RISE T
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK Moh. Rosyid*)
ABSTRACT: This research covers how is the political life of Samin women. It also tries to answer what are factors which influence them to implement the traditional beliefs in their political life. The researcher uses some alternative models to undertake this research, such as ethnomethodology, ethnography, grounded, and phenomenology. The data are analyzed by using qualitative approach to understand the social activities of Samin women in Kudus in terms of general election. It is found that Samin women are very active in their political life. Their activeness are influenced by some factors such as: from theirselves, from their husbands and from the Samin leaders. Keywords: Political act, Samin’s women, Election.
A. Pendahuluan Pada esensinya manusia beragama ingin meraih kesuksesan hidup di dunia dan akhirat, kondisi lahir dan batin yang tenteram dan damai. Hal tersebut tercipta karena ajaran yang terkandung dalam agama sebagai bekal menuju pengharapan hidup ideal. Meskipun demikian, dalam tataran realitas -memegangi ajaran agama secara utuh- tak ubahnya memegang bara, sehingga sering dilepaskan oleh si pemegang. Jika agama dapat dijadikan tempat berpijak, tentunya kehidupan ini tidak terjadi konflik. Tetapi berdasarkan penelitian penulis dengan komunitas Samin Kudus memunculkan pemahaman riil bahwa kehidupannya dan keberagamaannya layak dicontoh, tidak sebagaimana anggapan publik yakni komunitas yang terbelakang, instrovet, dan simbol negatif lainnya. Mereka )
Penulis adalah Dosen Jurusan Da’wah STAIN Kudus.
334
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
meyakini beragama Adam, meskipun keberagamaannya, versi pemerintah RI dikategorikan aliran kepercayaan. Hal tersebut merambah pada tataran realitas kehidupan sehari-hari, khususnya dalam praktik menjadi pemilih dalam pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan Bupati Kudus (pilbup tahun 2008), pemilihan Gubernur Jateng (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009), dan pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun 2009). Perolehan data awal yang digali penulis mereka berpegang teguh dengan prinsip ajarannya, seperti, ketika bersepakat menjadi pemilih salah satu calon legislatif, di lain kesempatan, mendapatkan tawaran oleh calon legislatif lainnya, ia menolak karena merasa telah berjanji dengan caleg pertama, meskipun komunitas Samin tersebut diteror secara psikis oleh caleg kedua. Begitu pula dalam pemilihan Bupati Kab.Kudus dan Gubernur Jawa Tengah tahun 2008, mereka satu komando yang dimotori oleh tokohnya yang didominasi merasa mendapatkan kepercayaan pihak lain (siapa saja dianggap saudara) dengan datang langsung ke rumahnya, mengungkapkan keinginannya sebagai pemilih, bukan karena money politic. Hal tersebut sebagai bentuk etika berpolitik praktis imbas keberagamaan lokalnya. Penelitian ini akan meneliti kiprah perempuan Samin Kudus dalam berpolitik karena perempuan baik dalam komunitas Samin maupun non-Samin dalam konteks masyarakat tradisional (dianggap) tidak responsif terhadap kebijakan negara karena pada umumnya hidupnya tergantung ’instruksi suami’. Terdapat tiga permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimanakah praktik berpolitik bagi perempuan Samin Kudus? (2) Faktor apakah yang mengendalikan diri komunitas Samin dalam memegangi prinsip leluhurnya dan diaplikasikan dalam praktik politik?, (3) Bagaimanakah respon pemerintah dan lingkungan terhadap perilaku politik komunitas Samin Kudus? Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perilaku politik perempuan dalam masyarakat Samin Kudus, untuk mendalami faktor yang mengendalikan diri komunitas Samin dalam memegangi prinsip leluhurnya dan diaplikasikan dalam praktik politik, dan untuk memahami respon pemerintah dan lingkungan terhadap perilaku politik komunitas Samin Kudus. Untuk memotret perilaku politik perempuan Samin Kudus, penelitian ini akan mendasrakan pada konsep politik
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
dan karakteristik masyarakat Samin.
1. Konsep Politik Menurut Budiardjo (1992) konsep pokok politik meliputi negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, dan alokasi (kekuasaan), sedangkan menurut Gani (1987), obyek politik meliputi negara, kekuasaan, pemerintahan, fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi masyarakat (Eko, 2008:60). Dalam naskah ini terfokus kegiatan politik praktis perempuan Samin Kudus berupa pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009 yang lalu), dan pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun 2009).
2. Masyarakat Samin Untuk mendalami keberadaan masyarakat Samin Kudus, perlu membahas awal munculnya istilah Samin, karakter aktivitas, prinsip ajaran dan prinsip hidup, dan faktor kemunculan dan penyebaran Samin di Kota Kudus.
a. Awal Munculnya Gerakan Samin Sejarah munculnya gerakan Samin pada tahun 1890-an, menurut antropolog Amrih Widodo, merupakan fenomena sosial yang tertua di seluruh Asia Tenggara, sebagai gerakan petani-protonasionalisme yang semakin mekar akibat ditancapkannya cengkeraman kekuasaan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19 (Kompas, 1/8/2008). Gerakan Samin pada esensinya gerakan perlawanan petani terhadap kebijakan Belanda yang menindas rakyat kecil, sehingga keberadaannya pun menyimpan hipotesa: pertama, menurut Soerjanto (2003:51) akibat merosotnya kewibawaan penguasa pribumi di era penjajahan Belanda berbentuk ritualisme, mistisisme, dan isolasi diri, Kedua, bentuk pertentangan terhadap penjajah Belanda dengan menolak membayar pajak karena pajak untuk penjajah, bukan untuk bangsa pribumi dan gerakannya disebut “sirep” yakni gerakan tanpa bersenjata karena tidak ingin terjadi pertumpahan nyawa, tidak ingin terjadi perseteruan fisik, dan dengan cara sabar (Kardi, 1996:1), Ketiga, tahun 1840 melawan penjajah dengan
335
336
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
cara ekspresif membuat pasukan (gerombolan), merampok warga pribumi kaya karena mengikuti penjajah, untuk dibagikan pada warga pribumi miskin, menamakan dirinya “Tiyang Sami Amin”, Keempat, gerakan pertempuran fisik mengumpulkan pemuda dengan ilmu kanuragan, ilmu kekebalan, dan olahbudi untuk mengusir penjajah (Kardi,1996:2), Kelima, oleh Belanda semula dianggap sebagai ajaran kebatinan embrio munculnya agama baru, dan keenam, faktor tergesernya status sosial kalangan pribumi akibat penerapan pajak dan penyerahan hasil pertanian pada penjajah Belanda sehingga muncul reaksi emosional untuk melawan (Faturrahman, 1998:20).
