38
STAIN Palangka Raya
PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMA NEGERI 3 SAMPIT Oleh: Ahmad Salabi Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 3 Sampit. Penelitian ini menggunakan pendekatan diskriptif kualitatif, dengan menggali informasi dari Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kepala Tata Usaha, Guru Agama Islam, OSIS, dan Komite Sekolah. Data dikumpulkan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan reduksi data atau penyederhanaan data (data reduction), paparan atau sajian data (data display), dan penarikan simpulan atau verifikasi (conclution verifying). Sedangkan pengecekkan keabsahan data menggunakan triangulasi, mamber check, dan diskusi teman sejawat. Penelitian menemukan bahwa untuk meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 3 Sampit, Kepala Sekolah memaksimalkan perannya sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator (EMASLIM), hal ini berdampak pada meningkatnya kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial Guru Pendidikan Agama Islam. Sedangkan usaha yang dilakukan Kepala Sekolah dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam meliputi: (a) usaha di lingkungan sekolah seperti melakukan in house training (IHT), mengangkat Guru Pendidikan Agama Islam sebagai Wakil Kepala Sekolah, dan melibatkan Guru Pendidikan Agama Islam dalam setiap kegiatan sekolah; dan (b) usaha di luar lingkungan sekolah seperti menugaskan Guru Pendidikan Agama Islam mengikuti kegiatan diklat dan penataran serta seminar, mengikutsertakan Guru Pendidikan Agama Islam dalam lomba guru berprestasi, dan mendukung Guru Pendidikan Agama Islam menjadi Ketua MGMP PAI. Kata-kata Kunci: Peran Kepala Sekolah, Kompetensi, Guru PAI A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan faktor utama dalam membentuk kepribadian manusia, bahkan pendidikan sudah mewarnai perjalanan hidup manusia sejak manusia itu dilahirkan sampai dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau tidaknya pribadi
Penulis adalah Dosen Tetap pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari Banjarmasin, Jurusan Kependidikan Islam (KI), Program Studi Manajemen Pendidikan Islam (MPI). Alumni Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang (UM) Program Studi Manajemen Pendidikan.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
39
STAIN Palangka Raya
manusia dalam kehidupan ini menurut ukuran normatif. Pada sisi lain, pendidikan merupakan proses pemanusiaan menuju lahirnya insan bernilai secara kemanusiaan.1 Dengan pendidikan pula, manusia dapat menjadi manusia yang sebenarnya dalam tataran ontologi. Begitu besarnya pengaruh pendidikan terhadap pembentukan karakter manusia, sehingga pemerintah sangat serius memperhatikan dan menangani pendidikan sebagai pilar utama dalam mencerdaskan generasi penerus bangsa yang paripurna dalam konteks kemanusiaan, sehingga mampu menyesuaikan diri dalam hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Sebagai wujud keseriusan pemerintah terhadap pendidikan, dirumuskanlah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai pedoman dan payung hukum dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 Bab I pasal 1 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2 Selanjutnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bab II pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwah kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.3
1
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
2006, h. 4. 2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 2. 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 64.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
40
STAIN Palangka Raya
Memperhatikan isi kandungan Undang-Undang di atas, dapat dipahami bahwa ada tujuan pendidikan yang sangat luhur dalam rangka membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam pengertian yang integral. Sehubungan dengan itu, dengan pendidikan juga diharapkan adanya perubahan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan baik tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dari alam sekitarnya dimana individu itu hidup. 4 Oleh karena itu, untuk mewujudkan tujuan dimaksud, tentunya melalui proses yang sistematis serta terarah, salah satunya adalah melalui proses pendidikan secara berkelanjutan, terintegrasi dan holistik. Pendidikan dimaksud bukan hanya pada tataran formal, tetapi dapat pula direalisasikan pada semua jenjang pendidikan baik pendidikan formal, informal maupun nonformal. Kepala sekolah sebagai top leader merupakan salah satu komponen terpenting yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Mulyasa mengemukakan bahwa ada hubungan yang erat antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan di sekolah seperti disiplin sekolah, iklim dan budaya sekolah, serta menurunnya perilaku nakal peserta didik.5 Sebagai kepala sekolah, tugas utamanya tidak hanya berperan sebagai pemimpin atau manajer, tetapi berperan juga dalam segala dimensi kehidupan sekolah. Oleh karena itu, minimal ada tujuh peran yang harus dilaksanakan oleh kepala sekolah yaitu kepala sekolah sebagai educator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator (EMASLIM).6 Selain kepala sekolah, guru juga merupakan faktor sentral yang menjadi ujung tombak dalam pencapaian tujuan pendidikan. Guru merupakan ujung tombak proses pemanusiaan yang dapat diterima sebagai fakta sepanjang sejarah pendidikan formal. Sehubungan dengan itu, hingga saat ini agenda kerja, wajah kegiatan, dan fungsi yang ditampilkan guru tidak berubah, yaitu menyelenggarakan pendidikan dan
4
Binti Maunah, Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 29. Enco Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 24. 6 Enco Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 98. 5
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
41
STAIN Palangka Raya
pengajaran di kelas. Pada tataran perilaku, apa yang ditampilkan guru relatif khas, paling tidak banyak berbeda secara visual dengan perilaku warga masyarakat profesional yang bukan guru. Sebagai konsekuensi logis dari profesi guru sebagai ujung tombak dalam proses pendidikan, maka guru dituntut memiliki kualifikasi kompetensi yang standar dalam melaksanakan tugasnya. Kompetensi tersebut sebagaimana tercantum dalam undang-undang Guru dan Dosen meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional serta kompetensi sosial. Agar guru memiliki kompetensi yang standar dalam melaksanakan tugasnya, maka perlu adanya usahausaha dari kepala sekolah untuk meningkatkan kompetensi guru tersebut. Dalam usaha meningkatkan kompetensi guru, kepala sekolah harus bersikap profesional tanpa membeda-bedakan atau memberikan keutamaan kepada guru-guru tertentu saja, akan tetapi memberikan perlakuan dan perhatian yang sama kepada semua guru, termasuk guru Pendidikan Agama Islam. Hal ini karena guru Pendidikan Agama Islam merupakan pilar utama dalam membentuk akhlak dan karakter peserta didik. Baik tidaknya akhlak dan karakter seorang peserta didik di sekolah dan bahkan di masyarakat sangat berhubungan dengan kompetensi guru Pendidikan Agama Islam dalam mendidik peserta didiknya. Pendidikan Agama Islam sebagai subsistem dari Sistem Pendidikan Nasional berisikan materi-materi yang mengarah kepada terbentuknya pemahaman keagamaan peserta didik secara holistik. Selain itu, diharapkan peserta didik dapat menjadi generasi bangsa yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki akhlakul karimah yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist. Oleh karena itu, Pendidikan Agama harus diberikan secara integral dan tidak boleh diberlakukan secara parsial. Pendidikan Agama Islam adalah salah satu pilar utama yang dapat memainkan peranan dalam pembentukan akhlak, hal ini terutama jika tujuan pendidikan nasional tersebut ditinjau dari orientasi pembentukan potensi peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Betapa pentingnya Pendidikan Agama Islam dalam membentuk manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
42
STAIN Palangka Raya
sehingga dalam sebuah Hadist dinyatakan bahwa tujuan Allah SWT mengutus RasulNya adalah untuk memperbaiki akhlak mulia, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: ( اﻧﻤﺎ ﺑﻌﺜﺖ ﻻﺗﻤﻢ ﺻﺎﻟﺢ اﻻﺧﻼق )روه اﻟﺒﺨﺎر: ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ص م,ﻋﻦ اﺑﻰ ھﺮﯾﺮة رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل Artinya: “Dari Abu Hurairah R.A berkata: “Berkata Rasulullah SAW: Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (HR. Bukhari).7 Pada tataran ideal, peserta didik diharapkan dapat diarahkan pada terbentuknya akhlak yang baik sesuai dengan pesan hadits tersebut di atas. Namun pada kenyataannya, guru Pendidikan Agama Islam dihadapkan dengan berbagai kendala dalam pencapaiannya. Kendala yang dihadapi dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah umum pada umumnya adalah ketersediaan sarana pembelajaran dan waktu belajar yang tidak berimbang. Sementara itu, siswa yang menjadi objek sekaligus subjek pendidikan masih ada yang tidak dapat membaca Al-Quran, selain itu, masih banyak siswa yang tidak dapat melaksanakan shalat dengan baik dan benar, serta berbagai permasalahan yang dihadapi guru Pendidikan Agama Islam disekolah, sementara guru-guru Pendidikan Agama Islam dituntut dapat menjalankan tugasnya secara profesinal berdasarkan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru. Kendala semacam ini berlaku hampir pada semua sekolahsekolah umum yang ada di Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah.
