ISSN: 1693-1246 Juli 2013
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 (2013) 151-162 http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jpfi
PERKEMBANGAN POLA PEMECAHAN MASALAH ANAK USIA SEKOLAH DALAM MEMECAHKAN PERMASALAHAN ILMU PENGETAHUAN ALAM THE PATTERN OF DEVELOPMENT OF SCHOOL-AGE CHILDREN TROUBLESHOOTING SOLVING PROBLEMS IN THE NATURAL SCIENCES E. Juliyanto1*, S. E. Nugroho2, P. Marwoto2 1
Prodi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Cenderawasih, Jayapura, Indonesia 2 Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang, Indonesia Diterima: 23 Mei 2013. Disetujui: 26 Juni 2013. Dipublikasikan: Juli 2013 ABSTRAK
Penelitian yang mengungkap pola pemecahan masalah sudah banyak dilakukan, tetapi belum ada yang mengungkap perkembangan pola pemecahan masalah manusia, khususnya untuk pemecahan masalah dalam bidang fisika. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan pola pemecahan masalah pada anak usia sekolah. Data penelitian diperoleh melalui tes tertulis dan wawancara dengan mengajukan permasalahan yang berkaitan dengan fisika dalam kehidupan sehari-hari. Jenis Penelitian ini adalah studi perkembangan dengan metode Cross-Sectional. Subyek penelitian ini berjumlah 25 orang anak usia sekolah kelas IV SD hingga kelas XII SMA, dengan mengambil tiga orang setiap tingkatan kelas kecuali kelas XII SMA yang hanya diambil satu orang. Hasil studi ini menunjukkan pada anak rentang kelas IV SD hingga XII SMA ditemukan empat pola pemecahan masalah, yaitu Intuitive Problem Solving, Primitive Problem Solving, Hipotetic Problem Solving, dan Expert Problem Solving. Pola-pola tersebut menunjukkan sebuah tahapan perkembangan pemecahan masalah pada anak usia sekolah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemampuan memecahkan masalah berkembang seiring perkembangan manusia. ABSTRACT There are many study to reveal pattern of problem solving, but there is no study that reveal the development of human problem solving, especially in physics problem solving. This study aims at describing the development of problem solving pattern of school-age children. Data were obtained through a written test and interview by asking question related to daily physics problem. This study was study of the development that used the Cross-Sectional method. Subject of this study were 25 school-age children of fourth grade until twelfth grade. There were three students taken from each grade level except the twelfth grade which was only supports by onestudent. Results of this study showed that there were four patterns of problem solving of fourth grade until twelfth grade children, those were Intuitive Problem Solving, Primitive Problem Solving, Hipotetic Problem Solving, and Expert Problem Solving. This patterns showed a stage of problem solving development of school-age children. It was concluded that problem solving ability grows during the development of human. © 2013 Jurusan Fisika FMIPA UNNES Semarang Keywords: Problem Solving Skills; Pattern of Problem Solving; Natural Science
*Alamat Korespondensi: Kampus Uncen Abepura Jayapura, Republik Indonesia E-mail:
[email protected] Mobile Phone: (+62967) 582805, 587713
152
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 (2013) 151-162
PENDAHULUAN Ellis menyatakan bahwa kemampuan berpikir meliputi kemampuan memecahkan masalah (problem solving skills), kemampuan berpikir kritis (critical thinking skills), kemampuan berpikir kreatif (creative thinking skills), kemampuan membuat keputusan (decision making), pengkonsepan (conceptualizing) dan pemrosesan informasi (information processing) (Carson, 2007). Kemampuan memecahkan masalah paling sering digunakan dalam dunia kerja dibandingkan kemampuan berpikir lainnya. Hasil survei American Institute of Physics menunjukkan bahwa lulusan fisika (sarjana dan pascasarjana) menggunakan kemampuan memecahkan masalah dengan frekuensi tertinggi dibandingkan dengan kemampuan lain, yaitu lebih dari 90%, dalam bidang pekerjaan yang disurvei (bidang indutri, bidang sektor otonom swasta, bidang pemerintahan dan bidang pendidikan) (Heuvelen, 2001). Hal yang sama juga disampaikan oleh Mourtos, Okamoto, dan Rhee, yang menyatakan bahwa kemampuan memecahkan masalah sangat dibutuhkan dalam banyak profesi (Mourtos et al., 2004). Ada beberapa langkah dalam pemecahan masalah, Woods et al. (1997) manyatakan langkah pemecahan masalah terdiri atas: mendefinisikan masalah, mengeksplorasi masalah, merencanakan solusi, melaksanakan rencana solusi, mengecek solusi, dan mengevaluasi/ merefleksi).Langkah yang lain menurut Polya langkah pemecahan masalah terdiri dari: memahami masalah, merancang rencana, melaksanakan rencana, melihat kembali (Polya, 1988). Menurut Krulik dan Rudnick proses pemecahan masalah terdiri dari: Read, Explore, Select a Strategy, Solve, dan Review and Extend (Carson, 2007). Proses pemecahan masalah yang mendekati proses penyelidikan ilmiah dikemukakan oleh Dewey, meliputi: mengidentifikasi dan merumuskan masalah, mengemukakan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan mengambil kesimpulan (Dewey, 1933). Proses pemecahan masalah ini didasarkan pada proses ilmiah. Proses pemecahan masalah ini sering digunakan sebagai indikator kemampuan memecahkan masalah dalam pembelajaran IPA. Selain itu ada proses pemecahan lain, yang dikemukakan oleh Karl Albrecht (Nasution, 2009). Langkah proses pemecahan masalah ini terdiri dari 6 langkah yang dikelompokkan menjadi dua fase. Fase pertama adalah Ekspansi/Fase Divergen, yang langkahnya ter-
