PERAN YAYASAN LINGKAR STUDI KESETARAAN AKSI DAN REFLEKSI (YLSKAR) SALATIGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam dalam Ilmu Hukum Islam
Oleh : TEGUH KAYEN NIM. 21106021
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2011 2011
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH Jl. Stadion No. 03 Telp (0298) 323706 Fax (0298) 323455 Kode Pos 50721 Website: www.stainsalatiga.ac.id Email:
[email protected]
PERSETUJUAN PEMBIMBING Assalamu’alaikum Wr.Wb. Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara: Nama
:
Teguh Kayen
NIM
:
211 06 021
Jurusan
:
Syari’ah
Program Studi
:
Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Judul
:
PERAN YAYASAN LINGKAR STUDI KESETARAAN AKSI DAN REFLEKSI (YLSKAR) SALATIGA DALAM MEMBERIKAN TERHADAP
PERLINDUNGAN
KORBAN
KEKERASAN
HUKUM DALAM
RUMAH Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan. Wassalamu’alikum Wr.Wb Salatiga, 12 Oktober 2011 Pembimbing
Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A. NIP. 19731104 19990 31002
PERAN YAYASAN LINGKAR STUDI KESETARAAN AKSI DAN REFLEKSI (YLSKAR) SALATIGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DISUSUN OLEH TEGUH KAYEN NIM: 211 060 21 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 27 Oktober 2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S.1 Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Drs. Badwan, M.Ag.
__________________
Sekretaris Penguji : Faqih Nabhan, M.M.
__________________
Penguji I
: Tri Wahyu Hidayati, M.Ag.
__________________
Penguji II
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
__________________
Penguji III
: Moh Khusen, M.A.
__________________
Salatiga, 27 Oktober 2011 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP: 19580827 198303 1002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: TEGUH KAYEN
NIM
: 211 06 021
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi : Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 11 Oktober 2011 Yang menyatakan,
Teguh Kayen
MOTTO
Trilogi penindasan sistematis: imperialisme, kapitalisme, feodalisme. Hanya dapat dilawan dengan gerakan sistematis. (Teguh Kayen) ..... Hidup adalah berpijak pada realita yang ada. Teruslah berjuang dan berfikir untuk merubah realita tersebut. (Buang Suyatno Tjockrodisastro)
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Allah SWT. Untuk Bapak dan Ibuku: Buang Suyatno Tjokrodisastro dan Hajaimah yang merawat dan membimbingku sampai tak ada batasnya serta yang selalu memberikan Do’a restu di dalam setiap langkah hidupku ini. Seluruh Keluarga Besar Trah Tjokrodisastro dan Budheku Hj. Sri Mulatsih Harsono beserta keluarganya. Kepada Adiku: Sampit Sidharti dan Radix Borneo yang selalu mendukung perjuangan hidupku. Untuk Mbah Kasini di Pati yang selalu mendoakan anak-cucunya di setiap malam dan Para Kiai NU yang tidak bosan memberi nasehat dan mendoakanku. Kepada Mbak Sari dan Mas Huda atas bantuan dan perhatiannya. Dosen pembimbingku Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A. Sahabat-kawan-temanku di FK-MASI (Forum Komunikasi Mahasiswa Al Ahwal Al Syakhsiyyah Se-Indonesia) dan FORMASI (Forum Mahasiswa Syariah Se-Indonesia). Untuk adekku: Sigit Antony, Nur Rohim (Candi), Lukman Haris Fansuri (Qisot), Rosyid (Coro), Wahid (Jamban), dan Sugiatno (Sugek) teruslah berlajar-berfikir-berjuang untuk masa depan kalian. Teman-temanku seperjuangan seproses keluarga besar TEATER GETAR.
Teman-temanku seperjuangan di IKMMJ (Ikatan Keluarga Mahasiswa Mukomuko Jogjakarta). Untuk perempuanku Rosdi Yanti, semoga kita satu selamanya.
ABSTRAK
Teguh Kayen. 2011. PERAN YAYASAN LINGKAR STUDI KESETARAAN AKSI DAN REFLEKSI (YLSKAR) SALATIGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
KORBAN
KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA Sekolah Tinggi agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A.
Kata Kunci : Perempuan, kekerasan, budaya.
Penelitian tentang Peran organisasi Lembaga Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) Kota Salatiga ini merupakan upaya penulis untuk menggali peran LSM dalam menangani skasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang yang dilakukan oleh suami terhadap istri. LSM YLSKAR Salatiga dipilih sebagai objek studi karena pernah menangani kasus KDRT pada tahun 2002-2004 sangat fenomenal. Saat itu payung hukum seperti UU PKDRT dan UU pendukung lainnya belum tersedia. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah fenomena sosial yang cukup rumit. Berbagai aspek sosial dan budaya (sejarah, norma, dan nilai) memberikan kontribusi timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Konsep relasi gender yang salah satu dalam masyarakat akibat penafsiran ajaran agama dan
tradisi menjadi pangkal proses sosial ini. Diskriminasi membawa perempuan menjadi objek kekerasan atas nama kultural. Peran YLSKAR dalam memberikan advokasi terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di Salatiga merupakan aplikasi dari disahkannya Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Perempuan korban KDRT pada awal disahkannya UU HAM sangat jauh dari perhatian pemerintah dan masyarakat.
KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Dengan menyebut nama Allah dzat yang menguasai seluruh alam, puji dan syukur selalu atasnya, yang selalu memberikan rahmat dan hidayahnya kepada seluruh alam. Sholawat dan salam tercurah pada rasul pilihan dan seorang reformis dunia, Nabi Muhammad SAW. para keluarga, sahabat, serta para umat yang selalu berada dalam tuntunannya, dan selalu mengikuti beliau. Perjalanan penulisan skripsi sangat melelahkan dan penuh perjuangan. Dikarenakan studi yang dilakukan merupakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tahun 2002-2004 lebih dikenal dengan kasus penganiyaan dan kekerasan suami terhadap istri. Saat itu belum ada istilah KDRT. Melelahkan dan penuh perjuangan karena kasus yang terjadi merupakan kasus sebelum adanya UU PKDRT dan tepatnya 7 tahun setelah adanya UU PKDRT. Perjuangan untuk mendapatkan data di lapangan nyaris tidak ada celah sekecil biji padi pun. Hal ini dikarenakan kasus KDRT yang di tangani YLSKAR hanya dilakukan pada tahun 2002-2004, pihak YLSKAR tidak memberi akses kepada penulis untuk menwawancarai korban KDRT yang pernah di tangani dikarenakan alasan yang tidak bisa penulis jelaskan di sini, dan terbatasnya waktu penelitian sehingga untuk mendapatkan data penelitian minim. Skripsi
ini
berjudul,
PERAN
YAYASAN
LINGKAR
STUDI
KESETARAAN AKSI DAN REFLEKSI (YLSKAR) SALATIGA DALAM MEMBERIKAN
PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA, yang merupakan hasil dari studi
lapangan di Lembaga Sosial Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) Salatiga . Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dr. Imam Sutomo, M. Ag selaku Ketua STAIN Salatiga.
2.
Drs. Mubasirun, M. Ag selaku Ketua Jurusan Syari’ah.
3.
Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si, selaku Kaprogdi AS.
4.
Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A. selaku pembimbing dalam penulisan skripsi ini. Yang tidak bosan untuk terus memberi kritik dan saran sehingga skripsi ini layak untuk menjadi karya ilmiah.
5.
Kang Ahmad Badawi, S.Ag.
selaku direktur YLSKAR Salatiga yang
memberi ijin penelitian sehingga dapat terlaksana. 6.
Badan KESBANGPOL DAN LINMAS Kota Salatiga dan Bagian Hukum PEMKOT Salatiga, yang memberi ijin Penelitian.
7.
Teman-teman Teater Getar dan para Sahabat/kawan/rekan Se-Indonesia yang memotivasi, turut membantu dalam penulisan skripsi ini.
8.
Khusus kepada kedua orang tuaku yang selalu memberi motivasi dan dukungan materil. Mohon maaf atas terlambatnya proses studi sejak 2004 (tertunda) dan dilanjutkan kembali pada 2006-2011, karena banyaknya halangan dan rintangan. Semoga ini menjadi awal yang baik dan mimpi yang sempurna. Amin. Penelitian yang penulis lakukan ini tentu belum sempurna, masih banyak kekurangan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan agar kedepan penulis dapat memperbaiki dan melanjutkan penelitian.
Semoga amal dan niat baik di terima Allah SWT dan menjadi amal untuk bekal kelak di akhirat. Amin. Harapan penulis semoga skripsi ini menjadi bermanfaat dan berguna bagi kemajuan Bangsa dan Negara.
Salatiga, 11 Oktober 2011 Penulis
Teguh Kayen NIM 21106021
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................
i
NOTA PEMBIMBING ............................................................................
ii
PENGESAHAN................. .....................................................................
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ...............................................
iv
MOTTO.................................... ................................................................
v
PERSEMBAHAN....... .............................................................................
vi
ABSTRAK................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .............................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
x
DAFTAR BAGAN....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah......................................................
1
B. Penegasan Istilah................................................................
3
C. Fokus dan Rincian Permasalahan.........................................
4
D. Tujuan Penelitian...................................................................
5
E. Manfaat Penelitian..................................................................
5
F. Kerangka Pemikiran………………………………………...
7
1. Problem Gender dan Dampaknya pada KDRT………….
7
2. Perangkat Hukum KDRT ……………………………….
11
3. Urgensi Perangkat Advokasi……………………………
13
G. Metode Penelitian.................................................................
17
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian......................................
17
2. Lokasi Penelitian............................................................
17
3. Sumber Data…..............................................................
18
4. Teknik Pengumpulan Data................................................
18
5. Analsis Data...................................................................
19
6. Pengecekan Keabsahan Data.........................................
19
H. Sistematika Penulisan.......................................................
20
BAB II SELAYANG PANDANG TENTANG KDRT A. Konsep-konsep KDRT.............................................................. 22 1. Tinjauan Hukum Positif Terhadap KDRT...................... 22 2. Tinjauan Hukum Islam Terhadap KDRT.......................
25
B. Bentuk-Bentuk KDRT……………………….......................... 31 C. Prosedur Penanganan KDRT di Indonesia………..................
33
D. Peran Posisi NGO-LSM dalam Penanganan KDRT...........
42
E. Penelitian-Penelitian Sebelumnya……………….................
46
BAB III LSM YLSKAR DAN PENANGANAN KDRT A. Sejarah YLSKAR…………............................................
49
B. Tujuan, Nilai-Nilai, Mandat, dan Prinsip-Prinsip........
50
C. Profil dan ProgramYLSKAR.. ................................................
52
D. Profil Korban KDRT yang ditangani YLSKAR……………
E. Penanganan KDRT………………………………….......... BAB
IV
PERAN
YLSKAR
PERLINDUNGAN
DALAM
HUKUM
55
MEMBERIKAN
TERHADAP
KORBAN
KDRT. A. Dasar-Dasar Umum Perlindungan Hukum KDRT dan Peran LSM dalam PKDRT…………...................................
66
B. Perlindungan Hukum Korban KDRT di YLSKAR…….. 68 C. Pandangan Syariah pada urgensi LSM semacam YLSKAR..
83
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan......................................................................
90
B. Saran.................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… LAMPIRAN-LAMPIRAN
93
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Pola Penanganan KDRT
34
Gambar II. Susunan Pengurus YLSKAR, Jabatan dan Tugas
54
Gambar III. Prosedur Penanganan Korban KDRT
61
Gambar IV. Skema Peran Stakeholder Terhadap Penanganan Kasus KDRT 74
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman Wawancara 2. Foto 3. Surat Ijin Penelitian 4. Surat Keterangan Penelitian. 5. Piagam-piagam.
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Data Rifka Annisa Women’s Crisis Centre menunjukan bahwa sejak tahun 1994 sampai dengan 2003, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) mencapai 1.511 kasus per tahun dan terus mengalami peningkatan. Tahun 1995 kasus KDRT mencapai 82 kasus, tahun 1996 meningkat menjadi 134 kasus, kemudian tahun 1997 naik menjadi 188 kasus, selanjutnya tahun 1998 ada 208 kasus, dan tahun 1999 ada 182 kasus. Dari 706 kasus pengaduan terbanyak mencapai 70 % adalah korban kekerasan oleh suami. Kondisi korban bervariasi, bahkan, ada korban yang sampai mengalami kebutaan. Ironisnya kurang dari 2 % saja perempuan yang bersedia membawa kasusnya, baik ke Pengadilan maupun melapor ke Polisi. Jumlah tersebut belum termasuk kasus-kasus yang tidak dilaporkan karena dianggap sebagai persoalan pribadi atau persoalan rumah tangga sehingga dianggap tidak layak dicampuri orang lain termasuk aparat Negara (Saraswati, 2006:2). KOMNAS Perempuan mencatat pada tahun 2001 terdapat 3169 kasus KDRT. Tahun 2002 terdapat 5163. Jumlah ini meningkat lagi pada tahun 2003 dengan angka mencapai 5934 kasus. Semua data tersebut adalah semua kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga (Saraswati, 2006:3). Di Salatiga pada tahun 2004-2006 tercatat 6 kasus. Data ini meningkat pada tahun 2010
mencapai 39 kasus. Ini merupakan fenomena yang sangat
mencengangkan. Kepolisian Resor Salatiga dalam Diskusi Bersama Polisi dan Civitas Akademik tentang gender tanggal 6 Januari 2011 bertema “Perlindungan
Perempuan Dalam Persepektif Keamanan: Membangun
Kerjasama Polri, Dan Civitas Akademika Melalui Perpolisian Masyarakat’’ di STAIN Salatiga membeberkan data bahwa meningkatnya kasus KDRT terjadi lebih karena latar belakang ekonomi. Kemiskinan berimplilkasi pada terjadi perlakukan KDRT. Dampak KDRT adalah kesengsaraan dan penderitaan baik fisik, seksual, psikologis yang umumnya diderita oleh perempuan dan anak. Pengungkapan kasus KDRT bukan persoalan ringan bagi korban. Korban seringkali terbelit kendala psikologis luar biasa ketika berhadapan dengan konsekwensi kultural dan material yang akan diterima. Hal ini membuat mereka memilih tutup mulut. Pendampingan korban menjadi kunci keberhasilan dalam membawa kasus KDRT ini ke ranah hukum. Realita ini menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian terhadap peran lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) yang memiliki program peduli terhadap kasus KDRT.