B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan
deskriptif
kualitatif.8
Pendekatan
kualitatif
ini
dipilih
untuk
mendeskripsikan peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 3 Sampit. Penentuan tema dan lokasi penelitian ini diawali dengan menentukan fokus tentatif yang bersumber dari ketertarikan terhadap Kepala Sekolah yang selalu mendukung setiap pelaksanaan pembelajaran 7
Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar Assayuthi, Jami’usshagir, (Daru Ihyail Kutubil Arabiyah, tt), h. 103. 8 Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999), h. 3.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
43
STAIN Palangka Raya
Pendidikan Agama Islam di sekolah tersebut, walaupun selama tiga periode terakhir dipimpin oleh Kepala Sekolah non muslim, sementara mayoritas siswanya beragama Islam. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat bagaimana peran kepala sekolah dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam, serta apa saja usaha-usaha yang dilakukan Kepala Sekolah dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam di sekolah. Data yang digali berupa informasi atau keterangan yang terkait dengan fokus penelitian, karena penelitian ini ingin mendeskripsikan tentang Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 3 Sampit. Data utama dalam bentuk informasi dari subjek penelitian yang sudah ditentukan seperti Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Kepala Tata Usaha, Guru Agama Islam, Komite Sekolah, serta perwakilan siswa dari OSIS. Sedangkan data pendukung berasal dari dokumen-dokumen sekolah, seperti tulisan, rekaman, gambar atau foto yang berterkait dengan kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi.9 Jenis wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam, pertanyaan yang digunakan sifatnya bebas dan spontan pada saat wawancara sedang berlangsung. Observasi diguanakan untuk memperkuat dan melengkapi data yang dikumpulkan melalui wawancara, observasi yang digunakan adalah observasi berpartisipasi (participant observation) dari tingkat partisipasi pasif sampai sedang. Sedangkan dokumentasi dilakukan untuk melengkapi dan menguatkan hasil pengumpulan data wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan teknik deskriptif, karena analisis data dalam pelitian kualitatif merupakan proses penelaahan dan penyusunan secara sistematis terhadap transkrip wawancara, catatan-catatan lapangan dan bahan-bahan masukan lainnya yang telah terkumpul untuk memperluas pengetahuan dan menambah pengalaman serta berusaha untuk mengkomunikasikannya. 10 Analisis ini juga 9
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 225. 10 Bogdan, R.C., & Biklen, S.K., Qualitative Research for Education: An Introduction to Theories and Methods, (New York: Pearson Education Group, 1982), h. 65.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
44
STAIN Palangka Raya
menyangkut pekerjaan pengorganisasian data, pemilahan menjadi satuan tertentu, sintesis data, pelacakan pola, penemuan hal-hal penting yang dapat dipelajari serta menentukan apa yang harus disampaikan pada orang lain. Miles & Huberman berpendapat, bahwa proses analisis data dengan teknik deskriptif dilakukan dengan 3 alur kegiatan yang berlangsung secara bersamaan, yaitu: (a) reduksi data atau penyederhanaan data (data reduction); (b) paparan atau sajian data (data display); dan (c) penarikan simpulan atau verifikasi (conclution verifying).11 Untuk mengecek jaminan keabsahan dan kebenaran suatu data, maka makna-makna yang muncul dari data tersebut harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yang merupakan validitasnya. 12 Dalam penelitian ini ada 3 teknik pengecekan yang digunakan, yaitu: (1) triangulasi; (2) mengadakan mamber check; dan (3) diskusi teman sejawat.
C. HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN 1. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam a. Peran Kepala Sekolah sebagai Educator Berdasarkan hasil temuan penelitian, peran Kepala Sekolah sebagai educator di SMAN 3 Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur sudah dilakukan dengan baik, terutama dalam usahanya meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam. Dalam kapasitasnya sebagai seorang pendidik di SMAN 3 Sampit, dia selalu berusaha menanamkan nilai-nilai yang terkait dengan berbagai kompetensi yang harus dimiliki sebagai seorang guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian.13 Guru adalah seorang panutan terutama bagi peserta didiknya di lingkungan sekolah. Dalam skala makro, guru merupakan teladan bagi masyarakat di lingkungan 11
Miles, M.B., & Huberman, A.M., Qualitative Data Analysis, (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1994), h. 65. 12 Miles, M.B., & Huberman, A.M., Qualitative Data Analysis, (Thousand Oaks, CA: Sage Publications, 1994), h. 35. 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 5.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
45
STAIN Palangka Raya
tempat ia berdomisili. Menurut Hamdani Bakran Adz-Zakiey, guru atau pendidik dalam lingkungan formal atau non formal merupakan orang tua keilmuan yang mempunyai tugas dan tanggung jawab menanamkan nilai-nilai kepada manusia agar kelak menjadi manusia yang memiliki ketekwaan, kecerdasan, berwawasan luas dan berakhlak rabbani.14 Oleh karena itu, sudah menjadi keniscayaan bagi seorang guru agar memiliki mental yang dapat dijadikan panutan atau teladan bagi semua orang, hal ini terkait dengan profesi guru itu sendiri yang sepantasnya digugu dan ditiru. Dalam melaksanakan fungsinya sebagai seorang educator, kepala sekolah selalu berusaha menanamkan, dan mengembangkan nilai-nilai profesional dalam hal keguruan. Menurut Wahjosumidjo15, untuk memahami arti pendidik yang sebenarnya, kepala sekolah harus berusaha menanamkan, meningkatkan, dan memajukan sedikitnya empat macam nilai terhadap guru, yaitu (1) pembinaan mental; (2) pembinaan moral; (3) dan (4) pembinaan artistik. Pembinaan mental secara komprehensif dan konsisten merupakan langkah strategis dalam upaya menciptakan guru yang stabil dalam emosi atau secara psikis. Pembinaan mental yang dilakukan Kepala SMAN 3 Sampit dilakukan secara konsisten, baik secara formal maupun non formal seperti dalam rapat dewan guru, rapat dengar pendapat mengenai permasalahan siswa yang timbul diantara guru. Bahkan terkadang guru sering dipanggil secara persuasif untuk memberikan arahan agar memiliki mental yang stabil terutama dalam menghadapi permasalahan peserta didik yang variatif dan kompleks. Pembinaan mental yang dilakukan oleh kepala SMAN 3 Sampit sifatnya menyeluruh, termasuk untuk Guru Pendidikan Agama Islam. Pembinaan yang dilakukan oleh kepala sekolah pada rapat-rapat tertentu merupakan strategi yang cukup efektif. Hal ini karena selain memberikan pembinaan mental kepada guru tertentu secara eduktif, juga dapat menjadi bahan renungan bagi guru-guru lain yang memiliki masalah yang serupa, bahkan kepada guru yang sudah 14
Hamdani Bakran Adz-Zakiey, Psikologi Kenabian: Prophetic Psychology, (Yogyakarta: Al-Manar, 2008), h. 678. 15 Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoretik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h.122.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
46
STAIN Palangka Raya
