PEREMPUAN DAN KDRT : REALITAS DAN UPAYA PENCEGAHANNYA (STUDI DI WILAYAH KABUPATEN JEMBER TAHUN 2012)
Dewi Rokhmah*, Rokhani** *Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember E-mail:
[email protected] **Bagian Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Tehnologi Pertanian Universitas Jember
ABSTRAK Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) telah menjadi agenda bersama dalam beberapa dekade terakhir. Fakta menunjukkan bahwa KDRT memberikan efek negatif yang cukup besar bagi wanita sebagai korban. Laporan Khusus dari PBB mengenai “Kekerasan terhadap Wanita” telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai gender sebagai kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga dengan target utama terhadap wanita dikarenakan peranannya dalam lingkup tersebut; atau kekerasan yang dimaksudkan untuk memberikan akibat langsung dan negatif pada wanita dalam lingkup rumah tangga”. Ada empat jenis kekerasan dalam rumah tangga, yaitu kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. Namun masyarakat memahami kekerasan hanya sebatas kekerasan fisik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kejadian KDRT di Kabupaten Jember serta upaya pemerintah dalam mencegahnya. Penelitian ini menggunakan metode diskriptive analitik dengan menggunakan data sekunder dari laporan Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu (PPT), BPPKB Kabupten Jermber. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Karakteristik korban yang mengalami KDRT adalah perempuan berusia 21 – 30 tahun, pendidikan SMA, profesi ibu rumah tangga, terjadi di rumah sendiri, usia pernikahannya 1 sampai 8 tahun, dan memiliki 2 orang anak, jenis kekerasan berupa penelantaran rumah tangga dan kekerasan fisik. Sedangkan upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah sosialisasi tentang KDRT serta pemberdayaan ibu rumah tangga agar mandiri secara ekonomi. Kata Kunci : Perempuan, Kekerasan, Rumah Tangga, Pencegahan
PENDAHULUAN Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah yang sangat penting karena menurut laporan WHO mengenai “Violence and Health” tahun 2002, kualitas kesehatan perempuan khususnya kesehatan psikologisnya menurun akibat tindak kekerasan yang dialaminya, utamanya yang dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri (Sonda, 2010). Di Indonesia sendiri, persentase terbesar dari kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan dalam lingkup rumah tangga. Data 2007 dari Komnas Perempuan menunjukkan kasus KDRT menempati angka tertinggi dari keseluruhan bentuk kekerasan terhadap perempuan, yakni 16,709 kasus atau 76%. Data serupa juga tercantum dalam Laporan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Pada periode Januari-April 2007, terjadi 140 kasus KDRT, berarti 35 kasus KDRT setiap bulan atau satu kasus per hari (Sonda, 2010).
Menurut Suryakusuma (1995) (dalam Keumalahayati, tanpa tahun), efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan (istri) lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka. In Kubany et al (2004) (dalam Nugraheni dkk, 2005), juga mengatakan bahwa perempuan yang mengalami penyiksaan berulang menunjukkan adanya Post Traumatic Stress Dissorder (PSTD) dibanding perempuan yang tidak mengalami penyiksaan. Para peneliti tersebut melaporkan bahwa prevalensi PSTD diantara perempuan di tempat perlindungan yang mengalami penyiksaan berulang berkisar antara 45% sampai 84%. Mereka juga melaporkan bahwa rasa bersalah merupakan masalah umum bagi perempuan yang mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Kondisi psikologis ini secara signifikan berkaitan dengan PSTD. Disamping merasa bersalah, banyak perempuan juga merasa malu. Mereka merasa bahwa perkawinan mereka telah gagal dan merasa malu karenanya. Kemudian mereka kembali akan merasa bersalah untuk meninggalkan hubungan mereka yang sudah buruk. Terdapat juga masalah psikologis lain yang berkaitan dengan pengalaman disiksa. Asertif dan toleransi mereka terhadap orang lain menjadi rendah (Nugraheni dkk, 2005). Di Indonesia sudah banyak ditemukan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, baik itu kekerasan fisik, kekerasan psikis maupun bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Namun dari semua kasus tersebut hanya sedikit yang telah diketahui. Sehingga fenomena ini layaknya seperti fenomena gunung es, dimana kasus-kasus yang telah diketahui merupakan kasus yang terlihat di permukaan saja. Sedangkan pada kenyataannya, sebenarnya masih sangat banyak peristiwa yang masih tersembuyi di bawah permukaan, yang belum diketahui oleh masyarakat luas. Menurut Nugraheni, dkk (2005), hal ini disebabkan selama ini kasus kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai masalah yang wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan. Perbuatan kekerasan terhadap perempuan sering dianggap kesalahan perempuan itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa fenomena kekerasan terhadap perempuan jarang diungkap dan dibicarakan orang. Pengaruh psikologis akibat tindak kekerasan terhadap perempuan biasanya justru tidak terlihat langsung sehingga cenderung diabaikan. Terlepas dari apakah akibat kekerasan itu bisa terlihat langsung atau baru tampak kemudian, yang jelas dampak kekerasan seperti gangguan kesehatan, hilangnya konsep diri dan rasa percaya diri akan menghambat perempuan korban kekerasan untuk berpartisipasi secara optimal dalam masyarakat. Ini berarti hilangnya sumber daya manusia yang sangat penting. WHO memperkirakan perempuan yang mengalami kekerasan akan kehilangan 50% produktivitasnya (Nugraheni dkk, 2005).