B. Penegasan Istilah 1. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006: 870), pengertian Peran adalah sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang pimpinan yang terutama dalam terjadinya suatu hal atau peristiwa. 2. YLSKAR adalah Yayasan Lingkar Studi Aksi dan Refleksi.
3. Perlindungan hukum yang di maksud dalam KDRT menurut UU No. 23 tahun 2004 tetang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yaitu; Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan Pengadilan (pasal 1 (4)). 4. Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut UU No. 23 tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah korban yaitu orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 (3), Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1 (1)). Maka dari itu yang dimaksud Peran YLSKAR Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban KDRT ini adalah bagaimana proses pelayanan dan perlindungan hukum YLSKAR terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
C. Fokus dan Rincian Permasalahan. Penelitian ini akan mempertanyakan dua hal yaitu: pertama, bagaimana peran lembaga sosial YLSKAR dalam memberikan pelayanan dan perlindungan hukum terhadap korban KDRT dan kedua, bagaimana syariat Islam memandang peran penting lembaga semacam ini? Pertanyaan kedua menjadi penting ketika berhadapan dengan kepentingan pelaku KDRT (suami).
Berdasarkan
dua
pertanyaan
besar
ini,
peneliti
berusaha
mengoperasionalkannya dalam rincian masalah, berikut: 1. Bagaimana Peran YLSKAR dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga? 2. Apa kendala YLSKAR dalam memberikan pelayanan dan perlindungan hukum korban KDRT? 3. Sudah sesuaikah prosedur penanganan KDRT YLSKAR dengan UU PKDRT? 4. Adakah landasan syariah terhadap pentingnya fungsi lembaga ini?
D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui profil lembaga YLSKAR. 2. Mengetahui program-program YLSKAR. 3. Mengetahui prosedur perlindungan hukum korban KDRT di YLSKAR.
4. Mengetahui kendala dari masing-masing kasus yang dihadapi YLSKAR dalam memberikan perlindungan hukum korban KDRT. 5. Mengetahui apakah advokasi YLSKAR sudah sesuai prosedur nasional. 6. Mengetahui landasan syariah yang mendukung pentingnya fungsi lembaga ini.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan maanfaat secara akademik maupun praktis sebagai berikut: 1. Manfaat akademik a)
Sebagai aplikasi dari hukum perdata Islam untuk menelusuri lebih detail
hukum
Islam
dalam
menerapkan
hukumnya
untuk
menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga; b) Sebagai bahan pengkajian bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang mana istri sebagai korbannya secara komprehensif melalui hukum Islam dan hukum publik; c)
Sebagai bahan urgent bagi peneliti dan penulis dimasa yang akan datang untuk melakukan penelitian yang berorientasi pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Manfaat praktis a)
Sebagai acuan yang pencegahan pelanggaran HAM bagi penegak hukum dalam menangani kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga;
b) Sebagai acuan bagi: kepolisian, petugas medis, pekerja sosial, relawan pendamping, advokat, penuntut umum, dan hakim untuk bersinergi dan meningkatkan koordinasi dalam upaya meminimalisir angka kekerasan daalam rumah tangga dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; c) Sebagai penambah wawasan tentang prosedur pengurusan KDRT bagi korban, keluarga korban, teman dan tetangga korban sehingga tidak takut melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dialami kepada aparat hukum serta meminta perlindungan dan pendampingan hukum kepada lembaga sosial yang ada;
F. Kerangka Pemikiran 1. Problem Gender dan Dampaknya pada KDRT Pernikahan disebutkan Al-Qur’an sebagai sebuah ikatan kuat antara seorang laki-laki dan perempuan guna mewujudkan kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Kesediaan seorang perempuan meninggalkan orang tua dan keluarga untuk hidup berumahtangga menjadi mustahil tanpa keyakinan bahwa ia akan bahagia hidup bersama suaminya. Keyakinan ini oleh al-Qur’an disebut sebagai ”Mitsaqan Ghalidha” yang
berarti perjanjian yang amat kokoh. Secara Yuridis kata ”Mitsaqan ghalidha” berimplikasi pada munculnya hak dan kewajiban antara suami dan istri, di samping akibat hukum lainnya. Islam mengatur segala hak dan kewajiban baik suami maupun istri. Dinamisnya sebuah pernikahan merupakan representasi dari pelaksanaan hak dan kewajiban ini. Keutuhan pernikahan juga ditentukan fleksibilitas pelaksanaan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Dalam kerangka ini al-Qur’an mengisyaratkan dalam berbagai ayatnya dengan selalu menggunakan istilah ”al-Makruf, al-Ihsan, dan al-Khair” termasuk di dalamya jika istri dan suami bercerai maupun rujuk (QS. Al-Nisa’: 19, 35, dan 128). Hal ini menunjukkan betapa perhatian al-Qur’an memberikan petunjuk
kepada
suami
istri
dalam
menjalankan
tugas-tugas
kerumahtanggaan dengan semangat makruf, ihsan dan khair di antara keduanya. Di sisi lain, ajaran luhur Al-Quran ini sering pemaknaan
diciderai oleh
“abu-abu” karena kesalahan atau kekakuan tafsir. Hal ini
membawa implikasi pada marginalisasi hingga diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketimpangan relasi gender dalam sebuah sistem sosiokultural
menjadi
inti
persoalan
“tafsir”
ini.
Pembatasan
peran,
penyingkiran hak, pilih kasih yang berbasis gender berdampak pada pengurangan atau pelanggaran hak asasi atas kehidupan perempuan. Pertama, terjadinya marginalisasi (pemiskinan secara ekonomi) pada perempuan. Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis seks,
utamanya pada kaum perempuan. Ketiga, adalah pelabelan negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibatnya terjadi diskriminasi dan segala bentuk ketidakadilan lainnya. Keempat, adalah yang terberat yaitu tindak kekerasan terhadap perempuan karena perbedaan gender (Mansyur Faqih, 2001: 99). Adapun
ayat
yang
berpotensi
disalahtafsirkan
sehingga
melanggengkan paradigma ketimpangan relasi gender adalah: Q.S. An-Nisa ayat 34: Artinya; “ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.( Q.S. An-Nisa [4]: 34)(Al-Qur’an digital). Surat An-Nisa ayat 34 sangat jelas menegaskan peran suami sangat vital dalam rumah tangga, sebagai kepala rumah tangga, dan karena takdir
Tuhan yang memberi kelebihan kepada suami sebagai laki-laki sehingga memikul tanggung jawab (memberi nafkah) setingkat di atas wanita (istri). Namun gejolak dalam rumah tangga yang berakibat cemburu sangat diajurkan penyelesainnya dengan mencari jalan terbaik, sangat dilarang mencari-cari jalan yang menyusahkan; memukul. Surat An-Nisaa ayat 19 menegaskan seorang suami harus memperlakukan istri secara baik dan terhormat. Q.S. An-Nisaa ayat 19; Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksas dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyatadan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Budaya patriaki dan ideologi gender berkembang dan menjadi paradigma dalam masyarakat berpengaruh juga terhadap ketentuan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang membedakan peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (pasal 31 Undang-Undang Perkawinan). Ini menimbulkan pandangan dalam masyarakat bahwa seolah-olah tanpa modal apapun laki-laki
sebagai suami tetap memiliki kekuasaan yang demikian besar sehingga dapat memaksakan kehendaknya, termasuk melalui kekerasan.
Pandangan masyarakat Jawa menempatkan harkat dan martabat perempuan lebih identik dengan predikat sebagai istri atau ibu rumah tangga yang baik. Kaum laki-laki atau suami sejak dulu hingga sekarang menyebut istrinya identik dengan istilah garwa atau singaraning nyawa (yang berarti belahan jiwa). Namun orang Jawa mengenal pula istilah konco wingking sekalipun konsep itu dinilai kurang populer. Istilah garwa diagungkan orang Jawa sebagai menempatkan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki dalam rumah tangga. Namun, pada akhirnya pemaknaan istilah garwa ini pun menjadi sama kacaunya dengan istilah konco wingking. Keduanya berangkat dari sudut pandang budaya patriarki dalam menilai posisi perempuan. Posisi perempuan dalam eksistensi-nya sebagai garwa mengisyaratkan bahwa ia harus dijaga dan dipelihara berujung pada penguasaan atas fisik maupun pemasungan pemikiran perempuan atas nama kultural. Istri sebagai belahan jiwa dianggap berperan menentukan dan mewarnai perilaku suami, baik itu di tempat kerja maupun di masyarakat. Teks pernyataan tulisan Sujarwa (2001: 81) adalah contoh kasus ini, berikut cuplikannya: “...bahwa istri berakhlak baik dianggap menjadi filter yang baik bagi perilaku suami. Sebaliknya istri yang rakus, tamak, dan iri hati dapat membakar suami dalam kehidupan serba panas, mengumpulkan uang atau kekayaan jalan gelap serba panas.”
Kekacauan penafsiran tata nilai yang bersumber baik dari ajaran agama maupun budaya tanpa sengaja menyudutkan perempuan menjadi obyek kesalahan, kekeliruan, hingga dianggap biang masalah. KDRT tentu rentan terjadi dalam suasana ideologi relasi yang timpang semacam ini. 2. Perangkat Hukum KDRT Kamala Chandrakirana dalam buku Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (2006:3), mengungkapkan bahwa meningkatnya kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga menjadi lahan subur KDRT. Ketidakpedulian masyarakat terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang dialami karena adanya ideologi gender dan budaya patriarki. Guna menyelesaikan masalah ini diperlukan perangkat-perangkat advokasi baik pemerintah maupun masyarakat. UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai wujud perlindungan Negara bagi korban kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan suami terhadap istri. Pasal 5 menyebutkan tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup tangganya dengan cara: a. Kekerasan fisik. b. Kekerasan psikis. c. Kekerasan seksual, atau d. Penelantaran rumah tangga.
Paparan di atas menunjukkan betapa KDRT berdampak pada munculnya vonis gender pada perempuan. Larangan KDRT dituangkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan Ditegaskan kembali dengan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; Pasal 5 menyebutkan tentang larangan kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penelitian ini berbeda waktu kejadian, penelitian ini fokus pada kejadian KDRT pada tahun 2002-2004 di Kota Salatiga dan sekitarnya yang ditangani oleh Lembaga Sosial. Sangat jelas pada masa tersebut belum banyak studi tentang KDRT,dan HAM yang berkaitan dengan KDRT, bahkan belum ada payung hukum bagi korban KDRT. Perlindungan hukum terhadap korban KDRT merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarkat.
Dalam pasal 11 UU PKDRT
menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT dan dalam pasal 15 UU PKDRT ditegaskan untuk membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindung. Karena penelitian ini fokus pada kasus KDRT sebelum adanya istilah KDRT dan UU PKDRT maka akan ditemukan beberapa hal berkaitan penanganan dan upaya pemberian perlindungan hukum terhadap korban KDRT berbeda atau bahkan secara mekanisme sama dengan ketentuan dalam UU yang ada sebelum adanya UU PKDRT atau sesudah ada ketentuannya dalam UU dan UU PKDRT saat ini. Salah satunya adalah perlindungan hukum terhadap korban KDRT yang dapat diberikan oleh Pekerja sosial yang
dalam hal ini bernaung dalam lembaga sosial atau yang biasa disebut LSM. 3. Urgensi Perangkat Advokasi Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri menurut KOMNAS Perempuan (2008) merupakan perkara-perkara cerai gugat istri yang ditangani Pengadilan Agama (tersembunyi). Alasan istri meminta cerai pada umumnya adalah karena penelantaran ekonomi oleh suami. Penelantaran ekonomi dialami para istri karena suami gagal memberi nafkah lahir/ kebutuhan ekonomi keluarga. Motif ini berpotensi tindak kekerasaan lain seperti kekerasan seksual, penganiayaan fisik dan psikis. Ciciek (2005: 43-45) menjelaskan alasan-alasan mengapa istri takut dan tetap bertahan walaupun telah lama mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Beberapa alasan yang dikemukakan Ciciek adalah: 1. Takut pembalasan suami. Banyak istri diancam dengan penganiyaan yang lebih kejam, bahkan pembunuhan, jika mereka berupaya meninggalkan rumah tangga. Ketakutan ini beralasan menurut pihak kepolisian,
setengah
dari
istri
yang
berupaya
meninggalkan
perkawinan dibunuh oleh suaminya. 2. Tidak ada tempat berlindung. Banyak istri tergantung secara ekonomi kepada suami, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mencoba bertahan dalam derita yang berkepanjangan.
3. Takut dicerca masyarakat. Banyak perempuan takut dicap sebagai perempuan tidak baik karena diketahui sebagai korban kekerasan akibat didera suami. Sebagian tidak siap dengan status sosial sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah. 4. Rasa percaya diri yang rendah. Akibat penganiyaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri merasa tidak berarti dan tidak percaya mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah. 5. Untuk kepentingan anak. Istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yang lebih buruk jika berpisah dari ayah mereka. 6. Sebagian istri tetap mencintai suami mereka. Mereka mendambakan berhentinya kekerasan, bukan putusnya perkawinan. Mereka berharap terus-menerus agar suaminya berubah, menjadi baik kembali. 7. Mempertahankan perkawinan. Banyak istri yang percaya perkawinan itu sesuatu yang luhur dan perceraian adalah sesuatu yang buruk sehingga harus dihindari. Mereka beranggapan bahwa lebih baik tetap menderita dalam perkawinan
daripada bercerai karena tabu atau
dilarang agama. Kekarasan dalam rumah tangga yang di alami istri cenderung sulit di angkat ke permukaan dikarenakan kuatnya budaya hukum dalam masyarakat yang mengungkung perempuan, bahkan untuk dapat mengusut kejahatan yang sampai merengut nyawa perempuan pun hampir tak ada celah (Irianto, 2006: 321), berikut pernyataan Irianto: Sangat mengeherankan, seorang keluarga terdidik dan berkecimpung dalam bidang hukum pula, mengambil
keputusan untuk tidak melaporkan kasus kematian anak perempuannya ke polisi, demi kemormatan keluarga. Latar belakang terjadi KDRT adalah karena syiqaq. Syiqaq adalah krisis memuncak sehingga
antara
yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, suami
istri
terjadi
pertentangan
pendapat
dan
pertengkaran, menjadi dua belah pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya (Ghazaly, 2006: 241). Karena syiqaq inilah yang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Hakikatnya ketika terjadi pertentangan pendapat dan pertengakaran harus ada mediasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak untuk untuk mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab musabab terjadinya masalah tersebut dengan tujuan akhir adanya perdamaian dan menghindari kekerasan dalam rumah tangga karena emosi suami. Upaya
perdamaian
karena
masalah
rumah
tangga
untuk
menghindari tindakan represif suami tidak hanya di upayakan oleh pihak keluarga suami istri. Dalam konteks saat ini, upaya perdamaian tersebut bukan hanya sanak keluarga saja, tetapi termasuk di dalamnya rekan sekerja, kawan, tetangga, lembaga peradilan, lembaga sosial semisal pusat pelayanan korban kekerasan, atau siapa saja yang bermaksud menolong mengatasi persoalan (Ciciek, 2005: 72). Perangkat advokasi untuk penanganan kasus perceraian karena alasan syiqaq atau untuk upaya mediasi untuk menghindari kekeresan dalam rumah tangga dalam perkawinan dalam konteks Indonesia diwujudkan dengan adanya lembaga
BP4. Dalam pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dijelaskan;’’Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) setempat”. Tentang tindakan hukum selama proses perkara di Pengaadilan berlangsung,
yang
tujuannya
untuk
menghindari
kemungkinan-
kemungkinan negatif di antara suami istri, pasal 77 UUPA menjelaskan: ”Selama berlangsungnya gugatan percerian, atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut tidak tinggal dalam satu rumah” (Rofiq, 1998: 303-304).
G. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian Studi ini menggunakan penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga, atau masyarakat (Suryabrata, 1983: 80). 2. Lokasi penelitian Lokasi penelitian berada di lembaga sosial Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (YLSKAR) Salatiga alamat: Jl. Gajah Oya, RT 02/RW X, Blondo-Celong, Kelurahan Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Salatiga.
3. Sumber data Data
mengenai
profil
YLSKAR,
program
YLSKAR,
prosedur
penangananan KDRT di YLSKAR diiperoleh melalui wawancara dengan stakeholder YLSKAR serta dihimpun dari dokumen YLSKAR. Ketatnya peraturan YLSKAR yang merahasiakan data korban KDRT yang pernah ditangani membuat peneliti hanya dapat menggantungkan pada wawancara langsung dengan pimpinan YLSKAR saja. Pimpinan YLSKAR ini yang paling mengerti tentang seluk beluk penanganan kasus KDRT tersebut. 4. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik participant observasion (observasi partisipan) sehingga terjadi keterlibatan interaksi sosial antara peneliti dan informan. Observasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan sistematika fenomena yang diselidiki (Sukandarrumidi, 2002: 69). Wawancara yang dilakukan pada penelitian ini adalah wawancara pembicaraan informal, yaitu pada saat wawancara hubungan pewawancara dengan terwawancara adalah dalam suasana biasa, wajar, sedangkan pertanyaan dan jawaban muncul tanpa disadari oleh terwawancara (Moleong, 2009: 187). 5. Analisis data Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data. Analisis data dilakukan
secara
kualitatif.
Langkah
pertama
adalah
mengecek
kelengkapan data dengan memeriksa isi/ hasil instrumen pengumpulan data. Setelah proses analisis data dimulai dari menelaah/menyortir seluruh
data yang tersedia dari berbagai sumber data yaitu dari hasil wawancara, pengamatan yang dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, tulisan dari media masa dan elekronik dan foto. 6. Pengecekan keabsahan data Pengecekan keabsahan data dilakukan dengan mengadakan reduksi data yang
dilakukan
dengan
cara
membuat
abstraksi,
memilih
dan
menyusunnya dalam kategori tertentu. Langkah terakhir analisis adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, cek dan mengkroscek untuk menghasilkan kerangka analisis yang memiliki bingkai makna sambil menafsirkan data untuk memperoleh kesimpulan penelitian.
H. Sistematika penulisan Tulisan “Peran Lembaga Sosial
dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap Korban KDRT (studi di YLSKAR Salatiga)” terdiri dari lima (5) BAB, yaitu: BAB I Pendahuluan, dalam bab pertama ini penulis memaparkan latar belakang masalah, penegasan istilah, fokus dan rincian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II Kajian Pustaka, pada bab kedua ini penulis memaparkan konsepkonsep KDRT dalam hukum umum dan hukum Islam, kajian tentang
sejarah
KDRT,
bentuk-bentuk
KDRT,
prosedur
penanganan KDRT di Indonesia, dan posisi peran NGO-LSM dalam penanganan KDRT. BAB III Profil YLSKAR dan Profil Porban KDRT, Bab ketiga ini dimaanfaatkan penulis untuk memaparkan fokus penelitian pada Profil lembaga social YLSKAR dan Upaya lembaga sosial YLSKAR dalam menghadapi dan mengatasi kendala untuk memberikan pelayanan dan perlindungan hukum korban KDRT, penulis menguraikan kendala teknis dan nonteknis dalam menangani korban, stategi apa saja yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut. BAB IV Peran Lembaga Sosial Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Korban KDRT menangani kasus
KDRT Pandangan
korban pada eksistensi YLSKR, dan pandangan syariah pada urgensi LSM semacam YLSKR. BAB V Penutup, Bab terakhir ini
penulis menguraikan beberapa
kesimpulan penelitian berdasarkan analisis dan saran.
BAB II SELAYANG PANDANG TENTANG KDRT
A. Konsep-Konsep KDRT 1. Tinjauan Hukum Positif terhadap KDRT Rumah tangga tidak bisa dipisahkan dari peran perempuan sebagai istri. Sebelum adanya UU PKDRT preses proses penghapusan kekerasan terhadap perempuan korban kekerasan dalam lingkup rumah tangga sangat sulit. Pada dasarnya kekerasan secara yuridis dapat dilihat pada pasal 89 KUHP (Sugandhi,1981: 106): yang dimaksud dengan melakukan kekerasan yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi. Pingsan dalam tinjauan
forensik
hukum
positif
merupakan
tindakan
fatal
yang
membahayakan nyawa. Ini berarti merupakan perbuatan pidana dan melanggar hak asasi manusia, karena setiap warga negara berhak merasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 serta cita-cita untuk menghapus segala bentuk kekerasan , khsususnya KDRT di bumi Indonesia. Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap eksistensi kemanusian serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus. Ini sesuai dengan konvensi International dan Deklarasi PBB tentang HAM dan pengahapusan kekerasan terhadap perempuan. Permasalahan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga merupakan kekerasan pada perempuan secara umum. Ini terbukti
dengan pengakuan Pemerintah RI melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi
Pengahapusan Segala
Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW: Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women ) dan UU No. 5 tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak maanusiawi atau merendahkan martabat manusia (Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punisment). Substansi kekerasan dalam KUHP merupakan bagian dari kejahatan publik yang sinkron dengan peraturan hukum pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punisment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak maanusiawi atau merendahkan martabat manusia). Sistem hukum penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga lebih bersifat perdata yang berati ini tidak sesuai dengan ketentuan umum bahwa kekerasan yang dimaksud merupakan perbuatan pidana sesuai pada KUHP pasal 89 dan 90 merupakan kategori kejahatan dengan ancaman pidana yang ditentukan pada KUHP pasal 356 ayat (1) jo (5). Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan substansi dari kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga yang dialami perempuan penyelesaiannya bersifat perdata melalui perceraian. Jika tidak memenuhi alasan-alasan bercerai pada pasal 39 ayat (2). Terbatasnya pasal-
pasal yang mengatur tentang definisi kekerasan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga baik dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk alasan-alasan bercerai dan pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 serta pasal-pasal dalam KUHP yang tidak mengenal bentukbentuk KDRT seperti motif kekerasan; ekonomi, psikologis dan seksual yang dominan dialami perempuan sebagai istri dalam rumah tangga sangat mempersulit tindakan hukum yang diambil untuk menjerat pelaku. Ini berarti peluang setiap istri untuk mengalami kekerasan sangat luas. Di samping itu budaya hukum masyarakat kita yang rendah. Sehingga masih banyak masyarakat yang buta hukum formilnya. Sehingga upaya untuk mencegah dan menghapus KDRT menjadi terhambat. Faktor aparat hukumnya; karena substansi hukumnya yang tidak lengkap mempengaruhi aparat hukum dalam menentukan langkah dan keputusannya. 2. Tinjauan Hukum Islam terhadap KDRT Raga’ El-Nimr dalam buku Feminisme dan Islam (2000: 145) menyatakan dalam hukum Islam, seorang istri, bahkan setelah berumah tangga, adalah individu yang secara terpisah yang dapat menuntut dan dituntut dalam kapasitas individunya sendiri dan berhak menggugat suaminya untuk cerai karena suatu pelanggaran atas hak-haknya. Hak yang dimiliki istri tersebut dapat dijadikan sebagai senjata jika suami melakukan tindak kekerasan dan istri tidak bisa melanjutkan kehidupan rumah tangga dengan suaminya. Bahkan Raga’ El-Nimr (2000: 146) menegaskan jika pria mempunyai hak untuk menceraikan istri, perempuan juga memiliki peluang
atau hak mencari dan mendapatkan perceraian melalui kesepakatan bersama atau campur tangan pengadilan. Al-Qur’an meletakkan tanggung jawab kepada suami untuk memberikan nafkah kepada istrinya yang merupakan akibat dari adanya perkawinan. Adapun yang dimaksud dari adanya nafkah disini adalah segala kebutuhan istri yang meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya yang termasuk kebutuhan rumah tangga pada umumnya. Firman Allah dalam QS. Al-Thalaq: 7 Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS. Al-Thalaq [65]:7)(Alqur’an digital) Seorang suami dituntut mampu memberikan nafkah kepada istrinya dengan baik, dan jika ia tidak mempunyai harta yang cukup dia harus memberikan nafkah menurut kemampuannya. Sebagaimana telah disebutkan dalam (QS. Al-Nisa’ : 34), bahwa di samping taat kepada Allah dan taat kepada suami, istri juga harus menjaga harus menjaga kehormatan dirinya, baik di saat suami berada di rumah lebih-lebih apabila suami tidak ada di rumah. Keterangan ayat ini diperkuat dengan sabda Nabi berbunyi:
SAW. Yang
Artinya: Sebaik-baik perempuan adalah yang menggembirakan apabila kamu memandangnya dan taat kepadamu bila engkau memerintahkannya, dan memelihara dirinya dan hartamu pada saat engkau tidak ada di rumah. (Hadis diriwayatkan dari Ibnu Asakir dan abu Daud). Melihat tugas dan kewajiban suami terhadap istrinya sangat berat ini berarti seorang suami wajib melindungi istrinya dari segala hal yang mengancam keamanan istri. Bahkan dalam hadis Nabi SAW di tegaskan larangan untuk memukul istri: Artinya: Orang yang baik-baik diantara kamu, niscaya tidak akan memukul istrinya.(HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian ditegaskan kembali kepada suami untuk memperlakukan istrinya dengan baik bukan dengan kekerasan: Artinya: orang yang baik diantara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya. Dan Aku adalah yang paling baik kepada istriku (HR. Tarmizdi).
Hukum Islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiaya istrinya dan
menimbulkan
kemadharatan
terhadapnya.
Suami
dilarang
menyengsarakan kehidupan istri dan menyia-nyaikan haknya (Ghazaly, 2006: 245). Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(Q.S. Al-Baqarah [2]:231)( Al-Qur’an digital).
Bahkan hukum Islam tidak menghendaki adanya kemadharatan dan melarang saling menimbulkan kemadharatan, ini menegaskan bahwa setiap kemadharatan wajib dihilangkan (Ghazaly, 2006: 245). Dalam suatu hadits dinyatakan bahwa Rasullah SAW bersabda:
Artinya : Tidak boleh ada kemadharatan dan tidak boleh saling menimbulkan kemadharatan. Berdasarkan dari firman Allah, hadits dan kaidah tersebut para fuqaha’ menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami istri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemadharatan pada salah saatu pihak
yang menderita madharat dapat mengambil prakarsa untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim menfasakhkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut. Keputusan pengadilan atas dasar pengaduan karena kesengsaraan yang menimpa atau kemadharatan yang diderita, maka maka perkawinan dapat di fasakhkan. Beberapa alasan fasakh menurut Ghazali (2006: 246-247), yaitu: a. Tidak adanya nafkah bagi istri. Imam Malik, Asy Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa hakim boleh menetapkan putusnya perkawinan karena suami tidak memberi nafkah kepada istri, baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau suami menolak memberi nafkah. Tidak memberi nafkah istri dan menelantarkan istri tanpa diberi nafkah serta tidak dicerai adalah perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakannya, berarti menimbulkan
kemaadharatan,
maka
hakim
harus
berusaha
menghilangkan perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakan itu.
b. Terjadinya cacat atau penyakit. Jika terjadi cacat atau penyakit pada salah satu pihak, baik suami maupun istri sedemikian rupa sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami istri sebagaimana mestinya, atau menimbulkan penderitaan batin pihak satunya, atau membahayakan hidupnya, atau mengancam jiwanya, maka yang bersangkutan berhak mengadukan halnya kepada hakim, kemudian pengadilan memfasakhkan perkawinan mereka. Cacat atau penyakit yang dimaksud meliputi cacat jiwa, seperti gila, cacat mental seperti penjudi, pemabuk, cacat tubuh seperti penyakit lepra, dan cacat kelamin seperti penyakit pada alat kelamin, terpotong alat kelamin, lemah syahwat, dan lain sebagainya sehingga mengganggu dan menghalangi hubungan sebagai suami istri. c. Penderitaan yang menimpa istri. Istri yang menderita fisik atau batin karena tingkah laku suaminya, semisal suami menyakiti badan istri dan menyengsarakannya, suami pergi menghilang tidak diketahui keberadaannya, suami dihukum penjara dan lain sebagainya, sehingga istri menderita batin, maka dalam hal ini istri berhak mengadukan halnya kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan perkawinannya. B. Bentuk-Bentuk KDRT Kriteria atau jenis kekerasan dalam rumah tangga pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud;
a) Pertama,pasal 6 UU PKDRT, kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat; b) Kedua, pasal 7 UU PKDRT, kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; c) Ketiga, pasal 8 UU PKDRT, kekerasan seksual yaitu yang meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan/atau pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk komersial dan/atau tujuan tertentu; d) Keempat, pasal 9 UU PKDRT, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Dalam hal ini juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga. Kekerasan tersebut di sebutkan dalam pasal 2 UU PKDRT yang meliputi;
a. Suami, istri, dan anak; b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/ atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. C. Prosedur Penanganan KDRT di Indonesia Buku Pedoman bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Ruma Tangga (Komnas Perempuan, 2008: 66-67) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengamanatkan penanganan korban KDRT secara terpadu, sehingga korban akan mendapatkan haknya dalam penanganan kasus pada satu waktu atau paling tidak korban tidak perlu bolak balik untuk memperjuangkannya. Undang-undang ini juga makin menguatkan Surat Keputusan Bersama 4 Menteri dan Kapolri yang dikeluarkan pada tahun 2002 tentang Pembentukan Pelayanan Terpadu bagi Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak. Masing-masing kementerian dan Polri telah mengeluarkan SK tentang hal yang sama, yaitu sebagai berikut: a) SK
Menteri
Negara
Pemberdayaan
Perempuaan
PP/Dep.V/X/2002; b) SK Menteri Kesehatan No: 1329/MENKES/SKB/X/2002; c) SK Menteri Sosial No: 75/HUK/2002;
No.
