359
Perbaikan teknik penanganan calon induk ikan tuna... (Jhon H. Hutapea)
PERBAIKAN TEKNIK PENANGANAN CALON INDUK IKAN TUNA SIRIP KUNING (Thunnus albacares) PASCA PENANGKAPAN DAN DALAM BAK PENGOBATAN Jhon Harianto Hutapea, Ananto Setiadi, Gunawan, dan Gusti Ngurah Permana Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Jl. Br. Gondol, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Kotak Pos 140, Singaraja, Bali 811016 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk melanjutkan program perbenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol-Bali. Adapun tujuannya adalah perbaikan teknik penanganan calon induk pasca penangkapan dan dalam bak pengobatan. Penangkapan calon induk menggunakan speed boat dengan dua motor tempel berkekuatan 85 HP. Teknik penangkapan dengan menggunakan pancing masih dipandang merupakan teknik yang paling tepat dan tidak menghadapi pertentangan dari masyarakat setempat. Uji coba yang dilakukan adalah membandingkan teknik penanganan ikan pasca penangkapan, yaitu antara menggunakan serok jaring dan seser yang terbuat dari terpal berlapis karet (kanvas) atau kulit sintetis, pemindahan ikan dari boat ke bak di darat dengan menggunakan plastik atau tandu kulit sintetis serta tanpa atau penambahan oksigen ke dalam air selama transportasi dan penampungan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan mengangkat ikan menggunakan seser yang terbuat dari kulit sintetis memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan seser jaring. Sintasan ikan selama transportasi meningkat dari 59,0-90,6 menjadi 92,9% dengan menambahkan oksigen ke dalam air. Mengangkat ikan dalam tandu kulit sintetis lebih memberikan kenyamanan bagi ikan dibandingkan dengan menggunakan plastik transparan, dan dalam bak pengobatan, sintasan ikan meningkat dari 80% menjadi 100%. Kesembuhan luka ikan oleh pancing hanya memerlukan waktu 2-3 hari dari yang sebelumnya dapat mencapai 7-9 hari. Daya angkut wadah per trip juga meningkat dari rata-rata 5 kg menjadi 11,8 kg. Sintasan ikan dalam bak pengobatan di darat juga meningkat dari 26,0%-86,4% menjadi 97,4%.
KATA KUNCI:
perbaikan, penanganan, tuna sirip kuning, pasca penangkapan, bak pengobatan
PENDAHULUAN Program perbenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut di Gondol Bali telah dimulai tahun 2003 dengan bekerja sama dengan Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Jepang dan berakhir awal tahun 2006. Dalam kurun waktu 3 tahun tersebut, telah berhasil dikembangkan teknik penangkapan dan transportasi calon induk dari lokasi penangkapan ke bak-bak pembesaran di darat (Hutapea et al., 2003). Teknik pembesaran induk, pematangan gonad, dan pemijahan (Hutapea et al., 2005), pengamatan perkembangan embrio dan larva (Hutapea et al ., 2007; Hutapea, 2007), estimasi jumlah dan individu induk yang memijah (Permana et al., 2007) dan pengembangan teknik-teknik lainnya yang mendukung perkembangan perbenihan. Namun satu hal yang belum dapat dihilangkan adalah kematian induk akibat menabrak dinding bak, walaupun jumlah kematian induk per tahun dapat diestimasi (Hutapea et al., 2009). Di samping itu, dalam kurun waktu kerja sama, juga ditemukan adanya serangan endoparasit terhadap telur (Yuasa et al., 2007) yang berakibat terhadap sulitnya mendapatkan jumlah telur yang cukup untuk melaksanakan penelitian. Dengan berakhirnya kerja sama, induk yang masih tersedia dalam bak sudah sangat sedikit dan berukuran sangat besar, pemijahan induk menjadi sangat rendah dan kualitas telur jauh menurun (Hutapea et al., 2008). Bahkan berdasarkan hasil penangkapan induk dan kemudian dibedah ternyata induk-induk yang tersisa dalam bak semua berkelamin jantan (Hutapea et al., 2009). Kerja sama riset dilanjutkan dengan bekerja sama dengan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) dengan target utama adalah untuk membentuk populasi induk yang optimum melalui penambahan induk. Untuk itu, perlu dilakukan penangkapan calon induk ikan tuna kembali. Teknik penangkapan dengan menggunakan pancing masih dipandang sebagai teknik yang paling tepat dan tidak akan menghadapi pertentangan dari masyarakat setempat. Namun untuk
