1
Perbedaan Frekuensi Kekambuhan Asma Berdasarkan Kebiasaan Mengikuti Senam Asma pada Penderita di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang Angga Ridha Mahardhika1, Siti Aisah2, Vivi Yosafianti Pohan3 1
Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan Fikkes UNIMUS,
[email protected],id Dosen Keperawatan Komunitas Fikkes UNIMUS,
[email protected] 3 Staf Dosen Keperawatan Fikkes UNIMUS 2
Abstrak Word Health Organization (WHO) memprediksi angka kejadian asma di dunia sampai tahun 2025 akan naik. Angka kejadian asma di Kota Semarang yang Terbanyak di Jawa Tengah. Masih banyaknya penderita asma yang tidak rutin, dan tidak mengikuti senam asma yang diadakan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang, tetapi banyak jurnal penelitian yang mengatakan bahwa senam asma sangat bermanfaat untuk menekan kekambuhan asma. Tujuan penelitian mengetahui perbedaan frekuensi kekambuhan pada penderita asma yang mengikuti senam asma rutin, tidak rutin, dan tidak mengikuti senam asma di BKPM Semarang. Desain penelitian kuantitatif, dengan pendekatan retrospektif. Sampel 60 responden dengan menggunakan metode total sampling. Ada kecenderungan sering mengalami kekambuhan pada responden yang tidak mengikuti dan yang tidak rutin mengikuti senam asma. Kesimpulan hasil uji kruskal wallis menunjukan ada perbedaan frekuensi kekambuhan antara penderita asma yang mengikuti senam asma rutin, tidak rutin, dan tidak mengikuti. Berdasarkan hasil tersebut maka peneliti menyarankan bagi BKPM Semarang agar memberikan edukasi secara rutin tentang manfaat mengikuti senam asma ,dan home visit bagi penderita asma yang tidak rutin, dan tidak mengikuti senam asma. Kata kunci: Frekuensi kekambuhan, Asma, dan Senam asma.
Abstract
Word Health Organization (WHO) is predicting the number of asthma for increasing in the world until the year 2025. Asthma incidence rate is the most in Semarang in Central Java. Are still amount calisthenics do not routine, and do not follow calisthenics of asthma in health clinic pulmonary community ( BKPM ) Semarang, but many journal research that said calisthenics of asthma are very beneficial to suppress a recurrence of asthma. The purpose of research is knowing the difference frequency of recurrence in asthmatics which follows regular asthma, do not routine, and do not follow calisthenics of asthma in the BKPM. Design is Quantitative research, with a retrospective approach. The sample is 60 respondents by using method total sampling. There is often tendency of a recurrence to respondents who do not follow calisthenics of asthma and that are not routine follow calisthenics of asthma. The conclusion of results the test kruskal wallis showed that there is a difference between the frequency of a recurrence asthmatics who follows calisthenics of asthma routine, do not routine, and have not kept. Based on these results so researcher suggested with BKPM Semarang in order to give education about benefit of keeping up with calisthenics of asthma, and home visit for calisthenics not routine, and do not follow calisthenics of asthma.Keywords: The frequency of a recurrence, asthma, and gymnastics asthma. Keywords: The frequency of a recurrence, asthma, and calisthenics of asthma.
2
PENDAHULUAN Menurut data WHO, penyandang asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diprediksi jumlah ini akan meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025 (Badan Litbangkes, 2010). Prevalensi kasus asma di JATENG Pada Tahun 2008 sebesar (1,07%), pada tahun 2009 (0,66%), pada tahun 2010 (0,64%), pada tahun 2011 (0,55%). Tahun 2011 kasus penyakit asma terbesar pertama terdapat di Kota Semarang sebesar 17.670 kasus, Kab Brebes sebesar 15.317 kasus, Kab Klaten sebesar 14.718 kasus. Terendah di Kab Batang sebesar 1.378 (Dinkes, 2012). Kejadian asma menurut jenis kelamin tahun 2011 laki-laki ada 8285 penderita asma, perempuan ada 9385 penderita asma (DKK, 2012). Menurut kelompok umur 15 - 44 th ada 5470 penderita asma, umur 46 - 64 th ada 7423 penderita asma, dan > 65 th ada 2328 penderita asma (DKK, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian Handari (2009), membuktikan bahwa ada hubungan antara sebelum mengikuti senam asma dengan setelah mengikuti senam asma. Berdasalkan hasil penelitian dibawah ini dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan mengikuti senam asma dapat berpengaruh mengurangi frekwensi kekambuhan penyakit asma (Jati, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Ambarwati (2005), dapat disimpulkan ada perbedaan bermakna antara frekuensi serangan asma sebelum dan setelah melakukan senam asma.
