ISSN 1411-0393
PERAN AKUNTAN PUBLIK DALAM PELAKSANAAN UNDANG UNDANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA Sutjipto Ngumar*)
ABSTRACT The purpose of this article is to analysis the differences between The 1974. Number 5 Law (U.U. Nomor 5 Tahun 1974) and the new law namely The Regional Outonomous Law (U.U. Otonomi Daerah) base on decentralization. The differences new law is the regional government’s competence to manage it self for built, collect and use fund resources. Based on two laws analysing it is said that the new law has competences on human resources manage, taking place, moving and retairing the government employee, to execute education and training employee on society, but at least depends on the regional’s need and capability. The new law implementation brings Public Accountant’s participation, arrange the new paradigm about financial concept and system. It is said, managing public funds must be oriented by public’s need. To grade government profesionalism, the financial responsibility must be accountable and transparancy, together with reformation climate.
1. PENDAHULUAN Berdasarkan pasal 1 Undang-undang Dasar 1945 Indonesia sebagai negara kesatuan berbentuk Republik; berarti bahwa keadilan dan pemerataan bagi seluruh rakyat Indonesia, merupakan salah satu landasan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan bangsa. Berdasarkan penjelasan pasal Pasal 18 UUD 1945 yang nantinya akan diwujudkan dengan Undang-Undang tentang Pemerintahan Otonomi Daerah (Undang-undang Baru), maka Indonesia akan dibagi dalam daerah-daerah otonomi atau daerah administrasi. Oleh karena itu dengan diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah, Indonesia akan menganut azas penyelenggaraan pemerintahan desentralisasi (daerah otonom) dan dekonsentrasi (wilayah administrasi). Daerah otonom berarti daerah terutama daerah Tingkat II (Kotamadya atau Kabupaten) mempunyai keleluasan untuk mengatur atau menyelenggarakan kepentingan masyarakat daerah setempat secara transparansi, efisiensi, dan akuntabilitas. Dengan diberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah berarti penyelenggaraan pe*)
Drs. Sutjipto Ngumar, PhD., Ak., adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya.
180
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
merintahan oleh Pusat dan Daerah Otonom diperlukan suatu pengaturan perimbangan fungsi berupa pembagian kewenangan, tugas dan tanggung jawab yang jelas antara Pusat dan Daerah. Tentu saja untuk tujuan pemerataan dan keadilan, dalam menentukan dasardasar pembagian sumber keuangan antara Pusat dan Daerah.,dalam menentukan dasardasar pembagian harus dipertimbangkan pula keadaan yang berbeda dalam hal potensi, ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Demikian pula perlu dipertimbangkan perbedaan tingkat kemakmuran antar daerah yang maju dan daerah yang belum berkembang dapat dieliminasi. Undang-Undang Otono-mi Daerah pada hakekatnya mempunyai tujuan (Penjelasan RUU Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah thn 1999 : 2) : (a) Menciptakan sistem pembiayaan Daerah yang adil, rasional, transparan, partisipatif, akuntabel (bertanggung–jawab), dan pasti. (b) Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang : 1. Mencerminkan pembagian tugas dan tanggung jawab keuangan dan fungsi pemerintahan antara Pusat dan Daerah. 2. Mendukung pelaksanaan otonomi daerah dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggung-jawaban kepada masyarakat. 3. Mengurangi kesenjangan antara daerah lain dalam kemampuannya untuk membiayai tanggung – jawab otonominya. 4. Memberikan kepastian sumber keuangan Daerah yang berasal dari wilayah Daerah yang bersamgkutan. (c) Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi Daerah. (d) Mengubah sistem pertanggung-jawaban keuangan oleh Daerah kepada pemerintah atasan menjadi kepada masyarakat. (e) Mengatur semua ketentuan pokok tentang keuangan Daerah. Sebagai konsekuensi logis tujuan diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah, maka dalam pelaksanaan pengelolaan keuangannya, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengelola keuangannya sendiri; demikian pula dalam pertanggungjawaban keuangan daerah, pemerintah daerah mempertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sekarang ini berlaku; di mana selama ini pengelolaan keuangan daerah ditetapkan dan dikendalikan secara rinci oleh Pusat, melalui Peraturan Pemerintah.APBD ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, perhitungan APBD harus mendapat pengesahan dari tingkat pemerintah atasan, pemeriksaan keuangan dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal Departemen terkait BPKP dan beberapa instansi Pusat lainnya. Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah, di mana pertanggung-jawaban pengelolaan keuangan daerah kepada masyarakat, maka berarti Kepala Daerah harus mempertanggung-jawabkan pengelolaan keuangan daerah yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada semua pihak. Supaya cukup obyektif, maka Dewan Perwakilan Rakyat Daerah da
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
181
pat menunjuk para professional (lawyer, appraisal, akuntan independen), untuk melaksanakan fungsi profesinya atas pengelolaan keuangan oleh para Bupati maupun Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Laporan pertanggung-jawaban keuangan yang akan diaudit para professional tersebut, salah satunya akan menyatakan kelayakan atau ketidaklayakan kinerja Kepala Daerah dalam rangka pelaksanaan program yang direncanakan dalam APBD diantaranya,meliputi standar pelayanan yang dicapai dan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan khususnya dalam program-program utama APBD tersebut.
