PERBEDAAN KEMAMPUAN ANAK USIA DINI DALAM MELABEL DAN MENGKATEGORISASI EMOSI EKSPRESI WAJAH DITINJAU DARI IKONISITAS DAN USIA Fadhila Rahmawati
Mahasiswa S2 Prodi Sains Psikologi Universitas Airlangga Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui perbedaan kemampuan anak usia prasekolah dalam melabel dan mengkategorisasi emosi ekspresi wajah ditinjau dari ikonisitas gambar dan usia anak. Teori yang digunakan adalah teori melabel dan mengkategori Paul Bloom, emosi dasar Paul Ekman, dan Carol E. Izard, dan teori ikonisitas Charles S. Pierce. Kemampuan melabel dan mengkategorisasi yang diukur dalam penelitian ini adalah kemampuan memberi nama 6 emosi, yaitu senang, marah, sedih, takut, jijik, dan malu. Penelitian dilakukan terhadap 3 kelompok usia, yaitu 3, 4, dan 5 tahun dengan 29 anak. Instrumen berupa set gambar sejumlah 39 yang terdiri atas gambar foto, drawing, dan animasi. Instrumen disusun berdasarkan foto ekspresi wajah dari Montreal Set of Facial Displays of Emotion (MSFDE) dengan mengambil dua gambar foto wanita dari ras Asia. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik Kruskal-Wallis dengan bantuan program statistik SPSS versi 20. Adapun hasil analisis yang diperoleh dari nilai signifikansi Kruskal-Wallis Test antara kemampuan melabel dan ikonisitas nilai signifikansinya sebesar 0,410, sedangkan dengan usia sebesar 0,159. Adapun kemampuan mengkategorisasi dengan ikonisitas gambar nilai signifikansinya sebesar 0,431 dan usia sebesar 0,004. Kata Kunci: anak pra sekolah, kemampuan melabel, ikonisitas gambar, dan ekspresi emosi.
A. Pendahuluan Masa tumbuh kembang anak usia dini sering dinilai sebagai golden age karena demikian banyak perkembangan yang berlangsung selama masa ini. Bukan hanya perkembangan fisik dan kognitifnya, melainkan juga anak mulai berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi dengan orang lain membuat anak belajar berkomunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal, seperti memahami ekspresi emosi yang tampak pada wajah orang lain.
ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
Komunikasi nonverbal melibatkan proses kognitif, di antaranya dalam bentuk rekognisi fitur-fitur ekspresi wajah yang menampakkan emosi tertentu. Perkembangan ini pada prosesnya melibatkan proses kognitif, salah satunya rekognisi (mengenali) ekspresi emosi pada wajah. Rekognisi ekspresi wajah yang tepat memudahkan untuk menyimpulkan perasaan orang lain sehingga dapat memandu perilaku sosial (Gao dan Maurer, 2009) dan regulasi hubungan sosialnya (Ekman, 1999: 46). Pada anak usia dini, kemampuan memahami ekspresi emosi orang lain 15
sejalan dengan usia secara gradual dengan membentuk pola tertentu (Widen, 2012). Pada anak usia dini, perkembangan kognitif anak berpengaruh terhadap perkembangan ranah lainnya. Kemampuan untuk merekognisi (mengenali) berkaitan dengan perkembangan persepsi dan bahasa anak yang kemudian berpengaruh besar pada perkembangan kognitif, emosi, dan sosialnya. Pada masa perkembangan ini, anak mulai menggunakan kata-kata, gambar, dan angka untuk merepresentasikan dunia di sekeliling mereka. Anak-anak mulai membangun konsep dan mulai menggunakan nalar. Namun, pada tahap ini kemampuan anak masih memiliki beberapa keterbatasan, di antaranya egosentrisme atau memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri dan belum mampu melihat dari sudut pandang orang lain (Santrock, 2008: 247248). Piaget menegaskan bahwa anakanak dalam rentang usia ini salah satu kemampuan kognitifnya yang berkembang adalah kemampuan memahami simbol. Simbol memiliki berbagai bentuk, yaitu huruf, angka, dan gambar. Kemampuan anak dalam memahami gambar mendorong berkembangnya kemampuan anak dalam hal spasial, kausalitas, identitas, kategorisasi, dan angka (Papalia dkk., 2008: 325). Kemampuan anak usia prasekolah untuk melabel dan mengkategorisasi emosi telah lama menjadi perhatian para ahli. Anak usia 4 tahun telah mampu melabel dan mengkategorisasi emosi (bdk. Widen & Russel, 2010, 2002; Nelson & Russel, 2011, Widen, 2012). Studistudi tersebut telah menemukan bahwa kemampuan anak dalam melakukan 16
