PERILAKU PEKERJA DAN KINERJA ORGANISASI Faisal Afiff
ika kita mengikuti wacana kepsikologian, maka tingkah laku manusia (TL) lazimnya
akan
diinterpretasikan
sebagai
fungsi
dari
Individu (I) dan lingkungannya (L), TL = f. (I + L). Rumusan demikian secara amat jelas memperlihatkan bahwa terbentuknya perilaku seseorang akan sangat dipengaruhi, di samping oleh faktor pembawaan (nature), yang telah melekat dalam diri individu semenjak lahir, juga oleh faktor lingkungan (nurture), terutama lingkaran komunitas keseharian yang ada di hadapan dirinya. Dengan demikian, suatu upaya telaahan mengenai perilaku pekerja berpedoman
pada
rumusan
tersebut
-
tentunya
akan
mencakup
pembahasan di seputar analisis interaksional perpaduan antara kapasitas kecerdasan, kepribadian, dan bakat yang dimiliki oleh para pekerja - baik yang
masih
mengendap
(potential
ability)
ataupun
yang
telah
teraktualisasikan (actual ability) - dengan setting situasi sosial dan kondisi fisik lingkungan organisasi di tempat mereka bekerja, baik di sektor bisnis maupun publik. Dalam
proses
interaksionalnya
tersebut,
melalui
serangkaian
perangkat persepsinya, individu akan senantiasa mencoba untuk menerima, menyaring, mencerna, merekonstruksi dan menyempurnakan beragam informasi (stimulus) yang diterima dari lingkungannya, baik yang berasal dari lingkungan-kulturalnya maupun lingkungan-pekerjaannya, dengan mengikuti tiga tahapan proses selektif kognitifnya, yakni penyusunan kode (encoding), penyimpanan informasi (storage), dan pengingatan kembali (retrieval). Artinya, perilaku individu itu sendiri, baik yang tampak (overt-behavior) ataupun yang tersembunyi (covert-behavior), pada hakekatnya merupakan resultante (respons)
Jurnal Universitas Paramadina Vol.1 No. 3, Mei 2002: 233-244
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 233-244
individu dengan lingkungannya, dimana individu mempengaruhi individu lainnya, individu mempengaruhi lingkungan, dan lingkungan mempengaruhi individu.
Psikodinamika Interaksional Pekerja Berkaitan dengan lingkungan perusahaan, maka interaksi yang terbentuk di antara para pekerja, lazimnya akan cenderung mengarah pada dua pola berinteraksi, yakni: tipe bersahaja dan tipe bersandiwara. Jika suasana kerja yang ada di organisasi mengesankan saling keterbukaan,
saling
menghargai
gagasan
yang
dilontarkan,
saling
memberikan pengakuan tulus atas prestasi masing-masing orang, saling memberikan dukungan bagi pengembangan karir pekerja; maka pada umumnya pola interaksi yang terbentuk akan mengarah pada iklim tingkah laku kerja yang bersahaja, alamiah, sebagaimana apa adanya. Berbeda halnya, jika suasana kerja yang dirasakan karyawan penuh ketertutupan, saling menjatuhkan, saling menonjolkan prestasi diri sendiri dan mengecilkan prestasi orang lain; maka boleh dikatakan dan hampir dapat dipastikan bahwa pola interaksi yang terjalin di lingkungan organisasi seperti itu akan mengarah pada terciptanya iklim perilaku kerja yang penuh bersandiwara, saling bersiasat serba berpura-pura. Berdasarkan pengamatan pribadi selaku pengamat manajemen yang sering kali bersentuhan dengan keluhan yang berkenaan dengan permasalahan ringkihnya kualitas sumberdaya manusia; ternyata realitas empiris di banyak organisasi di Indonesia menggambarkan kecenderungan semakin menebalnya pola interaksi sesama pekerja yang lebih berorientasi dan masih didominasi oleh kebiasaan buruk untuk saling bersiasat. Hal demikian terjadi, karena kurangnya perhatian dari pimpinan terhadap pekerja yang menjadi bawahannya, sehingga muncul kesan bahwa organisasi hanya bernafsu mengeksploitasi tenaga para pekerjanya saja, tanpa mau mempedulikan kebutuhan mereka. Di samping itu, minimnya perhatian tadi, hasil tindakan interaksi saling holistikpilih dankasih sirkuler sesama masih direcoki pula oleh dari hadirnya (like antara and dislike)