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
360
mempercepat ukuran induk, maka upaya menangkap ikan dengan ukuran yang lebih besar akan lebih efektif. Target awal penelitian ini adalah untuk mengumpulkan calon induk sekaligus perbaikan teknik penanganan pasca penangkapan yang meliputi perbaikan teknik penanganan ikan sejak ikan tertangkap, dalam transportasi dan setelah tiba di darat dan di tampung dalam bak pengobatan sehingga diperoleh sintasan ikan yang lebih baik. BAHAN DAN METODE Koleksi calon induk ikan tuna sirip kuning dilakukan di sekitar rumpon di perairan lepas pantai Bali Utara (10-15 mil). Setiap kali menemukan rumpon langsung ditentukan koordinatnya dengan menggunakan GPS (GARMIN etrex) yang dapat digunakan sebagai panduan untuk mencapai lokasi yang sama pada pemancingan berikutnya (Setiadi, 2006). Teknik pemancingan dengan menggunakan pancing ulur dan umpan buatan masih dipandang paling efektif dan umum digunakan nelayan setempat (Hutapea et al ., 2003; Setiadi, 2006). Penangkapan calon induk ikan tuna dilakukan dengan menggunakan speed boat dengan dua motor tempel berkekuatan 85 HP. Di atas palka boat, dilengkapi dengan 1 tangki pengangkutan ikan. Tangki yang digunakan berupa bak kanvas bulat volume 2,5 m3 (diameter 2,0 m dan tinggi 0,8 m) yang bagian atasnya ditutup dengan jaring plastik peneduh atau dengan bak fiberglass berbentuk oval volume 2,1 m3 (lebar 1,4 m; panjang 2,1 m; dan tinggi 0,7 m) yang dilengkapi dengan tutup. Air laut dialirkan dari bagian atas bak dengan menggunakan pompa pada saat boat diam dan dengan sistem tekanan ketika boat sedang berjalan. Ukuran ikan tuna sirip kuning yang menjadi target berukuran 5-10 kg/ekor. Ikan tuna yang terpancing, secepat mungkin ditarik dan diharapkan ikan sudah naik ke palka boat kurang dari 15 menit. Uji coba yang dilakukan adalah membandingkan teknik penanganan ikan pasca penangkapan, yaitu mengangkat ikan dengan menggunakan serok jaring atau seser yang terbuat dari terpal plastik berlapis karet (kanvas) atau kulit sintetis (Farwell, 2001), melepaskan pancing dan memasukkan ikan ke dalam bak penampungan yang telah berisi air penuh. Uji coba yang dilakukan dalam transportasi ikan adalah penggunaan oksigen murni (Wurts, 2006) dalam air selama penampungan sebesar 120%-130% tingkat saturasi atau tanpa penambahan oksigen. Selama dalam transportasi, air tetap dialirkan secara terus-menerus, pengukuran kadar oksigen juga dilakukan. Ketika ikan sampai di pantai, teknik pemindahan ikan diuji dengan menggunakan plastik transparan dan tandu kulit sintetis. Ikan-ikan yang hidup selama dalam transportasi, kemudian dimasukkan dalam bak pengobatan yaitu bak kanvas volume 12 m3. Baru tiba direndam dengan larutan erubazu 100 mg/L selama 60 menit. Parameter yang dihitung adalah tingkat sintasan calon induk, kemampuan aklimatisasi, tingkat keberhasilan ikan sembuh dari luka akibat pancing dan gesekan dengan dinding bak selama transportasi. HASIL DAN BAHASAN Penelitian ini difokuskan pada perbaikan teknik penanganan pasca penangkapan dan penampungan di darat. Penanganan pasca