Menurut catatan tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan tahun 2010 yang disusun berdasarkan laporan dari lembaga pengada layanan yang bermitra dengan Komnas Perempuan, jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang terjadi di Indonesia selalu meningkat setiap tahun (tahun 2001 – 2009). Berikut ini jumlah kumulatif kasus KtP mulai tahun 2001 sampai dengan 2009.
160000
143586
140000 120000 100000 80000 54425
60000 40000 20000
3169 5163 7787
14020
20391 22512 25522
0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun Diagram 1 Jumlah Kumulatif Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan mulai tahun 2001 sampai dengan 2009 (Sumber : Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2010) Menurut Komnas Perempuan (2010), Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terbagi ke dalam tiga ranah, yakni kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dan relasi personal, kekerasan di komunitas, dan kekerasan yang berkaitan dengan peran negara. Berdasarkan laporan catatan tahunan kekerasan terhadap perempuan tahun 2009, jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal paling tinggi (95%) dibandingkan dengan kedua bentuk KtP yang lain (kekerasan di komunitas dan kekerasan berkaitan dengan peran negara). Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas tercatat hampir 5% pada tahun 2009 dan KtP yang berkaitan dengan peran negara tercatat kurang dari 1% (ada 54 korban). Hal ini sama dengan catatan tahun-tahun yang lalu, dimana jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga dan relasi personal selalu menduduki posisi tertinggi (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2010). Menurut Kompas Rabu, 29 Desember (2004), Di Indonesia, Yayasan Mitra Perempuan melaporkan telah membantu 329 perempuan korban kekerasan yang berasal dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Dari jumlah tersebut, 88% diantaranya merupakan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Pelakunya 82% adalah suami, 3% mantan suami, 3% orang tua/saudara kandung/anak (Nugraheni dkk, 2005).
Di Kabupaten Jember sendiri, menurut laporan dari kantor Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) BPPKB Kabupaten Jember mengenai data pendampingan korban, jumlah korban kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk kekerasan fisik dan bentuk penelantaran juga meningkat dari tahun 2010 hingga 2011. Berikut ini adalah data sekunder mengenai jumlah korban kasus kekerasan yang berasal dari PPT BPPKB Kabupaten Jember dalam dua tahun terakhir. 16 14 12 10 8 6 4 2 0
14 15 12 10 6
6
5 3
0
1
tahun 2010 tahun 2011
Diagram 2 Jumlah Korban Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan mulai Tahun 2010 hingga Tahun 2011 (Sumber: Data Pendampingan Korban PPT BPPKB Kabupaten Jember, 2012) Permasalahan mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam bentuk KDRT ini tidak hanya sebatas pada tingginya angka kejadian saja, namun kekerasan dalam rumah tangga ini harus dicegah secepatnya karena menurut Nugraheni dkk (2005), trauma fisik dan psikologis tidak hanya akan dialami oleh perempuan tetapi juga anak-anak. Anak-anak dapat ikut menjadi korban karenanya. Peristiwa kekerasan yang terjadi di depan mata mereka saat masih kanak-kanak akan berpengaruh pada kondisi psikologis mereka saat dewasa. Pada umumnya, seorang suami yang suka melakukan kekerasan juga akan menjadi ayah yang suka melakukan kekerasan. Anak-anak kemudian akan menjadi korbannya. Saat dewasa, anak-anak ini juga dapat melakukan tindak kekerasan terhadap anak mereka. Lingkaran ini tidak akan putus sampai adanya usaha untuk mematahkannya dengan program pencegahan agar para pelaku tidak melakukan tindak kekerasan kembali (Nugraheni dkk, 2005). Berdasarkan uraian tersebut di atas dan mengingat tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya bentuk kekerasan dalam rumah tangga serta mengingat tugas pokok dan fungsi dari bidang Pemberdayaan Perempuan BPPKB yang salah satunya berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai gambaran karakteristik para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan upaya pencegahannya di wilayah kerja lembaga Pusat Pelayanan Terpadu BPPKB Kabupaten Jember.
METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang kejadian KDRT dalam perspektif gender di wilayah kerja Lembaga PPT BPPKB Kabupaten Jember tahun 2012, yang dilakukan pada bulan Febuari-Maret 2012 dengan metode diskriptif analitik dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) BPPKB Kabupaten Jember dari Bulan Januari-Desember 2011. Kemudian data diolah dan dianalisa secara deskriptif dengan perspektif gender yaitu menggunakan pemikiran yang logis dikaitkan dengan konsep gender dalam bidang kesehatan. Telaah pustaka juga dilakukan untuk memperkaya dan mempertajam analisa data yang dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Karakteristik Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 1.1 Umur Perempuan Korban KDRT Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran usia (umur) korban adalah sebagai berikut : Tabel 1.1 Karakteristik Perempuan Korban KDRT Berdasarkan Usia No. 1. 2. 3. 4.
