PERGERAKAN AIR TANAH TIGA DIMENSI DI TANAH BERHUTAN DAN AGROFORESTRY
HANGGA PRIHATMAJA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SUMMARY HANGGA PRIHATMAJA. E14051536. 2011. Three-Dimensional Water movement in Forest Soil and Agroforestry. Supervised by Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. Water movement in soil is an important phenomenon to be studied, especially in relation to the implementation of proper forest management on water cycles and nutrient cycling in soil on plant growth and flood control. The soil water movement, especially in the unsaturated soil, is driven by the non-equilibrium system which causes water flow from high potential to low potential, therefore, the water saturation level always change. Richard (1931) developed the model of water movement in unsaturated soil based on Darcy's law, where the unsaturated water movement is influenced by the unsaturated hydraulic conductivity as a function of water retention. Therefore, the knowledge or data of K() and () functions are needed. One of models of K() and () functions is lognormal (LN) model developed by the Kosugi (1994). The research objective is to determine three-dimensional soil water movement in forested and agroforestry catchment area by applying computational techniques of threedimensional unsaturated flow introduced by Kosugi (2000). Computation uses three-dimensional (3D) unsaturated water flow model of Richard's equation modified by Šimůnek et al. (2006), and LN models of soil water retention curve (()) and hydraulic conductivity (K(). The soil hydraulic properties of forest soil of Rokko Mountain (HTNr), forest soil of Gunung Walat Educational Forest, HPGW (HTNgw), and agroforestry soil of HPGW (AF) are used as inputs. The three-dimensional computation technique shows the good result of computation, which is indicated by the changing of pressure head with time and rainfall. Based on the characteristic of (), the ability to retain water of both layer of HTNgw soil is highest in comparison with AF and HTNr. Based on the characteristics of K(), the ability to drain water of HTNgw soil in the layer 10 cm is highest in comparison with HTNr and AF, while in a layer 50 cm the ability to drain water of HTNr soil is highest in comparison with AF and HTNgw. Generally based on the characteristics of soil hydraulic flow in layer 10 cm and 50 cm of soil, when no rain, the three-dimensional drainage proccess in HTNr is fastest in comparison with HTNgw and AF, while when there is a rain, three-dimensionally drainage process in HTNgw and AF is faster than HTNr Keyword
: Flow, 3D, Lognormal, Rokko, HPGW
RINGKASAN HANGGA PRIHATMAJA. E14051536. 2011. Pergerakan Air Tanah Tiga Dimensi di Tanah Berhutan dan Agroforestry. Dibimbing oleh Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. Pergerakan air dalam tanah merupakan fenomena penting untuk dipelajari, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengelolaan hutan yang tepat terhadap siklus air dan siklus hara di dalam tanah terhadap pertumbuhan tanaman dan pengendalian banjir. Pergerakan air tanah, terutama di tanah tidak jenuh, terjadi karena terdapat sistem yang tidak setimbang (nonequilibirium system) yang menyebabkan aliran air dari potensial tinggi ke potensial rendah. Richard (1931) mengembangkan model untuk menduga aliran air dalam tanah tidak jenuh berdasarkan pada hukum Darcy, dimana aliran air dalam tanah tidak jenuh dipengaruhi oleh kondusktivitas hidrolika tanah tidak jenuh sebagai fungsi dari retensi air tanah. Dengan demikian diperlukan pengetahuan atau data tentang fungsi hubungan K() dan (). Salah satu model fungsi () dan K() adalah model lognormal (LN) yang dikembangkan oleh Kosugi (1994). Tujuan penelitian adalah mengetahui pergerakan air dalam tanah secara tiga dimensi di suatu daerah tangkapan air berhutan dan agroforestry menggunakan teknik komputasi aliran tidak jenuh tiga dimensi yang diperkenalkan oleh Kosugi (2000). Model aliran air 3D tidak jenuh menggunakan persamaan Richard yang telah dimodifikasi oleh Šimůnek et al. (2006), dan model retensi air tanah dan konduktivitas hidrolika tidak jenuh menggunakan model LN kurva retensi air tanah (()) dan model LN konduktivitas hidrolik (K()). Sifat hidrolika tanah yang digunakan sebagai masukan model adalah sifat tanah berhutan di Pegunungan Rokko-Jepang (HTNr), tanah berhutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HTNgw), dan tanah agroforestry di Hutan Pendidikan Gunung Walat (AF). Teknik komputasi pergerakan air tanah 3D menunjukkan hasil komputasi yang baik, yang ditunjukkan oleh perubahan potensial matriks terhadap waktu dan kejadian hujan. Bedasarkan karakteristik (), kedua lapisan tanah HTNgw memiliki kemampuan menahan air tanah paling tinggi dibandingkan dengan HTNr dan AF, dan berdasarkan karakteristik K(), tanah di lapisan 10 cm HTNgw memiliki kemampuan mengalirkan air tanah paling tinggi dibandingkan HTNr dan AF, sedangkan di lapisan 50 cm HTNr memiliki kemampuan mengalirkan air tanah paling tinggi dibandingkan HTNgw dan AF. Berdasarkan karakteristik hidrolika tanah di ketiga lokasi aliran tanah 3D di lapisan tanah 10 cm dan lapisan tanah 50 cm, ketika tidak ada hujan, proses drainase 3D di HTNr paling cepat dibandingkan dengan HTNgw dan AF, sedangkan ketika ada hujan, proses drainase 3D di tanah HTNgw paling cepat dibandingkan dengan AF dan HTNr. Kata kunci
: Aliran, 3D, Lognormal, Rokko, HPGW.
PERGERAKAN AIR TANAH TIGA DIMENSI DI TANAH BERHUTAN DAN AGROFORESTRY
HANGGA PRIHATMAJA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi Nama
: Pergerakan Air Tanah Tiga Dimensi di Tanah Berhutan dan Agroforestry. : Hangga Prihatmaja
Nomor Pokok : E14051536 Departemen
: Manajemen Hutan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 1961126 198601 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Hutan IPB
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus
:
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rizki-Nya tugas akhir ini bisa diselesaikan. Tugas akhir yang berjudul PERGERAKAN AIR TANAH TIGA DIMENSI DI TANAH BERHUTAN DAN AGROFORESTRY memuat tentang pergerakan air dalam tanah secara tiga dimensi di suatu daerah tangkapan air dengan tanah berhutan dan tanah agroforestry menggunakan teknik komputasi aliran tidak jenuh tiga dimensi yang diperkenalkan oleh Kosugi (2000). Dengan teknik komputasi tersebut pergerakan air dalam tanah yang merupakan fenomena penting untuk dipelajari, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengelolaan hutan yang tepat terhadap siklus air dan siklus hara di dalam tanah terhadap pertumbuhan tanaman dan pengendalian banjir, bisa dipantau secara cepat dan ringkas tanpa mengurangi kualitas informasi yang dihasilkan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Paiman Ristiawan dan Ibu Endang Triyani selaku orang tua penulis yang sudah memberikan
seluruh
curahan kasihnya sehingga seluruh proses studi penulis bisa diselesaikan dengan baik. Kedua adik penulis, Ranie Febrianti dan Astri Janurdani. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr dan Bapak Dr. Kenichi’rou Kosugi atas segala ilmu yang diberikan serta bimbingan beliau selama proses studi yang penulis tempuh. Kawan-kawan sejawat sivitas akademika Fakultas Kehutanan IPB. Semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, September 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 11 Maret 1987 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Paiman Ristiawan dan Ibu Endang Triyani. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Islam Assyafi’iyah Bekasi lulus tahun 1999, pendidikan menengah pertama di SLTP Putra I Jakarta lulus tahun 2002, dan pendidikan menengah atas SMA Negeri 42 Jakarta lulus tahun 2005. Pada tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB dan pada tahun 2006 menjadi bagian dari sivitas akademika Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran 2006-2007 dan mata kuliah Hidrologi Hutan pada tahun ajaran 2007-2008. Penulis juga aktif di Badan Ekesekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2007-2008 sebagai Wakil Ketua BEM Fahutan IPB, Pengurus Cabang Sylva Indonesia IPB pada tahun 2007-2008 dan tahun 2008-2009 sebagai Koordinator Bidang Kajian Strategi dan Advokasi, dan menjadi interpreter atau penerjemah serta pendamping bagi tamu-tamu mahasiswa asing yang melakukan kunjungan ke Fahutan IPB. Selain itu selama menjadi mahasiswa penulis pernah mengikuti berbagai kegiatan pelatihan kemahasiswaan yang diadakan oleh IPB
maupun mendapatkan
undangan pelatihan dari Universitas Tsukuba, Jepang dan Universitas Kyoto, Jepang. Penulis melakukan kegiatan Praktek Poengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur pada tahun 2007, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dan KPH Cianjur pada tahun 2009, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Bojonegoro pada tahun 2010. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Pergerakan Air Tanah Tiga Dimensi Di Tanah Berhutan Dan Agroforestry di bawah bimbingan Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya nyatakan bahwa skripsi dengan judul PERGERAKAN AIR
TANAH
TIGA
DIMENSI
DI
TANAH
BERHUTAN
DAN
AGROFORESTRY adalah murni karya penulis sendiri dan belum pernah dipublikasikan di instansi manapun. Bogor, September 2011 Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada: 1. Bapak Paiman Ristiawan dan Ibu Endang Triyani selaku kedua orang tua penulis. 2. Kedua adik penulis, Ranie Febrianti dan Astri Januardani. 3. Bapak Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr selaku dosen pembimbing. 4. Bapak Dr. Kenichi’rou Kosugi selaku tutor selama penulis melakukan penelitian dan pelatihan di di Sekolah Pascasarjana Pertanian, Universitas Kyoto – Jepang. 5. Ibu Dr. Sri Rahayu selaku ketua sidang. 6. Ibu Dr. Mirza D. Kusrini selaku dosen penguji. 7. Ratih Solichia Maharani yang telah menemani penulis menyelesaikan skripsi ini. 8. Bapak-bapak tenaga ahli pendampingan PHL PT. Salaki Summa Sejahtera (Dr. Teddy Rusolono, Dr. Bahruni, Dr. Juang R. Matangaran, Dr. Sri Wilarso, Dr. Agus P. Kartono) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi sekretaris pendampingan sehingga berbagai sarana prasarana pendamping penulis manfaatkan untuk menyelesaikan skripsi ini. 9. Rekan-rekan Kingkong Kalong (Diah Rani “Baki” Pratidina S., Fitri “Piet” Amelia, Dian “Mama” Amallia, Putri “Put” Rahayu, Ratih “Noi” Puspitasari) atas bantuannya sebagai penyemangat. 10. Rekan-rekan FORCI Development. 11. Rekan-rekan Pengurus Cabang Sylva Indonesia IPB. 12. Serta rekan-rekan sivitas akademika Fakultas Kehutanan IPB yang tidak bisa disebutkan satu-persatu namanya.
1
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pergerakan air dalam tanah merupakan fenomena penting untuk dipelajari, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengelolaan hutan yang tepat terhadap siklus air dan siklus hara di dalam tanah terhadap pertumbuhan tanaman dan pengendalian banjir. Pentingnya mempelajari pergerakan air dalam tanah ditegaskan oleh Mashimo (1960) diacu dalam Kosugi (1997) bahwa pergerakan air dalam tanah berpengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. Selain itu disebutkan oleh Hardjowigeno (2007) bahwa air merupakan pelarut unsur hara dalam tanah untuk kemudian diserap oleh akar-akar tanaman. Bahkan air itu sendiri dapat menjadi unsur hara bagi tanaman untuk membentuk gula dan karbohidrat dalam proses fotosintesis. Kemudian pentingnya mempelajari pergerakan air dalam tanah juga sebagai upaya pengelolaan irigasi yang tepat untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan reaksi-reaksi kimia dalam pelapukan mineral. Dijelaskan oleh Hardjowigeno (2007) bahwa air perkolasi membantu siklus unsur hara dan pemindahan liat, oksida besi dan alumunium, garam-garam dan lain-lain. Di daerah kering gerakan air ke atas (kapiler), menyebabkan terjadinya akumulasi garam di permukaan tanah. Air di dalam tanah dapat tersimpan dan bergerak atau mengalir dalam kondisi tanah jenuh dan tanah tidak jenuh. Pergerakan air tanah jenuh pertama kali dijelaskan oleh Darcy, yang dikenal dengan hukum Darcy (Jury dan Horton 1946). Hukum Darcy mengganggap tanah dalam kondisi homogen dan isotrop, tidak ada aliran yang menyebar, dan terdapat pengaliran air yang terus-menerus (Wilson 1969). Pergerakan air tanah jenuh umumnya terjadi di lapisan aquifer jenuh, yang dikenal dengan aliran air tanah (ground wate flow), sedangkan di lapisan vadosa (lapisan perakaran), pergerakan air umumnya terjadi dalam kondisi tidak jenuh (Lawrence 1994). Pergerakan air tanah jenuh maupun tidak jenuh dipengaruhi oleh sifat fisik tanah yang berhubungan dengan sifat-sifat konduktivitas dan retensi air, yaitu tekstur dan struktur tanah, selain sifat kimia tanah dan air. Sifat tanah dipengaruhi
2
oleh penggunaan tanahnya.
