PENYISIHAN BAHAN ORGANIK ALAMI PADA AIR PERMUKAAN DENGAN OZONISASI DAN OZONISASI – FILTRASI ORGANIC AROMATIC REMOVAL ON SURFACE WATER WITH OZONITATION AND OZONATION WITH FILTRATION Mohamad Rangga Sururi*), Kancitra Pharmawati1), dan Paramanita1) 1) Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Nasional, Kampus ITN, Malang. *) E-mail:
[email protected] Abstrak Pada proses desinfeksi dengan ozon, keberadaan bahan organik aromatik dan tak jenuh alami di dalam air baku dapat menyebabkan terbentuknya produk samping desinfeksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi penyisihan bahan organik aromatik dan tak jenuh dengan proses ozonisasi dan proses ozonisasi ditambah filtrasi. Sampel air yang digunakan bersal dari air danau di Situ Ciburuy. Penelitian skala laboratorium dilakukan secara batch dengan waktu kontak ozonisasi 10, 20, 30, 40, dan 50 menit, pada kontaktor dengan volume 1,5 liter. Sementara filter menggunakan media granular activated carbon (GAC), dengan variasi tebal media (1) yaitu GAC setebal 25 cm, sedangkan variasi tebal media (2) GAC setebal 15 cm. Metode yang digunakan untuk mengukur konsentrasi sisa ozon adalah Indigo Colorimetric. Bahan organik aromatik dan tak jenuh diukur dengan parameter UV254. Hasil penelitian menunjukkan efisiensi penyisihan organik aromatik tergantung kepada konsentrasi dan waktu kontak (CT). Hasil terbaik diperoleh pada proses ozonisasi - filter dengan media variasi 1, efisiensi penyisihan organik aromatik dan organik tak jenuh mencapai 86,31%. Kata kunci : filtrasi, konsentrasi, organik, ozonisasi,waktu kontak Abstract In disinfection process, the presence of organic aromatic and unsaturated organic can produce Disinfection by Products (DBPs). The aims of these research is to determine the removal efficiency of those organic substances by ozonation and ozonation plus filtration. Samples were taken from Situ Ciburuy. The study was conducted in a batch laboratory scale with ozonitation contact time of 10, 20, 30, 40, and 50 minutes. Ozone contactor volume is 1.5 liter. Two variations of filter were used, the first filter using GAC as high as 25cm, while the second variation using only 15 cm. The method used to measure the concentration of residual ozone is the Indigo Colorimetric, and to measure the organic used the absorption of UV radiation with a wavelength of 254 nm. The result of this research shows, removal efficiency of organic aromatic dependent to CT. The best performance was showed by ozonation process followed by filtration with first variation, where organic aromatic removal as high as 86.31%. Keywords: concentration, contact time, filtration, organic, ozonation
2
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:1-8
1. PENDAHULUAN Salah satu hal yang harus diperhatikan pada proses desinfeksi adalah kemungkinan terdapatnya produk samping desinfeksi seperti Trihalometan (THMs), formaldehid, asetildehid, dan bahan lainnya yang bersifat karsinogen. Produk samping desinfeksi akan tergantung dari jenis desinfektan yang digunakan serta kualitas dari air, seperti kandungan bahan organik sebagai prekursor, adanya ion brom, serta faktor lingkungan lainnya (USEPA, 1999). Menurut Shakhawat et al. (2009), timbulnya efek yang diakibatkan oleh produk samping desinfeksi tidak hanya akan timbul dari proses konsumsi air tersebut, tetapi juga dari aktifitas lain seperti kontak langsung pada saat memasak, mandi, mencuci dan lain sebagainya. Sementara menurut Arnaud et al. (2011), proses desinfeksi yang tidak tepat di kolam renang, berkaitan erat dengan peningkatan penyakit asma dan kulit pada anak-anak di Eropa. Produk samping desinfeksi dikelompokan ke dalam 4 kategori yaitu: sisa desinfektan itu sendiri; produk samping berupa bahan anorganik; produk samping berupa bahan organik; dan produk samping yang merupakan ikatan dari halogen dan bahan organik (USEPA, 1999). Dua kelompok terakhir akan terbentuk jika desinfektan diaplikasikan ke dalam air baku yang mengandung bahan organik alami. Penelitian yang dilakukan Sururi et al. (2009), menguatkan dugaan bahwa bahan organik hidropobik merupakan bahan organik pembentuk produk samping dari oksidasi bahan organik (Schechter dan Singer, 1994). Berdasarkan peraturan menteri kesehatan No. 492 tahun 2010, bahan organik sebagai prekursor DBPs ditengang adanya dalam air minum dengan konsentrasi sebesar 10 mg/l. Bahan organik alami secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu Particulat Organic Carbon (POC) dengan ukuran diatas 0,45 µm yang biasanya kurang dari 10% dari bahan organic alami, dan Dissolved Organic Carbon (DOC). DOC merupakan bagian dari bahan
organik alami yang sangat mempengaruhi kualitas air. DOC sebagian besar (80%) terdiri dari materi hidrofobik seperti humus dan hidrofilik yang memiliki gugus hidroksil (Shon et al, 2006). Lebih jauh lagi, Sobecka (2006), menjelaskan bahwa humus merupakan fraksi utama dari bahan organik alami yang sangat umum ditemukan pada sumber air permukaan, dan humus dapat terukur hingga 90% dari bahan organik alami. Salah satu strategi yang dapat diterapkan untuk meminimasi terbentuknya produk samping desinfeksi adalah dengan proses penyisihan bahan organik alami. Berdasarkan hasil penelitian Siddiqui (1997) efisiensi penyisihan bahan organik alami melalui proses koagulasiflokulasi mencapai 48%, sedangkan ozonisasi hanya mencapai 3%, menurut penelitian tersebut penyisihan terbaik mencapai 64% yang diproleh pada kombinasi proses koagulasi-ozonisasi dan Filtrasi. Penelitian Siddiqui dikuatkan penelitian yang dilakukan Bose (2006). Keuntungan dari penyisihan bahan organik alami selain meminimumkan pembentukan produk samping desinfeksi, juga akan semakin meminimumkan konsentrasi dan waktu kontak desinfektan yang akan diberikan pada post-desinfeksi. Ozon, dengan nilai E0 2,07 Volt, merupakan salah satu bahan dengan potensial redoks yang cukup tinggi. Ozon dapat terdekomposisi menjadi OH•, dengan E0 2,80 Volt, ketika terlarut di dalam air. Fakta tersebut menunjukan proses ozonisasi dapat mengoksidasi senyawa organik atapun anorganik dalam air dengan lebih baik dan lebih cepat. Meskipun ozon lebih mudah larut jika dibandingkan oksigen (Donald, 1975), namun jumlah aktual yang dapat beroperasi dalam kondisi larut sangatlah kecil. Lebih jauh lagi, Audenaert et al. (2010), menjelaskan bahwa proses ozonisasi dan filtrasi melalui GAC, dapat memperbaiki kualitas air, meningkatkan kestabilan pemenuhan syarat biologi dari air terolah, dan mengurangi dosis klor yang dibutuhkan pada sistem distribusi. Efisiensi penyisihan bahan
Sururi, Penyisihan Bahan Organik Alami
3
organik alami akan tergantung dari karakteristik air dan bahan organik alami pada suatu daerah. Hal tersebut seiring dengan pendapat Bose et al. (2007) dan Singer (1994) yang menyebutkan karakteristik air dan bahan organik yang berbeda bisa menyebabkan hasil penelitian yang berbeda. Sehingga penelitian ini ditujukan untuk mengetahui efisiensi penyisihan bahan organik alami pada air permukaan, dan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhinya. 2. METODA Sampel berasal dari air Danau Ciburuy Kabupaten Bandung Barat. Pengambilan sampel dilakukan secara grab. Parameter kualitas air yang diukur adalah pH, Temperatur, Mn2+, Fe2+, alkalinitas serta UV254. Lokasi sampling dapat dilihat pada Gambar 1 di samping. Proses pengukuran dilakukan secara langsung di tempat dilakukan untuk parameter seperti temperature, kekeruhan dan pH. Metode pengukuran masing-masing parameter dapat dilihat pada Tabel 1. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah alat untuk proses ozonisasi berupa aerator, pengukur laju aliran udara, generator ozon, dan ozon kontaktor dengan volume 1,5 liter, serta dilengkapi dengan katup untuk pengambilan sampel. Proses filtrasi dilakukan pada filter sederhana dari pipa PVC berdiameter 2 inchi dan tinggi 32 cm. Ozon Filter dilengkapi dengan katup untuk pengambilan sampel dan system under drain. Proses filtrasi dilakukan dengan dua variasi. Pada variasi pertama filter di isi media GAC setebal 25 cm, sedangkan variasi tebal media ke dua yaitu GAC setebal 15 cm. Karakterisrik GAC yang digunakan adalah Ukuran Efektif (ES) 16 mm, luas permukaan : 900 m2/g, densitas 0,05 gr/ml, dan koefisien keseragaman (UC) 1,8. Metode yang digunakan untuk pengukuran konsentrasi sisa ozon, yaitu metode Indigo Colorimetric (4500O3-B).
Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel Tabel 1. Metode Pemeriksaan Karakteristik Sampel Air Parameter
Metode Pengukuran
Air
Karakteristik Air
pH
pH meter
Suhu
-
Kekeruhan
Turbidimetri Helliege
Alkalinitas
Titrasi asam-basa
NOM
UV visible 254 nm
Mangan
Colorimetri dengan Persulfat
Besi Terlarut
Spektrofotometri
Pengukuran konsentrasi sisa ozon dilakukan dengan cara mengambil sampel air dari kontaktor sebanyak 45 ml, kemudian sampel ditempatkan pada botol gelas yang sebelumnya telah diisikan 5 ml larutan indigo reagent II. Sampel selanjutnya diukur menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 600±10 nm. Langkah tersebut dilakukan pada masing-masing waktu kontak. Setelah pengukuran dengan spektrofotometer maka diperoleh data nilai absorban, yang kemudian dimasukkan ke dalam rumus sehingga nilai konsentrasi sisa ozon pada masing-masing interval waktu kontak dapat diketahui. Rumus konsentrasi sisa ozon, yaitu :
4
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:9-16
mg O3 / L =
50 x ∆A .................................(1) f x b xV
Keterangan : ∆A b V F
: selisih absorban antara sampel dan blanko : panjang dari kuvet yang digunakan, cm : volume sampel air, ml → 45 ml :00,42
Untuk pengukuran kandungan bahan organik alami menggunakan radiasi UV dengan panjang gelombang 254 nm. UV254 dapat menyatakan kuantitas bahan organik aromatik dan senyawa tak jenuh dalam air, sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan keberadaan prekursor dalam air (Beltrand, 1995).
koloid sampai dengan materi kasar yang terdispersi (Sawyer, 2003). Kandungan Fe2+ dan Mn2+ pada sampel sangat kecil, masingmasing sebesar 0,00058 mg/L, dan nol. Hal tersebut dikarenakan pengambilan sampel berada pada lapisan atas danau, sehingga Fe2+ dan Mn2+ yang berada di perairan dioksidasi menjadi Fe3+, dan Mn4+ yang kemudian berikatan dengan hidroksida membentuk senyawa yang bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan (Effendi, 2003). Tabel 2. Karakteristik Sampel Air Situ Ciburuy Parameter Air
Satuan
pH
7,85
Suhu 2+
Mangan terlarut (Mn )
Skema penelitian ozonisasi dan ozonisasifiltrasi dapat dilihat pada Gambar 2 di atas. Pada penelitian ozonisasi, udara bebas dengan laju 1,5 L/menit dialirkan menuju generator ozon menggunakan aerator sehingga menghasilkan ozon dalam fasa gas, kemudian dikontakkan secara kontinyu ke dalam kontaktor batch yang berisi sampel air dengan volume 1,5 liter. Sampel air dikontakkan dengan ozon terlarut pada interval waktu kontak 10, 20, 30, 40, dan 50. Ozon yang terlepas kembali ke udara di alirkan ke larutan KI. Selanjutnya pada penambahan proses filtrasi variasi 1 dan 2, setelah proses ozonisasi, sampel air dari kontaktor dilewatkan pada media filter secara langsung. Penelitian dilakukan terhadap penyisihan bahan organik alami dan kekeruhan dengan ozonisasi serta proses ozonisasi disertai proses filtrasi.
2+
Besi terlarut (Fe ) Alkalinitas Bahan organik (UV254) Kekeruhan
Sampel Air
alami
°C
24,5
mg/L
0
mg/L
0,00058
mg/L CaCO3
30,5
(m-1)
37,8
NTU
83,0
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sampel Air Adapun hasil pengukuran karakteristik sampel air danau Situ Ciburuy disajikan dalam Tabel 2. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa sampel air memiliki pH sekitar netral dan suhu berada pada suhu ruang. Nilai kekeruhan sample air adalah 83 NTU, kekeruhan disebabkan oleh materi tersuspensi dari ukuran
Gambar 2. Skema Penelitian Ozonisasi dan BAC
Sururi, Penyisihan Bahan Organik Alami
Alkalinitas pada sampel air menunjukkan konsentrasi sebesar 30,5 mg/L CaCO3. Alkalinitas merupakan inhibitor yang dapat memperlambat reaksi berantai OH radikal dalam proses dekomposisi ozon (von Gunten, 2003). Pelambatan reaksi berantai ini disebabkan oleh produk hasil reaksi ion karbonat atau bikarbonat dengan OH radikal tidak akan bereaksi kembali dengan ozon (von Gunten, 2003). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa nilai UV254 dari sampel air adalah 37,8 (m-1). Nilai UV254 dapat menggambarkan keberadaan prekursor dalam air karena mampu menyerap humus dan bahan organik aromatik yang merupakan konstituen utama dari bahan organik alami. Nilai UV254 sampel yang tinggi menggambarkan kandungan bahan organik aromatik yang tinggi pada Situ Ciburuy.
