17
PERBANYAKAN TANAMAN SAGU (Metroxylon spp.) MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SECARA IN VITRO Abstrak Penggunaan bahan tanam dari kultur in vitro, terutama dari embrio somatik memiliki keunggulan seperti secara genetik stabil, dan identik dengan tanaman induk. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari embriogenesis dan organogenesis dari tanaman sagu.Percobaan ini telah dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor dari Oktober 2011 sampai dengan April 2012. Eksplan yang digunakan adalah pucuk dan daun muda. Pucuk dari anakan sagu telah disterilisasi menggunakan sterilan seperti alkohol 70%, sodium hipoklorit, 0.2% merkuri klorida, antibiotik dan pembakaran sesaat diikuti pencucian dengan akuades steril. Ada beberapa kendala sterilisasi bahan tanam. Beberapa metode sterilisasi telah dilakukan, tetapi kultur aseptik yang diperoleh masih rendah. Kalus tidak terinduksi dari eksplan daun muda dengan media tanpa hormon dengan manitol 3%. Kalus juga tidak terinduksi dari media tanpa zat pengatur tumbuh. Eksplan daun muda tidak terinisiasi menjadi kalus atau organ sampai empat minggu setelah tanam. Sementara itu, eksplan daun muda mengalami pencoklatan pada minggu ke-5. jumlah eksplan aseptik dari pucuk muda rendah, hanya sekitar 2-3 pucuk steril dari keseluruhan perlakuan. Perlakuan sterilisasi menggunakan hipoklorit dan pembakaran sesaat merupakan teknik sterilsasi pucuk tanaman sagu. Keywords: daun muda, pucuk, sterilisasi, kalus Abstract The use of planting material from in vitro culture, especially derived from somatic embryos has some advantages such as genetically stable and identical to the mother plants (true to type). This study was carried out to understand the embriogenesys and organogenesis of sago palm. This experiments was conducted in Tissue Culture Laboratory, Department of Agronomy and Horticulture, Bogor Agricultural University, from Oktober 2011-April 2012. Materials were used shoot tip and young leaf. Shoot tip of sago sucker was excised and simultaneously sterilised by using sterilizing agents such as 70% EtOH, sodium hypoclorite, 0.2% mercury cloride, antibiotic, and also heating followed by rising sterile-aquadest. There are some problems for sterilization of shoot tip explant. Some sterilization methods were conducted, but persentation of aseptic culture was still low. Callus was not succesfully induced from young leaf explant. Callus were not obtained on hormon-free MS medium consisting 3% mannitol. Four months after planting, young leaf explant has been not differentiated into callus or organ. Meanwhile, after 5 month the leaf expant was browning. However, the number of aseptic shoot tip explants remaind low, of which only about 2-3 shoot tips were obtained. This study also reported succesful sterilisation of shoot tip explant from fungal and bacteri contamination using hypoclorit and heating treatments. Kata kunci : young leaf, shoot tip, sterilization, callus
18
Pendahuluan Kebutuhan bibit dalam jumlah besar dan seragam mutlak diperlukan dalam usaha pengembangan perkebunan tanaman sagu skala komersial. Kebutuhan bibit sagu dengan jarak tanam 8 m x 8 m adalah sekitar 156 bibit sagu per hektar. Dengan demikian dibutuhkan bibit dalam jumlah besar, cepat, dan seragam untuk mendukung pengembangan tersebut. Saat ini, kebutuhan bibit masyarakat maupun perkebunan tersebut hanya dipenuhi dari pengambilan anakan sagu (sucker) secara konvensional. Meskipun dalam satu rumpun tanaman sagu terdapat banyak anakan sagu, namun tidak semua anakan sagu memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai bibit. Menurut Bintoro et al. (2010) sebelum anakan berumur dua tahun, penjarangan dilakukan dengan membuang semua anakan, namun setelah tanaman