www.oseanografi.lipi.go.id
ISSN 0216-1877
Oseana, Volume XV, Nomor 2 : 67 - 76
PERKIRAAN UKURAN STOK FAUNA BENTK DENGAN METODE SWEPT AREA oleh JOHANES WIDODO
1)
ABSTRACT ESTIMATION OF THE STOCK SIZE OF BENTHIC ANIMAL USING SWEPT AREA METHOD. The mean catch per unit effort or per unit area may be used as an index of relative abundance. Though the catch per unit effort will seldom be exactly proportional to the stock density, it is better than for example, total catch. This index may be converted into an absolute measure of biomass using the so-called swept area method. In trawlable areas, the stock size of the benthic fauna can be obtained from the relationship of the mean catch per unit area and the proportion of the animal in the patch of the net which actually retained by the gear.
Dalam masa empat dekade terakhir ini telah banyak dikembangkan berbagai jenis metode untuk memperkirakan jumlah populasi hewan serta berbagai parameter terkait yang berpengaruh, umpanya tingkat kematian serta tingkat kelahirannya (SEBER 1982). Ukuran populasi dapat ditentukan atau diperkirakan dengan berbagai cara. Dalam beberapa kasus yang istimewa dan terbatas jumlahnya, ukuran populasi dapat ditentukan secara langsung, yakni dengan melakukan sensus secara menyeluruh. Dengan cara ini setiap anggota populasi harus dapat dilihat dan kemudian dihitung. Tetapi hal yang lebih sering dijumpai ialah bahwa ukuran populasi hanya dapat diperkirakan secara tidak langsung, yak-
PENDAHULUAN Dewasa ini ekologi merupakan salah satu bidang ilmu yang sedang "in". Dengan kemajuan teknologi yang pesat serta persoalan pencemaran yang ditimbulkannya, kita dituntut untuk semakin banyak mencurahkan perhatian kepada masalah lingkungan serta sumberdaya alam yang dikandungnya. Tuntutan akan obyektivitas dalam berbagai masalah sumberdaya alam, misalnya tentang sumberdaya satwa hayati laut, mengajak kita untuk mengambil suatu solusi kuantitatif terhadap perkiraan kelimpahan, perubahan jumlah serta komposisinya, perkiraan potensi, serta tindakan pengelolaan yang rasional.
67
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
ni dengan cara melakukan penarikan contoh (sampling) serta menggunakan metode statist ika untuk penarikan kesimpulan. Beberapa metode tidak langsung untuk menduga ukuran populasi satwa akuatik antara lain dengan: i.Penandaan (tagging) ii. Menggunakan data hasil tangkrpan (gatch) dan upayai penangkapan (effort) yang terdiri dari: (a) Metode Delury (bila upaya penang kapan bervariasi) (b) metode Moran dan Zippin (bila upaya penangkapan konstan) iii. Metode swept area Masih terdapat beberapa metode yang berguna untuk pendugaan ukuran stok, antara lain metode akustik serta survai telur dan burayak. Penggunaan berbagai metode tidak langsung tersebut dapat dilakukan secara terpisah atau, dan ini lebih baik, dalam berbagai bentuk kombinasi dari beberapa cara dengan tujuan untuk memperkecil kesalahan (bias) atas hasil estimasi yang diperoleh. Dalam tulisan ini hanya akan diuraikan metode swept area untuk perkirakan ukuran populasi satwa liar bentik terutama' berbagai jenis ikan serta berbagai jenis invertebrata akuatik. ORGANISME BENTIK DAN KETERBATASAN ALAT PENANGKAP SERTA BIAS DARI DATA
Pengaruh karakter organisme bentik terhadap penggunaan alat penangkap Keragaman dalam hal jenis, ukuran, perilaku dan penyebaran satwa bentik akan menentukan penggunaan jenis alat atau teknik penangkapan yang sesuai untuk melakukan penarikan contoh. Masing-masing sistem penangkapan memiliki keterbatasan atau
68
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