14/Men
d) SK Kapolri No.Pol. B/3048/X/2002. Prosedur penanganan KDRT harus dilakukan secara terpadu dan komprehensif. Konsep keterpaduan tidak dimaksudkan untuk masuk ke dalam otorisasi lembaga/ bidang lain, namun hanya melakukan irisan atas bidangbidang yang berkaitan dengan penanganan korban. Gambar berikut menunjukkan pola keterpaduan kerja layanan: Medis
Psikososial
Hukum
Gambar 1. Pola Penanganan KDRT
Dalam proses penanganan KDRT Indonesia sesuai dengan amanat UU PKDRT yaitu sebagai berikut: 1. Pendampingan dan poses hukum. KUHP, KUHAP dan undang-undang advokat pendamping tidak diperkenankan untuk ikut dalam proses hukum baik pada saat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan kecuali pendamping tersebut adalah advokat yang mempunyai ijin praktik resmi dari otoritas organisasi advokat. UU PKDRT dalam Pasal 23 memperbolehkan pendamping yang bukan advokat untuk mendampingi korban dalam semua proses hukum.
Bahkan
advokat
juga
diharuskan
melakukan
koordinasi
dengan
pendamping/relawan/pekerja sosial dalam melakukan pendampingan hukum (Pasal 25). 2. Pelaporan Pasal 26 UU PKDRT membenarkan pelaporan korban baik di kantor polisi maupun di tempat kejadian perkara. Korban juga dapat memberikan kuasa kepada orang lain untuk melakukan pelaporan atas kejadian yang menimpanya. Demikian korban tidak selalu harus pergi ke kantor polisi untuk melakukan pelaporan, saat kondisi korban tidak memungkinkan untuk melaporkan. 3. Alat bukti dan kesaksian Pasal 55 UU PKDRT pembuktian cukup dengan keterangan saksi korban dan satu alat bukti yang sah. Pembuktian semacam ini memang akan lebih memudahkan korban di dalam proses peradilan mengingat sulitnya mendapatkan bukti-bukti KDRT. Pada umumnya pihak pelaku telah mengantisipasi proses hukum dengan menghilangkan barang bukti yang akan meringankan dirinya. 4. Ketentuan pidana KUHP selama ini dikritisi karena tidak mencantumkan hukuman minimal bagi pelaku kekerasan, sehingga seringkali vonis hukuman yang ditimpakan tidak sepadan dengan kekerasan yang dilakukan dan akibat yang diderita korban terutama yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Dalam Pasal 47 dan 48 UU PKDRT kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah
tangga diancam pidana minimal 4-5 tahun atau denda 12 juta atau 25 juta. Di samping itu UU PKDRT juga memberikan sanksi pidana tambahan yakni pembatasan gerak bagi pelaku baik secara fisik (pembatasan ruang, jarak dan waktu) maupun pembatasan akan hak-hak pelaku. Pelaku juga diwajibkan menjalani sesi konseling untuk penyadaran. Walaupun pada kenyataannya sulit untuk dilakukan karena pelaku sangat jarang yang merasa bersalah dan merasa tidak perlu disadarkan atas apa yang dilakukannya. Sekalipun pasal-pasal tentang hukuman minimal ini masih terbatas pada kekerasan seksual, namun hal ini sudah mengindikasikan diakomodasinya hak atas keadilan bagi korban. Walaupun kita masih harus mengkritisi Pasal lain yang tidak menentukan hukuman minimal untuk jenis kekerasan yang lain. Secara eksplisit peran Lembaga penanganan KDRT dalam UU PKDRT, sebagai berikut; 1. Kewajiban pemerintah dan masyarakat Pasal 11 disebutkan; pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 15; setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
wajib
melakukan
upaya-upaya
kemampuannya untuk: a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan terhadap korban; c. Memeberikan pertolongan darurat;
sesuai
dengan
batas
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Secara umum pemerintah harus berperan aktif untuk melindungi kaum perempuan yang mengalami korban kekerasan khususnya dalam lingkup rumah tangga. Seperti amanat pada pasal 12 bahwa kewajiban pemerintah adalah; a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga; b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; c. Menyelengarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; d. Menyelenggarkan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan sensitf gender. 2. Bentuk perlindungan dan pelayanan Menindaklanjuti KDRT sebagai permasalan publik yang juga menjadi tangung jawab pemerintah dan masyarakat serta termasuk pelanggaran HAM, maka harus ada standarisasi bentuk perlindungan dan pelayanannya, yang dapat diberikan oleh: a. Kepolisian; b. Petugas medis; c. Pekerja sosial; d. Relawan pendamping;
e. Advokat; f. Penuntut umum; g. Hakim. KDRT sebagai bentuk kekerasan fisik, maka diperlukan langkah medis untuk mendeteksi sebagai bukti forensik untuk langkah hukum yang valid. Dalam pasal 21 disebutkan langkah tersebut, yaitu: a. Memeriksa kesehatan korban sesuai standar profesinya; b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti; c. Dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Langkah tersebut dapat dilakukan bersama dengan pendampingan pekerja sosial atau lembaga sosial yang harus mengikuti ketentuan pasal 22, yaitu: a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternative;
d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban; e. Pelayanan pekerja sosial dilakukan di rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Dalam memberikan perlindungan hukum terrhadap korban KDRT relawan pendamping wajib untuk memberikan pelayanan sesuai pasal 23, yaitu: a. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seseorang atau beberapa orang pendamping; b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan , penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan pembimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; c. Mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; d. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. Bahkan korban KDRT wajib mendapatkan pelayanan secara psikologis dari pembimbing rohani. Ketentuan pelayanan secara psikologis disebutkan pada pasal 24, yaitu; dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan iman dan taqwa kepada korban.
Begitupun bagi advokat, mempunyai kewajiban yang sama dengan yang lainnya. Perlindungan dan pelayanan hukum terhadap korban KDRT oleh advokat pada pasal 25, yaitu: a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan; b. Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; c. Melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya. D. Peran Posisi NGO-LSM dalam penanganan KDRT Lembaga sosial dalam hal ini merupakan organisasi non- pemerintah (ornop) atau lebih dikenal sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pengertian lembaga sosial atau LSM mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Intruksi Menteri dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pasal 1 UU No.8 Tahun
1985 tentang Ormas
menyebutkan: Organisasi
Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan
nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasaskan Pancasila. Intruksi Menteri dalam Negeri No. 8 Tahun 1990 tentang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyebutkan LSM adalah organisasi /lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi /lembaga sesuai wujud partisipasi
masyarakat
dalam
upaya
meningkatkan
taraf
hidup
dan
kesejahteraan masyarakat, yang menitik beratkan kepada pengabdian secara swadaya. Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh LSM mengacu pada UU Pengahapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 Tahun 2004. Perlindungan hukum yang diberikan oleh LSM berpedoman pada; pertama, pasal 22 UU PKDRT menyebutkan : Pelayanan sosial diberikan melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; memeberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan oleh korban. Kedua, pasal 23 UU PKDRT
bahwa:
pelayanan
relawan
pendamping
diberikan
berupa
menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seseorang atau
beberapa
orang
pendamping;
mendampingi
korban
di
tingkat
penyelidikan, penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan memebimbing korban untuk secara objektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; mendengarkan secara empati segala penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban. Ketiga, pasal 25 UU PKDRT bahwa: perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku melalui mediasi, dan mendampingi korban tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan (ligitasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial (kerja sama dan kemitraan). Penjelasan pasal 10 huruf a UU PKDRT menyatakan bahwa lembaga sosial yang dimaksud dalam UU ini ialah lembaga atau organisasi sosial yang peduli terhadap masalah kekerasan dalam rumah tangga, misalnya lembagalembaga bantuan hukum. Realita di lapangan kareteristik lembaga sosial yang peduli terhadap kekerasan dalam rumah tangga dapat memenuhi beberapa persepsi LSM yang diberikannya. Walaupun ada lembaga independen yang didirikan oleh pemerintah yang bergerak dalam bidang sosial misalnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Nasional Perempuan, dan lain sebagainya.
LSM merupakan mediator pemerintah dan masyarakat, dalam hal ini UU PKDRT memberikan kesempatan kepada LSM untuk berkerjasama dengan lembaga penegak hukum lainnya untuk mengurangi tingkat kekerasan dalam rumah tangga. LSM yang fokus pada PKDRT merupakan bentuk kerja sosial yang mana membantu peran pemerintah dalam menuntaskan permasalahan sosial di masyarakat. LSM dapat menyatu dengan masyarakat dalam berhadapan dengan Negara dapat terjadi ketika lembaga sosial membantu masyarakat korban kekerasan dalam rumah tangga memperjuangan keadilan hukum. LSM menyatu dengan masyarakat ketika lembaga sosial turut merasakan penderitaan korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga menuntut lahirnya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 dan membuka diri untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga tanpa memandang status sosial dan dengan menggunakan semboyan “bantuan hukum non profit oriented atau prodeo”. KDRT telah menjadi masalah hukum dalam masyarakat. Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial. Dari sekian banyak masalahmasalah sosial tersebut kita harus mampu menemukan atau menyeleksi masalah
hukumnya
untuk
kemudian
dirumuskan
dan
dipecahkan
(Mertokusumo; 1996, hal 32). Untuk itu harus ada langkah konkret untuk menuntaskan masalah hukum yang terjadi di masyarakat khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh perempuan sebagai istri. Perumusan langkah hukum untuk menuntaskan permasalahn KDRT pun demikian, membutuhkan lokomotif hukum sebagai alat untuk menuntaskannya.
Lokomotif hukum tersebut menurut Mertokusumo (1996: 36) merupakan wujud dari pelaksanaan hukum. Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Ini meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga Negara setiap hari yang sering tidak disadarinya dan juga oleh aparat Negara. Pelaksanaan amanat UU PKDRT diperlukan lokomotif hukum yang menjadi landasan yuridis sebagai bentuk pelaksanaan hukum untuk menuntaskan permasalahan KDRT. Landasan yuridis lembaga sosial untuk KDRT, yaitu; 1. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT; 3. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2006 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. E. Penelitian-penelitian sebelumnya Studi-studi terkait tindak KDRT sebagai penyebab perceraian telah banyak dilakukan sebelum ini. penelitian Yosepa Danik Fatmawati (2007) melakukan penelitian berjudul “ Analisis Faktor-Faktor Yang Menjadi Sebab Perceraian di Kabupaten Boyolali (Studi Kasus Di Pengadilan Boyolali Tahun 2002 dan 2006)”. Penelitian ini dilakukan atas beberapa kasus yang ditangani Pengadilan Agama Boyolali pada tahun 2002 dan 2006. Dalam penelitian ini
KDRT menjadi salah satu faktor dalam mengambil keputusan cerai masyarakat, faktor dominan yang menjadi penyebab adalah; krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, penganiayaan, gangguan pihak ketiga, dan tidak ada keharmonisan sebagai motif istri menggugat cerai suaminya. Penelitian serupa juga dilakukan
Nakiyah (2002) yang berjudul
“Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga 1999-2002)”. Penelitian ini mengupas motif-motif perceraian yang ditangani oleh Pengadilan Agama Salatiga. Pada kasus ini ditemukan bentuk-bentuk kekerasan yang sering dijadikan alasan pasangan suami istri di Pengadilan Salatiga tidak hanya berupa kekerasan jasmani, tapi kekerasan psikologislah yang paling mendominasi. Ketika di hadapan hakim motif ini sulit di buktikan. Langkah ini dilakukan karena istri sudah merasakan kekerasan ini secara bertahap dan sudah cukup lama sabar, dalam penantian dan siksaan maupun ditekanan. Motif budaya dan agama juga menjadi faktor istri untuk menjadikan alasan melakukan perceraian karena budaya dan agama tidak memihak secara manusiawi kepada istri selain motif ekonomi dan masalah reguler dalam kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat. Studi lain ditemukan oleh Subhan (2003) berjudul “Kekerasan Terhadap Istri”. Perspektif konteks sosial budaya melihat bahwa kekerasan terhadap istri. Studi ini menemukan jenis-jenis kekerasan yang kemudian menjadi rujukan para peneliti yang sama. Studi kualitatif murni ini menemukan ada
empat (4) jenis kekerasan ; kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual (Subhan, 2003: 31). Ada empat faktor sebabsebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga : pertama, keadaan istri yang bekerja dan memiliki kemandirian ekonomi; kedua, perselingkuhan suami dengan perempuan lain; ketiga, campur tangan pihak keluarga; keempat, pemahaman yang salah terhadap ajaran agama.
BAB III PROFIL LSM YLSKAR DAN PENANGANAN KDRT
A. SEJARAH YLSKAR Yayasan Lingkar Studi Aksi dan Refleksi (YLSKAR) Indonesia adalah yayasan sosial nirlaba. YLSKAR
adalah organisasi yang dibentuk oleh
beberapa LSM, diantaranya adalah: Lembaga Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi (LSKAR) dan Yayasan Pusat Studi Aksi dan Refleksi (YPSAR) yang didirikan oleh sekelompok aktivis pemuda, pesantren, aktivis gereja dan aktivis gerakan mahasiswa. YLSKAR didirikan pada 4 Desember 1997 sesuai dengan Akta Notaris No 13, tanggal 19-09-1999 dan terdaftar di Pengadilan Negeri Salatiga tanggal, 29-09-1999. Semenjak didirikan, YLSKAR telah melakukan berbagai program penguatan masyarakat sipil pada isu pangan dan pertanian, kesehatan, pendidikan, lingkungan, energi dan kebijakan publik di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, DI. Yogjakarta dan Jawa Timur. Penguatan masyarakat dilakukan melalui riset aksi partisipatif, pengorganisasian, advokasi litigasi dan non-litigasi, pendidikan popular dan kampanye publik dalam persektif gender, hak asasi manusia dan kebencanaan. Tujuan LSKAR/ YPSAR adalah terciptanya kemandirian individu-komunitas yang menjamin hak hak dasar mereka. Komitmen ini diwujudkan dalam strategi Planning LSKAR dan Rapat Anggota YPSAR tahun 2006 dan 2007 dengan menetapkan penggabungan YPSAR dan LSKAR menjadi Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi yang di singkat
43
YLSKAR Indonesia. Penggabungan ini diyakini dapat lebih mengefektifkan YLSKAR sebagai alat perubahan sosial. B. Tujuan, Nilai-Nilai, Mandat dan Prinsip-Prinsip Berdasarkan sejarah berdirinya YLSKAR dapat di simpulkan tujuan dari Lembaga sosial ini adalah; 1. Sebagai tempat berkumpulnya individu dan kominitas yang peduli terhadap masalah-masalah ketidakadilan sosial, memiliki semangat belajar dan kerelawanan, serta visi transformasi sosial; 2. Mengggalang sumber daya dan kerjasama pada tingkat lokal, nasional dan global, dalam rangka membangun gerakan transformasi sosial. Point (1) adalah program pertama YLSKAR pasca resmi berkiprah pada
bulan
September
1999.
