Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010 Fatrakhul Yusa – 070912067 Program Studi S1 Hubungan Internasional, Universitas Airlangga
ABSTRACT Diaspora Tamil selalu diidentikkan sebagai alat kampanye militer LTTE yang merupakan organisasi pemberontak Sri Lanka. Afiliasi keduanya, selain berasal dari etnis yang sama adalah kontribusi mereka dalam Perang Sipil Sri Lanka yang telah dimulai sejak 1983. Aktivitas keduanya dinilai telah memperpanjang konflik Sri Lanka, namun, peran apa yang sebenarnya dilakukan oleh diaspora Tamil? Dengan menggunakan pendekatan eskalasi dan deeskalasi Kriesberg & Thorson, serta aktor rasional, didapati bahwa diaspora Tamil melihat perdamaian sebagai satu kondisi yang diikuti pencapaian negara Tamil Eelam yang independen. Dengan pertimbangan itulah kemudian diaspora dapat berperan positif dan negatif. Aktivitas diaspora Tamil sendiri dapat dijelaskan dalam empat faktor. Faktor internal berkaitan dengan motivasi dan jati diri, faktor teknologi yang menyediakan akses komunikasi & berbagi informasi, faktor host-country yang menfasilitasi mobilitas politik diaspora, dan faktor LTTE untuk menjelaskan bagaimana dominasi ideologi dan eksistensinya dalam aktivitas diaspora Tamil. Kata-kata Kunci: diaspora, Tamil, Sri Lanka, konflik, aktor rasional Tamil diaspora always identified as a military campaign to a rebel organization of Sri Lanka, LTTE. Affiliation of both, in addition originate from the same ethnic is their contribution to the Sri Lankan Civil War which began in 1983. Activities of both, are considered to have extended the Sri Lankan conflict, however, what role is actually done by the Tamil diaspora? By using the approach of escalation and de-escalation from Kriesberg & Thorson, as well as a rational actor, it was found that the Tamil diaspora see peace as a condition that followed by achievement of an independent state of Tamil Eelam. With that consideration then the diaspora can play a positive and negative role. Tamil diaspora’s activity itself can be described in four factors. Internal factors related to motivation and identity, technology factors that provide access to communication & sharing of information, the host-country factors that facilitate the mobility of diaspora politics, and the LTTE factor to explain how the dominance of LTTE’s ideology and presence in the Tamil diaspora activity. Keywords: diaspora, Tamil, Sri Lanka, conflict, rational actor
1105
Fatrakhul Yusa
Sejarah Konflik Sri Lanka Akar konflik yang mengatasnamakan Tamil sebagai etnis minoritas dan Sinhala sebagai etnis mayoritas pada dasarnya telah dimulai sejak kemerdekaan Sri Lanka pada 1947. Penyerahan kekuasaan yang semula dikelola oleh Inggris kepada Sinhala sebagai etnis dominan, baik dari segi populasi maupun kekuasaan politik, tidak diikuti dengan sistem yang dapat menjamin hak-hak minoritas di luar Sinhala (Fair 2007, 177). Dominasi tersebut semakin terlihat jelas sejak 1956, kuasa atas pemerintahan secara mutlak dipegang oleh Sinhala. Kekhawatiran tersebut terbukti dengan diberlakukannya hukum “Sinhala Only” pada 1956 yang mengganti bahasa resmi Sri Lanka dari bahasa Inggris menjadi bahasa Sinhala. Kebijakan tersebut diikuti dengan dikeluarkannya konstitusi yang mengakui agama Budha sebagai satusatunya agama resmi Sri Lanka pada 1972 (Fair 2007, 178). Diskriminasi tersebut juga diikuti dengan berbagai pembatasan bagi etnis di luar Sinhala untuk aktif dalam pendidikan dan perpolitikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara (Fair 2007, 178). Pada Juli 1983, konflik persinggungan antara Tamil dan Sinhala semakin tereskalasi ketika militan Tamil membunuh 13 tentara Sinhala dalam sebuah operasi penyergapan di wilayah utara. Kematian tentara tersebut membangkitkan kemarahan Sinhala dan memicu balas dendam terhadap Tamil. Berdasarkan laporan pemerintah, terdapat 300 korban meninggal di pihak Tamil, namun sumber Tamil menyebutkan angka 3000 korban jiwa (Wayland 2004, 413). Pemerintah bagaiamanapun gagal dalam menyelesaikan kerusuhan yang berbuntut menjadi konflik dalam skala lebih besar dan memulai periode Perang Sipil Sri Lanka. Di tengah diskriminasi yang semakin gencar serta merebaknya kekerasan anti-Tamil, banyak bermunculan organisasi-organisasi politik dan militer yang memperjuangkan hak-hak etnis Tamil. Organisasi tersebut berupaya mendapatkan kedaulatan bagi etnis Tamil Sri Lanka yang mencita-citakan keberadaan negara Tamil Eelam. Organisasiorganisasi seperti Tamil Eelam Liberation Organization (TELO), People's Liberation Organization for Tamil Eelam (PLOTE), Eelam People's Revolutionary Liberation Front (EPRLF), dan Liberation Tiger of Tamil Eelam (LTTE) merupakan beberapa kelompok yang cukup berpengaruh dalam perang sipil (Byman 2001, 44). Kelompok militan ini beroperasi dalam berbagai aksi penyergapan polisi, pembunuhan massal, bom bunuh diri, hingga penggunaan wanita dan anak-anak sebagai tentara (Byman 2001, 47). Beberapa aksi LTTE bahkan menyerang kalangan elit pemerintah seperti mantan Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi pada 1991 dan Presiden Sri Lanka, Ranasinghe Premadasa pada 1993. Pada 1999 pun pernah terjadi percobaan
1106
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010