kekhususan dalam penggunaannya yang ditentukan oleh habitat maupun sifat organisme target. Selain itu, tipe dasar perairan seperti kedalaman, transparansi dan arus dapat mempengaruhi selektivitas yang dimiliki oleh alat penangkap yang cocok untuk digunakan dalam suatu habitat tertentu. Pengambilan contoh terhadap satwa bentik atau satwa demersal akan dipengaruhi oleh derajat kemiringan, substrat, kedalaman dan arus. Selanjutnya keberadaan ikan serta reaksinya terhadap alat penangkap merupakan kriteria penting yang ikut menentukan selektivitas alat penangkap. Banyak ikan demersal melakukan migrasi menurut musim dan kedalaman dan pada saat tertentu, keberadaan individu dari suatu spesies secara nyata dipisahkan oleh kedalaman . Akibatnya, keberadaan ikan pada waktu dan tempat tertentu akan beragam sesuai perilaku mereka. Akhirnya selektivitas alat penangkap juga tergantung pada reaksi dari organisme ; target terhadap alat penangkap. Misalnya sejumlah ikan demersal, terutama berbagai jenis ikan sebelah, akan mencoba berenang di depan sweepline yang dipasang di depan mulut trawl di dasar perairan untuk selanjutnya menghindarkan diri dari sergapan alat penangkap tersebut. Keterbatasan alat penangkap dan bias data Setiap jenis alat penangkap memiliki keterbatasan, sehingga data yang diperoleh harus selalu diterjemahkan sesuai dengan sifat alat yang dipergunakan. Menurut HAYES (1983) alat penangkap yang bersifat aktif mempunyai kelebihan yang nyata dalam melingkup atau meliput ruang penarikan contoh yang dapat ditentukan volumenya secara geometris dimana target organisme dapat dipisahkan dari dalam air dengan cara menyaringnya menggunakan alat tersebut (Gambar 1).
www.oseanografi.lipi.go.id
Gambar 1. Ruang geometris yang diliput oleh jenis teknik penangkapan aktif, A jaring plankton, B trawl melayang, C trawl dasar. Hasil tangkapan dinyatakan dengan dimensi per volume bagi jaring plankton dan trawl melayang, dan perluas area yang tersapu (swept area) bagi trawl dasar.
Misalnya volume contoh dari jaring plankton atau trawl melayang (midwater trawl) adalah kira-kira sama dengan volume silinder yang dapat ditentukan dengan memperkalikan luas area mulut jaring dengan jarak pukat itu ditarik. Dalam hal trawl dasar (benthic trawl) volume merupakan hasil perkalian antara empat persegi panjang atau oval yang diratakan (Gambar 1C nampak dari depan) dikalikan dengan jarak penarikan jaring. Tetapi, dalam survai trawl, biasanya dimensi vertikal contoh diabaikan, sehingga biomassa bentik dihitung berdasarkan luas area yang diliput jaring. Dari berbagai jenis ikan yang dengan tidak sengaja berhadapan dengan alat penangkap contoh, misalnya jaring trawl, maka beberapa diantaranya akan bereaksi dengan berenang di atas, di bawah, atau di samping jaring (avoiding). Sebagian lain-
nya mungkin akan tergiring masuk ke dalam jaring (herding). Sedang yang lainnya mungkin, karena ukurannya yang cukup kecil, mampu meloloskan diri melalui mata jaring yang tengah terbuka (Gambar 2). Selain itu masili banyak lagi faktor lain, termasuk ketrampilan dari operator, yang dapat mempengaruhi cara kerja dari alat penangkap. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi selektivitas yang dimiliki alat penangkap sehingga dapat menimbulkan bias terhadap sampel yang diperoleh. Untuk mengendalikan besarnya keragaman dari data yang dikumpulkan, maka pent ing sekali untuk mengukur berbagai faktor yang diperkirakan mampu mempengaruhi operasi penangkapan (misalnya jangka waktu pengoperasian, ukuran alat penangkap, jenis dasar perairan, dll.) selain mencoba menggunakan caja penangkapan baku.
