Membela Kebebasan Beragama
Percakapan dengan Neng Dara Affiah
Neng Dara Affiah Affiah, Komisioner dan Ketua Sub Komisi Pendidikan dan Penelitian Komnas Perempuan. Ia juga Ketua PP Fatayat NU dan Konsultan untuk program Women Empowerment Moslem Context (WEMC).
1316 a 18 b
Neng Dara Affiah
Sekularisasi mempunyai akar teologis dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan: kejarlah dunia seolah-olah kita akan hidup selamanya; dan kejarlah akhirat seolah-olah kita akan meninggal besok. Semangat yang harus kita ambil dari sekularisasi adalah mendobrak otoritarianisme kekuasaan atas nama Tuhan. Sementara dalam liberalisme setiap individu diberikan kebebasan berekspresi dan memilih sesuai dengan hati nurani dan nalarnya sendiri dengan menjunjung tinggi kepatuhan terhadap hukum dan aturan-aturan publik. Karena itu, di dalam negara yang demokratis, pluralisme adalah kemestian akan penghargaan, saling memahami, dan berdialog dengan masyarakat yang memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Bentuk konkretnya adalah bekerjasama memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
a 1317 b
Membela Kebebasan Beragama
Bagaimana Anda memahami sekularisme? Apakah Anda melihat perbedaan antara sekularisasi dan sekularisme? Saya sebetulnya tidak menyukai kata ‘isme’. Kata ini mengandung paham yang memutlakkan segala bentuk ideologi, agama atau yang lainnya. Sementara dalam agama atau ideologi terdapat paradoksparadoksnya tersendiri. Jika kita memperbincangkan sekularisasi, maka yang harus kita cermati adalah gagasan dasar atau aspek filosofisnya yang ingin mencoba memisahkan mana ranah duniawi dan mana yang wilayah agama. Saya melihat bahwa sekularisasi sebetulnya mempunyai akar teologisnya dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan: kejarlah dunia seolaholah kita akan hidup selamanya; dan kejarlah akhirat seolah-olah kita akan meninggal besok, (I‘mal li dunyâka ka’annaka ta‘îsyu abadan wa i‘mal li âkhiratika ka’annaka tamûtu ghadan). Di sini ada pesan bahwa urusan duniawi sebaiknya tidak dicampuradukkan dengan agama. Jika dicampuradukkan, maka besar kemungkinan akan terjadi manipulasi terhadap agama itu sendiri. Dalam konteks bernegara, Indonesia sebetulnya negara sekular, karena ia tidak menganut negara agama. Tetapi ia tidak sekular murni, karena dasar negara kita, Pancasila, telah menempatkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pilar utama. Hemat saya, Indonesia sebetulnya ingin pada posisi in between, yakni posisi di tengah-tengah antara posisi bukan negara agama (sekular), tetapi sangat mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang perilakunya terinspirasi oleh nilai-nilai agama. Di negara-negara Eropa dan Amerika pun demikian. Kendati mereka lantang memproklamirkan dirinya sebagai negara sekular, tetapi nilai-nilai religiusitas sangat mewarnai perilaku masyarakatnya. Negara Eropa, misalnya, secara moral dan hukum mereka terinspirasi ajaran Katolik, ilmu pengetahuan dan nalarnya terinspirasi dari kebudayaan Yunani, dan estetika dari kebudayaan Eropa itu sendiri. Amerika juga demikian. Jika kita membaca buku-buku terbitan Amerika yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, nuansa nilai-nilai Protestan sangat kental sekali. Bahkan untuk buku-buku bisnis sekalipun. Tanda mata uang mereka pun memiliki semboyan “In God We Trust”.