2. SEKILAS PERBEDAAN UU No.5 TAHUN 1974 DAN UU TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH TAHUN 1999 Pasal 2 UU No :5 Thn 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah me-nyebutkan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi antara lain Daerah-daerah otonom dan wilayah-wilayah administrasi (Riwu Kaho;1984). Dalam rancangan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan Wilayah Ne-gara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah-daerah Propinsi dan daerah–daerah Kabupaten serta Daerah Kota. Selanjutnya menurut Riwu Kaho pula, dalam UU No 5 Thn 1974, Daerah Otonom berwenang, berkewajiban, untuk menjalankan pemerintahan daerah, dan secara hierarkhi bertanggung jawab kepada Presiden “melalui“ Menteri Dalam Negeri. Dalam Rancangan Undang-Undang yang baru kewenangan Kepala Daerah pada dasarnya mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan dan moneter serta bidang-bidang lain yang ditetapkan dengan peraturan Pemerintah. Dalam UU No 5 Thn 1974 Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) sebagai Ke-pala Wilayah/Aparat Pemerintah Pusat berwenang menjalankan pimpinan pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan, dan membina kehidupan bermasyarakat di antaranya : (1) Melaksanakan segala usaha dan kegiatan di bidang pembinaan kesatuan bangsa sesuai dengan kebijaksaan yang ditetapkan oleh pemerintah Pusat; (2) Melaksanakan segala tugas pemerintahan yang tidak masuk dalam tugas sesuatu instansi lainnya. Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pemerintahan, Kepala Daerah berkewajiban memberikan keterangan dan pertanggungjawaban kepada DPRD. Dalam UU yang baru dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah, Gubernur berada dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai Kepala Daerah Otonom dalam menjalankan tugas dan kewajibannya bertanggung jawab kepada DPRD. Bupati/Walikota dalam menjalankan tugas dan kewajibannya bertanggung-jawab kepada DPRD Kabupaten/Kotamadya. Dalam hal Pengelolaan Keuangan, UU No: 5 Thn 1974 menyebutkan bahwa keuangan Pemerintah Daerah diperoleh dari 3 macam sumber, yaitu :
182
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
(1) Pendapatan asli Daerah sendiri yang terdiri dari : (a) Hasil Pajak Daerah; (b) Hasil Retribusi Daerah; (c) Hasil Perusahaan Daerah; dan (d) Lain-lain hasil usaha Daerah yang sah. (2) Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah yang terdiri dari : (a) Sum-bangan Pemerintah; (b) Sumbangan–sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan (3) Lain-lain pendapatan yang sah Kalau diperhatikan agak detail, dapat dikatakan bahwa sumber pendapatan daerah dalam rangka mengelola pemerintahan daerah relatif masih sangat terbatas; daerah tidak dapat memanfaatkan hasil dari sumber daya alam yang ada, misalkan hasil hutan perke-bunan, pertambangan dan sumber-sumber daya alam lain yang selama ini dalam pro-sentase yang cukup besar masih dikelola oleh pemerintah pusat. Hasil dari sumber daya alam daerah tersebut sebenarnya cukup potensial untuk pembangunan dan pengembangan Pemerintah Daerah. Devisa yang dihasilkan cukup besar, semuanya masuk Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah juga mendapat bagian, tetapi relatif sedikit melalui sumbangan dari Pemerintah Pusat. Nampaknya sentralisasi pengelolaan keuangan dari sumber penda-patan daerah ditangani pemerintah Pusat (Jakarta) cukup besar. Sentralisasi pengelolaan tersebut tidak hanya terbatas pada sisi pengumpulan sumber-sumber penerimaan tetapi juga pada sisi pembelanjaannya. Sentralisasi pengumpulan sumber-sumber penerimaan keuangan di Jakarta rata-rata mencapai 95 persen per tahun, sedangkan pembelanjaannya rata-rata mendekati 80 persen pertahun (Jawa Post 3 Mei 1999 : 21). Akibat ketimpangan pembangunan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, terjadi pula ketimpangan pembangunan yang sangat menyolok, sehingga timbul anekdote, di Kalimantan, Sumatera dan Irian Jaya banyak sungai sedikit sekali jembatan, tetapi di Jakarta banyak jembatan (Jalan Tol by Pass dan Jalan Layang), tetapi tidak ada sungai. Dalam Undang-undang yang baru pada pokok-pokok pikiran Pembangunan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pada azas Desentralisasi; sumber-sumber penerimaan Daerah meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Pembangunan, Pinjaman Daerah dan lain-lain penerimaan yang syah. Dalam hal Dana Perimbangan pada Undang-Undang yang baru, terdapat tujuh pos dana perimbangan, yaitu hasil pusat dan daerah yang dapat langsung dialokasikan sebagai bagian sumber pendapatan asli daerah. Tujuh pos itu meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Hak Atas Tanah Bangunan, Pertambangan Minyak; Gas Alam, Reboisasi, Sumber Daya Alam dan Perikanan. Perbandingan Bagi Hasil antara Pusat dan Daerah dapat dipaparkan dalam tabel berikut :
