”PENYUSUNAN RANCANGAN PROGRAM SAFETY TRAINING YANG BERBASIS PERILAKU CONSISTENCY SAFETY PADA JABATAN OPERATOR GONDOLA DI PT. GHP”
Indah Martianti Kurnia, SPsi
Taman Juanda Blok I1 No. 19 Bekasi Timur 17111
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh suatu rancangan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety bagi jabatan operator gondola di PT. GHP. Keselamatan kerja atau yang dikenal dengan istilah safety adalah upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja yang berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan, proses pengolahan, landasan tempat kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan agar menghindarkan karyawan terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Sedangkan safety training adalah suatu kegiatan dimana pekerja memperoleh pengetahuan akan bahaya kecelakaan kerja, memperoleh keterampilan baru, mendidik pekerja untuk menghadapi potensi bahaya sehingga pekerja memiliki perilaku sikap kerja yang aman dan peduli terhadap kondisi keselamatan ditempat kerja serta dapat mempertahankan perilaku yang aman di lingkungan kerja mereka secara umum, baik di kantor maupun di workshop/luar lingkungan. Perilaku consistency safety didasarkan atas teori safety dari Geller (1942). Operator gondola adalah orang yang bekerja dengan mesin gondola yang melakukan pekerjaan membersihkan kulit luar gedung, bekerja pada ketinggian, mempunyai mental serta fisik yang bagus, memiliki pengetahuan serta keahlian khusus dibidangnya dan telah memiliki surat ijin operasional (SIO) sebagai operator gondola dari Departemen Tenaga Kerja (depnaker). Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan disesuaikan dengan tahapan penyusunan rancangan safety training antara lain melakukan analisa kebutuhan training, menentukan desain training, pengembangan training, implementasi/pelaksanaan training dan mengevaluasi program training. Subjek pada penelitian ini adalah jabatan operator gondola di PT. GHP. Yang diperbolehkan perusahaan untuk mengikuti training sebanyak 25 (dua puluh lima) orang. Teknik pengumpulan datanya adalah wawancara tatap muka untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam menyusun program safety training ini. Pejabat yang diwawancarai adalah general manager yaitu selaku pimpinan di PT. GHP, koordinator hrd, koordinator training dan operator gondola. Proses pengumpulan data ini berlangsung selama enam hari kerja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu diadakan penambahan safety training dalam hal perilaku consistency safety bagi operator gondola agar operator gondola menyadari pentingnya bekerja dengan safety dan memiliki inisiatif untuk bertindak safety tanpa harus diberikan instruksi dan diawasi oleh atasan/supervisor. Jika operator gondola bekerja dengan safety maka resiko kecelakaan kerja menjadi nol sehingga nama perusahaan menjadi baik dan customer
banyak yang menggunakan jasa PT. GHP, perusahaan menjadi berjaya dan kesejahteraan karyawan meningkat. Kata Kunci : keselamatan kerja, safety training, perilaku consistency safety, operator gondola.
PENDAHULUAN Semakin ketatnya persaingan dibidang industri menuntut perusahaan harus mampu bertahan dan berkompetisi. Namun beberapa perusahaan mengesampingkan pentingnya keselamatan kerja dalam berkompetisi dengan perusahaan lain. Perusahaan mengorbankan keselamatan pekerjanya dengan dalih penghematan keuangan perusahaan. Padahal keselamatan kerja merupakan salah satu persyaratan untuk meningkatkan produktivitas kerja karyawan disamping itu keselamatan kerja adalah hak asasi setiap tenaga kerja (Indopos, Kamis 25 Maret 2010 hal. 10). Di era globalisasi, untuk memenangkan persaingan bebas, keselamatan kerja menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh industri di Indonesia. Oleh karena itu, keselamatan kerja perlu diterapkan di semua tempat kerja untuk meningkatkan keselamatan kerja tenaga kerja guna meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Namun kesadaran perusahaan di Indonesia terhadap keselamatan kerja masih jauh dari yang diharapkan. Dari 26.000 (dua puluh enam ribu) perusahaan di Jakarta, hanya 200 perusahaan yang sudah menerapkan keselamatan kerja secara baik dan konsisten. Padahal di Indonesia telah memiliki undang – undang mengenai keselamatan kerja yaitu Undang – Undang No. 1 Tahun 1970 (Indopos, Kamis 25 Maret 2010 hal. 10). Program-program keselamatan kerja pun sering menempati prioritas terendah dan terakhir bagi manajemen perusahaan. Memang keselamatan kerja bukanlah segalagalanya, namun tidak disadari bahwa tanpa keselamatan kerja segalanya tidak berarti apa-apa jika terjadi kecelakaan kerja berupa kematian yang dialami oleh tenaga kerja. