Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
PERIZINAN DALAM KEGIATAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA PASCA UNDANG-UNDANG MINERBA NO. 4 TAHUN 2009 Daud Silalahi dan Kristianto P H
FH UPAD, Bandung; FH Unika Atma Jaya, Jakarta
[email protected];
[email protected]
Abstract On 2009, Government of Indonesia has enacted new mining law No. 4 Year 2009. The Indonesian New Mining Law is the revision of the previous law which was considered not longer suitable with the mandate of Article 33 (3) of Indonesian Constitution. The New Indonesian Mining Law, ends the contract of works regime in mining activities in Indonesia. The New Indonesian Mining Law give stronger position for Government of Indonesia in mining activities toward Permits regime as the replacement of contract of works regime to permit regime. However, in establish mining activities in Indonesia required many related permits such as, environmental permit and land use permit, besides mining permit itself. In the practice, some mining activities has obtained permit from mining official but they cannot proceed they activities because, other governmental official did not grant the related permit. Moreover, regional autonomy as regulated by Law No. 32 Year 2004 has also raised potential conflict relating to the establishment of mining activities di Indonesia, especially in dealing with regional ego to increase their income. Therefore, the permits system which relating to mining activities need to be examine to understand the legal issues. Keywords: Indonesian Mining Law, Mining Permits, Regional Autonomy A. Pendahuluan Salah satu tujuan pembentukan negara Indonesia berdasarkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 adalah untuk memajukan kesejateraan umum. Atas dasar tujuan tersebut maka Pasal 33 ayat (3) dari UUD 1945 tersebut ditegaskan bagaimana cara memandang Bangsa Indonesia dalam 1
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
melihat keberadaan Sumber Daya Alam yang terdapat di wilayah yurisdiksi Indonesia. Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sehingga dapat dikatakan merupakan sumber hukum tertinggi dalam pengelolaan dan pengusahaan terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang ditujukan untuk mencapai salah satu tujuan bangsa Indonesia yaitu kesejahteraan rakyat. Lebih lanjut dalam pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) di atas lahirlah berbagai peraturan pelaksanaan yang merupakan aktualisasi dari ketentuan tersebut diantaranya adalah lahirnya Hak Menguasai Negara, sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undangundang Pokok Agraria (UUPA) tentang hak menguasai negara atas tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya hak menguasai negara tersebut disebutkan sebagai suatu wewenang untuk dipergunakan demi mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat. Hak menguasai ini merupakah suatu hal yang tepat, mengingat Indonesia merupakan suatu negara dengan kekayaan alam yang begitu variatif dan tersedia dalam jumlah yang memadai. Salah satu sumber daya alam yang dirasakan memiliki posisi yang strategis dan vital dalam memajukan perekonomian nasional adalah bahan tambang baik berupa mineral maupun batu-bara. Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang terkandung dalam bumi dan dalam air. Dalam bumi diartikan sebagai dipermukaan atau dibawah bumi. Di dalam air diartikan berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah bumi yang berair (sungai, danau, laut, rawa). Bahan galian tambang untuk sebagian didapati di atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang berada di bawah air. Oleh karena itu pengertian bahan galian harus diartikan baik yang diperoleh dengan menggali maupun dengan cara-cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk permukaan bumi yang ada di bawah air. 2
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
