Perihal Jajanan Anak Sekolah Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen Oleh. Nuryadin1 A. Latar Belakang Masalah Salah satu ciri dari makhluk hidup adalah mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Baik manusia, hewan dan tumbuhan memerlukan makanan dan minuman dalam kehidupannya. Pertumbuhan tiap makhluk tentunya berbeda-beda karena tergantung makanan dan minuman yang dikonsumsi. Untuk pertumbuhan yang lebih baik, diperlukan makanan dan minuman berkualitas. Dalam perkembangan, adakalanya terserang berbagai penyakit. Manusia sebagai konsumen juga tidak luput dari yang namanya penyakit. Makanan yang dikonsumsi setiap hari dapat merupakan salah satu sumber penyakit apabila memiliki kualitas yang rendah. Oleh karena itu konsumen perlu waspada dan selektif dalam mengkonsumsi setiap makanan. Pemerintah sebagai penyelenggara negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen, baik tentang hak dan kewajiban konsumen maupun hak dan kewajiban pelaku usaha di wilayah Republik Indonesia. Tanggung jawab itu diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Berangkat dari banyaknya aktivitas perdagangan yang melibatkan pihak penjual dan pembeli, seringkali menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari baik yang sifatnya pidana maupun perdata. Dalam perjalanannya, pembeli atau konsumen hampir selalu berada pada posisi yang lemah dan apabila menghadapi masalah, umumnya konsumen memilih diam sehingga berujung pada pembiaran saja. Sebutlah masalah pencantuman tanggal kadaluarsa yang sudah melewati masanya namun masih tetap diperjualbelikan, pemberian hadiah atau diskon tidak sesuai dengan janji yang diberikan, masih sering ditemukan kemasan barang yang sudah rusak namun masih terlihat dijual, petunjuk penggunaan barang yang masih menggunakan bahasa asing, klausula baku yang menguntungan satu pihak, label halal haram dan lain-lain.2 Konsumen akan banyak belajar dari pengalaman yang pahit tanpa memperoleh advokasi yang adil. Di sinilah terasa sangat diperlukan perangkat hukum yang dapat melindungi konsumen. Setelah melalui proses panjang, akhirnya terbitlah UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK). Ada beberapa alasan pemerintah dalam mensyahkan UUPK ini yaitu pertama, dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka pemerintah 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Azzahra Jakarta. Beberapa rumusan masalah tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pasal 8. 2
melaksanakan pembangunan di bidang perekonomian nasional, untuk mendukung dunia usaha yang mampu menghasilkan beranekaragam barang yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Kedua, semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi, harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar. Hal itu dimaksudkan guna meningkatkan harkat dan martabat konsumen, kesadaran akan hak dan kewajiban baik itu konsumen maupun pelaku usaha, pengetahuan dan wawasan akan barang dan/atau jasa yang digunakan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang sehat dan bertanggung jawab penuh. Alasan tersebut cukup logis, mengingat persaingan dunia usaha semakin kompetitif dan merambah di hampir semua bidang kehidupan. Tanpa aturan yang tegas dan bertanggung jawab, dapat mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat sebab pelaku usaha akan tetap teguh pada prinsip mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan pembiayaan yang seminimal mungkin. Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi adalah persaingan usaha yang secara sederhana bisa didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual di dalam merebut pembeli dan pangsa pasar. 3 Oleh karena itu dengan hadirnya UUPK, maka akan peluang terwujudnya pelaku usaha yang jujur, sehat dan bertanggung jawab akan besar. Tujuan pembentukan UUPK,4 yaitu pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen selalu menjadi objek bisnis untuk meraup keuntungan yang besar oleh pelaku usaha melalui cara seperti: promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang sepihak dan cenderung merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah minimnya tingkat kesadaran dan pengetahuan konsumen akan haknya daripada kewajibannya. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesadaran konsumen, maka konsumen sangat diharapkan juga memiliki 3
HR. Daeng Naja, S.H., M.Hum.,M.Kn. Pengantar Hukum Bisnis Indonesia. Pustaka Yustisia, Jogyakarta, 2008. Hal.162. 4 Penjelasan Umum Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
inisiatif untuk menambah pengetahuannya agar menjadi konsumen yang cerdas. Penentuan ini akhirnya tergantung dari beberapa faktor yaitu oleh (a) pendidikannya (baik pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah) maupun selera perilaku yang dikembangkannya di dalam lingkungan pergaulannya; (b) oleh keperluannya dalam rangka tugasnya atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya; (c) seleranya atau perasaan ethisnya; (d) dan oleh keyakinan keagamaannya.5 UUPK dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan. Upaya ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya memiliki prinsip ekonomi yaitu mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Hal itu dilakukan melalui pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. UUPK ini dirumuskan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya berlandaskan pada falsafah kenegaraan Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945. Di dalam negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, Undang-undang Dasar mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggara kekuasaan tidak bersifat sewenang-sewenang. Dengan demikian diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.6 Pada kenyataannya hingga kini pelaksanaan tujuan perlindungan konsumen seperti yang ingin dicapai undang-undang ini, belum berjalan seperti yang diharapkan. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel kasus keracunan makanan seperti yang penulis rangkum dari berbagai sumber di bawah ini:7 Tabel 1. Kasus Keracunan Makanan
No
Korban
Lokasi
Penyebab
Gejala
1
9 Siswa SD
SDN Karanganyer III, Sragen.
