PEREMPUAN DENGAN SEGALA LUKA DALAM KUMPULAN CERPEN SUATU HARI BUKAN DI HARI MINGGU Woman with All the Pains in the Short Story Collection Suatu Hari Bukan di Hari Minggu
Dessy Wahyuni
Balai Bahasa Provinsi Riau, Jalan Binawidya, Kompleks Universitas Riau, Panam, Pekanbaru, Pos‐el:
[email protected] (Makalah diterima tanggal 19 Maret 2013—Disetujui tanggal 30 Oktober 2013)
Abstrak: Empat belas cerpen Yetti A. Ka yang terangkum dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu menghadirkan realita perempuan yang terluka dan kecewa meskipun mereka hidup secara bebas. Oleh sebab itu, masalah penulisan ini adalah bagaimana bentuk penggambaran Yetti A. Ka mengenai para perempuan dan segala luka yang mereka miliki dalam kumpulan cerpen tersebut? Melalui pendekatan feminisme, dapat disimpulkan bahwa perempuan yang disajikan pengarang ini sesungguhnya merasa terikat oleh budaya patriarki. Akan tetapi, dengan segala kebebasan yang mereka miliki, mereka tetap memilih menjadi perempuan dalam lingkaran patriarki tersebut meskipun dengan membawa luka yang tidak pernah usai. KataKata Kunci: kumpulan cerpen, perspektif feminisme, luka perempuan Abstract: Yetti A. Ka’s fourteen short stories compiled in Suatu Hari Bukan di Hari Minggu collection represent the reality of women who were hurt and disappointed, although they had free lifes. Therefore, the problem of this article is formulated as follows: how is the shape of Yetti A. Ka’s depiction on the women and all the injuries they have in the short story collection? Through the perspective of feminism, it can be concluded that the women presented by the author actually feel bound by a patriarchal culture. However, with all the freedom they have, they still choose to be a woman in a patriarchal circles, although with a wound that never ends. Key Words: short story collection, the perspective of feminism, women's injury
PENDAHULUAN Berbicara tentang perempuan memang tidak ada habisnya. Hal‐hal mengenai pe‐ rempuan memang tak kunjung surut un‐ tuk dikupas. Daya tarik perempuan ba‐ nyak menghiasi berbagai ruang dalam kehidupan. Dalam ruang sastra, kehi‐ dupan perempuan seringkali menjadi ki‐ sahan yang menarik untuk disajikan. Se‐ lain itu, ruang kreativitas perempuan da‐ lam menulis karya sastra bukan pula merupakan hal baru. Makna diri sebagai perempuan ti‐ dak meruntuhkan etos sastra. Kehadiran diri sebagai pengisah hidup justru mem‐ buat pengabdian sastra mirip takdir.
Luka, airmata, doa, keringat, mimpi, le‐ lah, ataupun sesalan memang melumuri diri tapi memberi basis mentalitas untuk mengolah kisah. Hidup pun bertaburan kisah dan bergelimang makna. Nasib kaum perempuan Indonesia di tengah dominasi budaya patriarkat dapat ditelusuri sejak roman Siti Nurba ya (1920) karya Marah Rusli yang terbit pada masa pra‐Pujangga Baru. Menjadi representasi dari keadaan zamannya, dalam novel itu perempuan digambar‐ kan dalam posisi yang lemah dan men‐ jadi “korban” kepentingan orang tua, adat, dan nafsu lelaki. Untuk melunasi hutang ayahnya, Siti Nurbaya harus
247
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:247—257
menikah dengan Datuk Maringgih, lelaki tua yang sudah bau tanah. Meskipun ditulis oleh pengarang le‐ laki, dan tidak secara jelas membela ka‐ um perempuan, novel tersebut sebenar‐ nya dapat dimaknai sebagai suatu “ke‐ saksian zaman” tentang nasib kaum pe‐ rempuan. Karena itu, dalam jangka pan‐ jang kesaksian itu dapat mengundang empati terhadap nasib kaum perempu‐ an, dan pada akhirnya akan mengun‐ dang pembelaan. Kenyataannya, pada pasca‐kolonialisme, Siti Nurbaya cukup memberi inspirasi untuk mendorong ke‐ bangkitan kaum perempuan agar tidak bernasib seperti Siti Nurbaya. Yetti A. Ka menghadirkan realitas keperempuanan dalam empat belas cer‐ pennya yang terkumpul dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu (selanjutnya di‐ singkat SHBdHM) terbitan Gress Pub‐ lishing, Yogyakarta tahun 2011. Sebagai pengarang perempuan yang berada pa‐ da masa kini—yang seringkali berupaya mendobrak budaya patriarkat—Yetti hadir dengan sekumpulan cerpennya yang tidak terjebak dalam kehidupan kosmopolitan dan berpesta merayakan tubuh serta seksualitas perempuan. Kumpulan cerpen ini pernah dibe‐ dah di pelataran Kafe Uniang Kamek, Fa‐ kultas Sastra Universitas Andalas, Pa‐ dang, 5 Januari 2011. Pembicara dalam bedah buku tersebut adalah Romi Zarman (cerpenis asal Sumatra Barat) dan Elly Delfia (cerpenis dan dosen di Fakultas Sastra Unand). Romi Zarman berpendapat bahwa cerpen‐cerpen Yetti A. Ka dalam kumpulan cerpen ketiganya ini berkisah tentang kehidupan yang sangat alami. Keberadaan karya Yetti yang sangat alami ini menjadi sebuah arus perlawanan terhadap kehadiran pa‐ ra penulis perempuan yang berbincang seputar kehidupan kosmopolitan. Se‐ mentara itu, Elly Delfia dalam pemapar‐ annya mengatakan bahwa cerpen‐cer‐ pen Yetti A. Ka adalah feminisme dalam
