PERAN BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA DALAM AGREGASI TANAH TEKSTUR BERPASIR
LAKSMITA PRIMA SANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peran Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dalam Agregasi Tanah Tekstur Berpasir adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Laksmita Prima Santi NIM A161070011
ABSTRACT LAKSMITA PRIMA SANTI. The Role of Exopolysaccharide-Producing Bacteria in Aggregation of a Sandy Soil Texture. Under direction of DWI ANDREAS SANTOSA, SUDARSONO, DIDIEK HADJAR GOENADI, and KUKUH MURTILAKSONO. Soil aggregation is a dynamic and very important factor for the development of agricultural soil functions. Unstable soil aggregate in a sandy soil texture becomes a limiting factor for plant growth. This research was carried out to investigate the role of a selected exopolysaccharide-producing bacterium on aggregation as well as water retention of a sandy soil texture. For these purposes, the activities conducted were : (i) isolation, selection and identification of a potential exopolysaccharide-producing bacteria, (ii) production and characterization of exopolysaccharide functional groups, (iii) determination of exopolysaccharide-producing bacteria in aggregation of a sandy soil texture, and (iv) study the impacts exopolysaccharide-producing bacteria as an active substance of soil bio-ameliorant on the growth performance of the oil palm seedlings in 61.3% sand fraction. A highly potential bacterium for exopolysaccharides production was isolated from a sandy soil located at Central Kalimantan. The bacterium was identified as Burkholderia cenocepacia KTG strain by using 16S rRNA gene sequencing. B. cenocepacia KTG strain is capable of improving aggregate stability index of a soil with 59.5% sand fraction and tolerant with low pH (3-5). Results obtained throughout this research indicate that 3% (w/v) of a 4-hydroxyphenylacetic acid or 2% (w/v) of sucrose as carbon sources yielded the higher exopolysaccharide than that of glucose, mannitol, glutamate, and lactose. IR analysis of exopolysaccharide B. cenocepacia KTG strain showed the presence of O-H (hydroxyl), C=O (carbonyl), and β glucosidic linkages as the major hydrophilic functional group of the exopolysaccharide B. cenocepacia KTG strain which noted play an important role in the sandy soil texture aggregation. Yield of dry mass of a-six-months old oil palm seedlings at main nursery was higher 1.9% (leaf), 10.5% (frond), 17.2% (stem), and 23.2% (root) by application of 75% standard dosage NPK-Mg and 100 gram bioameliorant/seedling than those by 100% standard dosage of NPK-Mg fertilizer. The results also showed that the B. cenocepacia KTG strain treatment caused better available water up to 11.2 – 61.6%.
Keywords: exopolysaccharide-producing bacteria, aggregation, sandy soil texture, bio-ameliorant, oil palm seedlings.
RINGKASAN LAKSMITA PRIMA SANTI. Peran Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dalam Agregasi Tanah Tekstur Berpasir. Di bawah bimbingan DWI ANDREAS SANTOSA, SUDARSONO, DIDIEK HADJAR GOENADI, dan KUKUH MURTILAKSONO. Agregasi tanah bersifat dinamis dan merupakan faktor penting untuk pengembangan fungsi tanah pertanian. Ketidakstabilan agregat tanah pada tanah tekstur berpasir merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peran bakteri penghasil eksopolisakarida potensial dalam agregasi dan retensi air pada bahan tanah tekstur berpasir. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka kegiatan yang dilaksanakan adalah: (i) isolasi, seleksi, dan identifikasi bakteri potensial penghasil eksopolisakarida, (ii) produksi dan karakterisasi gugus fungsional eksopolisakarida, (iii) penetapan kemampuan bakteri penghasil eksopolisakarida terpilih dalam agregasi tanah tekstur berpasir, dan (iv) mempelajari pengaruh bakteri penghasil eksopolisakarida sebagai bahan aktif bioamelioran terhadap keragaan pertumbuhan bibit kelapa sawit di dalam media tanah yang mengandung 61.3% fraksi pasir. Dalam penelitian ini, bakteri potensial penghasil eksopolisakarida asal Kalimantan Tengah telah berhasil diisolasi. Identifikasi bakteri dilakukan dengan sekuensing 16S rRNA. Hasil sekuensing mengidentifikasikan bakteri tersebut sebagai Burkholderia cenocepacia strain KTG. Bakteri ini dapat meningkatkan kemantapan agregat bahan tanah tekstur berpasir dan toleran terhadap pH rendah (3-5). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan B. cenocepacia strain KTG di dalam medium dengan 3% (b/v) 4-hydroxyphenylacetic acid atau 2% (b/v) sukrosa sebagai sumber karbon menghasilkan eksopolisakarida yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan sumber karbon lainnya yaitu glukosa, manitol, glutamat, dan laktosa. Analisis dengan menggunakan infra red (IR) terhadap eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG menunjukkan keberadaan O-H (hidroksil), C=O (karbonil), dan ikatan β glikosidik yang merupakan gugus fungsional utama dari eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG bersifat hidrofilik serta diyakini memegang peran penting dalam agregasi tanah tekstur berpasir. Bobot kering bibit kelapa sawit umur enam bulan di pembibitan utama dengan perlakuan 75% penggunaan NPKMg dari dosis standar kebun dan 100 gram bioamelioran/bibit menghasilkan bobot kering 1.9% (daun), 10.5% (pelepah), 17.2 % (batang), dan 23.2% (akar) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan 100% NPKMg dosis standar kebun. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa perlakuan dengan B. cenocepacia strain KTG di dalam bahan tanah yang mengandung 61.3% fraksi pasir dapat meningkatkan nilai air tersedia 11.2 – 61.6%. Kata kunci : bakteri penghasil eksopolisakarida, agregasi, tanah tekstur berpasir, bioamelioran, bibit kelapa sawit.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PERAN BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA DALAM AGREGASI TANAH TEKSTUR BERPASIR
LAKSMITA PRIMA SANTI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr Ir Asep Sapei, MS Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Dr Ir Gunawan Djajakirana Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Ir Gede Wibawa PT Riset Perkebunan Nusantara Dr Ir Suryo Wiyono Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
: Peran Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dalam Agregasi Tanah Tekstur Berpasir
Nama Mahasiswa : Laksmita Prima Santi NIM : A161070011
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwi Andreas Santosa Ketua
Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc Anggota
Dr Ir Didiek Hadjar Goenadi, MSc, APU Anggota
Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Atang Sutandi, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian: 24 Juni 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji ungkapan rasa syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret 2009Desember 2010 adalah mengenai agregasi tanah dengan judul PERAN BAKTERI PENGHASIL
EKSOPOLISAKARIDA
DALAM
AGREGASI
TANAH
TEKSTUR BERPASIR. Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Dwi Andreas Santosa, sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc (anggota), Dr Ir Didiek Hadjar Goenadi, MSc, APU (anggota), dan Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS (anggota) atas bantuan, saran, dan bimbingannya sejak penyusunan awal rencana kegiatan penelitian sampai dengan penyelesaian penulisan disertasi ini. Terima kasih disampaikan pula kepada Managemen dan Divisi Riset dan Pengembangan, PT Astra Agro Lestari, Tbk atas kesempatan dan dukungan dana yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan penelitian di lingkup kebun PT Astra Agro Lestari, Tbk Kalimantan Tengah. Demikian pula kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian selaku penyedia anggaran DIPA tahun 2010 disampaikan ucapan terima kasih untuk dukungan dana kegiatan penelitian laboratorium. Penghargaan juga disampaikan kepada peneliti dan staf pelaksana di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah-Bogor, Laboratorium Analitik dan Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia atas kerjasama yang terjalin selama penelitian berlangsung. Kepada keluarga besar penulis dan rekan-rekan satu angkatan Program Studi Ilmu Tanah tahun 2007, terima kasih atas doa, dukungan semangat dan kekompakannya selama kegiatan studi di PS Ilmu Tanah. Akhir kata penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi institusi dan pengembangan Ilmu Tanah. Bogor, Juli 2011 Laksmita Prima Santi
RIWAYAT HIDUP
Laksmita Prima Santi dilahirkan di Trenggalek, Jawa Timur pada tanggal 28 Maret 1969, merupakan putri pertama dari empat bersaudara dari pasangan keluarga Ir H Sunu Sudibyo dan Hj Sri Murtinah, BA. Penulis menikah pada tanggal 11 Maret 1995 dengan Ir Endru Yutaka dan telah dikaruniai dua orang putra yaitu, Alvin Oktarianto dan Andre Febrian Dwiyudanta. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Biologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan program Magister Sains pada Program Studi Mikrobiologi di perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan program Doktor di Program Studi Ilmu Tanah, Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, PT Riset Perkebunan Nusantara pada tahun 1996 sampai dengan saat ini dan menjadi anggota Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia sejak tahun 1992. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis ialah mikrobiologi tanah. Sebuah artikel yang merupakan bagian dari disertasi telah diterbitkan dengan judul “Pengaruh pemberian inokulan Burkholderia cepacia dan bahan organik terhadap sifat fisik tanah berpasir” pada jurnal Menara Perkebunan 2010, No. 78 (1), hal 9-18. Dua artikel lain berjudul ”Potensi Burkholderia cenocepacia strain KTG sebagai bioamelioran terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit pada tanah tekstur berpasir” dan ”Karakteristik gugus fungsional eksopolisakarida Burkholderia cenocepacia strain KTG dalam agregat tanah” telah diajukan untuk dapat dipublikasi masing-masing di Jurnal Agronomi Indonesia dan Menara Perkebunan tahun 2011. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program penelitian S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
xix
PENDAHULUAN...............................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................
1
Agregat Tanah ............................................................................
3
Agens yang Mempengaruhi Agregasi ......................................
6
Karbon. ..............................................................................
6
Bahan Organik Tanah .......................................................
7
Liat ....................................................................................
8
Kation ...............................................................................
8
Bakteri Penghasil Eksopolisakarida .................................
8
Bioamelioran ..............................................................................
9
Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian .........................................
10
Tujuan Penelitian ........................................................................
12
Hipotesis Penelitian...................................................................
13
Manfaat Penelitian......................................................................
13
Kebaruan Penelitian....................................................................
13
ISOLASI, SELEKSI, DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA ...........................................
15
Pendahuluan ..............................................................................
15
Tujuan .........................................................................................
18
Bahan dan Metode .....................................................................
18
Tempat dan Waktu ...........................................................
18
Isolasi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida ......................
18
Seleksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida ......................
19
xi
Halaman Uji Kemampuan Tumbuh di dalam Medium Ber-pH 3-5 dan Medium dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir dan Gambut...............................................................................
19
Identifikasi Bakteri Potensial Penghasil Eksopolisakarida.................................................................
20
Hasil ............................................................................................
20
Isolasi dan Seleksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida.....
20
Identifikasi Bakteri Potensial Penghasil Eksopolisakarida
24
Pembahasan ...............................................................................
24
Kesimpulan ................................................................................
27
PRODUKSI DAN KARAKTERISASI EKSOPOLISAKARIDA Burkholderia cenocepacia strain KTG ................................................
28
Pendahuluan ..............................................................................
28
Tujuan ........................................................................................
32
Bahan dan Metode .....................................................................
32
Tempat dan Waktu ...........................................................
32
Produksi Eksopolisakarida ................................................
33
Pengamatan Morfologi Eksopolisakarida Bakteri dengan Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) .....
33
Karakterisasi Gugus Fungsional Eksopolisakarida B. cenocepacia Strain KTG....................................................
33
Hasil ............................................................................................
34
Produksi Eksopolisakarida ...............................................
34
Pengamatan Morfologi Eksopolisakarida Bakteri dengan Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) .....
35
Karakterisasi Gugus Fungsional Eksopolisakarida B. cenocepacia Strain KTG....................................................
35
Pembahasan................................................................................
39
Kesimpulan ...............................................................................
41
STUDI INTERAKSI BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA DAN BAHAN ORGANIK DENGAN BAHAN TANAH TEKSTUR BERPASIR .......................................
42
xii
Halaman Pendahuluan ..............................................................................
42
Tujuan .........................................................................................
45
Bahan dan Metode .....................................................................
45
Tempat dan Waktu ...........................................................
45
Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir............................................
45
Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dan Bahan Organik dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir......
46
Analisis Scanning Electron Microscope .............................
48
Hasil ............................................................................................
49
Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir............................................
49
Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dan Bahan Organik dengan Bahan Tanah .................................
53
Pembahasan ................................................................................
56
Kesimpulan...................................................................................
63
UJI KEEFEKTIFAN BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA DALAM MEDIA BAHAN TANAH TEKSTUR BERPASIR DAN VEGETATIF BIBIT KELAPA SAWIT SESUAI DENGAN KONDISI LAPANG...............................
64
Pendahuluan ................................................................................
64
Tujuan ..........................................................................................
68
Bahan dan Metode .......................................................................
68
Tempat dan Waktu Penelitian ............................................
68
Pembuatan Pembenah Tanah Hayati (Bioamelioran)..........
68
Uji Keefektifan Bakteri Penghasil Eksopolisakarida sebagai Bioamelioran terhadap Agregasi Bahan Tanah Tekstur Berpasir ………………………….......................
69
Hasil .............................................................................................
71
Pembuatan Pembenah Tanah Hayati (Bioamelioran) .........
71
xiii
Halaman Uji Keefektifan Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dalam Bioamelioran terhadap Agregasi Bahan Tanah Tekstur Berpasir ………………………………………………….
73
Pembahasan ...............................................................................
85
Kesimpulan.................................................................................
88
Saran ..........................................................................................
88
PEMBAHASAN UMUM .................................................................
89
KESIMPULAN UMUM . ..................................................................
95
SARAN UMUM ................................................................................
96
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................
97
LAMPIRAN.......................................................................................
108
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3
4
5 6
7 8
9 10 11 12
13
Isolasi bakteri penghasil eksopolisakarida dari bahan tanah asal Kalimantan Tengah ...........................................................
21
Bobot kering eksopolisakarida bakteri dalam medium ATCC no.14 selama 72 jam inkubasi ....................................................
22
Kemampuan tumbuh tiga isolat bakteri potensial penghasil eksopolisakarida dalam medium Nutrient Broth (NB) dengan pH 3, 4, dan 5 selama 72 jam inkubasi .......................................
23
Bobot kering eksopolisakarida (mg/ml) dalam medium cair dengan penambahan 20% (b/v) gambut, fraksi pasir sedang (FPS) dan fraksi pasir tinggi (FPT).............................................
23
Taksonomi Burkholderia cepacia kompleks: status genomovar dan nama spesies (Vial et al. 2007; Miao et al. 2007).............
27
Bobot kering eksopolisakarida yang dihasilkan B. cenocepacia strain KTG di dalam medium ATCC no. 14 dengan enam jenis sumber karbon konsentrasi 1, 2, dan 3% (b/v) selama 72 jam inkubasi ..................................................
34
Penetapan gugus fungsional B. cenocepacia strain KTG dan dua bakteri potensial penghasil eksopolisakarida lainnya…….
36
Penetapan gugus fungsional eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang ditumbuhkan dalam medium ATCC no. 14 yang mengandung FPR, FPS, dan FPT.....................................
38
Karakteristik kimia jerami padi dan kompos jerami yang digunakan dalam penelitian.......................................................
47
Analisis fraksi pasir, debu, dan liat yang digunakan untuk studi interaksi bakteri penghasil eksopolisakarida ..................
49
Analisis kimia fraksi pasir bahan tanah asal Kalimantan Tengah.......................................................................................
49
Pengaruh pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG terhadap indeks kemantapan agregat bahan tanah dengan waktu inkubasi 30, 60, dan 90 hari............................................
50
Air tersedia pada FPR, FPS, dan FPT yang diinokulasi B. cenocepacia strain KTG dengan masa inkubasi 30, 60, dan 90 hari.......................................................
51
xv
Halaman 14
15
16 17 18 19
20 21 22
Studi interaksi bakteri penghasil eksopolisakarida dan bahan organik dengan bahan tanah, waktu inkubasi 30, 60, dan 90 hari ……………………………………………………………
53
Pengaruh interaksi suspensi miselium fungi terhadap pembentukan agregat pada fraksi pasir sedang (FPS), waktu inkubasi 30, 60, dan 90 hari……………………………………
54
Populasi B. cenocepacia strain KTG di dalam formula bioamelioran agregat ...............................................................
72
Pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 3 bulan (pre nursery) di dalam bahan tanah dengan fraksi pasir 61.3% .........................
74
Analisis tanah media pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan utama ....................................................................
75
Data pertumbuhan bibit kelapa sawit di dalam media bahan tanah fraksi pasir 61.3% dengan waktu pengamatan umur 1-6 bulan di main nursery ...............................................................
76
Data bobot kering bibit kelapa sawit umur 6 bulan di dalam media bahan tanah fraksi pasir 61.3% .....................................
78
Data hara tanah fraksi pasir 61.3% media bibit kelapa sawit di main nursery ............................................................................
82
Data hara daun bibit kelapa sawit umur 6 bulan (main nursery) di dalam media dengan fraksi pasir 61.3% ...............
84
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ruang lingkup kegiatan penelitian ................................................
14
2
Pembentukan slime tebal (tanda panah) pada bakteri penghasil eksopolisakarida di dalam medium padat ATCC no.14 ...............
20
Scanning electron microscope eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG (tanda panah, perbesaran 3500x) .............................
35
Spektrum infra red gugus fungsional utama eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang ditumbuhkan dalam medium ATCC no.14 dengan sumber karbon glukosa, sukrosa, laktosa, manitol, dan 4-hydroxyphenyl acetic acid ....................................
36
Fraksi pasir sedang (FPS) tanpa inokulasi B. cenocepacia strain KTG [(a) perbesaran 150x] dan dengan inokulasi B. cenocepacia strain KTG [(b), perbesaran 150x]………………………………
52
Hubungan antara waktu inkubasi FPS dengan pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG, jerami, kompos jerami, dan inokulan P. chrysosporium terhadap air tersedia ...................
55
3 4
5
6
7
8 9 10 11
12
Agregat terdiri atas beberapa mikroagregat (a); pori di antara mikroagregat (b) diisi oleh bakteri (b1); dan di dalam pori antar agregat (c) berkembang sel tunggal (d) atau suatu koloni bakteri, fungi dan aktinomiset (e). (Krasil'nikov 1958)…………………… Bioamelioran granul (diameter 2-3 mm) dengan bahan aktif B. cenocepacia strain KTG...........................................................
61 72
Pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 3 bulan di pre nursery di dalam bahan tanah fraksi pasir 61.3% ..........................................
73
Pengujian bioamelioran agregat di main nursery kebun PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi (PT GSIP) .....................................
75
Keragaan bibit kelapa sawit umur 6 bulan dengan perlakuan : 100% pupuk NPKMg (A), 100 g bioamelioran/bibit + 100% NPKMg (B), 100 g bioamelioran/bibit + 75% NPKMg (C), dan 100 g bioamelioran/bibit + 50% NPKMg (D) ............................
75
Keragaan bibit kelapa sawit umur 6 bulan dengan perlakuan: 100% pupuk NPKMg (A), 100 g bioamelioran/bibit (H), dan 50 g bioamelioran/bibit (I)....................................................................
79
xvii
Halaman 13
14
15
Keragaan bibit kelapa sawit umur 6 bulan dengan perlakuan: 100 g bioamelioran/bibit + 100% NPKMg (B), 100 g bioamelioran/bibit + 75% NPKMg (C), 100 g bioamelioran/bibit + 50% NPKMg (D), 50 g bioamelioran/bibit + 100% NPKMg (E), 50 g bioamelioran/bibit + 75% NPKMg (F), dan 50 g bioamelioran/bibit + 50% NPKMg (G) ....................... Peningkatan kadar hara tanah. Keterangan gambar: kadar hara tanah N, P 2 O 5 , K 2 O,dan MgO analisis bulan pertama (N1,P1,K1,Mg1) dan bulan keenam (N6,P6,K6,Mg6): 100% NPKMg (perlakuan A), 100-50% NPKMg yang kombinasi dengan 100 g bioamelioran/bibit (perlakuan B-D), 100-50% NPKMg yang kombinasi dengan 50 g bioamelioran/bibit (perlakuan E-G), serta 100 dan 50 g bioamelioran/bibit (perlakuan H-I) .........................................................................
81
Perbandingan perlakuan tanpa bioamelioran (perlakuan A) dan pemberian bioamelioran B. cenocepacia strain KTG (perlakuan B-I) terhadap air tersedia pada bahan tanah berkadar pasir 61.3%..........……………………….……..........
83
79
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Sekuensing bakteri Burkholderia cenocepacia strain KTG ..........
109
2
Dosis pupuk NPKMg-TE untuk pemupukan bibit kelapa sawit Dura x Pisifera standar kebun ......................................................
111
3
Penetapan Tekstur Tanah (Balai Penelitian Tanah 2006) .............
112
4
Penetapan Indeks Kemantapan Agregat (Balai Penelitian Tanah 2006) ..............................................................................................
114
5
Penetapan Retensi Air Tanah (Balai Penelitian Tanah 2006)........
117
6
Penetapan Kerapatan Lindak (Balai Penelitian Tanah 2006) .......
119
xix
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengertian struktur tanah mengacu pada penyusunan partikel primer (pasir, debu, liat) ke dalam partikel sekunder atau agregat. Struktur tanah merupakan faktor utama di dalam fungsi tanah sebagai media yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman serta isu pada saat ini dikaitkan dengan tempat penyimpanan karbon dan air. Struktur tanah mempengaruhi pergerakan dan retensi air tanah, siklus hara di dalam tanah, penetrasi perakaran, produktivitas tanaman, dan keragaman biota tanah. Agregasi tanah dihasilkan dari penyusunan partikel, flokulasi, dan sementasi yang diperantarai oleh bahan organik tanah, biota tanah, jembatan ionik, liat, dan karbonat. Struktur tanah yang baik memiliki kemantapan agregat yang diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman, produktivitas tanaman, porositas, dan menurunkan tingkat erosi. Konsep dasar dari agregasi adalah pembentukan partikel sekunder melalui penggabungan partikel mineral dengan bahan organik dan anorganik. Dinamika agregasi sangat kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi beberapa faktor seperti lingkungan, pengelolaan tanah, tanaman, komposisi mineral, tekstur, konsentrasi karbon organik tanah, proses pedogenesis, aktivitas mikroorganisme tanah, ion-ion yang dapat dipertukarkan, cadangan nutrisi di dalam tanah, dan kelembaban (Bronick & Lal 2005). Kontribusi aktivitas mikroorganisme terhadap kemantapan agregat tanah telah dilaporkan dalam beberapa kegiatan penelitian. Namun demikian, untuk kegiatan penelitian terkait dengan agregasi tanah tekstur berpasir dengan memanfaatkan bakteri penghasil eksopolisakarida belum banyak diteliti. Degens & Sparling (1996) melakukan kegiatan penelitian pada tanah tekstur berpasir dan menyatakan
bahwa
tidak
terdapat
hubungan
yang
signifikan
terhadap
pembentukan agregat tanah tekstur berpasir dengan biomassa bakteri. Di lain pihak, Khodair et al. (2008) meneliti peran bakteri penghasil eksopolisakarida yaitu Bacillus circulans UBF 20, 26 dan Bacillus polymyxa UBF 15 pada bahan tanah sebagai media tanam bibit gandum dengan kadar fraksi 52.4% pasir, 27.5 %
2 debu, dan 13.1% liat. Pemberian inokulan bakteri pada bahan tanah tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif bibit gandum. Ketersediaan air merupakan salah satu faktor pembatas utama tanaman kelapa sawit yang ditanam pada jenis tanah dengan dominasi fraksi pasir yang cukup tinggi. Tanah bertekstur kasar (pasir) mempunyai daya menahan air lebih kecil dari pada tanah bertekstur halus. Tanaman yang ditanam pada tanah tekstur berpasir umumnya lebih mudah mengalami kekeringan. Kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit sekitar 1.950 mm per tahun. Kelapa sawit memerlukan curah hujan sekitar 2.000 mm yang merata sepanjang tahun tanpa adanya bulan kering (defisit air) yang nyata (Pahan 2008). Terkait dengan kebutuhan air yang sangat besar untuk kelapa sawit maka pengembangan budidaya kelapa sawit di tanah tekstur berpasir akan mengalami kendala. Selain kecukupan nutrisi, yang menjadi fokus utama untuk memperbaiki daya dukung kapasitas tanah tekstur berpasir adalah mengoptimalkan kemampuan meretensi air. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dominasi fraksi pasir dalam suatu areal perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi terhadap terjadinya erosi dan inefisiensi penggunaan air irigasi. Pada umumnya perbaikan daya dukung tanah tekstur berpasir dilakukan dengan ameliorasi menggunakan bahan organik. Selain itu, peningkatan produktivitas lahan juga dapat dilakukan dengan memperhatikan pengelolaan air tanah dalam praktek di kebun sehari-hari. Menurut Lubis (2008), kebutuhan air pada bibit kelapa sawit di pembibitan awal (pre nursery) adalah 0.1 – 0.3 liter/bibit/hari, sedangkan di pembibitan utama (main nursery) diperlukan 1-3 liter/bibit/hari. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa stuktur tanah dengan kondisi agregat yang baik akan memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan akar tanaman, ketersediaan air, dan pergerakan udara di dalam tanah. Oleh karena itu dalam upaya mengoptimalkan fungsi bahan tanah tekstur berpasir sebagai media pertumbuhan bibit atau tanaman kelapa sawit, maka tahap awal yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sifat agregasi bahan tanah tersebut. Pemanfaatan bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir pada media tanam bibit kelapa sawit merupakan
3 salah satu alternatif untuk mengupayakan hal tersebut serta dapat dilakukan dengan teknik aplikasi sederhana dalam bentuk pembenah hayati (bioamelioran) pemantap agregat. Peran BPE dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir dapat ditetapkan atas dasar indikasi pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit, air tersedia, dan serapan hara pada daun bibit kelapa sawit. Penetapan tersebut atas dasar asumsi bahwa pembentukan agregat pada bahan tanah tekstur berpasir akan meningkatkan ketersediaan air, absorpsi hara oleh bibit kelapa sawit, dan akhirnya akan menghasilkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang sesuai dengan standar pertumbuhan bibit secara umum.
Agregat Tanah Kemantapan agregat tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan tanah untuk bertahan terhadap gaya-gaya yang akan merusak. Gaya-gaya tersebut dapat berupa kikisan angin, pukulan hujan, daya urai air pengairan, dan beban pengolahan tanah (Amezketa et al. 2003). Pengukuran kemantapan agregat tanah menjadi penting sebab dapat memberikan informasi secara umum tentang kondisi sifat fisik tanah. Agregat tanah berpengaruh terhadap potensi erosi, pergerakan air dan pertumbuhan akar tanaman. Tanah yang teragregasi dengan baik dicirikan dengan tingkat infiltrasi, permeabilitas, dan ketersediaan air yang tinggi. Aspek fisik penting dalam suatu agregat tanah meliputi ukuran, densitas, kemantapan, dan struktur agregat. Setiap metode pengukuran kemantapan agregat berhubungan dengan suatu mekanisme pemecahan agregat yang bersifat spesifik. Pada daerah dengan curah hujan tinggi, maka pengukuran kemantapan agregat didasarkan empat mekanisme yang menyebabkan penghancuran agregat karena pengaruh air. Mekanisme tersebut yaitu: (i) pemecahan oleh udara yang terperangkap di dalam agregat selama proses pembasahan yang cepat dan tiba-tiba, (ii) pemecahan oleh swelling dan shrinkage selama proses pembasahan dan pengeringan yang lambat, (iii) pemecahan secara mekanik oleh pengaruh curah hujan, dan (iv) dispersi setelah penurunan kekuatan internal yang saling tarik menarik antar partikel koloid selama pembasahan (dipengaruhi oleh kation monovalen khususnya Na+), di mana mekanisme ini hanya terjadi di bawah kondisi yang spesifik (Le Bissonnais 1996).
4 Di lain pihak, penghancuran agregat dapat pula disebabkan oleh aktivitas pertanian (pencangkulan, pengembalaan, dan pemakaian alat berat pertanian) dan aktivitas pertambangan (Mbagwu 1992). Metode yang umum digunakan untuk mengukur kemantapan agregat adalah metode pengayakan basah dan pengayakan kering. Sementara itu, metode lainnya berdasarkan simulasi pengaruh energi tetes hujan, dispersi ultrasonik, dan pemecahan agregat setelah pencelupan yang tibatiba ke dalam air. Pembentukan agregat terjadi melalui beberapa cara dan dikelompokkan dalam tingkat ukuran yaitu makroagregat (> 250 µm) dan mikroagregat (< 250 µm). Terdapat beberapa mekanisme agregasi. Teori agregasi yang dikemukakan Tisdall (1996) adalah mikroagregat (< 250 µm) dibentuk oleh molekul organik (MO) yang menempel pada liat (L) dan kation polivalen (P) membentuk partikel (L-P-MO), yang saling berikatan dengan partikel (L-P-MO) lainnya membentuk makroagregat [(L-P-MO)x]y. Mekanisme agregasi melalui proses flokulasi dan fragmentasi. Flokulasi terjadi jika partikel tanah yang pada awalnya dalam keadaan terdispersi, kemudian bergabung membentuk agregat. Sedangkan fragmentasi terjadi jika tanah dalam keadaan masif, kemudian terpecah-pecah membentuk agregat yang lebih kecil. Kemper & Rosenau (1986) mengatakan bahwa makin mantap suatu agregat tanah, makin rendah kepekaannya terhadap erosi (erodibilitas tanah). Karakterisasi agregat tanah yang dapat secara langsung memberikan petunjuk adalah melalui deskripsi sifat morfologi di lapangan, menggunakan teknik analisis perbandingan, atau mengukur distribusi ukuran yang berhubungan dengan pori. Metode lainnya berdasarkan pada pemecahan struktur unit secara parsial oleh dispersi atau fragmentasi. Agregat tanah yang mantap memiliki kemampuan mengikat partikel dan tahan terhadap tekanan lingkungan luar yang menyebabkan disagregasi tanah seperti pengolahan, swelling dan shrinking, energi kinetik tetes hujan dan lain sebagainya (Diaz-Zorita et al. 2002; Rohoskova & Valla 2004). Penutupan tajuk tanaman pada permukaan tanah dapat menghindari erosi karena tetes hujan saat curah hujan tinggi (Cerda 2000). Struktur tanah dapat dipengaruhi oleh kandungan air di dalam tanah yang jumlahnya sangat beragam dari waktu ke waktu. Hal ini mengacu pada definisi
5 mengenai struktur tanah yaitu pengelompokan partikel-partikel primer (pasir, debu, dan liat) membentuk suatu agregat yang lebih besar dalam hal ukuran dan bentuk. Adanya proses penetrasi akar di dalam tanah, siklus pembasahan dan pengeringan yang berkelanjutan serta aktivitas biota tanah yang dikombinasikan dengan bahan anorganik dan organik sebagai agens perekat akan menghasilkan suatu struktur tanah tertentu. Penurunan kadar air akan meningkatkan gugus kontak antara partikel primer dan bahan organik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kekuatan daya kohesi tanah. Proses ini terutama terjadi di daerah sekitar perakaran yang secara langsung memfasilitasi terjadinya pembentukan mikroagregat. Konsep mengenai pembentukan mikroagregat sehubungan dengan fungsinya sebagai penyedia ruang pori tanah untuk air tersedia dikemukakan oleh Cambardella (2005). Konsep tersebut didasarkan pada suatu model yang dikemukakan oleh Tisdall & Oades (1982). Pemecahan makroagregat (>250 µm) akan membentuk mikroagregat (20-250 µm). Sementara itu, proses agregasi pada partikel berukuran <20 µm umumnya diperantarai oleh bahan organik dan aktivitas mikroorganisme. Mikroagregat dengan diameter 2-20 µm terbentuk melalui proses flokulasi partikel debu dan liat. Flokulasi pada partikel liat bermuatan negatif akan meningkat karena keberadaan kation bermuatan tinggi seperti Al3+ dan Ca2+.
Bahan organik dapat meningkatkan proses agregasi
tersebut melalui pembentukan kompleks ikatan dengan liat dan kation bermuatan tinggi. Lebih lanjut dijelaskan oleh Chenu & Stotzky (2002) bahwa di dalam tanah, bakteri hidup dalam suatu ekosistem yang didominasi oleh partikel padat, beberapa di antaranya memiliki area permukaan yang luas. Tanah memiliki area permukaan spesifik yang sangat bervariasi tergantung pada tekstur dan mineraloginya. Fraksi koloidal dari partikel-partikel ini dapat memiliki muatan permanen (sebagian besar mineral liat) atau muatan variabel (oksihidroksida dan bahan organik). Koloid-koloid ini merupakan permukaan aktif partikel yang dapat menjadi tempat penyimpanan metabolit bakteri. Interaksi permukaan antara bakteri dengan partikel tanah melalui beberapa tahap yaitu: (i) transport ke permukaan, (ii) melakukan kontak dan pelekatan awal, (iii) penempelan pada
6 permukaan partikel, dan (iv) pertumbuhan membentuk mikrokoloni atau biofilm yang menempel pada substrat. Berdasarkan pengamatan dengan mikroskop elektron transmisi (TEM) diketahui bahwa bakteri dapat menempel pada partikel yang lebih besar daripada selnya seperti butiran pasir atau residu tanaman. Pelekatan bakteri pada partikel yang lebih kecil menyebabkan partikel tersebut terbungkus oleh sel bakteri dan ini sering disebut sebagai mikroagregasi bakteri.
