedaannya adalah tingkat kesulitannya. Bagian-bagian tanaman anggrek yang bisa dijadikan eksplan seperti biji anggrek, tunas pucuk, meristem pucuk dan lateral, meristem akar, jaringan muda anggrek (daun muda, tangkai bunga muda, atau bunga muda), jaringan dewasa anggrek, dan jaringan tua anggrek. Bagian yang sering digunakan sebagai eksplan adalah bagian meristem atau bagian anggrek yang masih muda. 2.7 Sterilisasi Eksplan Menurut Sandra dan Karyaningsih (2000), sterilisasi adalah proses untuk mematikan atau menonaktifkan spora dan mikroorganisme sampai ke tingkat yang tidak memungkinkan lagi berkembang biak atau menjadi sumber kontaminan selama proses perkembangan berlangsung. 2) Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) sterilisasi eksplan dapat dilaksanakan dengan dua cara, yaitu secara mekanik dan secara kimia. Sterilisasi eksplan secara mekanik digunakan untuk eksplan yang keras (misalnya tebu, biji salak, dan sebagainya) atau berdaging (misalnya wortel, umbi, dan sebagainya), yaitu dengan membakar eksplan tersebut di atas lampu spiritus sebanyak tiga kali. Sedangkan sterilisasi eksplan secara kimia digunakan untuk eksplan yang lunak (jaringan muda) seperti daun, tangkai daun, anther, dan sebagainya. Bahan-bahan kimia yang sering digunakan untuk sterilisasi permukaan eksplan antara lain: 1. Sodium hipoklorit Nama dagangnya adalah clorox dan bayclin. Konsentrasi untuk sterilisasi tergantung dari kelunakan eksplan, dapat 5%-20% dan waktunya antara 5-10 menit. 2. Mercuri klorit Nama dagangnya adalah sublimat 0.05%. Penggunaan bahan kimia ini harus hati-hati karena bersifat racun. Cara perlakuan sterilisasinya sama dengan clorox, hanya waktunya lebih pendek karena sublimat bersifat keras.
14
3. Alkohol 70% Alkohol lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk alkohol 95%. Jamur biasanya mati dengan alkohol 70%, sedangkan dengan alkohol 95% masih tetap hidup. Dari ketiga bahan kimia tersebut, perlakuan sterilisasinya biasanya dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Untuk perlakuan sterilisasi di luar laminar air flow cabinet biasanya menggunakan fungisida dan bakterisida. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungi/cendawan/jamur. Fungisida yang digunakan untuk sterilisasi merupakan fungisida sistemik. Fungisida sistemik adalah senyawa kimia yang bila diaplikasikan pada tanaman akan bertranslokasi ke bagian lain. Merek dagang fungisida sistemik yang bisa digunakan antara lain benlet, previcur N, derosal 500 EC. Bakterisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah bakteri. Merek dagang bakterisida sistemik yang bisa digunakan antara lain streptomycine (Wudianto 2002). Deterjen (rinso) digunakan untuk mencuci eksplan sekaligus menghilangkan mikroba-mikroba yang menempel pada permukaan eksplan. Pencucian biasanya menggunakan deterjen secukupnya selama 3-7 menit. Pencucian yang terlalu lama atau buih deterjen yang terlalu kental dapat merusak jaringan (Hendaryono dan Wijayani 1994). Menurut Sandra (2003), prinsip dasar sterilisasi eksplan adalah mensterilkan eksplan dari berbagai mikroorganisme, tetapi eksplannya tidak ikut mati. Setiap tanaman memerlukan perlakuan khusus sehingga sebelum mengulturkan tanaman baru perlu melakukan percobaan sterilisasi. Sebagai patokan, konsentrasi bahan dan waktu yang diperlukan untuk sterilisasi eksplan sebagai berikut : 1. Sterilisasi Ringan Eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 20% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril. Setelah itu, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 15% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril. Terakhir, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 10% selama 10
15
menit, lalu bilas dengan air steril tiga kali. 2. Sterilisasi Sedang Eksplan direndam dalam HgCl2 0.1-0.5 mg/l selama 7 menit, lalu bilas dengan air steril. Setelah itu, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 15% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril. Terakhir, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 10% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril tiga kali. 3. Sterilisasi Keras Eksplan direndam dalam HgCl2 0.1-0.5 mg/l selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril. Setelah itu, eksplan direndam dalam alkohol 90% selama 15 menit, lalu bilas dengan air steril. Terakhir, eksplan direndam dalam cairan pemutih pakaian 20% selama 10 menit, lalu bilas dengan air steril tiga kali. Menurut Gunawan (1987) ada sekitar sepuluh jenis bahan yang digunakan dalam sterilisasi permukaan, yaitu kalsium hipoklorit, natrium hipoklorit, hidrogen peroksida, gas klorin, perak nitrat, merkuri klorid, betadin, fungisida, antibiotik, dan alkohol. Untuk bahan-bahan kimia sterilan lebih lengkapnya bisa dilihat di lampiran 1. Masalah yang sering mengganggu dalam pekerjaan in vitro adalah membuat dan menjaga kondisi aseptik, baik kondisi lingkungan maupun kondisi eksplannya. Oleh karena itu bila memindah-tanamkan bagian tanaman dari satu wadah ke wadah yang lain, jangan menyentuh permukaan bagian dalam dari wadah dengan tangan atau bagian alat yang tidak steril (Wetherell 1982). Menurut Gunawan (1987), setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminasi permukaan yang berbeda, tergantung dari : 1. Jenis tanamannya. 2. Bagian tanaman yang dipergunakan. 3. Morfologi permukaan (misalnya berbulu atau tidak). 4. Lingkungan tumbuhnya (Green house atau lapang). 5. Musim waktu mengambil (musim hujan atau kemarau). 6. Umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa). 7. Kondisi tanamannya (sehat atau sakit).
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data primer dilakukan selama enam bulan dari bulan September 2006 sampai Februari 2007. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1 Bahan a. Bahan Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS lengkap (Murashige dan Skoog) dan 1/2MS yang telah dimodifikasi dengan penambahan vitamin, asam amino dan sukrosa. Media 1/2MS adalah media MS yang jumlah konsentrasi penggunaanya setengah dari jumlah konsentrasi yang sebenarnya, kecuali jumlah agar dan gula (sukrosa) dalam satu liter. b. Bahan Eksplan Bahan eksplan yang digunakan adalah daun tumbuhan anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) dari tanaman koleksi pribadi Bapak Ir. Edhi Sandra, MSi. c. Bahan Sterilisasi Bahan sterilisasi yang digunakan adalah alkohol 70%, HgCl2 0,01%, bayclin 25%, 15%, 10%, 5%, bakterisida, fungisida, antibiotik, betadin, dan air steril. 3.2.2 Alat-alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi botol kultur, alumunium foil, petridish, pembakar spiritus, pisau, scalpel, pinset, gelas piala, erlenmayer, pipet, Ph meter, autoklaf, neraca analitik, stirer, laminar air flow cabinet, oven, plastik, sprayer, karet, dan ruang kultur.