1318 ab
Neng Dara Affiah
Semangat awal sekularisme yang terjadi di Barat adalah pemisahan antara negara dengan gereja, karena pengalaman buruk di masa lalu atas dominasi gereja. Lantas sekularisme model seperti apa yang menurut Anda harus dijalankan oleh umat Muslim? Sekularisme Eropa memang memiliki konteks kesejarahan tersendiri. Ia berbeda dengan konteks kesejarahan di negara-negara berbasis Muslim. Oleh karena itu, yang bisa kita ambil adalah spirit atau semangatnya, sedangkan aplikasi atau implementasinya harus kita formulasikan bersama. Turki dengan kepemimpinan baru saat ini, misalnya, mencoba memformulasikan kembali bagaimana Sekularisasi tidak berarti orang harus meninggalkan ajaran agama, Islam yang moderat beradaptasi melainkan ajaran agama tertentu dengan sekularisasi, berdialog tidak mengganggu kenyamanan dengan anggota-anggota Uni penganut agama yang lain. Eropa serta mencoba menyingkirkan sekularisme yang selama Sekularisasi bukan berarti tidak puluhan tahun diterjemahkan menjunjung nilai-nilai kebaikan, kalangan militer. mereka sangat menghargai nilai-nilai Proses kesejarahan sekularis- kebaikan dan memiliki nilai-nilainya me di Barat lahir karena penguasa tersendiri. Hal ini bisa kita saksikan di gereja sekaligus juga penguasa beberapa negara yang dengan negara. Terjadi tumpang-tindih mana wilayah gereja dan mana bangga mengatasnamakan dirinya sekular, tingkat korupsi mereka wilayah negara. Kekuasaan pun cenderung absolut, karena pe- rendah dan pemerintahannya bersih, seperti Finlandia, Swedia, New nguasa gereja merepresentasikan dirinya sebagai wakil Tuhan yang Zealand, dan sebagainya. tidak bisa dikritik. Dari tumpangtindih kekuasaan tersebut, maka pelbagai gejolak pun muncul pada Abad Pertengahan ini. Tapi, dari pelbagai gejolak tersebut muncul manusia-manusia besar. Di Prancis, misalnya, ada Montesquieu, Voltaire, Leibniz, dan sebagainya di mana mereka bisa disebut sebagai pemikir pendobrak dari masa kegelapan Eropa menuju abad ilmu pengetahuan dan pencerahan. Teori-teori negara pun muncul pada masa ini, di antaranya teori Montesquieu yang mendobrak a 1319 b
Membela Kebebasan Beragama
absolutisme kekuasaan dan membagi kekuasaan melalui legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam hal ini, sekularisme Eropa melahirkan anak kandungnya yang lain, yakni ilmu pengetahuan. Dari ilmu pengetahuan inilah kemudian lahir apa yang disebut sebagai Abad Pencerahan (enlightment). Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa memang kesejarahan sekularisme di Barat berbeda dengan kesejarahan kita. Tetapi semangat yang harus kita ambil adalah bagaimana mereka dengan tegak mendobrak otoritarianisme kekuasaan atas nama Tuhan. Otoritarianisme atas nama Tuhan ini bisa terjadi pada agama manapun, tak terkecuali Islam. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam pun berlumur kekerasan, bertarung sesama umat Islam sendiri dalam memperebutkan kekuasaan. Mereka mengucapkan lafaz yang sama atas nama Tuhan ketika mereka berupaya saling menaklukkan. Anak kandung sekularisme di Barat adalah penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan pada gilirannya melahirkan peradaban yang besar. Dari pasca-pencerahan ini, negara-negara di mana kebijakannya berbasiskan ilmu pengetahuan menjadi maju. Banyak umat Islam dari negara-negara berbasis Muslim menjadi imigran dan menimba ilmu di negara-negara Eropa, Amerika, Australia, dan lain-lain. Saat ini (ketika transkripsi wawancara ini tengah saya edit) saya sedang di New Zealand. Saya menyaksikan sendiri bagaimana umat Islam di negara ini memiliki kemerdekaannya untuk beribadah, mereka sangat rukun dengan agama lain tanpa intervensi dari pemerintah setempat, hakhak dasar mereka benar-benar dilindungi. Negeri ini amat memperhatikan hal-hal dasar dari kebutuhan warga negara, seperti kebutuhan makanan, hak atas air bersih, hak orang untuk bekerja, hak warga negara untuk merasa aman, dan kebutuhan-kebutuhan dasar warga negara lainnya. Bahkan imigran Muslim dari tahun ke tahun semakin bertambah. Ini karena mereka merasa aman, yang mungkin tidak mereka peroleh di negerinya sendiri. Seringkali umat Islam phobi dengan kata sekularisme atau sekularisasi. Mereka yang phobi ini apakah sudah mempelajari akar-akar filosofisnya dan proses kesejarahannya? Saya khawatir mereka yang bersikap miring ini mempelajarinya dari informasi yang kurang akurat atau dari buku-