b. Awal Munculnya Istilah Samin Terdapat beberapa versi istilah Samin, pertama, sebagai kata yang memiliki pengertian/bermakna “sama” yakni bersama-sama membela negara melawan penjajah Belanda, kedua, diilhami nama tokohnya Samin Surosentiko atau Raden Surowidjojo (nama ketika tua), Raden Surontiko atau Raden Suratmoko (nama kecil), putra Bupati Tulungagung. Nama Samin bermakna: “sami-sami amin” mempunyai arti: jika semua setuju maka dianggap sah (sama) sebagai bentuk dukungan dari rakyat (Kardi, 1996:2), ketiga, Samin bermakna Sami Wonge (sama orangnya) maksudnya, kita bersaudara diilhami dari prinsip hidupnya, keempat, nama Suku di Jateng, antara lain Samin, Jawa, Karimun, dan Kangean (Sigar, 1998:1), kelima, Samin atau Saminisme adalah anggapan orang Jawa pesisir yang hidup di daerah pinggiran (Endraswara,1999:17), dan keenam, dalam versi dongeng rakyat, kata Samin muncul sebelum Samin Surontiko ada, ketika masyarakat di lembah Sungai Bengawan Solo dari Suku Kalang yakni bekas para Brahmana, pendeta, dan sarjana Majapahit di akhir pemerintahan Brawijaya V yang menyingkir dari Majapahit (Soerjanto,2003:78), meskipun versi tersebut bertolak belakang bahwa keberadaan Samin di Bengawan Solo merupakan usaha R.Surowidjojo memperluas daerah perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1840 (Winarno, 2003:56). Istilah Samin diplesetkan masyarakat umum dengan kata ‘nyamen’ diidentikkan dengan menyalahi tradisi. Menurut masyarakat Samin, kata ‘Samin’ memiliki pengertian
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
“sama” yakni bila semua anak cucu dapat bersama-sama bersatu membela negara dan menentang penjajah, maka diperoleh kesejahteraan (Kardi, 1996:1). Istilah Samin digeser pengikutnya, dengan asumsi istilah tersebut bertendensi negatif, sehingga kelompok Samin menamakan diri Sedulur Sikep dilatarbelakangi pertimbangan, pertama, mendapat tekanan dari penjajah Belanda, dipimpin seorang petani, Ki Samin Surosentiko (Raden Kohar) semula pujangga Jawa pesisiran pasca-Ronggowarsito menyamar sebagai petani menghimpun kekuatan melawan Belanda. Pada tahun 1890 mengembangkan ajaran Samin di Desa Klopodhuwur, Blora, Jawa Tengah dan pada tahun 1905 setelah banyaknya pengikut, mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Namun pada tahun 1907 Ki Samin Surosentiko diculik Belanda dibawa ke Rembang beserta delapan pengikutnya selanjutnya dibuang di Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat dan wafat pada tahun 1914(sebagai tawanan) (Dhewanti, 2004:124). Dengan action itulah, istilah Samin dianggap kelompok pembangkang oleh Belanda dan meluas pada masyarakat umum. Agar image negatif tersebut tidak menempel pada generasi sekarang ini, penggantian julukan dipandang penting. Kedua, julukan yang diberikan oleh aparat desa di wilayah Blora bagian selatan dan wilayah Bojonegoro pada tahun 1903-1905 (sebagai embrio Samin) karena tindakan Samin yang menentang aparat desa (di era penjajahan Belanda) dengan cara tidak membayar pajak dan memisahkan diri dengan masyarakat umum (Faturrahman, 2003), dengan penolakan itulah muncul kata nyamin, ketiga, sebagai wujud simbolisasi penamaan diri dengan filosofi bahwa munculnya kelahiran-kehidupan manusia berawal dari proses “sikep” atau berdekapan (Jawa: bentuk hubungan seksual suami-istri) atau proses menanak nasi secara tradisional adalah melalui proses “nyikep”, dengan nasi dapat dijadikan modal mempertahankan kehidupan, dan keempat, menurut analisis seorang antropolog, Amrih Widodo, kata ‘sikep’ merupakan cara melawan atau menghindari penamaan dengan kata ‘Samin’ akibat konotasi negatif yang dilekatkan pada kata tersebut (Samin) selama bertahun-tahun, terutama ketika wacana Saminisme makin dipisahkan dari semangat gerakan perlawanan petani. Pemasungan kata ‘Samin’ dan ‘Saminisme’ dari konteks sejarah perlawanan merupakan dampak kebijakan politik
337
338
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
kebudayaan dan hegemoni developmentalisme pada rezim Orde Baru (Kompas,1/8/2008).
c. Karakter Aktivitas Karakter aktivitas yang dilakukan seorang Samin dipilah, pertama, Samin Sangkak; masyarakat Samin yang jika berinteraksi dengan pihak lain dalam memberikan jawaban menggunakan kirotoboso. Misalnya: teko ngendi, dijawab: teko mburi (dari mana?, dijawab: dari belakang). Lungo ngendi, dijawab: lungo ngarep (dari mana?, dijawab: ke depan). Kedua, Samin Ampeng-ampeng atau Samin Grogol; yakni mengaku Samin, perilakunya tidak sebagaimana ajaran Samin atau jika berbicara seperti Samin (sangkak) perilakunya tidak seperti Samin sejati. Ketiga, Samin Samiroto, mengaku Samin, akan tetapi serba bisa, menjadi Samin sebenarnya sekaligus dapat juga mengikuti adat non-Samin, dan keempat, Samin Sejati atau dlejet; Samin yang berpegang pada prinsip Samin sebenarnya (Rosyid, 2008). Dalam konteks masa lalu, karakter tersebut bentuk perlawanan terhadap penjajah Belanda. Keberadaan warga Samin dalam berinteraksi dengan warga non-Samin menggunakan satu atau ketiga karakter aktivitas tersebut yang dilatarbelakangi pola pandang dirinya terhadap kemajuan era. Di antara pengikut Samin jika mengetahui sejawatnya melaksanakan satu di antara keempat aktivitas tersebut, mereka berujar tanggung dulur ora tanggung karep (Rosyid, 2008).
d. Prinsip Ajaran Samin Kudus Samin sebagai pegangan dan keyakinan hidup memiliki prinsip ajaran berupa prinsip dasar, prinsip pantangan (larangan) dasar, dan prinsip hidup.
1) Prinsip Dasar Ajaran Samin Kudus Ajaran Samin mempunyai enam prinsip dasar dalam beretika berupa pantangan untuk tidak Drengki; membuat fitnah, Srei; serakah, Panasten;mudah tersinggung atau membenci sesama, Dawen; mendakwa tanpa bukti, Kemeren; iri hati/syirik, keinginan untuk memiliki barang yang dimiliki orang lain, Nyiyo Marang Sepodo;berbuat nista
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
terhadap sesama penghuni alam, Bejok reyot iku dulure, waton menungso tur gelem di ndaku sedulur (menyia-nyiakan orang lain tidak boleh, cacat seperti apapun, asal manusia adalah saudara jika mau dijadikan saudara). Sedangkan lima pantangan dasar dalam berinteraksi meliputi bedok; menuduh, colong; mencuri, pethil; mengambil barang (barang yang masih menyatu dengan alam atau masih melekat dengan sumber kehidupannya) misalnya: sayur-mayur ketika masih di ladang, Jumput; mengambil barang (barang yang telah menjadi komoditas di pasar) misalnya: beras, hewan piaraan, dan kebutuhan hidup lainnya, nemu Wae Ora Keno; menemukan menjadi pantangan (Rosyid, 2008). Adapun ajaran dasar dalam berprinsip diri meliputi: kudu weruh te-e dewe, lugu, mligi,lan rukun (Rosyid, 2008). Kudu Weruh the-e dhewe; harus memahami barang yang dimilikinya dan tidak memanfaatkan milik orang lain. Maksudnya pantangan bagi Samin untuk memanfaatkan hak milik orang lain, baik sengaja atau tidak sengaja dalam menggunakannya. Lugu; yakni bila mengadakan perjanjian, transaksi ataupun kesediaan dengan pihak lain; jika sanggup mengatakan ya, jika tidak sanggup atau ragu mengatakan tidak. Hal ini menggambarkan Samin tidak mengenal istilah kira-kira (perkiraan kesanggupan). Kecuali jika pada saat menepati janji menghadapi kendala yang tidak diduga, seperti sakit. Mligi; taat pada aturan yang ada berupa prinsip beretika dan prinsip berinteraksi. Doktrin yang dipegang oleh Samin melalui indoktrinasi prinsip dasar mligi, sehingga ajaran dan prinsip pantangan dasarnya senantiasa dipegang erat sebagai bukti keseriusan dan ketaatan memegangi ajarannya. Di antara aturan yang tidak boleh dilanggar adalah judi karena dianggap sebagai faktor pemicu menurunnya semangat kerja dan hubungan seks bebas karena bukan haknya. Rukun dengan siapa saja, sehingga menumbuhkan solidaritas yang tinggi oleh kelompok Samin terhadap siapa saja yang dijumpai. Ajaran dasar dalam berprinsip itulah yang membedakan dengan komunitas non-Samin dalam berpartisipasi politik, sebagaimana data awal yang digali penulis dari obyek penelitian.