17
3.3 Jenis Data 3.3.1 Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini didapatkan melalui studi pustaka dari berbagai literatur. Data sekunder tersebut meliputi data sosok anggrek kuping gajah, kultur jaringan, bahan sterilisasi, dan zat pengatur tumbuh. 3.3.2 Data Primer Data primer dalam penelitian ini yaitu pengaruh perlakuan sterilisasi terhadap eksplan dan pertumbuhan eksplan. 3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Sterilisasi a. Sterilisasi Lingkungan Kerja (Alat Penabur) Sebelum digunakan, laminar air flow cabinet
harus disterilkan
dengan menggunakan hand sprayer berisi alkohol 70%. Setelah laminar air flow cabinet disemprot, kemudian dibiarkan terlebih dahulu ± 10 menit, baru kemudian boleh digunakan. b. Sterilisasi Alat-alat dan Media Kultur Alat-alat dissecting-set dan glass ware yang akan digunakan untuk kultur jaringan, setelah dicuci dan dikeringkan kemudian dibungkus dengan kertas koran dan disterilisasi di dalam autoklaf dengan suhu 1210 C, tekanan 17.5-20.0 psi, lama sterilisasi 45-60 menit. Botol-botol eksplan yang sudah berisi media kemudian disterilisasi. Sterilisasi media lebih sedikit waktunya, yaitu 20-30 menit tetapi suhu dan tekanannya sama. c. Sterilisasi Air Air steril berasal dari air ledeng, tetapi harus diendapkan kotorannya terlebih dahulu. Kemudian air tersebut dimasukkan kedalam botol kultur kosong sesuai kebutuhan dan ditutup. Setelah itu diautoklaf dengan suhu 1210 C, tekanan 17.5-20.0 psi, lama sterilisasi 30-45 menit. d. Sterilisasi eksplan Perlakuan sterilisasi eksplan yang digunakan terdiri dari 11 macam. Sebelum dilakukan perlakuan sterilisasi, bahan eksplan dicuci bersih dengan air
18
ledeng. Kemudian dibersihkan dengan deterjen (rinso) sambil digosok menggunakan spon, lalu dicuci lagi dengan air ledeng. Setelah itu daun dibilas lagi dengan air steril satu kali. Pencucian ini dilakukan diluar laminar air flow cabinet. Selanjutnya, dilakukan sterilisasi pada eksplan menggunakan bahan sterilan di dalam laminar air flow cabinet dengan macam perlakuan sebagai berikut: 1. Pada perlakuan ini eksplan yang sudah dicuci kemudian langsung dilakukan proses penanaman. Hal ini dilakukan sebagai kontrol atau perbandingan hasil dengan perlakuan sterilsasi menggunakam bahan kimia sterilan. 2. Daun direndam dalam larutan bakterisida + fungisida 500 mg/l selama 30 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 10 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Terakhir, daun direndam dalam larutan alkohol 70% selama 5 menit, lalu dibilas dengan air steril empat kali. 3. Daun direndam dalam larutan bakterisida + fungisida 500 mg/l selama 30 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Terakhir, daun direndam dalam larutan alkohol 70% selama 1 menit, lalu dibilas dengan air steril empat kali 4. Daun direndam dalam larutan antibiotik sebanyak 500 mg/l selama 4 jam, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan alkohol 70% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril empat kali. 5. Daun direndam dalam larutan bayclin 25% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 20% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Terakhir, daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 7 menit, lalu dibilas air steril empat kali. 6. Daun direndam dalam larutan bayclin 25% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 20% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Terakhir, daun
19
direndam dalam larutan bayclin 5% selama 7 menit, lalu dibilas air steril empat kali. 7. Daun direndam dalam larutan HgCl2 0.01% selama 10 menit, lalu dibilas dengan air steril empat kali. 8. Daun direndam dalam larutan HgCl2 0.01% selama 5 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 10 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Terakhir, daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 5 menit, lalu dibilas air steril empat kali. 9. Daun direndam dalam larutan HgCl2 0.01% selama 5 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Terakhir, daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 5 menit, lalu dibilas air steril empat kali. 10. Daun direndam dalam larutan HgCl2 0.01% selama 1 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril satu kali. Terakhir, daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 2 menit, lalu dibilas air steril empat kali. 11. Daun direndam dalam larutan HgCl2 0.01% selama 1 menit, lalu dibilas dengan air steril tiga kali. Kemudian daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 7 menit, lalu dibilas dengan air steril tiga kali. Terakhir, daun direndam dalam larutan bayclin 10% selama 5 menit, lalu dibilas air steril tiga kali. Dari ke sebelas perlakuan sterilisasi tersebut, beberapa perlakuan sterilisasi dilakukan dalam waktu yang tidak serentak atau terpisah. Hal ini berkaitan dengan proses penanaman yang tidak mungkin dilakukan semuanya dalam satu waktu. 3.4.2 Pembuatan Media Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS lengkap dan 1/2MS (Murashige dan Skoog) dengan ZPT dan tanpa ZPT. Langkah awal adalah dengan pembuatan larutan induk (stok) yang terdiri dari larutan induk makro,
20
larutan induk mikro, larutan vitamin dan larutan induk Fe-EDTA (lampiran 2). Pembuatan larutan induk (stok) bertujuan untuk efisiensi waktu dan kemudahan pekerjan. Adapun tahapan dalam pembuatan media MS lengkap dalam satu liter air adalah sebagai berikut : 1. Menyiapkan air 500 ml dalam gelas piala volume 1000 ml. 2. Menambahkan larutan stock yang sudah disiapkan ke dalam gelas piala. Terdiri dari larutan A sebanyak 20 ml, larutan B sebanyak 20 ml, larutan C sebanyak 5 ml, larutan D sebanyak 5 ml, larutan E sebanyak 5 ml, larutan F sebanyak 5 ml, vitamin sebanyak 5 ml, dan Myo-inositol sebanyak 10 ml. Sedangkan untuk media 1/2MS, terdiri dari larutan A sebanyak 10 ml, larutan B sebanyak 10 ml, larutan C sebanyak 2.5 ml, larutan D sebanyak 2.5 ml, larutan E sebanyak 2.5 ml, larutan F sebanyak 2.5 ml, vitamin sebanyak 2.5 ml, dan Myo-inositol sebanyak 5 ml. Media 1/2MS hanya berbeda dalam jumlah larutan stock yang dimasukan. 3. Menimbang dan memasukkan 30 gram gula pasir. 4. Menambahkan volume larutan mendekati 1000 ml. Kemudian mengukur pH pada kisaran 5.8-6.0, bila terlalu asam ditambah NaOH dan bila terlalu basa ditambah HCl. 5. Menimbang dan memasukankan agar-agar sebanyak 7 gram, lalu dipanaskan sambil diaduk dengan stirer. 6. Menuangkan media ke dalam botol sebanyak ± 20 ml, kemudian tutup dengan tutup botol plastik. 7. Tahapan terakhir adalah mensterilkan media dalam autoklaf dengan suhu 1210 C, tekanan 17.5-20.0 psi selama 20 menit. Lalu, media didinginkan dan disimpan dalam ruangan inkubasi. Media baru bisa dipakai minimal setelah 3 hari untuk mengetahui ada tidaknya kontaminansi. Skema pembuatan media MS dapat dilihat di lampiran 3. 8. Untuk media yang menggunakan zat pengatur tumbuh sebelum dituangkan ke dalam botol, media ditambahkan 2.4-D sebanyak 2 mg/l dan NAA sebanyak 0.5 mg/l.
21
3.4.3 Penanaman Penanaman eksplan dilakukan di dalam laminar air flow cabinet. Eksplan daun anggrek yang sudah disteriliasi, lalu dipindahkan ke dalam cawan petri yang sudah berisi air steril dan dicampur dengan tiga tetes betadin. Kemudian, daun diiris bagian pinggirnya atau bagian tepinya. Setelah itu, daun dipotong-potong persegi empat dengan ukuran 0.5 x 0.5 cm dan eksplan siap untuk ditanam pada media. Penanaman ini dilakukan secara bertahap, karena untuk mengetahui pengaruh bahan sterilisasi yang digunakan agar nantinya bisa dilakukan evaluasi. 3.4.4 Pengamatan Pengamatan dilakukan pada seluruh eksplan yang ditanam dalam setiap satuan perlakukan, meliputi : a. Kecepatan kontaminasi terhadap eksplan b. Jumlah eksplan yang hidup dalam prosentase c. Jumlah jenis kontaminan (jamur dan bakteri) dalam prosentase d. Jumlah sumber kontaminan (eksplan atau media) dalam prosentase e. Jumlah eksplan browning dan bukan karena browning dalam prosentase f. Jumlah jenis jamur (jamur putih, merah, dan hitam) dalam prosentase. 3.5 Analisa Data Penelitian dilakukan secara bertahap dan bersifat eksplorasi. Oleh karena itu, analisa data dilakukan dalam dua cara yaitu secara kualitatif dan secara kuantitatif. Analisa data secara kualitatif yaitu dengan deskriptif. Sedangkan secara kuantitatif, data dianalisa dengan tabel, grafik, dan rumus. Untuk menghitung prosentase dan total prosentase menggunakan rumus:
∑ eksplan hidup X 100% N ∑ kontaminan jamur b. Prosentase jenis kontaminasi jamur (J) = X 100% N ∑ kontaminan bakteri c. Prosentase jenis kontaminasi bakteri (B) = X 100% N ∑ kontaminasi eksplan d. Prosentase sumber kontaminasi pada eksplan (E) = X 100% N ∑ kontaminasi media e. Prosentase sumber kontaminasi pada media (M) = X 100% N a. Pr osentase eksplan yang hidup (Eh) =
22
∑ browning X 100% N ∑ mati bukan browning g. Prosentase eksplan mati bukan browning (BBr) = X 100% N f. Prosentase eksplan yang browning (Br) =
h.Total prosentase = Eh(%)+E(%)+M(%)+Br(%)+BBr(%) atau = Eh(%)+J(%)+B(%)+Br(%)+BBr(%) Keterangan : N = jumlah keseluruhan eksplan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Sterilisasi Eksplan Sterilisasi eksplan anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara kimia. Banyak bahan kimia yang biasanya digunakan untuk sterilisasi eksplan dalam kegiatan kultur jaringan, dan kesemuanya memerlukan konsentrasi dan waktu perendaman yang tepat agar sterilisasi dapat berhasil dengan baik Dari beberapa bahan kimia yang biasanya digunakan tersebut, maka dipilih bahan kimia fungisida, bakterisida, bayclin, HgCl2, antibiotik, dan alkohol. Percobaan dilakukan sebanyak 11 kali perlakuan dengan jumlah eksplan tiap perlakuan sebanyak 30 ulangan atau 30 botol kecuali pada perlakuan yang ke-11, jumlah eksplan sebanyak 70 ulangan. Percobaan pertama yang dilakukan adalah perlakuan pada eksplan anggrek kuping gajah tanpa menggunakan bahan kimia di dalam laminar air flow (kontrol). Perlakuan hanya berupa penyemprotan dengan campuran fungisida, bakterisida, dan antibiotik 0.5 g/l pada tanaman induk sebanyak 2 kali selama 5 hari serta menggunakan deterjen pada saat pencucian. Media yang digunakan 1/2MS tanpa ZPT. Hasil dari percobaan tersebut adalah eksplan mengalami awal kontaminasi jamur sebanyak 27% dan bakteri sebanyak 3% pada 4 HSI (Hari Setelah Inokulasi). Hari Setelah Inokulasi maksudnya adalah hari dimana eksplan mengalami kontaminasi jamur dan bakteri atau browning setelah proses inokulasi (penanaman). Kontaminasi jamur terus berlanjut mencapai puncaknya pada 11 HSI sebanyak 80%. Menurut Wudianto (2002) jamur/cendawan pada umumnya berbentuk seperti benang halus yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Namun, kumpulan dari benang halus ini yang disebut miselium bisa dilihat dengan jelas. Menurut Darmono (2003) kontaminasi bakteri yang menyerang eksplan umumnya ditandai dengan keluarnya cairan warna putih keruh seperti susu dan berbau busuk. Sandra (2002) juga menyebutkan kontaminsi oleh bakteri menyebabkan pembusukan, biasanya ditandai dengan keluarnya lendir dan bau busuk. Sisanya eksplan mati karena kontaminasi jamur dan bakteri yang disertai terjadinya browning (pencoklatan) sebanyak 17% pada 7 HSI. Menurut Sandra (2003) eksplan yang berasal dari bagian tanaman anggrek yang sudah tua biasanya
24
akan mengeluarkan larutan fenol yang akan bereaksi dengan udara (oksigen) sehingga menghasilkan larutan yang berwarna coklat yang disebut quinon, peristiwa ini disebut browning. Namun, browning tidak hanya terjadi pada tanaman tua saja tetapi juga terjadi pada tanaman muda, hanya tanaman muda sedikit mengalami pencoklatan dibandingkan tanaman yang sudah tua. Menurut Darmono (2003) senyawa fenol berwarna coklat atau hitam terjadi pada bekas potongan eksplan yang akan ditanam. Untuk sumber kontaminan banyak terjadi pada eksplan sebanyak 77% dan media sebanyak 7%. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Eksplan tanpa perlakuan sterilisasi di laminar air flow cabinet (Kontrol). Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
HSI
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Browning (%)
Jumlah jenis jamur (%)
4# ^
27
3
23
6
7
Didominasi oleh
^^
73
-
70
-
17
jp 50
*
80
-
77
-
-
7
11
Total prosentase = 77% + 6% + 17% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi ^ : Waktu awal terjadinya browning : Tidak terjadi kontaminasi atau browning jp : Jamur berwarna putih
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, sangat wajar apabila deterjen tidak bisa menghilangkan kontaminan yang terdapat pada eksplan. Menurut Wetherell (1982), hal tersebut terjadi karena deterjen hanya berfungsi membuang lapisan lilin pada permukaan jaringan untuk mempermudah penetrasi desinfektan dan mencegah terbentuknya gelembung-gelembung udara yang menutupi permukaan jaringan. Berbeda dengan perlakuan sterilisasi yang menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan alkohol 70% selama 5 menit dengan media MS lengkap tanpa ZPT. Hasil dari percobaan tersebut menunjukkan eskplan mulai terkontaminasi jamur pada 6 HSI sebanyak 13%. Kontaminasi ini terus bertambah secara bertahap hingga mencapai 100%
25
dalam waktu 30 HSI. Dalam waktu 1 bulan tersebut kontaminasi oleh jamur mencapai 97%, sedangkan kontaminasi oleh bakteri hanya sebanyak 3% pada hari ke 18 setelah inokulasi (penanaman). Pada percobaan ini tidak terjadi browning. Menurut Santoso dan Nursandi (2002) bahwa kontaminasi secara bertahap tersebut membuktikan sumber kontaminan tidak hanya berada pada bagian permukaan eksplan saja tetapi juga berada pada bagian dalam eksplan. Biasanya sumber kontaminan yang hanya berada pada bagian permukaan saja respon kontaminasi sangat cepat, dalam tempo 2 x 24 jam sudah bisa nampak. Tetapi bila bersifat internal respon muncul setelah beberapa hari bahkan kadang bisa sampai 1 bulan. Menurut Darmono (2003) respon kontaminasi internal yang agak lama disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat dalam ruang antar sel memerlukan waktu untuk keluar dari dalam ruang antar sel. Setelah keluar, mikroorganisme akan menginfeksi semua bagian eksplan. Sumber kontaminan yang paling banyak terjadi yaitu pada eksplan sebanyak 90% dan media hanya sebanyak 10%. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan alkohol 70% selama 5 menit (FBByA 1). HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Jumlah jenis jamur (%)
6#
13
-
10
3
Didominasi oleh jp
18
50
3
46
7
57
30*
97
-
90
10
Total prosentase = 90% + 10% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Besarnya sumber kontaminasi pada eksplan dan tidak terjadinya browning, menunjukkan kegagalan sterilisasi terletak pada ketidakmampuan bahan yang dipakai untuk menghilangkan kontaminan jamur dan bakteri. Padahal jumlah konsentrasi perendaman fungisida sudah cukup tinggi. Menurut Gunawan (1987)
26
kisaran konsentrasi dan lama waktu perendaman untuk fungisida sebanyak 2 g/l selama 20-30 menit. Sedangkan konsentrasi alkohol 70% yang digunakan sudah cukup baik. Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) jamur biasanya mati dengan alkohol 70%, sedangkan dengan alkohol 95% masih tetap hidup. Setelah melihat hasil yang didapatkan dari perlakuan menggunakan fungisida dan bakterisida, bayclin, dan alkohol, maka dilakukan evaluasi dengan menggunakan bahan yang sama tetapi tanaman induk mendapat perlakuan penyemprotan campuran fungisida, bakterisida, dan antibiotik 0.5 g/l. Selain itu, lama perendamannya juga dikurangi dengan alasan tanaman induk telah dilakukan penyemprotan 2 kali dalam 5 hari, diharapkan kontaminasi internal tidak ada. Konsentrasi dan lama perendamannya adalah fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan alkohol 70% selama 1 menit. Media yang digunakan untuk percobaan ini adalah 1/2MS tanpa ZPT. Hasil dari percobaan tersebut adalah kontaminasi jamur sebanyak 67% dan bakteri sebanyak 23%, dimana puncak dari kontaminasi jamur dan bakteri yaitu pada 17 HSI. Untuk sumber kontaminan masih terjadi pada eksplan sebanyak 90%, sedangkan pada media tidak ada. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan alkohol 70% selama 1 menit (FBByA 2). HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Browning (%)
Jumlah jenis jamur (%) Didominasi oleh jp
4#
20
7
27
-
-
^
60
20
86
-
10
67
23
90
-
-
9
17*
50
Total prosentase = 90% + 10% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi ^ : Waktu awal terjadinya browning : Tidak terjadi kontaminasi atau browning jp : Jamur berwarna putih
Perbedaan signifikan hasil perlakuan ini terletak pada kecepatan awal kontaminasi terjadinya pada 4 HSI, puncak kontaminasi pada 17 HSI, kontaminasi
27