Sesuai
dengan
tujuannya,
program
pemberian/advokasi perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga merupakan prioritas pertama sampai dengan tahun 2004. Nilai-nilai yang menjadi barometer eksistensi YLSKAR yang sesuai dengan tujuan didirikannya adalah; 1. meyakini kerelawanan/ volunteerism; tidak mengukur pekerjaan dengan sekedar uang, bekerja sesuai keahlian dan tanggung jawab; 2. meyakini humanity, non-violence dan non diskriminasi sebagai bentuk penghargaan tinggi atas kemanusiaan; 3. meyakini independensi, tidak didikte – mendekte dan tidak tergantung pada pihak manapun dalam pengambilan keputusan organisasi;
4. meyakini non partisan, tidak berafiliasi dan memihak kelompok dan kekuatan politik praktis manapun; 5. meyakini solidaritas, tanggung jawab sosial dan collectivism, serta menginternalisasikan nilai perubahan sosial dalam kehidupan komunal untuk mengubah kondisi ketidak adilan dan emergency; 6. meyakini bahwa alam adalah sumber kehidupan yang menjamin keberlangsungan hidup manusia; meyakini politik pro-ecology dan segala tindakan mempertimbangkan keberlangsungan lingkungan. 7. meyakini entrepreneurship, kreatif, profesional dan mandiri dalam bekerja dan pengembangan diri; 8. menyakini sebagai organisasi yang bermartabat, teguh dan memberi keteladanan dalam menjalankan semua prinsip yang diyakini. Dalam menjalankan program perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga sesuai dengan point (2) yang merupakan aplikasi terhadap penghormatan hak asasi manusia terutama hak asasi kaum perempuan korban kekerasan. Bentuk kinerja tersebut dilakukan secara idependen sesuai dengan point (c). C. Profil dan Program YLSKAR Sebagai lembaga swadaya masyarakat mempunyai visi, misi, tujuan, nilai, dan prinsip untuk menegaskan eksistensinya. Untuk itu penulis akan memaparkannya sebagai berikut:
1. Visi Visi LSM YLSKAR adalah terwujudnya kemandirian dan kedaulatan dalam perbaikan tatanan sosial dan pemulihan lingkungan secara berkeadilan yang menjamin hak-hak dasar dan taraf hidup yang layak dan berkelanjutan. 2. Misi Misi LSM YLSKAR adalah membangun pusat-pusat pembelajaran komunitas-individu yang menjadi tempat bagi perubahan pranata sosial yang menjamin penegakan hak asasi manusia dan demokrasi; Membangun organisasi dan model pengelolaan sumber daya komunitas perdesaan dan perkotaan, sebagai wadah perjuangan penegakan hak dasar masyarakat secara berkelanjutan; dan Melakukan dan mengembangkan strategi advokasi kebijakan publik bersama komunitas dimulai dari tingkat desa, kabupaten dan kota dan kawasan yang lebih menjamin pemenuhan, perlindungan dan pelayanan hak dasar masyarakat. 3. Tujuan Tujuan LSM YLSKAR adalah Mengembangkan wadah berkumpulnya individu-komunitas yang peduli terhadap masalah masalah ketidak-adilan sosial, memiliki semangat belajar dan kerelawanan, serta visi transformasi sosial. Menggalang sumber daya dan kerjasama pada tingkat lokal, nasional dan global, dalam rangka membangun gerakan transformasi sosial.
4. Nilai Nilai-nilai yang ditakini LSM YLSKAR adalah; a)
Kerelawanan/ volunteerism yaitu tidak mengukur pekerjaan dengan sekedar uang, bekerja sesuai keahlian dan tanggaung jawab.
b) Humanity, non-violence dan non diskriminasi sebagai bentuk pengahrgaan tertinggi atas kemanusian. c)
Indenpendensi, tidak didikte-mendekte dan tidak tergantung pada pihak manapun dalam pengambilan keputusan organisasi.
d) Non partisan, tidak berafiliasi dan memihak kelompok dan kekuatan politik praktis manapun e)
Solidaritas,
tanggung
jawab
sosial
dan
collectivism,
serta
menginternalisasikan nilai perubahan sosial dalam kehidupan komunal untuk mengubah kondisi ketidak adilan dan emergency. 5. Prinsip Prinsip LSM YLSKAR adalah sebagai berikut; a) Bekerja bersama masyarakat basis; b) Berorientasi pada perubahan system sosial; c) Team oriented; d) Transparent, accountable, mudah di akses dan dapat dipertanggung jawabkan; e) Efektif dan efisien, mampu bekerja secara tepat sasaran dan terkelola dengan baik;
f) Localism, menghargai perbedaan, keyakinan, nilai nilai dan kekuatan masyarakat lokal; g) Responsive dan akomodatif terhadap informasi dan pendekatan pendekatan baru; h) Confidence; percaya diri dapat melakukan perubahan bersama masyarakat; i) Berwawasan lingkungan, gender dan kebencanaan. Adapun profil dan posisi tugas pengurus YLSKAR sebagai berikut: 1. Bambang Ismanto, M.Si Head of Advisory board
Teguh BU,S.Pd Ofice Manager
M.Wiyono Office Boy Sri Wahyono Driver Andi .S. Candra Harjanto HK & security
3. Dr. Dewi Candraningrum, M.Ed Advisory board
Ahmad Badawi, S.Ag Chairman/Director
Suprihadi Supervisor board
Ucik Febrianti,S.pd Admin. staf
2. M. Widjanarko, M.Si. Advisory board
Cicilia Tri Susetyorini, S.P Programme Manager
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Name Dwi Haryatdi, S.Kom Khoerul Anam, S.Ag Johan Rifqi, S.H.I Achmad Makhali, S.E Jazuli ACH, SH. Sasadara Wahyu .L, S.Pd Siti Khotijah, S.H.I Indu Handoko Masyuri, S.Ag Syarif Hidayatullah, S.Pd Siswanto AR, M.SI Eko Purwanto Amin sholahudin, Amd Diah Novita. A
Lukman Hakim TJ, S.Ag
Financial Manager Job Media & IT CO Banyumas CO Salatiga CO Jepara CO Jepara Media & IT CO Kab. Semarang CO Kab. Semarang CO Jepara CO Jepara CO Kab. Semarang CO Banyumas CO Jepara CO Kab. Semarang
Setyati , Amd Bookkeeper Isana SM, S.E Cashier
Gambar II. Susunan Pengurus YLSKAR, Jabatan dan Tugas
Program YLSKAR 2008 sampai saat ini difokuskan untuk membangun kemandirian desa pada isu kedaulatan desa, akses air, kesehatan terpadu, pendidikan yang layak, kemandirian energy, keberlangsungan lingkungan dan pengurungan resiko bencana. 1. Latar belakang program a) Meningkatkan kerentanan kehidupan masyarakat pada isu kedaulatan pangan, akses air, kesehatan terpadu, pendidikan yang layak, kemandirian energy, keberlangsungan lingkungan dan pengurungan resiko bencana. b) Lemahnya
peran
Negara
dalam
menjamin
kebutuhan
dan
keberlangsungan hak dasar masyakatkan di bidang perumahan, kesehatan, pangan dan pendidikan khususnya bagi masyarakat miskin dan marginal. c) Belum digunakannya sumber daya dan pengetahuan local kemandirian masyarakat pedesaan, perkotaan dan kawasan pada isu kesehatan, pangan dan pertanian, pendidikan, lingkungan, energy dan politik kebijakan. 2. Tujuan program a) Mengembangan
strategi percepatan peran organisasi basis dalam
pembangunan tingkat desa dalam perspektif kawasan. b) Mendorong perubahan kebijakan desa berdasarkan pengalaman masyarakat yang telah di bangun.
c) Mempromosikan organisasi basis untuk menduduki posisi strategis dalam penguasaan sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya level desa. d) Institusionalisasi pengalaman masyarakat dalam pranata sosial di tingkat desa. e) Mengembangkan pendidikan strategi pengelolaan desa dan kawasan bagi pengambil kebijakan pemerintah ditingkat desa, kota dan kawasan. f) Mendorong perubahan kebijakan pemerintah tingkat kan abupaten/kota dan propinsi dalam pengelolaan desa dan kawasan,khususnya pada isu lingkungan dan hak dasar. g) Mengembangkan kerjasama tematik antar komunitas desa, antar stakeholders, antar pemerintah kabupaten/kota dan kawasan untuk menyelesaikan persoalan masyarakat di tingkat kawasan. h) Membangun model pengelolaan data base dan informasi kawasan di masing masing desa yang di kelola oleh komunitas, stakeholder dan pemerintah desa. 3. Kegiatan utama a) Riset partisipatif sumber daya masyarakat pada bidang kesehatan, pangan dan pertanian, lingkungan, pendidikan, kesehatan, energy, tehnology informasi dan kebijakan public. b) Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat dan pemerintah untuk membangun fasilitator yang mampu membangun perubahan social bersama masyarakat.
c) Perencanaan
dan
implementasi
program
bersama
masyarakat
berdasarkan sumber daya yang mereka miliki. d) Mengembangkan public campaign dan media popular sesuai dengan sumber daya local dalam bentuk Koran Komunitas, bulletin, leaflet, flayer, poster, majalah dinding desa, pertunjukan seni local dan film. e) Bersama pemerintah dan masyarakat mengembangkan data base dan informasi desa dan kawasan yang mudah difahami dan multi fungsi. f) Advokasi kebijakan bagi perubahan strategi pembangunan desa, kabupaten/kota dan kawasan yang lebih menjamin hak dasar masyarakat dalam persepektif gender, kebencanaan dan lingkungan. g) Mengembangkan jaringan kerjasama strategis dengan pemerintah dan organisasi-organisasi lain untuk mobilisasi sumber daya dalam merespon konflik gender, bencana dan problem kemanusiaan lainnya. D. Penanganan KDRT Landasan pemikiran dilakukannya perlindungan hukum terhadap korban KDRT adalah masalah gender belum ada yang menangani dan perhatian dari pemerintah yang minim. YLSKAR memandang KDRT merupakan kasus kriminal khusus pada lingkup suami-istri dalam kehidupan rumah tangga. Dalam konteks HAM tidak dibenarkan ada kekerasan dimanapun. Pada dasarnya setiap orang punya peluang untuk menjadi korban KDRT (Wawancara; 2 Juli 2011). Penanganan KDRT yang dilakukan LSM YLSKAR merupakan bentuk implementasi dari hak asasi manusia terutama kaum perempuan yang sebelum
tahun 2004 atau sebelum ada undang-undang KDRT ada merupakan masalah publik yang dianak tirikan oleh pemerintah dan dianggap sebelah mata oleh masyarakat. Pada tahun 2002-2004 merupakan periode YLSKAR menangani KDRT di Kota Salatiga dan sekitarnya. Sejak tahun 1999 YLSKAR dibangun berdasarkan isu gender, anak, dan kaum diafabel yang pada awal pasca reformasi menjadi fokus utama yang dikesampingkan oleh pemerintah. Khusus KDRT penanganannya berbeda dengan kasus lain. KDRT ditangani dengan pertimbangan melalui diskusi yang mendalam antara pihak korban KDRT dengan tim dari YLSKAR, agar korban KDRT memahami resiko hukum yang akan dihadapi jika kasus KDRT tersebut menjadi kasus hukum. Diupayakan dalam memberikan pemahaman hukum tentang KDRT korban dapat menjaga keutuhan rumah tangganya, dan pihak keluarga dan suaminya dapat saling memberi perhatian yang lebih baik setelah kasus KDRT tersebut didiskusikan kepada YLSKAR. Yang tentunya bentuk KDRT tersebut tidak dalam bentuk KDRT yang berat dan membahayakan pihak korban. Dalam hal ini hanya perlu dilakukan mediasi. Jika KDRT tersebut berat dan membahayakan nyawa korban maka YLSKAR menegaskan tidak ada mediasi dan harus berpisah/ bercerai, hal ini dilakukan karena tinjauan yang mendalam dan hasil investigasi yang mendalam (observasi tanggal 4-10 Juni 2011). Selama tahun 2002-2004YLSKAR menangani sekitar 22 kasus KDRT di Salatiga dan sekitarnya (wawancara tanggal 2 Juli 2011). Selama penanganan tersebut banyak kendala yang dihadapi oleh YLSKAR, yaitu:
1. Tidak adanya payung hukum tentang penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. 2. Tidaknya dukungan dari pemerintah dan masyarakat untuk mendukung upaya pengahapusan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. 3. Persepsi masyarakat yang menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai budaya. Meskipun demikian kendala tersebut berhasil dihadapi oleh YLSKAR, hasil kasus yang ditangani semuanya berhasil, tingkat keberhasilannya realtif tergantung tingkat KDRT yang terjadi. Standar keberhasilan yaitu untuk kasus KDRT yang ringan ada upaya mediasi untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan untuk kasus KDRT ekstrim ditegaskan untuk bercerai. Lama penanganan kasus bervariasi dari 3 bulan sampai 3 tahun. Untuk kasus KDRT yang berat (berbahaya dan mengakibatkan luka berat baik fisk dan psikologis) tindakan tegas berupa perceraian menjadi solsusi terkahir, ini bukan semata-mata tanpa pertimbangan! Sebelum kasus ditangani, YLSKAR sudah menetapkan standarisasi dan kiteria pemberian perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penanganan kasus KDRT banyak unsur yang dilibatkan, diantaranya; 1. Korban; 2. Keluarga korban;
3. dan melibatkan orang-orang yang dipercaya korban; khusus dalam hal ini adalah pemerintah melalui lembaganya (kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan). Langkah-langkah yang dilakukan setelah menerima dan memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT, yaitu; 1. Segera meyusun langkah-langkah preventif agar korban nyaman; 2. Membatasi publikasi media jika hal ini dikendaki korban; 3. Recovery diri sendiri korban untuk fokus pada penyelesaian kasusnya; 4. Di bidang hukum YLSKAR menegaskan hak, resiko dan penyelesian kasus kepada korban; 5. Setelah sidang selesai dan diputuskan oleh pengadilan korban KDRT bisa diberi peran menjadi survivor membantu korban KDRT yang lain. Dari hasil proses penanganan kasus KDRT yang dilakukan pada dasarnya ada 2 faktor utama yang menjadi masalah utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istrinya. Kedua faktor tesebut yaitu; 1. Latar belakang sosiologis pelaku dan korban. Secara sosiologis sebabnya terletaak pada faktor komunikasi yang kurang baik, kegagalan komunikasi antara kedua belah pihak. Ini dipersulit juga oleh faktor SDM kedua belah pihak. Gagalnya komunikasi diawali dari SDM yang tidak seimbang. 2. Latar belakang ekonomi korban dan pelaku adalah golongan ekonomi menengah kebawah. Karena kegaagalan komunikasi yang berimplikasi pada kegagalan membangun ekonomi rumah tangga yang memadai.
