JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
PERAN HOIKUEN DALAM TAHAP PERKEMBANGAN SOSIALISASI ANAK BAGI IBU YANG BEKERJA DI JEPANG Ni. Luh Ketut Yuniasari Lediyana Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286 E-mail :
[email protected]
Abstrak Peningkatan ibu yang bekerja karena beberapa faktor seperti hukum persamaan kesempatan kerja, emansipasi wanita, dan pendidikan tinggi untuk wanita. Seorang ibu yang bekerja tidak dapat mengasuh anaknya sepanjang waktu sehingga, mereka membutuhkan orang lain atau institusi untuk membantunya. Tempat penitipan anak (hoikuen) di Jepang salah satu fasilitas untuk membantu ibu-ibu yang bekerja dalam menjaga anak-anak mereka. Setiap tahun hoikuen di Jepang mengalami peningkatan karena peningkatan ibu-ibu yang bekerja dan meninggalkan anak-anak mereka. Oleh karena itu, hoikuen memiliki peran tidak hanya sebagai tempat penitipan anak tetapi juga tempat pengasuhan anak. Penulis melakukan penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah peran hoikuen dalam tahap perkembangan sosialisasi anak bagi ibu yang bekerja di Jepang? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peran hoikuen dalam tahap perkembangan sosialisasi anak bagi ibu yang bekerja di Jepang. Untuk metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif dengan studi pustaka. Sebagai hasil tentang peran hoikuen dalam tahap perkembangan anak bagi ibu yang bekerja di Jepang adalah hoikuen sebagai tempat yang pengasuhan anak, tempat yang menghubungkan antara ibu yang bekerja dengan anak, sedangkan untuk tahap perkembangan sosialisasi hoikuen sebagai media pembelajaran tentang peran yang ada dalam masyarakat dan tempat perkenalan tentang budaya Jepang. Hoikuen juga menjadi tempat sosialisasi sekunder yang membantu sosialisasi primer. Kata kunci : Ibu, hoikuien, peran, pengasuhan anak Abstract The increasing number of working woman is caused by several factors such as the support from Equality Employment Opportunity Law, woman liberalization, and high education for woman. Working mother needs some assistances from other pople or institution to take care of the children during working hour. Daycare (hoikuen) in Japan is a facility to help working mother to take care their children. Every year hoikuen in Japan increases because of the number of working mother who left their children is also increased. hoikuen has several roles not only as a day care center, but also as childrearing place. This study examines roles of hoikuen in children socialization‟s development stage by answering following question: How Hoikuen plays its role in children with working mother socialization’s development stage in Japan? Descriptive Qualitative method by using literature study is used in this research. Research finds out that hoikuen in japan is used to take care children with working mothers, and as place for related working mother with their children. Hoikuen is also a place to learn about roles in the society and Japan‟s culture and a place for secondary socialization to help primary socialization in learning of roles and Japan‟s culture. Keywords : mother, hoikuen, role, childrearing
86
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
1.
