Peran KOMPETISI dalam pendidikan untuk meluluskan insinyur yang tangguh1 Wiryanto Dewobroto Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan email :
[email protected] ABSTRAK Dalam era globalisasi, ditunjang tersedianya infrastruktur telekomunikasi yang mendukung, maka informasi mudah tersebar dan diketahui banyak orang. Apalagi kebijakan transparasi mulai umum diadopsi oleh institusi-institusi pemerintah atau masyarakat bisnis, yaitu untuk menunjukkan bahwa semuanya telah dilakukan secara benar. Maklum di dalam era saat ini, ketertutupan dapat menjadi awal investigasi yang tak dikehendaki. Itu juga berarti: kesempatan kerja, yang dulunya dapat dicari dengan bantuan orang dalam, sekarang berbeda, jadi terbuka. Itu menyebabkan “katèbèlècè” atau “perkoncoan”, yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan, menjadi tidak efektif lagi. Satu-satunya cara yang logis dan nalar untuk menghadapinya (memperoleh kesempatan kerja tersebut) adalah mempersiapkan diri secara profesional di bidang yang ditekuninya dan bisa “menjualnya”. Itu adalah fakta yang nanti harus dihadapi oleh setiap lulusan perguruan tinggi, yaitu bentuk lain dari kompetisi. Jadi jika dari awal telah dimasukkan unsur kompetisi dalam pendidikan, tentu mahasiswa akan sangat terbantu untuk menghadapi masa depan. Selain memperoleh kepandaian, juga mendapat bekal sikap yang berani, tangguh sekaligus menguji diri. Jadi paparan yang akan disampaikan adalah terkait dengan bagaimana mahasiswa perlu bersikap, bersiap dan bertindak terkait dengan kompetisi. Tentu saja paparan ini bisa saja bersifat subyektif dan tidak berlaku umum untuk setiap orang, tetapi minimal dapat menjadi bahan pemikiran lebih lanjut untuk akhirnya dapat dipilih suatu strategi yang sesuai untuk seseorang (mahasiswa) kasus per kasus. Semoga berguna.
1. PENDAHULUAN Bagi penulis, bisa tampil di acara “Workshop Peningkatan Daya Saing Dalam Kompetisi Internasional Teknik Sipil” adalah tidak terpikirkan sebelumnya. Maklum, kecuali kata teknik sipil, maka rasanya topik tersebut sangat umum dan tidak ada yang khas terkait dengan kompetensinya. Jadi ketika panitia dari Universitas Brawijaya (UB) membuat kontak pertama kali, ada rasa heran dan berpikir : “Apa tidak salah? ”. Maklum institusi sekelas UB tentu mempunyai banyak kadindat yang cocok mengisi. Oleh sebab itu wajar jika waktu itu penulis langsung menyarankan untuk mengundang yang lain saja. Beberapa hari kemudian, tepat seminggu sebelum acara, panitia membuat kontak kembali via telpon meminta kesediaan mengisi acara tersebut. Karena itu sudah ke dua kalinya, maka tanggapannya jadi berbeda, penulis berpikir: “ Ini tentu bukan kesalahan ! ”. Meskipun begitu, agar tidak geer dengan kontak telpon tersebut, penulis ingin yang tertulis termasuk detail acaranya. Panitia sigap, permintaan tertulis sekaligus rundown acara, dikirimkan langsung via email. Ternyata acaranya cukup serius, hampir sehari penuh, dan akan diisi oleh empat pembicara. Salah satunya adalah penulis. Istimewanya, penulis adalah satu-satunya pembicara dari “luar”. Ini tentu sesuatu yang istimewa, dan menjadi suatu kehormatan untuk memenuhi undangan tersebut. Sebelumnya, janganlah berpikir yang bukan-bukan, maksud istimewa di sini : tidak berarti yang dari “luar” adalah yang paling kompeten di dalam hal kompetisi. Bukan, bahkan itu tidak terpikirkan. 1
Workshop Peningkatan Daya Saing Dalam Kompetisi Internasional Teknik Sipil, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Sabtu, 10 Mei 2014, Ruang Sidang Jurusan Sipil Gedung A Lantai 2, Malang
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
1 dari 15
Bagaimana tidak, pengalaman penulis selaku juri tingkat nasional pada beberapa event Kompetisi Jembatan Indonesia (KJI), dapat mengetahui betul : bagaimana sepak terjang UB pada kompetisi KJI. Untuk itu bahkan penulis berpendapat “kalau tidak ada peserta dari UB maka rasanya KJI akan sepi”. Itu menunjukkan bahwa tentang soal kompetisi maka UB bukanlah anak kemarin sore, yang perlu petunjuk dari luar. Mereka sudah tahu, apa itu yang namanya kompetisi dan bagaimana dapat melakukan dengan baik. Apalagi ditambah bukti bahwa penyelenggaraan kompetisi tahun lalu, yaitu KJI IX dan KBGI V, telah sukses secara meriah diselenggarakan oleh UB di kampus ini. Jadi terkait soal kompetisi maka UB dapat dikatakan sebagai salah satu biang atau ahlinya. Oleh karena itu, tujuan penulis sebagai pembicara kali ini adalah bukan untuk memberi petunjuk, tetapi sebagai sharing. Sehingga dapat diharapkan “sesuatu yang berbeda” atau adanya “cara pandang lain”, yang melengkapi materi workshop ini. Semoga apa yang diharapkan ini dapat terwujud. Amin.