Makan Bubur Sumsum, Es, Bakso Cilok
Pucat, lemas, mual dan pusing kepala
2
14 Siswa SD
SD Letdosari I dan II, Semarang
Makan Nasi Bungkus di Sekolah
Mual dan Muntah
5
Prof. Sunaryati Hartono, SH. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Penerbit Alumni, cet 1, 1991. 6 Prof. Dr. H.Dahlan Thaib, SH, M.Si dkk. Teori dan Hukum Konstitusi. Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. 7 www.solopos.com, Kamis 28 Mei 2009 dan Zaenab, SKM, M.Kes, Kilping Kasus Keracunan Makanan, 2008.
3
150 Siswa SD
SD Tabanan Bali
Makan Es Mambo
Muntah
4
117 Siswa SD
SD Teluk Betung Bandar Lampung
Makan Bakso
Pusing dan Mual
5
21 Siswa Madrasah
Wates Waringin Gresik Jatim.
Makan Mie di Kantin
Muntah, dan Pusing
Pada awal tahun 2011, telah dicanangkan program Jajanan Sehat Anak Sekolah oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Prof. Dr. Boediono mengatakan bahwa: "Masalah jajanan anak sekolah tampaknya hanya masalah kecil, namun dampaknya besar terhadap kelangsungan bangsa yang lebih baik di masa depan, karena itu sangat penting untuk menjadikan gerakan jajanan anak sekolah yang aman, bergizi dan bermutu sebagai gerakan bersama seluruh komponen bangsa.” 8 Makanan yang ada di sekolah selain berada di kantin namun juga ada yang dijajakan di luar, seperti di depan pagar sekolah. Makanan di luar sekolah sulit dikontrol, sebab para penjual dapat berganti setiap harinya dengan kualitas yang berbeda. Meskipun berada di luar, sekolah tidak boleh mengurangi kepeduliaannya terhadap kualitas makanan peserta didiknya. Baik di dalam maupun di luar sepanjang masih berada di lingkungan sekolah tetap merupakan tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan. Badan POM melalui Kepalanya, Dra Kustantinah, Apt, M.App.Sc pernah mengungkapkan, bahwa ada beberapa potensi masalah yang dapat ditimbulkan dari makanan sekolah, seperti dalam tabel di bawah ini: 9 Tabel 2. Potensi Masalah Makanan Sekolah
No
1
Kandungan
Pemanis Buatan
8
Keterangan
Dibuat secara berlebihan.
Harian Suara Pembaruan Tentang Pencanangan Program Jajanan Sehat Anak Sekolah yang dimuat pada hari Senin tanggal 31 Januari 2011. 9 Seminar Gizi Lebih: Ancaman Tersembunyi Masa Depan Anak Indonesia di Gedung Kemenkes, Jakarta, Rabu (20/4/2011).
2
Bahan Pewarna
Berbahaya untuk makanan seperti: rhodamin B (untuk warna merah) dan methanil yellow (untuk warna kuning).
3
Bahan Makanan
Berbahaya seperti boraks atau formalin.