berumur dua tahun dilakukan pemeliharaan satu anakan setiap dua tahun sehingga diperoleh 5-6 anakan dalam satu rumpun sehingga kegiatan panen dapat berkelanjutan. Dengan demikian, sulitnya memperkirakan jumlah bibit yang tersedia dan terbatasnya ketersediaan jumlah bibit menjadi kelemahan dalam penyediaan bibit secara konvensional. Teknik kultur jaringan dapat membantu mengatasi masalah penyediaan bibit dalam jumlah banyak, cepat dan seragam melalui organogenesis maupun embriogenesis. Organogenesis dapat membentuk tunas baik adventif maupun aksilar secara langsung maupun tidak langsung (melalui kalus), biasanya dengan menggunakan zat pengatur tumbuh kelompok sitokinin dan auksin. Menurut George and Debergh (2008) embriogenesis dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, namun embriogenesis somatik secara tidak langsung melalui pengkalusan lebih sering dilakukan, karena sel embriogenik dapat diinduksi pada permulaan awal kultur jaringan muda yang meristematik. Stasolla and Yeung (2003) menambahkan bahwa kesuksesan penginduksian embrio somatik hanya terjadi pada jaringan yang masih muda dan kualitas dari embrio somatik yang diperoleh dan kecepatan perubahannya ke planlet tergantung pada genotipe dari eksplan awal. Tunas kurma diperoleh melalui organogenesis setelah diinduksi dari ekplan daun tanaman kurma pada media yang mengandung 10 mg L-1 2.4-D dan ditransfer ke media MS solid dengan penambahan 0.04 mg L-1 NAA, 0.2 mg L-1BA and 0.02 mgL-1 KT (media proliferasi). Periode sampai terbentuknya tunas kurma adalah 8 bulan. Penggunaan 10 mg L-1 2.4-D pada embriogenesis somatik eksplan daun tanaman kurma menghasilkan kalus yang embriogenik setelah diinduksi selama 8 bulan, kemudian ditransfer ke media MS solid dengan penambahan 0.1 mg L-1 2.4-D (media diferensiasi) untuk menstimulasi diferensiasi dari kalus embriogenik ke embrio somatik kotiledonari (Othmani et al. 2009). Organogenesis pada monokotiledon sering dilakukan dengan mentransfer kultur ke media tanpa auksin, dengan mengurangi konsentrasi yang tinggi dari auksin aktif seperti 2.4-D atau mengganti dengan auksin yang lain (seperti IAA atau NAA). Sitokinin sangat efektif dalam menginisiasi tunas baik langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect). Sitokinin dapat dikombinasikan dengan kelompok auksin. Komposisi yang seimbang di antara sitokonin dan auksin secara normal memberikan pembentukan organ (organogenesis) paling efektif. Jaringanjaringan pada monokotiledon sering dapat diinduksi ke kalus melalui auksin
19
dengan konsentrasi tinggi, sitokinin mungkin tidak terlalu penting (Staden et al. 2008). Beberapa penelitian mengenai kultur jaringan tanaman sagu telah dilakukan, namun masih terdapat kendala-kendala diantaranya jumlah perakaran yang sedikit dan persentase daya hidup planlet yang rendah saat aklimatisasi (Sumaryono et al. 2007), belum adanya penelitian mengenai organogenesis tanaman sagu serta masih kurangnya penelitian kultur jaringan pada beberapa aksesi tanaman sagu. Penambahan bahan aditif seperti air kelapa dan vitamin perlu dilakukan untuk meningkatkan jumlah embrio somatik yang terbentuk. Hasil penelitian Sukendah et al. (2008) yang menyatakan bahwa penambahan air kelapa 150 ml L-1 yang memberikan pengaruh baik untuk meningkatkan perkecambahan dengan waktu berkecambah lebih cepat pada embrio kelapa kopyor asal Sumenep. Tujuan penelitian yaitu mempelajari organogenesis dan embriogenesis tanaman sagu dengan menggunakan eksplan pucuk dan daun muda
Bahan dan Metode Penelitian ini dibagi menjadi dua percobaan yaitu 1) organogenesis tanaman sagu dari eksplan daun muda dan 2) embriogenesis tanaman sagu dari eksplan shoot tip.
Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai bulan November 2011sampai dengan selesai.
