PERBANDINGAN EFEK KOMBINASI METAMIZOL- COOLING BLANKET DENGAN PARASETAMOL-COOLING BLANKET DALAM MENURUNKAN DEMAM PASIEN CEDERA KEPALA
COMPARISON OF COMBINATION EFFECT OF METAMIZOL - COOLING BLANKET WITH PARACETAMOL - COOLING BLANKET IN LOWERING FEVER ON HEAD INJURY PATIENTS
Ivandri,1 Syafri K Arif,1 Muh Ramli A,1 Ilhamjaya Patellongi2 1
Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manjemen Nyeri Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin. 2 Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Alamat Korespondensi: dr Ivandri Bagian Anestesiologi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar HP: 085260067676 Email:
[email protected]
Abstrak Insidensi cedera kepala masih sangat tinggi terutama pada kelompok dewasa muda, juga memiliki angka perawatan ICU lama sehingga beresiko terjadinya demam.Penelitian ini bertujuan membandingkan efek metamizol intravena dan parasetamol intravena yang dikombinasikan dengan cooling blanket dalam menurunkan suhu tubuh pada pasien cedera kepala dengan demam. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal, mengikutsertakan 40 pasien cedera kepala dengan demam, di bagi dalam 2 kelompok. Kelompok MC (n=20) memperoleh metamizol IV 15 mg/kgBB, sedangkan kelompok PC (n=20) memperoleh parasetamol IV 15 mg/kgBB, secara bersamaan kedua kelompok juga memperoleh kombinasi cooling blanket 10 0C < 3 jam, dan dihentikan bila suhu target tercapai (36-37 0C). Dilakukan pengukuran suhu, TAR, dan pencatatan frekwensi kejadian efek samping berupa shivering, hipotensi, mual dan muntah setiap 30 menit selama 8 jam. Hasil penelitian Menunjukkan bahwa suhu tubuh berbeda bermakna pada kedua kelompok dimana suhu pada kelompok MC selalu lebih rendah dibandingkan kelompok PC dimulai jam ke-1 sampai jam ke-8 setelah pemberian obat. Efek samping berupa kejadian shivering secara signifikan ditemukan pada kedua kelompok (MC=75 %; PC=70 %), penurunan TAR setelah pemberian obat terjadi ada kedua kelompok, tetapi kejadian hipotensi hanya ditemukan pada kelompok MC sebanyak 1 pasien (5%), tidak ditemukan kejadian mual dan muntah. Semua kejadian efek samping diantara dua kelompok tidak ditemukan perbedaan yang bermakna (p=0,500). Kami menyimpulkan bahwa kombinasi metamizol intravena dan cooling blanket dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat dibandingkan kombinasi parasetamol intravena dan cooling blanket, dengan efek samping yang relatif sama. Kata kunci : metamizol, parasetamol, cooling blanket, cedera kepala, demam.
Abstract The incidence of head injury is still very high, especially in the young adult group, also has a number of long ICU care, so risk the occurrence of fever The research aimed at comparing the effectiveness of the intravenous metamizol and the intravenous paracetamol which were combined with the cooling blanket in lowing the body temperature on the head injuries patients with the fever.This was a single-blind randomized clinical experiment, involving 40 head injury patients with the fever. They were divided into two groups. The MC group (n=20) obtained the metamizol IV 15 mg/kgBW, whereas the PC group (n=20) obtained paracetamol IV 15 mg/kgBW, simultaneously both groups also got the combination of cooling blanket of 10 0C <3 hours, and it was stopped if the target temperature was achieved (36 - 37 0C). The measurements of the temperature, MAP, and the recording of the incidence frequency of the side effects in the forms of shivering, hypotension, nausea and vomiting in every 30 minutes for 8 hours were carried out. The research result indicates that the body temperature significantly different on both groups, in which the MC group is always lower than the PC group starting from the first hour up to the eighth hours after the drug administration. The side effects in the form of shivering in significantly found on both groups (MC=75%, PC=70%), MAP decrease after the drug administration occurred on both groups, however, the hypotension incidence is only found on the MC group, i.e 1 (5%) patient, it is found the incidents of nausea and vomiting. It is no found the significant difference of all the side effect incidents between both groups (p=0,500). The study concluded combination of metamizol intravenous and cooling blanket can lowering body temperature more quickly than a combination of paracetamol intravenous and cooling blanket, with a relatively similar side effects. Key-words: metamizol, paracetamol, cooling blanket, head injury, fever.