1320 ab
Neng Dara Affiah
buku yang memang paradigmanya sinis terhadap sekularisasi. Mereka ini pada umunya kalangan apologis. Untuk memahami gagasan tersebut, sangat baik apabila kita membacanya dari literatur sejarah Eropa pada Abad Pertengahan, karya-karya filsafat yang ditulis para filosof pada abad-abad ini atau karya-karya sastranya. Ini akan memperkaya kita bagaimana pergulatan negaranegara maju membangun dirinya Saya sebetulnya tidak menyukai kata hingga bisa seperti sekarang ini. Sekularisasi adalah bagian dari ‘isme’, karena kata ini mengandung paham yang memutlakkan segala proses tersebut. bentuk ideologi, agama atau yang Kembali ke pertanyaan bagaimana sebaiknya sekularisasi lainnya. Sementara dalam agama atau diterapkan di negara-negara ber- ideologi ada paradoks-paradoksnya basis Islam? Menurut saya, seku- tersendiri. Jika kita membincangkan larisasi sebaiknya tidak menghasekularisasi, maka yang harus kita langi seseorang untuk komitmen cermati adalah gagasan dasar atau atau taat menjalankan agamanya, aspek filosofisnya yang ingin mencoba sebagaimana yang bisa kita lihat memisahkan mana ranah duniawi dan di beberapa negara sekular yang mana yang wilayah agama. Saya memberikan kebebasan warga negaranya untuk patuh terhadap melihat bahwa sekularisasi sebetulnya ajaran agamanya. Dalam hal ini, mempunyai akar teologisnya dalam ajaran Islam. Islam mengajarkan sekularisasi tidak berarti orang harus meninggalkan ajaran agama, kejarlah dunia seolah-olah kita akan melainkan ajaran agama tertentu hidup selamanya dan kejarlah akhirat tidak mengganggu kenyamanan seolah-olah kita akan meninggal penganut agama yang lain. Sekubesok,( I’mal li dunyâka ka’annaka larisasi juga bukan berarti tidak ta‘îsyu abadan wa i’mal li âkhiratika menjunjung nilai-nilai kebaikan. ka’annaka tamûtu ghadan). Dalam masyarakat yang menerapkan sekularisasi mereka sangat menghargai nilai-nilai kebaikan dan memiliki nilai-nilainya tersendiri. Hal ini bisa kita saksikan di beberapa negara yang dengan bangga mengatasnamakan dirinya negara sekular, tingkat korupsi mereka rendah dan pemerintahannya bersih, seperti Finlandia, Swedia, New Zealand, dan sebagainya. Hanya saja negara tidak memiliki keberpihakan terhadap a 1321 b
Membela Kebebasan Beragama
agama tertentu dan ia harus dalam posisi netral, yang menjamin bahwa hak-hak agama apapun akan dilindungi, baik ia mayoritas maupun minoritas. Salah satu tesis yang dikemukakan oleh Abdullahi Ahmed an-Na’im adalah Islam bisa dengan mudah dipisahkan dari negara, namun tidak demikian halnya dari politik. Menurut An-Na’im, Islam akan lebih sulit untuk dipisahkan dari politik. Bagaimana tanggapan Anda? Mungkin an-Na’im benar bahwa Islam sulit dipisahkan dari politik, karena umat Islam mempunyai keyakinan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang holistik atau kâffah, yang mengajarkan kepada umatnya mulai dari urusan rumah tangga hingga urusan bernegara. Tetapi saya mempertanyakan, apa yang dimaksud dengan politik Islam? Apakah politik yang berbasis umat Islam, atau berbasis ajaran Islam? Jika berbasis umat Islam, maka pertanyaannya, Islam yang mana? Partai Islam saja di Indonesia lebih dari satu dan semuanya mengatakan partai Islam. Belum lagi variannya juga banyak, ada Islam NU, Muhammadiyah, Nahdhatul Wathan, Persis, dan lain-lain. Satu sama lain dalam memandang politik juga berbeda-beda. Sementara jika politik berbasis ajaran Islam, maka buat saya, upaya politik yang mengedepankan pemberantasan korupsi, perlindungan dan penegakkan terhadap hak-hak dasar manusia, perempuan maupun lakilaki, seperti hak untuk memperoleh perlindungan hukum bagi semua warga negara, hak untuk memperoleh rasa aman di negaranya, hak semua orang untuk bekerja dan memperoleh pendapatan yang layak dan hak untuk memperoleh pendidikan, semuanya adalah politik yang berbasis ajaran Islam. Karena ajaran Islam tidak membantah kebenaran dari argumentasi ajaran dan hak-hak yang diperoleh oleh manusia sebagaimana yang disebut di atas. Persoalannya, kepentingan politik dengan pendekatan hak-hak dasar manusia ini sering tidak menjadi agenda dan kepentingan partai-partai yang mengatasnamakan dirinya sebagai partai Islam. Mereka seringkali sibuk dengan permainan simbol Islam yang bersifat permukaan, sementara implementasi yang mengedepankan kepentingan dasar seluruh warga negara tanpa membedakan siapapun dan apapun agama, etnis dan 1322 ab