248
rasa lain. Perempuan dalam cerpen Yetti bukan perempuan yang tertindas, me‐ lainkan perempuan dengan cara hidup yang sudah bebas, sudah punya pilihan, tetapi pilihan itu diambil karena tekanan ataupun kekecewaan (http://www. padangmedia.com/?mod=berita&id =65619). Berangkat dari pemaparan Elly Delfia tentang feminisme dalam rasa lain tersebut, dapat dilihat bahwa cerpen‐ cerpen Yetti ini berusaha menyuarakan kehidupan perempuan dengan segala lu‐ ka dan kekecewaan, serta pilihan hidup yang tidak tertawar. Perempuan‐perem‐ puan dalam SHBdHM tidak berusaha ke‐ ras untuk keluar dari luka yang menga‐ nga tersebut. Bahkan, sebagian perem‐ puan di dalamnya seolah‐olah menikma‐ ti perihnya luka itu. Hal inilah yang ba‐ rangkali disebut Elly Delfia sebagai femi‐ nisme dalam rasa lain. Untuk itu, masa‐ lah penulisan ini dapat dirumuskan se‐ bagai berikut: bagaimanakah penggam‐ baran Yetti A. Ka mengenai para perem‐ puan dan segala luka yang mereka miliki dalam kumpulan cerpen Satu Hari Bu kan di Hari Minggu? Kumpulan cerpen yang menyuara‐ kan kehidupan perempuan dengan sega‐ la luka dan kekecewaan yang ditawar‐ kan pengarang ini menarik pembaca un‐ tuk mengetahui lebih jauh bentuk‐ben‐ tuk luka tersebut. Oleh sebab itu, maka tujuan penulisan ini adalah untuk men‐ dapatkan bentuk pengggambaran Yetti A. Ka mengenai para perempuan dan se‐ gala luka yang mereka miliki dalam kumpulan cerpen tersebut. Tulisan ini diharapkan dapat mem‐ berikan manfaat untuk semua pihak, baik manfaat secara teoretis maupun se‐ cara praktis. Secara teoretis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sum‐ bangan bagi kemajuan dan perkembang‐ an ilmu sastra, terutama bagi perkem‐ bangan penulisan dengan menggunakan pendekatan feminis. Bagi penulis, tulisan
Perempuan dengan Segala Luka ... (Dessy Wahyuni)
ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai teori sastra feminis. Bagi pembaca, tulisan ini dapat membe‐ rikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi mengenai feminisme sastra. TEORI Feminisme merupakan gerakan yang di‐ awali oleh persepsi tentang ketimpang‐ an posisi keperempuanan. Gerakan Fe‐ minisme lahir dari sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pem‐ bongkaran terhadap ideologi penindas‐ an atas nama gender, pencarian akar ke‐ tertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan se‐ cara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan (http://www.dudung.net/artikel‐bebas/ feminisme‐koqsalah‐kaprah.html). Pada awalnya, feminisme bangkit untuk membela para wanita dari keter‐ tindasan serta menuntut penyetaraan hak perempuan dan laki‐laki dalam se‐ gala bidang (http://impiandalamhati. blogspot.com/2011/03/teori‐kritik‐sas‐ tra‐feminis. html). Namun kemudian, fe‐ minisme yang semula lahir sebagai ge‐ rakan yang seharusnya dapat mening‐ katkan harga diri wanita yang ingin dini‐ lai sesuai dengan potensinya sebagai manusia tanpa harus memandang gen‐ der mulai disalahartikan. Banyak wanita yang menjadi korban salah kaprah ini. Feminisme yang terlahir sebagai cita‐cita mulia para wanita pendahulu berubah menjadi kemerosotan harga diri seorang wanita. Ironisnya, wanita tersebut tidak menyadari bahwa ia telah menjatuhkan harga dirinya sendiri (http://alislamu. com/artikel/40‐feminisme‐dalam‐tim‐ bangan. html). Teori sastra feminisme melihat kar‐ ya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarkat. Oleh karena itu, tujuan pe‐ nerapan teori ini adalah untuk mem‐ bongkar anggapan patriarkat yang