diri dari: menemukan masalah, merumuskan masalah, mencari-cari pilihan atau alternative. Fase kedua adalah Penyelesaian/Fase Konvergen, yang langkahnya terdiri dari: mengambil keputusan, mengambil tindakan, mengevaluasi hasil. Kemampuan memecahkan masalah seorang individu sangat dipengaruhi oleh kemampuan berpikirnya. Joyce, Weil, dan Calhoun berpendapat bahwa tingkat perkembangan berpikir manusia mempengaruhi cara pandangnya terhadap lingkungannya (alam dan sesama manusia), permasalahan yang dihadapi, dan konsep-konsep yang berada di lingkungannya (Papalia et al., 2009a). Pada umumnya, manusia yang berada pada tingkat perkembangan berpikir rendah menggunakan sedikit konsep untuk memahami lingkungannya dan cenderung memiliki pandangan yang dikotomis (benar atau salah). Mereka cenderung menutup diri terhadap kemungkinankemungkinan baru di luar pengetahuannya dalam penyelesaian masalah. Orang dengan tingkat perkembangan berpikir rendah sulit bekerja sama dengan orang lain karena mereka sulit menerima pendapat orang lain. Selain itu, orang dengan tingkat berpikir rendah mudah putus asa dalam memecahkan masalah karena tertutup terhadap solusi di luar yang dipikirkannya. Berbeda dengan manusia yang berada pada tingkat perkembangan berpikir rendah, manusia yang berada pada tingkat perkembangan berpikir tinggi lebih baik dalam mengembangkan kemampuan pemaduan informasi. Mereka tidak berpikir miopi dan dapat bertoleransi dengan pandangan lain yang berbeda dan lebih baik. Mereka terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan solusi baru dalam penyelesaian masalah yang dihadapinya. Orang dengan tingkat berpikir tinggi mudah bekerja sama dengan orang lain karena mereka terbuka terhadap pendapat di luar pemikirannya. Mereka selalu punya solusi alternatif terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kemampuan berpikir menunjang performa seseorang dalam pekerjaannya yang berkaitan dengan kemampuan memecahkan masalah dan bekerja sama dengan orang lain. Jika kemampuan berpikir mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah, maka kemampuan memecahkan masalah berkembang seiring perkembangan kemampuan berpikir. Teori perkembangan kognitif piaget menyatakan bahwa kemampuan berpikir manusia berkembang (Papalia,
E. Juliyanto dkk. - Perkembangan Pola Pemecahan Masalah Anak Usia Sekolah ... 153
2009a; Papalia, 2009b; Santrock, 2007; Santrock, 2011). Penelitian yang mengungkap pola pemecahan masalah sudah banyak dilakukan (Chi et al., 1981; Zhu, 2007; Abdullah, 2009; Nugroho, 2010). Namun, penelitian-penelitian tersebut belum ada yang mengungkap perkembangan pola pemecahan masalah beberapa jenjang pendidikan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola pemecahan masalah anak kelas IV SD hingga kelas XII SMA. METODE Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Jenis penelitian deskriptif dalam penelitian ini tergolong dalam jenis studi perkembangan (Ary et al., 1982). Metode yang digunakan dalam studi perkembangan ini adalah metode Cross-Sectional. Metode ini menyelidiki subyek penelitian dari berbagai tingkatan usia pada waktu yang sama. Kelemahan metode ini adalah perbedaan yang mungkin terjadi di antara responden yang dipilih dapat menghasilkan bias penelitian. Untuk mengatasi kelemahan tersebut biasanya diambil jumlah responden yang banyak. Penelitian ini tidak menggunakan cara tersebut karena keterbatasan waktu. Kelemahan tersebut diatasi dengan cara pemilihan responden penelitian yang masih berada pada level rata-rata meskipun ada variasi. Jenis penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis The Investigation of Lived Experience dengan tipe Cognitive Psychology (Gall et al., 2003). Jenis penelitian The Investigation of Lived Experience adalah penelitian kualitatif yang menggali inner experience, sedangkan tipe Cognitive Psychology adalah penelitian kualitatif jenis The Investigation of Lived Experience yang menggali struktur dan proses yang melibatkan aktifitas mental, bagaimana struktur dan proses tersebut dipelajari, dan bagaimana membangun pendewasaan. Penelitian yang tergolong Cognitive Psychology adalah penelitian tentang persepsi, memori, perhatian, kemampuan berpikir dan kemampuan memecahkan masalah.