kedua proses kognitif tersebut berbedabeda. Perilaku sosial dan regulasi hubungan sosial anak sangat terbantu oleh perkembangan bahasa anak. Perkembangan bahasa ini bukan hanya tentang pertambahan kosakata,melainkan juga lebih dalam lagi, ketika anak menambahkan satu kata dalam perbendaharaan kata, berarti anak melengkapi kata tersebut sekaligus dengan konsepnya (Bloom, 200: 90). Sebelum anak menambahkan satu kata ke dalam perbendaharaan katanya, anak mengalami proses menamai kata (melabel). Anak-anak belajar melabel (memberi nama, istilah yang digunakan Paul Bloom) melalui hal-hal di sekitarnya. Anak baru dapat menamai sesuatu jika ia terekspos oleh atau ditunjukkan pada objek yang dimaksud (Bloom, 2000: 90). Misalnya, anak baru akan mengenal label ‘sedih’ ketika anak melihat ekspresi sedih dan ada orang lain (orang tua, pengasuh) yang menyebut kata ‘sedih’. Anak membentuk konsep tentang ‘sedih’ bersamaan dengan pelabelan atau penamaan ini (Bloom, 2000: 145), misalnya dengan mengaitkan fitur-fitur ekspresi sedih (alis yang agak menurun, bibir yang mengatup rapat, kerutan yang terbentuk di antara alis, air mata, dan lain sebagainya) dengan label ‘sedih’. Konsep dan label yang terbentuk ini membantu anak merekognisi ekspresi emosi tersebut pada wajah orang lain. Kemampuan mengkategorisasi merupakan kemampuan untuk mengelompokkan sesuatu berdasarkan kesamaan atau perbedaan tertentu (Bloom, 2000: 153). Anak-anak mampu melakukan kategorisasi emosi dengan mulai memperhatikan bahwa emosi satu berbeda dengan emosi yang lain, melalui rekognisi fitur-fitur yang tampak (misal guratan pada wajah). Anak ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
akan mengetahui bahwa emosi sedih berbeda dengan emosi senang. Proses ini mengharuskan anak merekognisi perbedaan antara dua emosi atau lebih. Pada anak-anak, perkembangan kemampuan ini berjalan seiring dengan usia (Widen, 2012). Anak-anak pada awalnya cenderung mengelompokkan semua emosi dalam kategori emosi senang. Selanjutnya, anak-anak mengelompokkan emosi dalam dua kategori, yaitu emosi positif (misalnya, senang) dan emosi negatif (misalnya, marah atau takut) sehingga menciptakan dua kutub emosi. Seiring dengan bertambahnya usia dan kemampuan kognitifnya, anak semakin mampu membedakan emosi satu dengan yang lainnya. Widen menyebut pola perkembangan ini sebagai perkembangan yang bergerak dari umum ke khusus berdasarkan valensi. Adapun komunikasi simbolik berhubungan dengan penggunaan simbol-simbol sebagai sarana komunikasi. Simbol dalam hal ini dapat berupa huruf, angka, ataupun gambar (Papalia dkk., 2008: 325). Simbol-simbol tersebut menjadi sarana komunikasi yang juga dipelajari oleh anak-anak sebagai stimulus dari lingkungan sekitar mereka, seperti buku cerita gambar, poster, kemasan produk makanan, atau televisi. Studi DeLoache dan Simcock (2006) menunjukkan anak-anak berusia 2 tahun telah mulai mampu mencerna gambar. Anak-anak pada usia tersebut mulai menyadari bahwa gambar yang mereka lihat mewakili sesuatu; bahwa gambar bukanlah objek itu sendiri. Gambar merupakan bentuk representasi dunia nyata di sekitar anak (Papalia dkk., 2008: 326). Gambar sendiri memiliki level ikonisitas, yaitu derajat kemiripan yang dimiliki dengan benda sesungguhnya ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