Pendahuluan
Dalam sebuah tradisi, takdir seorang wanita adalah menjadi ibu. Dalam keluarga di Jepang wanita dididik untuk dipersiapkan menjadi ibu. Keberadaan ibu dalam sebuah keluarga di Jepang sangat penting karena ibu berperan langsung dalam pengasuhan anak-anak dan menjadi penyedia kasih sayang dalam keluarga. Perubahan peran ibu yang bekerja dalam mengasuh anak di Jepang terjadi akibat meningkatnya jumlah kaum ibu yang memasuki dunia kerja. Dengan masuknya kaum bu ini ke dunia kerja, mengakibatkan menurunnya jumlah waktu yang diperlukan ibu dalam mengasuh anaknya. Pembagian waktu antara bekerja dan mengasuh anak, menjadi persoalan tersendiri bagi ibu-ibu yang bekerja di Jepang. Masuknya kaum ibu dalam dunia kerja sebagai akibat dari tingginya tingkat ekonomi Jepang, dan peningkatan teknologi rumah tangga sehingga waktu yang diperlukan dalam mengurus rumah menjadi berkurang. Perubahan yang terjadi pada ibu-ibu yang bekerja dalam mengasuh anak tersebut menjadi faktor peningkatan jumlah tempat penitipan anak (hoikuien) di Jepang. Perubahan peran wanita sebagai ibu yang hanya bekerja di dalam rumah berubah selama Perang Dunia II. Pada waktu Perang Dunia II wanita diperkerjakan dalam sektor industri menggantikan pria yang dipekerjakan untuk angkatan bersenjata (Friedman, 1992 : alinea 9). Sejak saat itu wanita di Jepang menemukan diri mereka dapat melakukan 2 bahkan 3 pekerjaan sekaligus. Keadaan itulah yang membuat wanita di Jepang mulai memasuki dunia kerja. Keadaan ini juga didorong oleh adanya persamaan
kesempatan kerja, emansipasi wanita, dan pendidikan tinggi yang diperoleh wanita. Peningkatan dari wanita yang bekerja dapat digambarkan dalam kurva berbentuk M dimana wanita bekerja puncaknya pada usia 20-24 tahun dan puncak kedua dapat dilihat pada usia 3540 tahun (Miller. 2003 : 166). Pada saat wanita berusia akhir dari 20-an atau awal 30-an, mereka berhenti bekerja karena menikah dan memiliki anak. Mereka dan akan kembali bekerja mulai usia 35-40 tahun. Ibu-ibu yang bekerja di luar rumah harus bisa menyeimbangkan waktu antara mengasuh anak, dan pekerjaan rumah. Pemerintah Jepang berupaya untuk memberikan bantuan pada ibu-ibu yang bekerja dan memiliki anak, salah satunya dengan menyediakan fasilitas penitipan anak (hoikuen). Menurut Arif (2010 : 1112) hoikuen adalah tempat penitipan anak berusia 1 bulan sampai 5 tahun di Jepang, dengan jumlah murid satu kelas sekitar 15-25 orang dengan 2 guru kelas. Hoikuen di Jepang dibagi menjadi 2 jenis yaitu ninka hoikuen dan ninkagai hoikuen. Ninka hoikuen adalah hoikuen yang dananya diatur oleh pemerintah negara dan pemerintah wilayah lokal serta memenuhi standart yang diputuskan oleh negara. Ninkagai hoikuen adalah hoikuen yang tidak termasuk dana umum karena tidak sesuai dengan standar pemerintah (Maeda, 2003:15). Dalam childcare in context (Shwalb, 1992 : alinea 42) hoikuen di Jepang sebagai alternatif bagi karyawan wanita di Jepang sebagai tempat menitipkan anak selama mereka bekerja. Hoikuen melayani kurang lebih 2 juta anak-anak di Jepang. Anak-anak yang diasuh dalam
87
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