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
183
Prosentase Dana Perimbangan Bagi Hasil antara Pusat dan Daerah No Pos 1 PBB 2 Hak atas tanah dan Bangunan 3 Pertambangan Minyak 4 Gas Alam 5 Reboisasi 6 Sumber Daya Alam Hutan 7 Perikanan Sumber : Jawa Pos, Senin 3 Mei 1999 (diolah)
Pusat 10 20 85 70 60 20 20
Daerah 90 80 15 30 40 80 80
Jumlah 100 100 100 100 100 100 100
Dengan memperhatikan tabel di atas dapat dikemukakan bahwa terdapat implikasi umum yang telah disepakati oleh DPR dan Pemerintah, yaitu terjadinya pergeseran struktur pengelolaan keuangan negara. Bila sebelum diberlakukannya UU Perimbangan Keuangan,jumlah sumber-sumber penerimaan yang dipungut oleh Pemerintah Pusat (Jakarta) mencapai hampir 95 persen, maka sekarang angka itu untuk beberapa pos tertentu akan merosot, seperti hak atas Tanah dan Bangunan. 20 persen Reboisasi 60 persen, Sumber Daya Alam Hutan 20 persen, dan Perikanan 20 persen. Sebaliknya sumber-sumber penerimaan Daerah akan meningkat rata-rata 300 persen. Dengan memperhatikan tabel di atas, tambahan kenaikan tujuh pos pendapatan asli daerah maka daerah akan dapat meningkatkan PAD-nya dalam jumlah yang relatif besar, terutama untuk daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam dan perikanan. Misalkan daerah Aceh, Kalimantan Timur, Riau, Irian Jaya, dan Indonesia Timur yang kaya akan hasil perikanan. Sumber-sumber penerimaan Daerah tersebut dengan diberlakukannya Asas Desentralisasi akan lebih banyak lagi jenisnya, seperti Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Pinjaman Daerah. Agar terdapat saling adanya pengawasan antara pembangunan Daerah dan propinsi sesuai dengan asas Desentralisasi dan Dekon-sentrasi, maka diperlukan adanya Sinkronisasi APBN dan APBD dalam arti : 1. Bahwa semua penerimaan negara dicatat dalam APBN 2. Bahwa semua alokasi dari APBN ke APBD dicatat sebagai penerimaan APBD. Dalam UU No : 5 Tahun 1974 pasal 62 menyebutkan Kepala Daerah menyeleng-garakan penyusunan, pertanggung-jawaban dan pengawasan keuangan daerah berdasar-kan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan atas pelaksanaan pemerintahan di daerah dan penggunaan APBD dilakukan secara pre-ventif dalam arti bahwa semua peraturan dan keputusan Kepala Daerah sebelum diberlakukan harus disyahkan dulu oleh pejabat yang lebih tinggi, yaitu Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur dan Gubernur untuk Walikota dan Bupati. Dengan demikian pengelolaan keuangan Daerah tidak dapat dilakukan sebelum ada pengesahan dari Menteri Dalam Negeri atau Gubernur. Pertanggungjawaban pengelolaan keuangan Daerah kemudian di
184
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
laporkan kepada DPRD tingkat I atau DPRD tingkat II yang sebelumnya, laporan pengelolaan keuangan daerah itu diperiksa oleh Inspektorat Jenderal atau BPKP sebagai internal auditor dari Pemerintah. Berbeda dengan Undang-undang yang baru dalam pasal 20 Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Kepala Daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus pelaksanaan azas Desentralisasi secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip pertanggung-jawaban dan keterbukaan kepada masyarakat. Dengan demikian kerangka pengelolaan Keuangan Daerah menitikberatkan peranan DPRD atas nama rakyat, bukan kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur. Kepala Daerah mempertanggungjawabkan pelak-sanaan pengelolaan keuangan Daerah kepada DPRD. DPRD atas nama rakyat sebagai penguasa Keuangan Daerah mempertanggung-jawabkan kepada masyarakat secara lengkap dan terbuka. Oleh karena itu, untuk memenuhi tanggung-jawab atas pengelolaan keuangan daerah; Kepala Daerah dengan persetu-juan DPRD dapat mengangkat pejabat pemerintah atau profesi lain (Lawyer atau Akuntan Publik) untuk melaksanakan pengawasan atau pemeriksaan atas pengelolaan Keuangan daerah baik dari segi legalitas atau akuntabilitas.
3. KESIAPAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENYONGSONG DIBERLAKUKANNYA UU OTONOMI DAERAH Dalam Undang-undang Otonomi Daerah yang baru, penyelenggaraan pemerin-tahan lebih ditekankan pada pemberian desentralisasi di tingkat regional, di samping tingkat dis-trik dan komunal. Untuk menyongsong UU yang baru tersebut, Pemerintah Daerah kiranya perlu mampersiapkan berbagai aspek, utamanya kewe-nangan dalam pengelolaan keuangan yang selama ini lebih mengarah pada sentralisasi di tingkat pusat, yang nantinya akan dialihkan pada daerah sampai dengan tingkat kecamatan dan kelurahan. Dalam menghadapi aspirasi tentang peningkatan otonomi daerah, ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu sampai seberapa jauh kondisi dan kemampuan aparatur daerah dalam menerima dan melaksanakan kewenangan pengelolaan keuangan khususnya yang ada kaitannya dengan keberadaan sumber daya manusia (SDM) sekarang ini. Demikian pula sampai seberapa jauh kualitas dan sarana pen-dukung manajemen aparatur dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan dan mengontrol pelaksanaan kegiatan pekerjaan routine dan proyek-proyek pembangunan. Keberadaan kualitas manajemen dan sarana pendukung sebagai tolok ukur, bagaimana aparat dapat mengoptimalkan segala daya dan upaya agar pengelolaan keuangan dan pemberian kewenangan yang lebih besar kepada kepala daerah, mulai dari walikota/Bupati, Camat dan Lurah/Kepala Desa dapat berjalan secara berhasil dan berdaya guna namun dengan pengeluaran pengeluaran dan penggunaan keuangan secara efektif dan efisien, mngingat bahwa UU Otonomi Daerah yang baru itu lebih memberikan :
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
185
1. 2.
3.
Otonomi Daerah yang cukup luas kepada Kepala Daerah (kecuali kewenangan bidang Politik, Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Peradilan dan Moneter/ Fiskal) Peranan DPRD yang lebih besar di mana kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD, sehingga kemungkinan dengan kewenangan yang ada, DPRD dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberhentikan gubernur Sumber pembiayaan Pemda lebih luas di mana Pemda selain mempunyai sum-bersumber pembiayaan dari Pajak dan Retribusi Daerah; Pemda dapat me-ngadakan pinjaman asing maupun domestik, makna ketiga kekuasaan tersebut di atas, Pemda perlu mengimbangi dengan kemampuan kredibilitas yang tinggi, sehingga pihakpihak yang terkait baik dari dalam negeri maupun luar negeri dapat memberikan penilaian yang positip.
Pada waktu diberlakukannya UU No 5 thn 1974; aturan pengelolaan keuangan dalam APBD tidak terlepas dari pengelolaan APBN. Berdasarkan UU tersebut di atas pemerintah menempuh beberapa kebijaksanaannya di antaranya Sistem Kas Stelsel, Prinsip Anggaran berimbang dan Dinamis, Prinsip keadilan anggaran, Prinsip efisiensi anggaran, prioritas pada belanja rutin pada belanja pegawai, be-lanja barang dan belanja pemeliharaan (Fauzi Alvi Yazin, 1999). Efek kebijaksanaan yang ditempuh Pemerintah Daerah dalam pengelolaan APBD tersebut adalah bahwa laporan yang dihasilkan belum merupakan pertanggungjawaban publik dan belum mampu mencerminkan kebutuhan riel masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat. Laporan yang dihasilkan masih merupakan laporan pelaksanaan anggaran dan lebih mencerminkan kepentingan birokrasi, karena : 1) Perencanaan masih berorientasi pada input daripada output. 2) Akuntansinya masih memakai metode single entry di mana laporan keuangan masih berdasar cash basis. Jadi bukan double entry dan accrual basis. 3) Transparansi dan Akuntabilitas laporan relatif belum tampak. 4) Belum adanya catatan aset, di mana laporan aset tidak menjadi satu satu kesatuan pada laporan APBD. Oleh karena itulah dalam mengantisipasi berlakunya Undang-Undang otonomi Daerah yang baru ini, Pemda perlu memikirkan beberapa upaya dan cara-cara yang tepat di antaranya : 1) Dengan pembenahan organisasi agar lebih mampu dalam menghadapi dan mengantisipasi masalah – masalah internal maupun eksternal organisasi. 2) Penyederhanaan prosedur dalam arti prosedur pelayanan birokrasi yang panjang dan berkelit, terutama untuk kepentingan Publik perlu disederhanakan. 3) Memanfaatkan teknologi informasi dalam arti bahwa bagi masyarakat perkotaan, seperti Jakarta, Surabaya, Medan yang telah terjun dalam perdagangan bebas, menun-
186
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
4)
tut pelayanan yang cepat, akurat, tepat dan murah, dengan demikian teknologi informasi mutlak diperlukan. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam arti bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) perlu diimbangi dengan pembinaan karier, dan peningkatan kesejahteraan.
Untuk menghadapi tuntutan masyarakat yang semakin luas dalam era reformasi ini su-dah pada tempatnya bila Pemda menyisipkan program pembaharuan Pemerintahan dengan menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, berakuntabilitas serta transparan. Kiranya perlu disimak berita Asia Week tanggal 11 Desember 1998 yang dikutip oleh Fauzi Alvi Yasin (1999) : 1) What make good goverment Rule of Law Legal framework that are both fair and fairly enforced ? 2) Transparancy A free flow of information so that the members of the public can understand and monitor the institutions and processes affecting their lives ? 3) Responsiveness serving the interest of all stakeholders. 4) Consensus Mediating different aspirations to reach broad agreement in the best interest of community 5) Equity Opportunity for all men and women to improve their well-being 6) Effectiveness and efficiency meeting needs through the best use of resources. 7) Accountability Decision makers (in government, private sector and Citizen groups) must answer to the public as well as to their own organizations. 8) Strategic vision a long term perpective on what is needed for society to grow.