pembunuhan terhadap Presiden Sri Lanka, Chandrika Kumaratunga, meski akhirnya gagal (HRW 2006, 7). Di bawah bayang-bayang perang sipil dan LTTE, diperkirakan terdapat 60.000 korban jiwa dan 600.000—800.000 pencari suaka asing (HRW 2006, 10). Formasi Awal Diaspora Tamil Diaspora Tamil merupakan formasi diaspora yang tergolong masih berumur muda. Formasi Tamil memang baru mulai terbentuk pada paruh kedua abad ke-20. Terbentuk sebagai korban Perang Sipil Sri Lanka tentunya bukan merupakan hasil yang diinginkan oleh diaspora Tamil. Mereka secara terpaksa harus keluar dari tanah air mereka dan mencari suaka ke negara-negara asing. Dengan statusnya sebagai diaspora generasi pertama yang artinya lemah secara politik di dunia yang sama sekali asing, diaspora Tamil secara bertahap mendapat perhatian internasional. Sayangnya, perhatian tersebut mengarah ke diaspora Tamil bukan untuk mengelu-elukan pencapaian positif mereka. Sebaliknya, afiliasi diaspora Tamil dengan organisasi Liberation Tiger of Tamil Eelam mengantarkan diaspora Tamil sebagai salah satu komunitas diaspora dengan predikat negatif, peace-wrecker (perusak perdamaian). Gabriel Sheffer (2003) mendefinisikan diaspora sebagai formasi sosial politik yang merupakan hasil dari migrasi, baik yang bersifat sukarela maupun terpaksa, yang keanggotaannya berdasarkan pada kesamaan tempat lahir, namun karena satu alasan tertentu membuat mereka menetap di luar negara asal mereka sebagai minoritas. Kendati demikian, salah satu fitur utama dari diaspora, lanjut Sheffer adalah upaya mereka dalam mempertahankan interaksi dengan apa yang mereka pahami sebagai tanah air dan keluarga. Dengan mempertahankan ikatan kekerabatan meski berada di tempat asing, komunitas ini berusaha mengorganisir diri mereka dengan dasar kesamaan identitas, loyalitas dan solidaritas. Atas nama solidaritas pula tidak jarang dalam aktivitasnya, diaspora terlibat dalam jaringan transnasional yang melibatkan hubungan kompleks dengan sesama komunitas diaspora, dengan host-countries, dengan tanah air, serta aktor-aktor internasional lain. Dibentuk dari beberapa gelombang migrasi sejak kemerdekaan Sri Lanka pada 1948, Diaspora Tamil diperkirakan berjumlah satu juta jiwa pada 2010. Jumlah tersebut kira-kira satu perempat dari seluruh populasi Tamil di Sri Lanka. Populasi Diaspora Tamil menyebar ke banyak negara, beberapa di antaranya sebagai berikut: India (200.000), Canada (200.000—300.000), Inggris (180.000), Jerman (60.000), Australia (40.000), Switzerland (47.000), Perancis (40.000—50.000),
Jurnal Analisis HI, September 2014
1107
Fatrakhul Yusa
Belanda (20.000), Amerika Serikat (10.000), Denmark (70.000), Selandia Baru (3.000), dan Swedia (2.000). Selain negara-negara di atas, terdapat juga beberapa komunitas kecil di Afrika Utara dan beberapa negara yang tergabung dalam ASEAN (Manohari 2009,3). Meski Diaspora Tamil telah menetap di negara-negara yang mampu memberikan kehidupan yang lebih layak dan bebas dari ancaman perang, ikatan yang kuat dengan tanah air dan keluarga di Sri Lanka bukanlah sesuatu yang mudah diabaikan. Ikatan etnis ini juga semakin mengakar kuat dengan tidak sedikitnya pihak diaspora yang termarjinalkan di masing-masing host-countries. Ditambah dengan kekhawatiran terhadap nasib keluarga mereka yang tinggal di penampungan-penampungan militer Sri Lanka merupakan salah satu pemicu nostalgia dan kerinduan akan tanah air mereka. Keingingan Diaspora Tamil untuk membantu perjuangan sesamanya di Sri Lanka sendiri merupakan pintu masuk LTTE untuk menyebarkan ide Tamil Eelam. LTTE dan Diaspora Tamil merupakan dua aktor yang memiliki latar belakang dan tujuan yang relatif sama. Keduanya berasal dari etnis Tamil yang merasa mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah Sri Lanka. Kesenjangan sosial yang tinggi dan ketidaktanggapan pemerintah lantas menyulut pertikaian vertikal antara pemberontak dengan pemerintah. Dan untuk tetap melanjutkan perjuangan melawan pihak Sri Lanka, LTTE tentunya perlu mendapat dukungan yang besar untuk menutupi kebutuhan operasional dan persenjataan. Dalam kondisi inilah LTTE bergantung pada kontribusi serta diaspora Tamil. Pertautan LTTE dan Diaspora Tamil Di tengah diskriminasi yang semakin gencar pada 1970-an, banyak bermunculan organisasi-organisasi politik dan militer yang memperjuangkan hak-hak etnis Tamil. Pemberontakan ini lantas kian memanas dan berakhir menjadi Perang Sipil Sri Lanka sejak 1983. Salah satu konsekuensi paling signifikan dari Perang Sipil Sri Lanka adalah pergolakan populasi Tamil, baik secara internal dengan banyaknya tindak kekerasan dan pelanggaran kemanusian yang dialami etnis Tamil serta dengan banyak migrasi keluar negeri sebagai pencari suaka. Mereka yang hijrah ini kemudian mencari perlindungan dan berakhir menetap di berbagai negara-negara Barat sebagai Diaspora Tamil. Dinamika konflik Sri Lanka telah membawa identitas Tamil menuju formasi baru. Nilai-nilai sosial, budaya, dan keagamaan Tamil yang telah mengakar selama ribuan tahun telah digantikan dengan nilai-nilai grievance, ethno-nation, dan separatisme (Vimalarajah & Cheran 2010,
1108
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010
