PERAN PERBANKAN DALAM USAHA PERBAIKAN LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN ECONOMIC ANALYSIS OF LAW H. Djafar Al Bram
F H Universitas Borobudur, Jakarta
Abstract No one can deny that environmental issue has become a multidimensional problem. Therefore to perform management actions both at the prevention and enforcement levels must carry a multidimensional approach as well. An economic entity that is seen as a source of destruction for the environmental conditions, should receive different treatment in order to arouse owned rationality, which can deliver compliance to the prevailing regulations in the environmental field. The economic analysis of law by relying upon the principle that every person is a homo economicus and always tries to maximize profits in the middle of the scarcity. This is the entry point that can be used in viewing the existence of green banking instruments in Indonesia Key Words: banking, green banking, environment A. Latar Belakang Pembangunan kadang menimbulkan ‘konflik kepentingan’ antara kesejahteraan ekonomi dengan pelestarian lingkungan, baik lingkungan alam (nature) maupun sosial masyarakat (society). Hal itu diperkuat dengan fakta yang menunjukkan bahwa masih banyak negara yang melakukan pembangunan dengan mengorbankan faktor lingkungan demi mengejar keuntungan secara ekonomi saja (single bottom line development). Pembangunan yang hanya berorientasi pada maximizing growth bersifat eksploitatif dan berdimensi jangka pendek. Sementara itu pembangunan nasional harus berorientasi jangka panjang atau dikenal dengan pembangunan berkelanjutan agar selaras, serasi dan seimbang antara 3 (tiga) pilar utama pembangunan dikenal dengan 127
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
3P yaitu ekonomi (profit), lingkungan (planet) dan sosial (people). Bersandar pada konsep demikian pembangunan berkelanjutan harus mengedepankan ketiga faktor tersebut (triple bottom line development) dalam mengusung konsep pembangunan berkelanjutan secara holistik.
Salah satu sektor yang mendukung meningkatnya perkembangan ekonomi tidak lepas dari adanya peran penting bank atau lembaga keuangan, dimana kehadiran lembaga – lembaga tersebut sesuai fungsinya telah menyalurkan dananya kepada setiap sektor usaha. Namun disadari bahwa peran bank tersebut di Indonesia sampai saat ini masih terbatas cara pandangnya, yaitu masih melihat pada aspek ekonomi semata (kelayakan ekonomi), belum melihat pada aspek yang lebih luas misalnya lingkungan hidup. Padahal dalam pelaksanaan kegiatannya baik sebagai entitas usaha maupun lembaga penyaluran kredit dari dana yang disalurkan dan digunakan oleh sektor usaha kepada pihak lain sering menimbulkan dampak luas terhadap lingkungan, antara lain: pencemaran lingkungan, penebangan hutan dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU Perbankan) disebutkan bahwa dalam memberikan kredit atas pembiayaan 128
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisa yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam hal ini pemberian kredit, bank dituntut agar dapat memperoleh keyakinan tentang kemampuan nasabah sebelum menyalurkan kreditnya, maka faktor melakukan penilaian secara cermat dan seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur wajib menyakinkan bank. Undang-Undang Perbankan ini secara implisit menentukan bahwa pemberian kredit harus memiliki jaminan cukup menyandarkan diri pada keyakinan atau kemampuan dan kesanggupan dari debitur untuk melunasi hutangnya. Terdapat suatu ilustrasi mengenal keterkaitan dunia usaha dengan lingkungan hidup, yakni : “Suatu badan usaha mendapatkan fasilitas kredit di Bank pelaksana, untuk ini Bank telah melakukan evaluasi yang mendalam tentang karakternya, kemampuannya, modalnya, agunannya, dan kondisi serta prospek usaha dan/atau kegiatan badan usaha yang bersangkutan.”1 Dalam hubungan inilah salah satu perubahan dalam Undang Undang di sektor lingkungan terbaru yaitu Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah menginternalisasi penggunaan instrumen ekonomi dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian, peran Bank seharusnya dapat lebih ditingkatkan lagi dalam upaya berperan serta meningkatkan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam perkembangnnya, sejauh ini pelaksanaan konsep green banking di Indonesia masih relatif sulit diterapkan. Kondisi lingkungan hidup seharusnya meningkat lebih baik namun dengan adanya konsep tersebut, justru sebaliknya mengalami kecenderungan yang terus menerus merosot. Berbagai pencemaran air, udara dan tanah terus mengalami peningkatan, degradasi sumber daya alam seperti laut, hutan, keanekaragaman hayati juga 1
Hasanuddin Rahman, Kebijakan Kredit Perbankan Yang Berwawasan Lingkungan, Cet. 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 39
129
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
terus pula terjadi. Kesadaran masyarakat juga masih pada taraf yang masih rendah untuk menaati peraturan yang ada. Alasan ekonomi misalnya mahalnya biaya Instalasi Pengelolaan Limbah (IPAL) masih sering dijadikan sebagai dalih untuk tidak memenuhi peraturan. Tidak sedikit pula terjadi IPAL yang sudah ada tidak dioperasikan dengan baik karena alasan akan menambah beban biaya perusahaan, berarti mengurangi keuntungan yang diperoleh. Di sisi lain Bank juga berperan secara tidak langsung dalam pemeliharaan atau perusakan lingkungan. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional, Bank perlu terus ditingkatkan atau diperluas perannya, sehingga dapat memberikan manfaat optimal. Selama ini Bank belum melihat jauh kepada permasalahan – permasalahan dan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh dunia usaha sehingga dengan timbulnya berbagai masalah yang terjadi seperti pencemaran lingkungan tersebut Bank merasa tidak ikut bertanggung jawab. Sebagai institusi keuangan yang memberikan pinjaman dananya kepada debitur, pada dasarnya Bank tersebut menghendaki agar pinjaman tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang disepakati, walaupun apabila dalam kegiatan yang dilakukan debitur menghadapi masalah dengan lingkungan, maka debitur akan menghadapi resiko. Apabila hal ini terjadi, maka debitur akan mengalami kerugian yang pada akhirnya menghadapi kesulitan untuk mengembalikan pinjamannya. Seiring terjadinya kerugian yang dialami oleh debitur, maka Bank sebagai Lender tentu akan menerima dampaknya pula, karena kredit yang diberikan menghadapi kemungkinan tidak akan dapat dikembalikan (macet). Untuk menghindari kerugian, maka sebenarnya Bank dapat meminta persyaratan – persyaratan di bidang lingkungan misalnya dengan melihat apakah AMDAL nya sudah ada, bagaimana environmental assessment dilakukan, apakah debitur sudah memiliki standar lingkungan. Bank juga perlu melakukan monitoring terhadap implementasi kegiatan yang dilakukan oleh debitur untuk melihat apakah dana yang digunakan tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat lingkungan yang telah ditetapkan sebelumnya. 130
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
Regulasi mengenai Green Banking di Indonesia saat ini memiliki ambiguitas pijakan hukum antara berada pada domain voluntary atau mandatory, hal ini menjadi menarik untuk melakukan analisa dalam perspektif analisa ekonomi terhadap hukum yang salah satu premisnya mengedepankan konsep bahwa manusia adalah homo economicus dan selalu berusaha melakukan maksimalisasi keuntungan dengan rasionalitas yang ada.2 Minimnya pengaturan yang ada dan lemahnya kesadaran dari pihak perbankan serta pelaku ekonomi lainnya dalam perspektif pendekatan ekonomi terhadap hukum tidak cukup memberikan insentif berarti sehingga aplikasi rezim Green Banking di Indonesia relatif lemah dan jalan di tempat. Berdasar pada pendekatan tersebut, penelitian ini akan melakukan kajian valuasi terhadap pelaksanaan konsep Green Banking di Indonesia serta usaha – usaha yang dapat dilakukan dalam melakukan kombinasi kepentingan lingkungan hidup dan peningkatan laju ekonomi. B. Pendekatan