sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIII, Nomor 3 & 4, 1998 : 11 - 17
ISSN 0216-1877
PERILAKU PERKAWINAN BINTANG LAUT ARCHASTER TYPICUS (ECHINODERMATA : ASTEROIDEA) Oleh Prapto Darsono 1) ABSTRACT
MATING BEHAVIOR OF SEA STAR, ARCHASTER TYPICUS (ECHINODERMATA: ASTEROIDEA). The sea star, A. fypicus undergo a male-on-female pairing behavior during the breeding season. The pairing behavior of the sea star is a reproductive behavior which leads to simultaneous spawning, increasing the probability of fertilization. A male-on-female pair is formed when a male encounters a female. When the breeding season approaches, male sea stars display increased mobility. Male sea stars tend to mount another individual, the males can detect the sex of another individual by contact with the side of their arms. Spawning by a paired female is closely followed by spawning of its paired male, however male spawning does nor induce spawning of its paired female. During spawning, the male turns slightly so that its arm overlap the arched arm of the female. The male is simulated chemically to spawn by the eggs or by other chemicals discharged with the eggs. Beberapa jenis bintang laut memperlihatkan sifat "reproductive agrregation" dan "spawning synchrony" tersebut (TYLER et al. 1982). Berbeda dalam ha1 ini, dua jenis bintang laut, Archaster typicus (BOSCHMA 1924; MORTENSEN 1931; OHSHIMA & IKEDA 1934 a, b; CLEMENTE & ANICETE 1949; KOMATSU 1983) dan A. Angulatus (MORTENSEN 1931). mempunyai sifat berpasangan antara jantan dan betina pada musim memijah. Populasi A, typicus ditemukan di daerah pasang surut (intertidal) dengan substrat pasir karang, tersebar pada terumbu karang di wilayah Indo-Pasifik Barat (CLARK & ROWE 1971). Jenis bintang laut ini biasanya
PENDAHULUAN Hampir semua invertebrata laut yang memijah dalam kolom air, keberhasilan terjadinya fertilisasi merupakan saat awal yang kritis dalam daur hidupnya. Menurut PENNINGTON (1985), makin jauh jarak antar individu pada saat memijah maka persentase terjadinya fertilisasi semakin kecil. Sehingga banyak kelompok organisma yang hidup bebas biasanya mempunyai sifat hidup beragregasi atau mengelompok (REESE 1966) pada musim pemijahan (breeding seasons) dan atau memijah secara sinkron (berbarengan) untuk meningkatkan probabilitas terjadinya fertilisasi. 1)
Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta
Oseana, Volume XXIII no. 3 & 4, 1998
11
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
membenam diri pada pasir pada waktu surut rendah. Tulisan berikut mengulas beberapa aspek reproduksi dan perilaku perkawinan pada bintang laut jenis, A. typicus.
bahwa jantan nampak lebih kecil dari betina pasangannya (OHSHIMA & IKEDA 1934b; CLEMENTE & ANICETE 1949). Kenampakan ini secara statistik diuji kebenarannya dengan mengembangkan empat karakter morfometrik sebagai variabel. Keempat karakter tersebut adalah: "diameter" yang diukur dari ujung lengan ke titik tengah antara dua ujung lengan yang berlawanan, "tinggi lempeng tubuh (disc)". "panjang lengan", dan "lebar pangkal lengan". Pengukuran dilakukan dengan "vernier caliper" dalam milimeter. Secara diagramatik pengukuran keempat parameter tersebut disajikan dalam gambar 1. Data ukuran diperoleh dalam kelompok jantan dan betina yang dikumpulkan dari pasangan-pasangan bintang laut. Rata-rata (mean) ukuran. simpangan baku (standart deviation), dan koefisien variabilitas, tiap karakter dari kedua kelamin dianalisa dan dibandingkan. Pengamatan yang dilakukan oleh CLEMENTE & ANICETE (1949) menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari semua karakter yang diukur pada betina lebih besar dari yang jantan. Tabel 1 memperlibatkan perbedaan tersebut, dari sampel sebanyak 137 jantan dan 113 betina. Perbedaan ini sepintas memang memberikan indikasi kecenderungan bahwa betina lebih besar dari jantan. Perbedaan ini secara statistik tidak signifikan, nilai perbedaan terlalu kecil' sehingga tidak praktis penerapannya. Berbeda dengan hal ini. OHSHIMA & IKEDA (1934b) berpendapat bahwa validitas perbedaan ukuran antara kedua jenis kelamin bintang laut tersebut cukup jelas. Dalam pada itu mungkin perlu dicatat bahwa variasi jumlah lengan pada bintang laut pernah dijumpai. Jumlah lengan yang normal adalah lima, namun individu dengan jumlah lengan empat, enam, bahkan tujuh pernah ada. namun dengan relatif frekuensi sangat kecil.