4. SUMBANGAN AKUNTAN PUBLIK DALAM MENYONGSONG UU OTONOMI DAERAH Pelaporan baik laporan manajemen maupun lsporan keuangan sebagai alat pengambil keputusan merupakan salah satu aspek penting dalam suatu organisasi. Dalam UU Otonomi Daerah yang akan diberlakukan untuk organisasi pemerintahan (Govermental Organization), maka sasarannya menurut Bonni Siregar (1996) adalah Lembaga Pemerintahan mulai dari pemerintah pusat kabupaten, kotamadya, kecamatan, kelurahan/desa dan unitunit pemerintahan lainnya, termasuk daerah khusus. Laporan Keuangan organisasi pemerintahan sebagai organisasi nir laba bertujuan menyediakan informasi yang relevant untuk memenuhi kepentingan para penyumbang, seperti masyarakat (publik); organisasi–organisasi kreditur dan pihak-pihak lain yang menyediakan sumber daya bagi pemerintah baik pusat maupun daerah. Laporan keuangan organisasi nirlaba bertujuan untuk menilai : a) Jasa yang diberikan oleh organisasi nir laba dan kemampuannya untuk memberikan jasa tersebut.
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
187
b)
Cara kerja manager (penulis : Gubernur, Bupati,Walikota, Camat, dan lurah) melaksanakan tanggung jawabnya dan aspek kinerja manajer (I.A.I : 1998)
Sebagai organisasi nir laba atau non–profit, maka pemerintah pusat atau daerah : a) Tidak mempunyai motif mencari laba b) Dimiliki secara kolektif dalam arti hal perolehan tidak berdasarkan kepemilikan saham. c) Tidak memberikan imbalan langsung baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak-pihak yang memberikan sumber keuangan (Arifin Sabeni at all; 1996) Laporan Keuangan termasuk catatan atas Laporan Keuangan akan menyajikan informasi kepada Stakeholder untuk menyajikan informasi di antaranya : a) Jumlah dan sifat aktiva, kewajiban dan aktiva bersih pemerintah daerah b) Pengaruh transaksi, peristiwa dan situasi lainnya yang mengubah nilai dan sifat aktiva bersih. c) Jenis dan jumlah arus masuk dan kas keluar sumber daya dalam satu periode dan hubungan antara keduanya. d) Cara Pemda mendapatkan dan membelanjakan kas, memperoleh pinjaman dan melunasi pinjaman dan faktor lainnya yang berpengaruh dan likuiditasnya. Seperti halnya organisasi profit oriented, Laporan keuangan organisasi nir laba meli-puti laporan posisi keuangan pada akhir periode, laporan aktivitas, serta laporan arus kas untuk suatu periode, dan catatan atas laporan keuangan. Adapun bentuk Laporan keu-angan organisasi nirlaba meliputi : (a) Laporan Posisi Keuangan yaitu Laporan yang menggambarkan posisi Keuangan Pemerintah, temasuk Pemerintah Pusat, Daerah dan Lembaga lembaga sosial lainnya pd tanggal tertentu (biasanya pada akhir periode akuntansi). Laporan Posisi Keuangan Organisasi nir Laba dapat digambarkan seperti pada halaman 26. Dalam Laporan Posisi Keuangan organisasi Nir Laba tersebut susunannya tidak sama dengan Laporan Posisi Keuangan perusahaan yang mencari keuntungan, terutama penyajian pos kwajibannya yaitu : aktiva Bersih, yang terdiri dari pos-pos Aktiva Bersih terikat seperti hadiah atau wakaf bersih yang berbentuk kas atau aktiva lain sebagai sumbangan terikat. Aktiva bersih terikat temporer, meliputi: pos–pos pembelian, peralatan, Penelitian Seminar, dan Publikasi. Aktiva Bersih Terikat Permanen, meliputi pos–pos Perbankan, kerusakan peralatan, Seminar,Publikasi.
188
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
Organisasi Nir Laba Laporan Posisi Keuangan Desember 199x1 dan 19x0
Aktiva Kas dan setara kas Xxxxxx Piutang Bunga Xxx Persediaan dan biaya dibayar di muka Piutang Lain – Lain Investasi Lancar Aktiva terikat untuk investasi dalam Tanah, bangunan & peralatan Tanah, bangunan, dan peralatan Investasi Jangka Panjang Jumlah Aktiva
Kewajiban dan Aktiva Bersih Hutang Dagang Pendapatan diterima di muka yang Dapat dikembalikan Hutang lain – lain Hutang Wesel Kewajiban Tahunan Hutang Jangka Panjang Jumlah Kewajiban Aktiva Besih : Tidak Terikat Terikat Temporer (Catatan B) Terikat Permanent (Catatan C) Jumlah Aktiva Bersih Jumlah Kewajiban dan Aktiva Bersih
19X1
19X0
Xxx Xxx Xxx
Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx
Xxx Xxx Xxx Xxx
Xxx Xxx xxx xxx
Xxx
xxx
Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx
xxx xxx xxx xxx xxx Xxx
Xxx Xxx Xxx Xxx XXX
xxx xxx xxx xxx XXX
(b) Laporan Aktivitas yaitu Laporan pendapatan, beban dan perubahan aktiva bersih pada satu periode. Laporan Aktivitas yaitu Laporan Aktivitas Organisasi Nir Laba dapat digambarkan pada halaman berikut.
