PERILAKU BERSUCI MASYARAKAT ISLAM; ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS (Studi di Masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
OLEH: USWATUN HASANAH NIM: 104043101300
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
PERILAKU BERSUCI MASYARAKAT ISLAM; ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS (Studi Sosiologi Hukum di Masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan HukumUntuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: USWATUN HASANAH 104043101300
Di Bawah Bimbingan: Pembimbing
Drs. Noryamin Aini, MA NIP: 19630351 99101002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PERILAKU BERSUCI MASYARAKAT ISLAM; ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS (Studi Sosiologi Hukum di Masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7 April 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (Perbandingan Madzhab Fiqih). Jakarta, 7 April 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031021
PANITIA UJIAN : 1. Ketua
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag NIP. 196511191998031002
2. Sekretaris
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002
3. Pembimbing : Drs. Noryamin Aini, MA NIP: 19630351 99101002
4. Penguji I
: Prof.Dr.H. Muhammad Amin Suma, SH,MA,MM NIP. 195505051982031021
5. Penguji II
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan, bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Februari 2011
Uswatun Hasanah’
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kita masih dapat merasakan nikamt sehat, iman dan Islam. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada pembawa rahmat Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikutnya yang tetap setia hingga akhir zaman. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan serta kemampuan yang ada pada penulis, akhirnya skripsi dengan judul “PERILAKU BERSUCI MASYARAKAT ISLAM; ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS (Studi Sosiologi Hukum Masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur)” dapat terselesaikan. Selama proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM 2. Ketua Program Studi Pebandingan Madzhab Fiqih. Dr. H. Muhammad Taufiqi, M. Ag, dan Sekretasis Jururusan Fahmi Muhammad Ahmadi, S. Ag, M. Si
i
3. Dosen pembimbing skripsi Drs. Noryamin Aini, MA, atas kesediaannya meluangkan waktu untuk memberikan arahan, pengetahuan, dan dengan sabar membimbing penulis hingga selesainya skripsi ini. 4. Seluruh staff pengajar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepad penulis selama di bangku kuliah 5. Pimpinan dan staff Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh staff Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah membantu menyaediakan fasilitas perpustakaan 6. K.a Kelurahan Pulo Gebang Jakarta Timur beserta staffnya, yang telah mengizinkan
penulis
untuk
mengambil
data-data
guna
melengkapi
penyelesaian penulisan skripsi ini 7. Warga masyarakat Pulo Gebang yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam memberikan komentarnya 8. Untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Narman dan Ibunda Hj. Romlah yang telah dengan sabar mengasuh, mendidik dan membesarkanku, serta takkan pernah terhenti mendoakan demi keberhasilan penulis mengarungi kehidupan ini. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan kasih sayang-Nya untuk mereka dan mengampuni segala dosa-dosa mereka. Amin. 9. Kakak-kakaku tersayang, terutama ka’ Karnali yang telah meluangkan waktu dan pengorbanannya serta motivasi kepada penulis, ka’ Rofi’atul Adawiyah, ii
ka’ Husni Mubarok, ka’ Yudhy Arifin, ka’ Siti Sholihah, yang selalu memberikan semangat dan dukungannya. Dan tak lupa untuk keponakannku tercinta Lidza, Adib, Ananda Ghalib semoga menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Amin 10. Untuk mas Abdul Rohman seseorang yang selalu memberikan semangat dan menemani hari-hari penulis selama ini, terima kasih atas segala cinta, perhatian, kasih sayang juga pengorbanan inspirasi dan kesabarannya. 11. Seluruh rekan-rekan PMF satu angkatan 2004 yang tidak pernah bosan memberikan spirit dan motivasi kepada penulis, terutama kepada Ulfa, Fitri, Dede, Siha, imuz kau adalah teman terbaikku, thanks to all. Semoga dengan kebaikan yang sudah mereka berikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Jakarta, 24 Maret 2011 M 19 Rabiul Akhir 1432 H
‘Uswatun Hasanah
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................................i DAFTAR ISI...............................................................................................................iv DAFTAR TABEL......................................................................................................vi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.........................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.....................................................4 C. Tujuan Penelitian....................................................................................5 D. Review Studi Terdahulu.........................................................................6 E. Metode Penelitian....................................................................................7 F. Sistematika Penulisan..............................................................................9 BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG ETIKA BERSUCI DAN PERILAKU HUKUM MASYARAKAT A. Pemahaman Tentang Thaharah dan Hubungannya Dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan ..............................................12 1. Pengertian Thaharah dan Dasar Hukum Thaharah..........................15 2. Macam-macam Air dan Pembagian Air...........................................17 3. Macam-macam Najis dan Tingkatannya..........................................23 4. Cara Menghilangkan dan membersihkan Najis...............................24 B. Memahami Etika dan Perilaku Hukum Masyarakat............................28 1. Hukum dan Perilaku Manusia.......................................................28 2. Etika dalam Norma Hukum...........................................................30 iv
3. Motivasi dan Perilaku Hukum.......................................................33 4. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum................................................36 BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN PULO GEBANG JAKARTA TIMUR A. Keadaan Letak Geografis dan Demografis.........................................42 B. Keadaan Sosiologis…………………………………………..............49 1. Bidang Pendidikan…………………………………………………....49 2. Bidang Agama………………………………………………………...50 BAB IV : ANALISIS TERHADAP PERILAKU BERSUCI DAN ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS DI MASYARAKAT PULO GEBANG JAKARTA TIMUR A. Identifikasi Sumber Data.....................................................................54 B. Pemahaman Dan Pelaksanaan di Masyarakat Pulo Gebang Terhadap Perilaku Bersuci...................................................................................62 C. Perilaku
Masyarakat
Muslim
Pulo
Gebang
terhadap
Etika
Membersihkan Najis (Bersuci)............................................................76 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan...........................................................................................87 B. Saran.....................................................................................................88 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................89 LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Jumlah Penduduk berdasarkan status kewarganegaraan…………….43
Tabel 3.2
Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia…………………………44
Tabel 3.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Lapangan Kerja…………….45
Tabel 3.4
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan……………….....46
Tabel 3.5
Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut………………….47
Tabel 3.6
Jumlah sarana pendidikan……………………………………………50
Tabel 3.7
Jumlah sarana peribadatan…………………………………………...52
Tabel 4.1
Narasumber berdasarkan segmen usia.................................................55
Tabel 4.2
Data narasumber Berdasarkan Pendidikan (jenis pendidikan)............57
Tabel 4.3
Data narasumber berdasarkan pendidikan (tingkat pendidikan).........59
Tabel 4.4
Data narasumber berpengalaman dalam mengikuti pendidikan agama...................................................................................................60
Tabel 4.5
Data narasumber menurut peran sosial keagamaan.............................62
Tabel 4.6
Data narasumber berdasarkan pemahaman tentang thaharah..............65
Tabel 4.7
Data
narasumber
dalam
mendapatkan
pengetahuan
tentang
thaharah………………………………………………………………80
vi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek terpenting bagi manusia guna menjalin hubungan yang terbaik kepada Allah Swt dan manusia serta alam sekitarnya adalah kebersihan. Dalam kehidupan makhluk bernyawa, kebersihan merupakan salah pokok dalam memelihara kelangsungan eksistensinya, sehingga tidak ada satupun makhluk kecuali berusaha untuk membersihkan dirinya, walaupun makhluk tersebut dinilai kotor. Dalam ajaran Islam, bersuci memainkan peranan yang sangat penting dalam ibadah. Tidak hanya dalam kasus shalat, kesucian diri, tubuh, pakaian dan tempat juga sangat mempengaruhi kesahihan ibadah haji. Bersuci sangat mampengaruhi kesahihan ibadah orang tersebut. Dengan begitu, tujuan dari ibadah terpenuhi dengan sempurna. Kesalahan sedikit dalam bersuci akan berakibat fatal terhadap ibadah. Alih-alih mendapatkan pahala justru dosa yang diperoleh. Akan tetapi banyak sekali orang yang kurang memperhatikan masalah bersuci tersebut. Hal ini terjadi bisa saja karena ketidakpahaman mereka tentang bersuci atau memang mereka paham tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau lebih parahnya lagi mereka menganggap enteng masalah bersuci tersebut. Dari sini dapat dipahami bahwa bersuci dalam Islam begitu penting sekali. Bersuci juga ada hubungannya dengan soal-soal batin. Persoalan iman dan persoalan
1
2
shalat berhubungan erat dengan perkara kebatinan. Jadi dengan demikian, bersuci berkaitan langsung dengan iman dan shalat. Seperti hal yang telah tertulis di atas, maka jika bersuci dilakukan dengan benar, maka ibadah kita akan sempurna. Namun, jika salah melakukan bersuci, maka ibadah kita rusak. Jadi, perkara yang pertama yang dapat kita pahami tentang bersuci ini adalah bahwa Allah sama sekali tidak bertujuan untuk menyusahkan kita, tetapi semata-mata hendak membersihkan kita baik dari hadas, najis dan kotoran yang lainnya ataupun membersihkan kita dari segala dosa. Dengan memelihara kesucian badan, berarti juga menjaga kesucian pakaian. Jika memelihara kesucian badan dan pakaian, maka sekaligus akan memelihara kebersihan badan dan dengan sendirinya akan terfikirkan untuk memelihara kesucian dan kebersihan rumah. Apabila kesucian dan kebersihan rumah diperhatikan, dengan sendirinya akan diperhatikan kesucian alat-alat dan perabotan rumah tangga. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan dikhususkan tempat shalat di rumah, sebagai bukti perhatian terhadap masalah kesucian. Kamar mandi dan WC pun akan menjadi perhatian penting dalam rangka menjaga kesucian dan kebersihan. Seiring dengan diperhatikan seluruh isi rumah, maka akan memperhatikan kebersihan di sekitar rumah. Satu contoh ketika akan melaksanakan shalat, pertama yang perlu diperhatikan adalah kesucian badan, juga perlu diperhatikan pula kebersihan dan kesucian pakaian. Kedua, diperhatikan tentang kesucian tempat atau ruangan khusus untuk melaksanakan shalat (musholla dalam rumah). Kemudian diperhatikan pula
3
jalan yang menghubungkan tempat wudlu
menuju tempat sholat, karena
dikhawatirkan ada bekas najis yang tidak terlihat seperti bekas air kencing bayi atau anak-anak. Adapun alat yang digunakan untuk bersuci tersebut ada yang menggunakan air dan tanah. Akibat teknologi yang lebih maju maka bagi manusia, cara membersihkan diri tersebut dapat dilakukan dengan tanah dan air, dan ditambah dengan menggunakan sabun mandi. Bahkan untuk pembersih wajah ada sabun khusus dan lain sebagainya. Banyak masyarakat muslim pada umumnya belum bisa membedakan antara najis dan hadas. Najis adalah materi dari suatu kotoran. Sedangkan hadats adalah kondisi dimana seseorang dianggap tidak bersuci karena telah mengeluarkan kotoran atau sebab-sebab lain yang dianggap membatalkan kesuciannya. Contohnya: kalau seseorang telah buang air, maka dia berhadats. Setelah najisnya dibersihkan, dia masih tetap berhadats jika dia belum berwudhu.1 Ketidaktahuan mereka sebenarnya akan tertutup dengan kesadaran nurani untuk mau belajar dan bertanya kepada yang lebih tahu, baik ulama atau ustadz. Kesadaran nurani, pengertian akan perilaku yang benar, adalah suara batin yang biasa menjadi tolak ukur. Hal itu memang amat pribadi sifatnya. Tetapi manusia tumbuh dalam masyarakat, dan kesadaran nurani merepresentasikan secara utuh
1
A. Ma’ruf Asrori, Ringkasan Fikih Islam, ,(Surabaya: Al-Miftah, 2000), Cet. Pertama, h. 4
4
kaidah sosial mengenai benar dan salah. Dalam keadaan apapun, nurani yang buruk akan menyakitkan manusia, sementara kebajikan akan membawa kepuasan batin.2 Nurani yang buruk tercermin kepada sikap dan perilaku buruk seperti; pakaian najis tidak disucikan, anggota tubuh yang tidak dibersihkan, rumah dan lingkungan yang tidak dipeliharan kebersihan dan keindahannya. Sedangkan kebajikan yang membawa kepuasan batin seperti; membersihkan dan mensucikan pakaian yang kotor dan najis, anggota tubuh selalu dibersihkan, merawat dan memelihara kebersihan, keindahan rumah dan halaman. Berangkat dari permasalahan yang telah dijelaskan di atas maka penulis bermaksud menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul ”Perilaku Bersuci Masyarakat Islam: Etika Membersihkan Najis (Studi Sosiologi Hukum di Masyarakat Pulogebang Jakarta Timur)”
B. Pembatasan Masalah Dan Perumusan Masalah Dengan
memperhatikan
latar
belakang
di
atas,
maka
penulis
mengidentifikasikan seputar perilaku bersuci di masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur. Hal-hal yang muncul dalam penelitian ini adalah bagaimana aplikasi thaharah dan etika3 bersuci di masyarakat dalam pengembangan teori pada praktek sehari-hari
2
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, diterjemahkan oleh: M. Khozim, (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2009) h. 82 3
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak) Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), cet. ke 9, h. 271
5
ketika membersihkan najis, misalnya membersihkan pakaian, tempat sholat, dan membersihkan atau menghilangkan najis dikaitkan dengan hukum Islam dalam bab thaharah. Mengingat luasnya persoalan thaharah, dalam pembahasan skripsi ini, penulis ingin membatasi diri untuk mengkaji lebih dalam tentang bersuci dan etika membersihkan najis dalam perilaku masyarakat muslim di Pulo Gebang Jakarta Timur. Pembahasan dalam skripsi ini meliputi pemahaman dan perilaku masyarakat terkait dengan masalah thaharah. Untuk menjawab masalah pokok di atas, pertanyaan-pertanyaan khusus (minor research question) di bawah ini, merupakan masalah-masalah yang akan dicarikan jawabannya lewat penelitian ini di masyarakat Pulo Gebang. Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengetahuan masyarakat Pulo Gebang tentang fiqih thaharah? 2. Bagaimana aplikasi fiqih thaharah di masyarakat pulogebang? 3. Apakah masyarakat muslim dalam membersihkan najis sesuai dengan etika yang diajarkan dalam Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini, antara lain adalah:
6
1. Ingin mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat muslim Pulo Gebang mengenai fiqih thaharah 2. Ingin menganalisis secara lebih jauh dan mendalam tentang perilaku masyarakat muslim ketika bersuci khususnya etika membersihkan najis. 3. Mengetahui sebagian kasus-kasus atau permasalahan tentang cara-cara membersihkan najis yang terjadi di masyarakat. Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai sumbangan informasi ilmiah bagi para peminat dan pemerhati hukum Islam khususnya para praktisi hukum. 2. Ikut melengkapi dan memperkaya khazanah perpustakaan Islam, sehingga dapat membantu masyarakat dalam memperluas wawasan tentang hukum Islam.
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu Sejauh pengamatan penulis, karya tulis Perilaku bersuci dan etika membersihkan najis di masyarakat ini, secara khusus belum disinggung oleh para penulis. Ada skripsi yang telah membahas ataupun yang secara umum berkaitan dengan masalah thaharah. Akan tetapi, penulis belum menemukan karya tulis seperti judul yang diangkat penulis. Penulis berkesimpulan bahwa judul yang diangkat ini adalah baru. Adapun karya tulis yang mempunyai korelasi dengan permasalahan yang
7
diangkat oleh penulis adalah; Skripsi Muhson (0043119151) Tahun 2005 dengan judul ”Studi Comparativ tentang najis yang dimaafkan menurut empat mazhab (Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali)”. Fakultas Syari’ah dan hukum Jurusan PMH/2005 M. Skripsi ini membahas tentang thaharah pada umumnya dan hanya menfokuskan pada najis yang dimaafkan menurut empat mazhab. Karya tersebut dikaji dalam bentuk pustaka saja. Berbeda halnya dengan penulis yang menggunakan kajian empiris yang berkembang dilapangan. Skripsi yang dibahas oleh penulis adalah skripsi yang berhubungan dengan realitas sosial dan keadaan dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu penulis mengkajinya dengan menggunakan perspektif sosiologi hukum. Dengan menggunakan teori perilaku dan etika masyarakat, penulis berharap akan mandapatkan gambaran yang obyektif serta penilaian perilaku dan etika tersebut terhadap peranan-peranan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga dari hasil penilaian tersebut dari segi hukum akan terlihat obyektif.
E. Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah menggunakan studi kasus (case study) yaitu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci masalah atau kasus yang dihadapi. 1. Tehnik Pengumpulan Data pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penulisan ini dengan cara sebagai berikut:
8
a. Observasi Metode ini dilakukan untuk memperoleh data empiris dari responden dan informan tentang peristiwa yang terjadi dengan sesungguhnya, yaitu dengan melakukan pengamatan secara sistematis mengenai perilaku individu atau kelompok masyarakat dan kehidupannya. Dengan hal ini, penulis menggunakan metode observasi partisipan dan metode penelitian sosiologis. Observasi ini pada hakikatnya merupakan metode untuk menemukan secara khusus dan relistis apa yang terjadi pada suatu saat di lapangan. Observasi ini dilakukan selama 4 bulan, mulai dari bulan Oktober 2010 hingga bulan Februari 2011. b. Interview (wawancara) Penulis melakukan wawancara kepada 25 orang narasumber dari sejumlah orang yang ada di daerah tersebut. Mereka adalah masyarakat setempat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Dalam hal ini penulis menggunakan metode interview terpimpin dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai acuan agar proses wawancara terfokus pada permasalah pokok yang dimaksud. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data yang primer dan sumber data yang skunder.
9
a. Sumber data primer adalah: i. Narasumber, yakni orang atau keluarga yang dijadikan fokus penulisan, dalam hal ini adalah masyarakat setempat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan mereka yang sudah baliqh (dewasa), sudah berkeluarga dari berbagai latar belakang baik kaya maupun miskin dimintai keterangan ii. Informan, yakni orang yang memberikan informasi tentang situasi dan kondsi obyektif wilayah daerah yang diteliti oleh masyarakat setempat dan sebagainya. b. Sumber data skunder adalah buku-buku yang berhubungan dengan perilaku masyarakat dan mengenai fiqih thaharah dan buku-buku yang berkaitan dengan sosiologi hukum, dan juga buku-buku tambahan lainnya. Disamping itu, penulis juga menggunakan metode content analisa dan comparative yaitu data-data yang terhimpun akan penulis analisa dengan seksama dan teliti lalu dikomperasikan antara data-data tersebut sehingga menemukan suatu kesimpulan yang dimaksud.
F. Sistematika Penulisan Searah dengan masalah yang akan dibahas, keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab:
10
BAB I
:
PENDAHULUAN Dalam bab ini dikemukakan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian kemudian diakhiri dengan Sistematika Penulisan.
BAB II
:
KAJIAN TEORI TENTANG BERSUCI DAN PERILAKU HUKUM MASYARAKAT Pada bab ini terdiri dari Pemahaman tentang Thaharah dan Hubungannya dengan Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan, Pengertian Thaharah dan Dasar Hukum Thaharah, Macam-macam Air Dan Pembagian Air, Pembagian Najis dan Tingkatannya, Cara Menghilangkan dan Membersihkan Najis, Memahami Etika dan Perilaku Hukum Masyarakat, Hukum dan Perilaku Manusia, Etika dan Norma Hukum, Motivasi dan Perilaku Hukum, Kesadaran dan Kepatuhan Hukum
BAB III : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN PULO GEBANG JAKARTA TIMUR Pada bab ini Penulis memaparkan tentang gambaran umum masyarakat di Pulo Gebang meliputi; Keadaan Letak Geografis, Demografis dan Keadaan Sosiologis Masyarakat.
11
BAB IV :
ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU BERSUCI DAN ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS DI MASYARAKAT PULO GEBANG JAKARTA TIMUR Pada bab ini, penulis mendiskripsikan temuan penelitian tentang Pemahaman Dan Pelaksanaan di Masyarakat Pulo Gebang Terhadap Perilaku Bersuci, Analisa Kesadaran dan Perilaku Masyarakat Muslim Pulo Gebang terhadap Etika Membersihkan Najis (Bersuci)
BAB V
:
PENUTUP Sebagai pemungkas penulisan skripsi ini, penulis akhiri sebagai penutup meliputi; Pertama, kesimpulan umum dari kajian skripsi secara keseluruhan yang merupakan penegasan sebagai jawaban atas perumusan dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan dimuka, Kedua, saran-saran dari penulis kepada pemerintah yang mengurusi masalah-masalah keagamaan yaitu Departemen Agama dan masyarakat muslim Indonesia pada umumnya.
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG ETIKA BERSUCI DAN PERILAKU HUKUM MASYARAKAT
A. Pemahaman tentang Thaharah dan Hubungannya dengan Kebersihan Kesehatan dan Keindahan Lingkungan Sebagian ulama fiqh dalam menyusun kitabnya bab thaharah menduduki pada bab pertama sebelum membahas bab lainnya seperti bab sholat, bab zakat, bab haji dan seterusnya. Karena menurut ulama fiqih lebih mengutamakan urusan akhirat daripada dunia, disamping thaharah adalah kunci sholat yang merupakan ibadah yang sangat penting. Ada ungkapan bahwa kunci surga adalah sholat sedang kunci sholat adalah thaharah (kesucian)1 Kebersihan dalam Islam merupakan konsekusensi dari keimanan seseorang kepada Allah, dan sebagai upaya menjadikan dirinya suci/bersih
berpeluang
mendekat kepada-Nya. Kebersihan itu bersumber dari iman dan merupakan bagian dari iman. Dengan demikian kebersihan dalam Islam mempunyai aspek ibadah dan aspek iman. Oleh karena itu, untuk menjelaskan thaharah sering juga dipakai kata “bersuci” sebagai padanan kata “membersihkan/ melakukan kebersihan”.
1
Ibrahim Al-Bajuri, hasyiyah al-Bajuri „Ala Ibn Qasim al-Ghazi, (t.tp:Syirkah Nur Asia, t.t), jilid ke-1, h. 23.
12
13
Ajaran kebersihan tidak hanya merupakan slogan atau teori belaka, tetapi harus dijadikan pola hidup praktis, yang mendidik manusia hidup bersih, indah dan sehat sepanjang masa, bahkan dikembangkan dalam hukum Islam. Karena antara kebersihan dan kesehatan sangat erat hubungannya. Dalam suatu pepatah dikatakan bahwa “kebersihan pangkal kesehatan”. Dalam rangka inilah dikenal sarana-sarana kebersihan yang termasuk kelompok ibadah, seperti : wudhlu, tayamum, mandi (ghusl), pembersihan gigi (siwak). Menurut bahasa, bersih adalah terjemahan dari kata thaharah. Kegiatannya disebut dengan bersuci. Menurut istilah fuqoha, thaharah berarti membersihkan diri dari hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing, dan tinja. Thaharah atau bersuci ada dua bagian, yaitu bersuci dari hadas dan bersuci dari najis. Bersuci dari hadas adalah membersihkan bagian tertentu dari badan, dilakukan dengan berwudhu, tayamum dan mandi, sedangkan bersuci dari najis adalah membersihkan najis pada badan, pakaian dan tempat. Sering pula dikatakan bahwa thaharah (bersuci) diartikan membersihkan diri dari najis dan hadas dengan alat-alat yang ditentukan oleh syari‟at Islam. Dengan demikian, thaharah seperti dikatakan oleh syekh Ali bin Muhammad al-Jurjani adalah suatu kata yang berkaitan tentang membasuh beberapa anggota tertentu dengan sifat (air/cara) tertentu. 2 Thaharah juga mempunyai implikasi terhadap keindahan lingkungan. Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan pisik, 2
Syekh Ali bin Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta‟rifat, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), Cet. Ke-2, h. 142
14
lingkungan manusia dan lingkungan keluarga. Lingkungan fisik yang terdiri dari alam yang berada di sekitar kita. Lingkungan manusia adalah orang-orang yang interaksi dengan kita baik langsung maupun tidak langsung. Secara lebih kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang terutama pada masa-masa awal dari kehidupannya. Dalam hubungannya dengan hukum Islam kebersihan dan keindahan lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran thaharah. Sebagai contoh, menurut syara‟ seseorang dilarang melakukan buang air besar atau kecil di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah pohon tempat orang berteduh, ke dalam saluran air, di tengah jalan dan lobang-lobang binatang yang terdapat di dalam tanah. Hal ini bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan.3
1. Pengertian Thaharah dan Dasar Hukum Thaharah Kata thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi terambil dari kata طهارة- طهرا- يطهر- طهر
yang berarti suci, bersih.4 Pengertian طهرkata
ini terambil dari firman Allah SWT berikut ini:
Jika kamu junub (berhadas besar), maka bersucilah... (QS. 5:6)
3
A. Rahaman Ritonga dan Zainudin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet.
II, h. 26 4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-4, h. 868
15
Thaharah menurut Raghib al-Ashfahani, mencakup dua macam, yaitu thaharah jism (badan) dan thaharah nafs (jiwa).5 Sedangkan menurut istilah fiqh, thaharah ialah
“Menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi (kesahihan) shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadas dan najis) dengan tanah”.6 Para fuqaha secara sepakat mengatakan tentang dasar hukum thaharah bahwa thaharah telah disyari‟atkan di dalam Islam. Pendapat ini didasarkan antara lain atas firman Allah SWT:
“Hai orang yang berkmul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggakanlah” (QS. 74:1-5)
2. Macam-macam Air dan Pembagian Air Adapun macam-macam air yang boleh dipergunakan untuk bersuci itu ada tujuh macam, yaitu: 1. air langit (hujan), 2. air laut, 3. air sungai, 4. air sumur, 5. air
233
5
Raghib al-Ashfahani, Mu‟jam Mufradat al-Fadzh al-Qur‟an, (Bairut: Dar Fikr, t.th), h. 318
6
Abu Jayb, Sa‟dy, Al-Qamus al- Fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, (Dar al-Fikr, 1988), h.
16
sumber, 6. air salju(es), 7. air embun.7 Kemudian macam-macam air itu terbagi empat bagian, yaitu: 8 a. Air suci dan mensucikan, yaitu air mutlak. Air mutlak adalah air yang terpancar dari bumi atau turun dari langit. Allah SWT berfirman:
”....dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.” (QS. AlFurqan: 48). b. Air suci lagi menyucikan tetapi makruh penggunaanya, yaitu air yang terjemur matahari, Air ini boleh digunakan untuk mengangkatkan hadas, akan tetapi hukumnya makruh, dan malah makruh tanzih bilamana ada air yang lain.9 Hukum makruh menggunakan air yang terjemur matahari ini menurut mazhab imam Syafi‟i, sedangkan tiga imam mazhab yang lainnya (Hanafi, Maliki dan Hanbali) mengatakan tidak ada kemakruhan menggunakan air yang terjemur matahari.10 c. Air suci tetapi tidak mensucikan, yaitu air musta‟mal. Air ini boleh diminum dan dipakai untuk memasak, tetapi tidak sah untuk mengangkat hadas
7
Muhammad bin Qasim al-Ghuzi, Fathul Qarib al-Mujib, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th),
h. 3 8
Al-Imam Taqiyyuddin, Kifayah al-Akhyar fi halli Ghayah al-Ikhtishar, (Surabaya: Dar Ihya al „Arabiyah, t.th), Juz 1, h. 6 9
Rahaman Ritonga dan Zainudin, h. 20
10
Abdul Wahab al-Sya‟rani, al-Mizan al-Kubra, (Semarang: Toha Putera, t.th), Juz 1, h. 108
17
(bersuci) dan menghilangkan najis.11 Hal yang dimaksud dengan air musta‟mal ini adalah air bekas yang pernah digunakan untuk bersuci atau air sedikit yang terkena air bekas untuk bersuci atau air yang tercampur dengan barang yang suci, misalnya tercampurnya itu dengan sabun, kiambang, tepung, dan lain-lain yang biasa terpisah dari air. Dan apabila air tersebut digunakan untuk bersuci maka hukumnya makruh.12 d. Air yang bernajis (mutanajjis), yaitu air yang kemasukan najis, sedang air itu kurang dari dua kullah atau dua kullah tetapi telah berubah (warna, bau, dan rasanya karena kemasukan najis tersebut). Dua kullah adalah kurang lebih 500 kati Baghdad menurut pendapat yang paling shahih,13 sebanding dengan ukuran 175 liter air. Para ulama madzhab berkata, bahwa apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya najis. Kalau air itu terpisah tidak bersama najis, maka status hukum bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci. Sebaliknya, jika tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa 11
Abul Qadir Ar-Rahbawi, Ash-Sholah „ala Madzahib Al-Arba‟ah, Penerjemah Abu Firly Bassam Taqiy, Fikih Shalat Empat Madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007), cet. ke X, h. 43 12
13
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Bairut: Muassasah al-Risalah), Jilid 1, h. 16
Untuk lebih jelasnya mengenai berapa banyaknya air dua kullah ada beberapa pendapat diantaranya; menurut ukuran kati baghdad : 245,325 liter atau 62,4 cm x 62,4 x 62,4 cm; menurut Imam Rafi‟i: 176,245 liter atau 56,1 cm x 56,1 cmx 56,1 cm; menurut Imam Nawawi: 174,580 liter atau 55,9 cm x 55,9 cm x 55,9 cm. A. Ma‟ruf Asrori, Ringkasan Fikih Islam, (Surabaya: Al-Miftah, 2000), Cet. Pertama, h. 4
18
tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis.14
3. Pembagian Najis dan Tingkatannya Macam-macam najis banyak dibicarakan dalam Islam, mulai dari pembagian najis dan bagaimana tata cara menghilangkannya. Najis menurut bahasa artinya sesuatu yang dianggap kotor. Sedang menurut syara‟ adalah sesuatu yang dianggap kotor yang menghalangi kesahihan sholat.15 Dengan demikian, najis adalah sesuatu yang kotor yang harus dihindarkan atau disucikan ketika hendak mengerjakan ibadah terhadap pakaian, badan dan tempat agar ibadah tersebut menjadi sah dan diterima oleh Allah Swt16. Najis dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yakni:17 1. Najis mukhaffafah; ialah najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya.
14
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hambali, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996), cet. II, h. 4 15
Muhammad Syatha al-Dimyathy, I‟Anah al-Thalibin, (Surabaya: al Hidayah, t.th), Juz 1, h.
16
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-2, h.
82
246 17
Nawawi al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi in, (Semarang: Maktabah wa Mathba‟ah Toha Putera, t.th), h. 45
19
2. Najis mughalladzah yaitu najis yang berat; yakni najis anjing dan babi serta keturunan dari keduanya. 3. Najis mutawassithah (sedang), yaitu kotoran seperti kotoran manusia
atau
binatang, air kencing, nanah, darah, bangkai (selain bangkai ikan, belalang, mayat manusia) dan najis-najis yang lain selain yang tersebut dalam najis ringan dan berat. Najis mutawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian: a. Najis „ainiyah : yaitu najis yang bendanya berwujud. b. Najis hukmiyah : yaitu najis yang tidak berwujud. 4. Najis yang dapat dimaafkan; yaitu antara lain: a. Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti nyamuk, kutubusuk dan sebagainya. b. Najis yang sedikit sekali c. Nanah atau darah dari kudis atau bisulnya sendiri yang belum sembuh d. Debu yang bercampur dengan najis dan lain-lainnya yang sukar dihindarkan.