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Dede Sukendar (Indopos, Kamis 25 Maret 2010 hal. 10) mengatakan bahwa perusahaan baru menyadari pentingnya keselamatan kerja setelah terjadi kecelakaan kerja. Perusahaan yang dengan alasan penghematan mengorbankan keselamatan pekerjanya kurang melihat manfaat keselamatan kerja dalam jangka panjang. Menyadari pentingnya keselamatan kerja bagi semua orang dimanapun berada maupun bekerja, serta adanya persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap perusahaan di era globalisasi ini maka mau tidak mau upaya untuk meningkatkan keselamatan kerja harus menjadi prioritas dan komitmen semua pihak baik pemerintah maupun swasta dari tingkat pimpinan sampai manajemen perusahaan dan seluruh karyawan. Dengan tingkat keselamatan kerja yang baik kerugian akibat kecelakaan kerja berkurang, tenaga kerja lebih produktif sehingga keuntungan perusahaan meningkat dan kesejahteraan karyawan akan meningkat pula. Melihat keadaan tersebut maka diperlukan suatu manajemen perusahaan yang berorientasi pada keselamatan kerja. Agar dapat berkompetisi dengan perusahaan lain yang memiliki core bisnis yang sama dengan PT. GHP, selain mengutamakan services PT. GHP juga mengutamakan safety. Manajemen PT. GHP telah menerapkan safety untuk pekerjaan operator gondola. Safety dalam pekerjaan operator gondola sangat diperlukan, karena pekerjaan operator gondola memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Operator gondola
adalah seorang pelaksana bidang kebersihan kulit luar gedung yang mempunyai mental dan fisik yang bagus, umumnya mereka memiliki keahlian khusus dibidangnya dan telah memiliki surat ijin operasional (SIO) sebagai operator gondola dari Departemen Tenaga Kerja (Arif dalam http://gondolaman-bi.blogspot.com/). SOP (standard operation procedure) milik PT. GHP mengatakan untuk pekerjaan membersihkan kaca gedung diatas ketinggian 2 meter wajib memakai mesin gondola. Dapat dikatakan operator gondola adalah salah satu profesi yang memiliki resiko pekerjaan yang sangat tinggi, untuk itu dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang resiko dan peralatan yang menunjang pekerjaan tersebut agar dalam melakukan pekerjaan operator gondola dapat bekerja dengan aman. Untuk pekerjaan dengan resiko tinggi, perusahaan hendaknya memiliki program training atau pelatihan untuk pekerjanya agar terampil dalam bekerja dan dapat bekerja dengan aman. PT. GHP sudah memiliki program training untuk para pekerjanya yang dilakukan secara berkala agar sistem kerja yang efektif dapat tetap terjaga. Jenis training yang ada berupa product knowledge training untuk seluruh karyawan PT. GHP. Untuk operator gondola terdapat training tambahan mengenai pengetahuan tentang safety equipment dan safety body. Safety equipment dan safety body diberikan kepada calon karyawan operator gondola selama tiga hari masa training sebelum terjun ke lapangan. Dengan adanya program training berupa training safety equipment dan safety body, operator gondola diharapkan dapat mengetahui dan memahami betul akan pekerjaannya dan diharapkan operator gondola dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi ketika bekerja terutama yang berhubungan dengan penggunaan safety equipment dan safety body sebagai alat pelindung diri. Dalam hal ini manajemen PT. GHP sudah memiliki program training yang berorientasi pada keselamatan kerja. Program training tersebut bersifat teknikal dan belum mengarah secara psikologis. Program safety training PT. GHP belum menyentuh segi psikologis karyawan. Segi psikologis perlu karena sistem kerja PT. GHP adalah mengadakan pendekatan secara kekeluargaan antara pimpinan dan karyawan. Sehingga yang terjadi penerapan disiplin terhadap penggunaan peralatan safety operator gondola agak kurang. Atasan/supervisor lebih sering melakukan intervensi kepada operator gondola untuk menggunakan peralatan safety sebelum melakukan pekerjaan. Sehingga kesadaran operator gondola kurang untuk menjalankan keselamatan kerja dilapangan/ditempat kerjanya. Untuk itulah perlu diadakan program safety training yang bersifat psikologis, dimana prinsip kekeluargaan yang telah terjalin di PT. GHP dapat mendukung terlaksananya keselamatan kerja secara baik. Penelitian dalam keselamatan kerja (safety), menurut Geller (1942) adalah pendekatan yang berbasis psikologis yang merupakan salah satu dari pendekatan yang direkomendasikan dalam aplikasi keselamatan kerja (safety). Namun belum ada jenis safety training yang berbasis psikologis secara umum, yang ada hanya bersifat teknikal. Menurut Geller (1942) ada training yang mengacu kepada perilaku safety. Ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia dan binatang serta penerapannya pada permasalahan manusia, fokusnya kepada perilaku individual adalah pengertian psikologi secara umum, psikologi membahas perilaku yang dihasilkan berdasarkan adanya faktor stimulus, proses dan respon (Morgan, 1986). Safety training yang berbasis perilaku consistency safety mengacu kepada teoriteori behavior based safety (Geller, 1942), digunakan untuk merubah perilaku pekerja untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Perilaku yang akan dirubah adalah perilaku selamat yang mengacu kepada total safety culture. Total safety culture