4
Higienitas
Sangat buruk sebab tidak mencuci tangan sebelum makan.
5
Sanitasi
Tidak ada air bersih hingga memicu pencemaran mikroba dan zat kimia.
Selain pemerintah, sekolah yang merupakan lembaga publik juga berkewajiban menghindari terjadinya keracunan makanan. Upaya yang dilakukan dapat berupa sosialisasi tentang makanan sehat bekerjasama dengan lembaga terkait, seperti Dinas Kesehatan, Badan POM atau Dinas perdagangan pada Direktorat Pemberdayaan Konsumen, penyuluhan tentang tempat menjual makanan yang bersih dan kampanye ”mencuci tangan sebelum makan”. Kegiatan-kegiatan tersebut harus diikuti oleh seluruh elemen sekolah termasuk juga para penjual makanan tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan ditentukan bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia 10. Selanjutnya persyaratan keamanan pangan yaitu standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Laporan survey Badan POM, menyatakan bahwa hingga kini baru sekitar 56% makanan sekolah yang telah memenuhi syarat keamanan pangan sehingga dengan demikian sisanya sebanyak 44% adalah makanan yang memenuhi syarat kesehatan. Informansi tersebut selengkapnya seperti yang ada pada tabel di bawah ini: 11 Tabel 3. Keamanan Pangan No
1
Kajian Makanan yang penuhi syarat keamanan pangan
10
Hasil
56%
Keterangan
Memenuhi syarat keamanan pangan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan Bab I Tentang Ketentuan Umum pada pasal 1. 11 Terungkap dalam Lokakarya Jejaring Keamanan Pangan Nasional 2011 di Jakarta.
2
Kasus Keracunan M
3
Kasus Keracunan di Sekolah
4
Makanan yang penuhi syarat Kesehatan
25,15%
Terjadi di Sekolah
70-79%
Terjadi di Sekolah Dasar (SD) Hingga kini jumlah SD di Indonesia yaitu 179 ribu SD
44%
Tidak penuhi syarat Kesehatan
Oleh karena itu berdasarkan amanat UUPK bahwa setiap pelaku usaha seharusnya senantiasa menjamin kesehatan konsumen yang memakan produknya . B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pelaku usaha telah melaksanakan kegiatan menjamin kesehatan konsumen di sekolah? 2. Apakah sanksi pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban terhadap jaminan kesehatan konsumennya? C. Aturan Hukum Yang Terkait Makanan Sekolah Berdasarkan amanat UUD 1945 bahwa maksud pendiri negara dalam membentuk pemerintahan adalah melindungi seluruh rakyat Indonesia. Amanat ini tercermin dengan disahkannya Undang-undang Perlindungan Konsumen. Istilah perlindungan konsumen ini ruang lingkupnya hampir di seluruh bidang termasuk juga dalam hal makanan sekolah. Kajian yang penulis lakukan bahwa aturan hukum yang mengatur dan ada kaitannya dengan makanan sekolah selain Undang-undang Perlindungan Konsumen yaitu: 1. Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1997 Tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah. Alasan Presiden waktu itu mengeluarkan Inpres tersebut dapat ditelusuri dalam konsideran sebagai berikut menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun melalui peningkatan gizi dan kesehatan siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) negeri dan swasta perlu diselenggarakan program khusus. b. bahwa program khusus dimaksud adalah Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang bersifat lintas sektoral dan saling mendukung dengan program lainnya yang terkait.