Bahan tambang yang dalam perundang-undangan disebut sebagai mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang memiliki peran vital dan strategis bagi hajat hidup orang banyak, yang pada gilirannya nanti diharapkan menjadi sarana bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari lahan yang mengandung mineral dan batubara. Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses eksploitasi (produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi yang memerlukan pengaturan agar pemanfaatannya tetap dapat memberikan nilai yang optimal bagi pencapaian kesejateraan masyarakat. Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat modal (high capital), padat risiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Hal tersebut menyebabkan kegiatan usaha pertambangan merupakan industri yang spesifik yang membutuhkan modal besar sehingga setiap pihak yang hendak melakukan kegiatan pertambangan sangat membutuhkan kepastian berusaha. Sejak UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional saat itu, telah terjadi perkembangan pemikiran kritis terhadap peran sumber daya alam terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang mencapai puncaknya pada gerakan reformasi politik, hukum dan ekonomi pada tahun 2000-an. Dalam menjawab perkembangan tuntutan perubahan tersebut dan jaminan kepastian hukum bagi para pelaku usaha di bidang pertambangan, maka sejak Tahun 2000-an dibentuk Tim Perumus RUU Pertambangan dari berbagai pakar terkait hingga lebih dari 8 tahun untuk membahas RUU Pertambangan. Barulah pada tahun 2009 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
Minerba), menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967). Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem kontrak karya sebagai bentuk hukum perjanjian menjadi sistem perizinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara. Permasalahan perizinan ini menjadi semakin menarik karena disaat yang hampir bersamaan, Pemerintah juga mengesahkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang merupakan undang-undang pengganti dari Undangundang Lingkungan Hidup yang lama Nomor 23 Tahun 1997 yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada pada pelaksanaannya. Dalam UUPPLH tersebut juga terdapat suatu rejim perizinan baru yang dinamakan ijin lingkungan. Keterkaitan antar kedua undang-undang ini merupakan perkembangan yang menarik dari sistem perizinan usaha pertambangan. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan pada bagian pendahuluan, maka permasalahan yang hendak diuraikan adalah bagaimana sistem perizinan kegiatan pertambangan pasca berbagai peraturan perundangundangan yang baru. C. Pembahasan 1. Perbedaan Materi Pokok UU No. 11 Tahun 1967 dengan UU No. 4 Tahun 2009 Setelah lebih dari 40 Tahun keberadaan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 dirasakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kegiatan pertambangan di Indonesia. Salah satu isu yang paling utama adalah minimnya kontribusi manfaat yang diperoleh masyarakat dari sektor pertambangan. Jika merujuk kembali pada Pasal 33 ayat (3) maka Penguasaan 4
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
SDA seharusnya ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Salah satu yang dianggap sebagai titik lemah dari UU Pertambangan yang lama adalah pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang didasarkan pada Kontrak Karya memberikan kedudukan yang kurang menguntungkan bagi Negara dalam memaksimalkan manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan. Adapun latar belakang pengaturan sistem Kontrak Karya pada awal kebijakan pertambangan pada tahun 1967 adalah sebagai upaya pemerintah dalam mendatangkan capital (modal) untuk melakukan pembangunan melalui sektor pertambangan dengan cara memberikan kontrak karya bagi pelaku usaha yang hendak melakukan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Dengan semakin kuatnya perekonomian nasional dan meningkatnya kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk mengembangkan kegiatan usaha pertambangan maka tuntutan perubahan kebijakan pengaturan kegiatan pertambangan telah menjadi agenda utama selama proses reformasi di bidang ekonomi dan hukum disertai dengan gerakan otonomi daerah untuk memberikan peranan yang lebih besar pada daerah saat itu. Sebagai bentuk penguatan lembaga negara dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan maka konsep perizinan yang menggantikan rejim kontrak diharapkan dapat memberikan posisi tawar yang lebih baik bagi pemerintah yang pada akhirnya diyakini dapat meningkatkan nilai manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Secara umum, Undang-undang Minerba yang baru memuat pokokpokok sebagai berikut: 1. Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha. 2. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia khususnya pengusaha lokal, koperasi, perseorangan, BUMN, BUMD, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. 5