Penyisihan Bahan Organik Alami. Hasil pengukuran konsentrasi sisa ozon pada setiap interval waktu kontak selama proses ozonisasi sampel air dapat dilihat pada Gambar 3. Konsentrasi sisa ozon yang terukur pada waktu kontak 10, 20, 30, 40, dan 50 menit berturutturut adalah 0,0176; 0,0200; 0,0218; 0,0182; dan 0,0170 mg/L. Pada Gambar tersebut dapat dilihat, konsentrasi sisa ozon mengalami
5
peningkatan pada waktu kontak 10-30 menit hingga mencapai konsentrasi sebesar 0,0218 mg/L, kemudian mengalami penurunan kembali secara bertahap pada waktu kontak 40-50 menit. Peningkatan konsentrasi sisa ozon disebabkan suplai gas ozon pada penelitian ini dilakukan secara terus menerus ke kontaktor. Hal lain yang mempengaruhi adalah tingginya kandungan bahan organik alami serta nilai kekeruhan yang mengindikasikan keberadaan promotor reaksi berantai, akibatnya pada waktu kontak 40 dan 50 menit konsentrasi sisa ozon mengalami penurunan. Perbandingan efisiensi penyisihan UV254 dengan ozonisasi dan ozonisasi-filtrasi pada variasi 1 dan 2 dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 4. Pada gambar dan tabel di atas, diketahui bahwa proses ozonisasi ditambah filtrasi dengan GAC dapat meningkatkan efisiensi penyisihan bahan organik aromatik. Efisiensi penyisihan UV254 dengan ozonisasi pada waktu kontak 10, 20, 30, 40, dan 50 menit secara berurutan adalah 34,13%; 43,92%; 58,47%; 79,10%; dan 82,80%. Selanjutnya setelah ditambah proses filtrasi, penyisihan UV254 pada interval waktu kontak ozonisasi yang sama ditambah filter variasi 1, maka efisiensi meningkat secara berurutan menjadi 50%; 56,08%; 65,61%; 82,80%; dan 86,51%. Sedangkan pada ozonisasi-filter variasi 2 efisiensi sedikit menurun jika dibandingkan menggunakan filter pada variasi sebelumnya yaitu menjadi 38,89%; 51,06%; 62,17%; 79,10%; dan 85,19%. Tabel 3. Penyisihan bahan organik aromatik
Gambar 3. Konsentrasi Sisa Ozon pada Sampel Air.
Waktu Kontak (menit)
UV254 (m-1) ozonisasi
OzonisasiFiltrasi variasi 1
OzonisasiFiltrasi variasi 2
10
24,9
18,9
23,1
20
21,2
16,6
18,5
30
15,7
13,0
14,3
40
7,9
6,5
7,9
50
6,5
5,1
5,6
6
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:9-16
Gambar 4. Perbandingan Efisiensi Penyisihan UV254 dengan Ozonisasi dan Ozonisasi-Filtrasi Data tersebut menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan kandungan bahan organik aromatik mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya interval waktu kontak dan konsentrasi sisa ozon (CT). Lebih baiknya penyisihan bahan organic aromatik pada variasi 1 dikarenakan media GAC yang lebih tebal dibandingkan pada variasi 2, sehingga pada variasi 1 kuantitas media untuk proses adsorpsi lebih banyak. Terlihat pada Gambar 5, pada setiap variasi penelitian dan waktu kontak, hasil penelitian menunjukan pola penyisihan yang sama pada parameter kekeruhan, namun efisiensi penurunan kekeruhan lebih tinggi dibandingkan dengan penyisihan UV254. Hal tersebut menunjukan bahwa proses ozonisasi dan ozonisasi-filtrasi tidak hanya menyisihkan bahan organik, namun materi tersuspensi lainnya. Pada Gambar 4, dapat dilihat proses ozonisasi dapat menyisihkan kekeruhan hingga 84,4%, proses ozonisasi – filtrasi variasi 1 dapat menyisihkan kekeruhan hingga 87,95%, dan ozonisasi – filtrasi variasi 1 dapat menyisihkan hingga 86,75%.
Gambar 5. Perbandingan Efisiensi Penyisihan Kekeruhan dengan Ozonisasi dan OzonisasiFiltrasi Nilai UV254 mengalami penurunan secara bertahap setelah ozonisasi karena proses oksidasi yang mereduksi bahan organik aromatik serta terjadinya perubahan polaritas (Bozena et al., 2006). Proses oksidasi dilakukan oleh ozon maupun oleh OH radikal yang terbentuk selama proses ozonisasi. Hal tersebut menguatkan penelitian sebelumnya, yang menyatakan bahwa perubahan karakteristik bahan organik alami setelah ozonisasi diindikasikan dengan berkurangnya nilai UV254. Hal tersebut menandakan bahwa akibat dari proses ozonisasi adalah adanya perubahan bahan organik yang bersifat humus ke non humus serta meningkatkan polaritas (Wataru dan Gerald, 2004 dan Karnik et al., 2005). Bahan organik aromatik merupakan promotor yang dapat mempercepat dekomposisi ozon karena kandungan organik dapat bereaksi dengan ozon maupun dengan OH radikal (Yunzheng et al., 2005). Hal inilah yang menambah penjelasan fenomena yang terjadi pada Gambar 3, yaitu penurunan konsentrasi sisa ozon pada menit ke 40 dan 50. Reaksi yang terjadi antara ozon dan bahan organik adalah (Von Gunten, 2003):
Sururi, Penyisihan Bahan Organik Alami
O3 + NOM 1 → NOM 1 ox
(1)
O3 + NOM 2 → NOM 2+● + O3-●............(2) Sedangkan reaksi yang terjadi antara OH radikal dan NOM adalah (Von Gunten, 2003): OH ● + NOM 3 → NOM 3● + H2O atau NOM 3● + OH- ......................................................(3) NOM 3● + O2 → NOM-O2● → NOM 3● + O2● ......................................................................(4) Lebih baiknya efisiensi penyisihan bahan organik aromatik setelah penambahan proses filtrasi disebabkan terjadinya proses adsorpsi. Media karbon yang digunakan merupakan adsorben, yang merupakan sebuah material padatan yang mempunyai lokasi-lokasi tempat ikatan. Proses dalam adsorpsi dapat terjadi karena adanya perbedaan polaritas yang menyebabkan sebagian molekul melekat pada permukaan itu lebih erat daripada molekulmolekul lainnya. Penurunan UV254 yang terjadi secara bertahap pada proses ozonisasi, memberikan kesempatan bagi karbon aktif yang merupakan adsorben non polar, untuk meng adsorpsi bahan organik alami aromatik yang umumnya hidrophobik yang masih tersisa, karena proses ozonisasi tidak menyisihkan materi ini secara keseluruhan. Hal lain yang menarik untuk dianalisis adalah terdapatnya kecenderungan pada interval awal proses ozonisasi (menit ke 10 dan 20), perbedaan efisiensi antara proses ozonisasi serta proses ozonisasi ditambah proses filtrasi variasi 1 cukup jauh, dimana pada ozonisasifiltrasi variasi 1 jauh lebih baik jika dibandingkan proses ozonisasi saja. Kecenderungan ini disebabkan pada menit awal konsentrasi sisa ozon di dalam air sangatlah kecil sehingga efisiensi proses penyisihan bahan organik tak jenuh dan bahan organik aromatik masih kecil, akibatnya bahan organik tersebut masih banyak tersisa pada sampel sehingga dapat di adsorpsi oleh GAC dengan baik. Pada dua interval akhir (menit 40
7
dan 50), perbedaan efisiensi penyisihan bahan organik aromatik dan bahan organik tak jenuh antara ke-2 variasi tersebut sangatlah kecil, bahkan seluruh variasi pada penelitian ini mecapai nilai lebih dari 80%. Fakta ini menjelaskan bahwa semakin besar CT pada proses ozonisasi, maka perubahan karakter bahan organik semakin besar, dimana bahan organik tak jenuh dan aromatik dirubah menjadi bahan organik dengan berat molekul yang lebih kecil, sehingga polaritas bahan organik berubah. Penjelasan lain dari fenomena tersebut adalah bahwa pada proses adsorpsi oleh GAC, bahan organik yang bersifat Non Biodegradable Organic Carbon akan ter-adsorp lebih cepat dibandingkan dengan bahan organik yang bersifat Biodegradable Organic Carbon (BOC) (Wataru et al.,2004). Fakta tersebut menguatkan penelitian Wataru dan Gerald (2004) yang menyebutkan bahwa proses ozonisasi dapat menurunkan kemampuan proses adsorpsi bahan organik alami oleh GAC.
4. KESIMPULAN Penyisihan bahan organik aromatik dan organik tak jenuh alami yang terkandung pada air baku dapat dilakukan dengan ozonisasi, dan ozonisasi ditambah filtrasi. Semakin besar konsentrasi dan waktu kontak ozon, serta semakin tebal media karbon aktif, maka efisiensi penyisihan UV254 semakin besar. Penurunan UV254, juga mengindikasikan proses ozonisasi dapat merubah karakter bahan organik yang yang ada pada air, dimana bahan organik yang bersifat hydrophobic menjadi bahan organik yang bersifat hydrophilic.
Ucapan Terima Kasih Ucapkan terimakasih kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan dana penelitian melalui skema Hibah Bersaing.
DAFTAR PUSTAKA APHA., AWWA.(1998). Standard methode for the examination of water and waste water
8
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:9-16
21th edition. association.
American
water
works
Arnaud Florentin, Alexis Hautemanière, Philippe Hartemann (2011). Health effects of disinfection by-products in chlorinated swimming pools. International Journal of Hygiene and Environmental Health. 214. 461– 469. Bozena, Seredynska-Sobecka., Maria Tomaszewska, Antoni W. Morawski (2006). Removal of humic acids by the ozonation-biofiltration process. Journal of Desalination.198. 265-273. B.S, Karnik., Davies S.H., Bauman M.J., Masten,S.J. (2005). The effects of combined ozonation and filtration on disinfection by-product formation. Journal of Water research. 39. 2839-2850. Beltrand, J Fernando (1995). Ozone reaction kinetic for water and wastewater system. CRC Press company. Washington DC. Bose., Reckhow (2007). The effect of ozonation on natural organic matter removal by alum coagulation. Journal of Water Research. 41. 1516-1524. Effendi, Hefni (2003). Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Kanisius. J, Donald Johnson (1975). Desinfection water and wastewater. Ann Arbor Science. Sawyer., Clair N., Perry L., McCArty., and Gene F. Parkin (1994). Fourth Edition : Chemistry For Environmental Engineering. United Stated: MC Graw-Hill.
Sururi., Suprianto., Roosmini (2009). Pengaruh pH dan karakteristik air pada pembentukan low molecular weight organic Aldehid, akibat proses Pradesinfeksi dengan ozon. Jurnal Purifikasi. 10. 117-124. Siddiqui., Amy., Murphy (1997). Ozone Enhanced Removal of Natural Organic Matter From Drinking Water Sources. Journal of Water Research. 31. 3098-3106. Schechter., Singer DS. (1994). Formation of Aldehydes During Ozonation, Journal of Ozone Science & Engineering. 17. 53-69. Shakhawat, Chowdhury., Pascale Champagne., P.James Mclellan (2009). Models for predicting disinfection byproduct (DBP) formation in drinking water: A chronological review. Journal Science of The Total Environment. 407. 4189-4206. USEPA (1999), Alternative disinfectants and oxidants guidance manual. EPA. 815-R99-014. Von Gunten (2003). Ozonation of Drinking Water: Part I. Oxidation Kinetics and Product Formation, Journal of Water Research. 37. 1443-1467. Wataru., Gerald E.Speitel Jr. (2004). Fate of iodegradable dissolved organic carbon produced by ozonation on biological activated carbon. Journal of Chemosphere. 56. 113-119. Yunzheng., Shumacher.,Jakel (2005). Decomposition of aqueous ozone in the presence of aromatic organic solutes, Journal of Water Research . 39. 83-88.
PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK GULA MENGGUNAKAN KOLAM AERASI DENGAN PENAMBAHAN INOLA-121 SUGAR MILLS WASTE WATER TREATMENT BY USING AERATED LAGOON WITH INOLA-121 ADDITION Lily Oktavia*) dan Nieke Karnaningroem1) 1) Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kompleks Kampus ITS Sukolilo, Surabaya *)E-mail:
[email protected] Abstrak Kandungan organik limbah cair pabrik gula perlu diturunkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang ke badan air penerima. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kemampuan INOLA-121 dalam menurunkan konsentrasi BOD520dari limbah cair pabrik gula serta mencari hubungan antara penambahan dosis INOLA121, penambahan baffle, dan pengaruh waktu detensi terhadap efisiensi kolam aerasi. Penelitian dilakukan dalam skala laboratorium dengan aliran kontinyu. Volume reaktor uji adalah 50 Liter Variabel konsentrasi INOLA-121 yang ditambahkan sebesar 3 mg/l, 4 mg/l, dan 5 mg/l. Variasi waktu detensi 1 dan 2 hari, serta variabel penambahan baffle pada reaktor uji. Parameter uji adalah BOD520, DO dan TSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa penambahan baffle dan tanpa penambahan INOLA-121 pada reaktor uji pada td=2 hari memberikan efisiensi penurunan BOD520 sebesar 89,3%. Efisiensi penurunan BOD520 dengan penambahan INOLA-121 sebesar 5 mg/l pada td=2 hari mencapai 91,2%. Pada reaktor uji dengan baffle dan tanpa penambahan INOLA-121 dalam waktu kontak (td) 2 hari diperoleh efisiensi 91,3%. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan baffle pada kolam aerasi sama efektifnya dengan penambahan INOLA121. Peningkatan waktu detensi dari satu hari menjadi dua hari dapat meningkatkan efisiensi penurunan BOD rata-rata sebesar 10% pada setiap reaktor uji. Kata kunci : kolam aerasi, bakteri, INOLA-121, waktu detensi Abstract The research objective was to determine the ability of bacteria INOLA-121 by reducing the concentration of sugar mill effluent BOD520 and to find the relationship between dosing of INOLA-121, additional of baffle reaktor, and the effect on the efficiency of detention time aerated lagoon. The study was conducted in the laboratory with continuous flow. Test reaktor volume 50 liter with variable concentrations of INOLA-121 were added at 3 mg/l, 4 mg/l and 5 mg/l, detention time variation of 1 and 2 days, and adding variable bafle. Test parameters are BOD520, DO, TSS, MLVSS, pH, and temperature. The results showed that the addition of baffles in the reaktor test in td=2 days provide efficiency decreased BOD520 quite well even without the addition of INOLA-121, which is 89.3%. Efficiency with the addition of INOLA-121 in 5 mg/l , td 2 days reached 91.2%. The efficiency with baffles and adding INOLA-121 in 5 mg/l, td=2 days gained 91.3%. This study shows that the addition of baffles in aerated lagoon treatment as efficient besides the addition of INOLA-121 that will accelerate the reaction in degrading organic sugar mill effluent. The longer the detention time, the better the percentage reductionof BOD520 is achieved and efficiency of the test reaktor aerated lagoon can achieve 80-92%. Keywords: aerated lagoon, bacteria, detention time, INOLA-121
10
1.