69
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
SWEPT AREA
Dari Gambar 3 nampak bahwa jaring trawl meliput suatu lintasan tertentu, yang disebut swept area, yakni area seluas panjang jalur dikalikan lebar bukaan dari trawl. Luas area yang disapu, a, dapat diduga dari persamaan. a = v.t.h.x 2 D = v.t
adalah rasio yang menyatakan lebar dari area yang disapu oleh jaring dibagi panjang tali ris atas. Sehingga lebar bukaan sayap (wing spread) sama dengan h. x2. Untuk berbagai jenis trawl dasar yang dipergunakan di Asia Tenggara nilai x2 berkisar antara 0,4 (SCP 1979) dan 0,6 (SHINDO 1973). PAULY (1980a) menyarankan penggunaan nilai x2 = 0.5 sebagai nilai kompromi yang terbaik di wilayah tersebut. Sebagai contoh bila panjang tali ris atas sebuah jaring trawl 34,6m, x2 = 0,67, kecepatan kapal waktu menarik jaring = 3 knot (mil per jam), serta nilai konversi mil laut kedalam km 1,85, maka luas area yang disapu oleh trawl per jam, a = (3).(l,85).(0.0346).(0,67) = 0,7141 km2.
(1) (2)
Dimana V adalah kecepatan trawl sewaktu operasi penangkapan berjalan, h adalah panjang tali ris atas (head rope), t adalah jangka waktu penarikan jaring, D adalah panjang jalur yang ditempuh, sedang x2
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
70
www.oseanografi.lipi.go.id
narik (warp rope) yang dilepas dan oleh sebab itu tidak dapat ditentukan secara pasti. Bukaan sayap akan dapat diukur dengan ketepatan yang cukup baik yakni dengan menggunakan alat khusus (misalnya dengan suatu perangkat netsonde). Namun demikian suatu nilai perkiraan bukaan sayap dapat pula dihitung dari hasil pengukuran terhadap jarak antara kedua tali penarik pada kedua kerekan (block and tackle) di atas kapal dan juga jarak antara dua titik lainnya, katakanlah pada jarak satu meter ke arah jaring, panjang tali penarik yang dilepas, panjang tali pengekang, serta anggapan bahwa jaring akan membentuk suatu bangun segitiga dengan bagian ujung kantong (cod end) sebagai sudut puncak dan kedua papan otter sebagai kedua sudut alasnya (Gambar 4).
Untuk pendugaan biomassa, kita menggunakan nilai hasil tangkapan per unit area (catch per unit area, cpua). Nilai cpua diperkirakan dengan cara membagi hasil tangkapan dengan luas area yang disapu yang biasanya dinyatakan dalam satuan kg per km atau per mil laut (nautical mile) persegi, nm . Nilai perkiraan ini akan tergantung dari derajat ketelitian atas perkiraan luas area yang disapu oleh trawl seperti yang ditentukan menurut Persamaan (1) dan Gambar 3 yakni dengan asumsi bahwa tali pengekang (bridles) tidak mempunyai pengaruh menggiring ikan ke dalam jaring, yang kenyataannya menunjukkan sebaliknya. Bukaan sayap akan beragam tergantung dari kecepatan penarikan jaring (hauling), keadaan cuaca, arus, serta panjang tali pe-
71
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
72
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
PERKIRAAN BIOMASSA DAN KETEPATANNYA
Proporsi ikan yang tertangkap dalam area yang tersapu jaring sangat sulit diduga. Hasil rekaman televisi bawah air menunjukkan bahwa reaksi ikan terhadap trawl sangat bervariasi di antara spesies, Nilai Xj biasanya berada diantara 0,5 dan 1,0 untuk jaring trawl yang dipergunakan di Asia Tenggara. Nilai 0,5 biasa dipergunakan dalam berbagai survai di perairan tersebut (ISARANKURA 1971; SAEGER et al 1976; SCSP 1978). Bila nilai-duga biomassa dalam Persamaan (5) diperoleh dari n buah haul, sedang Ca (i) merupakan berat hasil tangkapan per unit area dari haul nomer i,i = 1,2, ...... .n, maka nilai perkiraan biomassa menjadi :
Untuk daerah perairan yang mempunyai dasar yang cukup rata untuk ditrawl, biomassa fauna bentik, B, dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus (PAULY 1980a; SPARRE etal 1989) :
dimana C/f merupakan rata-rata berat hasil tangkapan (catch, C) per unit upaya (effort, f) yang diperoleh selama suatu survai (atau dari suatu stratum kedalaman tertentu), A merupakan keseluruhan luas area survai (atau keseluruhan luas stratum), a merupakan luas area yang disapu oleh trawl dalam satu unit upaya (misalnya dalam satu jam operasi), dan Xj merupakan proporsi ikan dalam jalur (path) jaring yang benar-benar tertangkap (besaran 1/xj disebut escapement factor).