Usia
Jumlah 2 17 12 8 Jumlah 39 Sumber : Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011. 11-20 21-30 31-40 > 40
Presentase (%) 1 48 33 18 100
Dari tabel 1.1 diketahui bahwa sebagian besar perempuan (korban) KDRT adalah berusia 21-30 tahun sebanyak 19 orang dengan persentase 48%. Pada rentang usia ini menurut teori Levinson dkk (dalam Haditono, 2006) merupakan periode pertama pengenalan dengan orang dewasa dan masih berusaha untuk membentuk struktur kehidupan yang stabil. Seseorang akan mencari tempat dalam dunia kerja dan dunia hubungan sosial baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Oleh sebab itu pada rentang usia 21-30 ini banyak perempuan yang mengalami KDRT karena struktur kehidupan seseorang pada usia ini masih belum stabil (Haditono, 2006). Menurut Purwaningsih (2008) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor penyebab KDRT, perempuan yang paling sering mengalami tindak KDRT adalah pada rentang usia 21-31 tahun. Hal ini dikarenakan wanita pada usia 21-30 tahun masih memiliki Ego yang tinggi dan merasa mempunyai kedudukan yang sama dengan suami sehingga suami merasa tidak dihormati dan akibatnya suami mudah melakukan kekerasan. 1.2 Tingkat Pendidikan Perempuan Korban KDRT Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran tingkat pendidikan korban adalah sebagai berikut :
Tabel 1.2 Karakteristik Perempuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan
Jumlah 3 7 18 11 Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011 SD SMP SMA PT
Presentase (%) 8 18 46 28 100
Dari tabel 1.2 diketahui bahwa sebagian besar perempuan (korban) KDRT memiliki tingkat pendidikan terakhir cukup tinggi yakni sudah sampai Sekolah Menengah Atas sebanyak 18 orang dengan persentase 46%. Latar belakang pendidikan seseorang berhubungan dengan tingkat pengetahuan (Kusumawati, 2004). Hal ini juga diperkuat oleh Arif (1996) dalam Purwaningsih (2008) yang menyatakan bahwa minimnya pendidikan istri bisa menyebabkan ataupun memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Si istri biasanya tidak berani mengucapkan kata “tidak“ kepada suaminya, karena minimnya pengetahuan mereka akan norma hukum yang berlaku, terutama yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami serta istri. Mereka seakan-akan patuh pada budaya leluhur bahwa tugas seorang perempuan (istri) semata-mata mengurus suami dan anak-anaknya. Menurut Kusumawati (2004), semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin mudah menerima konsep hidup sehat dan bahagia secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Pendidikan dapat meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelektual ini berpengaruh pada wawasan, cara berfikir, baik dalam cara pengambilan keputusan maupun dalam pembuatan kebijakan. Semakin tinggi pendidikan formal akan semakin baik pengetahuan tentang kesehatan (Hastono, 1997) dalam (Kusumawati, 2004), yang dapat diterapkan pada kehidupan seharihari, termasuk cara bagaimana mengusahakan agar kehidupan rumah tangga menjadi sehat dan bahagia tanpa adanya pertengkaran hebat dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri yang meliputi suami, ayah, ataupun anak. Hasil perolehan ini juga menguatkan beberapa hasil penelitian yang telah diuraikan di atas yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan semakin tinggi, maka tingkat pengetahuan dan kematangan intelektual seorang perempuan pun akan semakin meningkat dan memiliki kemampuan lebih besar untuk berpikir jernih (Rockhmah 2004 dalam Hanum, 2006) sehingga akan memperkecil terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. 1.3 Pekerjaan (Profesi) Perempuan Korban KDRT Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran pekerjaan (profesi) korban adalah sebagai berikut : Tabel 1.3 Karakteristik Perempuan Berdasarkan Pekerjaan (Profesi) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Pekerjaan Ibu rumah tangga Wiraswasta Pegawai Swasta PNS Tidak bekerja
Jumlah 12 12 3 6 6
Presentase (%) 31 31 8 15 15
Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011
100
Dari tabel 1.3 diketahui bahwa sebagian besar perempuan (korban) KDRT yang berperan sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta masing-masing sebanyak 12 orang dengan persentase 31%. KDRT adalah cerminan ketidakberhargaan perempuan di mata suaminya (Purwaningsih, 2008). Salah satu penyebab perempuan tidak berdaya adalah karena ia tergantung atau tidak bisa mandiri, terutama dalam bidang pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dalam rumah tangga. Ketidakmandirian ekonomi ini pada dasarnya bukan merupakan kesalahan dari istri, sebab dalam aturan perkawinan yang kita anut, ketika laki-laki dan perempuan terikat dalam sebuah perkawinan, maka tanggung jawab ekonomi menjadi kewajiban laki-laki dan sekaligus menjadi hak perempuan untuk mendapatkannya, karena perempuan di sini menjalankan fungsi reproduksinya. Ketergantungan inilah yang menyebabkan sering kali seorang istri tidak berani memperingatkan suaminya yang berbuat salah. Hal ini kemudian membuat masyarakat beranggapan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri mereka adalah suatu tindakan kewajaran atau lumrah. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah terbanyak perempuan korban KDRT adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga dan wiraswasta masing-masing sebanyak 12 orang. Bagi mereka yang berperan sebagai ibu rumah tangga saja dan tidak bekerja tentunya tidak mendapatkan penghasilan sendiri (tanpa kemandirian ekonomi) dan hanya mengandalkan penghasilan suami. Hal ini tentunya sangat memicu terjadinya tindak KDRT karena menurut Purwaningsih, (2008), para perempuan tersebut sangat bergantung kepada suami mereka sehingga mereka tidak berani memperingatkan suaminya apabila suami mereka berbuat salah, khususnya para suami yang melakukan tindak kekerasan kepada perempuan (istrinya). 1.4 Tempat Tinggal Perempuan (Korban) KDRT Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran keberadaan tempat tinggal korban berdasarkan letak kecamatan adalah sebagai berikut : Tabel 1.4 Karakteristik Tempat Tinggal Korban Berdasarkan Letak Kecamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Kecamatan Kencong Umbulsari Gumukmas Puger Wuluhan Ambulu Tempurejo Rambipuji Bangsalsari Sumberbaru Sukowono Sukorambi Kaliwates Sumbersari Patrang Ajung
Jumlah 1 1 1 1 2 3 1 1 1 1 1 1 6 8 6 3
Persentase (%) 3 3 3 3 5 8 3 3 3 3 3 3 15 21 15 8
17.