4. Cara Menghilangkan dan Membersihkan Najis Thaharah memiliki empat sarana untuk bersuci, yaitu air, debu, sesuatu (kulit binatang) yang bisa disamak dan bebatuan untuk beristinja. Sedangkan tujuan
20
thaharah adalah untuk berwudhu, mandi, tayammum, dan menghilangkan najis.18 Air dapat dipergunakan untuk berwudhu atau mandi. Debu dapat digunakan untuk bertayamum, sebagai ganti air dalam berwudhu atau mandi. Bangkai Kulit binatang bisa disamak (dibersikan menjadi suci) kecuali kulit babi dan anjing serta hewan keturunan dari keduanya. Bebatuan digunakan untuk bersuci setelah buang air kecil dan air besar. Cara menyucikan najis berbeda-beda, tergantung jenis najisnya. Cara yang lebih banyak dilakukan adalah mencuci atau membasuhnya dengan air, meskipun telah bersuci menggunakan tiga batu setelah istinja misalnya. Bahkan, bila diikuti dengan air setelah menggunakan tiga batu tersebut, maka menjadi lebih baik (afdlal). Bila ingin meringkas dengan salah satu dari air atau batu, maka bersuci dengan menggunakan air lebih utama. Karena air lebih bisa menghilangkan benda dan bekasnya.19 Cara melakukan thaharah (membersihkan najis) tergantung pada jenis najis yang mengenai suatu benda, antara lain sebagai berikut: 1. Najis mughalazah yaitu najis yang berat, yakni najis yang timbul dari anjing dan babi atau dari keturunan keduanya. Cara mensucikannya, lebih dahulu dihilangkan wujud najisnya, kemudian dibasuh dengan air bersih sebanyak
18
Abdurrahman bin Muhammad Ba „Alawi, Bughyah al-Mustarysidin fi Talhish Fatawa ba‟dh al-Aimmah min „Ulama al-Mutaakhirin, (Bandung: Syirkah Ma‟arif lithab‟ wa al-Nashr, t.th) h. 10 19
Qalyubi wa „Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa „Umairah, (Bairut: Dar al-Kutub al-alIlmiyyah, 1997), Juz 1, Cet ke-1, h. 63
21
tujuh kali, dan salah satunya dicampur dengan tanah yang suci. Sabda Nabi saw.:20
21
.
”Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin harb, telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ibrahim dari Hisyam bin Hassan dari Muhammad bin Sirin dari Abu Huraiarah berkata: bersabda Rasulullah Saw:”Suci bejana salah seorang diantara kamu bila dijilat anjing, hendaklah mencucinya tujuh kali, permulaanya hendaklah dicampur dengan tanah/debu.” (Riwayat Muslim). Hadits tersebut menurut Muhammad bin Isma‟il al-Shan‟any menunjukkan tiga hukum, yaitu; mulut anjing najis, wajib tujuh kali basuhan dan wajib menggunakan debu.22 2. Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain daripada kedua macam tersebut di atas. Najis pertengahan ini ada terbagi atas dua bagian : a. Najis hukmiyah, yaitu najis yang tidak terlihat (tidak nampak). Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang
20
Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, (Surabaya: Dar Ihya al-Arabiyah, t.th), Juz I, h. 132 21
Muslim, Shahih Muslim, (t.t, Dar Ihya al- Arabiah, t.th), juz I, h. 132
22
Muhammad bin Isma‟il al-Shan‟ani, Subul al-Salam, (Bandung: Dahlan, t.th), Juz 1, h. 22
22
terkena najis tersebut. Apabila rupa najis ini tidak mau hilang setelah digosok-gosok, maka dimaafkan. 23 b. Najis ‟ainiyah, yaitu yang terlihat (masih ada zat, warna, dan baunya), maka Cara mencuci najis ini hendaklah dengan dihilangkan zat, rasa, warna, dan baunya. Adanya bau dan warna pada benda menunjukkan adanya najis di benda tersebut, kecuali bila setelah dihilangkan dengan cara digosok dan dikucek, maka dimaafkan. 3. Najis mukhaffah (ringan), misalnya kencing bayi laki-laki yang belum memakan makanan lain selain ASI. cara untuk menghilangkan najis pada kencing bayi yaitu cukup memercikan air pada pakaian yang terkena kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan (najis mukhaffafah), jika bayi laki-laki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci (najis mutawassitah). Sedangkan jika bayi itu perempuan maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik ia sudah mengkonsumsi makanan atau belum (najis mutawassitah). 24
Dengan demikian cara menghilangkan dan membersihkan najis adalah bisa dengan mencuci, membasuh, menyiram, menyiprati, dan mengusap dengan air. Caracara tersebut berdasarkan ketetapan syara‟ yang dirinci dalam beberapa hadis shahih. 23
Abi Hamid bin Muhammad al-Ghazali, Ihya „Ulum al-Din, (Bairut:Dar al-Kutub alIlmiyyah, Cet. Ke-1, 2002, h. 186 24
Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Al-Fatwa Al-Jami‟ah Lil Mar‟ah Ash-Shalihah, Penerjemah Amin bin Yahya Al-Wazan (Jakarta: Darul Haq,2001), h. 4
23
Cara mencuci dan menyiram dapat dilakukan bagi semua jenis dan macam najis bagi semua tempat, sedang mengusap dengan menggunakan dengan beberapa batu diperbolehkan pada najis yang melekat pada kubul dan dubur (istinja).
B. Memahami Etika dan Perilaku Hukum Masyarakat 1.
Hukum dan Perilaku Manusia Suatu kaidah hukum merupakan patokan untuk bertingkah laku sebagaimana
diharapkan. Orang-orang akan memilih dan melakukan suatu perbuatan, oleh karena adanya kepercayaan bahwa mereka menghayati perilaku yang diharapkan dari pihakpihak lain, dan bagaimana reaksi pihak-pihak lain terhadap perilakunya. Kaidahkaidah menghubungkan segi batiniyah dari pribadi-pribadi yang memilih dengan masyarakat sekelilingnya.25 Hukum sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Analisa ini berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam perilaku-perilaku tersebut. Sering dikatakan bahwa salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut dengan sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial, dan sanksi digunakan sebagai alat untuk
25
Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), cet. kedua, h. 80
24
mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti agar orang tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan. Sudah tentu mungkin ada orang-orang yang tunduk hukum bukannya karena takut, melainkan ada alasan-alasan lain, dan selain itu tidak cukup bagi kita untuk mengukur sampai sejauh mana fungsi kontrol dari hukum dapat berjalan dengan hanya melihat banyaknya orang yang patuh kepada aturan-aturan hukum yang telah ditentukan. Sesungguhnya rasa takut terhadap hukum dalam arti yang positif mungkin hanya merupakan sebagian dari alasan orang-orang untuk selalu patuh kepada aturanaturan hukum. 26 Di dalam hubungan antara hukum dengan perilaku masyarakat, terdapat adanya unsur pervasive socially (penyerapan sosial). Artinya, bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan saling relevant atau memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila aturan-aturan hukum dengan sanksi-sanksinya atau dengan perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan (polisi, hakim, jaksa, dan sebagainya) sudah diketahui atau dipahami arti dan kegunaannya oleh individu atau masyarakat yang terlibat dengan hukum itu. 27
26
David N. Schiff, Hukum sebagai Fenomena Sosial, dalam Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum, Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, eds, Jakarta: Bina Aksara, 1987, h. 253 27
Ibid., h. 256
25
2. Etika dan Norma Hukum Etika adalah bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi manusia yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup bermasyarakat. Kata “etika” menunjuk dua hal. Yang pertama, aspek disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, pokok permasalahan disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup yang sesungguhnya dan hukum-hukum tingkah laku. Kedua hal ini berpadu dalam kenyataan bahwa bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum, adat dan harapan-harapan yang kompleks dan terus berubah. Akibatnya berdampak kepada perenungan tingkah laku dan sikap, membenarkannya dan kadang-kadang memperbaikinya.28 Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka dirumuskannlah norma-norma masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk secara tidak sengaja. Namun lamakelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Misalnya dahulu di dalam jual beli, seorang perantara tidak harus diberi bagian dari keuntungan. Akan tetapi lamakelamaan terjadi kebiasaan bahwa perantara harus mendapat bagiannya, dimana sekaligus ditetapkan siapa yang menanggung itu, yaitu pembeli ataukah penjual.29 Norma atau kaidah-kaidah adalah ketentuan atau peraturan-peraturan yang memberi batasan dan kebebasan kepada anggota masyarakat dan bagaimana 28
29
R. Andre Karo-karo, Pengantar ke Etika, (Jakarta: Erlangga, 1984), h. 2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), Cet. 25, h. 220
26
hubungan antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya dalam pergaulan hidup sesamanya. Norma atau peraturan hidup itu mulai tumbuh sejak manusia mengenal hidup bermasyarakat, pertumbuhan dan perkembangannya akan melahirkan beberapa macam norma sesuai dengan sumbernya.30 Ajaran agama atau aliran kepercayaan yang masuk atau timbul dalam masyarakat sangat menunjang tegaknya tata tertib kehidupan dalam masyarakat itu. Perintah dan larangan yang dikembangkan oleh ajarannya akan menebalkan iman setiap penganutnya mematuhi segala perintah dan larangannya seperti yang diajarkan oleh agama demi keselamatan hidup manusia.31 Socrates sebagaimana dikutip oleh Dr. Ahmad Mahmud Shubhi mengatakan tidak memisahkan antara etika dan agama. Kehidupan etika, bagi Socrates bertumpu pada dua sendi: hukum negara yang tertulis dan hukum tuhan yang tidak tertulis. Ia mengisyaratkan pentingnya kepercayaan atas kekekalan jiwa dalam tema etika. Kekekalan jiwa adalah masalah metafisika, atau lebih tepanya agama. Socrates menjelaskan bahwa adanya kehidupan lain menampakkan kepada jiwa adanya keadilan yang dapat mengurai segala kepelikan, dan menerangi jalan, sehingga banyak jiwa dapat menelusurinya secara nyaman.32
30
Rien G. Kartasapoetra, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, (Jakarta: Bina Aksara, 1988),
cet. I, h. 5 31
32
Ibid., h. 6
Ahmad Mahmud shubhi, Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, Penerjemah Yunan Askaruzzaman Ahmad, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), Cet. Ke 1, h. 23
27
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari pertumbuhan dan perkembangan etika di masyarakat yang terikat dengan norma hukum, kaidah hukum dan norma masyarakat. Norma hukum adalah hasil dari keseluruhan tingkah laku dari orang-orang yang hidup dalam ikatan kemasyarakatan yang harus ditaati. Kaidah hukum adalah kaidah yang diciptakan oleh lembaga masyarakat atau negara yang sedapat mungkin memenuhi segala kepentingan hidup para anggota masyarakat seluruhnya. Kalau norma agama hanya berlaku bagi penganut agama itu, maka norma hukum berlaku lebih luas, bagi seluruh anggota masyarakat dan organ-organ masyarakatnya. Norma atau kaidah hukum bertujuan mengadakan tata tertib dalam pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat, sehingga keamanan, ketertiban, serta keadilan dalam masyarakat/negara dapat terpelihara atau terjamin dengan sebaik-baiknya.33
33
Rien G. Kartasapoetra, S.H, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, h. 9
28
3. Motivasi dan Perilaku Hukum Motivasi dapat diartikan suatu tenaga atau faktor yang terdapat di dalam diri manusia, yang menimbulkan, mengarahkan dan mengorganisasikan organnya. Sedangkan kata motif adalah suatu alasan/dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu/melakukan tindakan tertentu. Dalam suatu motif umumnya terdapat dua unsur pokok, yaitu unsur dorongan/kebutuhan, dan unsur tujuan. Proses interaksi timbal balik antara kedua unsur di atas terjadi di dalam diri manusia, misalnya keadaan cuaca, kondisi lingkungan dan sebagainya. Oleh karena itu dapat saja terjadi suatu perubahan motivasi yang pertama mendapat hambatan atau tidak mungkin dipengaruhi. 34 Menurut Soejono Soekanto mengutip pendapat Talcott Parsons35, aksi (”action”) mempunyai empat karakteristik, yakni: Suatu tujuan, suatu motivasi yang menyangkut penggunaan energi, suatu situasi, dan pengaturan normatif. Soerjono menjelaskan bahwa Parsons mengadakan klasifikasi terhadap sistem-sistem aksi, ke dalam dua hal, yakni: 1. sistem kepribadian (”personality systems”), 2. sistem-sistem sosial (”social systems”). Sistem kepribadian mencakup motivasi-motivasi dan tujuan-tujuan dari pribadi-pribadi. Artinya, hal itu mencakup isi dan cara integrasi dari motivasi-motivasi serta tujuan-tujuan. Sistem sosial mencakup interaksi antara aktor-aktor dengan norma-norma situasional yang 34
Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku, (Yogyakarta: Kanisus, 1992), h.
35
Soejono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat, h. 166
10
29
mengatur proses interaksi tersebut. Dengan demikian, maka tempat karakteristik dari sistem-sistem aksi diterapkan pada sistem kepribadian dan sistem sosial; kedua sistem tersebut saling pengaruh mempengaruhi.36 Adapun pengertian perilaku dalam kamus ilmiah adalah tindakan, perbuatan, atau sikap.37 Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Lawrence
M.
Friedman
menjelaskan
ada
tiga
model
Perilaku
Hukum.38Pertama, model cost-benefit (model biaya-manfaat atau untung-rugi). Sebelum seseorang bertindak
ia menghitung-hitung apa untung ruginya. Ia hanya
akan bertindak jika dalam pendapatnya ia akan mendapatkan untung dari perilakunya. Bagi aktor ini, sanksi amat penting artinya. Ia melihat perilakunya dari kacamata imbalan dan hukuman. Kedua, model peer group didasarkan bahwa tentu saja tidak seorang ahli pun yang akan mencoba memangkas semua perilaku hukum menjadi hitung-hitungan seperti ini. Jelas terlihat bahwa faktor-faktor sosial, ”hubungan-hubungan sosial” kultur sekeliling dan kelompok sebaya (peer Group)- berpengaruh terhadap perilaku hukum, dengan ancaman pengucilan, misalnya, atau dengan pujian dan celaan. 36
37
Ibid.
Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Yogyakarta: Absolut, 2004), h. 394 Lawrence M. Friedman, Sitem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim, (Bandung: Nusa Media, 2009), cet. Ke-2, h. 80 38
30
Ketiga, model perilaku yang menjelaskan atas dasar norma-norma yang tertanam dalam diri aktor. Untuk singkatnya M. Friedman menamakan model ini sebagai kesadaran nurani. Dalam masyarakat-masyarakat yang tak bernegara, sarana penegak hukumnya mungkin hanya kelompok sebaya –sebagai opini publik- dan kesadaran nurani.39 Semua model perilaku hukum ini secara keseluruhan tidak bertentangan dengan yang lainnya. Sebagai tindakan hukum lebih menghasilkan dampak dalam satu tipe daripada yang lainnya. Imbalan dan hukuman ada di mana-mana di dalam hukum. Para pembuat hukum jelas berasumsi bahwa orang-orang akan berpikir dua kali sebelum mengambil risiko masuk penjara atau dikenai denda dan bahwa mereka akan tergugah untuk memperoleh umpan uang dan lainnya. Propaganda pemerintah jelas berpijak pada kekuatan kesadaran nurani dan opini publik. Segenap sistem hukum mengandalkan munculnya tindakan sukarela. Uang yang dikeluarkan dan yang tidak dikeluarkan untuk inspektor, detektif, polisi dan pengadilan mengasumsikan bahwa masyarakat menghendaki kepatuhan tanpa paksaan. 40
4. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum Di dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan dan atau ketentuanketentuan. Ketentuan dan aturan dimaksud dapat berbentuk Undang-undang Dasar 39 40
Ibid., h. 81 Ibid.