PENDAHULUAN Trauma adalah penyebab utama kematian pada dewasa muda, dan hampir separuh dari jumlah kematian yang berhubungan dengan trauma disebabkan oleh cedera kepala (Aminoff, 2009). Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15 - 44 tahun. 48% - 53% disebakan oleh kecelakaan lalu lintas, 20% - 28 % karena jatuh dan 3% - 9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Turner, 1996). Di negara berkembang seperti Indonesia, kecelakaan yang berakibat cedera kepala memiliki angka yang cukup tinggi dan terus meningkat setiap tahunnya. Kejadian cedera kepala juga menjadi salah satu penyebab angka kematian tinggi pada kelompok umur dewasa muda, setelah gangguan jantung dan keganasan (Akbar, 2011). Beberapa efek fisiologis sistemik dapat terjadi sebagai akibat dari cedera otak primer sehingga dapat menyebabkan perburukan dari cedera syaraf. Efekefek
ini
termasuk
hipoksia,
hipotensi,
hipertensi,
hiperkarbi,
anemia,
hipoglikemia, gangguan elektrolit dan hipertermia/demam. Hipertermi sering berhubungan dengan infeksi, reaksi obat atau defek pada sistem termoregulator. Hipertermia dapat memperburuk cedera iskemik neuronal sehingga menyebabkan cedera otak sekunder (Bisri, 2012). Demam sangat umum terjadi pada pasien cedera kepala. Risiko demam meningkat sebanding dengan lamanya perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Semua pasien neurologis yang dirawat di ICU hanya sedikit dirawat kurang dari 24 jam dan 93% lagi tinggal di ICU lebih dari 14 hari. (Hoedemaekers, 2007). Lebih dari 80% pasien cedera kepala yang sakit kritis mengalami peningkatan suhu otak > 38 OC dalam tiga hari pertama setelah cedera. Beberapa studi yang mengamati pasien kritis dengan cedera neurologis menunjukkan bahwa suhu tubuh yang tinggi, secara lansung berkaitan dengan lamanya perawatan di ICU dan peningkatan angka kematian (Young dkk., 2011). Suhu tubuh harus dikendalikan pada semua pasien, tetapi hal ini menjadi lebih khusus pada pasien cedera kepala dan pasien paska bedah saraf. Adanya
peningkatan suhu dapat meningkatkan laju metabolisme otak yang akan menyebabkan ketidak-seimbangan kebutuhan dan pasokan oksigen ke otak. Hipertermia dapat meningkatkan pemakaian ATP dimana oksigen dan glukosa memegang peranan penting dalam sintesanya, sehingga saat terjadi periode total iskemik, otak hanya dapat mentolerirnya dalam waktu sangat terbatas. Perubahan suhu inti (core temperature) sebesar 1 oC akan menyebabkan perubahan aliran darah otak sebesar 5%, yang berakibat peningkatan volume darah otak dan peningkatan tekanan intra kranial. Berdasarkan hal tersebut maka setiap usaha harus dilakukan untuk mencegah kenaikan suhu tubuh, tetapi bila telah terjadi maka harus segera diterapi secara agresif untuk mencegah cedera otak sekunder dan perburukan outcome, serta mengurangi masa perawatan dan dapat menekan biaya perawatan serendah mungkin. Untuk itu dibutuhkan metode pengontrolan suhu yang efektif dengan efek samping minimal. (Bisri, 2012) Sampai saat ini masih sedikit diketahui tentang metode pengontrolan suhu yang optimal. Semua metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk dapat diterapkan pada pasien dalam jumlah yang lebih besar, maka metode pengontrolan suhu yang optimal harus memiliki proses pendinginan dapat dicapai dengan mudah, terkontrol, minimal invasif dan prosedurnya dapat ditoleransi dengan baik, efek samping minimal serta biayanya murah (Hoedemaekers, 2007). Penelitian ini ingin menilai perbandingan efek metamizol intravena dan parasetamol intravena yang keduannya dikombinasikan dengan cooling blanket dalam menurunkan suhu tubuh pada pasien cedera kepala dengan demam.