Neng Dara Affiah
seterusnya seringkali terabaikan. Karena itu, bagi saya sumir dan tidak jelas apa yang dinamakan politik Islam. Selama ini sebagian orang Islam masih terperangkap oleh simbolsimbol Islam ketika ia menyebut politik Islam, tetapi mereka kurang peduli ketika pemerintahnya korup dan menggunakan uang publik untuk kepentingan dirinya. Akhir-akhir ini, misalnya, semua kita tahu bahwa beberapa pemerintah daerah banyak yang menggunakan dana daerah untuk kepentingan kampanye pemenangan dirinya dalam pemilihan bupati atau gubernur dengan seolah-olah kampanye anti-narkotika, sosialisDi negara-negara yang asi program pemerintah, dan masyarakatnya mempunyai paham sebagainya, terutama mereka yang sebelumnya telah berkuasa (in- liberal, tingkat kepatuhan terhadap hukum dan aturan-aturan yang cumbent). Namun demikian masyarakat sangat jarang mempersoal- melekat di dalamnya sangat tinggi. kannya dan bahkan melakukan Dalam beberapa hal, liberalisme ini pembiaran terhadapnya. Ini ber- memiliki kemiripan dengan ajaran beda dengan negara-negara yang Islam. Islam mengajarkan tentang tingkat korupsinya rendah, karena tanggung jawab individu terhadap mereka meyakini bahwa jika Allah. Di hadapan Allah kita akan pemerintah korupsi, maka ia akan mempertanggungjawabkan sebagai berimbas pada berbagai hal di individu apa-apa yang telah kita mana yang paling dikorbankan perbuat selama kita hidup. adalah hak-hak warga negara dan berimplikasi kepada kebodohan, kemelaratan, keterbelakangan dan tidak ada keamanan dalam negerinya. Celakanya, pemerintah yang korup ini sering menggunakan simbol-simbol Islam atau bahkan repesentasi penguasa dari partai Islam. Di Eropa, karena agama tidak boleh masuk ke ruang publik maka agama harus diprivatisasi. Dengan adanya privatisasi agama, trend yang kemudian muncul adalah terkikisnya peran agama dalam kehidupan masyarakat, seperti yang terjadi di Denmark, Prancis, dan di negara-negara Skandinavia lainnya. Apakah tidak muncul kekhawatiran bahwa jika sekularisme dijalankan di dunia Islam juga akan muncul fenomena serupa, di mana peran agama Islam semakin berkurang? a1323 b
Membela Kebebasan Beragama
Meskipun agama menjadi wilayah privat di negara-negara sekular, sepanjang pencermatan saya, ia tetap mewarnai domain publik. Warna tersebut bukan dalam bentuk simbolnya, melainkan pada orientasi nilai dan kesadaran umatnya yang terwujud dalam cara berpikir, berperilaku dan bersikap. Dengan demikian, sebetulnya agama tidak menjadi marjinal sebagai acuan nilai, melainkan terdapat pengaturan yang ketat terhadap penggunaan simbol-simbol agama tertentu di wilayah publik. Misalnya di beberapa negara sekular terdapat aturan yang ketat di mana fasilitas publik milik pemerintah seperti sekolah negeri, rumah sakit dan tempattempat umum harus “steril” dari simbol-simbol agama. Mengapa? Karena jika ada simbol agama tertentu sepeti salib, maka kemungkinan umat Islam tidak merasa nyaman dengan fasilitas tersebut. Demikian pula sebaliknya. Ini sangat berbeda dengan yang terjadi di kita di mana ruang-ruang publik, bahkan di jalan-jalan raya sarat dengan simbolsimbol agama mayoritas. Di Serang, Banten, misalnya, kita menyaksikan lafaz-lafaz al-Asmâ’ al-Husnâ mewarnai kota tersebut, padahal di antara penduduknya terdapat pemeluk agama lain seperti Kristen, Katolik, Konghucu, Budha dan Hindu. Ini mengesankan ketidakpekaan pemerintah terhadap pemeluk agama lain. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lainnya. Kasusnya akan berbeda kalau fasilitas tersebut milik swasta. Mereka tidak masalah menggunakan simbol-simbol agama seperti ada lambang salib di sekolah Katolik atau lambang Islam di sekolah-sekolah Islam. Seberapa penting sekularisasi dalam menumbuhkan gerakan perempuan? Pertanyaannya, sekular yang mana? Jika pemerintahannya sekular, tetapi ia bersifat militeristik, rasis, dan pemerintahannya tertutup serta otoritarian, maka sangat sulit muncul gerakan perempuan. Pada masa pemerintahan Soeharto, sistem yang dianut adalah sekular, tetapi ia bersifat militeristik, karena itu gerakan perempuan tidak tumbuh pada masa-masa ini. Jikapun muncul, ia bersifat oposan dan gagasan-gagasannya tidak diakomodasi oleh pemerintah. Bahkan ia sering memperoleh stigma perempuan Gerwani yang dipandang buruk pada saat itu. Sebaliknya yang dominan adalah organisasi-organisasi perempuan yang bisa bekerjasama dengan pemerintah, karena organisasi-organisasi tersebut 1324 ab