c. bahwa Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) itu akan melibatkan berbagai instansi pemerintah dan masyarakat yang dalam penyelenggaraannya diperlukan keserasian dan keterpaduan langkah. d. bahwa berhubung dengan hal-hal seperti tersebut di atas, dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang selanjutnya disebut INPRES PMT-AS. Dalam lampiran Inpres tersebut Presiden juga menjelaskan bahwa tujuan adanya program tambahan makanan tambahan anak sekolah antara lain: Tujuan Umum Meningkatkan ketahanan fisik siswa SD/MI negeri dan swasta melalui perbaikan keadaan gizi dan kesehatan sehingga dapat mendorong minat dan kemampuan belajar anak untuk meningkatkan prestasi dalam rangka menunjang tercapainya Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Tujuan Khusus i. Meningkatkan keadaan gizi siswa SD/MI negeri dan swasta, meningkatkan minat belajar siswa, mengurangi absensi siswa dan tinggal kelas serta mengurangi jumlah anak yang putus sekolah. ii. Mendukung program diversifikasi pangan dengan menanamkan sikap dan perilaku menyukai makanan jajanan setempat dalam rangka pelaksanaan gerakan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) yang dimulai pada usia dini. iii. Menanamkan kebiasaan makan yang baik serta kebiasaan hidup bersih dan sehat sejak anak-anak untuk menumbuh kembangkan perilaku hidup sehat didukung oleh sanitasi lingkungan yang baik. iv. Mendorong perkembangan ekonomi rakyat melalui pemanfaatan produk pertanian setempat, untuk digunakan dalam PMT-AS, Bagi desa IDT diutamakan agar PMTAS menggunakan hasil produksi Kelompok Masyarakat (POKMAS) program IDT. v. Mendorong peran serta aktif masyarakat dalam pelaksanaan pendidikan anak dengan memperhatikan keadaan gizi dan kesehatannya, sehingga apabila bantuan pemerintah selesai, masyarakat mau dan mampu melanjutkan dan melestarikan PMT-AS ini atas swadaya masyarakat sendiri. 2. Kepmenkes No.942/MENKES/SK/VII/2003 Hygiene Sanitasi Makanan Jajanan.
Tentang
Pedoman
Persyaratan
Salah satu pertimbangan pemerintah khususnya yang dalam hal ini menteri kesehatan adalah bahwa masyarakat perlu dilindungi dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan agar tidak membahayakan kesehatannya. Contoh komunitas masyarakat adalah lingkungan sekolah yang didalamnya ada para peserta didik yang merupakan generasi penerus bangsa. 3. Permenkes RI No.239/Men.Kes/Per/V/1985 Tentang Zat Warna Tertentu Yang Dinyatakan Sebagai Bahan Berbahaya.
Globalisasi yang melanda di seluruh juga mempengaruhi kualitas makanan dan minumannya. Kualitas dapat berarti rasa dan kandungan zat dan gizinya. Maka dari itu menteri kesehatan dalam peraturannya mengatakan bahwa alasan utama dikeluarkan Permenkes adalah masyarakat berhak dilindungi dari zat-zat berbahaya yang kemungkinan ada dalam makanan dan minuman tertentu dan akan membahayakan kesehatannya. Oleh karena itu dalam Permenkes ini pemerintah melalui menteri kesehatan mengeluatkan aturan atau kriteria zat-zat warna makanan mana saja yang dikategorikan berbahaya bagi kesehatan. 4. Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Makanan. Dalam perpu ini, pemerintah cukup jelas mengatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan kecerdasan dan pertumbuhan yang baik adalah dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang aman, bermutu, bergizi. 5. Undang-Undang No.11 Tahun 1962 Tentang Hygiene Untuk Usaha-usaha Bagi Umum. Adapun tujuan dan maksud undang-undang ini sesuai dengan pasal 1 yaitu untuk melindungi/memelihara/mempertinggi kesehatan masyarakat yang mempergunakan tempat atau hasil usaha-usaha bagi umum. Arti dari usaha-usaha bagi umum adalah usaha-usaha yang dilakukan badan-badan pemerintah, swasta, maupun perseorangan yang menghasilkan sesuatu untuk atau yang langsung dapat dipergunakan oleh umum. 6. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Aturan mengenai kesehatan sebagaimana dala pasal 14 adalah tanggung jawab pemerintah. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Salah satu upaya pemerintah adalah kesehatan sekolah (pasal 48 huruf g) yang selanjutnya dengan lengkap dituangkan dalam pasal 79 butir 1 yang berbunyi bahwa kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga pesert didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. 7. Kepmenindag No.634/MPP/Kep/9/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/Jasa Yang Beredar di Pasar. Kementrian industri dan perdagangan pada tahun 2002 mengeluarkan ketentuan tentang pengawasan barang dan atau jasa yang beredar di pasar. Ruang lingkup pengawasan adalah peredaran produk dalam maupun luar negeri (pasal 3). Pengawasan tersebut dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). 8. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Alasan penulis menggunakan Undang-undang ini karena salah satu elemen terpenting dalam komunitas sekolah adalah peserta didik dan orang tua murid.