penangkapan mencakup mulai dari mengangkat ikan dari permukaan air ke dalam bak penampungan di atas boat , pelepasan pancing dan penanganan selama dalam transportasi. Sementara penanganan di darat meliputi pengangkutan ikan dari boat ke darat, pengobatan, pengukuran panjang, pemasukan tagging dan pemotongan finlet serta pemindahan ke dalam bak aklimatisasi. Teknik penangkapan calon induk ikan tuna yang diterapkan dari tahun 2003 hingga sekarang tidak mengalami perubahan yang mendasar. Namun perbaikan teknik penanganan pasca penangkapannya terus dilakukan. Perbandingan hasil penangkapan calon induk ikan tuna kurun waktu 2003-2010 dengan menggunakan berbagai metode penanganan dapat dilihat pada Tabel 1. Target ikan yang diinginkan adalah berukuran di atas 3 kg, namun sering kali yang diperoleh kurang dari 3 kg. Sebagai contoh, pada tahun 2005, jumlah ikan yang tertangkap banyak tetapi
Jumlah trip (kali)
127 72 67 30
21
Tahun
2003 2004 2005 2008
2010
Bak polykarbonat 1 ton, tanpa oksigen murni Fiberglass oval 1,5 ton, tanpa oksigen murni Fiberglass oval 1,5 ton, tanpa oksigen murni Modifikasi bak dalam kapal long liner , penambahan oksigen murni Bak kanvas bulat 2,5 ton atau bak fiberglass oval 2,1 ton, penambahan oksigen murni
Metode Transportasi 76,3 59,0 90,6 59,5 92,9
42
Sintasan (%)
118 100 170 84
Jumlah ikan yang tertangkap (ekor)
7,45
3,0 3,0 1,0 2,7
Ukuran rata-rata (kg)
3,20
3,6 3,6 5,8 5,10
Daya angkut (kg/trip )
Tabel 1. Jumlah trip penangkapan, teknik transportasi, sintasan, ukuran rata-rata, dan daya angkut dalam transportasi ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) pasca penangkapan
361 Perbaikan teknik penanganan calon induk ikan tuna... (Jhon H. Hutapea)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
362
ukurannya kecil, namun daya angkut relatif tinggi karena ikan mempunyai ukuran kecil sehingga dapat ditransportasikan hingga 10 ekor/trip. Sebaliknya jika ikan yang tertangkap berukuran besar, daya angkut per trip menjadi rendah karena jika ikan berukuran di atas 3 kg, hanya satu ekor yang mampu diangkut per trip bahkan jika ikan berukuran 5 kg atau lebih, pada umumnya tidak dapat bertahan hidup sampai ke darat. Kendala jika ikan yang tertangkap berukuran kecil bahwa tingkat kematian ikan di dalam bak relatif lebih tinggi dan pertumbuhan lambat atau lama untuk mencapai induk. Berdasarkan pertimbangan inilah maka program penangkapan calon induk ikan tuna hanya mentargetkan ukuran ikan antara 2-5 kg (Hutapea et al., 2007). Namun demikian, dengan target ukuran tersebut, masih dirasa terlalu lama memelihara ikan di dalam bak untuk menjadi induk. Efektivitas penangkapan dapat ditingkatkan dan lama pemeliharaan hingga menjadi induk dapat diperpendek jika ukuran ikan yang menjadi target penangkapan berukuran lebih besar. Untuk itu, diperlukan beberapa perbaikan dalam penanganan ikan mulai ketika ikan kena pancing hingga penanganan di darat. Perbaikan penanganan ikan di laut antara lain, ketika ikan yang tertangkap sampai dipermukaan air, tali pancing ditarik memasuki seser yang terbuat dari terpal berlapis karet (kanvas) atau kulit sintetis. Seser diangkat dan dimasukkan ke dalam bak penampungan di atas boat kemudian pancing dilepas (Gambar 1). Metode ini mulai diaplikasikan tahun 2010 dan ternyata sintasan ikan meningkat hingga 92,9% dengan ukuran rata-rata ikan mencapai 7,45 kg/ekor. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil di tahun 2005, yang alat pengangkat ikan dari air ke dalam bak penampungan menggunakan serok jaring. Walaupun sintasan ikan mencapai 90,6 % tetapi ukuran rata-rata ikan hanya 1,0 kg/ekor (Tabel 1).
