PERLAKUAN AKUNTANSI MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH
1. Pendahuluan
Saat pertama kali bank syariah berkembang di Indonesia bahkan dunia, bank syariah dikenal dengan bank bagi hasil. Ini digunakan untuk membedakan antara bank syariah dan bank konvensional yang beroperasi berdasarkan sistem bunga. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena bagi hasil hanya merupakan salah satu dari jenis return dari pembiayaan syariah yang bersifat natural uncertainty contracts (bank dalam kondisi tidak dapat mengetahui/memprediksi arus kas secara pasti). Pada perbankan syariah juga terdapat pembiayaan yang sifatnya natural certainty contracts. Tujuan paper ini adalah untuk mendeskripsikan
perlakuan akuntansi dalam
praktek mudharabah pada perbankan syariah di Indonesia. Materi paper ini bersumber dari telaah literatur berupa buku teks dan jurnal ilmiah. Runutan pembahasan paper adalah pengertian mudharabah, alur transaksi, teknis perhitungan dan penjurnalan transaksi serta pengawasan syariah atas transaksi mudharabah.diawali dengan kegiatan-kegiatan dalam siklus konversi, bagian yang terkait, database dan flowchart dan diakhiri dengan ancaman dalam siklus konversi dan prosedur pengendalian yang dapat diterapkan oleh perusahaan.
2. Pengertian Mudharabah dan Rukun Mudharabah
Mudharabah merupakan akad yang telah dikenal oleh umat muslim sejak zaman nabi, bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam. Ketika nabi Muhammad berprofesi sebagai pedagang ia melakukan akad mudharabah dengan Khadijah. Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dan nabi Muhammad, saat itu 1
Khadijah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh nabi Muhammad ke luar daerah. Secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan “pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan” (As-Sarakhsi, dalam Haroen, 2000:175) Secara teknis, Antonio (2001:96) mendefinisikan mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal ) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian oleh si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab terhadap kerugian tersebut. Menurut Karim (2009:205) faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah: a.
Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha) Dalam akad mudharabah, minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal) sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau amil).
b.
Objek mudharabah (modal dan kerja) Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya, sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill dan lain lain.
c.
Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul) Merupakan konsekuensi dari prinsip an taraddin minkum (sama-sama rela) dimana si 2
pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana dan si pelaksana usaha pun setuju untuk mengkontribusikan kerja. d.
Nisbah keuntungan Nisbah adalah rukun yang khas akad mudharabah yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah (perjanjian pembagian keuntungan) antara shahibul maal dan mudharib akan mencegah terjadinya perselisihan kedua belah pihak.
3. Bentuk dan Alur Transaksi Mudharabah Penerapan Mudharabah pada masa nabi dilakukan langsung oleh shahibul maal dan mudharib yang dilandasi oleh sikap saling percaya antara ke dua belah pihak tersebut. Menurut Ibrahim (2002:6-7) penerapan yang demikian sudah agak sulit dilakukan di zaman sekarang ini oleh pihak bank karena: a.
Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling mengenal. Jadi kecil sekali kemungkinan terjadinya hubungan yang langsung dan personal.
b.
Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan sahibul maal untuk sama-sama menjadi penyumbang dana untuk proyek tertentu.
c.