Tanah hutan dikenal memiliki pori makro yang
memungkinkan pergerakan air tanah lebih cepat, sedangkan penggunaan tanah hutan menjadi bukan hutan memungkinkan terjadi pemadatan tanah permukaan yang menyebabkan pori tanah mengecil dan mempengaruhi sifat pengaliran dan penahanan air oleh tanah. Perubahan-perubahan ini sangat dipengaruhi oleh sifat awal tanah dan intensitas penggunaan tanah tersebut. Pergerakan air tanah tidak jenuh terjadi karena terdapat sistem yang tidak setimbang (nonequilibirium system) yang menyebabkan aliran air dari potensial tinggi ke potensial rendah, sehingga tingkat kejenuhan air selalu berubah-ubah (Jury dan Horton 1946). Richard (1931) diacu dalam Jury dan Horton (1946) mengembangkan model aliran dalam tanah tidak jenuh berdasarkan pada hukum Darcy. Persamaan Richard merupakan persaman dasar dalam teori aliran air tanah melalui media berpori yang tak jenuh yang bisa menjelaskan pergerakan air secara satu dimensi, isothermal, dan nonhisteresis. Kemudian Šimůnek et al. (2006) melakukan modifikasi Persamaan Richard tersebut untuk menjelaskan pergerakan air secara tiga dimensi. Aliran tidak jenuh dalam Persamaan Richard dipengaruhi oleh sifat-sifat hidrolika tanah yang dipengaruhi oleh penggunaan lahan dan interaksi penggunaan lahan dengan iklim, yaitu konduktivitas hidrolik tanah tidak jenuh (K) yang merupakan fungsi retensi air – tanah () dan retensi air tanah merupakan fungsi kadar air tanah (), sehingga diperlukan pengetahuan atau data tentang fungsi hubungan K() dan (). Hubungan antara () dapat dikaji dengan membuat kurva retensi air tanah hasil pengukuran langsung dan (Hendrayanto 1999; Assouline dan Tartakovsky 2001). Namun untuk melakukan pengukuran langsung diperlukan waktu yang lama dan peralatan sehingga mengakibatkan biaya penelitian yang tinggi (Van Genuchten 1980). Untuk mereduksi biaya, dan kebutuhan pemodelan aliran air tanah tidak jenuh dikembangkan model-model pendugaan kurva retensi air tanah. Kosugi (1997) menyebutkan terdapat beberapa model pendugaan retensi air – tanah yang diperkenalkan dan digunakan, di antaranya adalah model yang dikembangkan oleh Brooks dan Corey (1967), Klute dan Heermann (1974), Van Genuchten (1980), Kubota et al. (1987), dan Sammori dan Tsuboyama (1990). Model-model
3
retensi air – tanah tersebut merupakan model yang dibuat secara empiris, kurang memperhatikan sifat fisik, dan penyebaran pori tanah, sehingga kegunaannya sangat terbatas untuk lokasi khusus (site specific). Untuk mengatasi permasalahan dalam menggunakan model-model pendugaan tersebut di atas Kosugi (1994) diacu dalam Kosugi (1997) kemudian memperkenalkan model kurva retensi air tanah (()) yang dikembangkan berdasarkan pada sebaran lognormal (LN) pori tanah. Selain itu Kosugi (1996) juga memperkenalkan fungsi hubungan konduktivitas hidrolik tanah tak jenuh K() yang dikembangkan berdasarkan pada sebaran lognormal (LN) pori tanah. Berdasarkan model aliran tidak jenuh (Richard,1931 diacu dalam Jury dan Horton 1946; Hendrayanto 1999; dan Capito dan Stepanyants 2003) dan model LN fungsi () serta K() (Kosugi 1994; Kosugi 1996), dibuat teknik komputasi untuk mengetahui pergerakan air dalam tanah secara tiga dimensi yang dikembangkan oleh Kosugi (2000) (Kosugi 15 November 2010, komunikasi pribadi). Untuk mengetahui perbedaan aliran air dalam tanah akibat penggunaan lahan dan interaksinya dengan iklim, teknik komputasi yang diperkenalkan Kosugi (2000) digunakan untuk mengkaji aliran dalam tanah dari tanah berhutan di Pengunungan Rokko yang terletak di daerah beriklim sedang (sub tropis/temperate) (HTNr), dan tanah berhutan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HTNgw) dan agroforestry Hutan Pendidikan Gunung Walat (AF) yang terletak di daerah beriklim tropis.
1. 2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sifat hidrolika dan pergerakan air dalam tanah secara tiga dimensi di suatu daerah tangkapan air dengan tanah berhutan di daerah beriklim sub tropis dan tropis, serta tanah agroforestry menggunakan teknik komputasi aliran tidak jenuh tiga dimensi yang diperkenalkan oleh Kosugi (2000).
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Pergerakan Air dalam Tanah Pergerakan air dalam tanah bisa diartikan sebagai aliran air yang bergerak dari potensial tinggi ke potensial rendah (Jury dan Horton 1946). Ditambahkan oleh Jury dan Horton (1946) bahwa perbedaan potensial terjadi karena pergerakan air merupakan sistem yang nonequlibirium dan tergantung kepada tahanan hidrolik suatu medium (tanah) atau biasa disebut dengan sifat-sifat hidrolik tanah. Menurut Ross dan Parlange (1994) diacu dalam Hendrayanto (1999) sifat-sifat hidrolik tanah penting diketahui untuk mempelajari hubungan aliran air. Bahkan hal tersebut dijadikan dasar pengetahuan untuk kelompok studi yang melibatkan pembelajaran tentang keseimbangan air, irigasi, pergerakan polutan, dan lebih umum proses pengangkutan yang terjadi di permukaan tanah. Jury dan Horton (1946) menyebutkan bahwa terdapat beberapa metode dalam menjelaskan pergerakan air dalam tanah, salah satunya adalah pergerakan air dalam tanah tak jenuh yang bisa dipelajari dengan memanfaatkan Persamaan Richard. Menurut Lubis (2007) untuk mengetahui kuantitas pergerakan air, pengukuran perlu ditekankan kepada konduktivitas hidrolik tak jenuh (K) yang merupakan perbandingan antara debit terhadap gradien hidrolik atau sudut pengaliran dan kurva gradien. Kemudian dijelaskan oleh Klute dan Dirksen (1986) diacu dalam Hendrayanto (1999) bahwa konduktivitas hidrolik merupakan kemampuan tanah untuk mengalirkan air dan fungsi tahanan air adalah tanda dari kemampuan menyimpan air. Hal yang terkait dengan konduktivitas hidrolik tanah juga disebutkan oleh Kosugi (1997). Kosugi (1997) menambahkan bahwa selain konduktivitas hidrolik tanah juga terdapat karakteristik kelembaban tanah yang dapat menjelaskan pergerakan air dalam tanah, yang ditunjukkan dengan hubungan antara kadar air volumetrik (θ) dan tekanan kapiler tanah (ψ), dan itu dimaksudkan sebagai kurva retensi air–tanah. Klute (1986) diacu dalam Hendrayanto (1999) menyebutkan bahwa apabila dibuat fungsi dari kurva retensi air–tanah maka bisa dijadikan ciri utama dari sifat-sifat hidrolik tanah tak jenuh.
5
Menurut Hendrayanto (1999) kurva tersebut dapat dibuat dengan menempatkan nilai-nilai kadar air dan tekanan kapiler yang dihasilkan dari data tanah untuk waktu yang sama pada tiap lapisan tanah (solum). 2.1.1. Pergerakan Air dalam Tanah Tak Jenuh Menurut Jury dan Horton (1946) ketika tanah secara parsial berubah menjadi tak jenuh, sebenarnya terdapat udara dan saluran aliran air berubah secara drastis dari yang awalnya bersifat jenuh. Pada tanah yang tak jenuh, air dibatasi secara parsial oleh permukaan yang solid dan secara parsial pula oleh pertemuan dengan udara. Untuk mengukur pergerakan air dalam media berpori yang tak jenuh, Capito dan Stepanyants (2003) menjelaskan bahwa Persamaan Richard merupakan persamaan dasar dalam teori aliran bawah tanah melewati media berpori yang tak jenuh yang diperkenalkan pada tahun 1931. Arampatzis et al. (2001) menyebutkan bahwa Persamaan Richard adalah suatu persamaan diferensial parsial yang non-linier yang bisa dibuat ke dalam beberapa bentuk, tergantung pada tekanan (didasarkan pada bentuk h), kelembaban (didasarkan pada bentuk θ), atau keduanya (bentuk campuran) yang digunakan sebagai peubah. Jury dan Horton (1946), Capito dan Stepanyants (2003), dan Koorevaar et al. (1983) menyebutkan bahwa Persamaan Richard merupakan persamaan nonlinier yang merupakan hasil dari penggabungan hukum Darcy-Buckingham dengan hukum konservasi massa, dengan asumsi bahwa fase udara berada dalam tekanan atmosfir yang konstan serta fase air tidak dimampatkan.
K ( ) 1 t z z Dimana: K adalah konduktivitas hidrolik (cm/dtk), ψ adalah potensial matriks (cmH2O), z adalah jarak vertikal ke arah positif, θ adalah kapasitas air (cm3/cm3), dan t adalah waktu (dtk).
(1)
6
2.1.2. Pergerakan Air dalam Tanah Tak Jenuh 3D Šimůnek et al. (2006) menyebutkan bahwa dengan mempertimbangkan keseragaman bentuk aliran air Darcy secara dua- dan/atau tiga- dimensi di dalam media berpori yang kaku dengan kejenuhan yang bervariasi dan menganggap bahwa fase udara memiliki peran yang nyata dalam proses aliran air, dibuat persamaan aliran dengan melakukan modifikasi Persamaan Richard.