hoikuen berkisar dari usia 0-5 tahun selama 8-11 jam sehari. Waktu ini bisa lebih panjang tergantung dari permintaan orang tua. Saat ini lebih dari 60% hoikuen adalah berasal dari fasilitas pemerintah. Selain itu, sejumlah tempat penitipan anak swasta tiap tahun melebihi permintaan (Buckley, 2009 : 64). Peningkatan hoikuen mengalami ketidakseimbangan antara kapasitas hoikuen dengan jumlah anak yang ingin dititipkan, sehingga ada anak-anak yang tidak bisa masuk ke dalam hoikuen negeri didaftarkan ke hoikuen swasta. Banyaknya permintaan akan hoikuen, membuat hoikuen di Jepang mengalami peningkatan pada tahun 2000 ke atas. Hal ini disebabkan karena adanya pilihan ibuibu di Jepang untuk bekerja, meskipun sudah ada cuti mengasuh anak, tidak semua pekerja mendapatkan cuti ini dan berubahnya pandangan ibu-ibu terhadap anak yang dititipkan di hoikuen (Maeda, 2003 : 15). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran hoikuen dalam tahap perkembangan sosialisasi anak bagi ibu yang bekerja di Jepang. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosialisasi. Individu dalam memahami perannya perlu melakukan proses sosialisasi. Sosialisasi adalah proses suatu usaha masyarakat menghantar warganya masuk ke dalam kebudayaan (Hendropuspito, 1989 : 194). Menurut Mead terdapat tahap dalam perkembangan dengan berinteraksi dengan masyarakat lain yaitu play stage, game stage dan generalized other. Play stage adalah proses dimana individu memainkan peran orang lain seperti menjadi ibu, ayah, polisi, dll. Pada tahap
game stage seorang individu tidak hanya dapat memainkan perannya tetapi juga memahami peran yang dimainkan oleh orang lain, sedangkan generalized other adalah tahap dimana individu mampu mengambil peranan yang dimainkan oleh orang lain dan juga peranan yang dimainkannya (Setiadi dkk, 2009: 70-72 ). Adapun orang-orang yang membantu proses sosialisasi disebut agen sosialisasi. Pada sosialisasi agen sosialisasi yang bertugas yaitu : keluarga (ayah dan ibu), dan lain-lain. Dalam sosialisasi sekunder antara lain sekolah, masyarakat desa, media masa, dan lain-lain. Menurut Hendropuspito (1989: 195) bahwa lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga kebudayaan, lembaga politik, dan lain-lain merupakan lembaga yang diberi tugas untuk melakukan proses sosialisasi. 2.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu pekerjaan yang berhubungan dengan mendesain, memperoleh dan menganalisis data penelitian ilmiah. Pendekatan ilmiah adalah cara mencari solusi (jalan keluar) menyelesaikan masalah melalui berfikir rasional, sistematis dan empiris (Iskandar, 2009: 11). Peneliti memilih menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi pustaka, karena penulis dapat menganalisa fenomena yang terjadi melalui literatur yang terkait dengan apa yang dibahas. Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana hasil yang diperoleh digambarkan secara detail tentang bagaimanakah peran hoikuen dalam tahap
88
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
perkembangan sosialisasi anak bagi ibu yang bekerja di Jepang. 3.
Hasil dan Pembahasan
Perubahan Peran Ibu yang Bekerja dalam Mengasuh Anak di Jepang. Perubahan peran wanita selama PD II membawa dampak pada peran ibu dalam keluarga. Status ibu sebagai seorang istri, ibu rumah tangga, dan ibu meningkat menjadi seorang ibu pekerja. Peningkatan
wanita yang bekerja didorong oeh faktor seperti EEOL (Equality Employment Opportunity Law), emansipasi wanita, dan pendidikan tinggi yang diperoleh wanita. Wanita yang bekerja dapat digambarkan dalam kurva berbentu M. Kurva ini dibagi berdasarkan kelompok usia dan persentasi peningkatan angkatan kerja seperti tergambar dalam kurva di bawah ini.