73
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
Dengan demikian, suatu ketelitian yang tinggi (atau dengan kata lain suatu ragam yang kecil) dapat diperoleh dengan meningkatkan jumlah haul, n. Cara lain untuk memperkecil ragam adalah dengan melakukan penarikan contoh acak berlapis (stratified random stripling). Untuk jumlah haul yang sama, penentuan stratifikasi yang tepat akan mampu memperkecil ragam secara nyata, sehingga akan meningkatkan efisiensi survai untuk sejumlah hari-kapal tertentu yang tersedia. Penyebaran dari berbagai jenis ikan demersal ditentukan oleh kedalaman serta jenis dasar perairan. Oleh sebab itu stratifikasi berdasarkan kedua faktor tersebut banyak dipraktekkan secara luas. Gambar 6
Gambar 6. Contoh dari stratifikasi kedalaman perairan.
74
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
www.oseanografi.lipi.go.id
MSY = 0.5 Y + (M)(B)
PERKIRAAN HASIL TANGKAPAN M AKSIMUM LESTARI (MSY)
dimana Y adalah hasil tangkapan total dalam satu tahun, dan B adalah rata-rata biomassa pada tahun yang sama. Mengingat hampir semua stok ikan dewasa ini telah dieksploitasi, maka persamaan CADIMA lebfli sering dipergunakan, baik dalam perikanan yang sedang berkembang maupun yang telah berkembang tetapi tidak tersedia data hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (fishing effort) dalam serial waktu yang cukup panjang. Dalam penggunaan rumus GULLAND (1971) maupun rumus CADIMA, nilai-duga biomassa B dapat diperoleh dari hasil survai dengan menggunakan metode swept area maupun dengan akustik. Sedang nilai M dapat diperoleh dari rumus empiris PAULY (1980b) bila tersedia data tentang parameter pertumbuhan. Contoh : Sumber data yang mencakup strata kedalaman serta luas per stratum, jumlah haul dan rata-rata hasil tangkapan per haul sebagai hasil survai KM Mutiara IV di perairan utara Jawa dari tahun 1974 s/d 1979 disajikan dalam Tabel 1 (berasal dari Tabel 2 dan Tabel 4 dari WIDODO 1980).