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:9-16
PENDAHULUAN
Limbah cair pabrik gula merupakan salah satu buangan industri dengan kandungan bahan organik yang tinggi. Proses pembuatan bahan baku gula membutuhkan tambahan beberapa zat kimia untuk mendapatkan produk akhir yang berkualitas (Memon et al., 2006). Limbah cair berasal dari ceceran nira dan air cucian yang mengandung soda dan pelumas pada unit juice heater dan evaporator. Pabrik gula membutuhkan bahan baku air dalam jumlah besar dan hampir seluruhnya menjadi air limbah dengan material organik berupa bahan terlarut maupun bentuk tersuspensi dalam limbah cair (Kolhe et al., 2002). Salah satu teknologi pengolahan limbah yang dapat digunakan adalah kolam aerasi dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisma untuk menurunkan kandungan bahan organik. Meskipun pada umumnya limbah dengan bahan organik tinggi direkomendasikan menggunakan pengolahan aerobik, tetapi pengoperasiannya mempunyai kesulitan yang lebih tinggi dari aerobik (Montalco et al., 2010). Kolam aerasi memiliki kelebihan yaitu lebih mudah pemantauan, pengoperasian dan pemeliharaannya. Selain itu dalam pengoperasiannya tidak dibutuhkan biaya yang besar. Adanya surface aerator tidak hanya berfungsi sebagai tenaga pengadukan juga memberi tambahan oksigen terlarut sehingga mencegah tumbuhnya alga dalam sistem (Reynold, 1982). Pengolahan dengan kolam aerasi merupakan gabungan antara sistem Activated sludge dan kolam stabilisasi. Kolam aerasi memiliki efisiensi penghilangan BOD lebih besar dari 90% dengan waktu retensi cukup panjang yaitu 2 waktu 6 hari. Waktu retensi kurang dari 2 hari tidak dianjurkan karena terlalu singkat untuk memungkinkan terbentuknya flokulen yang baik. Konsentrasi padatan dapat mencapai 200-500 mg/L (Reynold, 1982). Tetapi menurut Randall (1980) kriteria desain waktu detensi kolam aerasi antara 1-6 hari. Semakin kecil waktu detensi berarti juga mengurangi volume reaktor.
Unjuk kerja kolam aerasi dipengaruhi oleh aliran hidrolisnya, penempatan aerator dan baffle (Pougatch et al., 2007). Baffle tidak saja meningkatkan pengadukan, tetapi juga memperpanjang aliran hidrolisnya, sehingga meningkatkan waktu kontak antara air limbah dan mikroorganisma. Pada reaktor biologis terdapat biomassa yang merupakan gabungan total dari seluruh kehidupan mikroorganisma dalam proses, yaitu: bakteri, protozoa, dan ganggang. Bakteri merupakan agen utama dari pengolahan biologis (Mara, 1978). Secara keseluruhan bakteri memiliki karakteristik dan kondisi pertumbuhan minimum yang dibutuhkan dalam peranannya untuk mendegrasi kandungan organik dalam limbah (Adeoye, 2009). Bakteri ditemukan dalam jumlah yang fluktuatif dalam reaktor pengolahan biologis secara aerobik (Horan, 1990). Pada awal pengolahan, jumlah bakteri masih sedikit, sehingga untuk mempercepat terjadinya kondisi steady state perlu dilakukan penambahan mikroorganisma. Salah satu konsorsium mikroorganisma yang dapat digunakan adalah INOLA-121. INOLA-121 merupakan bibit mikroorganisma yang mampu mereduksi polutan organik secara cepat. Kandungan bakteri dalam INOLA-121 dibuat secara khusus dalam memecahkan masalah pencemaran oleh limbah cair dari pabrik gula. Bentuknya berupa bubuk kering atau serbuk berwarna coklat, dengan kadar air 4% dan terdiri atas beberapa bakteri pendegradasi. INOLA-121 tahan hidup pada pH 7-8. Di samping itu, perlu kontrol beban organik dan oksigen dalam reaktor, agar sesuai dengan kondisi hidup mikroorganisma. INOLA-121 terkandung Bacillus sp., Pseudomonas sp1., Pseudomonas sp2., Nitrosomonas sp., Aerobacter sp., Azotosomonas sp., Azotobacter sp., Saccharomyces. Semua bakteri tersebut mempunyai peranan spesifik terhadap penurunan kandungan limbah cair pabrik gula. Bacillus sp. mampu menguraikan
Oktavia, Pengolahan Limbah Cair Pabrik Gula
karbohidrat, zat pati dan lemak dengan memproduksi enzym lipase dan protease. Pseudomonas sp. mampu mengoksidasi bahan organik terlarut dan kadar nitrat nitrogen pada kondisi anoksik, serta mendegradasi warna dan logam berat. Nitrosomonas sp. berperan mereduksi amoniak menjadi nitrit pada kondisi aerobik. Aerobacter sp. Mengoksidasi karbohidrat dan rantai pendek bahan organik (terutama protein) menjadi CO2 dan H2O (Reynold, 1982). Bahan organik rantai pendek yang terbentuk akan digunakan oleh spesies bakteri lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Azotosomonas sp. mampu mendegradasi senyawa organik dan asam organik dengan memecah senyawa ammonium dan asam amino tertentu sebagai sumber nitrogen. Azotobacter sp. mampu mengoksidasi nitrit menjadi nitrat dan air. Saccharomyces mampu menguraikan senyawa karbohidrat sederhana (terutama gula) dan dapat mendegradasi molases (tetes tebu) menjadi CO2 dan H2O dalam kondisi aerobik dan dalam kondisi anaerobik membentuk etanol dan asam organik (Bargey’s, 1988).
11
baflle diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pengolahan air limbah. Tujuan penelitian ini untuk menentukan pengaruh penambahan mikroorganisma dan baffle untuk meningkatkan kinerja unit pengolahan air limbah.
2. METODA Reaktor uji dan control disusun seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. R1
Bak pembagi
R2
R3
R5 R4
Pengolahan dengan kolam aerasi merupakan gabungan antara sistem Activated sludge dan kolam stabilisasi. Kolam Aerasi memiliki efisiensi penghilangan BOD lebih besar dari 90% dengan waktu retensi cukup panjang (26 hari), waktu retensi kurang dari 2 hari tidak dianjurkan karena terlalu singkat untuk memungkinkan terbentuknya flokulen yang sehat. Konsentrasi padatan dapat mencapai 200-500 mg/L (Reynold, 1982).
Gambar 1. Reaktor uji Kolam Aerasi
Fluktuasi debit dan beban organik dapat menurunkan kinerja kolam aerasi. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa modifikasi untuk meningkatkan efisiensi pengolahan. Penambahan INOLA-121 diharapkan dapat mempercepat proses degradasi air limbah dan penambahan baffle diharapkan dapat meningkatkan waktu kontak air limbah dengan mkroorganisma. Oleh karena itu penambahan INOLA-121 ataupun
Penelitian dilakukan di laboratorium Jurusan Teknik Lingkungan ITS. Limbah cair pabrik gula diambil dari PT. PG. Candi Baru Sidoarjo yang mengolah air limbahnya dengan kolam aerasi. Efisiensi pengolahan air limbah hanya mencapai sebesar 70%. Efisiensi pengolahan diharapkan dapat meningkat dengan menambahkan INOLA121 ataupun dengan penambahan baffle. Limbah diambil dari limbah pabrik gula yang
Keterangan: 1: Tangki penampung air limbah R1: Reaktor Kontrol R2-R5: Reaktor Uji
12
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:9-16
sudah dipisahkan dari kandungan minyak dan mengalami proses pengendapan. Karakteristik limbah cair adalah debit=10 Liter/detik; BOD = 150-800 mg/L; beban BOD = 648 kg/hari; Suhu = 290 – 320 C; TSS = 1200 mg/L; pH= 5-7. Karakteristik tersebut belum memenuhi baku mutu menurut SK Gubernur Jatim No. 45 tahun 2002, Syarat baku mutu limbah golongan III: padatan terlarut (TDS)=4000 mg/L, TSS=200 mg/L, BOD=150 mg/L, COD = 300 mg/L dan pH = 6-9. Reaktor yang digunakan adalah kolam aerasi skala laboratorium. Ukuran reaktor untuk R1 sampai R4 adalah 40 cm x 40 cm x 40 cm. Volume ar limbah untuk masing-masing reaktor adalah 50 liter. Penelitian dilakukan dengan menambah mikroorganisma INOLA121 pada R2, R3 dan R4 dan baffle pada reaktor R5. Reaktor baffle diberi tambahan sebanyak dua buah sekat, sehingga aliran upflow dan downflow. Baffle dipasang vertikal pada jarak 27 cm dari inlet zone yang dilekatkan pada dasar reaktor. Baffle kedua diletakkan pada jarak 54 cm dari inlet zone yang dilekatkan pada bagian atas reaktor, sehingga aliran dapat mengalir dari celah bagian bawah reaktor. Pipa outlet dipasang pada 21 cm dari dasar reaktor. Dimensi reaktor baffle adalah 81 cm x 40 cm x 40 cm. Konfigurasi variabel pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Dalam penelitian ini ditetapkan variasi dosis INOLA-121 terhadap masing-masing waktu detensi (td) reaktor. Waktu detensi 1 dan 2 hari yang dipilih dalam penelitian sesuai dengan kriteria desain kolam aerasi, yaitu 1 – 6 hari (Randall, 1980). Parameter uji adalah BOD520, DO dan TSS dengan metode sesuai yang ditunjukkan dalam Standard Method. Sebelum reaktor uji dijalankan dilakukan seeding, yaitu proses adaptasi bagi mikroorganisma yang sudah terbentuk dalam lumpur limbah terhadap limbah gula yang akan menjadi nutrisinya. Seeding bakteri dilakukan dengan menambahkan lumpur limbah pabrik gula sebagai media tumbuh bakteri asli dengan
menambahkan aerasi dan kontrol pH =7-8,5. Jika kondisi air limbah terlalu asam ditambahkan kapur sampai pH netral kembali. Tabel 1. Variabel Penelitian Dosis INOLA-121 (mg/L) 0 5 4 3 0
Baffle
Reaktor
tanpa
R1 R2 R3 R4 R5
dengan
Setiap hari ditambahkan larutan gula berupa nira untuk mempertahan rasio F/M dalam reaktor uji, dimana saripati gula mengandung N dan P tinggi sebagai nutrien bakteri. Reaktor dijalankan dalam aliran kontinyu setelah kondisi steady state tercapai. Debit reaktor diatur sesuai yang direncanakan. Penambahan oksigen diatur dengan debit udara tertentu sehingga kondisi DO=2 mg/L tercukupi. Kondisi aerobik dipertahankan dengan penambahan aerator.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyisihan BOD520 dan penurunan nilai DO pada masing-masing reaktor dapat dilihat pada Tabel 2. Penyisihan BOD520 dengan penambahan dosis INOLA-121 dapat dilihat dalam Tabel 3. Prosentase pertambahan TSS terhadap % penurunan BOD520 ditunjukkan dalam Tabel 4. Seluruh reaktor menunjukkan, pada td=2 hari, penyisihan BOD lebih tinggi dari pada td=1 hari. Hal ini menunjukkan bahwa waktu detensi yang lebih lama memungkinkan mikroorganisma dalam air limbah memiliki waktu lebih lama yang digunakan untuk menyesuaikan dengan lingkungan, sehingga dapat berperan aktif dalam mendegradasi bahan organik dalam air limbah. Begitupun pada td=1 hari, penyisihan BOD meningkat 8 sampai 19,5% jika dibandingkan dengan kondisi eksisting di pabrik. Ini berarti penambahan mikroorganisma dapat mempersingkat waktu detensi, yang berarti dapat mereduksi volume reaktor.