BAHAN DAN METODE Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian uji klinis acak tersamar tunggal. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di ICU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Populasi dan Sampel Populasi adalah seluruh pasien cedera kepala dengan demam yang dirawat di ICU RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Sampel sebanyak 44 orang, dipilih dengan cara consecutive sampling yang telah memenuhi kiriteria inklusi yaitu ada persetujuan dokter primer yang merawat, pasien mengalami kenaikan suhu membran timpani > 38°C dan < 40°C, tidak menerima terapi obatan yang mempengaruhi suhu tubuh dan hemodinamik < 16 jam, usia 16 - 65 tahun, indek masa tubuh normal (18,50 - 24,99 m2), status volume tubuh cukup (CVP 8-12 mmHg) dan keluarga pasien bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent yang telah dikeluarkan oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Metode Pengumpulan Data Pasien yang masuk kriteria insklusi, dilakukan ramdomisasi dan keluarga pasien diberikan penjelasan perihal penelitian. Setelah disetujui keluarga dan sebelum dilakukan pemberian obat yang akan diteliti, dilakukan pengukuran dan pemantauan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, dan suhu di membran timpani pada sampel penelitian. Pembantu peneliti melakukan prosedur pemberian obat di ruang ICU, suhu ruang diatur 24±20C. Pasien Kelompok MC diberikan metamizol 15 mg/kg berat badan secara intravena dan pasien kelompok PC diberikan paracetamol 15 mg/kg berat badan secara Intravena dengan cara drip infusion selama 15 menit dan selanjutnya diikuti dengan peberian cooling blanket
pada kedua kelompok. Suhu pada cooling
blanket diatur secara manual pada suhu 10 0C dan dihentikan bila sampai suhu target tercapai (36 – 370C) atau pemakaiannya ≥ 3 jam. Pemantuan dilakukan tiap 30 menit hingga 8 jam dimulai dari saat pemberian metamizol/parasetamol intravena, pemantauan dilakukan terhadap suhu, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata serta kejadian menggigil, kejadian hipotensi dan kejadian mual dan/atau muntah. Pengamatan dilakukan oleh pembantu peneliti yang sudah dijelaskan tentang prosedur penelitian. Hasil pengamatan dicatat dalam lembar pengamatan yang telah disiapkan.
Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan softwere SPSS for windows 17.0. Normalitas data dilakukan dengan uji Shapiro-Wilk, dan untuk menilai perbandingan variabel numerik 2 kelompok dilakukan uji-T tidak berpasangan bila distribusi data normal dan uji Mann-Whitney bila distribusi tidak normal. Penilaian hubungan antar variabel katagorik dilakukan uji Pearson Chi-square dan bila tidak memenuhi syarat sebagai alternatif dilakukan uji Fisher. Data dinyatakan sebagai rata-rata (mean), standar deviasi (SD), persentasi (%), dan minimum-maksimum (min-max). Nilai P< 0,05 diterima sebagai statistik yang bermakna.