Hubungan peserta didik dan orang tua murid adalah hubungan orang tua dan anak. Orang tua berhak menyekolahkan anaknya di lingkungan yang sehat. Dalam pasal 9 dikatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. 9. PP No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam pasal 2 butir 1 dikatakan bahwa ruang lingkup standar nasional pendidikan salah satunya adalah tentang standar sarana prasarana (huruf e). Sarana prasarana yang terkait dengan penelitian ini adalah standarisasi ruang kantin. (pasal 42 butir 2). Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana prasarana yang dimaksud. Di awal, penulis sudah mengatakan bahwa kantin merupakan tempat menjajakan makanan yang terletak di dalam sekolah. Setiap satuan pendidikan seharusnya mengetahui kualitas makanan yang di jual di kantin tersebut. Sebenarnya tempat menjual makanan juga banyak terdapat di luar persisnya di pagar sekolah. Dewasa ini banyak kasus keracunan makanan yang terjadi di sekolah. Tahun 2004 Badan POM meliris tentang kejadian luar biasa (KLB) frekuensi keracunan makanan sekolah. Makanan penyebab KLB di lingkungan sekolah tertinggi disebabkan oleh makanan olahan. Makanan olahan diperoleh siswa melalui donasi dari industri makanan yang memberikan secara gratis melalui program promosi. Oleh karena itu, Kepala Badan POM RI tanggal 15 September 2004 mengeluarkan surat edaran No. KS.01.03.51.4099 mengenai Pedoman Pemberian Pangan untuk Konsumsi Anak Sekolah. Frekuensi KLB keracunan makanan pada anak di sekolah meningkat pada tahun 2004. KLB tertinggi terjadi pada anak Sekolah Dasar (SD) yaitu 19 kejadian dengan jumlah korban sakit sebanyak 575 orang. Penulis sangat prihatin mengapa keracunan makanan dapat terjadi di sekolah mengingat amanat peraturan ini tentang strandarisasi ruang kantin. Pertanyaan besar dari penulis adalah apakah pemerintah hanya mewajibkan setiap satuan pendidikan untuk memiliki ruang kantin tanpa memperhatikan standarisasi makanan? 10. Undang-Undang No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Pangan merupakan nama lain dari makanan. Dalam konsideran undang-undang ini sangat jelas bahwa: a. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. b. Bahwa pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
c. Bahwa pangan sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. 11. Undang-Undang No.9 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Kesehatan. Hal yang terkait dengan penelitian ini salah satunya adalah pasal 3 butir 1 yang berbunyi Pertumbuhan anak yang sempurna dalam lingkungan hidup yang sehat adalah penting untuk mencapai generasi yang sehat dan bangsa yang kuat. Dalam hal ini pada pasal 9 butir 2 juga secara tegas menyebutkan bahwa pemerintah mengadakan usaha-usaha khusus untuk kesehatan keturunan dan pertumbuhan anak yang sempurna, baik dalam lingkungan keluarga, maupun dalam lingkungan sekolah serta lingkungan masyarakat remaja dan keolahragaan. 12. Permenkes RI No. 722/MENKES/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Menteri kesehatan pada tahun 1988 juga mengeluarkan Permenkes tentang bahan tambahan makanan dengan pertimbangan sebagai berikut: a. bahwa makanan yang menggunakan bahan tambahan makanan yang tidak sesuai dengan ketentuan mempunyai pengaruh langsung terhadap derajat kesehatan manusia. b. bahwa masyarakat perlu dilindungi dari makanan yang menggunakan bahan tambahan makanan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Pada tahun 1980-an Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) menerbitkan naskah akademik undang-undang tersebut. Menurut Az. Nasution, SH, salah seorang yang berperan dalam membidani lahirnya UUPK mengatakan bahwa landasan terbitnya UUPK yaitu: pertama, menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha, dan kedua, mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya. 12 Dalam era globalisasi setiap pelaku usaha mendapatkan persaingan yang ketat baik di manapun. Setiap pelaku usaha tentunya memiliki kepentingan agar dapat memuaskan konsumen. Tetapi jika tiap orang dibiarkan mengejar kepentingan sendiri, maka tanpa disadari keinginan setiap orang akan terpenuhi dengan sendirinya dan akan tercapailah kesejahteraan umum (general welfare). Tapi kenyataannya ada jurang besar antara das sein dan das sollen. 13 Banyak sekali halangan terwujudnya kesejahteraan umum melalui pengejaran kepentingan, misalnya kecenderungan produksi barang-barang yang cepat sehingga kurang memperhatikan kualitas produknya. Agar berhasil di pasar, penanaman modal hanya bisa dilakukan dalam suatu produksi baru atau bentuk lain dari produk yang sudah ada, yang lebih baik, lebih bagus, lebih murah atau hanya sedikit berbeda yang
12
Jurnal Hukum Bisnis Volume 30 No. 1 Tahun 2011.