Bahan dan Alat Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah shoot tip (anakan sagu berumur 1-2 tahun dengan bobot 2.5-4 kg) dan daun muda tanaman sagu (Metroxylon spp.) Sagu tidak berduri diperoleh dari Kebun Koleksi Balai Pengkajian dan Penerapan Bioteknologi Bogor. Bahan kimia yang digunakan meliputi komposisi media MMS (MS modifikasi ½ garam makro), media Eeuwens, serta zat pengatur tumbuh (ZPT) 2,4-D, Kinetin, BAP, IBA, 2-iP dan ABA. Bahan lain yang digunakan yaitu fungisida, bakterisida, antibiotik, detergen, clorox (10, 20 dan 30%), alkohol 70% dan 95 %, aquades steril, spirtus, gelrite dan sukrosa. Alat-alat yang digunakan antara lain Laminar Air Flow Cabinet (LAC), autoklaf, timbangan digital, bunsen, pH meter, alat-alat gelas, pinset, scalpel, spatula, sprayer, botol kultur, karet, korek api, tissue, rak kultur yang dilengkapi dengan lampu fluorescence dan kamera. Alat lain yang digunakan adalah alat preparasi analisis histologi dan mikroskop.
20
Metode Percobaan I.
Organogenesis 1) Induksi Tunas Adventif Melalui Kalus
Percobaan induksi tunas melalui kalus dilakukan dengan menggunakan bahan tanam daun muda (young leaf) tanaman sagu. Rancangan yang digunakan yaitu rancangan acak kelompok dengan faktor tunggal. Faktor tunggal yang digunakan yaitu zat pengatur tumbuh dari kinetin 2-iP (1, 3, 5 mgL-1), masingmasing perlakuan ditambahkan auksin 2.4-D 100 mgL-1. Percobaan terdiri dari 3 perlakuan yang diulang sebanyak 15 kali, sehingga ada 45 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari satu botol kultur yang terdiri dari satu eksplan. Pengamatan dilakukan terhadap waktu kemunculan kalus, warna dan bobot segar kalus, waktu kemunculan tunas, panjang tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun. II.
Induksi Embriosomatik melalui kalus 1) Induksi kalus embriogenik
Percobaan induksi tunas melalui kalus dilakukan dengan menggunakan bahan tanam shoot tip tanaman sagu Penelitian embriogenesis somatik terdiri dari dua tahap percobaan. Percobaan tahap pertama disusun dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal. Faktor tunggal yang digunakan adalah komposisi media dasar yaitu media Eeuwens dan Media MMS (yang telah ditambahkan 23.229 µM kinetin). Dengan demikian, jumlah keseluruhan satuan percobaan dengan delapan perlakuan dan sepuluh ulangan adalah 80 satuan percobaan. Kombinasi perlakuan induksi kalus tersebut adalah sebagai berikut. Percobaan dirancang dengan dua faktor dengan beberapa perlakuan konsentrasi, yaitu: a) P0 = media Eeuwens + 0 µM b) P1 = media Eeuwens + 542.888 µM 2,4-D c) P2 = media Eeuwens + 633.370 µM 2,4-D d) P3 = media Eeuwens + 723.851 µM 2,4-D e) P4 = media MMS + 0 µM f) P5 = media MMS + 542.888 µM 2,4-D g) P6 = media MMS + 633.370 µM 2,4-D h) P7 = media MMS + 723.851 µM 2,4-D Keterangan: media Eeuwens (sudah ditambahkan Kinetin 23.229 µM) dan media MMS (media MS dengan ½ garam makro sudah ditambahkan Kinetin 23.229 µM) 2) Proliferasi kalus embriogenik dan regenerasi Proliferasi kultur embrio pada media padat yang sama dengan media inisiasi. Pra-maturasi embrio somatik pada medium dengan pengurangan setengah konsentrasi ZPT (media inisiasi) untuk mendapatkan kalus embriogenik. Regenerasi kultur dilakukan pada media dengan pengurangan konsentrasi ZPT hingga seperempat dari media inisiasi.