HASIL Selama periode September - November 2012 didapatkan 44 pasien cedera kepala dengan demam yang memenuhi kriteria penelitian. Selama pengamatan pada 44 pasien dari kedua kelompok tersebut, 4 pasien (2 pasien dari masingmasing kelompok) dinyatakan droup out (10 %) karena suhu target (36-37 0C) tidak tercapai setelah pemakaian cooling blanket lebih dari tiga jam. Karakteristik Sampel Tabel 1 memperlihatkan karakteristik sampel penelitian pada kedua kelompok berupa umur, jenis kelamin, IMT, TAR, CVP, hitung leukosit, suhu ruangan pengamatan, suhu tubuh sample pada awal pengukuran dan jenis antibiotik. Tidak ditemukan perbedaan bermakna dari data demografi pada kedua kelompok penelitian. Sehingga karakteristik sampel penelitian dinyatakan homogen secara statistik. Variasi Suhu Membran Timpani Pada Grafik 1 memperlihatkan hasil penelitian terhadap variasi suhu membran timpani pada kedua kelompok yang menunjukkan bahwa selama waktu pengamatan suhu membran timpani berbeda bermakna (p<0,05) pada kedua kelompok dimulai pada waktu pengamatan
menit ke-60 (jam ke-1) sampai
dengan menit ke-480 (jam ke-2). Keadaan suhu membrana timpani selalu lebih
rendah pada kelompok MC dibandingkan kelompok PC pada hampir semua waktu pengamatan kecuali pada menit pertama pengamatan. Variasi Tekanan Arteri Rerata (TAR) Pada Grafik 2 digambarkan variasi TAR pada kedua kelompok, yang menunjukkan bahwa selama waktu pengamatan dimulai dari menit ke-0 sampai menit ke-480 ditemukan terjadinya penurunan nilai rerata TAR pada kedua kelompok dibandingkan dengan nilai awal setelah pemberian obat, namun tidak ada perbedaan bermakna secara statistik antara kedua kelompok (p=>0,05), kecuali menit ke-120 ditemukan perbedaan bermakna secara statistik (p=0,017) yaitu kelompok MC 86,6 ± 4,9 mmHg dan kelompok PC 82,5 ± 5,7 mmHg. Insiden Efek Samping Tabel 2 memperlihatkan kejadian efek samping pada kedua kelompok, dimana tidak ditemukan insiden efek samping berupa mual dan muntah. Ditemukan kejadian hipotensi berupa penurunan TAR > 25% dari tekanan darah basal pada kelompok MC sebanyak 1 dari 20 sampel (5%). Ditemukan juga kejadian shivering secara signifikan pada kedua kelompok yaitu kelompok MC 15 sampel (75%) dan kelompok PC 14 sample (70%). Perbedaan semua kejadian efek samping pada kedua kelompok dinyatakan tidak bermakna secara statistik (p=0,5). Waktu Penggunaan Cooling Blanket Tabel 3 mengambarkan waktu penggunaan cooling blanket kedua kelompok yang menunjukkan bahwa waktu penggunaan cooling blanket yang dihitung mulai dari saat pertama pemberian obat, secara statistik berbeda bermakna (p=0,018) pada kedua kelompok yaitu kelompok MC 106 ± 29,9 menit dan kelompok PC 129 ± 27,7 menit.
PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa selama waktu pengamatan suhu membran timpani berbeda bermakna (p<0,05) pada kedua kelompok yaitu dimulai pada waktu pengamatan menit ke-60 sampai dengan menit ke-480. Dimana suhu membrana timpani pada kelompok kombinasi metamizol intravena dan cooling
blanket selalu lebih rendah pada hampir semua waktu pengamatan kecuali pada menit pertama pengamatan. Hasil pengamatan ini sejalan dengan penelitian terdahulu, yang dilakukan pada pasien pediatrik, membandingkan efek antipiretik antara metamizol dan parasetamol dengan dosis yang sama yaitu 13,2-22,3 mg/kgBB. Hasil penelitian tersebut menyatakan metamizol lebih unggul pada 1,5 jam sampai 6 jam setelah pemberian obat (Rajeshwari, 1997). Demikian pula pada penelitian lain yang dilakukan oleh, membandingkan efisiensi antipiretik intravena infus pada penderita kanker: diklofenak (75 mg), metamizol (2500 mg dan 1000 mg) dan parasetamol (2000 mg dan 1000 mg). Penelitian menyipulkan bahwa semua obat studi memiliki efek antipiretik yang signifikan. Namun, metamizol 2500 mg dianggap sebagai yang paling efektif, sementara parasetamol 1000 mg menunjukkan khasiat antipiretik terendah (Oborilová dkk., 2003). Seperti obat-obatan lainnya metamizol dan parasetamol juga memiliki efek samping. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa efek samping yang mungkin terjadi adalah hipotensi, mual dan muntah (< 1/100 individu). Sedangkan efek samping lainnya yang jarang terjadi adalah reaksi hipersensitiviatas (< 1/1.000 individu), dan yang sangat jarang terjadi adalah trombositopenia, leukositosis, agranulositosis, serta pembesaran hati (< 1/10.000 individu) (Żukowski dkk., 2009). Penelitian ini juga menunjukkan dari hasil pengamatan terhadap variasi TAR pada kedua kelompok ditemukan terjadinya penurunan TAR dari nilai awal setelah pemberian obat, namun tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik diantara kedua kelompok (p=>0,05), kecuali pada menit ke-120 ditemukan perbedaan bermakna secara statistik (p=0,017). Kejadian hipotensi berupa penurunan TAR > 25 % dari tekanan darah basal ditemukankan pada kelompok kombinasi metamizol intravena dan cooling blanket yaitu sebanyak 1 dari 20 sampel (5%). TAR tertinggi selama pengamatan adalah 118 mmHg dan terendah 62 mmHg, dimana keduanya masih dalam batas autoregulasi otak (50150 mmHg).