31
dan Aturan-aturan Dasar. Aturan-aturan dasar merupakan sadar kehendak yang dirasakan pengekangan dari dalam di mana dirasakan sebagai suatu kesadaran untuk berbuat demikian. Tidak didasarkan sebagai suatu paksaan. Ini terjelma di dalam adat dan kebiasaan dalam masyarakat dan diakui kemanfaatannya baik oleh manusia pribadi maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Sedangkan Undang-undang Dasar merupakan sadar hukum yang dirasakan sebagai penekangan dari luar diri (ekstern) dimana dirasakan sebagai suatu kesadaran untuk berbuat demikian seolah-olah dipaksakan untuk menyenangkan pihak lain. Ini terjadi dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat secara formal, walaupun secara pribadi kurang berkenan, tetapi harus dilaksanakan untuk menyenangkan orang lain dalam masyarakat tersebut. 41 Berbicara mengenai sadar dan kesadaran dikaitkan dengan manusia dan masyarakat adalah sadar (kesadaran) kehendak dan sadar (kesadaran) hukum. Sadar diartikan merasa, tahu, ingat kepada keadaan yang sebenarnya, atau ingat (tahu) akan keadaan dirinya. Kesadaran diartikan keadaan tahu, mengerti dan merasa. Misalnya tentang harga diri, kehendak, (karsa) hukum dan lain-lainnya. Kesadaran hukum menurut Dr. Saifullah, mengutip pendapat Paul Scholten bahwa kesadaran hukum merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau hukum yang diharapkan ada, sebenarnya
41
Ibid. Aw. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, (Jakarta: CV. Era Swasta, 1984), cet. I, h. 14
32
ditekannkan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.42 Faham kesadaran hukum menurut Soejono Soekanto sebenarnya berkisar pada diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi kesahihan hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan dari pada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidak sesuaian antara dasar kesahihan hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut. Merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional antara pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif.43 Munculnya kesadaran hukum didorong oleh sejauhmana kepatuhan kepada hukum yang menurut Saifullah mengutip Biersted didasari oleh: indoctrination, habituation, utility, dan group identification . Proses itu terjadi melalui internalisasi dalam diri manusia. Kadar internalisasi inilah yang selanjutnya memberikan motivasi yang kuat dalam diri manusia atas persoalan penegakan hukum. 44
42
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. Ke-1, h. 105
43
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV. Rajawali, 1982), cet ke-1, h. 145 44
Dr. Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, h. 105
33
Soekanto mengutip pendapat Hoefnagels membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut:45 1. Seseorang berperilakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya halmana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang. 2. Seseorang berperilakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan. 3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaidahkaidah tersebut maupun pada nilai-nilai penguasa. 4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang. 5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun tidak patuh pada hukum (melakukan protes). Soerjono Soekanto menyimpulkan bahwa kesadaran hukum merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Terdapat empat indikator kesadaran hukum yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, yaitu: pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum. 46
45 46
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, h. 234 Ibid.,, h 239
34
Dalam hukum Islam kepatuhan hukum hanya diberlakukan bagi manusia yang sudah mukallaf. Pengertian hukum Islam menurut Amir Syarifuddin, adalah seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunah termasuk tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.47 Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum , baik yang berhubungan dengan perintah Allah SWT maupun dengan larangan-Nya. Seluruh sikap dan tindakan hukum mukallaf harus dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah SWT, maka ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan apabila ia mengerjakan larangan Allah SWT, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.48 Dalam kajian ushul fiqh, istilah mukallah disebut juga al-mahkum ‟alaih (subjek hukum), yaitu seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syari‟.49 Seseorang belum dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, ulama ushul fiqh, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Menurut Jalaluddin al-Suyuti mengutip pendapat Abu
47
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, cet. Ke-1, h. 5
48
Abdul Aziz Dahlan, Ed. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. III, h. 1219 49
Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-fiqh, (t.t: Dar al-Qalam, 1978), cet. XII, h. 134
35
Ishaq akal adalah sifat yang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.50 Pertumbuhan akal merupakan hal yang abstrak, dan berproses sejalan dengan perkembangan waktu sampai batas kesempurnaanya. Sebagai tanda yang kongkrit adalah umur baligh yang memisahkan antara kesempurnaan dan kekurangan akal. Pada saat sampai batas umur itulah taklif mulai berlaku.51 Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Oleh karena mereka tidak atau belum berakal, sehingga mereka dianggap tidak bisa memahami taklif dari syara. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang dalam keadaan tidur, orang mabuk, dan orang pelupa, tidak dikenai taklif karena ia sedang tidak sadar (hilang akal). Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw yang mengatakan:” ”Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai dia baligh dan orang gila sampai ia sembuh”. (HR Bukhari ) Berdasarkan
hadis
tersebut
disimpulkan
bahwa
kepatuhan
hukum
diberlakukan kepada orang yang sadar dengan hukum. Karena kepatuhan hukum akan mendapat pahala, sedangkan ketidakpatuhan hukum akan berdampak kepada dosa. Sadar yang dikehendaki dalam Islam adalah orang yang sudah baligh (dewasa) dengan ditandai bermimpi keluar sperma, bagi laki-laki dan sudah datang haid bagi perempuan. 50
Jalaluddin al-Suyuti, al-asybah wa al-Nazhair, (Bairut, Muassasah al-Kutub al-Tsiqafah, 1994), cet I, h. 270 51
Muhammad abu Zahrah, Ushul Fiqih, Penerjemah Saefullah Ma‟sum, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. IV, h. 503
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KELURAHAN PULO GEBANG JAKARTA TIMUR
A. Keadaan Letak Geografis dan Demografis Kelurahan Pulo Gebang mempunyai luas wilayah 685.81 Ha, yang dibagi menjadi 16 RW dan 180 RT di Kecamatan Cakung Kota Administrasi Jakarta Timur, dengan batas-batas sebagai berikut: -
Sebelah Utara
: Kelurahan Ujung Menteng
-
Sebelah Timur
: Kota Bekasi
-
Sebelah Selatan : Kelurahan Pondok Kopi
-
Sebelah Barat
: Kelurahan Penggilingan
Adapun luas wilayah Kelurahan Pulo Gebang tersebut dengan perincian peruntukkan tanah sebagai berikut: 1. Status Tanah1 -
Tanah Negara
: 45,84 Ha
-
Tanah Milik Adat
: 311
Ha
-
Tanah Wakaf
:6
Ha
-
Lain-lain
: 290
Ha
1
Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang, 2010
36
37
2. Jenis Tanah - Darat/Kering
: 369,5 Ha
- Sawah/Basah
: 296,5 Ha
3. Peruntukkan Tanah - Untuk Perumahan
: 374,5 Ha
- Untuk Industri
: 6
- Untuk Fasilitas Umum
: 33,5 Ha
- Untuk Pemakaman (Wakaf)
: 6
Ha
- Tanah lain-lain
: 254
Ha
Ha
Tabel 3.1 Jumlah Penduduk berdasarkan status kewarganegaraan No
Status Kewarganegaraan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
WNI
44562
38333
82895
2
WNA
2
2
4
Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang, 2010 Berdasarkan tabel tersebut, penduduk Kelurahan Pulo Gebang mayoritas asli Indonesia atau masyarakat Pribumi. Perbedaan jumlah warga Indonesia yang berasal dari keturunan sangat sedikit, jumlahnya tidak seimbang. Jadi warga Kelurahan Pulo Gebang dihuni oleh warga asli dari warga keturunan yaitu yang berasal dari Cina. Berikut ini adalah tabel data mengenai jumlah jiwa berdasarkan klasifikasi usia, yaitu:
38
Tabel 3.2 Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia No
Klasifikasi
Jumlah jiwa
Usia
WNI
1
0-4
11113
16,8
-
-
2
5-9
8884
13,4
-
-
3
10-14
6237
9,4
-
-
4
15-19
5606
8,5
-
-
5
20-24
4324
6,5
-
-
6
25-29
5341
8,1
-
-
7
30-34
5221
7,9
-
-
8
35-39
4285
6,5
-
-
9
40-44
4141
6,3
-
-
10
45-49
3202
4,8
-
-
11
50-54
2075
3,1
2
50
12
55-59
1609
2,4
-
-
13
60-64
1343
2
-
-
14
65-69
932
1,4
-
-
15
70-74
1154
1,7
-
-
16
75+
735
1,1
2
50
66.202
100
4
100
Jumlah
%
Jumlah jiwa
%
WNA
Sumber: Data Monografi 2010
39
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jumlah Lapangan Kerja No
Jenis Lapangan Kerja
1
Tani
2
Karyawan Swasta/
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
%
-
-
-
-
24.186
24.364
48.550
74,7
Pemerintah/ABRI 3
Pedagang
5.044
2.266
7.310
11,25
4
Nelayan
-
-
-
-
5
Buruh Tani
-
-
-
-
6
Pensiunan
3.668
1.321
4.989
7,7
7
Pertukangan
633
-
633
0,95
8
Pengangguran
144
2.960
3.184
4,9
9
Fakir Miskin
155
147
302
0,5
10
Lain-lain
-
-
-
-
33.830
31.058
64.968
100
Jumlah
Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang, 2010
Dari tabel ini dapat diketahui bahwa jumlah penduduk Kelurahan Pulo Gebang berdasarkan jenis lapangan kerja sangat beragam dan jumlahnya bervariatif, yaitu karyawan Swasta, Pemerintah, TNI dan pedagang. Sebagian besar warga memiliki lapangan kerja sebagai pedagang. Pedagang tersebut mencakup pedagang buah-buahan, sayur-sayuran, dan lain sebagainya.
40
Tabel 3.4 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan No
Pendidikan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
%
221
243
464
0,7
-
-
-
-
1
Tidak Sekolah
2
Tidak Tamat SD
3
Tamat SD
11.614
12.969
24.583
37,7
4
Tamat SLTP
8.730
9.287
18.017
27,6
5
Tamat SLTA
8.008
6.572
14.580
22,4
6
Tamat Akademi/PT
5.500
2.036
7.536
11,6
34.073
31.107
65.180
100
Jumlah
Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang, 2010
Rata-rata warga Kelurahan Pulo Gebang sesuai dengan Kartu Keluarga (KK) adalah tamatan SD dan tamat SLTP, tetapi masih terdapat warga yang tidak sekolah, tamat SLTA dan Akademi (Perguruan Tinggi). Sementara warga yang tidak tamat SD masih jarang bahkan belum ada sesuai data yang yang ada pada laporan bulan Agustus samapi Desember 2010.
41
Tabel 3.5 Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut No
Agama
Jumlah
%
1
Islam
51.915
83,5
2
Katolik
5.110
8,2
3
Kristen Protestan
4.325
7,0
4
Hindu
502
0,8
5
Budha
315
0,5
6
Aliran kepercayaan lain
-
-
62.167
100
Jumlah
Sumber: Data Monografi Kelurahan Pulo Gebang 2010 Jumlah terbesar penduduk beragama Islam, dan diurutan selanjutnya Kristen Protestan, Katolik, dan Hindu. Sedangkan warga yang beragama Budha sangat sedikit. Sedangkan dalam pelaksanaan kegiatan, Kelurahan Pulo Gebang berpedoman kepada Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 147 Tahun 2009 Tentang Bentuk dan susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sebagaimana dimaksud dalam SK Gubernur Nomor 147 Tahun 2009, Pemerintah Kelurahan mempunyai tugas-tugas dalam penyelenggaraan kegiatan pelayanan masyarakat yang terjadi kewenangan, penyusunan dan penetapan kebijakan dan pemberdayaan masyarakat yang tumbuh atas inisiatif masyarakat,
42
memelihara terciptanya ketentraman dan ketertiban serta pelaksanaan program Kesejahteraan Masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jumlah susunan pegawai atau staf organisasi Pemerintah Kelurahan Pulo Gebang sebanyak 26 orang berdasarkan pelaksanaan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 147 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta. Yaitu: 1. Lurah
: 1 orang
2. Wakil Lurah
: 1 orang
3. Sekretaris
: 1 orang
4. Kasie Pemerintahan dan Trantib
: 1 orang
5. Kasie Kasatgas POL PP
: 1 orang
6. Kasie Kesejahteraan Masyarakat : 2 orang 7. Kasie Pelayanan Umum
: 1 orang
8. Kebersihan Lingkungan Hidup
: 1 orang
9. Kasie Pra Sarana dan Sarana
: 10 orang
10. Kasie Kependudukan
: 7 orang
43
B. Keadaan Sosiologis Masyarakat Kelurahan Pulo Gebang, masyarakatnya beranekaragam baik agama maupun status negara dan ekonomi, karena di Kelurahan Pulo Gebang ini tidak hanya dihuni oleh masyarakat asli yang mayoritas agama Islam, tetapi banyak para pendatang yang bermukim di tempat tersebut. Para pendatang berasal dari berbagai suku, agama, dan budaya. Sehingga jumlah antara warga asli dengan para pendatang seimbang.
1. Bidang Pendidikan Umumnya penduduk Kelurahan Pulo Gebang tingkat pendidikannya rata-rata tamatan SD yang jumlahnya 24.583 orang, lalu tamat SLTP 18.017 orang. Selain itu juga masih terdapat penduduk yang tamat SLTA yang berjumlah 14.580 orang, dan tamat Akademi/perguruan tinggi sebanyak 7.536 orang. Selain itu masih terdapat warga yang tidak sekolah sebanyak 464 orang, bahkan yang tidak Tamat SD sampai sekrang pun belum terdata atau masih jarang. Pendidikan merupakan salah satu usaha mencerdaskan bangsa sesuai dengan UUD 1945. Hal ini dapat berjalan dengan baik apabila ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai. Oleh karena itu Pemerintah DKI Jakarta senantiasa berusaha terus untuk dapat memenuhi apa yang menhjadi kebutuhan masyarakat khususnya masalah pendidikan. Adapun jumlah falilitas tempat pendidikan yang ada di Kelurahan Pulo Gebang sebagai berikut:
44
Tabel 3.6 Jumlah sarana pendidikan No
Sarana Pendidikan
Jumlah
1
Taman Kanak-kanak (TK)
14
2
Sekolah Dasar Negeri (SDN)
25
3
Sekolah Dasar Swasta
13
4
SLTP Negeri
4
5
SLTP Swasta
6
6
SLTA Negeri
1
7
SLTA Swasta
4
Jumlah
67 Sumber: Data Monografi 2010
2. Bidang Agama Masyarakat Kelurahan Pulo Gebang sebagian besar penduduknya beragama Islam, yaitu sebanyak 51.915 orang, baik itu berasal dari penduduk asli, maupun penduduk yang bersal dari pendatang yang bertempat tinggal di Kelurahan tersebut. Kemudian ada juga warga yang beragama Kristen, yaitu Katolik sebanyak 5.110 orang, dan Protestan sebanyak 4.325 orang. Masyarakat yang beragama Hindu sebanyak 502 orang, selain itu juga ada warga yang memeluk agama Budha sekitar 315 orang. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas masyarakt Kelurahan Pulo Gebang itu beragama Islam.
45
Kemudian di daerah Kelurahan Pulo Gebang diadakan Kegiatan Pembinaan Rohani yang sudah berjalan cukup baik, dimana dari pembinaan tersebut diharapkan adanya peningkatan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Khusus bagi karyawan/karyawati Kelurahan Pulo Gebang pembinaan diadakan oleh Tim Banpiroh Tingkat Kecamatan Cakung yang diadakan setiap bulan sekali, sedangkan bagi masyarakt Kelurahan Pulo Gebang kegiatan pembinaan rohani tersebut antara lain: -
Melalui Lembaga Pendidikan
-
Melalui Majelis Taklim
-
Melalui Ceramah-ceramah Agama
-
Melalui Peningkatan Keagamaan, dan Hari-hari Besar Agama.