Kurva 1. Persentase Angkatan Kerja Wanita 250 200
150 100
2010
50
2005
0
2000
Usia Sumber : http://www.stat.go.jp/data/kokusei/2010/users-g/wakatta.htm (diakses tanggal 19 April 2012)
Berdasarkan pada kurva di atas terdapat pergeseran 2 puncak usia wanita Jepang yang berada dalam lingkungan kerja. Pada tahun 2000 sebanyak 70,7% wanita bekerja pada rentang usia 20-24 tahun. Pada tahun 2005 puncak bergeser pada usia 25-29 tahun dan meningkat menjadi 74,9% dan tahun 2010 pada kelompok usia yang sama mengalami peningkatan sebesar 3,8% menjadi 78.9%. Usia 30-34 tahun merupakan titik terendah persentase angkatan kerja wanita pada tiap tahun. Hal ini terjadi karena pada usia 30-34 tahun wanita Jepang memutuskan untuk menikah dan
memiliki anak, sehingga mereka keluar dari pekerjaan atau mengambil cuti kerja. Di tahun 2000 wanita yang berusia 30-34 tahun yang berhenti dari pekerjaannya atau mengambil cuti sebanyak 57,6%, sedangkan di tahun 2005 meningkat menjadi 63,4% dan di tahun 2010 meningkat lagi sebesar 6% menjadi 69,4%. Puncak tertinggi kedua pada usia 45-49 tahun, karena pada usia ini wanita di Jepang memutuskan untuk kembali bekerja dan sebagian besar menjadi pekerja part time. Di tahun 2000 usia 4549 tahun sebanyak 70,6%. Pada tahun
89
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
2005 meningkat menjadi 73,7% dan terus meningkat pada tahun 2010 menjadi 75,8%. Menjadi ibu sepanjang hari tidak lagi menawarkan tantangan. Terutama bagi wanita-wanita yang berada di daerah urban dan sub-urban dimana di wilayah ini rumah yang mereka miliki terlalu kecil untuk melakukan berbagai macam aktifitas. Bagi wanita yang bermalasmalasan tidak ada artinya, sehingga wanita bekerja di luar rumah (Iwao, 1993: 142) Ibu-ibu yang bekerja di luar tidak lagi mengurus anaknya secara penuh. Pada saat anak berusia 0-2 tahun, waktu ibu masih banyak untuk mengurus anakanaknya. Hal ini terjadi karena ibu yang bekerja mendapatkan cuti mengasuh anak selama 1 tahun dan adanya mitos mengasuh anak yang dilakukan oleh ibu sampai anak berusia 3 tahun. Untuk ibu yang memiliki anak berusia 3 tahun ke atas waktu yang dimiliki untuk mengurus anak mulai berkurang. Oleh karena itu, ibu mulai bekerja kembali setelah mengambi cuti atau anak-anak sudah mulai memasuki youchien (taman anakanak). Pembagian Jenis Hoikuen di Jepang. Secara garis besar hoikuen di Jepang dibagi menjadi 2 yaitu ninka hoikuen dan ninkagai hoikuen. Ninka hoikuen adalah hoikuen yang sesuai dengan standar yang ditentukan oleh negara dan mendapat bantuan dana dari pemerintah. Ninka
hoikuen dapat dibagi lagi menjadi kouristu hoikuen dan shiritsu hoikuen. Ninkagai hoikuen adalah hoikuen yang tidak memenuhi standar yang diberikan oleh negara, dan tidak mendapat dana bantuan dari pemerintah (Maeda, 2003:15). Permintaan jumlah hoikuen terus meningkat. Peningkatan hoikuen ini disebabkan meningkatnya permintaan anak yang ingin dimasukkan di dalam hoikuen. Peningkatan anak yang ingin dimasukkan ke dalam hoikuen karena adanya peningkatan pada ibu bekerja, perubahan pandangan ibu mengenai anak yang dititipkan di hoikuen dan juga kebijakan cuti mengasuh anak yang hanya diberikan pada pegawai tetap saja, sehingga pegawai paruh waktu menggunakan jasa hoikuen untuk menitipkan anaknya selama mereka bekerja. Banyak orang Jepang yang lebih memilih ninka hoikuen dibanding dengan ninkagai hoikuen. Pada ninka hoikuen biaya yang dibayarkan murah, serta kualitas yang diberikan mendapatkan pengawasan dari pemerintah. Banyaknya permintaan akan ninka hoikuen yang jumlahnya terbatas tersebut, menyebabkan ninkagai hoikuen tiap tahun mengalami peningkatan jumlah anak yang dititipkan. Oleh karena itu, pemerintah membuat keringanan kebijakan untuk menjadikan ninkagai hoikuen menjadi ninka hoikuen. Di bawah ini merupakan jumlah ninkagai hoikuen yang dijadikan ninka hoikuen tahun 2000 dan tahun 2001.
