PERAN LEMBAGA INTERMEDIASI (LI) DALAM PENGEMBANGAN UMKM INOVATIF Oleh : Kuncoro Budy Prayitno Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi ABSTRAK Banyak kegiatan lembaga litbang yang belum berhasil dalam proses difusi dan alih teknologi di masyarakat. Selama ini proses difusi dan alih teknologi yang dilakukan oleh lembaga litbang, terutama lembaga pemerintah dan perguruan tinggi, lebih banyak melihat dari sisi technology push. Di sisi lain lembaga litbang harus dapat berperan sebagai lembaga intermediasi, yang memberikan layanan dalam pengembangan teknologi, pengembangan SDM, membangun jejaring bisnis, dan akses terhadap sumber-sumber produktif yang berhubungan dengan teknologi yang didifusikan. Lembaga intermediasi (LI) yang telah mampu mengimplementasikan atau mensosialisasikan teknologi ke UMKM jumlahnya masih relatif sedikit, atau tidak sebanding dengan jumlah UMKM yang mencapai jutaan unit, sehingga informasi teknologi acapkali tidak sampai ke UMKM bersangkutan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui kapasitas dan karaktreristik Lembaga Intermediasi yang terdapat di Indonesia melalui pengumpulan data primer, sekunder dan wawancara, sedangkan kegiatan penelitian dilaksanakan melalui serangkaian Survai di 14 Kabupaten/Kota/Provinsi di Indonesia., Diskusi Terbatas (FGD, focus group discussion), Open Source dan Internet. Hasil Penelitian menunjukan bahwa LI/Lemlitbang belum mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada UMKM. Kendalanya adalah karena hasil litbang yang tidak sesuai kebutuhan pengguna, perbedaan orientasi lemlitbang dan perguruan tinggi dengan pengguna teknologi, jumlah dan tingkat kesiapan teknologi, mekanisme transaksi / prosedur yang transparan dan mudah, keterbatasan informasi dan kendala pembiayaan. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan kapasitas dalam rangka membangun LI sebagai lembaga yang mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada UMKM. Kata Kunci : Difusi, alih teknologi, lembaga litbang, lembaga intermediasi, technology push, pengembangan teknologi, pengembangan SDM, jejaring bisnis, sumber-sumber produktif, I.
PENDAHULUAN
Banyak kegiatan lembaga litbang yang belum berhasil secara optimal dalam proses difusi dan alih teknologi di masyarakat. Selama ini proses difusi dan alih teknologi yang dilakukan oleh lembaga litbang, terutama lembaga pemerintah dan perguruan tinggi, lebih banyak melihat dari sisi technology push. Di sisi lain lembaga litbang teknologi harus dapat berperan bukan saja sebagai lembaga alih teknologi, tetapi memiliki peran lain yakni dalam pengembangan SDM, membangun jejaring bisnis, dan akses terhadap sumber-sumber produktif yang berhubungan dengan teknologi yang didifusikan. Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, antara lain institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi. Disamping itu, masalah tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri, yang antara lain berakibat pada minimnya keberadaan industri kecil menengah berbasis teknologi. Salah satu upaya pemerintah dalam mendukung penguasaan pemanfaatan dan pemajuan Iptek secara nyata telah dijabarkan dengan diterbitkannya PP No. 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta Penilaian dan Pembangunan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek. Dengan adanya PP No. 20 Tahun 2005 diharapkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga
1
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat serta dapat menghasilkan nilai tambah ekonomi dan perbaikan kualitas kehidupan bangsa dan negara. Munculnya PP 20 tahun 2005 masih belum menjamin optimalnya proses difusi dan alih teknologi kepada masyarakat, apabila peran intermediasi dalam lembaga iptek tidak berjalan. Karena proses difusi dan alih teknologi dapat berjalan dengan baik apabila lembaga litbang dapat berperan sebagai lembaga intermediasi. Tetapi sampai saat ini lembaga litbang masih belum optimal berperan sebagai lembaga intermediasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Lembaga intermediasi yang telah mampu mengimplementasikan atau mensosialisasikan teknologi ke UMKM jumlahnya masih relatif sedikit, atau tidak sebanding dengan jumlah UMKM yang mencapai jutaan unit, sehingga informasi teknologi acapkali tidak sampai ke UMKM bersangkutan. Indonesia memiliki banyak Kabupaten, dan setiap Kabupaten itu mempunyai usaha kecil dan menengah. Namun, belum tentu tiap Kabupaten itu ada lembaga intermediasi yang menyampaikan informasi tentang teknologi yang dikembangkan oleh lembaga pengembang kepada UMKM. Oleh karena itu, perlu dikembangkan lembaga intermediasi yang lebih banyak dan beragam agar teknologi yang dikembangkan sampai kepada pengguna. Sampai saat ini yang menjadi masalah kelembagaan intermediasi UMKM adalah belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna. Dengan perkataan lain salah satu penyebab lemahnya daya saing iptek nasional disebabkan oleh masih lemahnya peran kelembagaan intermediasi iptek. Kelembagaan intermediasi iptek memiliki peran yang sangat sentral untuk terjadinya proses difusi inovasi. II.
GAMBARAN UMUM
2.1
Pengertian Umum UMKM dan UMKM Inovatif
a.