merupakan budaya untuk meningkatkan keselamatan ditempat kerja, budaya selamat tersebut terbentuk atas faktor lingkungan (environment), faktor individu (person) dan faktor perilaku (behavior). Menurut Heinrich (1990), penyebab kecelakaan kerja yang sering ditemui adalah perilaku yang tidak aman sebesar 88%, kondisi lingkungan yang tidak aman sebesar 10%. Oleh karena itu, pelaksanaan safety training yang berbasis perilaku consistency safety dapat mencegah perilaku yang tidak aman, dapat menimbulkan perilaku consistency safety dan memperbaiki kondisi lingkungan yang tidak aman. Sehingga safety training yang berbasis consistency safety perlu diadakan untuk memunculkan kesadaran berperilaku selamat pada operator gondola dan melindungi operator gondola dari kecelakaan kerja akibat faktor kelalaian manusia (human eror). Agar tujuan program safety training yang berbasis consistency safety pada jabatan operator gondola tepat sasaran, dalam pelaksanaannya trainer/pelatih akan membina hubungan baik dengan trainee/peserta training melalui pendekatan bersifat kekeluargaan, sehingga dapat memotivasi operator gondola untuk mengikuti keseluruhan rangkaian acara training dan tujuan perusahaan dapat tercapai yaitu operator gondola dapat meningkatkan kinerjanya dengan mengutamakan safety dalam bekerja. Dengan diadakannya program safety training yang berbasis consistency safety pada jabatan operator gondola, perusahaan akan mendapatkan keuntungan meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan dalam bekerja yang mengacu kepada perilaku consistency safety operator gondola, perusahaan akan mendapat kepercayaan pelanggan tetap dan memperoleh kepercayaan dari pelanggan baru karena mengutamakan safety sehingga keuntungan perusahaan meningkat maka kesejahteraan karyawan pun akan meningkat. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh suatu rancangan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety bagi jabatan operator gondola di PT. GHP. TINJAUAN PUSTAKA Keselamatan Kerja. Keselamatan kerja atau yang dikenal dengan istilah safety adalah upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja yang berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan, proses pengolahan, landasan tempat kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan agar menghindarkan karyawan terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Menurut Geller (1942) keselamatan kerja (safety) dapat ditinjau dari dua segi yaitu segi engineering/fisikal dan segi behavior/psikologis. Pada penelitian ini akan dibatasi pembahasannya mengenai safety secara psikologis. Pelaksanaan safety yang profesional ditanggapi dengan mengingatkan karyawan terus menerus atas resiko dengan pemberian memo, berita, pertemuan keselamatan, dan tanda-tanda. Ada tiga macam strategi intervensi safety : 1. Instructional Intervention. Tujuannya adalah untuk memperoleh perhatian dari orang tersebut dan menginstruksikannya untuk bergerak dari tidak sadar (unconscious) ke kemampuan
(competence). Intervensi ini akan efektif jika dilakukan secara spesifik dan satu lawan satu. 2. Supportive Intervention. Intervensi ini memfokuskan pada penerapan konsekuensi positive. Ketika kita memberikan feedback pada perilaku safety seseorang berarti kita menunjukan penghargaan kita atas usahanya untuk meningkatkan perbaikan atas perilaku yang safety. 3. Motivational Intervention. Tujuannya adalah memotivasi orang lain untuk merubah perilakunya dari kemampuan kesadaran menuju disadari. Implementasi jangka panjang dari motivasional intervensi disertai dengan dukungan yang konsisten terhadap proses intervensi itu dapat mengarah pada kebiasaan yang baik. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperoleh safety secara psikologis yang menyeluruh : 1. Mendapatkan dukungan dari manajemen. 2. Membuat tim keselamatan. 3. Membangun prosedur evaluasi yang valid. 4. Membangun proses pendidikan & pelatihan. 5. Mempertahankan perubahan budaya dengan aktivator, konsekuensi, teknik evaluasi, pelatihan sebagai tindak lanjut. 6. Kesepakatan dengan pihak luar (kontraktor). 7. Pemecahan masalah, penyelarasan yang baik & prosedur proses yang bervariasi. 8. Memberi umpan balik – konsekuensi. 9. Konsekuensi yang nyata. 10. Pengukuran dan evaluasi yang berkelanjutan. 11. Follow- up instruction /booster session. 12. Melibatkan kontraktor. 13. Mengatasi masalah dan menyelaraskan dengan baik (fine tuning). Behavior Based Safety. Behavior Based Safety (Geller, 1942) merupakan aplikasi ilmu dari perilaku yang menangani permasalahan safety at work. Behavior based safety (BBS) berfokus kepada apa yang orang lain lakukan, kemudian menganalisa mengapa mereka melakukan hal itu dan menemukan intervensi yang tepat untuk meningkatkan kemampuan orang tersebut. BBS biasanya digunakan untuk merubah perilaku pekerja untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Menurut Dr. Mena, seorang profesor psikolog universitas chile (dalam Syaaf, 2007), dia berhasil mengembangkan BBS system yang memiliki langkah- langkah : mengidentifikasi perilaku, mengukur perilaku, intervensi dan evaluasi atau follow up. Untuk mengukur perilaku dilakukan observasi terhadap perilaku pekerja secara terus menerus. Kecelakaan Kerja. Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga (tidak ada unsur kesengajaan) dan tidak diharapkan karena mengakibatkan kerugian, baik material maupun penderitaan bagi pekerja yang menga laminya. Langkah- langkah pencegahan kecelakaan kerja adalah : a. Berdoa sebelum bekerja.