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
189
Organisasi Nir Laba Laporan Aktivitas Untuk Tahun Berakhir Pada Tanggal 31 Desember 19X1 Perubahan Aktiva Bersih Tidak Terikat : Pendapatan dan Penghasilan : Sumbangan Xxx Jasa Layanan Xxx Penghasilan investasi Jangka Panjang (Catatan E) Xxx Penghasilan Investasi Lain – Lain (Catatan E) Xxx Penghasilan bersih investasi jangka panjang belum direalisasi Xxx Lain – lain Xxx Jumlah Pendapatan dan Penghasilan tidak terikat Xxx Aktiva Bersih yang berakhir Pembatasannya (Catatan D) : Pemenuhan Program Pembatasan Xxx Pemenuhan Pembatasan Pemerolehan Peralatan Xxx Berakhirnya pembatasan waktu Xxx Jumlah Aktiva yang telah berakhir Pembatasannya Xxx Jumlah Pendapatan, Penghasilan, dan sumbangan lain Beban dan Kerugian : Program A Program B Program C Manajemen dan Umum Pencarian dana Jumlah beban (Catatan F) Kerugian akibat kebakaran Jumlah beban dan kerugian Kenaikan Jumlah Aktiva Bersih Tidak Terikat Perubahan Aktiva Bersih Terikat Temporer : Sumbangan : Penghasilan Investasi Jangka Panjang (Catatan E) Penghasilan bersih terealisasikan dan belum terealisasikan dari Investasi jangka panjang (Catatan E) Kerugian aktuarial untuk kewajiban tahunan Aktiva bersih terbebaskan dari pembatasan (Catatan D) Penurunan Aktiva Bersih Terikat Temporer : Perubahan Dalam Aktiva Bersih Terikat Permanen : Sumbangan : Penghasilan Investasi Jangka Panjang (Catatan E) Penghasilan bersih terealisasikan dan belum terealisasikan dari Investasi jangka panjang (Catatan E) Kenaikan Aktiva Besih Terikat Permanen Kenaikan Aktiva Bersih Aktiva Bersih Pada Awal Tahun Aktiva Bersih Pada Akhir Tahun
XXX xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx XXX Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx XXX
Dalam Laporan Aktivitas di atas berbeda dengan organisasi perusahaan, pos Pen-dapatan dan Penghasilan meliputi Perubahan Aktiva Bersih Tidak Terikat, Penambahan Aktiva
190
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
Bersih Terikat Temporer, dan Penambahan Aktiva Bersih Terikat Permanen. Penambahan Aktiva Bersih Tidak Terikat, Terikat Temporer dan Terikat Permanen, terdiri atas pos-pos di antaranya Sumbangan, jasa Layanan, Penghasilan Investasi Jangka Panjang, Penghasilan bersih bervariasi dan belum desentralisasi. (c) Laporan arus kas, yaitu laporan aliran kas dari Aktivitas Operasi, Aktivitas Investasi, dan Aktivitas Pendanaan selama satu periode. Penyajiannya bisa dengan metode Langsung maupun Tak Langsung. Laporan Arus Kas untuk organisasi Nir Laba dapat digambarkan pada halaman berikut. Berbeda dengan organisasi perusahaan, maka laporan arus kas organisasi nir laba pos – posnya meliputi antara lain Kas dan Penghasilan, Bunga dan Devident yang diterima, Ganti Rugi Assuransi kebakaran, Pembelian Investasi, Investasi dalam endorsement, Investasi -Perjanjian Tahunan. (d) Catatan Atas Laporan Keuangan yaitu catatan yang menguraikan kebijaksanaan pengungkapan atas Laporan Posisi Keuangan, Laporan Aktivitas dan Laporan Arus Kas. Pada Laporan Posisi Keuangan, misalnya kiranya perlu diungkapkan (dijelaskan pengertian Aktiva Bersih Tidak Terikat, adalah sebagai aktiva yang penggunaannya bebas dari pembatasan. Pos terebut misalkan tanah, bangunan, peralatan, sumbangan, kecuali kalau pos-pos tersebut ada pembatasan secara eksplisit menyatakan tujuan pemanfaatan aktiva tersebut dari penyumbang. Organisasi Nir Laba Laporan Aktivitas Untuk Tahun Berakhir Pada Tanggal 31 Desember 19X1 Aliran Kas dari Aktivitas Operasi : Kas dari pendapatan jasa Xxx Kas dari penyumbang Xxx Kas dari piutang lain – lain Xxx Bunga dan devident yang diterima Xxx Penerimaan lain – lain Xxx Bunga yang dibayarkan (xxx) Kas yang dibayarkan kepada karyawan dan supplier (xxx) Hutang lain – lain yang dilunasi (xxx) Kas bersih yang diterima (digunakan) untuk aktivitas operasi (XXX) Aliran Kas dari Aktivitas Investasi : Ganti rugi dari asuransi kebakaran Pembelian peralatan Penerimaan dari penjualan investasi Pembelian investasi Kas bersih yang diterima (digunakan) untuk aktivitas investasi
Xxx (Xxx) (Xxx) (Xxx) (XXX)
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
191
Aliran Kas dari Aktivitas Pendanaan : Penerimaan dari Kontribusi berbatas dari : Investasi dalam endownment Investasi dalam endownment berjangka Investasi bangunan Investasi perjanjian tahunan Aktivittas Pendanaan lain : Bunga dan devident berbatas untuk reinvestasi Pembayaran kewajiban tahunan Pembayaran Hutang Wesel Pembayaran kewajiban jangka panjang Kas bersih yang diterima (digunakan) untuk aktivitas pendanaan
Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx Xxx (xxx) (xxx) (xxx) (xxx) (xxx)
Kenaikan (Penurunan) bersih dalam kas dan setara kas Kas dan setara kas pada awal tahun
(Xxx) Xxx
Kas dan setara kas pada akhir tahun Rekonsiliasi perubahan dalam aktiva bersih menjadi kas bersih : yang digunakan untuk aktivitas operasi : Perubahan dalam aktiva bersih Penyesuaian untuk rekonsiliasi perubahan dalam aktiva bersih menjadi kas bersih yang digunakan untuk aktivitas operasi : Depresiasi Kerugian akibat kebakaran Kerugian aktuarial pada kewajiban tahunan Kenaikan piutang bunga Penurunan dalam persediaan dan biaya dibayar di muka Kenaikan dalam piutang lain – lain Kenaikan dalam hutang dagang Penurunan dalam penerimaan dimuka yg dapat dikembalikan Penurunan dalam hutang lain-lain Sumbangan terikat untuk investasi jangka panjang Bunga dan deviden terikat untuk investasi jangka panjang Penghasilan bersih terealisasikan dan belum terealisasikan dari investasi jangka panjang Kas bersih diterima (digunakan) untuk aktivitas operasi Data tambahan untuk aktivitas investasi dan pendanaan nonkas : Peralatan yang diterima sebagai hibah : Pembebasan premi asuransi kematian, nilai kas yang diserahkan :
XXX
Xxx
Xxx Xxx Xxx (Xxx) Xxx (Xxx) Xxx (Xxx) (Xxx) (Xxx) (Xxx) (Xxx) (XXX) Xxx Xxx
Dalam pelaksanaan UU Otonomi Daerah, pengembangan kewenangan pemerintahan untuk mengurus daerahnya sendiri, menjadi lebih demokrasi dalam arti ada kewenangan Propinsi, kewenangan Kota, Kecamatan, dan Kelurahan. Sebagai wujud dari tanggung ja
192
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
wab kewenangan-kewenangan di atas, perlu adanya laporan sebagai media informasi pelaksanaan tugas secara transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian sistem pelaporan yang sekarang ini dipertanggungjawabkan dalam APBD, untuk tujuan transparansi dan akuntabilitas kiranya penggunaan sistem informasi akuntansi single entry (metode pencatatan tunggal) yang sekarang ini dipergunakan oleh Pemda perlu disesuaikan sehingga a) Terdapat built up control yang memadai b) Terdapat efisiensi dan efektifitas penyusunan Laporan keuangan c) Posisi keuangan dan kewajiban riel Pemda menjadi akurat d) Kinerja unit-unit organisasi dapat diukur dengan tepat. Untuk realisasi empat hal yang sudah diutarakan di atas, maka dalam upaya mengantisipasi berlakunya UU. Otonomi Daerah, sistem akuntansi tunggal perlu disempurnakan dengan sistem akuntansi berpasangan (double entry) seperti tersirat pada PSAK No.45. Dengan diterapkannya double entry, berarti hak dan kewajiban organisasi jelas lebih transparan dan akuntabilitas informasi keuangan menjadi akurat, sehingga merupakan alat (tools) analisis yang tepat untuk pengambilan keputusan manajemen, baik di tingkat propinsi, kota, kecamatan, maupun kelurahan. Dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah bagi Pemda merupakan pekerjaan baru, di antaranya adanya perbaikan organisasi, perbaikan software, dan hardware pada instansi/ department. Dengan sistem Laporan keuangan yang transparansi dan akuntabilitas, berarti harus ada pengendalian anggaran yang baik, sehingga dengan adanya sistem akuntansi pengendalian anggaran yang baik (tentunya akan dimanfaatkan tenaga akuntan baik sebagai penyusun atau pengawas anggaran, diharapkan : a) Penyusunan laporan keuangan Pemda dapat dikerjakan dengan mudah dan cepat. b) Karena pengelolaan keuangan bertumpu pada kepentingan publik, bukan kepentingan atasan atau golongan (Group), maka posisi kekayaan dan kewajiban Pemda dapat diketahui dengan akurat. Dalam hal ini peran akuntan intern/ekstern dapat dapat menilai kewajaran Pemda dalam mengelola keuangan publik, melalui pemeriksaan Laporan keuangan Pemda. c) Hasil pemeriksaan atas pengendalian anggaran dan laporan keuangan Pemda oleh akuntan publik dapat dijadikan alat (tools) oleh Stakeholder dalam hal ini pimpinan Pemda sesuai dengan jenjang yang ada. d) Karena pelaksanaan akuntansi keuangan Daerah dengan sistem akuntansi dan pengendalian anggaran yang baik, maka semua program kegiatan Pemda dapat diukur dan dikendalikan.. e) Karena pelaporan keuangan Pemda sudah transparan dan akuntabilitas maka peningkatan mutu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan dengan sasaran peningkatan kienrja tiap unit kerja dapat lancar pelaksanaannya.