Oktavia, Pengolahan Limbah Cair Pabrik Gula
13
Tabel 2. Penyisihan BOD520 dan penurunan nilai DO td (hari)
1
2
R1
R2
%Rem. DO BOD520 (mg/L)
%Rem. BOD520
DO (mg/L)
% Rem. BOD520
% Rem. DO (mg/L) BOD520
% Rem. DO (mg/L) BOD520
DO (mg/L)
60,2 80,0 86,7 88,7 47,7 72,4 76,3 89,3
78,9 79,5 82,9 89,0 66,0 86,6 86,8 91,3
4,8 4,0 3,5 2,2 4,4 4,3 3,5 3,3
53,8 58,8 77,2 85,0 59,8 70,6 75,7 82,7
4,8 3,9 3,0 2,3 4,8 4,0 3,6 3,6
4,4 3,3 3,2 2,5 4,7 5,0 4,4 3,6
5,2 4,4 3,1 2,0 4,8 5,2 3,8 3,2
4,5 3,9 2,2 2,2 5,2 5,1 3,8 3,5
R3
R4
76,1 66,2 70,4 78,3 67,4 65,0 77,5 80,5
R5
53,8 60,0 78,5 89,5 43,4 69,0 83,7 91,2
Jika memilih waktu detensi satu hari, perlu diteliti kualitas flok yang terbentuk, agar dapat mengendap dengan baik. Penurunan BOD520 terbaik sebesar 91,2% pada R5 dibandingkan dengan penurunan BOD520 pada td=1 hari sebesar 89,5%. Hal ini menunjukkan bahwa waktu detensi yang lebih lama memungkinkan mikroorganisma dalam air limbah memiliki waktu lebih lama yang digunakan untuk menyesuaikan dengan lingkungan, sehingga dapat berperan aktif Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa penurunan BOD520 yang terjadi dalam td=2 hari adalah berada di atas 80%. Terjadi hubungan linier antara lama td dengan penurunan BOD520 dalam reaktor, dimana semakin lama td semakin tinggi efisiensi removal BOD520, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam penelitian dihasilkan penurunan BOD520 yang terjadi dalam td=2 hari berada di atas range 80%. Selisih yang dicapai dalam pengurangan kandungan BOD520 dengan td= 1 hari dan td= 2 hari dihitung sebesar kurang dari 10%. Hal ini menunjukkan bahwa mikroorganisma telah berada dalam kondisi aktif dengan kondisi F/M rasio memenuhi dalam td=1 hari. Sehingga proses aktif mendegradasi bahan organik telah tercapai pada td=1 hari. Kemudian dengan td=2 hari proses degradasi dilanjutkan hingga mencapai optimum diatas 90%. Ini berarti bahwa pada td=1 hari mikroorganisma telah mencapai kondisi
Gambar 2. Hubungan td dengan Penyisihan BOD akselerasi atau fase eksponensial, dimana terjadi pertumbuhan logaritmik. Fase logaritmik adalah fase dimana sel-sel mikroorganisma membelah diri dengan laju konstan. Pada kondisi ini mikroorganisma mengonsumsi substrat dalam laju maksimum atau kondisi puncak (Randall, 1980). Nilai DO menjadi salah satu parameter yang berpengaruh pada kelangsungan sistem biologis secara aerobik. Penurunan kandungan BOD520 juga ditandai dengan penurunan konsentrasi DO. Mempertahankan DO sebesar 2 mg/l tidaklah mudah. Konsentrasi DO di bawah 2 mg/l akan memperlambat laju degradasi bahan organik (Pougatch et al., 2007). Tabel 2 menunjukkan seluruh reaktor dapat mempertahankan DO sebesar 2 mg/l atau lebih. Untuk mempertahankan DO tersebut dibantu dengan aerator. Dosis INOLA-121 yang ditambahkan menunjukkan jumlah mikroorganisma yang
14
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:9-16
berada dalam reaktor. Semakin banyak mikroorganisma yang aktif berada dalam air limbah semakin cepat dan semakin besar degradasi bahan organik yang terjadi (Randall, 1980). Penelitian menunjukkan hasil penurunan BOD520 dengan penambahan dosis INOLA121 sebanyak 5 mg/l adalah yang terbesar yaitu 91,3%. Namun hasil ini tidak memberikan perbedaan signifikan dengan reaktor yang tanpa ditambahkan INOLA-121 di dalamnya seperti yang terlihat dalam Tabel 3. Hasil yang ditunjukkan pada R5 pada penurunan kandungan BOD520 dalam air limbah adalah sebesar 91,2%, dimana pada R5 ditambahkan baffle. Disini baffle akan memperluas bidang kontak yang terjadi antara mikroorganisma dengan nutrien yang terkandung dalam air limbah. Sehingga mikroorganisma semakin aktif dalam mendegradasi kandungan organik dalam air limbah. Selisih prosentase penyisihan yang terjasi adalah kurang dari 10%. Tabel 3. Penyisihan BOD520 td
Penyisihan BOD (%)
(hari)
3 mg/l
4 mg/l
5 mg/l
1 2
78,3 80,5
85,0 82,7
89,0 91,3
Berkurangnya aktivitas mikroorganisma ditandai dengan menurunnya prosentase removal BOD520. Hal ini disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama mikroorganisma telah berada pada fase decay (kematian) karena telah maksimum memakan kandungan organik dalam air limbah. Kedua adalah karena mikroorganisma yang ditambahkan tidak dapat bersinergis dengan mikroorganisma alami yang berada dalam air limbah karena karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu sebelum reaktor uji dioperasikan, dilakukan seeding terlebih dahulu sebagai proses penyesuaian mikroorganisma. Sehingga tujuan penelitian
supaya prosentase kandungan organik yang maksimum yang disisihkan dapat tercapai. Hal ini berarti efisiensi reaktor dapat tercapai dengan baik. Effluen air limbah yang diperoleh kemudian harus sesuai dengan baku mutu air limbah industri yang telah ditetapkan. Seperti telah dihasilkan dari analisa laboratorium bahwa bakteri INOLA121 merupakan kumpulan bakteri gram negatif, berbentuk batang, dan jenis heterotrof yang mengonsumsi bahan organik sebagai sumber karbon. Hidup spesifik pada suhu antara 29 – 320C dan pH netral. INOLA-121 juga dapat hidup pada kondisi DO minimal 2 mg/L (Bargey’s, 1988). Sedangkan bakteri alamiah yang hidup pada limbah pabrik gula cenderung hidup pada pH yang rendah. Sehingga dibutuhkan adaptasi INOLA-121 dengan kondisi alamiah limbah sehingga dapat bertahan hidup dan mengonsumsi nutrien dalam limbah. Tabel 3 menunjukkan penambahan dosis INOLA-121 pada R3 sebanyak 4 mg/l dengan td=2 hari yang menghasilkan prosentase penurunan BOD520 lebih sedikit dibandingkan pada td=1 hari. Hal ini disebabkan kepadatan populasi mikroorganisma dalam reaktor berkurang tidak sebanding dengan nutrien yang masuk. Sehingga perbandingan F/M tidak rasional. Hal ini terjadi karena pada td=2 hari bakteri telah mengalami fase kematian. Tingkat kematian bakteri menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan tingkat pertumbuhannya (Mara, 1978). Dengan berkurangnya kepadatan populasi mikroorganisma, juga berkurang kemampuannya untuk menyisihkan bahan organik. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai DOnya. Pada R3 dengan td=2 hari nilai DO tidak mengalami pengurangan sebesar pada td=1 hari, yamg menunjukkan aktivitas mikroorganisma lebih rendah pada td=2 hari daripada td=1 hari. Penambahan baffle pada R5 memberikan pengaruh pada penurunan BOD520. Besar efisiensi yang dicapai adalah 91,2%. Selisih efisiensi yangdicapai hampir sama dengan efisiensi pada reaktor tanpa
Oktavia, Pengolahan Limbah Cair Pabrik Gula
baffle dengan penambahan dosis INOLA-121. Hasil penyisihan BOD520 dan peningkatan TSS dapat dilihat pada Tabel 4. Pada waktu detensi 7 hari, penyisihan meningkat yakni penyisihan BOD520 maksimum dapat sedikit menjadi 91,2% dicapai sebesar 89,5% dalam waktu detensi 2 hari. 20
Tabel 4 Prosentase removal BOD5 dan pertambahan TSS pada R5 terhadap % td (hari)
%Rem BOD520
%TSS
1
53,8 60,0 78,5 89,5 43,4 69,0 83,7 91,2
60,3 60,8 61,5 65,9 69,3 67,3 73,9 79,4
2
Peningkatan TSS sebanding dengan penyisihan BOD520. Hal ini dikarenakan bahan organik terlarut dudegradasi oleh mikroorganisma, kemudian pada fase deklinasi mikroorganisma yang mati mengendap. Peningkatan TSS terbesar pada td=1 hari mencapai 65,9% daripada td=2 hari mencapai 79,4%. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan, untuk pengolahan air limbah pabrik gula dengan pemanfaatan INOLA-121 cukup menggunakan td=1 hari. Peningkatan td menjadi 2 hari hanya akan menambah volume reaktor tanpa member hasil penyisihan BOD520 yang cukup signifikan atau hanya sebesar 1,7% saja.
4. KESIMPULAN Penelitian ini memberikan hasil yang dapat disimpulkan sebagai berikut: Reaktor kolam aerasi tanpa menambahkan INOLA-121 cukup memberikan performa yang baik dengan prosentase penurunan BOD520 sebesar 89,3%. Penambahan variasi dosis INOLA121 sebagai bakteri start up memberikan efisiensi yang baik sebesar 91,3% pada dosis
15
5 mg/l, dan td=2 hari. Penambahan baffle memberikan efiensi penurunan BOD520 cukup signifikan sebesar 91,2%, dimana performa ini dicapai denngan selisih yang tidak signifikan terhadap reaktor yang ditambahkan INOLA-121.
DAFTAR PUSTAKA Adeoye, P. A., (2009). Evaluation of the Effectiveness of Aerated Lagoon Treatment Methods on Flushed Poultry Waste. AU J.T. 13. 57-60. Bergey’s. (1988). Manual of Determination Microbiology. Horan, N. J. (1990). Biological Wastewater Treatment System (Theory and Operation). John Willey and Sons, Inc., Chicester. Kolhe, A.S., Ingale, S.R., Sarode, A. G., (2002). Physico-Chemical Analysis of Sugar Mill Effluents. International Research Journal : 307–311. Mara D. (1978). Sewage Treatment in Hot Climate. John Willey and Sons, Inc., Chicester. Memon, A. R., Soomro, S. A., Ansari, A. K., (2006). Sugar Industry EffluentCharacteristics and Chemical Analysis. J. App. Env. Sc. 1 : 152-157. Montalco S., Guerrero L., Rivera E., Borja R., Chica A. dan Martin A. (2010), Kinetic evaluation and performance of pilot scale fed-batch aerated lagoon treating winery wastewater, Bioresources Technology, 101. 3452-3456. Pougatch K., Salcudean M., Gartshore I. dan Pacoria P., (2007), Computational modeling of large aerated lagoon hydraulics, Water Research. 41. 21092116.
16
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012:9-16
Randall, C. W. dan Benefield, L.D., (1980). Biological Process Design for Wastewater Treatment. Prantice Hall Inc. New Jersey.
Reynold, T. D., (1982). Unit Operation and Process in Environmental Engineering. Brook/Cole Engineering Division Menteney. California.
ANALISIS INTERKONEKSI HIDRAULIKA MATA AIR DENGAN SUMUR BOR DENGAN MENGACU MERAPI METEORIC WATER LINE (MMWL) ANALYSIS OF HYDRAULICS SPRING WELL DRILLING INTERCONNECTION BY REFERENCING MERAPI METEORIC WATER LINE (MMWL) Agus Budhie Wijatna*), Sudarmadji2), Sunarno3), dan Heru Hendrayana4) 1) Prodi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana UGM 2) Prodi Geografi & Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi UGM 3) Prodi Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM 4) Prodi Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM *) E-mail:
[email protected] Abstrak Mata air Umbul Lanang (MA-1) dan Umbul Wadon (MA-2) merupakan sumber air bersih bagi penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengoperasian 5 sumur bor baru (SB 1-5) yang lokasinya sama, yakni di lereng selatan Gunung Merapi, dikhawatirkan akan menurunkan debit kedua mata air. Sehubungan itu, dilakukan studi menentukan persamaan Merapi Meteoric Water Line (MMWL) untuk digunakan sebagai acuan dalam menganalisis bagaimana interkoneksi hidraulika antara SB dengan MA. Studi ini merupakan sebagian dari tema penelitian dinamika air tanah menggunakan isotop alam di lereng selatan Merapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi isotop air tanah di SB-1, SB-2, SB-3, SB-4 mirip dengan di MA-1 dan MA-2, dan asal-usul air tanah adalah dari daerah resapan air yang terletak pada elevasi antara 1136 – 1260 m.dpl. Sedangkan komposisi isotop SB-5 berbeda dengan MA-1 dan MA-2. Kesimpulannya pengoperasian SB-1, SB-2, SB-3, SB-4 akan menurunkan debit MA-1 dan MA-2, sedangkan pengoperasian SB-5 tidak berpengaruh. Kata kunci: interkoneksi hidraulik, komposisi isotop, meter di atas permukaan laut (m.dpl), MMWL
Abstract The springs of Umbul Lanang (MA-1) and Umbul Wadon (MA-2) are clean water resources for the community of Yogyakarta Special Region. Operating of 5 new boreholes (SB 1-5) which is located at the same location on the southern slopes of Mount Merapi feared would reduce both of springs discharge. The objectives of this research was to determine a Merapi Meteoric Water Line (MMWL) which would be used as a reference to analyze how the hydraulic interconnection between SB and MA. This study was completed as part of a larger research of the dynamics groundwater studies using natural isotopes on the southern slope of Mount Merapi. The results showed that the isotopic composition of groundwater in the SB-1, SB-2, SB-3, SB-4 similar to the MA-1 and MA-2, and the origin of groundwater are come from the recharge zone which located at the elevation 1136 to 1260 m.asl. While the isotopic composition of SB-5 different with MA-1 and MA-2. It can be concluded that the operation of SB-1, SB-2, SB-3, SB-4 will decrease the discharge of MA-1 and MA-2, while SB-5 has no effect. Keywords: hydraulic interconnection, isotopic composition, meters above sea level (m.asl), MMWL
.