b. Sehat jasmani dan mental. c. Memakai peralatan safety (safety body dan safety equipment). d. Teliti dalam bekerja. Ergonomi. Ergonomi berkaitan dengan safety, merupakan studi mendalam tentang hubungan antara lingkungan dan perilaku serta kemampuan untuk mengembangkan action plan (seperti perlengkapan kerja, standar operasional yang aman, pelatihan, dsb) untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan dari interaksi antara lingkungan dan perilaku tersebut. Lingkungan tersebut adalah lingkungan fisik dimana sesuatu yang berada di sekitar para pekerja yang meliputi warna, cahaya, udara, suara serta musik yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. (Moekijat, 1995). Salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan fisik tempat kerja adalah warna. Aspek warna dapat diaplikasikan dalam tempat kerja melalui permainan warna dalam desain baik desain peralatan, produk, atau media- media lain disekitar tempat kerja seperti dinding, lantai, dan sebagainya. Beberapa penelitian menunjukan hubungan positif antara arti warna dilihat dari sudut pandang aspek aesthetic, psychological, physiological, associative, dan symbolic dengan efek warna pada desain lingkungan kerja terhadap performansi kerja. Misalnya penelitian yang membuktikan bahwa warna merah cocok untuk meningkatkan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi pada hal- hal yang detail yang sifatnya waspada dan warna biru cocok untuk meningkatkan pekerjaan yang membutuhkan kreativitas. Warna kuning menstimulasi tubuh dan pikiran, memberi kesan hati- hati sedangkan warna hijau memberikan kesan perasaan tenang (http://www.ergonomimakmur.co.cc/2011/03/pengaruh-warna-terhadap performansi. html).
Gambar 1. Contoh Tanda-tanda Yang Biasa Digunakan Dalam Safety. Sumber : http://www.ergonomimakmur.co.cc/2011/03/pengaruh-warna-terhadap performansi. html).
Usaha penerapan K3 mempunyai peranan penting dalam peningkatan produktivitas kerja. Untuk itu perlu adanya suatu identitas dalam rangka memasyarakatkan K3. Identitas tersebut tertuang dalam keputusan menteri tenaga kerja
No. KEP-1135-MEN-1987 mengenai bendera K3 (Lestari, 2000). Penjelasan mengenai bendera K3 tersebut adalah :
Gambar 2. Bendera Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Sumber : Lestari (2000) – – – – –
Palang : bebas dari kecelakaan dan sakit akibat kerja. Roda gigi : bekerja dengan kesegaran jasmani dan rohani. Warna putih : bersih, suci. Warna hijau : selamat, sehat dan sejahtera. Sebelas gerigi roda : 11 Bab dalam Undang-undang Keselamatan Kerja.
Faktor-faktor Total Safety Culture. Menurut Geller (1942) terdapat tiga faktor dalam total safety culture, yaitu : a. Environment Factors. Environment factors adalah faktor lingkungan yang mempengaruhi keselamatan ditempat kerja, termasuk perlengkapan, peralatan, perawatan mesin, suhu dan standar operasional prosedur. b. Person Factors. Person factors adalah faktor individu yang mempengaruhi keselamatan ditempat kerja, termasuk sikap dan keyakinan yang berupa pengetahuan, keterampilan, kemampuan, inteligensi, dan motivasi dan kepribadian. c. Behavior Factors. Behavior factors adalah faktor perilaku yang mempengaruhi keselamatan ditempat kerja, termasuk pelatihan, komunikasi, peduli secara aktif. Ketiga faktor itu disebut sebagai “The Safety Triad” yang bersifat dinamis dan interaktif. Perubahan pada satu faktor secara langsung akan mempengaruhi dua faktor lainnya. Berikut adalah gambar yang merepresentasikan hubungan ketiga faktor tersebut, yaitu :
Person Pengetahuan, keterampilan, kemampuan, inteligensi, motivasi, kepribadian.
Environment Safety Culture
Perlengkapan, peralatan, perawatan mesin, suhu, standar prosedur operasional.
Behavior Pelatihan, pengenalan, komunikasi, peduli secara aktif.