Dalam hal ini, usaha membina dan untuk lebih meningkatkan keyakinan antara umat beragama menurut paham dan keyakinan masing-masing, maka fasilitas tempat peribadatan yang telah dibuat secara swadaya terus ditingkatkan, adanya pertambahan setiap Tahun maka sarana tersebut diharapkan menampung para jemah khususnya bagi umat Islam. Jumlah Sarana Peribadatan yang ada di Kelurahan Pulo Gebang sebagai berikut:
46
Tabel 3.7 Jumlah sarana peribadatan No
Sarana keperibadatan
Jumlah
1
Masjid
20
2
Mushalla
45
3
Gereja
2
4
Vihara
-
5
Pura
-
Jumlah
67
Sumber: Monografi Kelurahan Pulo Gebang 2010 Dari sini dapat kita lihat, bahwasanya di daerah Pulo Gebang tidak ada sarana peribadatan bagi masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha, yaitu fasilitas Pura dan Vihara, karena mayoritas penduduk yang menganut agama tersebut sangat sedikit dan jarang sekali. Dalam hal ini, sebagian besar penduduk masyarakat Pulo Gebang Jakarta Timur mayoritas beragam Islam, baik masyarakat asli (betawi) maupun pendatang yang bertempat tinggal di daerah Pulo Gebang Jakarta Timur.
BAB IV
ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU BERSUCI DAN ETIKA MEMBERSIHKAN NAJIS DI MASYARAKAT PULO GEBANG JAKARTA TIMUR A. Identifikasi Sumber Data Dalam penelitian skripsi ini, berdasarkan hasil wawancara dengan 25 narasumber dari masyarakat muslim Pulo Gebang, 23 orang dari masing-masing keluarga yang terpilih menjadi narasumber, dan 2 orang tokoh agama. Data yang diperoleh penulis berdasarkan narasumber dari berbagai latar belakang pendidikan terakhir dan pengalaman belajar tentang agama. Latar belakang pendidikan yang penulis maksud adalah maulai dari lulus SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi. Sedangkan pengalaman belajar tentang agama mulai dari orang tua, bangku sekolah, pengajian majlis ta’lim dan dari buku-buku. Data yang diperoleh penulis berdasarkan narasumber yang ada pada kelurahan Pulo Gebang, yang secara langsung diberikan oleh pihak kelurahan setempat. Penulis mengawali pada bagian pertama ini, terlebih dahulu memaparkan identifikasi sumber data yang terdiri dari usia, pendidikan formal (jenjang pendidikan dan jenis pendidikan), pendidikan non formal misalnya pengalaman mengikuti pendidikan agama secara khusus dan peran sosial keagamaan. Pengetahuan tentang identitas sumber data diharapkan dapat menjadi satu bahan pertimbangan dalam
47
48
menarik kesimpulan nanti, karena pengetahuan identifikasi sumber data dapat mempermudah penulis dalam menganalisis permasalan yang terjadi. Misalnya: faktor jenjang pendidikan akan berpengaruh terhadap pemahaman narasumber mengenai bersuci dan etika membersihkan najis atau faktor lain seperti karena aktif mengikuti pengajian di daerah setempat. 1. Data narasumber berdasarkan segmen usia Faktor usia dapat menentukan pola fikir dan proses pemahaman seseorang dalam berfikir dan berprilaku. Oleh karena itu, mengetahui usia narasumber adalah suatu hal yang sangat penting. Pemahaman mengenai thaharah mereka bisa diperoleh melalui tingkat pendidikan formal ataupun non formal, misalnya dengan proses melihat, mengamati, meniru, pengetahuan dari orang tua mereka atau hasil bacaan mereka yang diperoleh dari majalah Islam, kitab fiqih. Berikut ini adalah tabel narasumber berdasarkan segmen usia. Tabel 4.1 No
Usia
f
%
1
15-25 Tahun
5
20
2
26-35 Tahun
13
52
3
36-50 Tahun
3
12
4
50+
4
16
25
100
Jumlah
49
Sumber dari data lapangan tahun 2011 Dari tabel di atas terlihat bahwa usia narasumber baragam. Namun demikian, umumnya yang menjadi narasumber adalah antara usia 26-50 tahun.
2. Data narasumber berdasarkan jenis pendidikan. Pendidikan dapat menentukan pada pemahaman seseorang mengenai wawasan, pengetahuan dan keilmuan yang dimilikinya. Masyarakat
yang
mendapatkan pendidikan umum yang formal, mendapatkan pembelajaran mengenai thaharah tidak secara komprehensif. Pengalaman ini berbeda dengan masyarakat yang mendapatkan pendidikan agama (baik formal maupun non formal), dimana mereka mempelajari thaharah secara lebih mendetail. Oleh karena itu, jenis pendidikan dapat memberikan pemahaman thaharah yang berbeda. Jenis pendidikan juga dapat berpengaruh pada pola perilaku narasumber dalam bersuci atau etika dalam membersihkan najis. Orang yang pernah duduk di bangku pendidikan agama yang formal seperti MTs, Aliyah atau pernah mempelajari dan mengikuti pendidikan agama yang non formal seperti majelis ta’lim baik kaum ibu ataupun kaum bapak, akan lebih memahami mengenai hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan agama. Akan tetapi, di masyarakat Pulo Gebang yang mengikuti pengajian majlis taklim belum tentu memahami hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah lebih mendalam, dikarenakan faktor pendidikan yang hanya mengenyam sampai SD saja sehingga dia kurang memahami dalam penyampaian yang diberikan
50
oleh ustadz/ustadzah. Dan ada juga ketika pengajian sedang berlangsung dia tidak mendengarkan isi pengajiannya bahkan dia hanya ngerumpi atau mengantuk sampai di tempat pangajian. Oleh karena itu, mereka memahami thaharah hanya sekelumit saja. Dalam pendidikan agama seperti dalam majelis ta’lim, seorang ustadz atau ustadzah menjelaskan secara terperinci apa yang ada dalam sebuah kitab fiqh dan sekaligus diperagakan secara stimulasi bagaimana cara bersuci dan etika membersikan najis yang tepat dan benar. Berikut ini adalah tabel data narasumber berdasarkan latar belakang jenis pendidikan. Tabel 4.2 Data narasumber berdasarkan pendidikan (jenis pendidikan) No
Jenis Pendidikan
f
%
1
Agama
8
32
2
Umum
17
68
25
100
Jumlah
Sumber : Diolah dari data lapangan tahun 2011 Berdasarkan tabel di atas, narasumber mempunyai latar belakang pendidikan umum lebih dominan dibandingkan pendidikan agama, sehingga hal ini akan berpengaruh pada tingkat pemahaman mengenai thaharah. Orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keagamaan cenderung tidak memahami makna thaharah khususnya bersuci dan etika membersihkan najis yang benar.
51
3. Data narasumber berdasarkan latar belakang tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses penalaran suatu fenomena keilmuan sebagaimana diuraikan dalam teori kognitif dalam ilmu pendidikan bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya. Makin kecerdasan dan tingkat pendidikan seseorang otomatis akan semakin baik perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Penalaran ini akan berpengaruh terhadap pemahaman tentang segala hal, yang dalam konteks ini adalah thaharah. Orang dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung akan memaknai thaharah lebih sederhana, pemaknaan tersebut bisa diperoleh dari proses meniru dari orang tua atau orang-orang sekitarnya. Tetapi makin tinggi tingkat pendidikannya maka makin kompleks pula pemahaman tentang thaharah, karena proses pembelajarannya tidak hanya dari proses melihat dan meniru, tetapi juga dari proses pembelajaran secara formal sesuai dengan apa yang dijelaskan di kitab-kitab fiqih. Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan tingkat pendidikan.
52
Tabel 4.3 Data narasumber berdasarkan pendidikan (tingkat pendidikan) No
Tingakat Pendidikan
f
%
1
SD
6
24
2
SMP/MTs
5
20
3
SMA
8
32
4
Aliyah
3
12
5
S1
2
8
6
S2
1
4
Jumlah
25
100
Sumber: diolah dari data lapangan 2011 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan narasumber yang diwawancarai, mayoritas narasumber hanya mendapatkan pendidikan hingga bangku sekolah SMA (SLTA). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan narasumber dominan dari pendidikan umum, dengan tingkat pendidikan yang dominan yaitu pendidikan SMA (SLTA). Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman masyarakat tentang thaharah yang akan dibahas dalam sub bab berikutnya.
4. Data narasumber berdasarkan pengalaman dalam mengikuti pendidikan agama khusus
53
Pengalaman masyarakat dalam mengikuti pendidikan agama non formal secara khusus maksudnya yaitu pengalaman masyarakat yang pernah mengikuti pendidikan keagamaan melalui pengajian rutin di majlis taklim, masjid, pengajian umum mengenai thaharah dan pendidikan agama cepat seperti pesantern kilat. Pengalaman khusus ini akan berpengaruh terhadap pengetahuan narasumber mengenai thaharah secara keilmuan. Sehingga narasumber mampu memahami dengan baik istilah serta makna thaharah. Berikut ini adalah distribusi narasumber berdasarkan pengalaman dalam mengikuti pendidikan agama khusus: Tabel 4.4 Data narasumber berpengalaman dalam mengikuti pendidikan agama khusus No
Pengalaman Khusus
f
%
1
Ya
20
80
2
Tidak
5
20
25
100
Jumlah
Sumber: Diolah dari data lapangan 2011 Mengenai pengalaman narasumber yang pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus, yaitu sebanyak 20 narasumber atau 80 %, sedangkan 5 narasumber atau 20 %, tidak memiliki pengalaman atau tidak pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus.
54
5. Narasumber berdasarkan peran sosial di masyarakat. Peran narasumber dalam masyarakat dapat berpengaruh dalam tingkat pemahaman mengenai thaharah. Peran sosial di sini terbagi pada dua kategori yaitu, kelompok masyarakat biasa dan kelompok tokoh agama. Kelompok masyarakat biasa adalah masyarakat yang awam terhadap ilmu agama. Sedangkan tokoh agama adalah masyarakat yang dijadikan panutan oleh warga masyarakat lainnya dalam bidang keagamaan. Peran kedua kelompok masyarakat ini akan berpengaruh pada pola perilaku bersuci, pemahaman istilah, makna serta urgensi thaharah dalam pandangan mereka. Kelompok masyarakat biasa pemahamannya terhadap thaharah diyakini cenderung lebih sederhana, sebatas pengetahuan mengenai fungsi thaharah sebagai syarat dalam melakukan ibadah. Hal ini dimungkinkan karena dalam kesehariannya mereka tidak berkecimpung dalam masalah keagamaan secara intensif dalam lingkungan bermasyarakat. Berbeda dengan kelompok masyarakat biasa, tokoh agama memahami thaharah lebih sesuai dengan literatur fiqih. Hal ini dimungkinkan karena tokoh agama dalam kesehariannya mereka berperan aktif secara intensif dalam hal keagamaan dilingkungan masyarakat, bahkan terkadang mereka menjadi tempat rujukan untuk bertanya seputar masalah keagamaan sehingga mereka harus mampu memiliki pemahaman yang lebih baik dari masyarakat biasa. Lebih jelasnya akan tergambar dalam analisis yang akan dibahas. Berikut ini adalah tabel data narasumber berdasarkan peran sosial di masyarakat:
55
Tabel 4.5 Data narasumber menurut peran sosial keagamaan No
Peran Sosial
f
%
1
Masyarakat biasa
23
92
2
Tokoh agama
2
8
Jumlah
25
100
Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2011 Berdasarkan tabel di atas, mayoritas narasumber adalah masyarakat biasa sebanyak 23 narasumber atau 92 %, sedangkan tokoh agama hanya 2 orang atau 8 %. Di sini penulis ingin mengetahui perilaku thaharah yang terjadi di masyarakat awam.
B. Pemahaman dan Pelaksanaan Masyarakat Pulo Gebang Terhadap Perilaku Bersuci Pada bagian kedua ini, penulis mendekripsikan jawaban narasumber tentang pemahaman mengenai thaharah. Hal ini meliputi pemaknaan thaharah, faktor yang terkait dengan pemaknaan, analisis makna menurut narasumber, serta makna dan kegunaan thaharah dalam ibadah. 1. Pemahaman tentang istilah dan makna thaharah Thaharah adalah aktivitas menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi keshahihan shalat dan ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadas dan najis) dengan tanah. Dari pengertian tersebut dapat dilihat
56
urgensi dari thaharah, yaitu sebagai suatu sarana atau media untuk kebersihan ibadah sebagai proses dalam memperoleh pahala dari Allah yang menjadi tujuan akhir dari ibadah. Thaharah tidak hanya bertujuan untuk memenuhi syarat atau prosedur yang ditetapkan dalam beribadah tetapi lebih dari itu, thaharah juga bertujuan untuk menciptakan kebersihan, keindahan dan kenyamanan dalam hubungannya dengan kita sebagai manusia dalam lingkungan masyarakat. Secara umum, masyarakat Kelurahan Pulo Gebang dapat dikatakan kurang memahami konsep thaharah secara detail. Mereka lebih memahami istilah thaharah dengan istilah bersuci. Hal ini seperti diungkapkan oleh narasumber pertama Ibu Maryani (umur 45 tahun) yang latar belakang pendidikannya Sekolah Dasar dan tidak biasa dipengajian dan juga tidak ikut kursus secara khusus mencoba memahami thaharah sebagai berikut: “Saya kurang memahami tentang thaharah dan saya belum pernah mendengar istilah thaharah. Tetapi kalau bersuci saya cukup mengenal dan sedikit tau. Bersuci itu kan membersihkan diri, badan, dan pakaian, supaya ibadah kita sah”.1 Hal yang sama diungkapkan oleh Ibu Tin (26 tahun) latar belakang pendidikannya SMA dan tidak pernah mengikuti pengajian majlis taklim serta tidak ada pengalaman khusus belajar agama secara non-formal, menurut yang dia pahami mengenai thaharah sebagai berikut:
1
Wawancara pribadi dengan Ibu Maryani, pada hari kamis, 24 Februari 2011 pukul 19.00
57
“Saya kurang paham dengan istilah thaharah, tetapi yang saya pahami hanya membersihkan dan mensucikan diri dari kotoran dan syarat sebelum beribadah.”2 Pemahaman istilah bersuci lebih akrab ditelinga masyarakat, karena bersuci merupakan kata yang sering dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini, penulis batasi dengan istilah ’sangat paham’ bagi masyarakat yang mendapatkan pengalaman khusus belajar tentang agama yang memahami dan melaksanakan bersuci sesuai dengan yang dikehendaki hukum Islam, dan ’kurang paham’ bagi masyarakat yang kurang memahami thaharah disebakan faktor tidak ada pengalaman khusus belajar agama dan tidak melaksanakan etika bersuci yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Masyarakat yang memahami dan melaksanakan adalah mereka yang sadar akan hukum Islam. Sebaliknya mereka yang tidak memahami dan tidak melaksanakan adalah mereka yang tidak sadar akan hukum Islam. Karena kesadaran hukum terkait dengan kepatuhan hukum. Gambaran narasumber tentang pemahaman terhadap istilah thaharah dapat di lihat pada tabel 4.6 berikut:
2
Wawancara pribadi dengan Ibu Tin, pada hari sabtu, 26 Februari 2011 pukul 09.00
58
Tabel 4.6 Data narasumber berdasarkan pemahaman tentang thaharah No
Alternatif Jawaban
f
%
1
Sangat paham
3
12
2
Paham
5
20
3
Kurang paham
17
68
4
Tidak paham
-
-
25
100
Jumlah
Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2011 Berdasarkan data yang tertera pada tabel 4.6, dapat disimpulkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah masih kurang. Hal ini dapat kita lihat pada tabel 4.6 di atas, sebanyak 68 % narasumber kurang memahami istilah thaharah. Pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu faktor pendidikan agama secara formal, atau secara khusus tidak pernah mengikuti pembahasan thaharah dari pengajian atau dari pendidikan agama formal atau non-formal. Adapun pemahaman masyarakat mengenai makna tahaharah (bersuci) terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dipengaruhi oleh peran masing-masing di dalam lingkungan masyarakat. Kelompok masyarakat biasa, memaknai thaharah atau bersuci sebagai upaya membersihkan diri dari hadas dan
59
najis yang dapat menghalangi dalam melakukan ibadah shalat maupun ibadah-ibadah lainnya. Dalam pandangan mereka, thaharah dimaknai sebagai proses pemenuhan syarat untuk beribadah. Pemaknaan
tersebut,
berdampak
pada
perilaku
bersuci
dan
etika
membersihkan najis di antara mereka banyak yang tidak sesuai dengan tata cara yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat biasa ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap najis yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari, serta perkembangan proses sosialisasi ilmu yang didapatkan oleh masyarakat. Kedua masalah tersebut akan dibahas pada sub berikutnya. Berbeda dengan kelompok masyarakat awam, kelompok kedua yaitu tokoh agama memahami tahaharah lebih mendalam. Mereka memahami thaharah tidak hanya sebatas proses pemenuhan syarat formal dalam beribadah sholat saja, tetapi juga mencakup dari aspek kebersihan, kesehatan kesopanan dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah serta kenyamanan dalam sudut pandang manusia.3 Seseorang dikatakan bersih tidak hanya bersih dari kotoran yang termasuk dalam kategori najis, tetapi juga dari hal-hal yang dipandang kotor oleh manusia. Umpamanya saja, seorang yang bekerja di bengkel motor atau mobil terlihat badannya masih kotor oleh oli dan kotoran lain, kemudian dia shalat. Secara hukum pekerja bengkel tersebut sah dalam melakukan ibadah shalat. Tetapi juga dilihat dari sudut pandang kebersihan dan kesopanan manusia, maka pekerja bengkel tersebut
3
WIB
Wawancara pribadi dengan tokoh agama, pada hari kamis, 24 Februari .2011 pukul 16.30
60
harus membersihkan semua kotoran yang melekat pada badannya baik yang bersifat najis atau tidak.