Neng Dara Affiah
adalah organisasi yang dibentuk oleh pemerintah atau yang menjalankan program pemerintah. Gerakan perempuan bisa tumbuh jika negara tersebut menerapkan sistem demokrasi. Sebab, dalam demokrasi terdapat ruang untuk bernegosisasi dan dialog. Saat ini, misalnya, gerakan perempuan cukup berkembang dengan baik di Indonesia, karena menerapkan sistem demokrasi. Pada masa BJ Habibie telah dibentuk suatu mekanisme nasional untuk memperkecil tindak kekerasan terhadap pe- Pluralisme adalah suatu keniscayaan rempuan dan kebijakan yang dalam negara demokrasi. Artinya, berkomitmen pada penegakan pluralisme adalah anak kandung dari hak-hak asasi perempuan dengan demokrasi. Pluralisme berarti dibentuknya Komnas Perempuan. Pada masa pemerintahan perlindungan negara terhadap hakhak warga negaranya untuk Abdurrahman Wahid telah ditetapkan kebijakan jender main- memeluk agama sesuai dengan apa streaming. Pada pemerintahan yang diyakininya. Negara tidak bisa Megawati Soekarnoputri (2004) menghakimi keyakinan seseorang, telah disahkan aturan normatif karena keyakinan seseorang atau yang menjadi desakan gerakan kelompok adalah hak yang tidak bisa perempuan, yakni Undang- diganggu gugat. Kewajiban negara Undang Penghapusan Kekerasan adalah melindunginya dan kewajiban dalam Rumah Tangga (KDRT). warga negara untuk mematuhi Pelbagai kemajuan yang tumbuh peraturan atau hukum yang di Indonesia ini seringkali menberlaku di negaranya. jadi contoh negara lain, misalnya Malaysia. Gerakan serupa terjadi pula di Iran. Meskipun negara ini berasaskan Islam, tetapi sistem pemerintahannya cukup membuka ruang dialog dan negosiasi bagi gerakan perempuan. Karena itu, beberapa isu dan agenda gerakan bisa didesakkan menjadi kebijakan pemerintah. Sedang hasilnya adalah Undang-Undang Perkawinan Iran atau hukum domestiknya sangat melindungi perempuan. Bersamaan dengan itu pula, segala bentuk pemikiran feminisme cukup berkembang di sana. Sebuah upaya serupa juga coba dilakukan di Aceh dengan melakukan interpretatsi ulang yang kontekstual terhadap sumber-sumber ajaran Islam. a1325 b
Membela Kebebasan Beragama
Karena teks-teks keislaman sebenarnya tidak kaku, melainkan ia bisa berinteraksi dan berdialog dengan zaman. Dengan demikian, yang ingin saya katakan adalah gerakan perempuan bisa tumbuh jika negara tersebut bersifat terbuka (open society) dan membuka ruang demokrasi. Bagaimana Anda memahami Liberalisme? Liberalisme adalah suatu pandangan di mana manusia adalah pusat. Karena ia merupakan pusat, maka ia sangat berharga sebagai makhluk Tuhan. Pandangan ini berimplikasi kepada adanya kewajiban negara untuk melindungi hak-hak dasarnya, sebagai konsekuensi atas penghargaan tersebut. Selain itu, liberalisme sangat menghargai kedaulatan atau otonomi individu. Individu diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan pilihan-pilihan yang berdasarkan pada hati nurani dan nalarnya sendiri. Seiring dengan penghargaan atas hak-hak manusia, maka pelbagai kewajiban dan aturanpun dibebankan kepadanya. Antara hak, kewajiban dan aturan-aturan yang mengatur hubungan antarmanusia menyatu di dalamnya, maka lahirlah hukum. Penghargaan dan ketaatan terhadap hukum ini sangat tinggi, karena hanya dengan kekuatan hukum inilah dan ketaatan terhadapnya keteraturan dan hak-hak dasar manusia bisa terjamin. Bertalian dengan hal tersebut, saya ingin mengoreksi pandangan bahwa liberalisme adalah kebebasan yang tanpa batas. Liberalisme justru sangat menjunjung tinggi aturan-aturan yang berupa produk hukum. Karena itu, di negara-negara yang masyarakatnya mempunyai paham liberal, tingkat kepatuhan terhadap hukum dan aturan-aturan yang melekat di dalamnya sangat tinggi. Dalam beberapa hal, liberalisme ini memiliki kemiripan dengan ajaran Islam. Islam mengajarkan tentang tanggung jawab individu terhadap Allah. Di hadapan Allah kita akan mempertanggungjawabkan sebagai individu apa-apa yang telah kita perbuat selama kita hidup. Seluruh anggota badan kita akan menjadi saksi, mulai dari mulut, kaki, tangan, dan sebagainya. Kita tidak mengenal konsep kerahiban dan dosa kolektif di mana perbuatan individu ditanggung orang lain, kendati itu orang tua kita. Masing-masing kita adalah bertanggung jawab atas diri kita sendiri. 1326 a 10 b