Pengertian Umum UMKM Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Kategori usaha dapat dikelompokkan atas self-employment perorangan, self-employment kelompok, dan industri rumah tangga (jumlah tenaga kerja dan modal usaha). Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Dalam Undang-Undang 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang dimaksud dengan: 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. b.
Pengertian Umum UMKM Inovatif UMKM Inovatif adalah UMKM yang dalam kegiatan bisnisnya menciptakan dan menangkap nilai baru dengan cara baru dalam penguasaan dan penerapan teknologi, pengembangan produksi dan pelayanan produksi, penyaluran dan logistik, serta menciptakan dan menumbuhkan merek. Pengertian yang lain UMKM Inovatif adalah UMKM yang mampu mendayagunakan sumber potensi yang ada menjadi produk baru yang inovatif dan memiliki pasar yang luas.
2
UMKM Inovatif adalah UMKM yang berkembang karena : Peningkatan kinerja UMKM yang telah ada (upgrading existing SMEs); Penumbuhkembangan perusahaan (UMKM) baru atau pemula yang inovatif (fostering new/start-up companies / SMEs). c.
Pengertian Umum UMKM Berbasis teknologi UMKM Inovatif berbasis teknologi adalah UMKM yang mampu menciptakan dan menerapkan model, mutu bisnis, pembiayaan, jejaring, penawaran produk dan pelayanan, teknologi dan proses produksi, pengiriman, penyaluran dan logistik, lokasi, dan pemerekan. 2.2
Pengertian Umum Lembaga Intermediasi
Lembaga Intermediasi (LI) merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai lembaga penghubung (mediatory) dari sumber-sumber produktif pengembangan usaha maupun pengembangan teknologi dengan penggunanya baik masyarakat maupun UMKM. Lembaga Intermediasi dibutuhkan dalam memberdayakan dan mengembangkan UMKM Inovatif, terutama untuk meningkatkan kegiatan intermediasi, menumbuh-kembangkan UMKM Inovatif, mendorong pengembangan skema pembiayaan wirausaha baru berbasis teknologi, dan mengembangkan kawasan outsourcing. LI melakukan intermediasi pada semua bidang kegiatan UMKM, menerapkan model pengembangan bisnis, membangun dan mendorong kemitraan usaha dan kemitraan dengan instansi pemberi legalitas perizinan, pendanaan, teknologi, dan pemasaran, melakukan pembinaan, pelatihan dan pendampingan, membangun dan mengembangkan jejaring, cepat dan efektif dalam melaksanakan fungsi intermediasi. Hampir seluruh lembaga litbang yang ada memiliki akses langsung kepada pengguna teknologi yang dihasilkannya. Sehingga lembaga litbang yang ada di Indonesia hampir seluruhnya memiliki peran sebagai lembaga intermediasi. Lembaga ini dapat berupa Unit khusus yang “independen” (memiliki otonomi/ kewenangan pengelolaan organisasi yang relatif tinggi). Contoh dari bentuk ini dapat berupa: a. Pusat (Center)” yaitu suatu organisasi yang sepenuhnya berdiri sendiri (otonom), walaupun dalam implementasinya berkoordinasi dengan institusi lain (misalnya di bawah suatu departemen pemerintah (instansi sektoral atau non sektoral) tertentu. Atau dapat berupa lembaga yang merupakan konsorsium atau bentukan dari kolaborasi beragam pihak (lembaga), misalnya seperti inkubator, pusat-pusat teknologi, dunia usaha dan pemerintah. b. Lembaga Iptek atau lembaga penelitian dan pengembangan (Lemlitbang) yang ada di dalam negeri terdiri atas lembaga litbang pemerintah (pusat dan daerah), lembaga litbang swasta, dan lembaga litbang perguruan tinggi. III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Metodologi a. Metodologi Pengumpulan Data Dalam rangka mencapai tujuan penelitian ini maka pendekatan yang dilakukan adalah : Mengetahui kondisi dan kapasitas LI sekarang dilakukan melalui pengumpulan data primer, sekunder dan wawancara. b. Metodologi Pelaksanaan Penelitian Kegiatan dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan Studi literatur dan diskusi awal yang melibatkan berbagai pihak dan para ahli untuk mendapatkan expert opinion, Survai, Diskusi Terbatas (FGD, focus group discussion), Open Source dan Internet. c. Tahapan Pelaksanaan Penelitian Tahapan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Pemetaan Kondisi LI dan UMKM Pemetaan kondisi LI dan UMKM dilakukan di 14 Kabupaten/Kota/Provinsi di Indonesia. 2. Pengumpulan data melalui pemberian kuesioner dan wawancara dengan pihak terkait, serta observasi data sekunder yang ditujukan untuk mengidentifikasi kapasitas dan permasalahan LI dan UMKM.
3
IV.
HASIL PENELITIAN
4.1
Kondisi dan Karakteristik UMKM
a.