21
a) b) c) d) e) f) g) h)
P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
= media Eeuwens + 0 µM = media Eeuwens + 135.722 µM 2,4-D = media Eeuwens + 158.342 µM 2,4-D = media Eeuwens + 180.963 µM 2,4-D = media MMS + 0 µM = media MMS + 135.722 µM 2,4-D = media MMS + 158.342 µM 2,4-D = media MMS + 180.963 µM 2,4-D
Keterangan: media Eeuwens (sudah ditambahkan Kinetin 1 ppm) dan media MMS (media MS dengan ½ garam makro sudah ditambahkan Kinetin 1 ppm)
3) Pendewasaan embrio somatik Media pendewasaan yang digunakan untuk embrio somatik hasil induksi dari kedua eksplan daun dan shoot tip adalah: MMS padat (1/2 garam makro) + 0.038 µM ABA, 0.28 µM GA3, 4.646 µM kinetin. Subkultur dilakukan secara berkala setiap 4-5 minggu pada medium germinasi. 4) Pengamatan embrio somatik Pengecambahan embrio sagu dilakukan pada media ½ makro MS. Konversi embrio sagu menjadi tunas atau planlet umumnya dilakukan pada media tanpa auksin. Namun demikian, beberapa peneliti melakukan konversi embrio menjadi planlet pada media mengandung 2,4-D sangat rendah yang dikombinasikan dengan BAP (50 uM) di bawah kondisi yang bercahaya. Botol kultur diletakkan pada rak kultur menurut rancangan acak lengkap (RAL) dan suhu ± 250 C. Pengamatan dilakukan dengan mengamati tinggi planlet, jumlah daun, % browning, % planlet dengan akar sempurna, % planlet belum berakar. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan taraf α=5% menggunakan SAS system versi 6. 12, apabila menunjukkan hasil yang berbeda nyata dilakukan uji lanjut DMRT taraf 5%. Data dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA).
Pengamatan 1) Organogenesis tak langsung Pengamatan dilakukan setiap tiga hari sekali. Peubah yang diamati yaitu waktu eksplan berkalus (minggu setelah perlakuan), jumlah dan panjang tunas, jumlah dan panjang akar, jumlah tunas abnormal, dan jumlah dan persentase eksplan berkalus (%). 2) Embriogenesisi somatik Peubah yang diamati meliputi jumlah dan persentase eksplan berkalus (%), diameter rumpun (clump) kalus (cm), persentase kalus embriogenik (%), jumlah kalus embriogenik pada fase globular, jumlah kalus embriogenik pada fase hati, jumlah kalus embriogenik pada fase torpedo, tekstur dan warna kalus, jumlah dan
22
persentase kalus embrionik yang berkecambah, persentase kontaminasi (%), jumlah dan persentase kecambah normal, panjang tunas (cm), dan panjang akar (cm). Pengamatan terhadap kalus yang muncul dilakukan setiap tiga hari sekali. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah adanya fase perkembangan kalus yang terlambat untuk diamati dan mengantisipasi jika terjadi penyebarluasan kontaminasi. Pengamatan juga dilakukan terhadap warna dan fase perkembangan embrio somatik tanaman sagu. Penilaian mutu benih sintetik dapat diketahui dari warna embrio somatik. Keragaman embrio ditentukan oleh ukuran embrio dan koefisien keragamannya. Koefisien keragaman didefinisikan sebagai hasil perhitungan standar deviasi dari sampel dibagi dengan angka rata-rata dan dinyatakan dalam bentuk persentase.
Analisis Histologi Analisis histologi dilakukan pada kalus yang berpotensi dan atau embriogenik. Pengamatan juga dilakukan terhadap struktur anatomi embrio somatik sagu pada setiap fase perkembangan embrio dengan menggunakan mikroskop. Menurut Kasi dan Sumaryono (2006) jumlah embrio somatik sagu bentuk hati yang terbentuk selama periode kultur cukup rendah. Pada akhir masa kultur, embrio yang berada pada fase bentuk-hati tidak dijumpai. Tanaman monokotil pada umumnya memang jarang dijumpai embrio bentuk-hati.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap sterilisasi merupakan langkah awal untuk mendapatkan kultur asenik (steril). Bahan tanam berupa shoot tip diperoleh dari anakan sagu dengan bobot 2.5-4 kg dan diperkirakan berumur 1-2 tahun. Shoot tip merupakan tunas termuda yang disusun oleh jaringan meristem yang aktif membelah. Ukuran shoot tip tanaman sagu yang digunakan sekitar lebar 2.5 cm dan panjang 4 cm. Eksplan berupa shoot tip tanaman sagu diberi perlakuan sterilisasi. Perlakuan sterilisasi menggunakan clorox dengan konsentrasi 10, 20, dan 30% telah dilakukan. Kombinasi bahan sterilan berupa fungisida, bakterisida dan antibiotik juga telah dilakukan, namun persentase eksplan steril yang tinggi belum diperoleh. Permasalahan yang dihadapi yaitu bahan sucker (anakan tanaman sagu) yang digunakan telah terinfeksi cendawan, sehingga sulit mendapatkan eksplan steril sebagai bahan untuk perlakuan embriogenesis dan organogenesis. Penggunaan bahan sterilan berupa antibiotik telah dilakukan, namun belum memberikan hasil yang maskimal. Berbagai metode sterilisasi dan perolehan kultur asenik disajikan pada Tabel 2.