22). Perang tidak dapat disangsikan telah merubah itu semua. Generasi pertama Diaspora Tamil yang telah merasakan kekejaman perang di tanah air mereka secara terpaksa harus meninggalkan Sri Lanka demi menghindari diskrimanasi. Diikuti dengan keinginan untuk dapat hidup lebih baik mereka memutuskan hijrah luar, meski demikian, semangat untuk kembali ke tanah kelahiran mereka masih begitu tinggi. Kesadaran etnis Tamil terhadap penentuan nasib bangsa mereka sebenarnya telah ada bahkan sebelum pecahnya perang sipil Sri Lanka. Semangat itu terwujud dalam sebuah resolusi bernama Resolusi Vaddukoddai, yang mana berisi tentang pendirian Tamil Eelam. Resolusi ini sebenarnya telah diadopsi oleh koalisi partai politik Tamil bernama Tamil United Liberation Front (TULF) pada 1976 di Sri Lanka (Vimalarajah & Cheran 2010, 22). Ribuan Tamil menunjukkan dukungannya dengan memberikan voting suara mereka kepada koalisi TULF pada pemilihan umum Sri Lanka 1977. Meski TULF tidak berhasi memenangkan suara etnis Tamil yang merupakan minoritas kecil di Sri Lanka, isi dari Resolusi Vaddukoddai berhasi membakar semangat perjuangan Tamil dan menjadi bagian integral bagi perjuangan Tamil di seluruh dunia, termasuk oleh LTTE dan jejaring diaspora Tamil (Vimalarajah & Cheran 2010, 22). Bukti kegigihan perjuangan LTTE melawan pemerintah Sri Lanka salah satunya adalah eksistensi dari negara virtual1 yang berada di bawah kendali LTTE di sekitar kota Jaffna pada periode 1990-1995. Pencapaian ini telah memberikan rasa bangga dan menjadi elemen penting dalam membangun identitas Tamil kala itu. Lebih dari segalanya, identitas yang berakar pada cita-cita Tamil Eelam telah menggantikan elemen seperti kelas sosial, tingkat edukasi dan agama di kalangan Tamil. Identitas ini tentunya mengakar kuat sebagai hasil dari kemenangan LTTE kala itu serta dari jaringan Tamil di kalangan diaspora (Wayland 2004, 44) Jika mempertimbangkan kondisi LTTE, sangat sedikit data pendukung yang mampu menjelaskan mengapa pemberontak mampu bertahan begitu lama. Hal yang senada diungkapkan Fair melalui empat poin temuannya yang menjelaskan posisi pemberontak (Fair 2007, 174). Pertama, Tamil tidak memiliki hak berpolitik dalam pemerintahan Sri Lanka. Kedua, etnis Sinhala yang memiliki proporsi 75% dari total populasi Sri Lanka menguasai semua bidang vital dalam pemerintahan. Ketiga, selama konflik berlangsung, tidak ada negara yang secara tegas memberi dukungan terhadap pemberontak. Keempat, pemerintahan Sri
Virtual yang dimaksud di sini bukan virtual seperti dalam kamus dunia maya, negara virtual di sini merujuk pada pemerintahan tidak sah atas suatu teritori dan penduduk. 1
Jurnal Analisis HI, September 2014
1109
Fatrakhul Yusa
Lanka secara frekuen dan dalam jumlah besar merepresi pergerakan pemberontak. Wayland menyebutkan, agar suatu gerakan sosial – dan bentuk-bentuk militernya – sukses, diperlukan perubahan konteks politik sebagai pelengkap dari organisasi dan sumber daya internal yang telah ada. Perubahan inilah yang disebut sebagai 'struktur kesempatan politik' yang nantinya akan memiliki pengaruh signifikan dalam memunculkan keluhan (grievance) yang bersifat laten serta mampu menyediakan insentif bagi terciptanya aksi kolektif (Fair 2007, 174-175). Wayland menambahkan bahwa, meski memiliki banyak rintangan struktural, pergerakan LTTE di Sri Lanka dapat terus berjalan karena adanya struktur kesempatan politik yang berasal dari diaspora Tamil. Dia berkeyakinan bahwa diaspora dapat beroperasi dalam beberapa struktur kesempatan politik sekaligus. Dengan memerhatikan argumentasi dari Wayland, dapat dipahami bagaimana pergerakan para imigran dari situasi penyiksaan dan keabsenan hak-hak politik di Sri Lanka menuju masyarakat terbuka dengan pemerintahan demokratis, kebebasan berekspresi, dan anti diskriminasi mampu menciptakan kesempatan bagi imigran untuk mengorganisir, melobi, dan menggalang dana hingga pada tingkat yang sebelumnya tidak mungkin terlaksana di tanah asal mereka. Namun, perlu digarisbawahi bahwa LTTE dapat mengeksploitasi struktur kesempatan politik transnasional yang dimiliki oleh diaspora hanya jika LTTE dan segmen penting dari komunitas diaspora berbagi visi dan aspirasi politik yang sama (Fair 2007, 175). Sementara itu, berkaitan dengan motivasi diaspora dalam mengirim remittance, Radtke menyebutkan bahwa hal tersebut seperti halnya kewajiban moral agar diaspora dapat menemukan ketenangan (Vimalarajah & Cheran 2010, 16). Kehidupan diaspora yang jauh lebih baik dari kerabat mereka di Sri Lanka menciptakan imej sudah seharusnya mereka harus membantu kehidupan sesamanya. Remittance dengan kata lain merupakan bentuk pembayaran atas rasa bersalah dan nostalgia diaspora. Sayangnya, remittance dan donasi yang diaspora Tamil telah kumpulkan kebanyakan berakhir di rekening LTTE. Tumbuhnya diaspora juga menjadi sumber pemasukan yang penting bagi LTTE. Banyak Tamil yang telah menderita dan menyaksikan perlakuan kejam militer Sri Lanka dengan sukarela mendukung perang LTTE terhadap pemerintah. Pada tahun 1990-an, aliran dana dari diaspora mulai mengalir secara bertahap. Pada pertengahan 1990-an, beberapa ahli percaya bahwa 80-90 persen dari anggaran militer LTTE berasal dari sumber luar negeri, termasuk kontribusi diaspora dan bisnis dan investasi asing LTTE (HRW 2006).