Kondisi UMKM Secara kuantitatif jumlah UMKM pada tahun 2010 mencapai sekitar 51,2 juta unit usaha, dengan jumlah tenaga kerja 90,8 juta orang. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan ekspor pada tahun yang sama masing-masing mencapai 55,6 persen dan 20,2 persen. Hasil survai ke beberapa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di 14 kota di Indonesia, menunjukan status kepemilikan UMKM sebagian besar milik sendiri (43 %), disusul milik kelompok (34%), milik keluarga (11 %), joint venture (3 %) dan lainnya (9%). Mengembangkan usahanya dengan modal sendiri (83 %) dan pinjam ke Bank (26 %), kemudian diikuti pembiayaan dari lembaga keuangan non formal (3%) dan dana yang bersumber dari lainnya sekitar 9 %. Jumlah nilai modal awal yang digunakan UMKM untuk memulai usahanya adalah sebesar 5-10 juta (38 %), disusul 5 juta (23 %) dan 10-50 juta (23 %), 50-100 juta (10 %) dan yang menggunakan modal sampai lebih besar dari 100 juta sekitar 6 %. Bidang usaha UMKM sebagian besar adalah Industri Kreatif yaitu sebesar 66 %, disusul Agroindustri (20 %), manufaktur (3 %) dan lainnya (11%). Sebagian besar tenaga kerja UMKM berpendidikan SMU (69 %), SMP (60 %), PT (34 %), SD (29 %) dan tidak sekolah sekitar 3 %. Tenaga kerja yang bekerja pada UMKM berasal dari satu Desa/Kelurahan sebesar 57 %, dari satu Kabupaten/Kota 49 %, satu Kecamatan 29 %, dari luar Kabupaten/Kota 23 % dan dari luar Provinsi sebesar 14 %. Dalam hal pengembangan UMKM, 83 % UMKM telah memberikan kesempatan kepada karyawannya untuk mengikuti pelatihan baik dari Dinas dan Lembaga Litbang milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat dan Perguruan Tinggi serta dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Pemerintah Daerah merupakan institusi yang memberikan pelatihan paling intensif (43 %), Lembaga Intermediasi (37 %), Perguruan Tinggi (29 %), Pemerintah Pusat (26 %), Lembaga Litbang ( 14 %) dan LSM ( 9 %). Sedangkan Institusi pemilik LI yang membina UMKM pada umumnya adalah Balai Inkubator Teknologi (BIT), Unit Pelaksana Teknis (UPT), BDS, BDSP, Balai Teknik Dinas, Balai Besar Dinas (46 %), Perguruan Tinggi (23 %) dan Lemlitbang (6 %). Sedangkan jenis pelatihan yang sering diberikan oleh Lembaga Intermediasi baik milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, Perguruan Tinggi dan Swasta adalah Jiwa Kewirausahaan, Manajemen Organisasi dan Strategi Pemasaran (34 %), selanjutnya Manajemen Mutu (26 %), Penyusunan Bisnis Plan (17 %), HKI/Paten (14 %), Hukum Bisnis (9 %) dan lainnya (9 %). UMKM lebih menyukai mempromosikan produknya melalui pameran/eksibisi (74 %), menggunakan brosur 57 %, memanfaatkan internet (54 %), melalui Lembaga Intermediasi (43 %) dan cara lainnya (31 %). Sedangkan dalam memasarkan produknya UMKM lebih menyenangi metoda penjualan secara tunai (77 %), melalui transfer (63 %), melalui kredit (14 %) dan melalui barter (3 %). b.
Permasalahan UMKM Sebagian besar (94 %) UMKM pernah mengalami kendala dan masalah dalam menjalankan usaha dan pengembangan usahanya. Jenis kendala yang sering dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah permasalahan internal yaitu pembiayaan/modal (46 %), pemasaran produk (46 %), masalah HKI/Paten (26 %), teknologi (20 %), manajemen dan organisasi (17 %), disain produk dan perizinan masing-masing (9 %). Sedangkan masalah eksternal adalah kurangnya kebijakan keberpihakan baik dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan dan pengembangan UMKM, keberpihakan lembaga keuangan formal seperti perbankan yang belum merealisasikan kredit dengan bunga rendah bagi UMKM, kurangnya pihak industri besar terkait yang membantu UMKM dalam mempromosikan produk-produk UMKM, kurangnya pembinaan dari dinas-dinas terkait dalam pemberdayaan kapasitas UMKM dan belum adanya database dan grand design yang mensinergikan pembangunan daerah dengan pemberdayaan potensi daerah dan pengembangan UMKM. Berikut adalah beberapa permasalahan utama yang masih dihadapi oleh UMKM: a. Iklim usaha yang masih kurang kondusif. UMKM masih dihadapkan kepada adanya ketidakpastian dan ketidakjelasan prosedur perijinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya proses perijinan, dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi.
4
b. Akses UMKM kepada sumber permodalan masih terbatas. Produk pembiayaan dari lembaga keuangan sebagian besar masih disalurkan dalam bentuk kredit modal kerja, dan sangat terbatas untuk kredit investasi. Hal ini menyulitkan UMKM untuk meningkatkan kapasitas usahanya, ataupun mengembangkan produk-produk yang berkualitas dan berdaya saing. c. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diharapkan dapat meningkatkan akses UMKM kepada perbankan secara lebih luas, ternyata dalam pelaksanaannya belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh UMKM. d. Dunia perbankan yang merupakan sumber pendanaan terbesar masih memandang UMKM, khususnya usaha mikro dan kecil, sebagai kegiatan yang berisiko tinggi. e. Kualitas produk UMKM masih rendah dan pemasaran masih terbatas. f. Lemahnya kemampuan akses teknologi oleh pelaku UMKM. Penguasaan teknologi, informasi, dan pasar oleh UMKM masih jauh dari memadai, serta memerlukan biaya yang relatif besar untuk dapat dikelola secara mandiri oleh UMKM. g. Kualitas sumber daya manusia UMKM umumnya masih rendah. Peningkatan jumlah UMKM yang sangat besar tampaknya belum diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) UMKM yang memadai, khususnya bagi usaha mikro dan kecil. Rendahnya kualitas SDM ini, menimbulkan kesenjangan usaha yang sangat lebar antara pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, dan usaha besar. 4.2
Kondisi dan Karakteristik Lembaga Intermediasi
a.