2. KOMPETISI DAN KESIAPAN MENGHADAPI Mendengar kata “kompetisi” tentu terkesan lebih enak dan dapat diterima, dibandingkan mendengar kata “persaingan”. Padahal disadari atau tidak, bagaimanapun juga ada kesamaan di antara keduanya, yaitu memperbandingkan satu dengan yang lainnya. Jika persaingan pada akhirnya adalah untuk mencari tahu : siapa yang kalah atau siapa yang menang. Maka kompetisi mempunyai konotasi yang terkesan lebih positip, yaitu mengarah pada prestasi, dengan mengukur kemampuan mencapai suatu kriteria tertentu yang telah ditetapkan. Jadi dengan kriteria seperti itu, maka kondisi akhir tidak harus win-lose, tetapi dapat dihasilkan win-win, semua pihak merasa happy. Maklum dengan kompetisi maka suatu target minimum yang diharapkan, akan dapat tercapai secara tidak langsung. Memang, jika dikaitkan dengan keterbatasan tempat, misal untuk menjadi juara, maka tentunya dalam kompetisi perlu dipilih kadindat dengan kemampuan yang terbanyak dibanding lainnya. Sehingga ada saja yang berargumen bahwa pada akhirnya kompetisi juga akan merujuk pada siapa yang dapat (menang atau hidup) dan siapa yang tidak mendapat (kalah atau bahkan mati). Sehingga secara tidak langsung, dapat disadari juga bahwa hidup itu pada dasarnya adalah kompetisi itu sendiri. Bagaimana tidak, untuk mencapai suatu tingkat kesejahteraan tertentu, manusia harus mampu juga mencapai suatu kriteria tertentu. Tahap minimal adalah hidup secara mandiri dan tidak tergantung orang lain. Ini terlihat sepele, tetapi faktanya tidak mudah. Maklum, untuk menjadi mandiri dan tidak tergantung itu awalnya tidak mudah. Ibarat seperti anak kecil yang sebelumnya terbiasa disuapi atau merasa puas dengan kondisi yang ada. Ketika kemudian ditinggal sendirian, maka sebagian besar anak akan ketakutan, bahkan menangis. Menghadapi seperti itu, maka langkah efektif mengatasinya adalah menumbuhkan kesadaran bagi si anak, misal dengan mengatakan bahwa sebenarnya dia tidak sendirian karena selalu dilihat dari jauh, sehingga kaluu ada masalah akan tahun, atau cara lain. Jika pada diri seorang dapat tumbuh kesadaran berkompetisi, minimal mampu meraih kemampuan untuk mandiri dan tidak tergantung orang lain, atau bahkan yang lebih baik lagi, yaitu tidak mau kalah dibanding lain, dan jika itu terjadinya pada anak-anak muda dalam jumlah mayoritas, maka tidak dipungkiri lagi itu akan menjadi bangsa besar. Kondisi itulah yang benar-benar dapat membuat suatu bangsa menjadi merdeka, dan tidak tergantung negara lain. Semua pihak pasti akan segan . Negara Indonesia sudah merdeka sejak 68 tahun lalu, tetapi apakah setiap rakyatnya juga sudah merdeka (mandiri dan tidak tergantung bangsa lain). Kita perlu berintrospeksi diri tentunya. Oleh karena itu jika berbicara tentang kompetisi, maka cakupannya menjadi sangat luas, semua pihak dapat berkepentingan. Jika itu dikaitkan dengan tingkat negara, yaitu agar mampu berkompetisi dengan negara lainnya, maka itu hanya bisa terwujud jika dimulai dari adanya kesadaran untuk Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
2 dari 15
meningkatkan kemampuan berkompetisi dari individu-individu manusianya terlebih dahulu. Tentu saja untuk itu perlu teladan dan diharapkan pemimpinnya yang seperti itu. Jika tidak dimulai dari situ, akhirnya jadi seperti anak kecil, yang ketakutan untuk memulai. Tetapi kalau fase ketakutan itu tidak ditangani dengan baik, akhirnya si anak akan tergantung terus sampai dewasa dan akhirnya . . . mati. Jika seperti, hidup seseorang tidak bermakna, ada dan tiada menjadi tidak ada pengaruhnya. Tetapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, dapat berani untuk mandiri dan tidak tergantung lagi, maka anak itu tentunya akan menjadi pribadi menarik dan menjadi manusia yang berguna, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Bahkan memberi pengaruh positip bagi yang lain. Jadi diadakannya workshop terkait akan perlunya kemampuan berkompetisi, yang diadakan oleh UB pada hari Sabtu, 10 Mei 2014 ini, tentunya akan sedikit banyak menumbuhkan kesadaran diri individu dan memahami bahwa kemampuan berkompetisi, baik melalui event resmi atau sekedar kegiatan sehari-hari, merupakan langkah awal menuju kesuksesan pribadi. Sekaligus akan berpengaruh pada kemajuan bangsa dan negara. Karena semua tindakan dan hasil dimulai dari cara berpikir, maka workshop seperti ini, yaitu berpikiran tentang bagaimana berkompetisi adalah penting dan strategis. Proses ditumbuhkannya kesadaran untuk mandiri dan tidak tergantung adalah sebenarnya esensi dan fungsi pendidikan & pengajaran yang harus diberikan. Untuk itu, modal penting pendidikan adalah penguasaan bahasa, agar dapat dijalin komunikasi, langsung (lesan) atau tidak langsung (tertulis). Adanya komunikasi maka semua informasi, pengetahuan, atau petunjuk dapat ditransfer untuk ditularkan dari orang satu ke orang lainnya. Sehingga tujuan untuk bagaimana dapat mandiri dan tidak tergantung itu akhirnya tercapai. Pada proses pendidikan dan pengajaran maka sadar atau tidak sadar, kemampuan untuk berkompetisi telah secara dini ditumbuhkan. Lihat saja, pada setiap proses pendidikan dan pengajaran akan selalu diakhiri dengan evaluasi kegiatan belajar-mengajar, berupa ujian dan pemberian nilai. Evaluasi itu penting khususnya untuk mengukur apakah seorang siswa telah mampu meraih suatu kompetensi tertentu. Karena jika nilainya tidak mencapai suatu tahapan tertentu, maka siswa dapat saja kembali tinggal kelas untuk mengulang materi pelajaran yang telah diberikan sebelumnya. Jika proses evaluasi dan penilaian itu dapat diberikan secara nasional oleh pemerintah, dan berlaku umum kepada semua peserta didik yang setingkat. Maka tentu nantinya dapat dilihat bagaimana peta kompetensi proses pendidikan di masing-masing daerah yang menyelenggarakan evaluasi tersebut. Saya yakin itu adalah salah satu yang diharapkan dari ujian nasional (UN). Dampak evaluasi yang diadakan seperti itu memang bisa berbeda-beda. Ada pihak yang senang, ada pihak yang memprotes dan berkeberatan, bahkan ada juga yang menjadi ketakutan. Itu adalah konsekuensi logis dari suatu evaluasi yang hasilnya berupa penilaian (score), sehingga dapat dilakukan perbandingan antara satu individu dengan individu lainnya. Jadi ada yang bisa merasa WIN dan LOSE. Maklum nilai hasil tadi dapat dikaitkan dengan kriteria kelulusan, yang berdampak pada hal lain yang lebih kompleks sifatnya. Adanya penyelenggaraan UN yang berlaku nasional selama beberapa tahun ini, merupakan petunjuk bahwa budaya kompetisi telah mulai dikembangkan dan dapat dijadikan rujukan bersama. Jadi mau tidak mau, siap tidak siap, maka peserta didik di Indonesia harus berhadapan dengan kompetisi. Oleh karena itu sangat wajar jika selaku anggota civitas akademik perlu duduk bersama memikirkan bagaimana kesiapan terhadap kompetisi yang akan terjadi. Tentu saja ini tidak terbatas pada kompetisi yang diselenggarakan oleh suatu event tertentu, tetapi kompetisi secara umum, yaitu kemampuan untuk dapat hidup secara mandiri, tidak tergantung orang lain, dan bahkan memberi pengaruh. Kalaupun pembahasan masih terbatas pada kompetisi untuk suatu event tertentu, maka itu harus dianggap sebagai latihan untuk mencapai tujuan umum tadi.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
3 dari 15