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
193
Dengan diberlakukannya UU.Otonomi Daerah, akuntan termasuk akuntan publik da-lam menyusun atau memeriksa keuangan Pemda mempunyai paradigma baru, yaitu bahwa 1) Pemda di dalam mengelola keuangan daerah lebih memperhatikan kepentingan publik. 2) Pemda di dalam memanage dana-dana masyarakat tidak boleh secara birokrasi tetap aparat Pemda harus bekerja secara profesional. 3) Pemda dalam mengelola dana-dana yang dipercayakan oleh publik, harus dapat mempertanggung-jawabkan laporan keuangannya secara transparansi dan akuntabilitas, serta dalam mengelola keuangan melalui pendekatan kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan pejabat atau pemerintah.
5.
SIMPULAN
Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai tujuan di atas diperlukan peran serta, keterbukaan dan pertanggung-jawaban masyarakat melalui penerapan azaz desentralisasi dan dekonsentrasi. Realisasi penerapan berdasar azaz tersebut adalah dengan dilaksanakannya otonomi daerah yang memberikan kesempatan kepada daerah yang memberikan kesempatan kepada daerah untuk melaksanakan demokrasi dan kinerja secara berdaya guna dan berhasil dengan efektif dan efisien. Dalam hal pemungutan dan penggunaan dana-dana kontinue dan pembangunan perlu diatur suatu perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang berdasarkan atas hubungan fungsional yang berupa diaturnya sistem keuangan daerah berdasarkan pembagian wewenang, tugas dan tanggungjawab yang jelas antara Propinsi, Kabupaten/ Kotamadya, Kecamatan dan Kelurahan. Untuk hal di atas segera ditetapkan UU yang baru yang mengatur perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam upaya menyongsong pelaksanaan UU yang baru tersebut di atas perlu diperhatikan, antara lain tersedianya Sumber Daya Manusia dan Prasarana (hardware dan software) serta manajemen yang memiliki kapasitas dan kemampuan dalam menyusun perencanaan, pelaksanaan dan mengendalikan serta mengawasi semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Dalam uapaya pengembangan sistem Akuntansi Pengendalian Anggaran, sebagai perwujudan Undang-Undang Otonomi Daerah, perlu dikembangkan sistem pelaporan keuangan dalam pertanggungjawaban APBD. Perlu dikembangkan sistem Informasi Akuntansi Metode Single Entry (pencatatan tanggal) yang bertumpu pada Cash Basis menjadi Double Entry (pencatatan berpasangan), yang bertumpu pada acrual basis. Implementasi Undang-Undang Otonomi Daerah, memberikan peluang bagi Akuntan Publik untuk memberikan kontribusi dalam perbaikan organisasi dan sistem Akuntansi Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkat kebutuhan Daerah. Kontribusi Akuntan Publik tersebut di atas khususnya dalam konsep pengelolaan keuangan daerah di antaranya bahwa pengelolaan keu
194
Ekuitas Vol.3 No.4 Desember 1999 : 180-195
angan bermuara pada keputusan publik, pertanggungjawaban keuangan oleh Pemerintah Daerah secara transparansi dan akuntabilitas, serta pengelolaan keuangan dapat mencerminkan adanya professionalisme kerja.
6.
BAHAN BACAAN
Arifin, Sabeni, et. all, Pokok – Pokok Akuntansi Pemerintahan, Edisi 4; BPFE, Jakarta, 1996 Bonni Siregar at all, Akuntansi Pemerintahan Dengan Sistem Dana, Edisi 4, Bagian Penerbitan YKPN Yogyakarta, 1995 Fauzie Alvi Yasin, Kesiapan Pemda DKI Dalam Implementasi UU Otonomi Daerah, Paper, Konvensi Nasional Akuntan Publik, Jakarta 27 April 1999 Riwu Karo, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, Edisi I, PT. Bina Aksara, Jakarta 1982 The Liang Gie, U.U Tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah di Indonesia, Karya Kencana Yogyakarta, 1979 Ikatan Akuntan Indonesia, PSAK N0. 45, Pelaporan Keuangan Organisasi Nir Laba, Divisi Publikasi, I.A.I Jakarta 1998 -------------------------, Undang – Undang No 5 Thn 1994 Tentang Pokok–Pokok Pemerintahan Di Daerah. -------------------------, Harian Jawa Post tgl 3 Mei 1999 .
Pelaksanaan UU Otonomi Daerah Di Indonesia (Sutjipto Ngumar)
195