2. 2. Kurva Retensi Air–Tanah Kurva retensi air–tanah merupakan grafik hubungan antara kadar air (θ) dan tekanan kapiler tanah (ψ). Hendrayanto (1999) menyebutkan bahwa kurva tersebut dibuat dengan menempatkan nilai-nilai kadar air dan potensial matriks yang dihasilkan pada waktu yang sama untuk setiap lapisan tanah yang diambil contohnya. Assouline dan Tartakovsky (2001) menerangkan bahwa kurva retensi air biasanya ditentukan dengan pengukuran di laboratorium dan kemudian menetapkan bentuk fungsi khusus ψ(θ). Menurut Kosugi (1997) sejak karakteristik kelembaban tanah secara nyata mempengaruhi pertumbuhan tanaman, banyak ilmuwan tanah telah meneliti kurva retensi air tanah hutan dan distribusi radiasi pori tanah tersebut dievaluasi. Mashimo (1960) diacu dalam Kosugi (1997) menganalisa kurva θ dan ψ yang telah diteliti dari contoh-contoh tanah yang dikumpulkan dari 10 hutan yang berbeda, dan disarankan bahwa pori-pori tanah bisa diklasifikan ke dalam dua tipe, pori-pori kasar dan pori-pori halus. Ditegaskan oleh Mashimo (1960) bahwa pori kasar adalah pori yang apabila berada dalam air ditahan oleh tekanan kapiler yang lebih besar dari -500 cmH20 (pF 2,7). Definisi ini telah luas digunakan untuk mengobservasi radius distribusi pori-pori dari tanah hutan (Arimitsu 1970; Kobayashi 1982 diacu dalam Kosugi 1997). Untuk memperkirakan kemampuan tanah hutan dalam menahan air, Takeshita (1985) diacu dalam Kosugi (1997) mengemukakan bahwa pori-pori tanah bisa diklasifikasikan ke dalam empat tipe sesuai dengan nilai tekanan kapiler, dan radius distribusi pori tanah hutan yang diukur. Takeshita (1985) diacu dalam Kosugi (1997) menganalisa hubungan antara tanah hutan dalam menahan air dan keluaran air dari area DAS yang berhutan. Pengukuran radius sebaran pori telah sering kali menunjukkan
7
kesamaan perilaku, seperti yang dilakukan oleh Kumlung dan Takeda 1991; Ohnuki et al. 1994 diacu dalam Kosugi 1997. Bagaimanapun, pengetahuan yang terakumulasi oleh pengukuran radius distribusi pori tanah ini belum efektif untuk digunakan dalam analisa fisik dari aliran air di tanah hutan. satu alasan adalah bahwa karakteristik kelembaban tanah hutan yang terobservasi belum dianalisa dengan menggunakan model yang fungsional untuk retensi air–tanah. Di sisi lain, ahli hidrologi hutan telah melakukan pengukuran terhadap karakteristik retensi air di tanah hutan untuk membuat pemodelan pergerakan air di area DAS yang bervegetasi. Dalam analisa fisika atas aliran air tanah, beberapa model untuk retensi air–tanah telah diajukan dan digunakan. Ohta et al. (1985) diacu dalam Kosugi (1997) membahas tentang sifat-sifat dari infiltrasi vertikal air hujan di profil tanah hutan dalam hubungannya dengan pengukuran kurva retensi air–tanah. Kubota et al. (1987) diacu dalam
Kosugi (1997) menganalisa
hubungan θ-ψ atas tanah hutan yang didapatkan ketika observasi lapang dengan menggunakan model retensi air–tanah oleh Klute dan Heermann (1974). Model Klute dan Heermann (1974) telah dipakai oleh Ohta et al. (1985) untuk pemodelan vertikal dari aliran tak jenuh dalam profil tanah hutan. Ohte (1992) diacu dalam Kosugi (1997) menjelaskan bahwa kurva θ-ψ tanah hutan tidak terganggu yang diambil dengan ukuran sampel yang besar, dan dianalisa dengan menggunakan model retensi air Brooks dan Corey (1964). Lebih jauh, Tani (1982) diacu dalam Kosugi (1997) menyarankan model retensi dengan bentuk fungsi yang relatif sederhana. Dengan menggunakan model ini, Tani menganalisa sifatsifat dari aliran tidak terganggu satu dimensi dalam kolom tanah (Tani 1985 diacu dalam Kosugi 1997). Model Tani telah dipakai untuk menganalisa aliran air pada lereng bervegetasi (Suzuki 1984; Tsuboyama dan Sammori 1989 diacu dalam Kosugi 1997). Sammori dan Tsuboyama (1990) diacu dalam Kosugi (1997) memakai model retensi yang dibuat oleh van Genuchten (1980) untuk menganalisa stabilitas kemiringan dengan mengambil infiltrasi ke dalam pertimbangannya. Meskipun hal tersebut tidak berguna untuk pemodelan numerik dari aliran air tanah, model retensi ini merupakan suatu persamaan kurva empiris yang sesuai. Mereka tidak dibuat berdasarkan pada radius distribusi pori tanah, juga mereka tidak menekankan pada pentingnya parameter empiris.
8
Studi mengenai pergerakan air dalam media berpori tak jenuh didasarkan pada Persamaan Richard. Untuk menyelesaikan persamaan ini digunakan kurva retensi air–tanah yang merupakan hubungan antara peubah kadar air () dan potensial matriks tanah ()(Assouline dan Tartakovsky 2001). Untuk lebih mempermudah mencari nilai kurva retensi air tanah digunakan metode pendugaan, seperti yang dikembangkan oleh Brooks dan Corey (1964), Klute dan Heermann (1974), Van Genuchten (1980), Kubota et al. (1987), dan Sammori dan Tsuboyama (1990). Namun menurut Kosugi (1997) model-model tersebut tidak bisa digunakan secara efektif untuk menganalisa retensi air–tanah sehubungan dengan penyebaran pori tanah, sehingga Kosugi (1997) memperkenalkan suatu metode pendugaan yang dapat mengatasi kelemahan tersebut. Secara matematik metode yang diperkenalkan Kosugi (1997) disebut dengan Model Lognormal Retensi Air–Tanah.
2. 3. Konduktivitas Hidrolik Tanah Parameter atau ukuran yang dapat menggambarkan kemampuan tanah dalam melewatkan air disebut sebagai konduktivitas hidrolik (hydraulic conductivity) (Klute dan Dirksen 1986 diacu dalam Kurnia et al. 2006). Tingkat kemampuan tanah untuk melewatkan air sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah. Oleh karena itu, konduktivitas hidrolik tanah dibedakan menjadi 2, yakni konduktivitas hidrolik dalam keadaan tidak jenuh dan dalam keadaan jenuh. Menurut Kurnia et al. (2006) diacu dalam Deptan (2006) ada beberapa metode laboratorium yang bisa digunakan untuk menetapkan konduktivitas hidrolik tanah dalam keadaan jenuh, diantaranya: (1) metode tinggi air konstan/constan head method (Klute dan Dirksen 1986); (2) metode tinggi air konstan di dalam tangki/constan head soil core/tank method (Reynold and Elrick 2002); (3) metode tinggi air terjun di dalam tangki/falling head soil core/tank method (Reynold and Elrick 2002); dan (4) metode aliran air dalam kondisi kesetimbangan/steady flow soil column method (Boolthink dan Bouma 2002). Pemilihan suatu metode sangat ditentukan oleh berbagai faktor seperti: (1) ketersediaan alat; (2) sifat alami tanah; (3) ketersediaan contoh tanah; dan (4) kemampuan dan pengetahuan dari pelaku percobaan.
9
2. 4. ArcView GIS ver 3.2 ArcView merupakan salah satu perangkat lunak Sistem Informasi Geografi dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh Environmental System Research Institute (ESRI). Dengan ArcView, pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi, meng-explore, menjawab query (baik basisdata spasial maupun non-spasial), menganalisa data secara geografi, dan sebagainya (Prahasta 2002). Menurut Trisasongko dan Shiddiq (2004), ArcView sebagai salah satu perangkat lunak pemetaan memiliki sistem masukkan data yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sistem masukkan data spasial dan data atribut. Data spasial secara global dapat dibagi lagi menjadi dua berdasarkan format datanya, yaitu data spasial berbasis vektor dan raster. Kepentingan atas keseluruhan sistem penanganan data tersebut direpresentasikan dalam format data untuk kepentingan manajemen data (penyimpanan dan pembacaan kembali) di sistem komputer. Selain itu, data spasial tersebut akan berfungsi penuh setelah melalui tahap registrasi dan kemudian dijitasi.
2. 5. Golden Software Surfer 8 Surfer 8 mengubah data koordinat XYZ menjadi peta kontur, peta permukaan tiga dimensi, peta sketsa tiga dimensi, peta relief berbayang, peta berwarna, peta titik, peta titik golongan khusus, peta vektor, dan peta dasar. Surfer 8 juga dapat menghitung bagian melintang, daerah, dan volume (Bresnahan et al. 2011) Jenis file yang dapat diimpor (Bresnahan et al. 2011) 1.
Data dengan format: XLS, DAT, SLK, Lotus dan Symphony W, CSV, ASCII, BNA, dan BLN.
2.
Grid dengan format: ASCII GRD, biner GRD, USGS DEM, GTOPO30, SDTS DEM, DTED.
3.
Peta dasar: EMF, E00, GSI, DXF, DLG, LGO, LGS, GSB, BNA, bln, WBP, CLP, WMF, SHP, MIF, CMP, JPG, PNG, TIF, TGA, PCX, DCX , WPG, GIF PCT, dan USGS TVP SDTS.
10
Jenis file yang dapat diekspor (Bresnahan et al. 2011) 1.
Format vektor dengan koordinat peta: BLN, GSB, GSI, DXF, SHP, BNA, MIF
2.
Format vektor dengan koordinat XYZ (kontur saja): DXF
3.
Format bitmap: BMP, TIF, TGA, PCX, GIF, WPG, PCX, DCX, JPG, PICT, PNG
4.
Format yang mendukung data bitmap dan vektor: CGM, CLP, WMF, EMF
5.
PDF: Membuat file Adobe PDF dengan memasukkan versi lengkap dari Adobe Acrobat (atau versi gratis seperti CutePDF) dan mencetak kembali ke dalam bentuk Acrobat Distiller atau PDF Writer driver.
6.
Format grid: DAT XYZ ASCII, ASCII GRD, Binary GRD, Surfer 7 Binary GRD
7.
Berkas dengan Data Berkas format: XLS, SLK, CSV, TXT, DAT, BNA, BLN.
2. 6. GMSH GMSH adalah generator pembuat tampilan tiga-dimensi dengan unsur grid terbatas yang memiliki sifat CAD (computer aided design). Tujuan dari GMSH adalah untuk menyediakan alat pembuat jejaring secara cepat, ringan, dan ramah pengguna dengan kemampuan masukkan parameter dan tampilan yang cukup baik dan mudah digunakan. GMSH dibangun dengan empat fungsi pilihan: geometri, mesh, solver, dan pasca-pengolahan. Keempat fungsi tersebut ditentukan secara interaktif dengan menggunakan sistem GUI (Graphical User Interface) dan menghasilkan informasi pemrograman dalam bentuk text (*.txt) menggunakan bahasa pemrograman GMSH. Penggunaan secara timbal-balik menghasilkan potongan-potongan bahasa pemrograman dalam catatan-catatan masukkan text (*.txt), dan begitu sebaliknya. Hal tersebut memungkinkan untuk menghasilkan secara otomatis semua perlakuan, seperti looping, sistem panggilan eksternal dan lain sebagainya (Geuzaine 2010).
11
2. 7. Compaq Visual Fortran 6 Jogiyanto (1995) menerangkan bahwa Fortran merupakan suatu bahasa tingkat tinggi (high level language) atau bahasa yang berorientasi ke masalah tertentu (problem oriented language), seperti permasalahan rumus-rumus (formulas) atau permasalahan teknik. Ditambahklan oleh Jogiyanto (1995) bahwa untuk menjalankan suatu bahasa pemrograman Fortran maka perlu diketahui struktur bahasa yang dibagi menjadi 5 bagian kolom dan tiap-tiap baris di dalam program dapat berisi: 1. Metacommand 2. Komentar 3. Statement 4. Sambungan dari statement baris selanjutnya. Fortran mempunyai aturan penulisan tertentu untuk tiap-tiap baris di dalam program yang berhubungan dengan pembagian kolomnya, yaitu sebagai berikut: 1. Kolom ke-1 digunakan untuk indikasi bahwa baris yang digunakan adalah berisi komentar atau berisi metacommand. Bila kolom ke-1 diisi dengan karakter “C” atau “c” atau “*” (asterik) menunjukkan bahwa baris tersebut berisi komentar bebas. Bila kolom ke-1 diisi dengan karakter “$” (dollar) menunjukkan bahwa baris tersebut berisi dengan metacommand. 2. Kolom ke-1 sampai dengan kolom ke-5 digunakan untuk penulisan label statement (statement label), berupa suatu angka yang menunjukkan letak dari suatu statement. 3. Kolom ke-6 digunakan untuk indikasi sambungan statement dari baris sebelumnya. Kalau suatu statement tidak cukup untuk ditulis dalam satu baris, maka dapat disambung ke baris berikutnya. Baris sambungan harus diberi indikasi dengan cara meletakkan di kolom ke-6 karakter apapun kecuali blank atau O. Sampai dengan 19 baris sambungan berturut-turut dapat dipergunakan. 4. Kolom ke-7 sampai dengan kolom ke-72 digunakan untuk menulis statement Fortran.