bermental stabil sebagai langkah preventif. Sementara itu, pembinaan yang dilakukan secara persuasif merupakan pembinaan yang sangat mendidik, karena hal ini dapat menjaga perasaan dan kredibilitas guru yang bersangkutan. Dengan cara tersebut, guru tidak merasa dipermalukan di depan teman sejawat, sehingga ia dapat secara tulus menerima pembinaan dari kepala sekolah. 16 Dalam konteks pembinaan moral, Kepala SMAN 3 Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur selalu memberikan pembinaan moral kepada seluruh guru, hal ini karena kepala sekolah berpandangan bahwa manusia pasti tidak terlepas dari kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu perlu adanya pembinaan moral kepada seluruh guru, termasuk Guru Pendidikan Agama Islam. Pembinaan moral yang dilakukan Kepala SMAN 3 Sampit merupakan upaya strategis dalam menekan terjadinya dekadensi moral dikalangan guru. Hal ini sangat potensial mengingat guruguru SMAN 3 Sampit memiliki latar belakang budaya dan tipolgi yang sangat heterogen. Sementara siswa juga memiliki latar belakang budaya dan tipologi yang heterogen, bahkan latar belakang agama yang berbeda, pada tataran inilah guru harus memiliki kearifan moral dalam melaksanakan tugasnya. Manusia diciptakan Allah dengan membawa dua potensi moral, yakni moral yang baik dan moral yang buruk. Dalam hal ini, guru yang merupakan manusia biasa, juga tidak terlepas dari adanya oknum guru yang memiliki moral atau akhlak yang tidak mencerminkan moral sebagai seorang guru. Sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari kekhilafan, maka guru pun berpotensi mengalami dekadensi moral. Untuk meminimalisir terjadinya dekadensi moral di kalangan guru, harus ada upaya dari kepala sekolah untuk memberikan pembinaan moral kepada guru sebagai bawahannya. Menurut Enco Mulyasa, upaya pembinaan moral yang dapat dilakukan kepala sekolah diantaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan ajaran baik dan buruk mengenai suatu perbuatan, sikap dan kewajiban sesuai dengan tugas masingmasing tenaga kependidikan.17 16
Oding Supriadi, Rahasia Sukses Kepala Sekolah, (Yogyakarta: LaksBangPressindo, 2010), h. 122. 17 Enco Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 99.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
47
STAIN Palangka Raya
Upaya kepala sekolah memberikan pendidikan moral kepada guru pada berbagai kesempatan, terutama pada saat rapat rutin bulanan, upacara bendera, dan pemanggilan secara persuasif terhadap guru tertentu merupakan langkah yang sangat konstruktif dan sangat efektif dalam peningkatan moral guru yang bermuara kepada meningkatnya kompetensi kepribadian dan sosial guru yang bersangkutan. Penentuan waktu dan tempat serta pendekatan yang dilakukan Kepala SMAN 3 Sampit dalam melakukan pembinaan sesuai dengan pendapat Enco Mulyasa, bahwa kepala sekolah profesional harus berusaha memberikan pendidikan moral dan nasehat kepada seluruh warga sekolah, misalnya pada saat rapat pertemuan rutin atau pada saat upacara bendera.18 Di SMAN 3 Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, pembinaan dalam bentuk fisik selalu ditekankan kepada guru terutama pada waktu-waktu tertentu seperti hari jum’at dan hari lain yang tidak mengganggu jam pelajaran. Hal ini karena pembinaan fisik yang berkesinambungan dapat menjadikan tubuh sehat sehingga dapat melaksanakan tugas dengan baik dan lancar. Penampilan menarik dalam tataran fisik memang penting bagi seorang guru, namun tidak semua manusia dianugrahi fisik yang menarik. Oleh karena itu, fisik yang menarik dapat diperoleh tidak hanya karena, tetapi dapat diupayakan melalui usaha-usaha pembinaan fisik sehingga apa yang dianugrahkan tersebut dapat dipelihara dan diperindah sebagai salah satu bentuk syukur kepada Sang Pencipta. Begitu pentingnya fisik yang menarik bagi seorang guru, maka kepala sekolah sebagai seorang educator seyogyanya memberikan pembinaan khusus kepada seluruh guru agar memiliki fisik dengan penampilan menarik dalam tataran normatif. Guru merupakan model yang menjadi pusat perhatian di depan kelas bagi peserta didiknya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Enco Mulyasa bahwa sebagai teladan, maka pribadi dan perilaku guru mendapat sorotan peserta didik serta orang-orang
di
lingkungan
sekitarnya
yang
mengakuinya
sebagai
guru.19
18
Enco Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 40. 19 Enco Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 46.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
48
STAIN Palangka Raya
Konsekuensi logis sebagai seorang model, guru harus memiliki performance (penampilan) yang menarik sehingga dapat memberikan kesan awal yang menarik bagi siswa. Dengan penampilan yang menarik dapat menjadi daya tarik tersendiri untuk menyukai guru sekaligus pelajaran yang disampaikannya. Sementara itu dari penelitian, didapat fakta bahwa dari aspek kebersihan dan keindahan lingkungan, maka SMAN 3 Sampit termasuk sekolah yang bersih, rindang, dan sejuk karena banyak pepohonan dan bunga yang dipelihara dengan rapi. Namun kenyataan di lapangan, dalam kasus tertentu tidak semua guru memperhatikan keindahan, baik pakaian, tempat kerja maupu lingkungan sekitarnya. Padahal dalam ajaran Islam sudah ditekankan mengenai artistik atau keindahan ini, bahkan ada ungkapan dalam Islam bahwa “Kebersihan adalah Sebagian dari Iman”. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan “Sesungguhnya Allah itu Indah, dan Allah Menyukai Keindahan”.20 Oleh karena itu, tidak berlebihan jika sebagai seorang guru, terutama guru Pendidikan Agama Islam harus memperhatikan keindahan dalam semua dimensi. Agar tidak terjadi sifat apatis guru terhadap pentingnya keindahan, maka kepala sekolah sebagai educator harus menjadi pelopor dalam membina bahkan memberi contoh kepada guru mengenai keindahan, dalam hal ini, kepala SMAN 3 Sampit telah melakukan pembinaan tersebut. b. Peran Kepala Sekolah sebagai Manager Data penelitian menunjukkan bahwa Kepala SMAN 3 Sampit telah memberdayakan tenaga kependidikan, dalam hal ini guru-guru untuk bekerja sama secara kooperatif. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka meningkatkan kompetensi guru yang menjadi bawahannya. Secara lebih khusus, Guru Pendidikan Agama Islam juga mendapat perlakuan yang sama dalam hal peningkatan kompetensi diantaranya dengan cara: (1) memberikan kesempatan kepada Guru Pendidikan Agama Islam untuk meningkatkan profesionalitasnya; dan (2) melibatkan Guru Pendidikan Agama Islam dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
20
Hamdani Bakran Adz-Zakiey, Psikologi Kenabian: Prophetic Psychology, (Yogyakarta: Al-Manar, 2008), h. 72.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
49
STAIN Palangka Raya
Sesuai Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa seorang guru harus memiliki empat kompetensi yang harus dikuasai seperti kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi sosial. 21 Untuk memenuhi tuntutan Undang-Undang tersebut harus ada upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait termasuk kepala sekolah sebagai pelaksana dan penanggug jawab implementasi undang-undang pada level sekolah. Kepala SMAN 3 Sampit berupaya meningkatkan kompetensi guru termasuk Guru Pendidikan Agama Islam, seperti membantu guru dalam menyelesaikan penyusunan portofolio sertifikasi guru, mengikutkan guru dalam pendidikan dan pelatihan, memotivasi guru dalam lomba guru berprestasi, dan mendorong guru dalam setiap kegiatan yang menunjang program sekolah. Guru Pendidikan Agama Islam merupakan pilar utama dalam pembentukan akhlak dan penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan Tuhan serta hubungan manusia dengan lingkungan. Dengan peran utama tersebut, bukan berarti guru Pendidikan Agama Islam tidak dapat menangani hal-hal yang bersifat general. Sebagai seorang manajer, prinsip egalitarianisme sangat penting untuk dikedepankan dalam mengambil kebijakan. Manajer yang baik dan bijaksana tidak mengambil keputusan yang bersifat diskriminatif, segala keputusan yang diambil seyogyanya berdasarkan asas proporsional dan profesional.22 Bahkan lebih dari itu, memandang bawahan dalam tataran yang sama adalah suatu keniscayaan bagi seorang manajer. Kepala sekolah harus memiliki kemampuan dalam tugas manajerial, sehingga segala tindakan yang harus dilaksanakan tidak didominasi sendiri, tetapi dapat memfungsikan bawahannya sebagai pelaksana. Wahjosumidjo mengemukakan bahwa kepala sekolah tidak perlu melaksanakan sendiri tindakan-tindakan yang bersifat operasional, akan tetapi diorientasikan kepada pengambilan keputusaan dan pembuat kebijakan guna menggerakkan bawahannya yakni guru-guru untuk 21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 64. 22 Oding Supriadi, Rahasia Sukses Kepala Sekolah, (Yogyakarta: LaksBangPressindo, 2010), h. 18.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