Ekonomi terhadap Hukum : Instrumen Penggugah Rasionalitas Ekonomi adalah suatu studi tentang tingkah laku yang rasional dalam menghadapi kelangkaan (scarcity). Oleh karena itu, ekonomi dan hukum tidak dapat dipisahkan. Sistem hukum juga berhadapan dengan kelangkaan. Jika semua hal telah sempurna dan baik, maka mungkin tidak perlu lagi ada hukum, tidak perlu ada negara, hidup mungkin jenuh dan membosankan.3 Seperti ekonomi, sistem hukum juga adalah mengenai tingkah laku yang rasional. Hukum ingin mempengaruhi sesuatu melalui sanksi, seperti hukuman penjara dan ganti rugi. Aspek yang memaksa dari hukum mengasumsikan bahwa orang tahu mengenai konsekuensinya. Kewajiban hukum tak lain dari prediksi bahwa jika seseorang berbuat atau menghindarkan sesuatu ia akan mengalami penderitaan atau kesusahan, umpamanya, akibat putusan 2 Richard Posner, Economic Analysis of Law (Kluwer : Aspen Law and Business, 1998), hal. 1 3 Erman Rajagukguk, “Kontrak Bisnis Internasional dan Kaitannya dengan Analisis Ekonomi terhadap Kontrak, “Jurnal Magister Hukum UII, Vol. 1 No. 1 September 1999, hal. 6
131
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
pengadilan. Legislator dan hakim percaya bahwa orang akan menjawab ancaman tersebut dengan memodifikasi tingkah lakunya untuk meminimalkan ongkos dari ketaatan dan sanksi. Negara, dalam bagiannya mencoba meminimalkan ongkos dari pelaksanaan. Dunia sarjana ekonomi mulai dengan perdagangan bebas dan dunia sarjana hukum mulai dengan peraturan, dua disiplin ini melahirkan different prescriptions mengenai interaksi sosial. Dari ide dan pemahaman ini, kini muncul konsep analisis ekonomi terhadap hukum.4 Pendekatan ekonomi terhadap hukum timbul di Amerika Serikat pada awal tahun 1960 an dengan karya-karya oleh Ronald Coase, Guido Calabresi dan Richard Posner. Dalam pandangan lain, pendekatan ekonomi tumbuh dari gerakan realisme Amerika Serikat yang mana gerakan ini mencoba melihat hukum atau menjelaskan hukum dari pendekatan non – hukum seperti ekonomi.5 Selanjutnya, pendekatan ini dianggap sebagai sebuah teori. Menurut Victor Purba teori ini secara garis besar berhubungan dengan keabsahan suatu peraturan yang dipengaruhi oleh gerak dan tindakan-tindakan para pihak, termasuk kebijakan birokrasi terutama yang berhubungan dengan kepentingan yang menyangkut net social benefit.6 Robert Cooter dan Thomas Ulen dalam bukunya Law dan Economics menyatakan:7 “Economics provided a scientific theory to predict the effects of legal sanctions on behavior. To economist, sanctions look like prices, and presumably, people respond to these sanctions much as they respond to prices. People respond to higher prices by consuming less of the more expensive good, so presumably people respond to heavier legal sanctions by doing less of the sanctioned activity. Economics has mathematically precise theories (prices theory and game theory) and empirically sound methods (statistics and econometrics) of analyzing the effects of prices on behavior.” 4 Dikutip Erman Rajagukguk, Ibid dari Frank H. Easterbrook, “The Inevitability of Law and Economic,“ Legal Education Review, Vol. 1 No. 1, 1989, hal. 3-4 5 Hilaire McCoubrey dan Nigel D White, Textbook on Jurisprudence, Third Edition, Blackstone Press Limited, 1993, hal.275 6 Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Jakarta: Konvensi Vienna 1980), UI Press, , 2002, hal. 14 7 Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, Third Edition, (New York : Addison Wesley Longman Inc, 1999), hal. 3
132
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
