PERKUMPULAN SADA AHMO (SADA AHMO ASSOCIATION) Jl. Empatlima No. 24 E Sidikalang Kab. Dairi 22212 Sumatera Utara Telp. 0627 - 23304 Fax. 0627 - 22666 e-mail:
[email protected];
[email protected]
Jl.Letjen. Jamin Ginting KM 8 No.282 P. Bulan Medan 20141 Sumatera Utara Telp/Fax. 061-8361102 e-mail:
[email protected];
[email protected]
Jl. Diponegoro Km.4 No. 461 A Kota Gunungsitoli Sumatera Utara e-mail:
[email protected];
[email protected]
“Pedoman Perilaku” (Penulis: Pdt. Bonar Hasudungan Lumbantobing, MTh Co-founder & Anggota Perkumpulan Sada Ahmo/PESADA)
Buku ini diterbitkan sebagai buku elektronik, yang ditulis berdasarkan pengalaman hidup personil dan dampingan PESADA, yang diterbitkan sebagai buku elektronik dalam rangka 25 tahun PESADA, Oktober 2015. Isi buku dapat dikutip dengan menyebut sumber sepanjang tidak untuk diperdagangkan..
1
“Pedoman Perilaku”
[ Dalam 25 tahun PESADA bersama suku Pakpak menapak penguatan ekonomi Perempuan ]
2
Daftar Isi.
Pengantar………………………………………………………………………………
3
A. NILAI-NILAI PADA TAHAP AWAL PELAYANAN PESADA ……………….
4
B. PERUMUSAN TAHAP PERTAMA NILAI-NILAI………………………………..
6
C. PERJUMPAAN DENGAN NILAI-NILAI PERILAKU: TAHAP AWAL……….
7
D. PERJUMPAAN DENGAN NILAI-NILAI PERILAKU: TAHAP LANJUTAN…
19
E. PEDOMAN PERILAKU PESADA dan PEREMPUAN DAMPINGAN……….
55
F. EPILOG………………………………………………………………………………
62
Pengantar Dari manakah munculnya Pedoman Perilaku yang dimiliki oleh PESADA? Jawaban yang umum adalah tentunya keluar dari nilai-nilai yang dianutnya. Ketika PESADA pada tahun 1990 hendak memulai pekerjaannya, di tengah-tengah masyarakat terdapat begitu banyak nilai-nilai luhur yang dapat mendasari karya pendampingan dan penguatan masyarakat. Namun PESADA tentunya harus memilih nilai-nilai mana yang akan dihidupinya dalam mengemban tugasnya nanti. Hal ini dapat diamati, bahwa nilai-nilai yang dimiliki PESADA kemudian, ternyata mempunyai jalan yang panjang, yang ditemukan bersama oleh PESADA dan masyarakat dampingannya.
3
A. NILAI-NILAI PADA TAHAP AWAL PELAYANAN PESADA Nilai luhur universal: Menjelang lahirnya PESADA, sebagian dari mereka yang kemudian menjadi pendiri, mendiskusikan dengan sangat dalam sebuah nilai-nilai luhur yang bersifat universal, dan yang sudah dihidupi di dalam berbagai bukekuatan, filosofi mau pun agama. Nilai-nilai universal itu memang diformulasi secara berbeda dan alasan untuk menghidupinya juga berbeda di dalam bukekuatan, filsafat dan agama-agama. Namun para pendiri PESADA memusatkan diskusinya pada rumusan nilai-nilai universal itu sebagai kemurnian hati, kemiskinan hati dan ketaatan (chastity, poverty and obedience). Walau rumusan seperti ini terdapat dalam ke-Kristen-an, namun dilihat secara filsofis, ke tiga nilai luhur itu sudah ditemukan jauh sebelum ke-Kristen-an muncul, baik pada masa Plato di Yunani di bagian Barat hingga masa filsafat India di bagian Timur. Para pendiri mendiskusikan nilai-nilai luhur yang universal itu dengan rumusan: Mengarahkan diri ke tujuan tertinggi kehidupan yang letaknya di luar hidup itu sendiri. Dan melalui itu seseorang yang menghidupinya menjadi manusiawi karena dia berada dan berakar dalam tujuan tertinggi kehidupan itu. Bila itu sungguhsungguh dihidupi, berarti bila seseorang itu mengarahkan diri ke tujuan tertinggi tersebut, maka dia akan melepaskan segala keterikatan dan dia akan memasuki kehidupan yang bebas. Kemiskinan Hati Nilai-nilai luhur itu pertama dirumuskan dengan sebuah sikap hidup yang disebut dengan ‘Kemiskinan Hati’. Sikap hidup ini merupakan integrasi hidup dengan tujuan tertinggi tadi. Itu dimungkin karena orang yang memiliki sikap ini mengalami bahwa kehidupan telah memberikan segalanya, maka di dalam dirinya muncullah penyerahan diri seutuhnya.
Sikap itu memungkinkan dia untuk menata kembali hubungan antara hidup manusia dan harta benda menurut artinya yang terdalam yaitu harta benda yang diperoleh dan diusahakan sesuai dengan tujuan tertinggi itu. Penataan itu memunculkan seperti yang disebutkan di atas: melepaskan segala keterikatan dan dia akan memasuki kehidupan yang bebas. Maka dia pun lepas dari segala keterikatan harta, status, dan lepas dari kelekatan pada hubungan-hubungan tertentu.
4
Kemurnian Hati Karena pilihan hidup adalah mengintegrasikan diri dengan tujuan tertinggi itu, maka dia masuk dalam sikap hidup yang senantiasa melepas, tidak meraih; memberi, tidak untuk kepentingan diri; bahkan berkorban bila itu dituntut, demi untuk kepentingan kemajuan yang lain, semuanya tanpa pamrih. Itulah cinta! Cinta yang demikian adalah cinta yang mengakar, lalu merelakan untuk tidak lagi mengambil apa yang tadinya harus diambil. Cinta yang mengakar memungkinkan bentuk hubungan yang baru terhadap kekasih, suami/isteri, anak, orangtua, karena sudah merelakan untuk tidak lagi mengambil apa yang harus diambil. Maka buahnya dalam hidup terlihat sebagai: kebersahajaan dalam budi bahasa, tutur kata dan tabiat; sikap yang adil, jujur, rendah hati dan ikhlas; setia dan bijaksana, dan memiliki penghargaan pada martabat pribadi; sikap saling mendukung dan membangun diri; teguh dalam pilihan hidup dan tanggungjawab. Sikap hidup demikian kembali memunculkan seperti yang disebutkan di atas: melepaskan segala keterikatan dan dia akan memasuki kehidupan yang bebas.
Ketaatan Karena pilihan hidup yang terintegrasi dengan tujuan tertinggi itu, maka dia menundukkan diri seutuhnya pada pilihan itu. Ketundukan ini terlihat dalam penyerahan utuh dan tak terbagi, sehingga perhatian tertuju pada satu hal saja, yaitu akibat pilihan hidup itu. Buahnya akan terlihat dengan: menjadi terbuka pada sesamanya segingga dia akan menghayati arti hidupnya dalam kontek sosialnya; menjadi peka menjawab tuntutan hidup bersama walau harus merelakan keinginan dan minat pribadi demi tercapainya kebaikan bersama yang lebih besar; disiplin namun hangat dalam tugas. Ketaatan ini kembali memunculkan seperti yang disebutkan di atas: melepaskan segala keterikatan dan dia akan memasuki kehidupan yang bebas. Demikianlah nilai-nilai luhur itu akan terlihat dalam kehidupan bebas yang lepas dari segala keterikatan, namun menundukkan diri pada segalanya demi kepentingan kehidupan itu sendiri. Nilai-nilai seperti ini pada umumnya tidak dihidupi melalui perenungan-perenungan atau diskusi-diskusi semata. Itu diperoleh dalam sebuah hidup persekutuan dan persaudaraan. Persekutuan itu sendiri pun, bila hidup dalam dirinya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. Memang apa yang disebut sebagai ‘tujuan tertinggi’ di atas, adalah komitmen pada kehidupan itu sendiri. Maka sebuah persekutuan dan persaudaraan akan selalu memiliki secara konkrit sebuah karya sosial. 5
Maka daripada menunggu berdirinya sebuah persaudaraan dan persekutuan yang menghidupi ke tiga nilai-nilai luhur di atas, maka para pendiri memikirkan untuk memulai sebuah karya sosial dalam hidup nyata. Untuk itulah PESADA didirikan.
B. PERUMUSAN TAHAP PERTAMA NILAI-NILAI: Pada saat PESADA akan didirikan, maka sangatlah perlu untuk merumuskan nilai-nilai mana yang akan mendasari seluruh karya organisasi ini nantinya. Perumusan itu menjadi penting karena Anggaran Dasar harus segera disahkan secara hukum, dan program akan segera dimulai. Nilai-nilai luhur yang disebutkan di atas, tidak pernah dihidupi oleh salah seorang pun di antara pendiri secara khusus dalam persekutuan dan persaudaraan, maka sulit untuk membuat rinciannya. Para pendiri sangat mengharapkan agar sebuah persaudaraan dan persekutuan suatu saat muncul dan untuk saat ini karya sosial sebuah persekutuan dan persaudaraan itulah yang akan dimulai. Dengan kata lain, seperti disebut di atas, karya sosial itu nanti akan membentuk persaudaraan dan persekutuannya. Ketika akan memilih nama organisasi ini, persaudaraan dan persekutuan menjadi lebih ditekankan. Sejak awal, pendampingan pada masyarakat Pakpak sudah dalam pikiran para pendiri. Ketika nama organisasi ini dicari maka dicarilah kata atau terminologi dalam bahasa Pakpak yang menunjukkan makna persekutuan/persaudaraan. Salah seorang di antara pendiri mengingat kata dalam bahasa Pakpak yang menunjukkan persaudaraan yaitu ‘sada ahmo’. Lalu pendiri pun merumuskan karya sosial itu menjadi YAYASAN SADA AHMO (YSA). Ketika Yayasan berubah bentuk menjadi Perkumpulan, nama itu tetap dipertahankan menjadi PERKUMPULAN SADA AHMO disingkat dengan PESADA. Memang kemudian setelah PESADA masuk ke dalam masyarakat Pakpak, diketahuilah bahwa terminology ‘sada
ahmo’ ini tidak
dikenal (lagi?) oleh
masyarakat. Namun
PESADA
tetap
menggunakannya sebagai symbol dari apa yang diharapkan terjadi dalam masyarakat, yaitu persekutuan dan persaudaraan. Melalui pemilihan nama itu, perumusan nilai-nilai pun dimungkinkan, walau mengambil nilainilai umum dan universal yang ditemukan dalam perjuangan keadilan di dalam masyarakat. Dalam Anggaran Dasar yang pertama, dirumuskan rangkaian nilai-nilai sebagai berikut:
6
Kasih,
Persaudaraan,
Damai Sejahtera,
Kemanusiaan,
Kesetaraan dan Keutuhan Ciptaan,
Keadilan bagi laki-laki dan perempuan.
Dan seluruh karyanya nanti akan mencerminkan nilai-nilai kehidupan seperti:
kesetiaan,
kemiskinan-hati,
kesederhanaan,
kemurnian hati;
persaudaraan,
dedikasi kepada keadilan dan kesetaraan.
Nilai-nilai ini memang terdapat dalam sebuah dokumen, tetapi diharapkan dapat mendasari setiap pendampingan dalam karya yang dimulai oleh PESADA nantinya. Berikut ini akan ditunjukkan, bagaimana PESADA menghidupi nilai-nilai yang sudah dirumuskannya satu pihak dan bahkan berjumpa dengan nilai-nilai yang meneguhkan nilainilai awalnya di pihak lain. dan yang memunculkan perincian nilai-nilai tersebut.
C. PERJUMPAAN DENGAN NILAI-NILAI PERILAKU: TAHAP AWAL. PESADA mempunyai proses yang panjang dalam merumuskan secara konkrit nilainilai perilaku. Perumusan secara terperinci dan tertulis berakhir pada tahun 2008. Maka dalam tulisan ini masa sebelum tahun 2008 akan disebut sebagai TAHAP AWAL dan sesudah 2008 akan disebut TAHAP LANJUTAN.
1. RENTETAN MUNCULNYA THEMA-THEMA PENDAMPINGAN SEBAGAI KONDISI YANG MEMUNGKINKAN PERJUMPAAN DENGAN NILAI-NILAI:
Sejak 1990 PESADA berada di tengah-tengah masyarakat Pakpak. Hal yang mendorong PESADA menjumpai masyarakat Pakpak pada awalnya adalah untuk turut bersama dalam 7
perjuangan melawan marginalisasi suku asli. Perjuangan seperti ini dialami juga di dalam berbagai suku di Indonesia dan juga di tingkat antar bangsa. Penderitaan masyarakat Pakpak menunjuk pada PESADA dari sudut mana sebaiknya perjuangan bersama dimulai: Anak-anak! Anak-anak sebagai pengemban dini kehidupan, memiliki berbagai kesempatan untuk melawan marginalisasi itu melalui pengembangan dirinya. PESADA pun memulai pekerjaan ini dengan penguatan anak. Melalui penguatan ini, PESADA berjumpa dengan mereka yang begitu dekat dengan anak, yaitu ibu-ibu mereka sendiri. Pembicaraan tentang hal-hal yang perlu ditingkatkan pada anak didiskusikan dengan para Ibu-ibu: perlunya anak bermain, mempunyai lingkungan yang aman, gizi yang baik, kebersihan bahkan hidup yang menjadi pegangan identitasnya dalam bukekuatannya. Maka perjuangan pun dijalankan serentak dengan penguatan perempuan. Pintu masuk yang paling terbuka bagi perempuan karena sangat terhambat adalah hidup ekonomik rumahtangga. Terasa bertentangan tetapi nyata, karena potensi memang ada. Perjuangan ekonomik ini pun semakin mencari bentuk agar perjuangan tidak terlihat sendiri-sendiri, hingga akhirnya para perempuan desa berkumpul dalam usaha ekonomik secara bersama-sama, dan membentuk Credit Union (CU). CU dipilih karena dia adalah sebagai lembaga keuangan yang pada dasarnya bukan perkumpulan uang, tetapi adalah perkumpulan orang dalam pemupukan modal bersama, yang dijalani dalam proses pendidikan. Maka pemupukan modal ini menjadi proses pendidikan komprehensip dan menjadi gerakan berkelanjutan, lepas dari thema-thema ekonomik selama ini seperti laba tanpa batas dan lain-lain.
Bergeraknya perempuan untuk menggunakan kekuatannya dalam kehidupan termasuk kehidupan ekonomik, berhadapan langsung dengan tantangan yang muncul dari bukekuatan patriarkhi dan diskrimansi terhadap perempuan. Kenyataan hidup perempuan yang potensinya mulai disentuh ini, menunjukkan sisi lain dari kehidupan perempuan, sisi yang selama ini dianggap biasa saja dan sebagian lagi dibiarkan tertutup. Diskriminasi ini dan bukekuatan patriarchal itu memungkinkan bebasnya perlakuan-perlakuan pada perempuan di tingkat domestik. Maka PESADA pun didorong oleh hidup masyarakat Pakpak untuk mengaitkan perjuangannya pada Kesetaraan dan Keadilan Gender. Pendidikan dalam tema ini semakin menguak kenyataan lain dalam hidup masyarakat terutama kaum perempuan yang terperangkap dalam perlakuan tidak adil bahkan di rumah sendiri. Penyadaran akan Kesetaraan dan Keadilan Gender tidak ada habis-habisnya di diskusikan dalam pertemuan-pertemuan dengan perempuan khususnya dampingan yang adalah 8
anggota Credit Union. Itulah sebabnya maka CU hanya untuk perempuan dan atas nama perempuan, baik proses peminjaman dan pengangsuran, sementara penggunaan pinjaman sudah dapat berlangsung dalam kerjasama antara isteri dan suami bagi sebagian anggota CU.
Perjuangan PESADA bersama dengan masyarakat yang termarginalisasi ini, membimbing PESADA pada masyarakat lain di luar masyarakat Pakpak. Berbagai perkembangan kehidupan masyarakat masuk dalam struktur-struktur kekuasaan, yang memunculkan pihak-pihak yang dipinggirkan, seperti disebutkan di atas selain suku asli, orang miskin, anak-anak juga kekerasan terhadap perempuan. Satu peristiwa tragis, yaitu meninggalnya seorang perempuan di daerah Pakak akibat kekerasan dalam rumahtanga, mempercepat langkahnya PESADA untuk mengarahkan penguatan perempuan ini ke dalam derita yang sering tertutup, tetapi sangat meluas tersebut: kekerasan dalam rumah-tangga! PESADA tidak menunggu-nunggu lagi, melainkan jemput bola terhadap kasus-kasus yang terjadi di sekitar masyarakat dampingan. Namun karena PESADA sudah begitu lugas dan terpercaya dalam pendampingan ini, maka pendampingan pun tidak terbatas lagi hanya pada masyarakat , meluas hingga pendampingan korban di Medan, Dolok Sanggul dan daerah dampingan lainnya. Rumah Aman ‘Sinceritas’ berfungsi sangat baik dalam pendampingan para korban
thema pengentasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun
peristiwa itu semakin menolong untuk mengerucut pada pendampingan yang lebih intensip lagi termasuk dalam penyadaran hukum. Pendampingan Hukum pun menjadi bagian dari penguatan perempuan. Maka penguatan perempuan pun semakin memperkembang perempuan untuk melihat seluruh hidup ekonomiknya serta hidup anak-anaknya dalam lingkungan yang aman dalam bidang yang lebih luas. Para perempuan terlibat dengan kehidupan di desa, yang pada awalnya menunjukkan sisi lain, yang memerlukan penanganan secara khusus antara lain akses terhadap berbagai informasi luas yang menopang kehidupan dan perlindungan serta penegakan hukum. Perjuangan bersama perempuan Pakpak menunjuk pada perempuan lain yang berada dalam. Kekerasan dalam Rumah Tangga mencuat ke permukaan tanpa dapat ditutupi.. Pada decade permulaan tersebut di atas itulah nilai-nilai yang terrumus dalam Anggaran Dasar PESADA yaitu: Kasih, Persaudaraan, Damai Sejahtera, Kemanusiaan, Kesetaraan dan Keutuhan Ciptaan, Keadilan bagi laki-laki dan perempuan, bertumbuh. Pertumbuhan itu 9
kemudian memperkenalkan PESADA pada perilaku-perilaku yang dapat sebagai rincian nilai-nilai tersebut. 2. PERJUMPAAN STAFF DAN PETUGAS DENGAN NILAI-NILAI PERILAKU
Petugas Lapangan pertama masuk di masyarakat Pakpak melalui sebuah proses yang sangat sulit, sebagaimana sudah diceritakan dalam buku 15 tahun PESADA. Pilihan untuk menukik dalam satu pendampingan akhirnya diarahkan ke sebuah desa yang pada saat itu sangat terpinggirkan, yaitu desa Tinada. Berbagai perjumpaan PESADA dengan sesama LSM, dan berbagai organisasi sosial lain serta penelitian dan pengamatan terutama di desa perdana ini akhirnya mendorong PESADA untuk memilih pintu masuk pendampingan yaitu pengeuatan ekonomi, khususnya bagi para perempuan. Ternak ayam menjadi sebuah pilihan. Dalam proses itu petugas lapangan semakin jelas melihat hubungan kegiatan kaum Ibu dalam peningkatan ekonomi rumahtangganya dengan pengasuhan anak. Waktu untuk kegiatan ekonomik membuat kaum Ibu kurang untuk mengasuh anak. Anak-anak hidup sendiri di samping kegiatan Ibunya atau sebagian bermain dengan anak-anak lain tanpa pengawasan khusus. MAka PESADA pun kemudian bergerak pada pendampingan anak sebagai pendampingan simultan dengan penguatan ekonomik. Lalu dibukalah Taman Binaasuh Anak-anak (TBAA). Persiapan khusus bagi petugas lapangan tidak begitu panjang, bahkan terlihat seolah langsung dibenturkan pada kenyataan hidup yang penuh tantanagan di desa itu. Tetapi karena petugas tersebut tinggal bersama dengan Sekretaris Executive kala itu, maka nilainilai ditanamkan terkait dengan rincian tugas-tugas yang harus dilaksanakan secara harian dan dan ditanamkan pada saat diadakan kilas balik terhadap tugas-tugas harian tersebut. Petugas lapangan yang pertama ini mengerjakannya sendirian. Oleh karena itu dia diarahkan untuk membuat jaringan dan kerjasama lokal. Setelah penguatan ekonomik melalui peternakan ayam berlangsung, maka terkumpullah 8 orang anak dari Ibu-ibu yang ikut dalam program ternak tersebut, untuk masuk ke dalam apa yang kemudian disebut dengan TBAA. Lalu direkrutlah satu orang lagi petugas lapangan. Petugas lapangan ke dua adalah Sarjana Pendidikan. Dia telah mengenal Petugas Lapangan PESADA dan mendengar apa yang dikerjkana PESADA di Tinada. Sebagaimana lazimnya di dalam masyarakat, maka Sarjana harusnya segera mencari pekerjaan untuk menopang hidupnya. Walau pun dia telah mengetahui apa yang dikerjakan oleh PESADA di Tinada, tetapi dia tidak melihat karya itu sebagai kemungkinan untuk ‘mendapat lapangan 10
kerja’. Lebih satu tahun dia mengembara ke Jakarta, tetapi pekerjaan belum ditemukan pekerjaan. Satu tahun delapan bulan setelah itu tepatnya setelah pulang dari Jakarta saya baru masuk Pesada. Lalu dia kebetulan jumpa dengan Petugas Lapangan pertama dan memperkenalkannya pada Sekretaris Executive. Dia bersedia untuk turut membantu PESADA sebagai petugas lapangan. Babak baru dalam hidupnya dia rasakan melalui pekerjaan ini dan proses yang harus dilaluinya: pertama sekali dia magang tiga bulan pd program yang mendampingi pedagang kecil di Pematangsiantar. Di sini dia mempunyai kesempatan untuk bergabung dengan para petugas lapangan yang setiap hari bergerak di pasar besar mendampingi pedagang kecil dalam pemupukan modal. Dia melihat bagaimana pendampingan itu melibatkan keseluruhan hidup para pedagang itu termasuk derita dan sukacitanya. Dia mendengar bagaimana kaum Ibu pagi-pagi sekali pada jam 04:00 sudah harus meninggalkan rumah setelah terlebih dahulu menyiapkan makanan bagi anak dan suaminya; berjuang untuk memperoleh keuntungan sedikit di tengah persaingan ketat sesame pedagang dan pulang malam hari untuk melanjutkan pekerjaan dalam rumahtangga kembali. Seluruh ritme hidup yang penuh perjuangan itu masuk dalam hidupnya secara pribadi dan membuat dia merenungkan kehidupannya kembali. Dia menyadari bahwa selama ini memang menjalani hidupnya dan menyadarinya dengan seksama seluruh segi-segi yang berlangsung dalam hidupnya, tetapi melalui pendampingan ini, dia seolah-olah kembali pada hidupnya dan merenungkannya kembali. Perenungan ini ditolong oleh seorang biarawati dari Swiss yang kebetulan berkunjung ke Indonesia untuk mengenal PESADA dan para pendirinya. Dalam bagi rasa yang intensive petugas lapangan ini semakin termotivasi untuk masuk dalam hidup sehari-hari dengan sadar bahwa pendampingan itu terintegrasi dengan seluruh kehidupan pribadi. Setelah mengakhiri tugas magang, petugas lapangan ke dua ini ditugaskan ke desa Tinada. Saat itu TBAA di Tinada sudah terbentuk dengan dua pengasuh yang direkrut dari anakanak gadis dari desa itu. Dua pengasuh ini mengerjakan pekerjaan sebagai pengasuh yang menyangkut sampai pada hal-hal yang kecil sekali pun dari hidup anak-anak dampingan.