Subyek Penelitian Subyek penelitian ini peserta didik sekolah yang mempelajari IPA, yaitu kelas 4 SD sampai kelas 3 SMA jurusan IPA. Subyek dikelompokkan berdasarkan umur dan kelasnya. Penentuan responden dilakukan dengan dua tahap. Langkah pertama dengan operational construct sampling, yang menentukan responden berdasarkan tingkatan kelas. Masingmasing tingkatan kelas diambil tiga. Selanjutnya, untuk menentukan tiga responden untuk masing-masing tingkatan kelas dilakukan dengan cara maximum variation sampling. Tiga responden tersebut memenuhi variasi kemampuan akademik tinggi, sedang dan rendah. Kemampuan akademik yang dimaksud di sini adalah hasil belajar yang dilihat dari raport. Baik operational construct sampling maupun maximum variation sampling tergolong teknik penentuan responden dengan cara Purposeful Sampling (Gall et al., 2003). Semua data pada penelitian ini berasal dari data primer. Data diperoleh langsung dari responden. Data penelitian berbentuk lisan dan tulis. Untuk memahami data dan sumber data penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Penelitian ini menggunakan data primer karena penelitian Cognitive Psychology tidak memungkinkan mendapatkan data yang valid dari data sekunder. Metode pengumpulan data kemampuan memecahkan masalah dilakukan dengan dua cara, yaitu metode tes dan metode wawancara. Tes yang digunakan untuk mengungkap perkembangan kemampuan memecahkan masalah terdiri dari dua tipe, yaitu tipe I yang mengukur kemampuan memecahkan masalah secara holistik dan tipe II yang mengukur setiap indikator kemampuan memecahkan masalah. Tes kemampuan memecahkan masalah tipe I bertujuan untuk menemukan perkembangan pola pemecahan masalah. Tes kemampuan memecahkan masalah tipe II bertujuan mengungkap kemampuan memecahkan masalah berdasarkan penguasaan indikator pemecahan masalah. Indikator pemecahan masalah
Tabel 1. Data dan Sumber Data Penelitian. No. Data Penelitian 1. Tes Kemampuan Memecahkan Masalah (Bagian I) 2. Tes Kemampuan Memecahkan Masalah (Bagian II) 3. Wawancara Kemampuan Memecahkan Masalah 4. Biodata Responden
Sumber Data Primer Primer Primer Primer
Bentuk Data Tulis + Lisan Tulis Lisan Tulis
154
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 (2013) 151-162
menggunakan indikator kemampuan memecahkan yang dikemukakan Dewey [1933]. Tes kemampuan memecahkan masalah tipe II dikembangkan berdasarkan indikator pemecahan masalah oleh Dewey [1933]. Metode wawancara bertujuan untuk mengungkap pola perkembangan memecahkan masalah yang berkaitan dengan permasalahan sehari-hari. Topik wawancara berkaitan dengan apa yang dilakukan ketika menonton TV, tiba-tiba TV mati. Hasil wawancara akan dikonsultasikan dengan tes kemampuan memecahkan masalah untuk dijadikan bahan analisis. Selain itu, metode wawancara digunakan untuk menggali tipe pemecahan masalah yang digunakan responden adalah exercise solving atau problem solving. Syarat kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas harus dipenuhi oleh data penelitian kualitatif (Sugiyono, 2006). Validitas, validitas eksternal, reliabilitas dan obyektivitas, yang digunakan pada penelitian kuantitatif digantikan oleh kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas pada penelitian kualitatif (Guba & Lincoln, 1985). Pada penelitian ini, kredibilitas data dapat dipenuhi dengan teknik triangulasi data. Transferabilitas data diperoleh dengan cara mendeskripsikan data secara rinci. Pada penelitian ini, dependabilitas data ditempuh dengan cara mengambil 3 sampel untuk setiap tingkatan kelas. Konfirmabilitas data diperoleh dengan cara menghindari subyektivitas peneliti dalam pengumpulan data dengan cara membuat pedoman wawancara, membuat pedoman penilaian tes, dan menyajikan data apa adanya. Teknik Analisis Data Proses analisis data penelitian ini diadaptasi dari metode perbandingan tetap yang disajikan oleh Moleong (2012). Proses analisis data dilakukan dengan langkah-langkah 1) mengolah data tes, 2) membuat transkripsi wawancara, 3) mendeskripsikan responden secara rinci berdasarkan data hasil tes dan wawancara, 4) mereduksi data, 5) katagorisasi dan pengkodean pola pemecahan masalah, 6) mendeskripsikan kemampuan berpikir setiap katagori pola pemecahan masalah yang ditemukan, 7) mengGambarkan pola umum kemampuan memecahkan masalah, 8) menganalisis pola dan temuan penting, 9) mengelompokkan katagori berdasarkan tingkat perkembangan, 10) menyusun pola kemampuan berpikir dan pola pemecahan masalah berda-
sarkan tingkat perkembangan, 11) menganalisis tipe inkuiri berdasarkan pola kemampuan berpikir dan pola pemecahan masalah, 12) membuat kesimpulan. HASIL Temuan Pola-Pola Pemecahan Masalah Berdasarkan hasil deskripsi responden dalam memecahkan masalah ditemukan empat pola pemecahan masalah. Keempat pola pemecahan masalah tersebut memiliki perbedaan yang mendasar dalam cara pengambilan kesimpulan. Keempat pola tersebut berturutturut diberi nama Intuitive Problem Solving, Primitive Problem Solving, Hypothetic Problem Solving, dan Expert Problem Solving. Pemberian nama berdasarkan cara menarik kesimpulan. Intuitive Problem Solving Intuitive Problem Solving merupakan proses pemecahan masalah yang bersifat intuitif. Responden tidak mampu memberikan penjelasan rasional terhadap solusi yang diajukan, tetapi responden merasa yakin dengan jawaban tersebut.. Proses Intuitive Problem Solving dimulai dengan responden memahami permasalahan. Setelah responden memahami permasalahan, responden memperoleh data awal. Data awal yang diperoleh responden memunculkan intuisi pada responden, yang mana intuisi tersebut dijadikan dasar untuk menentukan solusi. Untuk lebih memahami proses Intuitive Problem Solving, disajikan sintaks Intuitive Problem Solving pada Gambar 1. Memahami Permasalahan Data Awal / Fakta Intuisi Menentukan Solusi
Solusi
Gambar 1. Sintaks Intuitive Problem Solving. Pola ini hanya muncul pada anak kelas IV SD. Dari 3 responden kelas IV SD, 2 respon-