3. KOMPETISI, LATAR BELAKANG DAN HARAPAN Kata “kompetisi” adalah istimewa, maklum tidak setiap orang nyaman mendengar kata itu. Ini tentu perlu disadari khususnya bagi pihak yang menginginkan suatu kompetisi dapat berlangsung sesuai rencana. Kata itu jelas berbeda dibanding kata “enak” atau kata “cantik” atau lainnya yang serupa. Untuk kata-kata seperti itu hampir setiap orang dapat menerima, bahkan menikmatinya. Oleh karena itu kata enak atau cantik, tidak perlu ditawarkan lagi. Bahkan banyak yang mencarinya sendiri. Hal berbeda dengan kata “kompetisi”, yang mendengar kata itu pasti akan berpikir terlebih dahulu dan mencoba mengaplikasikan pada diri sendiri. Ketika dengan kata “kompetisi” tersebut dapat tersirat suatu “harapan”, maka tentu akan ditanggapi dengan suka cita. Jika tidak, dan tidak ada tuntutan yang mengharuskannya, pasti akan diabaikan atau bahkan dihindari. Pengertian harapan itu sendiri umumnya bersifat subyektif, tergantung latar belakang kompetensi (infra struktur yang mendukung) dan juga impian (tujuan hidup) seseorang. Tentu saja yang disebut impian adalah sesuatu yang belum terwujud, dan sifatnya subyektif. Kadang kala, yang disebut impian itu sendiri masih abstrak, tidak jelas atau terlalu umum. Seperti misalnya : ingin menjadi orang sukses. Tapi sukses yang seperti apa, masih juga belum tahu. Juga bahagia, padahal itu suatu kondisi pikiran. Oleh sebab itu dalam pembentukan tim untuk suatu kompetisi, maka langkah awal adalah dapat memilih anggota tim yang mempunyai latar belakang kompetensi yang seimbang. Kalau tidak, maka minimal mereka harus dapat saling mengisi antara kelebihan dan kekurangan masing-masing. Itu baru modal awal, selanjutnya agar tercipta enerji, maka harus disamakan impiannya atau dengan kata lain dapat diberikan iming-iming (harapan) yang dapat dipahami dan diterima dengan baik. Besar kecilnya enerji, tentu tergantung dari besar kecilnya impian yang ingin diwujudkan. Akan sangat baik, jika impian diarahkan ke sesuatu yang lebih besar, tidak sekedar untuk diri sendiri, tetapi lebih dari itu. Bisa juga ditingkatkan pengaruhnya, seperti untuk kepentingan institusi, daerah dan sebagainya. Semakin besar cakupannya maka akan semakin dahsyat hasilnya. Sehingga wajar-wajar saja jika kemudian ada yang mengkaitkannya dengan nats pada kitab suci, seperti misalnya: Whatever you are doing, let your hearts be in your work, as a thing done for the Lord and not for men. – [Colossians 3:23] Tentu saja tidak terbatas pada kalimat di atas saja. Itu diambil karena menjadi salah satu nats favorit (subyektif), dan mudah didapat di internet. Kalimat penyemangat lain, tentunya yang dapat dipahami dan diamini bersama oleh tim, dapat dipakai. Kesiapan mental anggota tim sangat berpengaruh. Salah satu indikator kesiapan tersebut adalah adanya keyakinan bahwa proses persiapan telah dilakukan secara benar, dan dapat diraih impian bersama. Pentingnya keyakinan telah disadari orang berabadabad lamanya dan itu sebaiknya dapat dimanfaatkan dengan baik. Untuk memahami apa maksudnya, ada baiknya dikutip lagi nats dari kitab suci tentang keyakinan yang dimaksud : . . . for truly I say to you, If you have faith as a grain of mustard seed, you will say to this mountain, Be moved from this place to that; and it will be moved; and nothing will be impossible to you. – [Matthew 17:20] Jadi dalam mempersiapkan suatu tim untuk kompetisi, karena harapan adalah enerji yang tak terlihat dan sangat penting, maka segala aspek, baik fisik dan mental harus ditingkatkan dan terus dibina. Bahkan tidak itu saja, juga perlu disiapkan mental untuk menerima kekalahan. Itu penting agar tim tetap selalu dalam pengharapan, tidak putus asa, dan dapat berjuang lagi untuk kesempatan yang lain. Bagaimanapun juga itu adalah wujud dari kata ketahanan, ketangguhan, berani dan tidak cengeng.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
4 dari 15
4. KOMPETISI DAN MAHASISWA TEKNIK SIPIL Berbicara tentang kompetisi kepada kalangan mahasiswa adalah lebih mudah dibanding berbicara hal yang sama kepada pihak lain, misalnya kelompok orang tua lanjut usia. Kata “kompetisi” jadi menarik jika disampaikan kepada kelompok yang menyadari atau bahkan mempunyai kepercayaan diri bahwa potensi yang dipunyai masih memungkinkan (sesuai nalar dan logika) untuk mewujudkan mimpinya. Adanya banyak mimpi yang ingin diwujudkan bisa juga diartikan sebagai banyaknya keinginan atau buah pikiran yang belum terwujud. Itu bisa juga menjadi kriteria terkait kondisi yang “belum mapan”. Jadi kalau kata kompetisi juga ditujukan kepada kelompok yang (merasa sudah) mapan, yang puas dengan kondisinya (tidak punya mimpi yang lain). Maka dapat dipastikan akan dilihat dengan curiga, jangan-jangan kondisi yang ada menjadi terpengaruh. Apalagi jika ingat pepatah : “Harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”, ditambah mental penakut, maka jika ditawari kompetisi, pasti akan menghindarinya. Kondisi yang mirip, bisa juga terjadi di dunia akademik. Seperti misalnya : perguruan tinggi yang ingin meningkatkan status akreditasinya. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah peningkatan status gelar akademik pengajar, dari S1 ke S2 atau S3. Untuk itu, bisa saja biaya untuk studi lanjutnya ditanggung institusi. Jadi ada kesan seperti pemberian hadiah pada dosen. Meskipun demikian, karena studi lanjut itu mengandung risiko, tidak otomatis pasti lulus, tetapi perlu perjuangan, yang berarti suatu kompetisi juga. Jika studi lanjut itu sukses, pihak perguruan tinggi pasti senang termasuk dosen pesertanya. Tetapi jika gagal, maka jelas status dosen akan dipertanyakan : apa masih layak menyebut diri sebagai "master" atau "guru". Itu akan menyebabkan malu dan akhirnya tidak punya kepercayaan diri lagi. Risiko seperti itu kadangkala yang menyebabkan : mengapa tidak setiap tawaran studi lanjut pasti disambut hangat. Biasanya yang berminat dan antusias hanya dosen muda, yang masih bermimpi (belum mapan). Ini menjadi contoh bagaimana hidup pada dasarnya adalah kompetisi, sadar atau tidak. Salah satu mimpi atau harapan yang lain adalah agar dapat dianggap ada dan dihormati. Kembali ke dunia anak muda. Umumnya mereka mempunyai banyak mimpi, karena muda tentunya belum banyak terwujud, atau kata lain “belum mapan”. Jadi kalau ada tawaran kompetisi, maka itu dapat ditanggapi dan dikerjakan dengan semangat nothing to lose. Sebagian besar bahkan tidak berpikir tentang risikonya, lebih banyak yang menaruh harapan positip dan berpikir, “siapa tahu aku akan menjadi lebih baik”. Karena mahasiswa kebanyakan masuk dalam golongan anak muda seperti itu, maka tawaran kompetisi dan bagaimana cara memenangkannya, pasti akan lebih laku. Proses belajar dan mengajar di dunia akademik khususnya dalam bentuk kelas, secara sadar atau tidak, telah memanfaatkan prinsip-prinsip kompetisi. Paling sederhana adalah adanya proses evaluasi kelas, yaitu untuk melihat hasil proses belajar murid. Murid dengan nilai (score) tertentu dianggap mampu menangkap atau menguasai pelajaran, bahkan yang tertinggi dianggap terbaik di antara yang lain. Jika ada suatu pemilihan, dalam pembentukan tim atau kelompok tugas tertentu, maka banyak yang memakai hasil nilai tersebut. Jadi dalam pencapaian suatu nilai pada dasarnya juga suatu bentuk kompetisi. Itu berarti : menjadi murid, maka secara praktis mereka sudah masuk dunia kompetisi. Bagi mahasiswa, yang merupakan level akhir sebagai murid, tentunya telah berpengalaman melewati berbagai tahap penilaian (kompetisi). Apalagi menjadi mahasiswa di perguruan tinggi favorit, seperti UB ini. Bagaimanapun, karena jumlah tempat duduk terbatas, padahal peminat yang ingin masuk banyak, maka terjadilah kompetisi yang tidak ringan untuk mendapatkannya. Jadi berbicara tentang kompetisi dihadapan mahasiswa UB, bukanlah sesuatu yang asing karena mereka sendiri adalah hasil kompetisi tersebut. Ini fakta, apalagi jika ingin membentuk suatu tim untuk suatu kompetisi artifisial (buatan), yang menyaring lagi dari mahasiswa-mahasiswa tersebut. Itu tentunya akan lebih gampang