Lemahnya disiplin terhadap ajaran islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh jaminan keamanan modal yang disalurkannya. Dengan kelemahan yang timbul di atas terutama untuk no a dan b, ulama
kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yaitu melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini akan diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga perantara (intermediary) yang mempertemukan shahibul maal dengan mudharib. Jadi terjadi evolusi dari direct financing menjadi indirect financing (gambar 2.1)
3
Gambar 2.1 Skema Mudharabah Indirect Financing
Rp
Mudharib
Rp
Shahibul Mall
Bank Syariah bagi hasil
bagi hasil
Sumber: Karim (2009:211)
Berdasarkan PSAK 105 kontrak mudharabah dapat dibagi 3 jenis yaitu: a)
Mudharabah Muqayyadah ( Restricted Investment Account ), yaitu bentuk kerja sama antara dengan syarat-syarat dan batasan tertentu dimana shahibul maal membatasi jenis, waktu atau tempat usaha. Batasan-batasan tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan modalnya dari risiko kerugian. Apabila mudharib melanggar batasanbatasan ini, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian yang timbul. Pembatasan pada jenis mudharabah ini diperselisihkan para ulama mengenai keabsahannya. Namun yang rajih, pembatasan tersebut berguna dan sama sekali tidak menyelisihi dalil syar'i, karena hanya sekedar ijtihad dan dilakukan berdasarkan kesepakatan dan keridhaan kedua belah pihak, sehingga wajib ditunaikan. Cara pencatatan mudharabah muqayyadah ada dua macam, yakni: 1.
Off Balance Sheet, ketentuan-ketentuannya yaitu: a.
Bank Syariah bertindak sebagai arranger saja dan mendapat fee dari kegiatan tersebut.
b.
Pencatatan transaksi di bank syariah secara off balance sheet
c.
Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan debitur saja
d.
Besar nisbah bagi hasil sesuai kesepakatan nasabah investor dan debitur 4
2.
On Balance Sheet, ketentuan-ketentuannya yaitu: a.
Nasabah Investor mensyarakatkan sasaran pembiayaan dananya, misalnya untuk pertanian tertentu, properti, atau pertambangan saja.
b.
Pencacatan di bank Syariah secara on balance sheet
c.
Penentuan nisbah bagi hasil atas kesepakatan bank dan nasabah.
b) Mudharabah Muthlaqah ( Unrestricted Investment Account ), yaitu bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib tanpa syarat atau tanpa dibatasi oleh spesifikasi tempat, cara, maupun objek investasi. Pemi lik dana memberikan kewenangan yang sangat luas kepada mudharib untuk menggunakan dana yang diinvestasikan. Apabila terjadi kerugian dalam bisnis tersebut, mudharib tidak menanggung risiko atas kerugian atau kerugian sepenuhnya ditanggulangi shahibul maal. c)
Mudharabah Musytarakah, adalah bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Akad mudharabah musytarakah ini merupakan solusi bila dalam perjalanan usaha, pengelola dana memiliki modal yang dapat dikontribusikan dalam investasi sedangkan di sisi lain, adanya penambahan modal ini dapat meningkatkan kemajuan investasi. Peranan bank syariah sebagai intermediary dalam pembiayaan mudharabah dibuat
sedemikian rupa sehingga menjamin prosedur dan kelancaran pembiayaan mudharabah dapat berjalan dengan baik. Secara umum alur transaksi mudharabah yang dijalankan pada bank syariah yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
5
Gambar 2.2 Alur Transaksi Mudharabah
Bank syariah (shahibul maal)
Nasabah (mudharib)
1.Negosiasi dan akad mudaharabah
2. Pelaksanaan usaha produktif
4a. menerima porsi laba 5. menerima kembalian modal
4b. menerima porsi laba
3. Membagi hasil usaha - keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah - kerugian tanpa kelalaian nasabah ditanggung oleh bank syariah Sumber : yaya (2009:128)
4.