18
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 17-26
1. PENDAHULUAN Mata air Umbul Lanang (MA-1) dan Umbul Wadon (MA-2) secara administratif terletak di dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Yogyakarta, dan terletak pada ketinggian 631 dan 634 meter di atas permukaan laut (m.dpl). Kedua mata air ini menarik untuk diteliti mengingat setelah erupsi Gunung Merapi tahun 2010, kedua mata air ini merupakan sumber air bersih di lereng selatan Merapi yang masih “hidup”, sementara puluhan mata air lainnya telah “mati” (Widodo, 2010). Umbul Wadon dengan debit rerata 265 liter/detik merupakan sumber air bersih yang memiliki fungsi strategis, karena pemanfaatan airnya bersifat lintas wilayah (transboundary water use), yakni untuk: (a) keperluan ribuan rumah-tangga di Kabupaten Sleman maupun Kota Yogyakarta, (b) industri kecil, (c) pariwisata/ perhotelan, dan (d) bahan baku air minum bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Sleman, PDAM Tirta Marta Kota Yogyakarta, dan PDAM Anindya (Hartono, 2001). Sedangkan mata air Umbul Lanang dengan debit rerata 215 liter/detik, airnya mengalir ke Kali Kuning dan dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk irigasi bagi lebih dari 1250 ha lahan pertanian, perikanan dan peternakan. Matinya sebagian besar mata air di lereng selatan Gunung Merapi akibat erupsi 2010 telah mendorong Pemerintah Kabupaten Sleman bekerjasama dengan Yayasan Amal milik salah satu TV Swasta Nasional untuk membuat 5 sumur bor (boreholes) sebagai substitusi berkurangnya pasokan air bersih dari mata air-mata air yang mati (Wijatna AB et al., 2013). Sumur bor-sumur bor (SB) dengan kedalaman pengeboran 98-146 m dari permukaan tanah tersebut memiliki debit air rerata 9-10 liter/detik. Kelima sumur bor tersebut terletak pada elevasi antara 544 sampai 846 meter di atas permukaan laut (m.dpl). Secara administratif kelima sumur bor tersebut terletak di dusun Srunen (SB-1), Pagerjurang (SB-2), Ngepring (SB-3),
Kuweron (SB-4), dan di dusun Bubur (SB-5) Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mengingat lokasi mata air Umbul Lanang (MA-1) dan Umbul Wadon (MA-2) serta ke-5 sumur bor tersebut samasama berada di lereng selatan Gunung Merapi, maka masyarakat pengguna mata air Umbul Wadon dan Umbul Lanang khawatir bahwa pengoperasian kelima sumur bor tersebut akan menurunkan debit kedua mata air tersebut. Sehubungan dengan itu maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pengoperasian kelima sumur terhadap keberlanjutan mata air Umbul Wadon dan Umbul Lanang sebagai sumber air bersih. Secara teoritis, pengoperasian kelima sumur bor, mata air Umbul Wadon, dan mata air Umbul Lanang akan saling mempengaruhi jika terdapat interkoneksi hidraulik atau jika berasal dari sistem akuifer yang sama. Selama ini penelitian asal-usul air dilakukan dengan pendekatan topografi wilayah, geologi dan hidrogeologi. Namun pendekatan ketiga aspek tersebut belum dapat memastikan apakah air yang berada di hilir (discharge area) benarbenar berasal dari hulu (recharge area) atau bukan. Pendekatan ketiga aspek tersebut juga tidak dapat membuktikan apakah air tanah di mata air dan sumur bor berasal dari air hujan lokal atau berasal dari air hujan yang jatuh pada elevasi di atasnya (Juanda, 2004). Kesulitan membedakan asal-usul air dengan tiga pendekatan tersebut dikarenakan penentuan asal-usul air dilakukan berdasarkan analisis parameter-parameter penciri lapisan batuan pembentuk akuifer, tidak menganalisis parameter atau penciri yang melekat pada air tanah sedang diteliti. Menurut Kresic (2010) dan Mazor (1997) air hujan (precipitation) atau air meteoric (meteoric water) yang jatuh dari atmosfir ke permukaan bumi akan memiliki komposisi isotop deuterium (δ2H atau δD) dan oksigen18 (δ18O) yang bervariasi sebagai fungsi elevasi, semakin tinggi elevasi semakin miskin (depleted) komposisi isotop beratnya, dan sebaliknya semakin rendah elevasi jatuhnya air
Wijatna, Analisis Interkoneksi Hidraulika
hujan semakin kaya (enriched) komposisi isotop beratnya. Dengan demikian komposisi isotop air hujan yang jatuh di hulu lebih miskin dibandingkan dengan komposisi isotop air hujan yang jatuh di hilir. Oleh karena bersifat spesifik sebagai fungsi elevasi, maka komposisi isotop (δ2D dan δ18O) dalam air hujan mirip dengan “sidik jari” (water finger print), setiap sidik jari air membawa informasi asal-usul. Jika sejak air hujan jatuh ke permukaan bumi, kemudian infiltrasi menjadi air tanah hingga ke luar melalui mata air atau sumur tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ekstrem (misalnya pengaruh geothermal), maka komposisi isotop air hujan saat infiltrasi menjadi air tanah akan sama dengan komposisi isotop air tanah saat ke luar ke permukaan tanah (Quijano dan Dray, dalam NN, 1983; Kresic, 2010). Dengan demikian asal-usul air tanah di suatu tempat dapat diketahui berdasarkan komposisi isotopnya, namun karena air tanah berasal dari air hujan, maka diperlukan data variasi komposisi isotop air hujan sebagai fungsi elevasi di kawasan tersebut. Prinsip inilah yang kemudian menjadi landasan teori untuk mengetahui apakah air berasal dari aquifer yang sama atau tidak, mengetahui ada-tidaknya interkoneksi hidraulik antar beberapa sumber air, menentukan luas dan batas daerah resapan air, merencanakan pengembangan wilayah berbasis ketersediaan air. Untuk mengetahui apakah air Umbul Wadon, Umbul Lanang, dan ke-5 sumur bor berada dalam satu sistem akuifer yang sama, maka diperlukan suatu persamaan yang menggambarkan variasi komposisi isotop (δ2D dan δ18O) pada air hujan sebagai fungsi elevasi di lereng selatan Merapi. Karena lokasi penelitian di lereng Merapi, maka selanjutnya persamaan ini disebut persamaan Merapi Meteoric Water Line (MMWL). Persamaan MMWL juga sangat bermanfaat bagi para peneliti yang menggunakan isotop alam sebagai perunut untuk meneliti dinamika air dalam siklus hidrologi di kawasan Gunung Merapi.
19
2. METODA Medode Analisis Sampel Air Hujan Untuk Menentukan Persamaan MMWL. Penelitian ini diawali dengan menentukan persamaan Merapi Meteoric Water Line (LMWL), yakni suatu persamaan yang menggambarkan variasi komposisi isotop (δ2D dan δ18O) air hujan di lereng selatan Gunung Merapi. Persamaan MMWL akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan asal-usul air yang mengalir ke Umbul Wadon, Umbul Lanang, dan ke-5 sumur bor dengan cara menganalisis komposisi isotopnya. Persamaan MMWL ditentukan dengan melakukan pengambilan sampel air hujan di 5 lokasi yang elevasinya berbeda di lereng selatan Merapi. Pada saat pengambilan sampel, koordinat lokasi dicatat menggunakan Global Positioning System (GPS) Merk Garmin, untuk kemudian koordinat-koordinat lokasi pengambilan sampel tersebut di plot ke dalam peta dasar untuk mendapatkan Peta Lokasi Pengambilan Sampel. Koordinat lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 1, sedangkan hasil ploting koordinat ke dalam peta dasar disajikan pada Gambar 1. Isotop berat D dan 18O dalam senyawa air merupakan isotop alam yang sangat sensitif terhadap proses penguapan. Oleh karena itu, untuk meminimalisir penguapan dan memudahkan pengambilan sampel air hujan, maka di setiap lokasi yang telah ditetapkan diletakkan peralatan tadah hujan yang sebelumnya sudah diisi minyak parafin, dimana berat jenis (BJ) parafin lebih kecil dari BJ air (BJ parafin = 0,856 dan BJ air=1). Sehingga ketika air hujan masuk ke dalam bak penampung, maka lapisan minyak parafin akan terangkat ke atas membentuk lapisan yang menutup permukaan air. Dengan perlakuan seperti itu maka proses penguapan sampel air hujan di bak penampung oleh panas matahari dapat diminimalisir. Pengambilan sampel air hujan dilakukan dengan cara
20
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 17-26
Tabel 1 Koordinat dan Elevasi Lokasi Pengambilan Sampel Air hujan Nama Lokasi (1) Plawangan Bebeng Kinahrejo Utara Stasiun Telemeteri Tek. Fisika UGM, Balerante Base Station Yogya
Elevasi (m.dpl) (2) 1260 1205 1136
Koordinat UTM X (m) Y (m) (3) (4) 434210 9162361 439300 9160713 436536 9153453
940
440835
9160132
126
428916
9140476
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Air hujan dan Air tanah menenggelamkan botol kedap udara berukuran 30 ml ke dalam bak penampung air hujan dengan mulut botol menghadap ke bawah. Setelah botol penuh terisi air hujan dan di dalam botol tidak terdapat gelembung udara, kemudian botol ditutup rapat ketika botol masih berada di dalam air. Pada setiap lokasi,
sampel air hujan diambil 3x pada waktu yang berbeda, yakni pada bulan November 2011, Desember 2011, dan Februari 2012. Sampelsampel air hujan tersebut kemudian dianalisis menggunakan spektrometer massa SIRA-9 (Standard Isotop Ratio Analyzer-9) VG Isogas untuk ditentukan rasio (Rsampel) kelimpahan
Wijatna, Analisis Interkoneksi Hidraulika
isotop deuterium (D/1H) dan oksigen-18 (18O/16O), di Laboratorium Kebumian dan Lingkungan Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN - Pasar Jum’at, JAKARTA. Namun karena nilai Rsampel sangat kecil, maka diberlakukan konvensi yang berlaku secara internasional dengan 1 18 menyatakan rasio isotop D/ H dan O/18O sampel air secara relatif terhadap rasio isotop D/1H dan 18O/18O pada Standard Mean Ocean Water (SMOW) dan dinyatakan dengan notasi (δD‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW, serta dihitung menggunakan persamaan (Payne, dalam NN, 1983; Mazor, 1997; Kresic, 2010):
δ =
Rsmpl − Rstd x1000 Rstd
(δD)SMOW
=
0
00
....................(1)
[(D H )smpl− (D H )smow] x1000‰ (D H )smow
…………………………………………...…(2) (δ18O)SMOW 18 O 16 smpl − 18 O 16 smow O O = x1000 ‰ 18 O 16 smow O ............................................(3) dengan :
[(
) (
( )
)
]
Rsmpl = rasio isotop (D/1H atau 18 16 O/ O) sampel air hujan Rstd = rasio isotop (D/1H atau 18 16 O/ O) SMOW, untuk (D/1H)SMOW = 1.5576.10-4 , dan (18O/16O)SMOW = 2.0052.10-3
δsmow = rasio isotop (D atau sampel air relatif terhadap SMOW, ‰
18
21
untuk masing-masing lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 3, kolom 3, 4, 6, 7, 9, dan kolom 10. Di samping elevasi, rasio isotop (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW air hujan juga tergantung pada presipitasi (P). Semakin tinggi presipitasi, rasio isotop (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW dalam air hujan semakin depleted, dan sebaliknya semakin kecil presipitasi, rasio isotop (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW dalam air hujan semakin enriched. Oleh karena itu untuk mendapatkan nilai presipitasi rerata yang representatif menggambarkan karakterisitik presipitasi yang sebenarnya, maka di setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel 3x, yakni pada musim hujan di bulan November dan Desember 2011, serta bulan Februari 2012. Karena di setiap lokasi dilakukan 3x pengambilan sampel, maka hasil perhitungan (δ2D)SMOW dan (δ18O)SMOW berdasarkan persamaan 2 dan 3 direratakan dengan mempertimbangkan pengaruh nilai presipitasi dengan menggunakan persamaan 4 dan 5 (Mazor, 1997 dan Kresic, 2010): ................(3) 18 δ O(‰)rerata = {ΣPi . (δi 18O)SMOW}/ΣPi,......(4)
δD(‰)rerata
(2 (2)(2) = {ΣPi . (δ18D)SMOW}/ΣPi........(5)
dengan:
δ18O(‰)rerata = rasio rerata isotop hujan, ‰ δD(‰)rerata hujan, ‰
= rasio rerata isotop
18
2
O air
H air
O)
(δi 18O)SMOW = (δ18O)SMOW = rasio isotop 18O air hujan bulan ke-i, ‰
(δ2D)SMOW = rasio D/1H sampel air relatif terhadap SMOW, ‰
(δi 18D)SMOW = (δ2D)SMOW = rasio isotop D air hujan bulan ke-i, ‰
(δ18O)SMOW = rasio 18O/16O sampel air relatif terhadap SMOW, ‰ Hasil perhitungan rasio isotop (δ2D)SMOW dan (δ18O)SMOW menggunakan persamaan 2 dan 3
Pi = nilai presipitasi antara sampel ke (i-1) dan ke (i), mm per bulan, data diperoleh dari data BMKG propinsi DIY tahun 2000 sd. 2009. Hasil perhitungan δD(‰)rerata dan δ18O(‰)rerata sampel air hujan
22
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 17-26
menggunakan persamaan 4 dan 5 disajikan pada Tabel 3, kolom 12 dan 13.