23
Tabel 2 Metode sterilisasi menggunakan eksplan shoot tip No 1
2
3
4
5
6
Kegiatan Sterilisasi 1: Luar : Detergen 100 g.L-1 30 m, clorox 30% 30 m, fungi sida +bakterisida 2 g.L-1 15 m Dalam : Clorox 5% 10 m Sterilisasi 2: Luar : Detergen 100 g.L-1 15 m, fungisida+bakteri sida 2 g.L-1 30 m, bilas dan shaker dengan aquades 10 m, clorox 10% 25 m Dalam : Clorox 5% 10 m Sterilisasi 3: Luar : Detergen cair 100ml.L-1 20 m, fungisida + bakteri sida 2g.L-1 30 m, amoxilin 5 mg/125mg 15 m, clorox 30% 15 m Dalam : Clorox 20% 5 m Sterilisasi 4: Luar : Detergen cair 100ml.L-1 15 m, fungisida+ bakteri sida 2g.L-1 30 m, clorox 30% 20 m Dalam : Fungisida+bakterisida 2g.L-1 10 m, clorox 20% 5 m, eksplan dibersihkan dengan pisau di dalam laminar, fungisida+bakterisida 2g.L-1 20 m, iodine 3 tetes/50 ml Sterilisasi 5: Luar : Detergen 100 gr.L-1 2 j, kupas kulit, air mengalir fungisida+bakterisida1 + strep 3g.L-1 15 m Dalam : HgCl 2g.L-1, clorox 20% tisu steril, belah, tanam Sterilisasi 6: Luar : Detergen 120 m, sikat bagian coklat dengan air mengalir, bilas dengan air mengalir 30 m, fungisida + bakterisida 2 g.L-1 60 m bilas air mengalir Dalam: Clorox 30% + 170 ml air steril 15 m, kupas kulit berwarna coklat, bilas air steril 3 kali, clorox 10% + 190 ml air steril 30 m, bilas air steril 3 kali, Iodine 5 tetes 5 m, bilas/tanpa bilas air steril 3 kali, ekplan dibelah 2 bagian, keringkan dengan tissue steril, tanam
∑ Eksplan awal 7 eksplan
∑ Eksplan steril Kontaminasi cendawan dan bakteri
Eksplan steril (%) 0%
40 eksplan (2 tahap sterilisasi) Sagu berduri dan Sagu molat
Kontaminasi cendawan dan bakteri (5 HST)
0%
40 eksplan (2 tahap sterilisasi) Sagu berduri dan Sagu molat
Eksplan (browning) amoxilin, Kontaminasi bakteri
0%
33 eksplan
Bakteri
0%
Sterlisasi ulang bakteri putih tetap ada.