E. Juliyanto dkk. - Perkembangan Pola Pemecahan Masalah Anak Usia Sekolah ... 155
den menggunakan pola ini dalam memecahkan masalah, yaitu responden kode 4.A dan 4.C. Sebagai contoh ketika 4.A menyelesaikan permasalahan “Mengemas Telur”, 4.C yakin bahwa 24 telur tidak akan cukup jika dikemas ke dalam 3 kardus kecil. Namun, ketika 4.C diminta untuk memberikan penjelasan atas jawaban tersebut, 4.C tidak mampu memberikan penjelasan logis. Berikut petikan wawancara pendalaman permasalahan “Mengemas Telur” terhadap 4.C. R: Saya akan meminta kardus kecil lagi kalau tiga kardus kecil tidak akan muat dan telur akan pecah. A: Mengapa anda meminta kardus lagi? R: Kan kalau biasanya telurnya kebanyakan bisa pecah. A: Koq bisa tahu kalau telurnya kebanyakan? R: Karena kebanyakan. A: Menurut anda kalau 24 telur ini dimasukkan ke dalam 3 kardus kecil, muat atau tidak? R: Tidak. A: Mengapa tidak muat? R: Karena telurnya besar-besar. Dari data di atas, dapat dilihat bahwa 4.C cenderung intuitif dalam memecahkan masalah. Responden 4.C mengawali pemecahan masalah dengan memahami permasalahan sehingga memperoleh beberapa informasi/data awal. Data awal yang diperoleh 4.C menimbulkan intuisi, yaitu 4.C merasa yakin bahwa 24 telur akan terlalu banyak jika dimasukkan ke dalam 3 kardus kecil, sehingga 4.C mengajukan solusi untuk meminta satu kardus tambahan. Ketika 4.C diminta memberikan penjelasan atas solusi yang diajukan, 4.C tidak mampu memberikan penjelasan logis. Alasan mengapa 4.C cenderung intuitif dalam memecahkan masalah dapat dijelaskan dengan hasil tes kemampuan memecahkan masalah bagian II terhadap 4.C yang tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil Tes Kemampuan Memecahkan Masalah Bagian II Responden 4.C
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa 4.C tidak menguasai kecakapan-kecakapan yang diperlukan untuk memecahkan masalah, sehingga dalam memecahkan masalah 4.C menggunakan intuisi. Primitive Problem Solving Primitive Problem Solving merupakan proses pemecahan masalah sederhana yang menarik kesimpulan dari data awal. Responden memulai proses pemecahan masalah dengan memahami permasalahan. Responden memperoleh data awal, setelah responden memahami permasalahan. Responden menarik kesimpulan dari data awal. Kesimpulan tersebut dijadikan dasar untuk menentukan solusi. Untuk lebih memahami proses Primitive Problem Solving, disajikan sintaks Primitive Problem Solving pada Gambar 3. Memahami Permasalahan
Data Awal / Fakta Menarik Kesimpulan
Menentukan Solusi
Solusi
Gambar 3. Sintaks Primitive Problem Solving. Pola ini muncul pada anak kelas V SD sampai VII SMP. Sebagai contoh, saat 7.C menyelesaikan permasalahan “Mengantar Barang” berikut ini. R: Kan diminta mengantarkan barang massanya 63 ton, keadaan tanpa muatan kapal tersebut memiliki massa 73 ton. Volume total 110 m3. Menyesuaikan agar muat ruangannya. A: Kalau ternyata ruangannya tidak cukup? R: Menambah ruangan. A: Kan ruangan kapal tidak bisa ditambah? R: Apa ya? A: Kan boleh diangkut lebih dari 1 kali. R: Menyesuaikan ruangannya itu. Menata supaya muat. A: Kalau setelah ditata tidak muat. R: Massanya dikurangi. Dari data di atas terlihat 7.C tidak mem-
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 (2013) 151-162
156
perkirakan apakah aman dan apakah muat jika semua barang tersebut dimasukkan ke dalam kapal. Temuan pola Primitive Problem Solving pada 7.C didukung oleh data hasil tes kemampuan memecahkan masalah terhadap 7.C yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hasil Tes Kemampuan Memecahkan Masalah Bagian II Responden 7.C Dari data di atas dapat dilihat bahwa responden belum punya kemampuan dalam berhipotesis, sehingga 7.C tidak membangun dugaan dalam proses menentukan solusi. Hypothetic Problem Solving Memahami Permasalahan Data Awal / Fakta
Dugaan Menarik Kesimpulan Menentukan Solusi Solusi
Gambar 5. Sintaks Hypothetic Problem Solving. Hypothetic Problem Solving adalah proses pemecahan masalah yang didasarkan pada hipotesis tanpa melakukan uji hipotesis. Responden memulai proses pemecahan masalah dengan memahami permasalahan.
Responden memperoleh data awal, setelah responden memahami permasalahan. Setelah mendapat data awal, muncul dugaan/hipotesis pada responden. Responden menarik kesimpulan dari hipotesis tanpa uji hipotesis. Kesimpulan tersebut dijadikan dasar untuk menentukan solusi. Untuk lebih memahami proses Hypothetic Problem Solving, disajikan sintaks Hypothetic Problem Solving pada Gambar 5. Pola ini muncul pada rentang antara kelas VI SD sampai kelas XI SMA. Sebagai contoh, pola ini ditemukan saat 8.B memecahkan permasalahan “Mengantar Barang” yang terdokumentasi dalam petikan wawancara berikut. R: Tetap diantar. Kalau kapal kelebihan muatan tidak akan tenggelam selama masih ada udaranya. Kecuali kapalnya bocor, air bisa masuk. A: Menurut anda, apa yang menyebabkan kapal bisa terapung, melayang dan tenggelam. R: Setahu saya seperti kapal selam. Modelnya kalau dia mau naik, pasti kapasitas udaranya ditambah. Mengambil konsep ikan kalau naik turun. Kalau mau naik diisi udaranya, kalau mau turun dikurangi. A: Kalau semua bagian kapal sudah tidak ada ruang kosong untuk udara karena sudah terisi oleh barang? R: Tapi kalau di soal ini kan hanya 63 ton, pasti masih ada sisanya. Karena kapal seberat 73 ton volumenya 110 m3. Lebih kurang masih ada sisanya. A: Kalau ternyata memang sama sekali tak ada sisa ruangan? R: Kapal itu didesain selalu masih ada sisa raung untuk udara. Dari data di atas dapat dilihat bahwa setelah 8.B memahami permasalahan dan mendapatkan data awal, 8.B memunculkan hipotesis bahwa “Kalau kapal kelebihan muatan tidak akan tenggelam selama masih ada udaranya.” 8.B tidak berusaha untuk membuktikan hipotesis, tetapi langsung menarik hipotesis sebagai kesimpulan untuk dijadikan dasar menentukan solusi. Berdasarkan hasil tes kemampuan memecahkan masalah bagian II, sebenarnya 8.B memiliki kemampuan yang baik dalam memecahkan masalah seperti yang tersaji pada Gambar 6.