90
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
Tabel 1 Jumlah ninkagai hoikuen yang dijadikan ninka hoikuen berdasarkan keringanan kebijakan Isi keringanan kebijakan
Jumlah di tahun 2000
Jumlah di tahun 2001
27 (15) 43 (31) 1. pengatur berdasarkan inti pengaturan yang berbeda 15 (9) 17 (10) 2. Hoikuen dengan kapasitas maximum 30 orang 40 (19) 77 (39) 3. Pengaturan dalam bentuk penyewaan 50 (23) 89 (44) 4. Keadaan ninka hoikuen kecuali bagian yang disebutkan pada dari 1-3 Keterangan : yang di dalam ( ) adalah jumlah ninkagai yang menjadi ninka hoikuen. Sumber : 子育てはいま-変わる保育園、これからの子育て支援 Aktifitas di dalam Hoikuen. Hoikuen di Jepang bukan merupakan salah satu lembaga pendidikan di Jepang. Hal ini dikarenakan hoikuen tidak mengajarkan pendidikan secara akademik dan tidak berada di bawah naungan menteri pendidikan tetapi di bawah menteri kesejahteraan sosial. Kegiatan dalam hoikuen tidak hanya bermain, tapi hoikuen di Jepang juga menggajarkan anak-anak untuk mengembangkan kemampuan untuk mengontrol diri sendiri, seperti mengurangi pengaruh guru, atau menyerahkan kontrol anakanak pada diri mereka sendiri (Davies, 2002 :136). Aktifitas di dalam hoikuen bertujuan untuk mangajarkan bagaimana anak-anak nantinya dapat berinteraksi dengan lingkungan sosial dan masalah yang ada di dalamnya. Hoikuen melakukan aktifitas seperti di rumah dimana perawat anak-anak dan guru di dalam hoikuen berlaku seperti ibu mereka. Berbagai aktifitas yang dilakukan di hoikuen dapat dilihat dari usia anak-anak yang dititipkan di sana. Anak yang berusia 0
tahun kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan sehari-hari seperti makan, minum susu, dan bermain. Ada juga dari anak-anak tersebut yang mulai merangkak dan belajar berjalan dengan pengasuh di dalam hoikuen tersebut. Pada anak-anak yang berusia 1-3 tahun mereka diajarkan untuk melakukan kegiatan seperti belajar tata cara makan, memakai pakaian sendiri, menjaga kebersihan, berbicara dengan orang lain, dan mereka disiapkan untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosial mereka. Aktifitas di dalam hoikuen memadukan antara pengasuhan anak-anak dengan pendidikan. Berdasarkan Revision-Reated Examination Body dalam International Journal of childcare and education policy (Shishido, 2008: 30) mengatakan: “Fakta bahwa „pengasuhan anak‟ dan „pendidikan‟ dipadukan dalam lingkungan pengasuhan yang sebenarnya seharusnya dicatat. „Pengasuhan anak‟ mengarah kepada bantuan menyediakan pengasuh atau hubungan antara pengasuh dan anak yang mengkritisi perlindungan hidup anakanak dan peningkatan stabilitas emosi anak-anak. Tambahannya „Pendidikan‟
91
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
membantu pertumbuhan kesehatan dan perkembangan suara anak-anak serta disusun dalam 5 area yang berbeda : kesehatan, hubungan antar manusia, lingkungan, bahasa, dan ekspresi. Bersamaan dengan 5 area tersebut, perlindungan hidup dan peningkatan stabilitas emosi saling dihubungkan dan dikembangkan dengan menghubungkan macam-macam permainan anak dalam kehidupan sehari-hari mereka.”