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
5 dari 15
lagi. Jika dari segi modal dasar sudah memenuhi, maka untuk mengolah atau memproses adalah tinggal memberi mimpi-mimpi yang diamini bersama. Selanjutnya berlatih pada kompetensi yang sesuai dengan kriteria dan syarat dari kompetisi yang akan dijalani. Penulis tidak akan membahas tentang bagaimana pembimbingan untuk suatu kompetisi perlombaan. Teman-teman di UB tentu sudah berpengalaman, tetapi jika masih ingin mengetahui pengalaman penulis ada juga paper penulis yang lain (Dewobroto 2007). Maklum kompetisi seperti itu bersifat proyek, ada batas waktu dan target pencapaiannya, sehingga strategi yang digunakan perlu ditinjau kasus per kasus, tergantung kriteria dan syarat perlombaan yang akan diikuti. Berbicara tentang kompetisi dan mahasiswa teknik sipil. Penulis ingin membahas permasalahan yang lebih luas, khususnya tentang kompetisi untuk menjadi insinyur sipil yang profesional. Maklum itulah harapan atau mimpi secara umum bagi mahasiswa yang sedang belajar bidang teknik sipil di seluruh dunia. Bidang keahlian teknik sipil punya peranan vital bagi kesuksesan pembangunan infrastruktur suatu negara. Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dan terpisah-pisah oleh lautan dan sungai. Masih banyak wilayahnya yang tertinggal sehingga pembangunan infrastruktur menjadi sesuatu yang penting bagi kemajuan negara tersebut. Itu menunjukkan bahwa kebutuhan insinyur yang profesional adalah suatu fakta yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Jika insinyur lulusan dalam negeri tidak siap, maka dengan adanya era globalisasi dan keterbukaan ini pastilah akan diisi oleh insinyur dari manca negara. Itu yang menyebabkan para lulusan pasti akan menghadapi kompetisi yang tak terelakan. Jadi tidak sekedar kompetisi pada lomba, hanya sekedar mengejar kebanggaan, lebih dari itu, yaitu agar dapat hidup sebagai insinyur yang terhormat dan di negeri sendiri. Kalaupun ternyata insinyur dari manca negara belum tertarik untuk berpartisipasi di sini. Maka tentunya di antara insinyur lulusan dari dalam negeri itu juga akan saling berkompetisi untuk merebut kesempatan yang ada. Bagaimanapun juga, meskipun banyak kesempatan pekerjaan yang tersedia dan harus diselesaikan. Tetapi dalam konteks penyediaan insinyur sipil masih perlu dilakukan kompetisi. Maklum dengan begitu banyaknya lulusan, maka tentu saja mereka tidak dapat dipilih secara otomatis untuk dilibatkan pada suatu proyek. Pemilih modal perlu memastikan bahwa investasi yang ditanam akan dikerjakan oleh orang yang tepat. Agar hasilnya tidak membuat kecewa. Jadi mereka perlu memilih diantara insinyur-insinyur yang ada, siapa yang dianggap berhak. Itulah kompetisi yang nanti harus dihadapi. Karena jika tidak ada suatu usaha baru, maka situasinya akan masih seperti sekarang, dimana ketika ada penyelesaian konstruksi baru, yang belum pernah ada, maka yang mengerjakan adalah insinyur dari manca negara. Itu jelas menunjukkan bahwa tingkat kompetisi insinyur dalam negeri belum dapat dibandingkan, atau masih terbatas. Memang, untuk kasus seperti itu persoalannya tidak hanya terbatas pada kompetensi rekayasa saja, ada hal-hal lain. Tetapi sebenarnya kalau memang benar terbukti kita banyak mempunyai insinyur yang berkompeten dan dapat menjual, maka minimal itu dapat menjadi pembanding bagi insinyur dari luar. Proyek tentu akan lebih kompetitif. Terkait dengan keprihatinan di atas, penulis mencoba mengulas tentang hal-hal yang diperlukan agar kompetensi insinyur kita dapat meningkat sehingga siap berkompetisi dengan rekan-rekannya dari manca negara. Apa yang penulis bahas ini sifatnya lebih holistik, secara luas dan tidak sekedar sebagai suatu penyelesaian masalah yang terbatas. Meskipun demikian, sifatnya bisa dikategorikan subyektf yang didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan penulis sendiri. Tentu saja, pada kenyataan bisa saja berbeda dengan rekan sejawat senior yang lain. Meskipun begitu, karena ide ini juga disampaikan secara tertulis maka harapannya dapat dijadikan bahan pemikiran dan pembanding bagaimana dapat menemukan strategi yang paling tepat atau paling cocok pada suatu pribadi.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
6 dari 15
5. KOMPETISI DI BIDANG REKAYASA DAN KEMAMPUAN BERBAHASA Kemampuan bangsa manusia mendirikan bangunan besar, megah tidak diragukan lagi. Ketika ada sekelompok manusia, atau suatu bangsa meragukan bahwa sesuatu tidak akan bisa dibangun atau didirikan, ternyata di sudut dunia lain, ada manusia atau bangsa yang berhasil membuktikan bahwa itu bisa didirikan. Bagi bangsa yang masih meragukan kompetensi membangun sendiri, tetapi masih berkeinginan kuat mendirikan sesuatu yang akan dibangun dan punya modal cukup, maka solusinya penyelesaiannya adalah cukup sederhana, yaitu komunikasi. Adanya kemampuan komunikasi yang baik memungkinkan terjadinya sharing antar manusia secara menguntungkan. Seperti diketahui bersama, kemampuan manusia sangat beragam, sangat jarang yang menguasai segala-galanya. Di satu sisi ada yang punya materi berlebih tapi tanpa keahlian yang diperlukan, sedangkan di sisi lain punya keahlian tapi juga butuh materi. Komunikasi menghasilkan titik temu. Salah satu unsur penting dalam komunikasi adalah kemampuan berbahasa. Hubungan antara kemampuan berbahasa dan membangun (rekayasa), ternyata bisa sangat lekat. Bahkan jika salah satu dari itu tidak ada, bangunan tidak akan dapat berdiri. Bagi masyarakat yang terbiasa mengenal pembagian IPA (eksakta) dan IPS (sosial) akibat sistem pendidikan di sekolah-sekolah, tentu merasa bahwa pernyataan di atas sangat berlebihan. Bagaimana tidak, kemampuan membangun atau rekayasa adalah eksak, sedangkan kemampuan berbahasa, noneksak. Selama ini kesannya adalah dua bidang keahlian terpisah, berdiri sendiri. Jadi mengapa membangun perlu kemampuan berbahasa. Argumentasi yang dirasakan wajar bagi kita semua, yang merasa wajar juga dengan pembagian kelas IPA dan IPS. Silahkan ini dijadikan bahan renungan. Untuk menghindari stagnasi, ada baiknya dibaca terlebih dahulu mengapa legenda menara Babel yang terdapat pada kitab Kejadian, tidak berhasil dibangun : Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. . . . Juga kata mereka: ”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” . Lalu turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, dan Ia berfirman: ”Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacau-balaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing. Demikianlah mereka diserakkan Tuhan dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. [Kejadian11:1, 4-8]
Ternyata risalah berumur ribuan tahun tersebut telah mengungkapkan secara tepat, betapa pentingnya kemampuan berbahasa (berkomunikasi) bagi kesuksesan suatu proyek pembangunan. Kebenaran isi risalah tersebut tentu tidak perlu diragukan lagi, bahkan diyakini hal itu masih relevan sampai saat ini. Bagi calon sarjana teknik sipil, yang nantinya bekerja pada bidang rekayasa sipil dan siap menghadapi era pembangunan gedung tinggi dan jembatan bentang panjang, maka jangan lupa mempersiapkan diri, berlatih meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi, baik lesan maupun tertulis. Jadi jangan terjebak berkutat saja pada pengetahuan atau ketrampilan harafiah dalam hitung berhitung. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