Data kunjungan penderita asma di Balai Kesehatan Paru Masyarakat( BKPM) Semarang pada tahun 2012 sebanyak 377 penderita asma, tahun 2011 sebanyak 345 penderita asma. Tujuan penelitian mengetahui perbedaan frekuensi kekambuhan pada penderita asma yang mengikuti senam asma rutin, tidak rutin, dan tidak mengikuti senam asma di BKPM Semarang.
3
METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah kuantitatif dengan pendekatan retrospektif. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita yang rawat jalan dan mengikuti senam asma. Sampel pada waktu pengambilan data penelitian ini adalah semua penderita asma yang rawat jalan di BKPM Semarang sebanyak 60 responden menggunakan teknik total sampling. Selama pengambilan data seluruh penderita asma dalam keadaan bugar atau tidak mengalami serangan, dan bersedia untuk menjadi responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2012 sampai Mei 2013 di BKPM Semarang. Penelitian ini menggunakan uji kruskal wallis untuk mencari perbedaan antara penderita asma yang rutin mengikuti, tidak rutin, dan tidak mengikuti senam asma
HASIL, DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Distribusi Data Berdasarkan Range Umur Responden di BKPM Semarang 2013 (n = 60) Range umur Jumlah (%) 1. Dewasa dini (18 – 40 th) 23 (38.33%) 2. Dewasa madya (40 – 60 th) 26 (43.33%) 3. Dewasa lanjut (60 > th) 11 (14.33%)
Tabel 2 Distribusi Data Berdasarkan Karakteristik Riwayat Genetik, dan Jenis Kelamin Responden di BKPM Semarang 2013 (n=60) Riwayat Genetik Ada riwayat Tidak ada Jenis kelamin Perempuan Laki-laki
Jumlah 35 25 Jumlah 32 28
Persentase 58. 3 41. 7 Persentase 53.3 46.7
Tabel 3 Distribusi Data Berdasarkan kategorik frekuensi kekambuhan di BKPM Semarang (n=60) selama satu bilan terakhir Variabel Jumlah (%) 1. Tidak pernah mengalami kekambuhan 10 (16.7%) 2. Kadang-kadang mengalami kekambuhan 18 (30%) Variabel Jumlah(%) 3. Sering mengalami kekambuhan 20 (33.3%) 4. Selalu mengalami kekambuhan 12 (20%)
4
Tabel 4 Distribusi Data Berdasarkan Uji Kruskal-wallis Pada Penderita Asma di BKPM Semarang 2013 (n = 60) Variabel Uji kruskal-wallis
Chi-square 52.90
df 2
p value .000
N 60
Rata-rata umur responden yang mengikuti senam asma adalah pada kategorik dewasa madya. Umur tertua responden yang mengikuti senam asma adalah pada kategorik dewasa lanjut. Umur termuda responden yang mengikuti senam asma adalah pada kategorik dewasa dini. Berdasarkan kategorik umur dewasa madya lebih banyak mengikuti senam asma dari pada kategorik dewasa dini. Adapun kategorik dewasa dini lebih banyak mengikuti senam asma dibandingkan kategorik dewasa lanjut.
Adapun terdapat 16 responden pada kategorik dewasa dini yang mengalami kekambuhan. Terdapat 28 responden pada kategorik dewasa madya yang mengalami kekambuhan. Adapun 6 responden pada kategorik dewasa lanjut yang mengalami kekambuhan. Terdapat 1 responden pada kategorik dewasa dini tidak mengalami kekambuhan.
Terdapat 3 responden pada kelompok dewasa madya tidak mengalami kekambuhan. Adapun 6 responden pada kategorik dewasa lanjut tidak mengalami kekambuhan. Berdasarkan data penelitian ini peneliti berpendapat bahwa walaupun umurnya lansia atau dewasa lanjut apabila mengikuti senam asma secara rutin maka frekuensi kekambuhan akan lebih kecil dari pada dewasa muda tapi tidak mengikuti senam asma.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Antariksa (2009), yang mengatakan bahwa asma dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada usia dewasa. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Rs Persahabatan Jakarta yang dilakukan oleh Tabri dkk, (2008) bahwa penderita asma yang banyak berobat jalan pada kategorik umur 40-60 th.