Gambar 1. Alat pengangkat ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dari permukaan laut ke dalam bak penampungan di atas boat : serok jaring (kiri); serok jaring berlapis plastik terpal (tengah); dan seser terpal berlapis karet (kanvas) atau kulit sintetis (kanan) Penggunakan serok yang terbuat dari jaring atau yang dilapisi dengan terpal plastik, ketika ikan meronta-ronta menyebabkan banyak sekali sisik-sisik halusnya yang lepas yang berakibat terhadap tingginya tingkat stres ikan dan memudahkan bakteri berkembang. Sementara dengan menggunakan seser terpal yang dilapisi karet atau kulit sintetis, tidak ditemukan sisik-sisik yang lepas sehingga ikan tidak mengalami stres yang tinggi. Penambahan oksigen murni ke dalam media air (diatur melalui regulator dan dialirkan dengan menggunakan selang aerasi dan batu aerasi yang mempunyai gelembung halus) selama dalam transportasi, ternyata juga memberikan dampak yang nyata terhadap sintasan ikan. Jika sintasan ikan dalam transportasi pada tahun 2003-2008 relatif berfluktuasi, selain karena terlepasnya sisiksisik, juga diduga karena kurangnya suplai oksigen. Hasil di tahun 2010, penggunaan oksigen murni dengan debit sekitar 5 L/menit, sintasan meningkat dan relatif stabil di samping ukuran ikan juga lebih besar. Penambahan oksigen hingga mencapai 120% di atas titik jenuh oksigen di udara memberi efek menenangkan bagi ikan di samping mengembalikan energi yang hilang selama menarik pancing. Daya angkut, yaitu total biomassa ikan yang dapat diangkut dalam volume air tertentu, pada penelitian ini juga meningkat. Jika di tahun-tahun sebelumnya daya angkut ikan dalam wadah 1-2,5 m3 hanya berkisar antara 3-10 kg, dengan penambahan oksigen murni ke dalam media selama transportasi, daya angkut dapat ditingkatkan hingga mencapai 20 kg.
363
Perbaikan teknik penanganan calon induk ikan tuna... (Jhon H. Hutapea)
Dengan demikian, penanganan ikan yang tertangkap dengan menggunakan seser terpal yang dilapisi karet atau kulit sintetis dan penambahan oksigen murni selama dalam transportasi terbukti dapat meningkatkan sintasan dan daya angkut ikan tuna sirip kuning. Calon induk ikan tuna yang telah berhasil ditransportasikan, perlu juga penanganan yang serius. Mulai dari pemindahan dari boat ke darat, juga penanganan dalam bak penampungan. Metode penanganan tersebut ternyata berpengaruh terhadap sintasan ikan selama dalam penampungan dan kecepatan ikan pulih kembali dari kondisi stres dan luka-luka oleh pancing atau selama dalam transportasi. Tabel 2 menunjukkan bahwa sintasan ikan hasil tangkapan sangat bervariasi dari 26,0% hingga 86,4%. Tabel 2. Sintasan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) pasca transportasi dan pengobatan dalam bak penampungan di darat Tahun
Metoda Pengobatan
2003 Bak kanvas 12 ton, erubazu 50 mg/L, tanpa oksigen murni 2004 Bak kanvas 12 ton, erubazu 50 mg/L, tanpa oksigen murni 2005 Bak kanvas 12 ton, erubazu 50 mg/L, tanpa oksigen murni 2008 Bak kanvas 12 ton, erubazu 50 mg/L, tanpa oksigen murni 2010 Bak kanvas 12 ton, erubazu 100 mg/L, penambahan oksigen murni
Sintasan (%) Jumlah ikan Mortalitas setelah yang ditampung pengobatan Ekor Persentase 90
24
66
73,3
59
8
51
86,4
154
28
126
81,8
50
37
13
26,0
39
1
38
97,4