11
“Kegiatan yang kami lakukan di TBAA terutama belajar sambil bermain,diselingi dengan istirahat dengan menikmati snack. Berdoa dalam rangkaian tugas itu sangat penting kami tanamkan pada anak-anak. Pada waktu itu kami sangat miskin; di dapurkami, sebagai bagian dari rumah yang disewa PESADA, kami memiliki hanya satu periuk, itulah yang kami gunakan untuk memasak ‘mie gomak’, bubur, mie putih. Tidak ada penggilingan, dan karena terbatasnya dana kami tidak menggunakan bumbu seperti cabe,bawang. Tetapi anak-anak senang memakannya. Pada waktu itu belum ada uang sekolah, dana masih ditanggung oleh PESADA.” Kegiatan harian ini juga dialami oleh pengasuh TBAA yang lain di desa Tinada dan petugas lapangan di desa lain yang kemudian menyusuli pembangunan TBAA, seperti di Sukarame dan Salak. Mereka langsung
Ketulusan diwujudkan dengan perilaku yang tanpa pamrih, melakukan pelayanan/aktivitas tanpa mengharap imbalan, tanpa keluhan/keluh kesah/sungut-sungut dan tanpa tuntutan yang tidak realistis
masuk pada segi kehidupan anak-anak hingga hal-hal yang lebih terperinci. Pada tahap-tahap awal, anakanak harus dijemput ke rumah mereka masing-masing. Sebagian besar anak-anak belum siap untuk dibawa ke Taman Bina Asuh: pengasuh harus memakaikan bajunya, mengkancing, membersihkan wajahnya. Terkadang hal tersebut tidak bisa dituntut dari Ibu-ibu anak-anak tersebut. Mereka pagi-pagi benar para Ibu tersebut harus memulai pekerjaan harian mereka. Setelah anak-anak tiba di Taman Asuh, maka kerutinan hidup seorang anak kecil akan dimasuki lagi oleh para pengasuh: mengurusi anak-anak yang masih kecil, pergi ke kamar mandi dan sambil mengajari mereka untuk mandiri dalam menggunakan kamar mandi, habis snack atau istirahat dilanjutkan dengan tidur. Jam-jam belajar mengikuti kurikulum yang dilakukan oleh para pengasuh sambil diawasi oleh supersivisor. Ide pembelajaran adalah bermain sambil belajar. Anak-anak sangat menyukai keseluruhan proses belajar terutama permainan lego dan puzzle, yang tidak membosankan bagi mereka. Melipat origami yang memerlukan ketelitian, perlahan semakin disukai anak-anak. Untuk meningkatkan kesadaran akan bukekuatan Pakpak dan mempertahankannya, diajarkan nyanyian, tarian, dan dongeng Pakpak yang para pengasuh peroleh dari para orangtua. Kemudian hari dongeng-dongeng ini diterbitkan oleh PESADA dalam sebuah buku.
12
Jam makan merupakan suatu bagian yang sangat penting: Makanan disiapkan dan diberikan oleh pengasuh dan bahan disumbangkan oleh orangtua. Kepada anak-anak disuguhkan makanan tambahan yang bergizi. PESADA kemudian memperoleh sumbangan yang dikhusukan bagi anak-anak sehingga anak-anak dapat makan roti dan minum susu. Banyak yang berubah kepada anak-anak. PESADA mendaftarkan indikator perkembangan anak yang perlu dicermati. Pada awal pelayanan PESADA di desa tersebut, bukekuatan makan sayur tidak dikenal disana. Pepaya diberikan menjadi makanan babi. Tetapi kemudian pola makan pun berubah, anak-anak, jadinya mau makan sayur yang dulunya tidak dikenal, buahpun dimakan termasuk pepaya. Bahkan dalam tubuh anak-anak itu contohnya karena
Sikap Transparan PESADA dilakukan dengan menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi, program dan hasil audit keuangan kepada konstituen / masyarakat mitra dan publik diminta atapun tidak.
mereka sudah minum susu kulitnya sudah bagus daripada orang yang tidak meminum susu. Memang di rumah anak-anak belum tentu memperoleh asupan gizi sedemikian ini, sehingga ketika libur TBAA, kulit anak-anak yang tadinya sudah lebih bagus dan halus, kembali seperti sebelumnya. Dari segi bahasa juga terjadi perubahan: di rumah mereka hanya mengenal bahasa Pakpak tapi setelah
di TBAA sudah mengenal Bahasa Indonesia. Kebersihan, kerapian, dan kemauan belajar ada pada anak TBAA. Ketika mereka kemudian memasuki Sekolah Dasar, mereka tampil berbeda: lebih mandiri dibanding dengan ana-anak lain yang sebaya yang bersama baru masuk; kemampuan membaca dan berhitung lebih cepat. Bahkan kalau secara keseluruhan dilihat umumnya anak-anak lulusan TBAA selalu masuk 10 besar di sekolah mereka. Pada awalnya para pengasuh dan staf lapangan PESADA secara perlahan menyadarkan para orang tua, bahwa anak bukan hanya sekedar dilahirkan, juga hendaknya jangan mengira bahwa ketika ada tempat bina asuh anak lalu ada pengasuh kalian. Anak-anak punya hak untuk dapat tempat yang aman, tempat bermain, dan bersih. Ada jarak yang cukup lama agar orang tua dapat mengerti. Namun dalam perkembangan selanjutnya corak pendampingan anak dalam TBAA semakin terlihat juga dalam kehidupan keluarga. Masyarakat sekitar, termasuk orangtua para pengasuh, tidak memahami dengan benar makna dari pendidikan yang bercorak sedemikian ini. Yang terlihat dipermukaan adalah mereka mengurus baju anak orang lain, membersihkan wajah dari ingusnya, menjaganya seharian hingga mengurus sampai ke toilet. Apakah ini jenis pekerjaan yang layak? Bukankah itu pekerjaan orangtua anak-anak itu sendiri? Memang mulia pekerjaan ini satu 13
sisi, tetapi di sisi lain, bila itu dikerjakan oleh anak sendiri, seolah-olah itu adalah pekerjaan hina. Beberapa orangtua dari pengasuh malah menganjurkan anaknya supaya mencari pekerjaan di tempat lain saja. Namun para pengasuh tidak merasa terbeban dengan pekerjaan ini. Pengasuh merasa senang meskipun kalau dipikirkan pekerjaan ini sangat memberatkan. Bahkan ada para anak asuh sudah menganggap pengasuh sebagai orang tuanya.
Kesederhanaan
diwujudkan dengan perilaku yang mempunyai keserasian dengan kesederhanaan yang mendalam. Apa yang dikatakannya, dilakukannya, semuanya itu keluar dari kedalaman hatinya, bukan yang hanya sekedar keluar secara spontan dan dangkal timbul dari hatinya. Perilaku ini terlihat juga dalam sikap yang menguasai diri, tahu mana yang pokok dan mana yang tidak pokok. Selanjutnya tindakannya menunjukkan sikap yang tidak menonjolkan diri dalam berbicara, berpenampilan dan bertindak, low profile dan rendah hati.
Dari sudut gaji, memang pekerjaan itu dianggap tidak layak. Gaji yang sangat rendah saat itu, yaitu seharga 2 kaleng beras, dan saat itu Rp. 30.000,Gaji yang sedemikian jumlahnya memang sangat jauh dari cukup. Para Guru dari sekolah-sekolah formil yang lain juga menganggap bahwa pekerjaan mereka berada pada level yang ltidak terkait dengan pendidikan. Tetapi itu tidak menjadi alasan bagi mereka untuk
meninggalkan tugas ini. Demi
menghindari penilaian-penilaian rendah akan TBAA, untuk penampilan luar, para pengasuh misalnya mengusahakan sendiri dari gaji yang kecil itu untuk membeli
pakaian
seragam,
sehingga
dalam
penampilan pada acara-acara umum, para pengasuh terlihat professional. Namun dalam tugas sehari-hari, mereka tampil seadanya, siap untuk mengajar anak, di ruang kelas, kamar mandi, ruang makan hingga jam
tidur
anak-anak.
Seorang
Supervisor
mengatakan :”Yang membuat bertahan pada waktu itu, adalah, saya iba melihat anak-anak yang sangat ketinggalan itu. Saya ingin terlibat dalam peningkatan pola hidup yang ada disana dan saya terpanggil
untuk itu.” Walau pun gaji kecil, tetapi mendapat dukungan dari masyarakat lokal. Di Tinada misalnya, seorang Ibu bersedia menampung Petugas Lapangan untuk tinggal di rumahnya, sehingga untuk masalah makan, dia tidak mengalami kesulitan karena kemurahan hati itu.
14
Ketika PESADA kemudian memperoleh bantuan untuk makanan bagi anak-anak, maka para pengasuh mengharap agar dana bagi makanan anak tersebut dapat dialihkan sebagian untuk menambah gaji para pengasuh dan petugas lapangan.
Namun
mereka
kemudian
PESADA
dengan ketat menunjukkan bahwa setiap dana yang masuk harus digunakan sesuai dengan maksud semula, sehingga tidak dialihkan di tengah jalan pada maksud yang lain. Memang pengasuh terkadang cemburu ketika anak-anak minum susu dan makan roti, namun kemudian pengasuh untuk mendampingi anak
dalam
menikmati
sumbangan
tersebut.
Demikian juga halnya dengan pelaksanaan tugas yang lain,
Sikap Professional PESADA ditunjukkan dengan manajemen organisasi, program dan personil yang didasarkan atas motivasi, kompetensi, efisiensi dan efektifitas serta terbebas dari segala bentuk praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
ketika kami memberikan itu kami ikut
meminum susu dan memakan roti. Walau pun di desa-desa yang dilayani oleh PESADA pada awalnya tidak terdapat jurang antara yang kaya dan yang miskin, tetapi bisa saja corak relasi sesame warga membuat pembedaan-pembedaan,
mungkin
menurut
latarbelakang etnis dan berbagai kesempatan hidup
Hak Azasi Manusia diwujudkan melalui pengakuan, penghormatan, pendidikan dan perlindungan seluruh hak-hak personil sebagai individu yang merdeka dan mempunyai martabat tanpa ada pembedaan.
yang lain. Di dalam pelaksanaan tugas di TBAA, pembeda-bedaan tidak dialami. Ketika TBAA berdiri di berbagai desa lain, maka kebersamaan dirasakan baik oleh para pengasuh, petugas lapangan, mau pun
para
orangtua. Gerak penguatan anak-anak
menjadi bagian dari kehidupan bersama desa-desa yang
dilayani
PESADA.
Berbagai
kesempatan
membuat kebersamaan ini muncul. natal antar TBAA dan bahkan kecematan. Kebersamaan itu sangat terasa. Hal ini semakin diperkuat dengan proses penguatan ekonomik bagi kaum perempuan di desadesa yang dilayani oleh PESADA, yaitu penguatan melalui Credit Union (CU). Memang orangtua anak15
Sikap Anti Diskriminasi PESADA diwujudkan dengan menerapkan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan status, kedudukan, suku, agama, ras, jenis kelamin, ideologi, status perkawinan, kondisi tubuh, kesehatan dan orientasi sexual.
anak yang di TBAA tidak dengan sendirinya menjadi anggota CU, tetapi gerak bersama dalam desa untuk penguatan anak-anak dan perempuan perlahan mempengaruhi kehidupan desa. Melalui program ternak ayam pada awal penguatan perempuan di desa Tinada dan kemudian desa lain, kaum Ibu terlihat semakin memiliki rasa percaya diri. Rasa ini kemudian muncul melalui keanggotaan dalam CU. Pada awalnya kaum Ibu tersebut sangat kuatir apakah
Kemandirian
uang yang mereka kumpulkan akan dibawa lari
PESADA ditunjukkan dengan kemampuan menggali dana sendiri untuk keberlanjutan organisasi dan program tanpa tergantung sepenuhnya pada lembaga donor.
namun para petugas lapangan. Namun rasa percaya pada para petugas lapangan menimbulkan dalam diri para petugas lapangan juga kepercayaan diri yang memimpin pada sikap kemandirian. Hal ini semakin diperkuat dengan apa yang disebut di dalam bagian lain di atas, bahwa pengasuh di
TBAA pun harus mengamati perkembangan anak bahkan orangtua dengan berbagai indikator yang ditentukan. Melalui indikator itulah semakin terlihat perkembangan yang diperoleh baik anak mau pun orangtua dan menjadi terkait dengan masyarakat sekitar. Seluruh pelaksanaan tugas dan indikator yang diperhatikan semuanya itu perlahan akan menuju pada kemandirian program ini. PESADA diharapkan
merumuskan dapat
peningkatannya.
tahap-tahap
dilalui
Tahap
itu
TBAA diakhiri
yang dalam oleh
kemandirian. Indikator perkembangan TBAA itu sendiri memuat juga indikator pengembangan diri para pengasuh dan petugas lapangan yang terlibat. Para pengasuh terutama yang telah direkrut dari dalam kehidupan desa itu sendiri semakin sadar akan dirinya sebagai perempuan
Sikap kesetaraan dan keadilan gender diwujudkan dengan affirmative action untuk kepemimpinan perempuan, pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam pembagian peran, fungsi, posisi, tugas dan tanggungjawab; serta memungkinkan perlakuan yang berbeda karena perbedaan biologis dan peran kodrati.
dengan segala kemampuannya. Pengiatan pada perempuan dan anak-anak kemudian dialaminya menjadi penguatan dirinya sebagai perempuan, yang mampu memimpin dan membawa perubahan dalam masyarakat dari lapisan yang paling azasi. Memang para pengasuh dan petugas lapangan memperoleh pelatihan dan 16
juga study banding terhadap berbagai keahlian mau pun mengenai kesetaraan gender. Namun keterlibatan dalam hidup masyarakat dampingan tanpa pamrih ituah yang mereka lihat membuat mereka dapat mengorbit pada seluruh nilai-nilai, wawasan dan ketrampilan yang mereka telah pelajari. Seluruh proses percaya diri, kemandirian, proses penguatan diri sebagai perempuan terintegrasi kembali dengan program pengembangan TBAA secara bertahap sebagaimana sudah disebutkan di atas. TBAA bagi PESADA bukanlah program yang akan menjadi miliknya sepanjang masa, tetapi pada akhirnya akan menjadi milik dari masyarakat itu sendiri. Tahap-tahap berikut ini menunjukkan bahwa PESADA sebagai lembaga memiliki sikap kemandirian. PEMULA
PERFORM: -
-
TUMBUH
-
Dana operasional 20 % swakekuatan dari orangtua Dana operasional 70 % mencakup honor, makanan tambahan subsidi dari Pesada Dana operasional 30 % swakekuatan dari orangtua
KEBUTUHAN: Monitoring setiap bulan Pengembangan kapasitas pengasuh : a. Studi banding pengasuh b. Kursus penyadaran gender - Subsidi dana -
a. b. c. d. e.
BERKEMBANG
-
-
-
DEWASA 17
-
Dana operasional 70 % swakekuatan dari orangtua Pengurus telibat di Musrenbang Dana operasional 50 % mencakup honor, makanan tambahan permainan edukatif subsidi dari Pesada Kelengkapan pengurus ( ketua, sek, bendahara ) dan aktif Dana operasional 80 % swakekuatan dari
a. b.
Monitoring setiap bulan Pengembangan kapasitas pengasuh: Pengembangan permainan edukatif Tehnik dan metoda mendongeng Sumber gizi dan kesehatan anak Pemahaman Hak Anak Tahap tahap perkembangan anak - Subsidi dana Monitoring per triwulan Pengembangan kapasitas pengasuh : Assertivnes Psikologi perkembangan anak - Dana operasional 50 % mencakup honor, makanan tambahan permainan edukatif subsidi dari Pesada
c. -
Monitoring Konsultasi
-
MANDIRI
-
masyarakat dan pemerintah setempat Pengurus terlibat di Musrenbang Dana operasional 30 % mencakup honor, makanan tambahan subsidi dari Pesada Alokasi dana desa, kabupaten Pengurus terlibat di Musrenbang Dana operasional 100 % terpenuhi mencakup honor, makanan tambahan, insentif konsultasi
-
Dana operasional 30 % mencakup honor, makanan tambahan subsidi dari Pesada
Monitoring dan efaluasi perencanaan - Konsultasi - Pengembangan kapasitas pengasuh : a. Studi banding b. Membuat proposal sederhana -
Proses yang ditunjukkan melalui indikator di atas pada akhirnya menunjukkan kemandirian bagi TBAA yang pada dasarnya sangat cepat dibanding dengan pendampingan yang sama dikerjakan oleh berbagai lembaga-lembaga sosial di sekitar PESADA.
TBAA Tinadalah
yang pertama sekali mendapat bantuan dalam pemerintah Provinsi sekitar Rp. 40 juta dan dari Pemerintah Kabupaten Rp.10 juta. Sekarang pengasuh sudah mendapat honor dari pemerintah, dan pengelolaannya dapat dipercaya tanpa ada campur tangan lagi dari PESADA.
18
D. PERJUMPAAN DENGAN NILAI-NILAI PERILAKU: TAHAP LANJUTAN 1. Perumusan Nilai-nilai Perilaku PESADA Pada tahun 2003, para Pendiri PESADA didorong untuk merumuskan ke tujuh visi yang selama ini menjadi acuan nilai-nilai PESADA. Pada saat itu PESADA sedang merancang untuk mengubah PESADA dari sebuah Yayasan menjadi Perkumpulan. Di sana perumusan visi kembali didiskusikan. Dalam pelaksanaan tugasnya terlihat bahwa banyak yang tidak mengerti ungkapan tua seperti ketaatan, kemurnian hati dan kemiskinan hati. Oleh karena itu seluruh hal yang terkandung di dalam visi itu dirangkum dalam dua ungkapan yaitu: Ketulusan
(Sinceritas)
dan
Kesederhanaan
(Simpilicitas).
Keduanya
menjadi
semboyan/slogan dari seluruh pelayanan PESADA. Selain itu kedua semboyan ini dilihat sebagai kumpulan dari berbagai terminology nilai-nilai yang harus diterjemahkan lagi. Maka dalam tahap selanjutnya PESADA semakin terdorong untuk merumuskan nilai-nilai turunan dari semboyan ini, yang dibuat dalam bahasa sekuler. Dari manakah PESADA merumuskan nilai-nilai perilaku sementara di dunia sekitar begitu banyak nilai-nilai bertebaran? Sebagaimana disebutkan di atas, petugas dari angkatan-angkatan awal PESADA telah memperoleh arahan nilai-nilai itu sebelum berangkat tugas dan sementara tugas berlangsung, namun tidak terperinci. Dalam ritme pendampingan dan pengorganisasian, PESADA selalu memberi kesempatan pada seluruh petugasnya dari seluruh jajaran untuk secara berkala mengadakan evaluasi diri. Perangkat untuk evaluasi diri ini menunjukkan mutu pribadi dalam menjalankan tugasnya, dan mutu yang diharapkan mengandung nilainilai perilaku dan menunjukkan sejauh manakah nilai-nilai itu terinternalisasi dengan dirinya. Sebagai contoh berikut ini dapat dilihat susunan dan langkah-langkah perangkat evaluasi diri itu, sehingga dapat menolong petugas menghidupi nilai-nilai perilaku yang dimiliki PESADA, walau saat itu belum terrumus secara terperinci, sebagaimana dikutip berikut ini 1:
Para staf terlebih dahulu menilai dirinya sendiri.