5
Proporsi penderita asma pada penelitian ini lebih banyak di derita oleh perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Proporsi kejadian asma pada penelitian ini sesuai dengan kejadian asma di Kota Semarang, yang menyebutkan bahwa kejadian asma pada laki-laki adalah 8285 orang, dan pada perempuan perempuan adalah 9385 orang (DKK, 2012). Beberapa hal yang diduga terkait dengan perbedaan proporsi penderita asma antara laki-laki, dan perempuan adalah: seringnya terpapar asap rokok, meningkatnya stress, dan perbedaan imunitas antara penderita asma laki-laki dan perempuan. Perempuan cenderung mempunyai imunitas yang lebih rendah disbanding dengan laki-laki, sehingga proporsi penderita asma lebih sering diderita oleh perempuan (Sundaru, 1995).
Responden yang memiliki riwayat genetik lebih banyak mengikuti senam asma, dari pada responden yang tidak memiliki riwayat genetik. Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asma (Sundaru,2006). Berdasarkan referensi yang ada faktor ibu mempunyai pengaruh yang lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak (Manfaati, 2004). Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah. Ehrlich RI dkk, (2004) menginformasikan bahwa riwayat keluarga mempunyai hubungan yang bermakna dengan kekambuhan. Penyakit asma yang selalu dipahami sebagai penyakit keturunan, ternyata dari penelitian ini didapatkan informasi bahwa terdapat 41,7% responden yang tidak memiliki riwayat genetik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap orang mempunyai peluang untuk menderita asma.
6
Jumlah responden yang sering mengalami kekambuhan asma lebih banyak dari pada kadangkadang kambuh, sedangkan jumlah responden yang kadang-kadang mengalami kekambuhan asma lebih banyak dibandingkan selalu mengalami kekambuhan, dan adapun pada responden tidak pernah mengalami kekambuhan asma lebih sedikit terjadi dibandingkan dengan selalu mengalami kekambuhan. Adapun pada kelompok responden yang tidak pernah mengikuti, dan tidak rutin mengikuti senam asma sering bahkan selalu mengalami kekambuhan. Menurut peneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan adalah faktor alergi. Faktor alergi dapat menyebabkan hiperaktifitas saluran napas, sehingga seseorang dapat terkena serangan asma. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadibroto (2006), faktor alergi dianggap mempunyai peranan besar bagi timbulnya serangan asma, karena dapat menyebabkan hiperaktifitas saluran napas.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan adalah perubahan cuaca dan suhu. Perubahan cuaca atau suhu yang menjadi dingin secara mendadak akan menimbulkan serangan asma pada penderita asma. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadibroto (2006), sangat berpengaruh bagi kebanyakan penderita asma adalah perubahan cuaca atau suhu yang menjadi dingin secara mendadak, termasuk ruang ber-AC yang disetel sangat dingin. Polusi udara merupakan salah satu faktor memicu kekambuhan, karena dapat menyebabkan penderita asma sangat peka terhadap sisa-sisa asap.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sundaru (1995), bahwa penderita asma sangat peka terhadap zat-zat tadi apalagi asap yang mengandung hasil pembakaran yang berupa sulfur dioksida, dan oksida fotokemikal. Peneliti berpendapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi kekambuhan adalah asap rokok, karena akan membuat kondisinya makin memburuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Ridgway (1997), bahwa semua dokter akan memperingatkan pasiennya akan
7
bahanyanya merokok karena zat-zat rokok dapat merusak penderita asma dan membuat kondisinya makin memburuk. Infeksi saluran saluran napas juga termasuk salah satu faktor memicu kekambuhan, karena virus yang menyebabkan peradangan dapat menyebabkan memburuknya kondisi asmanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadibroto (2006), bahwa virus dapat menyebabkan memburuknya kondisi asma mereka.
Faktor-faktor terakhir yang mempengaruhi kekambuhan adalah stress. Stress dapat menurunkan kemampuan sistem imunitas. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadibroto (2006), bahwa stres juga menurunkan kemampuan sistem imunitas tubuh. Adapun dalam penelitian ini peneliti hanya menyoroti faktor olah raga yang dapat mempengaruhi kekambuhan asma. Hasil penelitian Purnomo, (2008) bahwa faktor yang lebih sering memicu kekambuhan adalah asap rokok, debu, dan perubahan cuaca. Adapun hasil penelitian Ulifannuri, (2006) faktor yang mempengaruhi kekambuhan adalah infeksi saluran nafas.
Berdasarkan penelitian tersebut diatas, disebutkan bahwa ada kecenderungan responden yang tidak mengikuti senam asma dan yang tidak rutin mengikuti senam asma sering mengalami kekambuhan. Berdasarkan referensi diatas mengatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi kejadia asma pada penderita asma. Peneliti tidak melakukan pengamatan terhadap
variabel
yang
mungkin
ikut
berpengaruh
terhadap
kekambuhan,
dan
ketidakkambuhan penderita asma seperti: paparan allergen, polusi udara, asap rokok, stress, infeksi saluran napas, dan perubahan cuaca, oleh karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh peneliti.