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cruz dkk. (2002), membandingkan efek pemberian metamizol dan parasetamol intravena dengan dosis 2 gram sebagai antipiretik dan efeknya terhadap perubahan hemodinamik pada pasien kritis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa keduanya merupakan antipiretik yang efektif pada dosis yang diuji. Namun, pada kedua kelompok terjadi penurunan tekanan darah sistolik, diastolik dan TAR dari nilai baseline setelah pemberian obat. Insiden hipotensi dialami 13% pasien dalam kelompok metamizol dan 6,67% pada kelompok parasetamol. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik terhadap variabel hemodinamik diantara keduanya selama pengukuran. Ada beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan mengenai penurunan TAR dan terjadinnya insiden hipotensi pada pasien dalam penelitian ini, yaitu kemungkinan diakibatkan karena efek antipiretik dari metamizol dan parasetamol. Demam secara umum terjadi akibat adanya pirogen yang secara langsung mengubah set point menjadi lebih. Perubahan set point kembali normal apabila terjadi penurunan konsentrasi IL-1 atau sistesis PGE-2 yang dihambat dengan pemberian antipiretik. Akibat turunnya set point menyebabkan timbul perbedaan dengan level aktual, sehingga tubuh berusaha untuk menurunkan suhu sampai mendekati level baru dari set point dengan cara melepaskan panas. Pelepasan panas menyebabkan suhu kembali normal yang diawali dengan vasodilatasi dan berkeringat melalui peningkatan aliran darah kulit yang dikendalikan oleh serabut simpatis. Terjadinya vasodilatasi dan berkeringat akan menyebabkan penurunan sistemik vaskular resisten serta kardiak indeks yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah dan hipotensi (Silbernargi, 2008). Cooling blanket sebagai salah satu alat yang sering digunakan dalam penanganan demam dengan metode water-circulating surface cooling juga mempunyai efek samping tersendiri yaitu induksi shivering, hipermetabolisme, aktivasi simpatik, serta untuk pemakaian yang berkepanjangan dan intensif beresiko terjadinya lesi pada kulit dan dekubitus serta peneumonia (Polderman dkk., 2009)
dapat mencetuskan
Penelitian juga menemukan kejadian shivering secara signifikan pada kedua kelompok saat pemberian cooling blangket yaitu kelompok kobinasi metamizol intravena dan cooling blanket sebanyak 15 sampel (75%) dan kelompok kombinasi parasetamol intravena dan cooling blanket sebanyak 14 sample (70%). Tetapi secara statistik tidak ada perbedaan bermakna (p=0,5) antara dua kelompok. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian lain, yang membandingkan efektivitas water-circulating surface cooling (menggunakan cooling blanket) dengan Arctic Sun Temperature Management System dalam menangani demam pada pasien di unit perawatan neuro-intensif. Penelitian mendapatkan hubungan yang signifikan antara shivering dan penggunaan cooling blanket (Mayer, 2004). Efek samping berupa insiden shivering yang terjadi pada pasien dalam penelitian ini mungkin terjadi disebabkan oleh penggunaan cooling blanket dengan laju pendinginan ~1,5
0
C/jam yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan suhu ekternal yang ekstrim. Sebagai akibat dari kehilangan panas yang signifikan tersebut, maka maka level aktual akan turun dengan cepat lebih rendah dibandingkan dengan set poin, sehingga termoregulasi menjadi terganggu sehingga tubuh berusaha untuk mempertahankan suhu inti (core temperature) kembali mendekati set point dengan cara memproduksi panas dengan menimbulkan kontraksi otot-otot involunter atau disebut shivering (Silbernargi, 2008).