Gambar 3. Total Safety Culture. Sumber : Geller (1942) Safety Training. Safety training adalah suatu kegiatan dimana pekerja memperoleh pengetahuan akan bahaya kecelakaan kerja, memperoleh keterampilan baru, mendidik pekerja untuk menghadapi potensi bahaya sehingga pekerja memiliki perilaku sikap kerja yang aman dan peduli terhadap kondisi keselamatan ditempat kerja serta dapat mempertahankan perilaku yang aman di lingkungan kerja mereka secara umum, baik di kantor maupun di workshop/luar lingkungan. Menurut Statt (2000) tujuan dan manfaat dari diadakannya training adalah : a. Meningkatkan produktifitas. b. Meningkatkan kualitas. c. Meningkatkan kuantitas. d. Meningkatkan semangat & moral kerja. e. Balas jasa tidak langsung. f. Meningkatkan kesehatan & keselamatan kerja. g. Kesempatan menjadi tenaga profesional. h. Kesempatan pengembangan diri. Menurut Statt (2000) langkah- langkah melakukan training adalah : a. Training need analysis (analisa kebutuhan training). b. Menentukan desain training. c. Pengembangan training. d. Implementasi/pelaksanaan training. e. Mengevaluasi program training. Metode yang akan digunakan dalam program safety training yang berbasis consistency safety adalah : 1). Metode kuliah/ceramah, alasannya adalah metode ini memiliki tujuan untuk menyampaikan informasi terbaru mengenai safety atau gagasan baru kepada pendengar, dengan sasaran intructor centered (dilaksanakan oleh instruktur) dan subject master centered (dirumuskan dalam bentuk topik dan konsep yang hendak diajarkan). 2). Metode diskusi terkendali, alasannya ada diskusi untuk mengemukakan fakta, dapat menguji pemahaman peserta mengenai safety dan menimbulkan partisipasi dengan
penyaji bertindak sebagai ketua, dengan sasaran trainee activity centered (dalam bentuk apa yang harus dilaksanakan oleh trainee). 3). Metode sumbang saran, alasannya adalah ada diskusi spontan dari peserta untuk berfikir kritis mengenai pemecahan masalah mengenai safety sehingga terjadi pertukaran gagasan, dengan sasaran trainee activity centered (dalam bentuk apa yang harus dilaksanakan oleh trainee). 4). Metode alat-alat modul, alasannya ada kuesioner sebagai tanggapan atas serangkaian pertanyaan yang diajukan dan menyadarkan keyakinan mereka akan safety, dengan sasaran intructor centered (dilaksanakan oleh instruktur) dan subject master centered (dirumuskan dalam bentuk topik dan konsep yang hendak diajarkan). Menurut Kirkpatrick (2006) model evaluasi pelatihan menggunakan empat level dalam mengkategorikan hasil- hasil pelatihan. Empat level tersebut adalah level reaksi, pembela jaran, perilaku dan hasil. Keempat level dapat dirinci sebagai berikut: • Reaksi dilakukan untuk mengukur tingkat reaksi yang didesain agar mengetahui opini dari para peserta pelatihan mengenai program pelatihan. • Pembelajaran mengetahui sejauh mana daya serap peserta program pelatihan pada materi pelatihan yang telah diberikan. • Perilaku diharapkan setelah mengikuti pelatihan terjadi perubahan tingkah laku peserta (karyawan) dalam melakukan pekerjaan. • Hasil untuk menguji dampak pelatihan terhadap kelompok kerja atau organisasi secara keseluruhan. Perilaku Consistency Safety. Perilaku consistency safety didasarkan atas teori safety dari Geller (1942). Menurut Geller (1942) ada tiga jenis transisi perilaku, yaitu : 1. Merubah kebiasaan yang beresiko menjadi perilaku yang konsisten. 2. Merubah perilaku konsisten yang beresiko menjadi perilaku konsisten yang aman. 3. Merubah perilaku konsisten menjadi kebiasaan yang selamat dan aman. Dalam peninjauan total safety culture menurut Geller (1942) sudah melaksanakan atau sudah menerapkan teori- teori tersebut. Operator Gondola Operator gondola adalah orang yang bekerja dengan mesin gondola yang melakukan pekerjaan membersihkan kulit luar gedung, bekerja pada ketinggian, mempunyai mental serta fisik yang bagus, memiliki pengetahuan serta keahlian khusus dibidangnya dan telah memiliki surat ijin operasional (SIO) sebagai operator gondola dari Departemen Tenaga Kerja (depnaker). Modul kerja operator gondola (milik PT. GHP) mengatakan pekerja seperti operator gondola yang bekerja pada ketinggian merupakan pekerjaan yang beresiko tinggi. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan dan pemahaman tentang resiko dan peralatan yang menunjang pekerjaan tersebut agar dalam melakukan pekerjaan para operator gondola dapat bekerja dengan aman. Dalam SOP (standard operation procedure) milik PT. GHP mengatakan untuk pekerjaan membersihkan kaca gedung diatas ketinggian 2 meter wajib memakai : •
Mesin gondola.