234
Faisal Afiff “Perilaku Pekerja dan Kinerja Organisasi”
antara atasan terhadap bawahannya, semata-mata atas dasar kesamaan etnikal, eksklusivitas profesi atau pun ketertarikan seksual; yang kemudian semakin menyuburkan lahan ketidakpuasan afeksional, menyeret turn-over pegawai yang tinggi serta menumbuhkan bibit percikan sikap negatif terhadap organisasi. Kesemuanya ini semakin mengentalkan tercetaknya pola interaksi saling bersandiwara - menjadi bagian dari kepribadian kolektifnya - sebagai suatu gaya hidup (life style) baru, yang juga menyimbolkan pemberontakan terselubung dari ketidakberdayaan kolektif para pekerja kita. Sebagai catatan tambahan, misalnya saja patut pula kita perhatikan ilustrasi fenomena interaksional antara pembantu rumah tangga dengan majikannya
di
tengah
keluarga,
terutama
saat
pulangnya
secara
berbondong-bondong para pembantu rumah tangga kita ke kampung halamannya
pada
momen
Hari
Raya
Idul
Fitri.
Analisis
psikologi
(fenomenologi) terhadap hal tersebut menyiratkan adanya upaya siasat bawah sadar para pembantu rumah tangga tadi untuk bersama-sama melakukan
pemberontakan-eksistensial
sesaat,
secara
kolektif
dan
terselubung, atas segenap perlakuan kolektif para majikan mereka yang dirasakan kurang berkenan terhadap dirinya, selama masa kepatuhan mereka bekerja. Ternyata, suasana bulan puasa dan tradisi saling maafmemafkan yang ada pada saat berlebaran, merupakan topeng (persona) ideal yang akan semakin menyempurnakan dan menyemarakan pagelaran kolosal sandiwara kolektif para pembantu rumah tangga ini, untuk bersiasat demi kepuasan sesaat, dalam mengukuhkan eksistensi mereka di belantara kota; yang nampaknya luput dari observasi kita selaku kepala keluarga. Selanjutnya, ketika seorang pekerja berhadapan dengan atasannya, maka pada umumnya mereka akan merasa dirinya sebagai individu yang lemah, yang membutuhkan nafkah bagi keberlangsungan kehidupan diri maupun keluarganya. Oleh karenanya adalah merupakan kewajaran jika kemudian ia menjadi merasa ketergantungan pada atasannya tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan masih lemahnya perlindungan hukum terhadap
235
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 233-244
hak-hak pekerja ini; yang tentunya akan semakin menyuburkan perasaan ketidakberdayaan, ketidakpercayaan, dan bahkan ketidakpastian terhadap masa depan perjalanan karirnya di organisasi tempat mereka bekerja. Dalam situasi yang serba ‘di bawah angin’ dan ketertekanan, tidaklah mengherankan jika muncul dinamika pola berinteraksi – sebagai upaya para pekerja dalam mengembangkan mekanisme pertahanan psikologis dirinya (defence mechanism) - untuk saling bersiasat, saling curiga mencurigai, saling mengawasi, dan saling mengingkari kesalahan antar sesama pekerja. Cepat atau lambat, dalam pola interaksi seperti ini, yang banyak dijumpai di berbagai organisasi di Indonesia (BUMN, Perusahaan Swasta, bahkan Perusahaan Asing), tentu saja mampu menggoyahkan tumbuhnya sendisendi
kerjasama
konseptual
maupun
operasional
yang
sehat
dan