Agens yang Mempengaruhi Agregasi Kemantapan agregat dalam jangka panjang selalu berhubungan dengan keberadaan senyawa yang bersifat sukar lapuk dan ion-ion logam lainnya di dalam tanah. Penjenuhan dengan natrium yang dapat dipertukarkan, kadar besi, aluminium oksida dan hidroksida, dan bahan organik memegang peranan penting terhadap kemantapan agregat tanah (Le Bissonais 1996). Dalam mengukur kekuatan tanah diasumsikan bahwa kekuatan tanah secara langsung tergantung pada area permukaan spesifik atau secara tidak langsung tergantung pada tipe liat dan kandungan bahan pengikat atau cementing agents seperti bahan organik dan eksopolisakarida. Kemantapan agregat akan meningkat dengan meningkatnya kandungan liat dan bahan organik (Perfect et al. 1995). Lebih lanjut dikatakan bahwa kemantapan agregat tanah dipengaruhi oleh (i) jumlah dan jenis bahan organik di dalam tanah, khususnya lem dan musilage, (ii) keberadaan bakteri dan fungi serta akar tanaman berukuran mikro, (iii) pembasahan dan pengeringan, (iv) freezing dan thawing, (v) situs pertukaran kation alami, dan (vi) aktivitas biota tanah khususnya cacing tanah.
Karbon Sumber karbon baik itu karbon organik tanah atau karbon inorganik tanah, komposisi dan konsentrasinya di dalam tanah mempengaruhi agregasi melalui asosiasi dengan kation dan partikel tanah. Komposisi karbon organik tanah dapat terlihat melalui laju dekomposisi dan pelepasan kation di dalam larutan tanah seperti halnya kemampuannya membentuk kompleks dengan kation di dalam tanah.
7 Karbon inorganik tanah berada di dalam mineral primer dan sekunder tanah. Karbonat berasal dari bahan induk serta merupakan sumber bahan pembentukan karbon sekunder ketika bahan ini dilarutkan dan ditranslokasikan oleh air dan asam organik atau CO 2 dari tanah dan atmosfer. Karbonat sekunder terbentuk ketika CO 2 terlarut mengendapkan karbonat dan bikarbonat dengan Ca2+ dan Mg2+. Di bawah kondisi kelembaban rendah dan peningkatan pH, kation, bikarbonat (HCO 3 - ), karbonat terlarut dan CO 2 dapat bereaksi dengan kation yang tersedia untuk membentuk karbonat sekunder yang menyelimuti partikel primer tanah. Sementara itu, karbon organik tanah berperan dalam meningkatkan respirasi mikroorganisme tanah dan CO 2 serta sebagai sumber Ca2+ dan Mg2+ (Bronick & Lal 2005).
Bahan Organik Tanah Bahan organik tanah diperkirakan mengandung 5 – 25% karbohidrat dan oleh karena itu karbohidrat merupakan komponen yang paling banyak di dalam bahan organik yang telah mengalami dekomposisi lanjut. Tanaman berkontribusi terhadap kelimpahan karbohidrat di dalam tanah. Karbohidrat yang dihasilkan tanaman dalam bentuk sederhana seperti gula, hemiselulosa, dan selulosa. Akar tanaman memberikan konstribusi terhadap kelimpahan bahan organik tanah dan kemantapan agregat tanah secara langsung melalui material akar tersebut dan secara tidak langsung melalui stimulasi aktivitas mikroorganisme di daerah sekitar perakaran (Watt et al. 1993). Bahan organik tanah yang berperan dalam agregasi adalah: (i) karbohidrat, (ii) polisakarida, (iii) fenol, (iv) lignin, (v) lipid, dan (vi) bahan humik. Jumlah karbohidrat cukup signifikan di dalam tanah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kemampuan kompleks polisakarida tersebut mengikat partikel an-organik tanah untuk membentuk agregat yang mantap (Stevenson 1994). Karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan umumnya berukuran besar dan kebanyakan ditemukan pada fraksi pasir, sedangkan karbohidrat yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme tanah banyak ditemukan di dalam fraksi debu dan liat. Kitin adalah salah satu contoh polisakarida yang tersusun atas unit Nasetilglukosamin. Senyawa ini merupakan komponen utama dari struktur dinding
8 sel fungi. Polisakarida yang terjerap kuat dalam permukaan mineral, bersifat sebagai jembatan untuk mengikat partikel tanah (Manjaiah et al. 2010)
Liat Sifat mineral liat yang mempengaruhi agregasi antara lain area permukaan, kapasitas tukar kation, perubahan bobot isi, kemampuan pendispersi dan mengembang. Interaksi liat dengan karbon organik tanah dipengaruhi oleh pH tanah, kapasitas tukar kation, ion Na+, Ca2+, Mg2+. Liat beraktivitas rendah seperti kaolinit dan haloisit sering dijumpai pada Alfisol, Ultisol dan Oxisol, sedangkan yang beraktivitas tinggi dijumpai di Vertisol. Liat berada dalam bentuk mineral kristalin dan non kristalin dengan struktur amorfous. Pada beberapa tanah, bentuk liat non kristalin merupakan faktor penting dalam agregasi tanah. Kation, terutama Ca2+ dan Na2+ , elektrolit, pH dapat mempengaruhi dispersi liat (Bronick & Lal 2005).
Kation Kation bivalen seperti Ca2+ dan Mg2+ memperbaiki struktur tanah melalui pembentukan jembatan kationik dengan partikel liat dan karbon organik tanah. Pada umumnya Ca2+ lebih efektif daripada Mg2+ dalam memperbaiki struktur tanah. Sementara itu, kation polivalen Al3+ dan Fe3+ memperbaiki struktur tanah melalui pembentukan jembatan kationik dan pembentukan kompleks senyawa logam-organik dan gel. Kelarutan dan pergerakan kation ini di dalam larutan tanah tergantung pada pH, di mana kelarutan tertinggi terjadi pada pH rendah. Al3+ dan Fe3+ mengendalikan agregasi pada tanah masam dengan kandungan liat dan karbon organik rendah seperti di tanah jenis Oxisol (Bronick & Lal 2005).
Bakteri Penghasil Eksopolisakarida Bahan karbohidrat di dalam tanah sebagian besar berasal dari produk mikroorganisme. Pada umumnya, karbohidrat hasil metabolisme mikroorganisme tanah mengandung xilosa dan glukosa yang relatif rendah (jenis karbohidrat ini cukup banyak dijumpai pada polisakarida tanaman). Sejumlah monosakarida cukup tinggi berasal dari eksoselular dan kapsular polisakarida bakteri.
9 Peran eksopolisakarida dalam meningkatkan kemantapan agregat terutama sebagai agen pengikat atau perekat. Interaksi antara liat dengan eksopolisakarida sangat diperlukan untuk memantapkan agregat. Sebagai contoh, interaksi antara partikel mineral melalui adsorpsi liat dan permukaan oksihidroksida serta pada tanah-tanah yang kaya akan seskuioksida maka kemantapannya sangat dipengaruhi oleh eksopolisakarida (Hayes & Cheshire 1990). Eksopolisakarida
dapat
dihasilkan
secara
cepat
sehingga
sangat
mempengaruhi kemantapan agregat. Beberapa eksopolisakarida yang terdapat di antara agregat tidak dapat dihancurkan secara biologi selama agregat tersebut tidak
dirusak
dan
dikeluarkan
dari
bagian
dalam.
Eksopolisakarida
mikroorganisme yang tidak terganggu akan bertahan lama di dalam tanah. Ketahanan eksopolisakarida di dalam tanah mungkin juga melalui pembentukan kompleks dengan logam atau dengan pengikatan pada gugus aktif dari senyawa organik lainnya dan mineral liat. Dalam memahami dinamika tanah, informasi mengenai mekanisme interaksi mikroorganisme tanah dengan tanah tekstur berpasir yang berhubungan dengan kemantapan agregat dan penyediaan unsur hara bagi tanaman pertanian dan perkebunan masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada peran bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) serta multi interaksinya dalam suatu mekanisme pembentukan agregat pada tanah tekstur berpasir. Penelitian yang bertujuan untuk mengoptimalisasi potensi tanah tekstur berpasir telah dilakukan, namun hampir semuanya menyangkut aspek kimia tanah, agronomi dan managemen pengelolaan secara praktis, tanpa melibatkan unsur mikrobiologi tanah.
Bioamelioran Filosofi penggunaan pembenah hayati (bioamelioran) untuk memantapkan agregat tanah pada prinsipnya adalah untuk meningkatkan kapasitas tanah melalui perbaikan sifat tanah baik secara fisik, kimia, dan biologi. Terkait dengan upaya mengoptimalkan agregasi pada tanah tekstur berpasir, pembentukan agregat tanah melalui kontribusi aktivitas mikroorganisme tanah dapat dilakukan melalui teknik augmentasi bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) potensial di rizosfer. Untuk
10 mempermudah aplikasi teknik augmentasi ini, BPE yang akan diinokulasikan di rizosfer dapat dikemas di dalam suatu bahan pembawa yang sesuai untuk menunjang aktivitas dan viabilitas BPE bahan aktif. Dalam pembuatan bioamelioran, pada dasarnya bahan pembawa yang digunakan untuk inokulan bakteri harus memiliki sifat: (i) non toksik terhadap inokulan, (ii) memiliki kapasitas absorpsi yang baik, (iii) mudah untuk diproses dan bebas dari bahan yang dapat membentuk bongkahan, (iv) mudah untuk disterilisasi atau dipasteurisasi, (v) tersedia dalam jumlah yang banyak, (vi) harga tidak mahal, (vii) memiliki kapasitas penyangga yang baik, dan (viii) tidak bersifat toksik terhadap tanaman (FNCA 2006). Untuk inokulan yang diaplikasikan ke dalam tanah, bahan pembawa dapat berbentuk granular dengan diameter 0.5 – 1.5 mm atau ≤ 3 mm. Beberapa kriteria kesesuaian bahan pembawa terhadap inokulan dianalisis melalui: (i) kemampuan inokulan tumbuh dan berkembang biak di dalam bahan tanah/benih yang diinokulasi dan (ii) kemampuan tumbuh inokulan selama periode penyimpanan tertentu. Setelah diinokulasikan ke dalam tanah, bakteri akan secara langsung berkompetisi dengan mikroorganisme lain untuk memperoleh nutrisi dan habitat nichenya, serta protozoa. Oleh karena itu, bahan pembawa yang baik juga mampu menyediakan nutrisi dan dapat digunakan sebagai habitat yang sesuai bagi inokulan (FNCA 2006).
Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian Pengembangan budidaya kelapa sawit telah masuk ke wilayah dengan tanah tekstur berpasir. Tanah jenis ini memiliki faktor pembatas berupa agregasi tidak mantap. Butir–butir tanah lepas satu sama lain sehingga jumlah pori drainasenya tergolong tinggi dan kemampuan menahan air, nutrisi, dan memegang akar tanaman sangat rendah. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Fairhurst & McLaughlin (2009), tanah dengan tekstur berpasir di pulau Kalimantan kemungkinan dapat dijumpai pada jenis tanah dengan luasan masing-masing: Andisol (162.446 ha), Entisol (3.882.986 ha), Inceptisol (8.175.970 ha), dan Spodosol (1.944.534 ha).
11 Pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh porositas, aerasi, kelembaban, dan kelimpahan bahan organik tanah. Oleh karena itu kondisi ini akan membatasi pertumbuhan akar dan produksi tanaman.
Mantel et al.
(2007) menyatakan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh pada jenis tanah yang cukup beragam. Kondisi tanah yang paling tidak sesuai untuk kultivasi jangka panjang adalah tanah miskin drainase, kapasitas menahan air rendah, pada tanah dengan kandungan miskin hara dan tanah masam serta jenis tanah yang memiliki ruang pori besar (pasir).
Bagaimanapun juga, upaya yang dilakukan untuk
mengatasi masalah ini masih sangat terbatas. Solusi yang diperlukan diperkirakan dapat dirumuskan jika interaksi antara mikroorganisme tanah, mineral, dan komponen organik tanah lainnya dapat dipahami. Pada umumnya untuk mengupayakan peningkatan agregasi pada tanah tekstur berpasir dilakukan dengan menggunakan bahan organik yang berasal dari proses dekomposisi tumbuhan. Kebutuhan akan bahan organik yang cukup besar pada aplikasi di lapang merupakan suatu kendala tersendiri dalam mencapai efisiensi teknik pengelolaan tanah khususnya tanah dengan dominasi fraksi pasir yang tinggi. Khusus untuk perkebunan kelapa sawit, kebutuhan bahan organik berupa kompos asal tandan kosong kelapa sawit dapat mencapai 40 ton/ha/thn selama lima tahun pertama. Terkait dengan tidak adanya kemantapan agregat yang menjadi faktor pembatas pada tanah tekstur berpasir, maka penggunaan bakteri indigenous penghasil eksopolisakarida untuk memantapkan agregat menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi faktor pembatas tersebut. Dalam penelitian ini sistematika kegiatan penelitian dibagi secara bertahap dalam empat judul kegiatan penelitian dengan maksud memberikan keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian berikutnya. Diagram alir ruang lingkup kegiatan penelitian disajikan dalam Gambar 1. Bagian 1 menjelaskan mengenai kegiatan isolasi bakteri penghasil eksopolisakarida dan identifikasinya dengan menggunakan teknik molekuler (sekuensing). Potensi lain dari bakteri potensial penghasil eksopolisakarida diamati, khususnya yang terkait dengan pengujian sesuai kondisi di lapang.
12 Bagian
2
menganalisis
sumber
karbon
terbaik
untuk
produksi
eksopolisakarida dengan menggunakan enam jenis sumber karbon. Karakteristik gugus fungsional eksopolisakarida juga diidentifikasi menggunakan fouriertransformed infrared spectroscopy (FTIR) untuk mempelajari mekanisme agregasi yang terjadi antara eksopolisakarida dengan permukaan partikel pasir. Bagian 3 memfokuskan pada peran bakteri penghasil eksopolisakarida dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir. Potensi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan bahan jerami, kompos jerami dan fungi tingkat tinggi maupun tingkat rendah dalam agregasi tanah tekstur berpasir. Bagian 4 merupakan penelitian tahap lanjut di lapang untuk menguji peran bakteri penghasil eksopolisakarida dalam agregasi tanah tekstur berpasir. Pengujian di lapang menggunakan indikator pertumbuhan bibit kelapa sawit jenis Dura x Pisifera (DxP). Teknologi penggunaan bakteri penghasil eksopolisakarida yang dikemas dalam bentuk bioamelioran agregat berbentuk granul disampaikan untuk memberikan gambaran bahwa hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam aplikasi secara luas.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas bahan tanah tekstur berpasir sebagai media pertumbuhan tanaman melalui peningkatan agregasi dan retensi air dengan memanfaatkan bakteri penghasil eksopolisakarida. Tahapan kegiatan dilakukan dengan mengisolasi, seleksi, dan identifikasi bakteri potensial penghasil eksopolisakarida, kemudian menetapkan karakteristik gugus fungsional eksopolisakarida bakteri tersebut. Atas dasar informasi yang diterima dilakukan pengujian
laboratorium
untuk
mengetahui
potensi
bakteri
penghasil
eksopolisakarida (BPE) dalam memantapkan agregat bahan tanah tekstur berpasir. Berdasarkan hasil yang diperoleh di laboratorium tahap kegiatan pengujian efektivitas bakteri penghasil eksopolisakarida dilanjutkan di lapang. Penggunaan bahan tanah tekstur berpasir sebagai media tanam bibit kelapa sawit dimanfaatkan dalam penelitian ini sebagai upaya memperoleh konfirmasi potensi BPE yang dikemas dalam bentuk bioamelioran untuk aplikasi dalam skala yang lebih luas.
13 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah eksopolisakarida bakteri dapat meningkatkan kemantapan agregat bahan tanah tekstur berpasir. Informasi mengenai karakteristik gugus fungsional eksopolisakarida memegang peran kunci dalam memahami mekanisme agregasi bahan tanah tekstur berpasir oleh bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE). Peningkatan kemantapan agregat pada bahan tanah tekstur berpasir oleh BPE berdampak terhadap retensi hara dan air tersedia.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memperoleh informasi teknologi untuk meningkatkan potensi tanah tekstur berpasir yang digunakan sebagai media tanam bibit kelapa sawit. Meningkatnya efisiensi pengelolaan tanah beragregasi rendah tersebut melalui teknologi perbanyakan sel bakteri penghasil eksopolisakarida yang relatif murah dan kemudahan teknik aplikasi di lapang. Manfaat yang lebih luas dari penelitian ini adalah meningkatkan potensi luas lahan yang sesuai untuk kelapa sawit khususnya tanah bertekstur pasir melalui perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi.
Kebaruan Penelitian Adapun kebaruan dari penelitian ini adalah menyangkut (i) informasi gugus fungsional eksopolisakarida Burkholderia cenocepacia strain KTG dalam medium yang mengandung bahan tanah tekstur berpasir, (ii) peran bakteri penghasil eksopolisakarida Burkholderia cenocepacia strain KTG untuk memantapkan agregat bahan tanah tekstur berpasir, dan (iii) informasi potensi bahan tanah fraksi pasir 60-65% untuk media tanam bibit kelapa sawit.
14
Ekstensifikasi kebun kelapa sawit di lahan tekstur berpasir
Agregasi yang rendah pada tanah tekstur berpasir merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman secara optimal.
Pemanfaatan bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) dalam agregasi tanah tekstur berpasir belum banyak dikembangkan
Agregat yang lebih stabil pada tanah tekstur berpasir akan meningkatkan kemampuan menahan air dan unsur hara sehingga mengoptimalkan fungsi tanah tekstur berpasir untuk pengembangan pertanian dan perkebunan.
Bag. 1 Isolasi, seleksi, dan identifikasi BPE
Bag. 2 Produksi biomassa BPE, karakterisasi eksopolisakarida
Pembuatan bioamelioran berbahan aktif BPE potensial spesifik untuk tanah tekstur berpasir
Bag. 3 Studi interaksi BPE, bahan organik, bahan tanah tekstur berpasir
Bag. 4 Uji keefektifan BPE dalam media bahan tanah tekstur berpasir dan vegetatif bibit kelapa sawit
Teknologi ameliorasi untuk agregasi tanah tekstur berpasir dengan menggunakan bakteri penghasil eksopolisakarida
Gambar 1 Ruang lingkup kegiatan penelitian
ISOLASI, SELEKSI, DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA Pendahuluan Peran mikroorganisme tanah terhadap pembentukan, kemantapan, dan juga degradasi agregat telah diteliti (Drazkiewicz 1994; Amellal et al. 1998; CaesarTonThat & Cochran 2001). Akumulasi sel dan pembentukan koloni bakteri yang melapisi butir partikel primer dan sekunder (agregat) memiliki pengaruh penting di dalam struktur tanah (Tisdall 1994). Mekanisme yang terjadi adalah dalam kondisi
alami,
bakteri
tanah
menghasilkan
senyawa
organik
berupa
eksopolisakarida (EPS). Eksopolisakarida bakteri dapat berinteraksi dengan partikel tanah melalui pembentukan jembatan polimer sehingga memiliki peran dalam pembentukan mikroagregat dan yang lebih utama adalah kemampuan eksopolisakarida tersebut dalam memantapkan agregat tanah. Lynch & Elliot (1983) berpendapat bahwa jumlah partikel tanah yang tererosi tergantung pada jenis dan populasi mikroorganisme yang ditambahkan. Pendapat tersebut disimpulkan dari percobaan penambahan sejumlah bakteri (Azotobacter chroococcum dan Pseudomonas sp.) dan ragi (Lypomyces starkeyi) yang ternyata meningkatkan kemantapan agregat terhadap kekuatan air. Selain bahan organik tanah asal tumbuh-tumbuhan, eksopolisakarida bakteri mendapat perhatian yang cukup besar dalam meningkatkan kemantapan agregat. Eksopolisakarida dihasilkan oleh bakteri Gram negatif dan Gram positif. Lebih lanjut Wingender et al. (1999) mengatakan bahwa eksopolisakarida sering ditemukan di sekeliling struktur membran sel luar, baik pada eukariota maupun pada prokariota. Struktur fisik eksopolisakarida berupa kapsul sampai dengan dinding sel slime masif yang terbentuk di luar membran sel bakteri (Steinmetz et al. 1995). Beberapa bakteri penghasil eksopolisakarida telah banyak dilaporkan antara lain Pseudomonas aeruginosa, Erwinia, Ralstonia, dan Azotobacter vinelandii. Eksopolisakarida melindungi bakteri dari berbagai macam cekaman lingkungan (Iqbal et al. 2002), melindungi sel dari senyawa antimikrob, antibodi, dan bakteriofage, ataupun untuk pelekatan dengan bakteri lainnya, binatang, dan jaringan tanaman (Wingender et al. 1999; Patter & Glick 2002). Bakteri
16
Pseudomonas sp. meningkatkan produksi EPS pada habitat tanah tekstur berpasir selama musim kering untuk melindungi sel. Dengan memproduksi EPS memungkinkan untuk meningkatkan retensi air sehingga dapat mengatur difusi sumber karbon seperti glukosa ke dalam sel bakteri (Roberson & Firestone 1992). Eksopolisakarida yang dihasilkan oleh Rhizobium merupakan salah satu signal untuk menandakan kesesuaian terhadap inang spesifik selama tahap awal infeksi rambut akar serta membantu dalam memfiksasi N 2 melalui pencegahan terhadap tekanan oksigen yang tinggi (Neeraj et al. 2009). Peningkatan kemantapan agregat tanah di daerah sekitar perakaran dengan penambahan inokulan bakteri penghasil EPS dilaporkan oleh Alami et al. (2000); Amellal et al. (1998); dan Bezzate et al. (2000) masing – masing adalah Rhizobium yang diisolasi dari rizosfer bunga matahari, Pantoea agglomerans dan Paenibacillus polymyxa dari rizosfer gandum. Eksopolisakarida yang dihasilkan dapat meningkatkan pelekatan akar pada tanah dan secara mekanik dapat meningkatkan kemantapan agregat tanah di rizosfer (Chenu & Guerif 1991). Potensi bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) untuk membantu mengurangi cekaman lingkungan pada tanaman yang tumbuh pada lingkungan bersalinitas tinggi dilaporkan oleh Ashraf et al. (2004); Han & Lee (2005); dan Khodair et al. (2008). Mekanisme yang terjadi adalah EPS dapat mengikat kation termasuk Na+ yang berada di rizosfer. Peningkatan kepadatan populasi bakteri di daerah perakaran akan menurunkan kandungan Na+ yang tersedia bagi tanaman. Hasil penelitian Yi et al. (2008) menunjukkan bahwa eksopolisakarida dari Enterobacter sp, Arthrobacter sp, dan Azotobacter sp dapat membantu kelarutan trikalsium fosfat di dalam medium pertumbuhan. Kemampuan eksopolisakarida dalam memegang fosfor mungkin merupakan faktor penting dalam membantu kelarutan trikalsium fosfat selain asam organik. Azotobacter beijerinckii WDN-01 menghasilkan eksopolisakarida larut air. Rhizobium tropici mengakumulasikan poly-3-hidroksibutirat [P(3HB)], eksopolisakarida dan glikogen sebagai sumber energi dan karbon. Katabolisme penyimpanan karbon intraselular ini merupakan strategi yang diadopsi oleh beberapa spesies bakteri untuk bertahan dalam kondisi nutrisi yang sub-optimal (Povolo & Casella 2004).
17
Bakteri memiliki sel yang sangat kecil berkisar 0.5 - 2 µm, sehingga dapat tumbuh dan berkembang di dalam mikroagregat yang berukuran < 250 µm. Keragaman jenis bakteri penghasil eksopolisakarida di dalam tanah sangat tinggi oleh karena itu dapat dikembangkan sebagai agens pembentuk agregat tanah. Jumlah bakteri Gram negatif penghasil eksopolisakarida lebih banyak dijumpai jika dibandingkan dengan Gram positif. Kelompok Gram negatif ini meliputi genus Caulobacter, Acinetobacter, Agrobacterium, Alcaligenes, Arcobacter, Cytophaga, Flavobacterium, Pseudomonas, Rhizobium. Sementara itu untuk bakteri Gram positif yang telah dilaporkan adalah Leuconostoc mesenteroides dan bakteri pendegradasi selulosa Cellulomonas flavigena (Ivanov & Chu 2008). Menurut Sutherland (2001a) polisakarida bakteri telah banyak diproduksi dalam skala industri. Penggunaan polisakarida bakteri untuk industri makanan, kosmetik, farmasi dan tambang minyak ini memiliki keunikan dalam hal karakteristiknya dan mudah dihasilkan dalam skala besar. Terkait dengan penggunaan eksopolisakarida untuk agregasi tanah, maka teknologi augmentasi dengan menambahkan bakteri penghasil eksopolisakarida potensial yang sesuai dengan lingkungan setempat merupakan teknologi yang paling efisien dan dapat diaplikasikan dalam skala luas. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terutama di pulau Kalimantan dan Sulawesi telah masuk wilayah dengan kondisi lahan yang kurang produktif. Wilayah ini didominasi oleh tanah tekstur berpasir dan gambut serta memiliki pH tanah rendah-sangat rendah. Khusus untuk tanah tekstur berpasir, tingkat agregasi yang rendah merupakan faktor pembatas dalam mencapai produktivitas tanaman secara optimal. Informasi mengenai mekanisme interaksi mikroorganisme tanah dengan tanah tekstur berpasir yang berhubungan dengan kemantapan agregat dan penyediaan unsur hara bagi tanaman pertanian dan perkebunan di Indonesia masih sangat terbatas. Oleh karena itu, pemanfaatan bakteri penghasil eksopolisakarida untuk pemantap agregat tanah tekstur berpasir perlu dikembangkan. Struktur tanah dengan agregat yang stabil akan meningkatkan porositas, kesuburan tanah, dan produktivitas tanaman, serta menurunkan erodibilitas. Eksplorasi bakteri indigenous yang dapat tumbuh pada pH rendah-sangat rendah
18
serta berpotensi dalam menghasilkan eksopolisakarida merupakan tahap awal untuk
mengembangkan
pengetahuan
mengenai
peran
bakteri
penghasil
eksopolisakarida dalam agregasi tanah tekstur berpasir.
Tujuan Tujuan penelitian tahap pertama ini adalah: (i) memperoleh bakteri potensial penghasil eksopolisakarida (ii) seleksi kemampuan tumbuh bakteri potensial pada medium dengan pH 3-5, dan (iii) menguji kemampuan menghasilkan eksopolisakarida bakteri potensial di dalam medium cair yang mengandung bahan tanah tekstur berpasir dan gambut.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Pelaksanaan pengambilan bahan tanah tekstur liat (≤ 25% pasir), pasir (≥ 40-80% pasir), dan gambut untuk isolasi bakteri penghasil eksopolisakarida dilakukan di kebun PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi (PT GSIP) dan PT Gunung Sejahtera Dua Indah (PT GSDI), PT Astra Agro Lestari, Kalimantan Tengah. Rangkaian kegiatan isolasi, seleksi dan identifikasi bakteri potensial penghasil eksopolisakarida dilaksanakan di laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor pada bulan Maret-Juni 2009.
Isolasi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida Bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) diisolasi dari rizosfer kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) TM, Kalimantan Tengah. Bahan tanah diambil dari kedalaman 0-20 cm. Sebanyak satu gram bahan tanah secara aseptik disuspensikan ke dalam larutan garam fisiologi (0,85%) lalu dibuat seri pengenceran sampai 10-6, dan diinkubasi dalam medium ATCC no. 14 (per liter medium): 0.2 g KH 2 PO 4 ; 0.8 g K 2 HPO 4 ; 0.2 g MgSO 4 .7H 2 O; 0.1 g CaSO 4 .2H 2 O; 2.0 mg FeCl 3 ; Na 2 MoO 4 .2H 2 O (trace); 0.5 g ekstrak kamir; 20 g sukrosa; dan 15 g bakto agar dengan pH 7.2 serta medium MacConkey selama tujuh hari pada temperatur 28oC (Remel 2005; Santi et al. 2008). Koloni bakteri yang membentuk slime tebal (mucoid) selanjutnya dipilih (Tallgren et al. 1999)
19
dan dimurnikan. Seleksi bakteri potensial penghasil eksopolisakarida dilakukan melalui penetapan bobot kering eksopolisakarida yang dihasilkan bakteri sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Emtiazi et al. (2004).
Seleksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida Seleksi bakteri potensial penghasil eksopolisakarida dilakukan melalui penetapan bobot kering eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri di dalam medium cair ATCC no. 14 dengan menggunakan sumber karbon sukrosa sebagaimana metode yang dikemukakan oleh Emtiazi et al. (2004). Koloni bakteri yang membentuk slime tebal (mucoid) pada medium padat ATCC no.14 ditumbuhkan dalam 50 ml medium cair ATCC no. 14 dan diinkubasi pada temperatur 28 0C selama tiga hari di atas mesin pengocok dengan putaran 200 rpm. Pada akhir inkubasi, sel dipanen dengan cara menambahkan 1 mM EDTA sebanyak 500 µl, kemudian dikocok sampai homogen lalu disentrifugasi dengan kecepatan 9 000 g selama 10 menit. Supernatan bakteri yang telah terpisah dari endapan sel diambil, ditambah dengan larutan aseton dingin dengan perbandingan 1:3. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi kembali dengan kecepatan 15 000 g selama 2 kali 30 menit. Endapan biomassa berupa eksopolisakarida selanjutnya dicuci dengan akuades dan dikeringkan pada temperatur 60oC selama 24 jam atau sampai diperoleh bobot kering yang tetap.
Uji Kemampuan Tumbuh di dalam Medium Ber-pH 3-5 dan Medium dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir dan Gambut Bakteri potensial penghasil eksopolisakarida masing-masing ditumbuhkan di dalam 50 ml medium kaldu nutrien (NB, Oxoid CM0001) dalam kondisi pH 3, 4, dan 5. Selain itu pula, masing-masing bakteri ditumbuhkan juga di dalam 50 ml medium ATCC no. 14 yang mengandung 10 g bahan tanah tekstur berpasir atau gambut steril. Inkubasi dilakukan pada temperatur 28oC selama 72 jam di atas mesin pengocok 200 rpm. Peubah yang diamati meliputi: (i) populasi bakteri (CFU/ml) dan (ii) bobot kering eksopolisakarida yang dihasilkan (mg/ml).
20
Identifikasi Bakteri Potensial Penghasil Eksopolisakarida Identifikasi bakteri potensial penghasil eksopolisakarida dilakukan dengan analisis sekuensing 16S rRNA. Isolasi DNA dilakukan berdasarkan metode lisis alkali. Amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan dua pasangan primer universal untuk bakteri yaitu: (i) 16F dan 1387R, dan (ii) 27F dan 42R. Sekuensing dilakukan dengan menggunakan ABI-Prism 3100-Avant Genetic Analyzer.
Hasil
sekuensing
selanjutnya
dianalisis
tingkat
kesamaannya
menggunakan program dari European Bioinformatics Institute (EMBL-EBI) (http://www.ebi.ac.uk/serve/fasta atau http://www.ebi.ac.uk/serve/blast). Hasil Isolasi dan Seleksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida Sebanyak 71 isolat bakteri berhasil diperoleh dari bahan tanah yang berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah (Tabel 1). Pertumbuhan bakteri tersebut di dalam medium agar MacConkey (medium selektif untuk bakteri Gram negatif) dikatagorikan dalam tingkat kurang (+) sampai sangat baik (++++). Dari jumlah tersebut, tiga puluh isolat bakteri memiliki potensi dalam menghasilkan eksopolisakarida. Potensi tersebut ditandai dengan kemampuan membentuk slime tebal di dalam medium padat ATCC no. 14 (Gambar 2).
Gambar 2 Pembentukan slime tebal (tanda panah) pada bakteri penghasil eksopolisakarida di dalam medium padat ATCC no. 14.