E. Juliyanto dkk. - Perkembangan Pola Pemecahan Masalah Anak Usia Sekolah ... 157 Memahami Permasalahan Data Awal / Fakta Dugaan/ Hipotesis Mengumpulkan Data
Gambar 6. Hasil Tes Kemampuan Memecahkan Masalah Bagian II Responden 8.B Meskipun 8.B memiliki kemampuan yang baik dalam memecahkan masalah, responden belum mampu mempergunakan kemampuan tersebut dengan baik dalam memecahkan masalah. Pola pemecahan masalah Hypothetic Problem Solving membutuhkan penguasaan materi subyek permasalahan. Hal ini didukung oleh data pola pemecahan masalah 9.C. Pada 9.C ditemukan dua pola pemecahan masalah yang berbeda. Pada saat 9.C memecahkan permasalahan yang bersifat umum dan tidak membutuhkan penguasaan materi subyek, 9.C menggunakan pola Hypothetic Problem Solving. Namun 9.C menggunakan pola Primitive Problem Solving saat memecahkan masalah yang membutuhkan penguasaan materi subyek. Expert Problem Solving Expert Problem Solving merupakan pola pemecahan yang paling tinggi yang digunakan para ilmwan dalam memecahkan permasalahan. Responden memulai proses pemecahan masalah dengan memahami permasalahan. Responden memperoleh data awal, setelah responden memahami permasalahan. Setelah mendapat data awal, muncul dugaan/hipotesis pada responden. Selanjutnya, responden mengumpulkan data yang diperlukan untuk menguji hipotesis. Responden menarik kesimpulan dari hasil uji hipotesis. Kesimpulan tersebut dijadikan dasar untuk menentukan solusi. Untuk lebih memahami proses Expert Problem Solving, disajikan sintaks Expert Problem Solving pada Gambar 7.
Tidak Uji Hipotesis Ya Menarik Kesimpulan Menentukan Solusi Solusi
Gambar 7. Sintaks Expert Problem Solving Pola ini mulai muncul pada anak sekolah kelas VIII SMP hingga kelas XII SMA. Sebagai contoh, pola ini digunakan 11.A untuk menyelesaikan 3 permasalahan pada tes kemampuan memecahkan masalah bagian I, yaitu “Mengemas Telur”, “Mengantar Barang”, dan “Memindahkan Lemari”. Responden 11.A menggunakan pola Expert Problem Solving 11.A dalam menyelesaikan permasalahan “Memindahkan Lemari”. Pemecahan masalah diawali dengan memahami permasalahan dan memperoleh data awal. Responden 11.A membuktikan bahwa tiga orang yang berada di rumah tidak kuat mendorong lemari. Dengan demikian, sebenarnya 11.A punya dugaan apakah ketiga orang tersebut cukup kuat untuk mendorong lemari atau tidak. 11.A menentukan solusi berdasarkan kesimpulan bahwa ketiga orang tersebut tidak cukup untuk mendorong lemari. Berikut petikan transkrip wawancara “Memindahkan Lemari”. R: Sebenarnya saya agak lupa. Gaya gesek antara lemari dan lantai maksimal ada 2000 N. A: Bagaimana sifat gaya gesek ini? R: Melawan gaya yang diberikan.
158
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 (2013) 151-162
A: Kalau misal diberikan gaya 1500 N? R: Masih belum bisa. R: Kalau misal saya, ibu dan adik dorong itu 1510 N, belum cukup. Yang pertama saya lakukan mendorong dari sisi pojok lemari. Karena saya pernah menghitung bahwa titik berat menyabar ke segala arah. Jadi semakin jauh dari pusat titik beratnya itu gaya yang diberikan semakin kecil, Meskipun tidak begitu signifikan, cuma lebih kecil untuk dipinggirnya. Kedua saya kasih minyak untuk memperkecil gaya gesek. Kan kalau diangkat terlalu berat. Diteteskan dipinggirnya atau disemprotkan. Responden 11.A menggunakan pola di atas dalam memecahkan masalah karena didukung kemampuan memecahkan masalah yang cukup. Hal tersebut dibuktikan oleh hasil tes kemampuan memecahkan masalah bagian II yang disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Hasil Tes Kemampuan Memecahkan Masalah Bagian II Responden 11.A. Dari hasil tes di atas dapat dilihat bahwa 11.A memiliki kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Sama halnya dengan pola Hypothetic Problem Solving, pola Expert Problem Solving juga membutuhkan penguasaan materi subyek. Selain digunakan untuk membangun hipotesis, pola Expert Problem Solving membutuhkan penguasaan materi subyek untuk mengumpulkan data dan menguji hipotesis. Hal ini didukung oleh data kemampuan memecahkan masalah 12.A. Pada 12.A ditemukan dua pola pemecahan masalah, yaitu Hypothetic Problem Solving dan Expert Problem Solving. Pada saat 12.A menyelesaikan permasalahan yang tidak membutuhkan penguasaan materi subyek dan permasalahan yang materi subyeknya dikuasai, 12.A menggunakan pola Expert Problem Solving dalam memecahkan masalah. Namun, saat 12.A menyelesaikan permasalahan yang materi subyeknya tidak dikuasai dengan baik, 12.A menggunakan pola Hypothetic Problem Solving.