7 dari 15
Meskipun itu juga penting, tapi yang lebih penting adalah dari hitungan yang dibuat, apa yang dapat diungkapkan. Jangan lupa, pada dasarnya manipulasi angka-angka hitungan, yang disebut juga matematika, sebenarnya fungsinya sama seperti bahasa sehari-hari, yaitu mengkomunikasikan penalaran, merumuskan fenomena alam, dan mengungkapkan kepastian (Suriasumantri 2006). Pada konteks komunikasi tersebut, jika dapat dipergunakan media tertulis akan sangat luar biasa dampaknya. Bahkan ada orang yang berani menyatakan bahwa kemajuan peradaban dan budaya suatu bangsa sangat tergantung dari produk tertulis yang dihasilkannya. Itu bisa dibenarkan, karena tulisan apapun bentuknya merupakan suatu ungkapan pikiran yang ingin disampaikan ke orang lain. Adanya tulisan, maka pikiran-pikiran orang yang banyak sekalipun akan dapat dirangkumkan menjadi satu kesatuan sehingga dapat disimpan, dan dibaca di lain waktu. Dari tulisan pula maka pikiran seseorang dapat diketahui oleh orang banyak, dipahami dan bisa saja dilaksanakan sekaligus secara bersama, bahkan pada tempat berbeda sesuai keinginan penulis. Dari situlah pikiran menyebar. Bisa baik dan buruk. Pada konteks rekayasa maka dari tulisan itu pulalah, maka seseorang dapat belajar bagaimana suatu bangunan dapat dibangun. Tentu saja untuk itu, tulisan yang dimaksud harus ditulis oleh orang ahli bangunan yang dimaksud, jika tidak, maka tentu tidak akan bermakna. Oleh karena itu, untuk menghadapi era kemajuan bidang konstruksi, selain harus mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang baru, maka insinyur-insinyur teknik sipil yang ingin kompeten, juga harus melengkapi diri dengan kemampuan berkomunikasi, khususnya bahasa tulis. Berbicara tentang kompetensi, memang benar bangsa ini telah membangun jembatan terpanjang di Indonesia yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura (jembatan Suramadu). Apakah itu berarti secara otomatis para profesional jembatan di Indonesia telah mengambil manfaatnya. Tanpa adanya pengalaman selama keterlibatan pada proyek besar tersebut yang ditulis, dan dipublikasikan secara luas, maka informasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang digunakan untuk pembangunan tersebut, juga tidak diketahui oleh bangsa ini. Kecuali oleh segelintir orang yang terlibat langsung pada proyek tersebut. Jika itu terjadi, maka kemampuan (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang dikuasi tidak akan dapat melewati generasi berikutnya, kalaupun bisa itupun sangat inklusif, hanya orangorang tertentu. Berarti tidak ada perkembangannya yang luas. Melihat itu semua, tentunya dapat dipahami bahwa kemampuan menulis secara baik adalah sama pentingnya dengan penguasaan ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Adanya kemampuan menulis memungkinkan terjadinya penyebaran ilmu, sekaligus pematangan ilmu pengetahuan yang ditulis. Maklum, untuk dapat ditulis secara baik, ilmu pengetahuan yang dipahami penulisnya, perlu ditata dan dikelola secara tepat, logis, juga kronologi, sehingga dapat dipahami orang lain secara mudah. Jika ilmu yang dituliskan itu dibaca orang lain yang kompentensinya sama atau lebih tinggi, maka tentunya dapat dievaluasi dan diberikan komentar yang membangun. Jika itu yang terjadi, maka penulis ilmu tersebut akan mendapat masukan untuk perbaikan dan akhirnya mendapatkan keyakinan diri bahwa ilmu yang dipelajarinya memang telah benar adanya. Itulah alasan mengapa ilmuwan kelas dunia, dievaluasi dari produk tulis yang dipublikasikannya di jurnal-jurnal yang bereputasi. Dengan cara pikir seperti di atas, penulis senang dan lega ketika Dirjen Dikti, Prof. Dr. Djoko Santosa, tanggal 27 Januari 2012, menerbitkan Surat No. 152/E/T/2012 yang ditujukan kepada para pimpinan perguruan tinggi seluruh Indonesia perihal “Publikasi Karya Tulis”. Isinya meminta alumni perguruan tinggi di Indonesia wajib pernah menerbitkan suatu tulisan di jurnal ilmiah. Ditinjau dari segi intelektualitas, bahwa tulisan merupakan isi pikiran seseorang, maka tentunya surat Dirjen Dikti tersebut merupakan suatu terobosan baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi bangsa ini.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
8 dari 15
Dalam prakteknya, persyaratan wajib publikasi dari Dirjen Dikti di atas tentu tidak gampang. Maklum, pada tingkat dosennya sendiri umumnya juga tidak terbiasa untuk menulis, apalagi dipublikasikan. Untuk mensukseskan hal tersebut memang diperlukan kerja keras dari semua pihak yang terkait.
6. KOMPETISI DALAM BENTUK PENULISAN DAN PRESENTASI REKAYASA Kemampuan menyampaikan (mengkomunikasikan) ide, adalah suatu ketrampilan yang tidak mudah. Meskipun demikian itu sangat penting, tidak hanya untuk diplomat saja, tetapi juga bagi insinyur itu sendiri. Kemampuan itu penting, karena bisa memberi pengaruh. Suatu rencana proyek yang hampir jadipun bisa gagal ketika mendapat isue yang negatif. Itu bisa terjadi jika insinyur perencana tidak bisa memberi argumentasi balik yang positip untuk menolaknya. Pentingnya kemampuan menyampaikan ide atau komunikasi bagi seorang insinyur juga telah disadari banyak pihak. Sebagai contoh adalah kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh SEI (Structural Engineering Institute), suatu komunitas aktif yang terdiri lebih dari 25 000 insinyur teknik sipil dalam wadah asosiasi insinyur teknik sipil Amerika, yaitu ASCE (American Society of Civil Engineers). Seperti dapat diduga, penyelenggaraan kompetisi bidang rekayasa oleh SEI tersebut juga menyasar pada anak-anak muda (mahasiswa). Nama kompetisi yang dimaksud adalah :
Student Structural Design Competition http://www.asce.org/SEI-Student-Competition/ Jika diperhatikan maka kompetisi di atas relatif sederhana dan tentunya akan lebih murah dibanding kompetisi di Indonesia, seperti KJI atau KBGI. Bagaimana tidak, materi yang dikompetisikan untuk tahun ini hanya terdiri dari materi tertulis dan presentasi saja. Spesifikasinya sebagai berikut : 2015 Competition : A written submission will be judged and three finalist teams will be invited to present their designs at Structures Congress in Portland, Oregon, April 23 – 25, 2015. The finalist teams will be judged on an oral presentation during the conference and 1st, 2nd, and 3rd place awards will be determined as a combination of the written submission and oral presentation. Awards include complimentary registration to the conference (up to three student registrations and one full registration for the faculty advisor) and cash prizes : 1st Place: $1,000 ; 2nd Place: $500 ; 3rd Place: $250. Apalagi strategi penilaian yang diberikan didasarkan pada hal-hal berikut :
Format – choice of an appropriate format, suitable for presentation to a client [10%]
Material - technical or theoretical content correctness [30%]
Demonstrated Knowledge and Understanding of Subject - depth of knowledge [20%]
Originality and Complexity - design and discussion innovative [20%]
Presentation - neatness, style, organization, clarity and readability [20%]
Itu menunjukkan bahwa untuk usaha peningkatan diri maka suatu kompetisi artifisial perlu dibentuk, dan yang paling penting untuk dipahami bahwa kompetisi itu tidak harus selalu berbentuk fisik atau ketrampilan, tetapi bisa didasarkan pada naskah tertulis dan presentasi. Itu tentu akan menjangkau peserta yang lebih banyak dan modal biaya yang relatif seditik. Cara yang dipilih oleh ASCE di atas tentu dapat dipertimbangkan untuk diadopsi di Indonesia. Itu juga suatu bukti, bahwa penyelenggaraan suatu kompetisi rekayasa tidak harus berbiaya tinggi.