339
340
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
2) Pantangan Dasar Ajaran Samin Kudus Adapun lima pantangan dasar ajaran Samin meliputi: tidak boleh mendidik dengan pendidikan formal, tidak boleh bercelana panjang, tidak boleh berpeci, tidak diperbolehkan berdagang, dan tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu. Pertama, tidak diperbolehkan mendidik anak melalui pendidikan formal (sekolah), anak hanya dibekali pendidikan informal (pendidikan yang dilakukan kedua orangtuanya sendiri dalam rumah tangganya) bermaterikan prinsip dasar beretika. Tidak aktif pada pendidikan formal, menurut analisis penulis bertujuan jika melaksanakan pendidikan formal, maka merangsang anak untuk membaca dan menulis, padahal kedua kemampuan itu mengarahkan dan merangsang anak untuk memenuhi syarat formal menjadi pekerja di luar pertanian, imbasnya anak akan bekerja di luar pantauan orang tua dan timbul suatu harapan untuk melepaskan ikatan kekeluargaan dan jika melaksanakan pendidikan formal berdampak komunikasi dengan masyarakat umum dengan luas, maka anak akan mudah terangsang dengan budaya yang selama ini dijauhi oleh Samin, misalnya, nikah dengan orang selain pengikut Samin. Kedua, tidak diperbolehkan bercelana panjang, hal ini untuk membedakan asesori pakaian yang dipakai oleh Belanda dengan pengikut Samin yakni mengenakan udeng (ikat kepala), suwal/tokong (celana pendek tepat di bawah lutut), bhebhet (sarung), pakaian berupa baju atau kaos sebagaimana masyarakat umumnya, dan warna pakaian kebesarannya adalah hitam ketika memenuhi acara pirukunan. Ketiga, tidak diperbolehkan berpeci, hal ini dikarenakan pengikut Samin mempunyai identitas pakaian (asesoris) yang melekat pada kepala berupa udeng (iket kepala) yang dipakai ketika acara resmi maupun menghadiri undangan tetangga yang bukan pengikut Samin. Jika masyarakat Samin berada di sawah mereka mengenakan penutup kepala berupa caping atau topi pet lazimnya masyarakat petani Kudus (nonSamin). Keempat, tidak diperbolehkan berdagang, hal ini mengandung pesan bahwa seseorang yang berdagang akan meraih untung/hasil. Laba yang diperoleh dalam proses penjualan tersebut versi Samin dianggap merugikan pihak lain. Apabila terpaksa melakukan transaksi penjualan, maka harga harus lebih rendah dibanding ketika belanja
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
semula, dan kelima, tidak diperbolehkan beristri lebih dari satu, menurutnya membuka kesempatan terjadi konflik keluarga, sehingga dijauhi. Meskipun prinsip dan pantangan dasar ajaran Samin secara normatif adalah ajaran ideal, tetapi dalam tataran realitas, bukan berarti orang (yang mengaku) Samin dapat selalu melaksanakan secara utuh dilatarbelakangi oleh diri manusia yang dibekali nafsu duniawiah yang kadangkala menafikan ajaran secara utuh. Hal ini terlihat dalam bentuk tipologi Samin meliputi Samin Sangkak; masyarakat Samin jika berinteraksi menggunakan kirotoboso. Misalnya: teko ngendi, dijawab: teko mburi (dari mana?, dijawab: dari belakang), lungo ngendi, dijawab: lungo ngarep (ke mana?, dijawab: ke depan), Samin Ampeng-ampeng, mengaku Samin, perilakunya tidak Samin atau jika berbicara seperti Samin (sangkak) perilakunya tidak seperti Samin sejati, Samin Sejati/ dlejet; Samin berpegang prinsip seutuhnya, Samin Samiroto, Samin yang memudahkan prinsip, ingin mengikuti budaya luar Samin (Rosyid, 2008).
3) Prinsip Hidup SAMIN Kudus Prinsip dasar hidup yang dipegangi masyarakat Samin terdapat tiga fondasi pokok meliputi seger waras (sehat sentosa), rukun, dan becik-apek sak rinane sak wengine. Pertama, Seger waras (sehat sentosa); Prinsip ini sangat tinggi nilainya dalam takaran kesejahteraan hidup manusia, karena tanpa adanya aspek sehat sentosa hidup ini tidak sempurna dan tidak akan mencapai sejahtera. Karena sehat sentosa adalah kebutuhan pokok yang tidak dapat ditawar dengan materi lain. Hal ini peneliti saksikan ketika bertandang ke rumah Samin selalu menjadi bahan pertanyaan pertama adalah kondisi kesehatan peneliti beserta keluarga peneliti. Kedatangan peneliti (diharapkan) untuk menengok kesehatan keluarga Samin dan akhirnya saling mendoakan. Kedua, rukun merupakan aktivitas kedua yang dijadikan prinsip hidup Samin setelah menggapai sehat sentosa, karena rukun pun merupakan kebutuhan asasi yang sangat penting untuk menggapai kebahagiaan individu dan masyarakat bahkan skala internasional. Hal ini pun yang dijadikan argumen Samin untuk berkumpul dalam satu lingkungan rumah tangga, dan ketiga, Becik- apek sak rinane sak wengine (baik, di
341
342
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
saat siang dan malam hari). Dengan demikian, prinsip ajaran, prinsip hidup, dan pantangan dasar Samin tidak melarang berpolitik, bahkan keikutsertaannya dalam berpolitik (pemilu) sejak pertama kali pemilu diadakan hingga kini.
4) Faktor Kemunculan Samin di Wilayah Kudus Munculnya masyarakat Samin di Kudus karena beberapa faktor, Pertama, secara geografis berdekatan dengan wilayah Kab. Pati yang menjadi basis berkembangnya Samin selain di Blora, misalnya Dukuh Bombong, Ngawen, Galiran, dan Sukolilo hingga kini. Kedua, karena faktor geografis desa ’Samin’ berada di pedesaan, sesuai “teori gelombang dalam bejana” semakin jauh dari titik gelombang, getaran gelombang makin tipis dan mengecil, sehingga imbas pembangunan “sedikit” terbatas dibandingkan dengan wilayah yang dekat dengan pemerintahan. Meskipun akhir tahun 2009, pembangunan infrastruktur desa (jembatan) kian nampak di Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo, Undaan, Kudus. Hal ini sederap dua bentuk sindrom pedesaan (rural syndrome) yakni (a) sindrom kemiskinan karena produktivitas rendah, adanya pengangguran, banyaknya penduduk yang tuna-tanah, kurang gizi, dan banyaknya buta huruf (b) sindrom inertia berupa passivisme, fatalisme, serba patuh, dan ketergantungan (interdependence). Sindrom tersebut akibat terbatasnya pemanfaatan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA), adanya feodalisme, sikap dan sistem kepercayaan yang masih berakar pada magi (Kartodirjo, 1996:74). Meskipun desa memiliki dua potensi yakni (a) unsur sumber daya sosial budaya berupa tingginya kepercayaan pada pimpinan, fanatisme ideologi, dan kokohnya memegang lembaga desa dan (b) sumber daya manusiawi di pedesaan berupa tenaga (energy) yang all round (siap pakai), loyal pada pimpinan, berorganisasi dengan kokoh, tersusunnya lembaga desa yang valid, tersedianya keterampilan alami (latin), dan tersedianya teknologi (yang belum dikelola) (Kartodirjo, 1994:163). Sumber daya tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal karena kepemimpinan di desa jauh dari nuansa berpikir prospektif ke depan karena dominasi lingkungan pedesaan yang tergantung pada keramahan pertanian. Ketiga, pembangunan bidang
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
keagamaan (agama ’pancasila’) yang kurang maksimal di kampung ‘Samin’, jika dibandingkan wilayah Kudus yang memiliki beberapa lembaga keagamaan (pesantren) dan terdapat beberapa tokoh kharismatik yang membidangi ilmu agama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cermin (Central Riset dan Manajemen Informasi) Kudus (2005) bahwa di Kota Kudus terdapat 86 pondok pesantren dengan tipologi keilmuan pesantren. Tetapi karena keterbatasan sarana dan kiprah agamawan di desa ’Samin’, hal tersebut mendukung berkembangnya “budaya dan agama Samin” karena di desa tersebut tidak terdapat satu pun pondok pesantren, dan keempat, kehidupan masyarakat di sekitar warga Samin berada adalah permisif, maksudnya, menerima (responsif) jika terdapat sekte atau komunitas lain asalkan tidak mengganggu kenyamanan sosial (Rosyid, 2008).