Incentive Compatible Contraints
Pembiayaan mudharabah merupakan kegiatan pembiayaan yang menuntut sikap saling percaya yang tinggi antara shahibul maal (bank syariah) dengan mudharib. Tuntutan ini menjadikan pembiayaan mudharabah sebagai pembiayaan yang berisiko tinggi karena
bank akan selalu menghadapi dua permasahan utama yaitu asymmetric
information dan moral hazard. Shahibul maal (bank syariah) tidak dapat menyalurkan pembiayaan begitu saja kepada mudharib atas dasar kepercayaan, karena selalu ada risiko dari pembiayaan yang disalurkan
tidak
dipergunakan
sebagaimana
mestinya
oleh
mudharib untuk
memaksimalkan keuntungan kedua belah pihak. Ketika dana dikelola oleh mudharib maka 6
akses informasi bank terhadap mudharib terbatas. Dengan demikian terjadi asymmetric information dimana mudharib dapat mengakses informasi-informasi yang tidak diketahui oleh bank. (Karim, 2009: 214) Selain asymmetric information menurut Karim (2005: 214) pada saat yang sama juga akan timbul moral hazard dari mudharib, yaitu mudharib melakukan hal-hal yang hanya menguntungkan mudharib dan merugikan shahibul maal (dalam hal ini bank syariah dan nasabah pemilik dana pihak ketiga). Dalam upaya
mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko di atas bank
syariah menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib. Batasan-batasan ini dikenal sebagai incentive compatible constraints. Melalui incentive compatible constraints ini, mudharib secara sistematis ‘’dipaksa’’ untuk berperilaku
memaksimalkan
keuntungan
bagi
kedua
belah
pihak,
baik
bagi mudharib sendiri maupun bagi shahibul maal (Karim, 2009: 214). Menurut Karim (2005:214) pada dasarnya ada empat panduan umum bagi incentive compatible constraints, yakni: a.
Menetapkan kovenan (syarat) agar porsi modal dari pihak mudharib lebih besar dan/atau mengenakan jaminan (higher stake in net worth and/or collateral). Penerapan ini dilakukan dengan cara: -
Penerapan nilai maksimal rasio hutang terhadap modal. Bila porsi modal mudharib dalam suatu usaha relative tinggi, insentifnya untuk berlaku tidak jujur akan berkurang dengan signifikan karena ia juga akan menanggung kerugian atas tindakannnya itu.
-
Penetapan anggunan berupa fixed asset. Pengenaan jaminan akan mencegah mudharib melakukan penyelewengan karena jaminan yang sudah diberikannnya itu menjadi harga dari penyelewengan perilakunya (character risk). 7
-
Penggunaan pihak penjamin. Seringkali bank sebagai pemilik dana tidak mengenal dekat karakter calon mudharib sehingga bank dapat saja meminta mudharib menyediakan pihak penjamin yang mengenal dekat karakter calon mudharib dan bersedia menjadi penjamin atas character risk calon mudharib.
-
Penggunaan pihak pengambil alih hutang. Dalam beberapa kasus, pihak penjamin bersedia mengambil alih kewajiban calon mudharib bila terjadi kerugian yang disebabkan character risk calon mudharib.
b.
Menetapkan kovenan (syarat) mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebih rendah (lower operating risk). Dalam praktiknya, kovenan yang diterapkan berupa: -
Penetapan rasio maksimal fixed asset terhadap total asset. Hal ini dimaksudkan agar dana mudharabah tidak digunakan untuk investasi pada fixed asset secara berlebihan, misalnya ditentukan rasio maksimal sebesar 20%. Investasi yang besar dalam fixed asset akan menaikkan biaya depresiasi mesin dan menaikkan harga pokok penjualan sehingga mengakibatkan produk yang kurang kompetitif. Dengan adanya investasi dalam fixed asset yang tinggi, juga mengakibatkan keterbatasan modal kerja sehingga mengurangi produktifitas usaha.
-
Penerapan rasio maksimal biaya operasi terhadap pendapatan operasi. Dengan adanya penetapan angka ini, mudharib akan berusaha bertindak efesien sehingga usaha yang dijalankan menghasilkan margin kontribusi yang positif seperti yang diharapkan.
c.
Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan (lower fraction of unobservable cash flow). Dalam praktiknya, konvenan yang dapat diterapkan berupa:
8
-
Monitoring secara acak. Bila banyak dari arus kas bisnis mudharib yang tidak dapat diketahui oleh pemilik dana maka akan besarlah dorongan mudharib untuk berperilaku menyimpang. Karenanya shahibul maal bisa melakukan praktek inspeksi mendadak pada aliran cashflow muharib. Cara ini biasanya diterapkan pada bisnis yang skala usahanya tidak terlalu besar dan bisnis musiman yang berjangka pendek.
-
Monitoring secara periodik. Dalam metode ini mudharib didorong untuk menyiapkan laporan periodik atas bisnis yang dibiayai oleh dana mudharabah. Cara ini biasanya diterapkan pada bisnis yang skala usahanya cukup besar untuk dilakukan monitoring secara periodik dan bisnis yang kontinyu atau berjangka panjang.
-
Laporan Keuangan yang diaudit. Cara monitoring yang lebih kompleks adalah dengan melibatkan pihak ketiga sebagai auditor yang akan memeriksa kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh mudharib sehingga si pemilik dana yakin terhadap validitas laporan keuangan yang disampaikan.
d.
Menetapkan kovenan (syarat) agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah (lower fraction of non-controllable costs). Dalam praktiknya, kovenan yang diterapkan berupa: -
Revenue sharing. Timbulnya biaya yang tidak terduga yang sebelumnya tidak dikomunikasikan oleh mudharib kepada pemilik dana akan mengakibatkan margin keuntungann yang kecil sehingga bagi hasilnya pun kecil. Tentang munculnya non controllable cost ini ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan oleh mudharib sebelumnya yaitu: a. Jika mudharib mengetahui bahwa nature of business nya mengandung non controllable cost yang tinggi, dana mudharib secara transparan menyampaikan 9
hal ini kepada pemilik dana maka pemilik dana sudah siap dengan risiko bisnis (business risk) yang dihadapinya. b.
Jika mudharib mengetahui bahwa nature of business nya mengandung non controllable cost yang tinggi tetapi hal tersebut tidak disampaikan kepada pemilik dana, maka untuk menghindari perselisihan siapa yang harus menanggung biaya tak terduga ini, pemilik dana dapat menetapkan kovenan bahwa: biaya tak terduga tersebut menjadi tangung jawab mudharib atau seluruh biaya ditanggung oleh mudharib atau mudharabah menggunakan nisbah revenue sharing.
Pendapat Karim di atas khususnya tentang revenue sharing dalam prakteknya lebih mengacu pada gross profit sharing, karena merupakan pendapatan dikurangi dengan harga pokok barang yang dijual. Dalam akuntansi, konsep ini biasanya dikenal dengan nama laba bruto (gross profit). Dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK) Syariah tahun 2007, Ikatan Akuntan Indonesia telah menyatakan secara eksplisit bahwa dalam hal prinsip pembagian hasil usaha, terminologi pendapatan atau hasil yang dimaksud adalah laba bruto (KDPPLKS paragraf 42). PSAK 105 paragraf 11 menyatakan bahwa pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau bagi laba dan jika berdasrkan prinsip bagi hasil, maka dasar pembagian hasil usaha adalah laba bruto, bukan total pendapatan usaha (omzet). Sementara itu jika berdasarkan prinsip bagi laba, dasar pembagian laba adalah laba netto (net profit), yaitu: laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah. Penggunaan gross profit sebagai dasar pembagian keuntungan cukup adil bagi perbankan syariah karena saat bagi hasil dengan nasabah, bank syariah juga menggunakan praktik yang sama. Penggunaan praktik gross profit sharing sebagai dasar bagi hasil nasabah penabung atau deposan dengan skema mudharabah dapat terlihat pada pengakuan 10
pendapatan bank syariah. Pendapatan yang dibagi hasil misalnya adallah mergin murabahah (selisih harga jual dengan harga pokok barang yang dijual) yang uangnya telah diterima
5.