2. Pemahaman masyarakat mengenai najis Thaharah menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Jika tidak diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-siaan. Adapun bersuci dari najis adalah bagian dari thaharah, yakni bersihnya tubuh, pakaian, dan tempat dari kotoran yang memiliki unsur-unsur najis baik dari sifatnya maupun dari hukumnya. Dalam teori yang diungkapkan dalam berbagai literatur kitab fiqih, najis diartikan sebagai kotoran yang wajib bagi semua umat islam untuk menyucikannya dan menyucikan apa yang dikenainya. Pemahaman masyarakat Pulo Gebang dalam hal najis masih beragam, ada yang memahami secara detail, tetapi lebih banyak yang yang memahaminya sederhana saja, masyarakat yang memahami najis secara mendetail adalah dari kelompok tokoh agama. Mereka memahami najis bukan hanya mengetahui jenis-jenis badannya, tetapi juga dari hukum-hukumnya seperti najis menurut tingkatannya, serta tata cara membersihkannya. Tetapi lebih banyak masyarakat biasa yang memang tidak berkecimpung dalam masalah keagamaan. Penjelasan mengenai najis ini pun masih kurang
61
mendalam. Pembahasan yang mereka ungkapkan hanya sebatas jenis-jenis najis tidak sampai pada hukum dan tata cara membersihkan yang sesuai dengan kitab fiqih. Mereka mengetahui jenis najis sebatas pada sesuatu yang sering mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari seperti yang diungkapkan oleh Ibu Yati (umur 30 Tahun) latar belakang pendidikannya SMA yang hanya mendapatkan pendidikan agama hanya dibangku sekolah saja menjadi salah satu narasumber. Menurutnya najis itu adalah benda yang kotor dan harus bersihkan, yaitu darah, kotoran manusia dan binatang, air kencing, anjing, babi.4 Dalam pemahaman jenis najis serta jenis tingkatannya secara umum masyarakat di Pulo Gebang masih belum memahaminya dengan jelas. Masih banyak diantara mereka yang memandang suatu najis dari pemahaman sendiri dan tidak sesuai dengan penjelasan yang ada dalam kitab-kitab fiqih. Misalnya, dalam masalah najis dari kencing bayi. Banyak di antara mereka yang memahaminya tidak sesuai dengan penjelasan dalam kitab fiqih. Hal tersebut dapat tergambar dari pendapat beberapa narasumber mengenai air kencing bayi sebagai berikut: a. Air kencing itu najis, baik air kencing bayi laki-laki maupun perempuan yang belum makan apa-apa selain ASI dua-duanya harus dibasuh.5 b. Air kencing bayi laki-laki dan air kencing perempuan itu cara basuhnya samasama diciprati saja, asalkan bayi itu belum makan apa-apa selain ASI.6 4
5
Wawancara pribadi dengan Ibu Yati, pada hari minggu 27 Februari 2011 pukul 08.45 WIB
Wawancara pribadi dengan Ibu Dini (26 Tahun) latar belakang pendidikannya SMA dan mendapatkan pendidikan agama dari sekolah, pada hari jum’at, 25 februari 2011 pukul 08.30 WIB
62
c. Air kencing bayi di bawah umur 3 atau 2 bulan tidak dihukumi najis, baik bayi laki-laki maupun perempuan, karena bayi tersebut belum makan apa-apa selain ASI dan air kencingnya belum begitu bau pesing. Cara mensucikannya harus dibasuh/dicuci.7 d. Air kencing bayi laki-laki yang belum diberi makan apa-apa kecuali ASI itu hukumnya najis mukhaffafah, yaitu cara mensucikannya cukup diciprati saja. Sedangkan bayi perempuan baik yang sudah beri makan atau belum kecuali ASI, air kencing tersebut dihukumi najis mutawassitah, yaitu cara mensucikannya harus dicuci sebagaimana mencuci air kencing orang dewasa.8 Dari keempat pendapat tersebut hanya jawaban keempat yang dapat dikatakan sesuai dengan kitab fiqih. Kebanyakan masyarakat menjawab pada jawaban yang pertama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat Pulo Gebang masih sangat kurang. Pemahaman mereka masih didasarkan atas pengetahuan sendiri, bukan dari pemahaman literarur fiqih. Berdaarkan hasil observasi yang penulis lakukan, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa keterbatasan pemahaman masyarakat Pulo Gebang mengenai najis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan, lingkungan, dan pengalaman. Serta pemahaman
6
Wawancara pribadi dengan Ibu Mamay (umur 51 Tahun) latar belakang pendidikannya SD dan mendapatkan pendidikan agama dari orang tua, pada hari senin, 28 Februari 2011 pukul 11.00 WIB 7
Wawancara pribadi dengan Ibu Rohmah ( 55 tahun) latar belakang pendidikannya SD, dan mendapat pendidikan agama dari orang tua, pada hari minggu, 27 Februari 2011 pukul 20.00 WIB 8
Wawancara pribadi dengan Ibu Rofi (30 Tahun) latar belakang pendidikannya S1, dan sering mengikuti pengajian majlis taklim, pada hari sabtu, 26 Februari 2011 pukul 17.30 WIB
63
mereka mengenai najis, apakah pemahaman mereka ini didapatkan melalui proses pembelajaran dari pendidikan formal atau keagamaan, ataukah hanya dari proses melihat atau mencontoh orang tua tanpa ada penjelasan. Pemahaman ini akan berimplikasi pada pelaksanaan thaharah yang tidak tepat/melenceng. Dalam kitab-kitab fiqih hukum mengenai air kencing bayi ada perbedaan. Air kencing bayi laki-laki berbeda dengan air kencing bayi perempuan karena kecendrungan air kencing bayi laki-laki lebih encer dari pada air kencing bayi perempuan, sehingga kekuatan air kencing bayi laki-laki untuk melekat pada tempat yang dikenainya tidak sebesar kekuatan air kencing bayi perempuan. Sehingga air kencing bayi laki-laki dihukumi najis mukhaffafah dan cara membersihkannya cukup dengan diperciki air. Sedangkan air kencing bayi perempuan sama seperti air kencing orang dewasa, sehingga cara membersihkannya harus dengan dibasuh.
3. Kedudukan thaharah dalam ibadah Thaharah merupakan proses awal dari rangkaian kegiatan ibadah dengan tujuan untuk mendapatkan ridho Allah Swt. Masyarakat pada umumnya memahami bahwa manifestasi dari ridho Allah yaitu berupa surga yang telah dijanjikan-Nya. Dalam memperoleh surga seseorang tentunya harus memiliki bekal amal baik yang cukup berupa pahala. Pahala tersebut diperoleh melalui kegiatan ibadah yang dilakukan selama di dunia, misalnya shalat, zakat, infak, shadaqah dan lain sebagainya. Dalam melakukan ibadah tentunya harus sesuai dengan rukun dan syaratnya, agar ibadah tersebut dianggap sah dan memiliki nilai pahala. Rukun dan
64
syarat tersebut merupakan prosedur yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan beribadah, dan thaharah merupakan proses awal dari prosedur yang ditetapkan sebagai syarat dari sahnya ibadah baik shalat ataupun ibadah lain yang disayaratkan untuk bersuci. Dari paparan di atas dapat terlihat bahwa thaharah kedudukan merupakan hal yang sangat penting dalam pencapaian ridho Allah. Oleh karena itu, pemahaman dan pelaksanaan thaharah harus sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab fiqih. Jika kita melaksanakan thaharah dengan sekehendak hati saja, maka hal itu dapat merusak ibadah kita, bahkan dapat menghilangkan pahala yang seharusnya didapatkan. Dalam pelaksanaanya, di masyarakat Pulo Gebang, masih banyak orang yang memandang thaharah hanya sebagai ritual untuk melakukan ibadah saja dan menyucikan diri dari sudut pandang jasmaniah. Mereka tidak mengemukakan ujung pangkal dari tujuan thaharah yaitu ridho Allah. Hal ini dalam pemaknaan thaharah yang dibahas sebelumnya. Banyak yang memaknai thaharah hanya sebatas membersihkan diri dari najis guna melakukan ibadah. Namun mereka sepakat bahwa pelaksanaan thaharah memiliki hubungan yang sangat penting baik dari sudut pandang teologis maupun kemanusiaan. Hal ini terungkap dalam jawaban yang dikemukakan oleh beberapa narasumber berikut:
65
”Thaharah itu adalah dasar perintah dari Allah, jadi thaharah sangat bermanfaat untuk melaksanakan ibadah, agar kita selalu dalam keadaan suci, bersih dan rapih menghadap/bertemu dengan Allah.”9 Hal senada juga, diungkapkan oleh narasumber selanjutnya. Yakni, bersuci di sini sangat berfungsi sekali dalam kehidupan yaitu: ”Bersuci sangat bermanfaat sekali dalam kehidupan sehari-hari guna memelihara kebersihan, kesehatan jasmani dan rohani serta meningkatkan keimanan kita kepada Allah, terutama dalam beribadah. Kalau orang tidak mengerti/tidak paham dengan bersuci bagaimana dengan ibadahnya nanti, sedangkan tujuan kita adalah mengharap ridho dari-Nya.”10 Dari jawaban tersebut tergambar masyarakat menilai bahwa thaharah memiliki tempat yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Thaharah dipandang sangat penting, baik dari segi keimanan maupun dari segi kebersihan, kesehatan dan kesopanan dalam kaitannya dengan penilaian dari manusia. Dalam beribadah tidak hanya harus terpenuhi ketentuan thaharah, tetapi juga aspek pendukung yang juga sangat penting yaitu kerapihan dan kesopanan. Fungsi thaharah tidak hanya untuk bersuci dalam pemenuhan kesahihan ibadah tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai pembersih diri dari hal-hal yang mengotori hati dan fikiran.