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
3. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah. 4. Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. 5. Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kesil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan. 6. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip pelestarian lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat. 7. Perubahan kedudukan Negara dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan dari rejim kontrak yang memberikan kedudukan negara sejajar dengan pelaku usaha swasta menjadi beralih kepada rejim perizinan yang memberikan kedudukan negara lebih tinggi dari pelaku usaha. Dasar-dasar pokok pemikiran di atas tentunya memiliki beberapa perbedaan dengan Undang-undang pertambangan yang lama. Dalam membahas bagaimana rejim perizinan dalam kegiatan usaha pertambangan pasca lahirnya UU Minerba yang baru termasuk dengan UUPPLH maka dibawah ini akan diuraikan tabel perbandingan antara UU Pertambangan lama dengan UU Minerba yang baru. Dalam memahami perbedaan rejim ini dapat dibantu dengan memahami konteks perizinan terlebih dahulu, dimana terdapat beberapa pengertian yang dapat digunakan dalam memahami pengertian izin antara lain : Menurut Asep Warlan Izin adalah instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku masyarakat,1 sedangkan menurut Sjahran Basah2 izin adalah perbuatan hukum adminstrasi Negara 1 Juniarso R dan Achmad S., Hukum Tata Ruang dalam Konsep Otonomi Daerah, (Bandung : Nuansa, 2008), hal. 106 2 Sjahran Basah, Pencabutan Izin sebagai Salah Satu SanksiHhukum Administrasi Negara, (Surabaya: FH Unair, 1995), hal. 3
6
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal kontreo berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundangundangan yang berlaku. No 1. 2.
3.
4.
Materi Pokok
UU No.11 Tahun 1967
UU No.4 Tahun 2009
Tentang
Ketentuan Ketentuan Pertambangan Mineral dan Pokok Pertambangan Batubara Hak Penguasaan Penguasaan Bahan - Penguasaan Minerba Negara atas SDA Tambang diselenggarakan oleh Negara, yang Negara penyelenggaraannya (Pasal 1) dilakukan oleh Pemerintah dan atau Pemda (Pasal 4) - Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan pengutamaan minerba bagi kepentingan nasional (Pasal 5) - Data dan informasi adalah milik Pemerintah Penggolongan/ Penggolongan bahan - Pengelompokan usaha Pengelompokan galian strategis, vital, pertambangan : mineral bukan strategis bukan vital dan batubara (Pasal 3) - Penggolongan tambang mineral : radioaktif, logam, bukan logam, batuan (Pasal 34) Dasar Kegiatan Sistem/Rezim Kontrak Sistem/Rezim Perizinan, Usaha terdiri atas : terdiri atas : Kontrak Karya (KK), Ijin Usaha Pertambangan Kuasa Pertambangan (KP), (IUP), Ijin Pertambangan Surat Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Ijin Usaha Daerah (SIPD) dan Surat Pertambangan Khusus Ijin Pertambangan Rakyat (IUPK) (Pasal 35 (SIPR) (Pasal 10, 15)
7
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
No 5.
Materi Pokok Kewenangan Pengelolaan
6.
Wilayah Usaha Pertambangan
7.
Pelaku Usaha
UU No.11 Tahun 1967 -
Bahan galian strategis (gol.A) dan vital (gol.B) oleh Pemerintah - Bahan galian non strategis non vital (gol C) oleh Pemda Tkt.I / Provinsi (Pasal 4) Secara terinci tidak diatur, kecuali bahwa usaha pertambangan tidak berlokasi di tempat suci, kuburan, bangunan, dll (Pasal 16 ayat 3)
-
-
8
Investor Nasional/ domestic (PMDN), berupa : KP, SIPD, PKP2B Investor Asing (PMA), berupa : KK, PKP2B
UU No.4 Tahun 2009 - - -
21 kewenangan berada di pada Pusat 14 kewenangan berada di pada provinsi 12 kewenangan berada di pada kabupaten/kota (Pasal 6-8)
- Wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang nasional, yang ditetapkan pemerintah setelah koordinasi dengan Pemda dan DPR (Pasal 10) - Wilayah pertambangan terdiri atas : Pertambangan (WUP), Pertambangan rakyat (WPR) dan wilayah pencadangan nasional (WPN) Pasal 14 s/d 33 - IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN) , koperasi, perseorangan (Pasal 38) - IPR bagi penduduk lokal, koperasi (Pasal 67) - IUPK, bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia dgn prioritas pada BUMN/BUMD (Pasal 75)
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
No 8.