5) Penyebaran Samin Kudus Benang merah penghubung dan penyebar ajaran Samin di Kudus tidak terlepas dari kiprah Bapak Sosar (warga Desa Kutuk), Bapak Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso), Bpk. Amat Ngargono (warga Duku Mijen, Desa Bulungcangkring), dan Bapak Proyongaden (warga Desa Larekrejo) dengan pembawa ajaran Samin masa lalu yang dilatarbelakangi faktor pertemanan. Penyebaran ajaran Samin di Kudus terdapat beberapa versi pertama, Samin Kudus berasal dari Desa Klopodhuwur Kab.Blora, Jateng, tahun 1890, ketika Sosar, Radiwongso, Amat Ngargono, dan Bapak Proyongaden bertemu dengan Bpk. Surondiko. Meskipun sumber sejarah tidak menyajikan tahun kedatangan dan penyebarannya. Kedua, ajaran Samin berasal dari Desa Randublatung, Blora, Jawa Tengah yang dimotori oleh Surowijoyo, diteruskan putranya Surosentiko bertemu dengan Sosar (warga Desa Kutuk), Radiwongso (warga Dukuh Kaliyoso Desa Karangrowo), Proyongaden (warga Desa Larekrejo), dan Amat Ngargo (warga Dukuh Mijen, Desa Bulungcangkring), sehingga terjadi komunikasi dan memunculkan Samin di Kudus, Ketiga, menurut analisis Soerjanto (2003:19) ajaran Samin datang di Desa Kutuk, Kudus melalui Ki Samin Surowijoyo dari Randublatung, Blora, Jateng, membawa kitab “Serat Jamus Kalimasada” berbahasa Jawa kuno berbentuk sekar macapat dan prosa (gancaran).
343
344
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Meskipun sumber ini tidak melengkapi data siapakah personil yang membawa kitab tersebut, dan keempat, ekspansi yang dilakukan oleh R.Kohar untuk membangun pusat perlawanan terhadap Belanda (Winarno,2003:57), dan kelima, ajaran Samin di Kudus tahun 1916 dibawa oleh pengikut Samin Surosentiko (Suripan, 1996:16) diawali kegagalan ekspansi di daerah Tuban (Faturrahman, 2003:19). Hingga sekarang, ajaran Samin di Desa Kutuk diteruskan Bpk. Sukari, di Dukuh Kaliyoso sebagai sesepuh adalah Bapak Wargono yang meneruskan ketokohan Bpk. Sumar, dan di Desa Larekrejo sebagai sesepuhnya Bapak Santoso yang meneruskan ketokohan Bpk.Sakam yang wafat tahun 2006. Jalur penerimaan ajaran Samin di Desa Larekrejo, Kec. Undaan. Kab. Kudus kiprah Surosentiko, Surokidin, Proyongaden, yang diteruskan oleh Towijoyo, Kastohadi, dan Kasrani. Tidak sebagaimana silsilah yang dibuat penulis dalam buku Samin Kudus Bersahaja di tengah Asketisme Lokal (2008) yakni Suronggono, Surosentiko, Surokidin, Proyongaden, dan diteruskan oleh Towijoyo, Kastohadi, dan Kasrani.
B. Metode Penelitian Berdasarkan bidang keilmuan dikategorikan penelitian yang berobjekkan fenomena sosial-budaya (masyarakat) Samin Kudus yang merespon kebijakan pemerintah dalam ikut serta pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009 yang lalu), dan pemilu presiden. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah kualitatif karena memahami perilaku sosial berdasarkan perspektif masyarakat Samin Kudus dalam memenuhi hak asasi di bidang politik praktis yakni pemilu. Menurut Nana (2006:53) analisis kualitatif dipilah menjadi dua yakni interaktif dan noninteraktif. Interaktif meliputi etnografis, historis, fenomenologis, studi kasus, teori dasar, dan studi kritis, sedangkan noninteraktif meliputi analisis konsep, analisis kebijakan, dan analisis historis. Dalam naskah ini terfokus pada interaktif etnografis.
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
Penelitian ini dikategorikan penelitian terapan dengan tujuan memahami peran serta masyarakat Samin Kudus di bidang pemilihan umum. Adapun metode penelitian ini terpetakan atas ciri khas penelitian budaya, penentuan latar penelitian, pemilihan lokus, strategi pengumpulan data, teknik penentuan informan, dan satuan kajian (unit analisis), teknik analisis data, keterandalan dan kesahihan data.
1. Ciri Khas Penelitian Budaya Penelitian ini mengulas ciri khas penelitian budaya karena sebagian penelitian ini mengulas seputar budaya masyarakat Samin Kudus yang menjadi sikap politik Samin. Menurut Featherstone dalam Irwan (1999) terdapat tiga konteks kebudayaan yang perlu diperhatikan oleh peneliti budaya yakni produksi kebudayaan, sociogenesis kebudayaan, dan psicho-genesis. Pertama, produksi kebudayaan diasumsikan dua, pertimbangan pelaku budaya dan ketertarikan. Jika kebudayaan mendapatkan respon dari pelaku budaya, maka muncul kebudayaan baru, jika kebudayaan mendapatkan daya tarik, muncul inovasi. Kedua, socio-genesis kebudayaan bahwa kebudayaan akan terikat oleh lingkup (boundary) yang mengitarinya. Lingkup sosial akan menciptakan produk budaya yang lain, karena di antara unsur sosial budaya tersebut merasa saling terkait, bahkan saling ketergantungan kepentingan. Ketiga, psichogenesis kebudayaan. Kebudayaan yang tumbuh secara alamiah karena memenuhi kebutuhan batin manusia yang kadangkala jauh dari kepentingan materiil (Endraswara, 2006:24). Dalam konteks masyarakat Samin Kudus, faktor psikogenesis dominan karena kebudayaan masyarakat Samin Kudus tumbuh alamiah didominasi kebutuhan batin yakni memenuhi prinsip leluhurnya. Dalam analisis Endraswara (2006:78) ciri khas penelitian kebudayaan adalah (i) latar penelitian biasanya spesifik dengan mengungkapkan permasalahan unik dan tertentu, (ii) biasanya penelitian budaya mengarah pada konteks lapangan (field research), (iii) rancangan penelitian lentur yang sangat ditentukan oleh kondisi lapangan (data), (iv) data dianalisis sejak penggalian data hingga analisis data, (v) penelitiannya bersifat sementara, mudah berubah, dan sangat lokatif, (vi) penelitian budaya mencari trasferbalitas antarfenomena bukan mencari
345
346
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
generalisasi atau rumusan umum, dan (vii) penelitiannya bersifat holistik, integratif, dan interaktif, bukan parsial. Masyarakat Samin Kudus dijadikan penelitian budaya memenuhi ciri khas penelitian budaya sebagaimana analisis Endraswara yakni dalam tataran spesifikasi dan konteks lapangan, mengungkapkan permasalahan tertentu yakni keaktifan masyarakat Samin dalam mengikuti pelaksanaan pemilu yang benar-benar ngugemi prinsip keSaminannya, sehingga rancangan penelitian ini lentur karena ditentukan kondisi lapangan (data) dan peneliti menggali dan menganalisisnya secara utuh. Penelitian ini mengalami perubahan dalam hal menggali data, maksudnya semakin banyak data dan tajamnya analisis, besar peluangnya diperoleh hasil penelitian yang lebih baik. Adapun penelitian ini mencari transferbalitas antarfenomena yang bersifat holistik, integratif, dan interaktif dengan berbagai teori yang ada dan penggalian data secara utuh.
2. Ciri Khas Penelitian Politik Berdasarkan klasifikasi Unesco, ruang lingkup kajian politik meliputi teori politik, lembaga politik, partai politik, dan hubungan perpolitikan (Eko, 2008:62). Dengan demikian, ciri khas penelitian politik adalah jika satu klasifikasi kajian politik tersebut menjadi obyek telaah. Dalam naskah ini terfokus pada telaah hubungan politik antara pelaku politik dengan pemilih (partai atau tokoh) politik. Pelaku politik berupa partai politik dan tokoh (penguasa) politik, sedangkan pemilih (politik) nya adalah masyarakat Samin Kudus. Menurut Eko (2008:63) pendekatan dalam kajian politik terpilah dalam tiga hal, tradisional (historis, legalistis, dan institusional), behavioral (tingkah laku pelaku politik), dan postbehavioral (kajian keilmuan politik). Dalam naskah ini terfokus pada tingkah laku pemilih (perempuan Samin Kudus).