Teknis Perhitungan dan Penjurnalan Transaksi Mudharabah Contoh Kasus : Tanggal 1 Agustus 20XA Bank Murni Syariah (BMS) menyetujui pemberian fasilitas mudharabah Muthlaqah PT Haniya yang bergerak di bidang SPBU dengan kesepakatan sebagai berikut : Plafond
: Rp 1.450.000.000
Objek bagi hasil
: Pendapatan (Gross profit sharing)
Nisbah
: 70% PT. Haniya dan 30% BMS
Jangka Waktu
: 10 bulan (jatuh tempo tanggal 10 Juni 20XB)
Biaya administrasi : 14.500.000 (dibayar saat akad ditandatangani) Pelunasan
: Pengembalian pokok di akhir periode
Keterangan
: modal dari BMS diberikan secara tunai tanggal 10 Agustus
20XA. Pelaporan dan pembayaran bagi hasil oleh nasabah dilakukan setiap tanggal 10 mulai bulan September 1. Saat penandatanganan akad mudharabah Tanggal
Rekening
Debit (Rp)
1/8/XA
Pos lawan komitmen administratif pembiayaan Kewajiban komitmen administratif pembiayaan (ijin tarik tgl 10 agustus sebesar 1.450.000.000)
1.450.000.000
Kas / Rekening nasabah – PT Haniya Pendapatan administrasi
Kredit (Rp)
1.450.000.000 14.500.000 14.500.000
2. Penyerahan Investasi Mudharabah Tanggal 10 Agustus 20XA, BMS mencairkan pembiayaan sebesar Rp. 1.450.000.000 untuk investasi mudharabah
11
Tanggal Rekening 5/10/XA Investasi Mudharabah Kas / Rekening nasabah 5/10/XA Kewajiban komitmen administratif pembiayaan Pos lawan komitmen administratif pembiayaan
Debit (Rp) 1.450.000.000
Kredit (Rp) 1.450.000.000
1.450.000.000 1.450.000.000
3. Penerimaan bagi hasil mudharabah Bila data laba Bruto dan bagi hasil sebagai berikut:
No.
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei
Jumlah Laba Bruto (Rp) 20.000.000 50.000.000 45.000.000 40.000.000 60.000.000 50.000.000 40.000.000 50.000.000 55.000.000 60.000.000
Porsi Bank 30% (Rp) 6.000.000 15.000.000 13.500.000 12.000.000 18.000.000 15.000.000 12.000.000 15.000.000 16.500.000 18.000.000
Tanggal pembayaran hasil 10 September 10 Oktober 10 November 10 Desember 10 Januari 10 Februari 10 Maret 10 April 5 Juni 15 Juni
Berdasarkan PSAK 105 paragraf 22 dinyatakan bahwa pengakuan penghasilan usaha mudharabah dalam praktik dapat diketahui berdasarkan laporan bagi hasil atas realisasi penghasilan usaha dari pengelola dana dan tidak diperkenankan mengakui pendapatan dari proyeksi hasil usaha dan apabila bagian usaha belum dibayar oleh pengelola, maka bagian tersebut sebagai piutang (PSAK 105 paragraf 24) Tanggal 10/9/XA 10/10/XA 10/11/XA 10/12/XB
Rekening Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah
Debit (Rp) 6.000.000
Kredit (Rp) 6.000.000
15.000.000 15.000.000 13.500.000 13.500.000 12.000.000 12.000.000
12
10/01/XB 10/02/XB 10/03/XB 10/04/XB 10/05/XB 10/06/XB
Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah Kas/Rekening nasabah Pendapatan bagi hasil mudharabah
18.000.000 18.000.000 15.000.000 15.000.000 12.000.000 12.000.000 15.000.000 15.000.000 16.500.000 16.500.000 18.000.000 18.000.000
4. Saat akad berakhir
alternatif 1: nasabah pembiayaan mampu mengembalikan modal mudharabah Misalkan pada tanggal 10 Juni 20XB, saat jatuh tempo PT. Haniya melunasi investasi mudharabah sebesar Rp 1.450.000.000 . Jurnalnya : Tanggal Rekening 10/06/XB Kas/Rekening nasabah Investasi mudharabah
Debit (Rp) 1.450.000.000
Kredit (Rp) 1.450.000.000
alternatif 2: nasabah pembiayaan tidak mampu mengembalikan modal mudharabah. Jika akad mudharabah berakhir sebelum atau saat jatuh tempo dan belum dibayar oleh pengelola dana, maka investasi mudharabah diakui sebagai piutang(PSAK no 105 paragraf 19) Misalkan pada tanggal 10 Juni 20XB, saat jatuh tempo, PT. Haniya tidak mampu melunasi investasi mudharabah, maka jurnalnya :
Tanggal Rekening 10/06/XB Piutang mudharabah jatuh tempo Investasi mudharabah
Debit (Rp) 1.450.000.000
Kredit (Rp) 1.450.000.000
13
6.