Neng Dara Affiah
Sebagai sebuah negara, Indonesia sejak awal sebenarnya memeluk sistem demokrasi liberal. Namun di sebagian kalangan umat Muslim ada pandangan bahwa demokrasi liberal adalah model baru penjajahan Barat terhadap dunia Islam dan negrara-negra Dunia Ketiga, non-Barat – karena itu pula Soekarno menentang liberalisme. Bagaimana Anda menanggapi pandangan macam ini? Konsep kolektivitas atau komunalisme di Indonesia memang sangat dijunjung tinggi, karena itu ia kurang menghargai kedaulatan atau otonomi individu. Kepentingan bersama harus diutamakan dibanding kepentingan individu. Pandangan ini melahirkan watak “gotong royong” yang oleh Soekarno disebut sebagai watak hakiki bangsa Indonesia. Watak komunalisme atau kolektivitas ini sering dianggap sebagai ganjalan untuk penegakan hak-hak asasi manusia. Dalam penegakan demokrasi, sebetulnya kita mempunyai mo- Memang kesejarahan sekularisme di dal sosial yang sangat berharga Barat berbeda dengan kesejarahan yang sudah dipraktikkan sekian kita. Tetapi semangat yang harus kita ambil adalah bagaimana mereka lama oleh masyarakat kita, terutama di desa-desa, yakni pemidengan tegak mendobrak lihan kepala desa secara langsung. otoritarianisme kekuasaan atas nama Sekarang ini mekanisme tersebut Tuhan. Otoritarianisme atas nama diperluas dengan pemilihan langTuhan ini bisa terjadi pada agama sung terhadap bupati, gubernur manapun, tak terkecuali Islam. dan presiden. Jadi, pemilihan pemimpin pemerintahan secara langsung sebagai sebuah mekanisme demokrasi sebetulnya memiliki akar kultural di tengah-tengah masyarakat. Memang kita perlu melakukan perbandingan dengan negara-negara yang tidak hanya mengutamakan individu seperti negara-negara Barat, tetapi juga ke negara-negara berbasis Islam yang sudah menerapkan sistem demokrasi. Pluralisme sering disalahpahami oleh masyarakat sebagai sebentuk sinkretisme dan relativisme. Sebagai sinkretisme, pluralisme dianggap akan mencampuradukkan akidah, sedangkan sebagai relativisme, pluralisme
a 1327 11 b
Membela Kebebasan Beragama
dianggap akan merelatifkan kebenaran agama. Bagaimana Anda memahami pluralisme? Pluralisme adalah suatu keniscayaan dalam negara demokrasi. Artinya, pluralisme adalah anak kandung dari demokrasi. Pluralisme berarti perlindungan negara terhadap hak-hak warga negaranya untuk memeluk agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Negara tidak bisa menghakimi keyakinan seseorang, karena keyakinan seseorang atau kelompok adalah hak yang tidak bisa diganggu gugat. Kewajiban negara adalah melindunginya dan kewajiban warga negara untuk mematuhi peraturan atau hukum yang berlaku di negaranya. Bentuk lain dari pluralisme adalah penghargaan, saling memahami dan berdialog dengan masyarakat yang memiliki keyakinan atau organisasi keagamaan yang berbeda. Bentuk konkretnya adalah bekerja bersamasama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan. Di beberapa daerah di Indonesia yang penduduknya majemuk secara agama, wujud konkret dari pluralisme sebenarnya sudah banyak dilakukan. Di antaranya tradisi yang tumbuh di beberapa daerah yang penduduknya majemuk secara agama, pluralitas begitu rupa dirayakan. Di Lombok, misalnya, ada tradisi gotong royong antara umat Hindu dengan umat Islam untuk membangun atau memperbaiki rumah bagi orang-orang miskin. Hal serupa di Flores yang mayoritas Katolik, tetapi mereka membantu umat Islam untuk membangun masjid. Di Manado juga demikian. Umat Islam di sana membantu pembangunan gereja yang dibutuhkan oleh orangorang Kristen. Kemudian apakah seorang pluralis cenderung sinkretis? Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Diana Eck bahwa pluralisme tidak untuk menihilkan atau merelatifkan agama, melainkan agama sebagai sumber kekayaan ajaran, kekayaan nilai dan dapat memberikan insipirasi peradaban dan kemanusiaan. Seorang pluralis tidak harus sinkretis. Dia tetap bisa berkomitmen pada agamanya, tetapi akan sangat mengapresiasi dan menghargai orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Ibarat yang sering saya sampaikan adalah baju orang lain bagus, tetapi ia belum tentu cocok buat kita; dan baju yang kita pakai yang menurut kita lebih bagus lagi, belum tentu bagus buat orang lain. Persepsinya tergantung si pemakai.