1110
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010
Jumlah pasti dari dana tersebut terbilang tidak mungkin untuk ditentukan. Sebagai contoh, berbagai sumber mengira-ngira jumlah aliran uang dari diaspora Kanada ke LTTE pada akhir 1990-an berada di antara Cdn$1 juta hingga Cdn$12 juta pertahunnya (HRW 2006, 11). Di kebanyakan negara dengan populasi diaspora Tamil yang signifikan, Tamil mendirikan organisasi-organisasi sosial untuk mengumpulkan dana bagi kebutuhan komunitas Tamil. Beberapa organisasi tersebut diantaranya World Tamil Movement, British Tamil Association, dan Tamil Rehabilitation Organization. Meski dana sosial tersebut diklaim untuk membantu masyarakat sipil yang terkena dampak perang, banyak penyelidikan, termasuk investigasi dari intelijen Kanada menemukan bahwa sebagian besar dana tersebut disalurkan ke LTTE untuk membiaya operasi militernya. Badan intelijen Kanada (CSIS) menyimpulkan pada tahun 2000 bahwa setidaknya terdapat delapan organisasi non-profit dan lima perusahaan yang beroperasi di Kanada sebagai kelanjutan tangan dari LTTE (HRW 2006, 11). Di London pada akhir 1990-an, diperkirakan 1000 individual memberikan kontribusi secara teratur dengan besaran £10, £20, atau £30 perbulan demi mendukung kantor LTTE di London (HRW 2006, 12). Pada awal tahun 2000, sistem menjadi lebih canggih, dan para pengumpul dana di Toronto meminta diaspora untuk menandatangani form surat kuasa pendebitan rekening yang mengijinkan transfer bulanan secara otomatis kepada LTTE (HRW 2006, 12). Aktivitas Diaspora Tamil & Dinamika Konflik Sri Lanka Sejak tahun 2002, partisipasi politik di kalangan diaspora Tamil mulai berubah. Para pendukung LTTE di komunitas diaspora mulai lebih fokus pada upaya memasukkan para perwakilan Tamil ke dalam sistem pemerintahan host-country melalui pemilihan umum. Cara-cara seperti penggunaan uang dan pengaruh elektoral merupakan hal yang lumrah dalam mempengaruhi para pengambil kebijakan (ICG 2010, 23). Perubahan ini tentu tidak dapat dikatakan sepenuhnya positif dengan adanya keterlibatan politik kotor, namun juga tidak terlalu buruk dibanding penggunaan cara-cara koersif. Satu hal yang pasti, perubahan partisipasi diaspora Tamil tidak bisa dilepaskan dari insiden 9/11 dan kebijakan-kebijakan internasional yang mengikutinya (ICG 2010, 23). Diaspora Tamil lantas mulai menunjukkan peran aktifnya sejak periode 2000-an. Pelabelan LTTE sebagai organisasi teroris merupakan awal mula diaspora Tamil mampu sedikit terlepas dari pengaruh LTTE. Pelabelan yang berlaku di negara-negara Barat tentunya telah membatasi ruang gerak LTTE. Organisasi-organisasi bernafaskan Tamil
Jurnal Analisis HI, September 2014
1111
Fatrakhul Yusa
satu demi satu dibubarkan, aktivitas dan afiliasi terhadap pergerakan Tamil pun terhalang oleh penegakan hukum setempat (ICG 2010, 23). Penguatan kebijakan anti-terorisme oleh pemerintah setempat berpengaruh signifikan terhadap pandangan diaspora Tamil. Kondisi yang demikian banyak menyita perhatian Tamil di seluruh dunia. Mereka mulai mempertanyakan cara-cara LTTE dalam menjalankan operasi. Faksi-faksi diaspora Tamil moderat yang kontra (meski tidak semuanya berani terang-terangan) terhadap garis keras Macan Tamil pun mulai menjadi pemain baru dalam kerangka dinamika politik Tamil (Wayland 2004). Kondisi yang serupa kembali terjadi pada 2002 dengan dimulainya perjanjian gencatan senjata antara LTTE dengan Sri Lanka. Beberapa sumber menyebutkan bahwa diaspora memiliki peran yang cukup vital dalam mempengaruhi kebijakan LTTE pasca 9/11 (Wayland 2004). Kesediaan Macan Tamil untuk menghentikan operasi militernya dan mencoba menggunakan cara diplomatik dikatakan merupakan hasil kerja keras diaspora dalam melobi petinggi Macan Tamil. Meskipun dalam perkembangannya gencatan senjata tersebut tidak benar-benar dapat memadamkan ego dan abuse dari dua pihak yang berseteru, setidaknya telah ada inisiatif damai. Diaspora Tamil merupakan aktor rasional yang beroperasi berdasarkan prinsip cost and benefit. Konsep aktor rasional memerlukan pemahaman yang dinamis atas aktor yang motivasinya dapat berubah sesuai dengan konteks dan opsi yang tersedia bagi mereka untuk memaksimalkan daya saing. Diaspora Tamil sebagai aktor politik rasional harus dipahami sebagai kelompok yang berperilaku sesuai kebutuhan mereka, bukan sebagai aktor yang berperilaku benar atau salah. Jika dilihat dari lensa 'orang luar', Diaspora Tamil dapat menjadi bagian dari masalah serta bagian dari solusi. Agar tidak terjadi perbedaan pandangan ke depan, maka diaspora perlu dipahami tidak dari apa yang ia