Pengawasan
Syariah
Transaksi
Mudharabah
dan
Variasi
Transaksi
Mudharabah Untuk memastikan kesesuaian syariah pada praktik transaksi mudharabah yang dilakukan bank syariah, Dewan Pengawas Syariah (DPS) melakukan pengawasan syariah secara periodik. Pengawasan tersebut berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang dilakukan untuk hal-hal berikut: 1. Meneliti apakah pemberian informasi secara lengkap telah disampaikan oleh bank kepada nasabah, baik secara tertulis maupun lisan tentang persyaratan investasi mudharabah telah dilakukan. 2. Menguji apakah perhitungan bagi hasil telah dilakukan sesuai prinsip syariah. 3. Memastikan adanya
persetujuan para pihak dalam perjanjian
investasi
mudharabah. 4. Memastikan terpenuhinya rukun dan syarat mudharabah. 5. Memastikan bahwa kegiatan investasi yang dibiayai tidak termasuk jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah. Adanya pengawasan syariah yang dilakukan oleh DPS menuntut bank syariah untuk berhati-hati dalam melakukan transaksi mudharabah dengan para nasabah. Selain itu bank juga dituntut untuk melaksanakan tertib administrasi agar berbagai dokumen yang diperlukan DPS dapat tersedia saat pengawasan dilakukan.
Variasi transaksi mudharabah adalah sebagai berikut: a. Investasi Mudharabah dengan menggunakan asset non kas Secara teori investasi mudharabah dapat dilakukan dengan asset non kas, namun transaksi jenis ini tidak lazim diterapkan dalam dunia perbankan syariah. Akan tetapi bila ini terjadi maka acuannnya adalah PSAK 105 paragraf 12 dan 13. 14
Penggunaan asset non kas memeungkinkan terjadi tiga variasi yaitu: nilai wajar sama dengan nilai tercatatnya, nilai wajar lebih tinggi dari nilai tercatatnya, nilai wajar lebih tinggi dari nilai tercatatnya. b. Kerugian Usaha Mudharabah Kerugian usaha dapat dibagi dalam 2 jenis yaitu: -
Kerugian disebabkan bukan karena kelalaian pengelola
-
Kerugian disebabkan bukan karena kelalaian pengelola Pengungkapan Transaksi Mudharabah Berdasarkan PSAK 105 paragraf 38 dan PAPSI (2006) terdapat beberapa hal yang harus diungkap dalam transaksi mudharabah. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut: a. Isi kesepakatan utama mudharabah seperti porsi dana, pembagian hasil usaha, aktivitas usaha mudharabah, dan lain-lain (PSAK 105 paragraf 38a) b. Rincian jumlah investasi mudharabah berdasarkan jenisnya (PSAK 105 paragraf 38b, antara lain berdasrkan kas/non kas, jenis penggunaan dan sector ekonomi (PAPSI, 2006) c. Jumlah investasi mudharabah yang diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa (PAPSI, 2006) d. Jumlah investasi mudharabah yang telah direstrukturisasi dan informasi lain tentang mudharabah yang direstrukturisasi selama periode berjalan (PAPSI, 2006) e. Metode yang digunakan untuk menentukan penyisihan khusus dan umum (PAPSI, 2006) f. Kebijakan manajemen dan pelaksanaan pengendalian risiko portofolio investasi mudharabah (PAPSI, 2006) 15
g. Besarnya investasi mudharabah bermasalah dan penyisihannya untuk setiap sektor ekonomi (PAPSI, 2006) h. Kebijakan dan metode yang dipergunakan dalam penanganan mudharabah bermasalah (PAPSI, 2006) i. Ikhtisar investasi mudharabah yang dihapus buku yang menunjukkan saldo awal, penghapusan selama tahun berjalan, penerimaan atas investasi mudharabah yang dihapusbukukan dan investasi mudharabah yang telah dihapustagih dan saldo akhir investasi mudharabah yang dihapus buku (PAPSI, 2006) j. Kerugian atas penurunan nilai investasi mudharabah (PAPSI, 2006)
7.