12
5. Kolom ke-73 sampai dengan kolom ke-80 tidak digunakan oleh Fortran, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menulis komentar bebas yang menerangkan statement bersangkutan, tanpa mempengaruhi isi dari baris tersebut. Dari kelima butir pembagian kolom bahasa pemrograman di atas yang dipergunakan pada program Fortran adalah kolom ke-1 sampai dengan kolom ke72. Karena program Fortran mempunyai aturan penulisan di kolom tertentu, akan lebih baik bila program Fortran ditulis pada coding sheet (kertas berkolom untuk menulis source program) terlebih dahulu sebelum diketikkan ke komputer. Penulisan program Fortran pada coding sheet dapat membantu dan mencegah pengetikkan di kolom yang salah. Apalagi bila yang mengetikkan adalah orang yang tidak mengetahui mengenai program Fortran (Jogiyanto 1995). Setelah diketahui struktur dari Fortran, berikutnya yang perlu diketahui adalah elemen-elemen yang membentuk program tersebut (Jogiyanto 1995). 1. Metacommand atau compiler directive bersifat pilihan di dalam program Fortran, artinya tidak harus ada. Pengguna dapat menggunakan metacommand bila ingin berkomunikasi dengan compiler mengenai informasi-informasi tertentu. 2. Komentar dapat berupa tulisan bebas apapun yang berguna untuk memberi keterangan pada program, sehingga memudahkan untuk membaca program tersebut. Berguna bila akan memodifikasi program atau bila terjadi kesalahan dalam program, maka akan mudah membaca kembali programnya untuk menemukan kesalahannya dan baik untuk dokumentasi program. 3. Statement merupakan inti dari program yang berupa instruksi-instruksi kepada komputer. Pengguna menuangkan logika program dalam bentuk statement kepada compiler untuk diproses. Dalam suatu program unsur yang terpenting adalah statement yang ditulis dengan suatu aturan tata bahasa atau bentuk umum atau grammar atau syntax tertentu yang sudah ditentukan. Kalau penulisan statement menyalahi syntax-nya, berarti terjadi suatu kesalahan syntax (syntax error). Supaya pengguna tidak membuat syntax error, maka perlu diketahui bagaimana bentuk umum atau syntax
13
masing-masing statement yang akan dipergunakan. Suatu pernyataan bisa dibentuk dengan elemen-elemen sebagai berikut ini: konstanta, operator, ungkapan, nama, verb, unit specifier, dan format specifier (Jogiyanto 1995).
14
BAB III METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Tempat
Studi pergerakan air tanah tiga dimensi (3D) di agroforestry dilaksanakan
pada periode Mei-Desember
tanah berhutan dan 2010.
Penelitian
dilaksanakan di Daerah Aliran Sungai Nomor 9 dengan luas 0,285 Ha yang terletak di Pegunungan Rokko, Propinsi Hyogo – Jepang. Pegunungan ini membentang dari Taman nasional Sumaura Kōen di ujung barat Kobe hingga Takarazuka, dan panjang pegunungan ini adalah 56 km. Titik tertinggi Pegunungan Rokko adalah 931 mdpl. Pegunungan ini meliputi Gunung Maya, Gunung Kabutoyama, Gunung Iwahara, dan Gunung Iwakura. Data yang dipergunakan merupakan data sifat hidrolika tanah dari 14 titik pengukuran (Gambar 1).
Gambar 1
Peta Lokasi Penelitian dan Lokasi Pengukuran Sifat Hidrolika Tanah.
15
Daerah Aliran Sungai (DAS) nomor 9 memiliki struktur geologi dengan kemiringan sekitar 35°. Tanahnya terdiri dari horison O, A, dan B. Horison-O memiliki ketebalan sebesar 4-8 cm. Horison-O lebih tebal di bagian puncak lereng dibandingkan dengan daerah landai. Horison-A memiliki ketebalan sebesar 15-20 cm di daerah landai dan 5 cm di bagian puncak. Horison-B memiliki ketebalan lebih dari 50 cm. Area ini ditutupi dengan hutan berdaun lebar dengan kerapatan yang cukup lebat. Sebagai pembanding pergerakan air tanah, digunakan sifat tanah hutan dan tanah agroforestry di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Contoh tanah diambil pada Tahun 2008 dan contoh tanah tersebut dianalisis di Laboratorium Pengendalian Erosi, Sekolah Pascasarjana Pertanian Universitas Kyoto–Jepang. Komputasi pergerakan air tanah 3D dilakukan selain di Laboratorium Pengendalian Erosi, Sekolah Pascasarjana Pertanian Universitas Kyoto–Jepang juga dilakukan di Laboratorium Hidrologi Hutan dan DAS, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
3. 2. Alat dan Bahan Studi komputasi model pergerakan air dalam tanah menggunakan satu unit komputer pribadi yang dilengkapi dengan perangkat lunak Microssoft Office 2007, ArcView GIS ver 3.2, GMSH, Golden Software Surfer 8, dan Compaq Visual Fortran 6, serta satu set alat tulis. Data yang digunakan adalah data curah hujan, transpirasi, kadar air tanah, konduktivitas hidrolik tanah, tekanan kapiler tanah (potensial matriks), peta dijital lokasi titik pengukuran sifat hidrolika tanah dalam bentuk *.shp yang memiliki data atribut, peta dijital lokasi titik pengukuran sifat hidrolika tanah dalam bentuk personal digital file (PDF), dan peta dijital vektor kontur pegunungan Rokko yang tidak memiliki data atribut.
3. 3. Tahapan Penelitian Secara umum tahapan penelitian dimulai dari persiapan dan pengolahan data. Data yang disiapkan meliputi data curah hujan, transpirasi, dan sifat hidrolika tanah. Pengolahan data terdiri dari pengolahan peta dijital untuk
16
mendapatkan koordinat XYZ dari peta-peta dijital yang digunakan dan menghasilkan data jaring (mesh generation). Pengolahan data sifat hidrolika tanah hasil pengukuran untuk mendapatkan parameter model log normal kurva hubungan - dan K-. Langkah selanjutnya adalah pemrograman teknik komputasi model aliran 3 D menggunakan fortran dan menganalisa pergerakan air dalam tanah 3D. Diagram alir penelitian disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2
Diagram Alir Penelitian.
3. 3. 1. Persiapan Data Sifat Hidrolika Tanah Sifat hidrolika tanah digambarkan oleh kadar air jenuh, konduktivitas hidrolika jenuh (Ks), kurva retensi air tanah sebagai hubungan kadar air ( ) dengan potensial matriks (), dan hubungan konduktivitas hidrolik tanah (K)
17
dengan potensial matriks (). Kadar air, potensial matriks tanah, dan konduktivitas hidrolik tanah didapatkan dengan melakukan uji laboratorium terhadap contoh tanah yang diambil di 14 titik pengamatan dengan kedalaman tanah 0-10 cm dan 40-50 cm. Hubungan kadar air () dengan potensial matriks () diukur
di
laboratorium Pengendalian Erosi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Kyoto – Jepang (Kosugi 2010) dengan menggunakan seperangkat alat terdiri dari satu buah kompresor otomatis dan pressure plate apparatus (Gambar 3).
Gambar 3
Proses pengukuran Kurva Retensi Air-Tanah. (a) Kompresor Otomatis dan (b) Pressure Plate Apparatus.
Kadar air (i) pada setiap potensial matriks (i) diperoleh dengan metode volumetrik sebagai berikut:
(BBT BKT) / VT
...(2)
Dimana:
= Kadar air volumetrik (gr/gr atau ml/ml).
BBT
= Berat basah tanah (gr).
BKT
= Berat kering tanah tanur (gr).
VT
= Volume tanah total (ml).
= Berat jenis air murni ( = 1 gr/ml).
Hasil akhir dari pengukuran tersebut adalah informasi hubungan kadar air (pada potensial matriks (tertentuyang digunakan untuk menentukan parameter model lognormal (LN) kurva retensi air–tanah (Kosugi 1994), yaitu s,
18
m, . Model LN kurva retensi air – tanah oleh Kosugi (1994) adalah sebagai berikut: ln r m Q Se s r
….(3)
Dimana :
Se
= Kejenuhan efektif
Q
= Komplemen fungsi sebaran normal.
Q( x)
x
x2 exp dx 2 2 1
...(4)
r
= Kadar air ketika berada dalam kondisi terkecil (saat kering).
s
= Kadar air ketika berada dalam kondisi terbesar (saat jenuh).
m
= Potensial matriks saat kejenuhan efektif (cmH2O).
= Potensial matriks (cmH2O).
= Simpangan baku dari log radius pori yang ditransformasi ( ln m ).
Penentuan parameter model LN kurva retensi air tanah dilakukan dengan cara fitting curve antara kurva -hasil pengukuran dengan kurva model dengan meminimumkan jumlah kuadrat selisih (residual sum squre) hasil pengukuran denganhasil pendugaan. Parameter model LN kurva retensi air tanah s, m, , dan Ks selanjutnya digunakan sebagai parameter model LN K() (Kosugi 1996) sebagai berikut:
1 1 K KsQ ln Q ln m m
2
...(5)
Dimana : K
= Konduktivitas hidrolik jenuh (cm/s).
Ks
= Konduktivitas hidrolik tanah jenuh.
= Konstanta. Konstanta menggunakan nilai 0,22 sebagai nilai
terbaik hasil optimasi 30 contoh tanah yang diambil di Pegunungan Rokko (Hendrayanto 1999).
19
Konduktivitas hidrolik tanah jenuh (Ks) diukur dengan metode falling head (Richards dan Fireman 1943; Richards 1947 diacu dalam Kurnia et al. 2006), dengan tahapan sebagai berikut: 1. Menjenuhkan contoh tanah dalam ring dengan cara direndam dalam sebuah penampungan yang diisi air dimana ketinggian air tersebut sampai 2 mm sebelum batas tepi ring contoh. Contoh tanah ditutup plastik untuk mengurangi evaporasi (Gambar 4). Proses penjenuhan dilakukan dalam waktu 2x24 jam. Untuk contoh tanah yang tidak dapat mencapai jenuh setelah direndam dengan cara tersebut sampai 10x 24 jam, dilakukan perendaman melebihi batas permukaan contoh tanah dengan meninggikan silinder contoh tanah (Gambar 5)
Gambar 4
Gambar 5
Proses Penjenuhan Contoh Tanah di Dalam Ring.
Proses Penjenuhan Contoh Tanah di Dalam Ring dengan Pipa Ukur.
20
2. Contoh tanah dalam ring yang telah jenuh diletakkan di atas alas berpori agar bisa melewatkan air dari contoh tanah. Alas berpori tersebut merupakan kesatuan dengan penyangga berkaki yang diletakkan di dalam wadah penampung air. Bagian atas ring contoh yang berisi tanah dipasang pipa ukur dalam satuan centimeter (cm) dengan ukuran diameter lingkar dalam yang sama dengan diameter lingkar luar ring contoh (Gambar 6).
Gambar 6
Pengukuran Aliran Air Metode Falling Head.
3. Pengukuran menggunakan metode falling head dimulai dengan mengisi air ke dalam pipa ukur dan diukur perubahan (penurunan) tinggi air terhadap waktu dengan menggunakan stopwatch. Apabila penurunan tinggi air berlangsung sangat cepat maka pipa ukur diganti dengan diameter yang 1/5 kali lebih kecil dari pipa ukur sebelumnya. Ilustrasi pengukuran disajikan dalam Gambar 7 4. Ks dihitung berdasarkan prinsip hukum Darcy (Jury dan Horton 1986):
L H0 L Ks x ln T H1 L Dimana: Ks
= Konduktivitas hidrolika tanah jenuh (cm/s).
L
= Tinggi contoh tanah (cm).
H0
= Tinggi air awal pengukuran (cm).
H1
= Tinggi akhir pengukuran (cm).
= Perubahan waktu (s)
….(6)
21
Gambar 7
Ilustrasi Pengukuran Konduktivitas Hidrolika Tanah Jenuh (Ks).