lakukan, tetapi lebih pada mengapa ia melakukan apa yang ia lakukan. Dengan demikian, semua upaya yang dilakukan oleh diaspora, baik itu dukungan finansial terhadap LTTE atau dengan membangun dan merehabilitasi wilayah di Sri Lanka Utara dan Timur, merupakan langkah yang ditujukan untuk mendukung ekonomi, finansial, dan struktur politik yang independen. Dengan demikian, jika dilihat dari alasan atas sikap pasif diaspora Tamil, maka dapat dirumuskan dua alasan utama. Pertama, kuatnya dominasi LTTE terhadap diaspora. Hal ini diperparah dengan agresifitas LTTE dalam mengontrol pengaruhnya. LTTE tidak segan-segan bersikap koersif terhadap pihak yang mengkritiknya, termasuk sesama Tamil. Kedua, sebagai diaspora yang masih berumur muda, komunitas Tamil
1112
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010
belum cukup pengalaman dan modal untuk mampu menghadirkan kebijakan yang merefleksikan identitas politiknya. Diaspora Tamil yang sadar akan hal tersebut bereaksi dengan bersikap pasif dan lebih banyak belajar dari pencapaian dan kesalahan LTTE. Diaspora Tamil pada dasarnya sedang melalui proses manajemen adaptif dan berusaha menyerap pengetahuan dari pihak ketiga dan lingkungan sekitarnya. Transformasi diaspora Tamil menjadi aktor aktif yang beroperasi secara mandiri tidak dapat dilepaskan dari keabsenan LTTE sejak 2009 (ICG 2010). Meski komunitas Tamil sulit menerima kekalahan LTTE, mereka cepat beradaptasi dengan tantangan baru dan segera mengorganisir diri dalam model organisasi yang mewakili keprihatinan diaspora melalui TGTE dan GTF. Dalam hitungan bulan sejak kekalahan LTTE, diaspora Tamil telah menunjukkan pencapaian besar. Kapasitas ini tentunya tidak dapat diwujudkan Tamil tanpa warisan dari LTTE. Diaspora Tamil dengan dipimpin oleh generasi muda Tamil banyak mengolah pengalaman-pengalaman LTTE dalam agenda politik mereka di TGTE dan GTF (ICG 2010). Tentunya belajar dari pengalaman yang lalu, diaspora sekarang lebih banyak mengedepankan nilai-nilai demokratis dan non-koersif. Faktor-Faktor Pembentuk Aktivitas Diaspora Tamil Faktor Internal Dalam keberagaman diaspora, secara umum terdapat golongan yang mendukung dan menentang aksi LTTE. Meski hampir 90 persen diaspora mendukung aksi LTTE (Vimalarajah & Cheran 2010, 11). Sisa 10 persen tersebut adalah mereka yang berseberangan dan tidak sepaham dengan cara-cara koersif. Selama ini, mayoritas suara yang merupakan korban perang mendukung LTTE yang mereka anggap sebagai harapan bagi terwujudnya Tamil Eelam. Dukungan politik dan finansial banyak mengalir dari golongan ini. Sementara dari golongan yang menentang aksi LTTE banyak beraksi dalam melobi pemerintah setempat untuk lebih tegas dalam meregulasi apa-apa yang berkaitan dengan organisasi LTTE (Vimalarajah & Cheran 2010, 11). Keputusan diaspora untuk memberi atau tidak terkait bantuan finansial dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks. Seperti telah disebutkan sebelumnya, banyak diantara diaspora merupakan pendukung LTTE dan menganggap LTTE merupakan representasi penting dan efektif dari masyarakat Tamil beserta kepentingan-kepentingannya. Mereka optimis terhadap perjuangan militer LLTE demi wilayah utara dan timur yang independen dibawah bendera Tamil Eelam dan dengan senang hati menyediakan bantuan finansial. Beberapa yang lain tidak sepenuhnya setuju terhadap metode yang digunakan LTTE, tapi tetap memberikan
Jurnal Analisis HI, September 2014
1113
Fatrakhul Yusa
uang untuk mendapatkan perlindungan, meningkatkan status sosial mereka di kalangan Tamil, atau untuk kelancaran bisnis (HRW 2006, 29). Komunitas diaspora Tamil terbukti sebagai aktor yang heterogen dan terdiri dari berbagai kelompok kepentingan. Individu-individu di dalamnya memiliki pandangan yang bervariasi terkait LTTE, termasuk mereka yang menentang aksi-aksi LTTE. Keberadaan mereka menyumbang atas menurunnya aktivitas LTTE di berbagai negara. Golongan diaspora Tamil profesional di Inggris bahkan disebut memiliki peran besar dalam menginisiasi UU anti-terorisme Inggris pada tahun 2000 lalu (Zunzer 2004, 26). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, beberapa orang juga menyediakan dana untuk LTTE karena alasan keluarga atau properti di Sri Lanka. Mereka takut jika mereka tidak memberikan apa yang LTTE minta akan menimbulkan efek terhadap keluarga atau properti mereka. Dengan jalan tersebut, mereka juga tetap dapat mengunjungi keluarga mereka tanpa menimbulkan masalah dengan LTTE. Beberapa Tamil mendapat peringatan bahwa jika mereka tidak membayar sejumlah uang kepada LTTE, mereka tidak akan diijinkan untuk kembali ke Sri Lanka atau akan mendapatkan masalah jika mereka tetap kembali. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang Tamil London, Faktor Teknologi Internet Di manapun orang tinggal, internet telah menyediakan akses ke beritaberita Sri Lanka. Faktanya, internet memberi sumbangsih yang sangat besar dalam komunikasi di antara komunitas Tamil seluruh dunia. Situs-situs Tamil memberikan analisa atas peristiwa terkini dari perspektif Tamil, kronologi konflik Tamil-Sinhala, serta informasiinformasi nonpolitis lain (Enteen 2006) Internet juga telah menyediakan cara berkomunikasi di antara sesama Tamil. Websitewebsite Tamil menyediakan akses informasi dan berita seputar Sri Lanka, kronologi konflik, dan tidak jarang berikut analisa terhadap kondisi terkini Tamil, yang tentunya menggunakan perspektif Tamil. Internet juga telah digunakan secara ekstensif untuk membangun komunitas cyber, ruang chat, dan diskusi (Enteen 2006). Jaringan dan bentuk dari teknologi komunikasi merupakan elemen krusial untuk menguatkan identitas Tamil dan afiliasi mereka dengan tanah air. Terlebih, internet digunakan LTTE sebagai alat mengkonsolidasi dukungan atas aktivitasnya (Enteen 2006). Melalui jaringan internet, LTTE dan para pendukung LTTE menyebarkan propaganda dan memanipulasi persepsi atas konflik yang terjadi di Sri
1114
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010
Lanka. Lebih jauh lagi, internet merupakan alat efektif untuk memantapkan legitimasi LTTE sebagai pelindung dari kepentingan Tamil (Enteen 2006). Sementara itu berkembangnya isu HAM dan demokrasi di tingkat internasional merupakan salah satu pemicu semakin populernya perjuangan melalui dunia virtual (Enteen 2006, 242). Bagi diaspora Tamil, kesempatan ini dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mencuri perhatian internasional. Perjuangan Tamil memerlukan dukungan-dukungan diplomatik, moral dan finansial dari negara dan organisasi internasional. Diaspora Tamil telah menunjukkan eksistensinya di dunia internet terhitung cukup lama dengan aktif memposting tulisan dan diskusi di grup Usenet dan pembuatan website sejak 1996 (Enteen 2006, 242). Keberadaan website-website tersebut memiliki tujuan yang bervariasi namun diikat bersama dalam visi pengakuan kedaulatan Tamil Eelam. Mereka sering memperbarui dan menyediakan serangkaian informasi yang ditujukan untuk keluarga dan komunitas mereka yang terasing serta dunia internasional secara keseluruhan. Meskipun situs-situs yang merepresentasikan Tamil Eelam didedikasikan untuk visi tunggal penciptaan negara konvensional, dalam perkembangannya banyak Tamil yang seolah menemukan nasionalisme dan sense of belongin melalui dunia virtual (Enteen 2006, 242). Perasaan tersebut kemudian mentransformasi diaspora dan para pengguna internet ke dalam dimensi kedaulatan teritori baru bernama Tamil Eelam virtual (Enteen 2006, 246). Faktor Host-country Agar diaspora dapat beraktivitas secara bebas baik dalam urusan sosial, politik, ekonomi, dan kultural maka perlu diperhatikan unsur penerimaan host-countries terhadap orang asing dengan demikian menjamin struktur kesempatan berpolitik bagi semua golongan. Penerimaan tersebut tidak saja berasal dari ketat tidaknya aturan dari pemerintah namun juga berasal dari penerimaan masyarakat setempat terhadap diaspora yang tentu saja dipersepsikan sebagai 'orang luar'. Tingkat penerimaan tersebut diistilahkan Political Opportunities Structure (POS). POS dimaksudkan sebagai derajat kemudahan bagi diaspora untuk mendapatkan akses bersuara dan menjalankan misi politisnya di negara tempat mereka tinggal (Smith & Stares 2007). Semakin tinggi tingkat demokrasi di negara tersebut, maka akan diikuti pula dengan kecenderungan semakin lemahnya regulasi negara dalam menjaring berbagai suara dari kelompok kepentingan (Sheffer 2003). POS dan kondisi domestik masing-masing host-countries sangat mempengaruhi aktivitas diaspora. Negara yang mengalami masa-masa
Jurnal Analisis HI, September 2014
1115
Fatrakhul Yusa