13
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, cet. 1. Yogyakarta: BFEE, Januari 2000.
penting baru. 14 Pemikiran pelaku usaha seperti ini di sisi satu memang baik karena menumbuhkan kreativitas dalam produksi namun di sisi lain, pelaku usaha dapat memunculkan sikap yang cenderung kurang memperhatikan kualitas produknya sebab hanya mengejar keuntungan besar dan berusaha menekan biaya produksi. D. Kendala Yang Dihadapi Pemerintah Dan Sekolah Sejak disyahkan pada tanggal 20 April 1999 dan mulai berlaku efektif setahun kemudian, banyak masyarakat yang belum merasakan manfaat dan bahkan belum mengetahui keberadaan UUPK. Berdasarkan penelitian di Direktorat Pemberdayaan Konsumen Departemen Perdagangan Republik Indonesia dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Depok serta beberapa sekolah di depok, diperoleh informasi yang berkenaan dengan kendala dalam melaksanakan perlindungan konsumen sebagai berikut: 1. Pemerintah Kementerian Perdagangan pada tahun 2011 melakukan riset dan melansir hasil temuan terhadap sejumlah produk yang menyalahi ketentuan perlindungan terhadap konsumen. Temuan tersebut terungkap bahwa penerapan perlindungan terhadap konsumen yang dilakukan di Indonesia masih sangat rendah. Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, mengatakan: 15 "Peraturan kita masih relatif rendah, malah lebih rendah dari negara lain terutama. Tapi penerapannya lebih rendah lagi, ini yang ingin kita tingkatkan. Dibandingkan yang sudah 60%-70% produknya berstandar”. 2. Faktor Anggaran Menurutnya faktor ini sangat mempengaruhi upaya pemerintah dalam melaksanakan perlindungan konsumen. Anggaran dalam kegiatannya dibebankan oleh Anggaran Pendapan Belanja Daerah (APBD) daerah masing-masing yang besarnnya tergantung kemampuan daerah yang bersangkutan. Kegiatan perlindungan konsumen ini merupakan program kerja non profit sehingga dalam kenyataannya tidak semua daerah yang telah melaksanakan misalnya pembentukan BPSK. Hingga kini di seluruh Indonesia baru sekitar 65 (enam puluh lima) BPSK yang sudah terbentuk di tiap kabupaten dan kota. Pembentukan BPSK merupakan amanat dari UUPK yang merupakan salah satu unjung tombak dalam menampung pengaduan dan sekligus sebagai lembaga mediasi sengketa konsumen. Adapun dana dekonsentrasi dari pusat dalam pembentukan BPSK namun jumlahnya tidak sampai pada pendanaan operasional dan penggajian karena diserahkan ke daerah masing-masing.
14
Willem Hoogendijk, Revolusi Ekonomi: Menuju Masa Depan Berkelanjutan Dengan Membebaskan Perekonomian dari Pengejaran Uang Semata. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996. 15 Indonesia Finance Today Tuesday, 13 Desember 2011.