Model LN kurva retensi air tanah dan model K(ψ) dari Kosugi (1997) digunakan sebagai masukkan bagi model aliran air tanah 3D. Model aliran air 3D tidak jenuh menggunakan persamaan Richard yang telah dimodifikasi oleh Šimůnek et al. (2006) sebagaimana persamaan 7 berikut:
A KizAA S K Kij t xi x j Dimana :
= Kadar air (cm3/cm3)
ψ
= Potensial matriks (cmH2O)
S
= Transpirasi (cm/s)
xi
= Koordinat spasial (i=1, 2, 3, ..., 403).
t
= Waktu (s)
K ijA
= Bagian dari regangan anisotropi tak berdimensi K-4.
K
= Konduktivitas hidrolik tak jenuh (cm/s).
.....(7)
22
3. 3. 2. Pengolahan Peta Dijital Peta dijital yang diolah adalah peta dijital vektor kontur pegunungan Rokko yang tidak memiliki data atribut, peta dijital lokasi titik pengukuran sifat hidrolika tanah dalam bentuk *.shp yang memiliki data atribut, dan peta dijital lokasi titik pengukuran sifat hidrolika tanah dalam bentuk personal digital file (PDF) (Kosugi 15 November 2010, komunikasi langsung). Proses pengolahan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS ver 3.2, GMSH, dan Surfer 8. A. Menentukan Koordinat XYZ Penentuan koordinat XYZ DAS nomor 9 berasal dari pemotongan peta dijital pegunungan Rokko yang sesuai dengan lokasi DAS nomor 9 dengan menggunakan ArcView GIS ver 3.2. Dalam perangkat lunak ini fungsi yang digunakan adalah spatial analyst untuk mengubah peta dijital vektor menjadi data ASCII (American Standard Code for Information Interchange). Kode-kode sandi yang diperoleh berupa susunan bilangan numerik yang unik yang menunjukkan koordinat XYZ DAS nomor 9. Selain itu penentuan koordinat XYZ peta dijital lokasi pengukuran sifat hidrolika tanah menggunakan ArcView GIS ver 3.2 dengan mengambil data X-axis, Y-axis, Z-axis untuk kedalaman 10 cm, dan Zaxis untuk kedalaman 50 cm. B. Pembuatan Informasi Dijital (Digitizing) Batas DAS, Titik Pengamatan Air Tanah, Sungai, dan Innerpoint Setelah didapatkan koordinat XYZ DAS nomor 9 dan lokasi pengukuran sifat hidrolika tanah, informasi koordinat XYZ tersebut dimasukkan ke dalam lembar kerja perangkat lunak Surfer 8 untuk diolah menjadi peta dijital kontur baru yang sudah dihaluskan dengan metode gridding “Krigging” dengan jarak antar kontur 5 meter. Kemudian peta dijital kontur penghalusan ditampalkan dengan peta lokasi titik pengukuran sifat hidrolika tanah dalam bentuk PDF untuk dibuat informasi dijital (digitizing) batas DAS baru, sungai, titik pengamatan air tanah, dan tanda dalam (innerpoint) lokasi penelitian, dengan informasi atribut dalam bentuk notepad (*.txt).
23
Gambar 8
Tampilan Hasil Digitizing Surfer.
C. Pembuatan Data Jaring Informasi atribut dalam bentuk *.txt dijadikan masukkan untuk membuat data jaring (Mesh) dengan perangkat lunak GMSH. Perangkat lunak ini akan memproses atribut *.txt digitizing sehingga dihasilkan tampilan titik (node) dan garis (element) bagian permukaan lokasi penelitian. Titik atau Node adalah titik acuan yang menggambarkan batas DAS baru, titik pengamatan air tanah, dan titik dalam (innerpoint). Node memiliki karakteristik berupa nomor yang unik. Sedangkan element adalah garis yang menghubungkan node-node tersebut sehingga membentuk jaring (Gambar 10). Data jaring disimpan dalam format Mesh 3D sehingga selanjutnya akan disebut data Mesh 3D. Jumlah node yang dihasilkan adalah sebanyak 403 titik. Untuk membandingkan hasil komputasi dengan hasil pengukuran dipilih node 1 dan node 237 dimana node 237 identik dengan titik pengamatan air tanah nomor 2 sedangkan node 1 identik dengan titik patusan (outlet) (Gambar 11 dan Gambar 12). Karena element dan node yang dihasilkan hanya menggambarkan bagian permukaan saja, maka dibuat klasifikasi lapisan fisik tanah sebanyak 3 lapisan fisik tanah dan 8 sub lapisan fisik tanah berdasarkan hasil uji penetrometer di lapang agar node dan element GMSH bagian permukaan bisa dibuat tampilan
24
jaringan segitiga secara tiga dimensi. Tujuan lain pembuatan klasifikasi lapisan fisik tanah adalah membuat penampang vertikal dari lokasi penelitian agar analisa pergerakan air dalam tanah bisa dilakukan dengan detail. Namun penampang vertikal yang dimaksud bukan secara visual melainkan hanya bilangan numeriknya saja, sebagai contoh adalah apabila salah satu node dari 3 node di bagian permukaan tanah bernomor 1 (satu) maka nomor node di bawahnya adalah hasil penjumlahan dari node 1 dengan total jumlah node yang dihasilkan (Gambar 9). Hasil akhir dari proses pembuatan data jaringan ini dijadikan parameter masukkan dalam pemrograman komputasi aliran 3 D.
Gambar 9
Klasifikasi Lapisan Fisik Tanah.
25
Gambar 10
Gambar 11
Tampilan Digitizing GMSH.
Titik Pengamatan Air Tanah 2 dan Outlet di Dalam Surfer 8.
26
Gambar 12
Titik Pengamatan Air Tanah 1 dan 237 di Dalam GMSH.
3. 3. 3. Pemrograman Pemrograman Teknik komputasi aliran 3D dibuat oleh Kosugi (2000) dengan menggunakan bahasa pemrograman Fortran. Data yang dijadikan masukkan pemrograman adalah
curah hujan dan transpirasi, parameter sifat
hidrolika tanah, parameter data jaring, dan atribut peta dijital. Parameter lainnya sebagai masukkan dalam program adalah adalah parameter tampilan hasil komputasi, parameter variabel penghitungan, dan parameter solum tanah. Parameter tampilan hasil komputasi berisi informasi yang digunakan untuk menampilkan gambar hyetograf dan hydrograf, pita gradasi warna yang menunjukkan kondisi air di setiap 10 cm tinggi kolom air, dan batas X-axis serta Y-axis. Parameter variabel penghitungan berisi informasi konstanta penghitungan. Parameter solum tanah berisi informasi yang menunjukkan banyaknya gambar tiga dimensi yang akan ditampilkan serta informasi klasifikasi lapisan fisik tanah seperti yang ditampilkan dalam Gambar 9.
3. 3. 4. Pergerakan Air 3D dalam Tanah Hutan dan Agroforestry Analisa pergerakan air tanah di tanah berhutan dan agroforestry secara horizontal dilakukan dengan memperhatikan perubahan potensial matriks.
27
Perubahan potensial matriks ()ditunjukkan dengan perubahan warna di seluruh lapisan tanah permukaan (10 cm) dan di seluruh lapisan tanah bagian dalam (50 cm) di DAS, dan dengan memperhatikan perubahan potensial matriks di setiap kedalaman secara vertikal di titik 1 (node 1 sampai dengan node 3225) dan titik 237 (node 237 sampai dengan node 3461) untuk masing-masing sifat tanah hutan dan agroforestry. Keberlakuan teknik komputasi dikaji dari perubahan nilai potensial matriks, yang apabila terjadi perubahan berkesinambungan dari waktu ke waktu dan juga dengan masukan hujan, menunjukkan bahwa komputasi berjalan dengan baik (Kosugi 15 November 2010, komunikasi pribadi).
28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kurva Retensi Air Tanah dan Fungsi K() Nilai-nilai parameter model lognormal retensi air tanah masing-masing tanah disajikan dalam Tabel 1. Sedangkan kurva retensi air tanah dan fungsi K() berdasarkan model lognormal dengan parameter model dalam Tabel 1 tersebut disajikan masing-masing dalam Gambar 13 dan Gambar 14. Tabel 1
Parameter Model LN Retensi Air Tanah Lapisan Tanah 10 cm
Asal Tanah HTNr HTNgw AF
a
Gambar 13
s
r
0,56 0,66 0,70
0,21 0,44 0,36
m (cm) -31,55 -19,47 -13,09
1,40 1,58 1,27
Lapisan Tanah 50 cm Ks (cm/s) 0,01 0,04 0,13
s
r
0,46 0,66 0,74
0,09 0,47 0,42
m (cm) -71,01 -29,32 -17,68
1,36 1,58 1,41
Ks (cm/s) 0,002 0,004 0,040
b
Hubungan Antara Kadar Air Tanah () dengan Potensial Matriks () di Lapisan 10 cm dan 50 cm HTNr, HTNgw, dan AF, a) <1000 cmH20; b) <-15000 cmH20.
29
a
Gambar 14
b
Hubungan Antara Konduktivitas Hidrolik Tak Jenuh (K) dengan Potensial Matriks () di Lapisan 10 cm dan 50 cm HTNr, HTNgw, dan AF. a) <-1000 cmH20; b) <-15000 cmH20.
Gambar 13 menunjukkan bahwa kadar air () di setiap nilai HTNgw>AF>HTNr di lapisan tanah 10 cm dan 50 cm. Tanah HTNgw maupun AF memiliki lapisan tanah atas (10 cm) dengan kondisi yang lebih basah dibandingkan dengan lapisan tanah di bawahnya (50 cm), sedangkan HTNr sebaliknya, di bagian bawah (50 cm) lebih basah dibandingkan dengan lapisan tanah atasnya (10 cm). Kadar air ( di kedua lapisan di semua tanah berubah secara drastis dalam rentang <-200 cmH2O, kemudian perubahan menurun lagi dalam rentang -200<-1000 cmH2O, dan relatif konstan dalam rentang -1000 cmH2O. Menurut Hardjowigeno (2007) kadar air dalam rentang cmH2O
0>-330
merupakan kadar air yang tidak dapat ditahan oleh tanah dan akan
mengalir ke bagian bawah sebagai akibat dari gaya gravitasi, sehingga air ini tidak bisa dimanfaatkan oleh tanaman. Kadar air dalam rentang -330>-15000 cmH2O ditahan oleh partikel tanah dan masih bisa dimanfaatkan tanaman. Namun apabila kadar air tanah berada dalam rentang >-15000 cmH2O sudah tidak bisa dimanfaatkan oleh
30
tanaman. Perbandingan kadar air gravitasi dan kadar air tersedia di kedua lapisan tanah di ketiga lokasi ditampilkan dalam Tabel 2 berikut: Tabel 2 Perbandingan Kadar Air Gravitasi dan Kadar Air Tersedia di Kedua Lapisan Tanah Kadar Air
Lapisan 10 cm HTNr
HTNgw
Gravitasi
0,223
Air Tersedia
0,206
Lapisan 50 cm AF
HTNr
HTNgw
AF
0,457
0,373
0,134
0,480
0,431
0,442
0,362
0,086
0,467
0,417
Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air gravitasi di HTNgw lapisan tanah 10 cm dan 50 cm lebih tinggi dari kedua lapisan di lokasi lainnya dan yang terendah adalah HTNr lapisan tanah 10 cm dan 50 cm dengan urutan sebagai berikut: HTNgw50=0,480>HTNgw10=0,457>AF50=0,431>AF10=0,373>HTNr10=0,223>HTNr 50=0,134.
Kadar air gravitasi HTNgw yang lebih tinggi dari yang lain memiliki arti
bahwa kemampuan tanah dalam meloloskan air akibat gaya gravitasi lebih besar terjadi relatif terhadap AF dan HTNr. Selain itu kadar air tersedia bagi tanaman di HTNgw menunjukkan nilai yang paling tinggi di kedua lapisan relatif terhadap tanah lainnya dengan urutan sebagai
berikut:
HTNgw50=0,467>HTNgw10=0,442>AF50=0,417>AF10=0,362>
HTNr50=0,086>HTNr10=0,206, sehingga dari informasi ketersediaan air bagi tanaman tersebut di kedua lapisan tanah HTNgw memiliki kemampuan menahan air yang paling besar relatif terhadap kedua lokasi tanah lainnya. Tabel 3 menunjukkan nilai konduktivitas hidrolik tanah jenuh (Ks) di kedua lapisan tanah di ketiga lokasi dimana di lapisan tanah 10 cm AF (KsAF-10) memiliki nilai Ks paling besar diikuti oleh KsHTNgw-10>KsHTNr-10, sedangkan di lapisan tanah 50 cm AF (KsAF-50) memiliki nilai paling besar, diikuti oleh KsHTNgw50>KsHTNr-50.