tersembunyi melalui gambaran atau ci‐ tra perempuan dalam karya sastra. De‐ ngan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesa‐ daran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patri‐ arkat sehingga dia akan jeli melihat ba‐ gaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pan‐ dangan patriarkis (http://staff.undip. ac.id/sastra/hendrati/2009/07/21/ pendekatan‐feminisme‐dalam‐studi‐ gender/). Dasar pemikiran dalam kajian sas‐ tra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran pe‐ rempuan seperti dalam karya sastra. Pe‐ ran dan kedudukan perempuan tersebut akan menjadi sentral pembahasan kajian sastra. Menurut Suwardi Endraswara (2008:146—147), terdapat lima sasaran penting dalam analisis feminisme sastra. Kelima sasaran tersebut adalah (1) mengungkap karya‐karya penulis wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi; (2) mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria; (3) mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria, ba‐ gaimana mereka memandang diri sen‐ diri dalam kehidupan nyata; (4) meng‐ kaji dari aspek ginokritik, yakni mema‐ hami bagaimana proses kreatif kaum fe‐ minis; dan (5) mengungkap aspek psiko‐ analisis feminis, yaitu mengapa wanita, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal‐hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya. Hal yang sejalan dengan kritik sas‐ tra feminis ini adalah konsep reading as a woman (Culler dalam Sugihastuti 2007:139). Konsep ini dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi ke‐ kuasaan laki‐laki yang androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang di‐ asumsikan menguasai penulisan dan pembacaan sastra. Dalam hal ini,
249
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:247—257
pengarang memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis ke‐ lamin yang berhubungan dengan bu‐ daya, sastra, dan kehidupan. Dengan de‐ mikian, Ratna (2007:221) berpendapat bahwa kondisi perempuan tersubordi‐ nasikan atas kebudayaan. Artinya, kebu‐ dayaan menyebabkan perempuan diang‐ gap memiliki kedudukan yang lebih ren‐ dah daripada laki‐laki. Padahal pada ke‐ nyataannya perempuan juga mampu melakukan pekerjaan sebagaimana yang dilakukan oleh laki‐laki. Analisis dalam kajian feminisme ha‐ rus mampu mengungkap aspek‐aspek ketertindasan wanita atas diri pria. Ka‐ jian feminisme bertujuan untuk meng‐ ungkapkan berbagai alasan wanita ter‐ kena dampak patriarkat, yang hanya berkedudukan sebagai pendamping laki‐ laki saja. Melalui perspektif feminisme akan terlihat apakah wanita menerima secara sadar atau justru marah meng‐ hadapi ketidakadilan gender. Berkaitan dengan uraian tersebut, cerpen‐cerpen dalam SHBdHM menarik untuk dibaca melalui perspektif feminis‐ me. Perspektif ini pada dasarnya ber‐ fokus pada keberadaan dan masalah gender perempuan dalam karya sastra dari sudut pandang perempuan. Pers‐ pektif feminisme dibutuhkan untuk me‐ ngentalkan pengalaman‐pengalaman spesifik yang dialami tokoh‐tokoh pe‐ rempuan dalam kumpulan cerpen ter‐ sebut. Perspektif ini memberi tekanan pada posisi dan persepsi perempuan yang akan bisa membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perempuan yang selama ini terbungkam. METODE Tulisan ini menggunakan metode des‐ kriptif analitis melalui studi literatur. Metode ini dilakukan dengan cara men‐ deskripsikan fakta‐fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Dalam metode ini, mula‐mula data dideskripsikan,
250
dengan maksud untuk menemukan un‐ sur‐unsurnya, kemudian dianalisis (Ratna, 2008:53). Data yang diperoleh melalui penu‐ lisan diolah serta diuraikan dengan menggunakan pola penggambaran ke‐ adaan atau deskriptif. Hasil uraian ter‐ sebut kemudian dianalisis untuk men‐ dapat simpulan sesuai dengan rumusan masalah. Penulisan ini dilakukan dengan cara pengumpulan data menggunakan sumber data, yaitu kumpulan cerpen Suatu Hari Bukan di Hari Minggu karya Yetti A. Ka, diterbitkan di Yogyakarta oleh Gress Publishing tahun 2011. Seba‐ gai sebuah analisis feminisme, kajian ini membatasi dua dari lima sasaran pen‐ ting yang mengacu pada pemahaman Endraswara. Sasaran tersebut adalah (1) mengungkap kumpulan cerpen ini agar jelas terlihat citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi dan (2) mengungkap ideologi Yetti A. Ka dalam memandang diri sendiri dalam kehidupan nyata. Untuk mendapatkan bentuk peng‐ gambaran Yetti A. Ka mengenai para pe‐ rempuan dan segala luka yang mereka miliki dalam kumpulan cerpen tersebut, langkah pertama yang dilakukan dalam penulisan ini adalah memahami empat belas cerpen yang terdapat dalam kum‐ pulan tersebut atas dasar teks tertulisya. Langkah selanjutnya berfokus pada ke‐ beradaan dan masalah gender perem‐ puan dalam karya Yetti A. Ka itu. Kemu‐ dian mencari pengalaman‐pengalaman spesifik yang dialami tokoh‐tokoh pe‐ rempuan dalam kumpulan cerpen terse‐ but. Dengan demikian, langkah terakhir yang dilakukan adalah membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perem‐ puan yang selama ini terbungkam se‐ hingga diperoleh gambaran segala luka yang mereka miliki.