10 eksplan leuwiliang
Sterilisasi ulang tetap kontaminasi bakteri
0%
33 eksplan
Sterilisasi ulang tetap kontam bakteri
0%
24
No 7
8
9
Tabel 2 Metode sterilisasi menggunakan eksplan shoot tip (lanjutan) ∑ Eksplan Kegiatan awal Sterilisasi 7: 21 eksplan Luar : Detergen cair 30ml.L-1 30 m, shaker manual, sikat kulit yang menghitam karena getah sampai bersih, bersihkan di air mengalir sampai bersih, fungisida+bakteri sida 2g.L-1 60 m,{10 shaker}, {11 tanpa shaker}) Dalam : Iris tipis bagian yang menghitam, clorox 20% 10 menit, clorox 10% 5 m, iodine 60 tetesL-1 5 m, bilas air steril, tanam Sterilisasi 8: Luar : Detergen 10 g/600 ml, kupas bagian hitam + bilas 3x 4 eksplan Dalam : 1) Cloramfenicol 1 capsul/600ml 1 j Shaker air bersih 15 m Dalam : Clorox 20% 10 m Belah + alkohol + bakar, tanam Belah + vitamin c 1 4 eksplan tablet/100ml 15 m, tanam 2) Rimpaficin 1 capsul/600ml 1 j, shaker air bersih 15 m Dalam : Clorox 20% 10 m Belah + alkohol + bakar, tanam Belah + vitamin c 1 4 eksplan tablet/100ml 15 m, tanam 3) Fungisida +bakterisida 2g/600ml 1 j, shaker air bersih 15 m Dalam : Kupas bagian hitam sampai bersih, clorox 20% 10 m, vitamin c 1 tablet/100ml 15 m Belah, tanam Belah + alkohol + bakar, tanam Sterilisasi 9: Luar : Eksplan besar, detergen 20 gL-1, fungisida + bakterisida 2 g/600ml 1 j Dalam : 1) Cloramfenicol 1 capsul/600ml 15 m 6 eksplan Dalam : Kupas sampai besaran tanam, clorox 4ml/ 30ml 10 m, Belah eksplan, lap tisu, tanam Eksplan utuh, belah, lap tisu, tanam Eksplan utuh, belah + alkohol + bakar, tanam
∑ Eksplan steril Sterilisasi ulang tetap kontam bakteri
Sterilisasi ulang tetap kontaminasi bakteri Eksplan steril 0
Eksplan steril (%) 0%
0%
Eksplan steril 2
50%
Eksplan steril 0
0%
Sterilisasi ulang tetap kontaminasi bakteri Steril 0
0%
25
Tabel 2 Metode sterilisasi menggunakan eksplan shoot tip (lanjutan) ∑ Eksplan Kegiatan awal 2) Rimpaficin 1 capsul/600ml 15 m 6 eksplan Dalam : Kupas sampai besaran tanam, vitamin c 1 tablet/100ml 15 m Belah, alkohol, bakar, tanam Belah, tanam Sterilisasi 10: 6 eksplan utuh Luar : Detergen 1 j, kupas bagian hitam, cloram fenicol 1 tablet/600ml, rimpaficin 1 kapsul/ 600ml, fungisida+bakterisida 2 g/600ml, bilas air bersih Dalam : Dikupas kecil, HgCl 0.1g/50ml 3 m, clorox 10% 15 m, clorox 10% 10 m, tanam
∑ Eksplan steril Steril 0
Eksplan steril (%) 0%
Sterilisasi ulang tetap kontaminasi bakteri
0%
Eksplan yang sudah disterilisasi ditanam pada media MS (media prakondisi) untuk perkembangan selanjutnya. Penanaman eksplan pada media MS tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan eksplan yang tetap steril dalam jangka waktu 2 MST (minggu setelah tanam), kemudian dapat ditanam pada media perlakuan. Eksplan yang berasal dari shoot tip mulai terkontaminasi bakteri (Gambar 2).
Kontaminasi bakteri
Gambar 2 Eksplan asal shoot tip yang terkontaminasi bakteri Setelah 2 MST, eksplan yang telah steril dibelah menjadi 2 bagian untuk memperoleh eksplan yang lebih banyak. Pembelahan eksplan juga bertujuan jaringan meristem pada titik tumbuh shoot tip dapat segera tumbuh ketika menyentuh media tanam. Dengan demikian, perlakuan tahap induksi kalus dapat segera dilakukan setelah 4 MST. Eksplan asal shoot tip yang tetap steril hingga 3 BST (Gambar 3). Keberhasilan tahap sterilisasi dilihat dari tingginya persentase eksplan yang steril, kemudian eksplan tersebut diberi perlakuan induksi kalus. Namun demikian, keseluruhan tahap sterilisasi untuk shoot tip dengan menggunakan berbagai sterilan (antibiotik, clorox, dan HgCl) belum mampu menghasilkan persentase eksplan steril yang tinggi. Hal tersebut diduga disebabkan eksplan dari kebun sudah membawa penyakit terbawa bibit. Oleh karena itu, meskipun ekplan yang ditanam pada media prakondisi sudah terlihat steril selama 2 MST, namun ketika dilkukan pembelahan untuk masuk ke media perlakuan kontaminasi bakteri
26
dan cendawan kembali muncul. Secara umum, kontaminasi yang ditemukan berasal dari cendawan dan bakteri.