Aktifitas di hoikuen tidak hanya dilakukan oleh anak-anak saja. Di dalam hoikuen terdapat aktifitas yang melibatkan kegiatan bersama dengan orang tua dan biasanya dilakukan pada libur akhir pekan. Contohnya memasak bersama dengan orang tua. Di sana juga menyediakan layanan kosultasi pengasuhan anak untuk orang tua/ ibu. Hal itu dilakukan untuk mendekatkan antara anak dengan orang tua yang bekerja. Pandangan Orang Jepang Tentang Hoikuen di Jepang. Pendapat masyarakat Jepang tentang keberadaan hoikuen bermacam-macam, ada masyarakat Jepang yang berpendapat bahwa hoikuen dapat membantu dan ada dari mereka yang berpendapat kurang setuju dengan pengasuhan di hoikuen. Berdasarkan pendapat beberapa orang yang ada dalam situs NHK (http://cgi2.nhk.or.jp/fukayomi/goiken/fo rm2.cgi?cid=56&pid=6853) mereka yang berpendapat setuju mempertimbangkan tentang kesulitan ibu-ibu yang bekerja dalam mengurus anak jika mereka berada di tempat kerja, selain itu juga ada dari mereka yang berpendapat bahwa sulitnya bagi ibu yang mengasuh anak 1 hari penuh, sehingga ibu-ibu juga memerlukan relaksasi atau istirahat. Masyarakat Jepang menganggap hoikuen dapat membantu anak-anak yang orang
tua mereka bekerja. Di dalam hoikuen mereka dapat berinteraksi dengan orang lain yang membantu anak-anak dalam memahami hubungan dengan orang lain, walau tidak dapat dipungkiri bahwa prioritas seorang ibu adalah melahirkan dan mengasuh anak. Pengasuhan anak yang dilakukan secara penuh di dalam hoikuen menjadi pertimbangan dari pihak yang kurang setuju. Pihak ini berpendapat bahwa pengasuhan anak seharusnya memang dilakukan oleh ibu bukan dilakukan oleh hoikuen. Pengasuhan yang dilakukan oleh keluarga atau ibu sangat penting dalam pembentukan watak anak. Masyarakat Jepang kurang setuju dengan ibu yang bekerja sampai mengorbankan anak mereka dan dititipkan anak mereka di hoikuen. Hal ini terkait dengan adanya mitos mengasuh anak sampai anak berusia 3 tahun. Selain itu pertimbangan masuknya badan usaha yang mengatur hoikuen juga menyebabkan mereka kurang setuju dengan pengasuhan anak di hoikuen. Menurut mereka seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengaturan hoikuen. Badan usaha memiliki fokus pada bisnis sehingga pengasuhan anak yang menjadi prioritas untuk perkembangan baik mental maupun fisik tidak lagi menjadi fokus utama dari badan usaha. Tahap perkembangan sosialisasi anak bagi ibu yang bekerja di Jepang. Tahap Play Stage. Pada tahap ini anakanak mulai belajar memainkan peran yang orang-orang yang ada di dekatnya seperti berperan menjadi ibu, ayah, guru, kakak-adik, dll. Pengenalan tersebut dilakukan dari lingkungan terkecil. Contohnya, aktifitas yang dilakukan di Nadeshiko hoikuen di mana ada aktifitas dimana pengasuhan dibedakan
92
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
berdasarkan usia, usia anak-anak yang lebih tua bermain dengan anak-anak yang usianya lebih mudah. Hal ini dimaksudkan agar mereka merespon apa yang mereka lihat/gambarkan melaui pengambilan peran seorang kakak atau adik. Pada tahap ini anak-anak memainkan peran, namun mereka belum memahami peran tersebut. Melalui tahap ini mereka akan mengenal berbagai macam peran di masyarakat, selain dari lingkungan keluarga mereka. Proses dalam tahap ini dilakukan agar mereka mampu memahami bagaimana peranperan tersebut dilaksanakan oleh pelaku peran sesuai dengan posisinya. Game stage. Pada