Penilai (atasan langsung) memberi penilaian setelah staff yang dinilai menilai dirinya, kemudian mendiskusikan bersama hasil penilaian serta menuliskan komentar (kesepakatan atau point diskusi maupun ketidaksepakatan dalam penilaian).
1
Dokumen “Form dan Evaluasi Personil PESADA 2011”
19
Aspek yang dinilai adalah: Hasil kerja: penilaian didasarkan atas uraian tugas, dan pelaksanaan (proses dan hasil) Rencana Kerja tahunan dan tugas yang dimandatkan kepada yang bersangkutan. Tanggung-jawab: kedisiplinan pribadi dan produktifitas selama hari-hari kerja, serta usaha-usaha yang ditunjukkan dalam mencapai target kerja maupun memecahkan masalah yang timbul, dan melaporkan status penyelesaian tugas yang diberikan, kesediaan/kesiapan mengambil resiko atas pelaksanaan tugas. Kerja-sama: hubungan atau kemampuan membangun relasi antar personil termasuk komunikasi dengan rekan kerja dalam rangka mencapai target kerja. Inisiatif: kemampuan memecahkan masalah, mengeluarkan ide baru/inovasi yang
praktis,
dan
kemauan
mengambil
langkah
pertama
dalam
melaksanakannya Kepemimpinan : o
Staff/Bawahan
:
kemampuan
memanage
diri
sendiri,
mengambil keputusan, o
Supervisor,
Koordinator,
Kepala
dan
Direktur
:
penilaian
didasarkan atas kemampuan mengelola dan mendidik bawahan, kemampuan
mengawasi
dan
menindak-lanjuti,
kemauan
dan
kemampuan mendengarkan orang lain (bawahan dan rekan kerja lain),
tingkat
respek/menghargai
orang
lain,
kemampuan
mendelegasikan, mengkoordinir pencapaian target kerja timnya, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memotivasi, tingkat partisipasi bawahannya dalam pengambilan keputusan. Kesetiaan: loyalitas kepada lembaga dalam arti tetap mengacu kepada visi, missi, nilai-nilai dan peraturan serta kesepakatan yang ada dalam lembaga. Bersedia membela PESADA dan mejaga nama baik PESADA, tidak memberi informasi yang bersifat ‘rahasia’ dan/atau internal lembaga ke pihak luar, dalam
situasi
tertentu
bersedia
mendahulukan
kepentingan
lembaga/pekerjaan daripada kepentingan pribadi. Kejujuran: secara tulus dapat menunjukkan konsistensi antara perkataan dan perbuatan, kesamaan antara perkataan di depan rekan kerja dan di belakang, tidak ada perbedaan mendasar antara laporan dan kenyataan (mis: 20
penugasan, keuangan), tidak korupsi (waktu, keuangan, fasilitas) mampu mengekspressikan dan menjelaskan sesuatu sesuai dengan maksudnya. Kode Etik/Pedoman Perilaku : tidak ada pelanggaran atas nilai-nilai yang ada di dalam kode etik Pengetahuan dan Perspektif : perkembangan pemahaman dan perspektif sesuai bidang tugas dan point-point di alat test calon staf (digunakan untuk semua personil)
Kedua hasil penilaian itu, yaitu dari diri sendiri dan dari atasan langsung, dibicarakan, hingga akhirnya sampai pada nilai akhir. Bila diperlukan dituliskan juga komentarkomentar yang terkait dengan pelaksanaan dari aspek yang dinilai tadi.
Pembicaraan seperti ini dilalui dengan mulus, walau terkadang bisa terjadi perbedaan pendapat dan penilaian. Perbedaan itu tidak dibiarkan dengan mencari kompromi, tetapi didiskusikan tuntas hingga ditemukan prinsip. Hal ini semakin meneguhkan PESADA untuk mengerjakan seluruh pelayanannya berdasarkan acuan nilai-nilai, yang walau saat itu belum terrumus dengan terperinci. Selain itu, dalam rangka evaluasi diri, PESADA memberi kesempatan juga untuk menilai dan meneguhkan sesama petugas. Maka acuan untuk penilaian pun diperlukan.Sekali lagi, ini merujuk pada nilai-nilai perilaku. PESADA selalu mengadakan secara berkala evaluasi dan perencanaan terhadap seluruh program. Dalam Evaluasi itu pengalaman lapangan dan juga pendapat serta masukan masyarakat dampingan dipertimbangkan. Hal itu dengan sendirinya memunculkan kembali nilai-nilai perilaku yang selama ini belum terrumus. Dalam menjalankan pendampingan, PESADA berkerjasama dengan berbagai Lembaga Swakekuatan Masyarakat di dalam negeri mau pun luar negeri. Setiap Lembaga itu mempunyai kekhususannya masing-masing dan kekhususan itu menunjukkan jati dirinya dan dengan demikian menunjukkan nilai-nilai perilaku yang dianutnya. Dalam kerjasama dengan mereka, maka jati diri PESADA harus dinampakkan dengan jelas. Hal itu sering terkait dengan pilihan dan metode pendampingan masyarakat terpinggirkan khususnya perempuan dan anak-anak. Maka PESADA memperkenalkan dan menunjukkan dirinya melalui nilai-nilai itu. Maka perjumpaan seperti ini pun semakin membuat PESADA terdorong untuk memilih dan menonjolkan nilai-nilai yang dimilikinya. Dengan demikian, PESADA sebenarnya sangat kaya dengan aliran nilai-nilai perilaku. Maka ketika perumusan nilai-nilai itu diperlukan, PESADA tidak menemukan kesulitan. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, PESADA memiliki dua semboyan yang menjadi 21
acuan utama bagi nilai-nilai yang dipegangnya, yaitu ketulusan (sinceritas) dan kesederhanaan (simplicitas), dan seluruh nilai-nilai yang lain dianggap bernaung di bawah kedua semboyan tersebut. Bila keduanya dilihat sebagai penaung nilai lain, maka ditambahkanlah 8 nilai yang lain, sehingga terlihatlah adanya 10 nilai-nilai yaitu:
Ketulusan
Kesederhanaan
Hak Azasi Manusia
Sikap Kesetaraan dan Keadilan Gender
Sikap Non Partisan
Sikap Professional
Sikap Transparan
Sikap Akuntabilitas
Sikap Anti Diskriminasi
Kemandirian
Setiap nilai dan prinsip tersebut di atas diturunkan menjadi aturan yang spesifik, terukur dan realistik, yang muncul dari pengalaman PESADA sebagaimana diuraikan di atas. Aturan yang spesifik itu menjadi aturan yang diterapkan dan mengikat secara individual, sebagaimana digambarkan berikut ini:
Pertama: Ketulusan Ketulusan diwujudkan dengan perilaku yang tanpa pamrih, melakukan pelayanan/aktivitas tanpa mengharap imbalan, tanpa keluhan/keluh kesah/sungut-sungut dan tanpa tuntutan yang tidak realistis. Standar minimal penerapan pedoman perilaku: Tidak menerima apalagi meminta imbalan dalam bentuk apapun dari dampingan (korban, penyintas / survivors, anak TBAA, CU, dst.) Tidak menuntut uang lembur untuk tugas-tugas yang wajar dan pantas dilaksanakan oleh seorang aktivis/personil PESADA.
22
Kedua: Kesederhanaan Kesederhanaan diwujudkan dengan perilaku yang mempunyai keserasian dengan kesederhanaan yang mendalam. Apa yang dikatakannya, dilakukannya, semuanya itu keluar dari kedalaman hatinya, bukan yang hanya sekedar keluar secara spontan dan dangkal timbul dari hatinya. Perilaku ini terlihat juga dalam sikap yang menguasai diri, tahu mana yang pokok dan mana yang tidak pokok. Selanjutnya tindakannya menunjukkan sikap yang tidak menonjolkan diri dalam berbicara, berpenampilan dan bertindak, low profile dan rendah hati. Standar minimal penerapan pedoman perilaku: Tidak merendahkan orang lain dengan kata-kata ataupun sikap. Menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti, jelas dan tidak menggurui/ patronizing. Menunjukkan penampilan yang wajar, tidak berlebihan, tidak menggunakan barang yang merupakan simbol kemewahan. Mencukupkan kebutuhan diri sesuai kemampuan Melaksanakan pola hidup hemat dalam segala hal termasuk dalam penggunaan segala peralatan/fasilitas kerja.
Ketiga: Hak Azasi Manusia Hak Azasi Manusia diwujudkan melalui pengakuan, penghormatan, pendidikan dan perlindungan seluruh hak-hak personil sebagai individu yang merdeka dan mempunyai martabat tanpa ada pembedaan. Standar minimal penerapan pedoman perilaku: Menghormati perbedaan pengalaman, pendidikan, keyakinan, adat, bukekuatan (termasuk bahasa ibu), dan perbedaan azasi lainnya. Melindungi perbedaan lainnya, baik perbedaan gender, orientasi sexual, status perkawinan, stigma terhadap perempuan (Janda, PSK, ODHA, PRT) dan identitas lainnya yang diperlakukan sebagai golongan minoritas di dalam masyarakat umum.
Keempat: Sikap Kesetaraan dan Keadilan Gender Sikap kesetaraan dan keadilan gender diwujudkan dengan affirmative action untuk kepemimpinan perempuan (Affirmative action adalah tindakan khusus sementara yang dimaksudkan untuk mempercepat tercapainya persamaan), pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam pembagian peran, fungsi, posisi, tugas dan tanggungjawab; serta memungkinkan perlakuan yang berbeda karena perbedaan biologis dan peran kodrati.
23
Standar minimal penerapan pedoman perilaku:
Memprioritaskan perempuan untuk kepemimpinan puncak lembaga dan mengoptimalkan pengembangan kapasitas perempuan. Memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk menempati posisi / jabatan di lini kedua sampai ke bawah dalam organisasi dan pengelolaan program Tidak melakukan kekerasan/pelecehan terhadap perempuan dan laki-laki (baik fisik, psikologis dan seksual), termasuk lelucon porno & display gambar/ poster/ wallpaper/ screen saver porno dan berbasis gender, polyandry & polygamy formal ataupun terselubung. Mempunyai disain program & penggunaan alat MONEV peka gender. Mempunyai aturan yang peka gender. Melakukan perekrutan staff yang peka gender dan pendidikan kepekaan gender yang kontinu untuk seluruh personil
Kelima: Sikap Non Partisan Sikap Non Partisan diwujudkan dengan sikap yang tidak memihak dan/atau merupakan bagian (afiliasi) atau merupakan perpanjangan tangan dari partai politik. Standar minimal penerapan pedoman perilaku: PESADA tidak boleh berafiliasi, mendukung atau memihak terhadap kepentingan salah satu partai politik Personil PESADA tidak terlibat aktivitas yang berkaitan dengan proses pemilihan kepala pemerintahan yang berasal dari parpol dan pemilihan anggota legislatif, kecuali melakukan pemantauan, pengawasan dan pendidikan pemilih. Personil PESADA tidak dibenarkan untuk duduk dalam pengurus partai politik dan lembaga atau badan bentukan partai politik.
Keenam: Sikap Professional Sikap Professional PESADA ditunjukkan dengan manajemen organisasi, program dan personil yang didasarkan atas motivasi, kompetensi, efisiensi dan efektifitas serta terbebas dari segala bentuk praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Standar minimal penerapan pedoman perilaku:
24
PESADA memiliki AD/ART tertulis AD/ART PESADA mencerminkan pemisahan kekuasaan dalam bentuk fungsi dan orang sebagai pelaksana dan kepengurusan (legislative, eksekutif & judikatif). Pengelolaan keuangan PESADA berdasarkan Standar Akuntansi PESADA menerapkan rotasi Kepemimpinan secara periodik. PESADA mempunyai sistim Kaderisasi terencana dan regenerasi. Di dalam struktur organisasi Personil PESADA tidak ada hubungan keluarga dalam posisi tertentu / strategis (darah, perkawinan, hukum). Personil PESADA tidak menjalin hubungan asmara atau menikah dengan anggota / keluarga inti kelompok dampingan Personil PESADA harus mempunyai pengetahuan dan keahlian tentang isu-isu yang menjadi bidang kerjanya.
Melaksanakan hubungan kerja dan komunikasi yang dilandasi keterbukaan dan assertiveness. Melaksanakan resolusi konflik untuk masalah intern tanpa membedakan status / posisi pihak personil dan mendukung atmosfir untuk ’berdamai’. Personil PESADA mampu membedakan urusan-urusan yang bersifat personal dengan urusan-urusan yang bersifat organisatoris.
Ketujuh: Sikap Transparan Sikap Transparan PESADA dilakukan dengan menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi, program dan hasil audit keuangan kepada konstituen / masyarakat mitra dan publik diminta atapun tidak. Standar minimal penerapan pedoman perilaku: Proses pengambilan keputusan strategis dalam PESADA (penyusunan aturan organisasi, pengangkatan dan pemberhentian staf dan direktur, membangun jaringan dan kerjasama dengan lembaga donor, penetapan standar gaji) bersifat partisipatoris Penyediaan, pengadaan dan penggunaan fasilitas kantor & sumberkekuatan lembaga sesuai kebutuhan dan diputuskan secara bersama Laporan keuangan PESADA diaudit oleh akuntan publik Laporan keuangan dan program PESADA boleh diakses masyarakat mitra atau perwakilannya, donatur serta seluruh personil PESADA
Kedelapan: Sikap Akuntabilitas Sikap Akuntabilitas PESADA diwujudkan dengan pemberian laporan berkala program dan keuangan kepada konstituen/masyarakat mitra dan publik serta memberikan kesempatan kepada konstituen/masyarakat mitra dan publik untuk meminta pertanggungjawaban. Standar minimal penerapan pedoman perilaku: PESADA mempunyai laporan program (perencanaan, pelaksanaan dan hasil) dan laporan keuangan PESADA membuka akses kepada konstituen dan publik untuk meminta Pertanggungjjawaban dan pertanggunggugatan perencanaan, pelaksanaan, hasil dan pengelolaan keuangan secara periodik
Kesembilan: Sikap Anti Diskriminasi Sikap Anti Diskriminasi PESADA diwujudkan dengan menerapkan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan status, kedudukan, suku, agama, ras, jenis kelamin, ideologi, status perkawinan, kondisi tubuh, kesehatan dan orientasi sexual. 25
Standar minimal penerapan pedoman perilaku: Dalam menempati posisi atau jabatan dalam organisasi Dalam pengelolaan program Dalam pemberian bantuan/layanan kepada masyarakat Dalam menikmati dan mengakses fasilitas organisasi. Dalam melaksanakan hak-hak kesehatan reproduksi perempuan.
Kesepuluh: Kemandirian Kemandirian PESADA ditunjukkan dengan kemampuan menggali dana sendiri untuk keberlanjutan organisasi dan program tanpa tergantung sepenuhnya pada lembaga donor. Standar minimal penerapan pedoman perilaku: Membangun kerjasama program dan dana berdasarkan azas kesetaraan / kemitraan, anti hutang, anti pengrusakan lingkungan, dan non-governmental untuk tingkat Indonesia. Mengupayakan penggalian dana sendiri. Sebagian pembiayaan program dan organisasi berasal dari dana sendiri Mampu melanjutkan program tanpa tergantung pendanaan dari lembaga donor.
Demikianlah pedoman perilaku PESADA menjadi terrumus untuk dihidupi di dalam tugas pendampingan sehari-hari, baik dalam kegiatan di kantor mau pun secara langsung di lapangan. Bagaimana nilai-nilai perilaku ini hidup di dalam kegiatan sehari-hari akan terlihat dalam bagian berikut. 2. PERJUMPAAN STAFF DAN PETUGAS DENGAN NILAI-NILAI PERILAKU: Tahap Lanjutan
a. PEDOMAN PERILAKU DALAM DIRI PARA STAFF LAPANGAN YANG LAMA: Dalam uraian di awal, sudah terlihat bagaimana para petugas PESADA sudah berjumpa dengan nilai-nilai perilaku itu dalam pendampingan yang dikerjakannya di lapangan. Masyarakat dampingan itu malah membantu mereka untuk menyadari nilai-nilai perilaku itu bahkan dapat dikatakan, para petugas berjumpa dengan nilai-nilai itu di lapangan, walau tidak terrumus seperti rumusan yang tertulis di atas. Sesudah nilai-nilai perilaku itu dirumuskan, maka para staff yang lama tentunya melihat pengalamannya di dalam rumusan itu. Maka tidak heran, kalau para staff yang lama diminta untuk merumuskan ke sepuluh pedoman perilaku tersebut, maka mereka selalu merujuk
26
pada pengalaman dengan masyarakat dampingan. Mereka sangat sulit menjelaskan pedoman perilaku itu lepas dari pengalaman itu. Beberapa contoh dapat kita lihat berikut ini:
KETULUSAN: Tentunya staff lapangan sudah menghafal rumusan ‘Ketulusan’ ini, tetapi ketika dia diminta untuk merumuskan pemahamannya akan ketulusan, maka kata-kata kunci dari rumusan tertulis masih ditemukan, tetapi yang terungkap pada akhirnya adalah pengalamannya dengan masyarakat dampingan. Salah seorang dari mereka merumuskan ketulusan dengan: “Bagi saya ketulusan adalah titik pangkal sebuah pengabdian kepada masyarakat di akar rumput. Pengabdian tanpa mengharapkan imbalan dan tanpa mementingkan kepentingan pribadi. Pengabdian yang sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat, meskipun pekerjaan yang dilakukan diluar jam kerja kebiasaan namun semangat untuk mengabdi membuat pekerjaan tetap dilakukan tanpa mengenal waktu hal ini tercermin dari pendampingan korban yang sering kali harus didampingi larut malam atau diwaktu libur. Pekerjaan yang dilakukan semata-mata untuk membuat masyarakat dan dampingan memperoleh haknya, memastikan mereka mendapat pengetahuan dan tidak menjadi korban diskriminasi dan membuat korban menyadari dan mau memperjuangkan haknya.” Pengertian ‘ketulusan’ itu bagi staff seperti terrumus di atas dari pihak staff yang mengalami adalah sebuah ‘titik pangkal pengabdian’ dan menunjuk pada penggunaan ‘waktu’ bagi pendampingan tanpa batas. Bagi masyarakat dampingan ‘ketulusan’
adalah yang
memungkinkan ‘korban menyadari dan mau memperjuangkan haknya’. Rumusan seperti ini tentunya tidak termuat secara langsung dalam pedoman perilaku, tetapi ketika itu dihidupi oleh staff, maka pedoman perilaku itu menunjukkan arah pendampingannya. Hal seperti ini terlihat juga dalam tulisan staff yang lain yang menyebutkan: “ Ketulusan terpancar dari sikap yang dengan sukarela/ringan tangan melayani, membantu orang lain yang membutuhkan bantuan/dukungan dari kita tanpa pamrih dan
tanpa
mengharapkan
imbalan/jasa.
Misalnya:
tulus
dalam
melakukan
pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan ke kantor polisi yang beberapa kali harus menunggu hingga jam 21.00 wib malam atau bahkan lebih, meski badan sudah mulai lelah, namun semua itu pupus saat melihat perempuan yang datang menangis dan meminta pertolongan kepada saya karena dirinya 27
dipukuli oleh laki-laki yang disebut sebagai suaminya; bukan hanya pukulan namun juga makian dan lemparan dengan palu atau benda lainnya.”
Penderitaan masyarakat dampingan menolong staff untuk semakin teguh di dalam ‘ketulusan’nya, yang memancarkan ‘sikap yang dengan sukarela/ringan tangan melayani dan membantu orang lain’. Staff yang lain merumuskan pengalamannya dengan ‘ketulusan’ ini secara lain namun terlihat terdapat kesejajarannya dengan yang sebelumnya: “Menurut saya Ketulusan itu adalah Kerelaan hati tanpa ada paksaan. Suatu tindakan dilakukan dengan pekerja dengan hati yang iklas tanpa ada paksaan dan tidak bersungut-sungut. Dalam pekerjaan sehari-hari bekerja di PESADA ketulusan tercermin dari sikap yang mau bekerja diluar hari kerja yang sudah dijadwalkan, misalnya bekerja di hari Minggu dan hari Sabtu.Tidak memilah-milah pekerjaan yang satu dengan yang lain, tidak menganggap pekerjaannya lebih penting daripada pekerjaan orang lain. Kerelaan hati untuk membantu korban, kasus korban terkadang saya menyikapinya sebagai masalah saya, adanya perasaan tidak senang ketika suatu kasus tidak tuntas, dan bisa merasakan apa yang dirasakan korban. Disinilah perlu ada ketulusan untuk membantu. Beban kerja itu lebih kepada korban atau kasus yang dihadapi.”