Perempuan dengan Segala Luka ... (Dessy Wahyuni)
HASIL DAN PEMBAHASAN Yetti A. Ka dan Karyanya Yetti A. Ka adalah seorang penulis pe‐ rempuan yang lahir dan besar di Beng‐ kulu. Sejak tahun 1999, istri penyair Su‐ matera Barat, Sondri B.S., ini hijrah dan berkreativitas di Sumatera Barat. Tuli‐ sannya berupa cerita pendek, puisi, dan artikel pernah dimuat di beberapa media massa; Koran Tempo, Media Indoneesia, Republika, Jawa Pos, Nova, Koran Jurnal Nasional, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Perempuan, Gong, Was pada Medan, Lampung Pos, Padang Eks pres, Singgalang, Haluan, dan Riau Pos. Cerita pendeknya tergabung dalam sejumlah antologi bersama; Bob Marley dan 11 Cerpen Pilihan Sriti.com 0809 (GPU, 2009), Pipa Air Mata (Yayasan Sagang, 2008), Rahasia Bulan (GPU, 2006), Mencintaimu (Logung Pustaka, 2004), Kalau Julies Sedang Rindu (Logung Pustaka dan Akar Indonesia, 2004), Yang Dibalut Lumut (CWI, 2003), dan lain sebagainya. Buku kumpulan cerita pendek tunggal yang telah terbit; Numi (Logung Pustaka, Jogjakarta, 2004) dan Musim yang Menggugurkan Daun (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010). Suatu Hari Bukan di Hari Minggu ini merupakan kumpulan cerpen ketiganya. Luka dan Kecewa Para Perempuan Dalam buku kumpulan cerpen Suatu Hari Bukan Di Hari Minggu terdapat em‐ pat belas cerpen, yaitu “Kisah Bambu”, “Re Hati (Kisah Bambu II)”, “Bunga Me‐ ranti (Kisah Bambu III )”, “Pelabuhan”, “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu”, “Hu‐ jan, Pulanglah”, “Gadis Pemetik Jamur”, “Perempuan Bunga Kertas”, “Perempuan dan Mata yang Menatap”, “Lampu Ta‐ man”, “Seseorang yang Menyimpan Ra‐ hasia di Sepasang Bola Mata”, “Kosong”, “Cerita Daun”, dan “Dalam Kabut, Aku”. Keempat belas cerpen ini masing‐masing mengisahkan tokoh perempuan yang menyimpan luka namun memiliki
kebebasan untuk memilih hidupnya, tan‐ pa ada paksaan. Dengan bahasa yang in‐ dah dan puitis, Yetti dalam kumpulan cerpennya ini tidak hadir untuk menan‐ tang budaya patriarkat. Ia hanya menco‐ ba memutar ke hadapan pembaca ten‐ tang realita kehidupan wanita, kehidup‐ an yang lebih banyak pahitnya diban‐ ding manisnya, kehidupan yang kerap menghadirkan luka yang berkepanjang‐ an, namun harus dijalani meski tanpa paksaan, sebaik atau seburuk apapun itu, seperti diutarakan oleh Falantino, se‐ orang pengajar di salah satu perguruan tinggi di Ambon, dalam komentarnya tentang SHBdHM pada sampul belakang buku. Lihat kutipannya berikut ini. “Kisah tentang keluarga, perempuan, rumah dan cinta ini terjalin dengan ba‐ hasa yang indah, penuh keintiman…. Membaca kumcer ini membuat saya se‐ makin merasa pasti bahwa sebuah ru‐ mah, sebaik atau seburuknya, tetaplah tempat untuk pulang. Kumcer ini se‐ harusnya semakin mengukuhkan Yetti sebagai penulis perempuan Indonesia yang karyanya patut dinanti. Salut! (Ka, 2011)
Dalam kumpulan cerpen ini, Yetti menggambarkan ketidakadilan gender. Perbedaan peran dan fungsi laki‐laki dan perempuan atau yang lebih dikenal de‐ ngan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi permasalah‐ an sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau keti‐ dakadilan. Dengan mengacu kepada be‐ berapa sasaran penting dalam analisis feminisme yang diungkapkan Endraswara, yakni (1) mengungkap kumpulan cerpen ini agar jelas terlihat citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi dan (2) mengungkap ideologi pengarang dalam memandang diri sen‐ diri dalam kehidupan nyata, terkait diskriminasi atau ketidakadilan gender seperti yang dimaksudkannya.
251
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:247—257
Cerpen “Kisah Bambu” misalnya, menghadirkan tokoh “Aku” sebagai se‐ orang perempuan yang terluka akibat kehilangan ayah dan ibunya. Saat pe‐ rampokan dan pembunuhan terjadi di rumahnya, ia hanya bisa menyaksikan tubuh yang berdarah‐darah. Selain itu, adiknya, Ikatri, juga kehilangan harga di‐ ri sebab diperkosa oleh para perampok. Sejak saat itu “Aku” hidup tanpa keluar‐ ga. Bentuk kekerasan berupa perkosaan yang dihadapi adiknya merupakan salah satu bentuk ketidakadilan tersebut. Un‐ tuk membalaskan sakit hatinya, tokoh “Aku” memilih hidup untuk memperma‐ inkan lelaki, memberi ruang untuk cinta dan kebencian sekaligus. “Tidak apa, Ikatri. Aku mengerti. Luka dan kesedihanmu teramat dalam, membuatmu lebih ingin sendiri, tanpa diusik siapapun. Selain ayah dan ibu, kau juga kehilangan harga diri di usia muda. Perkosaan yang kejam. Kau ma‐ rah. Aku juga sangat marah sepertimu. Ingin kurobek‐robek tubuh lelaki‐lelaki itu. Pasti. Kita pasti membalas semua‐ nya dalam kisah bambu ini; cerita orang‐orang pelarian yang lelah mene‐ mukan kematian dalam ruas‐ruas bam‐ bu berwarna putih dan dingin hingga membuat kita ingin keuar. Kita keluar, adikku. Kita berada dalam kehidupan yang memberi ruang untuk cinta dan kebencian sekaligus. Kita tidak perlu memilih apa‐apa. Bukankah kita me‐ mang ingin ada di antara keduanya. Nah, Ikatri, adikku, kita permainkan du‐ nia, layaknya kita menguasai rumpun‐ rumpun bambu di belakang rumah se‐ masa kecil. Kita taburkan cinta di dada setiap lelaki hingga mereka merang‐ kak‐rangkak menuju kisah‐kisah bam‐ bu, menuju kematian yang misterius (Ka, 2011:8—9). ”
Berbeda dengan cerpen sebelum‐ nya, dalam “Re Hati (Kisah Bambu II)” Yetti menyuguhkan seorang tokoh pe‐ rempuan yang terluka akibat ibu serta saudara‐saudaranya tidak pernah
252
menyukainya. Tanpa diketahui sebab‐ nya, tokoh “Aku” yang menjadi perem‐ puan yang terluka di sini mencoba untuk berontak dengan memasukkan teman le‐ lakinya (yang dia sendiri lupa namanya) ke dalam kamar ketika berusia lima be‐ las tahun. “Aku” seperti menemukan ke‐ bahagiaan tersendiri tatkala ibunya sa‐ ngat marah, tetapi ia sesungguhnya juga merasa sedih. “Aku” tidak berniat sama sekali menjadi perempuan sopan ke‐ banggaan keluarga, perempuan yang menurut pada aturan‐aturan yang ada. Kemudian ia memilih hidup menjadi wa‐ nita (istri) kedua bagi seorang lelaki. Anak (Re Hati) hasil hubungan mereka pun direnggut paksa oleh si ibu dan di‐ hasut untuk membenci ibunya sendiri yaitu “Aku”. Serupa dengan “Re Hati (Ki‐ sah Bambu II)”, cerpen “Bunga Meranti (Kisah Bambu III)” juga menghadirkan sosok perempuan bernama Meranti yang terluka akibat ibunya tidak pernah bersikap manis padanya. Sikap yang kontras ditunjukkan si ibu pada adiknya, Bunga, yang selalu dimanja. Pada cerpen ini, Meranti selalu bersikap manis pada Bunga dengan harapan ibunya pun akan menyayanginya, namun sia‐sia. Meranti akhirnya memilih hidup membesarkan anak Bunga—karena Bunga meninggal saat melahirkan—hasil hubungannya dengan paman mereka atas permintaan Bunga sendiri. “Muka nenekmu pasti sangat tercoreng. Lalu melepaskan sakit hatinya dengan tidak pernah menyayangiku sama be‐ sar seperti perasaannya pada saudara‐ saudara lain. Dengan alasan itu juga, Re Hati, aku memilih tempat kedua itu. Dengan alasan itulah! Aku tidak berniat sama sekali menjadi perempuan sopan kebanggaan keluarga, perempuan baik‐ baik yang menurut pada aturan‐aturan. Aku sengaja menghidupkan sisi terge‐ lap yang aku punyai, mengembangkan sayap‐sayapku yang sekelam malam, lalu berganti‐ganti aku terbang dari sa‐ tu lelaki ke lelaki lain. Aku melengkapi
Perempuan dengan Segala Luka ... (Dessy Wahyuni) goresan malu di muka nenekmu. Meng‐ genapi kebenciannya. Juga membuat ia terpaksa menghabiskan masa tua di da‐ lam rumah tanpa teman yang setia, tan‐ pa tetangga yang mengunjungi (Ka, 2011:15). ”
Luka lain yang disuguhkan Yetti pa‐ da pembaca terdapat dalam cerpen “Pe‐ labuhan”. Luka di sini dialami oleh se‐ orang istri bernama Nial. Ia dikhianati Tami, suaminya yang meninggalkannya bersama anak‐anak di pelabuhan saat mereka berniat meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya. Saat mereka tiba di pelabuhan, Tami me‐ nyuruh istri dan anak‐anaknya menung‐ gunya di sebuah warung nasi sementara ia pergi mencari tiket. Namun Tami tidak pernah kembali. Nial berusaha meng‐ ingat‐ingat penyebab suaminya mening‐ galkan mereka. Tami ternyata tidak per‐ nah sungguh‐sungguh ingin melupakan sejumlah perempuan dalam hidupnya dan itu kerap diutarakannya pada Nial melalui celetukan kecil di atas ranjang. Nial pun akhirnya tetap menyimpan luka menganga yang berkepanjangan dalam kehidupannya. Wiwi, tokoh perempuan dalam “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu” mengalami luka yang berbeda pula de‐ ngan tokoh perempuan lainnya. Gadis miskin anak seorang babu cuci ini sangat terluka saat menyaksikan pengkhianat‐ an dan kegilaan ibunya yang berseling‐ kuh dengan perempuan manis pemilik rumah tempat ia bekerja sebagai babu cuci. Meskipun Wiwi telah berjanji untuk menghindari rumah besar itu dan melu‐ pakan semua yang pernah ada di sana, ia tetap tidak bisa melupakan kejadian ter‐ sebut. Ia selalu teringat semua kejadian itu tiap melewati rumah besar itu. Luka lain yang tergambar dalam cerpen ini adalah luka yang dirasakan ibu setiap harinya. Luka yang dimiliki oleh seorang wanita miskin yang harus membanting