bermartabat di antara sesama pekerjanya, yang sangat dibutuhkan bagi keajegan dan kemajuan organisasi. Dalam situasi demikian, kerjasama yang terjalin selama ini, antar para karyawan itu, sesungguhnya lebih bersifat semu, sehingga tidak mungkin mampu melahirkan sinergi produktivitas dan kreativitas yang bulat dan menyeluruh. Kerjasama yang terjalin dalam atmosfir kepura-puraan hanya akan berujung menghabiskan energi saja, karena energi psikis yang tersedia justru dihambur-hamburkan terkuras tanpa bekas untuk sekedar menamengi saling kepura-puraannya tadi. Tidak jarang kita saksikan ‘sandiwara’rapat di organisasi yang berpurapura mengambil keputusan-keputusan penting namun di kemudian hari tak pernah serius dijalankan, kepura-puraan mengkampanyekan misi dan visi organisasi yang sedemikian glamornya sehingga tak mungkin mampu direalisasikan, ataupun janji-janji manis dari manajemen perusahaan yang setelah diutarakan cepat menguap kembali untuk kemudian dilupakan. Halhal demikian, jika terus menerus dibiarkan berkelanjutan, maka tanpa disadari akan menggiring semakin kendurnya genggaman rasa tanggung jawab kolektif pekerja, yang diiringi pula dengan lunturnya semangat rasa
236
Faisal Afiff “Perilaku Pekerja dan Kinerja Organisasi”
Bagan sederhana di bawah ini mungkin dapat mengilustrasikan kaitan sebab-akibat dari pola interaksi bersandiwara, sebagai berikut: Penyebab
Akibat
Ketidakberdayaan
Kepura-puraan
Sikap Negatif
Ketidaknyamanan
Egosentris
Isolatif Saling curiga Ekspresi terkekang Pemborosan energi psikis
Lain halnya dengan suasana di belahan dunia Barat, yang situasi lingkungan ketenagakerjaanya boleh dikatakan sudah berada ‘di atas angin’ dan terasa cukup menyenangkan, karena pada umumnya organisasi dikelola secara sangat profesional, hukum perburuhan berjalan secara baik dan dapat diandalkan, juga serikat pekerjanya memiliki posisi tawar yang meyakinkan. Sehingga wajarlah jika tercipta pola interaksi pekerja di lingkungan organisasi secara bersahaja. Jarang sekali dijumpai sesama pekerja yang saling beradu lihai bersiasat. Kerja sama pengelolaan organisasi yang terjalin pun nampak sedemikian kompak dan harmonisnya. Muncul kesadaran kolektif, bahwa bersiasat itu lebih proporsional jika ditujukan pada lingkungan eksternal organisasi, baik lingkungan makro maupun mikro. Ke dalam lingkungan internal organisasi, para pekerja umumnya membangun ikatan batin kesetiakawanan yang kuat, keterbukaan, dan saling bekerjasama secara positif agar melahirkan dampak sinergis yang teramat luar biasa, dan produktivitas kerja yang mencengangkan. Maka tak heranlah kita, tatkala sejarah pun mencatat, tumbuh kembangnya perusahaan di dunia Barat, bak cendawan di musim hujan; yang diiringi pula dengan meluas pesatnya riset maupun eksperimen demi mewujudkan impian bagi penemuan-penemuan terbaru dan original di segala bidang kehidupan, yang menorehkan kepemilikan kecintaan terhadap perusahaan tempat mereka berkarya. kemajuandan peradaban.
237
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 233-244
Sebagai bahan perbandingan, dapat pula kembali diilustrasikan di sini bagan sederhana kaitan sebab-akibat dari pola interaksi bersahaja, sebagai berikut: Penyebab
Akibat
Kepastian
Keterbukaan
Wawasan
Kerjasama
Kepercayaan
Kebersamaan
Akal sehat
Kenyamanan Kebebasan berekspresi Penghematan energi psikis
Sayangnya,
di
masyarakat
belahan
dunia
Timur,
termasuk
Indonesia, terbetik anggapan bahwa kemajuan organisasi di dunia Barat tercipta berkat anugerah melekatnya tingkat kecerdasan
mereka yang
teramat luar biasa. Namun jika mengacu pada pandangan teoritikal psikologik, maka rata-rata ukuran kecerdasan potensial manusia (O-IQ), di belahan bumi manapun, Timur atau Barat, dianggap tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Ketimpangan yang mencolok mungkin justru terletak pada berkembangnya tingkat kecerdasan aktual (IQ) yang lebih terasah di sana, dikarenakan manusia di dunia Barat telah terbiasa bekerja dengan konsentrasi penuh, fokus, berorientasi ke masa depan, dan memegang teguh komitmen profesi, serta bersahaja dalam berinteraksi, tanpa perlu berpura-pura, bersandiwara, berakting di setiap saat dan tempat.