Terlihat bagaimana pedoman perilaku itu selalu terkait dan terlibat dengan masyarakat dampingan. ‘Ketulusan’ tidak dilihat sebagai peraturan, rumusan baku untuk diikuti saja, tetapi menjadi sarana kontak antara dirinya dengan masyarakat dampingan.
KESEDERHANAAN:
Seorang staff dengan singkat merumuskannya sebagai berikut: “Kesederhanaan akan tercermin pada saat melakukan pendampingan dengan berpakaian yang sederhana namun sopan, berbicara dengan menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti dan bahasa lokal. Kesederhanaan akan lebih memudahkan kita dalam melakukan pendampingan di dampingan serta lebih membuat hubungan menjadi lebih dekat. Dampingan tidak akan merasa canggung jika kita berpenampilan seperti mereka dan akan menimbulkan kenyamanan.” 28
Penampilan dalam ‘berpakaian’ dan segala yang terkait dengannya dan juga ‘bahasa’ ditekankan oleh rumusan ini. Acuan bagi pentingnya sikap tersebut adalah hubungan langsung dengan masyarakat dampingan. Penggambaran singkat ini menunjukkan bahwa tanggapan masyarakat terhadap kehadiran staff mendorong dia untuk semakin teguh dalam ‘kesederhanaan’.
Dapat juga ‘kesederhanaan’ dalam konteks yang lebih luas dianggap
sebagai sikap yang menunjukkan ketinggalan, namun masyarakat dampingan itu akan menunjukkan bahwa perilaku tersebut adalah bagian dari kebutuhan masyarakat dalam menghadapi perjuangan hidupnya, sebagaimana terlihat dalam rumusan staff yang lain sebagai berikut: “Bagi saya Kesederhanaan bukan berarti kolot, sengsara dan kalah mode. Pengalaman saya banyak nilai positif yang kita dengar dari masyarakat ketika kita berpakaian sederhana atau polos, berbicara dengan sederhana atau kata-kata yang mudah dimengerti. Tetapi juga masih ada kekurang percayaan kepada kita ketika kita tidak memakai pakaian seragam tetapi itu hanya sebagian kecil…. Sikap kesederhaan ini juga bisa tercermin, ketika kita mudah berbaur dengan masyarakat dengan tidak menimbulkan kesenjangan kepada mereka dan turut merasakan apa yang mereka rasakan. Setelah bekerja di Pesada ini banyak hal pembelajaran hidup yang saya peroleh, dalam hal Ketulusan & Kesederhanan. Pekerjaan inilah praktek dari semua teoriteori yang saya pelajari dibangku kuliah. Dunia kerja yang tidak menonjolkan taraf hidup ekonomi sesama staf dan menimbulkan kesamaan dan dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Masih banyak kegagalan-kegagalan yang saya lakukan terutama terkadang terbawa emosi dalam menangani kasus, dan tidak berpikir atau duduk tenang dulu. Dan hanya menyenangkan korban dan langkah-langkah penanganannya gegabah dan salah….” ‘Kesederhanaan’ yang terrumus di sini terlihat mempunyai kesejajaran dengan apa yang disebutkan rekannya yang terdahulu, terutama masyarakat dampingan yang mendorong, meneguhkan
para
staff
untuk
hidup
‘kesederhanaan’
walau
masyarakat
itu
mengingatkannya tanpa kata melalui sikapnya.
Pemahaman tersebut juga menunjukkan perlunya kesetaraan hidup di dalam sesame staff dan kesetraan terlihat dalam ‘kesederhanaan’. Bahkan jalan pintas untuk menyelesaikan 29
tugas atau pun membelokkan tugas dari tujuan semula, dapat dihindari melalui dorongan masyarakat supaya tetap dalam ‘kesederhanaan”. Demikianlah rumusan baku PESADA ditemukan dalam hidup para staff: “Kesederhanaan diwujudkan dengan perilaku yang mempunyai keserasian dengan kesederhanaan yang mendalam. Apa yang dikatakannya, dilakukannya, semuanya itu keluar dari kedalaman hatinya, bukan yang hanya sekedar keluar secara spontan dan dangkal timbul dari hatinya. Perilaku ini terlihat juga dalam sikap yang menguasai diri, tahu mana yang pokok dan mana yang tidak pokok. Selanjutnya tindakannya
menunjukkan
sikap
yang
tidak
menonjolkan
diri
dalam
berbicara,
berpenampilan dan bertindak, low profile dan rendah hati.”
HAK AZASI MANUSIA: Dalam rumusan perilaku di atas, Hak Azasi manusia dirumuskan dengan: “Hak Azasi Manusia diwujudkan melalui pengakuan, penghormatan, pendidikan dan perlindungan seluruh hak-hak personil sebagai individu yang merdeka dan mempunyai martabat tanpa ada pembedaan.”
Ketika staff diminta untuk membuat refleksi terhadapnya, maka dalam rumusan singkat tergambar berbagai dimensi kehidupan para korban dan masyarakat dampingan, sebagaimana terlihat berikut ini: “……Melihat kondisi saat ini, banyak terjadi pelanggaran HAM terutama korbannya adalah perempuan, baik perempuan dewasa maupun anak perempuan. Kasus – kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada perempuan, bisa terjadi dimana saja. Baik di arena publik maupun privat. Perempuan sering diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi. Hal ini mulai dari pemberlakuan aturan/UU/Perda yang sering mendiskriminasi/menguasai perempuan, hingga prakteknya keseharian di masyarakat yang sering juga menyalahkan perempuan tanpa melihat lagi apa akar masalahnya. Sehingga jika dilihat lagi, pelanggaran HAM pada perempuan, pelakunya bisa merupakan keluarga inti/suami,keluarga besar/mertua,ipar, aparat penegak hukum, hingga negara juga sebagai pelaku. Berdasarkan data dari WCC Sinceritas, untuk tahun 2014, ada 168 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dimana yang paling tinggi adalah KDRT, menyusul Cabul/Seksual. Pelanggaran HAM pada perempuan, jika dilihat dari 30
lingkup rumah tangga, berdasarkan pengakuan dari korban yang diperoleh dari konseling yaitu :
istri/korban
sering
kali
tidak
bisa
mengeluarkan
pendapatnya sendiri
tidak diperbolehkan untuk bepergian/bersosialisasi
tidak boleh berorganisasi
tidak boleh untuk bekerja sehingga secara ekonomi sangat bergantung pada suami dan pada akhirnya menyulitkan istri, dan tidak mampu untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialami.
Ruang lingkup hidup masyarakat terutama para perempuan dampingan tergambar dalam uraian di atas: aspek soial, ekonomi, bukekuatan dan politik. Pedoman perilaku yang dirumuskan di atas menunjuk satu atau dua sisi dari kehidupan masyarakat. Di sini keseluruhan sisi kehidupan itu disentuh olehnya, dari lapisan paling dalam seperti keluarga hingga pemerintah. Untuk menjelaskan satu pedoman perilaku ini, keseluruhan jenjang hidup masyarakat di’adili’ dan dijejerkan sebagai pelaku.
Maka selanjutnya staff tersebut menyambung tulisannya dengan: “Jika di masyarakat & negara terlihat, bahwa pelanggaran HaM/HAP pada perempuan sangat tinggi, ini menunjukkan bahwa perempuan belum mendapatkan perlakuan yang sama dalam dunia politik, juga di bidang hukum. Masyarakat masih memposisikan perempuan tidak layak untuk menjadi pemimpin, jika ada perempuan yang maju untuk menjadi calon sering sekali dipertentangkan dengan hal – hal yang bersifat privat/domestik dimana hal ini dianggap sebagai kodrat perempuan. Sementara itu dibidang hukum, hal – hal yang sering dijumpai oleh Women Crisis Center ‘Sinceritas’ adalah masih banyak anggapan yang berkembang pada aparat penegak hukum bahwa masalah – masalah perempuan adalah urusan rumah tangga, bisa didamaikan, hal yang tidak penting untuk diangkat ke publik. Sehingga butuh kesabaran juga menghadapi para APH untuk saling bertukar pikiran/berdiskusi mengenai penanganan kasus – kasus perempuan baik KDRT ataupun kekerasan lainnya. Perdamaian sering juga ditawarkan menjadi solusi yang dianggap dapat menyelesaikan masalah. Lembagai seperti WCC Sinceritas tetap dibutuhkan, sehingga perempuan 31
korban kekerasan bisa untuk memperoleh pendampingan/bantuan dalam memperjuangkan hak – haknya.”
Sebagai bandingan, masalah dan perlakuan masyarakat dari segala lapisan sangat berat dihadapi para staff yang muda, yang datang kemudian. Seluruh sistim sudah menggurita memposisikan perempuan dalam keadaan seperti diurai di atas. Bila staff yang terlebih dahulu sudah melihat dari berbagai segi bagaimana sistim dalam masyarakat diperalat dan ditafsir untuk pengesahan penyingkiran perempuan di satu pihak dan tuntutan berlebihan di pihak lain, maka staff yang muda sangat terbeban dan mengeluh: Saya tidak tahu, apakah ini melanggar Hak azasi manusia atau tidak…..Inilah yang terjadi didesa kami desa di mana kebanyakan dihuni oleh suku Batak. Di sana banyak saya temui setiap pagi para lelaki berkumpul di warung, dan jamnya juga selalu tepat jam 7 dan apabila sudah jam 10 barulah
mereka pulang dengan senangnya, saya tidak tahu apa yang
mereka lakukan di sana yang saya lihat hanya sekedar ngobrol dan minum kopi hangat secangkir. Tetapi berbeda dari istri para laki-laki yang di warung ini,
jam 6 pagi sudah pergi ke sungai untuk menyuci, habis menyuci,
memasak dan mempersiapkan kebutuhan anaknya ke sekolah, setelah itu barulah pergi ke ladang. Sungguh luar biasa perempuan-perempuan Batak ini. Mungkin karena itulah mereka disebut ‘boru ni raja’ (putri raja)? Sungguh berat hidup dilingkungan yang masih kental dengan adat – istiadatnya di mana perempuan harus sangat menghormati suaminya, meskipun suaminya itu adalah penjudi dan pemabuk. Saya juga pernah mendengar khotbah seorang pendeta, di mana bapak pendeta mengatakan “sepertinya masalah gender tidak adalagi di negara kita ini, presiden sudah ada perempuan, caleg sudah ada perempuan jadi semuanya sudah setara, hanya saja masalahnya, apabila perempuan sudah punya gaji tinggi dari lakilaki, maka perempuan itu “Manigor mangarajai do..”
(Ind. langsung
menguasai), ya…ampun kenapa menjadi seperti itu? Umat di gereja pun senyum-senyum, sepertinya hanya diriku saja yang senyum kecut, kesal dengan pak pendetanya. Berangkat dari hubungan ke Hak azasi manusia, saya melihat hak perempuan masih belum diperhatikan, “bukankah perempuan manusia juga???” Sampai saat ini perempuan-perempuan yang potensial tidak bisa bangkit, itu karena pandangan masyarakat dari segi adat, agama masih cenderung menempatkan perempuan sebagai pelengkap, bukan pengambil 32
keputusan. Kenapa pada saat saya bekerja dan meninggalkan seorang anak kecil diurus oleh pengasuhnya, cara pandang mereka sepertinya saya ini orang jahat, orang-orang disekitar mengatakan bahwa saya perempuan tidak sayang anak, lebih mementingkan uang…seperti itulah pandangan mereka, bagi saya itu bukan pelanggaran anak saya tinggalkan demi masa depannya juga, Waw….sungguh luar biasa beban perempuan ini!....” Ini tulisan singkat saya, mengenai Hak azasi perempuan, perbedaan
itu
belum
dilindungi
belum
setara
pandangan
dimana terhadap
perempuan yang selalu negative. Dan perjuangan ini, butuh waktu yang sangat lama karena perbedaan ini sudah ditanamkan cukup lama dimulai dari anak-anak yang didik untuk selalu hormat kepada laki-laki dan lingkungan sosial yang selalu menuntut banyak pada pihak perempuan….”
Dari kedua uraian di atas, terlihat bahwa para staff benar-benar menghidupi pedoman perilaku yang terrumus bagi Hak-Azasi Manusia, bukan lagi sebagai hafalan atau acuan untuk bertindak saja, tetapi menjadi bagian dari keberadaannya yang ditantang
oleh
penderitaan masyarakat dampingan terutama kaum perempuan. Maka apa yang dirumus sebagai Standar minimal penerapan pedoman perilaku, sudah ditemukan dalam diri mereka yaitu:
Menghormati perbedaan pengalaman, pendidikan, keyakinan, adat, bukekuatan (termasuk bahasa ibu), dan perbedaan azasi lainnya.
Melindungi perbedaan lainnya, baik perbedaan gender, orientasi sexual, status perkawinan, stigma terhadap perempuan (Janda, PSK, ODHA, PRT) dan identitas lainnya yang diperlakukan sebagai golongan minoritas di dalam masyarakat umum.
Demikianlah masyarakat dampingan meneguhkan bahkan menghantarkan senantiasa pada pedoman perilaku itu dalam diri para staff.
Sebelum beralih pada butir pedoman perilaku yang berikut, sangatlah perlu diperhatikan pengalaman staff yang menuliskan di atas pengalaman berikut: “Sampai saat ini perempuan-perempuan yang potensial tidak bisa bangkit, itu karena pandangan masyarakat dari segi adat, agama masih cenderung menempatkan perempuan sebagai pelengkap, bukan pengambil keputusan. Kenapa pada saat saya bekerja dan meninggalkan seorang anak kecil diurus oleh pengasuhnya, cara pandang mereka sepertinya saya ini orang jahat, orang-orang disekitar mengatakan bahwa saya perempuan tidak sayang anak, lebih 33
mementingkan uang…seperti itulah pandangan mereka, bagi saya itu bukan pelanggaran anak saya tinggalkan demi masa depannya juga….. ” Perjuangan untuk Hak Azasi Manusia mengantarkan pada nilai-nilai lain yang tidak diduga sebelumnya, yaitu ‘kebebasan’ dari staff ini sebagai perempuan ‘meninggalkan’ anaknya, demikian terlihat dari sudut pandang masyarakat, tetapi pada dasarnya staff tersebut sebagai Ibu adalah untuk ‘kembali’ pada anaknya sesudah melepaskannya, yaitu ‘kembali’ dalam arti untuk masa depan anaknya. Aspek ‘melepaskan’ dan kemudian ‘memperolehnya kembali’ akan dibahas secara khusus dalam bagian berikut, tetapi sebelum sampai ke sana, hendaknya dilihat bahwa aspek inilah yang terkandung di dalam nilai-nilai luhur yang pada awal pendirian PESADA disebut sebagai ‘kemurnian hati’.
SIKAP KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER Refleksi para staff terhadap pedoman perilaku dalam Hak Azasi Manusia mencakup seluruh sistem kehidupan dalam masyarakat. Dalam pedoman perilaku yang terkait dengan Sikap Kesetaraan dan Keadilan Gender seluruh sistim kehidupan masyarakat dilibatkan, dan seturut dengan itu para staff tidak melihat sikap ini terkait dengan kehidupan di luar dirinya sendiri, melainkan melibatkan hidupnya pribadi. Salah seorang staff menggambarkan refleksinya sebagai berikut: “Kesetaraan tidak ada tanpa ada keadilan, syarat keadilan adalah kesetaraan. Yang bisa saya pahami dalam kesetaraan dan keadilan gender, terwujud dalam kehidupan sehari-hari dimana kita bebas untuk berbicara atau berpendapat, dalam hal pembagian tugas dalam rumah tangga, pembagian warisan, hak untuk mengontrol tubuh (punya anak atau tidak, menentukan jumlah anak), pengambil keputusan dalam rumah tangga. Ketika saya mengerti hal ini, memang perlu waktu yang cukup bagi saya untuk menantikan agar suami saya terutama,
dan keluarga besar juga, dapat
mengerti hal ini. Masih ada pertentangan-pertentangan yang mereka anggap bahwa perempuan itu nomor dua dalam segala hal. Pengalaman saya; ketika saya mengabil keputusan untuk berpisah dari rumah mertua, dimana sebelumnya suami masih ragu-ragu, kuatir tidak mampu. Tetapi saya meyakinkannya bahwa rejeki itu sudah diatur Tuhan dan tidak baik lamalama tinggal bersama mertua. Bukan berarti saya memaksudkan bahwa mertua itu jahat tetapi lebih baik kalau kami berbeda rumah. Mertua dan keluarga besar juga tidak setuju, karena saat itu saya dalam keadaan hamil dan menurut mereka 34
keinginan untuk pisah rumah itu
melanggar adat Batak sebab yang dinantikan
adalah cucu pertama mereka. Tetapi saya berpendapat, bahwa sayalah yang menjalani, mengetahui, dan merasakan ketidaknyamanan saya. Maka saya selalu berpikir “Mengapa ya terlalu banyak peraturan ini? Bukankah saya yang hamli? Mengapa jadi keluarga besar yang menentukan saya melahirkan di mana, harus membuat pesta untuk anak yang saya lahirkan?” Ini merupakan perjuangan saya, dan akhirnya pelan-pelan mereka mengerti. Keputusan-keputusan dalam rumah tangga sudah mulai saya yang pegang. Sepertinya pikiran saya mulai merdeka, bebas namun tetap mendengar nasehat-nasehat orangtua, menghargai mereka…..”
Dalam alinea pertama dan kedua, terlihat bahwa staff yang menuliskan refleksi ini memberi sejenis defenisi dari kesetaraan dan keadilan gender. Dalam alinea ke tiga, kasus yang dialami adalah proses pembebasan dari rumah mertua. Aspek kesetaraan dan keadilan gender di sana sesuai dengan ‘defenisi’ tadi adalah, staff tersebut sebagai perempuan adalah pengambil inisiatif untuk berpisah dari rumah mertua. Proses selanjutnya adalah keteguhannya untuk tetap pada keinginan itu dengan memberi pengertian pada suami dan keluarga besar. Akhirnya rencana itu berhasil, staff ini diakui pendapatnya, dan selanjutnya perannya dalam pengambilan keputusan dalam rumahtangga menjadi diperoleh. Namun dalam akhir alinea itu, sebagai refleksinya, muncul kata ‘bebas’ dan kata ‘merdeka’. Kedua kata ini pada dasarnya tidak ditemukan di dalam rumusan pedoman perilaku yang diberlakukan PESADA, yaitu: “Sikap kesetaraan dan keadilan gender diwujudkan dengan affirmative action untuk kepemimpinan perempuan (Affirmative action adalah tindakan khusus sementara yang dimaksudkan untuk mempercepat tercapainya persamaan), pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam pembagian peran, fungsi, posisi, tugas dan tanggungjawab; serta memungkinkan perlakuan yang berbeda karena perbedaan biologis dan
peran kodrati.” Namun perjuangan untuk
kesetaraan dan keadilan gender mengantarkan pada nilai-nilai lain yang tidak diduga sebelumnya. Yang terjadi adalah, ke’lekatan’ keluarga baru itu pada keluarga besar (entah itu dengan sukarela atau terpaksa) adalah ke’lekatan’ yang dialami baik si suami mau pun si isteri. Ketika si isteri berjuang untuk kesetaraan dan keadilan gender, kasus yang dialami adalah dalam rangka pelepasan ke’lekatan’ itu, walau pun tidak disadari secara khusus. Dan akhirnya, ke’lekatan’ itu berhasil dilepaskan sehingga baik suami mau pun isteri mengalami ‘kebebasan’ dan ‘kemerdekaan’, namun di dalam kebebasan itu, mereka menemukan kembali corak hubungan yang baru dengan mertua dan keluarga besar. Ketika 35
ke’lekatan’ pada mertua dilepas, mereka memperoleh kembali mertua itu dalam bentuk yang baru.
Dalam nilai-nilai luhur yang disebut di awal tulisan ini, yaitu nilai-nilai universal yang atasnya PESADA didirikan, terdapat satu nilai yang sangat sulit dipahami, yaitu ‘kemurnian hati’. Nilai ini kemudian terhapus dari dokumen nilai-nilai yang didiskusikan di kalangan PESADA. Namun sebagai symbol, PESADA selalu memberi nama terhadap ruangan-ruangan di PUSDIPRA, dan nama ruangan-ruangan itu adalah judul dari pedoman perilaku yang 10 butir di atas. Namun masih ada satu ruangan saat ini yang tetap menggunakan ruangan “Kemurnian Hati” walau dalam dokumen sudah terhapus. Sebagaimana disebut di atas, nilai-nilai luhur dalam tiga serangkai, yaitu ‘kemiskinan hati, ketaatan dan kemurnian hati’ kemudian dilebur dalam dua nilai yaitu ‘ketulusan’ (sinceritas) dan ‘kesederhanaan’ (simplisitas). Itu tidak berarti bahwa ‘kemurnian hati’ sudah terhapus. Dia tidak terlihat sebagai terminology, namun karena dia ada dalam rangkaian nilai-nilai itu, maka pastilah nilai ini akan muncul secara khusus dalam kehidupan ang menjalani nilai-nilai tersebut. Dan benarlah! ‘Kemurnian hati’ memang terlihat dalam kasus ini, yaitu: pelepasan dari kelekatan.