RASIO KELAMIN Pengenalan jenis kelamin dilakukan dengan mengamati gonad tiap individu bintang laut. Irisan pembedahan dilakukan pada sisi aboral salah satu jari secara longitudinal, akan nampak organ reproduksi (gonad). Kemudian dilakukan penyedotan elemen reproduktifnya dengan menggunakan pipet untuk diamati dibawah mikroskop. Bahkan tanpa mikroskop, dengan mata telanjang, "germ cells" bisa dibedakan konsistensi kenampakannya yaitu jantan nampak seperti cairan susu (milky) dan betina terlihat granular (CLEMENTE & ANICETE 1949). Kenampakan granular tersebut ada1ah bulatan telur-telur yang agak mikroskpis. Dengan sifatnya yang berpasangan (pairing) pada "musim kawin", mempermudah pengumpulan atau pengenalan tiap jenis kelamin, jantan pada posisi diatas (on top) betina (BOSCHMA 1924, OHSHIMA & IKEDA 1934a; KOMATSU 1983; RUN et al. 1988). Adapun spesimen yang tidak dalam keadaan berpasangan diambil secara acak (random). Dalam populasinya di alam. CLEMENTE & ANICETE 1949 menyimpulkan bahwa rasio kelamin jantan betina adalah seimbang. Rasio kelamin tidak berbeda nyata dengan rasio teoritis 1:1. DIMORFISMA KELAMIN Secara visual tidak jelas adanya perbedaan karakter morfologi antara individu jantan dan betina. Namun begitu dari spesimen pasangan yang dikumpulkan terlihat kecenderungan
Oseana, Volume XXIII no. 3 & 4, 1998
12
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Perbandingan rata-rata (mean) ukuran (dalam mm) variable pada bintang laut A. Typicus (CLEMENTE & ANICETE 1949)
Oseana, Volume XXIII no. 3 & 4, 1998
13
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
MUSIM KAWIN
Fenomena berpasangan bintang laut tersebut oleh BOSCHMA (1924), disebut sebagai sikap kopulasi, yaitu suatu aksi yang bisa menimbulkan rangsangan terjadinya pemijahan pada betina. Pada hewan ini, seperti pada Echinodermata umumnya, tidak melakukan kopulasi yang sebenarnya. Di duga bahwa cairan reproduktif yang keluar bersama telur kedalam kolom air akan merangsang jantan pasangannya untuk memijah. Dalam ha1 ini maka kedekatan jarak antar mereka (jantan dan betina) meningkatkan probabilitas terjadinya Sertilisasi. Pada musim tidak kawin, biasanya bintang laut tidak terlalu banyak pergerakan. bahkan diperoleh kesan seperti diam tidak berpindah. Sebulan atau dua bulan menjelang musim kawin mereka memperlihatkan gerakan lebih aktif. Nampaknya peningkatan aktititas gerak ini berkaitan untuk menemukan pasangan terdekat. Jantan memperlihatkan kecenderungan lebih aktif dalam pergerakan ini (RUN et al. 1988). Menurut pengamatan RUN et al. (1988), jantan bintang laut bisa mengenali lawan jenisnya. Pengenalan ini melalui kontak lengan-lengan kedua jenis kelamin bintang laut tersebut. Ilustrasi kecenderungan gerak bintang laut dalam menemukan pasangannya ditunjukkan dalam gambar 2. Ketika lengan seekor jantan menyentuh (kontak) dengan lengan seekor betina, maka jantan segera aktif bergerak untuk "merengkuh betina. Mereka kemudian berposisi "tumpang tindih", lantan diatas betina dengan kedudukan lengan-lengan berselang-seling (alternating) (Gambar 3.1). Pemijahan pasangan ini tidak terjadi berbarengan, betina akan memijah lebih dulu. Pada saat memijah (mengeluarkan telur), betina secara bertahap melengkungkan lenganlengannya, pada saat yang sama jantan akan sedikit bergeser sehingga lengan lengan pasangan ini akan saling bertumpuk (Gambar 3.2,3). Gerakan melengkungkan lengan-lengan pada betina mencapai maksimum seperti posisi
Musim kawin (breeding season) ditandai dengan ditemukannya banyaknya pasangan bintang laut pada suatu tempat hidupnya. Secara umum nampaknya musim kawin ini terjadi pada "musim semi menjelang musim panas", sehingga kapan bulannya mungkin berbeda pada satu daerah dengan daerah lainnya, tergantung lokasi berada dibelahan bumi mana. Di Filipina, musim reproduksi terjadi sejak akhir Maret berlanjut sampai akhir Mei (CLEMENTE & ANICETE 1949). Sedang DARSONO et al. (1978) mencatat adanya "pairing" bintang laut di Pulau Pari Kepulauan Seribu, pada bulan-bulan Agustus, September, Oktober, dan Nopember. OHSHIMA & IKEDA (l934a) mengamati adanya pairing pada bulan luli di Jepang. Sebelumnya BOSCHMA (1923) telah melaporkan adanya pairing pada bulan Februari dan Mei di Jawa. Pengamatan RUN et al. (1988) di Taiwan (23 32' N. 119 33'E) mencatat aktifitas pairing mulai awal Mei, mencapai puncak antara Mei sampai Juni, menurun dalam bulan Juli dan berakhir pada Agustus. Pada musim kawin tersebut gonad kedua jenis kelamin dalam keadaan matang (mature/ ripe). PERILAKU PERKAWINAN Pada musim kawin, banyak bintang laut A. typicus ditemukan dalam posisi berpasangan, jantan diatas betina (maleon top female). Perilaku berpasangan (pairing) pada bintang laut tersebut dilaporkan oleh BOSCHMA (1924), MORTENSEN (1931) dan OHSHIMA & IKEDA (1934a). Laporan terbaru tentang perilaku "pairing" jenis bintang laut tersebut ditulis oleh RUN et al. (1988) dalam observasinya di Taiwan. Meskipun hewan ini sangat sering ditemui di perairan dangkal Uopika Indo-Pasifik, tapi nampaknya tidak ierlalu mendk perhatian para biologis maupun naturalis.