• Full body harnest. • Helmet. • Hand gloves. • Kacamata safety. • Safety shoes. • Tambang. Sedangkan prosedur umum pekerjaan yang mengunakan mesin gondola : • Memakai peralatan safety. • Cek keranjang gondola, bersih dan nyaman. • Cek kabel listrik sebelum naik keranjang gondola. • Cek tambang. • Cek peralatan kerja untuk pekerjaan cleaning. • Jika ada masalah gondola sudah naik sampai tengah, gondola nya miring, gondola dimatikan dahulu, jangan panik, gondola dihidupkan lagi lalu diatur kembali supaya rata dan stabil. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan disesuaikan dengan tahapan penyusunan rancangan safety training antara lain melakukan analisa kebutuhan training, menentukan desain training, pengembangan training, implementasi/pelaksanaan training dan mengevaluasi program training. Subjek Penelitian Subjek pada penelitian ini adalah jabatan operator gondola di PT. GHP. Karena operator gondola PT. GHP memiliki pekerjaan membersihkan gedung bertingkat, yang beresiko terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Dengan jumlah karyawan gondola sebanyak 150 (seratus lima puluh) orang, yang diperbolehkan perusahaan untuk mengikuti training sebanyak 25 (dua puluh lima) orang. Teknik Pengumpulan Data Peneliti menggunakan metode wawancara tatap muka untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam menyusun program safety training ini. Pejabat yang diwawancarai adalah general manager yaitu selaku pimpinan di PT. GHP, koordinator hrd, koordinator training dan operator gondola. Mereka adalah pihak manajemen dan pemegang jabatan langsung yang mengetahui dan memahami tugas-tugas pekerjaan operator gondola. Proses pengumpulan data ini berlangsung selama enam hari kerja. Dalam metode wawancara ini, alat yang akan digunakan adalah pedoman wawancara yang disusun peneliti berdasarkan job description operator gondola yang sudah ada di PT. GHP agar mendapatkan hasil wawancara yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu melihat perilaku consistency safety, berdasarkan teori mengenai behavior based safety menurut Geller (1942) dan langkah- langkah melakukan training menurut Statt (2000). Behavior based safety digunakan untuk mengumpulkan informasi terperinci mengenai pekerjaan, sehingga karyawan akan diwawancarai secara mendetail mengenai perilakunya dalam bekerja, keterampilan dan pengetahuan apa saja yang dibutuhkan, apa saja hambatan dalam bekerja dan bagaimana cara mengatasinya. Dengan demikian peneliti memiliki panduan untuk me lakukan wawancara kebutuhan training kepada pejabat yang berwenang, sehingga hasil wawancara mengarah kepada tujuan yang hendak dicapai.
Peneliti juga menggunakan pulpen dan kertas dalam proses pengambilan data utnuk mencatat hal- hal atau perilaku penting ketika melakukan wawancara mendalam. HASIL PENELITIAN Hasil Pelaksanaan Keselamatan Kerja PT. GHP. Hasil analisa pelaksanaan keselamatan kerja di PT. GHP dapat dilihat bahwa belum semua pelaksanaan keselamatan kerja sesuai dengan teori Geller. Yang belum dilaksanakan dan belum sesuai dengan teori Geller adalah belum menggunakan pendekatan perilaku manusia dalam pelaksanaan keselamatan kerjanya, belum ergonomic (comprehensive ergonomic) yaitu belum menyesuaikan kondisi kerja dan perlengkapan kerja yang digunakan, belum sesuai cara mendesain peringatan yang sesuai dengan teori Geller, belum membuat perintah yang jelas, belum adanya pembuatan kode-kode dengan warna, tidak adanya laporan kecelakaan (near-miss reporting) padahal pernah terjadi kecelakaan kerja yang dialami oleh karyawan. Standar peralatan safety yang dimiliki oleh PT. GHP belum sesuai dengan teori Geller, seperti kelaikan mesin gondola masih jauh dari standar safety, masih sedikit pelatihan untuk menyampaikan informasi tentang keselamatan kerja, kemudian dorongan untuk menggunakan disiplin untuk berperilaku selamat dalam bekerja belum maksimal diterapkan. Belum menjalankan intervensi dengan konsekuensi dengan perilaku, belum ada bentuk-bentuk reward atau imbalan yang diberikan oleh PT. GHP terhadap karyawan, selain imbalan berupa pujian. Di PT. GHP belum mengajak seseorang untuk membuat komitmen mengenai safety. Yang sudah dilaksanakan dan sesuai dengan keselamatan kerja Geller adalah mengikuti peraturan pemerintah (government action) mengenai pengadaan tim K3 di PT. GHP, ada pengawasan manajemen (management audit) yaitu dengan memberikan beberapa pelatihan kepada manajer untuk menerapkan Standard International Safety Rating (SISR). Ada manajemen stress (stress management) yaitu dengan mengajarkan kepada karyawan dalam menghadapi stress kerja, sehingga tidak didapati karyawan yang stres. Melibatkan seluruh pekerja dalam mengurangi resiko kecelakaan kerja dan ada evaluasi untuk mengetahui perkembangan program keselamatan kerja. Manajemen memberikan intervensi motivasi yaitu dengan cara memberikan motivasi kepada karyawan untuk berperilaku safety, sehingga komunikasi antar karyawan mendukung untuk timbulnya safety at work . Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan keselamatan kerja di PT. GHP, secara umum adalah PT. GHP belum menyentuh segi perilaku safety, dimana perilaku safety dianggap perlu untuk menciptakan budaya safety at work . Safety yang ada di PT. GHP hanya kepada kewajiban untuk penggunaan peralatan safety. Peralatan safety juga kurang memenuhi standar safety dan tidak memenuhi ergonomi sehingga karyawan kurang nyaman dalam menggunakan peralatan safety. PT. GHP belum ada training secara berkala, pemberian training hanya dilakukan pada saat calon karyawan memasuki masa orientasi kerja. Training hanya mengenai kewajiban menggunakan peralatan safety tanpa karyawan mengerti manfaat dari penggunaan peralatan tersebut. Namun pihak manajemen sudah berusaha untuk melakukan intervensi melalui komunikasi, dengan memberikan arahan mengenai safety at work dan memberikan pujian jika karyawan mengutamakan safety dalam bekerja. Pihak manajemen juga bersedia menerima masukan berupa pemberian safety training yang membahas mengenai perilaku safety ataupun mengenai budaya safety pada jabatan operator gondola yang diharapkan dapat meminimalkan kecelakaan kerja sehingga produktivitas
kerja karyawan meningkat dan perusahaan mendapatkan kepercayaan dari customer yang ingin menggunakan jasa mereka. Hasil dan Pembahasan Analisa Kebutuhan Tingkat Organisasional PT. GHP. Berdasarkan data-data perusahaan, PT. GHP berdiri sejak tahun 1990 dan bergerak dalam bidang industri jasa perawatan gedung seperti mall, apartement dan perkantoran. PT. GHP telah memiliki 38 klien. Untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada kliennya, manajemen PT. GHP memberikan training kepada karyawannya agar bekerja sesuai dengan visi dan misi perusahaan. PT. GHP sudah melaksanakan training secara rutin untuk karyawan baru yaitu training orientasi perusahaan dan training product knowledge, untuk operator gondola yaitu safety training dalam hal safety body & equipment. PT. GHP membutuhkan sumber daya manusia (sdm) yang handal. Telah dilaksanakan proses rekruitmen yang ketat dan seleksi fisik untuk calon karyawan, proses pelatihan sik ap, kemampuan teknis dan manajerial untuk calon supervisor dan sudah terdapat penilaian kinerja/jalur kerja. Sehingga proses kenaikan jabatan, promosi, mutasi ataupun resign sudah terdapat pengaturan administrasinya. Kebutuhan perusahaan akan sumber daya manusia yang handal menjadikan pelayanan PT. GHP berkualitas, sehingga dapat memberikan kepuasan bagi pelanggan. PT. GHP menerima perbaikan didalam perusahaan demi mendapatkan kualitas sdm yang sesuai dengan visi, misi dan nilai- nilai perusahaan. Maka perlu diadakan penambahan safety training dalam hal perilaku consistency safety bagi operator gondola agar operator gondola menyadari pentingnya bekerja dengan safety dan memiliki inisiatif untuk bertindak safety tanpa harus diberikan instruksi dan diawasi ole h atasan/ supervisor. Jika operator gondola bekerja dengan safety maka resiko kecelakaan kerja menjadi nol sehingga nama perusahaan menjadi baik dan customer banyak yang menggunakan jasa PT. GHP, perusahaan menjadi berjaya dan kesejahteraan karyawan meningkat. Hasil dan Pembahasan Analisa Kebutuhan Tingkat Jabatan PT. GHP. Berdasarkan data-data perusahaan, operator gondola PT. GHP memiliki pekerjaan membersihkan gedung bertingkat, yang beresiko terhadap terjadinya kecelakaan kerja seperti terjatuh atau tersetrum. Untuk mengurangi kecelakaan kerja, PT. GHP telah memberikan operator gondola pelatihan safety training body dan equipment. Operator gondola PT. GHP telah memiliki SOP namun dalam pelaksanaannya terkadang membutuhkan pengawasan dari supervisor. Maka itu, safety training yang berbasis perilaku consistency safety perlu diadakan agar dalam pelaksaan kerja, operator gondola disiplin menjalankan SOP. Hasil Rancangan Program Safety Training Yang Berbasis Perilaku Consistency Safety Pada Jabatan Operator Gondola di PT. GHP. TUJUAN PELATIHAN 1. Memiliki pengetahuan mencegah terjadinya kecelakaan kerja. 2. Menimbulkan kebiasaan untuk berperilaku safety.
3. Memahami ancaman resiko/bahaya kecelakaan di tempat kerja. 4. Menggunakan langkah pencegahan kecelakaan kerja. PESERTA DAN WAKTU Peserta pelatihan
: 25 operator gondola PT. GHP.