Kondisi Lembaga Intermediasi Hasil survai ke beberapa Lembaga Intermediasi, menunjukan sebagian besar LI adalah milik perguruan tinggi (50 %), disusul milik pemerintah daerah (21 %), LSM (14 %), pemerintah pusat (11 %) dan asosiasi (4 %). Pada umumnya LI sudah mempunyai Badan Hukum (87 %), yang belum berbadan hukum hanya 13 %. Bentuk badan hukum LI adalah Surat keputusan Rektor atau Ketua Yayasan (40 %), Badan Hukum Pelayanan (BHP) sebanyak 25 %, Perseroan Terbatas 20 %, Badan Layanan Umum (BLU) 10 % dan koperasi sebanyak 5 %. Jenis LI umumnya berupa Inkubator Bisnis/Teknologi (32 %), Bussiness Center (28,6 %), Lembaga Litbang (14 %), LSM (10,7 %), Lembaga Konsultasi (7,1 %), Pusat Inovasi dan Sentra HKI masing-masing (3,6 %). Sumber daya manusia LI sebagian besar berpendidikan Perguruan Tinggi dan Sekolah Menengah Tingkat Atas sebanyak 66 %, berpendidikan perguruan tinggi saja sebanyak 15 %, dan sebanyak 11 % berpendidikan perguruan tinggi, SMA, SMP dan sekolah dasar. Sebagian besar LI dalam mengelola dan mengembangkan kapasitasnya menggunakan modal sendiri (61%) dan Lembaga Keuangan Formal (11 %), kemudian diikuti pembiayaan dari lembaga keuangan non formal (6 %) dan dana yang bersumber dari lainnya sekitar 22 %. Terdapat juga dana pembiayaan yang diperoleh dari bantuan lembaga asing (14 %), Pemerintah Pusat (35 %, Pemerintah Daerah (20 %), Lembaga Swasta (14 %) dan dana lainnya sekitar 11 %. Dalam hal ini terlihat bahwa Pemerintah Pusat lebih besar memberikan perhatian dalam pengelolaan dan pengembangan LI dibandingkan dengan Pemerintah Daerah. Dana Pemerintah Pusat banyak diberikan kepada LI dalam bentuk bantuan insentif bagi pembelian peralatan dan pelatihan. Jumlah atau besarnya nilai modal awal yang digunakan LI untuk memulai usahanya adalah sebesar 5 juta (17%), disusul 10-50 juta (22 %), 50-100 juta (22%) dan yang menggunakan modal sampai lebih besar dari 100 juta terdapat sekitar 39 %. Hal ini menunjukan bahwa nilai modal awal ini banyak diinvestasikan dalam bentuk pengadaan lahan/lokasi, bahan dan peralatan/mesin. Hampir 93 % LI mempunyai sistem database, penggunaan database LI untuk keperluan proses seleksi tenant, fasilitasi dan advokasi, akses pemasaran dan akses permodalan. Sistem database yang dipakai oleh LI adalah technology request (TR) sebanyak 36 %, technology offer sebanyak 36 % dan yang lainnya sebanyak 28 %. Banyak kerjasama yang telah dilakukan oleh LI, dalam pemberdayaan dan pengembangan UMKM, Pemerintah Daerah lebih banyak melakukan kerjasama dengan LI. Kerjasama yang dilakukan LI diantaranya dengan Pemerintah Pusat (93 %), Pemerintah Daerah (96 %), Lembaga Swasta (64 %), Lembaga Keuangan Bank (57 %), Lembaga Litbang (46 %) dan Lembaga Asing (43 %). Pola kerjasama (Networking) yang dilakukan LI dengan institusi atau lembaga lain pada umumnya melalui kontrak dan sub kontrak, keagenan, pinjaman, patungan (joint venture), hibah dan pola-pola lain yang sesuai dengan karakteristik dari LI. Pola kerjasama yang sering dilakukan
5
adalah kontrak dan sub kontrak (31 %), patungan (18,1%), pinjaman (9 %), hibah (27,2 %) dan pola lainnya sebesar 9 %. Sekitar 50 % LI memberikan layanan pengembangan teknologi bagi UMKM, 83,33 % LI memberikan pengembangan SDM dalam bentuk Training dan Pelatihan, Konsultasi dan Pendampingan, Pengembangan Kewirausahaan, Manajemen Perkantoran dan Penyusunan Business plan untuk aplikasi kredit, memberikan layanan akses pembiayaan 58,33 % dan intermediasi jejaring bisnis/pasar 72,22 %. Beberapa LI dalam menjalankan peran dan fungsinya juga melakukan fasilitasi pengurusan hak kekayaan intelektual (HKI) produk produk UMKM binaannya. Sebanyak 43 % LI memberikan layanan HKI, yang tidak melakukan layanan HKI sebanyak 32 % dan sebanyak 25 % yang tidak menjawab. Jenis layanan HKI pada UMKM binaan adalah fasilitasi paten, merek, hak cipta, hak dagang, desain industri, indikasi geografis, sirkuit layout terpadu dan perlindungan varietas tanaman. b.