50
STAIN Palangka Raya
melaksanakan kebijakan yang telah digariskan. Agar kebijakan tersebut mendapat respon positif dari bawahan, maka guru harus dibekali dengan kompetensi yang standar.23 c. Peran Kepala sekolah sebagai Administrator Sebagai seorang administrator, Kepala SMAN 3 Sampit telah merealisasikan perannya dalam bentuk: (1) membantu dan membimbing guru dalam menganalisis kurikulum; dan (2) memeriksa kelengkapan administrasi pembelajaran. Kurikulum merupakan komponen dan pedoman utama dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah, tanpa kurikulum maka proses pembelajaran yang dilaksanakan tidak akan terarah dan sangat sulit mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, setiap sekolah harus menetapkan dan memantapkan kurikulum yang digunakannya. Kurikulum yang digunakan di SMAN 3 Sampit, terutama kurikulum Pendidikan Agama Islam adalah kurikulum yang telah dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi sekolah tanpa mengurangi standar isi yang telah ditetapkan. Bahkan ada wacana penambahan jam pelajaran Pendidikan Agama Islam dari 2 menjadi 3 jam perminggu. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya dekadensi moral pesera didik dengan memperbanyak penekanan kepada aspek afektif dan psikomotor. Untuk itu, Guru Pendidikan Agama Islam didelegasikan untuk mengikuti sosialisasi dan diklat kurikulum baik tingkat kabupaten tingkat Provinsi Kalimantan Tengah. Dari hasil dari pelatihan itulah, kepala sekolah menginstruksikan agar semua guru menganalisis kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah dengan tetap berpedoman kepada standar isi yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional Pendidikan. Sebagai administrator, kepala sekolah juga bertanggung jawab atas kelengkapan administrasi seluruh guru yang menjadi bawahannya, karena kelengkapan administrasi merupakan salah satu cerminan dari guru yang profesional.24 Kelengkapan adminsitrasi adalah mutalak bagi semua guru dan tidak 23
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoretik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 94. 24 Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.63.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
51
STAIN Palangka Raya
dapat ditawar. Oleh karena itu, kepala sekolah senantiasa melakukan pengecekan kelengkapan administrasi pembelajaran setiap guru, seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Satuan Acara Pembelajaran (SAP), Silabus Mata Pelajaran yang diajarkan, Daftar Hadir Siswa, Daftar Nilai Hasil Evaluasi Siswa, inventarisir siswa yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik, dan inventarisir nama siswa yang berbakat dalam bidang keagamaan. Sebagi seorang kepala sekolah, ia tidak hanya menempatkan dirinya dalam titik dan tugas sebagai educator, manager dan supervisor saja, tetapi harus juga mengembangkan dan mengkaji tentang bagaiman menjadi administrator bagi seorang kepala sekolah. Administrasi tidak hanya memiliki makna dalam kegiatan pencatatan saja, akan tetapi tujuannya lebih luas dari itu, yakni mengarahkan, melayani, membantu dan mengatur segenap komponen-komponen yang ada disekolah. Sehubungan dengan hal ini, Moh. Rifai mengemukakan bahwa administrator adalah pemimpin yang bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan usaha pendidikan yang dipimpinnya, dia harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam administrasi yang didasari oleh sifat-sifat dan sikap kepemimpinan.25 d. Peran Kepala Sekolah sebagai Supervisor Sehubungan dengan pentingnya supervisi bagi guru, maka Kepala SMAN 3 Sampit mengintensifkan supervisi dengan cara: (1) supervisi ke kelas pada saat guru melaksanakan pembelajaran; dan (2) supervisi pada saat melaksanakan pembelajaran praktik ibadah di mushalla. Untuk melaksanakan perannya sebagai supervisor, Kepala SMAN 3 Sampit berkunjung pada saat Guru Pendidikan Agama Islam mengajar di kelas. Kunjungan ke kelas secara periodik dan dilakukan bersama dengan pengawas, tujuannya untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran yang efektif, sekaligus sebagai bahan evaluasi bagi kepala sekolah terhadap kompetensi guru dalam melaksanakan tugasnya di kelas. Kunjungan ke kelas dilakukan kepala sekolah sebagai salah satu teknik untuk mengamati kegiatan pembelajaran secara langsung. Kunjungan ke kelas merupakan teknik yang sangat bermanfaat untuk mendapatkan informasi secara 25
Moh. Rifai, Administrasi Pendidikan, (Bandung: Jemmars, 1986), h. 32.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
52
STAIN Palangka Raya
langsung tentang berbagai hal yang berkaitan dengan profesionalisme guru dalam melaksanakan tugas pokoknya yaitu mengajar.26 Hal yang dapat dilihat langsung diantaranya pemilihan dan penggunaan metode mengajar, media yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran, kemampuan peserta didik menangkap materi pelajaran yang disampaikan guru di kelas. Berdasarkan hasil kunjungan kelas itulah yang menjadi bahan bagi kepala sekolah untuk mendiskusikan dengan guru apa yang menjadi objek supervisinya, sekaligus menemukan solusi dari masalah atau kelemahan yang ditemukan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Enco Mulyasa berpendapat bahwa supervisi sebenarnya dapat dilaksanakan oleh kepala sekolah yang berperan sebagai supervisor, tetapi dalam sistem organisasi pendidikan modern diperlukan supervisor khusus yang lebih independent, dan dapat meningkatkan objektivitas dalam pembinaan dan pelaksanaan tugasnya. 27 Walaupun Kepala SMAN 3 Sampit seorang non muslim, ia tetap melaksanakan salah satu tugasnya sebagai supervisor, termasuk ketika Guru Pendidikan Agama Islam melaksanakan kegiatan di mushalla. Kegiatan pembelajaran yang sering disupervisi adalah kegiatan praktek, diantaranya membaca al-Quran dalam bentuk tadarus bagi siswa yang sudah bisa membaca al-Quran serta belajar Iqra bagi mereka yang masih belum bisa membaca al-Quran. Kegiatan lain yang sering dipantau oleh Kepala Sekolah adalah kegiatan peringatan hari besar Islam, bahkan Kepala Sekolah terjun langsung dalam kegiatan tersebut dengan memberikan sambutan atau arahan sesuai dengan kapasitasnya sebagai Kepala Sekolah. Salah satu tujuannya adalah untuk melihat langsung kegiatan keagamaan yang diselenggarakan baik proses kegiatan tersebut, keadaan peserta yang hadir, dan terutama kehadiran guru-guru yang beragama Islam. Bagi Guru Pendidikan Agama Islam berimplikasi pada peningkatan intensitas kegiatan praktek dan kegiatan keagamaan lainnya.