Tipologi Perilaku Pekerja Untuk pekerja
ini,
lebih Mc
mudah
memahami
Gregor, seorang peneliti
tingkah
laku
para
psikologi telah mencoba
memformulasikan profil perilaku pekerja ke dalam dua teori dasar, yang kemudian dikenal dengan sebutan Teori X dan Teori Y, sebagai berikut:
238
Faisal Afiff “Perilaku Pekerja dan Kinerja Organisasi”
Dalam
pandangan
predisposisi perilaku
teori
X,
manusia
diasumsikan
memiliki
negatif terhadap pekerjaan. Artinya, dalam diri
manusia itu senantiasa akan bertengger perasaan malas bekerja, sehingga oleh karenanya individu harus senantiasa dipacu dan dipicu untuk mau bekerja, dan diberikan sanksi jika melalaikannya. Di samping itu, manusia memiliki pula kecenderungan untuk menghindari diri dari beban tanggung jawab tertentu, sehinga mereka ini patut senantiasa dikangkangi dengan berbagai
aturan,
perintah
dan
segudang
keharusan
lainnya
untuk
menjalankan kewajiban-kewajibannya. Di samping itu, manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang lebih gandrung akan kepastian ketimbang petualangan.
2. Teori Y Dalam
pandangan
teori
Y,
manusia
diasumsikan
memiliki
kecenderungan predisposisi berperilaku positif terhadap pekerjaannya. Manusia adalah mahluk yang menyukai kerja keras, sama seperti kesukaan mereka untuk berekreasi, sehingga pemberian sanksi ataupun pengendalian yang ketat, bukanlah prioritas utama dalam upaya memacu ataupun memicu prestasi kerjanya. Manusia yang merasa bahwa pekerjaan yang tengah ditekuninya adalah pekerjaan yang ia sukai dan sesuai dengan harapan masa depannya, dengan sendirinya akan menuntun dirinya untuk bekerja keras, dan serta merta berusaha meningkatkan prestasinya, berikut keberaniannya dalam memikul tanggung jawab.
Bagi para pekerja yang
dikaruniai bakat yang besar, seringkali akan nampak lebih menonjol ketrampilannya untuk mengatasi berbagai permasalahan pelik yang sekonyong-konyong mencuat tatkala ia tengah menyelesaikan pekerjaannya itu.
Uraian teoritikal X dan Y di atas, hanyalah berfungsi sebagai acuan praktikal dalam upaya kita memahami tipologi perilaku pekerja; karena pada 1. Teori X dasarnya tidak ada manusia yang dapat secara
239
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 233-244
dalam salah satu tipe tersebut. Patut dipahami, bahwa corak perilaku manusia yang unik, akan senantiasa bergerak diantara wilayah X dan Y, dan oleh karenanya penggolongan tipe perilaku pekerja lebih ditekankan pada dominasi pembobotan prosentase perbandingan antara kriteria X dan Y.
Perilaku Solutif Salah satu hal terpenting yang perlu kita pahami secara lebih spesifik lagi adalah mengenai pola perilaku pekerja dalam memecahkan berbagai permasalahan yang mereka jumpai di lingkungan perusahaan tempat mereka bekerja. Untuk sementara dapat kiranya dirinci di sini, beberapa kecenderungan tipe perilaku pekerja ketika berupaya
mencari
solusi
dari
berbagai
problematika
mereka tengah keseharian
di
organisasi, sebagai berikut:
TIPE
PERILAKU SOLUTIF
Tipe 1
Kesalahan dilimpahkan kepada rekan kerjanya; dan ia acuh tak acuh berdiam diri saja (pasif).
Tipe 2
Kesalahan dilimpahkan kepada rekan kerjanya; namun ia berikhtiar mencari solusinya.
Tipe 3
Kesalahan dilimpahkan kepada rekan kerjanya; selanjutnya ia berikhtiar tanpa kenal lelah (aktif) mengupayakan solusinya.
Tipe 4
Pekerja menerima kesalahan tetapi acuh tak acuh berdiam diri saja (pasif).
Tipe 5
Pekerja menerima kesalahan dan berikhtiar mencari solusinya.