9.
10.
11.
Materi Pokok
UU No.11 Tahun 1967
UU No.4 Tahun 2009
Tahapan Kegiatan Terdapat 6 tahapan Terdiri 2 tahapan yaitu : yang membagi kuasa - Eksplorasi yang pertambangan atas : meliputi : penyelidikan Penyelidikan umum, umum, eksplorasi, studi eksplorasi, eksploitasi, kelayakan pengolahan & pemurnian, - Operasi produksi, yang pengangkutan, penjualan meliputi : konstruksi, penambangan, pengo(Pasal 14) lahan & pemurnian, pengangkutan dan penjualan (Pasal 36) Pembinaan & Terpusat di tangan - Pusat, provinsi, Pengawasan pemerintah atas pemegang kabupaten/kota sesuai KK, KP , PKP2B kewenangan terhadap pemegang IUP - K a b u p a t e n / K o t a terhadap IPR (Pasal 139-142) Penggunaan lahan Penggunaan lahan Pembatasan tanah yang diusahakan dan dilakukan pembatasan dapat memasuki tanah yang dapat sebelum tahap operasi produksi diusahakan. pemegang IUP/IUPK wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak. Tata cara Melalui mekanisme Perizinan dilakukan dengan perizinan permohonan lelang untuk mineral logam dan batubara, sedangkan untuk mineral bukan logam dan batuan perizinan dilakukan dengan permohonan wilayah
9
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
No
Materi Pokok
UU No.11 Tahun 1967
12.
Kewajiban Pelaku Kewajiban keuangan bagi Usaha Negara : - KP sesuai aturan yang berlaku : iuran tetap & royalty (merujuk PP No.45/2003 Tentang PNBP DESDM) - KK/PKP2B sesuai kontrak : untuk KK iuran tetap & royalty; untuk PKP2B : iuran tetap & DIIPB (merujuk pada Keppres No.75/1996 Tentang Ketentuan PKP2B)
13.
Jangka Waktu
14.
Penyidikan
10
Tidak diatur
UU No.4 Tahun 2009 Kewajiban keuangan bagi Negara: Pajak dan PNBP. Pemeliharaan lingkungan : konservasi, reklamasi (Pasal 96 s/d 100) Pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. (Pasal 103-104) Pemanfaatan tenaga kerja lokal, partisipasi pengusaha lokal, pengembangan masyarakat (Pasal 106-108) Penggunaan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional (Pasal 124) - IUP Eksplorasi mineral logam (8 tahun) terdiri dari Penyelidikan umum (1 tahun), Eksplorasi (3 tahun + 2x1 tahun) dan studi kelayakan (1+1 tahun) - IUP Eksplorasi Batubara (7 tahun) terdiri dari Penyelidikan Umum (1 tahun), Eksplorasi (2 tahun + 2x1 tahun) dan Studi Kelayakam (2 tahun) - IUP Operasi Produksi mineral dan Batubara (20 tahun + 2 x 10 tahun) terdiri dari konstrulsi (3 tahun) dan kegiatan penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan (17 tahun). Penyidik polri dan PPNS
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
No
Materi Pokok
UU No.11 Tahun 1967
UU No.4 Tahun 2009
15.
Ketentuan Pidana Ketentuan pidana diatur tetapi aturan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan situsi dan kondisi saat ini, sedangkan sanksi pidana / kurungan sangat lunak
Ketentuan pidana diatur sesuai dengan situasi dan kondisi dengan sanksi yang cukup keras. Apabila pidana dilakukan oleh badan Hukum maka sanksi dan denda ditambah 1/3
16.
Ketentuan Peralihan
Pasal 169, pada saat UU ini mulai berlaku : - Existing tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak / perjanjian, namun point b menyebutkan : yang - Ketentuan tercantum dalam pasal KK dan PKP2B dimaksud disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan, kecuali mengenai penerimaan Negara.