Pendapat Robert Cooter dan Thomas Ulen ini memberikan pemahaman bahwa antara dampak harga, baik tinggi atau mahal terhadap perilaku memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Hal ini kemudian diadopsi juga kaitannya dengan penerapan sanksi, di mana sanksi yang berat atau ringan akan berdampak juga kepada perilaku dari orang yang akan menerima saksi tersebut. Sejalan dengan pendapatnya ini ia juga memberikan suatu pendapat atas hukum dengan menggunakan pendekatan ekonominya. Menurutnya dikatakan bahwa ilmu ekonomi menetapkan standar normatif untuk mengevaluasi hukum dan kebijakan. Hukum hendaknya tidak hanya dipandang sebagai suatu teknik berargumen, hukum adalah instrumen untuk mendorong tujuan kepentingan sosial. Agar dapat diketahui bahwa hukum mempunyai tujuan ini, hakim dan para pembentuk hukum lainnya harus mempunyai metode mengevaluasi hukum yang berdampak pada nilai kepentingan sosial. Ilmu ekonomi memprediksi dampak kebijakan pada efisiensi. Efisiensi selalu relevan untuk membuat kebijakan, karena itu selalu lebih baik mendorong setiap kebijakan yang mempunyai biaya rendah daripada biaya tinggi.8 Analisis ekonomi adalah menentukan pilihan dalam kondisi kelangkaan (scarcity). Dalam kelangkaan ekonomi mengasumsikan bahwa individu atau masyarakat akan atau berusaha untuk memaksimalkan apa yang mereka ingin capai dengan melakukan sesuatu sebaik mungkin dalam keterbatasan sumber. Dalam hubungannya dengan positive analysis dari hukum, analisis akan bertanya bila kebijaksanaan (hukum) tersebut dilaksanakan, prediksi apa yang dapat dibuat yang mempunyai akibat ekonomi. Orang akan memberikan reaksi terhadap inisiatif atau disinsentif dari kebijaksanaan (hukum) tersebut normative analysis yang secara konvensional diartikan sebagai welfare economics cenderung akan bertanya apakah kebijaksanaan (hukum) yang diusulkan atau perubahan hukum yang dilakukan akan berpengaruh terhadap cara orang untuk mencapai apa yang diinginkan? Dalam hubungan ini dua konsep efisiensi menjadi penting; Pareto efficiency (nama seorang ahli ekonomi Italia abad yang lalu) dan Kaldor-Hicks efficiency (nama dua ahli 8 Ibid.
133
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
ekonomi Inggris). Pareto efficiency akan bertanya apakah kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut membuat seseorang lebih baik dengan tidak mengakibatkan seseorang lainnya bertambah buruk? Sebaliknya KaldorHicks Efficiency akan mengajukan pertanyaan apakah kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut akan menghasilkan keuntungan yang cukup bagi mereka yang mengalami perubahan itu, sehingga secara hipotesis, dapat memberikan kompensasi kepada mereka yang dirugikan akibat kebijaksanaan atau perubahan hukum tersebut. Pendekatan yang terakhir ini adalah cost benefit analysis.9 Dalam prakteknya, analisis ekonomi terhadap hukum ini mendapat penentangan dari mereka yang menganut paham positivisme. Alasan penentangan ini didasarkan pada argumentasi bahwa hukum dianggap sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis yang berisikan normanorma, di antaranya norma keadilan. Pendekatan analisis ekonomi dalam hukum, terlalu menekankan kepada cost benefit ratio yang kadang – kadang tidak mendatangkan keadilan. Konsentrasi ahli ekonomi yang tertuju kepada efisiensi, tidak terlalu merasakan perlunya unsur keadilan (justice).10 Penentangan ini dengan mendalihkan pada tiadanya perhatian pada aspek keadilan dari para pemikir analisis ekonomi terhadap hukum rupanya dibantah oleh para pemikir analisis ekonomi terhadap hukum. Bantahan ini dilakukan dengan mengemukakan tiga alasan, yakni; Pertama, bahwa tidak benar ekonom tidak memikirkan keadilan. Dalam usaha menentukan klaim normatif mengenai pembagian pendapatan dan kesejahteraan, seseorang mesti memiliki filosofi politik melebihi pertimbangan ekonomi semata-mata; dan Kedua, ekonomi menyediakan kerangka di dalam mana pembahasan mengenai keadilan dapat dilakukan. Para ekonom telah memperlihatkan bahwa jika kondisi-kondisi untuk adanya pasar yang kompetitif memuaskan, hasil yang diperoleh adalah efisiensi pareto. Sama saja, setiap hasil dari efisiensi pareto dapat dikembangkan dari distribusi aset lebih dulu yang menimbulkan kondisi yang kompetitif.11 Dalam perkembangannya analisis 9 Dikutip Erman Rajagukguk, Op.,Cit., hal. 7 dari Michael J. Trebilcock, “Law and Economics,“ The Dalhousie Law Journal, Vol. 16 No. 2 (fall 1993), hal. 361-363. 10 Ibid. 11 Ibid.