Arjasa 1 Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011
3 100
Dari tabel 1.4 diketahui bahwa tempat tinggal terbanyak perempuan (korban) KDRT berdasarkan letak kecamatan adalah di Kecamatan Sumbersari sebanyak 8 orang dengan persentase 21%. Kecamatan Sumbersari ini merupakan daerah yang tergolong wilayah perkotaan dan
padat penduduknya karena letaknya yang sangat dekat dengan pusat kota dan juga banyak kampus yang berdiri di kecamatan ini. Akibatnya tindak KDRT di Sumbersari lebih banyak jumlahnya karena faktor letak geografisnya memicu timbulnya tindak kejahatan (Soedjono, 1973) (dalam Suyanto dkk, 2000) khususnya KDRT . Kartono (1981) (dalam Suyanto dkk, 2000) menyebutkan bahwa secara teoritis, modernisasi dan industrialisasi adalah faktor gabungan yang menyebabkan semakin kompleksnya kehidupan dalam masyarakat dan pada gilirannya kemudian mengakibatkan makin banyak bermunculan problema sosial serta gangguan atau disorder mental di kota-kota. Kondisi seperti ini mengakibatkan semakin banyaknya warga masyarakat dan anggota keluarga yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri dengan cepat terhadap perubahan sosial yang cepat itu. Sebagian di antaranya mungkin akan mengalami frustasi, konflik terbuka baik eksternal maupun internal, ketegangan batin dan menerima gangguan mental. Diduga individu-individu yang tidak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan inilah yang kemudian melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan (korban). Perilaku kekerasan yang dilakukan merupakan ekspresi untuk melepaskan perasaan tertekan dan perasaan kesal akibat tidak berdaya dalam menghadapi masalah hidup dan tanggung jawab mereka (Suyanto, dkk, 2000).
Individu-individu yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri dengan cepat tersebut banyak terjadi di daerah perkotaan (Suyanto dkk, 2000) maupun di daerah yang dekat dengan pusat kota. Kehidupan di perkotaan dengan sifat individualisme yang tinggi sangat perlu diwaspadai karena dapat melunturkan nilai kemanusiaan. Secara umum masyarakat mengalami penurunan kepekaan sosial dan kepedulian terhadap orang lain (Badan Penelitian dan pengembangan Propinsi Jawa Tengah, 2008). Menurut Wiyarti (2008), lokasi perkotaan (urban community) merupakan wilayah dengan ciri kepadatan penduduknya yang tinggi dan sifat-sifat kehidupan serta ciri-ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan terdapat perbedaan yang mencolok, baik pandangan hidup, maupun cara-cara menilai sesuatu, terhadap makanan misalnya, orang desa hanya memandang makanan sebagai alat yang berfungsi untuk mempertahankan hidup, demikian juga perumahan berfungsi sebagai tempat berlindung. Sementara banyak kehidupan di kota-kota
yang dikarakteristik oleh anominity atau tidak saling kenal mengenal, misalnya seseorang yang pergi agak jauh dari rumahnya kemungkinan sudah tidak dikenal lagi oleh orang-orang di tempat tersebut, walaupun sama-sama masih tinggal di daerah yang sama. Adanya perbedaan orang satu dengan yang lain atau antara keluarga yang satu dengan yang lain, misalnya mengenai pandangan politiknya, ideologinya, tingkat pendidikan, latar belakang kehidupannya, berkembangnya
tingkat
sosial
kriminalitas.
yang Adanya
jauh
berbeda
dan
bermacam-macam
sebagainya, perbedaan
menyebabkan tadi
seringkali
menimbulkan ketegangan-ketegangan psikis maupun bermacam-macam kekerasan yang terjadi termasuk dalam lingkup rumah tangga (Badan Penelitian dan pengembangan Propinsi Jawa Tengah, 2008). 1.5 Status Pernikahan Perempuan (Korban) KDRT Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran status pernikahan korban adalah sebagai berikut : Tabel 1.5 Karakteristik Perempuan (Korban) Berdasarkan Status Pernikahan No. 1. 2. 3. 4.