Pasal 35:” Semua hak pertambangan dan KP perusahaan Negara, swasta, badan lain atau perseorangan berdasarkan peraturan yang ada sebelum saat berlakunya UU ini, tetap dijalankan sampai sejauh masa berlakunya, kecuali ada penetapan lain menurut PP yang dikeluarkan berdasarkan UU ini .”
Dari beberapa ketentuan sebagai perbandingan Undang-undang Pertambangan yang lama dengan Undang-undang Minerba yang baru, fokus pembahasan ditekankan pada pelaksanaan rejim perizinan dalam kegiatan usaha pertambangan. Penjelasan Ateng Syafrudin yang membedakan perizinan menjadi 4 (empat) macam juga dapat memberikan sedikit gambaran antara rejim perizinan dan kontrak karya, yakni3: 1. Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, al yang dilarang menjadi boleh, dan penolakan atas permohonan izin memerlukan perumusan yang limitatif. 3 Ateng Syarifudin, Pengurusan Perizinan, (Bandung: Pusat Pendidikan dan Pelatihan ST Aloysius, 1992), hal. 4
11
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
2. Dispensasi, bertujuan untuk menembus rintangan yang sebenarnya secara formal tidak diizinkan. Jadi dispensasi merupakan hal yang khusus. 3. Lisensi, adalah izin yang memberikan hal untuk menyelenggarakan suatu perusahaan. 4. Konsesi, merupakan suatu izin sehubungan dengan pekerjaan besar berkenaan dengan kepentingan umum yang seharusnya menjadi tugas pemerintah, namun oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada pemegang izin yang bukan pejabat pemerintah. Bentuknya dapat berupa kontraktual, atau bentuk kombinasi atau lisensi dengan pemberian status tertentu dengan hak dan kewajiban serta syaratsyarat tertentu. Terkait dengan rejim perizinan pada undang-undang yang baru, maka pelaksanaan kegiatan pertambangan tidak dapat dilepaskan dari pengaturan otonomi daerah. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh karenanya pembagian kewenangannya juga harus didasarkan pada Undang-undang No.32 Tahun 2004. Salah satu aspek konstitusional penyelenggaraan Negara dan pemerintah sejak Indonesia merdeka adalah persoalan terkait dengan penyelenggaraan otonomi sebagai subsistem Negara kesatuan4. Atas dasar hal itu, masalah kewenangan berdasarkan Undang-undang Otonomi Daerah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kewenangan daerah meliputi seluruh kewenangan bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. 2. Dalam Pasal 10 ayat (1) diatur secara tegas bahwa : “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.”, sedangkan Ayat (3) Urusan pemerintahan 4 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta : PSH FH UII, 2005), hal. 21
12
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional; dan agama 2. Perizinan Kegiatan Pertambangan Menurut UU Minerba Dengan tidak disebutkannya bidang pertambangan sebagai urusan pemerintah (pusat) maka pada asasnya urusan pemerintahan di bidang pertambangan merupakan urusan kewenangan dari Pemerintah Daerah. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam memperoleh wewenang di bidang penerbitan perizinan melalui atribusi sebagai bagian dari pelayanan administrasi Negara yang mempunyai tugas mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurzorg).5 Keunikan pengelolaan pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 13, dapat dimaknai bahwa kewenangan urusan pertambangan bukan merupakan kewenangan mutlak dari pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, melainkan suatu urusan yang bersifat “pilihan”, yaitu urusan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Hal ini sejalan dengan kebijakan pengelolaan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparansi dan akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, maka tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah : 1. menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; 2. menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup; 3. menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri; 5 Lihat Juniarso R dan Achmad S., Hukum Tata Ruang dalam konsep otonomi daerah, (Bandung: Nuansa, 2008), hal. 111-112
13
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
4. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; 5. meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan 6. menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Berdasarkan tujuan di atas maka pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, selain penting untuk diperhatikan sistem perizinan dalam rangka otonomi daerah, juga keterkaitannya dengan izin lingkungan pada UUPPLH sebagai perkembangan baru yang juga merupakan perkembangan baru dari desentralisasi AMDAL. Dalam proses keputusan sistem perizinan di bidang mineral dan batubara, sebagian pelaksanaannya berada pada pemerintah daerah dan apabila periinan ini di bidang kehutanan terkait pula dengan hak pinjam pakai bagi lahan yang akan digunakan sebagai wilayah usaha pertambangan. Berdasarkan penjelasan mengenai izin yang diberikan oleh Ateng Syafrudin diatas maka dapat dikatakan sesungguhnya baik izin dan kontrak karya dapat dianggap sama-sama izin, namun konsekuensi hukum yang dihasilkan dari kedua bentuk tersebutlah yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan Pemerintah menjadi semakin dominan dalam hubungan hukum dengan pelaku usaha kegiatan pertambangan. Secara lebih mudah perbandingan sistem rejim perizinan dengan rejim kontrak dapat dilihat pada tabel dibawah ini No. 1.