3. Penentuan Latar Penelitian 1) Kerangka Teoretik Pada dasarnya desain penelitian budaya menurut Endraswara (2006:97 terdapat beberapa alternatif yakni
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
etnometodologi (analisis wacana), etnografi, grounded, dan fenomenologi. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori grounded, etnografi, dan fenomenologi.
(a) Teori Grounded Teori grounded berawal dari asumsi bahwa data diangkat dari empiri, bukan apriori. Oleh sebab itu, bangunan teori yang diperoleh bercorak alami sesuai kondisi lapangan penelitian. Adapun langkah yang dilakukan adalah memahami realita sosial yang dihadapi, menggali pertanyaan dasar tentang realitas, dan merekonstruksi data dengan hipotesa baru yang dikembangkan menjadi tesa baru (Sudjarwo, 2001:30 dan 61). Menurut Spradley, teori grounded mengembangkan teori berdasarkan data empirideskriptif terhadap fenomena kebudayaan (1997:14). Sedangkan menurut Mudzhar (1998:47) penelitian yang menggunakan teori grounded pada dasarnya dengan metode penelitian sosial-budaya bertujuan menemukan teori melalui data yang diperoleh secara sistematik. Metode yang digunakan analisis komparatif konstan dengan ciri menemukan atau merumuskan teori, adanya data sistematik, dan menggunakan analisis komparatif konstan. Harapan dan pertimbangan menggunakan teori grounded adalah menilai kegunaan teori dari segi perumusan, keruntutan logika, kejelasan, kehematan, kepadatan, dan keutuhan dalam operasional penelitian itu sendiri. Sedangkan teori yang ada terbangun pada akhir penelitian. Sedangkan Muhadjir (1996:86) beranggapan para ahli ilmu sosial berupaya menemukan teori berdasarkan data empiris, bukan membangun teori secara deduktif-logis. Teori itu disebut grounded theory dan model penelitiannya disebut grounded research salah satu model metode penelitian berupaya mencari sosok kualitatif melepaskan pola pikir kuantitatif-matematik. Penelitian ini berpedoman pada logika konsisten, masalahnya jelas, efesien, dan integratif. Berbeda dengan Endraswara (2006:99), perangkat penelitian menggunakan kerangka teori grounded meliputi (i) tipe pertanyaan penelitian berupa proses budaya yang terkait dengan perubahan budaya dari waktu ke waktu, (ii) menggunakan paradigma sosiologi dan simbolik interaksionalisme (sebagai alternatif), (iii) metode perolehan data dengan wawancara, (iv) sumber data berupa partisipasi observasi atau catatan harian, (v) informan/partisipannya anggota komunitas budaya, (vi)
347
348
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
ukuran sampelnya 30-50 informan, (vii) metode pengumpulan datanya dengan wawancara in-depth atau observasi dan hasil yang diharapkan berupa deskripsi proses budaya. Penelitian ini ‘mengindahkan’ teori grounded dengan pertimbangan diperoleh hasil penelitian yang ideal berpegang konsepsi teori grounded.
(b) Teori Etnografi Dalam analisis B. Tedlock (2000:455) etnografi involves an on going attempt to place specific encounters, events, and understandings into a fuller, more meaningful context. It is not simply the production of new information or data are transformed into a written or visual form. Sedangkan menurut Endraswara (2006: 98-99) perangkat teori etnografi meliputi sembilan hal yakni (i) tipe pertanyaan berupa deskripsi nilai dan kepercayaan suatu kelompok budaya, (ii) menggunakan paradigma budaya, (iii) metode pemerolehan data dengan wawancara tidak terstruktur, observasi-partisipasi, dan catatan lapangan, (iv) dengan sumber data dukung lainnya seperti: dokumen, laporan, fotografi, dan diagram hubungan sosial, (v) fokus pertanyaan (bagaimana perasaan dan kesan seorang dalam sebuah budaya), (vi) partisipan/informan berupa pelaku budaya di masyarakat, (vii) ukuran sampel kurang lebih 30-50 informan/partisipan, (viii) metode pengumpulan data berupa wawancara in-depth (mendalam) dan observasi partisipan (pengamatan terlibat), dan (ix) tipe hasil diharapkan berupa deskripsi terhadap fenomena budaya yang sedang, telah, dan (mungkin) akan terjadi. Teori etnografi menurut Spradley (1997:5) berupaya memerhatikan makna (hasil) tindakan dan fenomena yang dilakukan individu sebagai objek penelitian. Menurut Sudikan (2001:86) penelitian etnografi adalah aktivitas pengumpulan data dilakukan secara sistematik tentang cara hidup dalam berbagai aktivitas sosial berkaitan dengan berbagai kebudayaan mengkaji aspek mendasar meliputi apa yang mereka lakukan, apa yang mereka ketahui, dan kendala apa yang mereka gunakan dalam mensikapi kehidupan. Adapun Muhadjir (1996:94) beranggapan penelitian etnografi terkait dunia antropologi yang mempelajari peristiwa budaya dan menyajikan pandangan hidup objek studinya. Model ini mendeskripsikan tata cara berpikir, hidup, berperilaku, dengan metode mendeskripsikan kehidupan
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
masyarakat sebagaimana adanya. Sedangkan dimensi etnografi meliputi induksi-deduktif, generatif-verifikatif, dan konstruktifenumeratif. Dimensi induktif diharapkan dapat menemukan teori yang menjelaskan data, sedangkan dimensi deduktif mengharapkan data yang mendukung teori. Dimensi generatif mengarah penemuan konstruktif dan proposisi dengan data eviden, sedangkan dimensi verifikatif adalah mencari evidensi agar hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas dan universal. Pada dimensi konstruktif mengarahkan penelitian untuk menemukan konstruksi atau kategori melalui analisis dan proses abstraksi. Sedangkan dimensi enumeratif merumuskan atau menjabarkan unit analisis. Adapun sampel dalam studi etnografi tidak berdasarkan probabilitas dengan prinsip acak (random), tetapi bertahap karena hasil penelitian memiliki komparabilitas (dapat dibandingkan) dan transbilitas (dapat diterjemahkan) dengan penelitian lain. Dalam analisis Muhadjir (1996:98) dasar pijakan penelitian dengan metode etnografi menurut Robert C. Bogdan (1982) terdapat empat dasar yang dipilih jika berposisi sebagai peneliti (1) jadilah praktisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan diri peneliti, (2) pilihlah lokus yang agak asing agar dapat memosisikan diri antara diri sebagai peneliti atau sebagai warga masyarakat, (3) tidak berpegang secara kaku terhadap rencana dan perlu fleksibel terhadap penelitian terdahulu, dan (4) ambillah topik tertentu yang spesifik. Hal itu diperkuat dalam analisis Muhadjir (1996:126) tentang desain penelitian etnografi dengan model multiple site studies yakni pengembangan teori bermodalkan pengalaman berpikir teoretik dan kecakapan menghimpun data untuk mendukung konsep. Metode etnografi kategori metode naturalistik karena membangun kredibilitas dengan cara (i) menguji terpercayanya temuan, (b) audiensi dengan para peneliti lain untuk mengatasi biasnya hasil penelitian, (c) analisis kasus negatif yang berfungsi merevisi hipotesis, (d) menguji hasil temuan tentatif dan penafsiran dengan perangkat elektronik atau lainnya, dan (e) menguji temuan kelompok dari mana diperoleh data. Sedangkan Guba, mengetengahkan teknik menguji terpercayanya hasil penelitian dengan (i) memperpanjang waktu tinggal di lokasi, dengan tujuan mempelajari budayanya, menguji informasi
349
350
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
yang salah, dan menumbuhkan kepercayaan, (ii) dalam mengobservasi lebih tekun, dan (iii) menguji dengan cara triangulasi. Triangulasi menurut Denzin menggunakan sumber ganda, metode ganda, peneliti ganda, dan teori yang berbedabeda (Muhadjir, 1996:126).