SIMPULAN DAN SARAN Kami menyimpulkan bahwa kombinasi metamizol intravena dan cooling blanket dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat pada pasien cedera kepala dengan demam dibandingkan kombinasi parasetamol intravena dan cooling blanket, tetapi keduanya memiliki efek samping berupa shivering dan penurunan TAR. Disarankan perlu penelitian lebih lanjut pada penggunaan cooling blanket dengan beberapa tingkatan pengaturan suhu untuk menemukan tingkat kecapatan induksi suhu tubuh yang optimal dengan efek samping shivering yang minimal.
Tabel 1. Karakteristik sampel Kelompok MC
Kelompok PC
Kemak-
(n=20)
(n=20)
naan
31,6 ± 14,83
31,1 ± 14,82
0,907
17/3
16/4
0,500
22,3 ± 1,2
22,1 ± 1,6
0,695
TAR (mmHg)1
96,2 ± 7,8
95,1 ± 9,3
0,687
1
9,2 ± 0,95
8,9 ± 0,99
0,423
14.751 ± 3866
14.237 ± 3655
0,668
22,9 ± 0,8
22,7 ± 0,7
0,543
38,8 ± 0,3
38,7 ± 0,4
0,544
11/10
9/10
0,752
Variabel Umur (tahun)1 Jenis kelamin
2
Laki-laki / Perempuan 2 1
IMT (kg/m )
CVP (mmHg)
Hitung leukosit1 0
Suhu ruang ( C)
1
Suhu tubuh pada awal pengukuran (0C)1 Jenis antibiotik 3 Meropenem / Ceftriaxon 1
: Uji T tidak berpasangan p<0,05 dinyatakan bermakna
2
: Uji Fisher’s Exect
3
: Uji Pearson Chi-Square.
Tabel 2 . Insiden efek samping pada kedua kelompok. Kelompok Variabel
MC
Kelompok %
(n=20)
PC
%
(n=20)
Kemaknaan
Hipotensi (ada/tidak)1
1/19
5
0/20
0
0,500
Menggigil/shivering (ada/tidak)2
15/5
75
14/6
70
0,500
Mual (ada/tidak)
0/20
0
0/20
0
-
Muntah (ada/tidak)
0/20
0
0/20
0
-
1
: Uji Fisher’s Exect
2
: Uji Pearson Chi-Square p<0,05 dinyatakan bermakna
Tabel 3. Waktu penggunaan cooling blanket pada kedua kelompok Variabel Waktu pengunaaan cooling blanket (menit) Uji T tidak berpasangan
Kelompok MC
Kelompok PC
Kemak-
(n=20)
(n=20)
naan
106 ± 29,9
129 ± 27,7
0,018
p<0,05 dinyatakan bermakna
DAFTAR PUSTAKA Akbar, M. (2011). Aspek gawat darurat neurologi. Tinjauan khusus: Neurology Department University of Hasanuddin. American College of Surgeon Committee on Trauma. (2004). Cedera kepala: advanced trauma life support for doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI. Aminoff, M.J. (2009). Current medical diagnosis & treatment 2009. In: Lewrence M, editor. Nervous system disorders. 48 th ed. New York (NY): McgrawHill Companies. Axelrod, P. (2000). External cooling in the management of fever. Clinical Infectious Diseases;31(Suppl 5):S224–9. Bell, D. and Adan, J.P. (2010). The secondary management of traumatic brain injury. In: Adan JP, editor. Neurocritical care. London: Springer; p. 21-22. Bisri, T. (2008). Dasar-dasar neuroanestesi. Bandung: Saga Olahcitra. Bisri, T. (2012). Penanganan neuroanestesia dan critical care cedera otak traumatik. 3th ed. Bandung: Saga Olahcitra. Chun, L.J., Tong, M.J. and Bussutil, R.W. (2009). Acetaminophen hepatotoxicity and acute liver failure. J Clin Gastroenterology;43:342-349. Clifton, G.L., et.al. (2001) Lack of effect of induction of hypothermia after acute brain injury. N Eng J M;344:556-563. Cruz, P., Garutti, I., Díaz, S. and Fernández-Quero, L. (2002). Metamizol versus pracetamol: comparative study of the hemodynamic and antipyretic effects in critically ill patients. Rev Esp Anestesiol Reanim; 49(8):391-6. Doyle, P.W. and Gupta, A.K. (2000). Mechanisms of injury and