21
Tabel 1
Isolasi bakteri penghasil eksopolisakarida dari bahan tanah asal Kalimantan Tengah
Pertumbuhan Pertumbuhan Warna koloni dalam medium Kode Warna koloni dalam medium dalam medium padat MacConkay isolat dalam medium padat MacConkay MacConkay selama 7 hari MacConkay selama 7 hari 1.1 trans-m. muda ++ 9.2 transparan + 1.2 merah muda ++ 9.3 merah +++ 2.1 trans-m.muda ++ 9.4 transparan ++ 2.2 trans-m.muda ++ 10.1 transparan ++ 2.3 trans-m.muda +++ 10.2 transparan +++ 2.4 trans-m.muda ++ 10.3 merah ++++ 2.5 trans-m.muda ++ 11.1 trans-m.muda +++ 2.6 trans-m.muda ++ 11.2 transparan +++ 2.7 trans-m.muda + 12.1 merah muda ++++ 2.8 trans-m.muda +++ 12.2 merah muda ++++ 3.1 transparan + 12.3 trans-m muda ++ 3.2 transparan ++ 12.4 merah muda +++ 3.3 transparan ++ 12.5 trans-putih +++ 4.1 merah muda ++ 12.6 trans-m muda +++ 4.2 transparan + 12.7 trans-m muda +++ 5.1 trans-m.muda +++ 12.8 transparan + 5.2 trans-m.muda +++ 13.1 trans-merah +++ 5.3 transparan ++ 14.1 merah +++ 5.4 transparan +++ 14.2 transparan ++ 5.5 trans-merah ++++ 15.1 merah muda ++ 5.6 trans paran +++ 15.2 merah muda ++ 5.7 trans-merah ++ 16.1 merah ++++ 5.8 trans-merah +++ 16.2 merah muda ++ 5.9 trans-merah ++ 16.3 merah muda +++ 6.1 merah ++++ 16.4 merah muda ++++ 6.2 merah ++++ 17.1 transparan + 6.3 merah +++ 17.2 trans- m muda ++ 6.4 transparan ++ 17.3 coklat-m tua +++ 6.5 transparan ++ 18.1 merah muda +++ 7.1 transparan ++ 18.2 trans-m muda ++ 7.2 merah-muda ++++ 18.3 trans-m muda +++ 7.3 transparan ++ 18.4 merah muda +++ 8.1 transparan +++ 18.5 transparan ++ 8.2 transparan +++ 18.6 transparan ++ 8.3 transparan ++ 18.7 merah muda +++ 9.1 transparan + Keterangan sumber isolasi: kode angka awal 1,2,3,5,8 = FPR, kode angka awal 4 dan 13 = gambut, kode angka awal 6, 9, 10,11, 14-18 = FPS, kode angka awal 7 dan 12 = FPT
Kode *) isolat
*)
Berdasarkan hasil pengukuran bobot kering eksopolisakarida (mg/ml) bakteri seperti yang disajikan pada Tabel 2 diketahui bahwa bakteri dengan kode 2.6, 3.3, dan 5.5 mempunyai potensi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan isolat lainnya. Bobot kering eksopolisakarida yang dihasilkan dari tiga bakteri potensial tersebut masing-masing 4.83, 5.03, dan 5.45 mg/ml medium.
22
Tabel 2 Bobot kering eksopolisakarida bakteri dalam medium ATCC no. 14 selama 72 jam inkubasi Kode isolat 2.6 2.8 3.3 5.1 5.2 5.5 6.1 6.2 6.3 6.5 7.1 7.2 8.2 9.1 9.3
Bobot kering eksopolisakarida (mg/ml) 4.83 3.50 5.03 0.46 1.25 5.45 2.10 0.80 2.42 1.04 1.04 1.69 1.10 0.66 0.72
Kode isolat 9.4 10.4 11.2 12.1 12.2 12.5 12.6 13.1 14.1 16.1 16.2 16.4 17.3 18.4 18.6
Bobot kering eksopolisakarida (mg/ml) 1.33 0.85 0.48 1.09 0.87 2.03 0.87 1.49 0.99 1.67 0.42 2.07 3.72 1.14 1.71
Untuk menetapkan kemampuan tumbuh bakteri di dalam lingkungan tanah berpH masam, maka tiga bakteri potensial tersebut ditumbuhkan dalam 100 ml medium kaldu nutrien (NB) masing-masing dengan pH 3, 4, dan 5. Kemampuan tumbuh bakteri di dalam medium dengan perlakuan pH yang diberikan merupakan salah satu kriteria penetapan bakteri potensial untuk pengujian selanjutnya. Hasil pengujian viabilitas bakteri terpilih terhadap perlakuan pH disajikan pada Tabel 3. Isolat bakteri dengan kode 2.6 dan 3.3, dapat tumbuh baik pada rentang pH 3 sampai dengan pH 5. Ketahanan bakteri 3.3 pada medium NB dengan pH 35 lebih baik jika dibandingkan dengan bakteri 2.6 dan 5.5. Populasi bakteri 3.3 di dalam medium NB dengan pH 3 masih cukup tinggi yaitu 105 -106 CFU/ml. Sebaliknya bakteri 5.5 tidak dapat tumbuh pada pH 3. Selain kemampuan tumbuh di dalam medium dengan kisaran pH 3-5, tiga bakteri potensial penghasil eksopolisakarida diuji lebih lanjut kemampuan produksi eksopolisakarida di dalam medium ATCC no. 14 dengan menggunakan gambut dan bahan tanah dengan kadar fraksi pasir sedang sampai tinggi (FPS dan FPT). Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 3 dan 4, maka bakteri dengan kode 3.3 digunakan untuk pengujian lebih lanjut.
23
Tabel
3
Kemampuan tumbuh tiga isolat bakteri potensial penghasil eksopolisakarida dalam medium Nutrient Broth (NB) dengan pH 3, 4, dan 5 selama 72 jam inkubasi Kode isolat 2.6
pH 3 4 5
3.3
3 4 5
5.5
3 4 5
*)
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Total Mikrob (CFU/ml) 1.2 x 104 1.3 x 104 5.4 x 107 3.4 x 107 1.1 x 108 1.5 x 108 6.5 x 105 1.4 x 106 1.1 x 108 1.4 x 108 8.4 x 109 1.2 x 1010 -*) 1.3 x 106 1.0 x 106 6.0 x 109 7.8 x 109
tidak ada pertumbuhan bakteri 5.5.
Tabel 4 Bobot kering eksopolisakarida (mg/ml) dalam medium cair dengan penambahan 20% (b/v) gambut, fraksi pasir sedang (FPS) dan fraksi pasir tinggi (FPT)
Kode Isolat 2.6 3.3 5.5 2.6 3.3 5.5 2.6 3.3 5.5
Bahan yang ditambahkan (20% b/v) Gambut Gambut Gambut FPS FPS FPS FPT FPT FPT
Bobot kering eksopolisakarida (mg/ml) 3.69 4.14 3.30 3.91 4.26 3.93 4.34 5.79 5.25
24
Identifikasi Bakteri Potensial Penghasil Eksopolisakarida Bakteri penghasil eksopolisakarida potensial diidentifikasi menggunakan metode
sekuensing
dengan
primer
forward
dan
reverse.
Metode
ini
memungkinkan untuk melakukan sekuensing terhadap 750-800 basa dalam satu kali running. Dalam penelitian ini sekuensing dilakukan menggunakan primer 16F-1387R dan 27F-42R. Tingkat kesamaan yang dihasilkan dari urutan basa dengan menggunakan kedua jenis primer tersebut yang dibandingkan dengan data base masing-masing mencapai 99.8 (fasta) dan 99% (blast) untuk pasangan primer pertama serta 99% (fasta) untuk pasangan primer kedua. Hasil sekuensing menunjukkan bahwa bakteri dengan kode 3.3 adalah Burkholderia cenocepacia. Hasil analisis sekuensing disajikan dalam Lampiran 1. Untuk selanjutnya karena bakteri ini diperoleh dari Kalimantan Tengah, maka diberi kode strain KTG.
Pembahasan Di dalam tanah, bakteri selalu berasosiasi dengan liat dan polisakarida lain hasil dekomposisi atau ekskresi tumbuhan. Asosiasi ini umumnya terjadi di dalam mikroagregat yang terdapat di zona perakaran. Lupwayi et al. (2001) berpendapat bahwa rasio bakteri : fungi di dalam makroagregat lebih rendah apabila dibandingkan dengan di dalam mikroagregat. Hal ini disebabkan aktivitas bakteri banyak terjadi di dalam mikroagregat sedangkan aktivitas fungi lebih banyak terjadi di dalam makroagregat. Isolasi bakteri penghasil eksopolisakarida dilakukan di rizosfer kelapa sawit yang terdapat dalam matriks tanah. Matrik tanah merupakan tempat perkembangan akar tanaman, produksi eksudat akar hasil metabolik internal tumbuhan yang umumnya banyak mengandung senyawa karbon, dan tempat pertumbuhan makro dan mikro biota tanah. Oleh karena itu, dengan mengambil bahan tanah di sekitar perakaran, diharapkan diperoleh bakteri tanah dengan keragaman yang cukup tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh Bertin et al. (2003) bahwa eksudat akar mengandung beberapa senyawa organik dengan berat molekul rendah seperti gula dan polisakarida sederhana (arabinosa, fruktosa, glukosa, maltosa, manosa), oligosakarida, asam amino (arginin, asparagin, aspartat, sisteina, sistin, glutamin), asam organik (asetat, askorbik,
25
benzoat, dan malat) serta senyawa fenolik. Beberapa dari senyawa tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme tanah. Kegiatan isolasi bakteri penghasil eksopolisakarida dilakukan pada bahan tanah dengan fraksi pasir rendah (FPR), sedang (FPS), tinggi (FPT), dan gambut. Populasi bakteri (CFU/g bahan tanah) yang diperoleh dari FPR lebih banyak jika dibandingkan dari FPS, FPT dan gambut. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri di rizosfer pada FPR lebih tinggi jika dibandingkan dengan FPS, FPT, dan gambut. Diasumsikan bahwa perkembangan akar tanaman pada rizosfer sangat dipengaruhi oleh struktur dan ukuran partikel tanah, kandungan air di dalam tanah dan kapasitas bufer. Akar tanaman merupakan sumber karbon untuk energi dan makanan mikroorganisme tanah. Perkembangan akar yang baik pada FPR akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme tanah dan interaksinya dengan akar tanaman. Penelitian Hassink et al. (1993) menunjukkan bahwa sel bakteri lebih banyak dijumpai pada tanah berliat dan lempung yang didominasi oleh ruang pori yang lebih kecil jika dibandingkan dengan tekstur pasir.
Pada mikroagregat
(2-20 µm) yang diambil dari kedalaman lapisan liat berstruktur masif dan kurang porous mengandung biomassa bakteri lebih rendah jika dibandingkan dengan lapisan liat yang sama tetapi berstruktur granular. Sessitsch et al. (2001) menyatakan bahwa di permukaan partikel liat dengan ukuran lebih kecil daripada 2 µm merupakan niche bagi bakteri aerobik dan anaerobik, sedangkan pada ukuran partikel yang lebih besar didominasi oleh bakteri aerobik. Tiga bakteri potensial penghasil eksopolisakarida yang diisolasi dengan menggunakan medium selektif MacConkey diperoleh dari FPR. Tiga bakteri tersebut masing-masing dengan kode 2.6, 3.3., dan 5.5 dapat menghasilkan bobot kering eksopolisakarida 4.83-5.45 mg/ml medium. Pengujian lebih lanjut terhadap tiga bakteri potensial tersebut dilakukan di dalam medium ATCC no.14 menggunakan FPS, FPT, dan gambut, sebagai upaya memperoleh konfirmasi mengenai potensi bakteri dalam menghasilkan eksopolisakarida dari bahan tanah yang berbeda. Hasil penimbangan bobot kering eksopolisakarida menunjukkan bahwa bakteri dengan kode 3.3 dapat menghasilkan bobot kering yang lebih tinggi daripada bakteri dengan kode 2.6 dan 5.5 baik pada gambut, FPS maupun FPT. Populasi bakteri di dalam medium ATCC no.14 dengan bahan FPS, FPT dan
26 gambut rata-rata mencapai 107-108 CFU/ml medium.
Di antara tiga bakteri
potensial penghasil eksopolisakarida tersebut, maka bakteri dengan kode 3.3 memiliki kemampuan yang lebih unggul jika dibandingkan dengan dua bakteri lainnya dalam hal kemampuan menghasilkan eksopolisakarida dan dapat beradaptasi dengan baik dalam pH 3-5. Hasil sekuensing menunjukkan bahwa bakteri dengan kode 3.3 adalah Burkholderia cenocepacia. Genus Burkholderia banyak ditemukan di dalam tanah, air, dan berasosiasi dengan tanaman. Deskripsi mengenai B. cenocepacia yang dikemukakan oleh Miao et al. (2007) adalah bakteri ini berbentuk batang, motil dengan flagella multitrikus dan pili yang dapat digunakan untuk tempat penempelan pada inang, bersifat aerobik, menghasilkan asam, reaksi oksidase lemah, Gram negatif, dengan ukuran sel 0.6–0.9 x 1.0–2.0 µm. Di dalam medium NA bakteri ini berbentuk sirkular dengan diameter koloni 0.8-1.0 mm, dan berwarna putih kekuningan. Potensi enzim ekstrasellular yang dimiliki oleh B. cenocepacia adalah protease, lipase, kitinase, dan fosfolipase (Vial et al. 2007). Kelimpahan bakteri Gram negatif di dalam mikroagregat telah dilaporkan oleh Hattori (1988) yang menyatakan bahwa sebagian besar bakteri pemantap agregat terutama bakteri Gram negatif ditemukan tersebar di dalam pori kapiler yang memiliki diameter kurang dari 250 µm. Beberapa spesies Burkholderia telah digunakan secara komersial sebagai agens biokontrol, bioremediasi, dan memacu pertumbuhan tanaman (Reis et al. 2004; Sijam & Dikin 2005; Salles et al. 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa B. cenocepacia memiliki potensi sebagai agens biokontrol untuk mengendalikan Pythium dan Rhizoctonia (Miao et al. 2007). Namun demikian, khusus spesies yang terrmasuk dalam kelompok Burkhoderia cepacia kompleks (Tabel 5) memerlukan studi lanjut untuk pengembangannya dalam skala luas atas dasar pedoman yang disusun oleh FAO (1997).
27
Tabel 5 Taksonomi Burkholderia cepacia kompleks: status genomovar dan nama spesies (Vial et al. 2007; Miao et al. 2007) Spesies Burkholderia cepacia Burkholderia multivorans Burkholderia cenocepacia Burkholderia stabilis Burkholderia vietnamiensis Burkholderia dolosa Burkholderia ambifaria Burkholderia anthina Burkholderia pyrrocinia
Genomovar I II III IV V VI VII VIII IX
Hasil analisis reduksi asitilen (ARA) terhadap B. cenocepacia strain KTG yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri tersebut memiliki kemampuan dalam memfiksasi N2 dengan nilai ARA 0.73 µmol/g dan berpotensi menghasilkan hormon pertumbuhan dengan nilai indole acetic acid (IAA) sebesar 78.9 ppm. Oleh karena melihat potensi yang ada dari bakteri ini dalam menghasilkan eksopolisakarida di dalam bahan tanah tekstur berpasir, maka tahap penelitian berikutnya difokuskan terhadap optimalisasi produksi dan karakterisasi eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG.
Kesimpulan Kegiatan penelitian ini berhasil mengisolasi Burkholderia cenocepacia strain KTG yang memiliki keunggulan dalam menghasilkan eksopolisakarida dan dapat tumbuh pada lingkungan pH masam-sangat masam. B. cenocepacia strain KTG dapat menghasilkan eksopolisakarida dalam medium ATCC no. 14 yang mengandung bahan tanah dengan kadar fraksi sedang dan tinggi. Sifat fisiologi atas dasar pengujian di dalam medium dengan beberapa sumber karbon memberikan gambaran awal mengenai kemampuan B. cenocepacia strain KTG menggunakan berbagai macam sumber karbon untuk sumber energi dan pertumbuhan selnya.
PRODUKSI DAN KARAKTERISASI EKSOPOLISAKARIDA Burkholderia cenocepacia strain KTG Pendahuluan Di dalam tanah, bakteri menghasilkan eksopolisakarida untuk melindungi sel dari kekeringan atau menempel pada suatu substrat untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Eksopolisakarida bakteri banyak dijumpai di sekeliling struktur luar sel serta berhubungan erat dengan bentuk kapsul sel bakteri atau yang
diekskresikan
ke
medium
pertumbuhan
dalam
bentuk
slime.
Eksopolisakarida merupakan polimer dengan bobot molekul tinggi yang tersusun dari monosakarida dan beberapa bahan non karbohidrat seperti asetat, piruvat, suksinat, dan fosfat. Struktur dan komposisi eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri tergantung pada beberapa faktor lingkungan seperti medium, sumber karbon dan nitrogen, sistem fisiologi bakteri (aerobik atau anaerobik), dan kondisi fermentasi
(pH,
temperatur,
konsentrasi
oksigen).
Pada
umumnya
eksopolisakarida dapat diperoleh secara optimum pada pH 7, temperatur 30-370C dengan menggunakan sukrosa atau glukosa sebagai sumber karbon (Sutherland 2001b; Duta et al. 2004; Bueno & Garcia-Cruz 2006). Beberapa bakteri penghasil eksopolisakarida yang telah dilaporkan antara lain Pseudomonas aeruginosa, Erwinia, Ralstonia, dan Azotobacter vinelandii (Saile et al. 1997). Burdman et al. (2000) mengatakan bahwa Azospirillum brasilense menghasilkan eksopolisakarida dalam bentuk arabinosa yang berkorelasi dengan tingkat kemampuannya membentuk agregat. Produksi polisakarida dilakukan dengan cara menumbuhkan A. brasilense di dalam medium yang mengandung pewarna fluorescent yang dapat berikatan dengan β-1,4 dan β-1,3 glukan. Sementara itu Samet et al. (2004) melaporkan eksopolisakarida dihasilkan oleh strain tipe liar maupun mutan dari A. brasilense.
Di dalam
medium fruktosa sintetik, strain tipe liar menghasilkan EPS yang kaya akan glukosa selama fase pertumbuhan eksponensial dan EPS yang kaya akan arabinosa selama fase pertumbuhan stasioner dan fase kematian. Hasil penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa EPS yang mengandung arabinosa memegang peranan penting dalam agregasi sel. Di lain pihak, rata-rata produksi EPS oleh Vibrio harveyi strain VB23
lebih tinggi selama masa pertumbuhan
29 eksponensial akhir jika dibandingkan dengan masa pertumbuhan stasioner (Bramhachari & Dubey 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Emtiazi et al. (2004), diketahui bahwa 1% sukrosa merupakan sumber karbon terbaik untuk produksi eksopolisakarida dari Azotobacter strain AC2. Kondisi optimum yang diperlukan untuk sintesis eksopolisakarida dari Halomonas ventosae dan H. anticariensis adalah di dalam medium dengan konsentrasi garam laut 7.5%, temperatur 32oC, pengadukan atau aerasi 100 rpm dan menggunakan 1% glukosa sebagai sumber karbon (Mata et al. 2006). Burkholderia tropica menghasilkan sejumlah besar eksopolisakarida di dalam medium pertumbuhan sintetik yang mengandung manitol dan glutamat sebagai sumber karbon dan nitrogen (Serrato et al. 2006). Pseudomonas sp. UBF 2 menghasilkan polisakarida sebanyak 8.6 g/l di dalam medium sintetik yang mengandung 2% (b/v) glukosa (El-Tayeb & Khodair 2007). Bradyrhizobium japonicum USDA 110 menghasilkan eksopolisakarida dalam bentuk kapsul dan bentuk terlarut yang jumlahnya bervariasi tergantung pada sumber karbon. Dilaporkan bahwa produksi tertinggi eksopolisarida bakteri tersebut diperoleh dari sumber karbon pentosa, asam organik, gula asam, dan poliols (alkohol gula, seperti sorbitol) serta hasil yang sedikit lebih rendah di dalam heksosa dan asam amino. Hasil penelitian Tully (1988) terhadap Bradyrhizobium japonicum USDA 110 yang ditumbuhkan dalam medium dengan sumber karbon hidroaromatik (asam sikimat, asam quinat, asam adipat), L-arabinose, dan glukosa menunjukkan bahwa produksi eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri tersebut paling baik di dalam asam adipat, sedangkan masa pembelahan sel tercepat di dalam asam kuinat dan sikimat, masing-masing tujuh dan tiga belas jam. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut
disimpulkan
bahwa
produksi
eksopolisakarida
tidak
berkorelasi terhadap laju pertumbuhan. Sifat tanah yang dipengaruhi oleh polisakarida meliputi : (i) kapasitas pertukaran kation (kontribusi dari gugus COOH asam uronik), (ii) retensi anion (terjadi pada gugus NH 2 ), dan aktivitas biologi (sumber energi bagi mikroorganisme tanah). Sementara itu, kemantapan agregat yang dipengaruhi oleh polisakarida berhubungan dengan viskositas, berat molekul, dan jumlah
30 polisakarida yang dapat diadsorpsi. Adsorpsi polisakarida oleh liat tergantung pada konformasi dan konfigurasi molekul, khususnya ikatan β-glikosidik. Ikatan ini memberikan konformasi untuk hubungan tertutup atau terdekat antara polisakarida dan permukaan liat. Penelitian mengenai peran polisakarida di dalam tanah terutama difokuskan pada fungsinya sebagai bahan perekat untuk memantapkan agregat tanah (Oades 1989). Sejumlah bakteri mengekskresikan polisakarida ke dalam lingkungannya atau tetap berada di permukaan sel bakteri sebagai kapsul polisakarida. Jumlah dan komposisi eksopolisakarida ini bervariasi antar genus dan spesies dan dalam beberapa kasus juga tergantung pada kondisi lingkungan di sekitarnya (Laus et al. 2005). penting
Bakteri Gram negatif menghasilkan beberapa jenis eksopolisakarida yang
dapat
digunakan
untuk
menetapkan
hubungan
antara
mikroorganisme dengan tanaman dan hewan. Rhizobacteria penambat N 2 non simbiotik dari genus Azospirillum banyak dijumpai di daerah sekitar perakaran dan memberikan pengaruh yang menguntungkan terhadap pertumbuhan dan produktivitas beberapa tanaman pertanian dan perkebunan penting lainnya (Okon & Labandera-Gonzalez 1994; Ahmad et al., 2005; Akbari et al., 2007). Bakteri penambat N 2 non simbiotik seperti Azospirillum, Klebsiella dan Azotobacter diketahui memiliki kemampuan untuk meningkatkan agregasi dan flokulasi tanah. Kemampuan tersebut sangat dipengaruhi oleh penyebaran dan ketahanan hidup mikroorganisme ini di dalam tanah. Polisakarida yang terdapat pada permukaan sel bakteri secara umum terdapat dalam dua bentuk yaitu lipopolisakarida dan eksopolisakarida (Weiner et al. 1995). Lipopolisakarida mengikat permukaan sel melalui penempelan dengan lipid, sementara eksopolisakarida (EPS) berasosiasi dengan permukaan sel sebagai sebuah kapsul. EPS memiliki heterogenisitas dalam strukturnya, mulai dari struktur sederhana, ikatan α 1-4, berupa rantai glukosa tidak bercabang yang disebut dekstran sampai dengan struktur yang kompleks dengan ikatan bercabang atau substitusi heteropolisakarida yang tersusun dari sub unit berulang oligosakarida yang disebut dengan xantan dan asam kolanik. EPS dapat juga disubstitusi, umumnya ikatan ester dan N dengan piruvat, asetat, format, sulfat, fosfat dan gugus lainnya. Menurut Sutherland (1997) sejumlah bakteri dapat
31 mensintesis polisakarida dalam bentuk alginat. Telah banyak penelitian mengenai eksopolisakarida
tersebut
yang
dihasilkan
oleh
Azotobacter
vinelandii,
Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescens, dan P. putida. Sementara itu Wang et al. (2007) melaporkan bahwa eksopolisakarida larut air yang diperoleh dari P. agglomerans strain KFS-9 asal isolasi dari hutan mangrove mengandung protein yang berikatan dengan polisakarida. Eksopolisakarida ini tersusun atas arabinosa, glukosa, galaktosa, dan asam glukoronik dengan perbandingan molar 1.0:2.2:2.8:0.9. Sementara itu, komposisi monosakarida yang berasal dari eksopolisakarida asam bakteri B. tropica terdiri atas Glc, Rha, Glc A dengan perbandingan molar 1:2:2 (Serrato et al. 2006). Komponen utama dari fraksi karbohidrat eksopolisakarida H. ventosae adalah glukosa, manosa, dan galaktosa (molar ratio 1.75: 4:1) untuk strain A112T dan 1.25:4.1 untuk strain A116. Eksopolisakarida dari spesies bakteri tersebut juga mengandung sejumlah kecil xilosa, arabinosa, dan asam galakturonat.
Sedangkan eksopolisakarida yang
dihasilkan oleh H. anticariensis mengandung glukosa, manosa dan asam galakturonat dengan molar ratio 1:3:2.5 untuk strain FP35T dan 1:2.5:2.2 untuk strain FP36 dan sedikit xilosa dan ramnosa (Mata et al. 2006). Beberapa spesies bakteri dapat menghasilkan sejumlah eksopolisakarida yang berbeda struktur kimianya. Sebagai contoh lebih dari 70 eksopolisakarida yang berbeda ditemukan pada Escherichia coli. Sebaliknya spesies lainnya hanya menghasilkan eksopolisakarida dalam jumlah yang terbatas atau hanya satu jenis saja. Karakterisasi polisakarida bakteri dalam suatu larutan umumnya sulit untuk dilakukan karena memiliki heterogenisitas kimia yang cukup tinggi, ikatan multiganda, berat molar yang tinggi, distribusi berat molar yang luas dan viskositas tinggi. Polimer berantai panjang dan pendek disintesis walaupun pada umumnya terdapat satu berat molekul polimer yang paling dominan (Weiner et al. 1995). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iqbal et al. (2002) menunjukkan bahwa eksopolisakarida bakteri mengandung gugus hidroksil, karboksil, dan N. Selain itu pula Becker et al. (2002) juga mengemukakan bahwa bakteri Sinorhizobium meliloti menghasilkan eksopolisakarida suksinoglikan yang bersifat masam. Eksopolisakarida ini tersusun atas unit berulang oktasakarida yang mengandung satu galaktosa dan tujuh residu gula yang saling berikatan dan
32 dihubungkan oleh β-1-3, β-1-4 dan β-1-6 glikosidik. Struktur unit berulang dapat mengandung gugus asetil, pirufat, dan suksinil. Penelitian dengan metode spektra Infra Red (IR) untuk mengkarakterisasi struktur eksopolisakarida Pseudomonas dilakukan oleh Emnova et al. (2006). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa ada penyerapan pita secara spesifik untuk gugus hidroksil (-OH) dan eter (-C-O) namun tidak terlihat pada gugus karboksil (-COOH) dan -COOR. Oleh karena itu, eksopolisakarida dari genus tersebut diduga sebagai polimer levan. Adanya gugus sulfur (-C-S atau –S-S) di dalam rantai eksopolisakarida Pseudomonas memberikan suatu peluang bahwa bakteri atau eksopolisakarida dari bakteri tersebut dapat digunakan sebagai obyek pengembangan bioteknologi pertanian dan farmasi.
Tujuan Penelitian ini dimaksudkan untuk menetapkan: (i) jenis dan tingkat konsentrasi sumber karbon optimum untuk produksi eksopolisakarida dari B. cenocepacia strain KTG dan (ii) gugus fungsional yang
terdapat pada
eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung untuk kegiatan scanning electron microscope (SEM) dan Laboratorium Bio-Farmaka, Institut Pertanian Bogor untuk
penetapan
eksopolisakarida
dengan
fourier-transformed
infrared
spectroscopy (FTIR). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-November 2009.
Produksi Eksopolisakarida Optimasi produksi eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG ditetapkan berdasarkan
metode
yang
dikemukakan
oleh
Emtiazi
et
al.
(2004).
0
B. cenocepacia strain KTG ditumbuhkan pada temperatur 28 C di atas mesin pengocok dengan kecepatan 200 rpm selama 72 jam. Medium uji yang digunakan
33 untuk menetapkan optimasi produksi eksopolisakarida adalah 50 ml medium cair ATCC no. 14 dengan enam sumber dan tiga tingkat konsentrasi karbon. Sumber karbon yang digunakan masing-masing terdiri atas: (i) sukrosa, (ii) glukosa, (iii) 4-hydroxyphenyl acetic acid (4-HAA), (iv) manitol, (v) glutamat, dan (vi) laktosa (Moreno et al. 1999; Serrato et al. 2006). Sementara itu, tingkat konsentrasi karbon yang digunakan masing-masing: 1, 2, dan 3% (b/v).
Pengamatan Morfologi Eksopolisakarida Bakteri dengan Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Pemurnian
eksopolisakarida
untuk
pengamatan
morfologi
dengan
menggunakan SEM dilakukan dengan memanen eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG dari medium cair ATCC no.14 dengan cara sentrifugasi 14 000 g selama 30 menit untuk memisahkan sel dan supernatan. Eksopolisakarida yang terdapat dalam supernatan selanjutnya dipanen dengan menambahkan aseton (1 bagian supernatan : 3 bagian aseton) dan disentrifugasi kembali 14 000 g selama 30 menit. Selanjutnya endapan yang terbentuk dicuci dengan 70% etanol dan dilarutkan kembali dengan akuades. Eksopolisakarida ini dimurnikan kembali dengan setil-trimetil-amonium bromida [1:1, (Merck 2342)]. Ditambah dengan etanol di dalam larutan 10% NaCl. Selanjutnya dicuci kembali dengan akuades dan dikeringkan (El-Tayeb & Khodair 2007).
Karakterisasi Gugus Fungsional Eksopolisakarida B. cenocepacia Strain KTG Karakterisasi gugus fungsional eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG dilakukan dengan fourier transform infrared (FTIR). Pellet yang digunakan untuk analisis infra red diperoleh dengan cara menghaluskan 2 mg eksopolisakarida yang sudah dicampur dengan 200 mg KBr kering, selanjutnya campuran ditekan sampai membentuk lingkaran tipis dengan diameter 16 mm. Spektrum FTIR ditetapkan dan dibaca dengan alat Bruker Tensor 27 (Bruker SA, Wissembourg, France) pada bilangan gelombang 4000–400 cm−1 . Pembacaan spektrum yang muncul ditampilkan melalui Hewlett Packard (Houston, TX, USA).
34 Hasil
Produksi Eksopolisakarida Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber karbon terbaik bagi B. cenocepacia strain KTG adalah sukrosa dan 4-hydroxyphenyl acetic acid. Dengan sumber karbon sukrosa konsentrasi 2% (b/v) dihasilkan bobot kering eksopolisakarida
rata-rata
5.03
mg/ml.
Sedangkan
sumber
karbon
4-hydroxyphenyl acetic acid dengan konsentrasi 3% (b/v) menghasilkan bobot kering eksopolisakarida rata-rata 6.9 mg/ml (Tabel 6).
Tabel 6 Bobot kering eksopolisakarida yang dihasilkan B. cenocepacia strain KTG di dalam medium ATCC no.14 dengan enam jenis sumber karbon konsentrasi 1, 2, dan 3% (b/v) selama 72 jam inkubasi Sumber karbon
Bobot kering eksopolisakarida (mg/ml)
Sukrosa
1 2 3
0.89 fg *) 5.03 b 1.15 ef
Glukosa
1 2 3
0.35 i 0.25 i 0.45 hi
4-HAA
1 2 3
0.90 fg 2.75 c 6.90 a
Laktosa
1 2 3
0.70 gh 1.25 e 1.25 e
Manitol
1 2 3
0.25 i 1.60 d 0.90 fg
Glutamat
1 2 3
0.16 i 0.16 i 0.31 i
Koefisien keragaman (%) *)
Konsentrasi (% b/v)
10.7
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05).
35 Pengamatan Morfologi Eksopolisakarida Bakteri dengan Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) Berdasarkan pengamatan morfologi yang diperoleh dari hasil scanning diketahui bahwa eksopolisakarida yang dihasilkan oleh B. cenocepacia strain KTG berbentuk
seperti serat, berwarna putih, dan sebagian lagi terdiri atas
lembaran-lembaran berjonjot dengan ukuran yang lebih pendek (Gambar 3).
Gambar 3
Scanning electron microscope eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG (tanda panah, perbesaran 3500x).
Karakterisasi Gugus Fungsional Eksopolisakarida B. cenocepacia Strain KTG Eksopolisakarida yang dihasilkan oleh tiga bakteri potensial yang ditumbuhkan dalam medium ATCC no. 14 dengan sumber karbon sukrosa memiliki dominasi gugus fungsional utama atas dasar kekuatan pita absorpsi pada bilangan gelombang 3406-3366
cm-1, 2929-2927 cm-1, 1633-1630 cm-1, dan
1058-1052 cm-1. Kisaran absorpsi tersebut masing-masing menandakan gugus -O-H (hidroksil); C-H, CH 3 (alifatik); -C=O (karbonil); dan C-C, C-OH, C-O-C (ikatan glikosidik). Hal yang membedakan pita spektrum FTIR B. cenocepacia strain KTG dengan dua isolat lainnya adalah terdapat absorpsi lemah pada 2365 cm-1 yang menandakan ada ikatan OH dalam rangkaian
polimer ini
(Tabel 7). Dengan penggunaan sumber karbon yang berbeda di dalam medium pertumbuhan B. cenocepacia strain KTG, maka kekuatan pita absorpsi pada pembacaan bilangan gelombang FTIR akan berbeda pula (Gambar 4).
36 Tabel 7 Penetapan gugus fungsional B. cenocepacia strain KTG dan dua bakteri potensial penghasil eksopolisakarida lainnya. Bilangan gelombang (cm-1) 3406 2927 2365 1630 1058
-OH dan N-H C-H, CH 3 -OH -C=O -C-O-C (glikosidik)
Rhizobium tropici (2.6)
3390 2929 1633 1052
-OH dan N-H C-H, CH 3 -C=O -C-O-C (glikosidik)
Stenotrophomonas maltophilia (5.5)
3366 2929 1601 1052
-OH dan N-H C-H, CH 3 C=O rantai terbuka -C-O-C (glikosidik)
Spesies/Kode bakteri B. cenocepacia strain KTG (3.3)
Gambar 4
Gugus fungsional
Spektrum infra red gugus fungsional utama eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang ditumbuhkan dalam medium ATCC no. 14 dengan sumber karbon glukosa, sukrosa, laktosa, manitol, dan 4-hydroxyphenyl acetic acid.