(c) Teori Fenomenologi Teori fenomenologi menurut Muhadjir (1996:12) berasumsi bahwa objek ilmu tidak terbatas pada sesuatu yang empirik (sensual), tetapi mencakup fenomena berupa persepsi (anggapan), pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luarnya dan mengupas sesuatu yang transenden dan aposteriorik. Metode fenomenologi identik dengan metode rasionalistik yang menolak penggunaan kerangka teori sebagai langkah persiapan penelitian, tetapi mengakui kebenaran etik. Adapun langkah metode fenomenologi menuntut bersatunya peneliti (subjek) dengan objek dengan model pendalaman/penghayatan. dengan ciri logis dan etis. Kelogisan bermakna kebenaran dalam penelitian tersebut hanya mengakui kebenaran secara empirik sensual dan logis, artinya hanya mengakui kebenaran bila dapat dibuktikan secara empirikinderawi dalam konteks kausal yang dapat dilacak, sedangkan etis adalah kebenaran diakui jika bersifat empirik-etik yakni kebenaran yang berdasarkan akal budi untuk melacak, menjelaskan, dan berargumentasi.
2) Teknik Operasional a) Pemilihan Lokus Pertimbangan memilih lokus penelitian pada masyarakat Samin Kudus adalah (i) peneliti telah meneliti komunitas Samin. Belum (banyak) mengulas partisipasi di bidang politik praktis (Pemilu), (ii) peneliti hidup dan berdomisili di wilayah Kab. Kudus, diharapkan menggali dan menganalisis data diperoleh kemudahan mengakses, dan (iii) peneliti belum menemukan kajian khusus sebagaimana tertuang dalam poin (i).
b) Jenis Data Jenis data penelitian ini berpijak dari hasil pemikiran dan penelusuran dokumentasi oleh penulis berupa komitmen
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
beragama lokal masyarakat Samin Kudus kaitannya dengan keikutsertaannya dalam politik praktis berupa pemilihan kepala desa (pilkades tahun 2007), pemilihan bupati (pilbup tahun 2008), pemilihan gubernur (pilgub tahun 2008), pemilu legislatif (pilleg bulan April tahun 2009 yang lalu), dan pemilu presiden (pilpres bulan Juli tahun 2009).
4. Strategi dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan strategi etnografi. Menurut Sudikan (2001:105) strategi etnografi dilakukan dengan wawancara, pencatatan, dokumentasi, pengamatan terlibat, dan analisis antarkomponen. Pertama, Penelitian ini menggunakan wawancara informal, tidak terstruktur, terbuka, dan proses penggalian secara lisan dengan pertimbangan lebih praktis. Kedua, pencatatan hal-hal yang terjawab oleh objek penelitian berdasarkan pertanyaan peneliti, ketiga, dokumentasi; merupakan data yang bersumber dari karya yang tertulis sebagai pijakan telaah. Dalam penelitian ini difokuskan pada faktor keberagamaannya yang dikaitkan dengan respon positif dalam pemilu. Keempat, pengamatan terlibat. Dalam penelitian ini, Peneliti singah secara periodik bersama dengan komunitas Samin Kudus dengan harapan diperoleh data yang murni, dan kelima, analisis antar komponen; analisis yang dilakukan dengan tujuan mengombinasikan dan memformulasikan seluruh teknik pengumpulan data yang dilakukan secara padu. Kelima strategi pengumpulan data tersebut digunakan oleh peneliti dengan harapan diperoleh hasil analisis yang idial.
5. Sumber Data Penelitian kualitatif bertujuan memahami gejala atau fenomena sosial, kedudukan masyarakat sebagai subyek yakni masyarakat Samin Kudus ketika mengaktifkan diri dalam pelaksanaan pemilu. Sumber data tersebut dikualifikasikan berupa pertama, narasumber (informan), terdiri tokoh Samin Kudus, warga Samin Kudus secara acak yang terdistribusi di lima wilayah, dan unsur aparat desa di lokasi di mana masyarakat Samin Kudus berada. Kedua, aktivitas, berupa keaktifan masyarakat Samin Kudus dalam mengikuti pemilu, terlibat aktif sebagai tim sukses, dan pencoblosan di Tempat Pemilihan Suara (TPS). Ketiga, lokasi, lokasi di mana masyarakat Samin Kudus berada terdistribusi di lima wilayah. Sumber data
351
352
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
mengandalkan snowbolling sampling yakni optimalisasi diri peneliti dalam mendeteksi data yang diraih dalam penelitian bersumber dari informan awal dan berlanjut pada informan lainnya, dan keempat, dokumen yang diperoleh dari dokumen tertulis berupa pemberitaan media, produk perundangan, dan buku.
6. Teknik Penentuan Informan dan Satuan Kajian Informan yang dijadikan sumber penelitian adalah masyarakat Samin Kudus, tokoh masyarakat Samin Kudus, tokoh masyarakat non-Samin Kudus, unsur pemerintahan Kabupaten Kudus, masyarakat non-Samin (tetangga) Samin Kudus dan pelaku politik, seperti calon peserta pilkades, pilleg, tim sukses pilbup dan pilgub. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan diperoleh data yang utuh dan idial. Karena kelima komponen tersebut sebagai sumber diperolehnya data dalam penelitian ini. Adapun yang dijadikan unit analisis antara lain (i) ketua kelompok masyarakat Samin Kudus, (ii) masyarakat Samin Kudus secara random, (iii) unsur pemerintahan Kab. Kudus, (iv) masyarakat, khususnya yang intensitas komunikasinya dengan masyarakat Samin Kudus pada frekuensi dekat-rapat, dan (v) unsur lain sebagai penunjang-pemerkuat perolehan dan validitas data, seperti calon peserta pilkades, pilleg, tim sukses pilbup dan pilgub. Dilakukannya hal tersebut bertujuan utama diperoleh data utuh, valid, dan berkesinambungan.
7. Teknik Analisis dan Keterandalan Data Teknik analisis data menggunakan kajian etnografi, analisis riwayat hidup, dan analisis isi. Kajian etnografi bertujuan memahami aktivitas budaya masyarakat Samin Kudus dalam mengikuti pelaksanaan pemilu (Pilkades, Pilbup, Pilgub, Pilleg, dan Pilpres). Hal tersebut diharapkan dapat menemukan aspek yang melatarbelakangi ketaatannya memegangi prinsip ajaran Samin dan diaplikasikan secara utuh dalam kehidupan dan perpolitikan. Analisis Riwayat Hidup; analisis dengan tujuan memahami secara jeli pengalaman hidup informan meliputi unsur yang tersebut dalam kajian etnografi {poin di atas}. Analisis Isi (Content Analysis); untuk mengkaji dehumanisasi atas doktrin budaya dan Untuk mendapatkan data yang andal, menurut Maryaeni
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
(2005:27) dan Endraswara (2006:110) langkah yang dilakukan peneliti dengan model triangulasi (sumber data, pengumpulan data, metode, dan teori). Triangulasi Sumber Data; Langkah ini dilakukan dengan cara mencari data dari sumber sebanyakbanyaknya (terukur sesuai kebutuhan penelitian) atau dari berbagai sumber yang terlibat secara langsung kaitannya dengan topik penelitian. Triangulasi Pengumpulan Data; Hal ini dilakukan dengan cara mencari data dari berbagai sumber yang tidak berkaitan langsung dengan penelitian dengan harapan diperoleh data dukung yang bersifat memperkuat data utama. Triangulasi Metode; Triangulasi metode dilakukan dengan tujuan memperoleh variasi dan keakuratan hasil penelitian karena proses perpaduan antara observasi (pengamatan terlibat), wawancara, dokumentasi, dan lainnya. Triangulasi Teori; Triangulasi teori dilakukan dengan mengecek kevalidan dan keakuratan data bersumber dari berbagai metode berupa data mentah dalam bentuk (a) catatan lapangan, dokumentasi, dsb. (b) hasil analisis bersumber dari konsep, (c) hasil sintesis data (tafsiran, simpulan, definisi, laporan akhir), dan (d) catatan proses yang digunakan (metode, strategi, dan prosedur). Untuk memperkuat sahnya data, menurut Endraswara (2006:111) dengan mengedepankan aspek kredibilitas, transferbalitas, auditabilitas dan dependabilitas (reliabilitas), konfirmabilitas, dan triangulasi. Kredibilitas; cara mendapatkan data dengan model (i) memperpanjang alokasi waktu (sesuai tarjet waktu yang direncanakan secara maksimal) mengobservasi dengan mempertimbangkan aspek sangkil-mangkus (efektifefesien) agar mengenal responden lebih dekat-akrab dalam batas kewajaran, diharapkan mampu membuka katup pandora yang menutupi (esensi) budaya dan agamanya menjadi data penelitian yang valid dan aktual, (ii) peer debriefing dengan membicarakan materi dan permasalahan penelitian kepada pihak lain yang memiliki concent dengan materi penelitian yang digarap oleh peneliti, dan (iii) member check, pengulangan setiap persoalan jika (dimungkinkan) terdapat kesalahan, dengan forum group discus (FGD) kepada mitra peneliti dengan pertimbangan terhindar dari kesalahan data dan kesalahan lainnya. Transferbalitas; dilakukan dengan cara mencari validitas eksternal, maksudnya apakah penelitian ini dapat diterapkan atau disejajarkan dengan kasus (fenomena penelitian lain yang bermaterikan identik) untuk dicari sisi kesamaan dan perbedaan.