stabil cenderung memiliki tingkat POS yang tinggi, sebaliknya, ketika negara mengalami krisis nasional, maka tinggkat POS akan sangat mungkin ikut turun. Sebagai contohnya adalah pasca insiden 9/11 yang diikuti dengan kemunculan kebijakan seperti ‘Homeland Security’, ‘National Security’ dan ‘Fortress Europe’ (Vimalarajah & Cheran 2010, 26). Pengetatan keamanan nasional terkait upaya-upaya terorisme telah mengubah penerimaan dan kesempatan berpolitik Tamil di hostcountry. Hal ini dikarenakan LTTE dianggap banyak mengadopsi caracara teroris seperti bom bunuh diri dan penggunaan anak-anak sebagai prajurit perang sehingga berbuntut LTTE dilabeli organisasi teroris internasional dan dicekal diberbagai negara. Masalah pencekalan itu pula yang kemudian berpengaruh signifikan terhadap pandangan hostcountry terhadap komunitas diaspora Tamil (Fair 2007, 158). Pemerintah setempat tentunya memiliki kekhawatiran terhadap diaspora Tamil karena afiliasinya yang kuat dengan LTTE. Seperti yang terjadi di komunitas Tamil Toronto di awal tahun 2002, secara perlahan mereka menutup diri dari publik karena diskriminasi dan ejekan ‘antek’ teroris serta menutup diri dari pemerintah setempat karena banyaknya investigasi yang diarahkan ke Tamil yang dianggap mencurigakan (Vimalaraja & Cheran 2010, 25). Faktor LTTE Dalam sejumlah temuan yang ada mengindikasikan bahwa Diaspora Tamil telah lama hidup dalam dunia penolakan serta berpegang terhadap aksi separatis dan ideologi LTTE. Hal senada diungkapkan oleh laporan dari ICG yang menjelaskan bahwa kebanyakan Tamil yang hidup di luar negeri memiliki komitmen yang mendalam terhadap Tamil Eelam, eksistensi dari negara merdeka yang terpisah dari Sri Lanka (ICG 2010, 10). Pertalian LTTE dan diaspora juga merupakan hasil dari pengalaman keduanya selama hampir tiga dekade. LTTE yang dianggap mampu mewakili suara Tamil memberi harapan bagi mereka yang kecewa dengan pemerintah Sri Lanka sekaligus rindu pada tanah air mereka. Ideologi LTTE juga telah menggantikan aspek-aspek tradisional Tamil. Tiga pesan yang cukup merepresentasikan LTTE di mata diaspora Tamil dapat dilihat dari pernyataan resmi LTTE, (1) Tamil merupakan korban tak berdosa dari diskriminasi dan represi pemerintah Sri Lanka. (2) LTTE merepresentasikan satu-satunya kendaraan yang mampu mempertahankan dan mempromosikan kepentingan Tamil Sri Lanka. (3) Tidak akan ada perdamaian di Sri Lanka sampai negara Tamil
1116
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010
mendapatkan kemerdekaannya di bawah pemerintahan LTTE (Byman 2001, 43-44). Dalam babak-babak terakhir konflik mematikan dan bencana kemanusian yang melanda wilayah pemukiman Tamil di Sri Lanka, politik Diaspora Tamil telah mengalami perubahan dramatis dari sisi internal dan kesetiaan. Beberapa pihak yang sebelumnya banyak menyuarakan suara oposisi terhadap LTTE memutuskan untuk bergabung dengan simpatisan LTTE. Bahkan mereka yang sebelumnya sangat kritis terhadap kebijakan LTTE mulai menunjukkan sikap yang melunak (Vimalarajah & Cheran 2010, 22). Di sisi lain, representasi LTTE di kalangan diaspora memutuskan untuk mundur dari jabatan strukturalnya sekaligus dari garis depan perjuangan Tamil. Kekosongan ini lantas menjadi ajang bagi generasi muda Tamil untuk menunjukkan kemampuan dan visi misi mereka terhadap masa depan Tamil (Vimalarajah & Cheran 2010, 23). Perubahan tatanan tersebut secara tidak langsung telah mengubah arah politik Diaspora Tamil. Pada kenyataannya, aktivitas politik Tamil telah mengalami perubahan dramatis setelah ketiadaan LTTE. Tanpa mengulangi pola yang sama semasa LTTE, Diaspora Tamil berusaha mengeksplorasi cara-cara yang lebih efektif guna membentuk satu wadah kerjasama yang menyatukan upaya-upaya individual berbeda. Banyak inisiatif dan organisasi mulai menjamur sejak Juni 2009. Hal ini menjadi mungkin dengan banyaknya pemuda Tamil yang melakukan kampanye, barisan protes, dan aksi boikot (ICG 2010, 26). Kesimpulan Penelitian ini menyimpulkan bahwa diaspora Tamil memiliki dua peran dalam transformasi konflik Sri Lanka, yakni meningkatkan intensitas konflik dan menurunkan intensitas konflik. Peningkatan intensitas konflik terbukti terjadi paling intens dengan aliran dana yang mengalir terus ke LTTE sepanjang tahun. Sementara itu, penurunan intensitas konflik terjadi setidaknya dua kali, yakni pada 2002 dan 2009. Pasca insiden 9/11 didapati aliran dana ke LTTE menurun drastis akibat keengganan diaspora Tamil dikatakan sebagai pendukung grup teroris. Kondisi ini lantas dimanfaatkan oleh diaspora Tamil untuk masuk dan membujuk LTTE untuk menandatangi perjanjian gencatan senjata dengan pemerintah Sri Lanka. Sementara itu 2009 menjadi penting bagi peran serta diaspora Tamil dalam transformasi konflik Sri Lanka karena sepeninggalan LTTE pada tahun yang sama, banyak bermunculan inisiatif baru dari kalangan diaspora Tamil non-LTTE. Diaspora Tamil merupakan aktor rasional yang beroperasi berdasarkan prinsip cost and benefit. Konsep aktor rasional memerlukan
Jurnal Analisis HI, September 2014
1117
Fatrakhul Yusa