37 Keterangan gambar :
Jenis karbon 4-HAA
Manitol
Laktosa
Sukrosa
Glukosa
Bilangan gelombang (cm-1) 3397 2409 1650.9 1447 1135 3276 2933.6 1615.7 1457 1377 1253 3397.8 2425.3-2482 1648.8 1378 1072-883 3383 2926.3 2427.7 1649.2 1456 1115-992.9 3395.9 2924.8 2479-2402 1651.9 1541 1454 1239.7
Gugus fungsional -O-H dan N-H -OH -C=O -C-H -C-C, C-OH, C-O-C -O-H dan N-H -C-H -C=C dan COO-CC-H 3 -COOH Aromatik C-O -O-H dan N-H -OH -C=O -COOH -O-CH 3 -OH -CH, CH 3 -OH -C=O -CC-H 3 C-C, C-OH, C-O-C -OH -CH, CH 3 -OH -C=O -N-H, C=N -C-H C-O, C-OH
Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa eksopolisakarida yang dihasilkan B. cenocepacia strain KTG di dalam medium ATCC no. 14 dengan sumber karbon yang berbeda memiliki dominasi gugus fungsional utama atas dasar kekuatan pita absorpsi pada bilangan gelombang 3397-3383 cm-1, 2933-2924 cm-1, 1651-1648 cm-1, dan 1115-1068 cm-1. Kisaran absorpsi tersebut masing-masing menandakan gugus O-H (hidroksil); C-H, CH 3 (alifatik); C=O (karbonil); dan C-C, C-OH, C-O-C (penciri ikatan glikosidik).
38 Karakterisasi gugus fungsional eksopolisakarida melalui analisis FTIR juga dilakukan terhadap B. cenocepacia strain KTG yang ditumbuhkan di dalam medium ATCC no.14 dengan penambahan FPR, FPS, dan FPT. Hasil analisis disajikan secara lengkap dalam Tabel 8.
Tabel 8 Penetapan gugus fungsional eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang ditumbuhkan dalam medium ATCC no. 14 yang mengandung FPR, FPS, dan FPT Fraksi pasir
Bilangan gelombang (cm-1) 3396 2939 1638 1403 1128
-OH C-H C=O COO- antisimetrik C-C, C-OH, C-O-C
FPS
3403 2935 1636 1400 1126
O-H dan N-H C-H C=O COO- antisimetrik C-C, C-OH, C-O-C
FPT
3400 2937 1637 1406 1126
O-H dan N-H C-H C=O COO- antisimetrik C-C, C-OH, C-O-C
FPR
Gugus fungsional
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 8 diketahui bahwa eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang ditumbuhkan dalam medium ATCC no.14 dengan penambahan FPS dan FPT memiliki kesamaan dalam hal bilangan gelombang yang dihasilkan. Apabila eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang dihasilkan dalam FPS dan FPT dibandingkan dengan yang dihasilkan dalam FPR, perbedaan dalam FPR terdapat pada bilangan gelombang 3396 cm-1 yang menandakan ikatan OH dan N-H.
39 Pembahasan Pada umumnya bakteri penghasil eksopolisakarida akan tumbuh baik di dalam medium dengan sumber karbon yang mudah dioksidasi. Dengan menggunakan sukrosa dan 4-hydroxy-phenyl acetic acid, B. cenocepacia strain KTG menghasilkan bobot kering eksopolisakarida yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan penggunaan glukosa, laktosa, manitol, dan glutamat di dalam medium ATCC no. 14. Diperkirakan bahwa B. cenocepacia strain KTG lebih mudah memetabolismekan sukrosa dan 4-hydroxy-phenyl acetic acid dibandingkan dengan penggunaan empat sumber karbon lain yang diujikan dalam penelitian ini. Kemudahan dalam menggunakan sukrosa dan 4-hydroxy-phenyl acetic acid sebagai sumber energi ini memungkinkan untuk pertumbuhan dan pembentukan biomassa sel B. cenocepacia strain KTG secara optimal. Bobot eksopolisakarida yang dihasilkan B. cenocepacia strain KTG ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang diperoleh oleh Moreno et al. (1999) dari Azotobacter vinelandii dengan menggunakan sukrosa dan 4-hydroxy-phenyl acetic acid yaitu 1.2 mg/ml. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang telah dilakukan bahwa sukrosa merupakan sumber karbon terbaik untuk produksi eksopolisakarida dari Azotobacter strain AC2 (Emtiazi et al. 2004) dan Pseudomonas diminuta (Santi et al. 2008). Beberapa bakteri mengeksresikan eksopolisakarida di sekitar lingkungan pertumbuhannya. Jumlah dan komposisi eksopolisakarida ini sangat bervariasi tergantung pada genus dan spesies bakteri. Dalam beberapa kasus tergantung pula pada kondisi lingkungan pertumbuhan bakteri yang bersangkutan. Bakteri sangat membutuhkan energi untuk menghasilkan eksopolisakarida. Oleh karena itu, adanya sumber karbon di dalam media tumbuh selain dapat berfungsi sebagai komponen pembentukan sel dapat pula berfungsi sebagai sumber energi yang diperlukan untuk sintesis dan ekskresi eksopolisakarida. Morfologi eksopolisakarida pada tampilan scanning electron microscope (SEM) menggambarkan bahwa eksopolisakarida bakteri bersifat hidrat dengan 99% berat basah terdiri atas air. Sutherland (2001b); Chenu & Stotzky (2002); dan Moppert et al. (2009) menyatakan bahwa eksopolisakarida bakteri memiliki sifat anionik yang memungkinkan untuk mengikat kation. Selanjutnya Emnova et al.
40 (2006) menyatakan bahwa adsorpsi polisakarida oleh liat tergantung pada konformasi dan konfigurasi molekul, khususnya ikatan β-glikosidik. Ikatan ini memberikan konformasi untuk hubungan terdekat antara eksopolisakarida dan permukaan liat. Berdasarkan analisis FTIR diketahui bahwa gugus fungsional
utama
eksopolisakarida yang dihasilkan oleh B. cenocepacia strain KTG terdiri atas –OH, -CH, -C=C, dan C-O-C. Gugus fungsional tersebut ada yang bersifat polar (hidrofilik) dan ada pula yang bersifat nonpolar (hidrofobik). Puncak 3406 cm-1 mengindikasikan keberadaan ikatan hidrogen gugus OH dan OH bebas. Gugus tersebut pembawa sifat hidrofilik pada eksopolisakarida. Selain itu sifat hidrofilik juga dibawa oleh gugus C-H, C-H 3 pada puncak 2927 cm-1 , absorbsi lemah pada puncak 2365 cm-1 yang menandakan ada hidrogen dalam bentuk ikatan -OH di dalam rangkaian eksopolisakarida ini dan –C=O (karbonil) pada puncak 1630 cm-1. Puncak 1058 cm-1 yang terdapat di antara bilangan gelombang 1170950 cm-1 menandakan ikatan glikosidik. Ikatan ini memberikan konformasi untuk hubungan terdekat antara eksopolisakarida dan permukaan liat. Menurut Chenu & Stotzky (2002), interaksi antara bakteri dan partikel tanah dikelompokkan dalam mekanisme secara biologi, fisik dan fisik-kimia. Interaksi secara biologi terjadi melalui pertumbuhan dan perbanyakan sel serta ekskresi senyawa organik seperti enzim dan biopolimer lainnya. Sementara interaksi secara fisik berhubungan dengan geometri dan kohesi matrik tanah seperti distribusi ukuran pori, retensi air, kemantapan agregat, dan sifat mekanik tanah. Oleh karena itu interaksi secara fisik sangat tergantung pada ukuran, bentuk, penyusunan dari partikel-partikel tanah. Interaksi secara fisik kimia terjadi dalam larutan tanah yang meliputi penyerapan, pelarutan, hidrolisis, oksidasi, dan kondisi pH tanah. Karakteristik permukaan partikel tanah yang menentukan dalam interaksi secara fisik-kimia dapat ditinjau dari area permukaan, muatan elektrostatis, dan gugus fungsional. Dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, interaksi bakteri dan lingkungan tanah terjadi secara simultan yang melibatkan proses biologi, fisik, dan fisik-kimia. Dalam hal agregasi tanah, khususnya untuk tanah tekstur berpasir, maka gugus fungsional yang bersifat polar (hidrofilik) diperlukan untuk proses
41 pembentukan mikroagregat. Pembentukan mikroagregat dapat mengoptimalkan jumlah air yang tersedia bagi tanaman. Lebih lanjut Gryze et al. (2006) menyatakan bahwa pada awal proses dekomposisi, senyawa organik yang mudah terdekomposisi akan membentuk senyawa hidrofilik yang berperan dalam meningkatkan kemantapan agregat tanah melalui pengikatan inter partikel.
Kesimpulan Burkholderia
cenocepacia
strain
KTG
menggunakan
sukrosa
dan
4-Hydroxy-phenyl acetic acid (4-HAA) lebih optimal untuk menghasilkan eksopolisakarida di dalam medium pertumbuhan ATCC no. 14 dibandingkan dengan penggunaan glukosa, laktosa, manitol, dan glutamat. Eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG memiliki pola yang konsisten dalam hal karakter gugus fungsional di dalam medium pertumbuhan dengan beberapa sumber karbon dan agregat tanah dengan fraksi pasir yang berbeda. Dominasi gugus fungsional utama atas dasar kekuatan pita absorpsi pada eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang ditumbuhkan pada sumber karbon sukrosa, glukosa, manitol, laktosa, dan 4-HAA menandakan gugus O-H (hidroksil), -C-H, C-H 3 (alifatik), -C=O (karbonil), dan C-C, C-OH, C-O-C (penciri ikatan glikosidik). Pada medium ATCC no.14 yang masing-masing ditambah bahan tanah steril FPR, FPS, dan FPT, eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG memiliki gugus fungsional dominan yang bersifat hidrofilik; -OH, -CH, -CH 3 , dan –C=O serta konfigurasi ikatan α dan β. Karakteristik gugus fungsional yang terdapat dalam eksopolisakarida tersebut memungkinkan untuk perekatan dengan permukaan partikel tanah.
STUDI INTERAKSI BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA DAN BAHAN ORGANIK DENGAN BAHAN TANAH TEKSTUR BERPASIR Pendahuluan Eksopolisakarida merupakan fraksi kecil dari total jumlah bahan organik di dalam tanah yaitu hanya sekitar 0.1-0.5%. Namun karena memiliki kemampuan dalam menahan air dan memiliki sifat sebagai agens perekat maka eksopolisakarida memegang peranan penting dalam agregasi tanah serta mengatur aliran nutrisi dan air ke dalam akar tanaman. Eksopolisakarida bakteri membentuk mikroagregat yang stabil terhadap pengaruh aliran air sehingga memelihara sifat fisik dan kimia tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman (Ashraf et al. 1999). Mikroagregat merupakan habitat mikroorganisme tanah karena di tempat tersebut jumlah predator sedikit, kelembaban relatif stabil serta gradien difusi tinggi menyebabkan ketersediaan nutrisi dan oksigen relatif rendah (Mummey & Stahl 2004). Bahan organik merupakan salah satu komponen esensial yang mendukung pertumbuhan mikroorganisme serta memelihara struktur dan kesuburan tanah. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bahan organik yang bersifat cepat terdegradasi dapat memperbaiki struktur tanah walaupun hanya bersifat sementara. Demikian halnya dengan biomassa bakteri dan senyawa transisi seperti karbohidrat dan lipid hasil proses dekomposisi yang berasal dari aktivitas bakteri dan tanaman. Bahan organik penstabil agregat umumnya dikelompokkan dalam tiga kelompok utama berdasarkan pengaruh fraksi karbon terhadap stabilitas strukturnya yaitu jangka waktu singkat, sedang, dan menetap (Zaher et al. 2005). Bahan organik tanah meningkatkan stabilitas agregat tanah melalui mekanisme dan fraksi yang berbeda. Pada tahap awal, partikel primer dan struktur mikro liat diikat oleh eksopolisakarida bakteri membentuk mikroagregat yang stabil. Selanjutnya kumpulan mikroagregat tersebut diikat oleh miselium fungi dan bahan organik lain hasil dekomposisi tumbuhan menghasilkan kumpulan mikroagregat yang lebih besar. Mikroagregat ini berikatan satu sama lain membentuk makroagregat. Pengikatan ini dipengaruhi oleh keberadaan agens
43 pengikat yang bersifat sementara (polisakarida) dan dalam jangka waktu tertentu yang dapat bertahan lebih lama dari polisakarida (akar dan miselium fungi) serta bahan humik yang bersifat tetap (permanen) dalam menstabilkan agregat. Bahan humik biasanya akan membentuk kompleks dengan besi dan aluminium di dalam tanah. Sementara itu, partikel karbon organik meningkatkan agregasi tanah pada saat bahan tersebut membentuk inti organik yang dikelilingi oleh liat, partikel debu, dan agregat (Six et al. 2000). Makroagregat kurang stabil terhadap pengaruh pembasahan dan mekanik maupun pengrusakan oleh hujan, erosi, dan pengolahan jika dibandingkan dengan mikroagregat. Lado et al. (2004) berpendapat bahwa terdapat interaksi antara ukuran agregat, kandungan bahan organik, dan stabilitas agregat. Interaksi tersebut akan mempengaruhi bentuk pelekatan, laju infiltrasi, dan faktor kehilangan tanah (erosi). Penggunaan bahan organik untuk ameliorasi bahan tanah tekstur berpasir dengan karakteristik bahan tanah mengandung 10% pasir kasar, 69.6% pasir halus, 7.6% debu, 12.8% liat, 0.29% bahan organik, dan 3.5% CaCO 3 telah dilaporkan oleh Sokolov et al. (2005). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian bahan organik dapat memperbaiki agregat, porositas, dan kapasitas menahan air dari bahan tanah. Menetapkan komponen kunci yang mengendalikan kemantapan agregat sangat penting untuk kegiatan penelitian yang terkait dengan struktur tanah. Struktur tanah yang baik akan memudahkan aliran udara dan air ke dalam tanah, germinasi, pertumbuhan akar tanaman dan mengurangi erosi. Kemantapan agregat sangat tergantung pada kandungan bahan organik dan dinamika liat di dalam tanah jika kondisi tanah tersebut miskin akan agens pemantap agregat tanah seperti liat, oksida, dan hidroksida. Adapun fraksi organik yang berperan sebagai agens pemantap agregat adalah biomassa mikroorganisme, polisakarida, bahan humik, dan lipid. Dua mekanisme kemantapan agregat oleh bahan organik tanah yang diyakini adalah: (i) peningkatan kohesi agregat melalui pengikatan partikel primer oleh senyawa organik atau secara fisik melalui sistem jaring miselium fungi atau filamen akar, dan (ii) penurunan tingkat pembasahan, secara perlahan mengurangi laju aliran air yang masuk selama pembasahan agregat. Bahan organik yang sudah mengalami proses dekomposisi dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme di dalam tanah, memiliki sifat hidrofobik, dan meningkatkan
44 kohesi antar partikel (Annabi et al. 2007). Akar, bulu-bulu akar tanaman, bahan organik yang bersifat labil (biomassa karbon mikroorganisme, partikel C organik, karbohidrat dan miselium fungi) berperan dalam memelihara dan memperbaiki agregasi tanah. Bahan-bahan tersebut merupakan salah satu indikator kunci terhadap penilaian kualitas tanah untuk pengelolaan pertanian dan perkebunan yang berkelanjutan (Balashov & Bazzoffi 2003). Tsadilas et al. (2005) melaporkan bahwa setelah tiga tahun aplikasi bahan organik pada tanah Typic Xerochrept
menghasilkan
korelasi
yang
positif
terhadap
peningkatan
produktivitas tanaman, kapasitas menahan air, jumlah air tersedia dan laju infiltrasi, tetapi berkorelasi negatif terhadap kerapatan lindak dan indeks kestabilan agregat. Pengaruh pemberian kompos asal kotoran ternak terhadap morfologi dan sifat kimia tanah berpasir (Typic Torripsamment) dilaporkan oleh Wahba (2007). Agregasi dan kapasitas tukar kation meningkat pada bahan tanah setelah dua tahun aplikasi dengan kompos tersebut. Karakteristik pembentukan agregat pada tanah tekstur berpasir sangat unik karena
menyangkut
eksopolisakarida
mekanisme
dengan
tanah
interaksi tekstur
antara
berpasir
bakteri
atau
bahan
penghasil organik.
Ketidakstabilan agregat pada jenis tanah tekstur berpasir merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan tanaman yang dicirikan dengan tidak adanya agregasi yang baik dari butir-butir tanah yang kasar. Butir–butir tanah lepas satu sama lain sehingga jumlah pori drainasenya tergolong tinggi dan kemampuan menahan air, nutrisi, dan memegang akar tanaman sangat rendah. Menurut Bhardwaj et al. (2007) karakteristik tanah tekstur berpasir adalah kemampuan memegang air yang rendah dan drainase berlebihan sehingga ketersediaan air dan pupuk yang dapat digunakan oleh tanaman sangat rendah. Informasi mengenai potensi eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri dalam pembentukan agregat pada bahan tanah berpasir masih sangat terbatas. Sebanyak 5-16% populasi bakteri yang dapat dihitung dengan teknik penghitungan cawan dapat mensintesis eksopolisakarida. Pelekatan sel pada permukaan partikel tanah dan antar sel lainnya melalui suatu matrik kompleks yang terdiri atas beragam substansi polimer ekstraselular yaitu eksopolisakarida, protein dan DNA (Ramey et al. 2004).
45 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: (i) menguji pembentukan agregat pada Fraksi Pasir Rendah (FPR), Fraksi Pasir Sedang (FPS), dan Fraksi Pasir Tinggi dengan pemberian bakteri penghasil eksopolisakarida, (ii) menguji agregasi bahan tanah tekstur berpasir dengan pemberian: (a) jerami segar, (b) kompos jerami, dan (c) kombinasi bakteri penghasil eksopolisakarida dan jerami segar atau kompos jerami, (iii) mengetahui gambaran fisik interaksi yang terbentuk antara eksopolisakarida bakteri dengan bahan tanah tekstur berpasir dan (iv) menguji agregasi bahan tanah tekstur berpasir dengan pemberian fungi.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikroba dan Bioproses, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan-Bogor, Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah-Bogor, Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Jakarta, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-November 2009. Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir Tiga jenis bahan tanah dengan fraksi pasir sekitar 20 [Rendah (FPR)], 60 [Sedang (FPS)], dan 80% [Tinggi (FPT)] masing-masing diambil di kedalaman 0-20 cm. Bahan tanah FPR diambil dari tanah Typic Epiaquept, sedangkan FPS dan FPT diambil dari tanah Typic Udipsamment. Analisis yang dilakukan meliputi: analisis fraksi pasir, N (metode Kjeldahl), P 2 O 5 dan K 2 O (ekstrak HCl 25%), MgO (AAS), KTK (metode Bower-Soil Survey Staff, 1993), Al 2 O 3 dan Fe 2 O 3 , pH tanah dalam suspensi air 1:2.5 (w/v) - pH meter, dan C-organik metode Walkley-Black (Eneje et al. 2007). Ketiga jenis bahan tanah tersebut masing-masing ditimbang seberat satu kg dan dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas. Sterilisasi tanah dilakukan dengan menggunakan Gamma radiasi 50 KGray selama 11 jam. Bakteri penghasil eksopolisakarida (BPE) ditumbuhkan di dalam 1 000 ml Erlenmeyer yang berisi 300 ml medium ATCC no. 14. Biakan ditumbuhkan pada suhu 28 0C selama
46 72 jam di atas mesin pengocok dengan kecepatan 200 rpm. Sel bakteri kemudian disentrifugasi dan dicuci dengan menggunakan akuades steril sebelum digunakan untuk percobaan. Sebanyak
108-109 CFU
(colony-forming
unit)
suspensi
sel
BPE
diinokulasikan secara aseptik ke dalam masing-masing kantong berisi satu kg bahan tanah steril tersebut. Inkubasi dilakukan pada temperatur 28oC selama 30, 60, dan 90 hari dalam kondisi statis. Sebagai pembanding digunakan bahan tanah tanpa inokulan. Peubah yang diamati pada setiap akhir inkubasi adalah: (i) indeks kemantapan agregat (Amezketa et al. 2003; Canton et al. 2009), dan (ii) retensi air tanah (Tan 1996; Kurnia et al. 2006; Bhardwaj et al. 2007). Untuk mengetahui fisik eksopolisakarida dan interaksinya pada bahan tanah tekstur berpasir dilakukan pengamatan dengan scanning electron microscope (SEM). Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Adapun perlakuan yang diujikan adalah: (i)
Fraksi pasir rendah (FPR)
(ii)
FPR + 108 CFU suspensi BPE
(iii)
FPR + 109 CFU suspensi BPE
(iv)
Fraksi pasir sedang (FPS)
(v)
FPS + 108 CFU suspensi BPE
(vi)
FPS + 109 CFU suspensi BPE
(vii)
Fraksi pasir tinggi (FPT)
(viii) FPT + 108 CFU suspensi BPE (ix)
FPT + 109 CFU suspensi BPE
Data yang diperoleh diolah dengan analisis sidik ragam dan apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Steel & Torrie 1980).
Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dan Bahan Organik dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir Sebanyak 500 kg jerami padi dicacah sehingga diperoleh cacahan 2.5–5.0 cm. Dalam kegiatan ini juga digunakan jerami yang dikomposkan. Teknik pengomposan dilakukan dengan menggunakan 0.325% (b/b) bioaktivator
47 SuperDec (Goenadi & Santi 2006) dan diinkubasi selama 28 hari pada temperatur 28 oC. Karakteristik kimia jerami dan kompos jerami yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 9. Tabel 9
Karakteristik kimia jerami padi dan kompos jerami yang digunakan dalam penelitian Jenis bahan
N (%) Jerami padi 0.74 Kompos jerami 1.55
P (%) 0.20 0.48
K (%) 1.31 2.49
Mg (%) 0.15 0.40
C-org (%) 33.2 23.3
C/N 44.86 15.05
Kegiatan ini menguji FPR dan salah satu bahan tanah tekstur berpasir berdasarkan potensi BPE dalam membentuk kemantapan agregat pada tahap kegiatan sebelumnya. Persiapan bahan tanah dan inokulan BPE dilakukan seperti pada kegiatan studi interaksi bakteri penghasil eksopolisakarida dengan bahan tanah tekstur berpasir. Setiap campuran bahan tanah beserta jerami atau kompos jerami yang disiapkan tersebut, terlebih dahulu disterilisasi dengan Gamma radiasi 50 KGray selama 11 jam sebelum diinokulasi dengan BPE. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan sebagai berikut: (i)
1 kg bahan tanah FPR + 108 CFU suspensi BPE
(ii)
1 kg bahan tanah FPR + 2% (b/b) jerami
(iii) 1 kg bahan tanah FPR + 2% (b/b) kompos jerami (iv) 1 kg bahan tanah FPR + 2% (b/b) jerami + 108 CFU suspensi BPE (v)
1 kg bahan tanah FPR + 2% (b/b) kompos jerami + 108 CFU suspensi BPE
(vi) 1 kg bahan tanah FPS + 108 CFU suspensi BPE (vii) 1 kg bahan tanah FPS + 2% (b/b) jerami (viii) 1 kg bahan tanah FPS + 2% (b/b) kompos jerami (ix) 1 kg bahan tanah FPS + 2% (b/b) jerami + 108 CFU suspensi BPE (x)
1 kg bahan tanah FPS + 2% (b/b) kompos jerami + 108 CFU suspensi BPE
Inkubasi dilakukan pada temperatur 28 oC selama 30, 60, dan 90 hari dalam kondisi statis. Peubah yang diamati pada akhir inkubasi 30, 60, dan 90 hari meliputi: (i) indeks kemantapan agregat (Amezketa et al. 2003; Canton et al. 2009) dan (ii) retensi air tanah (Tan 1996; Kurnia et al. 2006; Bhardwaj et al. 2007).
48 Sementara itu, kegiatan penelitian untuk menguji pembentukan agregat pada FPS yang diinokulasi dengan dua kelompok fungi yaitu Phanerochaete chrysosporium (Basidiomycetes) dan Aspergillus niger (Ascomycetes) dilakukan dengan rancangan percobaan sebagai berikut: (i)
1 kg bahan tanah FPS
(ii)
1 kg bahan tanah FPS + 107 propagul suspensi A. niger
(iii) 1 kg bahan tanah FPS + 106 propagul suspensi P. chrysosporium (iv) 1 kg bahan tanah FPS + 108 propagul suspensi A. niger (v)
1 kg bahan tanah FPS + 107 propagul suspensi P. chrysosporium Data yang diperoleh diolah dengan analisis sidik ragam dan apabila ada beda
nyata dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5% (Steel & Torrie 1980).
Analisis Scanning Electron Microscope Analisis tampilan fisik eksopolisakarika BPE dan interaksinya pada FPS dilakukan dengan menggunakan teknik scanning electron microscopy (SEM). Analisis ini dilaksanakan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung. Spesifikasi alat scanning electron microscope yang digunakan dalam penelitian ini adalah RDCMCT tipe JEOL 6360LA. Pada tahap awal, bahan contoh diratakan dengan alat khusus. Apabila bahan contoh kurang kering maka terlebih dahulu dihampa-udarakan selama tiga jam. Bahan contoh dicoating dengan platina dan ditembak dengan neutron. Selanjutnya bahan contoh dimasukkan ke dalam alat (SEM) dan dilakukan pemilihan gambar yang diinginkan melalui monitor alat tersebut.
Hasil Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dengan Bahan Tanah Tekstur Berpasir Dalam tahap awal penelitian di laboratorium digunakan tiga jenis bahan tanah yang memiliki kandungan fraksi pasir berbeda yaitu bahan tanah dengan kandungan fraksi pasir (FP) sekitar 20 (FPR), 60 (FPS), dan 80% (FPT). Tahapan ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran awal potensi bakteri penghasil
49 eksopolisakarida dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir. Fraksi pasir rendah (FPR) digunakan sebagai pembanding. Analisis fraksi pasir bahan tanah yang digunakan dalam penelitian disajikan secara lengkap pada Tabel 10.
Tabel 10 Analisis fraksi pasir, debu, dan liat yang digunakan untuk studi interaksi bakteri penghasil eksopolisakarida Fraksi pasir (%)
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
Rendah (FPR)
21.37
32.85
45.78
Kelas Tekstur Liat
Sedang (FPS)
59.80
35.20
5.00
Lempung berpasir
Tinggi (FPT)
86.50
12.44
1.06
Pasir berlempung
Hasil analisis terhadap bahan tanah tekstur berpasir (Lempung berpasir dan Pasir berlembung) yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa nilai kapasitas tukar kation, N, P, dan Mg, serta aluminium dan besi oksida rendah. Kadar C-organik bahan tanah tersebut juga tergolong sangat rendah (Tabel 11). Bahan tanah dengan kadar fraksi pasir 59.8-86.5% ini tidak memiliki struktur sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada agregasi di dalam bahan tanah ini.
Tabel 11 Analisis kimia fraksi pasir bahan tanah asal Kalimantan Tengah Fraksi Pasir Rendah
N (ppm) 2 170
P2O5 K2O (ppm) (ppm) 380 10
Sedang
1 260
180
Tinggi
1 260
180
MgO (ppm) 6
KTK (me/100g) 9.03
Al 2 O 3 (%) 2.100
Fe 2 O 3 (%) 0.500
pH 4.65
C-organik (%) 2.67
10
5
3.83
0.770
0.100
4.08
1.65
10
3
2.08
0.013
0.010
4.39
0.83
Pengujian interaksi B. cenocepacia strain KTG dengan bahan tanah yang terkait dengan kemampuan B. cenocepacia strain KTG membentuk agregat bahan tanah FPR, FPS dan FPT masa inkubasi 30, 60 dan 90 hari secara lengkap disajikan pada Tabel 12.
50 Tabel 12
Pengaruh pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG terhadap indeks kemantapan agregat bahan tanah dengan waktu inkubasi 30, 60, dan 90 hari
Perlakuan Fraksi Pasir Rendah (FPR) FPR + 108 CFU B. cenocepacia FPR + 109 CFU B. cenocepacia
*)
Indeks kemantapan agregat 30 hari inkubasi 60 hari inkubasi 90 hari inkubasi 109.3 a A*) 118.0 b A 100.9 a A 109.4 a B 194.0 a A 101.9 a B 118.1 a B 125.0 b A 114.3 a C
Fraksi Pasir Sedang (FPS) FPS + 108 CFU B. cenocepacia FPS + 109 CFU B. cenocepacia
68.3 b B 114.8 a B 113.9 a A
Fraksi Pasir Tinggi (FPT) FPT + 108 CFU B. cenocepacia FPT + 109 CFU B. cenocepacia
tdk terdeteksi tdk terdeteksi tdk terdeteksi
110.6 b A 132.0 a A 111.0 b A
118.0 a A 94.2 a C 109.2 a A
tdk terdeteksi tdk terdeteksi tdk terdeteksi
tdk terdeteksi tdk terdeteksi tdk terdeteksi
Angka dalam kolom (huruf kecil) dan baris (huruf besar) yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05).
Berdasarkan hasil pada Tabel 12 diketahui bahwa B. cenocepacia strain KTG belum dapat membentuk agregasi pada FPT. Agregasi yang terbentuk pada FPR dan FPS rata-rata meningkat pada hari ke-60 inkubasi. Perbedaan jumlah inokulan B. cenocepacia strain KTG 108 atau 109 CFU yang diinokulasikan pada FPR dan FPS tidak signifikan dalam mempengaruhi nilai indeks kemantapan agregat dari masing-masing bahan FPR dan FPS.
Nilai indeks kemantapan
agregat tertinggi FPR dan FPS diperoleh dari pemberian 108 CFU B. cenocepacia strain KTG pada perlakuan masa inkubasi 60 hari. Peubah
lain
yang
diamati
terhadap
peran
bakteri
penghasil
eksopolisakarida dalam agregasi bahan tanah tekstur berpasir adalah air tersedia yang terdapat pada bahan tanah uji seperti yang disajikan pada Tabel 13. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 30 hari, nilai air tersedia pada FPR dan FPT lebih tinggi dengan pemberian 108-109 CFU B. cenocepacia strain KTG. Selanjutnya untuk masa inkubasi 60 dan 90 hari, pemberian 108 CFU inokulan B. cenocepacia strain KTG berpengaruh nyata terhadap nilai air tersedia di dalam FPS dan FPT jika dibandingkan terhadap perlakuan kontrol (tanpa inokulan). Inokulasi B. cenocepacia strain KTG pada FPS memberikan pengaruh yang lebih nyata terhadap air tersedia jika dibandingkan dengan inokulasi dalam FPR.
Jumlah air tersedia sangat erat hubungannya dengan pembentukan
51 mikroagregat. Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa di dalam FPR, selain peran eksopolisakarida bakteri, pembentukan mikroagregat dapat diperantarai oleh bahan organik yang kadarnya di dalam FPR cukup tinggi (2.67%) jika dibandingkan di dalam FPS (1.65%). Sementara itu, pembentukan mikroagregat dalam FPS sebagian besar karena peran eksopolisakarida asal B. cenocepacia strain KTG yang diinokulasikan ke dalam FPS tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peran eksopolisakarida dalam agregasi akan terlihat lebih nyata di dalam bahan tanah apabila agens lainnya yang mempengaruhi agregasi terutama bahan organik, kadar liat, dan kation rendah. Tabel 13 Air tersedia pada FPR, FPS, dan FPT yang diinokulasi B. cenocepacia strain KTG dengan masa inkubasi 30,60, dan 90 hari
*)
Perlakuan Fraksi Pasir Rendah (FPR) FPR + 108 CFU B. cenocepacia FPR + 109 CFU B. cenocepacia
Air tersedia (% volume)**) 30 hari 60 hari 90 hari 5.8 b*) 11.1 a 4.9 b 6.4 ab 11.9 a 5.7 b 7.8 a 11.7 a 9.0 a
Fraksi Pasir Sedang (FPS) FPS + 108 CFU B. cenocepacia FPS + 109 CFU B. cenocepacia
6.2 a 6.9 a 6.5 a
5.9 c 13.2 a 12.8 b
3.5 b 7.3 a 6.0 ab
Fraksi Pasir Tinggi (FPT) FPT + 108 CFU B. cenocepacia FPT + 109 CFU B. cenocepacia
4.5 b 5.8 a 5.8 a
6.3 c 8.3 a 7.1 b
6.5 ab 7.4 a 6.3 b
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05).
**)
Nilai pori air tersedia : < 5 = sangat rendah; 5-10 = rendah; 10-15 = sedang; 15-20 tinggi; > 20 = sangat tinggi (Kurnia et al. 2006).
Jumlah air tersedia pada FPR, FPS, dan FPT secara umum mengalami peningkatan pada masa inkubasi hari ke-60 dan menurun pada hari ke-90. Fenomena ini sejalan dengan proses agregasi yang dinyatakan dalam indeks kemantapan agregat. Sejalan dengan lama waktu inkubasi tanpa penambahan nutrisi dari lingkungan luar, maka akan terjadi penurunan aktivitas bakteri penghasil eksopolisakarida. Ketidakstabilan agregat akan terjadi kembali jika jumlah agens pengikat dalam hal ini eksopolisakarida juga menurun. Ketidakstabilan agregat terutama yang terkait dengan mikroagregat akan berpengaruh terhadap jumlah air tersedia.