bakteri terjadi hingga puncak kontaminasi jamur, dan terjadi browning. Hal tersebut menunjukkan perlakuan penyemprotan pada tanaman induk tidak berpengaruh besar pada eksplan dan penurunan lama perendaman malah memperburuk kontaminasi. Kalau sebelumnya antibiotik digunakan untuk penyemprotan tanaman induk, pada percobaan ini juga menggunakan antibiotik sebagai bagian sterilisasi permukaan di dalam laminar air flow cabinet. Selain antibiotik, percobaan ini juga menggunakan alkohol. Konsentrasi dan lama perendaman yang digunakan adalah antibiotik 5 g/l selama 4 jam dan alkohol 70% selama 7 menit. Media yang digunakan adalah MS lengkap tanpa ZPT. Hasil dari percobaan ini adalah kontaminasi jamur mulai terjadi pada 4 HSI sebanyak 7% dan bakteri sebanyak 3%. Puncak kontaminasi jamur terjadi pada 20 HSI sebanyak 90% dan bakteri 10%. Untuk sumber kontaminasi masih didominasi oleh eksplan, dimana pada puncaknya sebanyak 87%, sedangkan pada media sebanyak 13%. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan antibiotik 5 g/l selama 4 jam dan alkohol 70% selama 7 menit (AnAl). HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
4#
7
3
23
-
20*
90
10
87
13
Jumlah jenis jamur (%) Didominasi oleh jp 50
Total prosentase = 87% + 13% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, maka pemakaian antibiotik dan alkohol masih belum bisa menghilangkan kontaminasi jamur dan bakteri. Pada perlakuan sterilisasi ini tidak dilakukan pengulangan atau evaluasi. Hal ini dilakukan karena berdasarkan pengamatan, percobaan tersebut tidak memberikan harapan yang baik. Sebenarnya kisaran konsentrasi dan lama perendaman yang dipakai sudah cukup tinggi bila dibandingkan dengan Gunawan (1987), bahwa
28
pemakaian antibiotik sebanyak 50 mg/l selama 1 jam. Namun, menurut Darmono (2003) penggunaan konsentrasi antibiotik yang tinggi dapat mengakibatkan efek fitotoksik pada tanaman. Pada perlakuan sterilisasi berikutnya, percobaan hanya menggunakan satu jenis bahan kimia dengan konsentrasi bertingkat yaitu menggunakan bayclin 25% selama 7 menit, bayclin 20% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 7 menit. Media yang digunakan adalah media MS lengkap tanpa ZPT. Hasil dari percobaan ini adalah eksplan mengalami awal kontaminasi pada 6 HSI yaitu jamur sebanyak 3% dan bakteri sebanyak 23%. Puncak kontaminasi jamur yaitu pada 20 HSI sebanyak 73% dan puncak kontaminasi bakteri pada 7 HSI sebanyak 27%. Untuk sumber kontaminasi masih banyak terjadi pada eksplan, dimana mencapai puncaknya pada 20 HSI sebanyak 100%. Sedangkan pada media tidak terjadi kontaminasi sama sekali. Pada percobaan ini sisi-sisi eksplan sedikit terlihat mengalami pencoklatan, namun tidak begitu buruk. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan bayclin 25%, 20%, dan 10% masing-masing selama 7 menit (3By 1). HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Jumlah jenis jamur (%)
6#
3
23
27
-
Didominasi oleh jp
7
-
27
30
-
60
73
-
100
-
20
*
Total prosentase = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Berdasarkan hasil percobaan, menunjukkan bayclin dengan konsentrasi tersebut belum bisa menghilangkan kontaminasi jamur dan bakteri. Padahal konsentrasi bertingkat yang digunakan tersebut sudah cukup tinggi, karena konsentrasi dan lama perendaman bayclin menurut Darmono (2003) sebanyak 110% selama 5-30 menit, menurut Gunawan (1987) 1-2% selama 7-15 menit, serta
29
menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) 5-10% selama 5-10 menit. Kegagalan sterilisasi ini bisa dikarenakan jamur dan bakteri telah menyerang bagian dalam jaringan tanaman. Setelah melihat hasil tersebut maka dilakukan evaluasi dengan melakukan penyemprotan pada tanaman induk menggunakan fungisida, bakterisida, dan antibiotik 0.5 g/l sebanyak 2 kali selama 5 hari. Hal ini dilakukan untuk mengatasi serangan jamur dan bakteri yang telah menyerang ke bagian dalam jaringan tanaman. Media yang digunakan adalah 1/2MS tanpa ZPT. Pada percobaan ini sedikit dilakukan perubahan konsentrasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kerusakan jaringan eksplan. Hasil dari percobaan ini adalah kontaminasi awal terjadi pada 3 HSI yaitu jamur sebanyak 3% dan bakteri 7%. Puncak kontaminsi jamur terjadi pada 7 HSI sebanyak 90%. Perbedaan hasil dari perlakuan sebelumnya adalah terjadinya browning sebanyak 3%. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan bayclin 25%, 20%, dan 5% masing-masing selama 7 menit (3By 2). HSI 3# ^ 7
*
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Browning (%)
Jumlah jenis jamur (%)
3
7
7
3
3
Didominasi oleh jp
90
-
87
10
-
74
Total prosentase = 87% + 10% + 3% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi ^ : Waktu awal terjadinya browning : Tidak terjadi kontaminasi atau browning jp : Jamur berwarna putih
Berdasarkan hasil tersebut ternyata penyemprotan sebelumnya pada tanaman induk tidak berpengaruh besar bagi keberhasilan sterilisasi. Kegagalan sterilisasi ini bisa dikarenakan kontaminan yang menyerang bagian dalam jaringan tanaman sudah cukup tinggi, sehingga sulit untuk dihilangkan. Pada perlakuan sterilisasi lainnya yaitu hanya dengan menggunakan HgCl2 0.01% selama 10 menit. Media yang digunakan MS lengkap dan tanpa ZPT. Hasil dari percobaan tersebut adalah kontaminasi awal terjadi setelah 6 HSI yaitu jamur
30
sebanyak 33%
dan bakteri sebanyak 3%. Kontaminasi jamur terus berlanjut
hingga mencapai puncaknya pada 30 HSI sebanyak 90%. Untuk sumber kontaminasi masih didominasi oleh eksplan, dimana waktu puncak kontaminasi sebanyak 87%. Seperti pada perlakuan sebelumnya kontaminasi terus terjadi secara bertahap dan jamur masih merupakan jenis kontaminan yang paling banyak. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 7. Tabel 7
HSI
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 10 menit (HgCl). Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Jumlah jenis jamur (%)
6#
33
3
36
-
Didominasi oleh jp
8
-
10
-
-
60
21
70
-
67
13
30*
90
-
87
-
Total prosentase = 87% + 13% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Menurut Hendaryono dan Wijayani (1994) HgCl2 merupakan bahan kimia yang bersifat keras dan beracun. Bila sterilisasi terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan pada eksplan (berwarna coklat). Namun, berdasarkan hasil percobaan tersebut sifat bahan kimia ini masih belum mampu mematikan/menghilangkan kontaminasi jamur dan bakteri. Kegagalan sterilisasi ini bisa dikarenakan konsentrasi yang digunakan masih rendah. Menurut Gunawan (1987) serta Santoso dan Nursandi (2002) kisaran konsentrasi dan lama waktu perendaman adalah 0.1-0.2% selama 10-20 menit. Percobaan berikutnya yaitu dengan menggunakan HgCl2 dan bayclin, merupakan percobaan yang mempunyai harapan yang paling baik dalam mengatasi kontaminan. Percobaan pertama yang dilakukan adalah menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit. Media yang digunakan adalah media MS lengkap tanpa ZPT. Hasil dari percobaan ini adalah awal kontaminasi jamur terjadi pada 6 HSI
31
sebanyak 13% dan bakteri sebanyak 10%. Secara bertahap puncak kontaminasi jamur terjadi pada 18 HSI sebanyak 83%. Eksplan masih merupakan sumber kontaminan yang paling banyak, dimana puncak kontaminan pada 18 HSI sebanyak 93%. Hasil dari percobaan ini masih seperti percobaan-percobaan sebelumnya, namun pada percobaan selanjutnya yang memakai bahan yang sama memberikan pengaruh yang besar terhadap pengurangan kontaminasi jamur dan bakteri. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 1). HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Jumlah jenis jamur (%)
6#
13
10
17
7
Didominasi oleh jp
8
-
17
23
-
43
83
-
93
-
18
*
Total prosentase = 93% + 7% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Kegagalan pada percobaan pertama disebabkan oleh besarnya kontaminasi jamur dan bakteri yang menyerang bagian dalam jaringan tanaman (kontaminasi internal). Hal ini terlihat pada saat sterilisasi eksplan di dalam laminar air flow cabinet, dimana bintik-bintik hitam yang ada pada eksplan sangat banyak. Selain itu, tanaman yang digunakan belum dilakukan penyemprotan dengan fungisida dan bakterisida sistemik serta antibiotik. Setelah dilakukan evaluasi dari hasil percobaan HByBy 1, maka dilakukan percobaan kedua dengan bahan yang sama dan dilakukan penyemprotan pada tanaman induk menggunakan fungisida, bakterisida, dan antibiotik 0.5 g/l sebanyak 2 kali selama 5 hari. Hal ini dilakukan untuk mengatasi serangan jamur dan bakteri yang telah menyerang ke bagian dalam jaringan tanaman. Media yang digunakan adalah media MS lengkap tanpa ZPT. Hasil dari percobaan
32
menggunakan HgCl2 0.01% selama 2 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit adalah awal kontaminasi jamur terjadi pada 7 HSI sebanyak 3% dan bakteri sebanyak 3%. Perbedaaan dari percobaan sebelumnya adalah terjadinya kematian eksplan bukan karena browning, tetapi diperkirakan akibat pemakaian konsentrasi bahan sterilan yang tinggi sehingga merusak jaringan eksplan sebanyak 84% pada 28 HSI. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 9. Tabel 9
Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2).