Subyek Hubungan Hukum
2.
Penerapan Hukum
14
Perizinan Kontrak Bersifat publik dengan Bersifat perdata, kedudukan superlatif kesetaraan kedudukan dari Pemerintah antara pelaku usaha dengan pemerintah Didasarkan oleh Didasarkan oleh kebijakan kebijakan Pemerintah pemerintah namun pelaksanaan terdapat aspek yang disepakati para pihak
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
No. 3.
Subyek Pilihan Hukum
4.
Akibat Hukum
5.
Penyelesaian sengketa Kepastian Hukum
6.
7. 8.
Perizinan Tidak Berlaku Pilihan Hukum (karena persyaratan izin) Otoritas penuh pemerintah PTUN
Kontrak Berlaku Pilihan Hukum (berdasarkan kebebasan berkontrak) Kesepakatan Dua Belah Pihak Arbitrase
Lebih Terjamin dan menghindari ruang kolusi, korupsi dan nepotisme yang dapat timbul dalam proses negosiasi pada rejim kontrak Hak Dan Kewajiban Hak dan Kewajiban Pemerintah Lebih Besar Hukum yang Peraturan Perundangdigunakan undangan
Kesepakatan Dua Belah Pihak yang membuka peluang penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang Hak dan Kewajiban relatif setara Antar Pihak Perundang-undangan dan Kontrak/Perjanjian
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat, bahwa kedudukan pemerintah dengan berlakunya sistem rejim perizinan jelas lebih dominan dibandingkan dengan sistem rejim kontrak. Akan tetapi dengan adanya ketentuan peralihan selain menetapkan perubahan dari kontrak karya ke sistem perizinan dan keterkaitannya dengan desentralisasi AMDAL sebagai dasar izin lingkungan, juga terdapatnya ketentuan yang tetap mengakui rejim hukum kontrak karya yang sudah ada, berjalan bersama-sama dengan kewajiban untuk melakukan penyesuaian terhadap sistem perizinan. Rumusan ketentuan dalam pasal peralihan ini telah banyak menimbulkan pro dan kontra terhadap keberadaan kegiatan usaha pertambangan yang telah berjalan sebelum berlakunya Undang-undang Minerba yang baru, disamping sistem perizinan yang juga mengandung banyak masalah yang membawa perdebatan terhadap peningkatan inverstasi baru.bidang pertambangan. Dalam tataran nasional, pemerintah telah dan sedang mengembangkan suatu sistem perizinan satu atap yang dikenal dengan Program Nasional Single Window, sebagai upaya pelayanan terpadu dari Pemerintah bagi 15
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
pelaku usaha dalam mengurus berbagai perizinan terkait kegiatan usaha yang hendak dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya perizinan dalam bidang pertambangan belum dapat dilaksanakan dalam konsep pelayanan satu atap. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah kepastian hukum bilamana diperhatikan keterkaitannya dengan undang-undang lain. Salah satu contoh pelaksanaan undang-undang MINERBA yang baru adalah adanya pemberitaan di media massa, bahwa masalah izin pertambangan terkait dengan Undang-undang kehutanan. Walaupun izin kegiatan usahanya telah diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tetap tidak dapat dilaksanakan karena tidak keluarnya izin dari Kementerian Kehutanan. Dengan keterkaitan hukum antar sektor, sebagaimana diuraikan di atas, pelaksanaan pengaturan kebijakan pertambangan seharusnya juga menyentuh kebijakan secara lintas sektor yang mencakup teknis pelaksanaan maupun pendukung sarana dan prasarananya. Contoh lain keterkaitan hukum undangundang MINERBA dalam sistem perizinan, dengan adanya ketentuan dalam UUPPLH yang mewajibkan ijin lingkungan sebagai syarat ijin kegiatan, termasuk