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
9 dari 15
7. KEUNTUNGAN MENGUASAI KOMPETENSI REKAYASA SECARA MANDIRI Suatu bangsa yang mempunyai kompetensi tinggi di bidang rekayasa konstruksi, jelas mengindikasikan bangsa maju. Mereka akan mampu mendirikan bangunan-bangunan konstruksi yang besar atau megah sendirian, tanpa bantuan bangsa lain, sehingga kekayaan yang dipakainya akan kembali lagi kepada bangsa tersebut. Itu berarti kekayaan bangsa secara umum tidak berkurang, bahkan bisa semakin kaya karena mendapat tambahan adanya bangunan baru di wilayahnya. Bahkan jika kompetensinya itu begitu istimewa, dibandingkan yang dipunyai bangsa lainnya, maka dimungkinkan juga untuk dibagikan, atau membantu bangsa lain. Jika terjadi maka itu berarti dapat menambah devisa bagi bangsa itu sendiri. Bertambah kaya, meskipun mungkin sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut terbatas. Itulah yang terjadi pada negara kaya karena kepintaran manusianya, mereka akan semakin bertambah kaya, sedangkan negara kaya karena mengandalkan sumber alamnya yang dieksploatasi, maka lama-lama akan habis juga. Bagaimanakah kondisi di negara kita, Indonesia. Sudahkan menguasai kompetensi rekayasa secara mandiri. Ini tidak sederhana menjawabnya, jika disebut sudah tapi mengapa sampai terjadi keruntuhan jembatan seperti di Kutai Kartanagara tempo hari. Juga saat pembangunan jembatan Suramadu, jembatan terpanjang Indonesia, mengapa masih diperlukan kerja sama dengan pihak asing (China). Kondisi ini tentunya menunjukkan bahwa masih terdapat peluang luas bagi usaha-usaha peningkatan diri untuk lebih mandiri di bidang rekayasa di Indonesia.
8. BANGUNAN, AHLI BANGUNAN DAN INSINYUR Masyarakat awam di pedesaan (ada juga yang di kota) jika membangun rumahnya, maka mereka akan mencari tukang berpengalaman. Tidak pernah terpikir untuk mencari sarjana teknik sipil lulusan perguruan tinggi terkenal. Jadi tukang berpengalaman itu yang dianggapnya ahli bangunan terbaik, yang dapat membangun rumah yang kuat dan baik untuk menjadi tempat tinggalnya. Itu tidak mengherankan. Bayangkan, bahkan tanpa berpengalaman sebagai tukang, tapi jika didasari motivasi kuat dan keberanian serta rasa kebersamaan yang tinggi, dapat saja suatu masyarakat membuat bangunan untuk solusi permasalahannya. Untuk itu, perhatikan Gambar 1, jembatan sederhana berhasil dibangun untuk menyeberangi sungai yang lebar, foto diambil di Vietcong, Vietnam.
Gambar 1. Jembatan tradisionil bambu sederhana di Vietcong
Manusia dengan akal budi dan kemampuannya bernalar, ketika berinteraksi dengan alam sekitarnya, akhirnya dapat memperbandingkan satu hal dengan hal lainnya, untuk akhirnya dipilih mana yang terbaik. Itulah yang disebut naluri. Selanjutnya dengan konsep trial-and-error, dapatlah dibuat bangunan sederhana seperti di atas, memenuhi apa yang diperlukannya. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
10 dari 15
Manusia pada dasarnya bisa menjadi ahli bangunan untuk kepentingannya sendiri. Untuk itu, baca juga nats berikut: . . . Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. [Lukas 6:48]
Nats di atas dikutip dari kitab suci, untuk menunjukkan bahwa pengetahuan akan persyaratan bangunan yang kokoh dari jaman dahulu, ternyata masih dipakai ahli-ahli bangunan sampai pada masa sekarang. Tidak ada sesuatu yang baru lagi. Jadi, jika sampai diadakan pendidikan tinggi di bidang rekayasa teknik sipil. Apakah nanti lulusannya cukup menjadi seperti ahli bangunan saja, yaitu menjadi ahli melalui prinsip “bisa karena biasa”. Biasa diartikan juga sebagai berpengalaman, jadi ahli yang dimaksud akan bisa melaksanakan sesuatu jika hal itu pernah dikerjakan sebelumnya. Cara berpikir seperti itulah yang mendasari konsep pendidikan yang dikenal sebagai link-and-match, belajar tentang hal-hal yang nanti banyak ditemui saat bekerja, yang umumnya berupa ketrampilan praktis. Jika seperti itu tidak heran jika nanti akan ada jargon promosi : “siap meluluskan sarjana-sarjana siap pakai”. Apakah seperti itu yang dimaksud dengan tujuan pendidikan sarjana teknik sipil ? Konsep link-and-match itu sendiri, tentu saja tidak salah. Bukankah penerima kerja akan senang, jika ada pegawai baru dapat cepat beradaptasi dan berproduktivitas pada pekerjaan rutin yang ada. Apalagi memang, sebagian besar jenis pekerjaan konstruksi umumnya juga bersifat rutin. Kalaupun ada yang bersifat spesifik, dapat diambil alih sesaat oleh para seniornya. Tetapi jika tujuan pendidikannya adalah semata-mata link-and-match saja, diajarkan yang praktispraktis saja, maka dalam jangka panjang para sarjana tersebut pasti akan kewalahan menghadapi tuntutan masyarakat yang semakin maju (berubah). Konsep link-and-match tidak cukup untuk menghadapi jenis-jenis pekerjaan yang berubah-ubah, yang baru, yang belum ada sebelumnya. Karena jika demikian, ketika bertemu hal yang baru, maka yang bisa dikerjakan oleh ahli tersebut adalah “coba dulu”, yang berarti cara trial-and-error. Cara trial-and-error untuk hal yang sederhana dan beresiko kecil, tentunya tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika diaplikasikan pada hal-hal yang kompleks, yang beresiko tinggi terhadap biaya maupun keselamatan jiwa manusianya, maka tentu tidak dapat diandalkan lagi. Untuk itu maka tidak bisa lagi, sarjana teknik sipil harus menguasai ilmu pengetahuan yang mendasari aplikasi praktis, juga teknologi yang mendukungnya. Dalam banyak hal, ilmu pengetahuan yang dimaksud kadangkala bersifat teoritis, tidak praktis jika diaplikasikan pada permasalahan sebenarnya, yang begitu kompleks sifatnya. Tetapi itu penting untuk diberikan pada calon sarjana teknik sipil sebagai sarana membentuk kerangka berpikir logis berkaitan dengan bidangnya. Akhirnya untuk merangkum dua hal di atas, tujuan pendidikan sarjana teknik sipil diterjemahkan sebagai bisa meluluskan sarjana yang siap bekerja di bidangnya, maupun mempersiapkan diri untuk jenjang studi lebih tinggi. Melalui konsep pendidikan sarjana teknik sipil tersebut, diharapkan akan lahir tidak sekedar ahli bangunan, tetapi insinyur-insinyur teknik sipil yang kompeten. Jika ahli bangunan menekankan penyelesaian masalah mengandalkan pengalaman yang dimilikinya, baik itu berupa ketrampilan, atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada. Maka seorang
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
11 dari 15
insinyur teknik sipil diharapkan dapat bertindak lebih smart lagi. Jika ketemu permasalahan rutin, maka bisa saja memanfaatkan strategi yang digunakan juga oleh ahli bangunan, jika itu memang terbukti lebih efisien. Jika tidak memungkinkan, maka seorang insinyur akan berani mencoba strategi baru, yang dipilihnya berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya. Bahkan untuk permasalahan yang belum ada ilmunya, dimungkinkan untuk menderifasi ilmu baru, termasuk menciptakan teknologi yang membantunya. Konsep insinyur teknik sipil yang dimaksud, bukan hal yang mustahil, meskipun dalam banyak hal seorang sarjana teknik sipil sudah puas menjadi ahli bangunan saja asalkan berkecukupan materi. Adapun yang bisa disebut insinyur pada konteks tidak sekedar tukang, dapat dilihat pada pribadipribadi berikut: John A. Roebling, dengan jembatan Brooklyn di New York. Robert Maillart, dengan jembatan Salginatobel di Swiss. Fritz Leonhardt, dengan tower TV Stuttgart, di Jerman. Sedijatmo, dengan konstruksi Cakar Ayam-nya, di Indonesia. Tjokorda Raka Sukawati , dengan teknik Sosrobahu, di Indonesia.