Metode Analisis Sampel Air Tanah Untuk Mengetahui Asal-usulnya Untuk mengetahui apakah air tanah di kelima sumur bor, mata air Umbul Wadon dan Umbul Lanang memiliki interkoneksi hidraulik dan berasal dari system akuifer yang sama, maka dilakukan pengambilan sampel air tanah di masing-masing sumber air tanah tersebut. Pada saat pengambilan sampel, koordinat lokasi dicatat menggunakan Global Positioning System (GPS) Merk Garmin, untuk kemudian koordinat-koordinat lokasi pengambilan sampel tersebut di plot ke dalam peta dasar untuk mendapatkan Peta Lokasi Pengambilan Sampel. Koordinat lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 2, sedangkan hasil ploting koordinat pengambilan sampel ke dalam peta dasar disajikan pada Gambar 1. Pengambilan sampel air tanah dari masingmasing sumur bor dilakukan dengan cara memompa air dari sumur bor dan menampungnya dalam bak penampungan. Pengambilan sampel air sumur bor dari bak penampung dilakukan dengan cara menenggelamkan botol kedap udara berukuran 30 ml ke dalam bak penampung masingmasing air sumur bor dengan mulut botol menghadap ke bawah. Setelah botol penuh terisi air sumur bor dan di dalam botol tidak terdapat gelembung udara, kemudian botol ditutup rapat ketika botol masih berada di dalam air. Sedangkan pengambilan sampel air dari mata air dilakukan dengan cara mengambil dari sedekat mungkin dengan sumber keluarnya air dari dalam tanah dengan menggunakan botol yang berukuran sama. Sampel-sampel air tanah dari ke-5 sumur bor dan kedua mata air tersebut kemudian dianalisis dan diperhitungkan dengan menggunakan cara yang sama dengan analisis sampel air hujan untuk mendapatkan nilai (δ2D)SMOW dan (δ18O)SMOW. Hasil perhitungan komposisi isotop sampel air tanah disajikan dalam Tabel 4.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan MMWL Hasil perhitungan rasio isotop (δ2D)SMOW dan (δ18O)SMOW menggunakan persamaan 2 dan 3 untuk masing-masing lokasi pengambilan sampel disajikan pada Tabel 3, kolom 3, 4, 6, 7, 9, dan 10. Dari Tabel 3 tampak bahwa semakin tinggi presipitasi semakin depleted nilai (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW, dan sebaliknya semakin rendah presipitasi semakin enriched nilai (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW. Oleh karena itu, dalam penelitian ini variasi rasio isotop sebagai fungsi presipitasi diperhitungkan dengan menggunakan persamaan 4 dan 5, sehingga diperoleh nilai rasio isotop rerata pada Tabel 3, kolom 12 dan 13. Apabila nilai rerata (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW pada Tabel 3, kolom 12 dan 13 di plot ke dalam grafik dengan elevasi sebagai sumbu-X dan rasio isotop (δ18O‰ dan δD‰) sebagai sumbu-Y, maka diperoleh Gambar 3. Dari Gambar 2 dapat disimpulkan bahwa setiap kenaikan elevasi 100 m, maka rasio isotopnya akan turun -0,1‰ untuk δ18O‰ dan -1,2‰ untuk δD‰. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Kresic [2010], yakni rasio isotop turun 0,16‰/100m untuk δ18O‰ dan -1,8‰/100m untuk δD‰. Sedangkan Merapi Meteoric Water Line (MMWL) didapatkan dengan cara plotting data hasil perhitungan (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW pada Tabel 3, kolom 12 dan 13 ke dalam grafik dengan δ18O‰ sebagai absis dan δD‰ sebagai ordinat, sehingga diperoleh Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3 diperoleh persamaan MMWL sebagai berikut: (δD‰)SMOW = 8,332.(δ18O‰)SMOW + 15,06‰, (r2 = 0.998) ................................................(6) Persamaan 6 yang diperoleh dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Dansgaard [1964], yakni Garis Air Meteorik Global (Global Meteoric Water Line, GMWL)
Wijatna, Analisis Interkoneksi Hidraulika
23
Tabel 2 Koordinat dan elevasi lokasi pengambilan sampel air tanah No.
Nama Lokasi
(1)
(2)
SB-1 SB-2 SB-3 SB-4 SB-5
Srunen Pagerjurang Ngepring Kuweron Bubur
MA-1 MA-2
Umbul Lanang Umbul Wadon
Elevasi X (m) (m.dpl) (3) (4) Sumur Bor (SB) 846 460572 665 444561 644 452529 643 446637 544 450727 Mata Air (MA) 634 452211 631 444257
Koordinat UTM Y (m) (5) 9152567 9142816 9138279 9149021 9133733 9149764 9141126
Tabel 3. Data hasil perhitungan (δ2D)SMOW dan (δ18O)SMOW pada air hujan di 5 lokasi penelitian Lo kasi **)
Elev. m.d pl
November 2011 (δD)1 ‰ (3) -47,98 -46,72 -45,69 -41,69 -32,14
(δ18O)1 ‰ (4) -7,64 -7,34 -7,29 -7,02 -5,54
P1*) mm (5) 306 306 306 301 281
Desember 2011 (δD)2 ‰ (6) -47,48 -45,07 -45,09 -41,04 -33,89
Komposisi isotop rerata
Februari 2012
Relatif terhadap SMOW (δ18O) P2 *) (δD)3 (δ18O)3 mm ‰ ‰ 2‰ (7) (8) (9) (10) -6,99 287 -48,49 -7,98 -6,96 287 -47,09 -7,84 -6,88 287 -45,98 -7,56 -6,13 280 -42,01 -7,05 -5,86 339 -34,09 -6,03
P3*) mm (11) 355 355 355 342 468
(1) (2) (A) 1260 (B) 1205 (C) 1136 (D) 940 (E) 126 Catatan: * ) P = presipitasi mm/bln, data direratakan dari data BMKG Prop. DIY tahun 2000 sd. 2009 **) (A) = Plawangan; (B) =Bebeng; (C) = Kinahrejo Utara; (D) = Stasiun Telemeteri Teknik Fisika FT-UGM, Balerante; (E) = Base Station Yogya
δD, ‰ (12) -48,02 -46,36 -45,62 -41,61 -33,52
δ18O, ‰ (13) -7,57 -7,41 -7,27 -6,76 -5,85
Gambar 2. Grafik rasio isotop (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW sebagai fungsi elevasi
24
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 17-26
Tabel 4 Data hasil perhitungan (δ2D)SMOW, (δ18O)SMOW dan (δ13C)PDB dari Sumur Bor dan Mata air No.
Nama Lokasi
(1)
(2)
SB-1 SB-2 SB-3 SB-4 SB-5
Srunen Pagerjurang Ngepring Kuweron Bubur
MA-1 MA-2
Umbul Lanang Umbul Wadon
Elevasi (δ2D)SMOW (m.dpl) (3) (4) Sumur Bor (SB) 846 -45.40 665 -43.70 644 -44.90 643 -44. 10 544 -40.30 Mata Air (MA) 634 -45.00 631 -46.10
yang mengikuti persamaan: δD,‰ = 8.δ18.O + 10‰................................(7) Global Meteoric Water Line diperoleh melalui pengukuran sampel air hujan, air sungai dan air danau yang diambil di beberapa negara di dunia, sedangkan MMWL ditentukan hanya berdasarkan sampel air hujan di lokasi yang lebih terbatas. Perbedaan nilai deuterium excess (DE) dalam penelitian ini (=15,06) terhadap GMWL (=10) disebabkan lereng Gunung Merapi yang berada di daerah tropismemiliki kelembaban udara (relative humidity) relatif tinggi. Kelembaban udara yang tinggi menyebabkan suhu permukaan rendah, sehingga energi kinetik evaporasi rendah. Oleh karena itu nilai DE pada MMWL menjadi lebih besar daripada nilai DE pada GMWL. Keterkaitan Sumur Bor (SB) Dengan Mata Air (MA). Hasil perhitungan (δ2D)SMOW dan (δ18O)SMOW dengan menggunakan persamaan 2 dan 3 untuk masing-masing sampel air tanah di masing-masing lokasi disajikan pada Tabel 4. Apabila nilai (δ2D‰)SMOW dan (δ18O‰)SMOW pada Tabel 4 di plot ke dalam grafik dengan δ18O‰ sebagai sumbu-X dan δD‰ sebagai sumbu-Y, maka akan diperoleh Gambar 4. Gambar 4 memberikan informasi-informasi sebagai berikut: Koordinat isotop sumur bor SB-1, SB-2, SB-3, dan SB-4 berimpit dengan koordinat isotop mata air MA-1 dan MA-2, hal
Komposisi Isotop (δ18O)SMOW (5) -7.40 -7.41 -7.39 -7.40 -6.57 7.41 7.41
ini menunjukkan bahwa air tanah di SB-1 sd. SB-4 memiliki komposisi isotop (δ18O, δD) yang mirip dengan komposisi isotop air tanah di mata air MA-1 dan MA-2. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa terdapat interkoneksi hidraulik dan air tanahnya berasal dari sistem aquifer yang sama. Koordinat isotop sumur bor SB-1, SB-2, SB-3, SB-4, MA-1, MA-2 berimpit dengan garis MMWL dan berdekatan dengan koordinat isotop air hujan di Plawangan-1260 m.dpl, Bebeng-1205 m.dpl dan Kinahrejo-1136 m.dpl. Berdasarkan fenomena ini dapat dipastikan bahwa air tanah SB-1, SB-2, SB-3, SB-4, MA-1, dan MA-2 bukan berasal dari air hujan atau akuifer lokal,tetapi berasal dari akuifer yang berada di atasnya, yakni dari akuifer yang berada pada elevasi antara 1136-1260 m.dpl. Koordinat isotop sumur bor SB-1, SB-2, SB-3, dan SB-4 jauh berbeda dengan koordinat isotop sumur bor SB-5, hal ini menunjukkan bahwa air tanah di SB-1 sd. SB-4 memiliki komposisi isotop (δ18O, δD) yang berbeda dengan komposisi isotop air tanah di SB-5. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa air tanah di SB-1 sampai SB-4 berasal dari akuifer yang berbeda dengan air tanah yang berada di SB-5. Koordinat isotop air tanah di sumur bor yang berada di dusun Bubur (SB-5) berimpit atau mendekati garis MMWL sehingga diperkirakan air tanah yang mengisi SB5berasal dari air hujan atau akuifer lokal, bukan berasal dari akuifer yang berada di atasnya. Prakiraan ini sesuai dengan data di lapangan yang menunjukkan bahwa debit SB-5
Wijatna, Analisis Interkoneksi Hidraulika
25
Gambar 3. Grafik MMWL relatif terhadap GMWL
Gambar 4. Grafik koordinat isotop (δ18O, δD) sampel air tanah dari sumur bor (SB) dan mata air (MA) relatif terhadap MMWL. adalah yang terendah diantara lima sumur bor, dan ketinggian muka air tanahnya sangat fluktuatif tergantung pada musim.
Dan untuk setiap kenaikan elevasi 100m, rasio isotop air hujan di lereng selatan Merapi akan mengalami penurunan -0,1‰ untuk (δ18O ‰)SMOW dan -1,2‰ untuk (δD ‰)SMOW
4. KESIMPULAN Persamaan Merapi Meteoric Water Line (MMWL) adalah: (δD‰)SMOW = 8,332.(δ18O‰)SMOW + 15,06‰, (r2 = 0.998),
Sumur bor di Dusun Srunen (SB-1), Pagerjurang (SB-2), Ngepring (SB-3), dan Kuweron (SB-4) memiliki interkoneksi hidraulik atau air tanahnya berasal dari akuifer yang sama dengan mata air Umbul Lanang (MA-1) dan Umbul Wadon (MA-2), yakni berasal dari akuifer di atasnya, terletak pada
26
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 17-26
elevasi 1136-1260 m.dpl. Sumur bor di Dusun Bubur (SB-5) tidak memiliki interkoneksi hidraulik atau memiliki akuifer yang berbeda dengan SB-1, SB-2, SB-3, SB-4, MA-1, dan MA-2. Air tanah di SB-5 berasal dari air hujan atau akuifer lokal. Dengan demikian pengoperasian sumur bor di Dusun Srunen (SB-1), Pagerjurang (SB-2), Ngepring (SB-3), dan Kuweron (SB-4) akan menurunkan debit mata air Umbul Lanang (MA-1) dan Umbul Wadon (MA-2), sedangkan pengoperasian sumur bor di dusun Bubur (SB-5) tidak mempengaruhi debit mata air Umbul Lanang (MA-1) dan Umbul Wadon (MA-2). DAFTAR PUSTAKA Dansgaard, W. (1964) . Stable isotopes in precipitation. Tellus, Swedish Geophysical Society. 436-468. Eriksson E. Tritium Nuclear Technical Vienna.
(1983). Stable Isotopes and Precipitation: Guidebook on Techniques in Hydrology. Reports Series (91). IAEA,
Juanda, Deny P., (2004). Pendugaan Asal Mula dan Aliran pada Akifer Bahan Volkanik Berdasarkan Perunutan Isotop Stabil. Studi Kasus Aliran Air Danau Aneuk Laot Aceh Darrusalam. Journal Teknologi Mineral IX (2). ITB Bandung. Hartono, MD. (2001). Konflik Umbul Wadon: Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu-Hilir. Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta
Kresic N. dan Stevanovic Z. (2010). Groundwater Hydrology of Springs. Engineering, theory, management, and sustainability. Elsevier Inc., USA. Mazor, Emanuel. (1997). Chemical and Isotopic Groundwater Hydrology. The Applied Approach. Mercel Dekker Ink. 2nd edition. USA. (9):168-194. NN. (1983). Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrology. Technical Reports Series No. 91. IAEA, Vienna. (2):19-27; (18): 273-279 & (19): 285-299. Payne, BR., 1983 Introduction: Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrology. Technical Reports Series (91). IAEA, Vienna. Quijano L., dan Dray M., (1983). Origin of Groundwater: Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrology. Technical Reports Series (91). IAEA, Vienna. Widodo, A.C. (2010). Erupsi Merapi dan Hidrologi. Rumah Hijau, Art for Earth. Wijatna AB., Sudarmadji, Sunarno, Hendrayana H. (2013). Tracing the Origin of Groundwater in springs with Environmental Isotopes in the Southern Slope of Mount Merapi, Indonesia. Submitted to ASEAN Engineering Journal. Bangkok, Thailand, Januari 2013.