Tipe 6
Pekerja menerima kesalahan dan berikhtiar tanpa kenal lelah (aktif) mengupayakan solusinya.
Tipe 7
Pekerja menganggap kesalahan adalah takdir dan acuh tak acuh berdiam diri saja (pasif).
Tipe 8
Pekerja menganggap kesalahan adalah takdir, namun berikhtiar mencari solusinya.
Tipe 9
Pekerja menganggap kesalahan adalah takdir dan berikhtiar tanpa kenal lelah (aktif) mengupayakan solusinya.
menyeluruh dimasukkan ke
240
Faisal Afiff “Perilaku Pekerja dan Kinerja Organisasi”
Patut dicermati di sini, bahwa respon yang diperlihatkan seorang pekerja, bisa saja berbeda-beda tergantung dari jenis permasalahan yang tengah dihadapinya dan pengalaman masa lalunya. Namun yang dapat dijadikan pedoman bagi kita adalah totalitas prosentasenya, tipe mana perilaku yang paling dominan muncul ke permukaan, sehingga dapat segera terlihat benang merah pola kecenderungan perilaku sang pekerja. Melalui serangkaian observasi rutin dan berkesinambungan terhadap respon pekerja dalam menanggapi permasalahan-permasalahan aktual organisasi, bolehlah dikatakan merupakan cara yang cukup handal dan akurat untuk menilai tingkah laku pekerja; dikarenakan dalam menghadapi situasi sulit lah gambaran realitas perilaku pekerja yang natural dapat terpantau secara kasat mata.
Perilaku Agresif Secara khusus, fenomena agresifitas pekerja era reformasi di Indonesia saat ini, sebagaimana yang sering terlihat melalui aksi unjuk rasa di berbagai organisasi, perlu rasanya ditinjau lebih jauh lagi. Semenjak tumbangnya komunitas Orde Baru, yang dikenal lebih mengedepankan pendekatan represif dalam mengatasi konflik-konflik dalam organisasi - sehingga membuat para pekerja serba takut mengemukakan aspirasinya - maka bersamaan dengan itu terjadi pula perubahan perilaku komunitas pekerja kita, yang semula pasif menjadi lebih agresif. Jika di masa Orde Baru, banyak organisasi akan segera meminta bantuan aparat keamanan untuk meredam agresivitas pekerjanya melalui pendekatan koersif; maka kini langkah seperti itu agak terasa sulit untuk dilakukan, mengingat iklim berdemokrasi tengah tumbuh subur di Tanah Air. Cara lain yang nampaknya tengah dieksperimenkan dan dirasakan lebih memadai untuk meredam meningkatnya agresifitas pekerja yang semakin marak di era reformasi ini, adalah dengan berupaya membangun dialog kultural secara rutin antara pimpinan organisasi bersama pemimpin informal pekerja untuk urun
241
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 233-244
langkah eksploratif-solutif dalam upaya kolektif memecahkan beragam permasalahan yang ada di hadapan mereka. Tanpa upaya demikian, dikhawatirkan dari hari ke hari akan terjadi kesenjangan persepsi yang semakin melebar, yang semata-mata lahir dari benturan kultural antara budaya-agraris (yang merupakan latar belakang kehidupan sebagian besar karyawan), dengan budaya-industri (yang memayungi bentuk fondasi fisikarsitektural, mekanisme teknologi dan sistem manajerial); sebagai sumber pemicu
konflik
yang
menghantar
memuncaknya
eskalasi
dorongan
agresivitas komunitas pekerja akhir-akhir ini. Perbedaan itu terletak pada penekanan nilai-nilai unggulan yang berseberangan antara kedua kultur tersebut,
dimana
kultur
agraris
lebih
mengedepankan
nilai afiliatif-
komunalisme-etnikal, sedangkan kultur industri lebih mengagungkan nilai prestatif-individualisme-rasional.