52 Istilah tekstur tanah berkaitan dengan kisaran ukuran partikel tanah, dalam hal ini tekstur tanah merupakan perbandingan relatif ukuran partikel pasir, debu, dan liat. Berdasarkan klasifikasi ukuran partikel yang dinyatakan oleh USDA, pasir memiliki diameter 2.0-0.05 mm, debu 0.05-0.002 mm, dan liat < 0.002 mm. Pembentukan koloni bakteri yang melapisi butir partikel primer memiliki pengaruh penting di dalam sifat utama struktur tanah. Peran eksopolisakarida dalam meningkatkan kemantapan agregat terutama sebagai agens pengikat atau perekat. Peran eksopolisakarida bakteri B. cenocepacia strain KTG yang menyerupai perekat di dalam FPS dapat dilihat melalui elektron mikroskop (Gambar 5).
x 150
100 µm
(a)
x 150
100 µm
(b) Gambar 5 Fraksi pasir sedang (FPS) tanpa inokulasi B. cenocepacia strain KTG [(a) perbesaran 150x] dan dengan inokulasi B. cenocepacia strain KTG [(b), perbesaran 150x]
53 Studi Interaksi Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dan Bahan Organik dengan Bahan Tanah Studi interaksi ini dikembangkan atas dasar potensi B. cenocepacia strain KTG dalam membentuk agregasi pada bahan tanah FPR dan FPS.
Peran
B. cenocepacia strain KTG dalam agregasi FPR dan FPS dilihat melalui interaksi tunggal dengan FPR dan FPS atau interaksinya bersama dengan bahan organik (jerami dan kompos jerami). Potensi B. cenocepacia strain KTG dalam berinteraksi tunggal dengan FPR dan FPS ataupun interaksinya bersama bahan organik (jerami dan kompos jerami) terkait dengan agregasi dalam FPR dan FPS secara lengkap disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Studi interaksi bakteri penghasil eksopolisakarida dan bahan organik dengan bahan tanah, waktu inkubasi 30, 60, dan 90 hari Perlakuan Fraksi Pasir Rendah (FPR) + 108 CFU B. cenocepacia FPR+ 2% (b/b) jerami FPR+ 2% (b/b) kompos jerami FPR+ 2% (b/b) jerami + 108 CFU B. cenocepacia FPR+ 2%(b/b) kompos jerami+108 CFU B. cenocepacia
Indeks Kemantapan Agregat Waktu inkubasi 30 hari 124.5 ab A*) 156.7 a A 132.4 ab A 137.9 ab A 107.7 b C
60 hari 125.0 b A 111.0 c B 105.0 d A 106.0 d B 177.0 a A
90 hari 53.7 b B 114.8 a B 109.0 a A 129.8 a A 138.9 a B
Fraksi Pasir Sedang (FPS) + 108 CFU B. cenocepacia 126.9 a B 185.0 a A 78.5 b C FPS+ 2% (b/b) jerami 128.9 a B 179.0 a A 130.5 a B FPS+ 2% (b/b) kompos jerami 118.0 a B 202.0 a A 123.9 a B FPS+ 2% (b/b) jerami + 108 CFU B. cenocepacia 123.2 a B 194.0 a A 113.7 a B FPS+2% (b/b) kompos jerami+108 CFU B. cenocepacia 118.8 a B 132.0 b A 130.3 a A *) Angka dalam kolom (huruf kecil) dan baris (huruf besar) yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05).
Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 14 tersebut diketahui bahwa untuk nilai indeks kemantapan agregat pada FPR, interaksi B. cenocepacia strain KTG dengan kompos jerami memberikan hasil yang lebih tinggi pada ikubasi 60 dan 90 hari. Fenomena agregasi yang terjadi di dalam FPR berbeda jika dibandingkan dengan FPS. Interaksi tunggal B. cenocepacia strain KTG di dalam FPS pada masa inkubasi 30 dan 60 hari menghasilkan nilai indeks kemantapan agregat yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Indeks kemantapan agregat pada FPS tertinggi dihasilkan dari pemberian kompos
54 jerami dan interaksi jerami dengan 108 CFU B. cenocepacia strain KTG pada masa inkubasi 60 hari. Untuk mengetahui potensi B. cenocepacia strain KTG di dalam agregasi bahan tanah FPS, maka sebagai pembanding dilakukan pula penelitian mengenai potensi agregasi yang dilakukan oleh fungi. Dalam hal ini potensi fungi yang diuji adalah kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes. Hasil pengujian tersebut disajikan pada Tabel 15. Berdasarkan hasil pada Tabel 15 diketahui bahwa dalam pembentukan agregat FPS, potensi P. chrysosporium lebih baik jika dibandingkan dengan A.niger. Pemberian 107 propagul P. chrysosporium di dalam FPS memberikan nilai indeks kemantapan agregat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa inokulan atau dengan inokulasi A. niger pada semua masa inkubasi yang diuji di dalam penelitian ini. Selanjutnya potensi P. chrysosporium digunakan sebagai pembanding terhadap peran tunggal B. cenocepacia strain KTG, jerami, dan kompos jerami dalam membentuk agregat bahan tanah FPS. Tabel 15 Pengaruh interaksi suspensi miselium fungi terhadap pembentukan agregat pada fraksi pasir sedang (FPS), waktu inkubasi 30, 60, dan 90 hari Indeks Kemantapan Agregat 30 hari 60 hari 90 hari inkubasi inkubasi inkubasi FPS 68.3 b B*) 110.6 ab A 118.0 d A 7 FPS + 10 propagul A. niger 73.4 b B 103.7 b A 106.0 e A FPS + 106 propagul P. chrysosporium 88.7 ab B 107.6 ab B 177.0 b A FPS + 108 propagul A. niger 80.9 b B 102.1 b B 152.0 c A FPS + 107 propagul P. chrysosporium 112.2 a C 122.3 a B 180.0 a A *) Angka dalam kolom (huruf kecil) dan baris (huruf besar) yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05). Perlakuan
Secara teoritis, pembentukan agregat dalam bahan tanah FPS akan mempengaruhi ketersediaan air pada bahan tersebut. Ketersediaan air untuk tanaman pada umumnya dapat bertahan di pori mikro. Penggunaan bakteri penghasil eksopolisakarida untuk memantapkan agregat tanah terutama karena kemampuan bakteri dapat tumbuh dan berkembang di dalam pori mikro. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pembentukan mikroagregat sebagian besar merupakan peran dari bakteri (Hattori 1988; Mummey & Stahl 2004; Bronick &
55 Lal 2005). Oleh karena itu, tahap penelitian ini menyajikan data yang diperoleh dari pengukuran air tersedia di dalam FPS dari perlakuan pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG, jerami, kompos jerami dan P. chrysosporium. Data pengukuran tersebut ditampilkan pada Gambar 6. Berdasarkan data yang ditampilkan pada Gambar 6, terlihat bahwa pada masa inkubasi 30 hari, pemberian jerami segar menghasilkan nilai air tersedia yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jumlah air tersedia rata-rata perlakuan akan semakin menurun sejalan dengan makin lamanya waktu inkubasi. Peran B. cenocepacia strain KTG dalam pembentukan mikroagregat dapat dianalisis melalui jumlah air tersedia (% volume) yang terukur sampai dengan hari ke-90 inkubasi.
Gambar 6
Hubungan antara waktu inkubasi FPS dengan pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG, jerami, kompos jerami dan inokulan P. chrysosporium terhadap air tersedia.
Dalam hal ini, FPS yang diberi inokulan B. cenocepacia strain KTG mengandung jumlah air tersedia yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pada FPS yang diberi inokulan B. cenocepacia strain KTG, jerami, kompos jerami, dan P. chrysosporium menghasilkan nilai air tersedia yang
56 sangat berbeda nyata terhadap perlakuan kontrol (tanpa penambahan) di dalam setiap masa inkubasi yang dilakukan dalam penelitian ini.
Pembahasan Pengambilan bahan tanah merupakan tahapan yang penting untuk penetapan sifat fisik tanah di laboratorium. Dalam penelitian ini, peubah yang diamati terkait dengan peran bakteri penghasil eksopolisakarida dalam agregasi tekstur tanah berpasir terhadap sifat fisik tanah meliputi indeks kemantapan agregat dan retensi air tanah. Penggunaan bahan tanah yang dikemas kembali (artificial) untuk pengujian laboratorium sesuai dengan rancangan perlakuan yang diinginkan dapat memberikan hasil yang tidak mewakili bahan tanah di tempat asal. Oleh karena itu, penekanan penting dalam penelitian ini terletak pada konsep pengujian menggunakan metode penyiapan awal bahan tanah (FPR, FPS, dan FPT) dengan teknik preparasi bahan yang seragam diikuti pemberian perlakuan dan pengamatan dengan intensitas ulangan yang cukup untuk mendapatkan pola hubungan yang konsisten. Tingkat kemantapan agregat yang dihasilkan dari aktivitas bakteri penghasil eksopolisakarida dipengaruhi oleh komposisi fraksi pasir, debu, dan liat. Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi B. cenocepacia strain KTG belum memberikan hasil yang nyata dalam meningkatkan agregasi FPR bila dibandingkan terhadap perlakuan kontrol (tanpa inokulan). Ini disebabkan di dalam bahan tanah dengan fraksi pasir rendah (FPR), kandungan liat masih cukup tinggi. Dominasi fraksi liat dalam FPR lebih berperan dalam pembentukan agregat pada bahan tersebut. Peran B. cenocepacia strain KTG dalam agregasi FPR lebih dapat diamati berdasarkan waktu inkubasi. Indeks kemantapan agregat pada FPR yang diinokulasi dengan 108- 109 CFU B. cenocepacia strain KTG mengalami peningkatan yang sangat nyata pada hari ke-60 inkubasi jika dibandingkan hari ke-30 dan 90. Fenomena ini tidak terjadi pada perlakuan tanpa inokulan. Indeks kemantapan agregat FPR tanpa inokulan tidak berbeda nyata dalam setiap masa inkubasi. Peran B. cenocepacia strain KTG dalam membentuk agregat lebih nyata di dalam FPS. Pemberian 108 CFU B. cenocepacia strain KTG ke dalam satu kg FPS
57 mampu meningkatkan indeks kemantapan agregat FPS pada inkubasi 30 dan 60 hari. Indeks kemantapan agregat FPS meningkat masing-masing sebesar 68.1% (inkubasi 30 hari) dan 19.3% (inkubasi 60 hari) terhadap kontrol (tanpa inokulan). Indeks kemantapan agregat FPS dengan perlakuan ini meningkat secara nyata pada hari ke-60 inkubasi jika dibandingkan inkubasi 30 dan 90 hari. Kemantapan agregat tidak terbentuk pada bahan FPT yang diberi inokulan B. cenocepacia strain KTG. Ini disebabkan karena dominasi fraksi pasir yang sangat tinggi di dalam FPT (86.5%) sehingga pengaruh perekatan oleh eksopolisakarida rendah. Di lain pihak perlu dicermati bahwa kondisi lingkungan di dalam bahan tanah sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri dan berdampak terhadap jumlah eksopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri. Kemantapan agregat bahan FPR dan FPS sangat berkorelasi dengan akumulasi sel bakteri. Hasil penghitungan populasi B. cenocepacia strain KTG pada bahan tanah tersebut menunjukkan bahwa pada inkubasi 30 dan 60 hari, populasi bakteri ratarata 107-108 CFU/g contoh tanah. Sedangkan pada masa inkubasi 90 hari populasi B. cenocepacia strain KTG mengalami penurunan yaitu 105 – 106 CFU/g contoh tanah. Pada dasarnya bakteri dapat tumbuh di dalam lingkungan tanah dengan fraksi pasir yang tinggi. Penghitungan populasi B. cenocepacia strain KTG di dalam FPT yang dilakukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa populasi B. cenocepacia strain KTG dalam FPT rata-rata sama dengan FPR dan FPS. Hasil ini mendukung penelitian Shales & Kumarasingham (1987) bahwa bakteri dapat melekat pada partikel tanah berpasir dengan jumlah populasi 2 x 109 CFU/gram bahan tanah. Berdasarkan pengamatan dengan menggunakan mikroskop elektron yang dilakukan dalam penelitian ini terlihat bahwa butiran FPS tanpa inokulasi B. cenocepacia strain KTG tampak lepas. Sementara itu, FPS yang diinokulasi dengan 108 CFU B. cenocepacia strain KTG terlihat ada pelekatan butir satu dengan lainnya melalui penyelubungan eksopolisakarida dan menghasilkan kumpulan partikel (agregat) dengan ukuran diameter 100 µm.
Menurut
Gardner et al. (1999) ukuran rata-rata diameter mikroagregat mendekati 100 µm. Mikroagregat tersusun dari partikel berukuran kecil dan material koloid lainnya. Kemantapan agregat pada bahan tanah tekstur berpasir dengan kadar liat yang
58 sangat rendah (5%) dalam penelitian ini dapat mengoptimalkan peran bakteri penghasil eksopolisakarida sebagai agens agregasi. Pembentukan mikroagregat sangat penting karena berhubungan dengan terbentuknya ruang pori air tersedia. Kurnia et al. (2006) mengatakan untuk mengetahui hubungan antara tanah, air, dan tanaman dikenal konsep air tersedia bagi tanaman. Air tersedia bagi tanaman adalah kisaran nilai kandungan air di dalam tanah, dan sesuai untuk kebutuhan pertumbuhan tanaman. Kondisi ini berkaitan erat dengan kemampuan tanah dalam menahan air atau disebut retensi tanah yang didefinisikan sebagai kemampuan tanah dalam menyerap atau menahan air di dalam pori-pori tanah dan melepaskannya dari dalam pori-pori tanah. Adapun faktor yang mempengaruhi proses tersebut tergantung pada tekstur dan struktur tanah, pori tanah meso dan mikro, drainase, iklim dan hujan. Pembentukan mikroagregat di dalam suatu bahan tanah dapat dianalisis melalui ketersediaan air di dalam pori kapiler. Pada umumnya jumlah air yang terdapat di dalam pori kapiler yang berada di antara mikroagregat merupakan jumlah air tersedia yang dapat digunakan oleh tanaman. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa penyediaan air di dalam FPS dan FPT karena terbentuknya kemantapan agregat oleh perlakuan B. cenocepacia strain KTG dengan masa inkubasi 60 dan 90 hari nyata lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan kontrol. Pemberian inokulan 108-109 CFU B. cenocepacia strain KTG berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai kerapatan lindak FPS dengan masa inkubasi 60 dan 90 hari jika dibandingkan perlakuan tanpa inokulan. Sementara untuk FPT perbedaan nilai kerapatan lindak hanya terjadi pada masa inkubasi 30 hari. Di lain pihak, nilai kerapatan lindak FPR tanpa atau dengan inokulan untuk semua masa inkubasi yang dilakukan dalam penelitian ini tidak berbeda nyata. Dekomposisi bahan organik (asal tumbuhan) akan menghasilkan agens pengikat seperti polisakarida, lipid, dan bahan humik (Abiven et al. 2008). Karbon organik tanah dapat terlindungi dari penguraian lanjut melalui empat mekanisme yaitu penjerapan oleh liat (proteksi kimia), inkorporasi ke dalam agregat (proteksi secara fisik), translokasi dan tersimpan di dalam subsoil, terutama di horizon Bh, dan transformasi secara biokimia ke dalam bentuk produk
59 yang resisten terhadap dekomposisi oleh mikroorganisme tanah (proteksi secara biokimia) (Sarkhot et al. 2007). Inokulasi B. cenocepacia strain KTG di dalam FPR dengan penambahan 2% kompos jerami masa inkubasi 60 hari memberikan indeks kemantapan agregat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan dan masa inkubasi lainnya. Kondisi ini karena ketersediaan karbon organik dari kompos jerami dapat dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan sel B. cenocepacia strain KTG. Namun demikian, untuk masa inkubasi 90 hari, nilai indeks kemantapan dengan perlakuan tersebut turun. Keterbatasan nutrisi dan berkurangnya daya dukung lingkungan terhadap pertumbuhan B. cenocepacia strain KTG di dalam FPR diperkirakan merupakan salah satu penyebab bakteri tersebut tidak dapat tumbuh secara optimal dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada FPS, interaksi B. cenocepacia strain KTG dengan bahan tanah FPS atau dengan jerami dan kompos jerami masa inkubasi 60 hari menghasilkan indeks kemantapan agregat FPS yang tinggi. Fenomena ini dapat menjelaskan mekanisme agregasi yaitu didahului dengan proses interaksi jerami atau kompos jerami dan adaptasi B. cenocepacia strain KTG dengan FPS yang terjadi pada awal inkubasi sampai hari ke-30, selanjutnya dengan kondisi lingkungan yang optimal, agregasi dapat terbentuk lebih baik karena jerami atau kompos jerami telah berinteraksi dan terintegrasi dengan bahan FPS. Dalam masa ini, pertumbuhan sel B. cenocepacia strain KTG dan ekskresi eksopolisakarida juga memasuki tahap optimum. Namun dengan semakin berkurangnya nutrisi tersedia yang dihasilkan dari jerami atau kompos jerami serta semakin banyak sel bakteri yang mati maka agregasi yang terbentuk juga mengalami penurunan. Pengaruh agregasi oleh bahan organik bersifat sementara. Traore et al. (2000) melaporkan bahwa agregasi yang terbentuk oleh musilage hanya berlangsung selama 14 hari di dalam tanah dengan kadar 17% liat, dan selanjutnya masing-masing 30 dan 42 hari di dalam tanah dengan 25 dan 45% liat. Lebih lanjut seperti yang dinyatakan oleh Oztas et al. (1999) bahwa komposisi fraksi liat dan pasir di dalam suatu bahan tanah dapat mempengaruhi kemantapan agregat.
60 Atas dasar pengujian agregasi bahan FPS dengan inokulasi fungi kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes diketahui bahwa agregasi yang terbentuk pada FPS yang diinokulasi P. chrysosporium (Basidiomycetes) lebih tinggi nilai indeks kemantapan agregatnya apabila dibandingkan dengan yang diinokulasi A. niger. Penelitian ini mendukung hasil yang diperoleh Caesar-TonThat & Cochran (2001) bahwa fungi Basidiomycetes memiliki kemampuan mengikat dan menstabilkan partikel tanah ke dalam agregat yang stabil. Adanya kemampuan tersebut karena fungi mengeluarkan sejumlah besar senyawa ekstraselular yang tidak dapat larut air dan dapat berfungsi sebagai agens perekat partikel tanah. Pembentukan agregat tanah yang diperantarai oleh fungi dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu melalui muatan, pelekatan, dan jaring miselium. Miselium fungi akan mengisi ruang pori secara efisien. Fungi mengeluarkan beberapa eksudat senyawa ke lingkungan tempat tumbuhnya. Senyawa tersebut termasuk enzim yang berperan dalam proses dekomposisi, polisakarida, dan glikoprotein yang berfungsi untuk melindungi dan lubrikasi matriks tanah di sekitar miselium dan terutama terdapat pada bagian ujung miselium. Senyawa tersebut bersifat adesif sebagai perantara pelekatan partikel tanah satu dengan lainnya. Udara yang mengisi ruang pori merupakan faktor utama yang berpengaruh nyata terhadap penyebaran spora fungi di dalam tanah. Salah satu peubah yang berhubungan dengan agregasi adalah nilai air tersedia (% volume). Nilai air tersedia di dalam FPS dengan pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG, P. chrysosporium, jerami, dan kompos jerami pada semua masa inkubasi berbeda nyata terhadap kontrol (tanpa perlakuan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam masa inkubasi 30 hari, jumlah air tersedia di dalam FPS dengan pemberian jerami memberikan nilai yang paling tinggi jika dibandingkan dengan pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG atau P. chrysosporium. Selanjutnya dengan semakin lama waktu inkubasi yang diberikan, maka nilai air tersedia pada FPS dengan pemberian jerami mengalami penurunan yang paling tajam apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini mungkin disebabkan laju dekomposisi jerami di dalam FPS mulai menurun sehingga pembentukan gugus aktif dari bahan organik (jerami) yang berperan dalam proses agregasi juga berkurang. Karena kandungan liat rendah pada FPS,
61 maka proteksi secara kimia (penjerapan liat) menjadi suatu pembatas bagi keberadaan karbon organik tanah. Demikian pula kandungan kation yang rendah atas dasar pengukuran pada bahan tanah (FPS) uji juga menjadi pembatas terhadap pembentukan ikatan liat-kation-dan kompleks bahan organik. Namun demikian untuk hasil tersebut masih diperlukan justifikasi lebih lanjut dengan teknik pelabelan C untuk memastikan proses atau laju dekomposisi yang terjadi pada jerami di dalam FPS. Pemberian kompos jerami pada FPS memberikan nilai air tersedia yang relatif stabil selama pengukuran 30-90 hari inkubasi. Dinamika proses agregasi yang terjadi pada FPS yang diberi kompos jerami adalah kemampuan inkorporasi bahan kompos melalui kohesi liat, membentuk kompleks liat-organik menjadi suatu agregat. Aktivitas B. cenocepacia strain KTG dan P. chrysosporium mungkin lebih berperan dalam agregasi FPS yang diuji dalam kegiatan penelitian ini. Sampai dengan masa inkubasi hari ke-90 diketahui bahwa air tersedia pada FPS yang diinokulasi B. cenocepacia strain KTG memberikan nilai yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pertumbuhan sel bakteri di dalam pori mikro mendukung pembentukan mikroagregat secara intensif seperti yang diilustrasikan pada Gambar 7. d
c Gambar 7 Agregat terdiri atas beberapa mikroagregat (a); pori di antara mikroagregat (b) diisi oleh bakteri (b1); dan di dalam pori antar agregat (c) berkembang sel tunggal (d) atau suatu koloni bakteri, fungi dan aktinomiset (e). (Krasil'nikov 1958).
62 Porositas tanah mempengaruhi difusi udara dan pergerakan air di dalam tanah. Secara umum, tanah dengan tingkat agregasi yang baik mengandung sekitar 50% ruang pori dan 50% partikel padat per volume tanah. Pada tanah masif, nilai porositas berkisar 25%, sedangkan tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi mencapai 60%. Pori makro atau disebut juga pori aerasi merupakan pori yang terdapat di antara agregat tanah. Pergerakan air melalui profil tanah (infiltrasi) di dalam pori ini relatif cepat. Sementara itu, pori mikro merupakan pori di dalam agregat. Pergerakan air di dalam pori yang berdiameter kecil ini tidak cepat. Pada prinsipnya, air akan terpegang lebih erat di dalam mikroagregat jika dibandingkan dengan makroagregat. Berdasarkan penelitian ini, inokulasi P. chrysosporium ke dalam bahan FPS memberikan peningkatan air tersedia hanya sampai hari ke-60 inkubasi. Ritz & Young (2004) melaporkan bahwa adanya peningkatan pengikatan air di dalam tanah berkorelasi sangat nyata terhadap pertumbuhan P. chrysosporium. Pada hari ke-90 inkubasi terjadi penurunan terhadap nilai air tersedia. Fenomena yang dapat dijelaskan adalah miselium fungi bersifat temporer mengikat mikro dan makroagregat. Menurut Ritz & Young (2004) ada keterkaitan antara status nutrisi dalam tanah dengan jaringan miselium yang menyelubungi butir partikel primer. Jika kondisi nutrisi tersedia bagi pertumbuhan fungi, maka jaringan miselium yang terbentuk akan lebih tebal. Oleh karena itu, keterbatasan nutrisi di dalam lingkungan bahan tanah uji mungkin menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan fungi dan fungsi miselium dalam pelekatan butir partikel. Interaksi bakteri, fungi tingkat tinggi dan tingkat rendah yang mengkolonisasi bahan organik dalam tanah dan dapat tumbuh secara sinergis merupakan fenomena yang cukup menarik untuk diteliti lebih lanjut terkait dengan agregasi tekstur tanah berpasir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemantapan agregat oleh eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG pada bahan tanah tekstur berpasir (FPS) hanya dapat bertahan selama 90 hari. Setelah hari ke-90 inkubasi pada umumnya proses agregasi yang terbentuk yang dinyatakan dalam nilai indeks kemantapan agregat dan pengukuran nilai air tersedia mengalami penurunan. Oleh karena itu yang harus diperhatikan dalam teknik inokulasi dalam media tanah
63 berpasir adalah inokulasi BPE harus dilakukan kembali setelah 90 hari pemberian inokulan BPE. Hal ini akan digunakan sebagai acuan untuk pelaksanaan kegiatan di lapang pada bibit kelapa sawit dengan jangka waktu pengamatan enam bulan di pembibitan utama (main nursery) yang akan diuraikan dalam bab berikutnya.
Kesimpulan Eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG meningkatkan indeks kemantapan agregat FPS lebih nyata terhadap kontrol dibandingkan pada FPR. Nilai air tersedia pada bahan tanah FPS dan FPT yang diinokulasi B. cenocepacia strain KTG dengan masa inkubasi 60 dan 90 hari nyata lebih tinggi jika dibandingkan perlakuan kontrol. Interaksi bakteri penghasil eksopolisakarida dan bahan organik dengan bahan tanah FPS tidak nyata antar perlakuan dalam satu periode inkubasi. Interaksi lebih nyata terjadi pada perbandingan inkubasi antara 30, 60, dan 90 hari. Khusus untuk bahan tanah FPS, penambahan 2% (b/b) kompos jerami dan 108 CFU B. cenocepacia strain KTG memberikan nilai indeks kemantapan agregat yang cukup baik dan stabil sampai dengan 90 hari inkubasi. Peran B. cenocepacia strain KTG membentuk agregat berdasarkan nilai air tersedia (% volume). Potensi dalam FPT masih rendah dibandingkan dalam FPS. Pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG dalam FPS menghasilkan nilai air tersedia yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pemberian jerami, kompos jerami dan P. chrysosporium dalam masa inkubasi 90 hari.
UJI KEEFEKTIFAN BAKTERI PENGHASIL EKSOPOLISAKARIDA DALAM MEDIA BAHAN TANAH TEKSTUR BERPASIR DAN VEGETATIF BIBIT KELAPA SAWIT SESUAI DENGAN KONDISI DI LAPANG Pendahuluan Pengembangan tanaman kelapa sawit telah dilakukan secara luas di Indonesia baik di kawasan barat maupun di kawasan timur Indonesia. Potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan kelapa sawit umumnya cukup bervariasi, yaitu lahan berpotensi tinggi, lahan berpotensi sedang, dan lahan yang berpotensi rendah. Pada saat ini areal berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya, dan areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah yang berpotensi sedang – rendah. Areal berpotensi rendah – sedang tersebut memiliki faktor pembatas untuk pengembangan kelapa sawit yang meliputi: (i) faktor iklim yaitu jumlah bulan kering yang berkisar 2-3 bulan/tahun yang menggambarkan penyebaran curah hujan yang tidak merata dalam setahun, (ii) topografi areal yang berbukit-bergunung dengan kelerengan 25 – 40% (areal dengan kemiringan lereng di atas 40% tidak disarankan untuk pengembangan tanaman kelapa sawit), (iii) kedalaman efektif tanah yang dangkal, terutama pada daerah dengan jenis tanah yang memiliki kandungan batuan yang tinggi dan kondisi drainase kurang baik, (iv) lahan gambut, (v) drainase yang jelek pada dataran pasang surut, dataran aluvium, dan lahan gambut (vi) potensi tanah sulfat masam pada daerah dataran pasang surut (Goenadi et al. 2005b). Menurut Pahan (2008), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman yaitu: (i) innate, (ii) induce, dan (iii) enforce. Faktor innate adalah faktor yang terkait dengan genetik tanaman. Faktor ini bersifat mutlak dan sudah ada sejak terbentuknya embrio dalam biji. Faktor induce adalah faktor yang mempengaruhi ekspresi genetik sebagai pengaruh faktor lingkungan yang terkait dengan keadaan buatan manusia. Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, faktor induce berperan mulai dari pembibitan sampai dengan pemeliharaan tanaman di lapangan. Faktor enforce adalah faktor lingkungan (alam) yang bisa bersifat merangsang atau menghambat pertumbuhan dan produksi tanaman. Umumnya faktor ini tidak dapat dikendalikan manusia secara langsung, tetapi
65 dampak negatifnya bisa dikurangi dengan memperbaiki faktor induce. Faktor enforce yang paling jelas pengaruhnya terhadap tanaman kelapa sawit yaitu faktor keadaan tanah (edafik) dan iklim. Sunarko (2009) mengatakan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh di beberapa jenis tanah seperti podsolik, latosol, regosol, andosol, dan aluvial. Beberapa jenis dan kondisi tanah yang tidak sesuai bagi pengembangan budidaya kelapa sawit di antaranya drainase buruk, banyak mengandung mineral besi (laterit) dan tanah pasir. Sifat fisik tanah merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman. Sifat fisik tanah tersebut adalah tekstur, struktur, konsistensi, permeabilitas, kedalaman tanah (solum), dan kedalaman permukaan air tanah. Ciri fisik tanah yang sesuai untuk kelapa sawit di antaranya tanah yang gembur, subur, bertekstur lempung berpasir, struktur tanah kuat dan drainase baik serta memiliki permeabilitas sedang. Sifat fisik tanah yang penting bagi pengembangan budidaya kelapa sawit menurut Fairhurst & Hardter (2003) adalah tekstur, struktur, kedalaman tanah, dan keberadaan batuan atau gravel yang mungkin akan menghalangi penetrasi akar kelapa sawit. Sementara itu sifat fisik lainnya yang perlu diperhatikan adalah keberadaan lapisan tebal gambut dan sulfat masam yang dapat menimbulkan permasalahan dalam hal sifat kimia dan fisik tanah. Pada Oxisol dan Ferasol yang telah mengalami pelapukan lanjut mengandung sejumlah besar Fe dan lebih dari 70% liat. Di dalam tanah ini terbentuk agregat yang cukup stabil dengan porositas yang baik sehingga akar kelapa sawit dapat menempati sebagian besar volume di dalam tanah tersebut. Namun demikian, adanya kandungan Fe dapat menghambat sistem perkembangan akar kelapa sawit (Fairhurst & Hardter 2003). Fraksi liat berkontribusi terhadap kapasitas tanah dalam hal memelihara kelembaban dan hara tanaman. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah dengan kandungan liat yang lebih tinggi akan memiliki kelembaban dan hara yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanah tekstur berpasir. Agregat tanah yang bagus dengan porositas baik akan merangsang proliferasi akar. Selain itu pula, perakaran kelapa sawit akan dapat memperoleh kelembaban pada zona tanah yang lebih dalam. Kondisi ini akan menunjang pertumbuhan kelapa sawit yang juga sangat dipengaruhi oleh curah hujan tahunan. Penetrasi akar pada kedalaman tanah tertentu akan mengurangi
66 resiko tanaman tumbang karena angin. Sebaliknya pada tanah tekstur berpasir baik lempung berpasir atau pasir kasar tidak sesuai untuk budidaya tanaman kelapa sawit. Hal ini karena tanah jenis tersebut rentan terhadap pencucian. Pertumbuhan kelapa sawit di hutan Kerangas, Kalimantan sangat buruk. Budidaya tersebut dilakukan di wilayah dengan dominasi fraksi pasir yang sangat tinggi. Untuk mengatasi produktivitas rendah akibat tingkat kesuburan tanah yang rendah, salah satunya adalah pemberian pupuk dalam jumlah yang besar. Tanah lempung berpasir dapat dipertimbangkan untuk lahan budidaya kelapa sawit hanya jika ditunjang dengan teknik pengelolaan tanah menggunakan bahan organik dari kotoran hewan atau mulsa dari tandan kosong kelapa sawit yang diperlukan untuk memperoleh produksi optimum (Fairhurst & Hardter 2003). Lempung berliat berpasir (SCL), liat masif (C), dan liat berpasir (SC) memiliki porositas dan kapasitas memegang air rendah sehingga pertumbuhan akar tidak dapat maksimal. Pada umumnya untuk mengatasi keterbatasan struktur dan tekstur pada tanah berpasir dengan menggunakan bahan amelioran tanah untuk memperbaiki struktur dan kelembaban tanah serta kapasitas menyimpan hara tanaman.