tulang menjadi babu cuci, sementara suaminya hanya kerja serabutan. “Berbeda sekali dengan rumahnya yang hanya satu petak kecil, tanpa ada teka‐ teki atau satu rahasia tersembunyi. Ia tahu jam berapa bapak pulang lalu me‐ nangkap ibu dengan kasar. Ia juga tahu kapan dan di sudut mana ibu biasa me‐ nangis, menyumpahi bapak usai per‐ tengkaran yang nyaris terjadi saban pa‐ gi. Ia sangat mengerti kalau sesung‐ guhnya ibu mulai tidak bahagia (Ka, 2011:45). ”
Luka sederhana namun tetap meng‐ iris hati dialami oleh Runi, sosok wanita dalam cerpen “Hujan, Pulanglah”. Luka ini merupakan rindu yang tak tertahan‐ kan karena ia harus berpisah untuk be‐ berapa saat dengan suaminya. Seumur hidupnya baru kali ini ia berjauhan de‐ ngan suaminya, sebab ia harus ke Beng‐ kulu melihat cucu‐cucunya atas permin‐ taan anaknya. Lolanda adalah seorang gadis pe‐ metik jamur dalam cerpen “Gadis Peme‐ tik Jamur”. Ia mengalami luka akibat bi‐ binya mengambil alih posisi ibunya de‐ ngan menggantikan tempat ibu yang ha‐ rus pergi karena sakit yang mereng‐ gutnya. Padahal ini adalah permintaan ibunya sendiri sebelum pergi. Ia terluka akibat takut kehilangan ayahnya, sebab menurutnya hanya dirinyalah yang mampu menggantikan posisi ibunya ter‐ sebut. Untuk itu, Lolanda memilih hidup dalam kepalsuan dengan berpura‐pura menjadi gadis periang, lincah, dan manis. Padahal di balik itu ia mempunyai ren‐ cana‐rencana busuk untuk menyingkir‐ kan bibi dari ayahnya. “Adakah yang bisa membaca gelagat mata Lolanda yang sarat kelicikan dan terbakar cemburu. Tidak. Tidak satu pun, Lolanda tidak membiarkan orang lain mencampuri perasaannya, mencari tahu isi hatinya. Ia menutup diri rapat‐ rapat. Juga pada ayahnya. Orang lain 253
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:247—257 hanya bisa melihat dirinya yang palsu; ia yang periang, lincah, dan manis. Se‐ lebihnya hanya dirinya sendiri yang ta‐ hu. Juga tentang rencana‐rencana me‐ nyingkirkan bibi dari ayahnya. Mem‐ buat perempuan itu tidak pernah dicin‐ tai ayahnya secara sungguh‐sungguh sebagai pengganti ibunya (Ka, 2011:65). ”
Cerpen lain yang terdapat dalam SHBdHM ini adalah “Perempuan Bunga Kertas”. Dalam cerpen ini terdapat se‐ orang perempuan yang hidup dalam ke‐ palsuan untuk menyembunyikan dirinya setelah terjadi sebuah tragedi. “Perempuan Bunga Kertas. Panggil saja demikian. Meskipun, tentu saja, itu bu‐ kan nama sebenarnya. Segala sesuatu dalam diri dia memang hampir se‐ penuhnya palsu setelah suatu tragedi merebut seluruh hidupnya. Dalam ke‐ palsuan itulah dia menyembunyikan di‐ ri dalam kotak teka‐teki. Kepalsuan yang justru dinilai oleh banyak perem‐ puan, sungguh genit dan menjijikkan. Sebaliknya, bagi banyak lelaki kepal‐ suan itu serupa rimba gelap yang te‐ ngah menanti untuk ditualangi (Ka, 2011:72).”
Luka yang dialami “Perempuan Bu‐ nga Kertas” ini berawal dari kurangnya kasih sayang seorang ibu. Ibunya tidak pernah punya waktu dan keinginan un‐ tuk mendengarkan cerita apapun dari anaknya. Sedangkan gadis itu memiliki segudang cerita dan membutuhkan se‐ orang teman untuk berbagi. Pada saat itulah seorang lelaki yang disukainya, be‐ kas teman sekolahnya, mengajak si gadis berkencan. Ia terjebak permainan cinta. Sehabis berkencan, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Untuk itu pe‐ rempuan bunga kertas pun harus men‐ dapat hukuman dari ibunya, dikurung di kamar hukuman. Tiba‐tiba terjadi keba‐ karan, ibunya meninggal dan ia hidup (karena diselamatkan oleh ibunya), tapi
254
dengan cacat di wajah dan sebagian tu‐ buhnya yang dibawa seumur hidupnya. Akhirnya ia memilih hidup terdampar dari satu ruas jalan ke ruas jalan lainnya, dari satu keramaian ke keramaian lain, bahkan dari satu lelaki ke lelaki lain de‐ ngan kedua bola matanya yang pecah. Yetti berusaha mendobrak budaya patriarkat dalam cerpennya yang berju‐ dul “Perempuan dan Mata yang Mena‐ tap”. Dalam cerpen ini tokoh Nuna ada‐ lah seorang perempuan yang rendah ha‐ ti dan tidak pernah membenci laki‐laki. “Ia perempuan rendah hati, dan tidak pernah membenci laki‐laki. Tapi orang‐ orang menatapnya dengan mata penuh sindiran, seolah ia telah melukai dada seluruh laki‐laki seisi dunia; termasuk ayah, paman, tetangga‐tetangga berke‐ lamin laki‐laki, suami atau bahkan ponakan‐ponakannya yang sering ber‐ tandang ke rumah beberapa hari atau sampai hitungan minggu (Ka, 2011:81).”