Calon induk ikan tuna yang berhasil ditransportasikan hidup-hidup hingga ke pantai dipindahkan satu per satu dengan menggunakan wadah plastik transparan yang telah berisi air laut. Berdasarkan inventarisasi data, beberapa faktor yang dapat mengakibatkan kematian ikan tersebut antara lain karena luka akibat terkena pancing, stres berat setelah terpancing, sisik terlepas pada saat mengangkat ikan dari air, luka gesekan dengan dinding bak selama transportasi atau penanganan setelah tiba di darat bahkan oleh penanganan setelah dalam bak penampungan di darat. Melalui perbaikan teknik penanganan ikan pasca penangkapan dan penanganan di darat di tahun 2010, sintasan calon induk ikan tuna sirip kuning jauh meningkat hingga rata-rata 97,4%. Perbaikan teknik yang dilakukan adalah mengangkat ikan dari boat ke darat dengan menggunakan tandu yang terbuat dari terpal yang dilapisi karet atau kulit sintetis sehingga memberikan efek tenang pada saat ikan dipindah (Gambar 2).
Gambar 2. Teknik pemindahan ikan tuna sirip kuning ( Thunnus albacares) dari boat ke fasilitas bak di darat: A. menggunakan plastik transparan; B. menggunakan tandu yang terbuat dari terpal yang dilapisi karet atau kulit sintetis
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010
364
Perbaikan penanganan calon induk ikan tuna sirip kuning dengan teknik transportasi dan pengobatan yang baik serta dapat menurunkan stres dan mempercepat penyembuhan luka pada ikan (Gambar 3).
Gambar 3. Transportasi: kanvas tank tanpa penambahan oksigen (kiri atas); oksigen murni dalam tabung (tengah); kanvas tank (kanan atas) dan fiber glass tank dengan penambahan oksigen murni (kiri bawah); dan penanganan di darat dengan penambahan oksigen murni terhadap calon induk ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) (kanan bawah) Penggunaan erubazu yang berfungsi sebagai anti bakterial yang sebelumnya digunakan hanya sebesar 50 mg/L, sejak tahun 2010 ditingkatkan menjadi 100 mg/L juga diduga berpengaruh positif terhadap kecepatan ikan sembuh dari luka-luka yang diderita baik oleh pancing maupun selama transportasi. Sepintas terlihat adanya pemborosan penggunaan namun jika diperhitungkan dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk biaya operasional memancing, hal tersebut menjadi lebih rasional untuk menambah sedikit biaya dengan pertimbangan untuk meningkatkan sintasan ikan yang tertangkap. Berdasarkan hasil-hasil tersebut di atas dapat terlihat bahwa kombinasi antara teknik pengangkutan ikan dari boat, peningkatan konsentrasi erubazu yang digunakan serta penambahan oksigen murni, mampu meningkatkan sintasan calon induk ikan tuna yang baru ditransportasikan dari daerah penangkapan ke fasilitas di darat. KESIMPULAN Perbaikan teknik penanganan ikan setelah terkena pancing dengan menggunakan seser terpal berlapis karet (kanvas) atau kulit sintetis serta meningkatkan oksigen hingga 120% saturasi selama transportasi mampu meningkatkan sintasan ikan dari 50,0%-90,6% menjadi 92,9%, meningkatkan ukuran rata-rata ikan dalam transportasi dari 1,0-3,0 kg/ekor menjadi 7,45 kg/ekor atau daya angkut maksimal dari 10 menjadi 20 kg/trip. Pemindahan ikan dari boat ke bak di darat dengan menggunakan tandu yang terbuat dari terpal yang dilapisi karet atau kulit sintetis, meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut dalam air minimum 120% saturasi serta perendaman ikan dalam erubazu sebesar 100 mg/L selama 60 menit, mampu meningkatkan sintasan rata-rata ikan dalam bak penampungan di darat dari 26,0%–86,4% menjadi 97,4%.