Status Pernikahan Jumlah Nikah siri 4 Nikah resmi 25 Cerai 4 Belum Menikah 6 Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011
Presentase (%) 10 65 10 15 100
Dari tabel 1.5 dapat diketahui bahwa sebagian besar perempuan (korban) KDRT memiliki pernikahan resmi sebanyak 25 orang dengan persentase 65%. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan resmi pun tidak menjamin bahwa seorang perempuan tidak akan mengalami tindak kekerasan oleh pasangannya karena menurut Kartono (2007), wanita yang menderita dan tidak berbahagia dalam perkawinannya sebenarnya bukan disebabkan oleh status perkawinan. Banyak wanita yang sangat menderita dan tidak berbahagia dalam perkawinan, sebenarnya bukan disebabkan oleh status perkawinannya, akan tetapi disebabkan oleh tidak siap dan kurangnya kemampuan wanita tersebut memainkan beberapa peranan atau peranan ganda yang berbeda-beda dalam status perkawinan. Kemampuan tersebut tidak hanya diperlukan dalam kondisi perkawinan saja, akan tetapi juga berlaku pada setiap kondisi kehidupan manusia. Maka agar wanita mampu melaksanakan macam-macam peranannya, diperlukan kedewasaan psikis. Kedewasaan psikis pengertiannya adalah memiliki emosi yang stabil, bisa mandiri, menyadari tanggung jawab, terintegrasi segenap komponen kejiwaan, mempunyai tujuan dan arah hidup yang jelas, produktifkreatif, dan etis-religius. Melalui kedewasaan psikis tersebut akan dicapai kebahagiaan, kestabilankeseimbangan jiwa dan kebahagiaan hidupnya (Kartono, 2007). 1.6 Usia Pernikahan Perempuan Korban KDRT
Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran usia pernikahan korban adalah sebagai berikut : Tabel 1.6 Karakteristik Perempuan (Korban) Berdasarkan Usia Pernikahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7
Usia Pernikahan (tahun) Jumlah <1 1 1-8 9 9-16 5 17-24 2 25-32 2 >32 0 Tidak diketahui 20 Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011
Presentase (%) 2 24 12 5 5 0 52 100
Dari tabel 1.6 dapat diketahui bahwa sebagian besar perempuan (korban) KDRT memiliki usia perkawinan 1-8 tahun sebanyak 9 orang dengan persentase 24%. Hasil tersebut memiliki kesamaan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Yogyakarta, yang menyebutkan bahwa kekerasan terbanyak yang dialami wanita adalah pada usia perkawinan 1 – 5 tahun. Pada tahun-tahun awal perkawinan, perlu penyesuaian dalam segala aspek yang berhubungan dengan rumah tangga, termasuk hal yang berkaitan dengan jadwal dan kesepakatan melakukan hubungan seksual. Pada umumnya, wanita yang memasuki usia awal perkawinan memiliki ketegangan sebelum melakukan hubungan seksual karena belum terbiasa dan belum menyadari bahwa melakukan hubungan seksual adalah suatu kewajiban dan keharusan untuk melanggengkan perkawinan mereka. Penyebab seorang istri menolak diajak melakukan hubungan seksual dengan suami terutama disebabkan faktor kelelahan dan kekhawatiran akan hamil lagi. Akibatnya ketika para wanita tersebut merasa kelelahan karena telah bekerja dan mengurus rumah seharian, dengan mudahnya mereka menolak ajakan suami. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka keharmonisan rumah tangga dapat terganggu (Kusuma, 1999). 1.7 Status Hubungan Korban dengan Pelaku Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran status hubungan korban dengan pelaku pada tabel 4.11 berikut ini : Tabel 1.7 Karakteristik Perempuan (korban) Berdasarkan Hubungan Perempuan (Korban) dengan Pelaku No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hubungan dengan Pelaku Jumlah Suami 21 Mantan suami 3 Anak 1 Ayah 1 Pacar 1 Teman 2 Tetangga 1 Orang Lain 2 Tidak diketahui 7 Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011
Presentase (%) 54 8 2 2 3 5 3 5 18 100
Dari tabel 1.7 dapat diketahui bahwa sebagian besar pelaku adalah sebagai suami perempuan (korban), yakni sebanyak 21 orang dengan persentase 54%. Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang suami, berupa memukul atau menampar istri, menendang, dan memaki-maki dengan ucapan yang kotor. Kultur budaya masyarakat yang mengedepankan laki-laki dapat dipastikan posisi perempuan bersifat subordinasi terhadap laki-laki. Segala bentuk kekerasan yang terjadi bagi perempuan selalu mempunyai legitimasi kultural masyarakat, karena memang posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki. Pencegahan kekerasan dilakukan secara terus-menerus dengan diberlakukannya sistem hukum yang diharapkan dapat mengatasi masalah tindak kekerasan terhadap perempuan (Katjasungkana dalam Bekti, 2010). Terjadinya kekerasan dalam keluarga akan menimbulkan dampak yang negatif pada anak bahkan keluarga itu sendiri, seperti istri menuntut untuk bercerai karena tidak tahan akan perilaku suami yang keras. Gunarsa (2007) (dalam Bekti, 2010) berpendapat bahwa perbedaan pertentangan dan kekecewaan baik dalam segi materi, mental maupun seksual, telah membentuk dinding pemisah antara suami dan istri. Ketidaksesuaian ini memberi kesempatan bagi terbentuknya hubungan segitiga atau lebih. Hubungan yang tidak wajar lagi antara beberapa individu ini memperbesar dinding pemisah dan merusak keutuhan keluarga. Penderitaan ini akan lebih dirasakan oleh kaum istri, kerena istri merupakan penampung emosi dari suami. Data yang diperoleh dari Rifka Anissa Women’s Crisis Centre dalam Bekti (2010), menunjukkan tahun 1994 s/d tahun 2003 kasus KDRT berjumlah 1511 kasus. Tiap tahun selalu mengalami peningkatan, mulai 18 kasus (1994), 82 kasus (1995), 134 kasus (1996), 188 kasus (1997), 208 kasus (1998) dan terakhir 282 kasus (1999). Dari 706 kasus, pengaduan terbanyak merupakan korban kekerasam suami (70%), bahkan ada korban yang sampai buta. Namun ironisnya kurang dari 2% yang bersedia membawa kasusnya baik ke pengadilan maupun melapor ke polisi (Saraswati, 2006 dalam Bekti, 2010). 1.8 Tempat Terjadinya Tindak Kekerasan yang Dialami Korban KDRT Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran tempat terjadinya tindak kekerasan yang dialami korban seperti yang terlihat pada tabel 4.12 sebagai berikut : Tabel 1.8 Karakteristik Perempuan (korban) Berdasarkan Tempat Terjadinya Tindak Kekerasan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tempat Terjadinya Jumlah Rumah korban 17 Rumah Pelaku 1 Tempat bekerja 1 Lain-lain 4 Tidak diketahui 16 Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder terolah PPT Kabupaten Jember, 2011
Presentase (%) 44 2 3 10 41 100
Dari tabel 1.8 dapat diketahui tempat terjadinya tindak kekerasan terhadap korban yang memiliki jumlah terbanyak adalah di rumah korban, yakni sebanyak 17 orang dengan persentase 44%. Apabila anggapan umum menyatakan tempat yang berbahaya adalah di luar rumah, namun bagi perempuan faktanya tidak demikian. Perempuan dan anak justru lebih banyak yang mengalami kekerasan dalam lingkup rumah tangga yakni di dalam rumah, baik dalam kaitannya dengan perannya sebagai istri atau anggota keluarga lain (Purwaningsih, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah terbanyak tempat terjadinya tindak KDRT adalah berada di rumah korban, yakni sebagian besar adalah rumah perempuan (korban) dengan pasangannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Suyanto (2000), yang menyebutkan bahwa pelaku tindak KDRT menganggap bahwa tindak KDRT yang mereka lakukan terhadap perempuan (istri) tidak akan diperhatikan oleh orang lain karena tempat terjadinya tertutup di dalam rumah perempuan (korban) dengan pasangannya (suaminya). Menurut Komnas Perempuan (2005), Secara keseluruhan, trend yang terjadi sepanjang tahun 2004 menunjukkan lokus dan konteks Kekerasan Terhadap Perempuan terjadi: dalam rumah, dalam proses migrasi, dalam pengelolaan sumber alam, dalam konflik bersenjata, dan dalam keterkaitannya dengan politisasi agama. Secara kuantitatif, Kekerasan Terhadap Perempuan paling banyak terjadi di dalam rumah, yakni sebanyak 13.968 kasus. 1.9 Jenis Kekerasan yang Dialami Korban KDRT Berdasarkan data yang terdapat di lembaga PPT pada tahun 2011 dapat diketahui sebaran jenis kekerasan yang dialami korban seperti yang terlihat pada tabel 1.9 sebagai berikut : Tabel 1.9 Karakteristik Perempuan (korban) Berdasarkan Jenis Kekerasan yang Dialami No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Kekerasan Jumlah Kekerasan fisik 12 Kekerasan psikis 6 Kekerasan seksual 1 Penelantaran 15 Lain-lain 5 Jumlah 39 Sumber: Data Sekunder PPT Kabupaten Jember, 2011
Presentase (%) 31 15 3 38 13 100
Dari tabel 1.9 dapat diketahui bahwa sebagian besar perempuan (korban) KDRT mengalami kekerasan dalam bentuk penelantaran sebanyak 15 orang dengan persentase 38% dan urutan kedua mengalami kekerasan fisik sebanyak 12 orang dengan persentase 31%. Menurut UU RI No 23 tahun 2004, Yang termasuk lingkup kekerasan dalam rumah tangga adalah : 1. Kekerasan fisik adalah adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat. 2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, dan Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4. Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Berdasarkan hasil yang didapat dari lembaga PPT Kabupaten Jember pada tahun 2011, maka bentuk kekerasan yang paling sering dialami oleh korban adalah penelantaran rumah tangga dan disusul jenis kekerasan fisik. Selisih jumlah kedua jenis kekerasan tersebut hanya sedikit, dimana penelantaran rumah tangga sebanyak 15 orang dan jenis kekerasan fisik sebanyak 12 orang. Hasil perolehan ini hampir sama dengan penelitian Purwaningsih (2008) di polres Mataram yang menyatakan bahwa jumlah kasus KDRT yang ditangani oleh pihak Polres Mataram selama tahun 2006 adalah 59 kasus yang terdiri dari beberapa jenis KDRT, yaitu antara lain kekerasan fisik sejumlah 35 kasus, kekerasan psikis sejumlah 8 kasus, sedangkan untuk kekerasan seksual 5 kasus, dan jumlah penelantaran rumah tangga adalah sebanyak 11 kasus. Sementara itu pada tahun 2007 kasus KDRT yang masuk ke Polres Mataram sebanyak 81 kasus, antara lain kekerasan fisik sejumlah 42 kasus, kekerasan psikis sejumlah 13 kasus, sedangkan untuk kekerasan seksual 8 kasus, dan jumlah penelantaran rumah tangga adalah sebanyak 18 kasus. 2. Upaya Pencegahan KDRT oleh Pemerintah Pemerintah dalam hal ini BPPKB kabupaten Jember memiliki Bidang Pemberdayaan Perempuan yang mempunyai tugas mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam upaya peningkatan kualitas hidup permpuan dan perlindungan anak. Termasuk di dalamnya dalam upaya pencegahan dan penanganan KDRT di wilayah Kabupaten Jember. Adapun fungsi Bidang Pemberdayaan Perempuan adalah sebagai berikut : 1) Meningkatkan pemberdayaan perempuan melalui peningkatan kualitas hidup perempuan; 2) Memasyarakatkan kesetaraan dan keadilan gender; 3) Memberikan perlindungan terhadap anak. Bidang Pemberdayaan Perempuan ini memiliki 2 seksi, yaitu : a) Seksi Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Perlindungan Anak, mempunyai tugas : 1) Meningkatkan pemberdayaan perempuan serta memberikan perlindungan anak; 2) Meningkatkan Gerakan Sayang Ibu (GSI); 3) Meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan; 4) Memberikan pemahaman akan hak anak dan azasi manusia. b) Seksi Pengarusutamaan Gender, mempunyai tugas :
1) Mengangkat harkat, martabat dan derajat perempuan dengan pendekatan pengarusutamaan gender (PUG); 2) Meningkatkan kesadaran, kepekaan dan kepedulian gender bagi masyarakat terutama perumus kebijakan, pengambil keputusan, perencana dan penegak hukum; 3) Membangun citra diri perempuan melalui pengarusutamaan gender (PUG). Sedangkan program yang sudah dilaksanakan Bidang Pemberdayaan Perempuan adalah : 1. Peningkatan Kemandirian Perempuan secara Ekonomi. a) Kegiatan Pelatihan Menjahit dan Bordir Untuk Perempuan Pedesaan Kegiatan pelatihan menjahit dan bordir untuk perempuan pedesaan merupakan salah satu program dari bidang Pemberdayaan Perempuan (PP). Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pemberdayaan perempuan dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Sasaran dari kegiatan ini yaitu perempuan, terutama yang tinggal di pedesaan. Kecenderungan perempuan pedesaan lebih mengandalkan suami atau peran laki-laki dalam memperoleh pendapatan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, antara lain : faktor biaya, dimana keterbatasan biaya yang menyebabkan sebagian besar perempuan tidak dapat melanjutkan pendidikan, perbedaan gender yang lebih mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan, dan sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan perempuan terkadang dianggap lemah. Oleh sebab itu, dengan adanya pelatihan ini diharapkan semua perempuan tersebut tidak lagi dianggap lemah karena mereka dapat membantu penghasilan keluarga mereka. b)
Kegiatan Program Pemberdayaan Perempuan Pengembang Ekonomi Lokal (P3EL) Kegiatan Program Pemberdayaan Perempuan Pengembang Ekonomi Lokal (P3EL) merupakan
salah satu program yang diamanahkan BPPKB Propinsi Jawa Timur kepada BPPKB Kabupaten Jember khususnya pada bidang Pemberdayaan Perempuan (PP). Amanah tersebut berupa pemberian dana yang dianggarkan sebagai Rencana Aksi Daerah (RAD) dan bertujuan untuk melaksanakan dan mengembangkan program Pemberdayaan Perempuan Pengembang Ekonomi Lokal (P3EL). Tujuan khusus dari program ini adalah memberdayakan perempuan dengan meningkatkan tingkat ekonominya. Jadi semua perempuan khususnya yang tinggal di pedesaan disarankan untuk membuka suatu usaha agar nantinya dapat meningkatkan ekonominya. Kegiatan ini dilaksanakan karena mengingat pada saat ini semakin marak dan kompleks jenis kasus kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan terhadap anak yang disebabkan oleh faktor ekonomi. Melalui kegiatan ini diharapkan seorang perempuan juga dapat meningkatkan ekonomi keluarganya sehingga kehidupan keluarga mereka bisa lebih sejahtera dan bahagia serta diharapkan dapat memperkecil jumlah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Kegiatan ini juga diaksanakan karena mengingat tugas pokok dan funsi dari lembaga PPT BPPKB Kabupaten Jember dalam upayanya melakukan pencegahan kasus perdagangan orang. Dengan adanya program ini diharapkan dapat membuat perekonomian masyarakat semakin meningkat sehingga diharapkan jumlah kasus perdagangan orang (anak) semakin sedikit.