26
Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.32. 27 Enco Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 111.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
53
STAIN Palangka Raya
e. Peran Kepala Sekolah sebagai Leader Data penelitian menunjukkan, setidaknya ada 4 peran yang ditampilkan oleh kepala SMAN 3 Sampit sebagai leader atau pemimpin, diantaranya: (1) menampilkan kepribadian yang baik dan demokratis; (2) menampilkan sifat keteladanan kepada warga sekolah; (3) menjadikan Guru PAI sebagai mitra Kepala Sekolah dan Guru BP; dan (4) menerima kritikan dan usul dengan cara yang bijaksana. Kepribadian kepala sekolah pada dasarnya tercermin dari sifanya yang jujur, percaya diri, bertanggung jawab, berani mengambil keputusan dan resiko, serta emosi yang stabil dan juga keteladanan. Semua kepribadian tersebut, idealnya juga dapat mewarnai kepribadian guru yang menjadi bawahnnya, termasuk Guru Pendidikan Agama Islam. Dari beberapa sifat kepemimpinan yang ada pada diri Kepala SMAN 3 Sampit, yang paling dominan muncul adalah sifat demokratis. Meskipun demikian, secara manusiawi terkadang juga muncul tipe kepemimpinan yang otoriter bahkan laissez-fire. Dilihat dari tipe kepemimpinan yang ada, hampir semua ahli teori kepemimpinan sepakat bahwa tipe kepemimpinan yang paling ideal adalah demokratis.28 Hal ini karena tipe demokratis dianggap mewakili dan menjadi pilihan yang paling ideal dari semua tipe kepemimpinan yang ada. Dalam prakteknya, setiap kepala sekolah yang berperan sebagai leader tidak terlepas dari 3 tipe kepemimpinan seperti otoriter, demokratis, dan laissez-faire. Ketiga tipe kepemimpinan tersebut sering dilakukan oleh kepala sekolah secara bersamaan, karena disadari atau tidak sifat atau tipe tersebut akan muncul secara situasional. Dengan demikian, seorang kepala sekolah mungkin bersifat demokratis pada satu waktu, dan bersifat otoriter atau laissez-faire pada waktu yang lain. Menampilkan keteladanan dalam rangka memberikan pembelajaran secara non-formal kepada bawahan menjadi langkah yang tepat dan efektif. Oleh karena itu, Kepala SMAN 3 Sampit berupaya memberikan keteladanan melalui perbuatan yang dicontohkan seperti kedisiplinan dalam menghargai waktu, keteladan dalam kepribadian, sopan santun dan lainnya. Peran kepala sekolah dengan menampilkan 28
Jamal Madhi, Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh: Tinjauan Manajemen kepemimpinan Islam, (Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2001), h. 114.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
54
STAIN Palangka Raya
sifat keteladanan tersebut secara tidak langsung telah membentuk keteladanan dan meningkatkan kedisiplinan Guru Pendidikan Agama Islam secara khusus baik di kalangan peserta didik, sesama teman sejawat, bahkan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Keteladanan yang baik mutlak ditampilkan oleh seorang Guru Pendidikan Agama Islam, hal ini sejalan dengan pendapat Hamdani Bakran Adz-Zakiey bahwa guru adalah model dan sumber teladan, oleh karena itu dalam menyampaikan pembelajaran hendaknya sopan, berpenampilan bersih, rapi dan wangi.29 Dalam hal disiplin, dapat dilihat dari kedisiplinan guru mengadministrasikan semua dokumen yang terkait dengan kepentingan profesinya. Hal ini juga menunjukkan kedisiplinan yang tinggi yang dimilki oleh Guru Pendidikan Agama Islam. Sementara itu, dalam hal keteladanan, Guru Pendidikan Agama Islam merupakan panutan dan sangat dihormati oleh peserta didiknya serta dihargai oleh teman sejawatnya. Peran sebagai leader dari Kepala SMAN 3 Sampit dengan menjadikan guru Pendidikan Agama Islam sebagai mitra dan konsultan akhlak merupakan upaya dari seorang pimpinan yang paham terhadap kompetensi guru yang menjadi bawahannya. Dalam hal ini, Guru Pendidikan Agama Islam memang memiliki kapasitas dan sebagai guru yang dapat difungsikan pada berbagai dimensi. Pada tataran inilah kompetensi kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam dapat terus diasah melalui intensitas keterlibatannya dalam menangani permasalahan yang timbul di sekolah. Dalam tataran ontologi, Guru Pendidikan Agama Islam memiliki peran ganda yakni Guru Mata Pelajaran pada satu sisi dan Guru Bimbingan Penyuluhan pada sisi lain. Bahkan Guru Pendidikan Agama Islam seyogyanya menjadi guru yang multi fungsi sebagai konsekuensi dari kesempurnaan Agama Islam yang diajarkannya. Sebagai seorang Guru Mata Pelajaran, Guru Pendidikan Agama Islam bertugas menyampaikan materi yang berkaitan dengan ajaran-ajaran dalam Islam, baik yang bersifat hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah), hubungan
29
Hamdani Bakran Adz-Zakiey, Psikologi Kenabian: Prophetic Psychology, (Yogyakarta: Al-Manar, 2008), h. 78.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
55
STAIN Palangka Raya
manusia dengan sesama manusia (hablun minannas), serta hubungan manusia dengan alam semesta.30 Sementara itu, fungsi Guru Pendidikan Agama Islam sebagai guru Bimbingan Penyluhan merupakan fungsi yang melekat secara kodrati. Karena dalam perakteknya Guru Pendidikan Agama Islam senantiasa memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada peserta didik baik di kelas maupun di luar kelas. Lebih dari itu, Guru Pendidikan Agama Islam bahkan memberikan Bimbingan Penyuluhan di luar jam pelajaran dan di luar sekolah ketika peserta didik membutuhkannya. Guru Pendidikan Agama Islam juga harus rela dan siap menjadi tempat konsultasi permasalahan agama dan permasalahan hidup yang dihadapi peserta didik. Oleh karena itu, pada hakikat dan faktanya Guru Pendidikan Agama Islam memberikan bimbingan selama 24 jam sehari semalam. Hal inilah yang tidak dapat diberikan secara khusus oleh guru Bimbingan Penyluhan. Berdasarkan pada posisi inilah, Guru Pendidkikan Agama Islam seharusnya menjadi mitra yang paling urgen bagi Kepala Sekolah dan Guru Bimbingan Penyuluhan dalam menangani masalah-masalah yang muncul di sekolah. Hal ini sekaligus menunjukkan kemampuan dalam memainkan perannya dalam berkomunikasi dua arah.31 Dalam tataran normatif, kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang mau dan ikhlas menerima kritikan, usul ataupun saran dari bawahan maupun dari peserta didik di sekolah. Kepala SMAN 3 Sampit selaku leader senantiasa menerima bahkan mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kemajuan sekolah. Kritikan serta usul bahkan bukan hanya berasal dari guru, tetapi juga dari siswa. Dalam beberapa kasus, kepala sekolah menerima usul dari guru Pendidikan Agama Islam terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran Agama Islam beserta sarana penunjangnya. Dengan kesediaan dan keikhlasan kepala sekolah menerima kritik dan saran ini menimbulkan semangat bagi Guru Pendidikan Agama Islam dalam melaksanakan pembelajaran, selain itu kepala sekolah 30