tahap ini sikap dari individu ditentukan oleh peran orang lain yang ada dalam kelompok tersebut, sehingga mereka memberikan respon sebagai tindakan orang lain tersebut. Contohnya pada kegiatan di Nadeshiko hoikuen yang mengunjungi ke tempattempat sosial seperti rumah sakit, panti jompo. Di dalam rumah sakit atau panti jompo terdapat perawat-perawat yang merawat orang sakit dan lansia, tindakan yang dilakukan oleh anak-anak terhadap orang yang sakit dan lansia merupakan bentuk respon tindakan dari perawat/orang yang ada di dalam komunitas tersebut. Mereka dapat memahami peran yang dilakukan oleh dirinya dan yang orang lain mainkan. Tahap ini sebagai lanjutan dari tahap sebelumnya dimana mereka awalnya hanya memainkan perannya saja. Pada tahap ini mereka tidak hanya memainkan dan mengerti tentang peran mereka sendiri, tetapi mereka juga memahami peran yang dimainkan oleh orang lain yang ada di sekitarnya. Anak-anak pada tahap ini diharapkan mampu memahami peran yang orang lain mainkan sehingga
mereka bisa menyesuaikan diri dengan peran tersebut. Generalized other. Pada tahap ini sikap dari tahap generalized other merupakan gambaran sikap dari seluruh masyarakat. Hoikuen sebagai generalized other merupakan suatu proses pengaturan dan aktivitas sosial. Proses pengaturan pada anak-anak agar menjadi anak yang mampu memainkan perannya di masyarakat melalui pengaturan dalam sikap dan tindakan serta aktifitas di masyarakat. Di dalam hoikuen dimana terjadi aktifitas sosial anak-anak dimaksudkan agar anak-anak mampu bersosialisasi dengan lingkungannya. Hal ini tercermin pada kegiatan/aktifitas yang ada di hoikuen untuk mengatur tindakan anak-anak seperti belajar cara makan yang benar sesuai dengan budaya Jepang, belajar menjaga kesehatan dengan olahraga yang teratur dan pola hidup yang sehat, belajar hidup disiplin dan cara berhubungan dengan orang lain yang sesuai dengan budaya Jepang atau lebih dikenal dengan konsep ningen kankei. Hoikuen sebagai wadah aktifitas sosial anak-anak dapat terlihat dari kegiatan mengunjungi fasilitas-fasilitas sosial, dan bermain dengan teman-temannya. Pada tahap ini anak-anak belajar untuk mengenal budaya dan kebiasaan dimana mereka tinggal. Anak-anak pada tahap ini diharapkan mampu memahami bagaimana dan tindakan apa yang harus dilakukan dalam berhubungan dengan masyarakat Jepang. Tindakan yang mereka lakukan diharapkan sesuai dengan peran yang mereka mainkan dan sesuai dengan budaya Jepang. Hoikuen sebagai agen sosialisasi sekunder. Hoikuen dapat bertindak sebagai agen sosialisasi, karena di dalam aktifitas dan interaksi dengan anak-anak mengandung bentuk sosialisasi. Hoikuen 93
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
dapat bertindak sebagai agen sosialisasi sekunder, dimana ia berperan sebagai mediator antara anak-anak dan lingkungan sosialnya. Selain itu, agen sosialisasi sekunder juga bisa membantu agen sosialisasi primer untuk melakukan sosialisasi terhadap nilai-nilai budaya Jepang seperti keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
sebagai fasilitas yang membantu ibu-ibu dalam menitipkan anak selama mereka bekerja. Kedua, peran hoikuen sebagai mediator bagi ibu-ibu/orang tua yang bekerja untuk mendekatkannya dengan anak-anak mereka. Namun, di dalam hoikuen tidak hanya sebagai tempat penitipan anak yang membantu ibu-ibu di Jepang tetapi juga sebagai tempat perkembangan sosialiasi anak.