Kegagalan ekonomi dikarenakan SDM yang tidak memadai. Faktor kesulitan ekonomi menjadi alasan pokok yang kemudian mengkambing hitamkan faktor lain untuk melakukan tindakan KDRT. YLSKAR bukan bekerja tanpa batu sandungan. Berbagai tantangan yang menjadi aral melintang merupakan resiko yang telah menjadi konsekuensi yang harus dihadapi. Tantangan tersebut yaitu; 1. Tantangan muncul dari pihak keluarga korban karena berasumsi bahwa KDRT adalah masalah rumah tangga dan takut menjadi pemberitaan di media; 2. Adanya teror dari pihak pelaku KDRT yang juga di tujukan kepada para pekerja sosial di YLSKAR; 3. Tantangan internal ada pada pihak pemerintah yang memandang kasus KDRT sangat subjektif; 4. Masyarakat yang mengangap KDRT sebagai permasalahan internal dalam rumah tangga. YLSKAR selalu memantau perkembangan kasus KDRT yang ditangani sampai tuntas. Prosedur penanganan untuk memberikan perlindugan hukum korban kekerasan dalam rumah tangga oleh YLSKAR mengacu pada ketentuan hukum yang ada. Prosedur penanganan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Perempuan dan masyarakat
Lembaga Sosial YLSKAR psikolog
pemerintah Kepolisian medis
Korban KDRT
rohaniawan
pengadilan
Masyarakat dan perempuan
Gambar III. Prosedur Penanganan Korban KDRT Prosedur penanganan korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh YLSKAR berdasarkan permintaan korban dan laporan dari masyarakat yang melaporkan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga di sekitarnya dan/ atau berdasarkan laporan dari perempuan korban kekerasan maupun dari pihak keluarga korban. Laporan tersebut kemudian di terima dan menyusun langkah selajutnya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban KDRT. Langkah pertama adalah menidentifikasikan kasus kekerasan yang dialami korban, apakah diperlukan jalur mediasi antara korban dengan suaminya dengan melibatkan pihak keluarga. Langkah ini di ambil jika kasus kekerasan tersebut termasuk dalam kategori ringan. Membawa kasus ke ranah hukum dilakukan ketika kasus kekerasan tersebut berat dan telah menimbulkan luka fisik dan psikologis. Setelah berdiskusi dengan korban dan keluarga korban tentang resiko hukum kasus kekerasan yang terjadi. Maka pihak YLSKAR dan korban melanjutkan langkah hukum dengan melakukan pengaduan ke Kepolisian.
Proses ini dilakukan dengan pendampingan oleh YLSKAR. Setelah pihak Kepolisian menerima dan memproses pengaduan korban, YLSKAR berkoordinasi dengan pemerintah daerah, tim medis, psikolog, dan pembimbing rohani untuk bersama-sama memberikan perhatian dan pertimbangan atas kasus yang dialami korban. Pemerintah daerah diharapkan untuk menyediakan tempat aman (rumah tinggal aman) bagi korban untuk sementara waktu sampai kondisi benar-benar aman. Tim medis memberikan visum untuk mempermudah Kepolisian memproses hukum ke Pengadilan. Psikolog dan pembimbing rohani memberikan terapi dan perbaikan mental kepada korban (observasi tanggal 10-20 Juni 2011). Selanjutnya ketika kasus tersebut disidangkan di Pengadilan YLSKAR intensif terus mengawal dan meberikan perlindungan hukum yang optimal kepada korban sampai dengan ada keputusan dari pengadilan. Setelah itu korban di kembalikan ke keluarga dan masyarakat. Walaupun sudah selesai, komunikasi YLSKAR dengan korban masih berlangsung sampai saat ini. Pada perjalanan waktu mantan korban tersebut sewaktu-waktu diminta untuk menjadi survivor untuk membantu YLSKAR dalam menaangani korban kekerasan yang lainnya. Dengan menjadi survivor, maka proses penanganan dan perlindungan hukum korban kekerasan dalam rumah tangga yang lainnya. Berikut adalah hasil wawancara bagaimana proses penanganan dan perlindungan hukum korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan YLSKAR dengan Ahamad Badawi, S.Ag. selaku direktur YLSKAR (tanggal 2 Juli 2011).
Proses pelayanan dan pemberian perlindungan hukum terhadap korban KDRT dilakukan YLSKAR dengan melibatkan korban, keluarga korban dan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan analisis
keluarga korban dan
masyarakat sangat penting untuk mendorong korban menyelasikan proses hukum dan meningkatkan rasa percaya diri korban. Mekanisme dilakukan dengan membagi peran antara korban, keluarga, masyarakat dan stakeholder lainnya dalam mendukung korban. pembagian peran dalam menangani korban KDRT antara keluarga korban, masyarakat, dan stakeholder lainnya dapat mempermudah proses hukum serta mempercepat korban dapat sembuh dari trauma healing. Dalam pelaksanaannya YLSKAR dan menyediakan dan melibatkan professional; lawyer, psikolog, polisi, jaksa dan pemerintah. Lawyer dan psikolog merupakan fasilitas dari YLSKAR untuk korban KDRT. Polisi dan jaksa berperan dalam proses hukum pada tingkat penyelidikan sampai putusan akhir di Pengadilan. Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah berkerja sama dengan YLSKAR untuk menyediakan shelter atau rumah aman bagi korban. Shelter menjadi tempat perlindungan bagi korban jika pelaku atau sang suami dendam dan mencari celah untuk mengintimidasi korban. Dalam shelter korban mendapatkan pelayanan psikologi dari psikolog, agar tidak jenuh korban diajak untuk melakukan aktifitas yang dapat membantu menyembuhkan truma healing, seperti: membaca buku, dan mendapatkan pelatihan kewirausahaan (memasak, menjahit, dan membuat karya yang bermanfaat).
Shelter atau rumah aman disediakan oleh YLSKAR atau dapat juga disediakan oleh masyarakat dan atau survivor. Shelter menjadi rumah aman korban KDRT untuk mengamankannya dari intimidasi suaminya dan selama proses hukum berlangsung sampai dengan keadaan aman bagim korban dan atau sampai ada ketetapan hukum dari pengadilan. Saat proses hukum berlangsung YLSKAR menyusun strategi advokasi bersama korban, keluarga korban dan masyarakat. YLSKAR menjelaskan stretegi dalam proses hukum terutama di pengadilan. Khususnya berkaitan dengan saksi dan bukti yang menguatkan korban dengan melibatkan keluarga korban dan masyarakat mengetahui kejadian yang dialami korban. Langkah-langkah yang dilakukan YLSKAR dalam memberikan pelayanan hukum pada korban KDRT adalah pertama, menjelaskan tentang pemahaman KDRT menjadi meningkat, khususnya dalam memahami alur hukum penanganan KDRT. Agar bisa membantu korban KDRT yang lain. Dalam hal ini korban KDRT yang pernah ditangani oleh YLSKAR kemudian dapat membantu korban KDRT yang lain disebut survivor. Kedua, memberikan pemahaman bahwa proses mendidikan dan melindungi korban harus dengan melibatkan keluarga korban dan masyarakat, mejadi proses pendidikan yang efektif tentang hukum dan cara cara advokasi KDRT. Ini juga dapat dilakukan bersama survivor. Strategi YLSKAR dalam memberikan pelayanan agar korban merasa aman yaitu dengan melibatkan semua proses pelayanan dan perlindungan hukum dengan melibatkan korban, keluarga korban dan masyarakat membuat
korban merasa tidak sendiri dan merasa terlindungi. Suasana aman dan nyaman merupakan keadaan yang harus diberikan oleh keluarga korban dan masyarakat agar korban tidak merasa dikucilkan. Langkah ini dilakukan karena keluarga korban dan masyarakat merupakan orang yang paling dekat dengan korban dan dapat dipercaya korban. Sehingga mempercepat proses penanganan trauma/ psikologi korban KDRT. Proses trauma healing dilakuan bekerja sama antara psikolog dan keluarga korban dan masyarakat. hasilnya lebih efektif bagi psikologi korban. Hasil yang ditargetkan YLSKAR dalam penanganan korban KDRT yaitu; hasil vonis hukum bagi rasa keadilan korban lebih maksimal, memberikan efek jera bagi pelaku (yang pasti adalah orang dekat) untuk tidak mengulangi lagi KDRT, dan mengkampanyekan segala bentuk kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga harus dihapuskan. Semua pihak : pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan organisasi sosial lainnya untuk aktif mendukung anti kekerasan terhadap perempuan. E. Profil Korban KDRT yang Ditangani YLSKAR Selama tahun 2002 sampai tahun 2004 YLSKAR 22 menangani kasus KDRT. Demi kepentingan privasi korban KDRT maka YLSKAR hanya bersedia untuk menceritakan 3 proses penanganan KDRT. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pada saat memberikan pelayanan dan perlindungan hukum YLSKAR menjamin kerahasian kasus KDRT dari publik dan media (wawancara tanggal 2 Juli 2011). Nama dan tempat terjadi KDRT diceritakan YLSKAR dalam bentuk identitas samaran atau inisial.
1. Kasus KDRT SVT (39 Tahun) SVT seorang ibu rumah tangga bertempat tinggal di Gendongan, Kota Salatiga. Suami SVT adalah (GD 40 tahun) berprofesi sebagai pemain sepak bola. Kehidupan rumah tangganya selama 15 tahun cukup menyiksa SVT karena perilaku sang suami GD yang kurang bertanggung jawab. Masalah bertambah rumit ketika usia perkawinan mereka berusia 7 tahun. GD jarang pulang ke rumah, dan tidak memberikan nafkah lahir dan batin. Ketika ditelusuri ternyata GD selingkuh dengan wanita lain. Cukup lama bertahan akhirnya SVT meminta pertanggung jawaban GD untuk bercerai dan bertanggung jawab atas biaya hidup anak hasil perkwainan mereka. Saat menyampaikan keinginan tersebut ternyata GD marah. GD memaki-maki SVT dengan kata-kata kasar. SVT membela diri, namun GD bertambah emosi dengan memukul, menampar, dan menendang SVT hingga mengalami luka yang cukup serius. GD juga melempar SVT dengan perkakas dapur yang mengakibatkan luka di kepalanya. Bahkan GD sering mengancam SVT jika melawan dan menceritakannya pada orang lain. Tindak kekerasan yang ini dilakukan GD selama 7 tahun terakhir kepada SVT. Selama itu pula tindak kekerasan seperti memukul, menampar, dan menendang, dan memarahi SVT dengan kata-kata kasar dilakukan oleh GD. SVT sudah melakukan berbagai cara untuk menyadarkan GD, mulai dari pendekatan secara baik-baik sampai dengan intropeksi diri sendiri. Namun upaya tersebut tidak berhasil. Dan perlakuan yang sama dialami oleh SVT dari sang suami GD.