Tunas dari eksplan shoot tip
Gambar 3 Eksplan steril asal shoot tip
1 cm
Gambar 4 Eksplan steril daun muda Tanaman tingkat tinggi, seperti sagu, memiliki kecenderungan menghasilkan senyawa fenolik yang lebih banyak. Pada umumnya, senyawa fenolik yang teroksidasi pada kultur jaringan menyebabkan kematian jaringan (Arnaldos et al. 2001). Browning merupakan kendala utama pada kultur jaringan secara in vitro. Eksplan daun muda sagu yang ditanam pada media induksi kalus 2.4-D 100 mgL-1 yang dikombinasikan dengan 2-iP (1, 3, 5 mgL-1) belum mampu menginisiasi kalus dari ekplan tersebut sampai dengan 4 BST. Pada 5 BST, eksplan mengalami pencoklatan yang disebabkan senyawa fenolik yang dihasilkan eksplan itu sendiri. Eksplan yang berasal dari daun muda yang mulai sedikit kecoklatan (Gambar 4). Senyawa fenolik yang dihasilkan oleh eksplan dan teroksidasi di media kultur merupakan penyebab eksplan mengalami browning. Senyawa tersebut mampu menghambat aktivitas enzim dan mengakibatkan pencoklatan media yang kemudian berdampak pada kematian jaringan (Laukkanen et al. 1999). Konsentrasi senyawa fenolik tersebut dipengaruhi oleh beberapa bahan organic, terutama karbohidrat yang ditambahkan pada media (Lux-Endrich et al. 2000).
27
Ketidakmampuan eksplan yang berasal dari daun muda untuk menghasilkan kalus disebabkan karena konsentasi zat pengatur tumbuh yang diberikan (eksogen) belum dapat mengubah konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen. Skirvin et al. (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor penunjang terjadinya keragaman selama kultur jaringan adalah jenis eksplan, pemilihan kultivar dan umur kultivar, level ploidi, metode dan kondisi spesifik dari kultur termasuk zat pengtur tumbuh, tekanan seleksi, lamanya waktu in vitro dan kecepatan proliferasi, sedangkan Karp (1995) menyatakan bahwa terdapat empat faktor yang menyebabkan keragaman dalam kultur in vitro yaitu 1) derajat awal dari pertumbuhan meristematik, 2) konstitusi genetik, 3)zat pengatur tumbuh pada media, dan 4) sumber jaringan. Induksi embriogenesis somatik pada tumbuhan monokotil, kebanyakan diperoleh dari eksplan generatif. Eksplan generatif misalnya biji (n). Sementara itu, sebaliknya pada tanaman dikotil, kebanyakan induksi embriogenesis somatik didapatkan dari eksplan vegetatif, seperti daun. Eksplan daun secara umum diaplikasikan untuk memperoleh embrio somatik yang pada akhirnya dihasilkan planlet. Eksplan dari tanaman orchard grass embrio somatik terbentuk melalui pembentukan kalus ebriogenik dengan penambahan auksin kuat, seperti dicamba (Bhojwani dan Razdan 1983). Periode sub kultur dapat memberikan pengaruh negatif pada eksplan. Selain itu jumlah eksplan dalam satu botol kultur juga berpengaruh pada kematian jaringan. Jumlah eksplan yang semakin banyak dengan tingkat senyawa fenolik semakin meningkat, maka kemungkinan kematian jaringan juga akan semakin besar. Menurut Sukendah (2009) periode subkultur yang lebih sering akan mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan jumlah planlet pada kelapa kopyor.
Simpulan Penelitian mengenai embriogenesis dan organogenesis pada tanaman sagu belum memperoleh hasil yang optimal. Proses sterilisasi untuk mendapatkan persentase eksplan steril yang tinggi masih harus diusahakan. Rendahnya perolehan eksplan steril dari penelitian yang telah dilakukan diduga disebabkan adanya penyakit terbawa eksplan (shoot tip) dari pengambilan bibit di lapangan, sedangkan eksplan daun muda tidak mengalami masalah dalam proses sterilisasi. Daya regenerasi eksplan yang berasal dari daun muda sangat lambat. Sampai dengan akhir pengamatan 4 bulan setelah tanam, eksplan dari daun muda belum memberikan perubahan pada ukuran dan bentuk. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan yaitu 100 mgL-1 2.4-D yang dikombinasikan dengan 2-iP belum mampu mengubah konsentrasi ZPT endogen dari eksplan daun muda sagu.