Permasalahan Lembaga Intermediasi Sejumlah LI yang ada belum mampu memberikan pelayanan yang optimal dalam rangka pemberdayaan UMKM di Indonesia. Proses difusi dan alih teknologi oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi masih menghadapi sejumlah kendala yang menyebabkan penerapan teknologi yang dihasilkan lembaga litbang masih terbatas. Kendalanya mulai dari hasil litbang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pengguna, perbedaan orientasi lembaga litbang dan perguruan tinggi dengan pengguna teknologi, jumlah dan tingkat kesiapan teknologi/hasil litbang, mekanisme transaksi/prosedur yang transparan dan mudah, keterbatasan informasi dan kendala pembiayaan. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan kapasitas dalam rangka membangun suatu LI sebagai lembaga penghasil iptek yang mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada pengguna iptek. Berikut adalah beberapa permasalahan utama yang masih dihadapi oleh LI : a. Kapasitas SDM yang rendah dalam profesionalisme dan kemampuan teknis pengelola serta pengembangan LI. b. Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek, terlihat dari belum tertatanya infrastrukur iptek, serta belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri. c. Pendanaan, kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan, serta rendahnya insentif untuk peneliti. d. Lemahnya sinergi kebijakan iptek, terlihat dari belum fokusnya kegiatan litbang, sehingga belum dapat mencapai hasil yang signifikan. Selain itu kebijakan inovasi yang mencakup bidang pendidikan, industri dan iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, macetnya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya sisi pengguna iptek domestik. e. Dukungan pemerintah daerah masih kurang. V.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1
Peran LI dalam Pengembangan Teknologi UMKM Dalam meningkatkan pelayanannya, LI dituntut untuk meningkatkan kinerja internal dan eksternalnya. LI perlu memperhatikan faktor eksternal seperti hubungan atau koneksi pada riset dasar dan industri dalam meningkatkan kinerjanya agar dapat memperbaiki peran sertanya dalam membantu peningkatan kualitas manufaktur dunia bisnis tersebut. Untuk itu perlu suatu pendekatan yang mencakup jaringan menyeluruh dari seluruh LI di Indonesia. Jaringan tersebut meliputi lemlitbang sebagai LI yang berada di bawah Departemen Perdagangan dan Industri, Departemen Pendidikan, Departemen Tenaga Kerja dan Lembaga Penelitian LPND dibawah Ristek. Di samping itu perlu dibuat “Prinsip Disain” antar LI yang dapat menutup gap dalam layanan penelitian. Pengembangan, untuk dapat meningkatkan kinerja internal dari masing-masing lembaga itu dan mendirikan jaringan litbang yang kuat melalui penguatan kaitan ke dalam dan antar lembaga-lembaga tersebut. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan Perguruan Tinggi juga dibutuhkan dalam industri kecil dan menengah (IKM). Lembaga litbang perguruan tinggi diharapkan dapat memfasilitasikan alih teknologi yang dihasilkan setara dengan mutu produk import dan memenuhi standar international, juga mengembangkan teknologi proses baru dan metoda baru bagi produk-produk
6
yang dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas IKM/UMKM. Beberapa potensi teknologi yang dimiliki LI Perguruan Tinggi sudah mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umumnya dan masyarakat industri khususnya UMKM sesuai dengan porsi yang dimiliki oleh masing-masing Perguruan Tinggi. Akan tetapi peran Perguruan Tinggi di masa mendatang bagi UMKM diharapkan dapat membantu lebih besar lagi dalam hal hasil penelitian yang dibutuhkan oleh industri/UMKM. Peran Lemlitbang Departemen dan non-Departemen sebagai LI terhadap pengembangan UMKM/IKM masih belum maksimal. Masih ada gap orientasi dari arah dan kebijakan Lemlitbang dengan kebutuhan riil UMKM/IKM. Untuk itu Lemlitbang dapat menawarkan layanan yang komprehensif, terutama bagi UKM/IKM, berupa layanan teknik dan teknologi terapan dan pengembangannya, kontrol kualitas, pengetesan, dan konsultasi baik manajemen maupun teknologi proses produksi. Untuk memperoleh hasil yang optimum perlu adanya sinergi antara lembaga litbang dengan pihak industri/UMKM. Peran Lemlitbang Perguruan Tinggi sebagai LI terhadap UKM/IKM adalah melakukan penelitian yang dibutuhkan oleh UKM/IKM seperti menyediakan teknologi rancang bangun, teknologi proses untuk komponen, teknologi material dan peralatan, teknologi ”Design” dan ”Modelling” serta memberikan pelatihan teknis dan manajemen bagi karyawan dan pelaku industri. 5.2