3. Faktor Sumber Daya Manusia Sedikitnya jumlah sumber daya manusia yang mumpuni di bidang perlindungan konsumen juga mempengaruhi keefektifan kegiatannya. Misalnya kegiatan sosialisasi pentingnya perlindungan konsumen belum dapat menyentuh ke semua elemen masyarakat sehingga kegiatan perlindungan konsumen belum optimal. 4. Faktor Pemahaman Aparatur Negara Aparatur Negara atau pihak penyelenggara sendiri belum sepenuhnya memahami pentingnya perlindungan konsumen hanya aparatur yang memang concern di bidang inilah yang seolah-olah penduli dengan kegiatan direktorat pemberdayaan konsumen. Sebenarnya ketentuan yang bertujuan melindungi konsumen telah tersebar di berbagai sector namun ketentuan-ketentuan tersebut belum secara tegas mengenai konsumen terlebih dalam hal menjamin akses upaya ganti rugi karena mengkonsumsi makanan. 5. Sekolah Dalam ruang lingkup sekolah kendala yang dihadapi dalam melaksanakan pelindungan konsumen ada beberapa faktor yaitu faktor usia pendidikan, faktor komitmen sekolah, faktor kemampuan sekolah, faktor sosialisasi dan faktor lingkungan. Berikut uraiannya: a. Faktor Usia Pendidikan Sekolah memang identik dengan pendidikan karena semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar tingkat pengetahuan akan kualitas makanan yang akan dikonsumsi. Akan tetapi pendidikan yang dimaksud di sini adalah usia pendidikan. Seperti yang diketahui bersama bahwa pendidikan usia sekolah dasar dapat dikatakan pendidikan dasar pertama yang dialami oleh anak-anak. Peserta didik pada usia ini memang masih akan banyak menemukan hal-hal yang baru di sekolah selain teman, lingkungan tapi juga kebiasaan baru yaitu jajan makanan. Memang tidak semua sekolah memiliki tempat jajanan makanan atau kantin. Namun yang perlu dicermati bahwa tempat menjual makanan juga sering dijumpai di depan pagar sekolah. Selain itu di usia anak-anak ini relatif kurang mengetahui kualitas jajanan makanan yang sehat. Kemungkinan yang terpikir di benar anak-anak tersebut adalah bagaimana cara menghabiskan uang yang mereka miliki. Jadi keinginan untuk mencoba berbagai makanan sangat tinggi. Kenyataan ini memang menjadi salah satu sebab utama seringnya ditemukan kasus keracunan makanan di usia sekolah dasar. b. Faktor Komitmen Sekolah Komitmen sekolah juga dapat menjadi sebab maraknya terjadi keracunan makanan di sekolah dasar. Dalam pengamatan penulis bahwa ada perbedaan yang cukup mencolok antara sekolah dasar negeri dengan sekolah dasar swasta yaitu tentang komitmen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di sekolah negeri, banyak guru yang pulang bersamaan dengan peserta didiknya. Sering terdengar juga apabila di sekolah tersebut ada agenda rapat guru atau guru ”undangan”, maka anak didiknya dipulangkan lebih awal dan bahkan ada juga meliburkan sekolahnya. Selain itu juga di sekolah negeri, status guru adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang di gaji oleh
pemerintah. Status ini membuat komitmen guru terhadap orang tua siswa menjadi lemah. Hal ini membuat tingkat pengawasan terhadap peserta didik menjadi kurang maksimal. Berbeda hal dengan sekolah swasta. Status guru adalah pegawai swasta yang mana gaji guru dibawarkan oleh swasta atau pemiliki sekolah. Kenyataan ini membuat guru swasta menjadi lebih berkomitmen terhadap peserta didik karena mereka digaji oleh pemilik sekolah. Dengan komitmen yang tinggi ini membuat jarang sekali ditemukan kasus keracunan makanan di sekolah-sekolah swasta. c. Faktor Kemampuan Sekolah Faktor ini juga sangat terkait dengan permasalahan sebab kemampuan sekolah yang besar secara finansial akan berpengaruh pada kondisi sarana prasarana lingkungan sekolah. Sekolah negeri dalam membiayai operasional sekolah sangat terkait dengan subsidi pemerintah setempat. Meskipun ada juga dana dari orang tua siswa dalam bentuk sumbangan pembangunan pendidikan (SPP) namun jumlahnya relatif sedikit. Sedangkan di sekolah swasta kemampuan sekolah sangat tergantung dengan biaya yang berasal dari orang tua siswa yang reatif besar. Dengan kemampuan keuangan yang besar, membuat sekolah dapat meningkatkan kualitas sarana dan prasarananya. Meskipun begitu faktor kemampuan sekolah secara finansial tidak