kegiatan usaha pertambangan. Keharusan usaha pertambangan mendapatkan terlebih dahulu ijin lingkungan sebagai pra-syarat memperoleh izin usaha pertambangan, tidak saja menimbulkan masalah terhadap gagasan sistem ijin satu atap, tetapi juga karena hingga sekarang – setelah lebih dari satu tahun - keharusan menetapkan peraturan pelaksanaannya sejak diundangkan, yaitu Peraturan Pemerintah pelaksana dari UUPPLH terkait dengan ijin lingkungan belum juga dilaksanakan. Permasalahan lain terkait dengan pengaturan tata ruang yang dalam pelaksanaan masih sering menimbulkan tumpang-tindih antar sektor bertalian dengan beragamnya jenis pemanfaat ruang kegiatan pertambangan dan perbedaan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga pada akhirnya nanti akan memberikan ketidakpastian berusaha bagi kegiatan usaha pertambangan. Perubahan kebijakan pelaksanaan kegiatan usaha dari rejim kontrak kepada rejim perizinan sesungguhnya memberikan harapan bagi peningkatan nilai manfaat bagi masyarakat Indonesia sesuai dengan amanah Pasal 33 16
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
Undang-undang Dasar 1945. Hal ini disebabkan kedudukan pemerintah yang lebih dominan dalam kegiatan usaha pertambangan, sehingga memberikan kemudahan bagi pemerintah dalam menetapkan suatu kebijakan dalam kegiatan usaha pertambangan. Namun kedudukan yang dominan apabila tidak diikuti dengan aturan hukum yang jelas dan pelaksanaan yang konsisten dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang pada gilirannya nanti dapat meningkatkan konflik pada pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan. Akibatnya, sistem perizinan yang diharapkan dapat memberikan penguatan peran pemerintah, justru akan mengakibatkan menurunnya aktivitas pertambangan di Indonesia dan selanjutnya mengurangi kontribusi sektor pertambangan dalam meningkatkan perekonomian bangsa. Hal ini tidak lagi sejalan dengan tujuan pembaharuan Undang-undang Minerba yang secara konstitusional ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu pelaksanaan rejim perizinan dalam kegiatan pertambangan di Indonesia sebaiknya didukung oleh suatu kebijakan yang terintegrasi yang menjamin pelaksanaan kegiatan pertambangan di Indonesia yang menjamin kepastian hukum bagi setiap pemangku kepentingannya dan yang paling penting berkontribusi bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Menurut Thomas R Dye, kebijakan Negara itu adalah pilihan tindakan apapun yang dilakukan atau tidak ingin dilakukan oleh pemerintah6, sedangkan kebijakan menurut William N Dunn adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan.7 Apabila kebijakan pemerintah itu didasarkan pada tujuan yang sama antar pemangku kepentingan dan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan perizinan dapat dijalankan secara optimal, sebagaimana disampaikan oleh Charllote Sterck : “While government and governance both refer to system of rule, the notion of government suggests activities that are backed by 6 Solichin A W, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), hal. 4 7 Riant N. D., Analisis Kebijakan, (Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007), hal. 7
17
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