Bagi berbagai stok ikan yang belum terjamah aktivitas penangkapan (virgin stock) nflai MSY dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus GULLAND (1971) : MSY = 05(M)(Bv) (10) dimana M adalah koefisien laju kematian alami dan Bv adalah biomassa stok yang bersangkutan. Selanjutnya suatu bentuk umum dari Persamaan (10) dikemukakan oleh CADIMA (dalam TROADEC 1976), terutama berlaku bagi berbagai stok ikan yang telah dieksploitasi tetapi dengan jumlah informasi tentang parameter populasi yang sangat terbatas. Estimasi nilai MSY model CADIMA dirumuskan sbb : MSY = 0.5(Z)(B) (11) dimana B adalah rata-rata biomassa tahunan, dan Z adalah laju kematian toal. Selanjutnya karena z = F + M dan Y = FB, maka bila tidak tersedia informasi tentang Z, Persamaan (11) dapat dirumuskan dalam bentuk :
75
Oseana, Volume XV No. 2, 1990
(12)
www.oseanografi.lipi.go.id
Dengan menggunakan Persamaan (5) nilai-duga biomassa ikan demersal per stratum kedalaman dapat dihitung. Demikian pula ragam dari masing-masing nilai-duga biomassa per stratum dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan (7). Selanjutnya dengan menggunakan Persamaan (10) estimasi MSY dapat diperkirakan, yakni dengan menganggap nilai M = 1, yakni sebagai nilai rata-rata mortalitas alami dari berbagai jenis ikan, dan dengan anggapan bahwa stok diluar kedalaman 20 m masih belum diusahakan secara intensif. Sehingga nilai-duga MSY:
SAEGER, J., P. MARTOSUBROTO, and D. PAULY. 1976. First report of the Indonesian-German demersal fisheries project (Result of a trawl survey in the Sunda Shelf area). Mar. Fish. Res. Rep/ Contr. of the Dem. Fish. Proj. No. 1, Jakarta, p. 1 - 46.
MSY = 0.5 (1) (605.6) x 1000 = 302.8 (x 1000 ton).
SEBER, G.A.F. 1982. The estimation of animal abundance and related parameters (2nd Edition). Macmillan Publ. Co., Inc., New York, USA. 664 p.
SCSP (South China Sea Development Programme) 1978. Report on the workshop on the demersal resources of the Sunda Shelf, Part 1. Manila, South China Sea Fisheries Development and Coordinating Programme, SCS/GEN/77J12 : 44 P.
SHINDO, S. 1973. General review of the trawl fishery and the demersal fish stocks of the South China Sea. FAO Fish t Tech. Pap. (120): 49 p.
DAFTARPUSTAKA ANTON, H. 1984. Elementary linear algebra (fourth Edition). John Wiley & Sons, New York, USA. 403 p. GULLAND, J.A. (Comp.). 1971 The fish resources of the ocean West. Byfleet, Surrey, Fishing New (Books), Ltd., for FAO. 255 p. Rev. ed. of FAOFish. Tech. /ty? (97): 425 p. (1970). HAYES, M.L. 1983. Active fish capture methods. In : Fisheries techniques (NIELSEN and JOHNSON eds.) p. 123 145. Southern Printing Co., Inc., Blackbury, Virginia, USA. 468 p. ISARANKURA, A. 1971. Assessment of stocks of demersal fish off the west coast of Thailand and Malaysia. Rome, FAO, IOFC/DEV/71/2Q. 20 p. PAULY, D. 1980a. A selection of simple methods for the assessment of tropical fish stocks. FAO Fish. Grc. (729): 54 p. PAULY, D. 1980b. On the relationships between natural mortality, growth parameters, and environmental temperature in 175 fish stocks. Cons. CIEM 39 (2) : 175 - 192.
SPARRE, P., E. URSIN, and S.C. VENEMA. 1989. Introduction to tropical fish stock assessment Part 1 — Manual. FAO Fish. Tech. Pap. 301.1. Rome. 337 p. THOMAS, G.B. and R.L. FINNEY. 1982. Calculus and analytic geometry (5th Edition). Addison-Wesley Publ. Co., Menlo Park, California, USA. 891 p. TROADEC, J. P. 1976. Semi-quantitative methods of assessment, p. 99 — 109, FAO Fish. Circ.. 701.122 p. WIDODO, J. 1980. Potensi dan pengelolaan sumberdaya perikanan demersal di Laut Jawa di luar kedalaman 20 meter. Tesis Magister Sains, Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Iingkungan, IPB, Bogor. 161 hal.
76
Oseana, Volume XV No. 2, 1990