Hamdani Bakran Adz-Zakiey, Psikologi Kenabian: Prophetic Psychology, (Yogyakarta: Al-Manar, 2008), h. 50. 31 Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoretik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 72.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
56
STAIN Palangka Raya
memberikan pembelajaran tentang sikap demokratis yang harus dimiliki oleh seorang guru. Menurut Enco Mulyasa, kemampuan yang harus diwujudkan kepala sekolah sebagai leader dapat dilihat dari aspek kepribadian, pengetahuan terhadap tenaga kependidikan, visi dan misi sekolah, kemampuan mengambil keputusan, dan kemampuan berkomunikasi.32 Hal senada juga dikemukakan oleh Wahjosumidjo bahwa kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakter khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan profesional serta pengetahuan administrasi dan pengawasan.33 Sebagai kepala sekolah, kemampuankemampuan seperti inilah yang seharusnya diperankan dalam rangka meningkatkan kompetensi guru yang ada di sekolah, termasuk Guru Pendidikan Agama Islam. f. Peran Kepala Sekolah sebagai Innovator Di SMAN 3 Sampit, model moving class sudah dilakukan walaupun dalam konteks yang terbatas hanya pada bidang studi tertenu saja, seperti biologi, fisika, kimia, termasuk Pendidikan Agama Islam. Ada beberapa inovasi pembelajaran yang dilakukan di SMAN 3 Sampit, diantaranya: (1) melakukan inovasi dalam bidang sistem pembelajaran; dan (2) melaksanakan evaluasi hasil belajar berbasis teknologi komputer. Dalam melakukan inovasi pembelajaran khsusnya Pendidikan Agama Islam, Kepala SMAN 3 Sampit sangat menekankan kepada guru agar melakukan inovasi sistem pembelajaran. Salah satu caranya adalah memfokuskan pada penggunaan mushalla sebagai tempat belajar utama selain kelas. Oleh karena itu, model pembelajaran moving class dilaksanakan oleh Guru Pendidikan Agama Islam dengan cara lebih banyak belajar di mushalla dibanding di kelas. Pembelajaran yang dilaksanakan di mushalla memang memiliki banyak sisi positif. Selain fasilitas pembelajaran yang lebih lengkap, juga dalam rangka menghilangkan kejenuhan kepada siswa dengan suasana belajar di kelas yang selalu terkesan formal. Pembelajaran di mushalla, dapat menghilangkan kesan formal dan 32
Enco Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 115. 33 Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoretik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 110.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
57
STAIN Palangka Raya
monoton sehingga siswa merasa rileks dalam mengikuti pembelajaran dengan suasana yang kondusif. Dari aspek inovasi metode pembelajaran, untuk menghilangkan kejenuhan sekaligus memberikan daya tarik siswa, pembelajaran diselingi dengan melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an yang ada kaitannya dengan materi dengan bacaan tilawah. Selain itu Guru Pendidikan Agama Islam juga menyelingi pembelajaran dengan melantunkan lagu-lagu qasidah yang sesuai dengan materi pembelajaran. Untuk penilaian, di SMAN 3 Sampit, pemeriksaan hasil belajar siswa dirubah dari sistem manual menjadi teknologi komputer. Semua soal evaluasi sangat ditekankan agar diperiksa dengan menggunakan teknologi komputer (scanner) yang dioperasikan sendiri oleh guru bidang studi yang bersangkutan, termasuk bidang studi Pendidikan Agama Islam. Sebelum sistem penilaian berbasis komputer ini dilaksanakan, sekolah telah memberikan keterampilan kepada semua guru dalam mengoperasikan komputer dalam bentuk pelatihan internal sekolah. Dengan kemampuan tersebut, semua guru di SMAN 3 Sampit sudah dapat menggunakan scanner dalam memeriksa hasil ulangan siswa. Kemampuan yang dimiliki oleh guru dalam hal ini mencerminkan kompetensi paedagogik dan kompetensi profesional Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 3 Sampit. Evaluasi
merupakan
alat
untuk
mengukur
segala
dimensi
proses
pembelajaran yang telah dilakukan oleh guru. Bagi guru, evaluasi berfungsi untuk mengetahui tingkat ketercapaian dan pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah disampaikan, sedang bagi kepala sekolah evaluasi berfungsi untuk mengetahui ketercapaian kurikulum yang telah dilaksanakan oleh guru.34 Pada umunya, evaluasi yang dilaksanakan oleh guru lebih banyak berbentuk manual, terutama pada sekolah yang berada di pelosok daerah. Walau demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di perkotaan juga masih ada sekolah yang menggunakan sistem evaluasi berbasis manual. Hal ini tergantung kondisi sekolah dan komitmen dari penyelenggara sekolah dalam mengembangkan sistem evaluasinya. Oleh karena itu, Jamal Ma’mur Asmani 34
Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 367.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
58
STAIN Palangka Raya
mengisyaratkan bahwa salah satu kompetensi paedagogik yang harus dimiliki guru adalah mampu menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran.35 Dengan demikian, kepala sekolah sebagai innovator akan tercermin dari cara-cara dia melakukan pekerjaannya secara konstruktif. Dalam rangka melakukan perannya sebagai innovator, kepala sekolah harus memilki strategi yang tepat untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan sekolah, mencari gagasan baru, mengintegrasikan setiap kegiatan, memberikan teladan kepada semua tenaga kependidikan di sekolah, dan mengembangkan model-model pembelajaran yang inovatif. Kepala sekolah sebagai innovator, harus mampu mencari, menemukan, dan melaksanakan berbagai pembaharuan di sekolah. Menurut Enco Mulyasa, gagasan baru tersebut misalnya pemberlakuan moving class.36 Moving class adalah mengubah strategi pembelajaran dari pola kelas tetap menjadi kelas bidang studi, sehingga setiap bidang studi memiliki kelas tersendiri, yang dilengkapi dengan alat peraga dan alatalat lainnya. g. Peran Kepala Sekolah sebagai Motivator Dalam memberikan motivasi, Kepala SMAN 3 Sampit menerapkan strategi sebagai berikut: (1) menekankan kedisiplinan sebagai alat motivasi bagi guru; dan (2) memberikan stimulus kepada Guru Pendidikan Agama Islam. Kepala SMAN 3 Sampit berusaha menanamkan disiplin kepada semua guru dan khususnya guru Pendidikan Agama Islam sebagai tenaga kependidikan yang seharusnya konsisten dalam menegakkan kedisiplinan. Sebagai seorang motivator, Kepala SMAN 3 Sampit menekankan kedisiplinan kepada bawahannya dengan memberikan teladan melalui pribadinya yang disiplin dalam segala hal, seperti disiplin dalam waktu, disiplin dalam administrasi, disiplin dalam menyelesaikan semua program kerja sesuai dengan schedule, dan berbagai kedisiplinan lainnya yang melekat pada diri kepala sekolah. Jamal Ma’mur Asmani, 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional, (Yogyakarta: Power Books Ihdina, 2002), h. 83. 36 Enco Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h.119. 35