353
354
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Auditabilitas dan dependabilitas (reliabilitas); Cara ini ditempuh dengan tujuan memeroleh kesamaan hasil penelitian jika diadakan pengulangan (penelitian) dengan tujuan memperoleh konsistensi dengan teknik: pengamatan oleh dua orang atau lebih terhadap fenomena budaya, checking data dilakukan dengan mencari data dari orang lain, dan audit trail yakni dilakukan pembimbingan untuk memeriksa selama proses konsultasi dengan pihak yang berkompeten. Konfirmabilitas; merupakan bagian dari cara memperoleh kebenaran data dan hasil analisis data dengan cara mengonfirmasi (cek silang dan cek ulang) terhadap komunitas lain di sekeliling objek yang diteliti. Hal ini dilakukan peneliti dengan cara memberikan kesempatan pada tokoh Samin dan para peneliti yang konsen dengannya untuk membaca ulang hasil penelitian ini. Triangulasi; merupakan penggabungan terhadap tiga hal yakni sumber data, pengumpulan data, dan teori. Dengan ketiga hal tersebut, diharapkan hasil penelitian dapat dipahami dengan benar dan jelas alur perolehan data dan proses analisisnya. Semua unsur tersebut dilakukan dengan optimal dengan harapan diperoleh data dan analisis data yang sesuai dengan tujuan penelitian.
C. Hasil Penelitian Masyarakat Samin Kudus dalam merespon kebijakan pemerintah masa kini responsif dan akomodatif. Sebagaimana doktrin yang ditanamkan nenek moyangnya, Surokidin pada generasinya ketika di Gunung Gede, alas Cemoro Sewu wilayah Tawangmangu, Kab. Karanganyar, Jateng dengan pernyataan bahwa Belanda akan diusir oleh Jepang: mbesok seng iso ngusir Londo iku wong cebol, tekane koyo laler, bareng sedino, soko wetan, cebol kepalang. Tangane kuwogo, simbole plong abang. Manggone neng pundak. Iku Nippon arane. Kuto-deso, bareng tekane. Bawahi negoro kene, sebutane ratu petruk. Mbesuk yeng nyekel pranatane negoro balane dewe,bocah perjuangan. Diguwak sak umur hidup. Bisane mulih Londo dibuwak karo Nipon. Bahkan prediksi leluhur Samin sebelum kemerdekaan yang terbukti sekarang ini yakni mbesok negoro iku negarane rakyat, dadi putusan neng rakyat, tukul deso otonom. Pernyataan tersebut mengingatkan kepada generasinya bahwa setelah penjajahan
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
Belanda, wilayah pribumi akan dijajah Jepang yang selanjutnya dipimpin putra negeri (Soekarno). Gerakan yang dilakukannya adalah Mbanyu suket nggeni brambut, mapah gedang yakni gerakan samar (nonkonfrontatif, menyokong kepemimpinan anak negeri, sehingga perlu taat terhadap pemerintah RI. Pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanakan pemerintah RI diikuti masyarakat Samin Kudus sejak pemilu pertama tahun 1955. Di era Orde Baru, kontestan (peserta) pemilu adalah Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sebagian masyarakat Samin Kudus memilih PDI karena partai tersebut dianggap ‘titisan’ Bung Karno. Menjelang kemerdekaan, mbah Sumar (botoh Samin Kaliyoso) beserta tiga temannya, pernah menghadiri rapat akbar yang juga dihadiri oleh Bung Karno di alun-alun Kab.Pati. Bahkan semasa kepemimpinan Bung Karno, jumlah komunitas Samin untuk didata yang selanjutnya diserahkan Bung Karno. Perspektif masyarakat Samin yang bertipologi dlejet/ dledek (murni) ketika didatangi tim sukses sebuah calon legislatif memberikan jawaban: sedulur, ndiko takok. Kulo tak kondo, neng kulo nganda-ake paham kulo, kulo pun gadah pilihan dewe, ken nyoblos kulo pun duwe coblosan dewe, opo yeng dicontreng dereng wonten wujude. Karoane pun dugi wayahe (Saudara bertanya, saya menjawab: saya sudah memiliki pilihan sendiri (maksudnya isteri), jika disuruh mencoblos, saya sudah mempunyai coblosan (isterinya), karena pemilihan belum terlaksana, ditunggu saja pekaksanaannya). Jawaban tersebut menandaskan bahwa sesuatu yang belum terjadi, tidak dapat diberi jawaban yang utuh. Ketika komunitas Samin diberi uang (money politic) sebelum pemilihan caleg, sebagian mereka menerimanya, kulo diwei kulo tampi (Saya diberi, saya terima). Ada juga setelah menerima uang politik, kedatangan calon lain yang kedua dan memberi uang politik ditolaknya. Pelaksanaan pemilihan Bupati Kudus periode 20082013, masyarakat Samin Kudus sebagian besar memilih Musthofa Wardoyo (Calon Bupati) yang berpasangan dengan Budiyono (Calon Wakil Bupati). Dalam Pilbub (pemilihan bupati) tersebut dimenangkan Musthofa-Budiyono. Dukungan masyarakat Samin Kudus terhadap Cabup, Musthofa, kompak. Sebagaimana pernyataan Pak Warsidi (Samin Bulungcangkring) netepi kerukunan bolo, kulo nderek Wargono lan Petinggi Ngelo (Desa
355
356
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Karangrowo). Hal tersebut dilakukan karena Pak Musthofa mendatangi kediaman Bpk. Wargono (tokoh Samin Dukuh Kaliyoso). Akhirnya Mbah Gono beserta keluarga mendapatkan undangan Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kab. Kudus dalam acara pengucapan sumpah dan pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kudus masa jabatan 2008-2013 serta serah terima jabatan Bupati Kudus di gedung DPRD Kudus dengan surat undangan bernomor 005/735/02.02 tanggal 26 Juni 2008. Begitu pula dalam pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng tahun 2008. Calon gubernur (Bibit Waluyo) yang diusung PDIP berpasangan dengan Rustriningsih, yang hadir di Dukuh Bombong, Kec. Sukolilo, Kab. Pati mengharap dukungan warga Samin. Masyarakat Samin Kudus pun, mengikuti ‘komando’ Mbah Tarno (tokoh Samin Pati) agar memilih Bibit-Rustri. Jawaban Pak Sukari ketika penulis bertanya, dijawab: aku milih yeng ono wedoe, dikon Pak Lurah lan Wargono (tokoh Samin Kudus), yo diwei gambar, tujuane netepi pirukunan Dalam pilgub tersebut, dimenangkan Bibit-Rustri. Untuk menentukan pemilihan Presiden RI tahun 2004, tidak semua warga Samin aktif mengikuti pemilihan Kulo mboten nderek pemilu presiden kranten mboten tepang (Saya tidak ikut memilih Presiden karena tidak mengenalnya). Sedangkan dalam pemilihan kepala desa (Pilkades) di Desa Larekrejo pada tahun 2007, Pak Santoso dihadiri terlebih dahulu oleh calon Pilkades, Bpk. Tukul. Di lain kesempatan, Pak Santoso dihadiri calon lainnya, Bpk. Moh. Rochim. Karena Pak San telah didatangi Pak Tukul terlebih dahulu, maka pilihan dijatuhkan pada Pak Tukul. Meskipun, kemenangan ada pada Pak Rochim. Tetapi praktik pemilu legislatif tahun 2009, komunitas Samin Dukuh Kaliyoso, Desa Karangrowo sebagian memilih partai PAN karena salah satu calon legislatifnya menghadiri secara langsung di rumahnya kehadiran caleg yang pertama. Menjelang hari pemilihan, Bpk. Maskat dihadiri Kepala Desa Karangrowo, Rumadi (yang saudaranya ikut calon legislatif), mengharap kepada Bpk. Maskat agar ikut mendukung saudara Pak Kades. Bpk. Maskat dengan tegas menyatakan kulo sampun gadah janji, bilih bade milih caleg ingkang sampun ngrumiyini dateng wonten ing griyo kulo saking Partai Amanat Nasional (PAN), nyuwun sewu kulo mboten saget memenuhi harapan Pak Kades (Petinggi). Pernyataan tersebut direspon negatif oleh Pak Petinggi, meskipun demikian,