Tidak tahan dengan perlakuan suaminya GD. Akhirnya SVT meminta perlindungan hukum kepada YLSKAR. Informasi tersebut didapatkan SVT dari Koran adanya LSM YLSKAR yang peduli untuk membantu kaum perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. SVT mendatangi kantor YLSKAR untuk menceritakan masalahnya. Setelah diterima dan mendapatkan penjelasan dan resiko hukum yang akan dihadapi, SVT bersedia untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum dengan didampingi lawyer dari YLSKAR untuk melanjutkan proses hukum, dan mendapatkan pendampingan dari psikolog dari YLSKAR. Sebelum kasus ini dilaporkan ke Kepolisian, GD telah melakukan upaya non-ligitasi (mediasi) untuk berdamai dan mengajak SVT untuk rujuk. Namun setelah SVT dan keluarga berdiskusi dengan YLSKAR akhirnya menyetujui untuk dilakukan mediasi dengan mendamaikan SVT dan GD, namun upaya hukum tetap dilanjutkan. YLSKAR melalui lawyernya bersama SVT melaporkan kasusnya ke Polres Salatiga. Dalam waktu 24 jam pelaku GD di tangkap polisi. Pelaku menandatangi surat pernyataan untuk tidak mengulangi tindak kekerasan kepada SVT. Dalam waktu 3 bulan kasus tersebut di sidangkan di Pengadilan dengan keputusan cerai. Setelah cerai akhirnya SVT dan GD rujuk kembali. 2. Kasus SRI (43 Tahun) SRI (43 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga yang kesehariannya membuka warung kecil di depan rumah. Bertempat tinggal
di Tegalrejo, Kota Salatiga. Awalnya kehidupannya normal bersama suaminya BG (45 tahun) yang berkerja sebagai sopir. Namun sejak empat tahun terakhir sang suami BG banyak berubah. Ia sering pergi ke luar rumah sampai berhari-hari tanpa alasan yang jelas dan jarang memberikan nafkah untuk keperluan keluarga seperti biasanya. Jika ditanya BG selalu menjawab dengan nada kasar. BG bahkan sering menghina SRI bila di sapas. Kejadian ini berlangsung hingga selama 4 tahun. Setelah ditelusuri ternyata BG telah mempunyai istri yang dinikahi secara siri di suatu desa di Kabupaten Semarang. BG bahkan telah mempunyai 2 (dua) anak. Ketika ditanyakan perihal kebenaran bahwa BG telah menikah secara siri dan telah mempunyai 2 (dua) anak dari hasil perkawinan tersebut SRI justru mendapatkan jawaban yang menyakitkan. Merasa tidak puas maka SRI terus mendesak, maka kemudian terjadilah pertengkaran yang mengakibatkan BG emosi kemudian memukul dan menampar SRI, bahkan BG melempar SRI dengan buku dan mengancam dengan senjata tajam. Sehingga SRI terpaksa dirawat dirumah sakit karena mendapatkan luka penganiyaan dari BG. Tindak kekerasan yang dilakukan BG memukul, menampar, dan mengancam SRI dengan senjata tajam jika menceritakan perbuatannya pada keluarga dan orang lain terjadi selama 2 tahun terakhir. Tindakan BG dengan memiliki istri lagi sebenarnya dapat di maklumi, namun tindak kekerasan dan arogansi BG membuat SRI dan keluarga besarnya tidak bisa mentolelir. Akhirnya ia melaporkan kasus pengainyaan tersebut ke ketua
RT setempat. Ketua RT akhirnya mengantar SRI ke YLSKAR. Setelah diterima dan mendapatkan penjelasan dan resiko hukum yang akan dihadapi dari YLSKAR, ketua RT beserta anak SRI bersedia untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum dengan didampingi lawyer dari YLSKAR untuk melanjutkan proses hukum dan mendapatkan pendampingan dari psikolog dari YLSKAR. Langkah pertama yang dilakukan SRI adalah melaporkan kasusnya ke Polres Salatiga. Ia kemudian menjalani visum di rumah sakit. Setelah pelaporan ke kepolisian BG dalam 24 jam ditangkap dan menandatangi surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Ketika proses hukum di pengadilan BG menghindar dengan pergi ke luar kota, dan tidak diketahui tempat kediamannya. Hal ini dilakukan BG karena merasa takut telah melanggar surat pernyataan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Setelah itu diproses di Pengadilan selama 7 bulan, akhirnya
diputuskan
vonis cerai. 3. Kasus MT (34 Tahun) MT (34 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga bertempat tinggal di Klaseman, Kota Salatiga. Suami MT adalah (ARS 39 tahun) berprofesi sebagai anggota dewan.
Perilaku buruk sang suami sebenarnya sudah
diketahui MT sejak usia 1 tahun perkawinan mereka. Pada saat itu sang suami ARS sang suami sering tidak pulang ke rumah dengan berbagai alasan. MT mencoba sabar dan berharap ARS suatu saat akan taubat dan sadar. Tapi setelah hampir 5 tahun usia pernikahan ternyata perilaku ARS
justru semakin parah. Ia sering menghina MT dengan kata-kata kotor bahkan kadang diikuti dengan tindakan menampar wajah MT. Selain itu ARS tidak memperhatikan keadaan anak dan istrinya, ia bahkan tidak memberi nafkah rutin untuk kelurga. Setelah bertanya pada beberapa rekan ARS, MT mendapat informasi bahwa ARS selingkuh dan berencana akan menikah lagi dengan wanita lain. MT akhirnya meminta penjelasan dan pertanggung jawaban ARS perihal kabar tersebut. Bukan penjelasan yang didapat MT melainkan ARS menjadi marah. ARS marah, ia memukul, menampar, menendang, dan membenturkan kepala MT ke dinding. Tindak kekerasan yang dilakukan ARS dengan memukul, menampar, menendang, dan membenturkan kepala MT ke dinding dilakukan jika keadaan rumah sepi. Hal ini dilakukan ARS agar tidak diketahui oleh tetangganya karena jabatannya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat. Berbagai upaya telah dilakukan oleh MT untuk menyadarkan ARS, bahkan sampai intropeksi diri dengan berkonsultasi dengan tokoh agama. Namun upaya tersebut sia-sia. Beruntung saat itu tetangga MT menolong dan menyelamatkannya. MT disarankan teman untuk meminta bantuan hukum ke YLSKAR. Setelah diterima dan mendapatkan penjelasan dan resiko hukum yang akan dihadapi dari YLSKAR, MT mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum dengan didampingi lawyer dari YLSKAR untuk melanjutkan proses hukum, dan mendapatkan pendampingan dari psikolog dari YLSKAR. Mengetahui hal tersebut ARS tidak terima, karena
jabatannya sebagai anggota dewan akan tercoreng. Pihak Kepolisian sedikit kesulitan untuk menangkap ARS. Namun akhirnya dalam waktu 7 x 24 jam ARS di tangkap dan menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya. Proses hukum di pengadilan MT dan YLSKAR sering mendapatkan teror dari MT. MT aktif melakukan loby-loby secara pribadi maupun menggunakan jasa dan ancaman pihak ketiga atau preman. Hal ini terutama ditujukan kepada YLSKAR. Dengan proses panjang yang melelahkan selama 1 tahun, akhirnya Pengadilan menvonis cerai. Dari ketiga kasus di atas dapat disimpulkan bahwa; pertama, KDRT dapat terjadi kapan saja dan di mana pun. KDRT juga dapat terjadi pada dengan pelaku dan korban dari berbagai lapisan masyarakat. Kedua, korban KDRT selalu menerima perlakuan kasar dari pelaku baik berupa perbuatan dan perkataan. Ketiga, pelaku KDRT adalah suami yang selalu tidak ingin disalahkan atas kesalahan yang telah dilakukannya. Keempat, kekerasan dalam rumah tangga berlangsung lama atau terjadi lebih dari 4 tahun masa pernikahan. Istri akan melaporkan kasus KDRT jika keadaannya sudah parah dan sudah jenuh dengan perilaku suaminya.
BAB IV PERAN LEMBAGA SOSIAL DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KDRT
A. Dasar Perlindungan Hukum KDRT dan Peran LSM dalam PKDRT Dasar-dasar yang menjadi acuan gerak lembaga sosial untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran HAM dalam KDRT. Pada awalnya sebelum ada undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga lembaga sosial melaksanakan perannya berdasarkan ketentuan hukum, sebagai berikut; 1. Ketentuan Hukum Internasional Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Korban KDRT Perlindungan perempuan atau istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam ketentuan hukum internasional. Ketentuan tersebut kemudian diratifikasi ke dalam hukum nasional Negara Indonesia. Ratifikasi tersebut menjadi acuan dalam upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri. Ketentuan tersebut yaitu: a) UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW= Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women);
67
b) UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and other cruel, Inhuman or Degarding treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia). 2. Ketentuan Hukum Hasil Ratifikasi Deklarasi Hukum Internasional. Perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia merupakan bagian dari ketentuan hukum internasional yang mendorong upaya penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kententuan tersebut yaitu: a) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM; b) UU No.26 tahun 2000 tentang Peradilan HAM; c) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan dasar-dasar umum perlindungan KDRT berdasarkan ketentuan hukum internasional dan nasional di atas merupakan landasan hukum YLSKAR dalam melakanakan perannya memberikan pelayanan dan perlindungan hukum korban KDRT di Indonesia. Dengan demikian pelayanan dan perlindungan hukum terhadap korban KDRT yang oleh YLSKAR sesuai dengan visi perundang-undangan internasional dan nasional, yaitu melindungi perempuan dan menjujung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yang bertujuan agar kekerasan dalam rumah tangga dapat dihapuskan.
B. Perlindungan Hukum Korban KDRT di YLSKAR 1. Prinsip-prinsip kerja pelayanan dan perlindungan YLSKAR Perlindungan hukum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga merupakan upaya menjunjung tinggi HAM. Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan YLSKAR berdasarkan prinsip-prinsip: a) penghormatan hak asasi manusia; b) keadilan dan kesetaraan gender; c) nondiskriminasi; dan d) berdasarkan kebutuhan dan kepentingan korban korban. e) melibatkan komunitas yang relevan. f) membagi jaringan dan supporting. 2. Perlindungan korban KDRT YLSKAR selalu menjelaskan kepada korban apa yang menjadi hak korban kekerasan dalam rumah tangga. Setelah menerima laporan korban KDRT, YLSKAR menjelaskan kepada keluarga korban bahwa korban KDRT wajib mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga. Perlindungan dari pihak keluarga lebih efektif dan efesien karena perlindungan yang didapatkan korban merupakan jaminan dari keluarga korban. Bersamaan dengan mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, korban KDRT melaporkan kasus yang menimpanya ke Kepolisian. Kepolisian melakukan proses hukum terhadap pelaku KDRT dan melimpahkan BAP ke Kejaksaan agar dapat dilanjutkan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan hukum yang adil.
Pada saat korban melaporkan kasusnya ke Kepolisian dan telah mendapatkan pelayanan hukum dari YLSKAR dengan berhak didampingi Lawyer/Pengacara dari YLSKAR.
Saat itu juga korban mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis yaitu; konsultasi dengan psikolog, cek kesehatan, dan visum sebagai bukti forensik. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasian korban, keluarga korban harus menjadi penyembuh utama bagi korban. Pendampingan oleh YLSKAR melalui lawyer/ pengacara pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Langkah-langkah hukum yang dilakukan YLSKAR dalam pendampingan, pelayanan, dan perlindungan hukum korban KDRT yaitu: a) Melaporkan
kasus
KDRT
yang
ditanganinya
melalui
lawyer/pengacaranya ke Kepolisian. b) Pemeriksaan, melalui lawyer/ pengacara mendampingi korban dalam proses pemeriksaan di Kepolisian. c) Persidangan, dalam proses persidangan proaktif mendampingi korban dengan bekerja semaksimal mungkin mendatangan saksi dan bukti-bukti yang memperkuat korban. d) Pendidikan, memberikan pendidikan kepada masyarakat khsususnya perempuan/ istri akan pentingnya mewaspadai terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
e) Promosi, melalui survivor/ korban yang berhasil ditangani, diajak untuk proaktif mengkampayekan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Supaya tidak terjadi kejadian serupa. Sedangkan pemulihan psikologi korban KDRT melalui bimbingan rohani diserahkan kepada keluarga korban dan masyarakat sekitar. Karena pelayanan bimbingan rohani secara langsung berhubungan dengan pemimpin agama dalam masyarakat tempat tinggal korban dengan keluarganya (obsevasi 21-29 Juni 2011). 3. Pembagian Peran dengan Pemerintah dan masyarakat YLSKAR mengintegrasikan program penanganan KDRT dengan stakeholder baik pemerintah dan keluarga. Hal ini dipandang sangat urgen karena penanganan KDRT lebih mudah berhasil dengan dukungan pemerintah (Obsevasi 21-29 Juni 2011). Untuk itu YLSKAR aktif dalam kegiatan: a. Terlibat
dalam
merumuskan
kebijakan
tentang
menjalankan
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bersama pemerintah ditingkat lokal dan nasional; b. Menyelenggarakan
komunikasi,
informasi,
dan
edukasi
tentang
kekerasan dalam rumah tangga pada berbagai level/ lapisan masyarakat khususnya pada komunitas korban; c. Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga dengan melibatkan berbagai pihak;
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender pada organisasi di desa-desa; Selain kewajiban sosialisasi, YLSKAR wajib mengupayakan fasilitas pelayanan korban yang berkerja sama dengan masyarakat dan lembaga sosial lainnya. Sesuai pasal 23 UU PKDRT No. 23 tahun 2004 YLSKAR menguatkan dan memastikan pemerintah dan pemerintah daerah menjalankan
penyelenggaraan
pelayanan
terhadap
korban,
dengan
melakukan upaya: a. Memastikan dan monitoring penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian; b. Mengupayakan tersedianya lawyer/ pengacara bagi korban dengan bekerjasama dengan pemerintah dan organisasi-organisasi lainnya; c. Mengupayakan tersedianya psikolog bagi korban, agara korban dapat melupakan trauma; d. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; e. Mengupayakan terwujudnya KLA (Kota Layak Aman) bagi perempuan korban KDRT, agar terwujudnya wilayah yang aman persektif gender; f. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban melului program pendidikan tentang gender.