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
59
STAIN Palangka Raya
Dalam membina disiplin di sekolah, Kepala SMAN 3 Sampit menggunakan strategi sebagai berikut: (1) membantu para guru dalam mengembangkan pola perilakunya; (2) membantu para guru dalam meningkatkan standar perilakunya; (3) melaksanakan semua aturan yang telah disepakati bersama; dan (4) memberikan dorongan agar semangat dalam melaksanakan tugas. Sementara itu, setiap guru memiliki karakter yang berbeda satu sama lain, sehingga memerlukan perhatian dan pelayanan khusus pula. Perbedaan diantara tenaga kependidikan tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam motivasinya. Oleh karena itu, Kepala SMAN 3 Sampit senantiasa memperhatikan motivasi bawahannya dengan memperhatikan prinsip sebagai berikut: (1) memberikan tugas yang sifatnya menarik dan menantang; (2) memberikan informasi yang jelas kepada guru mengenai tujuan dari kegiatan yang maksud; (3) menyampaikan kepada guru setiap hasil dari setiap pekerjaannya; (4) memberikan hadiah ketika pekerjaannya terpenuhi dengan baik dan tepat waktu; dan (5) memberikan perhatian penuh terhadap guru dalam melaksanakan pekerjaannya. Memberikan stimulus adalah salah satu strategi yang sangat tepat dalam rangka memberikan motivasi kepada guru dalam melaksanakan tugasnya. Stimulus dapat diberikan dalam bentuk pemberian penghargaan dalam bentuk materi maupun dalam bentuk apresiasi atau pujian yang mengandung maksud, serta ucapan terima kasih kepada guru.37 Untuk meningkatkan kinerja dan kompetensi guru, termasuk Guru Pendidikan Agama Islam, Kepala SMAN 3 Sampit senantiasa memberikan penghargaan kepada bawahan yang dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Stimulus ini diberikan tidak hanya ketika Guru Pendidikan Agama Islam berhasil memberikan prestasi sekolah dalam berbagai kesempatan, tetapi juga kepada guru pada umumnya. Tujuannya adalah agar semua guru merasa diperhatikan dan termotivasi untuk selalu bersemangat dalam melaksanakan tugasnnya dengan baik. Melalui menekankan kedisiplinan dan pemberian stimulus kepada Guru Pendidikan Agama Islam ini diharapkan dapat meningkatkan produktifitas sekolah. Semua bentuk kedisiplinan yang ditampilkan oleh kepala sekolah juga ditekankan 37
Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.335.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
60
STAIN Palangka Raya
kepada seluruh guru, termasuk Guru Pendidikan Agama Islam. Menurut Hamdani Bakran Adz-Zakiey, motivasi adalah kuatnya dorongan yang membangkitkan semangat pada makhluk hidup, yang kemudian hal itu menciptakan adanya tingkah laku dan mengarahkannya pada suatu tujuan atau tujuan-tujuan tertentu.38 Oleh karena itu, sebagai motivator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberikan motivasi kepada para guru dan tenaga kependidikan dalam melakukan berbagai tugasnya. Menurut Enco Mulyasa, motivasi ini dapat ditumbuhkan melalui pengaturan lingkungan fisik yang kondusif, pengaturan suasana kerja, disiplin, dorongan, penghargaan secara efektif dan pemenuhan sumber belajar. 39
2. Usaha-usaha yang dilakukan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam Ada beberapa usaha yang dilakukan Kepala Sekolah dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 3 Sampit, diantaranya: a. Melakukan In House Training In House Training (IHT) adalah kegiatan pembinaan internal yang dilakukan oleh Kepala Sekolah beserta Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dalam rangka meningkatkan kompetensi guru di sekolah. 40 Materi pembinaan diantaranya pendalaman materi mata pelajaran sesuai dengan rumpun masing-masing bidang studi, pelatihan kurikulum yang mencakup: pembuatan RPP, pembuatan SAP, pembuatan Silabus, dan perangkat mengajar lainnya. Selain itu materi pelatihan komputer dan teknologi informasi sebagai bekal bagi guru dalam peningkatan kualitas mengajarnya. Pembinaan ini berlaku kepada semua guru termasuk Guru Pendidikan Agama Islam. Pembinaan peningkatan kompetensi guru melalui in house training merupakan usaha yang efektif dan efisien, karena pembinaannya bersifat internal 38
Hamdani Bakran Adz-Zakiey, Psikologi Kenabian: Prophetic Psychology, (Yogyakarta: Al-Manar, 2008), h. 341. 39 Enco Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 120. 40 Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.15.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
61
STAIN Palangka Raya
sehingga tidak memerlukan waktu yang lama, tidak memerlukan dana yang besar karena fasilitatornya lebih diutamakan dari internal sekolah seperti Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, serta guru-guru yang kompeten dengan materi yang disajikan, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal. Usaha lewat in house training ini menjadi agenda tahunan yang dilaksanakan di SMAN 3 Sampit. Pelaksanaannya pada akhir semsester atau awal semester sehingga tidak menganggu jadwal proses belajar mengajar. b. Mengangkat Guru PAI Menjadi Wakil Kepala Sekolah Kepala sekolah merupakan pucuk pimpinan tertinggi dalam sebuah lembaga pendidikan formal,41 khususnya sekolah negeri yang diangkat oleh pejabat daerah seperti Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, sedangkan mengangkat Wakil Kepala Sekolah merupakan hak kepala sekolah. Oleh karena itu, Wakil Kepala Sekolah sering kali dijabat oleh guru yang sama dalam beberapa kali jabatan. Pada umumnya Wakil Kepala Sekolah yang diangkat oleh Kepala Sekolah berlatar belakang guru mata pelajaran umum atau kejuruan, namun di SMAN 3 Sampit Wakil Kepala Sekolah bagian Humas diangkat dari salah seorang dari Guru Pendidikan Agama Islam. Dengan menjadi Wakil Kepala Sekolah sebagai tugas tambahan bagi guru di luar tugas utamanya sebagai guru mata pelajaran, seyogyanya menjadi faktor pendukung dalam rangka meningkatkan kompetensinya. c. Melibatkan Guru PAI dalam Setiap Kegiatan Sekolah Usaha lain yang dilakukan Kepala Sekolah di lingkungan sekolah dalam rangka meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam adalah melibatkan dalam setiap kegiatan yang dilakukan di sekolah.42 Guru Pendidikan Agama Islam tidak boleh terfokus pada tugas yang berkaitan dengan masalah keagamaan saja, karena hal tersebut akan menjadikan Guru Pendidikan Agama Islam tidak berkembang dengan hal-hal yang bersifat bersifat aktual dan inovatif. Dengan pertimbangan ini, Guru Pendidikan Agama Islam selalu dilibatkan dalam segala hal 41
Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.63. 42 Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.44.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
62
STAIN Palangka Raya