Sejauh ini, penelitian terhadap pola pemecahan masalah masih mencari perbandingan pola pemecahan masalah oleh “ahli” dan “pemula” (Zhu, 2007). Sampai saat ini, belum ditemukan penelitian yang mendeskripsikan pola pemecahan masalah berdasarkan perkembangan anak. Berikut ini akan dibandingkan pola Expert Problem Solving yang ditemukan pada penelitian ini dengan teori pemecahan masalah sebelumnya, yang disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan Tabel 2 pola yang ditemukan pada penelitian ini lebih kompleks dari pada teori pemecahan masalah Dewey (1933), Woods et al. (1997), Polya (1988). Pola pemecahan masalah yang dikemukakan Polya (1988) dan Woods et al. (1997) cenderung terlihat seperti Trial and Error karena harus melaksanakan solusi terlebih dahulu untuk mengetahui solusi tersebut efektif atau tidak. Pola pemecahan masalah yang ditemukan pada penelitian ini mengajukan solusi berdasarkan pengujian data. Hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa temuan pola pemecahan masalah pada penelitian ini lebih efektif dari pada teori pemecahan masalah yang ada. Pola pemecahan masalah yang ditemukan pada penelitian ini memiliki kesetaraan dengan pola pemecahan masalah yang ditemukan Abdullah (2009). Untuk melihat perbedaannya, maka dibuat perbandingan pola yang ditemukan Abdullah dengan pola yang ditemukan pada penelitian ini seperti yang disajikan pada Tabel 3. Jika diamati, pola-pola yang disajikan oleh Abdullah cenderung matematis [Abdullah, 2009). Pola yang disajikan Abdullah lebih cocok digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat teoritis dan matematis. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk melihat pola pemecahan masalah mahasiswa fisika dalam memecahkan permasalahan fisika (Abdullah, 2009). Berdasarkan Tabel 3 ada kesetaraan pola pemecahan masalah yang ditemukan pada penelitian ini dengan pola pemecahan masalah yang ditemukan oleh Abdullah (2009). Pola pertama pada penelitian ini tidak memiliki kesetaraan dengan pola yang dikemukakan Abdullah. Hal ini terjadi karena subyek penelitian Abdullah adalah mahasiswa, sehingga tidak ditemukan subyek penelitian yang memecahkan masalah dengan intuisi. Perkembangan Pola Pemecahan Masalah. Pola-pola pemecahan masalah di atas
E. Juliyanto dkk. - Perkembangan Pola Pemecahan Masalah Anak Usia Sekolah ... 159
TABEL 2. Perbandingan Pola Pemecahan Masalah Hasil Temuan Penelitian dengan Teori Pemecahan Masalah Sebelumnya Dewey [6] Polya [5] Woods et al. [4] Temuan Penelitian Mengidentifikasi dan merumuskan masalah
Memahami masalah
Mendefinisikan masalah
Memahami permasalahan
Mengeksplorasi masalah
Mengumpulkan data awal
Mengemukakan hipotesis
Merancang rencana
Merencanakan solusi
Mengumpulkan data
Melaksanakan rencana
Melaksanakan rencana solusi
Menguji hipotesis
Melihat kembali
Mengecek solusi
Menguji hipotesis
Mengevaluasi/ Merefleksi
Menarik kesimpulan
Mengambil kesimpulan
esis Mengumpulkan data
Menentukan Solusi TABEL 3. Perbandingan Pola Pemecahan Masalah Temuan Penelitian dengan Pola Pemecahan Masalah Abdullah (2009) Abdullah [14] Tipe Pola Sintaks
Tipe Pola Pola 1
Temuan Penelitian Sintaks 1. Memahami permasalahan. 2. Mengumpulkan data awal. 3. Berintuisi. 4. Menentukan solusi.
Pola 1
1. 2. 3. 4.
Reading. Planning. Calculating. Answering.
Pola 2
1. 2. 3. 4.
Memahami permasalahan. Mengumpulkan data awal. Menarik kesimpulan. Menentukan solusi.
Pola 2
1. 2. 3. 4. 5.
Reading. Planning. Calculating. Checking. Answering.
Pola 3
1. 2. 3. 4. 5.
Memahami permasalahan. Mengumpulkan data awal. Berhipotesis. Menarik kesimpulan. Menentukan solusi.
Pola 3
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Reading. Planning. Calculating. Checking. Answering. Checking.
Pola 4
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Memahami permasalahan. Mengumpulkan data awal. Berhipotesis. Mengumpulkan data. Menguji hipotesis. Menarik kesimpulan. Menentukan solusi.
ditemukan pada 25 responden yang diteliti. Rekapitulasi pola pemecahan masalah yang sedang berkembang pada responden disajikan pada tabel 4.