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
Pak Maskat dan keluarganya tetap konsisten (Konsistensi Pak Maskat sesuai amanat UU Nomor 39/1999 Pasal 43 (1) setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an) dengan janji semula. Berbeda dengan pilihan yang dilakukan Ibu Masini dan Pak Sujiman dalam pemilu legislatif 9/4/2009. Kranten wonten setunggal tamu ingkang ngaku sedulur ngaken kulo nyontreng nomor 28 maringi amplopan, sedangkan Pak Jiman, kulo mboten genah, seng nyontreng putrine kulo, kulo bingung, gambare katah. Berbeda dengan Ibu Tuminah, ingkang ngaken kulo nyotreng tigang partai, akhire kulo dateng ten TPS rasan, kulo mboten nyontreng, kersane salah setunggale mboten merekno, demikian pula warga Samin Dukuh Mijen lainnya (Yang menyuruh saya nyontreng 3 partai, akhirnya saya datang ke TPS saja, saya tidak nyontreng agar tidak mengecewakan salah satunya). Menurut Pak Warsidi, kulo mboten nyontreng, kulo didatengi tigang partai (PDI, PIB, lan PAN) mbeto amplopan. Kulo jawab, kulo mboten seneng nyontreng, mboten nampi amplop. Lajeng diwangsuli, inggih mboten nopo-nopo pahame jenengan ngoten. Berbeda dengan Pak Sujono, kulo mboten ngertos, angsal undangan nyoblos nopo mboten, mboten nampi tamu, kranten kulo rino-wengi ten saben. Untuk Ibu Suliyati, mboten nyontreng, mboten seneng, diparingi amplop mboten kulo tampi kranten mboten seneng. Sedangkan suaminya, Pak Doko, kulo kerjo ngedos ten Kendal, mboten retos. Jadi, pilihan warga Samin pada salah satu calon legislatif didasarkan kedatangannya calon langsung di rumah warga Samin dan datang yang pertama atau karena pesanan tokoh Samin. Hal tersebut sederap UU Nomor 39/1999 tentang HAM Pasal 23 (1) setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya. Bahkan money politic yang (akan) diberikan calon lain ditolak dengan dalih telah berjanji dengan calon yang datang langsung dan pertama. Adapun keikutsertaan perempuan secara umum mengikuti pilihan suami, meskipun terdapat perempuan yang berinisiatif memilih dan mempengaruhi suami karena suaminya berpola pikir dan beranggapan bahwa pemilu tidak dianggap penting.
357
358
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
D. Simpulan Keaktifan perempuan Samin dalam pemilu ditentukan oleh pertama, dirinya sendiri yang didatangi calon pemimpin/ wakilnya. Kedua, mengikuti suaminya karena merasa sepenanggungan, dan ketiga, pesanan tokoh Samin agar nyengkuyung calon yang telah menitipkan nama (calon) pada botoh Samin. Meskipun adakalanya yang tidak aktif mencoblos karena beban psikis yakni diminta memilih oleh beberapa calon yang datang ke rumahnya (mondokannya), agar tidak menyinggung pemohon, perempuan Samin datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan tidak mencoblos dengan dalih kulo diken datengi TPS kemawon (Saya hanya disuruh datang saja ke TPS) yakni dipahami secara sangkak. Dalam hal money politic, di antara mereka ada yang menerima, ada yang tidak menerima, ada yang menerima (calon pertama) dan tidak menerima jika diberi oleh calon yang hadir kedua (lainnya). Keaktifannya dalam pemilu berdasarkan pesan leluhurnya: Pascakolonial, dalam prediksinya, negeri ini dipimpin anak negeri (Bung Karno): Wong utang iku nyaur, Londo duweni utang ditagih. Sing iso nagih iku bocah cebol kepalang, tangane kuwogo, abang neng kiwo. Mbesok Jepang tekane koyo laler, tekane bareng sedino, Londo resik. Tekane Jepang bawahi negoro kene setahun, sebutane Ratu Petruk. Wong-wong kon nandur jarak kepyar. Mbesok wong-wong dipontho-pontho, sijine wong mandegani 20 wong, jenenge gumicak. Jepang lungo maneh, bakale ditetepi Jowo, deneng bocah perjuangan, diguwak sak umur hidup, isane mulih sebab Londo dibuwak karo Nipon. Mbesok pajek iku ilang, tukule iuran. Mbesok negoro iku negorone rakyat, dadi putusan neng rakyat,tukule deso otonom, Prediksi Ki Surokidin kepada Ki Suronggono dan mbah Sumar. Dalam merespon kepemimpinan anak negeri (mendatang) pesan leluhur Samin ing mbesue prilakuo mapah gedang, mbanyu suket, nggeni brambut (fleksibel, gerakan nonfrontal, eksis), tidak konfrontatif, tetapi responsif.
PEREMPUAN SAMIN DALAM BERPOLITIK (Moh. Rosyid)
SUMBER RUJUKAN
Amirotun Sholikhah. Perilaku Memilih Partai Politik Elit Aisiyah Pasca-Orde Baru. Jurnal Penelitian Agama UIN Yogyakarta Vol.XIV 2005 Barbara Tedlock. Ethnography and Ethnographic Representation dalam Hand Book of Qualitative Research second edition. Norman K. Denzin and Y.S Lincoln (ed). Sage Publication, Inc. New Delhi, 2000. Deden Faturrohman.Hubungan Pemerintahan dengan Komunitas Samin dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKiS: Yogyakarta, 2003 Dhanik Dhewanty. Solidaritas Sosial Masyarakat Samin di Desa Baturejo Kec.Sukolilo Kab. Pati dalam Forum Ilmu Sosial. Fakultas Ilmu Sosial. Vol.31 No.2 Desember 2004. UNNES Press: Semarang, 2004. Edi Sigar. Provinsi Jawa Tengah. Pustaka Delapratasa: Jakarta, 1998. Eko Handoyo.Sosiologi Politik. Unnes Press: Semarang, 2008 Hardjo Kardi. Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko. tanpa penerbit, 1996. Imam Suprayogo dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Rosda: Bandung, 2001. Irwan Abdullah. Rekonstruksi dan Reproduksi Budaya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2006. James P. Spradley. Metode Etnografi. Tiara Wacana: Yogyakarta, 1997. Louay Safi. Ancangan Metodologi Alternatif. Tiara Wacana: Yogyakarta, 2001. M. Atho’ Mudzhar. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1998. Maryaeni. Metode Penelitian Kebudayaan. Bumi Aksara: Jakarta, 2005.
359
360
PALASTRèN: Vol. 3, No. 2, Desember 2010
Moh. Rosyid. Samin Kudus Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2008. Noeng Muhadjir. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rineka: Jakarta, 1996. Sartono Kartodirdjo. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. UGM Press:Yogyakarta, 1994. Sudjarwo. Metodologi Penelitian Sosial. Mandar Maju: Bandung, 2001. Setya Yuwana Sudikan. Metode Penelitian Kebudayaan. Citra Wacana: Surabaya, 2001. Saoerjanto Sosroatmodjo. Samin Siapakah Mereka? Nuansa: Yogyakarta, 2003. Sugeng Winarno. SAMIN :Ajaran Kebenaran yang Nyeleneh dalam Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger. LKiS: Yogyakarta, 2003. Sugiyono.Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Research and Development. Alfabeta: Bandung, 2006 Suwardi Endraswara. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Pustaka Widyatama: Sleman, 2006.