134
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
ekonomi terhadap hukum ini terus mengalami perkembangan dan sekaligus memberi warna terhadap hukum itu sendiri. Indonesia termasuk negara yang memiliki pertumbuhan pembangunan relatif pesat. Hal tersebut ditunjukkan oleh indikator pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun dan kondisi perekonomian makro Indonesia yang kondusif dalam beberapa tahun terakhir, yang tentunya tidak lepas dari peran perbankan sebagai penggerak ekonomi nasional. Tabel Kinerja Perbankan Indonesia 2006 – 2009
Perbankan Indonesia memiliki kinerja meningkat, direpresentasikan oleh trend beberapa indikator kinerja yang terus membaik, seperti disampaikan pada Tabel di atas. Secara singkat tabel tersebut menjelaskan bahwa pertama, perbankan Indonesia berada dalam momentum pertumbuhan yang dapat dilihat dari peningkatan secara pesat pada aset, kredit, dana pihak ketiga dan sebagainya, dan kedua, fungsi intermediasi telah berjalan (LDR>70%). Peran perbankan dalam pembangunan tidak diragukan lagi. Namun pertanyaan kritis adalah sejauh mana perbankan turut andil dalam pembangunan berkelanjutan. Meski tidak ada data yang mendukung, diyakini bahwa kontribusi perbankan masih relatif rendah dalam hal penerapan bisnis hijau (green business). 135
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
Menurut Glen Croston12 bisnis hijau merupakan konsep bisnis yang menguntungkan karena dapat memberi keuntungan dan skala ekonomi yang memadai sehingga sangat bermanfaat bagi kelangsungan usaha secara keseluruhan. Dalam konteks perbankan, bisnis hijau terutama dipersepsikan dengan penyaluran kredit yang ramah lingkungan atau dikenal dengan istilah kredit hijau (green lending). Kredit hijau dapat diartikan sebagai fasilitas pinjaman dari lembaga keuangan kepada debitur yang bergerak di sektor bisnis yang tidak berdampak pada penurunan kualitas lingkungan maupun kondisi sosial masyarakat. Permasalahannya adalah perbankan Indonesia umumnya masih enggan untuk memberi perhatian lebih besar terhadap permasalahan lingkungan. Hal itu terkait dengan paradigma lama yang menyebutkan bahwa bank sebagai entity business, dimaksudkan untuk mencetak laba setinggi-tingginya. Hal tersebut diperparah dengan persepsi bahwa peduli terhadap lingkungan hanya membebani perusahaan (just another cost). Fenomena perbankan tersebut juga dialami oleh sebagian besar perusahaan di Indonesia. Menurut Rofikoh Rokhim13 hanya sebagian kecil perusahaan di Indonesia yang menerapkan bisnis hijau dalam model bisnisnya, dan itupun belum optimal. Hal itu juga sesuai dengan hasil survei Asian Corporate Governance Association (ACGA), pada 2008, yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Asia adalah yang paling kurang memberikan perhatian pada penerapan Good Corporate Governance (GCG) termasuk di dalamnya terkait dengan prinsip dan praktek pengelolaan lingkungan yang baik. Bahkan perusahaan di Indonesia mendapatkan nilai di bawah rata-rata untuk kawasan Asia (menempati posisi 135 dari total 175 negara). Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di negaranegara kawasan lain yang memasukkan isu lingkungan dalam blue print bisnis mereka. 12 Croston, Glen, 2009, Starting Green : From Business Plan to Profit, Entrepreneur., Media Inc. Canada . 13 Rokhim, Rofikoh, 2010; Green Business : Strategi Pembangunan Berkelanjutan Bagi Perusahaan. Makalah Seminar Nasional Green Business; A Global New Deal, A Shifting of Economics Paradigm, Jakarta.