10
3
13
-
Mati bukan karena browning (%) -
*
13
-
16
-
-
>
-
-
-
-
13
28>>
-
-
-
-
84
HSI 7# 12 17
Jenis kontaminan (%)
Sumber kontaminan (%)
Jamur
Bakteri
Eksplan
Media
Jumlah jenis jamur (%) Didominasi oleh jp 13
Total prosentase = 16% + 84% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi > : Waktu awal terjadinya kematian bukan karena browning >> : Waktu puncak terjadinya kematian bukan karena browning : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Dari data tersebut menunjukkan konsentrasi dan lama perendaman dari bahan kimia yang dipakai sudah mampu mematikan kontaminasi jamur dan bakteri. Selain itu penyemprotan yang dilakukan sebelumnya pada tanaman induk memberikan pengaruh yang besar dalam menghilangkan kontaminasi internal. Namun, sterilisasi ini masih belum berhasil karena eksplan yang ditanam mati. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar sterilisasi yang disampaikan oleh Sandra (2003) dan Gunawan (1987) yaitu bagaimana caranya mematikan kontaminan, tapi eksplannya tidak ikut mati. Setelah melihat hasil dari percobaan tersebut, maka dilakukan evaluasi kembali dengan menurunkan konsentrasi dan lama perendamannya. Untuk
33
perlakuan pada tanaman induk masih sama seperti yang sebelumnya. Jadi, perlakuan yang digunakan untuk percobaan berikutnya adalah menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit. Penurunan ini diharapkan bisa meminimaliasi terjadinya kematian pada eksplan. Media yang digunakan adalah 1/2MS tanpa ZPT. Hasil dari percobaan ini adalah awal kontaminasi jamur terjadi pada 9 HSI sebanyak 3% dan bakteri pada 7 HSI sebanyak 3%. Ada perbedaan pada percobaan ini dengan sebelumnya yaitu eksplan mengalami kontaminasi jamur dan bakteri sekaligus mengalami browning. Antara eksplan terlebih dahulu kontaminan atau browning, berdasarkan pengamatan kadang eksplan terlebih dahulu browning kemudian disusul kontaminasi atau sebaliknya. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3). Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
7# ^
-
3
3
-
7
Mati bukan karena browning (%) -
9
HSI
Browning (%)
3
-
7
-
13
-
*^^
-
7
17
-
23
-
26>>
-
-
-
-
-
60
15
Jumlah jenis jamur (%) Didominasi oleh jp 10
Total prosentase = 17% + 23% + 60% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi ^ : Waktu awal terjadinya browning ^^ : Waktu puncak terjadinya browning >> : Waktu puncak terjadinya kematian bukan karena browning : Tidak terjadi kontaminasi atau browning jp : Jamur berwarna putih
Berdasarkan hasil percobaan tersebut, kematian eksplan masih terjadi akibat bahan sterilan, walaupun konsentrasi dan lama perendamannya sudah diturunkan. Kematian eksplan pada percobaan ini diperkirakan karena bahan sterilisasi yang masih menempel pada bagian dalam jaringan eksplan, artinya pembilasan yang dilakukan belum bersih. Sehingga dari waktu ke waktu bahan
34
kimia tersebut merusak jaringan eksplan dan akhirnya eksplan mati, seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Eksplan mati karena bahan sterilan Menurut Gunawan (1987) bahan-bahan sterilisasi yang biasa digunakan umumnya bersifat toksik terhadap jaringan. Pembilasan yang berkali-kali sesudah perendaman
dalam
larutan
bahan
sterilisasi
sangat
diperlukan
untuk
menghilangkan sisa-sisa bahan aktif yang masih menempel pada eksplan. Berdasarkan anggapan bahwa pada percobaan HbyBy 3, eksplan mati karena bahan sterilisasi yang masih tersisa dalam jaringan eksplan, maka dilakukan evaluasi kembali dengan perlakuan sterilisasi menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit, tetapi dengan pembilasan berkali-kali sesudah perendaman dalam larutan bahan sterilisasi. Pada percobaan ini media yang digunakan adalah media 1/2MS dengan ZPT 2.4-D sebanyak 2 mg/l dan NAA sebanyak 0.5 mg/l. Pemakaian ZPT 2.4-D dan NAA ini untuk membantu merangsang pertumbuhan kalus pada eksplan karena berdasarkan pengamatan pada media MS tanpa ZPT, eksplan ini sulit untuk tumbuh. Selain itu, penggunaan ZPT ini untuk mengantisipasi terjadinya stagnasi pertumbuhan eksplan. Jumlah eksplan yang digunakan dalam percobaan ini sebanyak 70 ulangan atau 70 botol. Hasil dari percobaan tersebut adalah awal kontaminasi jamur terjadi pada 4 HSI sebanyak 17%, sedangkan awal kontaminasi bakteri terjadi pada 7 HSI sebanyak 3%. Untuk sumber kontaminasi masih banyak terjadi pada eksplan sebanyak 54%, sedangkan pada media sebanyak 7%. Namun, dalam percobaan ini ada perbedaan hasil yang sangat signifikan yaitu sebanyak 41% eksplan masih bertahan hidup. Dengan adanya jumlah eksplan yang hidup tersebut, menunjukkan
35
perlakuan sterilisasi yang dilakukan mengalami kemajuan yang besar. Selain itu, evaluasi yang dilakukan dengan membilas eksplan berkali-kali, memberikan dampak yang besar terhadap keberhasilan sterilisasi. Secara kuantitatif data tersebut bisa dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 4) HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Eksplan hidup
Jumlah jenis jamur (%)
4#
17
-
17
-
83
Didominasi
7
41
3
44
-
56
oleh Jp 46
11
48
4
52
-
48
22*
54
-
-
7
41
Total prosentase = 52% + 7% + 41% = 100% Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Dari ke sebelas perlakuan sterilisasi yang dilakukan dan hanya perlakuan terakhir yang berhasil, membuktikan bahwa banyak faktor penyebab suatu tingkat kontaminasi pada eksplan, terutama eksplan yang berasal dari lapang. Menurut Gunawan (1987), hal ini menyulitkan penentuan suatu prosedur sterilisasi standar yang berlaku untuk semua tanaman dan menyulitkan untuk menentukan prosedur standar yang dapat dipergunakan untuk satu jenis tanaman yang berasal dari tempat yang berbeda. Setiap bahan tanaman harus ditentukan melalui percobaan pendahuluan. 4.2 Pembentukan kalus Pada umumnya, kemampuan pembentukan kalus dari jaringan tergantung diantaranya dari umur tanaman, bagian tanaman yang digunakan, dan jenis tanaman. Pada penelitian ini umur eksplan yang digunakan adalah tidak terlalu muda. Menurut Santoso dan Nursandi (2002) boleh menggunakan bahan yang cukup dewasa tetapi harus yang memiliki potensi melakukan aktifitas
36
dediferensiasi. Bila eksplan tumbuh dengan baik dan sifat totipotensi selnya muncul, akan mengarah ke pengkhususan yaitu dari eksplan membentuk kalus, kalus membentuk tunas, akar, embrio somatik, atau organ lain. Berhubungan dengan bagian tanaman yang digunakan, menurut Gunawan (1987) eksplan batang, akar, dan daun menghasilkan kalus yang heterogenous dengan berbagai macam sel. Sel-sel yang heterogenous dari jaringan yang kompleks
menunjukkan
pertumbuhan
yang
berbeda.