Peran LI dalam Pengembangan SDM UMKM Peran LI dalam pengembangan sumber daya manusia adalah untuk menimbulkan kesadaran inovasi, entrepreneurship, komersialisasi teknologi, manajemen melalui pelatihan, pendampingan, diskusi dan seminar. Peran aktif LI adalah membantu fungsi pemerintah dalam memfasilitasi pertumbuhan sektor swasta berskala usaha mikro, kecil dan menengah demi terbangunnya ekonomi rakyat yang tangguh. Pengembangan dan peningkatan kapasitas UMKM khususnya SDM UMKM yang inovatif sangatlah mendesak, agar supaya dapat bersaing baik dipasar lokal maupun internasional. Kelemahan UMKM secara umum yang perlu mendapatkan bantuan pendampingan oleh pemerintah melalui LI instansi terkait antara lain dalam aspek kapasitas sumberdaya manusia UMKM. Permasalahan yang bersifat klasik dan mendasar pada UMKM (basic problems), salah satunya adalah SDM. Lebih dari 90% pelaku sektor UMKM di Indonesia dipimpin dan dijalankan oleh orang-orang yang relatif berpendidikan tidak terlalu tinggi rata-rata setingkat SLTA atau bahkan lebih rendah. Sebagian besar tenaga kerja UMKM berpendidikan SMU (69 %), SMP (60 %), PT (34 %), SD (29 %) dan tidak sekolah sekitar 3 %. Hal ini menjadi salah satu kendala lambatnya perkembangan UMKM di Indonesia. Banyak cara untuk meningkatkan kualitas SDM UMKM, antara lain dengan peningkatan learning center dan pelatihan para pengusaha UMKM atau Klinik Usaha, serta sinergi antara penguasaan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) serta pengembangan SDM dan faktor kepemimpinan dalam UMKM akan menjadikan UMKM lebih kuat dalam persaingan di dunia usaha lokal ataupun global. Capacity building (peningkatan kapasitas) SDM dapat dilakukan melalui aktivitas studi banding, pelatihan, asistensi teknis dan lain-lain. Setiap UMKM tentu memiliki kebutuhan dan keunikan tersendiri, sehingga program capacity building pun hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing UMKM. Dua faktor pertama tersebut adalah aspek sumber daya manusia (SDM), yang mana, keahlian pekerja tidak hanya dalam teknik produksi (antara lain disain produk dan proses produksi), tetapi juga teknik pemasaran dan dalam penelitian dan pengembangan (R&D). Sedang keahlian pengusaha, terutama adalah wawasan bisnis, dan yang dimaksud di sini adalah wawasan mengenai bisnis dan juga lingkungan eksternal. Wawasan pengusaha yang luas juga sangat penting bagi inovasi, dan bukan lagi rahasia umum bahwa inovasi merupakan kunci utama daya saing. Bahkan banyak literatur menyatakan bahwa banyak faktor yang menentukan kemampuan UMKM melakukan inovasi, diantaranya kreativitas pengusaha, dan yang terakhir ini, pada gilirannya, ditentukan oleh wawasannya mengenai bisnis yang ditekuninnya. Secara umum lembaga litbang (Departemen, non-Departemen dan Perguruan Tinggi) sebagai lembaga intermediasi mempunyai kekuatan dalam sumberdaya manusia yang berpendidikan formal tinggi tetapi pengalaman lapangan di industri masih minim, sedangkan pihak lembaga litbang industri perpengalaman dalam praktek lapangan tetapi secara teoritis kurang, untuk meningkatkan kemampuan tersebut dapat dilakukan kerjasama dalam bentuk pelatihan, , pendampingan, magang, diskusi dan seminar. 5.3
Peran LI dalam Pengembangan Jejaring Bisnis dan Pasar
7
Yang dimaksud dengan jejaring bisnis disini adalah akses pasar. Akses pasar UMKM dibagi menjadi 2 yaitu akses pasar dalam negeri dan akses pasar luar negeri. Di bidang pemasaran, banyak UMKM yang tidak memiliki akses pasar karena keterbatasan SDM, kemampuan di bidang teknologi informasi, dan ketidaktepatan model pembinaan yang diterima. Selain itu kelemahan mendasar yang dihadapi UMKM dalam bidang pemasaran adalah orientasi pasar rendah, lemah dalam persaingan yang kompleks dan tajam serta tidak memadainya infrastruktur pemasaran. Menghadapi mekanisme pasar yang makin terbuka dan kompetitif, penguasaan pasar merupakan prasyarat untuk meningkatkan daya saing. Selama ini kelompok UMKM lebih pandai memproduksi ketimbang memasarkan. Untuk meningkatkan kemampuan pemasaran, informasi mengenai pasar merupakan kebutuhan utama. Untuk meningkatkan