136
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
Bank dan lingkungan selama ini dianggap sebagai dua sisi yang berbeda, bahkan dalam banyak hal dinilai saling bertentangan. Menurut pandangan konvensional, bank adalah profit making institution sehingga kepedulian terhadap lingkungan bukan merupakan kompetensi utama bank. Alasannya, sebagai services intitution operasional bank tidak berdampak langsung terhadap lingkungan, seperti halnya perusahaan tambang, transportasi dan manufaktur. Sementara itu, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kemungkinan bahaya dari perubahan iklim (climate change) maupun perubahan lingkungan yang ekstrim, dewasa ini tumbuh gaya hidup baru (life style global) yaitu kepedulian terhadap lingkungan. Bank sebagai institusi bisnis seyogyanya merespon hal tersebut dengan merubah paradigma berbisnis (shifting paradigm) yaitu dengan melakukan Green Business. Daniel Esty dan Andrew C Winston, dalam buku yang berjudul ‘How smart company use environmental strategy to innovate create value and build competitive advantage’, menjelaskan bahwa perusahaan yang melakukan bisnis hijau akan menjadi lebih lestari (sustain), seperti dijelaskan dalam Gambar 2 di atas. Dengan menggunakan pola pikir gambar di atas, maka bank yang berorientasi jangka pendek hanya mampu meningkatkan pendapatan (revenue) yang bersifat tangible dan mengurangi biaya (cost) saja. Sementara itu bank yang berorientasi jangka panjang, akan melakukan bisnis hijau, tidak hanya menekan biaya namun juga mampu menekan potensi risiko. Selain itu tidak hanya mendapatkan keuntungan keuangan saja namun juga akan mendapatkan keuntungan jauh lebih besar dari sisi intangible misal citra positif dan kepercayaan dari stake holders yang pada akhirnya tentu akan berpengaruh pada peningkatan kinerja. Dalam konteks bisnis perbankan, bisnis hijau dapat memuat beberapa aspek antara lain: 1. Memiliki budaya kerja ramah lingkungan (green attitude), seperti melakukan pengelolaan sampah (waste management) yang produktif dan melakukan efisiensi antara lain ditunjukkan oleh semakin berkurangnya biaya listrik, kertas, air dan bahan bakar secara konsisten. 137
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
2. Memiliki eco product, misal portfolio kredit yang cukup besar pada sektor ramah lingkungan dan produk tabungan yang berafiliasi dengan rekening organisasi lingkungan (LSM, pemerintah, swasta) serta dipercaya khususnya oleh lembaga pemerintah maupun internasional untuk mengelola dana yang akan dialokasikan untuk usaha atau proyek peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidup. 3. Kepuasan pegawai meningkat karena sejalan dengan meningkatnya visi pegawai yang memiliki gaya hidup hijau. Selain itu pegawai akan ditantang untuk meningkatkan inovasi dan kreativitas guna menciptakan eco product yang bernilai tambah dan berbeda (product differentiation) dibandingkan produk pesaing. Kedua hal tersebut akan meningkatkan motivasi dan keterikatan (engagement) sehingga berdampak pada rendahnya turn over pegawai. Kinerja. Adanya value dari produk tersebut akan meningkatkan loyalitas pelanggan sehingga berdampak positif pada keberlanjutan kinerja. Bank yang menerapkan bisnis hijau disebut Green Bank yaitu bank yang berorientasi pada sustainability dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Kendala yang saat ini ditemui adalah sampai saat ini ternyata belum ada satupun bank di Indonesia yang mendeklarasikan dirinya atau memposisikan sebagai Green Bank, karena : a. Regulasi. Belum adanya undang-undang atau peraturan yang tegas menyebabkan bank-bank di Indonesia masih enggan untuk mendorong dunia usaha agar lebih peduli lingkungan. Contoh paling sederhana adalah masih sedikit bank yang menambahkan persyaratan spesifik terkait dengan lingkungan. Hal itu dipandang hanya akan mempersulit penyaluran kredit, dibanding bank lain pada umumnya. Singkatnya hanya akan menciptakan ‘unequal playing field’ saja, sehingga calon debitur akan beralih pada bank lain. b. Insentif. Tidak adanya ketentuan dan insentif dalam hal penyaluran kredit hijau, menyebabkan bank hanya akan memprioritaskan debitur yang bernilai bisnis murni saja. 138