365
Perbaikan teknik penanganan calon induk ikan tuna... (Jhon H. Hutapea)
UCAPAN TERIMA KASIH Riset ini merupakan realisasi kerja sama riset yang pendanaannya berasal dari APBN dan bantuan ACIAR. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada tim ahli ACIAR (Wayne Hutchinson, Gavin Partridge) dan Prof. Daniel Benetti (Miami University USA) yang telah banyak memberi saran sehingga hasil riset semakin baik. Demikian juga, ucapan terima kasih disampaikan kepada Syahrodi dan Faisal atas upayanya dalam menangkap ikan serta teknisi Ketut Sutaryasa, Jafar Shodiq, Putu Arta Sudarsana, dan Kadek Ardhika yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan riset ini. DAFTAR ACUAN Farwell, C.J. 2001. Tunas in Captivity. Tuna: Physiology, Ecology, and Evolution. Block, B. & Stevens, E.D. (Eds.). Academic Press, p. 400-412. Hutapea, J.H., Permana, I.G.N., Nakazawa, A., & Kitagawa, T. 2003. Preliminary study of Yellowfin tuna (Thunnus albacares) capture for candidate broodstock. Proceeding International Marine and Fisheries Seminar. Jakarta, December 15-16th 2003. Section 1, p. 31-33. Hutapea, J.H., Permana, I.G.N., Nakazawa, A., & Kitagawa, T. 2005. Manajemen pemeliharaan induk ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dalam bak beton secara terkontrol. Laporan Akhir Riset T.A. 2005. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol Bali. (Unpublished). Hutapea, J.H., Permana, I.G.N., & Andamari, R. 2007. Optimum captured size of yellowfin tuna (Thunnus albacares) broodstock. Prosiding Akuakultur Indonesia, Surabaya, 5-7 Juni 2007, hlm. 312-317. Hutapea, J.H. 2007. Embryo development of yellowfin tuna (Thunnus albacares) at different incubation temperature. Indonesian Aquaculture J., 2(2): 99-105. Hutapea, J.H., Gunawan, & Setiadi, A. 2008. Pemantapan riset perbenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Laporan Teknis, 13 hlm. Hutapea, J.H., Gunawan, Setiadi, A., Andamari, R., Zafran, & Marzuqi, M. 2009. Pemantapan riset perbenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Laporan Teknis, 13 hlm. Permana, G.N., Hutapea, J.H., Haryanti, & Sembiring, S.B.M. 2007. Variasi genetik ikan tuna sirip kuning, Thunnus albacares dengan analisis elektroforesis allozyme dan mt-DNA. J. Ris. Akuakultur, 2(1): 41-50. Setiadi, A. 2006. Teknik penangkapan calon induk ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares). Kumpulan Makalah. Pertemuan Teknis. Teknisi Penelitian dan Perekayasaan dalam Mendukung Kegiatan Riset dan Perekayasaan. Bali, 18-19 Mei 2006, hlm. 256-261. Wurts, W.A. 2006. Live fish transport using compressed and liquid oxygen. World Aquaculture, 37(3): 26-27. Yuasa K., Kamaishi, T., Mori, K-i., Hutapea, J.H., Permana, I.N.G., & Nakazawa, A. 2007. Infection by a Protozoan endoparasite on the genus Ichthyodinium in Embryos and Yolk-sac Larvae of Yellowfin Tuna Thunnus albacares. The Japan Society of Fish Phatology, 42(1): 59-66.