Ada kecenderungan perkembangan pada data di atas. Jika data di atas dicermati, ada kecenderungan responden yang berada
pada kelas kecil menggunakan pola yang lebih sederhana dari pada responden yang berada pada kelas besar. Untuk itu akan dideskripsikan perkembangan pola pemecahan masalah mulai kelas IV SD sampai kelas XII SMA. Tabel 5 menunjukkan bahwa pola pemecahan masalah yang digunakan manusia
160
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 (2013) 151-162
Tabel 4. Rekap Temuan Pola Pemecahan Masalah Subyek Penelitian No. Kode Responden Pola Pemecahan Masalah 1 4.A Intuitive Problem Solving 2 4.B Primitive Probelm Solving 3 4.C Intuitive Problem Solving 4 5.A Primitive Probelm Solving 5 5.B Primitive Probelm Solving 6 5.C Primitive Probelm Solving 7 6.A Hypothetic Problem Solving 8 6.B Hypothetic Problem Solving 9 6.C Hypothetic Problem Solving 10 7.A Primitive Probelm Solving 11 7.B Hypothetic Problem Solving 12 7.C Primitive Probelm Solving 13 8.A Hypothetic Problem Solving 14 8.B Hypothetic Problem Solving 15 8.C Expert Problem Solving 16 9.A Hypothetic Problem Solving 17 9.B Expert Problem Solving 18 9.C Hypothetic Problem Solving 19 10.A Expert Problem Solving 20 10.B Hypothetic Problem Solving 21 10.C Hypothetic Problem Solving 22 11.A Expert Problem Solving 23 11.B Primitive Probelm Solving 24 11.C Hypothetic Problem Solving 25 12.A Expert Problem Solving TABEL 5. Perkembangan Pola Pemecahan Masalah No. Kelas Usia 1. IV SD 10 tahun 2. V SD s/d VII SMP 11-13 tahun 3. VIII SMP s/d X SMA 14-16 tahun 4. XI s/d XII SMA 17-18 tahun
mengalami perkembangan. Anak yang berada pada kelas kecil menggunakan pola pemecahan yang lebih sederhana dari pada anak yang berada pada kelas tinggi. Berikut ini akan dibahas perkembangan pola pemecahan masalah peserta didik kelas IV SD hingga XII SMA. Pola pemecahan masalah anak kelas IV SD Pola pemecahan masalah yang digunakan anak kelas IV SD adalah Intuitive Problem Solving. Anak kelas IV SD masih mengandalkan intuisi dalam memecahkan permasalahan. Sub tahap pemikiran intuitif merupakan sub tahap kedua pada tahap per-
Pola Pemecahan Masalah Intuitive Problem Solving Primitive Problem Solving Hypothetic Problem Solving Expert Problem Solving
kembangan berpikir pra-operasional (Sactrock, 2007; 2011), sedangkan berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget seharusnya anak kelas IV SD berada pada tahap berpikir operasional konkret (Papalia et al., 2009b). Pemikiran intuitif muncul ketika seseorang tidak mampu menganalisis suatu permasalahan dengan baik (De Vries et al., 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anak kelas IV SD belum mampu bernalar dengan baik sehingga belum melakukan analisis. Hal ini yang menyebabkan anak kelas IV SD menggunakan pola Intuitive Problem Solving dalam memecahkan masalah.
E. Juliyanto dkk. - Perkembangan Pola Pemecahan Masalah Anak Usia Sekolah ... 161
Anak tidak menggunakan penalaran logis dalam pemecahan masalah yang menggunakan pola Intuitive Problem Solving. Anak cenderung mempercayai “kata hati” dalam mengambil keputusan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sadler-Smith dan Shefy yang menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh melalui pemikiran intuitif tidak menggunakan penalaran logis. Pola pemecahan masalah anak kelas V SD sampai VII SMP Pola pemecahan masalah yang digunakan anak kelas V SD sampai VII SMP adalah Primitive Problem Solving, yang menentukan solusi berdasarkan data awal permasalahan yang ditarik menjadi kesimpulan. Hal ini disebabkan karena anak pada usia ini belum mampu melakukan pemikiran yang berawal dari sebuah kemungkinan (berhipotesis). Anak pada rentang usia ini berada pada tahap perkembangan berpikir operasional konkret (Santrock, 2007; 2011), sehingga belum mampu berhipotesis. Penalaran yang dilakukan oleh anak pada rentang usia dibangun melalui fakta-fakta yang bisa diamati secara langsung. menyatakan anak pada rentang usia ini hanya mampu memecahkan masalah yang bersifat konkret (Papalia, 2009a). Anak pada rentang usia ini harus melihat elemen-elemen logis untuk membuat kesimpulan logis (Santrock, 2011), sehingga anak pada usia ini langsung menarik kesimpulan dari data awal. Hal ini disebabkan data awal pada permasalahan merupakan data yang bersifat konkret dan logis karena sudah tersaji. Pola pemecahan masalah anak kelas VIII SMP sampai X SMA Pola pemecahan masalah yang digunakan anak kelas VIII SMP sampai X SMA adalah Hypothetic Problem Solving. Anak yang memecahkan masalah dengan Hypothetic Problem Solving menentukan solusi berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hipotesis tanpa melalui tahap uji hipotesis. Kemampuan berhipotesis yang mulai berkembang menunjukkan anak mulai memasuki tahap berpikir operasional formal (Papalia et al., 2009b). Namun demikian, kemampuan identifikasi dan kontrol variabel yang diperlukan untuk menguji hipotesis belum berkembang. Hal ini yang menyebabkan anak pada rentang usia ini langsung menarik kesimpulan dari hipotesis tanpa melalui tahap uji hipotesis.