Nama-nama di atas dapat dicari karena ada tulisan yang membahasnya, kenyataan real bisa saja masih banyak yang lain, yang umumnya akan mengiringi kesuksesan proyek-proyek konstruksi khas yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka tidak diketahui karena tidak dituliskan, itulah alasannya mengapa sedikit yang dapat menjadi inspirasi bagi calon-calon insinyur. Jadi terbukti lagi, bahwa kemampuan menulis berkaitan langsung dengan kemajuan atau peningkatan insinyur itu sendiri. Uraian di atas perlu diungkapkan untuk mengevaluasi kesiapan sarjana teknik sipil di Indonesia menghadapi era pembangunan gedung super tinggi maupun jembatan bentang panjang yang mulai menjadi wacana umum negeri ini. Mengapa demikian, karena dapat dimaklumi bahwa yang namanya gedung super tinggi, yang umumnya didasari oleh motivasi ingin menjadi terkemuka, maka bentuk dan ukurannya harus dipilih istimewa, minimal berbeda dengan yang telah ada. Berarti itu adalah hal yang baru, bukan. Jadi kalau hanya mengandalkan level ahli bangunan tentu tidak mudah.
9. BAGAIMANA MENJADI INSINYUR DAN TIDAK SEKEDAR AHLI BANGUNAN Terungkap, bahwa kompetensi seorang insinyur dianggap siap mengantisipasi era pembangunan yang mencakup gedung tinggi maupun jembatan bentang panjang, atau bahkan bangunan-bangunan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Keberadaan orang dengan level insinyur juga tidak diragukan lagi berada di setiap kesuksesan proyekproyek baru yang ada. Hanya karena tidak terpublikasi, maka tidak banyak orang yang mengetahuinya. Oleh sebab itu hanya dapat diketahui dan dipelajari jika bergaul atau mengalami sendiri proyekproyek yang dimaksud. Bisa-bisa ternyata kita sendiri mempunyai kapasitas seperti itu, yaitu ketika proyek yang menjadi tanggung jawab kita, ternyata berhasil dengan sukses dilaksanakan. Tetapi bagi anak-anak muda, yang sedang belajar, tentunya masih akan bertanya-tanya, apakah mereka juga mampu mencapai level insinyur tersebut. Jadi kalau bisa, sedini mungkin mereka dapat mempersiapkan diri, mempelajari apa-apa saja yang mendukung tercapainya level insinyur tersebut. Jadi apa-apa saja itu, tentu sesuatu yang ditunggu-tunggu. Ternyata, untuk mencari tahu itu ternyata tidak mudah, cara yang umum dilakukan adalah membaca biografi dari insinyur yang dianggap
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
12 dari 15
sukses, tapi jika dibandingkan antara satu insinyur yang sukses dengan insinyur sukses lainnya, ternyata sangat bervariasi. Jadi kesan yang didapat bersifat subyektif. Di belahan dunia lain, khususnya di Amerika ada yang menarik, dan kelihatannya dapat menjawab pertanyaan itu. Asosiasi insinyur teknik sipil Amerika atau ASCE (American Society of Civil Engineers) telah mencoba mencari jawabnya (ASCE 2006) untuk menjadi petunjuk bagi generasi mudanya bagaimana menjadi insinyur. Langkah awal yang diberikan, adalah menjadikan terlebih dahulu profesi tersebut suatu kebanggaan bagi yang memilihnya, seperti diungkap pada quote berikut: It is a great profession. There is the fascination of watching a figment of the imagination emerge through the aid of science to a plan on paper. Then it brings jobs and homes…it elevates the standards of living and adds to the comforts of life. That is the engineer’s high privilege. Herbert Hoover, engineer, humanitarian, and 31st U.S. President
Betul juga, jika ingin menjadikan yang terbaik, harus dimulai dari motivasi diri, yang menyangkut totalitas hidup yang dapat diberikan. Jadi, jika ingin jadi insinyur hanya sekedar uang atau materi yang banyak. Maka tahapan ini belum tentu diperlukan, maklum menjadi “makelar” di jaman sekarang ini, kadang sudah memungkinkan. Permasalahan yang dihadapi para insinyur teknik sipil diberbagai negara ternyata mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Inilah isue yang ditangkap dalam KTT ASCE: Buruknya kondisi infrastruktur di banyak negara, banyak terjadinya korupsi di industri konstruksi / rekayasa secara global, minimnya keterlibatan insinyur sipil pada kebijakan politik, issue keberlanjutan lingkungan masih kurang, terjadinya globalisasi di bidang rekayasa, dan sulitnya menarik generasi muda yang terbaik dan cerdas untuk berprofesi tersebut. Padahal masalah di bidang teknik sipil yang akan dihadapi generasi mendatang bukannya berkurang, sebagaimana telah diidentifikasi oleh ASCE sebagai berikut: Populasi global yang terus meningkat, yang terus bergeser ke daerah perkotaan akan membutuhkan penyesuaian yang berkelanjutan. Tuntutan akan energi, air minum, udara bersih, pembuangan limbah yang aman, dan transportasi akan mendorong diperlukannya perlindungan lingkungan sekaligus pengembangan infrastruktur. Masyarakat akan menghadapi ancaman meningkat dari bencana alam, kecelakaan, dan mungkin penyebab lain seperti terorisme. Permasalahan semakin kompleks di atas, menurut ASCE memerlukan keterlibatan berbagai disiplin ilmu, baik di bidang riset maupun aplikasinya. Pada kasus seperti ini maka kemampuan berkomunikasi menjadi satu-satunya sarana mencapai sukses. Visi kedepan yang diharapkan dari insinyur teknik sipil menurut ASCE adalah: Insinyur sipil harus dapat menjadi ahli bangunan, penjaga lingkungan, inovator dan integrator, pemimpin untuk mengatasi risiko dan ketidakpastian, serta dalam membentuk kebijakan publik. Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
13 dari 15