Lebih lanjut Fairhurst & Hardter (2003) mengatakan bahwa
struktur yang ideal untuk pengembangan budidaya kelapa sawit adalah liat (C ), liat berpasir (SC), lempung berliat (CL) dan lempung liat berdebu (SiCL). Berdasarkan katagori kesesuaian lahan untuk budidaya kelapa sawit, tanah tekstur berpasir yang tidak masuk dalam katagori tersebut adalah jenis Psamments atau Spodosol (Soil Survey Staf 1999), Regosol atau Podzols (FAO 1990). Tanah berpasir memiliki sejumlah keterbatasan fisik dan kimia tanah yaitu : (i) miskin akan tumbuhan penutup pada permukaan tanah sehingga temperatur pada tanah tinggi, (ii) kandungan liat rendah, menyebabkan struktur tanah labil, kapasitas tukar kation rendah, dan defisiensi unsur hara makro-mikro, (iii) drainase berlebih yang menyebabkan defisit air pada musim kemarau. Sebagai upaya memperbaiki keterbatasan tersebut, biasanya digunakan tandan kosong kelapa sawit dalam jumlah yang besar (> 40 ton/ha/lima tahun) untuk menurunkan temperatur pada permukaan tanah dan meningkatkan aktivitas biologi tanah. Berbagai usaha dilakukan untuk meningkatkan jumlah dan kualitas hasil panen tandan buah segar (TBS) untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan produksi bioenergi. Selain
67 usaha perluasan areal perkebunan, juga dengan intensifikasi yaitu penggunaan varietas unggul, pupuk, dan pestisida. Namun kelangsungan usaha peningkatan produksi ini terganggu oleh adanya indikasi bahwa kesuburan tanah perkebunan makin menurun atau terdegradasi. Ini akibat dari eksploitasi lahan secara intensif termasuk karena penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang berlebihan dalam waktu lama. Upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut di antaranya adalah dengan menggunakan pupuk anorganik bersama dengan bahan ameliorasi tanah. Penggunaan pupuk, khususnya pupuk anorganik dan pupuk organik, atau pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan pembenah tanah (amelioran) atau pupuk hayati telah terbukti dapat meningkatkan hasil panen pada tanah berkesuburan marginal (Goenadi & Santi 2009). Khusus untuk provinsi Kalimantan Tengah, wilayah pengembangan budidaya kelapa sawit sebagian besar telah masuk ke wilayah dengan tanah tekstur berpasir. Jenis tanah ini memiliki faktor pembatas berupa agregasi tidak mantap sehingga membatasi pertumbuhan akar dan produksi tanaman. Bagaimanapun juga, upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini masih sangat terbatas. Solusi yang diperlukan diperkirakan dapat dirumuskan jika interaksi antara mikroorganisme tanah, mineral, dan komponen organik tanah dipahami. Dalam upaya mengoptimalkan penggunaan bahan tanah tekstur berpasir yang banyak dijumpai di lingkungan perkebunan PT Astra Agro Lestari, Tbk, suatu teknologi bioameliorasi berbahan aktif bakteri penghasil eksopolisakarida digunakan untuk ameliorasi bahan tanah tekstur berpasir pada media tanam di pembibitan utama. Prinsip utama dalam ameliorasi adalah perbaikan sifat fisik dan kimia tanah untuk meningkatkan kapasitasnya mendukung pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Introduksi bakteri ke dalam tanah melalui aplikasi bioamelioran berbahan aktif bakteri pemantap agregat tanah tekstur berpasir pada bibit kelapa sawit di pembibitan utama diharapkan dapat menciptakan kondisi optimal bagi proses pelepasan hara pupuk dan penyerapannya oleh akar tanaman. Dari hasil penelitian yang banyak dilakukan di negara-negara berkembang khususnya kawasan Asia dan Pasifik dilaporkan bahwa pemanfaatan bakteri tanah
68 untuk tanaman pangan dan perkebunan telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produktivitas tanaman (Isherwood 2002; Goenadi et al. 2005a).
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan : (i) keefektifan bakteri penghasil eksopolisakarida (dalam bentuk bioamelioran) terhadap kemantapan agregat bahan tanah dengan dominasi fraksi pasir pada kondisi lapang dan dampaknya terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit, dan (ii) menganalisis pembentukan agregat bahan tanah tekstur berpasir di lapang dengan indikator kapasitas menahan air.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan pembuatan bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG dan analisis hara tanah dan daun dilakukan di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Bogor. Pengujian keefektifan B. cenocepacia strain KTG dalam bahan tanah tekstur berpasir dengan bioindikator vegetatif bibit kelapa sawit di pembibitan awal (pre nursery) dan pembibitan utama (main nursery) dilakukan di Pusat Riset PT Astra Agro Lestari, Kalimantan Tengah. Sementara itu, analisis kerapatan lindak dan air tersedia dilakukan di Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Rangkaian penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009-Oktober 2010.
Pembuatan Pembenah Tanah Hayati (Bioamelioran) Pemilihan
bahan
pembawa
untuk
bioamelioran
didasarkan
pada
ketersediaan bahan pembawa dengan harga yang relatif murah tetapi memiliki mutu yang baik untuk mempertahankan viabilitas dan aktivitas bahan aktif. Tahapan pembuatan bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG sebagai berikut: (i) sterilisasi 95% (b/b) bahan pembawa, (ii) kultivasi stater dan perbanyakan B. cenocepacia strain KTG di dalam biofermentor, (iii) inkorporasi B. cenocepacia strain KTG ke dalam bahan pembawa, (iv) pelapisan dengan mineral liat, dan (v) pengantongan.
69 Uji Keefektifan Bakteri Penghasil Eksopolisakarida sebagai Bioamelioran terhadap Agregasi Bahan Tanah Tekstur Berpasir Uji keefektifan BPE terhadap agregasi bahan tanah tekstur berpasir dilakukan di pembibitan utama (main nursery) PT Astra Agro Lestari, Tbk. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan sembilan perlakuan dan empat ulangan. Sebanyak sepuluh bibit kelapa sawit digunakan untuk setiap perlakuan, sehingga jumlah total bibit kelapa sawit yang digunakan dalam penelitian ini = 9 perlakuan x 4 ulangan x 10 bibit = 360 bibit. Bahan tanah untuk media bibit kelapa sawit adalah bahan tanah yang berasal dari Typic Udipsamment. Adapun desain acak pada penempatan blok perlakuan di pembibitan utama sebagai berikut :
Blok I
D
F
B
G
C
I
A
H
E
Blok II
I
H
F
E
C
A
B
G
D
Blok III
E
F
H
B
D
G
I
A
C
Blok IV
F
I
E
B
C
H
D
G
A
Kecambah kelapa sawit jenis Dura x Pisifera (DxP) terlebih dahulu ditumbuhkan dalam satu kg bahan tanah di pre nursery. Setelah disemaikan selama tiga bulan, bibit kelapa sawit dipilih untuk memperoleh bahan tanaman yang seragam. Bibit kelapa sawit selanjutnya ditanam dalam kantong plastik hitam berukuran 40 x 60 cm, berisi 20 kg bahan tanah yang telah disiapkan seperti tersebut di atas. B. cenocepacia strain KTG digunakan sebagai bahan aktif bioamelioran yang dikemas dalam bentuk butiran berdiameter 2-3 mm. Peubah yang diamati terdiri dari: (i) tinggi bibit, (ii) jumlah daun, (iii) diameter batang (bowl), dan (iv) panjang dan lebar daun ke-1 dan ke-3. Pada saat umur bibit 6 bulan di main nursery dilakukan penetapan: (i) berat kering daun, (ii) pelepah, (iii) batang (bowl), (iv) akar, (v) analisis retensi hara daun (N, P, K, Mg), dan (vi) tanah (pH, N, P 2 O 5 , K 2 O, MgO, C-organik), dan (vii) retensi air tanah (Tan 1996; Kurnia et al. 2006)
70 Filosofi penggunaan bioamelioran sebagai pembenah tanah berdasarkan asumsi bahwa dengan meningkatkan kapasitas tanah melalui perbaikan agregasi bahan tanah tekstur berpasir akan berdampak terhadap ketersediaan dan penyerapan nutrisi yang optimal bagi bibit kelapa sawit. Pada dasarnya kebutuhan hara dari pupuk berfungsi menutup kekurangan nutrisi antara yang dapat disediakan oleh tanah dan yang dibutuhkan tanaman. Untuk mengetahui dosis optimal kebutuhan nutrisi dapat ditetapkan melalui pengujian beberapa tingkat dosis pupuk yang dikombinasikan dengan penggunaan bioamelioran. Dosis pupuk dapat dikatakan optimal jika jumlah pupuk yang diberikan dapat menghasilkan pertumbuhan vegetatif atau bobot kering terbaik serta sesuai dengan standar acuan pertumbuhan bibit kelapa sawit (jenis D x P) yang telah ditetapkan dari lembaga yang memberikan sertifikasi bibit tersebut. Adapun sembilan perlakuan untuk pengujian bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG terhadap pembentukan agregat bahan tanah sebagai berikut: (A) 100% pupuk konvensional (NPK-Mg) dosis standar (B) 100 g bioamelioran + 100% pupuk konvensional (NPK-Mg) dosis standar (C) 100 g bioamelioran + 75% dari dosis standar (D) 100 g bioamelioran + 50% dari dosis standar (E) 50 g bioamelioran + 100% pupuk konvensional (NPK-Mg) dosis standar (F) 50 g bioamelioran + 75% dari dosis standar (G) 50 g bioamelioran + 50% dari dosis standar (H) 100 g bioamelioran (Kontrol) (I)
50 g bioamelioran (Kontrol) Jenis pupuk konvensional yang diberikan yaitu NPKMg 15.15.6.4.TE dan
12-12-17-2.TE. Pemberian pupuk NPKMg dilakukan sesuai dengan dosis aplikasi pemupukan di kebun pada umur bibit 5-47 minggu (Lampiran 2). Pengamatan pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit dilakukan selama sembilan bulan yaitu tiga bulan di pembibitan awal (pre nursery) dan enam bulan di pembibitan utama (main nursery). Aplikasi bioamelioran dilakukan setiap tiga bulan sekali sesuai dengan hasil pengujian efektivitas agregasi B. cenocepacia strain KTG di laboratorium. Dalam kegiatan penelitian di pembibitan utama, aplikasi bioamelioran dilakukan pada saat bibit kelapa sawit berumur satu dan empat
71 bulan dengan cara dibenamkan dalam lubang di samping batang bibit kelapa sawit sejauh kurang lebih 7-10 cm dan ditutup kembali dengan tanah Hasil Pembuatan Pembenah Tanah Hayati (Bioamelioran) Teknologi pembuatan bioamelioran berorientasi pada pemanfaatan bakteri penghasil eksopolisakarida untuk memperbaiki kapasitas bahan tanah tekstur berpasir. Beberapa prinsip proses penyiapan inokulan untuk bahan aktif dilakukan melalui teknik perbanyakan dan optimasi inokulan serta persiapan inokulum dalam biofermentor. Alur proses pembuatan bioamelioran secara keseluruhan harus dapat menjamin efisiensi kerja dan mutu bioamelioran yang dihasilkan. Hal penting lainnya adalah ketersediaan bahan baku utama dan mutu bahan baku yang digunakan untuk proses produksi. Konsep pengembangan bioamelioran berdasarkan pada teknologi bioproses yang efisien yaitu bersifat sederhana, berbahan baku murah dan melimpah, serta menghasilkan produk yang efektif. Dalam proses inkorporasi bakteri ke dalam bahan pembawa hal yang harus diperhatikan adalah menjaga kelembaban tertentu dan mengoptimal populasi bakteri di dalam bahan pembawa. Bahan pembawa terdiri dari dua komponen utama yaitu zeolit granul dan mineral liat. Masing-masing bahan pembawa disterilisasi terlebih dahulu di dalam oven bersuhu 1050C selama 4 jam. Zeolit granul digunakan sebagai inti granulasi, sementara mineral liat digunakan sebagai pelapis dan pengikat. Pencampuran bahan dilakukan dengan menggunakan double-cone mixer selama 5 menit disertai dengan inokulasi bakteri ke dalam bahan pembawa dengan menggunakan sprayer bertekanan tinggi. Tahap akhir dari proses pembuatan bioamelioran ini adalah pengantongan bahan. Untuk mengevaluasi kualitas bioamelioran agregat berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG (Gambar 8) hal utama yang dilakukan adalah pengontrolan terhadap jumlah atau populasi bakteri bahan aktif baik sebelum proses granulasi (dari medium cair) maupun setelah proses granulasi (sampling bioamelioran). Pengontrolan populasi bakteri dapat dilakukan dengan teknik sederhana menggunakan metode hitungan cawan (plate count). Populasi B. cenocepacia strain KTG yang digunakan sebagai starter awal sebelum inkorporasi ke dalam bahan pembawa
72 sebanyak 2.4 x 1010 CFU/ml. Selanjutnya berdasarkan penghitungan kembali terhadap bahan jadi bioamelioran yang dilakukan secara sampling diketahui bahwa populasi B. cenocepacia strain KTG rata-rata mencapai 1.5 x 108 CFU/g bioamelioran. Pengawasan mutu bioamelioran juga diarahkan secara langsung kepada tingkat populasi bakteri di dalam formula bahan pembawa dalam suatu periode masa penyimpanan tertentu (Tabel 16).
Gambar 8
Tabel 16
Bioamelioran granul (diameter 2-3 mm) dengan bahan aktif B. cenocepacia strain KTG.
Populasi B. cenocepacia strain KTG di dalam formula bioamelioran agregat
Bakteri bahan aktif B. cenocepacia
1 1.7 x 108
Jumlah bakteri (CFU/g) Bulan ke3 5 7 7.6 x 107 5.4 x 107 4.0 x 107
9 1.1 x 107
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa populasi B. cenocepacia strain KTG cukup stabil sampai sembilan bulan masa simpan bioamelioran. Populasi B. cenocepacia strain KTG rata-rata mencapai 107 CFU per gram. Tingkat viabilitas yang cukup tinggi ini mengindikasikan ada kesesuaian bahan aktif terhadap bahan pembawa bioamelioran agregat. Sementara itu, hasil penghitungan kadar air pada bioamelioran agregat berkisar antara 14.5-15.0% dan memiliki pH 7.4. Melalui teknik produksi dan aplikasi yang relatif sederhana dalam menghasilkan bioamelioran maka pengembangan riset laboratorium ke tingkat lapang memiliki nilai kelayakan yang tinggi untuk dapat direalisasikan dalam skala yang lebih luas.
73 Uji Keefektifan Bakteri Penghasil Eksopolisakarida dalam Bioamelioran terhadap Agregasi Bahan Tanah Tekstur Berpasir Pada tahap awal kegiatan, bibit disiapkan sampai umur tanam 3 bulan di pre nursery (Gambar 9) dengan menggunakan bahan tanah yang mengandung fraksi pasir, debu dan liat berturut-turut 61.3 ; 22.9; dan 15.8%. Data pertumbuhan bibit umur 3 bulan di pre nursery dengan dan tanpa perlakuan bioamelioran agregat disajikan pada Tabel 17. Berdasarkan data tersebut terdapat indikasi bahwa pemberian bioamelioran sebanyak 2.5 g (0.25% b/b) yang dikombinasikan dengan 50-100% pupuk NPKMg cenderung memberikan pertumbuhan yang lebih baik terhadap panjang dan lebar daun pertama. Uji keefektifan bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG terhadap perbaikan sifat fisik dan kimia tanah melalui indikator pertumbuhan bibit kelapa sawit ini dilanjutkan di main nursery (Gambar 10).
Gambar 9
Pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 3 bulan di pre nursery di dalam bahan tanah fraksi pasir 61.3%.
Bahan tanah dengan spesifikasi yang sama dengan perlakuan di pre nursery digunakan untuk pengujian pertumbuhan bibit kelapa sawit di main nursery. Bahan tanah ini memiliki kadar fraksi pasir 61.3% dengan karakter pori air tersedia sedang dan kandungan C-organik tergolong rendah (Tabel 18). Perlakuan aplikasi pupuk di dalam media tanah dengan kadar fraksi pasir 61.3% tersebut sampai bulan ke-6 pengamatan menunjukkan bahwa pengurangan dosis pupuk NPKMg 25-50% yang dikombinasikan dengan 50-100 g bioamelioran/bibit (perlakuan C-G) menghasilkan tinggi, jumlah daun, diameter batang, lebar dan
74 panjang daun pertama, serta lebar dan panjang daun ke-3 yang tidak berbeda nyata dengan penggunaan 100% NPKMg dosis standar kebun. Perlakuan 75% NPKMg dari dosis standar yang dikombinasikan dengan 100 g bioamelioran/bibit (perlakuan C) menghasilkan nilai tertinggi pada jumlah daun, diameter batang, lebar daun ke-1 dan panjang daun ke-3 jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya termasuk 100% NPKMg dosis standar kebun (Tabel 19). Nilai bobot kering daun, pelepah, batang, dan akar yang dihasilkan dengan perlakuan bioamelioran agregat tersebut rata-rata lebih tinggi 1.9% (daun), 10.5% (pelepah), 17.2% (batang), dan 23.2% (akar). Sementara itu, jika dilihat dari persentase bobot kering total terhadap perlakuan 100% NPKMg dosis standar kebun maka pemberian 100 g bioamelioran/bibit yang dikombinasikan dengan pemberian pupuk NPKMg 75% dari dosis standar kebun menghasilkan kenaikan bobot kering sebesar 10.1% (Tabel 20). Keragaan bibit kelapa sawit umur enam bulan di main nursery disajikan pada Gambar 11-13. Tabel 17
Pertumbuhan bibit kelapa sawit umur 3 bulan (pre nursery) di dalam bahan tanah dengan fraksi pasir 61.3%
Lebar daun ke-I (cm) (A)100% pupuk NPK-Mg dosis standar 23.0 a*) 3.8 a 0.67 a 15.2 b 3.7 c (B) 5.0 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg) 23.4 a 3.8 a 0.66 a 15.1 b 3.8 bc (C) 5.0 g bioamelioran + 75 % (NPK-Mg) 22.9 a 3.9 a 0.64 a 15.7 ab 3.9 abc (D) 5.0 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg) 23.1 a 3.9 a 0.69 a 16.2 ab 4.2 a (E) 2.5 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg) 23.7 a 3.7 a 0.65 a 16.9 a 4.1 ab (F) 2.5 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg) 22.8 a 3.9 a 0.67 a 16.0 ab 4.2 a (G) 2.5 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg) 23.3 a 3.8 a 0.69 a 16.4 ab 4.0 ab (H) 5.0 g bioamelioran 22.6 a 3.8 a 0.66 a 15.8 ab 3.9 abc (I) 2.5 g bioamelioran 22.9 a 3.8 a 0.69 a 15.9 ab 3.9 abc Koefisien keragaman (%) 3.8 4.3 8.6 4.9 4.3 *) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05). Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah daun (helai)
Diameter batang (cm)
Panjang daun ke-I (cm)
75
Gambar 10
Tabel 18
Asal bahan tanah
Pengujian bioamelioran agregat di main nursery kebun PT Gunung Sejahtera Ibu Pertiwi (PT GSIP).
Analisis tanah media pertumbuhan bibit kelapa sawit di pembibitan utama Fraksi tanah (%) pasir 61.3
F11-GSDI
debu 22.9 N
Kerapatan lindak liat (g/cc) 15.8 1.11 P2O5
Air tersedia (%) 13.8 K2O
Daya hantar Clistrik organik (dS/m) (%) 0.019 1.6 MgO
----------------------------------------%------------------------------------------0.12 0.004 0.001 0.004
A
B
C
D
Gambar 11 Keragaan bibit kelapa sawit umur 6 bulan dengan perlakuan: 100% pupuk NPKMg (A), 100 g bioamelioran/bibit + 100% NPKMg (B), 100 g bioamelioran/bibit + 75% NPKMg (C), dan 100 g bioamelioran/bibit + 50% NPKMg (D).
76
Tabel 19 Data pertumbuhan bibit kelapa sawit di dalam media bahan tanah fraksi pasir 61.3% dengan waktu pengamatan umur 1-6 bulan di main nursery Tinggi Tanaman
Jumlah daun
Diameter batang
Panjang daun ke-I
Bulan ke-
Bulan ke-
Bulan ke-
Bulan ke-
Perlakuan
1
3
6
1
3
6
(A) 100% pupuk NPK-Mg dosis standar
26.3 a
47.6 a
84.0 a
4.9 a
8.1 a
13.3 a
1.10 ab
(B) 100 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
27.1 a
46.4 a
84.8 a
4.9 a
8.1 a
13.0 a
(C) 100 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
27.6 a
48.6 a
82.9 a
5.1 a
8.2 a
(D) 100 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg)
26.9 a
48.3 a
80.9 a
5.1 a
(E) 50 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
26.8 a
47.1 a
81.3 a
(F) 50 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
27.1 a
45.5 ab
(G) 50 g bioamelioran
27.2 a
(H) 100 g bioamelioran (I) 50 g bioamelioran Koefisien keragaman (%) *)
+ 50% (NPK-Mg)
1
6
1
2.70 a
5.5 a
19.2 a
36.9 ab
64.9 a
1.03 c
2.50 abc
5.4 a
19.4 a
37.5 a
65.7 a
13.4 a
1.04 bc
2.60 ab
5.5 a
19.9 a
38.6 a
64.3 a
8.2 a
12.8 a
1.20 a
2.70 a
5.4 a
18.7 a
36.9 ab
62.9 a
4.9 a
8.2 a
13.3 a
1.10 abc
2.60 a
5.5 a
19.6 a
36.5 ab
63.1 a
81.2 a
4.9 a
8.3 a
13.2 a
1.10 abc
2.70 a
5.4 a
18.8 a
36.8 ab
62.9 a
48.1 a
79.1 a
4.9 a
8.1 a
13.1 a
1.07 bc
2.66 a
5.3 a
19.2 a
37.3 a
62.8 a
26.8 a
42.1 b
60.1 b
4.9 a
7.3 b
10.5 b
1.08 bc
2.30 bc
3.8 b
19.1 a
33.7 c
48.5 b
27.4 a
42.3 b
59.2 b
4.9 a
7.5 b
10.6 b
1.14 ab
2.27 c
3.6 b
19.2 a
34.1 bc
48.2 b
4.1
4.9
5.1
3.5
2.9
4.2
3.8
3.9
5.3
3
6.5
3
6
5.1
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05).
4.5
77
Tabel 19 (Lanjutan)
(Data pertumbuhan bibit kelapa sawit di dalam media bahan tanah fraksi pasir 61.3% dengan waktu pengamatan umur 1-6 bulan di main nursery)
Perlakuan 1
Panjang daun ke-3
Lebar daun ke-3
Bulan ke-
Bulan ke-
Bulan ke-
3
6
1
3
6
1
3
6
(A) 100% pupuk NPK-Mg dosis standar
4.8 a
10.4 b
14.7 a
-
31.20 a
58.8 a
-
8.56 a
12.6 a
(B) 100 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
4.8 a
10.7 ab
13.7 a
-
31.05 a
58.2 ab
-
8.40 a
11.7 ab
(C) 100 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
4.9 a
11.5 a
14.8 a
-
31.65 a
59.1 a
-
8.88 a
12.6 a
(D) 100 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg)
4.9 a
11.4 a
15.2 a
-
30.75 a
57.6 ab
-
8.98 a
12.8 a
(E) 50 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
4.9 a
11.1 ab
15.1 a
-
32.00 a
54.7 b
-
8.81 a
12.6 a
(F) 50 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
4.9 a
11.2 ab
15.3 a
-
31.68 a
56.8 ab
-
8.73 a
13.4 a
(G) 50 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg)
5.1 a
10.9 ab
14.5 a
-
30.43 a
56.9 ab
-
8.99 a
12.4 a
(H)100 g bioamelioran
4.9 a
9.10 c
11.3 b
-
27.48 b
42.2 c
-
7.43 b
9.6 c
(I) 50 g bioamelioran
5.0 a
9.20 c
11.6 b
-
27.98 b
43.3 c
-
7.59 b
10.7 bc
7.6
-
5.5
4.3
-
4.6
9.6
Koefisien keragaman (%) *)
Lebar daun ke-I
3.3
5.2
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05).
78
Tabel 20 Data bobot kering bibit kelapa sawit umur 6 bulan di dalam media bahan tanah fraksi pasir 61.3% Daun
Daun ke-3
Pelepah
Pelepah ke-3
26.3 a
Bobot kering Total 305.4 ab
%Total thd konv. 100
(A)100% pupuk NPK-Mg dosis standar
104.9 a
8.6 a
68.8 ab
4.7 ab
92.1 a
(B) 100 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
104.2 a
8.2 a
78.4 a
4.4 ab
107.9 a
27.0 a
330.1 a
108.1
(C) 100 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
106.9 a
7.9 a
76.0 a
5.1 a
107. 9 a
32.4 a
336.2 a
110.1
(D)100 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg)
82.9 b
7.6 a
60.5 b
4.2 b
84.5 a
31.5 a
271.0 b
88.7
(E) 50 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
94.2 ab
7.8 a
76.7 a
4.5 ab
96.1 a
26.0 a
305.3 ab
99.9
(F) 50 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
101.3 a
7.7 a
76.3 a
4.7 ab
93.8 a
25.8 a
310.3 ab
101.6
(G) 50 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg)
94.1 ab
6.5 b
62.9 b
4.0 b
91.4 a
26.6 a
285.4 b
93.5
(H) 100g bioamelioran
40.2 c
3.5 c
31.3 c
2.2 c
37.4 b
16.0 b
130.5 c
42.7
(I) 50 g bioamelioran
38.1 c
3.3 c
30.9 c
1.8 c
43.5 b
16.5 b
134.0 c
43.9
13.2
9.9
13.2
13.7
18.9
23.5
9.6
Perlakuan
Koefisien keragaman (%) *)
Batang
Akar
Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05).
79
A
H
I
Gambar 12 Keragaan bibit kelapa sawit umur 6 bulan dengan perlakuan: 100% pupuk NPKMg (A), 100 g bioamelioran/bibit (H), dan 50 g bioamelioran/bibit (I).
B
Gambar 13
C
D
E
F
G
Keragaan bibit kelapa sawit umur 6 bulan dengan perlakuan: 100 g bioamelioran/bibit + 100% NPKMg (B), 100 g bioamelioran/bibit + 75% NPKMg (C), 100 g bioamelioran/bibit + 50% NPKMg (D), 50 g bioamelioran/bibit + 100% NPKMg (E), 50 g bioamelioran/bibit + 75% NPKMg (F), dan 50 g bioamelioran/bibit + 50% NPKMg (G).
Hasil analisis kadar hara tanah pada bulan pertama setelah aplikasi pupuk di dalam media tanam ini cukup variatif. Namun demikian secara umum diketahui bahwa kadar N, P, K, Mg dan C-organik di dalam bahan tanah tersebut termasuk
80 katagori rendah sampai sangat rendah. Setelah enam bulan aplikasi dengan bioamelioran agregat dan pupuk NPKMg sesuai dosis perlakuan terjadi peningkatan yang sangat nyata pada kadar hara P 2 O 5, K 2 O dan MgO dan untuk kadar N nyata pada perlakuan 100% dosis NPKMg (perlakuan A) dan 50-100% dosis NPKMg yang dikombinasikan dengan 100 g bioamelioran/bibit (perlakuan B-D) (Gambar 14). Sementara itu, kandungan C-organik di dalam media tanam ini masih relatif stabil dengan katagori kecukupan rendah (Tabel 21). Berdasarkan hasil yang disajikan pada Gambar 14 diketahui bahwa perlakuan 50 g bioamelioran/bibit yang dikombinasikan dengan 75-100% dosis NPKMg standar kebun (perlakuan E dan F) menghasilkan kadar P 2 O 5 total yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya sedangkan untuk kadar K 2 O dan MgO, hasil terbaik diperoleh dari perlakuan 50 g bioamelioran/bibit yang dikombinasikan dengan 75% dosis NPKMg standar kebun (perlakuan F). Kadar hara N dan P yang terkandung di dalam daun bibit kelapa sawit pada perlakuan pemberian pupuk dengan dosis 100% anjuran rata-rata tidak berbeda nyata dengan kadar N dan P daun bibit kelapa sawit dengan perlakuan pengurangan dosis pupuk 25% yang dikombinasikan dengan 50-100 gram bioamelioran/bibit (Tabel 22). Secara umum, serapan hara N, P, K, dan Mg pada daun bibit kelapa sawit setelah enam bulan pemberian pupuk secara berkala sesuai perlakuan yang diberikan menunjukkan kecukupan hara dalam kisaran optimumtinggi atas dasar standar yang dikemukakan oleh Fairhurst & Hardter (2003).
81 0,15
Kadar P2O5 (%)
Kadar N (%)
0,15
0,1
0,1
0,05
0,05 0
0 A
B
C
D
E
F
G
H
A
I
B
C
D E Perlakuan P1
Perlakuan N1
F
G
H
F
G
H
I
P6
N6 0,04
0,06
Kadar MgO (%)
Kadar K2O (%)
0,05 0,04 0,03 0,02
0,03
0,02
0,01
0,01 0
0 A
B
C
D
E
F
Perlakuan K1
K6
G
H
I
A
B
C
D
E
I
Perlakuan Mg1 Mg6
Gambar 14 Peningkatan kadar hara tanah. Keterangan gambar: kadar hara tanah N, P 2 O 5 , K 2 O,dan MgO analisis bulan pertama (N1,P1,K1,Mg1) dan bulan keenam (N6,P6,K6,Mg6): 100% NPKMg (perlakuan A), 100-50% NPKMg yang kombinasi dengan 100 g bioamelioran/bibit (perlakuan B-D), 100-50% NPKMg yang kombinasi dengan 50 g bioamelioran/bibit (perlakuan E-G), serta 100 dan 50 g bioamelioran/bibit (perlakuan H-I).
82
Tabel 21 Data hara tanah fraksi pasir 61.3% media bibit kelapa sawit di main nursery Analisis bulan pertama di main nursery Perlakuan
Analisis bulan keenam di main nursery
N (%)
P2O5 (%)
K2O (%)
MgO (%)
Corganik (%)
N (%)
P2O5 (%)
K2O (%)
MgO (%)
Corganik (%)
(A). 100% pupuk NPK-Mg dosis standar
0.13
0.035
0.025
0.007
1.5
0.15
0.067
0.042
0.016
1.6
(B). 100 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
0.11
0.031
0.017
0.006
1.7
0.14
0.066
0.043
0.015
1.5
(C) 100 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
0.14
0.019
0.023
0.004
1.9
0.14
0.123
0.041
0.017
1.6
(D) 100 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg)
0.13
0.028
0.013
0.005
1.7
0.13
0.055
0.039
0.015
1.5
(E) 50 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg)
0.14
0.016
0.015
0.005
1.8
0.14
0.140
0.035
0.016
1.9
(F) 50 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg)
0.13
0.019
0.014
0.006
1.6
0.14
0.140
0.054
0.027
1.8
(G) 50 g bioamelioran
0.12
0.013
0.010
0.005
1.3
0.13
0.071
0.039
0.009
1.4
(H) 100 g bioamelioran
0.11
0.006
0.001
0.004
1.2
0.11
0.021
0.006
0.004
0.9
(I)
0.11
0.003
0.001
0.004
1.4
0.11
0.024
0.003
0.005
1.2
50 g bioamelioran
+ 50% (NPK-Mg)
83 Hasil percobaan di lapang menunjukkan bahwa jumlah air tersedia di dalam media yang diberi perlakuan bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG (perlakuan B-I), nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian bioamelioran (perlakuan A) (Gambar 15).
Gambar 15
Perbandingan perlakuan tanpa bioamelioran (perlakuan A) dan pemberian bioamelioran B. cenocepacia strain KTG (perlakuan BI) terhadap air tersedia pada bahan tanah berkadar pasir 61.3%.
84
Tabel 22 Data hara daun bibit kelapa sawit umur 6 bulan (main nursery) di dalam media dengan fraksi pasir 61.3%
Perlakuan (A). 100% pupuk NPK-Mg dosis standar (B). 100 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg) (C). 100 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg) (D). 100 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg) (E). 50 g bioamelioran + 100% (NPK-Mg) (F). 50 g bioamelioran + 75% (NPK-Mg) (G). 50 g bioamelioran + 50% (NPK-Mg) (H). 100 g bioamelioran (I). 50 g bioamelioran Koefisien keragaman (%)
N 3.43ab*) 3.43 ab 3.19 b 3.18 b 3.49 ab 3.65 a 3.22 ab 2.07 c 1.85 c 7.8
Jenis analisis (%) P K 0.35 a 0.29 ab 0.30 ab 0.25 bc 0.34 a 0.28 ab 0.26 bc 0.20 cd 0.18 d 12.5
2.49 a 2.13 b 1.96 b 1.76 b 2.12 b 2.10 b 1.88 b 1.01 c 0.73 c 11.5
Mg 0.56 a 0.61 a 0.41 b 0.43 b 0.45 b 0.40 b 0.40 b 0.39 b 0.39 b 10.4
*) Angka dalam kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji jarak ganda Duncan (P>0.05). **) Nilai kecukupan hara daun kelapa sawit berdasarkan Fairhurst dan Hardter (2003): N (%) = <2.50 (defisien), 2.6-2.9 (optimum), >3.1 (tinggi); P(%) = <0.15 (defisien), 0.16-0.19 (optimum), >0.25 (tinggi); K (%) = <1.00 (defisien), 1.1-1.3 (optimum), > 1.8 (tinggi); Mg (%) = <0.20 (defisien), 0.30-0.45 (optimum), >0.70 (tinggi).
86
Pembahasan Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa faktor pembatas pada jenis tanah tekstur berpasir adalah tingkat agregasi yang rendah karena kandungan liat, bahan organik, dan kation yang rendah. Kondisi ini dapat menciptakan defisiensi unsur hara makro dan mikro di dalam bahan tanah tersebut. Tekstur tanah berpasir juga berpengaruh terhadap porositas yang berhubungan langsung dengan pergerakan air di dalam tanah dan tentu saja berdampak terhadap ketersediaan air dan pertumbuhan tanaman. Tekstur tanah berpasir memiliki sejumlah besar pori makro karena penyusunan dan penyatuan antar partikel satu dengan lainnya sangat
rendah.