Fakta di atas menunjukkan bahwa anak pada rentang usia ini berada pada awal tahap berpikir operasional formal. Pada awal tahap berpikir operasional formal, kemampuan berhipotesis sudah mulai berkembang, tetapi kemampuan identifikasi dan kontrol variabel belum muncul. Hal ini sesuai dengan penelitian Schauble yang menunjukkan anak pra-remaja kurang sistematis dalam kemampuan identifikasi dan kontrol variabel, sehingga sering kali memvariasikan lebih dari satu variabel dalam satu waktu percobaan (Schauble, 1996). Pola pemecahan masalah anak kelas XI sampai XII SMA Pola pemecahan masalah yang digunakan anak kelas VIII SMP sampai X SMA adalah Expert Problem Solving. Anak yang menggunakan pola pemecahan masalah ini menentukan solusi berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari hasil pengujian hipotesis. Hanya anak yang sudah mencapai tahap berpikir operasional formal yang mampu memecahkan permasalahan dengan berhipotesis, kemudian menguji hipotesis tersebut atau yang biasa disebut pemikiran Hypothetical Deductive (Santrock, 2007). Anak pada rentang usia ini dimungkinkan berada pada tahap berpikir operasional formal (Papalia et al., 2009b; Santrock, 2007) [10,11,12], sehingga pola pemecahan masalah yang digunakan adalah Expert Problem Solving. Apabila ditemukan anak pada rentang usia ini menggunakan pola yang lebih sederhana dari pola Expert Problem Solving, maka dimungkinkan anak tersebut berada pada tahap berpikir yang lebih rendah dari operasional formal atau awal tahap berpikir operasional formal. PENUTUP Pola pemecahan masalah yang ditemukan pada penelitian yaitu Intuitive Problem Solving, Primitive Problem Solving, Hipotetic Problem Solving, dan Expert Problem Solving. Pola-pola tersebut menunjukkan sebuah tahapan perkembangan pemecahan masalah pada anak usia sekolah. Intuitive Problem Solving berkembang pada anak kelas IV SD, sedangkan Primitive Problem Solving berkembang pada anak kelas V SD hingga VII SMP. Dua tingkatan pola pemecahan masalah tersebut dimiliki oleh anak yang berada pada tingkat berpikir Empirical Induktif. Anak yang berada pada tingkat berpikir Empirical Induktif terdapat
162
Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 9 (2013) 151-162
dua tingkatan pola pemecahan masalah. Pertama, pola Hipotetic Problem Solving yang berkembang pada anak kelas VIII SMP hingga X SMA, dan tingkatan pola pemecahan masalah tertinggi adalah Expert Problem Solving yang berkembang pada anak kelas XI sampai XII SMA. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, F. A. P. B. 2009. The Patterns of Physics Problem Solving from the Perspective of Metacognition, Disertasi, University of Cambridge Ary, D., Jacobs, L. C., & Razavieh, A. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Terjemahan Arief Furchan, Surabaya: Usaha Nasional Carson, J. 2007. A Problem with Problem Solving: Teaching Thinking without Teaching Knowledge. The Mathematics Educator, 17(2):714. Chi, M. T. H., Feltovich, P. J. & Glasser, R. 1981. Catagorization and representastion of physics problems by expert and novices. Cognitive Science, 5: 121-152. De Vries, M., Holland, R., & Witteman, C.L.M. 2008. Fitting Decisions: Diffuse Affect and Intuitive Versus Deliberative Decision Strategies. Cognition and Emotion, 22:931–943 Dewey, J. 1933. How We Think, Boston: D. C. Heath Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, W. R. 2003. Educational Research: An Introduction (Seventh Edition), New York: Pearson Education, Inc Guba, E. G. & Lincoln, Y. S. (1985). Naturalistic Inquiry, Newbury Park: Sage Publications Heuvelen, A.A. 2001. Millikan Lecture 1999: The Workplace, Student Minds, and Physics Learning Systems. Am. J. Phys., 69(11): 1139-1146. Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. 2009. Models of Teaching (Terjemahan). Edisi Kedelapan, Yogyakarta: Pustaka Belajar Mourtos, N.J., Okamoto, N. D., & Rhee, J. 2004. Defining, Teaching and Assesing Problem Solving Skills. 7th UICEE Annual Conference on
Engineering Education. Mumbai, India, 9-13 Februari 2004. Moleong, L. J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi), Nasution, S. 2009. Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara Nugroho, S. E. 2009. Analisis Epistemologi Konsep Kelistrikan dan Kemagnetan pada Mahasiswa Calon Guru Fisika, Disertasi, Universitas Pendidikan Indonesia Papalia, D. E., Olds, S.W. & Feldmen, R.D. 2009a. Human Development Jilid 1 (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Papalia, D. E., Olds, S.W. & Feldmen, R.D. 2009b. Human Development Jilid 2 (Terjemahan), Jakarta: Penerbit Salemba Humanika Polya, G. 1988. How to Solve It: A New Aspect of Mathematical Method (2nd ed.), Princeton, NJ: Princeton University Press. Sadler-Smith, E. & Shefy, E. 2004. The Intuitive Executive: Understanding and Applying ‘Gut Feel’ in Decision-Making. Academy of Management Executive, 18(4): 76-91. Schauble, L. 1996. The Development of Scientific Reasoning in Knowledge-Rich Contexts. Developmental Psychology, 32: 102-119. Santrock, J. W. 2007. Perkembangan Anak Jilid 1. Terjemahan Mila Rachmawati dan Anna Kuswanti, Jakarta: Erlangga Santrock, J. W. 2011. Psikologi Pendidikan Jilid 1. Terjemahan Tri Wibowo, Jakarta: Kencana. Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta. Wood, D.R., Hrymak, A.N., Marshall, R.R., Wood, P.E., Crowe, C.M., Hoffman, T.W., Wright, J.D., Taylor, P.A., Woodhouse, K.A., & Bouchard, C.G.K. 1997. Developing Problem Solving Skills: The McMaster Problem Solving Program. Journal Of Engineering Education, 86 (2): 75-91. Zhu, Z. 2007. Gender differences in mathematical problem solving pattern: a review of literature. International Educational Journal, 8(2): 187-203. tion, Disertasi, University of Cambridge.