Spesifikasi insinyur menurut ASCE menarik untuk dijadikan acuan. Untuk itu, insinyur yang baik sebaiknya melengkapi diri dengan 3 atribut penting, yaitu: [1] knowledge; [2] skill; dan [3] attitudes. Atribut ke tiga belum dibahas, dianggap subyektif dan melekat pada setiap personil masing-masing. Tapi jika dikaitkan dengan pembahasan secara holistik di depan maka akan terlihat ada benang merah. Kecuali itu, ASCE telah mendaftarkan tahap kuantitatif atribut-atribut yang dimaksud, yaitu: a) Knowledge atau pengetahuan yang menyangkut ranah kognitif dan umumnya penguasaan teoriteori utama dan yang mendasar, seperti geometri, kalkulus, vektor, momentum, friksi, tegangan dan regangan, mekanika fluida, enerji, sifat menerus (continuity) sifat variabel (variability). b) Skill atau ketrampilan yang mendukung dapat diselesaikannya secara baik, tugas yang diberikan atasan, contohnya mengoperasikan komputer dengan baik (menguasai spreadsheet, pengolah kata, basis data dsb), kemampuan organisasi, bahasa asing (lesan dan tulisan). Secara umum disebutkan, bahwa pendidikan formal mengusahakan peningkatan bidang knowledge, sedang skill memerlukan pendidikan formal dan non-formal. Ini berarti mahasiswa tidak cukup hanya sekedar belajar dan belajar saja, tetapi juga kegiatan intra kurikuler. c) Attitudes atau sikap mental, merujuk pada nilai-nilai yang menjadi pegangan hidup, yang menentukan bagaimana seseorang bersikap pada kehidupan ini. Sikap mental yang mendukung mutu profesional kerja misalnya kemampuan berkomitmen, keingin-tahuan yang tinggi, kejujuran, integritas, sikap optimis, bersifat obyektif, kepekaan, ketelitian dan toleransi kerja (ketepatan). Petunjuk ASCE dalam membentuk insinyur masa depan, sangat umum. Hanya 1/3 yang knowledge, dan itu ditentukan oleh kurikulum pengajaran di perguruan tinggi. Adapun 2/3 yang lain lebih banyak berfokus pada usaha pengembangan diri pribadi yang umum. Jika demikian diketahui juga bahwa untuk menjadi insinyur, selain perlu pendidikan formal yang benar, yaitu meraih gelar sarjana teknik, juga perlu usaha-usaha pengembangan diri yang terus menerus. Salah satu upaya yang biasa diambil adalah magang, atau nyantrik pada insinyur senior yang terkenal reputasinya.
10. KESIMPULAN Telah disampaikan uraian panjang lebar tentang kompetisi yang dipengaruhi oleh latar belakang dan harapan dalam menyikapinya. Agar sukses berkompetisi, ada baiknya menyiapkan diri secara holistik, yang menyeluruh. Mulai dari menyamakan pola pikir, motivasi, juga detail kompetensi sesuai spesifikasi dan persyaratan. Ada pembahasan tentang kesiapan insinyur teknik sipil menghadapi kompetisi global. Selain kompetensi di bidang rekayasa, perlu dibekali kemampuan berkomunikasi (lesan dan tertulis). Telah dibahas juga petunjuk ASCE dalam mempersiapkan pendidikan bagi calon insinyur di masa depan. Ada yang menarik, dalam rangka memberi kemampuan kompetisi bagi mahasiswa teknik sipil, SEI di Amerika telah menyelenggarakan kompetisi rekayasa berbasis pengumpulan naskah tertulis dan cara mempresentasikan. Ini tentu hanya memerlukan sedikit biaya dibanding kompetisi berbentuk fisik. Semoga adanya pembahasan ini dapat memicu pemikiran lebih baik terkait kompetisi. DAFTAR PUSTAKA ASCE .(2006). “The Vision for Civil Engineering in 2025”, Based on The Summit on the Future of Civil Engineering - 2025, < http://www.asce.org/uploadedFiles/Vision_2025_-_New/TheVisionforCivilEngineeringin2025_ASCE.pdf> Dewobroto, W.(2007). “Struktur Jembatan Teringan dan Terkuat (Terkokoh) - Studi kasus : Jembatan Model UPH pada KJBI 2005 dan KJI 2006”, Prosiding NCPT 2007 ,24-25 Agustus 2007, Universitas Kristen Maranatha, Bandung Suriasumantri, J.S. (2006). “Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu”, Yayasan Obor Indonesia
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
14 dari 15
TENTANG PEMBICARA Dr. Ir. Wiryanto Dewobroto, MT., dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang. Peminat bidang rekayasa terkait struktur baja, beton dan kayu, simulasi numerik dan pemrograman. Pengampu mata kuliah : Struktur Baja, Struktur Kayu, Komputer Rekayasa Struktur dan Pemrograman. Pendidikan teknik sipil : S1- UGM (1989), S2 - UI (1998), dan S3 - UNPAR (2009) promotor Prof. Ir. Moh. Sahari Besari, M.Sc., Ph.D. Karir : structural engineer di PT. Wiratman & Associates, Jakarta (1989–1994), Kabag. Teknik PT. Pandawa Swasatya Putra, Jakarta (1994–1998). Krisis 1998 bertepatan meraih gelar S2 dan diterima kerja sebagai dosen di UPH, sampai saat ini. Pengalaman di bidang kompetisi antara lain adalah :
Juara II - Lomba Karya Tulis Ilmiah Terkait Konstruksi, Kementrian PU, Nov. 2011. Finalis - UPH Outstanding Faculty Award 2010 di UPH, 9 April 2010 Anggota Dewn Juri Tingkat Nasional - Kompetisi Jembatan Indonesia (KJI), untuk tahun 2008, 2010, 2011, 2012, dan 2013 Pembimbing sdri. Selvira Ayuningtias pada Kompetisi Mahasiswa Berprestasi Kopertis Wilayah III , 19 Juni 2008, dan berhasil meraih gelar Juara ke-2. Pembimbing - Lomba Rancang Bangun Mahasiswa se Indonesia - ITB, Bandung, 10 Maret 2007, dan berhasil meraih gelar juara ke-1dan ke-3 sekaligus. Pembimbing “Tim Shining Eagle, Jr – UPH”, dan meraih kategori “Juara Struktur Jembatan Teringan dan Terkuat (terkokoh)” di Kompetisi Jembatan Indonesia 2006. Pembimbing “ Tim Shining Eagle – UPH”, meraih “Juara I dan hadiah Rp. 10 juta” di Kompetisi Jembatan Baja Indonesia, 2005
Aktif menulis. Daftar publikasi dalam bentuk prosiding, jurnal, buku, dan lainnya ada di blog-pribadi beralamat di : http://wiryanto.wordpress.com. Dua buku karyanya yang baru saja beredar, adalah:
Wiryanto Dewobroto, Lanny Hidayat dan Herry Vaza.(2013)."Bridge Engineering in Indonesia", in : Chapter 21 of the Handbook of International Bridge Engineering, by Wai-Fah Chen , Lian Duan, CRC Press (release October 11, 2013)
Wiryanto Dewobroto.(2013)."Komputer Rekayasa Struktur dengan SAP2000", LUMINA Press, Jakarta (release April 2013)
Wiryanto Dewobroto ‐ Universitas Pelita Harapan
15 dari 15