Hal ini terjadi sebab Nuna dianggap tidak menghargai kehidupan. Padahal ia hanya seorang perempuan yang tidak ingin berada di tempat paling belakang, yaitu sumur dan dapur. Pemberontakan yang dilakukan Nuna ternyata selalu menghantuinya. Ia serasa dikejar‐kejar oleh berpasang‐pasang mata sebab Nuna dianggap telah membunuh harga diri laki‐laki. Cerita tentang seorang perempuan kesepian terdapat pada cerpen “Lampu Taman”. Hara, nama perempuan kesepi‐ an itu, sejak lama telah memilih hidup sendiri. Yetti mencipta Hara sebagai pe‐ rempuan yang haus kasih sayang se‐ orang ayah, membutuhkan perlindungan seorang ayah, serta rindu kelakar dan canda tawa seorang ayah. Ayahnya telah meninggalkan ia dan ibunya sejak ia di‐ lahirkan ke dunia, bahkan ayahnya ha‐ nya sempat membisikkan nama untuk‐ nya di telinga ibunya sebelum ia
Perempuan dengan Segala Luka ... (Dessy Wahyuni)
menghilang untuk selamanya. Ia dituduh PKI dan dimasukkan ke dalam tahanan. Namun kemudian dilepaskan berkat pertolongan seorang teman. Tapi ia tidak berani kembali dan memilih pergi ke Bengkulu, kemudian ke pulau Jawa. Ia la‐ lu menikah lagi dengan perempuan Sun‐ da dan memiliki seorang anak laki‐laki li‐ ma tahun lebih muda dari Hara. Hara terluka karena ayahnya tidak ada saat ia sangat membutuhkannya, di saat ia sudah tidak bisa lagi menangis bi‐ la berhadapan dengan anak‐anak yang selalu mengejeknya anak PKI. Akhirnya, Hara tumbuh menjadi perempuan yang begitu penakut sepanjang hidupnya. Ia merasa terancam setiap saat. Sementara sosok ibu terlihat tegar meskipun sebe‐ narnya ia sangat terluka, sebab suami‐ nya telah mengkhianatinya dengan me‐ nikahi wanita lain dan menyaksikan anaknya yang tumbuh dengan memen‐ dam perasaan rindu bersama ayah. Setelah menguraikan secara pan‐ jang lebar isi keseluruhan cerpen, citra wanita yang merasa tertekan oleh tradisi terlihat jelas pada cerpen “Kisah Bam‐ bu”. Dalam cerita tersebut, terjadi diskri‐ minasi atau ketidakadilan gender. Laki‐ laki yang merasa kuat dengan seenaknya memperkosa lawan jenisnya yang di‐ anggap lemah. Namun, Yetti sebagai ka‐ um feminis memiliki prinsip bahwa wa‐ nita itu tidak lemah, seperti yang telah dilabelkan selama ini. Ia menunjukkan‐ nya dengan mendobrak budaya patriar‐ kat tersebut dan menjadikan tokoh “Aku” seseorang yang keras dan liar de‐ ngan memilih hidup mempermainkan la‐ ki‐laki. Pada kasus lain, cerpen “Re Hati (Ki‐ sah Bambu II)” memberikan gambaran seorang gadis yang memberontak, jenuh dengan aturan‐aturan yang mengharus‐ kannya untuk menjadi anak yang pe‐ nurut. Terluka akibat ibu dan saudara‐ saudaraya tidak pernah menyukainya, “Aku” tidak ingin lagi menjadi
perempuan sopan kebanggaan keluarga dan menurut pada aturan‐aturan yang ada. Kemudian selanjutnya, ia malah me‐ milih menjadi istri kedua bagi seorang laki‐laki. Pemberontakan lain yang terlihat dalam kumpulan cerpen ini adalah deri‐ ta seorang babu cuci yang harus mem‐ banting tulang menghidupi keluarga, se‐ mentara suaminya hanya kerja serabut‐ an. Pemberontakan yang dilakukannya adalah berselingkuh dengan seorang pe‐ rempuan lain, majikannya sendiri. Ben‐ tuk protes yang ditunjukkan babu cuci ini adalah cara lain ia mendapatkan ke‐ senangan yang tidak pernah ia rasa‐ kan—baik materi maupun kepuasan ba‐ tin—meskipun caranya menyimpang. Pada cerpen “Perempuan dan Mata yang Menatap”, Yetti menggambarkan seorang perempuan yang tidak hanya berada di kasur, sumur, dan dapur. Na‐ mun, akibat pilihan hidupnya, wanita yang rendah hati dan tidak pernah mem‐ benci laki‐laki ini dianggap telah melukai seluruh laki‐laki di dunia. Pemberontak‐ an yang dilakukan tokoh wanita ini ter‐ nyata selalu menghantuinya, seolah‐olah ia telah membunuh harga diri laki‐laki. Kisahan lain yang disuguhkan Yetti adalah cerita tentang seorang perempu‐ an kesepian pada cerpen “Lampu Ta‐ man”. Perempuan yang memilih hidup sendiri ini haus akan kasih sayang se‐ orang ayah, membutuhkan perlindung‐ annya, serta rindu kehangatannya. Se‐ orang perempuan yang pasrah tanpa pemberontakan ini, akhirnya tumbuh menjadi wanita yang begitu penakut se‐ panjang hidupnya. Beberapa cerpen tersebut telah me‐ wakili penggambaran Yetti A. Ka menge‐ nai citra wanita yang merasa ditekan oleh tradisi. Para wanita yang dilukiskan Yetti kebanyakan memberontak dengan kondisi yang menimpa mereka. Pembe‐ rontakan yang digambarkan pengarang ini sekaligus memperlihatkan
255
ATAVISME, Vol. 16, No. 2, Edisi Desember 2013:247—257