Pembelajaran mengenai keseimbangan hubungan ini dapat dilihat dari aktifitas yang ada di dalam hoikuen, seperti contoh : pergi ke fasilitas sosial (panti jompo, rumah sakit) untuk menumbuhkan sikap sensitifitas terhadap orang lain, aktifitas yang dilakukan di kebun untuk memperkenalkan anak-anak dengan lingkungan hidup. Sebagai agen sosialisasi sekunder hoikuen tidak hanya membantu anak-anak dengan orang tua yang bekerja. Hoikuen juga membantu mendekatkan anak-anak dengan orang tua/ibu yang bekerja. Hal ini didasarkan pada tujuan hoikuen sebagai fasilitas yang mendukung pengasuhan anak di dalam rumah. Adanya tujuan untuk mendukung pengasuhan anak di dalam rumah, sehingga sebagian besar hoikuen mengadakan kegiatan yang melibatkan orang tua/ibu dengan anak-anak mereka.
Hoikuen sebagai tempat perkembangan sosialisasi anak berfungsi pertama, sebagai tempat pengenalan peran-peran yang ada di dalam masyarakat melalui tahap perkembangan sosialisasi dari play stage, game stage, dan generalized other. Kedua, sebagai tempat pengenalan dan pembelajaran budaya dan kebiasaan yang berlaku di Jepang. Ketiga, sebagai agen sosialisasi sekunder yang membantu agen sosialisasi primer seperti keluarga (ayah, ibu, kakak, adik) dalam menanamkan nilai-nilai budaya Jepang seperti hubungan antara manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, sopan santun, dan kedisiplinan.
4.
Simpulan
Kondisi ibu-ibu yang bekerja di Jepang, dimana ibu-ibu yang memiliki anak harus membagi waktu antara mengasuh anakanak dengan pekerjaan rumah dan pekerjaan di luar rumahnya sehingga, ibu waktu dalam mengurus anak berkurang. Ibu-ibu yang bekerja menggunakan jasa hoikuen untuk membantu ibu dalam menjalankan sebagian peran dalam mengasuh anak mereka. Bagi ibu yang bekerja di Jepang peran hoikuen pertama,
Daftar Pustaka Arif, Nesia Andriana.2010. Pujian bukan Kemarahan-Rahasia Pendidikan dari Negeri Sakura. Jakarta : PT. Elex Media Caputindo Buckley, Sandra. 2002. Encyclopedia Of Contemporary Japanese Culture. London : Routledge Hendropuspito. 1989. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta : Kanisius Iskandar.2009. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aplikasi untuk penelitian Pendidikan hukum, ekonomi, & Management, Sosial, Humaniora, politik, agama, dan 94
JAPANOLOGY, VOL. 1, NO. 1, SEPTEMBER 2012 – FEBRUARI 2013 : 86 - 95
filsafat. Jakarta : Gaung Persada (GP Press) Iwao, Sumiko. 1993. Japanese WomanTraditional Image and Changing Reality. US :The Free Press
NHK.『“総合こども園“であなたの 子 育 て が 変 わ る 』 dalam http://cgi2.nhk.or.jp/fukayomi/goi ken/form2.cgi?cid=56&pid=6853, diakses tanggal 10 Juli 2012
Maeda, Masako. 2003. Kosodate wa, ima ikawaru hoikuen, korekarano kosodate shien. Tokyo: Iwanami shoten. Setiadi, Elly M, dkk. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Edisi Kedua Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Jurnal Miller, Robbie Louis. 2003. “The Quite Revolution: Japanese Woman Working Around The Law” dalam Havard Woman‟s Law Journal vol.26 hal. 166 Takeo, Shihido. 2008. “Revision-Reated Examination Body” dalam International Journal of childcare and education policy vol.2 no.1 hal 30
Website Friedman, Seth, “Women in Japanese Society: Their Changing Roles” dalam http://www2.gol.com, diakses 16 November 2011 “Child Care in Context Cross Culture Perspective : Japanese Nonmaternal Child Care-Past, Present, and Future” dalam http://www.suu.edu, diakses tanggal 4 Desember 2011
95