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
c. Masyarakat. Kecenderungan sebagian besar masyarakat bermitra dengan bank adalah ditinjau dari sisi tingkat bunga. Artinya nasabah dana akan menempatkan dananya pada bank yang bersedia memberi rate tinggi, sedang debitur cenderung akan memilih bank yang memberi suku bunga rendah. d. Stake holders. Sebagian besar para pemangku kepentingan dalam perbankan Indonesia masih belum menekankan arti pentingnya bank untuk lebih peduli dengan lingkungan. Berbeda dengan di negara-negara lain, para stake holders selalu memberi ‘tekanan’ agar bank secara serius dan konsisten menerapkan bisnis hijau. e. Sumberdaya manusia. Banker pada umumnya mempunyai latar belakang bisnis sehingga yang menjadi orientasi utama adalah profit. Sehingga lebih banyak berorientasi pada sisi ekonomi dibanding keuntungan dalam perspektif lingkungan dan masyarakat. Selain itu masih terbatasnya referensi, kemampuan dan pengetahuan pegawai untuk melakukan inovasi yang berkaitan dengan eco product. Beberapa contoh bank yang telah memposisikan diri sebagai Green Bank adalah Standard Chartered Bank (Inggris), HSBC (Hongkong), Credit Agricole Bank (Perancis), Doha Green Bank (Qatar), The Cooperative Bank (Inggris) dan Rabobank (Belanda). Tidak hanya di negara maju, di negara berkembang pun banyak bermunculan Green Bank misalnya, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Development Bank of the Philippines (DBP) dan Banco Real of Brazil yang mendapat sustainable bank award pada tahun 2008 mengalahkan Rabobank. Implementasi atau best practices dari contoh Green Bank tersebut adalah cukup lengkap, baik secara internal - eksternal, maupun yang terkait dengan bisnis - non bisnis. Namun demikian secara ringkas dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut : 1) Internal : menerapkan program efisiensi dan R3 (Reduce, Reused, Recycle) antara lain dengan mengoptimalkan daya inovasi dan kreativitas pegawai serta dengan memanfaatkan piranti teknologi. 139
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
2) Eksternal : mengedukasi stake holders melalui program ramah lingkungan dan menawarkan eco-product pada pelanggan. a. Corporate Social Responsibility (CSR) : melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemberdayaan masyarakat atau terlibat dalam sosialisasi green business. b. Kredit : penyaluran kredit pada sektor atau industri ramah lingkungan seperti energi terbarukan (renewable energy), produk organik, industri kreatif yang memanfaatkan limbah, produk efisien (high end product), pengolah limbah, serta pertanian dan kehutanan, memberikan insentif bunga kepada debitur yang memiliki bisnis model yang ramah lingkungan, menerapkan prinsip sustainability dalam analisa kelayakan kredit debitur secara bertahap sebagai bagian klausul kredit serta dipercaya menjadi bank penyalur kredit two steps loan dari lembaga – lembaga dunia untuk proyek lingkungan. c. Dana : menyediakan produk giro, tabungan atau deposito yang berafiliasi dengan rekening komunitas lingkungan. Meski masih banyak permasalahan yang harus diantisipasi, keberadaan Green Bank di Indonesia sudah mendesak. Hal itu terkait dengan 2 (dua) alasan utama yaitu : Pertama, Mendukung keberlanjutan dalam pembangunan. Suatu hal yang mustahil jika konsep pembangunan berkelanjutan tidak didukung