Kemurnian hati secara samar ditemukan juga sebelumnya dalam rumusan atau defenisi yang dicoba dibuat oleh penulis refleksi ini, yaitu dengan munculnya ungkapan “hak untuk mengontrol tubuh (punya anak atau tidak, menentukan jumlah anak)”. Dalam rumusan tentang hak-azasi manusia yang dibuat oleh PESADA, ungkapan ini tidak muncul. Kemungkinan besar ini muncul seturut dengan program yang seputuluh tahun terakhir sangat intensive dikerjakan oleh PESADA, yaitu HKSR. HKSR melibatkan termasuk seksualitas dan makna cinta. Justru hal inilah yang terkandung di dalam ‘kemurnian hati’. Demikianlah nilai-nilai yang masuk dalam pedoman perilaku tetap utuh walau nama bisa saja berbeda. SIKAP NON PARTISAN Pedoman perilaku yang terkait dengan ‘sikap non partisan’ kembali dirumuskan dan direnungkan oleh staff PESADA sebagai nilai-nilai yang mempunyai hubungan timbal-balik antara staff dan masyarakat dampingan, sebagaimana terurai dalam tulisan berikut: “Sebenarnya non partisan harus diartikan sebagai memihak rakyat. Non partisan yang tidak memihak, obyektif dan netral itu berbahaya, karena mereka yang berdiri dengan netral dalam situasi rakyat yang ditindas dengan situasi rakyat yang diperlakukan tidak adil, sebenarnya diam-diam atau dapat dikatakan memihak 36
ketidakadilan itu sendiri. Ada istilah guilty by omission, yaitu di mana anda terlibat karena anda membiarkan, anda ikut bersalah karena anda membiarkan pelanggaran hak asasi manusia terjadi. Pendidikan politik buat LSM sebenarnya adalah politik dalam pengertian memihak kepada rakyat, bukan terlibat atau masuk dalam partai politik, tetapi mempengaruhi partai politik, mengingatkan partai politik tentang agenda rakyat. Oleh karena itu non partisan LSM tetap partisan, dia tidak boleh independen dari rakyatnya, dia boleh independen terhadap pikiran-pikiran agenda politik lain. Tapi semua kegiatan politik ini diabdikan untuk kepentingan transformasi sosial untuk kepentingan rakyat.”
Refleksi di atas ini sangat jelas menunjukkan bahwa partai politik bukan satu-satunya yang menjadi bagian dari politik. Sehingga terlihat bahwa non-partisan tidak berarti lepas dari politik, melainkan kembali pada politik dalam arti yang inti yang staff itu rumuskan dengan bagik sebagai “kegiatan politik ini diabdikan untuk kepentingan transformasi sosial untuk kepentingan rakyat”. Atas dasar itu maka secara terminology, staff itu menunjukkan aspek yang seolah-olah bisa dianggap bertentangan dengan mengatakan “……. Oleh karena itu non partisan LSM tetap partisan, dia tidak boleh independen dari rakyatnya, dia boleh independen terhadap pikiran-pikiran agenda politik lain.….” Demikianlah terlihat bahwa perilaku ‘non partisan’ itu sejajar dengan apa yang sudah direfleksikan oleh para staff, yaitu sebagai perilaku yang mempunyai hubungan timbal-balik antara staff dan masyarakat dampingan yang dalam refleksi ini disebut ‘transformasi sosial untuk kepentingan rakyat…” Pada gilirannya, hal ini menjadi sikap politis pribadi akibat dorongan dari keterlibatannya dengan masyarakat, sehingga bukan hanya perilaku yang ditujukan ketika berhadapan dengan masyarakat dampingan.
Staff lain menguatkannya
dengan mengatakan: “Saya sudah mulai bijaksana memilih, mengambil keputusan untuk memilih pemimpin, yang selama ini saya masih kurang sadar baik dalam keikutsertaan dalam memilih, memilih karena money politic, memilih karena salah satu partai itu idola kebanyakan masyarakat. Setelah mengetahui nilai ini, saya sudah mulai jeli melihat take record calon partai, memilih karena tidak ada paksaan apapun yang pastinya melihat misi dan visi nya yang peka terhadap perempuan…….”
Semuanya itu dimungkinkan dalam kehidupan para staff dalam mendampingi masyarakat karena, swebagaimana ditulis oleh seorang staff PEASADA, bahwa 37
“…PESADA sebagai lembaga yang fokus untuk memperjuangkan persoalan perempuan dan kelompok marginal tidak memihak dan ataupun berafiliasi dengan salah satu partai manapun. Tujuan perjuangan yang dilakukan oleh PESADA adalah mendorong keterwakilan perempuan untuk masuk dalam posisi pengambilan keputusan mulai dari tingkat desa hingga Kab/kota bahkan bila memungkinkan tingkat pusat (DPRRI-DPD, dll). Apapun partai yang dimasuki oleh perempuan bukanlah menjadi masalah bagi PESADA; yang paling penting adalah bagaimana mendorong keterwakilan perempuan dalam politik dan pengambilan keputusan; bagaimana setelah dia masuk di dalam arena pengambilan keputusan tersebut, dia memiliki perspektif atau cara pandang yang peduli terhadap persoalan perempuan dan
anak
perempuan;
berjuang
agar
hak-hak
perempuan
yang
menjadi
tanggungjawab Negara terpenuhi dengan kehadirannya di arena Politik.…….” Perilaku ‘non partisan’ tersebut ternyata telah mempengaruhi munculnya bukekuatan politik bagi masyarakat Pakpak Bharat khususnya bagi kalangan perempuan yang selama ini didampingi oleh PESADA.
SIKAP PROFESSIONAL ‘SIkap Professional’ sebagai pedoman perilaku adalah bagian yang paling panjang dan terperinci dirumuskan oleh PESADA. Namun dalam beberapa tulisan para staff, terlihat sangat tersentuh dengan rumusan yang menyebutkan “……Personil PESADA mampu membedakan urusan-urusan yang bersifat personal dengan urusan-urusan yang bersifat organisatoris…..” Seorang staff menuliskan: “Menurut saya sikap profesionalitas adalah sikap dimana kita mementingkan pelayanan di masyarakat dibandingkan dengan kepentingan pribadi, mendahulukan kepentingan orang banyak dari kepentingan diri sendiri. Sikap ini harusnya menjadi acuan seseorang untuk menjadi pelayan bagi masyarakat, sikap sepenuh hati diiringi dengan ketulusan dan hati yang bersih, akan menghasilkan pekerjaan yang maksimal. Sikap ini sering sekali saya terapkan dalam pekerjaan saya, dimana saat saya diharuskan untuk magang di Jakarta sementara pada waktu yang bersamaan abang saya melangsungkan pernikahan atau dimana saya harus berpergian untuk melakukan pelayanan di masyarakat dan tidak bisa menemani ayah di rumah sakit atau pulang larut malam dan bekerja di hari libur untuk melaksanakan tangung jawab saya.”
38
Sikap seperti ini sulit bila dibandingkan dengan lingkungan dunia kerja yang tidak begitu memperhatikan ‘professionalisme’ sedemikian ini. Namun keberhasilan para staff di PESADA dapat mendekat pada perilaku sedemikian, selalu terkait dengan hidup masyarakat yang mendorongnya pada pedoman perilaku itu walau tanpa nama. Oleh karena hidup masyarakat dampingan ada dalam satu kesatuannya sendiri dalam keadaan yang terpinggirkan itu, maka pedoman perilaku tanpa nama yang diteguhkannya itu bagi para staff, selalu ada dalam satu kesatuan juga. Maka dapat saja satu pedoman perilaku yang rumusannya tersendiri dalam dokumen PESADA ‘tercampur’ dengan pedoman perilaku yang lain. Hal ini terlihat misalnya dalam pemahaman tentang ‘professionalisme’ ini menjadi dialami oleh staff terkait dengan yang lain, yaitu dengan ‘Ketulusan’ sebagaimana disampaikan oleh
seorang staff berikut
ini: “…Ketulusan
itu
berbicara
tentang
profesionalisme kerja, melakukan pekerjaan dengan niat baik dan segenap hati tanpa ada unsur paksaan meskipun terkadang apa hasilnya bertolak belakang dengan apa yang diharapkan. Ketulusan itu "tidak menjilat" ataupun mencari nama baik demi mendapatkan penghargaan sesaat. Hal yang paling penting ketika membina persahabatan dalam dunia pekerjaan adalah ketulusan dan kejujuran untuk saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing……” Demikianlah ‘Sikap Professional’ yang dalam daftar sebagai yang paling panjang terrumus, tetapi karena dia terkait dengan pedoman perilaku yang lain, yaitu dikaitkan oleh hidup masyarakat dampingan, maka unsur-unsur yang ada di dalamnya pun sudah ditemukan dalam nilai perilaku lainnya, sebagaimana akan terlihat dalam bagian berikut ini.
SIKAP TRANSPARAN Sikap Transparan ini seolah-olah terlihat sebagai sikap untuk pekerjaan kantoran saja, sementara sikap yang sebelumnya selalu terjadi dan terwujud bersama dengan masyarakat dampingan. Sekilas memang kelihatannya demikian, misalnya bila kita membaca refleksi yang dituliskan oleh salah seorang staff PESADA, sebagai berikut: “Transparansi merupakan bagian salah satu nilai-nilai yang dimiliki oleh PESADA sebagai
lembaga NGO. PESADA secara bertahap mulai melakukan
transparansi ditingkat internal baru perlahan ke eksternal. Beberapa transparansi ditingkat internal dilakukan dalam hal membuat aturan baik SOP, kode etik maupun sistem pengajian. Sedangkan tingkat esksternal, PESADA mengundang utusan dampingan dalam menyusun dan mengevaluasi rencana kerja serta program yg 39
tercapai dan laporan keuangan, lalu hasilnya dimuat dibulletin. Mulai awal tahun 2015 PESADA secara terbuka melakukan pertanggungjawaban publik dengan mengundang dari beberapa elemen masyarakat dan Pemerintah Daerah. Kadang
transparansi
bisa
disalah-artikan
memahaminya. Ada yang memahami bahwa
oleh
orang
yang
kurang
transparansi berarti semua harus
terbuka. Pengalaman PESADA ketika memulai transparansi ditingkat internal, ada personil yang menyalahgunakannya untuk menjatuhkan kredibilitas lembaga.Pada hal, sebagaimana dalam seluruh kehidupan, bahwa semuanya dalam hidup harus ada batasan, dan tidak boleh sebebas-bebasnya. Bila terlalu bebas dan terbuka, maka kebebasan yang berlebihan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan tidak baik. Oleh karena itu, batas-batas transparansi di PESADA dipetakan dengan baik di dalam kebijakan lembaga. Dengan demikian PESADA dapat
selalu
menghindari berbagai informasi sensitif yang berpotensi merugikan reputasi dan kredibilitasnya.” Penjelasan ini dapat diterima sebagai pembuka terhadap rumusan dari sebuah ‘Sikap Transparan’, namun fungsi dari transparansi itu bila diperhatikan rumusannya sebagai yang “dilakukan dengan menyampaikan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi, program dan hasil audit keuangan kepada konstituen / masyarakat mitra dan publik diminta atapun tidak.” Terlihatlah arahnya adalah pada masyarakat. Dapat saja transparansi hanya untuk kalangan sendiri, tetapi dilihat dari slogan sinceritas dan simplicitas itu, maka sikap transparansi adalah sikap dalam pendampingan masyarakat. Hal ini terlihat juga dalam tulisan lain dari seorang staf PESADA, sebagai berikut: “Transparansi adalah memberikan akses dan menyampaikan informasi baik berupa keuangan maupun pengelolaan program yang terbuka dan jujur kepada masyarakat ( pihak yang berkepentingan )
berdasarkan pertimbangan bahwa
masyarakat (pihak yang berkepentingan) memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban dalam pengelolaan sumber kekuatan yang dipercayakan dikelola oleh PESADA. Bentuk - bentuk transparansi sebagai berikut :
Seluruh personil mengetahui aturan yang berlaku di PESADA.
Informasi perkembangan program, keuangan dan organisasi PESADA dapat diakses di website dalam buletin “ melalui facebook.
40
Suara Perempuan “ , serta
Sekali setahun ada evaluasi dan perencanaan tahunan yang melibatkan stakeholder dan aktif memberikan masukan dan kritik untuk perbaikan yang lebih baik.
Membuat surat pernyataan lembaga kepada personil apabila keluar dari PESADA mempunyai kesalahan melanggar aturan PESADA.”
SIKAP ANTI DISKRIMINASI Sikap Anti Diskriminasi menjadi peristiwa harian, bila berhadapan dengan masyarakat dampingan yang pada dasarnya adalah para perempuan korban diskriminasi. Para staff dengan sendirinya akan selalu memperhatikan dirinya agar dalam mendampingi para korban diskrimansi tidak memperlakukan dampingan diskriminatif juga. Maka setiap pribadi diusahakan agar dalam dirinya sendiri memiliki sikap anti diskriminasi. Seorang staff PESADA menuliskan: “Setiap orang yang ada di Pesada sudah memiliki sikap anti diskriminasi , karna sikap itu dimulai dari diri sendiri yang sudah banyak mendapat pendidikan dari PESADA. PESADA sudah menjalankan dengan baik yaitu dalam menempati posisi atau jabatan , dalam pengelolaan program, dalam menikmati dan mengakses fasilitas organisasi. Sebagai contoh saya juga merasakan dalam pekerjaan sehari hari (biasanya kalau di kantor2 dan tempat lain) Pekerjaan yang saya kerjakan saat ini adalah pekerjaan yang kurang berharga dan selalu dianggap rendah , tetapi di PESADA sama harganya dengan pekerjaan yang dikerjakan oleh teman teman yang lain. Kemudian soal status juga saya banyak mendapat dukungan dari PESADA walaupun hanya seorang single parent tetap dihargai dan diberi pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan saya. Penggunaan fasilitas juga sama antara atasan dan bawahan, misalnya peminjaman mobil dan banyak contoh lain yang bisa kita lihat.”
KEMANDIRIAN Rumusan sikap kemandirian terlihat seolah-olah terbatas pada PESADA sebagai lembaga organisatoris. Namun bila itu menjadi sebuah sikap, maka di dalam pelaksanaan tugas harian dalam pendampingan, maka kemandirian menjadi sikap yang terlihat sebagai bagian hidup masyarakat. Seorang staff malah merumuskan kemandirian itu dari segi hidup masyarakat dampingan, sebagai berikut: 41
Bagaimana tanggapan anda mendengar seorang ibu single parent mampu mengasuh, mendidik, merawat, membesarkan 5 orang anak yang dilahirkannya dan memberangkatkan sekolah perguruan tinggi? Keseharian pekerjaan Ibu ini menenun ulos , hasil tenun ulos yang ditenunnya rata – rata 2 hingga
3 lembar ulos
per minggu dibantu oleh anak
gadisnya setelah kembali dari sekolah SMA , dengan semangat Dia biasanya pergi kemana – mana sendiri dengan mengendarai sepeda motornya . kalau sepeda motornya digunakan oleh anaknya. Ibu ini sudah terbiasa untuk naik bis / becak dan kegiatan gereja dan kegiatan adat disekitar lingkungan , Ibu ini dengan semangat mengerjakan pekerjaannya hari demi hari dengan sendiri.Harapan ibu penenun ini pemasaran yang berkesinambungan. Menurut saya istilah kemandirian sebaiknya kita perhatikan dengan sungguh – sungguh cocok untuk kaum perempuan ( Ibu ) karena sudah saya perhatikan masih banyak suami yang tidak mandiri
dalam rumah tangga yang segala
sesuatunya harus dilayani sang Istri mulai dari perlengkapan mandi , sampai perlengkapan kantor mulai dari mengenakan pakaian sampai membuka sepatu mulai dari meja makan sampai perlengkapan untuk bepergian , semuanya dilakukan oleh sang istri tetapi hal tersebut tidak pernah dihargai dan menganggap bahwa itu sudah menjadi tugas rutin sang Istri. ( daerah Pangururan ) Saat ini pekerjaan suami dapat dikerjakan oleh sang Istri yaitu mencari nafkah. Tetapi pekerjaan istri tidak dapat dikerjakan oleh suami. Mandiri atau kemandirian adalah ungkapan yang sering diucapkan oleh orang banyak dan untuk mengalami kemandirian seseorang membutuhkan ada niat dan keberanian untuk usaha yang sungguh – sungguh dan tingkat penilaiannya terlihat dari manajemen keuangan masing - masing . jika dalam suatu lembaga terdapat 5 – 10 orang yang sudah mandiri akan menumbuhkan lembaga yang mandiri Keadaan kemandirian suatu lembaga kuatnya
suatu
lembaga
untuk
ini biasanya terlihat dari seberapa
mempertahankan
program
yang
tetap
berkesinambungan ketika tidak adanya lembaga dana,
menghemat biaya
overheadcost dan didukung oleh komitmen sikap perilaku
manajement untuk
mengatur keadaan tersebut. Dan meningkatkan segala usaha untuk menambah, menggali pendapatan lembaga , misalnya : ada nya training center , adanya ruangan penginapan , penitipan anak , toko untuk pemasaran hasil dari dampingan ( ulos dan hasil ketahanan pangan ) toko khusus menjual kebutuhan pokok, menjalankan dana Kredit Mikro untuk dampingan kelpum ( kelompok perempuan usaha mikro ) dan dampingan ketahanan Pangan dengan bunga rendah. 42
Suatu lembaga dinyatakkan berhasil disaat program – program yang telah dilaksanakan dapat membantu keberadaan lembaga , ketika ada dana kita menguatkan program tersebut untuk dampingan dan sebaliknya ketika funding tidak ada program yang didampingi dapat menghandal / membantu lembaga (contoh: dampingan CU) Dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah sikap perilaku kemampuan untuk menghandal tidak berhutang disebut kemandirian yang maju tanpa tergantung pendanaan dari lembaga donor
Dalam tulisan berikut, staff menyadari dan menghidupi sikap kemandirian melalui kegiatan pendampingan masyarakat. Staff belajar bersama dengan para perempuan dampingan. Dia menulis sebagai berikut: “…Sebelum saya di PESADA, waktu kuliah saya belum mandiri dalam hal keuangan dan selalu tergantung kepada orang tua. Di PESADA saya banyak belajar tentang KEMANDIRIAN yaitu yang pertama kemandirian dalam mengelola keuangan dengan adanya peningkatan kapasitas staf tentang ekonomi rumah tangga. Walaupun ditahun 2012 honor harus dipotong tetapi saya mampu mengelola keuangan saya sendiri. Kedua kemandirian dalam bekerja, setelah bekerja di PESADA saya sudah dituntut untuk bekerja secara mandiri. Di tahun 2013 koordinator keuangan keluar disitu saya sudah harus lebih mandiri dalam menyelesaikan tugas – tugas kantor dan lebih bertanggung jawab walaupun hasil perkerjaan saya masih harus diperiksa direktur.….”
b. PEDOMAN PERILAKU DALAM DIRI PARA STAFF LAPANGAN YANG BARU: i.
Keadaan PESADA ketika para Staff yang baru diterima
Para staff yang baru disebut di sini adalah mereka yang masuk sesudah pedoman perilaku terrumus secara tertulis dan baku dengan sempurna di sekitar tahun 2008. Sesudah tahun tersebut, maka pada dasarnya para staff yang baru diterima dapat secara langsung dan konkrit mengenal pedoman perilaku PESADA. Pedoman ini menjadi bagian dari persiapan staff baru, entah dalam status study banding, atau magang secara bergantian di beberapa lapangan pelayanan PESADA. Pada saat itu PESADA secara organisatoris telah baku dalam pelayanannya, dengan perangkat organisasi dan struktur yang memenuhi syarat 43
untuk tugas yang begitu luas. Seluruh kegiatan dibagi dalam beberapa divisi. Jumlah divisi terlihat sederhana, sedikit dan tidak rumit, namun di dalam pelaksanaannya setiap divisi memasuki daerah yang luas di daerah Dairi dan Pakpak Bharat, Medan, Doloksanggul, Sibolga, Samosir dan Nias. Seluruh daerah terkait secara langsung dengan beberapa divisi secara serentak, namun mengerjakan bagian-bagian yang tertentu, tanpa terjadi tumpangtindih. Satu kehidupan perempuan dan anak, disentuh oleh divisi-divisi tertentu dan disambut oleh masyarakat dampingan tanpa menyadari bahwa sentuhan PESADA secara teratur dan terencana bergerak dari ke lima divisi yang ada, yaitu:
DIVISI PENGEMBANGAN USAHA
DIVISI PENGUATAN PEREMPUAN
DIVISI PENGUATAN ANAK
DIVISI ADVOKASI
DIVISI UMUM DAN KEUANGAN
Untuk pelaksanaan tugas dari setiap divisi dengan corak yang demikian ini, maka sangat diperlukanlah tenaga-tenaga yang berkompeten baik secara ilmiah dengan berbagai disiplin ilmu yang berbeda mau pun secara keahlian terapan. Itulah sebabnya PESADA beberapa kali mencari tenaga kerja yang akan ditugaskan untuk berbagai tugas dalam divisi tersebut.