Dari nilai Ks tersebut, di kedua lapisan tanah AF memiliki kemampuan yang paling tinggi dalam mengalirkan air ketika jenuh relatif terhadap dua tanah yang lainnya.
31
Tabel 3 Perbandingan Nilai Konduktivitas Hidrolik Jenuh (log Ks) dan Konduktivitas Hidrolik Tak Jenuh (log K) di Kedua Lapisan Tanah Kadar Air HTNr
Lapisan 10 cm Log K (K (cm/s)) Log Ks (Ks (cm/s)) (≥15000 cmH2O) -1,931 -20,003
Lapisan 50 cm Log K (K (cm/s)) Log Ks (Ks (cm/s)) (≥15000 cmH2O) -2,790 -18,202
HTNgw
-1,402
-17,704
-2,403
-18,952
AF
-0,891
-20,969
-1,428
-19,687
Selain itu berdasarkan perubahan konduktivitas hidrolik tanah tak jenuh (Log K) dalam Gambar 14 ditunjukkan bahwa dalam rentang <-200 cmH2O nilai K di kedua lapisan tanah di ketiga lokasi menurun drastis, dan selanjutnya dalam rentang >-1000 cmH2O penurunan K berkurang dan cenderung konstan. Dalam Gambar 14b yang menunjukkan perubahan konduktivitas hidrolik tak jenuh (K) dalam rentang -1000<<-15000 cmH2O terlihat bahwa lapisan tanah 10 cm HTNgw (KHTNgw-10) memiliki nilai K paling besar diikuti oleh KHTNr-10>KAF10,
sedangkan di lapisan tanah 50 cm HTNr (KHTNr-50) memiliki nilai K paling
besar diikuti oleh KHTNgw-50>KAF-50. Dari nilai K tersebut, di lapisan tanah 10 cm HTNgw memiliki kemampuan yang paling tinggi dalam mengalirkan air dalam kondisi tanah tak jenuh. Di lapisan tanah 50 cm HTNr memiliki kemampuan yang paling tinggi dalam mengalirkan air ketika tak jenuh relatif terhadap dua tanah yang lainnya. Berdasarkan () kapasitas menahan air tanah di lapisan tanah 10 cm dan 50 cm, tanah HTNr paling tinggi dibandingkan dengan HTNgw dan AF. Hal ini terjadi karena berdasarkan penjelasan , tanah HTNr memiliki kadar air tersedia yang lebih rendah. Dalam hal kemampuan mengalirkan air tanah di tanah jenuh (Ks) AF memiliki kemampuan yang paling tinggi dibandingkan dengan HTNr dan HTNgw di kedua lapisan tanah. Hal ini terlihat dari nilai Ks AF (Log Ks AF) yang paling besar. Selanjutnya berdasarkan nilai
log K yang menunjukkan kemampuan
mengalirkan air tanah di tanah tak jenuh (K) di lapisan tanah 10 cm HTNgw memiliki kemampuan yang paling tinggi dalam mengalirkan air relatif terhadap dua tanah yang lainnya, sedangkan di lapisan tanah 50 cm HTNr memiliki
32
kemampuan yang paling tinggi dalam mengalirkan air relatif terhadap dua tanah yang lainnya.
4. 2. Pergerakan Air dalam Tanah Pergerakan air tanah 3D disimulasikan dengan menggunakan Sub DAS Rokko nomor 9 dengan kondisi awal potensial matriks -50 cmH20 seragam di seluruh sub DAS dan kedalaman tanah serta input hujan=0 mm/jam dan input hujan konstan=3 mm/jam . Sifat tanah menggunakan sifat HTNr, HTNgw, dan AF. Simulasi pergerakan air tanah 3D menurut waktu di bidang horizontal dengan input hujan=0
mm
/jam (tanpa input hujan) di HTNr, HTNgw, dan AF disajikan dalam
Gambar 15, sedangkan perubahan potensial matriks secara vertikal di titik 1 (node 1-3225) dan titik 237 (node 237-3461) disajikan dalam Gambar 16. Gambar 15 menunjukkan pergerakan air di bidang horizontal tanpa input hujan di lapisan tanah 10 cm (a) dan lapisan tanah 50 cm (b) dengan lokasi (1) HTNr, (2) HTNgw, dan (3) AF dari 10 menit pertama sejak simulasi dijalankan (jam ke-0,17) sampai akhir simulasi (jam ke-41,17) yang dicirikan oleh perubahan warna tampilan yang berarti bahwa terjadi perubahan nilai potensial matriks. Gambar 15 1a, 2a, dan 3a menunjukkan perubahan warna di lapisan tanah 10 cm dari warna coklat yang menunjukkan potensial matriks ()=-50 cmH2O menjadi warna coklat lebih tua yang menunjukkan nilai potensial matriks ()>-50 cm (ke arah bawah dalam bar warna). Hal tersebut berarti bahwa di lapisan tanah 10 cm terjadi pengurangan kadar air dari waktu ke waktu. Warna di lapisan tanah 50 cm (Gambar 15 1b, 2b, dan 3b) berubah dari warna coklat menjadi kuning-hijau-hijau tua yang menunjukkan warna untuk potensial matriks ()<-50 cmH2O mengarah ke warna yang menunjukkan potensial matriks ()=0 cmH2O dan positif dalam bar warna (ke arah atas dalam pita gradasi warna). Hal tersebut berarti bahwa di lapisan tanah 50 cm terjadi penambahan kadar air dari waktu ke waktu, yang berasal dari air yang terdrainase dari lapisan tanah 10 cm.
33
(1)
(2)
(3)
Gambar 15
Tampilan Hasil Komputasi Pergerakan Air 3D dalam Tanah pada Jam ke-0,17; 10; 16; 32,17; dan 41,17 Tanpa Input Hujan. (1) HTNr; (2) HTNgw; dan (3) AF. (a) Lapisan 10 cm dan (b) Lapisan 50 cm.
34
Dalam Gambar 16 yang merupakan grafik perubahan potensial matriks secara vertikal dalam kondisi tanpa input hujan ditunjukkan perubahan yang sistematis. Hal tersebut terlihat dari nilai negatif potensial matriks di lapisan 10 cm (node 1 sampai dengan node 1613) di titik 1 yang meningkat dari waktu ke waktu yang menunjukkan penurunan kadar air. Peningkatan nilai negatif potensial matriks tersebut sejalan dengan pertambahan kedalaman tanah. Perubahan potensial matriks di node 2016 sampai dengan node 2419 relatif konstan, sedangkan di node setelah node 2419 ditunjukkan nilai potensial matriks yang semakin menurun yang berarti bahwa terjadi peningkatan kadar air. Dari perubahan potensial matriks tersebut, perubahan potensial matriks HTNr di lapisan tanah 10 cm dan 50 cm terjadi paling cepat, yaitu dari kondisi awal potensial matriks -52 cmH2O menjadi -85 cmH2O (= -33 cmH2O) (Titik 1:node 1, Gambar 16.1a), dan dari kondisi awal potensial matriks -50 cmH2O menjadi -14 cmH2O (= +36 cmH2O) (Titik 1:node 3225, Gambar 16.1a). Kadar air HTNr lapisan tanah 10 cm dan 50 cm berdasarkan perubahan nilai-nilai potensial matriks tersebut menunjukkan perubahan kadar air dari 0,33 menjadi 0,29 (= -0,04) dan dari kondisi awal kadar air 0,31 menjadi 0,41 (= +0,10). Perubahan potensial matriks tercepat kedua adalah di AF, yaitu di lapisan tanah 10 cm terjadi perubahan dari -51 cmH2O menjadi -72 cmH2O (= -21 cmH2O) (Titik 1:node 1, Gambar 16.3a) dan di lapisan tanah 50 cm terjadi perubahan dari -50 cmH2O menjadi -27 cmH2O (= +23 cmH2O) (Titik 1:node 3225, Gambar 16.3a). Perubahan potensial matriks tersebut menunjukkan perubahan kadar air di lapisan tanah 10 cm dari 0,48 menjadi 0,45 (= -0,03) dan di lapisan tanah 50 cm dari 0,53 menjadi 0,59 (= +0,06). Di HTNgw, di lapisan tanah 10 cm berubah dari -51 cmH2O menjadi -75 cmH2O (=-24 cmH2O) (Titik 1:node 1, Gambar 16.2a), sedangkan di lapisan tanah 50 cm berubah dari -50 cmH2O menjadi -34 cmH2O (= +16 cmH2O) (Titik 1:node 3225, Gambar 16.2a). Perubahan tersebut menunjukkan perubahan kadar air di lapisan tanah 10 cm dari 0,53 menjadi 0,51 (= -0,02) dan di lapisan tanah 50 cm berubah dari 0,54 menjadi 0,55 (= +0,02).
35
(1)
(2)
(3) Gambar 16
(b) (a) Perubahan Potensial Matriks Secara Vertikal di (a) Titik 1 dan (b) Titik 237 di (1) HTNr; (2) HTNgw; dan (3) AF dari Jam ke-0,17; 10; 16; 32,17; dan 41,17 Tanpa Input Hujan.
Hal serupa terjadi di titik 237 (Gambar 16b). Perubahan potensial matriks di HTNr lapisan tanah 10 cm dan 50 cm terjadi paling cepat, yaitu dari kondisi awal potensial matriks -52 cmH2O menjadi -84 cmH2O (= -32 cmH2O) (Titik 237:node 237, Gambar 16.1b), dan dari kondisi awal potensial matriks -50 cmH2O
36
menjadi -14 cmH2O (= +36 cmH2O) (Titik 237:node 3461, Gambar 16.1b). Perubahan kadar air di HTNr lapisan tanah 10 cm dan 50 cm berdasarkan perubahan nilai potensial matriks tersebut menunjukkan perubahan kadar air dari 0,33 menjadi 0,29 (= -0,04) dan dari kondisi awal kadar air 0,31 menjadi 0,41 (= +0,10). Perubahan potensial matriks tercepat kedua terjadi di AF, yaitu di lapisan tanah 10 cm terjadi perubahan dari -51 cmH2O menjadi -71 cmH2O (= 20 cmH2O) (Titik 237:node 237, Gambar 16.3b) dan di lapisan tanah 50 cm terjadi perubahan dari -50 cmH2O menjadi -29 cmH2O (= +21 cmH2O) (Titik 237:node
3461,
Gambar
16.3b).
Perubahan
potensial
matriks tersebut
menunjukkan perubahan kadar air di lapisan tanah 10 cm dari 0,48 menjadi 0,45 (= -0,03) dan di lapisan tanah 50 cm terjadi perubahan kadar air dari 0,53 menjadi 0,58 (= +0,05). Di HTNgw, di lapisan tanah 10 cm berubah dari -51 cmH2O menjadi -73 cmH2O (= -22 cmH2O) (Titik 237:node 237, Gambar 16.2b), sedangkan di lapisan tanah 50 cm berubah dari -50 cmH2O menjadi -34 cmH2O (= +16 cmH2O) (Titik 237:node 3461, Gambar 16.2b). Kadar air di lapisan tanah 10 cm berubah dari 0,53 menjadi 0,51 (= -0,02), sedangkan di lapisan tanah 50 cm berubah dari -0,54 menjadi 0,55 (= +0,02). Perubahan di titik 1 dan titik 237 secara numerik disajikan dalam Tabel 4. Selain itu perubahan kadar air disajikan dalam Tabel 5. Tabel 4 Perubahan Potensial Matriks ( di Titik 1 dan 237 Tanpa Input Hujan di Ketiga Lokasi Tutupan Lahan Waktu (Jam) 0,17 41,17 Perubahan
node 1 -52 -85 -33
Waktu (Jam) 0,17 41,17 Perubahan
node 237 -52 -84 -32
HTNr node 3225 -50 -14 +36
Titik 1 HTNgw node 1 node 3225 -51 -50 -75 -34 -24 +16
node 1 -51 -72 -21
AF node 3225 -50 -27 +23
HTNr node 3461 -50 -14 +36
Titik 237 HTNgw node 237 node 3461 -51 -50 -73 -34 -22 +16
node 237 -51 -71 -20
AF node 3461 -50 -29 +21
Keterangan: node 1 dan node 3225 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 1. node 237 dan node 3461 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 237.