di sekolah seperti: menjadi panitia Penerimaan Siswa Baru, panitia Masa Orientasi Siswa Baru, Panitia Ujian Semester, Panitia Ujian Nasional dan Sekolah, Panitia Peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Panitia HUT SMAN 3 Sampit yang diperingati setiap tahun. Selain itu, Guru Pendidikan Agama Islam juga selalu dilibatkan dalam semua kegiatan pendampingan bagi siswa terutama yang dilaksanakan di luar sekolah seperti, mendampingi siswa mengikuti apel di Kantor Bupati, pendamping pawai yang dilaksanakan oleh Pemda, serta kegiatan lainnya. d. Menugaskan Guru PAI Mengikuti Penataran, Diklat dan Seminar Salah satu yang menjadi komitmen Kepala Sekolah dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam adalah dengan memberi kesempatan dan mengikutkan guru dalam semua kegiatan yang dapat menunjang berkembangnya kompetensi guru.43 Dengan mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan profesinya, guru akan memperoleh pengalaman yang berguna dalam mengembangkan khazanah keilmuan dan intelektual sebagai salah satu cerminan guru yang kompeten. Beberapa kegiatan yang pernah didikuti oleh Guru Pendidikan Agama Islam dam rangka meningkatkan kompetensinya adalah penataran, baik tingkat Kabupaten maupun tingkat Provinsi, Diklat Guru Pendidikan Agama Islam tingkat Provinsi, berbagai seminar, baik tingkat Kabupaten, Provinsi maupun tingkat Nasional. e. Mengikutkan Guru PAI pada Ajang Lomba Guru Berprestasi Salah satu usaha yang efektif dalam meningkatkan kompetensi guru adalah dengan mengikutsertakan guru dalam berbagai lomba seperti lomba guru berprestasi.44 Kepala sekolah memberikan kesempatan kepada guru untuk mengikuti lomba guru berprestasi tingkat Kabupaten maupun tingakat Provinsi. Salah seorang guru yang ditunjuk untuk mewakili SMAN 3 Sampit pada lomba guru berprestasi tingkat Kabupaten adalah dari Guru Pendidikan Agama Islam. Keterwakilan dari unsur guru Pendidikan Agama Islam merupakan suatu tradisi yang langka sekaligus langkah strategis kepala sekolah dalam pencitraan diri dan nama baik sekolah, 43
Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.316. 44 Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.330.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
63
STAIN Palangka Raya
seyogyanya dimanfaatkan Guru Pendidikan Agama Islam untuk mencapai prestasi yang sebaik-baiknya sebagai cermin guru yang kompeten di berbagai bidang. f. Mendukung Guru PAI Menjadi Ketua MGMP PAI Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI merupakan organisasi guru khusus Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam yang terdiri dari kumpulan seluruh Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dari berbagai sekolah. Untuk tingkat SMA/SMK sederajat, Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam disebut MGMP PAI SMA/SMK. MGMP PAI Kabupaten Kotawaringin Timur saat ini diketuai oleh salah seorang Guru Pendidikan Agama Islam dari SMAN 3 Sampit. Jabatan sebagai ketua MGMP PAI memang merupakan suatu wadah strategis untuk mengembangkan semua kompetensi yang harus dimiliki oleh guru baik kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.45 Hal ini karena akses dan mobilitasnya yang tinggi akan memperkaya pengalaman dan pengetahuannya.
D. PENUTUP Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran Kepala SMAN 3 Sampit dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam meliputi peran sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator (EMASLIM) yang berjalan efektif, ditandai: (a) meningkatnya kompetensi paedagogik yang dimiliki Guru PAI, seperti mengetahui dengan baik landasan pendidikan, paham terhadap karakter siswa, paham terhadap bakat siswa, dapat mengembangkan kurikulum, dapat menuyusun perangkat pembelajaran, metode mengajarnya
variatif,
serta
dapat
menggunakan
teknologi
informasi;
(b)
meningkatnya kompetensi kepribadian Guru PAI, seperti memiliki integritas kepribadian yang baik, terbuka dengan hal-hal yang baru, bijaksana, memiliki sifat jujur, adil serta obyekif, disiplin dan ulet, memiliki visi mengajar yang jelas, bermasyarakat dengan baik, bersifat terbuka, serta berwibawa; (c) meningkatnya 45
Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, (Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013), h.327.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
64
STAIN Palangka Raya
kompetensi profesional Guru PAI, seperti dapat menguasai materi pelajaran dengana baik, melakukan pendalaman materi, terampil mengelola kelas, dapat menggunakan media, paham potensi siswa, administrasinya baik, teladan bagi siswa dan teman sejawat; dan (d) meningkatnya kompetensi sosial Guru PAI, seperti memiliki sikap yang bijak terhadap perbedaan, dapat mengelola konflik secara efektif di sekolah dan masyarakat, dapat bekerja sama dengan orang lain, dapat membangun team work, komunikatif, adaptatif, serta aktif di masyarakat. Strategi yang dilakukan Kepala Sekolah dalam meningkatkan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 3 Sampit di lingkungan sekolah dengan melakukan in house training (IHT), mengangkat Guru Pendidikan Agama Islam sebagai Wakil Kepala Sekolah, melibatkan Guru Pendidikan Agama Islam dalam setiap kegiatan sekolah; sedangkan di luar lingkungan sekolah dengan menugaskan Guru Pendidikan Agama Islam mengikuti kegiatan diklat dan penataran serta seminar, mengikutkan Guru Pendidikan Agama Islam dalam lomba guru berprestasi, dan mendukung Guru Pendidikan Agama Islam menjadi Ketua MGMP PAI. DAFTAR PUSTAKA Binti Maunah, Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Teras, 2009. Enco Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009. Hamdani
Bakran
Adz-Zakiey,
Psikologi
Kenabian:
Prophetic
Psychology,
Yogyakarta: Al-Manar, 2008. Imam Musbakin, Menjadi Kepala Sekolah yang Hebat, Pekanbaru Riau: Zanafa Publishing, 2013. Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar Assayuthi, Jami’usshagir, (Daru Ihyail Kutubil Arabiyah, tt. Jamal Ma’mur Asmani, 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional, Jogjakarta: Power Books Ihdina, 2002. Jamal Madhi, Menjadi Pemimpin yang Efektif dan Berpengaruh: Tinjauan Manajemen kepemimpinan Islam, Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2001. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
65
STAIN Palangka Raya
Kunandar, Guru Profesional: Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007. Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999. Moh. Rifai, Administrasi Pendidikan, Bandung: Jemmars, 1986. Oding Supriadi, Rahasia Sukses Kepala Sekolah, Yogyakarta: LaksBangPressindo, 2010. Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung: Alfabeta, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Citra Umbara, 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Bandung: Citra Umbara, 2009. Wahjosumidjo,
Kepemimpinan
Kepala
Sekolah:
Tinjauan
Teoretik
dan
Permasalahannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 8, Nomor 1, Juni 2014