Sedangkan
yang
berhubungan dengan jenis tanaman, bahwa dikotil berdaun lebar, monokotil gymnospermae (dalam hal ini anggrek kuping gajah), dan pakis mampu menghasilkan kalus. 4.3 Tingkat Kontaminasi Dari keseluruhan perlakuan sterilisasi eksplan yang dilakukan, ternyata untuk menghilangkan kontaminasi maupun browning dari suatu tanaman tertentu memerlukan perlakuan khusus, terutama untuk tanaman baru. Keseluruhan data perlakuan sterilisasi permukaan eksplan secara tabulatif, dapat dilihat pada lampiran 4, 5, 6, dan 7. Namun, kecepatan kontaminasi pada jamur dari seluruh perlakuan sterilisasi dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 4. 120 Tingkat kontaminasi (%)
Kontrol 100
FBByA 1 FBByA 2
80
AnAl 60
3By 1 3By 2
40
HgCl 20
HByBy 1 HByBy 2
0 1
3
5 7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Hari Setelah Inokulasi (HSI)
HByBy 3 HByBy4
Gambar 4 Grafik tingkat kontaminasi jamur Sedangkan, kecepatan kontaminasi pada bakteri dari seluruh perlakuan sterilisasi dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 5.
37
30 Tingkat kontaminasi (%)
Kontrol 25
FBByA 1 FBByA 2
20
AnAl 15
3By 1 3By 2
10
HgCl 5
HByBy 1 HByBy 2
0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25
Hari Setelah Inokulasi (HSI)
HByBy 3 HByBy4
Gambar 5 Grafik tingkat kontaminasi bakteri Berdasarkan grafik di atas, maka puncak kontaminasi paling lama yaitu 30 HSI pada perlakuan sterilisasi menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan alkohol 70% selama 5 menit (FBByA 1), dan menggunakan HgCl2 0.01% selama 10 menit (HgCl). Untuk kontaminasi jamur paling sedikit yaitu sebanyak 10% pada perlakuan sterilisasi menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3). Sedangkan untuk kontaminasi bakteri paling sedikit yaitu sebanyak 3% pada perlakuan sterilisasi kontrol, menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan alkohol 70% selama 5 menit (FBByA 1), dan menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2). Untuk jenis kontaminasi jamur dan bakteri pada eksplan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6a Jamur hitam
Gambar 6b Jamur putih
38
Gambar 6c Jamur merah
Gambar 6d Bakteri
Dari gambar 6 di atas warna jamur berbeda-beda. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Wudianto (2002) bahwa warna miselium ada yang berwarna putih, cokelat, hitam, merah, dan lain-lain. Jamur ini akan berkembang pesat bila kondisi sekitarnya lembab, asam, dan selalu basah dengan suhu sekitar 25-30 0C. Namun, untuk bakteri hanya cairan warna putih keruh seperti susu dan berbau busuk. 4.4 Masalah dalam Kultur Jaringan dan Pengendaliannya Menurut Darmono (2004) banyak usaha pencegahan kontaminasi telah dilakukan, baik itu pencegahan kontaminasi internal maupun eksternal. Untuk kontaminasi permukaan (infeksi eksternal), pencegahan dapat dilakukan dengan sterilisasi kontak (permukaan). Menurut Santoso dan Nursandi (2002) munculnya kontaminasi ini bila dipahami secara mendasar adalah merupakan sesuatu yang wajar sebagai konsekuensi penggunaan media yang diperkaya. Fenomena kontaminasi, menunjukkan bahwa semakin diperkaya suatu media maka tingkat kontaminasinya juga semakin besar, dan demikian juga sebaliknya. Secara sederhana, gangguan kontaminasi dengan macam media dapat dilihat pada Gambar 7.
VW KNUDZON MS
Gambar 7 Kecendrungan resiko kontaminasi.
39
Dari gambar 7 tersebut media Murashige dan Skoog (MS) mempunyai tingkat resiko kontaminasi yang lebih tinggi daripada media Knudzon dan media Vacin dan Went (VW). Untuk tingkat sumber kontaminasi pada media dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 8.
Tingkat kontaminasi (%)
14
Kontrol
12
FBByA 1
10
FBByA 2 AnAl
8
3By 1
6
3By 2
4
HgCl
2
HByBy 1 HByBy 2
0 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Hari Setelah Inokulasi (HSI)
HByBy 3 HByBy4
Gambar 8 Grafik tingkat sumber kontaminasi pada media Pada Gambar 8 di atas sumber kontaminasi pada media paling sedikit yaitu 0% pada perlakuan sterilisasi menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan alkohol 70% selama 1 menit (FBByA 2), menggunakan bayclin 25%, 20%, dan 10% masing-masing selama 7 menit (3By 1), menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2), dan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3). Kontaminasi yang disebabkan karena jenis media pada dasarnya karena kontaminasi mikroorganisme dari lingkungan luar dan yang berasal dari eksplan. Jadi, selama mikroorganisme dari lingkungan luar dan dari eksplan tidak ada, maka media dan eksplan pun tidak akan terkontaminasi. Namun karena kontaminasi tidak mudah untuk dihindari, maka dalam penelitian ini menggunakan media 1/2MS dengan tujuan untuk mengurangi kontaminasi yang berhubungan dengan media. Menurut Gunawan (1987) setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminasi permukaan yang bebeda, salah satunya tergantung dari lingkungan tumbuhnya dan kondisi tanamannya. Lingkungan tumbuh maksudnya adalah apakah tanaman yang akan dijadikan eksplan berasal dari rumah kaca (green
40
house) atau berasal dari lapangan. Pada penelitian ini, bahan tanaman berasal dari lapangan. Gunawan (1987) juga menyebutkan apabila tanaman yang akan dijadikan eksplan berasal dari rumah kaca, maka kemungkinan debu, kotoran, dan berbagai kontaminan sangat sedikit. Apabila tanaman yang akan dijadikan eksplan berasal dari lapangan, maka sudah pasti tanaman mengandung debu, kotoran, dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya. Selain kontaminan hidup pada permukaan, kontaminan juga bisa hidup dalam jaringan tanaman. Kontaminan hidup dapat berupa cendawan/jamur, bakteri, serangga dan telurnya, tungau, dan spora-spora. Bila kontaminan ini tidak dihilangkan maka dalam beberapa hari kontaminan akan memenuhi seluruh botol kultur. Eksplan yang tertutup kontaminan akhirnya mati, dapat sebagai akibat langsung dari serangan jamur dan bakteri atau secara tidak langsung akibat persenyawaan toksik yang diproduksi jamur dan bakteri. Untuk tingkat sumber kontaminasi pada eksplan dapat dilihat dalam grafik pada Gambar 9.
Tingkat kontaminasi (%)
120
Kontrol
100
FBByA 1 FBByA 2
80
AnAl 60
3By 1 3By 2
40
HgCl 20
HByBy 1 HByBy 2
0 1
3
5 7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Hari Setelah Inokulasi (HSI)
HByBy 3 HByBy4
Gambar 9 Grafik tingkat sumber kontaminasi pada eksplan Pada gambar 9 di atas sumber kontaminasi pada eksplan yang paling sedikit yaitu sebanyak 17% pada perlakuan sterilisasi menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2), dan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3). Sedangkan yang dimaksud dengan kondisi tanamannya adalah apakah tanaman yang akan dijadikan eksplan sakit atau sehat. Pada penelitian ini, bahan tanaman yang digunakan tidak sepenuhnya sehat, sebagian besar tanaman yang dijadikan eksplan dalam keadaan sakit atau terserang kontaminan pada permukaan
41
dan bagian dalam jaringan. Kontaminan yang menyerang pada bagian dalam jaringan tanaman berbentuk bintik-bintik hitam. Pada beberapa eksplan bintikbintik hitam ini kadang tidak terlihat ketika tanaman belum dicuci atau dibersihkan, tapi setelah dibersihkan baru terlihat dengan jelas. Bentuk kontaminan yang menyerang pada bagian dalam jaringan tanaman dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Kontaminan yang menyerang bagian dalam jaringan daun. Menurut Sandra (2003) kontaminan jamur dan bakteri yang yang berada dalam tanaman anggrek dapat diatasi dengan cara pemberian fungisida dan bakterisida sistemik. Menurut Wudianto (2002) fungisida dan bakterisida sistemik ini akan masuk ke dalam jaringan tanaman. Namun, fungisida dan bakterisida sistemik ini harus memenuhi syarat ideal, diantaranya dalam tanaman inang bekerja sebagai toksikan tidak mengurangi kuantitas dan kualitas tanaman, serta mampu meningkatkan katahanan inang. Menurut Darmono (2003) secara mendasar ada dua cara untuk memecahkan kendala kontaminasi internal (bagian dalam jaringan), yaitu menambahkan antibiotik ke dalam media atau melakukan kultur meristem. Dalam penelitian ini juga menggunakan fungisida dan bakterisida sistemik, serta antibiotik, namun hasilnya belum optimal. Masalah lain dalam kultur jaringan yang juga sering terjadi adalah masalah browning (pencoklatan). Menurut George (1996) pada beberapa spesies tanaman, browning bisa disebabkan karena pengaruh dari bahan sterilan yang digunakan pada saat sterilisasi eksplan. Eksplan yang mengalami browning dapat dilihat pada Gambar 11.