1328 a 12 b
Neng Dara Affiah
Pada satu sisi, kita berhadapan dengan realitas yang plural, sementara pada sisi lain, kita menghadapi pemerintah yang tidak netral ditambah kapasitas negara lemah, akibatnya tidak jarang terjadi berbagai kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas, seperti tindak pengusiran, pengrusakan dan pembakaran properti sebagaimana dialami Ahmadiyah, komunitas Eden, gereja, dan lain sebagainya. Maka gagasan pluralisme menjadi sangat penting dan relevan di tengah kemajemukan bangsa yang belakangan kian tampak porak-poranda. Bagaimana Anda melihat persoalan ini? Kita sebetulnya sudah meratifikasi Deklarasi Universal HAM yang di dalamnya terdapat pasal bahwa setiap negara yang telah menandatangani deklarasi tersebut akan menjamin hak-hak warga negaranya untuk memeluk keyakinan apapun. Liberalisme adalah suatu pandangan di Karena itu, jika mengacu kepada mana manusia adalah pusat. Karena ia apa yang telah ditandatangani oleh merupakan pusat, maka ia sangat pemerintah Indonesia, maka berharga sebagai makhluk Tuhan. kekerasan atau perlakuan buruk Pandangan ini berimplikasi kepada terhadap kelompok-kelompok adanya kewajiban negara untuk seperti Ahmadiyah, komunitas melindungi hak-hak dasarnya, sebagai Eden, perusakan gereja seharusnya konsekuensi atas penghargaan tidak terjadi. Jikapun terdapat perselisihan di kalangan umat tersebut. Selain itu, liberalisme sangat Islam mengenai apakah Ahmadi- menghargai kedaulatan atau otonomi yah Islam atau bukan, maka hal individu. Individu diberikan kebebasan tersebut adalah urusan internal untuk memilih sesuai dengan pilihanumat Islam yang mungkin bisa pilihan yang berdasarkan pada hati diselesaikan di kalangan internal nurani dan nalarnya sendiri. umat Islam sendiri. Jika hal tersebut membutuhkan bantuan pemerintah, maka pemerintah seharusnya hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mediator untuk mendamaikan perselisihan tersebut, tetapi tidak untuk berpihak kepada salah satunya. Sebab, jika negara sudah berpihak, maka salah satu pihak akan merasa diperlakukan tidak adil. Pelbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat terhadap kelompok-kelompok tersebut juga berkaitan dengan a 1329 13 b
Membela Kebebasan Beragama
lemahnya hukum kita. Bagaimanapun perusakan properti yang dimiliki oleh siapapun adalah pelanggaran hukum dan tindakan kriminal. Atas kapasitas apa kita menghakimi keyakinan orang lain sebagai salah dan kita benar? Tindakan tersebut adalah sebentuk keangkuhan dan arogansi, di mana semua ajaran agama tidak membenarkan sikap tersebut. Dialog antaragama atau bentuk-bentuk kerjasama lain ke arah pemahaman satu sama lain atau toleransi bukanlah sesuatu hal yang baru dilakukan saat ini, melainkan sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Namun, sesering dialog itu dilakukan sesering itu pula toleransi dilanggar. Pertanyaannya, apakah yang menjadi kendala adalah agama itu sendiri ataukah budaya kita yang memang tidak bisa toleran? Salah satu prasyarat dari dialog antaragama adalah sikap yang rendah hati untuk mengakui bahwa diri kita penuh keterbatasan, termasuk keterbatasan dengan apa yang kita yakini. Apa yang menjamin bahwa keyakinan keagamaan kita benar? Maka yang selalu harus kita upayakan adalah mencari kebenaran, tetapi kebenaran yang hakiki adalah milik Allah semata. Sikap seperti ini akan berimplikasi pada keterbukaan kita untuk menerima partikel-partikel kebenaran di luar diri kita. Di situlah kemungkinan adanya titik temu antartradisi dan antaragama. Kegagalan dialog antaragama selama ini adalah karena dialog hanya bersifat seremonial, terkadang pemerintah yang menyelenggarakan, bukan inisiatif dari masing-masing umat beragama itu sendiri. Dialog agama yang sejati adalah dialog yang harus berangkat dari ketulusan hati masingmasing pemeluk agama bahwa kita mengakui adanya keterbatasan, tetapi sekaligus juga mempunyai pelbagai kelebihan untuk saling berbagi. Dialog ini tidak hanya dilakukan antarpemeluk agama-agama besar saja, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha, tetapi sangat perlu juga dilakukan terhadap kepercayaan-kepercayaan lokal yang sudah sekian ratus, bahkan beribu tahun hidup di beberapa daerah di Indonesia. Adalah hak mereka untuk menjaga dan memelihara kepercayaannya, sebab jika tidak mereka pelihara, komunitas mereka bisa punah. Selama ini terdapat distingsi bahwa mereka bukan agama dan tampak arogansi dari sebagian orang dengan mengatakan mereka sebagai masyarakat primitif, penyembah berhala dan lainnya. Padahal, bisa jadi mereka adalah pewaris 1330 a 14 b