Oleh
karena
itu,
penggunaan
pembenah
tanah
hayati
(bioamelioran) berbahan aktif bakteri penghasil eksopolisakarida (B. cenocepacia strain KTG) diharapkan dapat mengoptimalkan daya dukung tanah tekstur berpasir melalui peningkatan penyatuan antar partikel primer untuk membentuk agregat. Mutu bioamelioran digolongkan baik jika selama masa penyimpanan tidak terjadi penurunan atau fluktuasi yang sangat tajam dalam hal populasi B. cenocepacia strain KTG. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa terdapat hubungan yang erat antara bentuk perakaran kelapa sawit khususnya bagian percabangan akar terhadap kemampuan tanah menahan akar tersebut dan juga kemampuan menyerap air dan nutrisi di dalam tanah (Jourdan et al. 2000). Pada bibit kelapa sawit, akar primer dan sekunder berfungsi untuk memegang tanah, transport air dan penyerapan nutrisi. Sementara akar tertier dan kuartener berfungsi untuk memperkuat penetrasi akar bibit di dalam media tanam. Pertumbuhan bibit kelapa sawit DxP di dalam tanah kadar pasir 61.3% dengan perlakuan 100% dosis NPKMg standar kebun dan pengurangan 25-50% dosis NPKMg yang dikombinasikan pemberian 50-100 g bioamelioran/bibit cukup baik atas dasar standar pertumbuhan bibit kelapa sawit yang dilaporkan oleh Lubis (2008). Menurut Lubis (2008), standar untuk tinggi, diameter, dan jumlah daun bibit kelapa sawit umur 6 bulan di pembibitan utama (main nursery) masing-masing 80.3 ± 2.5 cm, 4.5 ± 0.15 cm, dan 13.3 ± 0.3 helai. Perbaikan agregasi pada bahan tanah tekstur berpasir dengan pemberian bioamelioran B. cenocepacia strain KTG sebagai agens pemantap agregat sebanyak 100 g/bibit
87
yang dikombinasikan dengan pemberian 50-100% dosis pupuk NPKMg (perlakuan B-D) dapat menghasilkan bobot kering akar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemberian 100% dosis NPKMg tetapi tanpa B. cenocepacia strain KTG (perlakuan A). Bobot kering akar tersebut masing-masing lebih tinggi 2.7% (perlakuan B), 23.2% (perlakuan C), dan 19.8% (perlakuan D) jika dibandingkan dengan perlakuan A. Perbaikan agregasi pada bahan tanah tekstur berpasir yang digunakan sebagai media tumbuh bibit kelapa sawit diharapkan dapat meningkatkan penyerapan unsur hara melalui akar bibit kelapa sawit. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan nilai kecukupan serapan hara daun bibit kelapa sawit yang dikemukakan oleh Fairhurst & Hardter (2003), maka untuk serapan hara daun N, P, K bibit kelapa sawit yang ditumbuhkan di dalam media bahan tanah dengan fraksi pasir 61.3% dengan perlakuan 100% dosis NPKMg (perlakuan A) serta pengurangan 25-50% dosis NPKMg yang dikombinasikan dengan pemberian bioamelioran agregat (perlakuan B-G) tergolong tinggi, sementara untuk Mg tergolong optimum termasuk juga untuk kadar hara Mg daun pada perlakuan blanko (perlakuan H dan I). Secara teoritis, agregasi pada bahan tanah tekstur berpasir akan menyediakan ruang pori bagi air tersedia yang diperlukan untuk membantu difusi unsur hara ke bagian akar tumbuhan dan penyediaan udara bagi perkembangan akar dan mikroorganisme tanah. Mekanisme proses agregasi bahan tanah oleh B. cenocepacia strain KTG yang dapat dijelaskan adalah tahap awal pelekatan secara adesif pada partikel primer oleh flagellum polar B. cenocepacia strain KTG. Teori pelekatan tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Chenu & Stotzky (2002). Biosintesis eksopolisakarida bakteri pada permukaan sel bakteri melalui suatu rangkaian proses yang meliputi pengaktifan prekursor di dalam sitoplasma, pembentukan unit berulang, dan eksport polisakarida ke permukaan sel bakteri. Biosintesis eksopolisakarida ini juga dapat dipengaruhi oleh eksudat akar kelapa sawit. Dilaporkan oleh Fischer et al. (2003) bahwa eksudat akar dapat menginduksi komposisi eksopolisakarida yang dihasilkan oleh Azospirillum brasilense. Kemampuan tanah memegang dan menyimpan air tergantung pada struktur tanah. Struktur tanah tersebut mengacu pada pengelompokan dan penyusunan
88
partikel primer ke dalam agregat yang lebih besar dalam ukuran dan bentuk yang beragam. Proses penetrasi akar, siklus pembasahan dan pengeringan, aktivitas biota tanah yang dikombinasikan dengan bahan organik dan anorganik perekat menghasilkan suatu agregat. Agregat yang stabil menghasilkan serangkaian pori tanah yang dapat dilalui untuk pertukaran udara dan air dengan cepat untuk tanaman. Pertumbuhan bibit kelapa sawit sangat tergantung pada laju pertukaran dan ketersediaan air. Pada tanah tekstur berpasir, stabilitas agregat sulit dipelihara karena kandungan bahan organik, liat, dan kation-kation dalam kompleks jerapan rendah. Oleh karena itu, penyimpanan air tersedia bagi bibit kelapa sawit dapat dilakukan dengan perbaikan kapasitas media tanam melalui pembentukan agregat bahan tanah tekstur berpasir untuk menciptakan pori mikro. Fungsi air tersedia bagi pertumbuhan bibit kelapa sawit sangat vital. Adapun fungsi tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Gardner et al. (1999) adalah : (i) membantu proses pembentukan gula dan karbohidrat dalam proses fotosintesis, (ii) melarutkan dan transport hara pupuk sehingga dapat digunakan oleh seluruh bagian bibit kelapa sawit, (iii) dan mempertahankan kondisi turgor bagi pertumbuhan bibit kelapa sawit. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian B. cenocepacia strain KTG dapat menghasilkan air tersedia yang nyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan media tanpa pemberian B. cenocepacia strain KTG. Jumlah air tersedia dengan pemberian bioamelioran tersebut lebih tinggi 11.2 – 61.6% jika dibandingkan tanpa pemberian bioamelioran. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian di pembibitan utama bibit kelapa sawit, indikasi peran B. cenocepacia strain KTG dalam memantapkan agregat bahan tanah tekstur berpasir dilanjutkan pada areal tanaman menghasilkan (TM) tahun tanam 1994. Sampai dengan penulisan penelitian, pengamatan produktivitas terhadap TM telah memasuki bulan ke-9. Hasil sementara menunjukkan bahwa produktivitas TM uji dengan perlakuan 100%
NPKMg dosis standar kebun tidak berbeda nyata terhadap perlakuan
pengurangan dosis 25-50% yang dikombinasikan dengan pemberian bioamelioran pemantap agregat berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG dengan dosis 5001500 g/pokok/tahun.
89
Kesimpulan Burkholderia cenocepacia strain KTG dapat digunakan sebagai agens hayati pemantap agregat bahan tanah tekstur berpasir. Pertumbuhan, bobot kering bibit kelapa sawit dan nilai air tersedia dalam bahan tanah tekstur berpasir yang diberi 100 g bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG dan 75% dosis pupuk NPK-Mg memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Pengurangan dosis pupuk 25-50% dari dosis standar rata-rata memberikan hasil yang tidak berbeda terhadap pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit, termasuk kadar hara tanah serta N dan P daun bibit kelapa sawit. Pertumbuhan dan kadar hara daun bibit kelapa sawit pada bahan tanah dengan fraksi pasir 61.3% cukup baik dan memenuhi standar kecukupan hara atas dasar standar yang ditetapkan untuk bibit kelapa sawit jenis Dura x Pisifera. Jumlah air tersedia di dalam media yang diberi perlakuan bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian bioamelioran. Dengan kecukupan air tersedia bagi bibit kelapa sawit melalui inokulasi B. cenocepacia strain KTG ke dalam media tumbuh bibit tersebut maka bahan tanah dengan fraksi pasir sekitar 60% dapat digunakan sebagai media tanam di pembibitan utama.
Saran Pengujian bioamelioran berbahan aktif B. cenocepacia strain KTG lebih lanjut diperlukan sebagai upaya menerapkan aplikasi pada skala yang lebih luas di lapang pada tanah dengan dominasi fraksi pasir. Kegiatan pengujian di lapang diikuti dengan tahapan uji laboratorium baik terhadap potensi dan aktivitas bahan aktif (B. cenocepacia strain KTG) maupun terhadap sifat fisik dan kimia tanah serta produktivitas tanaman secara berkala.
PEMBAHASAN UMUM
Faktor pembatas tanah tekstur berpasir dalam kapasitasnya sebagai media tumbuh kelapa sawit adalah tanah ini memiliki ruang pori makro sehingga proses drainase akan berjalan cepat. Kondisi ini tentu saja dapat menyebabkan unsur hara dari pupuk yang diberikan kepada tanaman mudah tercuci. Sementara itu, pada musim kemarau, kelembaban tanah tidak mencukupi kebutuhan air untuk tanaman kelapa sawit. Dalam hal permasalahan yang dijumpai di lapang terkait dengan kondisi tersebut di atas terdapat di beberapa afdeling lingkup kebun PT Astra Agro Lestari, Kotawaringin Barat. Berdasarkan analisis yang dilakukan untuk keperluan penelitian ini diketahui bahwa kandungan fraksi pasir rata-rata mencapai 51.1 89.5%. Hasil analisis fraksi tanah tersebut mendukung analisis yang dilakukan oleh Fairhurst & McLaughlin (2009) bahwa beberapa Spodosols dan Psamments yang dijumpai di Kalimantan Tengah bertekstur sangat kasar dan hanya mengandung 2-5% fraksi liat serta kandungan unsur haranya sangat miskin. Berdasarkan hasil analisis kapasitas tukar kation (KTK) dan pH yang dilakukan dalam penelitian ini juga diketahui bahwa rata-rata KTK tanah berpasir 2.08 meq/100 g (FPT) – 3.83 meq/100 g (FPS), serta nilai rata-rata pH 4.2. Nilai KTK yang rendah menjadi faktor penghambat dalam kemampuan mengikat hara terutama kation-kation basa sehingga pemupukan menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas tanah tekstur berpasir sebagai media tumbuh, maka kegiatan isolasi bakteri dan uji keefektifan bakteri penghasil eksopolisakarida sebagai bahan aktif bioamelioran terhadap agregasi bahan tanah tekstur berpasir sesuai kondisi lapang dilaksanakan di pembibitan utama kebun tersebut. Dari hasil seleksi bakteri, diperoleh tiga bakteri potensial penghasil eksopolisakarida. Ketiga bakteri yang diperoleh tersebut termasuk dalam kelompok bakteri Gram negatif.
Ketiga jenis bakteri ini masing-masing
diidentifikasi sebagai Rhizobium tropici (kode 2.6), Burkholderia cenocepacia (kode 3.3), dan Stenotrophomonas maltophilia (kode 5.5). Hasil pengujian lebih lanjut menunjukkan bahwa B. cenocepacia lebih unggul dalam hal menghasilkan
90
eksopolisakarida dan kemampuan hidup (viabilitas) dalam rentang pH 3-5 jika dibandingkan dua bakteri lainnya. Hasil analisis sekuensing 16S rRNA menunjukkan tingkat kesamaan sebesar 99.8% terhadap urutan basa nukleotida yang terdapat dalam data base yang tersedia dalam European Bioinformatics Institute (EBI).
Bakteri ini selanjutnya diberi kode strain KTG (Kalimantan
Tengah) yang menunjukkan asal daerah isolasi. Eksopolisakarida bakteri pada umumnya memiliki ketebalan 0.2 – 1.0 µm. Pada beberapa spesies, ketebalan lapisan eksopolisakarida tidak lebih dari 10-30 nm. Struktur kimia senyawa polimer yang diekskresikan oleh sel ke dalam lingkungan sangat bervariasi. Senyawa yang terdapat dalam eksopolisakarida terdiri atas beberapa kelompok makromolekul yang berbeda seperti polisakarida, protein, asam nukleat, glikoprotein, dan fosfolipid. Keragaman makromolekul ini tergantung pada spesies bakteri (Czaczyk & Myszka 2007; Vaningelgem et al.; 2004; Panhota et al. 2007), ketersediaan nutrisi (De Vuyst & Degeest 1999; Ricciardi et al. 2002), fase pertumbuhan dan kondisi lingkungan (Fischer et al. 2003; B.
Bahat-Samet
cenocepacia
et
al.
strain
2004).
KTG
Penelitian
dapat
ini
menunjukkan
memetabolismekan
sukrosa
bahwa dan
4-hydroxyphenyl acetic acid (4-HAA) lebih efisien untuk menghasilkan eksopolisakarida jika dibandingkan dengan penggunaan glukosa, laktosa, manitol, dan glutamat. Berdasarkan hal tersebut maka dimungkinkan untuk memanipulasi jenis dan jumlah eksopolisakarida bakteri melalui penggunaan sumber dan konsentrasi
karbon
yang
diberikan
dalam
media
pertumbuhan
untuk
mengoptimalkan produksi eksopolisakarida. Gugus fungsional utama dari eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG adalah –OH, -CH, CH 3 , dan –C=O. Gugus fungsional tersebut bersifat polar (hidrofilik) sehingga dapat diasumsikan bahwa salah satu mekanisme pelekatan antar pertikel primer pada bahan tanah dapat dibentuk melalui muatan negatif gugus fungsional dengan muatan negatif liat yang terdapat pada FPR dan FPS serta diperantarai oleh kation bervalensi dua atau tiga (interaksi elektrostatik) sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Chenu & Stotzky (2002). Pada FPT, mekanisme agregasi seperti yang terjadi pada FPR dan FPS mungkin sulit terjadi karena rendahnya fraksi liat (hanya 5%) yang terdapat pada bahan tanah uji.
91
Chenu & Stotzky (2002) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian di laboratorium diketahui eksopolisakarida bakteri dapat memiliki muatan negatif, positif atau tanpa muatan. Eksopolisakarida menjerap liat, dan jerapan ini bersifat tidak dapat balik (irreversible). Mekanisme penjerapan umumnya terjadi melalui ikatan hidrogen dan London-van der Waals. Interaksi elektrostatis melibatkan muatan dalam eksopolisakarida dan keberadaan kation bervalensi dua atau tiga. Keragaman penyerapan pita absorpsi pada bilangan gelombang tertentu yang dihasilkan dari analisis eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG pada beberapa sumber karbon (sukrosa, 4-HAA, glukosa, manitol, laktosa, dan glutamat) menunjukkan bahwa eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG terdiri atas sejumlah senyawa kimia yang meliputi jenis polisakarida dan gula sebagai senyawa penyusun utama eksopolisakarida tersebut. Bakteri B. cenocepacia strain KTG dapat membentuk agregasi pada bahan tanah tekstur berpasir dengan kandungan fraksi 59.8% pasir, 35.2% debu, dan 5% liat. Bahan tanah tersebut termasuk dalam kelas tekstur lempung berpasir. Pemberian 108 CFU B. cenocepacia strain KTG ke dalam satu kg FPS mampu meningkatkan indeks kemantapan agregat FPS pada inkubasi 30 dan 60 hari. Indeks kemantapan agregat FPS meningkat masing-masing sebesar 68.1% (inkubasi 30 hari) dan 19.3% (inkubasi 60 hari) terhadap kontrol (tanpa inokulan). Agregasi pada jenis tekstur pasir berlempung dengan komposisi fraksi 86.5% pasir, 12.44% debu, dan 1.06% liat yang diinokulasi dengan 108 – 109 CFU B. cenocepacia strain KTG berdasarkan penetapan melalui indeks kemantapan agregat yang dilakukan dalam penelitian ini tidak terdeteksi. Telah diuraikan sebelumnya bahwa B. cenocepacia strain KTG dapat menghasilkan eksopolisakarida di dalam medium yang mengandung bahan tanah bertekstur pasir berlempung (FPT). Komposisi gugus fungsional utama eksopolisakarida di dalam medium yang mengandung FPS (lempung berpasir) dan FPT (pasir berlempung) tidak berbeda. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan bahwa dalam bahan tanah pasir berlempung (FPT), meskipun kemampuan menghasilkan eksopolisakarida ada, tetapi fungsi eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG sebagai agens pembentuk agregat belum nyata. Oleh karena itu, tahap kegiatan berikutnya adalah telaah lebih lanjut mengenai
92
kompetensi B. cenocepacia strain KTG dalam agregasi FPS dengan menggunakan bahan organik, bahan organik yang telah terdekomposisi serta fungi sebagai pembanding. Peran B. cenocepacia strain KTG dalam membentuk agregat bahan tanah tekstur berpasir pada prinsipnya adalah untuk melakukan agregasi di dalam makro dan mikroagregat. Hal ini dimungkinkan karena B. cenocepacia strain KTG memiliki ukuran sel yang sangat kecil berkisar 0.6–0.9 x 1.0–2.0 µm, sehingga dapat tumbuh dan berkembang di dalam mikroagregat yang berukuran < 250 µm. Peran B. cenocepacia strain KTG terhadap pembentukan makroagregat ditunjukkan dalam tampilan gambar SEM dalam bab sebelumnya. Sementara itu, peran B. cenocepacia strain KTG terhadap pembentukan pori pemegang air (diameter 0.2-8.6 µm) dianalisis melalui jumlah air tersedia (% volume) yang diukur sampai dengan hari ke-90 inkubasi. Dalam hal ini, FPS yang diberi inokulan B. cenocepacia strain KTG mengandung jumlah air tersedia yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Diketahui bahwa pada FPS yang tidak diinokulasi B. cenocepacia strain KTG, nilai pori air tersedia yang dinyatakan dalam % volume tergolong sangat rendah – rendah (3.5-6.2% volume). Sementara itu, dengan inokulasi B. cenocepacia strain KTG, maka nilai pori air tersedia pada FPS termasuk dalam katagori rendah-sedang (6.0-13.2% volume). Nilai pori air tersedia dihitung berdasarkan selisih kandungan air antara pF 2.54 (kapasitas lapang) dan pF 4.2 (titik layu permanen). Menurut Kurnia et al. (2006), diameter pori pemegang air ini antara 0.2 - 8.6 µm. Secara teoritis, mikroagregat terbentuk melalui proses flokulasi partikel debu dan liat. Keberadaan kation polivalen seperti Al3+ dan Ca2+ pada partikel liat bermuatan
negatif
akan
meningkatkan flokulasi.
Bahan
organik
dapat
meningkatkan proses agregasi tersebut melalui pembentukan kompleks ikatan dengan liat dan kation polivalen. Pada FPS, interaksi B. cenocepacia strain KTG dengan bahan tanah FPS atau dengan jerami dan kompos jerami masa inkubasi 60 hari menghasilkan indeks kemantapan agregat FPS yang tinggi. Fenomena ini dapat menjelaskan mekanisme agregasi yaitu didahului dengan proses interaksi jerami atau kompos jerami dan adaptasi B. cenocepacia strain KTG dengan FPS yang terjadi pada awal inkubasi sampai hari ke-30, selanjutnya dengan kondisi
93
lingkungan yang optimal, agregasi dapat terbentuk lebih baik karena jerami atau kompos jerami telah berinteraksi dan terintegrasi dengan bahan FPS. Dalam masa ini, pertumbuhan sel B. cenocepacia strain KTG dan ekskresi eksopolisakarida juga memasuki tahap optimum. Keberadaan bakteri penghasil eksopolisakarida di dalam mikroagregat dapat memperkuat ikatan agregasi dan pada akhirnya akan menyediakan ruang pori mikro tempat air tersedia. Kecukupan nutrisi berupa N, P, K, Mg dan karbon organik dari kompos jerami dapat dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan sel B. cenocepacia strain KTG. Namun demikian, untuk masa inkubasi 90 hari, nilai indeks kemantapan dengan perlakuan tersebut turun. Dengan semakin lamanya waktu inkubasi dan tidak ada masukan nutrisi dalam pengujian in vitro di laboratorium menjadikan daya dukung lingkungan terhadap pertumbuhan B. cenocepacia strain KTG di dalam FPS menurun. Hal ini merupakan salah satu penyebab bakteri tersebut tidak dapat tumbuh secara optimal dalam jangka waktu yang lebih lama. Agregasi oleh B. cenocepacia strain KTG, bahan organik (jerami segar dan kompos jerami) dan P. chrysosporium bersifat sementara. Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa kemantapan agregat dengan pemberian B. cenocepacia strain KTG, jerami, dan kompos jerami meningkat pada masa inkubasi 60 hari dan setelah itu mengalami penurunan dalam hal nilai indeks kemantapan agregat. Sementara untuk perlakuan dengan P. chrysosporium, nilai indeks kemantapan agregat tetap tinggi sampai dengan 90 hari inkubasi tetapi nilai air tersedia pada masa inkubasi tersebut mengalami penurunan. Peran B. cenocepacia strain KTG dalam agregasi bahan tanah FPS yang ditetapkan atas dasar nilai air tersedia dan kerapatan lindak lebih nyata jika dibandingkan perannya di dalam FPR atau FPT. Berdasarkan uraian hasil tersebut di atas dan sejalan dengan tujuan penelitian ini, maka bahan tanah yang mengandung 61.3% fraksi pasir, mendekati karakteristik bahan tanah dalam uji laboratorium, digunakan dalam penelitian lanjut sesuai kondisi lapang. Perbedaan bahan tanah untuk media bibit kelapa sawit dengan bahan tanah yang digunakan untuk pengujian di laboratorium terletak pada komposisi fraksi pasir, debu, dan liat. Kadar liat pada bahan tanah media bibit kelapa sawit lebih tinggi 31.6% jika dibandingkan dengan bahan tanah
94
yang digunakan dalam pengujian laboratorium. Diasumsikan bahwa kadar liat yang lebih tinggi ini akan mempengaruhi peran B. cenocepacia strain KTG terhadap agregasi bahan tanah fraksi pasir 61.3% tersebut. Namun demikian, hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inokulan B. cenocepacia strain KTG dapat meningkatkan air tersedia di dalam media bibit kelapa sawit jika dibandingkan tanpa pemberian B. cenocepacia strain KTG. Sebagai pembanding, pengaruh inokulasi B. cenocepacia strain KTG terhadap peningkatan air tersedia di dalam bahan tanah tekstur berpasir pada percobaaan laboratorium mencapai 4.8-123.7%, sedangkan dalam pengujian lapang, air tersedia meningkat 11.2 – 61.6%. Kemantapan agregat pada bahan tanah tekstur berpasir sebagai media tumbuh bibit kelapa sawit yang diinokulasi B. cenocepacia strain KTG tersebut dapat menciptakan ketersediaan air yang cukup untuk memerantarai pergerakan unsur hara pada bibit kelapa sawit. Pengurangan dosis pupuk NPKMg 25-50% dari standar kebun dapat menghasilkan keragaan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang sesuai dengan standar pertumbuhan bibit kelapa sawit yang telah ditetapkan.
KESIMPULAN UMUM
Pemilihan B. cenocepacia strain KTG setelah melalui tahapan seleksi melalui penetapan bobot kering eksopolisakarida, kemampuan menghasilkan eksopolisakarida pada substrat FPS, FPT dan gambut, serta viabilitasnya dalam medium pertumbuhan ber-pH rendah-sangat rendah. Karakteristik gugus fungsional utama eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG yang bersifat polar dan diyakini berperan dalam proses agregasi bahan tanah FPR, FPS, dan FPT adalah –OH, -CH, CH 3 , dan –C=O. Keragaman penyerapan pita absorpsi pada bilangan gelombang tertentu yang dihasilkan dari analisis eksopolisakarida B. cenocepacia strain KTG pada sumber karbon sukrosa, 4-HAA, glukosa, manitol,
laktosa,
dan
glutamat
menunjukkan
bahwa
eksopolisakarida
B.cenocepacia strain KTG terdiri atas sejumlah senyawa kimia yang meliputi jenis polisakarida dan gula sebagai senyawa penyusun utama eksopolisakarida tersebut. Penetapan indeks kemantapan agregat dan retensi air tanah sebagai komponen utama peubah yang digunakan dalam menilai potensi bakteri penghasil eksopolisakarida untuk meningkatkan kemantapan agregat bahan tanah di laboratorium dan di dalam kantong plastik media bibit kelapa sawit (artificial) memberikan hasil yang konsisten. Penggunaan bakteri penghasil eksopolisakarida untuk agregasi bahan tanah tekstur berpasir terbukti efektif dalam hal kemampuannya membentuk agregasi pada bahan tanah dengan kandungan fraksi pasir 59.5-61.3%. B. cenocepacia strain KTG sebagai bahan aktif bioamelioran dapat membantu meningkatkan ketersediaan air di dalam tanah dan serapan nutrisi bibit kelapa sawit. Pertumbuhan vegetatif bibit kelapa sawit dengan menggunakan pupuk NPKMg 50-75% dari dosis standar kebun yang dikombinasikan dengan 50-100 g bioamelioran/bibit tidak berbeda nyata dengan penggunaan 100% dosis standar kebun serta menghasilkan keragaan pertumbuhan yang sesuai dengan standar acuan pertumbuhan bibit untuk jenis DxP.
SARAN UMUM
Eksplorasi terhadap kemampuan bakteri tanah dalam membentuk agregat bahan tanah tekstur berpasir sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Aspek mekanisme agregasi di dalam lingkungan tanah dan interaksinya dengan bahan organik dan anorganik tanah serta potensi utamanya dalam membentuk mikroagregat tanah dapat dianalisis lebih lanjut melalui penetapan dengan SEM, TEM, dan irisan tipis (thin section) yang lebih detail. Demikian pula halnya untuk upaya optimalisasi produksi eksopolisakarida oleh bakteri potensial dapat dilakukan melalui manipulasi medium atau lingkungan pertumbuhanya dengan sumber karbon yang dapat dimetabolismekan secara mudah oleh bakteri tersebut. Atas dasar tahapan pengujian laboratorium dan lapang serta hasil yang diperoleh dalam penelitian ini beberapa informasi
dapat digunakan sebagai riset dasar
untuk melakukan orientasi studi yang lebih lanjut dalam memahami mekanisme pembentukan agregat tanah tekstur berpasir oleh B. cenocepacia strain KTG. Pengujian di lapang dalam skala yang lebih luas diperlukan sebagai upaya memperoleh konfirmasi dan konsistensi hasil pengujian laboratorium tentang potensi
B. cenocepacia strain KTG dalam membentuk agregat bahan tanah
tekstur berpasir terhadap kondisi yang nyata dalam aplikasi lapang secara berkelanjutan. Kegiatan tersebut tentunya juga akan memperhatikan dan mengikuti ketetapan keamanan hayati tentang pelepasan bakteri bahan aktif dan implikasinya terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Abiven S, Menasseri S, Angers DA, Leterme P. 2008. A model to predict soil aggregate stability dynamics following organic residue incorporation under field conditions. Soil Sci. Soc. Am. J. 72(1): 119-125. Ahmad F, Ahmad, I. Khan MS. 2005. Indole acetic acid production by the indigenous isolates of Azotobacter and fluorescent Pseudomonas in the presence and absence of tryptophan. Turk. J. Biol. 29:29-34 Ahmad N, U-Hassan F, Qadir G. 2007. Effect of sub surface soil compaction and improvement measures on soil properties. Int. J. Agri. Biol. 9 (3): 509-513. Akbari GA, Arab SY, Alikhani HA, Allahdadi I, Arzanesh MH. 2007. Isolation and selection of indigenous Azospirillum spp. And the IAA of superior strains effects on wheat roots. World J. Agric. Sci. 3(4): 523-529. Alami Y, Achouak W, Marol C, Heulin T. 2000. Rhizosphere soil aggregation and plant growth promotion of sunflowers by an exopolysaccharideproducing Rhizobium sp strain isolated from sunflower roots. Appl. Environ. Microbiol. 66(8):3393-3398. Amellal N, Burtin G, Bartoli F, Heulin T. 1998. Colonization of wheat roots by an exopolysaccharide-producing Pantoea agglomerans strain and its effect on rhizosphere soil aggregation. Appl. Environ. Microbiol. 64(10): 37403747. Amezketa E, Aragues R, Carranza R, Urgel B. 2003. Macro-and micro-aggregate stability of soils determined by a combination of wet-sieving and laser-ray diffraction. Spanish J. Agric. Res. 1(4): 83-94. Annabi M, Houot S, Francou C, Poitrenaud M, Bissonnais LY. 2007. Soil aggregate stability improvement with urban composts of different maturities. Soil Sci. Soc. Am. J. 71(2): 413-423. Ashraf M, Berge O, Azam F, Heulin T. 1999. Bacterial exopolysaccharides and productivity of salts affected soils: I. Diversity of exopolysaccharidesproducing bacteria isolated from the rhizosphere of wheat (Triticum aestivum L.) grown in normal and saline Pakistani soils. Pak J Biol Sci. 2(1): 201-206. Ashraf M, Hasnain S, Berge O. 2004. Inoculating wheat seedlings with exopolysaccaharide-producing bacteria restricts sodium uptake and stimulates plant growth under salt stress. Biol Fertil Soils. 40: 157-162. Bahat-Samet E, Castro-Sowinski S, Okon Y. 2004. Arabinose content of extracellular polysaccharide plays a role in cell aggregation of Azospirillum brasilense. FEMS Microbiol Lett. 237: 195–203.
98 Balashov E, Bazzoffi P. 2003. Aggregate water stability of sandy and clayey loam soils differently compacted with and without wheat plants. Int. Agrophysics. 17: 151-155. Becker A, Ruberg S, Baumgarth B, Drogatz PAB, Quester P, Puhler A. 2002. Regulation of succinoglycan and galactoglucan biosynthesis in Sinorhizobium meliloti. J. Mol. Microbiol. Biotechnol. 4(3): 187-190. Bertin C, Yang X, Weston LA. 2003. The role of root exudates and allelochemicals in the rhizosphere. Plant and Soil. 256: 67–83. Bezzate S, Aymerich S, Chambert R, Czarnes S, Berge O, Heulin T. 2000. Disruption of the Paenibacillus polymyxa levansucrase gene impairs ability to aggregate soil in the wheat rhizosphere. Environ. Microbiol. 2(3): 333342. Bhardwaj AK, Shainberg I, Goldstein D, Warrington DN, Levy GJ. 2007. Water retention and hydraulic conductivity of cross-linked polyacrylamides in sandy soils. Soil Sci. Soc. Am. J., 71(2), 406-412. Bramhachari PV, Dubey SK. 2006. Isolation and characterization of exopolysaccharide produced by Vibrio harveyi strain VB23. Lett. Appl. Microbiol. 43. 571-577. Bronick CJ, Lal R. 2005. Soil structure and management: a review. Geoderma 124: 3 –22 Bueno SM, Garcia-cruz CH. 2006. Optimization of polysaccharides production by bacteria isolated from soil. Brazilian J. Microbiol. 37: 296-301. Burdman S, Jurkevitch E, Soria-Diaz ME, Serrano AMG, Okon Y. 2000. Extracellular polysaccharide composition of Azospirillum brasilense and its relation with cell aggregation. Microbiol. Lett. 189: 259-264. Caesar-TonThat TC, Cochran VL. 2001 Role of a saprophytic Basidiomycete soil fungus in aggregate stabilization. In, D.E Stott, R.H. Mohtar & G.C. Steinhardt (eds.). Sustaining the Global Farm. p. 575-579. Canton Y, Sole-Benet A, Asensio C, Chamizo S, Puigdefabresgas J. 2009. Aggregate stability in range sandy loam soils relantionships with runoff and erosion. Catena. 77: 192-199. Cambardella C. 2005. Aggregation and Organic Matter. Encyclopedia of Soil Science, 2nd ed. Rattan L. CRC Press. Cerda A. 2000. Aggregate stability against water forces under different climates on agriculture land and scrubland in southern Bolivia. Soil Till. Res. 57:159-166.
99 Chenu C, Guerif J. 1991. Mechanical strength of clay minerals as influenced by an adsorbed polysaccharide. Soil Sci Soc Am J. 55(4):1076-1080. Chenu C, Stotzky G. 2002. Interaction between microorganism and soil particle: An overview. In. Huang PM, Bollag JM, Senesi N, eds. IUPAC Series on Analytical and Physical Chemistry of Environmental Systems. John Wiley & Sons, Chichester, Eng. Czaczyk K, Myszka K. 2007. Biosynthesis of extracellular polymeric substances (EPS) and its role in microbial biofilm formation. Polish J. Environ. Stud. 16(6): 799-806. Degens B, Sparling G. 1996. Changes in aggregation do not correspond with changes in labile organic C fraction in soil amended with 14C-glucose. Soil Biol. Biochem. 28(4): 453-462. De Vuyst L, Degeest B. 1999. Heteropolysaccharides from lactic acid bacteria. FEMS Microbiol Rev 23: 153–177. Diaz-Zorita M, Grove JH, Perfect E. 2002. Aggregation, fragmentation, and structural stability measurement. Encyclopedia of Soil Science. Marcel Dekker. p. 37-40. Drazkiewicz M. 1994. Distribution of microorganisms in soil aggregates: effect of aggregate size. Folia Microbiol 39(4): 276-282. Duta FP, Da Costa ACA, Lopes LMDA, Barros A, Servulo EFC, de Franca FP. 2004. Effect of process parameters on production of a biopolymer by Rhizobium sp. Appl. Biochem. Biotechnol. 114 (1): 639-652. El-Tayeb TS, Khodair TA. 2007. Production and purification of a bioemulsifier and flocculating agent produced by Pseudomonas sp UBF 2. J. Appl. Sci. Res. 3(11): 1564-1570. Emnova E, Ciocarlan A, Caunova N. 2006. Exopolysaccharide synthesis by rhizospheric bacteria of Pseudomonas genus. Ovidius University Annals of Chemistry. 17(2): 187-189. Emtiazi G, Ethemadifar Z, Habibi MH. 2004. Production of extracellular polymer in Azotobacter and biosorption of metal by exopolymer. African J. Biotechnol. 3(6): 330-333. Eneje RC, Oguike PC, Osuaku. 2007. Temporal variations in organic carbon, soil reactivity and aggregate stability in soils of contrasting cropping history. African J. Biotechnol 6(4): 369-374. Fairhurst T, Hardter R. 2003. Management for large and sustainable yields. Potash and Phosphate Institute of Canada. 382p.