42
Gambar 11 Browning (pencoklatan) Menurut Santoso dan Nursandi (2002) peristiwa browning sesungguhnya merupakan peristiwa alamiah biasa yang sering terjadi pada sistem biologi, suatu proses adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik atau biokimia (memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit, atau kondisi lain yang tidak normal). Bisa juga merupakan gejala alamiah dari proses penuaan. Secara umum browning (pencoklatan) berdasarkan prosesnya dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu : 1. Pencoklatan secara enzimatik Proses pencoklatan ini disebabkan oleh oleh suatu enzim komplek, yaitu polifenol oksidase. Untuk terjadinya reaksi pencoklatan yang dikatalis oleh enzim tersebut, maka selain harus ada subtrat juga harus tersedia gugus protestik Cu++ dan oksigen sebagai aseptor hidrogen. Kebanyakan teori pencoklatan menggunakan dasar reaksi pembentukan melamin berwarna coklat. Reaksi pertama diduga sebagai hidrolisasi sekunder O-quinon atau karena kelebihan O-difenol. 2. Pencoklatan secara noenzimatik (mekanik) Pencoklatan secara mekanik terjadi karena proses pelukaan. Pencoklatan karena pelukaan banyak terjadi pada kultur tanaman yang banyak mengandung senyawa hidroksiphenol dan tanin. Pencoklatan dapat juga terjadi karena proses pemanasan, ini terutama terjadi pada eksplan tanaman yang banyak kandungan gulanya. Kejadian pencoklatan akibat ini sangat mungkin terjadi karena kegiatan kultur jelas menggunakan pendekatan pelukaan (pengirisan eksplan) dan pembakaran apai bunsen. Selain itu, pencoklatan juga dapat terjadi karena rangsangan
43
kimia, prinsipnya yaitu pada lingkungan eksplan tersedia bahan-bahan kimia yang mendorong pembentukan senyawa fenol. Santoso dan Nursandi (2002) juga mengatakan untuk mengatasi masalah browning (pencoklatan) dapat dilakuan dengan beberapa cara, misalnya mengeluarkan senyawa fenol dengan jalan membilas terus-menerus dengan air steril, menghambat enzim fenol oksidase dengan EDTA sebagai chelating agents, dan pengaturan pH. Menurut Darmono (2003) cara yang paling efisien untuk menekan terbentuknya senyawa fenol tersebut dari media adalah menggunakan senyawa karbon aktif (charcoal). Namun, efek merugikan menggunakan karbon aktif tidak hanya menyerap senyawa-senyawa toksik, tetapi juga menyerap zat-zat organik penting dan senyawa-senyawa lain dalam media. Menurut Sandra (2003) cara mengatasi supaya eksplan tidak browning adalah dengan mencuci eksplan di air mengalir sehingga larutan fenolnya terkuras keluar. Pada penelitian ini yang dilakukan dalam rangka mencegah browning adalah menggunakan EDTA pada media modifikasi MS, dan pH pada media diatur pada kisaran optimal 5.8-6.0, namun usaha tersebut belum membuahkan hasil yang optimal. Selain permasalahan kontaminasi internal dan ekstrenal serta browning, ada permasalahan lain yang juga bisa menjadi penyebab gagalnya kegiatan sterilisasi atau lebih jauh lagi kegiatan kultur jaringan. Permasalahan tersebut adalah matinya eksplan oleh bahan sterilan yang masih menempel pada eksplan karena pembilasan yang kurang bersih. Bahan kimia sterilan yang pada dasarnya bersifat toksik/racun ini, apabila terus-menerus menempel pada eksplan yang akan kita kulturkan maka lama-kelamaan akan merusak jaringan dan akhirnya mematikan eksplan. Pada penelitian ini juga mengalami hal tersebut. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan pembilasan yang berulang kali dengan air steril pada saat sterlisasi dengan bahan sterilan di dalam laminar air flow cabinet. Hasil pembilasan yang berulangkali ini cukup memberikan hasil yang baik bagi keberhasilan sterlisasi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari keseluruhan perlakuan sterilisasi yang dilakukan terhadap eksplan anggrek kuping gajah (Bulbophyllum beccarii Rchb.f), ternyata untuk menghilangkan kontaminasi maupun browning memerlukan perlakuan khusus, terutama untuk tanaman baru. Selain itu, banyaknya faktor penyebab tingkat kontaminasi menyulitkan penentuan suatu prosedur standar sterilisasi yang berlaku untuk semua tanaman. Berdasarkan pada seluruh perlakuan sterilisasi yang dilakukan maka puncak kontaminasi paling lama yaitu 30 HSI, kontaminasi bakteri paling sedikit yaitu sebanyak 3%, dan jumlah browning paling sedikit yaitu 0% pada perlakuan sterilisasi menggunakan fungisida dan bakterisida 5 g/l selama 30 menit, bayclin 10% selama 10 menit, dan alkohol 70% selama 5 menit (FBByA 1). Untuk kontaminasi jamur paling sedikit yaitu sebanyak 10%, sumber kontaminasi pada eksplan paling sedikit yaitu sebanyak 17%, dan sumber kontaminasi pada media paling sedikit yaitu 0% pada perlakuan sterilisasi menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3). Sedangkan pada perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit dengan pembilasan yang berkali-kali dan media yang mengandung ZPT (HByBy 4), sebanyak 41% eksplan masih hidup. 5.2 Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut dalam menentukan jenis bahan kimia sterilan, konsentrasi, dan lama perendaman yang lebih sesuai untuk mendapatkan satu perlakuan sterilisasi yang bisa menghilangkan kontaminasi eksternal maupun internal tanpa mematikan eksplan. Selain itu, kondisi tanaman juga perlu dilakukan perawatan dan pemeliharaan agar bebas dari kotoran dan kontaminan.
DAFTAR PUSTAKA
Alberts, B., D. Bray, J. Lewis, M. Raff, K. Roberts, J. D. Watson. 1994. Biologi Molekuler Sel. Volume ke-2. Mengenal Sel. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Benson, E. E. 1999. Plant Conservation Biotechnology. England: Taylor and Francis Ltd. [BPPK DEPHUT] Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. 1994. Teknologi Kultur Jaringan. Jakarta: BPPK DEPHUT. Chan, C. L., A. Lamb, P. S. Shim, and J. J. Wood. 1994. Orchids of Borneo. Volume ke-1. Introduction and a Selection of Species. England: The Sabah Society in Association with Royal Botanic Gardens Kew. Darmono, D. W. 2003. Menghasilkan Anggrek Silangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Equator Online Development Team. 2002. Kalbar Kaya Potensi Anggrek. http://www.equator-news.com/berita/index.asp?Berita=Hokidanid. [31 Agustus 2006]. Gunawan, L. W. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB – Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. George, E. F. 1996. Plant Propagation by Tissue Culture. Volume ke-2. In Practice. England: Exegetics Limt. Handotono, F. dan R. Prasetya. 2006. Native Orchids of Indonesia. Jakarta: Indonesian Orchid Society. Hawkes, A. D. 1965. Encyclopaedia of Cultivated Orchids. London: Faber and Faber Limited. Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vegetatif-Modern. Yogyakarta: Kanisius. Nugroho, A. dan H. Sugito. 2002. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Jakarta: Penebar Swadaya. Rudhy, A. 2006. Anggrek. http://www.anggrek.info/?topic=basic. [14 Desember 2006].
46
Sandra, E. 2003. Kultur Jaringan Anggrek Skala Rumah Tangga. Jakarta: AgroMedia Pustaka. . 2002. Membuat Anggrek Rajin Berbunga. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Jakarta. Santoso, U. dan F. Nursandi. 2002. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Setiawan, H. 2005. Usaha Pembesaran Anggrek. Jakarta: Penebar Swadaya. Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara In vitro. Yogyakarta: Kanisius. The
Wikimedia Foundation Inc. 2006. Bulbophyllum http://en.wikipedia.org/wiki/Bulbophyllum_beccarii. [15 2006].
beccarii Oktober
Tjitrosoepomo, G. 1988. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wattimena, G. A., L. W. Gunawan, N. A. Mattjik, E. Syamsudin, N. M. A. Wiendi dan A. Ernawati. 1992. Bioteknologi Tanaman. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB – Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Wattimena, G. A., L. W. Gunawan, dan S. S. Harjadi. 1986. Penelitian Kultur Jaringan Beberapa Tanaman Hortikultur Penting. Bogor: Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro. Koensoemardiyah S. SU, penerjemah; Semarang: IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Introduction to In Vitro Propagation. Wetter, L. R. dan F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi Ke-2 Widianto MB, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dar: Plant Tissue Culture Methods. Wood, J. J. 1997. Orchids of Borneo. Volume ke-3. Dendrobium, Dendrochilum, and others. England: The Sabah Society in Association with Royal Botanic Gardens Kew. Wudianto, R. 2002. Petunjuk Penggunan Pestisida. Jakarta: Penebar Swadaya.