Oseana, Volume XXIII no. 3 & 4, 1998
14
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
DAFTAR PUSTAKA
mengangkat yang jantan (Gambar 3.4). Gerakan tersebut memakan waktu ±20 menit, dan pada posisi tersebut jantan memijah. Setelah memijah, jantan kembali memutar ke posisi semula, bersamaan yang betina meratakan lengan-lengannya (Gambar 3.5) Pada akhirnya posisi berpasangan kembali pada posisi awal (Gambar 3.6) dengan lenganlengan saling berselang. Bersamaan dengan pengamatan perilaku kawin bintang laut tersebut, ternyata bahwa pemijahan pada jantan terjadi oleh stimuli yang berasal dari substansi pijah betina. Diduga ada sejenis zat kimia tertentu dikeluarkan bersamaan substansi pijah tersebut.
Oseana, Volume XXIII no. 3 & 4, 1998
BOSCHMA. H. 1923. Uber einen fall von kopulation bai einer Asteride (Archaster opicur). Zool.Am. 58: 283 - 285. CLARK, A.M. ard F.W.E. ROWE 197 1. Monograph of shallow-water Indo-Pacific echinoderms. British Mus. (Nat. Hist.). London. 238pp. CLEMENTE, L.S. and B. Z. AMCETE 1949. Studies on sex-ratio, sexual dimorphism and early development of be common starfish. Archaster typicus Muller et Troschel (Family Archasteridae). Nat. App. Sci. Bull. IX (31: 297 - 318.
15
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXIII no. 3 & 4, 1998
16
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
DARSONO, P.; A. AZIZ dan A. DJAMALI 1978. Pengamatan terhadap populasi bintang laut, Archaster typicus (Muller & Troschel) di daerah rataan gugus Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi di Indonesia 10: 33 - 41. KOMATSU. M. 1983. Development of the sea-star, Archaster typicus, with a note on male-on female superposition. Annotnes zool. Jap. 56: 187 -195 MORTENSEN, T. 1931. Contribution to the study of the development and larval forms of Echinoderms, 1-11, Mem. A cad. Roy. Sri. et Lett. Denmark. Sect. Sci., Ser.9(4): 1 - 3 9 . OHSHIMA, H. and H, IKEDA 1934a. Male female superposition of the seastar, Archaster typicus Muller et Troschel. Proc. Imp. Acad. Tokyo 10 (2) :125 - 128. OHSHIMA, H and IKEDA 1934b. Sexual size-dimorphism and early development of the common starfish, Archaster
Oseana, Volume XXIII no. 3 & 4, 1998
typicus Muller et Troschel. Proc. imp. Acad.Tokyo 10 (3): 180- 183. PENNINGTON, J.T. 1985. The ecology of fertilization of echinoid eggs, the consequences of sperm dilution, adult aggregation, and synchronous spawning. Biol. Bull. Mar: Biol. Lab. woods Hole 169:417-430. REESE, E.S. 1966.The complex behavior of ecinoderms. In : Physiology of Echinodemiata (R.A. Boollootian, ed.). Intersci. Publish., York : 157 - 218. RUN, J.Q.; C.P.CHEN; K.H.CHANG and F.S. CHIA 1988. Mating behaviour and reproductive cycle of Archaster typicus (Echinodermata : Asteroidea). Mar: Biol. 99 : 247 - 253. TYLER, P.A.; S.L. PAlN and J.D. GAGE 1982. The reproductive biology of the deep-sea asteroid Bathybiaster vexillifer J, Mar: Biol. Ass. U.K. 62 : 57-69.
17