100 Fairhurst T , McLaughlin D. 2009. Sustainable Oil Palm Development on Degraded Land in Kalimantan. WWF, United States of America. 22p. Fischer SE, Miguel MJ, Mori GB. 2003. Effect of root exudates on the exopolysaccharide composition and the lipopolysaccharide profile of Azospirillum brasilense Cd under saline stress. Microbiol Lett. 219(1): 5362. [FAO] Food Agriculture and Organization. 1990. FAO-Unesco Soil Map of the World. Revised Legend. Reprinted with Corrections. (World Soil Resources Report 60). FAO. Rome. 119p. [FAO] Food Agriculture and Organization. 1997. Code of conduct for the import and release of exotic biological control agents. Biocontrol News and Information 18(4): 119N-124N. [FNCA] Forum for Nuclear Cooperation in Asia. 2006. Biofertilizer Manual. Japan Atomic Industrial Forum (JAIF). pp 124. Gardner CMK, Laryea KB, Unger PW. 1999. Soil Physical Constraints to Plant Growth and Crop Production. Food and Agriculture Organization of the United Nations. 96 p. Goenadi DH, Adiwiganda YT, Santi LP. 2005a. Model Komersialisasi Hasil Riset Mikrobiologi di Bidang Perkebunan. Makalah pada Kongres Nasional PERMI ke IX dan 3rd Asian Conference on Lactic Acid Bacteria di Bali tanggal 25-28 Agustus 2005. Goenadi DH, Dradjat B, Erningpraja L, Hutabarat B. 2005b. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 50p. Goenadi DH, Santi LP. 2006. Aplikasi bioaktivator SuperDec dalam pengomposan limbah padat organik tebu. Buletin Agronomi 34 (3): 173180. Goenadi DH, Santi LP. 2009. Introduction of microbial inoculants to improve fungsional relationship between above- and below-ground bio-diversity. Menara Perkebunan. 77(1): 58-67. Gryze SD, Jassogne L, Bossuyt H, Six J, Merckx R. 2006. Water repellence and soil aggregate dynamics in a loamy grassland soil as affected by texture. Eur. J. Soil Sci. 57: 235–246 Han HS, Lee KD. 2005. Physiological responses of soybean-inoculation of Bradyrhizobium japonicum with PGPR in saline soil conditions. Res. J. Agric.Biol.Sci. 1(3): 216-221.
101 Hassink J, Bouwman LA, Zwart KB, Brussaard L. 1993. Relationships between habitable pore space, soil biota and mineralization in grassland soils. Soil Biol. Biochem. 25:47-55. Hattori T. 1988. Soil aggregates in microhabitats of microorganisms. Rep. Inst. Agric. Res. Tohoku Univ. 37: 23–36. Hayes MHB, Cheshire MV. 1990. Composition origins, structures, and reactivities of soil polysaccharides. In de Boodt MF. Hayes MHB, Herbillon A (eds.). Soil colloids and their associations in aggregates. New York: Plenum Press, pp 307-336. Isherwood, K.F. 2002. Fertilizer use and the environment. Fertilizer Industry Association. Paris.
International
Iqbal A, Bhatti HN, Nosheen S, Jamil A, Malik MA. 2002. Histochemical and physicochemical study of bacterial exopolysaccharides. Biotechnol. 1(1): 28-33. Ivanov V, Chu J. 2008. Applications of microorganism to geotechnical engineering for bioclogging and biocementation of soil in situ. Rev. Environ. Sci. Biotechnol. 1-15 pp. Jourdan C, Ferriea MN, Perbal GR. 2000. Root System Architecture and Gravitropism in the Oil Palm. Annals of Botany. 85: 861-868. Kemper EW, Rosenau RC. 1986. Aggregate stability and size distribution. P 425-461. In A. Klute (Ed.) Method of Soil Analysis Part 1. 2 nd ed. ASA. Madison. Wisconsin. Khodair TA, Galal GF, El-Tayeb TS. 2008. Effect of inoculating wheat seedlings with exopolysaccharide-producing bacteria in saline soil. J. Appl. Sci. Res. 4(12): 2065-2070. Krasil’nikov NA. 1958. Soil Microorganisms and Higher Plants. Academy of Sciences of the USSR, Moscow. Kurnia U, Agus F, Adimihardja A, Dariah A. 2006. Sifat Fisik Tanah dan Metode Analisisnya. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Depertemen Pertanian. 282 hal. Lado M, Paz A, Ben-Hur M. 2004. Organic matter and aggregate size interaction in infiltration, seal formation, and soil loss. Soil Sci. Soc. Am. J. 68: 935942.
102 Laus MC, van Brussel AAN, Kijne JW. 2005. Exopolysaccharide structure is not a determinant of host-plant specificity in nodulation of Vicia sativa roots. Molecular Plant-Microbe Interactions. 18(11):1123-1129. Le Bissonais Y. 1996. Aggregate stability and assessment of soil crust ability and erodibility: I. Theory and methodology. Eur. J. Soil Sci. 47:425-437. Lubis A. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2nd ed. 362 p. Lupwayi NZ, Arshad MA, Rice WA, Clayton GW. 2001. Bacterial diversity in water-stable aggregates of soil under conventional and zero tillage management. Appl. Soil Ecol. 16(3): 251-261. Lynch JM, Elliot LF. 1983. Aggregate stabilization of volcanic ash and soil during microbial degradation of straw. Appl. Environ. Microbiol. 45(4): 1398-1401. Manjaiah KM, Kumar S, Sachdev MS, Sachdev P, Datta SC. 2010. Study of clay –organic complexes. Current Sci. 98(7): 915-921. Mantel S, Wösten H, Verhagen J. 2007. Biophysical Land Suitability for. Oil Palm in Kalimantan, Indonesia. Plant Research International. Wageningenur Mata JA, Bejar V, Llmas I, Arias S, Bressollier P, Tallon R, Urdaci MC, Quesada E. 2006. Exopolysaccharides produced by the recently described halophilic bacteria Halomonas ventosae and Halomonas anticariensis. Res. Microbiol. 157: 827-835. Mbagwu JSC. 1992. Improving the productivity of a degraded Ultisol using organic and inorganic amendemnets. Chemical properties and maize yield. Biores. Technol. 42: 149-154. Miao ML, Li-xin Z, Guan-lin X. 2007. Genomovars of Burkholderia cepacia complex from rice rhizosphere and clinic in China. Rice Sci.. 14(3): 229234. Moppert X, Costaouec TL, Raguenes G, Courtois A, Colin CS, Crassous P, Costa B, Guezennec J. 2009. Investigations into the uptake of copper, iron and selenium by a highly sulphated bacterial exopolysaccharide isolated from microbial mats. J. Indust. Microbiol. Biotechnol. 36(4): 599-604. Moreno J, Garcia CV, Lopez MJ, Serrano GS. 1999. Growth and exopolysaccharide production by Azotobacter vinelandii in media containing phenolic acids. J. Appl. Microbiol. 86(3): 439-445.
103 Mummey DI, Stahl PD. 2004. Analysis of soil whole-and inner-microaggregate bacterial communities. Microb Ecol. 48(1):41-50. Neeraj, Gaurav SS, Chatterjee S, Chandra M. 2009. Exopolysaccharides and lipopolysaccharide production by Sinorhizobium fredii Tn5 mutants infecting Vigna radiate L. ARPN J. Agric. Biol. Sci. 4(5): 32-38 Oades JM. 1989. An Introduction to organic matter in mineral soils. In. J.B. Dixon and S.B Weed (eds.) Mineral in soil environments. 2nd ed., Madison, Wisconsin: Soil Science Society of America. Pp. 89-159. Okon Y, Labandera-Gonzalez CA. 1994. Agronomic application of Azospirillum. An evaluation of 20 years worldwide field inoculation. Soil Biol Biochem. 26(12): 1591-1601. Oztas T, Canpolat MY, Sonmez K. 1999. Strength of individual soil aggregates against crushing forces II. Influence of selected soil properties. Tr. J. Agric Forest. 23: 573-577. Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. 411 hal. Panhota RS, Bianchini I, Vieira AAH. 2007. Glucose uptake and extracellular polysaccharides (EPS) produced by bacterioplankton from an eutrophic tropical reservoir (Barra Bonita, SP-Brazil). Hydrobiologia 583: 223–230. Patter CL, Glick BR. 2002. Role of Pseudomonas putida indoleacetic acid in development of the host plant root system. Appl. Environ. Microbiol. 68:3795-3801. Perfect E, Kay BD, da Silva AP. 1995. Influence of soil properties on the statistical characterization of dry-aggregate strength. Soil Sci.Soc.Am. J. 59(2):532-537. Povolo S, Casella S. 2004. Poly-3-hydroxybutyrate has an important role for the survival of Rhizobium tropici under starvation. Annals Microbiol. 54(3): 307-316. Ramey BE, Koutsoudis M, von Bodman SB, Fuqua C. 2004. Biofilm formation in plant-microbe associations. Current Opinion Microbiol. 7: 602-609. Reis VM, de los Santos PE, Tenorio-Salgado S, Vogel J, Stoffels M, Guyon S, Mavingui P, Baldani VLD, Schmid M, Baldani JI, Balandreau J, Hartmann A, Caballero-Mellado J. 2004. Burkholderia tropica sp. Nov., a novel nitrogen-fixing, plant-associated bacterium. Int J Systematic Evolutionary Microbiol. 54: 2155-2162.
104 Remel (2005). Microbiology Products: Instructions for use of MacConkey Agar. http://www.remelinc.com. [28 Jun 2006] Ricciardi A, Parente E, Crudele MA, Zanetti F, Scolari G, Mannazzu I. 2002. Exopolysaccharide production by Streptococcus thermophilus SY: production and preliminary characterization of the polymer. J Appl Microbiol 92(2): 297–306. Ritz K, Young IM. 2004. Mycologist. 18(2): 52-59.
Interaction between soil structure and fungi.
Roberson EB, Firestone M. 1992. Relationship between desiccation and exopolysaccharide production in a soil Pseudomonas sp. Appl. Environ. Microbiol. 58:1284-1291 Rohoskova M, Valla M. 2004. Comparison of two methods for aggregate stability measurement- a review. Plant Soil Environ. 50(8): 379-382. Sabra A, Zeng P, Lonsdorf H, Deckwer WD. 2000. Effect of oxygen on formation and structure of Azotobacter vinelandii alginate and its role in protecting nitrogenase. Appl. Environ. Microbiol. 66: 4037-4044. Saile E, McGarvey JA, Schell MA, Denny TP. 1997. Role of extracellular polysaccharide and endoglucanase in root invasion and colonization of tomato plants by Rastonia solanaceanum. Phytopathology. 87: 1264-1271. Salles JF, van Elsas JD, van Veen JA. 2006. Effect of Agricultural management regime on Burkholderia community structure in soil. Microbiol Ecol. 52:267-279. Samet EB, Sowinski SC, Okon Y. 2004. Arabinose content of extracellular polysaccharide plays a role in cell aggregation of Azospirillum brasilense. Microbiol. Lett. 237(2): 195. Santi LP, Ai Dariah, Goenadi DH. 2008. Peningkatan kemantapan agregat tanah mineral oleh bakteri penghasil eksopolisakarida. Menara Perkebunan 76 (2), 92-102. Sarkhot DV, Comerford NB, Jokela EJ, Reeves JB, Harris WG. 2007. Aggregation and aggregate carbon in forested Southeastern Coastal plain Spodosol. Soil Sci.Soc. Am. J. 71(6): 1779-1787. Serrato RV, Sassaki GL, Cruz LM, Pedrosa FO, Gorin PAJ, Iacomini M. 2006. Culture conditions for the production of an acidic exopolysaccharide by the nitrogen-fixing bacterium Burkholderia tropica. Can. J. Microbiol. 52(5): 489-493.
105 Shales SW, Kumarasingham S. 1987. Bacterial transport through porous solids: interaction between Micrococcus luteus cells and sand particles. J. Industri. Microbiol. 2: 219-227. Sessitsch A, Weilharter A, Gerzabek MH, Kirchmann H, Kandeler E. 2001. Microbial population structures in soil particle size fractions of a long-term fertilizer field experiment. Appl. Environ. Microbiol. 67( 9): 4215-4224. Sijam K, Dikin A. 2005. Biochemical and physiological characterization of Burkholderia cepacia as biological control agent. Int. J. Agric Biol. 7(3): 385-388. Six J, Paustian K, Elliott ET, Combrink C. 2000. Soil structure and organic matter. I. Distribution of aggregate-size classes and aggregate-associated carbon. Soil Sci. Soc. Am. J. 64:681-689. Soil Survey Staff. 1993. Washington, USA.
Soil Survey Manual.
USDA handbook No. 18.
Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. Agricultural Handbook No. 436, 2 ed. USDA, Natural Resources Conservation Service, Washington, D.C.
nd
Sokolov G, Michael I, Bambalov N. 2005. Influence of different organic materials on physical properties of desert and cultivated soils. Int. Agrophysics. 19:337-343. Sutherland IW. 1997. Microbial exopolysaccharides-structural subtleties and their consequences. Pure Appl. Chem. 69(9): 1911-1917. Sutherland IW. 2001a. Biofilm exopolysacchariddes: a strong and sticky framework. Microbiology. 147(1): 3-9 Sutherland IW. 2001b. Microbial polysaccharides from Gram negative bacteria. Int .Dairy. J. 11(9): 663–674. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principles and Procedures of Statistics. Biometrical Approach. 2 nd ed. McGraw-Hill, New York.
A
Steinmetz I, Rohde M, Brenneke B. 1995. Purification and characterization of exopolysaccharide of Burkholderia (Pseudomonas) pseudomallei. Infection Immunity. 63(10): 3959-3965. Stevenson FJ. 1994. Humus Chemistry : Genesis, Composition, Reactions. 2nd (ed.). John Wiley & Sons, Inc. New York. 496p. Sunarko. 2009. Budidaya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit dengan Sistem Kemitraan. Agromedia Pustaka. 178 hal.
106 Tallgren AH, Airaksinen U, von Weissenberg R, Ojamo H, Kuusisto J, Leisola M. 1999. Exopolysaccharide-producing bacteria from sugar beets. Appl.Environ Microbiol. 65(2), 862-864. Tan KH. 1996. Soil Sampling, Preparation, and Analysis. Marcel Dekker, Inc. New York. 408p. Tisdall JM. 1994. Possible role of soil microorganisms in aggregation in soils. Plant Soil. 159 (1):115-121. Tisdall JM. 1996. Formation of soil aggregates and accumulation of soil organic matter. In: Carter MR, Stewart BA (eds.). Structure and Organic Matter Storage in Agriculture Soils. CRC Press, Boca Raton, FL, pp. 57-96. Tisdall JM, Oades JM. 1982. Organic matter and water-stable aggregates in soils. J. Soil Sci. 62: 141-163. Traore O, Groleau-Renaud V, Plantureux S, Tubeileh A, Boeuf-Tremblay V. 2000. Effect of root mucilage and modeled root exudates on soil structure. Eur. J. Soil Sci. 51(4): 575-581. Tsadilas C, Mitsios I, Golia E. 2005. Influence of biosolids application on some soil physical properties. Comm Soil Sci Plant Anal. 36:709-716. Tully RE. 1988. Synthesis of exopolysaccharide by Bradyrhizobium japonicum during growth on hydroaromatic substrates. Appl. Environ. Microb. 54(6): 1624-1626. Vaningelgem F, Zamfir M, Mozzi F, Adriany T, Vancanneyt M, Swings J, De Vuyst L. 2004. Biodiversity of exopolysaccharides produced by Streptococcus thermophilus strains is reflected in their production and their molecular and functional characteristics. Appl Environ Microb 70(2): 900– 912. Vial, Ludovic, Groleau MC, Dekimpe V, Deziel E. 2007. Burkholderia diversity and versatility: An inventory of the extracellular products. J. Microbiol.Biotechnol. 17(9): 1407-1429. Wahba MM. 2007. Influence of compost on morphological and chemical properties os sandy soils, Egypt. J. Appl. Sci. Res. 3(11):1490-1493. Wang H, Jiang X, Mu H, Liang X, Guan H. 2007. Structure and protective effect of exopolysaccharide from Pantoea agglomerans strain KFS-9 againts UV radiation. Microbiol Res. 162(2): 124-129. Watt M, McCully ME, Jeffree CE. 1993. Plant and bacterial mucilages of the maize rhizosphere: comparison of their soil binding properties and histochemistry in a model system. Plant Soil. 151(2):151–165.
107 Weiner R, Langille S, Quintero E. 1995. Structure, function and immunochemistry of bacterial exopolysaccharides. J. Industrial Microbiol. 15(4): 339-346. Wingender J, Neu TR, Flemming HC. 1999. What are Bacterial Extracellular Polymeric Substances? In. Microbial Extracellular Polymeric Substances: characterization, structure and function. Wingender J, Neu TR, Flemming HC (Eds.). Springer-Verlag, Berlin. pp. 1-15. Yi Y, Huang W, Ge Y. 2008. Exopolysaccharide: a novel important factor in the microbial dissolution of tricalcium phosphate. World. J. Microbiol. Biotechnol. 24(7):1059-1065. Zaher H, Caron J, Ouaki B. 2005. Modeling aggregate internal pressure evolution following immersion to quantify mechanisms of structural stability. Soil Sci.Soc.Am.J. 69 (1):1-12
LAMPIRAN
111
Lampiran 2. Dosis pupuk NPKMg-TE untuk pemupukan bibit kelapa sawit Dura x Pisifera standar kebun
*)
Minggu Setelah Tanam
Cara Aplikasi
Dosis (g)
5
Siram
0.5
6
Siram
1
NPK 15.15.6.4.TE
(150 ml/bibit)
7
Siram
1.5
NPK 15.15.6.4.TE
(150 ml/bibit)
8
Siram
1.5
NPK 15.15.6.4.TE (150 ml/bibit)
Jenis pupuk NPK 15.15.6.4.TE*) (150 ml/bibit)
9
Tabur
3
NPK 15.15.6.4.TE
11
Tabur
3
NPK 15.15.6.4.TE
13
Tabur
4
NPK 15.15.6.4.TE
15
Tabur
4
NPK 15.15.6.4.TE
17
Tabur
5
NPK 12.12.17.2.TE
19
Tabur
5
NPK 12.12.17.2.TE
21
Tabur
7.5
NPK 12.12.17.2.TE
23
Tabur
7.5
NPK 12.12.17.2.TE
25
Tabur
7.5
NPK 12.12.17.2.TE + Kieserite 10 g
27
Tabur
7.5
NPK 12.12.17.2.TE
29
Tabur
10
NPK 12.12.17.2.TE
31
Tabur
10
NPK 12.12.17.2.TE
33
Tabur
15
NPK 12.12.17.2.TE + Kieserite 15 g
35
Tabur
15
NPK 12.12.17.2.TE
37
Tabur
15
NPK 12.12.17.2.TE
39
Tabur
15
NPK 12.12.17.2.TE
41
Tabur
18
NPK 12.12.17.2.TE + Kieserite 15 g
43
Tabur
18
NPK 12.12.17.2.TE
45
Tabur
18
NPK 12.12.17.2.TE
47 Tabur TE = trace element
18
NPK 12.12.17.2.TE
112
Lampiran 3. Penetapan Tekstur Tanah (Balai Penelitian Tanah 2006)
Dasar Penetapan Tekstur adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu dan liat, yaitu partikel tanah yang memiliki diameter efektif ≤ 2 mm. Di dalam analisis tekstur, fraksi bahan organik tidak diperhitungkan. Bahan organik terlebih dahulu didestruksi dengan hidrogen peroksida (H 2 O 2 ).
Bahan yang tersisa adalah
mineral yang terdiri atas pasir, debu, dan liat. Pasir dapat dipisahkan dengan cara pengayakan basah, sedangkan debu dan liat dipisahkan dengan cara pengendapan.
Metode Sebanyak 10 g contoh bahan tanah (<2 mm) dimasukkan ke dalam 800 ml gelas piala, ditambah 50 ml H 2 O 2 10% kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah itu ditambahkan 25 ml H 2 O 2 30% dan dipanaskan sampai tidak berbusa. Sebanyak 180 ml air bebas ion dan 20 ml HCl 2N ditambahkan ke dalam bahan tanah ini dan dipanaskan kembali selama lebih kurang 10 menit.
Bahan tanah yang telah dipanaskan tersebut setelah dingin (suhu ruang) diencerkan dengan air bebas ion yang volumenya ditepatkan menjadi 700 ml. Kegiatan pencucian ini diulang kembali dengan cara diinap-tuangkan sampai bebas asam kemudian ditambah dengan 10 ml larutan peptisator 4% Na 4 P 2 O 7 . Pemisahan pasir.
Suspensi tanah yang telah diberi peptisator diayak dengan
ayakan 50 mikron sambil dicuci dengan air bebas ion. Filtrat ditampung dalam silinder 500 ml untuk pemisahan debu dan liat. Butiran yang tertahan ayakan dipindahkan ke dalam pinggan aluminium yang telah diketahui bobotnya dengan air bebas ion menggunakan botol semprot. Selanjutnya dikeringkan pada suhu 105oC selama kurang lebih 24 jam, didinginkan kembali dan ditimbang (berat pasir = A g).
113
Lampiran 3. Lanjutan
Pemisahan debu dan liat.
Filtrat dalam silinder diencerkan menjadi 500 ml,
diaduk selama 1 menit dan segera dipipet sebanyak 20 ml ke dalam pinggan aluminium. Filtrat dikeringkan pada suhu 105 0C selama kurang lebih 24 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang (berat debu + liat + peptisator = B g).
Untuk pemisahan liat diaduk kembali selama satu menit lalu dibiarkan selama tiga jam tiga puluh menit pada suhu kamar. Suspensi liat dipipet sebanyak dua puluh ml pada kedalaman kurang lebih 5.2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam pinggan aluminium. Suspensi liat dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat liat + peptisator =C g). Sebagai catatan, berat peptisator pada pemipetan dua puluh ml berdasarkan penghitungan adalah 0.0095 g. Bobot ini dapat pula ditentukan dengan menggunakan blanko.
Perhitungan Fraksi pasir
=Ag
Fraksi debu
= 25 (B-C) g
Fraksi liat
= 25 ( C-0.0095) g
Jumlah fraksi = A + 25 (B-0.0095) g Pasir (%)
= A/[A+25(B-0.0095)] x 100
Debu (%)
= [25(B-C)]/ [A+25(B-0.0095)] x 100
Liat (%)
= [25(C-0.0095)]/[A+25(B-0.0095)] x 100
Dimana: A = berat pasir, B = berat debu+liat+peptisator, C = berat liat + peptisator, 25 = faktor konfersi dari 20 ml ke 500 ml dan 100 = faktor konversi ke %.
114
Lampiran 4. Penetapan Indeks Kemantapan Agregat (Balai Penelitian Tanah 2006)
Dasar Penetapan Menggunakan metode pengayakan ganda (multiple-sieve), yaitu melakukan pengayakan kering sebelum dilakukan pengayakan basah. Kemantapan agregat dihitung berdasarkan selisih antara rata-rata berat diameter agregat tanah pada pengayakan kering dan pengayakan basah yang dinyatakan sebagai indeks ketidakmantapan. Selanjutnya untuk mendapatkan indeks kemantapan agregat dipergunakan rumus: Indeks kemantapan = 1/indeks ketidakmantapan x 100
Metode Pengayakan Kering Contoh tanah dengan agregat utuh dikeringudarakan. Sebanyak kurang lebih 500 g tanah kering udara ditaruh dalam ayakan 8 mm. Dibawah ayakan ini berturutturut terdapat ayakan 4.76; 2.83; 2 mm; dan penampung. Tanah yang ada di dalam ayakan 8 mm diayak dengan menggunakan tangan sampai semua tanah turun melalui ayakan ini.
Jika penggunaan tangan belum dapat melewatkan
semua tanah, maka dapat digunakan alu kecil (anak lumpang). Ayakan digerakgerakkan dengan tangan (sebanyak lima kali). Selanjutnya masing-masing fraksi agregat pada setiap ayakan ditimbang kemudian dinyatakan dalam persen. Persentase = 100% dikurangi % agregat lebih kecil dari 2 mm. Uraian pekerjaan seperti yang telah disebutkan di atas dilakukan sebanyak empat kali ulangan.
Pengayakan Basah Agregat-agregat yang diperoleh dari pengayakan kering kecuali agregat lebih kecil dari 2 mm ditimbang, dan masing-masing dimasukkan ke dalam cawan nikel (diameter 7.5 cm dan tinggi 2.5 cm). Banyaknya disesuaikan dengan perbandingan ketiga agregat tersebut dan totalnya harus 100 g.
Misalnya pengayakan 500 g tanah diperoleh : Agregat antara 8 dan 4.76 mm
= 200 g
115
Lampiran 4. Lanjutan
Agregat antara 4.76 dan 2.83 mm
= 100 g
Agregat antara 2.83 dan 2 mm
= 75 g ________
Total
375 g
Maka perbandingannya adalah 200/375; 100/375; dan 75/375 dan masing-masing dikalikan 100 menjadi : Agregat antara 8 dan 4.76 mm
= 53 g
Agregat antara 4.76 dan 2.83 mm
= 27 g
Agregat antara 2.83 dan 2 mm
= 20 g ________
Total
100 g
Pekerjaan ini dilakukan sebanyak empat kali ulangan Selanjutnya air diteteskan pada tanah dalam cawan nikel tersebut sampai kapasitas lapang. Tinggi ujung penetes buret 30 cm dari cawan. Tanah disimpan dalam inkubator pada temperature 20 oC dengan kelembaban relatif 98-100% selama 24 jam.
Agregat tanah kemudian dipindahkan dari cawan ayakan sebagai berikut : Agregat antara 8 dan 4.76 mm di atas ayakan 4.76 mm Agregat antara 4.76 dan 2.83 mm di atas ayakan 2.83 mm Agregat antara 2.83 dan 2 mm di atas ayakan 2 mm Ayakan-ayakan yang digunakan dalam pengayakan basah selain dari yang tersebut di atas masih terdapat di bawahnya berturut-turut ayakan 1, 05, dan 0.279 mm.
Ayakan-ayakan tersebut selanjutnya dipasang dan disusun pada alat
pengayak basah, di mana bejana yang disediakan telah diisi air suling terlebih dahulu setinggi 25 cm dari dasar bejana.
116
Lampiran 4. Lanjutan
Pengayakan dilaksanakan selama lima menit (35 ayunan tiap menit dengan amplitude 3.75 cm). Setelah selesai pengayakan, agregat dipindahkan dari setiap ayakan ke cawan nikel (diameter 9 cm dan tinggi 5 cm) yang beratnya telah diketahui. Untuk memindahkan agregat-agregat lepas dari dasar ayakan dapat dibantu dengan semprotan air yang dilakukan pada selang berdiameter kecil supaya alirannya deras. Kelebihan air di cawan dibuang, kemudian cawan yang berisi agregat basah dikeringkan pada suhu 105 oC selama 24 jam. Setelah kering, didiamkan sampai kering udara selanjutnya ditimbang. Berat diameter rata-rata agregat dari pengayakan kering (Xa): Agregat antara 8 dan 4.76 mm
= 8 + 4.76/2
= 6.4 mm
Agregat antara 4.76 dan 2.83 mm
= 4.76 + 2.83/2= 3.8 mm
Agregat antara 2.83 dan 2 mm
= 2.83 + 2/2
= 2.4 mm
Rata-rata berat diameter: (53x6.4) + (27x3.8) + (20x2.4) = 498.9 = 5 100
100
Contoh hasil penghitungan pengayakan basah :
Fraksi (i) 1 2 3 4 5 6 7
Diameter agregat Diameter rata-rata ------------------------------mm------------------------8-4.76 6.4 4.76-2.83 3.8 2.83-2 2.4 2-1 1.5 1-0.5 0.75 0.5-0.297 0.40 <0.297 (jatuh dalam bejana 0.15 penampung)
Berat (g) 5 20 17 19 15 19 5
Berat diameter rata-rata agregat dari pengayakan basah (Xb) : (5x6.4) + (20x3.8) + (17x2.4) + (19x1.5) + (15x0.75) + (19x0.40) + (5x0.15) = 2 100 Indeks ketidakmantapan agregat = Xa-Xb = 5 – 2 = 3 Indeks Kemantapan agregat
= 1/3 x 100 = 33
117
Lampiran 5. Penetapan Retensi Air Tanah (Balai Penelitian Tanah 2006)
Dasar Penetapan Penetapan retensi air tanah dapat dilakukan dengan memberikan tekanan pada contoh tanah jenuh air, dengan berbagai kekuatan tekanan pada selang waktu tertentu (biasanya 48 jam), sehingga mencapai titik keseimbangan, selanjutnya ditetapkan kadar air tanahnya. Retensi air biasanya ditampilkan dalam bentuk kurva yang disebut kurva pF. Tekanan yang diberikan terdiri atas 0.01 atm (pF 1), 0.1 atm (pF 2), 0.33 atm (pF 2.54) dan 15 atm (pF 4.2).
Metode Bahan tanah tidak terganggu yang diambil menggunakan tabung kuningan, dan diambil setebal satu cm dari bagian tengah ring. Bahan tanah tersebut dibagi menjadi empat, masing-masing untuk pF 1, pF 2, pF 2.54, dan pF 4.2. Bahan tanah untuk penetapan kadar air pada pF 4.2 dikeringudarakan, ditumbuk dan disaring dengan ayakan 2 mm.
Tanah untuk penetapan pF 1, pF 2, dan pF 2.54 diletakkan di atas piringan (plate) dalam pressure plate apparatus, sedangkan tanah untuk penetapan pF 4.2 diletakkan di atas piringan dalam pressure membrane apparatus. Bahan tanah dalam piringan dijenuhi dengan air sampai berlebihan dan direndam selama 48 jam.
Piringan berisi contoh bahan tanah dimasukkan ke dalam panci dan ditutup rapatrapat.
Kemudian panci diberi tekanan sesuai dengan pF yang dikehendaki.
Keseimbangan akan tercapai setelah sekitar 48 jam tekanan-tekanan tersebut bekerja.
Contoh bahan tanah selanjutnya dikeluarkan dari dalam panci dan
kandungan airnya ditetapkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kandungan air
= (Berat tanah basah – Berat tanah kering) x 100% Berat tanah kering
118
Lampiran 5. Lanjutan
Berdasarkan nilai kandungan air tanah yang sudah ditetapkan pada berbagai tekanan, maka dapat dihitung : (i)
Pori drainase cepat : adalah selisih kandungan air pada ruang pori total dan pF 2. Bilamana contoh tanah diambil dalam keadaan kandungan air tanah jauh di bawah kapasitas lapang, maka untuk tanah-tanah yang bersifat mudah mengembang dan mengkerut, persentase ruang pori total akan lebih rendah daripada pori pada kandungan pF 1. Dalam hal ini pori drainase cepat adalah selisih kandungan air pada pF 1 dan pF 2.
(ii)
Pori drainase lambat : adalah selisih kandungan air pada pF 2 dan pF 2.54.
(iii)
Pori air tersedia : adalah selisih kandungan air antara pF 2.54 (kapasitas lapang) dan pF 4.2 (titik layu permanen).
Ruang pori total merupakan volume seluruh pori-pori di dalam suatu volume tanah yang dinyatakan dalam persentase. Ruang pori total dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Ruang pori total = (1- bobot isi) x 100 Bobot jenis partikel
119
Lampiran 6. Penetapan Kerapatan Lindak (Balai Penelitian Tanah 2006)
Dasar Penetapan Kerapatan lindak atau bobot isi menunjukkan perbandingan antara berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah.
Contoh bahan tanah tidak terganggu diambil dengan menggunakan ring berbentuk silinder. Volume tabung bagian dalam adalah luas lingkaran dalam dikalikan tinggi tabung. Contoh bahan tanah ditimbang dengan tabungnya, dan dinyatakan sebagai X (g), selanjutnya contoh bahan tanah ini dikeringkan pada temperatur 105 0C selama 24 jam atau sampai diperoleh berat yang konstan, dan ditetapkan kadar air tanah. Tabung kosong ditimbang, dinyatakan sebagai Y (g), dan kadar air tanah dinyatakan sebagai Z (g). Bobot isi ditetapkan dengan rumus : Bobot isi = Berat tanah kering (g) volume tanah (cc)
=
100 (X-Y)/ (100+ Z) (g) volume tanah (cc)
Di mana volume tanah = 3.14 x r2 x tinggi tabung silinder