Sasaran dari kegiatan program ini meliputi tokoh masyarakat, perangkat pemerintah baik Kepala Desa maupun Kepala Dusun, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), para ibu rumah tangga khususnya ibu-ibu yang tidak bisa menambah penghasilan keluarga, dan lembaga peduli perempuan dan anak. 2. Pendampingan hukum terhadap perempuan korban KDRT melalui Lembaga PPT
Pusat Pelayanan Terpadu adalah lembaga penyedia layanan terhadap korban kekerasan yang berbasis kesekretariatan dalam bentuk pelayanan psikososial dan pelayanan hukum, yang meliputi : rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, bantuan hukum dan pendampingan. PPT memiliki visi memberikan perlindungan terhadap korban dan atau saksi tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasa khususnya terhadap perempuan dan anak. 3. Sosialisasi KDRT dan penanggulangannya Sosialisasi KDRT dilakukan melalui pertemuan PKK di tingkat kelurahan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui tentang KDRT sekaligus dapat melakukan pelaporan di tempat yang sesuai apabila terjadi KDRT di wilayah kerja setempat. KESIMPULAN DAN SARAN Karakteristik perempuan korban KDRT sebagian besar berusia 21 – 30 tahun, pendidikan SMA, profesi ibu rumah tangga, terjadi di rumah sendiri, usia pernikahannya 1 sampai 8 tahun, dan memiliki 2 orang anak, jenis kekerasan berupa penelantaran rumah tangga dan kekerasan fisik. Sedangkan upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah sosialisasi tentang KDRT serta pemberdayaan ibu rumah tangga agar mandiri secara ekonomi. Dari penelitian ini, diharapkan pemerintah meningkatkan sosialisasi mengenai matangnya usia pernikahan dan upaya pencegahan KDRT, termasuk juga meningkatkan sosialisasi mengenai keberadaan dan fungsi lembaga Pusat Pelayanan Terpadu BPPKB Kabupaten Jember. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi Jawa Tengah. 2008. Penelitian Faktor-Faktor Penentu Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan. [serial on line]. http://gerbangtani.com/litbang/hasil_penelitian/4-kdrt.pdf (28 Februari 2012). Bekti, V, M. 2010. Ringkasan Skripsi Persepsi Istri terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga. Semarang : Universitas Diponegoro. [serial on line]. http://eprints.undip.ac.id/11140/1/INTISARI.pdf. (3 Maret 2012). Haditono, S. R. 2006. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hanum, F. 2006. Perempuan dan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta. [serial on line]. http://isjd.pdii.lipi.go.id/ admin/jurnal/ 13206101109.pdf. (4 Maret 2012).
Kartono, K. 2007. Psikologi Wanita 2. Bandung : CV Mandar Maju Keumalahayati. Tanpa Tahun. Kekerasan pada istri dalam rumah tangga berdampak terhadap kesehatan reproduksi. [serial on line]. www.fik.ui.ac.id. (1 Maret 2012). Komnas Perempuan. 2010. Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang. Jakarta : Komnas Perempuan. [serial on line]. http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2010/03/Catatan-TahuhanKekerasan-terhadap-Perempuan-tahun-2009-edisi-Launching.pdf. (23 Februari 2012). Kusumawati, Y. 2004. Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Gizi Ibu dengan Berat Bayi Lahir di RSUD dr. Moewardi Surakarta. [serial on line]. http://eprints.ums.ac.id/528/1/infokes_8%281%29_Yuli_kusumawati.pdf (3 Maret 2012). Nugraheni, W., Tana, S., dan Prawitasari, J. E.. 2005. Kekerasan Terhadap Perempuan Perspektif dan Penanganan. Yogyakarta : CHPSS. PPT BPPKB. 2012. Data Pendampingan Korban. Jember : BPPKB. Purwaningsih, E. 2008. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga (Stusi di Polres Mataram). Malang : Universitas Brawijaya. [serial on line]. http://unnes.academia.edu/Ilman Hakim/Papers/580336/pdf. (3 Maret 2012). Sonda, M. 2010. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga terhadap Gangguan Kesehatan Reproduksi Wanita di Rumah Sakit Bhayangkara Makassar Tahun 2010. Makassar : Poltekkes Makassar. [serial on line]. http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/221011920871325.pdf. (30 Februari 2012). Sukerti, Ni. Nyoman. 2005. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (kajian dari perspektif hukum dan gender). Denpasar : Universitas Udayana. [serial on line]. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/kekerasan%20rt% 20sukerti.pdf. (30 Februari 2012).