dapat menjadi alasan untuk membolehkan terjadinya kasus keracunan makanan. d. Faktor Sosialisasi Tingkat kesadaran akan pentingnya makanan dan minuman yang sehat juga dapat dipengaruhi oleh sosialisasi tentang aturan kualitas makanan sehat seperti yang dijelaskan dalam UUPK. Meskipun UUPK sudah ada sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu namun frekuensi sosialisasi di tingkat sekolah dirasakan sangat minim terutama untuk level sekolah dasar. Peran aktif pihak dalam melakukan kerjasama dengan lembaga terkait juga mempengaruhi seberapa sering sosialisasi yang dilakukan di sekolah yang bersangkutan. e. Faktor Lingkungan Sekolah Menurut penulis faktor ini juga mempengaruhi upaya dalam perlindungan konsumen. Sekolah banyak dijumpai di pemukiman sederhana-pemukiman elite, di pinggir jalan, dan bahkan juga ada di tempat yang sulit terjangkau secara transportasi. Kondisi inilah yang dapat menentukan kualitas perlindungan konsumen di sekolah. Sering terlihat ada sekolah yang membolehkan orang berjualan di luar pagar sekolah, ada juga yang hanya membolehkan berjualan di tempat yang telah ditentukan sekolah seperti kantin, ada juga sekolah yang tidak memilki kantin dan juga tidak ada orang yang berjualan di luar pagar sekolahnya karena memang pihak sekolah tidak membolehkan peserta didiknya membawa uang. Jadi memang aturan sekolah sangat menentukan kondisi lingkungan sekolah yang bersangkutan. E. Upaya yang dapat dilakukan 1. Mensyahkan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dan melakukan sosialisasi undang-undang perlindungan konsumen dan aturan lain yang terkait. Sosialiasi dilakukan ke semua pihak terkait yaitu konsumen itu sendiri, pelaku usaha, aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintahan daerah setempat serta memudahkan terbentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM) dari yang berasal dari unsur masyarakat. Pembentukan ini diikuti dengan pembinaan-pembinaan terhadap LPKSM melalui Bintek. 2. Melakukan penyuluhan-penyuluhan tentang makanan dan kantin yang sehat bekerja sama dengan Badan POM dan terkait hal-hal teknis serta mensosialisasikan Permendag No. 30 Tahun 2012 serta pembinaan terhadap para penjual makanan di sekolah selanjutnya memberikan stiker yang menyatakan sebagai tempat menjual makanan yang sehat karena telah bebas dari makanan berbahan berbahaya. 3. Membuat iklan layanan sosial di berbagai media massa tentang program keamanan pangan terpadu yang melibatkan lintas sektor antara lain Depdiknas, Depkes, Depdag, Badan Ketahanan Pangan, Badan POM RI beserta jajarannya masing–masing, serta instansi terkait lainnya perlu ditingkatkan. 4. Menyediakan perangkat pelaksanaan peraturan dan pengawasan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP), higiene dan sanitasi serta pelarangan penggunaan bahan berbahaya pada pangan perlu lebih ditingkatkan dan disosialisasikan kepada masyarakat. 5. Mengadakan program promosi dan monitoring keamanan pangan jajanan ke sekolah– sekolah yang perlu digiatkan lagi serta memberikan pelatihan-pelatihan terhadap guru, orang tua, dan peserta didik. 6. Program Klinik Konsumen Terpadu (KKT) yang telah dicanangkan belum menyentuh ke tingkat sekolah dasar dan peserta didiknya. Selama ini kegiatan baru dapat dilakukan pada guru-guru di tingkatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menegah Atas (SMA) di seluruh Indonesia. Kegiatan KKT ini akan lebih lebih efektif apabila juga melibatkan peserta didik sehingga cita-cita pemerintah yang akan memasukan materi perlindungan konsumen ke dalam kurikulum pendidikan dapat mudah diterapkan peserta didik. Kegiatan ini meliputi penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) berbasis perilaku seperti mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, bahaya rokok dan napza dan kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS. 7. Sedangkan upaya yang telah dilaksanakan di sekolah dalam rangka perlindungan konsumen antara lain: membuat standarisasi sarana prasarana sekolah; menggalakan Unit Kesehatan Sekolah (UKS) ; menggalakan program ”mencuci tangan sebelum makan”; melakukan lomba UKS di berbagai tingkat wilayah bekerjasama dengan dinas pendidikan setempat.