(DeLoache dan Simcock, 2006) yang berbeda. Studi Simcock dan DeLoache tersebut menguji pengaruh jenis gambar dalam hal kemiripannya dengan benda nyata bagi anak. Studi keduanya menunjukkan, anak usia di bawah 3 tahun masih kesulitan dalam memahami gambar ilustrasi dan lebih mudah memahami gambar hasil foto. Sebaliknya, hal tersebut relatif tidak menjadi masalah bagi anak yang usianya lebih tua. Pada kenyataannya, gambargambar yang ada di sekitar anak memiliki ikonisitas yang berbeda-beda. Penggunaan gambar foto sebagai alat untuk menguji kemampuan melabel dan rekognisi ekspresi emosi wajah juga sudah banyak dilakukan oleh para peneliti (Gao& Maurer, 2009, 2010; Widen & Russel, 2010, 2002; Nelson & Russel, 2011,). Sementara itu, penggunaan gambar dengan ikonisitas yang bervariasi juga telah digunakan untuk mengetahui kemampuan anak prasekolah melabel dan mengkategorisasi objek (Simcock & DeLoache, 2006). B. Metode Penelitian Partisipan Data penelitian diperoleh dengan melibatkan 29 anak berusia 3-5 tahun dari 3 sekolah yang berbeda. 29 anak tersebut terdiri atas 8 anak usia 3 tahun (6 laki-laki, 2 perempuan), 10 anak usia 4 tahun (3 anak laki-laki, 7 anak perempuan), dan 11 anak usia 5 tahun (4 anak laki-laki, 7 anak perempuan). 13 anak laki-laki dan 16 anak perempuan. Usia dalam hal ini adalah usia kronologis anak. Rata-rata usia partisipan kelompok usia 3 tahun adalah 3,7 tahun. Ratarata usia partisipan kelompok usia 4 tahun adalah 4,4 tahun. Rata-rata usia partisipan kelompok usia 5 tahun adalah 5,6 tahun.
17
Material Emosi yang diukur adalah emosi dasar: senang, sedih, marah, takut, jijik, dan terkejut. Jenis emosi dipilih dari beberapa emosi yang termasuk dalam emosi dasar Paul Ekman (1999) dan emosi fundamental Carrol Izard (Strongman, 2003: 116). Instrumen pengukuran menggunakan media set gambar yang menampilkan ekspresi emosi wajah. Instrumen tersebut disusun dengan mengacu pada Montreal Set of Facial Displays of Emotion (MSFDE) yang dapat dikatakan sebagai versi yang lebih baru dan modern dari Facial Action Coding System (FACS)-coded facial expressions yang dipopulerkan Ekman dan Friesen pada tahun 1976. Adapun set foto sebagai acuan adalah wanita ras Asia. Set foto di atas ditampilkan dalam 3 jenis gambar, yaitu foto hitam putih, hasil gambar tangan (drawing), dan gambar hasil desain grafis. Jenis gambar hasil gambar tangan dan kartun merupakan derivasi dari gambar foto. Ketiga hasil gambar akan mewakili variabel ikonisitas. Masing-masing gambar dicetak pada kartu seukuran kartu pos. Indikator Indikator anak mampu melabel adalah kesesuaian antara label emosi yang diberikan oleh anak dan emosi yang ditunjukkan. Adapun indikator anak mampu mengkategorisasi adalah kesesuaian antara kategorisasi emosi yang dilakukan anak ke dalam kelompok emosi yang diharapkan. Skor yang diperoleh anak menunjukkan kemampuan anak melabel atau mengkategorisasi emosi. Semakin tinggi skor anak, semakin tinggi pula kemampuan anak. Prosedur Seluruh partisipan menjalani tiga tugas, yaitu melabel bebas binatang untuk 18
mengetahui anak mampu memahami instruksi pada saat pengujian, melabel emosi, dan mengkategori emosi. Melabel bebas ekspresi emosi wajah Mula-mula tester menunjukkan kartu bergambar ekspresi emosi wajah. 7 kartu yang berbeda akan ditunjukkan secara acak. Untuk mengawalinya, tester mengatakan, “Bunda punya banyak foto. Lihat, yuk.” kemudian menunjukkan satu kartu dan mengatakan “Ini namanya mbak Santi (menunjukkan kartu ekspresi wajah netral). Kita akan melihat perasaan mbak Santi dari kartu-kartu ini.” Kemudian tester menunjukkan 6 kartu bergambar ekspresi emosi satu per satu. Setiap kali menunjukkan satu kartu, tester mengatakan sambil menunjuk kartu, “Menurut Mbak/Mas (menyebut nama partisipan), perasaan mbak Santi ini bagaimana, ya?”. Respon partisipan diapresiasi secara halus dengan mengatakan, “Wah, Mbak/Mas (menyebut nama partisipan) hebat” dan tidak akan dikoreksi. Jika partisipan tidak menunjukkan respon, tester akan memberikan dorongan dengan mengatakan, “Mbak/Mas (menyebut nama partisipan) pernah lihat orang berwajah seperti ini? Kira-kira perasaan orang ini bagaimana, ya?”