bagaimana ideologinya dalam meman‐ dang diri sendiri terhadap kehidupan nyata. Akibat ketidakadilan gender yang dirasakan oleh pengarang ini, ia lebih memilih hidup di luar aturan dari pada harus tertekan oleh tradisi. Pada kisahan wanita kesepian yang hanya pasrah pada keadaan, Yetti ber‐ usaha menunjukkan bahwa sebagai aki‐ batnya wanita itu tidak mendapatkan apa‐apa, kecuali kesengsaraan. Terlihat jelas di sini bagaimana pengarang ini ti‐ dak menyetujui ketertindasan yang di‐ alami seorang kaum feminis, hanya ber‐ diam diri menerima semua kenyataan yang menimpa. Berbeda dengan kasus wanita yang berusaha mendobrak kodrat—bahwa ia menolak untuk berada di tempat paling belakang, yaitu sumur dan dapur saja— hidupnya menjadi tidak tenang. Wanita ini selalu dihantui oleh berpasang‐pa‐ sang mata karena dianggap telah mem‐ bunuh harga diri laki‐laki. Di sini, penga‐ rang secara jelas mengingatkan kaum fe‐ minis, bahwa wanita tetap memiliki ko‐ dratnya sendiri, dan tidak bisa melepas‐ kannya untuk alasan apa pun. Sejauh ini, SHBdHM mengusung ke‐ hidupan perempuan dengan segala luka yang tak berkesudahan. Hal ini merupa‐ kan suatu kehidupan yang sebenarnya tidak mudah untuk diarungi. SHBdHM ini terlepas dari kehidupan kosmopo‐ litan yang biasanya sangat mempengaru‐ hi penulis perempuan saat ini. Yetti ber‐ usaha memotret masalah‐masalah yang kerap terabaikan oleh hiruk‐pikuk kehi‐ dupan kota. Perempuan‐perempuan da‐ lam kumpulan cerpen ini sesungguhnya merasa terikat oleh budaya patriarkat, tetapi dengan segala kebebasan yang mereka miliki, mereka tetap memilih menjadi perempuan dalam lingkaran patriarkat tersebut, meskipun dengan membawa luka yang tiada pernah usai. Luka bisa sembuh jika diobati, tapi tetap berbekas. Betapa jeleknya suatu bekas.
256
Warna hitam, cokelat, atau kemerahan yang mengganggu. Umumnya perempu‐ an benci bekas luka. Secara pasti dapat mengurangi kecantikan, membuat seseorang tidak percaya diri (Ka, 2011:98). SIMPULAN Secara permanen, perbedaan biologis antara laki‐laki dan perempuan merupa‐ kan kodrat Tuhan. Namun, perbedaan gender keduanya ini bukan merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan. Hal ini me‐ rupakan perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki‐laki dan perem‐ puan, yang diciptakan oleh manusia me‐ lalui proses sosial dan kultural yang pan‐ jang. Oleh sebab itu, gender berubah dari masa ke masa. Sifat laki‐laki dalam konsep feminis‐ me bisa juga dimiliki oleh kaum hawa. Tuntutan itu berkembang sampai pada tingkatan maskulinitas, yaitu kesetaraan antara perempuan dengan pria dalam segala hal. Setelah mereka berhasil men‐ dobrak posisi kaum perempuan, ternya‐ ta perjuangan itu sendiri justru menim‐ bulkan bencana bagi mereka sendiri. Se‐ ringkali wanita menderita secara fisik maupun batin sebagai akibatnya. Cerpen‐cerpen Yetti A. Ka dalam kumpulan yang berjudul Satu Hari Bukan di Hari Minggu ini menyuarakan kehidupan perempuan dengan segala lu‐ ka dan kekecewaan, serta pilihan hidup yang tidak terelakkan. Namun demikian, perempuan‐perempuan dalam SHBdHM ini tidak berusaha keras untuk keluar dari luka yang mereka hadapi. Bahkan sebagian perempuan di dalamnya se‐ olah‐olah menikmati perihnya luka itu. Perempuan‐perempuan dalam kumpul‐ an cerpen yang disajikan pengarang ini sesungguhnya merasa terikat oleh bu‐ daya patriarkat. Tetapi dengan segala ke‐ bebasan yang mereka miliki, mereka te‐ tap memilih menjadi perempuan dalam lingkaran patriarkat tersebut, meskipun
Perempuan dengan Segala Luka ... (Dessy Wahyuni)
dengan membawa luka yang tidak per‐ nah usai. DAFTAR PUSTAKA Chrispina. 29 Maret 2011. “Teori Kritik Sastra Feminis”. (http://impian‐ dalamhati.blogspot.com/2011/03/t eori‐kritik‐sastra‐feminis.html. Di‐ akses 31 Maret 2011). Dodo. “6 Januari 2011, Kumpulan Cerpen Yetti A. Ka Dibedah” (http://www.padangmedia.com/? mod=berita&id =65619. Diakses 4 Mei 2011). Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Pe nelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpress. Hedrarti, I. M. 21 Juli 2009. Pendekatan Feminisme Dalam Studi Gender (http:// staff.undip.ac.id/sastra /hendrati/2009/07/21/pendekata n‐feminisme‐dalam‐studi‐gender/. Diakses 31 Maret 2011).
Ka., Yetti A. 2011. Satu Hari Bukan di Ha ri Minggu. Yogyakarta: Gress Pub‐ lishing. Okbah, Farid Achmad. 21 Maret 2002. Feminisme dalam Timbangan. (http://alislamu. com/artikel/40‐ feminisme‐dalam‐timbangan.html. Diakses 31 Maret 2011). Putri, Riski Rani. 15 Juni 2008. Feminisme Kok Salah Kaprah? (http://www.dudung.net/artikel‐ bebas/feminisme‐koqsalah‐kaprah. html. Diakses 31 Maret 2011). Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ‐‐‐‐‐‐‐‐. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalis me Hingga Postrukturalisme Pers pektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugihastuti. 2007. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
257