Neng Dara Affiah
dan penjaga tradisi dari kultur agama-agama di Indonesia yang selama ini cenderung tergerus oleh agama-agama yang oleh Huston Smith dikategorikan sebagai agama Barat (Kristen, Katolik dan Islam). Budaya kita sebetulnya adalah budaya yang sangat terbiasa berinteraksi dengan pelbagai peradaban dan kebudayaan. Interaksi dengan India pada zaman dulu melahirkan masyarakat Hindu dan Budha yang Pluralisme berarti perlindungan negara merupakan mayoritas. Bahkan kerajaan-kerajaan Hindu pernah terhadap hak-hak warga negaranya berjaya dan melahirkan warisan untuk memeluk agama sesuai dengan besar di negeri ini seperti Candi apa yang diyakininya. Negara tidak bisa menghakimi keyakinan seseorang, Borobudur dan filsafat-filsafat karena keyakinan seseorang atau hidupnya. Bahkan semboyan negara kita, Bhinneka tunggal ika, kelompok adalah hak yang tidak bisa adalah warisan dari filsafat ter- diganggu gugat. Kewajiban negara sebut. Demikian pula kebuda- adalah melindunginya dan kewajiban yaan Islam yang dibawa oleh warga negara untuk mematuhi Gujarat dan Cina melahirkan peraturan atau hukum yang berlaku di masyarakat Islam yang saat ini negaranya. mayoritas. Kebudayaan Barat yang dibawa oleh kolonial ratusan tahun lamanya juga melahirkan interaksi tersendiri yang sampai saat ini warisan tersebut masih tersisa. Bagaimana Anda menatap Indonesia ke depan? Pertama, Indonesia harus menyembuhkan penyakit utamanya, yakni mental korupsi, terutama pemerintahannya. Mengapa? Karena korupsi ini ibarat penyakit kanker hati yang menjalar ke seluruh bagian tubuh, dan semua tubuh kita menjadi rusak karenanya. Pemerintahan yang korup akan berakibat pada terampasnya hak-hak pelayan negara untuk memperoleh gaji yang pantas dan hak-hak utama warga negara karena ketidaktersediaan dana untuk memperoleh pendidikan yang baik, kesehatan yang memadai, makanan yang layak, yang semuanya itu berakibat pada sumber daya manusia (SDM) warga negaranya. Jika SDM masyarakat kita lemah, maka tatanan negara ini tidak akan pernah kuat, 1331 a 15 b
Membela Kebebasan Beragama
sebagus apapun aturan yang diberlakukan. Jika masyarakatnya tidak kuat, maka jangan berharap negeri ini bisa kuat dan memiliki martabat di antara pergaulan bangsa-bangsa di dunia internasional. Kita sering sedih karena banyak TKW dan TKI kita diperlakukan tidak manusiawi di negeri orang, tetapi kita sering lupa yang terpenting dari semua itu adalah kesiapan sumber dayanya untuk bersaing dalam dunia kerja di pasar internasional. Kedua, sistem demokrasi dan pilar-pilarnya harus difungsikan sebagaimana semestinya. Misalnya, bagaimana pers tetap independen dan berfungsi benar untuk mengontrol kerja pemerintah. Partai-partai politik bisa melahirkan kader-kader negarawan yang akan melahirkan calon pemimpin negara ke depan. Kuatnya civil society yang memiliki kemandirian dan sekaligus bisa mengontrol kebijakan negara dan implementasinya. Saat ini memang kita masih dalam proses belajar menuju ke sana. Bahwa di dalamnya kita mengalami tantangan-tantangan, maka sebaiknya dilihat sebagai bagian dari proses belajar yang mungkin suatu ketika akan ditemukan kematangannya. Ketiga, kita harus mampu memilih para pemimpin pemerintahan yang benar-benar mau bekerja untuk memperbaiki bangsa dan martabat masyarakat dengan segala risiko-risikonya, dan bukan untuk berorientasi status, apalagi mencari jabatan. Karena itu, ketika kita akan melakukan penjaringan calon pemimpin, maka harus ditetapkan dulu kualifikasi apa yang dibutuhkan saat ini oleh bangsa Indonesia, atau oleh daerah tertentu jika ia pemimpin daerah. Jadi, sebaiknya pemilihan pemimpin berangkat dari kualifikasi dan bukan dari orangnya. Jika tiga hal ini saja bisa kita laksanakan, Insya Allah, ke depan Indonesia bisa lebih baik. Wallâhu A‘lam!
Wawancara dilakukan di Pamulang, 12 Agustus 2007
1332 a 16 b