. Jika partisipan masih juga belum menunjukkan respon, tester akan menunjukkan kartu yang lain. Hingga semua kartu direspon oleh partisipan, tester akan kembali menunjukkan kartu yang belum direspon. Mengkategorisasi ekspresi emosi wajah Pada tugas mengkategorisasi emosi melalui wajah, partisipan diminta mengelompokkan emosi tertentu. Emosi yang akan dikategorisasi adalah gembira (senang), sedih, marah, dan takut. Kepada partisipan tester menunjukkan 6 buah kartu yang menunjukkan ekspresi emosi wajah gembira, sedih, tertarik, jijik, marah, dan takut serta ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
sebuah kotak. Kepada partisipan, tester mengatakan, “Ini namanya kotak senang (sambil menunjukkan kotak). Karena ini kotak senang, maka hanya kartu yang menunjukkan orang dengan wajah senang yang boleh dimasukkan ke kotak ini. Kartu orang yang wajahnya tidak senang, tidak boleh dimasukkan ke kotak. Kartu yang tidak menunjukkan wajah orang senang akan diletakkan di sini (menunjuk titik di sebelah kotak).” Tester akan menunjukkan kartu satu per satu dan bertanya, “Apakah orang ini merasa senang? Boleh dimasukkan kotak?” Penskoran Penskoran dilakukan berdasarkan pada jawaban benar yang diberikan oleh partisipan. Jawaban partisipan yang berupa sinonim dari label emosi yang diharapkan, akan dihitung sebagai jawaban benar. Teknik Analisis Data Teknik analisis data untuk uji beda direncanakan menggunakan Anova, tetapi karena syarat jumlah sampel tidak terpenuhi, maka digunakan metode analisis Kruskal-Wallis Test, dengan memperlakukan data parametrik yang ada sebagai data nonparametrik. Dengan demikian, signifikansi perbedaan bukan ditunjukkan oleh nilai t, melainkan mean rank. Hasil penelitian Hasil uji Kruskal-Wallis, untuk variabel usia, nilai Sig 0,159 menunjukkan tidak ada perbedaan kemampuan melabel emosi jika ditinjau dari variabel usia. Adapun untuk variabel ikonisitas, nilai Sig 0,410 menunjukkan tidak ada perbedaan kemampuan melabel emosi jika ditinjau dari ikonisitas. Pada variabel ikonisitas, rata-rata kemampuan melabel tertinggi ditunjukkan oleh foto, disusul animasi, dan drawing. ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
Sementara, variabel usia menunjukkan performansi rata-rata tertinggi ditunjukkan oleh anak dari kelompok usia 3 tahun disusul anak usia 5 tahun, dan 4 tahun. C. Pembahasan Kemampuan melabel, sebagaimana yang dikatakan oleh Paul Bloom (Bloom, 2000: 90) merupakan kemampuan anak melekatkan nama pada suatu objek. Anak baru akan mampu melekatkan nama tertentu pada suatu objek jika anak pernah mendapati objek tersebut dan diberi tahu nama objek yang bersangkutan. Dipandang dari mekanisme Paul Bloom di atas, proses menamai emosi tampaknya anak baru menyelesaikan proses pertama, yaitu menjumpai emosi. Sementara proses yang kedua, yaitu, diberi tahu nama emosi yang disaksikan tidak berjalan. Akibatnya, anak menemui emosi tetapi tidak memiliki pengetahuan tentang emosi tersebut. Hal ini terjadi pada semua kelompok usia. Fakta pada saat pengambilan data, anak pernah menjumpai emosi yang ditunjukkan pada gambar, tetapi tidak tahu nama ekspresi emosi pada gambar itu, partisipan kesulitan menamai dengan tepat. Rata-rata kemampuan melabel menunjukkan lebih detil perbedaan antarkelompok usia dan berbagai jenis ikonisitas. Kemampuan terbaik ditunjukkan oleh kelompok usia 5 tahun, disusul kelompok usia 3 tahun, dan kelompok usia 4 tahun yang menunjukkan performansi yang lebih rendah. Temuan studi ini sejajar dengan studi Widen (2002, 2012), bahwa usia menunjukkan perbedaan kemampuan. Hasil uji menunjukkan foto merupakan jenis gambar yang paling tinggi mean ranknya daripada dua jenis gambar lainnya. Hal ini sejajar dengan studi Simcock dan Deloache (2006).