formal authority and police powers to ensure the implementation of policies. Governance refers to activities backed by shared goals that do not necessarily rely on the exercise of the authority to attain compliance”.8 Pemerintah sesungguhnya memiliki otoritas menjalankan kebijakan yang terintegrasi dalam membangun suatu system perizinan dalam penyelenggaraan kegiatan pertambangan di Indonesia. D. Kesimpulan Penerapan sistem rejim perizinan pada kegiatan usaha pertambangan adalah kebijakan yang tepat dan sejalan dengan amanah konstitusi namun pelaksanaan harus dapat dilakukan antara lain melalui mekanisme perizinan satu atap agar mendukung pelaksanaan good governance dan memberikan kepastian berusaha bagi kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Kebijakan pertambangan berdasarkan undang-undang MINERBA yang baru dengan rejim perizinan akan berjalan efektif jika pemerintah telah memiliki konsep pengembangan industri pertambangan nasional secara jelas yang melibatkan peran dari berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, termasuk pemerintah daerah, pengusaha dan kelompok masyarakat serta individu. Hal ini didasarkan pada kegiatan usaha pertambangan yang banyak bersinggungan dengan berbagai sektor dalam pelaksanaannya antara lain dengan Kehutanan, SD Air dan Lingkungan Hidup. Dilihat dari pengaturan lingkungan hidup pendekatan eko-region melibatkan hukum tata ruang, sehingga kegiatan pertambangan tidak dapat dilihat semata-mata wilayah administrasi sebagaimana umumnya diterapkan dalam pembagian otonomi daerah. Atas dasar pendekatan hukum di atas, peranan penataan kelembagaan dan kordinasi antar berbagai kegiatan secara terintegrasi dapat diwujudkan dalam sistem perizinan satu atap sebagai gagasan yang dapat membantu pelaksanaan rejim perizinan bagi kegiatan usaha pertambangan di Indonesia, 8 Charllote Sterck, Governments and Policy Network : Chances, Risks, and a Missing Strategy – a handbook of globalization and Environmental Policy, (USA : Edward Elgar Publishing Limited, 2005), hal. 658
18
Law Review Volume XI No. 1 - Juli 2011
oleh karena itu undang-undang MINERBA yang baru dapat dianggap sebagai tantangan yang besar dan sekaligus menjadi peluang yang dapat meningkatkan pembangunan nasional berkelanjutan. Daftar Pustaka
Buku Ateng Syarifudin, Pengurusan Perizinan, Bandung: Pusat Pendidikan dan Pelatihan ST Aloysius, 1992 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta : PSH FH UII, 2005 Charllote Sterck, Governments and Policy Network: Chances, Risks, and a Missing Strategy – a Handbook of Globalization and Environmental Policy, USA: Edward Elgar Publishing Limited, 2005 Juniarso R dan Achmad S., Hukum Tata Ruang dalam Konsep Otonomi Daerah, Bandung: Nuansa, 2008 Michael S. Hamilton, Mining Environmental Policy, USA: Ashgate Publishing, 1988 Riant N. D., Analisis Kebijakan, Jakarta : Elex Media Komputindo, 2007 Silalahi, Daud, Hukum lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung; Alumni, 2001 Silalahi, Daud dan Kristianto P H, Hukum Pertambangan Indonesia dalam Perkembangan Hukum Baru, (draft, 2011) Simon Felix Sembiring, Jalan Baru Untuk Tambang: Mengalirkan Berkah Bagi anak Bangsa, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009 Solichin A W, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1997 19
M. Daud Silalahi dan Kristianto: Perizinan Dalam Kegiatan Pertambangan Di Indonesia...
Sjahran Basah, Pencabutan Izin Sebagai Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi Negara, Surabaya: FH Unair, 1995 Peraturan Perundang-undangan Undang-undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
20