9
Wawancara pribadi, dengan Ibu Lina (33 Tahun) latar belakang pendidikannya SMA dan berpengalaman mengikuti pendidikan agama, pada hari jum’at, 25 Februari 2011 pukul 17.00 WIB 10
Wawancara pribadi dengan Bapak Rahman (34 Tahun) latar belakang pendidikannya SMA dan berpengalaman mengikuti pendidikan agama, pada hari minggu, 27 Februari 2011 pukul 10.30 WIB
66
4. Faktor yang mempengaruhi pemahaman thaharah Sebagaimana telah disebutkan dalam uraian sebelumnya, bahwa perbedaan pemahaman masyarakat Pulo Gebang mengenai thaharah atau bersuci dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: a. Pendidikan Pendidikan adalah merupakan masalah yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan adalah usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya. Pendidikan formal di sekolah hanyalah bagian kecil saja, tetapi merupakan inti dan tidak bisa lepas kaitannya dengan proses pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan dalam kaitannya dengan pembahasan thaharah ini dibedakan menurut jenis dan tingkatannya. Jenis pendidikan menentukan proses pembelajaran mengenai thaharah dari segi keilmuan dan tingkat pendidikan mempengaruhi proses penalaran terhadap suatu fenomena keilmuan. Dilihat dari jenisnya, pendidikan terbagi dalam dua kategori, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Orang yang memiliki latar belakang pendidikan agama cenderung lebih sesuai dalam memahami thaharah. Mereka lebih banyak mendapatkan pembelajaran teori tentang thaharah. Pembelajaran tersebut memiliki
67
implikasi pada pemahaman terhadap thaharah dan implementasinya dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Dari segi pengertian, pemahaman teori yang cukup membuat mereka mampu memberikan pengertian yang lebih sesuai dengan penjelasan dalam kitab fiqih. Mereka juga lebih memahami dari segi tujuan dan hal-hal yang berkenaan dengan thaharah serta dari segi konsekuensi hukumnya. Berbeda dengan masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan umum, masyarakat tersebut memperoleh pembelajaran teori mengenai thaharah hanya sekelumit saja. Pembelajaran yang didapat hanya dari mata pelajaran agama Islam yang diajarkan pada sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah. Pembelajaran yang didapatkan hanya sebatas pengertian harfiah jenis dan macamnya saja. Hal tersebut berpengaruh pada implementasi dari pelaksanaan thaharah yang terkadang masih didapat dari pengalaman dari orang tua atau dari lingkungan. Sehingga mereka memberikan pengertian dan makna thaharah sebatas dari yang pernah dipelajarinya pada saat di bangku sekolah. Hal sebagaimana disampaikan oleh ibu Marhati (umur 40 tahun) latar belakang pendidikan SMP yang hanya mendapatkan pendidikan agama dari bangku sekolah,
11
“saya kurang faham tentang thaharah dan saya belum pernah mendengar
istilah thaharah, tetapi yang saya tau membersihkan sesuatu dari kotoran dan najis. Awalnya saya tau dari orang tua saya yaitu tata cara berwudhu sebelum sholat dan
11
WIB
Wawancara pribadi dengan Ibu Marhati, pada hari minggu, 27 Februari 2011 pukul 17.00
68
cara membersihkan najis, dari situ saya sering melihat orang tua saya bagaimana cara membersihkannya.” Keterbatasan pemahaman masyarakat Pulo Gebang mengenai thaharah atau bersuci karena dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan mereka umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan agama. Hal ini dapat dilihat dari uraian sebelumnya yakni sebanyak 68% narasumber tidak memiliki latar belakang pendidikan agama. Selain dipengaruhi oleh pendidikan, yang umumnya hanya memiliki latar belakang pendidikan umum, kurangnya pemahaman mereka mengenai thaharah atau bersuci juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang mereka alami yang mayoritas hanya lulusan hanya lulusan SMA dan SD yakni sebanya 56 %. Pengaruh pendidikan menurut tingkatannya adalah pada proses penalaran dalam memahami suatu disiplin ilmu. Makin tinngi tingkat pendidikan seseorang makin baik proses penalarannya dalam memahami makna thaharah. Orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung memandang fungsi thaharah tidak hanya sebagai syarat dalam beribadah. Tetapi juga memenuhi aspek kebersihan, kesehatan, etika dan estetika dari segi falsafah manusia pada umumnya. b. Pengalaman dalam mengikuti pendidikan khusus keagamaan Disamping faktor pendidikan, faktor lain yang dapat memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pemahaman makna thaharah adalah pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus di masyarakat. Pengalaman ini dapat berupa pengajian sewaktu
69
belajar mengaji di majlis taklim, mengikuti pesantren kilat dan mengikuti pengajian umum di masyarakat maupun di tempat kerja. Pengaruh dari pengalaman ini dapat digambarkan dari jawaban narasumber yang diwawancarai ketika ditanya mengenai makna thaharah dan makna najis serta tata cara membersihkan najis. Umumnya mereka mengemukakan argumentasi dari pendapatnya dengan mengatakan bahwa jawaban mereka itu didasarkan pada pelajaran yang mereka dapat sewaktu belajar mengaji atau sewaktu mengikuti pengajian baik di majelis taklim ataupun pengajian umum. Misalnya jawaban yang disampaikan oleh ibu Siyah (umur 28) yang latar belakang pendidikannya SMA, berpengalaman ikut pesantren kilat, sebagai berikut: Kata ustadz di tempat saya mengaji di pesantren kilat dulu, najis itu adalah kotoran yang menghalangi ibadah kita yang menjadikan sholat kita tidak sah. Najis yaitu darah, kotoran binatng dan manusia, bangkai, anjing, babi, nanah dan muntah.12 Di saat yang sama juga hal yang sama disampaikan oleh Ibu Yayah yang aktif mengikuti kegiatan di beberapa majlis taklim, sebagai berikut: Dalam mencuci pakaian, saya selalu memisahkan rendaman/cucian bayi dan pakaian lainnya yang terkena najis, sebab kalau tidak, nanti kotoran atau najisnya akan tercampur.13
12
Wawancara pribadi dengan Ibu Siyah , pada hari kamis, 24 Februari 2011 pukul 14.00
13
Wawancara pribadi dengan Ibu Yayah, pada hari kamis, 24 Februari 2011 pukul 15.30
WIB
WIB
70
C. Perilaku Masyarakat Muslim Pulo Gebang terhadap Etika Membersihkan Najis (Bersuci) 1. Etika bersuci Etika atau tata cara bersuci tergantung pada jenis najis, tingkatan dan macammacamnya. Dalam kitab fiqih telah dibahas secara terperinci tata cara bersuci, mekipun dalam pembahasannya terkadang terdapat perbedaan pendapat ulama dalam pembahasan dan cara menyucikan jenis-jenis najis tertentu. Dari setiap tingkatan najis pun cara membersihkannya belum tentu sama. Hal itu tergantung pada kotoran najis apa yang mengenainya. Dalam pelaksanaannya di masyarakat Pulo Gebang, pembahasan mengenai pelaksanaan bersuci masih berkisar pada jenis-jenis najis yang biasa mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan tata cara bersuci tidak diungkapkan secara detail. Sehingga pembahasan tata cara bersuci masih berkisar pada masalah najis atau kotoran yang diakibatkan oleh air kencing, serta kotoran lain yang sering mereka hadapi. Dari hasil wawancara, narasumber secara umum tidak membahas tata cara menyucikan najis berdasarkan tingkatan najisnya. Sehingga pembahasan cara menyucikan najis tidak mengungkapkan cara menyucikan najis dari tiap-tiap jenis benda yang dihukumi najis. Tata cara bersuci di masyarakat Pulo Gebang didasarkan pada pembahasan mereka tentang thaharah, serta pemahaman mereka tentang najis. Contoh yang paling sering diungkapkan oleh narasumber seperti dalam pembahasan air kencing bayi di
71
atas. Perbedaan pendapat mereka mengenai hukum najis dari bayi laki-laki dengan bayi perempuan, menyebabkan perbedaan dalam hal menyucikannya. Dalam hal ini, mengenai air kencing bayi laki-laki dan perempuan yang belum mengkonsumsi makanan apapun kecuali ASI, menurut mereka air kencing tersebut tetap dihukumi najis, asalannya, mereka menganggap bahwa air kencing itu adalah najis, baik air kencing bayi maupun air kencing orang dewasa. Akan tetapi mengenai cara mensucikannya ada yang berbeda, ada yang mengatakan bahwa cara mensucikan kencing bayi laki-laki maupun perempuan yaitu cukup diciprati air saja, tidak perlu dibasuh. Adapula pendapat yang berbeda yaitu air kencing bayi yang masih berumur 2 atau 3 bulan tidak dihukumi najis, asalkan bayi tersebut belum mengkonsumsi makanan apa-apa selain ASI, karena menurutnya air kencing bayi tersebut tidak terlalu bau pesing. Dalam mmbersihkan najis terdapat berbagai macam cara yang dilakukan oleh narasumber tergantung najis apa yang akan dibersihkan. Seperti contoh yang diungkapkan oleh narasumber ibu Sholihah, menurutnya cara membersihkan najis kencing
bayi
yang
menempel
di
sofa/kursi
busa.
Ibu
sholihah
dalam
membersihkannya yaitu, yang pertama disiram dulu dengan air, kedua disikat, ketiga disiram lagi, dan yang keempat dijemur sampai kering supaya tidak bau. Dalam hal membersihkan najis, yang menjadi patokan/standar bersih Ibu Sholihah, yakni sofa
72
itu sudah dikatakan suci apabila jika sudah tidak ada lagi bau pesing dan warna yang menempel pada sofa tersebut.14 Membersihkan najis merupakan suatu pekerjaan yang harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Karena jika ceroboh, dan tidak hati-hati, alih-alih najis itu bukannya hilang malah mengotori pakaian yang lain. Dalam membersihkan najis pakaian suatu benda lain yang terkena najis, hendaknya dipisahkan antara pakaian atau suatu benda lain yang suci atau tidak terkena kotoran najis. Tetapi pada pelaksanaanya di masyarakat, terkadang hal tersebut diabaikan dengan berbagai alasan yang mereka kemukakan, seperti pernyataan dari salah satu narasumber berikut: “Dalam mencuci pakaian, sebenarnya sih harus dipisahkan antara pakaian yang terkena najis dengan pakaian yang tidak ada najisnya. Tetapi apa boleh buat, karena saya tinggal dikontrakan yang fasilitas airnya terbatas yang membuat saya harus berhemat. Jadi dalam mencuci pakaian, saya campurkan saja pakaian anak saya yang terkena ompol dengan pakaian keluarga yang lainnya.”15 Dalam pernyataan tersebut Ibu Eka mengungkapkan bahwa sebenarnya beliau menyadari apa yang dia lakukan itu salah, namun apa boleh buat karena keterbatasan air dapat membuat keluarga ini tidak melaksanakan perintah ajaran agama yang sesungguhnya.
14
Wawancara pribadi dengan Ibu Sholihah (umur 29 tahun) latar belakang pendidikannya SLTP dan pernah belajar khusus agama, pada hari kamis, 24 Februari 2011 pukul 11.00 WIB 15
Wawancara pribadi dengan Ibu Eka (25 tahun) latar belakang pendidikannya SD dan mendapat pendidikan agama dari bangku sekolah, pada hari sabtu, 26 Februari 2011 pukul 15.30 WIB
73
2. Sumber pengetahuan Dari berbagai macam pendapat dalam pemaknaan thaharah maupun kegunaan thaharah tersebut dalam ibadah, dapat dilihat darimana mereka mendapatkan pengetahuan tersebut. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapatkan, maka akan terlihat pula dalam menerapkan thaharah yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dilingkungannya. Terdapat beberapa sumber dari mana asal mula mereka mengetahui dan mempelajarinya. Berikut adalah tabel hasil penelitian penulis dapatkan tentang suatu pemahaman mengenai thaharah.
Tabel 4.7 Data narasumber dalam mendapatkan pengetahuan tentang thaharah No
Alternatif Jawaban
F
%
1
Diajarkan Orang tua
5
20
2
Pelajaran agama sekolah
7
28
3
Mengikuti pengajian
10
40
4
Buku-buku/majalah agama
3
12
25
100
Jumlah
Sumber: Data Lapangan Pulo Gebang 2011
74
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas narasumber mempelajari thaharah dari suatu pengajian. Karena pengajian agama merupakan suatu kegiatan yang wajib diikuti dan dilaksanakan oleh umat muslim.
3. Perilaku dan kesadaran hukum Pelaksanaan thaharah bagi kehidupan seorang muslim, tidak terlepas dari aspek pemenuhan tuntutan hukum dalam syariat Islam. Pelaksanaan bersuci yang sesuai dengan penjelasan fuqoha dalam kitab fiqih menjamin kesempurnaan dalam beribadah. Hukum syariat yang dijelaskan dalam kitab fiqih bertujuan untuk menciptakan keteraturan dalam beribadah dan bermuamalah. Sehingga tercipta suatu keharmonisan antara kenyamanan beribadah dengan kenyamanan dalam berinteraksi sosial. Kesadaran masyarakat akan hukum syariat mempunyai posisi yang sangat penting dalam menciptakan keteraturan dan pemenuhan kewajiban. Hal tersebut tidak hanya berimplikasi pada lingkungannya saja, tetapi secara individual ketaatan terhadap hukum-hukum yang ditetapkan dalam syariat dapat menjamin keshahihan dalam beribadah. Karena jika seseorang mengabaikan aturan hukum yang berlaku dalam beribadah, maka dia berpotensi rusak bahkan hilang nilai pahala dari ibadah yang dilakukannya. Namun demikian, kesadaran hukum ini belum tercipta secara optimal dalam masyarakat Pulo Gebang. Masih ada masyarakat yang mengabaikan hukum yang telah ditetapkan. Sebagai contoh adalah cara membersihkan sofa yang terkena najis
75
air kencing bayi perempuan yang berumur 1 tahun. Dari satu permasalahan tersebut terdapat tiga jawaban yang berbeda berdasarkan wawancara penulis dengan tiga narasumber sebagai berikut: a. Ibu Eni16 : ”Kalau saya cara membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa dengan cara di lap pakai lap kering, lalu diusap-usap saja, lalu saya semprotkan pewangi supaya tidak bau, setelah itu saya diamkan saja nanti juga akan menyerap ke busah dan kering sendiri, lagian juga kalau dijemur terlalu berat sofanya untuk diangkat”. b. Ibu Fina
17
: ”Kalau saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa
dengan cara dilap saja pakai lap basah, setelah itu pakai lap kering, menurut saya itu sudah cukup, nanti juga kencingnya akan menyerap di sofa. Yang penting sudah tidak ada bekasnya lagi”. c. Ibu Hj. Asiah18: ”Saya membersihkan kencing bayi yang mengenai sofa dengan cara dilap pakai kain basah lalu dijemur di bawah panas matahari”. Dari ketiga jawaban di atas, jawaban yang sesuai dengan ketentuan fiqih adalah jawaban yang diutarakan oleh ibu Hj. Asiah. Apa yang telah dilakukan ibu Hj. Asiah dalam cara membersihkan najis sudah memenuhi standar thaharah sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II bahwa ukuran sesuatu itu dikatakan 16
Wawancara pribadi dengan Ibu Eni (umur 24 tahun) latar belakang pendidikan SD, dan mendapatkan pendidikan agama dari orang tua, Pada hari jum’at, 25 Februari 2011 pukul 14.00 WIB 17
Wawancara pribadi dengan Ibu Fina (umur 25 tahun) latar belakang pendidikan SLTP dan mendapatkan pendidikan agama dari sekolah, Pada hari jum’at 25 Februari 2011 pukul 09.30 WIB 18
Wawancara pribadi, dengan Ibu Hj. Asiyah (43 tahun) latar belakang pendidikan SLTA dan sering mengikuti kegiatan pengajian ibu-ibu, pada hari sabtu, 26 Februari 2011 pukul 09.00 WIB
76
suci/bersih harus terhindar dari tiga sifat yaitu: hilang warnanya, baunya, dan wujudnya. Ketidaksesuaian pelaksanaan thaharah dan konsep normatif bisa disebabkan faktor ketidak mengertian. Namun demikian, faktor kelalaian juga menjadi persoalan penting. Sebagaimana saja alasan yang diungkapkan oleh Ibu Rina (26 tahun) latar belakang pendidikannya SMA, sebagai berikut: “Membersihkan najis sebenarnya harus dengan hati-hati dan benar-benar bersih, tetapi saya bagi saya sangat repot, jadi saya membersihkannya dengan cara saya sendiri, yang penting menurut saya sudah bersih”. Dalam ketaatan terhadap hukum syariat tentang pembahasan thaharah, masyarakat Pulo Gebang masih banyak yang tidak melaksanakan dengan semestinya. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan ditemukan banyak diantara mereka yang melakukan pelaksanaan thaharah tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam kitab fiqih. Terkadang mereka melakukan kekeliruan tersebut secara sadar, namun dengan alasan keterbatasan sumber daya, mereka tetap melakukan kekeliruan tersebut. Mereka yang sadar akan memahami bahwa patuh terhadap hukum akan dinilai sebagai ibadah dan mendapat pahala dari Allah Swt.