DIlihat dari segi lapangan pekerjaan, maka PESADA terlihat sebagai salah satu penyedia lapangan. Bila PESADA membutuhkan maka sering pencarian tenaga kerja dilakukan melalui iklan dalam berbagai bentuk, termasuk di papan pengumuman di Universitas misalnya. Maka pencari tenaga kerja akan mendaftar sebagaimana layaknya pencari kerja yang umum. Jadi motivasinya terkadang terbatas hanya pada kesempatan untuk memperoleh lapangan pekerjaan. Sementara sebelumnya, para staff dari masa-masa awal adalah mereka yang direkrut melalui proses yang panjang, yang dicari secara khusus setelah terlebih dahulu melihat dan mengenal orangnya, bahkan sebagian ‘dipinang’. Maka motivasinya dapat disebut sudah tersedia. Lebih lagi, proses keterlibatannya dalam tugas di mana PESADA sedang membangun dasar organisatoris strukturalnya, maka para staff menjadi tergolong sebagai penemu atau pelopor dalam bagian-bagian tertentu. Dalam masa selanjutnya, kedatangan para staff yang baru pada umumnya berbeda, sebagian besar datang melamar sebagai pencari pekerjaan. Hal ini akan mempengaruhi suasana kerja di mana ke dua latar belakang staff itu akan berjumpa, terutama terkait 44
dengan pedoman perilaku yang diharapkan dihidupi secara sama oleh seluruh staff tanpa membedakan latarbelakan proses datangnya ke PESADA.
ii.
PERJUMPAAN PARA STAFF LAPANGAN ANGKATAN YANG BARU DENGAN PEDOMAN PERILAKU
PROSES INTERNALISASI NILAI-NILAI
Dengan latarbelakang seperti diuraikan tadi maka proses internalisasi nilai-nilai perilaku bahkan cara menghidupinya juga, jadinya mempunyai keistimewaan. Angkatan yang muda akan berhadapan dengan pedoman perilaku di mana dia tidak turut berpartisipasi ketika itu dirumuskan. Maka mereka cenderung menghafalnya dan menyebut bahwa ada sepuluh nilai, misalnya. Dari sepuluh nilai ini yang paling cepat dihafal adalah pengabdian, keadilan dan kesetaraan gender, kedisiplinan, serta kesederhanaan. Oleh karena itulah PESADA berpikir agar nilai-nilai ini dididik secara bertahap setiap tahun. Tetapi sebagai slogan yang dapat mengingatkan seluruh nilai-nilai itu dan juga mengingatkan visi PESADA maka Sinceritas (ketulusan) dan Sinkrititas (kesederhanaan) sangat efisien dibuat sebagai slogan, walau pun keduanya adalah bagian dari kesepuluh nilai-nilai tersebut. Bahkan dalam kegiatan tertentu, satu dari slogan itu dibuat menjadi nama seperti Woman Credit Center (WCC) ‘Sicenritas’.
Sewaktu tsunami di Nias PESADA menyebut dirinya sebagai
Komunitas ‘Sicenritas’, karena PESADA ingin sebuah nama yang orang lain diharap dapat langsung percaya, sewaktu PESADA mengumpulkan bantuan tahun 2005 awal. Melalui pemberian nama ini PESADA ingin menonjolkan bahwa PESADA harus bekerja sama, dengan low profile, tulus, tidak ada maksud lain kecuali memang ingin melayani di dalam sudah ada pengabdian.Terbuktilah, slogan ini yang semakin menguat diingat sampai sekarang. Pendidikan sebagai proses internalisasi itu membuat mereka mulai sadar bahwa nilai-nilai itu adalah rambu-rambu. Inilah sudut pandang dari staff yang baru untuk memulai pekerjaannya dan juga untuk berinteraksi dengan sesame staff, termasuk staff dari angkatan yang lama. Maka bisa saja terjadi perbedaan sudut pandang terhadap nilai-nilai yang satu misalnya, bila dilihat dalam satu penampakan dalam hidup kerja sehari-hari. Misalnya pernah terjadi, seorang staf baru ketika melihat kakak seniornya memakai aksesoris perhiasan pada rapat, mengatakan: “Wah
ternyata orang PESADA menyebut dirinya
sederhana tetapi aku melihat berlian berkilau-kilau di suatu hari dalam rapat!” Terjadi suatu diskusi kritis antara angkatan lama dan angkatan baru. Pada kesempatan lain angkatan 45
lama menuduh angkatan muda yang tidak sederhana dengan rambut yang warna-warni dan pakaian yang sangat modist. Semua ‘tuduhan-tuduhan’ itu membantu kedua angkatan untuk memasuki proses pembelajaran besar tentang arti high/low profile mana yang disebut sederhana. Dalam dialog dan diskusi tentang hal itu, kenyataan hidup para dampingan menjadi acuan untuk memberi pendapat tentang bentuk mana yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut PESADA. Sebagai contoh dalam suatu diskusi keluarlah sanggahan yang mengatakan: “….jika kita merasa bahwa kau menampilkan dirimu seperti orang kaya, maka itu akan menimbulkan level ini lebih kaya atau level itu lebih tinggi kelasnya dari aku, maka hal itu bukan sederhana lagi……” Yang lain mengungkapkan: “…Paling sederhana, sebelum berangkat ke kantor kau berkaca, kau lihat dirimu, apakah kau melihat dirimu lebih seperti artis, seperti mahasiswa yang bergaya atau lebih sebagai seorang aktivis. Apakah aktivis harus memakai gelang yang aneh-aneh? Atau pakairansel saja?” Diskusi-diskusi sedemikian akhirnya menemukan sejenis defenisi-defenisi praktis yang keluar dari mereka sendiri, namun PESADA hanya membicarakan seperti diskursus. Memang tampaklah juga sekarang, ada orang di PESADA yang tetap bergaya tetapi tidak memakai lagi yang berkilau, supaya jangan silau dilihat orang seperti artis jadinya. Pointnya adalah para staff menggunakan kedua kata sinceritas dan simplicitas itu menjadi kata-kata “Apakah kau tulus atau tidak dalam mengerjakannya? Mengapa ada yang bicara “lembur”? Apakah kita bicara sebagai
pegawai?
Bukankah
kita
adalah
petugas
dan
orientasi
kita
adalah
mengabdi/melayani?” Nilai-nilai itu jadinya hidup dan generasi baru yang sedang di didik masih mungkin menemukan friksi karena mereka masih muda yang berkata: “Hak kami jangan dibatasi, terserah kami mau bergaya!”. Tetapi ketika orangnya ditolak oleh kelompok dampingan yang mengatakan: “Jangan kirim kepada kami pemuda/i yang begini begitu” maka keputusan untuk memilih gaya yang digunakan pada akhirnya ditentukan olah siapa yang dilayani dan dalam pembicaraan dan diskusi tentang nilai-nilai itu, maka pendapat serta sudut pandang masyarakat dampingan selalu ada dalam pembicaraan itu. Maka kalau orang luar datang ke PESADA tidak akan dapat dikatakan mereka menjadi ‘kolot’ karena tidak bergaya, tetapi yang terlihat adalah mereka memilih bentuk dan gaya untuk menampilkannya dalam kesederhanaannya dan ketulusannya. Maka bisa saja orang luar melihat, bahwa dalam PESADA ada jam kerja resmi tetapi apabila PESADA dihubungi pada jam tertentu mereka selalu stand by. Inilah suatu bentuk yang menurut PESADA menunjukkan ketulusan.
46
Jadi kembali pada pemahaman angkatan lama dan angkatan baru, selalu bisa saja terjadi gesekan akibat latarbelakang yang berbeda. Angkatan lama, sebagai pendatang pada PESADA bukan dilatarbelakangi keinginan mencari pekerjaan, maka mereka menekankan dalam dirinya aspek yang selama ini dihidupi yaitu bagaimana mereka tidak berhitung dengan waktu dan gaji. Waktu dipahami sebagai unsur kesederhanaan yang dengan sendirinya memancar dari hidupnya, tidak dijalani seperti sekarang atas dasar unsur yang tertulis. Mereka dapat dituduh seolah-olah mereka menjadi sombong di saat mengatakan: “Kalian anak muda yang tidak mengerti!” bila dilihat dari pengalaman awal PESADA tersebut. Di pihak lain angkatan yang lebih muda mengatakan: “Dengan seniorisitas kalian, kalian menjadi arrogan danitu tidak sederhana lagi!” Gesekan yang seperti itu di mana dituduh: yang tua harus tau diri, yang muda harus mengerti, jadinya memerlukan generasi tengah yang bisa berdiri dikedua belah pihak dan itulah yang dipelihara oleh PESADA dengan menunjuk pada nilai ‘kesetaraan’ yang di dalamnya dan melaluinya seluruh staf dapat memahami: “Kita satu tim, dan team-work-nya jelas, walau ada mandat manajemen menunjuk yang seorang menjadi direktur, yang lain menjadi koordinator koordinator, namun semua tim setara. Demikianlah terlihat dari sudut proses internalisasi nilai-nilai bagi angkatan baru, proses melalui pendidikan dan interaksi sesame staff. Dari sisi lain, berikut ini akan dilihat bagaimana para staff dari angkatan yang baru itu pada dasarnya ‘berjumpa’ dengan nilainilai dalam pedoman perilaku itu melalui kehidupan para masyarakat dampingan, terutama kaum perempuan dan anak-anak.
PENGALAMAN NYATA YANG MENYUGUHKAN NILAI-NILAI DARI PEDOMAN PERILAKU BAGI KEHIDUPAN PARA STAFF BARU
Terdapat bemacam-macam motivasi para staff baru untuk
bergabung dalam Pesada,
namun satu yang ditemukan pada semua mereka, yaitu bermula dari keinginan bekerja setelah tamat sekolah, entah sesudah lulus dari Sekolah Menengah atau dari Perguruan Tinggi. Menurut pengakuan mereka, entah apapun itu PESADA, mereka seolah-olah tidak mau tahu, yang penting masuk saja dulu. Mereka pun umumnya tidak peduli akan ditempatkan di mana. Para perempuan-perempuan muda itu seolah-olah siap saja untuk diutus melayani masyarakat, meninggalkan keluarga, bahkan hidup di luar wilayah tempat
47
tinggal keluarga. Tidak banyak dari anggota staff sekarang yang sudah mengenal PESADA sebelum bergabung. Beberapa staff, sebelum tamat dari Perguruan Tinggi sudah punya gambaran tersendiri tentang jenis- jenis pekerjaan dalam masyarakat dan bagaimana nantinya penampilan dalam pekerjaan itu. Umumnya berpikir dan berharap nantinya akan bekerja sebagai orang kantoran pada kantor yang ramai dan terkenal, berpakaian rapi dengan sepatu pancus, dan berbicara dengan format formal dalam struktur rekan, atasan dan bawahan. Seorang staff yang dari
Kesederhanaan
angkatan baru menceriterakan, bagaimana di luar
diwujudkan dengan perilaku yang mempunyai keserasian dengan kesederhanaan yang mendalam. Apa yang dikatakannya, dilakukannya, semuanya itu keluar dari kedalaman hatinya, bukan yang hanya sekedar keluar secara spontan dan dangkal timbul dari hatinya.
dugaannya melihat kantor PESADA yang sangat
Perilaku ini terlihat juga dalam sikap yang menguasai diri, tahu mana yang pokok dan mana yang tidak pokok.
penampilan, cara berpakaian dan cara berbicara
Selanjutnya tindakannya menunjukkan sikap yang tidak menonjolkan diri dalam berbicara, berpenampilan dan bertindak, low profile dan rendah hati.
perempuan di lapangan, dari hari ke hari melatih
sederhana, jauh dari bayangannya semula. Ini membuat kegamangan. Bahkan ketika dari kantor yang sederhana itu, baik yang di Sidikalang mau pun yang di Medan, dia diutus ke daerah, dia mengalami bagaikan tersentak dari tidur dengan mimpi indah. Jauh dari bayangan di benak, kantor PESADA di daerah sangat kecil dan tidak menyakinkan sebagai kantor
lembaga
Kegamangan
pendampingan
pun mulai terasa
masyarakat. ketika melihat
staff lapangan yang seadanya saja. Keterlibatan
dalam
pelayanan
pendampingan
sikap hidup dan perilaku pribadi menjadi seadanya. Perhatian
pada
koteks
kehidupan
masyarakat
dampingan telah menghantar para staff untuk berpikir ulang dan menyadari, tidak ada gunanya berpakaian
rapi
seperti
orang
dibayangkan sebelumnya, juga
kantoran
yang
berkemeja dan
bersepatu mahal serta berpenampilan formal dalam mendampingi mereka yang sedang terluka, teraniaya dan juga yang sedang kesulitan makan. Semua hal tersebut dipahami dapat saja menjadi penghambat kedekatan dengan masyarakat dampingan. Staff yang lain mengalami, bahwa desa-desa tempat tinggal para perempuan yang didampingi, yang jauh dari kantor Utama Pesada dan sulit ditempuh sepeda motor, dengan kondisi jalan bebatuan dan licin ketika hujan, semuanya mengajarkan kepada mereka tentang sisi lain kehidupan. 48
Mereka menjadi pasti bahwa, “Masyarakat akan kesulitan menerima saya kalau saya memakai style formal”. “Kalau perempuan biasanya pergi kemanamana bawa sisir, Kami hampir tidak pernah bawa sisir”, “yang kami bawa adalah kalkulator, juga kertas plano untuk bahan pemetaan diskusi.”
Oleh karena itu penderitaan masyarakat dampingan dan hidup yang sulit itu menolong staff untuk menemukan bagaimana penampilannya. Ternyata penampilan yang disuguhkan masyarakat dampingan ini mengingatkan dia pada apa yang disebut dalam pelatihan sebelumnya di Kantor PESADA tentang simplicitas (kesederhanaan). Apa yang dihafal tadinya sekarang keluar dari hidup para perempuan itu. Pergi sendirian, atau bersama dengan teman untuk menemui kelompok ibu desa, sangat berkesan. Mereka harus percaya diri membawa puluhan juta uang CU melewati jalan-jalan sepi, mampu memperbaiki sepeda motor bila mengalami kerusakan akibat kondisi jalan yang buruk, tegar ditimpa angin dan hujan. Jatuh di jalanan sudah dianggap hal yang biasa karena jalanan desa banyak batu cadas, lobang. Itu sebabnya, sering luka. Awalnya sulit, bahkan menitikkan air mata. Karena
Ketulusan diwujudkan dengan perilaku yang tanpa pamrih, melakukan pelayanan/aktivitas tanpa mengharap imbalan, tanpa keluhan/keluh kesah/sungut-sungut dan tanpa tuntutan yang tidak realistis
sulitnya datang juga pikiran untuk pulang dan tidak melanjutkan perjalanan. Tapi seolah-olah tidak ada kuasa untuk mengubah arah. Berat dan sulit namun langkah terus ditempuh. “Ratusan orang sedang menunggu saya” inilah kata motivasi yang diperdengarkan diantara para staff untuk saling menguatkan. Bagi para staff baru yang lain, diperoleh pengalaman bahwa semakin hari semakin disadari, pelayanan PESADA adalah pelayanan untuk menolong perempuan korban kekerasan masyarakat dan perlakuan deskriminatif suami dalam keluarga, serta memperkenalkan hakhak perempuan. Melalui perbincangan di lapangan, akhirnya kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari. Tanpa disadari, pergumulan parempuan yang mengalami kekerasan, bahkan menjadi penderitaan para staff. Ketakutan, kegelisahan, dan tekanan yang dialami para korban, tidak bisa lagi dipisahkan dari beban para staf. Sebagian staff berasal dari keluarga yang mengalami kasus yang sama. Namun pengalaman pribadi ini tidak menghambat dia untuk secara objective mendampingi, tidak terbeban oleh rasa kasihan palsu sebagai protes atas pengalaman 49
masa lalu dirinya. Terkadang staff menangis juga melihat keadaan para korban, namun dia tidak berkesempatan mengasihani dirinya. Dia harus bangkit, hingga korban dapat memperoleh pertolongan. Dengan demikian, perjumpaan dengan kaum prerempuan yang tidak diperhitungkan dan disingkirkan dalam struktur masyarakat itu, membuat para staff tidak lagi perlu
Sikap Professional PESADA ditunjukkan dengan manajemen organisasi, program dan personil yang didasarkan atas motivasi, kompetensi, efisiensi dan efektifitas serta terbebas dari segala bentuk praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
memperhitungkan diri, melainkan fokus dan setia kepada
mereka
diperlakukan
yang
sedang
semena-mena
disingkirkan
dalam
dan
masyarakat.
Demikianlah mereka bebas dari diri sendiri dan menemukan dirinya dalam perjuangan bersama para korban itu. Ada juga staff yang memang dari awal tertarik bergabung dengan PESADA karena melihat bahwa di
persekutuan tersebut perempuan ditempah menjadi super woman. Mereka termotivasi juga karena melihat pengurus PESADA mampu menjadi contoh untuk bisa tampil di depan orang ramai. Dinamika hidup di Pesada juga melatih staff untuk bisa menghadapi kesulitankesulitan yang tidak pernah dialami. Di PESADA banyak pengurus yang jadinya bisa naik sepeda motor dan menjangkau tempat yang jauh dan di pedalaman. Jarak tempuh 80 KM, adalah jauh, namun ada kehidupan yang menunggu di tempat berjarak 80 KM itu. Ke sana, tantangan yang dihadapi adalah kawan dalam pelayanan. Bukan hanya jarak jauh dan kondisi jalan yang sulit yang ditempuh, “tengah malam pun kalau disuruh jemput korban, kami harus mau!” Di pesada para staff melihat dan merasakan dengan jelas pembatasan-pembatasan hak perempuan dan masalah-masalah kekerasan yang dialami kaumnya. Mengapa hanya isteri pejabat saja yang dioerbolehkan berbicara di depan umum? Apakah yang lain tidak boleh? Di Pesada staff banyak dilatih untuk mampu menyampaikan gagasan dengan tepat dan tegas. Dari pengalaman yang dirasakan di lapangan dan melalui pendidikan yang diterima, para staff meyakini bahwa mereka telah mendapatkan banyak pelajaran, yang mungkin juga sama dengan apa yang didapat orang di perkuliahan. Ini suatu kebanggaan karena proses belajar di luar perkuliahan juga dirasakan sangat besar dampaknya dalam kehidupan. Sebagai staff lapangan pekerjaan pendampingan membutuhkan kesiapan mental dan keberanian yang tinggi. Hal tersebut karena tantangan sangat banyak terutama di perjalanan dan tujuan yang jauh. Kalau masuk lapangan sering pulang malam, maka harus mempersiapkan diri secara fisik dan mental. Kecurigaan dari orang tua dan tetangga sangat 50
menganggu perasaan para staff di awal-awal mulai bekerja. Bahkan orang tua sering melarang supaya jangan pulang malam. Walau pun petugas lapangan ini bekerja jauh dari rumah orang
Hak Azasi Manusia diwujudkan melalui pengakuan, penghormatan, pendidikan dan perlindungan seluruh hak-hak personil sebagai individu yang merdeka dan mempunyai martabat tanpa ada pembedaan.
tua, namun mereka diikuti dari jauh. Mereka bertanya, jenis pekerjaan apakah itu, sehingga seolah-olah tidak terlihat tidak memperhatikan waktu kerja dan istirahat, bahkan dianggap nyerempet bahaya. Mereka takut dan juga malu kalau anak gadis mereka sering pulang malam dan diantar oleh laki-laki yang tidak mereka kenal. Maklum saja, dalam kebiasaan di keluarga di daerah asal sebagian para staff, anak gadis yang
belum menikah sangat dijaga dan dikekang. Satu-satunya yang diharapkan orang tua bagi anak gadisnya adalah segera menikah. Kebiasaan orang tua tersebut bahkan sampai memilih jodoh bagi putrinya juga dialami oleh beberapa petugas Pesada. Hal tersebut sulit, namun selalu dihadapi dengan sabar dan sambil memberikan penjelasan kepada orang tua mereka. Hal luar biasa yang terjadi adalah, para anak gadis yang tergabung dalam staff PESADA sekarang bahkan sudah didukung oleh orang tua untuk melanjutkan pelayanan di PESADA. Mereka juga sudah dipertimbangkan sebagai penyumbang gagasan dan pengambil keputusan. Tidak jarang orang tua akhirnya bertanya pendapat anak tentang pilihan hidup mereka dan merestuinya.