Hasil uji kruskal-wallis menunjukan nilai p= 0.00. dan lebih kecil dari α(0.05) sehingga ada perbedaan kekambuhan antara penderita asma yang mengikuti senam asma rutin, tidak rutin, dan tidak mengikuti. Penderita asma yang mengikuti senam asma secara rutin akan lebih kecil
8
terjadi kekambuhan dari pada penderita yang mengikuti senam tidak rutin dan tidak mengikuti senam asma. Melakukan senam asma secara rutin dapat menjadikan pernafasan seseorang lebih efektif, memperkuat otot-otot pernafasan, dan mempertahankan jalan nafas lebih terkontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Yunus (2009), bahwa senam asma bertujuan untuk melatih pernafasan efektif memperkuat otot-otot pernafasan agar penderita asma lebih mudah mengontrol jalan napas dan efektorasi.
Menurut peneliti penderita asma yang mengikuti senam asma lebih banyak pada usia produktif (mereka yang sudah bekerja). Adapun usia ini seseorang masih mempunyai mobilitas yang lebih tinggi, kemungkinan terjadi paparan factor allergen dari lingkungan sekitarnya akan lebih besar. Selain itu seseorang yang masih produktif masih banyak tekan atau tanggungan secara fisiologis yang mengakibatkan beban atau masalah yang dialami. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Handari (2009), membuktikan bahwa ada hubungan antara sebelum mengikuti senam asma dengan setelah mengikuti senam asma (nilai p= 0,001).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Jati (2008), dapat disimpulkan bahwa dengan mengikuti senam asma dapat berpengaruh mengurangi frekwensi kekambuhan penyakit asma. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), dapat disimpulkan ada perbedaan bermakna antara frekuensi serangan asma sebelum dan setelah melakukan senam asma (nilai p < 0,05). Hasil analisis pada penelitian ini diketahui bahwa semakin responden mengikuti senam asma secara rutin maka frekuensi kekambuhannya dapat di tekan atau jarang mengalami kekambuhan asmanya. Demikian penelitian ini banyak didukung bukti-bukti penelitian terdahulu, sehingga penelitian ini cukup kuat untuk menjadi bukti bahwa senam asma dapat menekan frekuensi kekambuhan.
9
Keterbatasan pada penelitian ini tidak memilah-milah penderita asma yang terkontrol dengan obat, dan tampa obat. Penelitian ini juga tidak melakukan pengamatan terhadap variabel yang mungkin ikut berpengaruh terhadap kekambuhan, dan ketidakkambuhan terhadap paparan allergen, polusi udara, asap rokok, stress, infeksi saluran napas, dan perubahan cuaca. Penelitian ini juga tidak menngkaji alasan apa yang menyebabkan responden tidak bisa mengikuti senam asma secara rutin tiap minggunya, sehingga hal ini merupakan keterbatasan dari penelitian, dan dapat dijadikan referensi untuk dilakukan penelitian selanjutnya.
PENUTUP Hasil penelitian yang dilakukan pada kelompok penderita asma yang mengikuti senam asma di BKPM Semarang berdasarkan kategorik umur dewasa madya lebih banyak mengikuti senam asma dari pada kategorik dewasa dini, dan dewasa lanjut. Jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Responden yang memiliki riwayat genetik lebih tinggi dibanding dengan responden yang tidak memiliki riwayat genetik. Rata-rata frekuensi kekambuhan pada penderita asma yang mengikuti senam asma rutin yaitu 1.15 kali. Rata-rata frekuensi kekambuhan pada penderita asma yang mengikuti senam asma tidak rutin yaitu 7.85 kali. Rata-rata frekuensi kekambuhan pada penderita asma yang tidak mengikuti senam asma yaitu 15.05 kali. Hasil uji kruskal wallis menunjukan ada perbedaan frekuensi kekambuhan antara penderita asma yang mengikuti senam asma rutin, tidak rutin, dan tidak mengikuti.
Mengingat hasil penelitian ini dapat menekan frekuensi kekambuhan penderita asma yang mengikuti senam asma secara tidak rutin dan tidak mengikuti, sehingga perawat dapat menyarankan untuk penderita asma agar dapat meluangkan sedikit waktunya untuk mengikuti senam asma, dan adapun perawat dapat memberi pendidikan kesehatan tentang manfaat mengikuti senam asma secara rutin. Diharapkan dari penderita asma yang sudah mengetahui
10
manfaat senam asma dapat merubah kebiasaan senam asma dari yang tidak mengikuti atau yang tidak rutin mengikuti senam asma dapat mengikuti rutin tiap minggunya. Adapun juga dapat menambah pengetahuan penderita asma tentang manfaat mengikuti senam asma secara rutin. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan bacaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, serta dapat memperkuat hasil penelitian dan teori yang sudah ada.