akses dan menguasai pasar, maka UMKM perlu mendapatkan informasi dengan mudah dan cepat, baik informasi mengenai pasar produksi maupun pasar faktor produksi. Informasi pasar yang lengkap dan akurat dapat dimanfaatkan oleh UMKM untuk membuat perencanaan usahanya secara tepat, misalnya : (1) membuat desain produk yang disukai konsumen, (2) menentukan harga yang bersaing di pasar, (3) mengetahui pasar yang akan dituju, dan banyak manfaat lainnya. Oleh karena itu peran pemerintah sangat diperlukan dalam mendorong keberhasilan UMKM dalam memperoleh akses untuk memperluas jaringan pemasarannya. Dari hasil survai yang dilakukan di 14 kota, menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintah daerah dalam melakukan peningkatan akses pasar produk UMKM lebih banyak dilakukan dengan mengadakan pameran-pameran dan membuat sentra-sentra pemasaran hasil produksi UMKM. Hanya sebagian kecil dari pemda yang melakukan misi dagang keluarga negeri dan hal ini mungkin disebabkan karena keterbatasan dana pemda untuk melakukan kegiatan tersebut. Hal lain yang dilakukan oleh pemda untuk meningkatkan pasar produk UMKM adalah membangun klaster industri dan pengembangan kemitraan antara UMKM dengan usaha/industri besar. Selain itu dengan melihat berbagai keuntungan, kemudahan, serta peluang yang dapat diperoleh dari aplikasi informasi dan teknologi (IT) dalam bisnis, maka aplikasi IT untuk pengembangan UMKM di Indonesia merupakan suatu kebutuhan. Akan tetapi sampai saat tidak semua UMKM mampu menyediakan dan memanfaatkan teknologi informasi dalam menjalankan usahanya. Potensi UMKM di Indonesia sangat besar dan menjadi penggerak ekonomi nasional, namun pemahaman sebagian besar dari mereka terhadap teknologi informasi masih kurang, dari sekian juta UMKM yang ada di Indonesia baru 27% yang memiliki dan memanfaatkan komputer. Peran LI adalah membangun Intermediasi dan Jaringan bisnis berfungsi sebagai Pusat jaringan antara UMKM-Pasar dan UMKM-Industri dan jaringan ICT sebagai sarana komunikasi dan pemasaran produk. Hal ini akan memudahkan UMKM dalam memperluas pasar baik di dalam negeri maupun pasar luar negeri dengan waktu dan biaya yang efisien. Sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat UMKM dan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya akan meningkat, dan secara bersinergi akan berdampak positif terhadap keberhasilan pembangunan nasional. 5.4
Peran LI dalam Fasilitasi Akses Pembiayaan Dalam masalah pembiayaan untuk modal usaha, sebagian besar UMKM di 14 kota di Indonesia mengembangkan usahanya dengan modal sendiri (83 %) dan pinjam ke Bank (26 %), kemudian diikuti pembiayaan dari lembaga keuangan non formal (3%) dan dana yang bersumber dari lainnya sekitar 9 %. Hal ini menunjukan bahwa usaha pemerintah untuk memberikan bantuan permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) melalui perbankan masih belum optimal. Beberapa UMKM masih menganggap bunga bank masih terlalu tinggi dan masih sulit mendapat kredit bagi UMKM yang tidak memiliki jaminan. Sektor UMKM mendapatkan kesulitan dalam mengakses modal usaha, hal ini disebabkan ketidaksiapan UMKM dalam memenuhi persyaratan yang diminta bank yang bankable. Belum lagi masalah agunan dan biaya lain-lain yang harus ditanggung UMKM terkait untuk mendapatkan modal seperti beban bunga yang tinggi, biaya adminitrasi, dan persyaratan lain yang dibebankan guna mendapatkan modal. Dilihat dari jumlah UMKM yang ada saat ini, unit usaha yang memperoleh pinjaman dari Bank masih sedikit. Berbagai alasan yang dikemukan oleh kelompok usaha kecil menengah untuk tidak meminjam modal usaha dari bank antara lain: (1) tidak tahu prosedur, (2) prosedur sulit, (3) tidak ada agunan, (4) suku bunga tinggi, (5) tidak berminat, dan (6) proposal untuk memperoleh pinjaman ditolak. Oleh sebab itu LI harus berperan aktif membantu UMKM dalam memfasilitasi akses UMKM kepada pusat-pusat pembiayaan seperti perbankan dan koperasi. Sejumlah upaya lain
8
yang dapat dilakukan LI adalah melakukan pendampingan, konsultasi dan pelatihan dalam pengelolaan manajemen keuangan UMKM seperti pembuatan laporan keuangan berupa Neraca dan Laporan Rugi Laba serta Business Plan (Perencanaan Usaha) dan persyaratan dokumen teknis lainnya yang dibutuhkan UMKM dalam mengakses sumber pembiayaan baik lembaga keuangan bank dan non-bank.. VI.