Kinerja Perusahaan Di berbagai forum seminar, baik nasional, regional maupun internasional acapkali muncul keluhan dan nada sumbang dari pihak asing, yang pada intinya menyatakan bahwa kinerja perusahaan di Indonesia, dapatlah dikatakan tergolong sangat mengecewakan. Secara
jujur,
kritikan
seperti
itu
memang
dapat
dirasakan
kebenarannya di lubuk hati nurani kita. Tidaklah mengherankan dan merupakan kewajaran jika terjadi fenomena demikian, karena masih minimnya pengetahuan maupun pemahaman kita terhadap dimensi kejiwaan perilaku pekerja. Akibatnya, di berbagai organisasi semakin bertumpuk ribuan kesalahan pendekatab dalam mengatasi kasus-kasus kepsikologian yang berkenaan dengan tingkah laku pekerja; yang pada akhirnya menganggu dan menghambat tingkat produktivitas kerja. Era reformasi dan globalisasi, adalah sebuah episode yang memberi warna baru bagi tren zaman sekarang, dan manusia Indonesia, baik pengusaha, pimpinan, pekerja -rembug bermusyawarah membahas berbagai
242
Faisal Afiff “Perilaku Pekerja dan Kinerja Organisasi”
menemukan kembali
jati diri eksistensinya yang lebih relevan. Jika kita
masih tetap saja terpaku di masa lalu, terfiksasi pada suatu periode zaman yang sedemikiannya mengagung-agungkan pembangunan ekonomi yang menetes ke bawah (trickle down effect) dan proteksi berlebihan terhadap sang pemilik organisasi, maka itu berarti kita tengah menggali lubang kubur sendiri, melawan deru sang waktu, menentang sejarah zaman, terisolasi oleh kepongahan sendiri mengabaikan eksistensi pekerja, merintis jalan bagi keruntuhan organisasi karena ditinggalkan oleh para pekerja terbaiknya yang hengkang ke lahan masa depan yang lebih menjanjikan.
Penutup Sehebat dan semutakhir apapun konstruksi fisik maupun sistem manajemen organisasi, namun akhirnya manusia jualah yang harus mengoperasikannya. Oleh karenanya, tak dapat dipungkiri lagi bahwa optimalisasi kinerja suatu organisasi sangat bergantung pada pola dinamika perilaku kolektif pekerjanya. Uraian ini lahir terdorong pengalaman pribadi selaku akademisi, yang senantiasa tergerak melakukan observasi lapangan di seputar perilaku pekerja kita, manusia Indonesia yang multidimensional. Tidak berarti paparan singkat demikian secara otomatis mampu menumbuhkan rincian penghayatan mendalam mengenai tingkah laku manusia, terutama perilaku para pekerja, secara holistik-komprehensif. Namun diharapkan, paling tidak dapat membangkitkan setitik inspirasi mengenai pentingnya memahami perilaku pekerja demi perbaikan kinerja organisasi,
mengukir prestasi
sembari pula mengais rejeki. Walau bagaimanapun, perilaku manusia tetap menyisakan misteri.
,
serta anggota keluarga, juga tengah
berkristal serta berproses menjadi sesuatu yang baru, yakni berupaya
243
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 3, Mei 2002: 233-244
Daftar Pustaka Anthony, William P.; Perrewe, Pamela L. 1996. Strategic Human Resource Management. New York: The Dryden Press Campbell, Joseph. 1976. The Portable JUNG, USA: Penguin Books De Bono, Edward. 1986. Tactics, The Art & Science of Success, Fontana/Collins Dressler, Gary. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Prenhallindo Dubrin J. Andrew. Personal and Human Resources Management, California: Kent Publishing Company, A Division of Wodsworth, Inc. George, Manning; Curits, Kent. 1988. Performance Managing for Excellence. Ohio: South-Western Publishing Co. Hilgard, E. R. 1981. Introduction To Psychology, New York: Harcourt Jovanovich Kussriyanto, Bambang. 1986. Meningkatkan Produktivitas Karyawan. Jakarta: LPPM, PT. Pustaka Binaman Pressindo Sjafri, Mangkuprawira Tb. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Stephen, Robbin. 1995. Teori Organisasi Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan Warren, Brown; Moberg, Dennis J. 1980. Organization Theory and Management. A Macro Approach. USA: John Wiley & Sons, Inc. Wayne, Mondy R; Robert M. Noe III. 1993. Human Resource Management. 5th Ed. USA: Allyn and Bacon. Werther, William B; Davis, Keith. 1996. Human Resources and Personnel Management. New York: Irwin McGraw-Hill
244
Faisal Afiff “Perilaku Pekerja dan Kinerja Organisasi”
245