19
Tugas melabel merupakan tugas dengan instruksi pertanyaan terbuka dari tester kepada partisipan. Pertanyaan terbuka memberikan peluang yang lebih luas bagi partisipan untuk memberikan jawaban yang menurutnya benar. Dengan demikian, tugas melabel ini sesungguhnya lebih menunjukkan kemampuan anak melabel emosi karena bukan hanya menebak gambar, melainkan juga melibatkan pengetahuan yang anak miliki tentang gambar ekspresi emosi yang ditunjukkan, nama emosi tersebut, serta kemampuan anak merekognisi jenis gambar tertentu. Jawaban yang tidak relevan bisa jadi muncul karena beberapa sebab, seperti partisipan tidak tahu label emosi tersebut dan gagal merekognisi emosi karena faktor ikonisitas Frekuensi munculnya jawaban benar partisipan pada emosi tertentu seperti emosi marah, sedih, dan senang mengarah pada adanya efek superioritas emosi. Hasil studi Russel dan Widen (2002) menemukan adanya indikasi anak lebih mudah melabel emosi-emosi tertentu yang termasuk emosi superior. Adapun frekuensi munculnya jawaban yang tidak relevan menunjukkan kuatnya asosiasi jawaban tersebut sebagai jawaban yang benar atau relevan. Jawaban yang tidak relevan juga menunjukkan informasi penting lainnya. Jawaban yang tidak relevan sebagian menunjukkan perilaku, seperti nggondok dan gemes atau aktivitas tertentu, seperti sekolah, mau kerja, nangis, dan sebagainya. Tampaknya, ada kecenderungan anak mengasosiasikan ekspresi emosi tertentu dengan pengalaman kesehariannya. Hal ini menguatkan dugaan bahwa sebenarnya anak tidak asing dengan emosi yang ditunjukkan dalam gambar, hanya saja anak belum tentu tahu nama emosi tersebut. 20
Perbedaan kemampuan mengkategorisasi emosi Untuk dapat mengkategorisasi emosi, partisipan harus dapat membedakan antara emosi satu dan lainnya serta melihat persamaan antara gambar dan pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki partisipan tentang emosi yang bersangkutan (bdk. Bloom, 2000: 90; Quinn, 2002: 85). Tugas mengkategorisasi ini di satu sisi memudahkan partisipan karena emosi yang ditunjukkan disebut namanya sehingga partisipan dapat menyesuaikan. Namun, di sisi lain tugas ini membutuhkan rekognisi yang cukup kompleks. Ikonisitas menunjukkan pengaruh pada perbedaan kemampuan, walaupun tidak konsisten. Jika memperhatikan nilai rata-rata kemampuan mengkategorisasi, kelompok usia 5 tahun menunjukkan konsistensi dengan kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Gambar foto, dalam hal ini dipandang sebagai jenis gambar yang paling mendekati objek sesungguhnya, menunjukkan rata-rata kemampuan mengkategorisasi yang paling tinggi dibandingkan dua gambar lainnya. Variasi kategorisasi emosi oleh partisipan menunjukkan kemampuan partisipan untuk mengkategorisasi. Data menunjukkan ada perbedaan yang cukup mencolok variasi perbedaan tiap kelompok usia. Kelompok usia 3 tahun belum dapat mengelompokkan emosi sedih dan takut, kelompok usia 4 tahun berhasil mengelompokkan semua emosi, dan kelompok usia 5 tahun lebih baik lagi dibandingkan kelompok emosi dengan berhasil mengkategorisasi semua emosi dalam frekuensi yang lebih tinggi daripada kelompok usia 4 tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan, perbedaan usia menunjukkan perbedaan
ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