Dalam pelaksanaan amanat UU PKDRT diperlukan lokomotif hukum yang menjadi landasan yuridis sebagai bentuk pelaksanaan hukum untuk menuntaskan permasalahan KDRT. Landasan yuridis lembaga sosial untuk KDRT, yaitu; a) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; b) Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT; c) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; d) Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2006 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Perlindungan hukum terhadap korban KDRT yang diamanatkan oleh UU PKDRT merupakan upaya pencegahan kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dapat di ilustrasikan sebagai berikut: Pemerintah/pemerintah daerah
Pekerja sosial
Kelompok masyarakat
Relawan pendamping
Kelompok masyarakat
Lembaga sosial
Tenaga kesehatan
Kelompok masyarakat
Kejaksaan /pengadilan
Kelompok masyarakat
kepolisian
Kelompok masyarakat
Masyarakat (secara umum) dan perempuan (secara khusus)
Gambar IV. Skema Peran Stakeholder Terhadap Penanganan Kasus KDRT
Produk undang-undang tentang pencegahan tindak kekerasan dalam rumah tangga baik berupa payung hukum seperti UU PKDRT No. 23 tahun 2004 merupakan produk hukum yang wajib disosialisasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagai upaya pelaksanaan Hak asasi manusia. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah secara beragam bentuknya mulai dari seminar dan forum ilmiah lainnya. Sasaran sosialisasi tersebut adalah masyarakat umum. Transformasi payung hukum dilakukan melalui pekerja sosial, relawan pendamping, lembaga sosial, tenaga kesehatan, kejaksaan/pengadilan, dan kepolisian. Transformasi payung hukum UU PKDRT No. 23 tahun 2004 melalui lembaga-lembaga tersebut sangat membumi. Lembaga-lembaga tersebut bersentuhan langsung dengan kelompok-kelompok masyarakat yang ada. Sehingga sosialisasi UU PKDRT No. 23 tahun 2004 dapat lebih cepat diterima dan dipahami oleh masyarakat. Upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sangat membutuhkan sinergisitas dan kerjasama yang intensif antara pemerintah dengan pekerja sosial, relawan pendamping, lembaga sosial, tenaga kesehatan, kejaksaan/ pengadilan, dan kepolisian. Jika hal ini berjalan secara baik maka kekerasan dalam rumah tangga dapat dicegah secara dini. Prinsip netralitas dan objektifitas hukum benar adanya sebagai the law as ought to be. Namun untuk dapat dibutuhkan kondisi sine qua non’’, seperti struktur masyarakat tidak berlapis secara jelas, di mana setiap orang memiliki akses kepada sumber kesejahteraan dan keadilan yang realtif
setara, dan birokrasi peradilannya realtif bersih dari korupsi (Irianto, 2006: 29). Prinsip “equality before the law” dapat ditegakkan dan memberi keadilan secara pasti dan adil kepada hampir setiap warga Negara terutama permpuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Akan tetapi implementasi dari prinsip “equality before the law” atau persamaan di muka hukum tidak mudah untuk diterima oleh masyarakat. Apalagi pada masyarakat di dalamnya tersimpan persoalan laten, seperti ketidakadilan, persoalan agama, ras, golongan, dan jenis kelamin yang berbeda yang tidak ada jaminan yang tegas untuk mendapatkan akses perlakuan hukum yang sama untuk keadilan. Semoga hal ini tidak berlangsung lama dan menjadi akut. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan upaya berbagai pihak untuk menegaskan prinsip “equality before the law” atau persamaan di muka hukum. Walaupun upaya tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan, hal ini di karenakan kondisi yang menunjukan bahwa hukum sesungguhnya tidak netral dan objektif, karena menetapkan dan menerapkan standar ganda bagi mereka yang memiliki kekuasaan (laki-laki) dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan (perempuan). Kenyataan ini menjungkirbalikan sebuah prinsip yang diagung-agungkan tentang “netralitas”, “objektivitas”, dan “kepastian hukum” (Irianto, 2006: 34). C. Pandangan Syariah pada urgensi LSM semacam YLSKAR Segala bentuk kekerasan dan diskriminasi yang pada manusia khususnya perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Untuk itu
menjadi kewajiban bersama bagi pemerintah, masyarakat, dan element masyarakat yang peduli terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi tersebut untuk dihapuskan. Karena upaya penghapusan tersebut tidak terrealisasi tanpa ada kemauan untuk menghentikannya. Itikad untuk merealisasikan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus berasal dari kaum perempuan dengan penuh keyakinan bahwa ”tidak ada yang bisa merubah keadaan kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tanpa kecuali perempuan itu sendiri”. Kewajiban untuk menghapuskan bentuk kekerasan dan diskriminasi tersebut menjadi tanggung jawab bersama untuk menuntaskannya, seperti telah di tegaskan oleh Allah dalam Q.S. Ar Ra’d ayat 11. Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. ( Q.S. Ar Ra’d [13]:11)( Al-Qur’an digital). Kewajiban untuk membantu merubah keadaan suatu kaum yang teraniaya khususnya kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga harus terus didukung oleh semua pihak. Upaya kaum perempuan untuk
mendapatkan keadilan merupakan kewajiban setiap umat manusia khususnya umat muslim. Dalam upaya kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk merubah nasibnya. Menuntut hak pada suami dan mendapatkan keadilan dalam proses hukum membutuhkan pihak ketiga untuk mendorong upaya tersebut. Pihak ketiga dalam hal ini adalah lembaga sosial atau LSM. Syariat Islam memandang keberadaan lembaga sosial atau LSM merupakan bagian dari dakwah. Kedudukan hukum dakwah yang dilakukan lembaga sosial atau LSM khususnya yang bergerak di bidang sosial dalam pelayanan dan perlindungan hukum terhadap Korban KDRT seperti YLSKAR adalah fardu kifayah, yaitu menjadi kewajiban sosial muslim. Allah memerintahkan agar setiap muslim berusaha mengubah kemunkaran yang diketahuinya. Oleh karena itu, kepada kaum muslim diperintahkan agar ada sekelompok muslim yang menekuni ajaran islam secara khusus untuk disampaikan dan diajarkan kepada orang lain. Seperti Firman Allah dalam Q.S. At Taubah 122 Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiaptiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. ( Q.S. AtTaubah [9]:122)( Al-Qur’an digital).
Dalam surat At-Taubah diperintahkan kepada sekelompok muslim untuk mendalami ajaran islam secara khusus agar dapat menjadi dirinya sendiri dan bermanfat bagi orang lain. Begitu pun dengan lembaga sosial yang menjadi tempat sekolompok orang untuk membantu orang lain khususnya perempuan korban KDRT. Peran LSM sama dengan peran ummat muslim lainnya, yaitu ummat yang terbaik adalah ummat yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Seperti yang ditegaskan dalam surat Ali Imron ayat 104 dan 110; Q.S.Ali Imron; 104
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. ( Q.S. Ali Imron [3]:104)( Al-Qur’an digital). Q.S. Ali Imron: 110
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik. ( Q.S. Ali Imron [3]:110)( AlQur’an digital). Urgensi keberadaan LSM semacam YLSKAR dalam upaya membantu masyarakat khsususnya perempuan korban KDRT merupakan impelementasi dari dari nilai-nilai sosial dalam agama islam untuk mengajak pemerintah, masyarakat menjadi peranan hidup yang baik sebagai khalifah, wakil Allah untuk mewujudkan kehendaknya di bumi, memakmurkan alam, dan saling membantu antar sesama manusia. Peran sebagai khalifah di bumi dalam konteks ini adalah sebagai mentor/pengerak dalam bidang sosial untuk membantu
masyarakat
khususnya
perempuan
korban
KDRT untuk
mendapatkan keadilan dari sistem hukum dalam suatu Negara. Sebagai lembaga sosial yang membantu upaya perdamaian dalam masyarakat. Peran LSM yang bergerak di bidang pemberian, pelayanan, dan perlindungan hukum terhadap korban KDRT seperti YLSKAR merupakan bagian dari kerja sosial yang tulus tanpa mengarap balas jasa. Hal ini dilakukan karena hakekatnya setiap umat manusia dalam kehidupannya harus menjadi kawan hidup yang baik dan saling membantu terutama dalam kesulitan. Firman Allah menganjurkan hal tersebut, yaitu: Q.S. Al-Hujurat : 10
Artinya; Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat [49]:10)( Al-Qur’an digital). Sebagai khalifah di bumi yang menjadi garda terdepan dalam upaya melaksanakan amal makruf dan mencegah yang munkar seperti yang dilakukan oleh lembaga sosial merupakan bentuk kerja nyata yang dapat menyatu dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Karena wilayah kekerasan dalam rumah tangga merupakan wilayah yang nyaris tidak tersentuh oleh pemerintah sebagai pemimpin atau ulil amri bagi masyarakatnya. Kinerja sosial yang dilakukan oleh LSM harus sesuai dengan kondisi masyarakat dan mematuhi segala peraturan dari pemerintah sebagai manifestasi ulil amri masyarakat. Sehingga dapat menjadi pedoman hidup yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat, pemerintah, dan organisasi lainnya. Seperti firman Allah; Q.S. An Nisa : 59
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An Nisaa’ [4]:59)(Al-Qur’an digital).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa setiap tindakan untuk menolong sesama umat manusia merupakan tugas mulia dan kewajiban yang melekat. Bentuk pertolongan tersebut dapat dengan berbagai cara. Dalam hal ini korban KDRT merupakan bagian yang penting dalam masyarakat untuk mendapatkan perhatian dan upaya untuk membantu secara nyata dan tulus. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh, keluarga korban, masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum, dan lembaga sosial/ organisasi yang berkompeten di bidang sosial.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan LSM YLSKAR pernah sukses melakukan pendampingan dan advokasi beberapa kasus KDRT pada tahun 2002 sampai 2004. LSM YLSKAR menangani kasus KDRT tersebut menggunakan prosedur sendiri karena belum adanya perangkat hukum yang mendukung saat itu. Namun KDRT pada LSM YLSKAR ternyata sejalan
penanganan
dengan semangat yang
terkandung dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Selain belum adanya payung hukum untuk penanganan kasus kekerasan dalam rumah seperti UU PKDRT dan UU LPSK faktor budaya patriaki yang masih kental dalam masyarakat menjadi kendala tersendiri. Sebelum tahun 2004 atau tepatnya sebelum di sahkan UU PKDRT penanganan kasus KDRT yang dilakukan YLSKAR lebih didasarkan pada Visi dan Misi penegakan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak Asasi Kaum Perempuan. Perangkat hukum yang menjadi senjata saat itu hanya KUHP, dalam KUHP kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri merupakan bentuk kejahatan kemanusian dapat dikategorikan sebagai bentuk penganiyaan.
82
Pelayanan dan perlindungan hukum terhadap korban KDRT yang dilakukan Lembaga Sosial YLSKAR telah sejalan dengan prosedur yang diamanatkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Upaya ligitasi
dilakukan dengan melibatkan
berbagai pihak seperti; kepolisian, psikolog, dan masyarakat sekitar korban KDRT. Strategi pemulihan mental dan penguatan rohani korban KDRT juga sejiwa dengan amanat UU PKDRT. YSLKAR melibatkan peran Rohaniawan dalam upaya pemulihan trauma atau trauma healing korban KDRT. Lembaga advokasi korban KDRT berfungsi membantu korban untuk memperoleh hak-hak kemanusiannya. Dalam konteks syariat Islam tindak KDRT dapat dipersonifikasikan sebagai tindakan kemunkaran. Lembaga advokasi dapat didudukkan sebagai perangkat amar makruf untuk mengikis kemunkaran. Sesuai dengan syariat Islam peran Lembaga advokasi merupakan fardu kifayah bagi sekelompok orang yang mampu untuk membantu mengkikis kemunkaran, khususnya kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri. Lembaga advokasi dalam persepektif syariat islam merupakan bagian dari jihad untuk menegakkan syariat islam yang menolak segala bentuk kekerasan dan tindakan diskriminasi terhadap perempuan. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang ada, maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut : Bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga pada umumnya dapat berbagi dengan anggota keluarga, teman, atau melapor ke LSM bahkan langsung ke pihak berwajib mengenai apa yang
sudah dialaminya. Korban dapat bercerita dengan pihak yang dianggapnya mampu untuk menjaga dan membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Bagi Masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan diharapkan dapat membantu. Masyarakat mengadakan kesepakatan antar warga untuk mengatasi masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di lingkungan sekitar, melalui penyuluhan warga. Masyarakat dapat membantu korban untuk melaporkan kepada ketua RT dan polisi. Bagi instansi terkait seperti, LSM, LBH, dan Kepolisian dapat cepat tanggap mengatasi masalah korban kekerasan. Hal tersebut diharapkan dapat membantu korbankorban kekerasan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Ciciek, Farha. 2005. Jangan Ada Lagi Kekerasan :Ikhtiar Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Belajar Dari Kehidupan Rasulullah SAW. Jakarta: Gramedia. Djannah, Fathul dkk. 2007. Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta: LkiS. Fatmawati, Yosepa Danik. 2007. Analisis Faktor-Faktor Yang Menjadi Sebab Perceraian Di Kabupaten Boyolali. Skripsi Prodi. AS, Jur. Syariah, STAIN Salatiga. Faqih, Mansyur. 2001. Analisis Gender Dan Tranformasi Sosial. Pustaka pelajar. Yogyakarta. Ghazaly, Rahman. 2006. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana Prenada Media. Intruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam. 2002. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1990. Tentang Pembinaan Lembaga Swadaya Masyarakat. Irianto, Sulistyowati. 2006. Perempuan dan hukum: Menuju hukum yang berspektif kesetaraan dan keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Komnas Perempuan. 2008. Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta: Komnas Perempuan. Mertokusumo, Sudikno. 1996. Penemuan Hukum. Yogyakarta : Liberty. Moleong, Lexy. J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2009.
Nakiyah, Siti. 2002. Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Perceraian. Skripsi Prodi. AS, Jur. Syariah, STAIN Salatiga. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005. Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006. Tentang Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 15. Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Raharja, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru. Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Saraswati, Rika. 2006. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bandung: Citra Aditya Bakti. Subhan, Zaitunah. 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan. Yogyakarta:Pustaka Pesantren. Sukandarrumidi. 2002. Metodologi Penelitian: Petunujuk Praktis Untuk Peneliti Pemula. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Sujarwa. 2001. Polemik Gender , Antara Realitas dan Refleksi (Sebuah Kajian Sosiologi Seni Fenomenologis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suryabrata, Sumadi. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grafindo.
Sihite, Romany. 2007. Perempuan, kesetaraan, Keadilan (Suatu Tinjauan Berwawan Gender). Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII-Press. UU No. 23, 2004. Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. UU R.I .Nomor. 5 Tahun 1998. Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other, Cruel, Inhuman Or Degrading Trea Tment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Ataupenghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia). Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1985. Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3331. UU HAM NO. 39 TAHUN 1999.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984. Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29. Undang-Undang Nomor Manusia.
26 Tahun 2000. Tentang
Pengadilan Hak Asasi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006. Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64. Winarta, Frans Hendra. 2000. Bantuan Hukum: suatu hak asasi manusia bukan belas kasihan. Jakarta : Gramedia. Weiner, Neil Alan dkk. 2003. Violence: Pattners, Causes, Public Policy. Dalam Perempuan, Kekerasan, dan Hukum. Aroma Elimina Martha. Yogyakarta: UII Press. W.J.S. Poerwadarminta, 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Yamani, Mai edt, (Terj. Purwanto). 2000. Feminisme dan Islam. Bandung: Nuansa Cendikia.
Pedoman Wawancara 1. Bagaimana
proses dan strategi YLSKAR dalam memberikan pelayanan
hukum terhadap korban KDRT? a. Melibatkan siapa saja? b. Cara membagi peran penanganannya seperti apa? c. Bagaimana strategi advokasi yang dilakukan? 2. Langkah apa yang dilakukan YLSKAR dalam memberikan pelayanan hukum pada korban KDRT? 3. Strategi YLSKAR dalam memberikan pelayanan agar korban merasa aman? 4. Bagaimana cara YLSKAR menangani trauma/psikologi korban KDRT? 5. Hasil apa yang ditargetkan YLSKAR dalam penanganan korban KDRT? 6. KDRT yang ditangani YLSKAR; a. Ada berapa kasus yang ditagani? b. Sejak tahun berapa? c. Hasil advokasinya? d. Contoh kasus? e. Kronologi YLSKAR menangani kasus tersebut? f. Melibatkan siapa saja? g. Kenapa kasus tersebut bisa ditangani YLSKAR? h. Kejadian KDRT seperti apa?dimana, berapa lama?
i. Latar belakang sosiologis pelaku dan korban? j. Latar belakang ekonomi pelaku dan korban? k. Apa yang dilakukan YLSKAR? Cara membela, proses advokasi? l. Kehidupan pelaku dan korban sekarang seperti apa?