Dan
ketidakpatuhan terhadap hukum Islam akan mendapatkan dosa. Sedangkan mereka yang tidak sadar tidak memahami bahwa ketidakpatuhan terhadap hukum perilakunya dianggap kebiasaan semata dan tidak dinilai ibadah sehingga mereka akan mendapatkan dosa. Sebagaimana terlihat dalam sebuah peristiwa yang terobservasi dalam sebuah kasus ibu Dini yang latar belakang pendidikan umum SMA, dalam membersihkan
77
najis kencing anak bayi perempuannya yang berumur 2 tahun. Tetapi pada saat si kecil kencing ibu Dini melepaskan celana anaknya yang terkena air kencing lalu kemudian melapkan yang sudah kotor itu ke dalam air kencing, tanpa kemudian menyiram ulang air kencing itu hingga mengering.19 Kasus yang sama terlihat pada hari yang berbeda dilakukan juga oleh ibu Haryanti.20 Contoh lainnya adalah perilaku thaharah yang dilakukan bapak Rohmat dan ibu Rosyidah yang menempati rumah kontrakan yang baru dihuni dua bulan. Melihat latar belakang pendidikan bapak Rohmat dari lulusan SD dan tidak biasa mengikuti pengajian dan berprofesi sebagai supir angkot. Sedang istrinya adalah lulusan Aliyah yang berprofesi sebagai karyawan pabrik dan mempunyai anak yang berumur 16 bulan. Mereka dalam hal mencuci pakaian secara bergantian melihat situasi yang memungkinkan. Semisal, bagi bapak Rohmat di waktu istirahat siang setelah menyupir angkot dan bagi ibu Rosyidah setelah sholat subuh sebelum berangkat kerja ketika masuk kerja siang. Ketika penulis berkunjung di rumah mereka, kebetulan banyak pakaian yang kotor termasuk pakaian bayi yang terlihat ada bekas kotoran najisnya sedang dicuci oleh bapak Rohmat. Penulis melihat air yang digunakan untuk bersuci kurang dari dua kullah, pakaian yang bekas najis dicampur dengan pakaian yang tidak bekas najis. Bapak Rohmat ketika mencuci cenderung tergesa-gesa dan asal bersih terkena deterjen dan langsung dijemur, tanpa disiram terlebih dulu pada cucian yang terakhir. 19
Observasi dilakukan pada hari minggu, 27 Februari 2011 pukul 11.00 WIB
20
Observasi dilakukan pada hari senin, 28 Februari 2011, pukul 10.45 WIB
78
Ketika ditanya kenapa terburu-buru, bapak Rohmat menjawab karena mau nyupir angkot lagi, dan tempatnya mau dipakai orang lain yang satu komplek kontrakan. Ketika isrtinya datang langsung membantu bapak rohmat menjemur pakaian tanpa menyalahkan atau menegur cara bapak Rohmat dalam mencuci pakaian.21 Dari hasil penelitian penulis ketika mewawancarai narasumber seputar cara membersihkan najis kencing bayi yang mengenai lantai, kemudian tentang bayi yang kencing di sofa, dan cara mereka mencuci pakaian bayi yang terkena najis yang dipisahkan dengan pakaian keluarga yang lainnya, mereka masih banyak yang tidak sesuai antara ungkapan dengan perilaku yang mereka hadapi sehari-hari. Hal ini bisa disebabkan oleh proses sosialisasi ilmu yang kurang sempurna atau rasa malu ketika penulis menanyakan masalah tersebut yang berhubungan dengan kebersihan dan tata cara membersihkannya. Namun kenyataannya mereka tidak sesuai dengan fenomena yang ada. Adapun mereka yang sadar, tetapi tidak melaksanakan sesuai dengan pemahamannya terhadap hukum, dimungkinkan karena ada motivasi-motivasi lain, seperti malas, lalai, menganggap sepele, tidak penting, dan lain sebagainya. Pemahaman mereka yang hanya sekelumit tentang thaharah baik dari proses belajar di sekolah maupun dari proses pembelajaran orang tua, menyebabkan penanaman hukum hanya sebatas meniru dari apa yang dilihat pada saat terjadi proses sosialisasi. Pemahaman thaharah secara tidak menyeluruh menyebabkan adanya kesenjangan antara teori yang terdapat dalam literatur fiqih, dengan pelaksanaan 21
Observasi dilakukuakn pada hari senin, 28 februari 2011 pukul 15.00 WIB
79
thaharah di masyarakat pada umumnya. Sebenarnya masyarakat memandang thaharah itu sebagai kunci salah satu kegiatan yang sangat penting dalam pelaksanaan ibadah. Tetapi dalam pelaksanaanya, mereka masih saja ada yang melakukan kekeliruan dan kelalaian yang terkadang dengan sadar mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa proses sosialisasi hukum syariat ini hanya bersifat taklid, atau hanya mengikuti tanpa ada penjelasan bukan dari proses penurunan ilmu yang rasional. Dari penelitian dan penjelasan yang telah penulis dapatkan dari masyarakat Pulo Gebang tersebut, ternyata masih banyak mereka kurang memahami istilah thaharah secara mendalam, dalam pelaksanaannya pun masih banyak yang melenceng dari ajaran hukum islam, dikarenakan adanya suatu faktor pendidikan dan pengalaman mereka dalam mempelajari agama masih kurang. Mayoritas masyarakat Pulo Gebang banyak diantara mereka yang mengikuti kegiatan pengajian majils taklim, akan tetapi, belum tentu diantara mereka dapat memahami thaharah secara mendalam, sebab, ketika mereka mengikuti pengajian, ustadz/ustdzahnya kurang dalam menyampaikan dan menerapkan teori maupun prkateknya, sehingga tidak mudah bagi masyarakat yang awam bisa memahami thaharah dan hukum-hukum islam yang semestinya mereka laksanakan di lingkungan masyarakat sehari-hari, bahkan mereka masih banyak pula dalam pelaksanaan thaharah tidak sesuai dengan kitab fiqih, terutama dalam membersihkan najis kencing bayi yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari kajian secara menyeluruh tentang perilaku masyarakat Islam khususnya etika membersihkan najis di kelurahan Pulo Gebang, berdasarkan data-data yang ada, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Masyarakat Pulo Gebang yang jumlah penduduknya yang padat, heterogen dan kompleks terdiri dari warga pribumi dan warga pendatang, banyak yang tidak memahami tentang fiqh thaharah meskipun sebagian besar masyarakat Pulo Gebang beragama Islam. 2. Pemahaman dan Pelaksanaan fiqh thaharah dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pulo Gebang lebih banyak yang kurang memenuhi persyaratan atau kriteria yang dijelaskan dalam hukum Islam. Tingkat pemahaman dan pelaksanaan dipengaruhi beberapa faktor, yaitu, tingkat pendidikan, motivasi, kesadaran dan kepatuhan hukum. 3. Masyarakat Pulo Gebang dalam membersihkan najis
lebih banyak yang
belum memenuhi kriteria atau cara yang diajarkan dalam fiqh/hukum Islam. Karena mereka yang sadar akan memahami bahwa kepatuhan terhadap hukum akan dinilai sebagai ibadah dan mendapat pahala dari Allah Swt. Dan ketidakpatuhan terhadap hukum Islam akan mendapatkan dosa. Sedangkan mereka yang tidak sadar tidak memahami bahwa ketidakpatuhan terhadap
80
81
hukum perilakunya dianggap kebiasaan semata dan tidak dinilai ibadah sehingga mereka akan mendapatkan dosa.
B. Saran-saran. Berdasarkan temuan peneliti, agar pemahaman, pelaksanaan, dan kesadaran masyarakat meningkat dan mengangap penting untuk bersuci yang sesuai dengan hukum Islam, maka perlu adanya sosialisasi baik melalui swasta maupun pemerintah. Melalui swasta misalnya organisasi kemasyarakat, lembaga dakwah, yayasan pendidikan atau pesantren mengadakan pelatihan, seminar, workshop dan lain sebagainya. Dan diharapkan kepada para tokoh agma (ustdz/ustdzah) untuk menyampaikan pembahasan seputar thaharah secara detail dan memberikan contohcontoh cara menghilangkan najis yang sesuai dengan yang disyariatkan agama. Melalui pemerintah, dalam hal ini tentunya Departemen Agama merupakan bagian dari tugas para penyuluh agama fungsional (PAH) di seluruh wilayah Indonesian di bawah naungan Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Departemen Agama Republik Indonesia.
Jika penyuluhan dilakukan di seluruh
wilayah Indonesia, maka banyak masyarakat yang semakin mengerti, memehami, menyadari dan melaksanakan thaharah (bersuci) khususnya perilaku dan etika membersihkan najis sesuai dengan hukum Islam. Departemen Agama pula memberikan sensor terhadap iklan-iklan yang bisa menyesatkan masyarakat terkait iklan membersihkan pakaian dengan deterjen.
82
Di samping sosialisasi melalui swasta dan pemerintah, masyarakat hendaknya membuka diri, merespon dan berperan aktif dalam proses sosialisasi thaharah khususnya etika membersihkan najis. Apalah arti usaha pemerintah dan swasta dalam bersosialisasi jika tidak didukung oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, tejalin hubungan timbal balik dan respon yang baik antara masyarakat, lembaga masyarakat dan pemerintah.
83
DAFTAR PUSTAKA Asrori, A. Ma’ruf, Ringkasan Fikih Islam, Surabaya: Al-Miftah, 2000, cet. ke-1 Abu Jayb, Sa’dy, Al-Qamus al- Fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, Dar al-Fikr, 1988 Al-Bajuri, Ibrahim, hasyiyah al-Bajuri ‘Ala Ibn Qasim al-Ghazi, t.tp:Syirkah Nur Asia, t.t, jilid ke-1 Al-Ashfahani, Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fadzh al-Qur’an, Bairut: Dar Fikr, t.th Al-Sya’rani, Abdul Wahab, al-Mizan al-Kubra, Semarang: Toha Putera, t.th, Juz 1 Ar-Rahbawi, Abul Qadir, Ash-Sholah ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, Penerjemah Abu Firly Bassam Taqiy, Fikih Shalat Empat Madzhab, Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007, cet. ke 10 Al-Maliki, Ahmad al-Showi, Hasyiyah al-‘Alamah al-Showi, Bairut: Dar Fikr, 1993, Juz I Al-Dimyathy, Muhammad Syatha, I’Anah al-Thalibin, Surabaya: al Hidayah, t.th, Juz I Al-Bantani, Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi in, Semarang: Maktabah wa Mathba’ah Toha Putera, t.th Al-Shan’ani, Muhammad bin Isma’il, Subul al-Salam, Bandung: Dahlan, t.th, Juz 1 Al-Ghazali, Abi Hamid bin Muhammad, Ihya ‘Ulum al-Din, Bairut:Dar al-Kutub alIlmiyyah, 2002, Cet. Ke-1 Al-Jurjani, Ali bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988, cet. ke-2 Al-Ghuzi, Muhammad bin Qasim, Fathul Qarib al-Mujib, Semarang: Usaha Keluarga, t.th Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Surabaya: Dar Ihya al-Arabiyah, t.th, Juz I Al-Suyuti, Jalaluddin, al-asybah wa al-Nazhair, (Bairut, Muassasah al-Kutub alTsiqafah, 1994), cet. ke 1 83
84
Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqih, Penerjemah Saefullah Ma’sum, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. Ke-4. Ba’Alawi, Abdurrahman bin Muhammad, Bughyah al-Mustarysidin fi Talhish Fatawa ba’dh al-Aimmah min ‘Ulama al-Mutaakhirin, Bandung: Syirkah Ma’arif lithab’ wa al-Nashr, t.th Dahlan, Abdul Aziz, Ed. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, cet. ke 3 Friedman, Lawrence M., Sitem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim, Bandung: Nusa Media, 2009, cet. Ke-2 Handoko, Martin, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku, Yogyakarta: Kanisus, 1992, h. 10 Kartasapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Jakarta: Bina Aksara, 1988, cet. I Khalaf, Abdul Wahab, Ilm Ushul al-fiqh, (t.t: Dar al-Qalam, 1978), cet. ke 12 Karo-karo, R. Andre, Pengantar ke Etika, Jakarta: Erlangga, 1984 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. Ke-4 Mughniyah, Muhammad Jawad, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerjemah Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Madzhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996, cet. 2 Mujieb, M. Abdul dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, Cet. ke 2 Muhammad bin Ibrahim, Fatwa-Fatwa tentang Wanita, Al-Fatwa Al-Jami’ah Lil Mar’ah Ash-Shalihah, Penerjemah Amin bin Yahya Al-Wazan, Jakarta: Darul Haq, 2001 Maulana, Achmad, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta: Absolut, 2004 Qalyubi wa ‘Umairah, Hasyiyata Qalyubi wa ‘Umairah, Bairut: Dar al-Kutub al-alIlmiyyah, 1997, Juz 1, Cet ke-1 Muslim, Shahih Muslim, t.t, Dar Ihya al- Arabiah, t.th, juz I
85
Ritonga, A. Rahaman dan Zainudin, Fiqih Ibadah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, cet. II Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Bairut: Muassasah al-Risalah, Jilid 1 Soekanto, Soerjono, Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, cet. ke 2 -------, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998, Cet. 25 -------, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, cet ke-1 Schiff, David N, Hukum sebagai Fenomena Sosial, dalam Pendekatan Sosiologis terhadap Hukum, Adam Podgorecki dan Christopher J. Whelan, eds, Jakarta: Bina Aksara, 1987 Shubhi, Ahmad Mahmud, Filsafat Etika; Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, Penerjemah Yunan Askaruzzaman Ahmad, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001, cet. ke 1 Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. ke-1 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, Jilid I, cet. Ke-1 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, cet. ke 9 Taqiyyudin, Kifayah al-Akhyar fi halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya: Dar Ihya al ‘Arabiyah, t.th, Juz 1 Widjaja, Aw., Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, Jakarta: CV. Era Swasta, 1984, cet. I Wawancara pribadi dengan Ibu Maryani, kamis, 24 Februari 2011 pukul 19.00 Wawancara pribadi dengan Ibu Tin, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 09.00 Wawancara pribadi dengan tokoh agama, kamis, 24 Februari .2011 pukul 16.30 WIB Wawancara pribadi dengan tokoh agama, kamis, 24 Februari 2011 pukul 15.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Yati, minggu 27 Februari 2011 pukul 08.45 WIB
86
Wawancara pribadi dengan Ibu Dini, jum’at, 25 februari 2011 pukul 08.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Mamay, senin, 28 Februari 2011 pukul 11.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Rohmah, minggu, 27 Februari 2011 pukul 20.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Rofi, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 17.30 WIB Wawancara pribadi, dengan Ibu Lina, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 17.00 WIB Wawancara pribadi dengan Bapak Rahman, minggu, 27 Februari 2011 pukul 10.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Marhati, minggu, 27 Februari 2011 pukul 17.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Siyah, kamis, 24 Februari 2011 pukul 14.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Yayah, kamis, 24 Februari 2011 pukul 15.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Sholihah, kamis, 24 Februari 2011 pukul 11.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Eka, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 15.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Eni, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 14.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Fina, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 09.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Hj. Asiyah, sabtu 26 Februari 2011 pukul 09.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Ita, senin, 28 Februari 2011 pukul 09.00 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Haryanti, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 10.30 WIB Wawncara pribadi dengan Ibu Evi, sabtu, 26 Februari 2011 pukul 13.45 WIB Wawncara pribadi dengan Ibu Rina, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 07.30 WIB Wawancara pribadi dengan Ibu Rosyidah, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 10.00 WIB Wawancara pribadi dengan Bapak Rohmat, jum’at, 25 Februari 2011 pukul 15.00 WIB
87
Observasi dilakukan pada hari minggu, 27 Februari 2011 pukul 11.00 WIB Observasi dilakukan pada hari senin, 28 Februari 2011, pukul 10.45 WIB
88
DATA-DATA NARASUMBER
No
Nama
Usia
Pendidikan
Nama anak
Usia
Jenis Kelamin
Sumber pengetahuan tentang thaharah Diajarkan ortu
Sekolah
Pengajian
Buku2
1
Maryani
45 Tahun
SD
Sholeh
2 Tahun
Laki-laki
2
Tin
26 Tahun
SLTA
-
-
-
3
Yati
30 Tahun
SLTA
Alya
1 tahun
Perempuan
4
Dini
26 Tahun
SLTA
Fatir
2 tahun
Laki-laki
5
Yayah
26 Tahun
D1
Abror
7 Bulan
Laki-laki
6
Lina
33 Tahun
SLTA
Banin
11 Bulan
Perempuan
7
Mamay
51 Tahun
SD
-
-
-
8
Evi
30 Tahun
SLTA
Rais
2 Tahun
Laki-laki
9
Asiah
43 Tahun
SLTA
Nanda
2 Tahun
Perempuan
10
Rofi
30 Tahun
S1
-
-
-
11
Siyah
28 Tahun
SLTA
Fadil
2 Tahun
Laki-laki
89
DATA NARASUMBER
12
Fina
25 Tahun
SLTP
Fahri
10 bulan
Laki-laki
13
Eni
24 Thun
SD
Dika
1 Tahun
Laki-laki
14
Barera
33 Tahun
S1
-
-
-
15
Karnali
35 Tahun
S2
Liza
2 Tahun
Perempuan
16
Haryanti
20 Tahun
SLTP
Diva
2 Tahun
Perempuan
17
Eka
25 Tahun
SD
Nabila
1 Tahun
Perempuan
18
Rina
26 Tahun
SLTA
Anggun
2 Tahun
Perempuan
19
Maryani
45 Tahun
SD
Soleh
1 ½ Thun
Laki-laki
20
Marhati
40 Tahun
SLTP
Jaka
2 Tahun
Laki-laki
21
Ita
24 Tahun
SLTA
-
-
-
22
Romlah
55 Tahun
SD
-
-
-
23
Rahman
34 Tahun
SLTA
-
-
-
24
Rohmat
52 Tahun
SLTP
90
25
Masnah
50 Tahun
SD