PENENTUAN KEDALAMAN BATUAN GRANIT DENGAN METODE GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER ALPHA DI TANGKILING, KALIMANTAN TENGAH DETERMINATION OF GRANITE ROCK DEPTH BY USING GEOELECTRIC WENNER ALPHA CONFIGURATION METHOD IN TANGKILING, CENTRAL KALIMANTAN Anton Kuswoyo*), Totok Wianto1), dan Sri Wahyono1) 1) Program Studi Fisika – FMIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. A. Yani, Km. 36, Banjarbaru, Kalimantan Selatan – Indonesia *)E-mail:
[email protected] Abstrak Geologi di Tangkiling, Kalimantan Tengah termasuk dalam formasi Aluvial dan Tonalit Sepauk, sehingga mempunyai potensi Granit cukup besar. Granit adalah batuan beku dalam yang mempunyai kristal-kristal kasar dengan komposisi mineral dari kwarsa, feldspar, plagioklas sodium dan mineral lainnya. Granit sering dipakai untuk bangunan rumah, monumen, bangunan air, jalan, jembatan dan sebagai batu hias. Masalah utama dalam penelitian ini adalah bagaimana menentukan kedalaman Granit sehingga dapat diketahui keberadaannya di bawah permukaan tanah. Penentuan kedalaman granit menggunakan metode geolistrik konfigurasi Wenner Alpha pada dua lintasan masing-masing sepanjang 100 meter. Granit ditemukan pada kedalaman 6,4–12,4 meter pada pengukuran di lintasan G1 dengan rentang nilai resistivitas 2945–4444 Ωm, sedangkan pada lintasan G2 granit ditemukan dalam bentuk bongkahan-bongkahan yang terpisah, yakni pada kedalaman 2,5–12,4 meter; 0–10,5 meter dan 1,3–10,5 meter dengan rentang nilai resistivitas 3172 – 4609 Ωm. Batuan lainnya berupa aluvial dan pasir, soil serta gabro. Hasil pengukuran resistivitas sesuai dengan literatur nilai resistivitas granit, pada rentang 3.102 – 106 Ωm. Kata kunci: konfigurasi Wenner, geolistrik, granit Abstract Geology in Tangkiling, Central Kalimantan is included on Alluvial formations and tonalite Sepauk, it is considered potential for Granite. Granite is an igneous rock in which crystals had roughed with the mineral composition of quartz, feldspar, plagioclase sodium and other minerals. Granite is often used for house buildings, monuments, waterworks, roads, bridges, and as an ornamental stone. The main problem in this research is how to determine the depth of granite that can be known to exist beneath the surface of the ground. Determination of the depth of granite using geoelectric Wenner Alpha methods configuration on two tracks each 100 meters. Granite can be found at a depth of 6.4 to 12.4 meters on the track G1 measurement range 2945-4444 Ωm resistivity values, whereas the trajectory of G2 granite found in the form of separate chunks, ie, at a depth of 2.5 to 12.4 meter, 0 to 10.5 meters and 1.3 to 10.5 meters with a range of values of resistivity 3172-4609 Ωm. Other form of alluvial rock and sand, soil and gabbro. The results of resistivity measurements in accordance with the literature value of resistivity of granite, which is in the range of 3102106 Ωm. Keywords: geolistric, granite, Wenner alpha configuration
28
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 27-32
1. PENDAHULUAN Wilayah geologi Kalimantan Tengah terbentuk dari endapan atau batuan yang terjadi dalam cekungan-cekungan sedimen dan daerah-daerah pegunungan.Tangkiling, Kecamatan Bukit Batu adalah salah satu kawasan di pinggir Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kawasan berupa dataran tinggi tersebut menyimpan sumber daya mineral dan batuan. Khusus untuk batuan granit, batu belah dan split granite terletak pada area seluas 10,99 Ha. Granit adalah batuan beku dalam yang mempunyai kristal-kristal kasar dengan komposisi mineral dari kwarsa, feldspar, plagioklas sodium dan mineral lainnya. Granit sering dipakai untuk bangunan rumah (dinding, tembok, dan lainlain), monumen, bangunan air, jalan, jembatan dan sebagai batu hias. Berdasarkan peta geologi pada Gambar 1, wilayah Tangkiling tersusun dari Formasi Aluvium dan Tonalit Sepauk. Formasi Aluvium tersusun atas pasir kwarsa, kerikil dan bongkahan yang berasal dari komponen batuan malihan, batuan bersifat granit dan kuarsit lepas, sedangkan Formasi Tonalit Sepauk tersusun atas batuan granit dengan tekstur merata, berkomposisi diorite, tonalit, granodiorit, sampai monzonit. Eksploitasi terhadap batuan Granit perlu data pendukung berupa kedalaman keberadaan batuan Granit di dalam tanah, agar proses penggalian batuan granit bisa dilakukan dengan tepat. Keberadaan batuan granit di bawah permukaan tanah perlu diketahui guna memudahkan proses eksploitasi. Berdasarkan fenomena tersebut, maka perlu dilakukan survei geolistrik untuk mengetahui potensi granit dan sumber daya mineral batuan lainnya di daerah Tangkiling. Metode geolistrik terbukti akurat untuk mendeteksi batuan bawah permukaan tanah (Wahyono dan Wianto, 2008). Pernah dilakukan penelitian eksplorasi granit dengan menggunakan metode geolistrik di G. Beluru, P. Belitung yang hasilnya terdiri dari lapisan tanah penutup, boulder granit, lapukan batuan, bongkah batuan dan batuan granit pada
lapisan paling bawah (Siregar et.al., 1994). Tujuan penelitian untuk menentukan jelas lapisan batuan di wilayah Tangkiling. Manfaat penelitian ini agar dapat dilakukan strategi penambangan agar kelestarian lingkungan tetap terjaga. 2. METODA Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Global Positioning System (GPS). Satu set peralatan Resistivi-tymeter OYO McOhm Mark2 model 2115A, yang dilengkapi dengan: Empat buah elektroda (terbuat dari stainless steel). Empat gulung kabel sepanjang ± 300 meter. Baterai kering 24 volt dan empat buah palu untuk menanam elektroda. Tahap awal dilakukan survei penentuan lokasi yang memungkinkan dilakukan pengukuran resistivitas batuan, selanjutnya dilakukan pengukuran resistivitas dengan metode geolistrik konfigurasi Wenner Alpha. Spasi (jarak antar elektroda terdekat) yang digunakan adalah 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 meter dengan panjang lintasan 100 meter. Data hasil pengukuran kemudian diolah dengan menggunakan software Res2Dinv. Teknik pengukuran resistivitas menggunakan empat buah elektroda yang terdiri dari dua elektroda arus (A dan B) yang terletak di bagian terluar dan dua elektroda potensial (M dan N) yang terletak di bagian dalam. Pengambilan data dari dua lintasan yang berbeda. Lintasan pertama pada koordinat S 10 59.608 E 1130 45.564 (titik awal) dan S 10 50.548 E 1130 45.568 (titik akhir) serta lintasan kedua pada koordinat S 10 59.576 E 1130 45.495 (titik awal) dan S 10 59.618 E 1130 45.464 (titik akhir). Data resistivitas kemudian ditulis dalam tabel hasil pengukuran untuk selanjutnya diolah dengan menggunakan software Res2Dinv untuk mendapatkan kontur distribusi harga resistivitas batuan bawah permukaan bumi. Kontur resistivitas batuan juga menunjukkan kedalaman batuan granit di bawah permukaan tanah.
Koeswoyo, Penentuan Kedalaman Batuan Granit
29
Tangkiling
Gambar 1. Peta Geologi Lembar Tewah Kualakurun, KalimantanTengah (Sumartadipura dan Margono, 1996)
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan kedalaman dan ketebalan granit dilakukan dengan menggunakan metode geolistrik konvigurasi Wenner Alpha. Pada prinsipnya, injeksi arus listrik melalui dua elektroda arus (A dan B) akan menimbulkan tegangan pada dua elektroda potensial (M dan N) yang terletak diantara elektroda arus (Santoso, 2002). Besarnya arus yang diinjeksikan dan tegangan pada kedua elektoda dicatat pada alat Resistivitymeter. Perbedaan arus maupun tegangan listrik akan menghasilkan nilai resistivitas (tahanan jenis) yakni berupa perbandingan antara tegangan dan arus listrik. Perubahan resistivitas tergantung dengan jenisjenis batuan yang dilalui arus listrik, sehingga dari data resistivitas inilah dapat diketahui jenis-jenis batuan bawah permukaan bumi. Data hasil penelitian berupa nilai resistivitas batuan dicatat dalam Tabel 1. Tabel 1 menampilkan nilai resistivitas batuan pada pengukuran dengan jarak spasi 5 meter, untuk spasi yang lainnya (10, 15, 20, 25 dan 30 meter) tidak ditampilkan dalam makalah ini. Tahap selanjutnya data tersebut diolah dengan menggunakan software Res2Dinv yang
menghasilkan kontur nilai resistivitas jenis batuan berdasarkan resistivitas seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 (lintasan G 1) dan Gambar 3 (lintasan G 2). Nilai resistivitas pada lintasan G 1 berkisar antara 249 – 4444 Ωm dan pada lintasan G 2 berkisar antara rentang 1274 – 4609 Ωm. Nilai resistivitas ini selanjutnya dibandingkan dengan nilai resisvitas batuan pada literatur (Reynold, 1997). Lintasan G 1 didominasi oleh batuan granit, yakni pada rentang resistivitas 2945 – 4444 Ωm yang terletak pada kedalaman 6,4 – 12,4 meter. Sementara lapisan diatasnya terdiri dari aluvial dan pasir yakni pada rentang resistivitas 249 – 567 Ωm serta soil (lapukan batuan) dengan nilai resistivitas 567 – 1293 Ωm. Pada lintasan G 2, sebaran granit tidak merata dan berbentuk bongkahan, seperti pada kontur distribusi resistivitas Gambar 3. Granit ditandai dengan warna kuning dengan resistivitas 3172 Ωm hingga warna ungu yang mempunyai nilai resistivitas 4609 Ωm. Bongkahan pertama pada kedalaman 2,5 – 12,4 meter dan pada titik pengukuran dari 0 – 45 meter. Bongkahan kedua muncul di permukaan tanah berupa singkapan granit hingga di
30
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 27-32
kedalaman 10,5 meter pada titik pengukuran 55 – 70 meter di permukaan tanah dan pada rentang 45 – 65 meter di bawah permukaan tanah. Bongkahan ketiga pada kedalaman 1,3 – 10,5 meter sepanjang titik pengukuran 75 – 100 meter. Batuan lainnya berupa batuan lapuk (soil) dengan nilai resisitivitas 1247 – 1811 Ωm dan gabro dengan resistivitas 2185 – 2632 Ωm. Hasil pengukuran resistivitas sesuai dengan literatur nilai resistivitas batuan granit, yakni pada rentang 3.102 – 106 Ωm (Reynold, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi
penelitian didominasi oleh batuan granit, hal ini sesuai dengan kondisi geologi batuan daerah Tangkiling yang tersusun atas formasi batuan aluvium dan tonalit sepauk. Jika ingin melakukan eksploitasi batuan granit di lokasi penelitian, maka sebaiknya dilakukan pada lokasi G 1, hal ini karena pada lokasi G 1 sebaran batuan granitnya merata dan tebal. Namun eksploitasi hendaknya dilakukan dengan memerhatikan kelestarian lingkungan, yaitu dilakukan sesuai prosedur dan mematuhi undang-undang yang berlaku tentang lingkungan hidup.
Tabel 1. Data Hasil Pengukuran Resistivitas Batuan Granit pada spasi 5 meter. Elektrode
No.
X-center
Electrode
K
Reading
Rho-app
1
A 0
M 5
N 10
B 15
(midpoint) 7,5
Spacing (a) 5
31,429
Resistivity (Ω ) 34,688
(Ω m) 1090,194
2
5
10
15
20
12,.5
5
31,429
38,102
1197,491
3
10
15
20
25
17,5
5
31,429
39,342
1236,463
4
15
20
25
30
22,5
5
31,429
49,190
1545,971
5
20
25
30
35
27,5
5
31,429
40,595
1275,843
6
25
30
35
40
32,5
5
31,429
50,174
1576,897
7
30
35
40
45
37,5
5
31,429
46,493
1461,209
8
35
40
45
50
42,5
5
31,429
40,695
1278,986
9
40
45
50
55
47,5
5
31,429
35,492
1115,463
10
45
50
55
60
52,5
5
31,429
35,146
1104,589
11
50
55
60
65
57,5
5
31,429
33,961
1067,346
12
55
60
65
70
62,5
5
31,429
28,368
89,.566
13
60
65
70
75
67,5
5
31,429
26,850
843,857
14
65
70
75
80
72,5
5
31,429
26,037
818,306
15
70
75
80
85
77,5
5
31,429
18,522
582,120
16
75
80
85
90
82,5
5
31,429
13,616
427,931
17
80
85
90
95
87,5
5
31,429
14,062
441,949
18
85
90
95
100
92,5
5
31,429
11,630
365,514
Koeswoyo, Penentuan Kedalaman Batuan Granit
31
soil (lapukan batuan) Granit
Resistivity in ohm.m
Unit electrode spacing 5.0
Gambar 2. Kontur distribusi resistivitas pada lintasan G1
Depth
Granit 2
soil
Granit 1
Resistivity in ohm.m
Unit electrode spacing 5.0 m
Gambar 3. Kontur distribusi resistivitas pada lintasan G2
4. KESIMPULAN Batuan granit terletak pada kedalaman 6,4 – 12,4 meter pada pengukuran di lintasan G1 dengan rentang nilai resistivitas 2945 – 4444 Ωm. Pengukuran di lintasan G2 memperlihatkan hasil berupa bongkahan granit, yakni: bongkahan pertama pada kedalaman 2,5 meter dan pada titik pengukuran dari 0–45 meter, bongkahan kedua muncul di permukaan tanah berupa singkapan granit hingga di kedalaman 10,5 meter pada titik pengukuran 55–70 meter di permukaan tanah dan pada rentang 45–65 meter di bawah permukaan tanah pada kedalaman 10,5 meter serta bongkahan ketiga pada kedalaman 1,3–
10,5 meter sepanjang titik pengu-kuran 75–100 meter. Lapisan bawah permukaan bumi di lokasi penelitian selain batuan granit yaitu berupa aluvial dan pasir yang mempunyai nilai resistivitas 249–567 Ωm, soil (lapukan batuan) dengan nilai resis-tivitas 567–1811 Ωm serta gabro dengan rentang nilai resistivitas 2185– 2632 Ωm. DAFTAR PUSTAKA Reynold, J.M. (1997). An Introduction to Applied and Environmental Geophysics. John Willey & Sons Ltd., New York. Santoso, D. (2002), Pengantar Geofisika, ITB, Bandung.