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Nama-nama bahan kimia untuk sterilisasi permukaan eksplan beserta kisaran konsentrasi dan lama perendamannya. No
Bahan
Konsentrasi
Lama perendaman
1.
Natrium hipoklorit
0.5 – 10%
5 – 30 menit
2.
Kalsium hipoklorit
1 – 10%
5 – 30 menit
3.
Hidrogen peroksida
3 – 10%
5 – 30 menit
4.
Perak nitrat
0.5 – 1%
5 – 30 menit
5.
Merkuri klorid
0.1 – 1%
1 – 20 menit
6.
Antibiotik
50 mg/l
30 – 60 menit
7.
Alkohol
70 – 90%
½ - 15 menit
8.
Fungisida
1 – 2 g/l
15 – 60 menit
9.
Betadin
10%
5 – 10 menit
Sumber : Darmono (2003); Hendaryono dan Wijayani (1994); Gunawan (1987); Sandra (2003); Wetherell (1982).
49
Lampiran 2 Pembuatan larutan stock MS (Murashige dan Skoog) Larutan
Nama Bahan Kimia
Konsentrasi (g/l)
Konsentrasi penggunaan (ml/l)
82.5
20
Larutan A
NH4NO3
Larutan B
KNO3
95
20
Larutan C
KH2PO4
34
5
H3BO3
1.24
Na2MoO4
0.05
COCl2.6H2O
0.005
KI
0.66
Larutan D
CaCl2.2H2O
88
5
Larutan E
MgSO4.7H2O
74
5
MgSO4.4H2O
4.4
ZnSO4.&H2O
1.72
CuSO4.5H2O
0.005
Na EDTA
7.45
FeSO4.7H2O
5.57
Thiamin HCl
0.02
Asam Nicotin
0.1
Prydoksin HCl
0.1
Larutan F Vitamin
10 Myo-Inositol Sumber : Unit Kultur Jaringan Lab. Konservasi Tumbuhan DKSHE IPB.
5 5
10
50
Lampiran 3 Skema pembuatan media MS volume satu liter.
Gula pasir
Gelas piala vol.1000 ml yang berisi air galon 500 ml.
Tambahkan air galon sampai mendekati 1liter
Ukur pH 5.86.0,penambahan NaOH bila terlalu Asam dan HCl bila terlalu basa
Masukkan agar-agar lalu dipanaskan sambil diaduk dengan stirer
Tuangkan larutan ke dalam botol
Tutup botol, lalu sterilisasi dalam autoklaf selama 20 menit, tekanan 17.520 psi, suhu 1210C
Disimpan dalam ruangan inkubasi Sumber : Hendaryono dan Wijayani (1994); Sandra (2003).
Larutan A, B, C, D, E, F, Vitamin, Myo-Inositol sesuai konsentrasi penggunaan
51
Lampiran 4 Tingkat kontaminasi pada seluruh perlakuan sterilisasi permukaan eksplan. 1. Kontrol HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Browning (%)
Jumlah jenis jamur (%)
4# ^
27
3
23
6
7
Jp 50
^^
73
-
70
-
17
Jm 13
11*
80
-
77
-
-
Jh 17
7
2. Fungisida dan bakterisida 5 g/l 30 menit, bayclin 10% 10 menit, dan alkohol 70% 5 menit (FBByA 1) 6# 13 10 3 8
20
-
16
-
-
11
36
-
33
-
-
12
40
-
36
-
-
14
43
-
40
-
18
50
3
46
7
-
26
66
-
63
-
-
*
97
-
90
10
-
30
Jp 57 Jm 7 Jh 33
3. Fungisida dan bakterisida 5 g/l 30 menit, bayclin 10% 7 menit, dan alkohol 70% 1 menit (FBByA 2) 3# 3 3 4
20
7
27
-
-
7
56
16
70
-
-
9
60
20
86
-
10
17*
67
23
90
-
-
Jp 50 Jm 17
4. Antibiotik 5 g/l 4 jam dan alkohol 70% 7 menit (AnAl) 7#
23
-
20
3
-
14
50
-
50
-
-
Jp 50
17
66
-
60
6
-
Jh 40
20*
90
10
87
13
-
5. Bayclin 25%, 20%, dan 10% masing-masing 7 menit (3By 1) 6#
3
23
27
-
-
7
-
27
30
-
-
14
20
-
47
-
-
Jp 60
16
33
-
60
-
-
Jh 13
18
53
-
80
-
-
*
73
-
100
-
-
20
52
6. Bayclin 25%, 20%, dan 5% masing-masing 7 menit (3By 2) 3# ^
3
7
7
3
3
Jp 74
4
37
-
27
7
-
Jm 13
*
90
87
10
-
Jh 3
7
7. HgCl2 0.01% 10 menit (HgCl) 6#
33
3
36
-
-
7
43
7
50
-
-
8
-
10
53
-
-
11
46
-
57
-
-
13
50
-
60
-
-
Jp 60
15
53
-
-
3
-
Jm 3
18
57
-
63
-
-
Jh 27
20
60
-
-
7
-
21
70
-
67
13
-
26
73
-
70
-
-
*
90
-
87
-
-
30
8. HgCl2 0.01% 5 menit, bayclin 10% 10 menit, dan bayclin 10% 5 menit (HByBy 1) 6# 13 10 17 7 7
-
13
20
-
-
8
-
17
23
-
-
Jp 43
9
17
-
27
-
-
Jm 10
14
30
-
12
-
-
Jh 30
16
43
-
53
-
-
*
83
-
93
-
-
18
Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi ^ : Waktu awal terjadinya browning ^^ : Waktu puncak terjadinya browning : Tidak terjadi kontaminasi atau browning Jp : Jamur berwarna putih Jm : Jamur berwarna merah Jh : Jamur berwarna hitam
53
Lampiran 5 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 5 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 2) Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
10
3
13
-
Mati bukan karena Browning (%) -
13
-
17
-
-
17>
-
-
-
-
43
21
-
-
-
-
67
-
-
-
-
84
HSI 7# 12
28
*
>>
Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi > : Waktu awal terjadinya kematian bukan karena browning >> : Waktu puncak terjadinya kematian bukan karena browning : Tidak terjadi kontaminasi jp : Jamur berwarna putih
Jumlah jenis jamur (%)
Jp 13
54
Lampiran 6 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 2 menit (HByBy 3)
HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Browning (%)
Mati bukan karena Browning (%)
7# ^
-
3
3
-
7
9
3
-
7
-
13
11
10
-
13
-
20
-
7
17
-
23
17>
-
-
-
-
3
21
-
-
-
-
44
-
-
-
-
60
15
*^^
26
>>
Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi ^ : Waktu awal terjadinya browning ^^ : Waktu puncak terjadinya browning > : Waktu awal terjadinya kematian bukan karena browning >> : Waktu puncak terjadinya kematian bukan karena browning : Tidak terjadi kontaminasi atau browning jp : Jamur berwarna putih
Jumlah jenis jamur (%)
jp 10
55
Lampiran 7 Perlakuan sterilisasi eksplan menggunakan HgCl2 0.01% selama 1 menit, bayclin 10% selama 7 menit, dan bayclin 10% selama 5 menit (HByBy 4).
HSI
Jenis kontaminan (%) Jamur Bakteri
Sumber kontaminan (%) Eksplan Media
Eksplan hidup
4#
17
-
17
-
83
5
40
-
40
-
60
7
41
3
44
-
56
8
43
-
46
-
54
10
47
-
49
1
50
11
48
4
52
-
48
20
51
-
-
4
44
*
54
-
-
7
41
22
Keterangan : HSI : Hari Setelah Inokulasi (penanaman) # : Waktu awal terjadinya kontaminasi * : Waktu puncak terjadinya kontaminasi : Tidak terjadi kontaminasi Jp : Jamur berwarna putih Jm : Jamur berwarna merah Jh : Jamur berwarna hitam
Jumlah jenis jamur (%)
Jp 50 Jm 1 Jh 3