Perkiraan waktu
: 120 menit x 3 sesi pertemuan.
METODE 1. Penyampaian Metode yang digunakan dalam penyampaian training ini adalah melalui : a. Teori/penyajian materi berupa kuliah/ceramah. b. Diskusi. c. Sumbang saran. d. Analisa kasus. e. Alat-alat berupa gambar. 2. Evaluasi a. Pre test dan post test. b. Observasi pekerjaan. b. Kuesioner. MATERI 1. Faktor-faktor dalam total safety culture. (waktu : 15 menit) 2. Teori behavior based safety. (waktu : 15 menit) 3. Cara untuk mengurangi terjadinya kecelakaan kerja. (waktu : 15 menit) 4. Langkah pencegahan kecelakaan kerja. (waktu : 15 menit) 5. Bahan pre test dan post test. (waktu : @30 menit) 6. Bahan focus group disscussion. (waktu : 30 menit) 7. Bahan analisa kasus. (waktu : 30 menit)
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa kebutuhan training (training need analysis) PT. GHP untuk mengetahui kebutuhan karyawannya akan pengadaan training terutama pada jabatan operator gondola, maka telah berhasil disusun rancangan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety pada jabatan operator gondola di PT. GHP. Adapun simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah : 1. Analisa Pelaksanaan keselamatan kerja di PT. GHP, mencakup pendekatan keselamatan kerja, teori keselamatan kerja, total safety, resiko yang dirasa, adanya stres/distres, perilaku kritis, analisa terhadap perilaku selamat, intervensi, intervensi dengan konsekuensi, bentuk rewards/imbalan, intervensi dengan percakapan yang mendukung, kepedulian aktif, faktor pendukung kepedulian aktif, meningkatkan perilaku peduli aktif, meningkatkan kinerja tim, evaluasi peningkatan, memperoleh dan memelihara keterlibatan. 2. Analisa kebutuhan training (training need analysis) PT. GHP mencakup analisa kebutuhan tingkat organisasional dan analisa kebutuhan tingkat jabatan pada PT. GHP. 3. Penyusunan kompetensi jabatan operator gondola PT. GHP mencakup keterampilan yang dibutuhkan, pengetahuan/pelatihan yang dibutuhkan dan attitude/kepribadian 4. Rancangan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety pada jabatan operator gondola di PT. GHP mencakup pendahuluan, tujuan training, peserta dan waktu training, metode training, materi training, ringkasan alur sesi training dan lampiran- lampiran (yang tertuang dalam halaman lampiran). 5. Evaluasi program safety training yang berbasis perilaku consistency safety pada jabatan operator gondola di PT. GHP mencakup evaluasi per sesi, evaluasi akhir pelatihan, evaluasi materi training, evaluasi panitia, evaluasi oleh atasan dan pre test post test. Saran Berdasarkan hasil penelitian serta memperhatikan penjabaran di bagian-bagian sebelumnya, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Kepada pihak manajemen PT. GHP disarankan untuk : a. Menjalankan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety kepada karyawan baru operator gondola. b. Memberikan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety kepada atasan/supervisor operator gondola supaya atasan memiliki kesamaan pemahaman dan pengetahuan mengenai perilaku consistency safety. c. Melakukan evaluasi per tiga bulan untuk melihat perubahan perilaku safety operator gondola.
d. Melengkapi peralatan safety sesuai standar dari depnaker yang belum disediakan oleh perusahaan agar mengurangi resiko terjadinya kecelakaan kerja. e. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan operator gondola sesuai dengan total safety culture. 2. Kepada peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan standarisasi guna memperkuat keabsahan program safety training yang berbasis perilaku consistency safety pada jabatan operator gondola di PT. GHP dan dibedakan untuk customer dengan bisnis mall, apartment dan perkantoran sehingga sasaran training dapat lebih efektif, karena peralatan safety untuk ketiga bisnis customer tersebut dapat berbeda-beda dan penanganan kecelakaan kerjanya pun berbeda. DAFTAR PUSTAKA Arif. Gondolaman. Diakses pada tanggal 14 Februari 2011 dari http://gondolamanbi.blogspot.com/. Geller, E.S. 1942. The Psychology of Safety Handbook . United States of America: Lewish Publisher. Heinrich. B. 1990. Wildlife Rescue. Boston : Joy Streets Books. Indopos. Terbit Kamis 25 Maret 2010 hal. 10. Jakarta. Kirkpatrick, D.L. dan Kirkpatrick, J.D., 2006. Evaluating Training Programs: The Four Levels. San Fransisco : Berrett-Koehler Publishers, Inc. Moekijat. 1995. Tata Laksana Kantor. Bandung : Mandar Maju. Statt, D. 2000. Using Psychology in Management Training : The Psychological Foundation of Management Skills. London : Routledge. http://www.ergonomimakmur.co.cc/2011/03/pengaruh-warna-terhadap performansi. html.