Berdasarkan hasil tersebut maka peneliti memberikan saran agar memberi edukasi secara rutin tentang manfaat asma dan home visit bagi BKPM Semarang. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terkait dengan memilah antara penderita asma yang terkontrol dengan obat dan tampa obat. Penelitian lanjutan dapat melakukan pengamatan terhadap variabel yang dapat memicu kekambuhan yaitu allergen, polusi udara, asap rokok, stress, infeksi saluran napas, dan perubahan cuaca. Peneliti berikutnya dapat melakukan penelitian kualitatif untuk mengetahui alasan atau penyebab responden tidak dapat mengikuti senam asma secara rutin.
KEPUSTAKAAN Antariksa, B. (2009). Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma. http://staff.ui.ac.id /internal/140370729/material/ Diagnosis Penatalaksanaan Asma09. pdf. Diakses tanggal 24 Desember 2012. Ambarwati. (2005). Perbedaan Antara Frekuensi Serangan Asma Sebelum dan Setelah Melakukan Senam Asma pada Anggota Klub Asma di Bp-4 Surakarta. http://dglib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=showview&id=12515. Diakses tanggal 10 Desember 2012. Badan Litbangkes. (2010). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Penyakit Asma Pada Usia > 10 Tahun di Indonesia. http.:// jurnalrespirologi.org/wpcontent/uploads/2012 /04/85-91-APRIL-VOL_30-NO_2-2010.pdf. Diakses tanggal 1 Jauari 2013. Dinkes. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2011. Semarang: Dinkes Provinsi JATENG. DKK. (2012). Profil Kesehatan Kota Semarang 2011. Semarang: DKK Kota Semarang.
11
Ehrlich, R. I., Toit, D. D., Jordaan, E., Potter, M. Z., Volmink, J. A., & Weinberg, E. (2004). Risk Faktor Childhood Asthma and Wheezing, Importance of Maternal and Household Smoking. http://eprints.undip.ac.id/18656/1/ PURNOMO.pdf. Diakses tanggal 10 Desember 2012. Hadibroto, I. (2006). Asma. Jakarta: Gramedia. Handari, M. (2009). Hubungan Antara Sebelum dan Setelah Mengikuti Ssenam Asma dengan Frekuensi Kekambuhan Asma. http://skripsistikes.files. wordpress.com/2009/08/19.pdf. Diakses tanggal 10 Desember 2012. Jati. (2008). Pengaruh Pemberian Senam Asma Terhadap Frekuensi Kekambuhan Asma Bronkrial. http://etd.eprints.ums.ac.id/3988/. Diakses tanggal 10 Desember 2012. . Manfaati, A. (2004). Hubungan Berbagai Kelainan Atopi dengan Penyakit Asma pada Siswa SLTP di Jogjakarta. http://eprints.undip.ac.id/18656/1/PUR NOMO.pdf. Diakses tanggal 10 Desember 2012.. Purnomo. (2008). Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial. http://eprints.undip.ac.id/18656/1/Purnomo.pdf. Diakses tanggal 10 Desember 2012 Ridgway, R. (1997). Terapi Natural Asma. Jakarta: Pt Halirang.
Sundaru, H. (2006). Asma Bronkial. http://eprints.undip.ac.id/18656/1/PURN OMO.pdf. diakses tanggal 10 Desember 2012. Sundaru, H. (1995). Asma. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Tabri, N. A., Megantara, S., Faisal, Y., & Wiwien, H. W. (2008). The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compere with Budesonide Inhalation to Control Moderete Persistent Asthma by The Use of Asthma Control Test as Evaluation Tool. http://jurnalrespirologi.org/jurnal/JULI%20VOL_30%20NO_3% 202010.pdf. Diakses tanggal 20 Juni 2013 Ulifannuri. (2006). Faktor Resiko yang Mempengaruhi Kejadian Asma di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. http://repository.uii.ac.id/100/SK/I/0/00/006/006628/uiiskripsi-faktor%20risiko%20yang%20m-09711048-ULLIFANNURI%20RACHMI218 2181973-abstract.pdf. Diakses tanggal 20 Juni 2013 Yunus, F. (2009). Penatalaksanaan Asma Jangka Panjang. http://staff.ui.ac.id/internal/140 370729/material/Diagnosis Penatalaksanaan Asma09.pdf. Diakses tanggal 24 Desember 2012.