Kesimpulan Peranan bank syariah dalam transaksi mudharabah adalah sebagai lembaga
perantara (intermediary) yang mempertemukan antara shahibul mall dan mudharib sehingga pembiayaan yang terjadi adalah indirect financing. Metode mudharabah yang dipraktekan adalah muqayyadah (restricted investment account), muthlaqah (unrestricted investment account) dan musyitarakah. Risiko yang dialami oleh bank syaraiah dalam penyaluran mudharabah adalah asymmetric information dan moral hazard yang muncul diakibatkan mudharib. Untuk mencegah terjadinya risiko ini bank syariah umumnya menetapkan beberapa batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib yang dikenal dengan istilah sebagai incentive compatible constraints. Melalui incentive compatible constraints, mudharib secara sistematis dipaksa untuk berperilaku memaksimalkan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi mudharib sendiri maupun bagi shahibul maal.
16
Dasar pembagian bagi hasil mudharabah pada perbankan syariah adalah gross profit sharing (KDPPLKS paragraf 42). Pencatatan transaksi mudharabah dimulai saat akad dilakukan. Transaksi selanjutnya yang mempengaruhi kondisi mudharabah tetap dilakukan pencatatatan, pengukuran yang akhirnya dibuatkan laporan. Dalam rangka memastikan kesesuaian syariah pada praktik transaksi mudharabah bank syariah diawasi secara periodik oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Pengawasan yang dilakukan tersbut tersebut
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
17
DAFTAR PUSTAKA AAOIFI. 1995. Conceptual Framework for Financial Reporting by Islamic Financial Institutions Agustianto. 2008. Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah, www.pesantrenvirtual. com.indeks.php/ekonomisyariah Antonio, Muhammad Syafii. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan. Tazkia Institute. Bogor Antonio, Muhammad Syafii. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Tazkia Cendikia Bank Indonesia. 2012. Outlook Perbankan Syariah 2012. Jakarta Bank Indonesia. 2006. Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta Dewan Syariah Nasional-MUI. 2003. Himpunan Fatwa Dewan syariah nasional. Edisi 2. Jakarta DSN-MUI dan bank Indonesia. Jakarta: MUI Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 2009. Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan (KDPPLK) Syariah dan PSAK No.105 Ibrahim, M. Anwar. 2002. Konsep Profit and Loss Sharing System menurut Empat Mazhab. Makalah diskusi Bulanan Pusat pengkajian Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: P3EI UIN Syarif Hidayatullah Karim, Adiwarman. A. 2009. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: Rajawali Pers Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2011. Akuntansi Syariah di Indonesia. Salemba Empat. Jakarta Yaya, Rizal dkk. 2009. Akuntansi Perbankan Syariah: Teori dan Praktik Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat
18