Entah mengapa, setelah di lapangan jadinya muncul keteguhan hati menghadapi tantangan. Para perempuan muda ini jadinya betah saja dengan kondisi yang bagaimanapun. Satu yang yang membuat enjoy adalah para staff punya dinamika mobilitas yang bervariasi. Jadi tidak melulu di kantor. Akhirnya ada aspek refreshing yang selalu dialami dalam kebersamaan dengan anggota-anggota masyarakat dampingan yang lain di daerah yang lain. Ternyata menghadapi bermacam karakter perempuan adalah juga hal yang menyenangkan. Selain karakter yang bervariasi, sikap-sikap mereka yang sering menuntut proses yang instan bahkan di luar jalur aturan, juga mendorong pikiran dan perasaan untuk terus aktif menanggapinya. Situasi tersebut mengasah diri untuk mampu membuat para Ibu menjadi nyaman. Walaupun terkadang perkataan ibu-ibu yang tidak dapat dipenuhi keinginannya sangat menyakitkan hati, semuabnya didhadapi dengan sabar agar para ibu tersebut tidak keluar dari program dampingan. Memang para staff melakukan prosedur peminjaman dengan ketat, karena semua harus diperiksa dan dianalisa baru dapat 51
dicairkan. Jadi tuduhan bisa saja datang dari mereka dengan mengatakan bahwa kami menghalang-halangi mereka mendapatkan pinjaman. Agama yang berbeda tidak menjadi pengahalang dalam pelayanan. Semua orang sibuk dan konsentrasi dengan tugas pelayanan. Jadinya tidak sempat mempermasalahkan perbedaan yang ada. Perbedaan malah menjadi kekayaan dalam tim. Karena perbedaan itu menyumbang juga bagi kemajuan bersama. Sempat sebelum masuk jadi staff, kawan dari seorang staff melarangnya
untuk bergabung di PESADA karena mayoritas dari agama
tertentu. Namun prinsip yang dipegang oleh staff yang beragama Islam tersbut adalah “dibawa santai aja”, “selagi tidak dipaksan atau didoktrin lanjut terus!”. Awalnya keluarga sangat heboh melarang, apalagi karena harus tinggal di kantor Pesada. Orang tua khawatir tentang makanan, tentang pertemanan dan selanjutnya taut bahwa anaknya
akan
dibawa
pindah
agama.
Melalui
penjelasan dan pendampingan yang berkelanjutan, akhirnya orang tuanya dapat paham dan sekarang sangat mendukung pekerjaan putrinya. Seorang staff menuliskan refleksinya terhadap pengalaman mereka di
lapangan
di
mana
pembeda-bedaan
Sikap Anti Diskriminasi PESADA diwujudkan dengan menerapkan perlakuan yang sama tanpa melihat perbedaan status, kedudukan, suku, agama, ras, jenis kelamin, ideologi, status perkawinan, kondisi tubuh, kesehatan dan orientasi sexual.
tidak
mendapat tempat: ‘Anti Diskriminasi’ merupakan perlakuan yang sama. Menurut saya ini sudah saya terapkan dalam bekerja di PESADA. Contoh yang bisa saya petik dalam melaksanakan diskusi ke kelompok dampingan adalah, dimana saya menemukan berbagai macam suku, status sosial dan berbagai perbedaan. Tetapi walau pun demikian saya menganggap Ibu – Ibu kelompok dampingan tersebut sama, tidak memandang Ibu tersebut orang Batak atau orang Nias, pegawai atau petani; artinya bukan karena saya dan ibu tersebut beda suku berarti harus disampingkan dan Ibu dampingan yang pegawai harus lebih dihormati tetapi semua harus sama – sama dihormati. Contoh lain yang bisa saya katakan yaitu dalam menfasilitasi di dalam kelompok sering sekali Ibu dampingan menyambut saya secara hangat dan Ibu – Ibu tersebut duduk di sehelai tikar dan langsung menyediakan kursi untuk staff tetapi saya langsung mengatakan kepada Ibu tersebut agar duduk sama – sama ditikar saja. Disitu saya merasa bahwa antara staff dan dampingan itu sama tidak memandang siapapun. 52
Memang secara pribadi saya sangat menentang keras yang namanya “DISKRIMINASI’, dan prinsip hidup saya bahwa semampu saya tidak akan membuat perbedaan – perbedaan antara saya dengan siapa saja. Walaupun terkadang saya menjadi korban dari diskriminasi tetapi terkadang saya sadar bahwa memang ada saja orang yang bisa mengganggap kita tidak ada apa – apanya…….”
Hampir seluruh staff yang adalah perempuan-perempuan muda mengalami dorongan dari pendampingan ini untuk anti diskriminasi. Seolah-olah lupa diri, para staff tidak pernah memberitahukan bahwa mereka adalah para sarjana-sarjana profesional dan tamatan dari sekolah yang terkenal. “Titel itu tidak perlu disebut-sebutkan”. Penampilan pun tidak perlu dilebih-lebihkan. Di kalangan sesama anggota CU misalnya, hampir tidak dapat dibedakan siapa pengurus PESADA dan siapa anggota CU. Peleburan diri para staff telah membuat mereka bentul-betul menyatu dengan anggota lain. Tidak ada pembeda-bedaan, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi. Semua satu keluarga namun memainkan peran berbeda dan taat pada aturan bersama. Itu sebabnya mereke sering dipandang sebagai orang biasa saja. Di instansi pemerintahan, mereka sering disepelekan oleh pegawai pemerintah dengan menanyakan latar belakang pendidikan mereka. Perlakuan curiga dan menganggap rendah orang lain sering mereka terima. Namun karena sudah biasa sederhana dan tidak mencari penghormatan dan pujian dari orang lain, akhirnya semua perlakuan dapat dihadapi demi kelancaran proses pendampingan kaum perempuan.
Memiliki usia dibawah 20 tahun sering menjadi bahan ledekan teman-teman di PESADA. Memang umumnya anak seusia itu adalah masa dimana seorang anak di jaga (masa pubertas). Biasanya lewat jam 6 sore mereka kalau mau keluar rumah harus didampingi orang lain.
Kemandirian
Tapi
PESADA ditunjukkan dengan kemampuan menggali dana sendiri untuk keberlanjutan organisasi dan program tanpa tergantung sepenuhnya pada lembaga donor.
dampingan melalui PESADA bahkan menjadi tempat
untunglah
bahwa
menjalankan
tugas
pendewasaan yang tepat. Pengalaman di lapangan semakin mendorong pada kedewasaan berpikir dan bersikap. Hal tersebut karena sejak masa remaja mereka sudah diperhadapkan dengan pekerjaan yang banyak tantangan. Walau dianggap sebagai
anak belum mandiri, namun pekerjaan yang digeluti secara bertahap membuat mereka tidak bergantung lagi pada orang tua. 53
Awalnya beberapa staf yang sangat muda usianya, sering menangis sepanjang perjalanan menjumpai anggota karena kondisi jalan yang sulit dan hujan serta perjalanan yang harus ditempuh 2 jam. Salah seorang dari antara staff pernah juga membuat pengunduran diri dari PESADA. Hal terbut karena sebenarnya tidak ada beban baginya untuk harus mencari uang, jadi awalnya tidak ada keharusan untuk melanjutkan pekerjaan di PESADA. Namun setiap patah semangat, saudari yang lain memberikan motivasi mengatakan bahwa ada ratusan orang ibu yang menunggu penguatan dan pendampingan. Akhirnya dengan semangat baru dan komitmen teguh, tidak jadi keluar PESADA. Pelayanan
yang
dilakukan
telah
membawa
perubahan bagi diri, keluarga dan masyarakat. Diundang
oleh aparat desa
atau kelompok
tertentu adalah sesuatu yang membanggakan sekaligus hal yang belum lumrah terjadi di masyarakat. Tadinya seorang anak perempuan yang
belum
menikah
umumnya
tidak
diperbolehkan untuk berbicara di depan umum, sekarang sudah ambil bagian dan terlibat aktif dalam diskusi. “Sejak bergabung di lembaga ini
Sikap kesetaraan dan keadilan gender diwujudkan dengan affirmative action untuk kepemimpinan perempuan, pemberian kesempatan dan perlakuan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam pembagian peran, fungsi, posisi, tugas dan tanggungjawab; serta memungkinkan perlakuan yang berbeda karena perbedaan biologis dan peran kodrati.
saya sangat sering dimintakan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.”
Selanjutnya para staff juga banyak mengalami di mana mereka harus melepas banyak hal dalam hidup, demi pelayanan ini. Seperti disebutkan di atas, pernikahan bagi seorang anak gadis sering dianggap menjadi jalan keluar dari berbagai kesulitan, seperti pengawasan dan lain-lain. Seorang staff ketika akan masuk PESADA sudah dipertunangkan dan dipastikan untuk menikah, namun tidak jadi. Awalnya orang tua lebih berpihak pada lamaran pemuda atau keluarga yang datang melamar. Persetujuan yang cepat dari pihak keluarga perempuan juga terkait dengan mentalitas tidak mau susah-susah menyekolahkan anak perempuan. Tetapi staff ini kemudian memilih untuk bergabung dengan PESADA dan tidak bersedia menerima pertunangan itu. Dengan pendidikan dan pelatihan yang diterima dari PESADA, akhirnya orang tua dapat disadarkan akan hak pilihan anak. Lamaran pun bisa dibatalkan pihak keluarga perempuan dan memberikan kebebasan kepada anak perempuan untuk menentukan pilihannya. Beberapa staff lain mengalami bahwa masuk pendampingan masyarakat melalui PESADA berarti menunda bahkan membatalkan rencana pernikahan. 54
Pilihan untuk tidak menikah, dan bergabung dengan PESADA diambil dengan keteguhan hati untuk pelayanan. Masa studi di perguruan tinggi pun ditinggalkan untuk bisa segera bergabung dengan Pesada. Perkuliahan beberapa semester tersebut dianggap sudah cukup dulu. Kebutuhan mendesak untuk pelayanan PESADA dianggap sebagai prioritas bagi diri. Dalam beberapa kasus, walau orangtua pada awalnya menolak pilihan anak perempuannya, tetapi kesediaannya melepas anaknya menjalani pilihan yang tidak disetujui orangtua itu, pada akhirnya membawa buah, yaitu orangtua menjadi sadar, bahwa memang sikap di mana orangtua dan keluarga besar menjadi penentu bagi hidup anak perempuan jadinya lenyap. Lama setelah pengalaman panjang dalam kebersamaan dengan masayarakat dampingan, terutama yang mengalami kekerasan, baru disadari bahwa, di luar pikiran dan kesadaran pribadi, para staff mengaku bahwa Tuhan telah merencanakan pengutusan para staf melalui Pesada, untuk mendampingi dan menopang pergumulan para perempuan yang mengalami kekerasan. Demikianlah staff dari kalangan muda, pada akhirnya mengalami hal yang sejajar dengan para staff yang lama, bagaimana mereka berjumpa dengan nilai-nilai perilaku PESADA melalui kehidupan masyarakat dampingan PESADA.
E. PEDOMAN PERILAKU PESADA dan PEREMPUAN DAMPINGAN Ceritera berikut ini agak panjang, tetapi nyata. Disampaikan oleh seorang Ibu yang bahasa Indonesianya tidak begitu fasih, tetapi susunan kalimat sangat teratur dan sederhana. Dengan sikap perempuan desa yang sedikat berlaku agak malu, namun sebenarnya hanya pada awal, tetapi dalam kalimat-kalimat selanjutnya terlihat makin merasa pasti walau tidak menjadi arrogan. Begini ceriteranya: “Ketika aku menikah dan masuk menjadi anggota keluarga besar suamiku, aku dan suamiku tidak memiliki sebatang pohon kelapa pun. Hidup kami dengan 4 orang anak tergantung pada pendapatan suami saya sebagai nelayan. Dalam keadaan yang sangat kekurangan ini, suamiku memegang peran utama untuk mengatur
keuangan
rumahtangga
sesuai
dengan
kemampuannya
dan
pengetahuannya. Terkadang dia berikan hari ini banyak uang jajan anak, tetapi besok tidak ada lagi. Apa yang aku akan beli untuk makanan kami tergantung dari uang yang dia berikan. Sebagian dari uang yang dia peroleh digunakannya untuk main bola sodok di kedai-kedai sekitar. Dialah yang mengatur semuanya. Sebagai 55
isteri dan sebagai perempuan aku tidak terlibat. Penguasa satu-satunya di rumah adalah suami. Ketika CU didirikan oleh PESADA di kampung ini sekitar 10 tahun yang lalu, aku segera turut menjadi anggota. Uang yang diberikan oleh suamiku kuatur agar selalu ada tabungan. Setelah berapa lama menabung, aku dapat meminjam dan pinjaman itu cukup banyak, sehingga mampu membeli setapak tanah untuk perladangan. Ladang ini aku usahakan dengan tanaman kelapa, sayur-sayuran, sehingga mulailah ada pemasukan untuk rumahtangga kami, tidak lagi hanya dari hasil penjualan ikan hasil tangkapan suami. Lalu aku tetap cona untuk atur uang yang ada supaya bisa mengangsur dan sekali gus menabung juga. Aku sangat bersyukur pada PESADA, karena setiap hari kami
berkumpul
untuk
menabung/mengangsur/meminjam,
selalu
saja
ada
pendidikan dengan berbagai thema. Yang paling menolongku adalah pelajaran tentang pengaturan ekonomi rumah tangga dan kesamaan perempuan dan laki-laki. Perlahan aku bangkit menjadi pengatur uang dan berhasil lebih baik dibanding suami. Uang jajan anak-anak kuberikan sedikit saja, tetapi terus menerus tidak pernah terhenti. Setelah pinjamanku selesai diangsur, aku meminjam lagi dan kupakai untuk membeli sebidang sawah. Hasil ladang dan sedikit hasil penjualan ikan suami, terus aku atur untuk hidup kami setiap hari tetepi juga kuatur untuk angsuran dan tabungan, sambil mengerjakan ladang dan mengusahakan sawah. Sesudah panen, aku begitu senang punya persiapan makanan untuk waktu yang lama. Aku sangat bangga. Suamiku tidak lagi menjadi tuan tunggal. Semuanya sekarang diserahkan padaku karena sudah terbukti berhasil. Jadi aku tidak merebut apa-apa dari dia! Lalu pinjaman pembelian sawah perlahan sudah bisa diselesaikan. Sekarang giliran suami untuk diperkembang. Sampan untuk menangkap ikan tidak memadai lagi, daripada menukanginya berulang-ulang, sudah lebih baik membeli yang baru, bahkan lebih baik menurut perhitunganku membeli sampan bermesin, supaya lebih jauh dapat menangkap ikan. Untuk itu, kembali aku harus meminjam. Suamiku sangat bangga melihatku. Dia sudah belajar supaya dari hasil penangkapannya juga disisihkannya untuk mengangsur pinjaman itu. Diam-diam dia mengakui kehebatan isterinya di hadapan teman-temannya, bahwa tanpa isterinya, artinya tanpa ‘perempuan’ ini, dia tidak akan berhasil dan juga kehidupan seluruh keluarga. Suamiku menjadi sangat sayang kepadaku! 56
Dari rumah, aku mulai keluar bersama dengan perempuan lain di tingkat desa. PESADA telah melatih kami untuk berbicara di hadapan umum, melatih untuk mengungkapkan pendapat, berlatih untuk memimpin pembicaraan. Maka beberapa di antara kami pengurus CU selalu dipanggil oleh Kepala Desa untuk program desa. Kami disebut sebagai perempuan-perempuan berbakat. Dari desa kami naik lagi ke tingkat daerah melalui pemilihan calon legislatip dan pemilihan umum. Anggota CU semakin banyak dan dalam setiap pemilihan dalam bermacam-macam tingkat suara perempuan selalu ada di sana. Kami tidak berpikir harus selalu menang. Tetapi sudah mulai dilihat bahwa suara kami para perempuan semakin naik untuk ikut menentukan apa yang menjadi penting untuk hidup desa, kecamatan, kabupaten. Kami turut dipertimbangkan untuk kebaikan bersama! Jadi aku sangat berterimakasih pada PESADA untuk pendidikan ini!”
Ceritera ini sebagai ceritera pribadi, adalah ceritera yang terjadi di sebuah desa. “Sebelumnya, 10 tahun yang lalu, tidak ada CU di desa kami dan kami tidak kenal apa itu CU” demikianlah pernyataan awal dari ibu yang ada di salah satu desa. Perkenalan dengan CU diawali dengan kedatangan PESADA ke salah satu desa di daerah itu.
PESADA
memberikan pengetahuan dan pembelajaran kepada para ibu mengenai kesehatan, pertanian, pendidikan, pengembangan ekonomi keluarga dan kesamaan antara perempuan dan pria di hadapan hukum negara. Pengetahuan dan pembelajaran ini membuat para ibu masuk ke dalam salah satu sarana dalam pengembangan ekonomi kerakyatan dan ekonomi rumah tangga yaitu CU yang dibentuk di desa mereka. Di dalam perjalanan CU ini, banyak kaum ibu yang tidak mau ikut bergabung dikarenakan keragu-raguan mereka. Mereka ragu karena “takut uangnya dibawa lari” demikianlah pengakuan salah seorang ibu pengurus CU ini. Setelah menjadi anggota CU, para ibu ini dilatih untuk menabung hingga sampai kepada waktunya para ibu boleh mengajukan permohonan peminjaman. Setelah peminjaman disetujui dan dana sudah diterima, para ibu anggota CU ini tetap didampingi oleh pengurus CU dalam memakai uang pinjaman untuk mengaktualisasikan
pengetahuan dan
pembelajaran yang mereka telah dapat dari CU. Mereka memakai uang pinjaman itu untuk hal yang kecil yang menurut ukuran mereka mampu dikelola, seperti misalnya memulai peternakan babi sesuai dengan yang telah diajari di CU. Dengan beternak ini, para ibu menjadi mampu untuk mempertahankan perekonomian keluarganya. Sedikit demi sedikit, pinjaman bisa dilunasi sesuai pada waktunya. Pinjaman sudah lunas, babi yang untuk 57
diternakkan masih ada. Memang terkadang, ada wabah penyakit pada ternak yang membuat para ibu ini harus memutar otak untuk mempertahankan ekonomi mereka. Diskusi dengan sesama anggota CU menjadi salah satu cara untuk mencari jalan ketika menghadapi tantangan. Ibu-ibu ini sekarang menjadi memiliki alat untuk mempertahankan ekonomi keluarga mereka. Berbagi pengalaman dalam diskusi sesama anggota CU, pendidikan, pelatihan, dan pembelajaran yang dilakukan oleh para ibu anggota CU ini membuat mereka menjadi berani untuk berbicara di hadapan umum. Pengetahuan yang mereka dapatkan juga membuat para ibu ini memiliki sudut pandang yang luas sehingga dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan bahkan dalam tingkat rapat desa. Mereka mampu mengutarakan pendapat di hadapan orang banyak. Sebelumnya, halhal yang demikian, tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang perempuan. Berbicara di hadapan umum, menyampaikan pendapat di dalam rapat desa, diundang dalam diskusi untuk pengambilan keputusan, semua itu adalah “bagian” laki-laki. Pendidikan mengenai Undang-undang KDRT juga telah membuat para ibu ini menjadi berani dalam menyarakan perdamaian dan keberadaan mereka di dalam masyarakat. “Tapi setiap hari penabungan, kita juga beritahu pada anggota, tentang bagian hukum untuk perempuan dan anak. Kami kasih nomor telepon kita. CU bukan hanya sistem menabung, tapi kami di sini juga menyelidiki.” Ungkap ibu pengurus CU. Anggota CU menjadi memahami bahwa mereka sebagai perempuan dilindungi oleh undang-undang Negara Republik Indonesia. “Setelah mendapat pendidikan di CU, saya pulang ke rumah dan akan menceriterakannya kepada bapak. Setelah mendengar cerita saya, bapak di rumah sudah berubah, dulu bapak suka berjudi, main bola tusuk, minum tuak. Sekarang tidak lagi, untuk mengatur uang juga sudah saya yang pegang kendali. Bahkan untuk membeli bensin untuk melaut, bapak harus minta sama saya.” Ucap ibu itu seraya tertawa dengan senang. Sebuah ekspresi keceriaan dan kepuasan seakan-akan ibu itu terlepas dari sebuah belenggu yang membelenggu dia selama ini. “Waktu baru menikah, saya tidak memiliki apaapa, bahkan sebatang pohon kelapa saja saya tidak punya.” Semenjak masuk CU, saya sudah memiliki 3 ladang dan 1 sawah. Perekonomian keluarga saya sudah dapat bertahan. Dengan mengolah pertanian dan peternakan saya sesuai dengan pelatihan yang didapat dari CU, saya bisa melunasi semua pinjaman saya dari CU dan selanjutnya mengajukan permohonan pinjaman lagi dari CU untuk mengembangkan usaha saya. “Semenjak 10 tahun menjadi anggota CU, saya bersyukur, saya memiliki harapan, jika ada kebutuhan mendesak untuk anak, CU bisa sebagai penyimpanan, saya punya harapan 58
di CU ini sebagai modal. Dalam pendidikan pertanian, walaupun tidak menjual hasil pertanian itu, tapi menjadi cukup untuk keluarga. Memang uang saya di dalam CU tidak banyak, namun dapat mencukupi kebutuhan sekolah anak saya.” Dengan uang yang tidak banyak, ibu ini dapat terus bertahan di dalam keanggotaan CU selama 10 tahun. Sebuah kekuatan tahan dan kekuatan juang yang sangat kuat. 10 tahun bukan waktu yang singkat, begitu banyak tantangan yang dihadapi ibu ini. Wabah penyakit ternak, uang pendaftaran sekolah, harga hasil pertaninan yang menurun. Semuanya itu tidak mampu untuk mematahkan kekuatan tahan dan kekuatan juang ibu ini. 3 orang anak sedang dalam proses kuliah, sebuah pencapaian yang sangat hebat dari sebuah keluarga di desa tersebut. CU ini sekarang sudah beranggotakan 70 orang ibu-ibu termasuk anggota istimewa. Hal ini berarti sudah ada 70 orang ibu yang sudah siap untuk tampil di hadapan umum untuk menyuarakan seruan hati seorang ibu yang berjuang mempertahankan ekonomi keluarganya. Ada 70 orang ibu yang sudah siap saling menolong untuk mengembangkan perekonomian kelompok mereka. 70 ibu yang sudah masuk dan bersuara di dalam kancah politik. Mereka sudah menentukan sikap di dalam pemilu-kada. Sebuah gerakan yang konsisten dari para ibu, dimulai dari keluarga mereka yang terus mempengaruhi masyarakat sampai mempengaruhi perpolitikan daerah. Jumlah 70 ini sebenarnya sudah hampir seluruh [erempuan desa menjadi anggota. Tadinya mereka bersatu dengan desa-desa lain, tetapi dengan semakin berkembangnya keanggotaan, maka desa-desa lain dimandirikan menjadi sebuah unit tersendiri. Ceritera di sebuah desa ini terjadi juga dengan pola yang hampir bersamaan di desa-desa Pakpak, Dairi, Humbang dan Nias.