secara menyeluruh oleh pihak-pihak yang terkait. Perbankan memiliki posisi sentral antara pihak yang surplus dana dan pihak yang membutuhkan dana. Dengan demikian perbankan mempunyai ‘posisi tawar’ dan peranan strategis untuk mengedukasi dan mendorong (encourage) masyarakat untuk turut serta mensukseskan pembangunan berkelanjutan. Kedua, Potensi bisnis. Bank diharapkan mencetak laba, sehingga harus mampu mengantisipasi potensi bisnis baru yang akan muncul. Adanya gaya hidup ’hijau’ akan berdampak multiplier pada meningkatnya permintaan (demand) produk – produk ramah lingkungan sebagai potensi bisnis baru. Dengan demikian jika bank memposisikan dirinya sebagai Green Bank maka akan mendapatkan lebih banyak keuntungan bisnis, misal dengan cara mendukung bisnis hijau melalui pembiayaan pada produk dan bisnis yang ramah lingkungan. 140
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
C. Kesimpulan Bank adalah sesuatu yang dapat dikatakan ’sederhana’, yaitu merubah paradigma konvensional atau business as usual dengan paradigma lebih hemat, bersih, peduli dan bertanggungjawab kepada lingkungan hidup. Dengan menggarap potensi bisnis baru dari gaya hidup hijau, bank konvensional akan mendapat nilai tambah secara tangible yaitu meningkatnya kinerja keuangan karena lebih efisien dalam operasinya sebagai dampak dari meningkatnya loyalitas dan kepuasan nasabah dan mendapatkan dana murah dari organisasi yang bergerak dalam aktivitas lingkungan kemasyarakatan baik nasional maupun internasional. Sementara itu, secara intangible adalah meningkatnya citra positif perusahaan sekaligus menekan potensi risiko, khususnya risiko reputasi.
Daftar Pustaka Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan di Indonesia. Jakarta: BAPEDAL, 2001 Bell, Stuart & Donald McGillivray, Environmental Law, London : Blackstone Press, 2001 Carson, Rachel, Silent Spring, 1963 Eckholm, Eric, Down to Earth, New York : WW Norton, 1982 Erwin, Muhamad. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup. Bandung: PT Refika Aditama, 2008 Fandeli, Chafid. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Prinsip Dasar dan Penerapannya Dalam Pembangunan. Yogyakarta: Liberty Offset, 1995 Friedman, Lawrence M, Introduction to American Law, Jakarta: PT Tatanusa, 2001 141
H. Djafar Al Bram: Peran Perbankan Dalam Usaha Perbaikan Lingkungan dengan ...
Fuady, Munir. Aliran Hukum Kritis. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 _______. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,1996 Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Cet.19., Yogyakarta: UGM Press, 2006 Hay, Marhainis Abdul. Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1975 Husein, Yunus. Hukum Perbankan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994 Johnston, R.J. Nature, State and Economy : A Political Economy of the Environment, New York : John Willy & Sons, 1989 Keraf, Sonny, Etika Lingkungan, Jakarta: Kompas, 2006 Kolstad, Charles, Environmental Economics, New York : Oxford University Press, 2000 Marsh, George Perkins, Man and Nature, Cambridge : Harvard University Press, 1965 Murdiyarso, Daniel, Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: KOMPAS, 2003 _________, Daniel, Sepuluh Tahun perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta: KOMPAS, 2003 Posner, Richard. Economic Analysis of Law. Kluwer: Aspen Law and Business, 1998 Rhiti, Hyronimus. Kompleksitas Permasalahan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2005 Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan, 1983
142
Law Review Volume XI No. 2 - November 2011
__________, Otto, Mensinergikan Pembangunan Yogyakarta: Percetakan Negeri, 2005
dan
Lingkungan,
Sumacher, E. F., Small is Beautiful, Great Britain: Cox & Wayman Reading, 19830
143