37
Tabel 5 Kadar Air di Titik 1 dan 237 Tanpa Input Hujan di Ketiga Lokasi Tutupan Lahan Waktu (Jam) 0,17 41,17 Kadar Air Waktu (Jam) 0,17 41,17 Kadar Air
HTNr node 1 node 3225 0,33 0,31 0,29 0,41 -0,04 +0,10
Titik 1 HTNgw node 1 node 3225 0,53 0,54 0,51 0,55 -0,02 +0,02
node 1 0,48 0,45 -0,03
AF node 3225 0,53 0,59 +0,06
HTNr node 237 node 3461 0,33 0,31 0,29 0,41 -0,04 +0,10
Titik 237 HTNgw node 237 node 3461 0,53 0,54 0,51 0,55 -0,02 +0,02
node 237 0,48 0,45 -0,03
AF node 3461 0,53 0,58 +0,05
Keterangan: node 1 dan node 3225 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 1. node 237 dan node 3461 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 237.
Gambar 17 menunjukkan pergerakan air di bidang horizontal dengan masukan hujan konstan dengan intensitas hujan 3 mm/jam di lapisan tanah 10 cm (a) dan lapisan tanah 50 cm (b) dengan lokasi (1) HTNr, (2) HTNgw, dan (3) AF dari 10 menit pertama sejak simulasi dijalankan (jam ke-0,17) sampai akhir simulasi (jam ke-41,17). Gambar 17 1a, 2a, dan 3a menunjukkan perubahan warna di lapisan tanah 10 cm dari warna coklat yang menunjukkan potensial matriks ()=-50 cmH2O menjadi dominan warna hijau yang menunjukkan nilai potensial matriks ()<-50 cm (ke arah atas dalam bar warna). Hal tersebut berarti di lapisan tanah 10 cm terjadi penambahan kadar air dari waktu ke waktu karena hujan yang terjadi. Namun jika diperhatikan di dalam tampilan lapisan tanah 10 cm tersebut juga terdapat kondisi beberapa bagian tanah yang berwarna kuning-kuning pekatjingga kemerahan dengan >-50 cm (ke arah bawah dalam bar warna) yang menunjukkan penurunan kadar air. Hal tersebut terjadi karena kadar air di bagian tanah tersebut berpindah ke bagian tanah yang lain di sebelahnya dan meningkatkan kadar air di bagian tanah di sebelahnya tersebut. Proses itu terlihat dari bagian tanah yang berwarna hijau pekat yang dikelilingi oleh bagian tanah yang berwarna kuning. Perpindahan kadar air dipengaruhi oleh topografi lokasi.
38
(1)
(2)
(3)
Gambar 17 Tampilan Hasil Komputasi Pergerakan Air 3D dalam Tanah pada Jam ke-0,17; 10; 16; 32,17; dan 41,17 Dengan Input Hujan. (1) HTNr; (2) HTNgw; dan (3) AF. (a) Lapisan 10 cm dan (b) Lapisan 50 cm.
39
Warna di lapisan tanah 50 cm (Gambar 17 1b, 2b, dan 3b) berubah dari warna coklat menjadi kuning-hijau-hijau tua-biru-hitam yang menunjukkan warna potensial matriks ()<-50 cmH2O mengarah ke warna yang menunjukkan potensial matriks ()=0 cmH2O dan positif dalam bar warna (ke arah atas dalam bar warna). Hal tersebut berarti bahwa di lapisan tanah 50 cm terjadi penambahan kadar air dari waktu ke waktu hingga mencapai titik jenuh yang dilambangkan dengan warna hitam, yang berasal dari air yang terdrainase dari lapisan tanah 10 cm. Gambar 18 menunjukkan perubahan potensial matriks secara vertikal di Titik 1 dan 237. Gambar 18.1a yang menunjukkan perubahan di titik 1 menunjukkan bahwa di HTNr di node 1 sampai dengan node 1613, menurun sampai jam ke-10 kemudian meningkat lagi dan mencapai kondisi konstan pada jam ke-20. Selain itu perubahan di node 1613 sampai dengan
node 2419
menunjukkan kondisi yang mencapai konstan pada jam ke-16, sedangkan di node 2419 sampai dengan node 3225 perubahan sudah mencapai kondisi konstan pada jam ke-10. Kecenderungan perubahan tersebut terjadi juga di HTNgw dan AF, tetapi tingkat perubahannya berbeda. Di HTNgw (Gambar 18.2a),
menurun hanya sampai jam ke-0,17 dan meningkat kembali pada jam ke-10 hingga akhirnya dicapai kondisi konstan sejak jam ke-12,5. Kondisi ini terjadi juga di AF (Gambar 18.3a) di node 807 sampai dengan node 3225 dimana
konstan terjadi setelah jam ke-16. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa aliran yang terjadi di titik 1, baik di HTNr, HTNgw, dan AF, sampai dengan kedalaman di node 2822 merupakan aliran kesetimbangan (steady state flow), sedangkan di node 3225 (kedalaman tanah 50 cm) terjadi aliran tanah jenuh. Aliran kesetimbangan di setiap node paling cepat tercapai di HTNr>HTNgw>AF. Perubahan di titik 237 sangat berbeda dengan yang terjadi di titik 1. Di titik 237, setelah jam ke-10 di hampir seluruh node mencapai jenuh (=0 cmH2O). Di HTNr, =0 cmH2O sudah tercapai sejak jam ke-16, kondisi =0 cmH2O di HTNgw tercapai sejak jam ke-10, sedangkan di AF kondisi =0 cmH2O tidak terjadi di lapisan permukaan (node 237 sampai dengan node 1446)
40
melainkan terjadi di lapisan lebih dalam (node 1849 sampai dengan node 3461) setelah jam ke-16.
(1)
(2)
(3) (b) (a) Gambar 18 Perubahan Potensial Matriks Secara Vertikal di (a) Titik 1 dan (b) Titik 237 di (1) HTNr; (2) HTNgw; dan (3) AF dari Jam ke-0,17; 10; 16; 32,17; dan 41,17 Dengan Input Hujan. Selain itu berdasarkan gambar 18 di atas, di titik 1 kecepatan perubahan potensial matriks di ketiga lokasi tanah di lapisan 10 cm dengan input hujan
41
menunjukkan bahwa AF mengalamin perubahan yang paling cepat. Perubahan di lapisan tanah 10 cm ditandai dengan kondisi =-34 cmH2O menjadi =-82 cmH2O (= -48 cmH2O) (Titik 1:node 1, Gambar 18.3a) dan di lapisan tanah 50 cm dengan perubahan =-50 cmH2O menjadi 0 cmH2O (=+50 cmH2O) (Titik 1:node 3225, Gambar 18.3a), dimana kadar air AF lapisan tanah 10 cm dan 50 cm berubah dari 0,52 menjadi 0,44 (=-0,08) dan dari kondisi awal kadar air 0,53 menjadi 0,74 (=+0,21). Selanjutnya perubahan terjadi di HTNgw dimana di lapisan tanah 10 cm berubah dari -30 cmH2O menjadi -52 cmH2O (= -22 cmH2O) (Titik 1:node 1, Gambar 18.2a) dan di lapisan tanah 50 cm terjadi perubahan dari -50 cmH2O menjadi 0 cmH2O (= +50 cmH2O) (Titik 1:node 3225, Gambar 18.2a). Perubahan tersebut menunjukkan perubahan kadar air HTNgw lapisan tanah 10 cm dari 0,55 menjadi 0,52 (= -0,03) dan di lapisan tanah 50 cm berubah dari 0,54 menjadi 0,66 (= +0,12). Perubahan selanjutnya adalah di HTNr dimana di lapisan tanah 10 cm terjadi perubahan dari -41 cmH2O menjadi -56 cmH2O (=-15 cmH2O) (Titik 1:node 1, Gambar 18.1a) dan di lapisan tanah 50 cm terjadi perubahan dari -50 cmH2O menjadi -0 cmH2O (=+50 cmH2O) (Titik 1:node 3225, Gambar 18.1a). Perubahan tersebut menujukkan perubahan kadar air di lapisan tanah 10 cm dari 0,36 menjadi 0,33 (=-0,03), sedangkan di lapisan tanah 50 cm kadar air berubah dari 0,31 menjadi 0,46 (=-0,15). Di samping itu penurunan nilai potensial matriks yang menunjukkan perubahan kadar air di setiap lapisan di ketiga lokasi tersebut juga berlangsung di titik 237 (Gambar 18b). Namun perubahan sangat berbeda jika dibandingkan dengan yang terjadi di titik 1 (Gambar 18a). Hal tersebut terlihat dari nilai perubahan potensial matriks yang ditampilkan dalam Tabel 6:Titik 237, selain dari bentuk grafiknya. Di titik 237 di lapisan tanah 10 cm, HTNr mengalami perubahan yang paling cepat yang terlihat dari =-40 cmH2O menjadi =-0 cmH2O (= +40 cmH2O) (Titik 237:node 237, Gambar 18.1b) dengan kadar air yang berubah dari 0,36 menjadi 0,56 (= +0,20). Kemudian diikuti oleh HTNgw dengan perubahan
42
kondisi =-30 cmH2O menjadi =0 cmH2O (= +30 cmH2O) (Titik 237:node 237, Gambar 18.2b) yang menunjukkan kadar air lapisan tanah 10 cm yang berubah dari 0,55 menjadi 0,66 (= +0,11). Perubahan di lapisan tanah 10 cm selanjutnya terjadi di AF dengan =-34 cmH2O menjadi =-14 cmH2O (= +20 cmH2O) (Titik 237:node 237, Gambar 18.3b) dengan kadar air lapisan tanah 10 cm yang berubah dari 0,52 menjadi 0,61 (= +0,09). Perubahan potensial matriks di lapisan tanah 50 cm yang terjadi paling cepat adalah di HTNgw yang ditunjukkan dengan perubahan nilai =-50 cmH2O menjadi =116 cmH2O (= +166 cmH2O) (Titik 237:node 3461, Gambar 18.2b) dimana kadar air berubah dari 0,54 menjadi 1,16 (=+0,62). Selanjutnya perubahan diikuti oleh HTNr dengan
nilai =-50 cmH2O menjadi =106
cmH2O (=+156 cmH2O) (Titik 237:node 3461, Gambar 18.3b) dengan perubahan kadar air dari 0,31 menjadi 0,68 (=+0,37). Di AF, perubahan terjadi dari =-50 cmH2O menjadi =70 cmH2O (= +63 cmH2O) (Titik 237:node 3461, Gambar 18.1b) dengan kadar air yang berubah dari 0,53 menjadi 1,25 (= +0,72). Perubahan di titik 1 dan titik 237 secara numerik disajikan dalam Tabel 6. Selain itu perubahan kadar air antara kondisi awal simulasi pada jam ke-0,17 (10 menit pertama) sampai dengan jam ke-41,17 waktu simulasi disajikan dalam Tabel 7. Tabel 6 Perubahan Potensial Matriks ( di Titik 1 dan 237 Dengan Input Hujan di Ketiga Lokasi Tutupan Lahan Waktu (Jam) 0,17 41,17 Perubahan Waktu (Jam) 0,17 41,17 Perubahan
HTNr node 1 node 3225 -41 -50 -56 0 -15 +50
Titik 1 HTNgw node 1 node 3225 -30 -50 -52 0 -22 +50
HTNr node 237 node 3461 -40 -50 0 106 +40 +156
Titik 237 HTNgw node 237 node 3461 -30 -50 0 116 +30 +166
node 1 -34 -82 -48
AF node 3225 -50 0 +50
node 237 -34 -14 +20
AF node 3461 -50 70 +120
Keterangan: node 1 dan node 3225 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 1. node 237 dan node 3461 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 237.