CU telah berfungsi sebagai jalan masuk
pengorganisrisan kaum perempuan di daerah-daerah dampingan PESADA. Awalnya memanglah tidak mudah. Apalagi mengorganisir kelompok perempuan yang selama ini tidak mendapat hak berbicara dan menyuarakan pendapat di keluarga maupun di masyarakat. Ditambah lagi situasi perekonomian yang porak-poranda akibat termarjinalisasi melalui sistim perekonomian masa Orde Baru, dan juga karena tsunami dan gempa Bumi di Nias. Ada kekhasan yang mewarnai CU Pesada, yaitu pendidikan dan pelatihan. Dalam kenyataan, strategi pendekatan dan pendampingan yang dilakukan CU Pesada sangat menyentuh realitas dan kebutuhan utama masyarakat. Sebagaimana dikatakan bahwa CU adalah jalan masuk pengorganisiran perempuan, maka muatan progam CU selalu berisikan penyadaran, pendidikan dan penguatan kaum perempuan. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan ekonomi kerakyatan seperti pertanian dan peternakan, pengelolaan uang, menjadi penting. Namun demikian pendidikan hukum dan penyadaran sosial masyarakat terkait 59
peran dan hak-hak perempuan dalam masyarakat dan keluarga adalah penekanan yang dirancang sistematis. Melalui pertemuan bulanan, para perempuan di desa-desa mendapatkan penguatan, motivasi dan dorongan untuk semakin melihat makna diri dan fungsinya dalam masyarakat dan keluarga. Kaum perempuan juga diyakinkan bahwa ada perlindungan hukum mengatur kebebasan dan hak-hak perempuan dalam masyarakat. Keterampilan berbicara di depan orang banyak pun diberikan dan disimulasikan di antara anggota-anggota kelompok CU yang hadir dalam pertemuan bulanan tersebut. Penyadaran yang dilakukan ini akhirnya semakin membuat para perempuan menjadi percaya diri, terampil berbicara, bahkan sekarang telah sering diundang dadlam rapat desa dan dimintaan gagasan dan pemikiran untuk kebangkitan bersama di desa. Di tengah-tengah keluarga para anggota CU terasa perubahan. Para kaum suami akhirnya semakin sering menndengar mengenai nilai-nilai kebersamaan dalam keluarga dan penghormatan kepada perempuan sebagai partner kerja. Isu perlindungan hukum terhadap kaum perempuan pun semakin tersebar luas dan mengubah pola pikir kaum lai-laki terhadap perempuan. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat itu tentunya bukan tanpa proses dan benturan. Berhadapan dengan tua-tua adat dan tuatua desa yang selama ini tidak dekat dengan perlindungan hak-hak perempuan; dengan para suami yang selama ini dominan mengatur dan mengontrol aktivitas isteri bahkan mengatur keuangan keluarga, adalah hal yang menegangkan awalnya. Hal tersebut karena tidak semua kalangan laki-laki cepat sadar. Kepada para perempuan diajarkan untuk mampu bekerja sama dengan kaum laki-laki, sebaliknya para suami anggota yang diundang datang dalam pertemuan diyakinkan bahwa para isteri yang masuk CU adalah dalam rangka peningkatan kapasitas dan keterampilan diri. Akhirya para suami ikut mendukung aktivitas para isteri. Kelompok anggota CU di unit-unit itu juga diajari Public Speaking supaya mereka dapat terlibat dalam pengambilan kebijakan rapat Desa. Sekarang, kalau akan ada rapat desa, maka kepala desa akan mengundang kepala unit Pesada dan anggotanya untuk hadir dalam rapat desa. Di masyarakat, para perempuan itu sendiri yang berani menjelaskan bahwa perempuan juga bisa menyumbangkan ide dan gagasan untuk pembangunan masyarakat. Sejauh ini perempuan sudah ada yang terlibat dalam rapat-rapat desa; Menjadi BPD di desa, ikut di oraganisasi PNPM dan mereka disebut perempuan potensial.
60
Awalnya semua diskusi tematis dilaksanakan umumnya pada transaksi simpan pinjam CU, namun sekarang diluar aktivitas CU pun para perempuan juga sudah mau datang untuk mendengarkan materi-materi pendidikan. Seluruh keberhasilan ini disumbang oleh kemampuan dari para pengurus CU yang berasal dari para Ibu itu sendiri. Para pengurus terutama dapat dipercaya, dan mampu dengan objektife menilai proses peminjaman, pengembalian dan juga penabungan. Staff dari PESADA memang secara langsung bekerjasama dengan para pengurus yang direkrut dari perempuan desa sndiri. Professionalisme, Anti diskriminasi, Sikap Akuntabilitas menjadi juga bagian dari kepengurusan mereka. Tanpa nama-nama dengan terminology seperti itu, para perempuan desa itu menjalankannya. Bahkan ada beberapa Ibu yang secara berulang dipilih oleh anggota supaya menjadi pengurus. Dia ternyata dapat dipercaya, dan anggota juga semakin mampu menilai dirinya dan para anggota lain untuk melihat siapa yang dapat dipercaya. Sikap objektif seperti ini tanpa disadari menjadi ciri dari anggota-anggota CU.
Seberapa besar pun kepercayaan mereka pada pengurus CU, tetapi di dalam Rapat Anggota Tahunan mereka kembali aktif untuk menilai baik pengurus mau pun sesame anggota. Mereka menjadi terlatih untuk perancangan masa depan terhadap penggunaan Sisa Hasil Usaha. Bisa saja kita melihat bahwa keberhasilan dilihat dari SHU, tetapi pembagian SHU sebenarnya menggambarkan prestasi anggota dalam penabungan, peminjaman dan pengangsuran. Keberhasilan dalam menggunakan pinjaman itu menjadi ketrampilan sendiri didukung oleh pendidikan-pendidikan. Demikianlah kemajuan pribadi didukung oleh kebersamaan pemupukan modal, yang digunakan dengan hasil pendidikan, sehingga benarlah bahwa CU bukan perkumpulan uang, tetapi adalah perkumpulan manusia dengan modal sebagai alat. Tanpa menyebutnya satu persatu,
nilai-nilai pedoman perilaku yang ada di PESADA,
namun melihat rangkaian ceritera itu, terlihatlah bahwa nilai-nilai itu secara praktis terkadang tanpa nama, namun seluruh nilai-nilai ini dalam bentuk yang beraneka ragam terdapat dalam diri para perempuan dampingan PESADA, yaitu:
61
Ketulusan
Kesederhanaan
Hak Azasi Manusia
Sikap Kesetaraan dan Keadilan Gender
Sikap Non Partisan
Sikap Professional
Sikap Transparan
Sikap Akuntabilitas
Sikap Anti Diskriminasi
Kemandirian
F. EPILOG (KEMANDIRIAN: Perilaku Puncak PESADA) Sama seperti pemandirian penguatan anak yang disebutkan dalam bagian akhir masa awal PESADA di bagian pertama tulisan ini, maka dari keseluruhan tebaran nilai-nilai pedoman perilaku PESADA, maka Sikap Kemandirian terlihat sangat menonjol. Walau pun dalam uraian serta pengalaman para staff di atas menunjukkan bahwa pedoman perilaku itu bukanlah nilai-nilai yang berdiri sendiri, namun terkait satu sama lain, namun Sikap Kemandirian dalam permukaan saat menonjol, yang digerakkan oleh sincesitas dan simplicitas. Bentuk program yang mengemban sikap kemandirian ini adalah Credit Union itu sendiri. Gerakan CU melalui PESADA berhasil dimandirikan dalam waktu yang singkat. Gerakan CU sudah terdapat di berbagai daerah di Indonesia, tetapi CU PESADA menunjukkan keberhasilan pemandirian CU bahkan bila dibanding pun dengan CU-CU yang dikelola oleh berbagai LSM di Indonesia. CU PESADA tidak tergantung pada PESADA sepenuhnya, bahkan dapat dikatakan, secara perlahan PESADA didukung oleh CU-CU itu sendiri. Terdapat beberapa keunggulan yang membuat CU dampingan PESADA dapat berkembang cepat menuju kemandirian, yaitu:
Anggota hanya dari perempuan. Dengan latarbelakang perempuan desa yang tadinya terpinggirkan dan didiskriminasi, maka gerak penguatannya lebih cepat dengan pendidikan sebagai tonggak utamanya.
Mikro Kredit yang dipinjamkan pada CU. Pada dasarnya Kredit Mikro bagi sebuah CU adalah ‘penyimpangan’ sebab Kredit masuk tidak melalui anggota.
62
Namun dengan sistim pembukuan sebagai pihak ketiga, maka Kredit Mikro tidak menguasai modal bersama yang dikumpul.
Pembentukan CU besar. Dilihat dari struktur tradisional CU, maka CU Besar itu pada dasarnya adalah CU primer, dengan berbagai komisariatnya yang bergabung dalam CU primer tersebut. Namun di dalam pelaksanaannya, komisariat memainkan peran sebagai CU primer. Dalam struktur yang sedemikian, rentang kendali bagi setiap komisariat menjadi terjamin. Di balik pilihan yang membuat keunggulan itu, PESADA telah mengadopsi strategi tertentu untuk penguatan perempuan dan kesetaraan: •
Jumlah yang sama dari perempuan dan laki-laki dalam posisi kepemimpinan lokal.
•
Kebijakan dan praktek yang peka gender dalam pemerintahan daerah.
•
Lebih banyak perempuan aktivis dan organisasi perempuan independen yang memiliki suara yang kuat dalam ekonomi dan politik.
•
Menghormati hak-hak perempuan dan setia serta taat terhadap hak-hak perempuan termasuk akses mereka ke dan kontrol akan sumber kekuatan.
•
Menghormati hak-hak anak dan setia serta taat terhadap hak-hak anak-anak.
•
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin: makanan, kesehatan, perumahan dan pendidikan.
Itu menunjukkan bahwa sebagaimana yang diyakini PESADA, bahwa PESADA dalam pendampingannya bagi para perempuan yang termarjinalisasi dan terdiskriminasi itu, percaya bahwa uang bukan solusi untuk semua masalah, namun melihat dengan jelas bahwa kurangnya uang menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan. Melalui CU, PESADA secara sengaja hendak menempatkan pemasukan pendapatan dapat diletakkan atas hidup perempuan dan hidup keluarga. Dalam menjalankan ini maka gagasan penguatan masyarakat seperti ini pada akhirnya menjadi bagian dari pendidikan politik bagi perempuan pedesaan. Maka PESADA pun terlibat dalam jaringan nasional bagi pendidikan politik dan pendidikan untuk pemilihan yang demokratis dalam Pemilu di Indonesia. Lalu PESADA secara sengaja menjadikan Credit Union menjadi titik masuk untuk politik
63
penguatan, advokasi, peningkatan kesadaran dan pendidikan bagi perempuan tentang hak asasi manusia dan isu-isu feminis. Dengan demikian penguatan ini, yang berasal dari kata ‘kekuatan’ atau power (yang termuat dalam ‘empowering’) menurut PESADA didasarkan dari sebuah pengakuan kepercayaan atau credo, yang PESADA rumuskan dengan: •
Tidak ada kekuatan tanpa akses ke sumber kekuatan dan uang tunai, modal.
•
Tidak ada kekuatan tanpa pemahaman dan kesadaran kritis kesetaraan antara perempuan dan pria.
•
Tidak ada kekuatan tanpa partisipasi dan hak.
•
Tidak ada kekuatan tanpa kemampuan dan hak untuk mengontrol diri sendiri, tubuh sendiri, dan pemikiran sendiri.
•
Tidak ada kekuatan tanpa kebersamaan.
Oleh karena itulah Sikap Kemandirian menjadi sangat menonjol dan bergerak dengan cepat. Seluruh nilai-nilai pedoman perilaku yang lainnya tidak ditinggalkan, melainkan terintegrasi dengan baik di bawah slogan sinceritas dan simplicitas. Ini bukan teori saja, tetapi dapat terrumus dalam langkah-langkah nyata yang terukur. Itulah sebabnya di dalam tulisan ini sengaja Trajectory Credit Union (CU) BESAR dilampirkan. DI sana terlihat seluruh tahap-tahap menuju pemandirian melibatkan seluruh indikator dari pedoman perilaku itu.
64
Trajectory Credit Union (CU) BESAR
Performance Faktor Kunci /Tahapan Administrasi Keuangan
Pemula
Masih bersifat pembenahanan administrasi Pembukuan CU Kartu Simpan Pinjam Anggota ( KSPA ), Buku anggota, DUM, DUK, BK, BB, NS dan LKSB Database keanggota CU
Tumbuh
Menggunakan slip Uang masuk dan slip uang keluar Pembukuan dikerjakan secara manual sampai LKSB Ada arsip pembukuan ( data RAT, laporan keuangan bulanan dan tahunan ) Daftar broch di arsipkan sesuai dengan nomor urut
Berkembang
Ada voucher penerimaan dan pengeluaran kas, TTS, serta kwitansi yang sudah di cetak dengan menggunakan lambang CU. Ada dokumen analisis pinjaman anggota.
Dewasa/Mapan
Keorganisasian
65
Pengurus Unit masih belum mampu melaksanakan fungsinya
Sudah ada aturan sederhana. Pelaksanaan rapat-rapat
RAT dengan sistem perwakilan dengan memperhatikan
Laporan keuangan dan surat – surat penting sudah diarsipkan dengan baik ( surat permohonan, perjanjian, dafatar inventaris dan daftar broch anggota ) Ada filing untuk arsip pembukuan yang dapat diakses dengan cepat dan mudah. Pembuatan laporan sudah menggunakan komputerisasi.
Pengurus mampu menjalankan
unit
dengan baik. Fungsi Dewan Pimpinan dan Pengawas belum sesuai dengan yang seharusnya. Membuat aturan dan peraturan dasar untuk CU Pesada PEREMPUAN ( penabungan, peminjaman, uraian tugas staf, DP dan DPWS, ) Fungsi-fungsi di CU Pesada PEREMPUAN belum berjalan dengan baik.
belum terpisah. Sudah ada pembagian fungsi, tetapi belum konsisten dijalankan.
perimbangan jumlah anggota. SOP tentang personalia, penanganan kredit macet)
66
peraturan di kelompok dengan konsisten. Manajer profesional, stafstaf menjalankan fungsinya dengan maksimal sesuai uraian tugas masing-masing. Dewan Pimpinan sebagai pembuat kebijakan memastikan semua peraturan berjalan dengan baik. Dewan Pengawas melakukan fungsi kontrol secara reguler. Ada AD/ART, SOP dan pedoman perilaku yang sudah baku dan konsisten dijalankan dan tersedia dalam bentuk buku saku
Keuangan
1. Besar pinjaman
Batas pinjaman anggota sebesar 30.000.000
ke Rp
Biaya overhead sudah dapat dipenuhi minimal 50%. Batas pinjaman ke anggota sebesar Rp 50.000.000
2. Simpanan
3. Sisa Hasil Usaha ( SHU )
4. Asset
5. Keaktifan tempat pelayanan
67
Simpanan Rp 500.000.000,1.000.000.000,Jumlah SHU kurang dari 2.000.000,-
Asset CU Rp 1.000.000.000 – 5.000.000.000 Tempat pelayanan masih dilakukan di kantor pusat.
Simpanan Rp 1.010.000.000 – 5.000.000.000,Jumlah SHU Rp 2.010.000 – 50.000.000 ,- ( sudah di kurangi dengan seluruh biaya biaya
Asset CU Rp 5.010.000.000 – 10.000.000.000,Ada 3 TP menjalankan fungsinya dengan baik
Biaya overhead sudah dapat dipenuhi 100% Memiliki kantor sendiri Sudah mulai mengimplementasik an standar CU Internasional Batas pinjaman ke anggota sebesar Rp 70.000.000
Simpanan 5.010.000.000 10.000.000.000 Jumlah SHU 50.010.000 500.000.000,-
Rp –
Rp –
Asset CU Rp 10.010.000.000,- – 15.000.000.000,Adanya TP yang memiliki fasilitas lengkap. (komputer, printer dll ).
Pelayanan dengan sistem komputerisasi di setiap TP. Memiliki asset minimal 500 Miliar.
Simpanan Rp 10.010.000.000 keatas Jumlah SHU 510.000.000 – 1.000.000.000,-
Asset CU Rp 15.010.000.0000 ke atas Memastikan TP berjalan dengan baik.
Keanggotaan
Jumlah anggota 1.000 orang
Jumlah anggota 2.500 orang
Jumlah anggota 5.000 orang
Jumlah Unit
Jumlah unit 20 unit
Jumlah unit 50 unit
Jumlah unit 100 unit
Diskusi bulanan tidak rutin Kesadaran mengapa berkelompok masih rendah (bukekuatan menitip)
Memahami Aturan dan peraturan di laksanakan dengan baik Rutin menghadiri penabungan dan diskusi
Terlibat dan aktif mengikuti rapat – rapat desa. Menjadi contact person dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang berbasis komunitas.
Pendidikan dasar dilaksanakan oleh bagian Pendidikan dan Latihan a.l. Kursus Dasar CU, Ekonomi Rumah Tangga, Pembukuan, Kepemimpinan, KPG ( UU no.7 tahun 1984).
Pelatihan Motivasi usaha Perencanaan usaha Pendidikan kewarganegaraan ( hak dan kewajiban ) Pendidikan kesehatan dan reproduksi Penyadaran hukum
Pendidikan politik Kursus pertanian, peternakan Manajemen kredit Pendidikan kekerasan terhadap perempuan Pendidikan penangan korban untuk perempuan
Kwalitas unit
Pendidikan
68
Jumlah anggota lebih dari 5.000 orang Jumlah unit lebih dari 100 unit Kaderisasi kepemimpinan sudah terencana dan dilaksanakan Sudah diperhitungkan dalam memberikan pendapat dalam rapat – rapat ( tingkat desa, kecamatan dan kabupaten ) Pendidikan Politik Pendidikan mendorong perempuan untuk keterwakilan perempuan di ranah pejabat public Kursus manajemen pemasaran
Partisipasi Politik
Ada daftar perempuan potensial
Alokasi Dana partisipasi politik perempuan 1% dari SHU Anggota CU terdaftar menjadi caleg perempuan
Dana partisipasi politik di akses oleh ORMAS Perempuan ( SPUK ) untuk pengembangan kapasitas organisasi
Variasi Usaha/Diversifikasi pelayanan
Sudah mulai ada produk layanan ( deposito, Asuransi pinjaman )
Membuka unit – unit usaha ( toko, penitipan ) Penggalangan dana dari masyarakat melalui produk layanan bisa memenuhi kebutuhan anggota. Ada produk khusus untuk menjangkau perempuan – perempuan miskin.
Sudah berbadan hukum ( AD/ART, Akte notaris)
CU sudah diakui sebagai lembaga
Pengakuan Pemerintah (atau factor posisi di lingkungan sekitar sampai 69
Terdaftar di desa atau kelurahan.
Anggota CU duduk sebagai pejabat publik ( BPD, kepala desa, Panwaslu, Petugas Pemungut Suara, DPRD, ) Perempuan terlibat dalam rapat – rapat di tingkat Kabupaten ( Musrembang ) Produk layanan CU cukup beragam ( lebih dari 5 jenis).
Memastikan implementasi Standar CU internasional. Terlibat dalam jaringan micro finance
internasional?)
Peran PESADA
70
Staf PESADA masih merangkap sebagai staf CU. Manajer CU adalah staf PESADA. Memfasilitasi kegiatankegiatan untuk peningkatan kapasitas Dewan Pimpinan, Dewan Pengawas, Pengurus Unit dan Staf CU B. Pendidikan-pendidikan masih difasilitasi oleh PESADA.
Mendampingi diskusi bulanan / pendidikan kritis (issu perempuan) di CU Menemani pengurus dalam menyelesaikan kredit macet. Mengerjakan dokumen RAT, Melakukan audit laporan keuangan tahunan. Terlibat dalam penyusunan SOP.
keuangan di tingkat desa Membangun jaringan lembaga keuangan mikro dengan lembaga nasional dan internasional.
Terdaftar Pemerintahan
Mendampingi diskusi bulanan/pendidikan kritis ( issu perempuan ) di CU Terlibat di dalam perekrutan manajer.
Mendampingi diskusi bulanan/pendidikan kritis (issu perempuan) di CU Fungsi PESADA melalui peran di Dewan Pimpinan dan Pengawas saja.
di