dan perkembangan kemampuan mengkategorisasi. Frekuensi munculnya kategorisasi yang benar tampak pada partisipan kelompok usia 5 tahun. Apalagi partisipan kelompok usia 5 tahun menunjukkan pengelompokan yang tidak relevan dengan kombinasi emosi dalam kategori emosi yang sama, jauh lebih sedikit dibandingkan dua kelompok usia yang lainnya. Selain dari sisi variasi pengelompokan yang tidak relevan, kelompok usia 5 tahun juga menunjukkan performansi yang lebih baik dengan gambar drawing dan animasi daripada jenis gambar foto. Data variasi kategorisasi kurang menunjukkan adanya pola perkembangan kemampuan mengkategorisasi dari usia ke usia terutama valensi menyempit ke meluas. Sebagaimana hasil studi Widen (2000, 2012) yang cukup membentuk pola tertentu, dalam penelitian ini pola tersebut tidak tampak. Namun, data menunjukkan semakin tinggi usia, anak cenderung mampu mengkategorisasi emosi dengan benar.
D. Penutup Simpulan yang dapat ditarik dari studi ini adalah tidak ada perbedaan yang signifikan pada kemampuan anak prasekolah dalam melabel dan mengkategorisasi emosi ekspresi wajah ditinjau dari ikonisitas dan usia. Namun, studi ini sudah membukakan beberapa hal yang menarik untuk diteliti lebih jauh, seperti kemampuan rekognisi anak usia dini dalam mempersepsi gambar emosi ekspresi wajah menurut perkembangannya, kekayaan kosakata anak tentang emosi, metode yang efektif untuk mengenalkan emosi ekspresi wajah pada anak, dan sebagainya. Penelitianpenelitian lanjutan semacam ini sangat diperlukan dalam usaha memberikan intervensi atau stimulasi untuk anak, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun media intervensi anak. Selain itu, data yang lebih banyak sangat disarankan bagi studi untuk menguji perbedaan. Kelemahan studi ini salah satunya terletak pada data yang belum mencukupi untuk melihat signifikansi perbedaan.
Daftar Pustaka Bloom, P. (2000). How children learn the meaning of word. Massachuset: MIT. Ekman, P. (1999). Basic emotion. Dalam Dalgleish, T. & Power, M. J. (Eds) Handbook of Cognition and Emotion. Chicester: John Wiley and Sons. Gao, X. & Maurer, D. (2009). Influence of intensity on children’s sensitivity to happy. Journal of Experimental Child Psychology. Nelson, N. L. & Russell, J. A. (2011). Putting motion in emotion: Do dynamic presentations increase preschooler’s recognition of emotion? Cognitive Development, 26, 248– 259. Papalia, E. D., Old, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human development (psikologi perkembangan) Edisi Kesembilan Bagian I-IV. Jakarta: Kencana. Quinn, P. C. (2002). Early categorization: A new synthesis dalam U. Goswami (Ed) Blackwell Handbook of Childhood. Oxford: Blackwell Publishers. Russell, J. A. & Widen, S. C. (2002). A label superiority effect in children’s categorization of facial expressions. Oxford: Blackwell Publishers. ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58
21
Santrock, J. W. (2008). Life span development (11thed). New York: Mc Graw Hill. Simcock, G. & DeLoache, J. (2006). Get the picture? The effects of iconicity on toddlers’ reenactment from picture books. Developmental Psychology, 42, 6 1352-1357. Widen, S. C. (2012). Children’s interpretation of facial expressions: The long path from valence-based to specific discrete categories. Emotion Review. Widen, S. C., & Russell, J. A. (2010). Children’s scripts for social emotions: Causes and consequences are more central than are facial expressions. British Journal of Developmental Psychology, 28, 565–581 Willems, K. & De Cuypere, L. (Eds). (2008). Naturalness and iconicity in language. Amsterdam / Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
22
ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 1 / 2016/ 1-58