43
Tabel 7 Kadar Air di Titik 1 dan 237 Dengan Input Hujan di Ketiga Lokasi Tutupan Lahan Waktu (Jam) 0,17 41,17 Kadar Air Waktu (Jam) 0,17 41,17 Kadar Air
HTNr node 1 node 3225 0,31 0,36 0,46 0,33 -0,03 -0,15
Titik 1 HTNgw node 1 node 3225 0,55 0,54 0,52 0,66 -0,03 +0,12
node 1 0,52 0,44 -0,08
AF node 3225 0,53 0,74 +0,21
HTNr node 237 node 3461 0,36 0,31 0,56 0,68 +0,20 +0,37
Titik 237 HTNgw node 237 node 3461 0,55 0,54 0,66 1,16 +0,11 +0,62
node 237 0,52 0,61 +0,09
AF node 3461 0,53 1,25 +0,72
Keterangan: node 1 dan node 3225 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 1. node 237 dan node 3461 menunjukkan lapisan tanah 10 cm dan 50 cm di titik 237.
Dari penjelasan mengenai pergerakan air dalam tanah secara 3D tanpa input hujan (kering) dan dengan input hujan (basah) tersebut di atas ditunjukkan kecepatan perubahan yang berbeda satu sama lain, antara HTNr, HTNgw, dan AF, baik di lapisan tanah 10 cm maupun 50 cm. Secara ringkas bisa dilihat dalam tabel kecepatan relatif perubahan dalam Tabel 8. Tabel 8 Kecepatan Relatif Perubahan Potensial Matriks ( (cmH2O)) Tanpa Input Hujan
Titik 1 Titik 237 Titik 1 Titik 237
HTNr
HTNgw
AF
+++ +++ +++ +++
+ + + +
++ ++ ++ ++
Lapisan Tanah 10 cm Lapisan Tanah 50 cm
Dengan Input Hujan
Titik 1 Titik 237 Titik 1 Titik 237
HTNr
HTNgw
AF
+ +++ + ++
++ ++ ++ +++
+++ + +++ +
Keterangan: (+)Cepat; (++); Lebih cepat; (+++)Paling cepat.
Lapisan Tanah 10 cm Lapisan Tanah 50 cm
44
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1. Kesimpulan 1. Hasil komputasi pergerakan air tanah 3D menunjukkan bahwa teknik komputasi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik, yang ditunjukkan oleh perubahan potensial matriks berkesinambungan dari waktu ke waktu dan sejalan dengan input hujan. 2. Secara umum berdasarkan karakteristik (), kedua lapisan tanah HTNgw memiliki kemampuan menahan air tanah paling tinggi dibandingkan dengan HTNr dan AF. 3. Secara umum, berdasarkan karakteristik K(), tanah di lapisan 10 cm HTNgw memiliki kemampuan mengalirkan air tanah paling tinggi dibandingkan HTNr dan AF, sedangkan di lapisan 50 cm HTNr memiliki kemampuan mengalirkan air tanah paling tinggi dibandingkan HTNgw dan AF. 4. Secara umum berdasarkan karakteristik hidrolika ketiga tanah di lapisan tanah 10 cm dan lapisan tanah 50 cm, ketika tidak ada hujan, proses drainase 3D di HTNr paling cepat dibandingkan dengan HTNgw dan AF, sedangkan ketika ada hujan, proses drainase 3D di tanah HTNgw paling cepat dibandingkan dengan AF dan HTNr.
5. 2. Saran 1. Sifat hidrolika tanah bervariasi menurut ruang (heterogen), sehingga dalam komputasi aliran 3D, pertimbangan atas heterogenitas tanah menjadi faktor yang sangat penting karena heterogenitas tanah akan mempengaruhi mempengaruhi kemampuan tanah dalam menahan air dan mengalirkan air di dalam tanah. 2. Penelitian ini belum memperhatikan akurasi penggunaan model dan teknik komputasi, sehingga untuk mengetahui keakuratan model dan teknik komputasi, perlu validasi hasil komputasi dengan menggunakan data hasil pengukuran.
45
DAFTAR PUSTAKA
Arimitsu K. 1970. [Analysis of Soil Pore Radius Distribution Using a Suction Plate.][dalam bahasa Jepang]. Jpn.J.For.Environ. 12(1):31-35. Arampatzis G, Tzimopoulos C, Sakellariou-Makrantonaki M, and Yannopoulos S. 2001. Estimation of unsaturated flow in layered soils with the finite control volume method. In: Irrigation and Drainage 50: 349-358. Assouline S, Tartakovsky DM. 2001. Unsaturated Hydraulic Conductivity Function Based on a Soil Fragmentation Process. Water Resour. Res. 37: 1309-1312. Brooks RH, Corey AT. 1964. Hydarulic Properties of Porous Media. Hydrol.Pap. Colorado State Univ. 3 :1-27. Bresnahan T, Dickenson K. 2011. Sufer 8 Self-Paced Training Guide. http://www.goldensoftware.com/Surfer8TrainingGuide.pdf.
[23
Januari
2011]. Burdine NT. 1953. Relative Permeability Calculation From Size Distribution Data. Trans.Am.Inst.Min.Metall.Pet.Eng. 198: 71-78. Caputo JG, Stepanyants YA. 2007. Front Solutions of Richard’s Equation. Transp. Porous Med.Vol. 74(1): 1-20. Deptan.
2006.
Kumpulan
Istilah
Ilmu
Tanah.
http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/download/istilah.pdf. [1 Januari 2011]. Deptan. 2010. Drainase Tanah. http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id/parameter.php. [11 Februari 2011]. Dingman,
Lawrence
S.
1994.
Physical
Hydrology.
http://uregina.ca/~sauchyn/geog327/soil.html. [17 Februari 2011]. Geuzaine C, Remacle JF. 2010. Gmsh: a three-dimensional finite element mesh generator
with
built-in
pre-
and
post-processing
facilities.
http://geuz.org/gmsh/doc/texinfo/gmsh.html#Tutorial. [15 November 2010] Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo. Hendrayanto. 1999. Analysis on Spatial Variability in Hydraulic Properties of Forest Soils [Disertasi]. Kyoto: Graduate School of Agriculture, Division of Forestry and Bio-material Sciences, Kyoto University.
46
Jogiyanto HM. 1989. Teori dan Aplikasi Program Komputer Bahasa FORTRAN. Jogjakarta: Andi Offset. Jury WA, Horton R. 1946. Soil Physics. New York: John Wiley & Sons. Klute A. 1986. Water Retention: Laboratory Methods. In: Methods of Soil Analysis. Klute, A. (ed). 1188pp. Part 1. Monograph 9. American Society of Agronomy, Madison, WI. , Heermann DF. 1974. Soil Water Profile Development Under a Periodic Boundary Condition. Soil Sci. 117: 265-271. , Dircksen C. 1986. Hydraulic Conductivity and Diffusivity: Laborathory Methods. In: Methods of Soil Analysis. Klute A. (ed). 1188pp. Part 1. Monograph 9. American Society of Agronomy, Madison, WI. Kobayashi, S. 1982. [Changes in Soil Caused by Forest Clear-Cutting.][dalam bahasa Jepang]. Pedologist. 26: 150-163. Koorevaar P, Menelik G, Dirksen C. 1983. Elements of soil physics. Developments in Soil Science 13. Elsevier Science Publishers B.V., The Netherlands. 228p. Kosugi K. 1994. Three-Parameter Lognormal Distribution Model for Soil Water Retention. Water Resour.Res. 30: 891-901. . 1996. Lognormal Distribution Model for Unsaturated Soil Hydraulic Properties. Water Resour.Res. 32: 2697-2703. . 1997. A New Model to Analyze Water Retention Characteristics of Forest Soils Based on Soil Pore Radius Distribution. J.For.Res. 2: 1-8. Kubota J, Fukushima Y, Suzuki M. 1987. [Observation and Modelling of the Runoff Process on a Hillslope.][dalam bahasa Jepang dengan ringkasan bahasa Inggris]. J.Jpn.For.Soc. 69: 258-269. Kumlung A, Takeda Y. 1991. Changes of Soil Properties in Relation to Lapsed Years of Hillside Works on a granite area. J.Jpn.For.Soc. 73: 327-338. Lubis KS. 2007. Keterhantaran Hidrolik dan Permeabilitas: Kaitan, Perumusan, dan Perkembangan Pengelompokan. Medan: USU Repository. Mashimo Y. 1960. [Studies on the Physical Properties of Forest Soil and Their Relation to the Growth of Sugi (Cryptomeria japonica) and Hinoki
47
(Chamaecyparis obtusa).][dalam bahasa Jepang dengan ringkasan bahasa Inggris]. For.Soils.Jpn. 11: 1-182. Ohnuki Y, Terazono R, Ikuzawa H, Hirata I. 1994. [Distribution and Physical Properties of Surficial Soils in Minami-Meijiyama Experimental Watershed in Okinawa Island, Japan.][dalam bahasa Jepang]. J.Jpn.For.Soc. 76: 355360. Ohta T, Tsukamoto Y, Hiruna M. 1985. [The Behavior of Rainwater on a Forested Hillslope (I) The Properties of Vertical of Vertical Infiltration and the Influence of Bedrock on it.][dalam bahasa Jepang dengan ringkasan bahasa Inggris]. J.Jpn.For.Soc. 67: 311-321. Prahasta E. 2002. Sistem Informasi Geografi: Tutorial ArcView. Bandung: Penerbit Informatika. Reynold WD, Elrick DE. 2002. Constant head (tank) method: Laboratory method. p. 804-808. In Campbell et al. (Eds.). Method of Soil Analysis Part 4Physical Method. Richards LA, Fireman LA. 1943. Pressure Plate Apparatus for Measuring Moisture Sorption and Transmission by Soils. Soil Sci. 56: 395-404. . 1947. Pressure Membrane Apparatus, Construction and Use. Agric.Eng. 28: 451-454. Ross PJ, Parlange JY. 1994. Model Study of The Double-Ring Infiltrometer in Layered System. Int.Congr.Soil.Sci.Trans.7th (Madison, Wis.) I: 441-447. Sammori T, Tsuboyama Y. 1990. [Study on Method of Slope Stability Considering Infiltration Phenomenon.][dalam bahasa Jepang dengan bringkasan bahasa Inggris]. J.Jpn.Soc. Erosion Control Eng. 3(4): 14-21. Šimůnek J, Van Genuchten MTh, Šejna M. 2006. The HYDRUS Software Package for Simulating the Two- and Three-Dimensional Movement of Water, Heat, and Multiple Solutes in Variably-Saturated Media: Technical Manual Ver. 1.0. Czech Republic: PC Progress. Suzuki M. 1980. Evapotranspiration From a Small Catchment in Hilly Mountains (I): Seasonal Variations in Evapotranspiration, Rainfall Interception and Transpiration. J.Jpn.For.Soc. 62(2): 46-53.
48
. 1984. [The Properties of Base Flow Recession on Small Mountainous Watersheds (I) Numerical Analysis Using the Saturated-Unsaturated Flow Model.][dalam bahasa Jepang with English Summary]. J.Jpn.For.Soc. 66: 174-182. Takeshita K. 1985. [Some Considerations on the Relation Between Forest Soil and Control Function to River Discharge.][dalam bahasa Jepang] J.Jpn.For.Environ. 27(2): 19-26. Tani M. 1985. [Analysis of One-Dimensional, Vertical, Unsaturated Flow in Consideration of Runoff Properties of a Mountanious Watershed.][dalam bahasa Jepang dengan ringkasan bahasa Inggris]. J.Jpn.For.Soc. 67: 449460. Tsuboyama Y, Sammori T. 1989. [Numerical Simulation of Seepage in a Forested Hillslope by Finite Element Method.][dalam bahasa Jepang dengan ringkasan bahasa Inggris]. J.Jpn.Soc.Hydrol. Water Resour. 2(2): 49-56. Trisasongko BH, Shiddiq D. 2004. Pengantar Praktikum: Sistem Informasi Geografi dengan ArcView. Bogor: Dept. Ilmu Tanah IPB. Van Genuchten MTh. 1980. A Closed-Form Equation For Predicting the Hydraulic Conductivity of Unsaturated. Soils.Soil.Sci.Soc.Am.J. 44: 892898. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Wilson EM. 1969. Engineering Hydrology. London: Macmillan Press Ltd.