cerebral protection. In: Textbook of neuro-anaesthesia and critical care. London: Greenwich Medical Media Ltd. Erecinska, M., Thoresen, M. And Silver, I.A. (2003). Effects of hypothermia on energy metabolism in mammalian central nervous system. Journal of Cerebral Blood Flow & Metabolism;23:513–530. Faunci, A.S., et.al. (2011) Harrison's principles of internal medicine. (18th ed). New York: McGraw-Hill; p.4012. Gupta, A.K., et.al. (2008). Effect of hypothermia on brain tissue oxygenation in patients with severe head injury. BJA:88 (2):188-92. Hoedemaekers, C.W., et.al. (2007). Comparison of cooling methods to induce and maintain normo and hypothermia in intensive care unit patients: a prospective intervention study. Crit Care Med;11:91-92. Kiekas, P., Brokalaki, H., Theodorakopoulou, G. and Baltopoulos, G.I. (1988). Physical Antipyresis in critically ill adult. AJN;108(7):40-49. Malvar, C.D., et.al. (2011). The antipyretic effect of dipyrone is unrelated to inhibition of PGE2 synthesis in the hypothalamus. BJP;162:1401–1409. Morgan, S.P. (1990). A comparison of three methods of managing fever in the neurologic patient. J Neurosci Nurs ;22(1):19-24. Marik, P.E. (2002). Fever in the ICU. Chest;117:855-869.
Mayer, S.A., Kowalski, R.G., et.al. (2004). Clinical trial of a novel surface cooling system for fever control in neurocritical care patients. Crit Care Med;32(12):2508-15. Oborilová, A., Mayer, J., Pospísil, Z. and Korístek, Z. (2003). Symptomatic intravenous antipyretic therapy: efficacy of metamizol, diclofenac, and propacetamol. J Pain Symptom Manage;24(6):608-15. Poblete, B., et.al. (1997). Metabolic effects of i.v. propacetamol, metamizol or external cooling in critically ill febrile sedated patients. Br J Anaesth;78(2):123-7. Polderman, K.H. and Herold, I. (2009). Therapeutic hypothermia and controlled normothermia in the intensive care unit : practical considerations, side effects, and cooling methods. Crit Care Med;37(3):1101-1120. Rajeshwari, K. (1997). Personal prectice – antipyretic thrapy. Indian Pediatrics; 34:407-413. Ryan, M. and Levy, M.M. (2003). Clinical review : Faver in intensive care unit patiens. Crit Care Med;7:221-225. Silbernargi, S. (2008) Color atlas of pathophysiology: Temperature, energy. New York: Thieme; p. 20-21.
Sund-Levander, M., Forsberg, C. and Wahren, L.K. (2002). Normal oral, rectal, tympanic and axillary body temperature in adult men and women: a systematic literature review. Scand J Caring Sci;16(2):122–8. Thompson, H.J. (2007). Intensive care unit management of fever following traumatic brain injury. Intensive Crit Care Nurs;23(2):91-96. Turner, D.A. (1996). Neurological evaluation of a patient with head trauma. In: Neurosurgery. 2nd ed. New York (NY): McGraw Hill. Walter, F. (2003) Medical physiology: A cellular and molecular approaoch. New York: Elsevier Saunders; p. 1300. Young, P., Saxena, M., Eastwood, G.M., Bellomo, R. and Beasley, R. (2011). Fever and fever management among intensive care patients with known or suspected infection: a multicentre prospective cohort study. Crit Care Resusc;13:97–102. Żukowski, M. and Kotfis, K. (2009). Safety of metamizol and paracetamol for acute pain treatment. Anaesthesiology Intensive Therapy; XLI(3):141-145.