PENUTUP
6.1
Kesimpulan Lembaga intermediasi UMKM harus memiliki peran pokok dibidang jasa layanan kepada UKM binaannya (client) bukan hanya dalam spectrum sempit, yaitu sebatas pemberian layanan langsung (direct services) tetapi juga mencakup layanan lain seperti layanan pengembangan teknologi, layanan pengembangan SDM, pengembangan jaringan informasi pasar, dan pelayanan fasilitasi pembiayaan, bimbingan dan pendampingan bisnis. Lembaga litbang yang ada di dalam negeri terdiri atas lemlitbang pemerintah (pusat dan daerah), lembaga litbang swasta, dan lemlitbang perguruan tinggi. Sebagian besar lemlitbang ( 50 % milik Perguruan Tinggi) berupa Inkubator Bisnis/Teknologi (32 %), memiliki akses langsung kepada pengguna teknologi yang dihasilkannya. Sehingga lemlitbang yang ada hampir seluruhnya memiliki peran sebagai Lembaga Intermediasi. Perguruan Tinggi lebih perhatian dalam pengembangan LI, karena kondisi lingkungan (internal maupun eksternal kampus) yang mendukung dengan sumber daya manusia yang handal dan tingkat pendidikan D3 sampai sarjana S3, sarana dan prasarana seperti Perkantoran, Ruangan seminar/rapat, Jaringan internet dan website, Listrik dan air, Sarana Parkir dan Keamanan. Selain itu didukung oleh pendanaan yang cukup, karena perguruan tinggi menjalin kerjasama (Networking) dengan pihak perusahaan swasta maupun lembaga keuangan. Lembaga Intermediasi/Lemlitbang belum mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada UMKM. Kendalanya adalah karena hasil litbang yang tidak sesuai kebutuhan pengguna, perbedaan orientasi lemlitbang dan perguruan tinggi dengan pengguna teknologi, jumlah dan tingkat kesiapan teknologi, mekanisme transaksi/prosedur yang transparan dan mudah, keterbatasan informasi dan kendala pembiayaan. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan kapasitas dalam rangka membangun LI sebagai lembaga yang mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada UMKM. 6.2
Saran
6.2.1
Lembaga Intermediasi harus segera : a. meningkatkan kapasitas teknologi yang diperlukan UMKM b. lebih berorientasi pada kebutuhan teknologi UMKM, oleh karena itu LI harus memiliki database UMKM yang terdapat di daerah sehingga dapat diciptakan Rencana Program Prioritas Pengembangan dan Pemberdayaan UMKM, sesuai dengan potensi sumber daya LI yang ada di daerah. c. memiliki Sistem Informasi Teknologi yang dapat diakses dengan mudah oleh UMKM. d. membentuk Forum Pembinaan UMKM yang menjadi ajang (memfasilitasi) pertemuan antara Pemda, LI dan UMKM sehingga tercipta koordinasi dan kontrol yang berkesinambungan dalam pemberdayaan LI dan UMKM. e. memfasilitasi Promosi Produk-produk LI dan UMKM melalui Pameran, Expo atau Gelar Produk LI dan UMKM baik di dalam maupun di luar negeri. Pameran tersebut diadakan minimal satu kali dalam setahun, sehingga tercipta peluang pasar bagi produk LI dan UMKM.
6.2.2
Pemerindah Daerah (Pemda) harus segera : a. Membuat Daftar Inventarisasi LI dan UMKM yang terdapat di daerah sehingga dapat diciptakan Rencana Program Prioritas Pengembangan dan Pemberdayaan LI dan UMKM, sesuai dengan potensi sumber daya yang ada di daerah. b. Menciptakan Sistem Penganggaran Pemberdayaan LI dan UMKM di daerah, dimana dalam sistem penganggaran tersebut harus dialokasikan anggaran untuk
9
pemberdayaan (perkuatan) LI dan pemberdayaan UMKM termasuk untuk pembelian peralatan/mesin di samping untuk modal kerja UMKM. c. Membentuk Forum Pembinaan LI dan UMKM yang menjadi ajang (memfasilitasi) pertemuan antara Pemda, LI dan UMKM sehingga tercipta koordinasi dan kontrol yang berkesinambungan dalam pemberdayaan LI dan UMKM. d. Memfasilitasi Promosi Produk-Produk LI dan UMKM melalui Pameran, Expo atau Gelar Produk LI dan UMKM baik di dalam maupun di luar negeri. Pameran tersebut diadakan minimal satu kali dalam setahun, sehingga tercipta peluang pasar bagi produk LI dan UMKM. e. Mengawal pemberdayaan LI dan UMKM dengan menciptakan Kebijakan atau Peraturan Daerah yang berpihak pada pemberdayaan UMKM sehingga akan tercipta iklim usaha yang sehat dan transparan. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
15. 16.
Industry Science Resources (2001), Technology Planning for Business Competitiveness: A Guide to Developing Technology Roadmaps, The Commonwealth of Australia Martin, S. and Theeuwes, J. (2000) “Competition and Innovation”, paper presented to the Conference on Market Competition, Ministry of Economic Affairs Netherland. Meyer-Stammer, J. (2000) PACA: Participatory Appraisal of Competitive Advantage, Germany:University of Duisberg. Schaller, R (1999) “Technology Roadmaps: Implication for Innovation, Strategy, and Policy” a PhD Dissertation Proposal, The Institute of Public Policy – George Mason University. Agus Windharto, “Peran Lembaga Intermediasi Untuk Pengembangan UMKM Inovatif”, ITS Design Center, Surabaya, 2009. Hadi, K. Purwadaria, “Potensi Inkubator Dalam Membangun UKM Inovatif”, Inkubator Bisnis IPB, Jakarta, 2009. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Kuncoro, B. Prayitno., “Peta UMKM Inovatif Berbasis Teknologi”, Pusat Pengkajian Kebijakan Difusi Teknologi, Kedeputian Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, 2009. Manek Simamora, “Strategi Pengembangan Lembaga Intermadiasi”, LIPI, 2009. Musa Hubeis, “Prospek Usaha Kecil Dalam Wadah Inkubator Bisnis”, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan Pertama, Juli 2009. Musa Hubeis, “Strategi Menumbuhkembangkan UMKM Inovatif”. Makalah FGD Pemetaan UMKM, Jakarta, 25 November 2009. 12. Nicolas Jequier, “The World of Appropriate Technology: a quantitative analysis”, OECD, Paris, 1983. 13. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor KEP-47/M.EKON/07/2008 tentang Pusat Inovasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. 14. Romesh K. Diwan dan Dennis Livingston, “Alternative Development Strategies and Appropriate Technology”, Pergamon Press, New York, 1979. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Wayan Suardja, “Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM”, Kementerian Koperasi dan UMKM, Jakarta, 2009.
10
11