pemahaman yang dinamis atas aktor yang motivasinya dapat berubah sesuai dengan konteks dan opsi yang tersedia bagi mereka untuk memaksimalkan daya saing. Diaspora Tamil sebagai aktor politik rasional harus dipahami sebagai kelompok yang berperilaku sesuai kebutuhan mereka, bukan sebagai aktor yang berperilaku benar atau salah. Jika dilihat dari lensa 'orang luar', diaspora Tamil dapat menjadi bagian dari masalah serta bagian dari solusi. Agar tidak terjadi perbedaan pandangan ke depan, maka diaspora perlu dipahami tidak dari apa yang ia lakukan, tetapi lebih pada mengapa ia melakukan apa yang ia lakukan. Diaspora Tamil yang merasa sebagai korban perang memiliki keluhan yang mendalam terhadap nasib mereka. Tercerabut dari akar kultural dan harus berpisah dengan keluarga cukup memberi motivasi bagi diaspora Tamil untuk melakukan apapun. Perdamaian bagi diaspora Tamil adalah perdamaian dengan keberadaan negara independen Tamil Eelam. Dan apabila mengangkat senjata dirasa perlu, maka mereka tidak segan akan melakukannya. Daftar Pustaka Buku Bruneau, Michel, “Diaspora, Transnational Space & Communities,” dalam Rainer Baubock & Thomas Faist, Diaspora and Transnationalism (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010) Byman, Daniel, Peter Chalk, Bruce Hoffman, William Rosenau, dan David Brannan. Tren in Outside Support for Insurgent Movement (Santa Monica: RAND, 2001). Fair, C. Christine, “The Sri Lankan Tamil Diaspora: Sustaining Conflict and Pushing for Peace,” dalam Hazel Smith dan Paul Stares. Diaspora in Conflict: Peace-Makers or Peace-Wreckers (Tokyo: United Nation University Press, 2007). Graham Evans & Jeffrey Newnham, Dictionary of International Relations, (London : Penguin Reference, 1998) Hall, Stuart. “Culture Identity and Diaspora,” dalam Jonathan Rutherford (ed.). Identity: Community, Culture, Difference (London: Lawrence and Wishart, 1998). Kegley, Charles W. & Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trend & Transformation (New York: St. Martin Press, 1997). Randall Collins, “C-Escalation and D-Escalation : A Theory of the TimeDynamics Conflict” dalam American Sociological Review 77 (1) (January 2012) Saideman, Stephen M. The Ties that Divide: Ethnic Politics, Foreign Policy and International Conflict (New York: Columbia University Press, 2001). Smith, Hazel dan Paul Stares. Diasporas in Conflict: Peace-Makers or Peace-Wreckers? (New York: United Nation University Press, 2007).
1118
Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 3, No. 3
Peran Diaspora Tamil dalam Konflik Sri Lanka Tahun 2002-2010
B. Walter. Committing to Peace: The Successfull Settlement of Civil Wars (Princeton University Press, 2002). Wardhani, Baiq LSW. Globalisasi & Konflik Etnis (Surabaya: CSGS Publisher, 2010). Jurnal dan Artikel Enteen, Jillana. “Spatial Conception or URLs: Tamil Eelam Networks on the World Wide Web.” New Media Society 8: 229 (2006) http://nms.sagepub.com/content/8/2/229 [diakses pada 7 Mei 2013]. Shain, Yossi. “The Role of Diasporas in Conflict Perpetuation or Resolution.” SAIS Review 22: 2 (2002). ___ dan Aharon Barth. “Diasporas and International Relations Theory.” International Organization 57: 03 (June 2003): 449-479. ___ dan Martin Sherman. “Diasporic transnational financial flows and their impact on national identity.” Nationalism and Ethnic Politics. http://www.tandfonline.com/loi/fnep20 [diakses 13 Maret 2013]. Sheffer, Gabriel. Diaspora Politics at Home Abroad (New York: Cambridge University Press, 2003). Velamati, Manohari. “Sri Lankan Tamil Migration and Settlement : Time for Reconsideration.” India Quarterly: A Journal of International Affairs 65:271 (2009). Vimalarajah, Luxshi dan Cheran R. Empowering Diaspora: The Dynamic of Post-war Transnational Tamil Politics. (Berlin: Berghof Conflict Research, 2010). Wayland, Sarah. “Ethnonationalist Network and Transnational Opportunities: The Sri Lankan Diaspora.” Review of International Studies 30 (2004). Zunzer, Wolfram. Diaspora Communities and Civil Conflict Transformation. (Berlin: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management, 2004). Laporan Resmi Human Rights Watch. “Funding the 'Final War': LTTE Intimidation and Extortion in the Tamil Diaspora.” Human Rights Watch 18: 1(C) (2006). International Crisis Group. “The Sri Lankan Tamil Diaspora After the LTTE.” Asia Report. (23 Februari 2010). Vimalarajah, Luxshi dan Cheran R. Empowering Diaspora: The Dynamic of Post-war Transnational Tamil Politics. (Berlin: Berghof Conflict Research, 2010). Website Resmi Association of Tamil Sri Lanka in United States. http://sangam.org/ TamilNet. http://tamilnet.com/ EelamWeb. http://eelamweb.com/
Jurnal Analisis HI, September 2014
1119