Teknik
32
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 27-32
Siregar, M.S. Sudaryanto & S. Indarto. (1994). Eksplorasi Batuan Granit di G. Beluru, P. Belitung dan Masalah Pengembangannya, Jurnal XVII (2). Sumartadipura A.S. & U. Margono. (1996). Peta Geologi Lembar Tewah (Kualakurun) Kalimantan Tengah.
Wahyono, S.C. dan Wianto, T. (2008), Penentuan Lapisan Air Tanah dengan Metode Geolistrik Schlumberger di Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan, Jurnal Fisika Fluks. 5 (2). Agustus 2008, 148-164.
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PEMBANGUNAN TEMPAT PENGOLAHAN SAMPAH TERPADU PUBLIC PERCEPTION OF THE INTEGRATED SOLID WASTE FACILITY DEVELOPMENT 1)
Heni Riantin*) Satker Departemen Pekerjaan Umum Jawa Barat Ujung Berung, Jawa Barat *) E-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian ini untuk memperoleh kondisi eksisting pengelolaan sampah di sumber sampah, persepsi masyarakat masyarakat terhadap pembangunan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dan partisipasi masyarakat jika fasilitas ini dibangun. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan 100 kuesioner kepada masyarakat di Kecamatan Dayeuhkolot Bandung. Metoda pengambilan responden dilakukan secara random sederhana dan jumlah responden ditentukan berdasarkan SNI 19-3964-1995. Analisis persepsi masyarakat menggunakan skala Likert. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 33% masyarakat masih membakar atau membuang sampahnya sembarangan. Sebanyak 76% masyarakat sudah mengetahui tentang tata cara pemilahan sampah, tetapi hanya 34% yang baru melaksanakannya. Persepsi masyarakat yang setuju dengan keberadaan fasilitas TPST dikategorikan sangat kuat atau sebanyak 87,2%. Persepsi masyarakat yang bersedia memilah sampah untuk menunjang efektifitas pengoperasian TPST dikategorikan kuat atau sebanyak 72%. Kata kunci: partisipasi masyarakat, pemilahan, persepsi, sumber sampah, TPST Abstract The purpose of this study is to obtain the condition of existing solid waste management at sources, public perception of integrated solid waste recovery facility (MRF) development and public participation. The data was collected by distributing 100 questionaires to the public in the District Dayeuhkolot Bandung. Respondents were determined by simple random methods and the number of respondents is determined by SNI 19-3964-1994, analysis of public perception using Likert scale. The results showed as many as 10 % of people still burn their garbage and 6% throw their garbage to the river. Some 76% of people already know about the way of sorting garbage, but only 34% of them implement solid waste segregation. Public perceptions agree with the TPST facilities categorized as very strong or as much as 87.2%. Public perception those are willing to segregation solid waste to support the effectiveness of MRF categorized as strong or as much as 72%. Keywords: MRF, perception, public participation, segregation, sources
34
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 33-40
1. PENDAHULUAN Tingkat pengelolaan sampah di hampir seluruh kota-kota di Indonesia masih rendah. Hal ini terutama disebabkan fasilitas sarana dan prasarana pengelolaan sampah yang masih sangat terbatas. Keterbatasan sarana prasarana ini menyebabkan tertimbunnya sampah di tempat penampungan sementara (TPS). Sampah dengan cepat membusuk dan mencemari lingkungan. Di samping itu, peningkatan jumlah timbulan sampah mengikuti peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan pola konsumsi masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pengelolaan sampah dengan cara mereduksi sampah dari sumbernya (Minghua et al., 2009). Hal ini sejalan dengan UU No 18 tahun 2008, di mana pengelolaan sampah terdiri dari pengurangan sampah dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi usaha reduksi di sumber sampah, penggunaan kembali dan daur ulang sampah, yang dikenal dengan konsep Reduce, Reuse dan Recycling (3R). Untuk mengatasi keterbatasan sarana prasarana, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan konsep 3R. Ada tiga tempat yang dapat digunakan untuk menerapkan 3R yaitu rumah tangga, TPS atau fasilitas daur ulang (Chang dan Wang, 1995). Secara umum strategi minimisasi sampah yang dikembangkan di Indonesia adalah upaya reduksi dan pengolahan di sumber sampah dan menyediakan fasilitas tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) sebagai pelengkap TPS. Minimisasi dan daur ulang sampah dari sumber sampah akan mengurangi jumlah sampah yang harus diangkut ke Tempat Pemrosesan Akhir. Di samping itu pengumpulan sampah secara terpisah adalah proses penting agar upaya daur ulang di TPST dapat lebih efektif (Pichtel, 2005). Seluruh usaha yang dilakukan di TPST tentu saja menimbulkan dampak terhadap masyarakat, antara lain bising, bau, emisi gas rumah kaca (GRK) dan produksi lindi yang
jika tidak dikelola dengan baik akan mencemari lingkungan. Menurut Colon et al., (2010) pengomposan menimbulkan emisi penyebab asidifikasi, eutrofikasi, pemanasan global dan oksidasi fotokimia. Semua dampak yang ditimbulkan dapat diminimisasi, tetapi pada umumnya masyarakat langsung menolak sebelum mengetahui pentingnya fasiltas ini dalam pengelolaan sampah. Faktor penting dalam penerapan 3R adalah partisipasi masyarakat, karena dari sanalah sebagian besar sumber timbulan sampah. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang 3R mempengaruhi partisipasi mereka dalam program tersebut. Program juga harus sederhana dan dikomunikasikan kepada masyarakat dengan baik (Purcell dan Magette, 2010). Satu rumah tangga dapat menjadi sumber yang mempengaruhi rumah tangga lainnya dalam melakukan kegiatan daur ulang sampah (Latan’e, 1981). Hubungan interaksi antar tetangga dalam suatu kelompok, merupakan potensi interaksi sosial yang dapat mempengaruhi perilaku masyarakat lainnya untuk melakukan kegiatan daur ulang (Shaw, 2008). Teknologi daur ulang sampah yang dapat diterapkan tergantung dari komposisi sampah. Komposisi sampah di Indonesia pada umumnya didominasi sampah organik yang mudah membusuk. Sampah ini dapat dikomposkan dan hasilnya dapat digunakan sendiri untuk penghijauan atau secara kolektif dapat dijual. Barang-barang lain seperti kertas, plastik dan karton dapat langsung dijual. Metoda yang paling umum dilakukan dengan menempatkan wadah yang berbeda untuk masing-masing komponen sampah di tempat-tempat strategis, seperti taman, pasar, kompleks olah raga (Magrinho et al., 2006). Uraian di atas menunjukkan bahwa upaya meminimisasi biaya pengangkutan dan pemrosesan akhir sampah sangat tergantung dari berhasil atau tidaknya penerapan konsep 3R (Suttibak dan Nitivattananon, 2008), yang dimulai dari sumber sampah. Oleh karena itu sampah yang belum didaur ulang di sumber
Riantin, Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan TPST
sampah dapat dilakukan di TPST. Agar kinerja daur ulang di TPST dapat berlangsung dengan baik, maka sebaiknya sampah yang masuk ke TPST sudah terpilah antara sampah basah dan sampah kering. Tujuan penelitian ini adalah bagaimana penerapan 3R telah dilaksanakan oleh masyrarakat dan bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkannya. Di samping itu juga diteliti bagaimana persepsi masyarakat jika TPST diterapkan, agar jumlah timbulan sampah yang diangkut ke TPA dapat direduksi sebesar-besarnya. 2. METODA Penelitian dilakukan di Kecamatan Dayeuhkolot Bandung dengan menyebarkan kuesioner ke masyarakat. Penentuan sampel dilakukan dengan teknik simple random terhadap masyarakat di Kecamatan Dayeuh Kolot Kabupaten Bandung. Jumlah sampel yang diambil mengacu pada SNI 19-39641995 tentang meroda pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah perkotaan (Badan Standarisasi Nasional, 1995). Jumlah responden yang ditentukan sebanyak 100 responden. Adapun variabel yang dimuat dalam kuesioner adalah identitas responden, pengelolaan sampah di masyarakat, tingkat pengetahuan tentang pengelolaan sampah, dan sikap serta peran serta masyarakat. Wawancara juga dilakukan terhadap instansi terkait, menyangkut strategi program-program 3R yang telah dilaksanakan. Analisis dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terkait pengelolaan sampah, kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan sampah di sumber sampah, pengumpulan sampah, serta persepsi masyarakat tentang pemilahan dan pengolahan sampah. Analisis tentang sikap pada umumnya dapat dengan menggunakan skala Likert. Data kuesioner yang terkait persepsi masyarakat akan diukur dengan skala Likert. Perhitungan skor setiap pertanyaan akan diberi bobot, kemudian dihitung skor idealnya. Kemudian hasil skor tersebut
35
diinterpretasikan seperti yang dapat dilhat pada Gambar 1 (Ridwan, 2010). Interpretasi digolongkan pada lima kriteria yaitu sangat lemah, lemah, cukup, kuat dan sangat kuat.
Gambar 1: Kriteria interpretasi skor 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penanganan Sampah di Sumber Ada beberapa cara masyarakat membuang sampahnya, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Sebagian besar atau 56% masyarakat membuang sampahnya sendiri ke TPS dan sebanyak 21% diangkut oleh petugas sampah. Hanya sebanyak 1% masyarakat yang sudah mengomposkan sampahnya dan masih ada sebanyak 6% yang membuang sampahnya ke sembarang tempat. Hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat masih rendah untuk mengolah sampahnya menjadi bahan atau produk yang bermanfaat.
Gambar 2: Penanganan sampah di sumber
36
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 33-40
Masyarakat yang membakar sampahnya ada sebanyak 10%. Membakar sampah dapat mencemari lingkungan, karena emisinya ke udara. Membuang sampah ke selokan sebanyak 6% dapat mencemari badan air dan menyebabkan banjir. Jika dijumlah masih ada sebanyak 33% masyarakat yang belum mengelola sampahnya dengan benar. Karena itu perlu dilakukan penyuluhan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat bagaimana cara mengelola sampah. Secara bertahap dari pengetahuan ini diharapkan partisipasi masyarakat dapat meningkat (Prucell dan Magette, 2010). Pengetahuan Tentang Pengelolaan Sampah Berdasarkan Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, terdapat berbagai tujuan dari program peran serta masyarakat, antara lain: (1) memberikan informasi kepada masyarakat tentang program pengelolaan sampah, termasuk di dalamnya konsep 3R yang dapat diterapkan; (2) memperoleh dukungan masyarakat terhadap pelaksanaan program dan (3) meningkatkan kinerja seluruh sistem pengelolaan sampah. Untuk memperoleh dukungan terhadap program memerlukan proses panjang yang dapat dicapai dari beberapa tahapan yaitu: tahap kognitif, tahap afektif, tahap melakukan penilaian, tahap mencoba, tahap adopsi dan tahap memelihara peran serta. Pengetahuan masyarakat bahwa mereka harus ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah sebanyak 89,98%. Hanya sedikit saja, yaitu sebesar 4,4% yang menyatakan bahwa pengelolaan sampah adalah tanggung jawab pemerintah. Bahkan ada sebanyak 6% masyarakat yang menyatakan bahwa pengelolaan sampah adalah tanggung jawab mereka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat bertanggung jawab dalam pengelolaan sampahnya. Sebanyak 76% responden sudah tahu tata cara penyimpanan sampah yang sudah dipilah, meskipun masih ada sebanyak 6,6% ragu-ragu dan 18,18% yang tidak tahu. Terkait dengan keberadaan
peraturan pemerintah, sebanyak 67,67% responden sudah mengetahuinya dan sebanyak 33,33% tidak mengetahunya. Hasil kuesioner terhadap tingkat pengetahuan masyarakat memperlihatkan bahwa sebagian besar responden sudah mengetahui harus berperan serta dalam pengelolaan sampah. Masyarakat juga mengetahui tata cara pemilahan sampah dan peraturan daerah tentang pengelolaan sampah. Walaupun begitu, upaya peningkatan pengetahuan masyarakat perlu dilakukan secara kontinyu melalui promosi program. Hal ini bertujuan agar dukungan masyarakat yang kontinyu dapat meningkatkan pelaksanaan program, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja keseluruhan sistem pengelolaan sampah. Hal terpenting adalah cara melakukan daur ulang, karena tanpa pengetahuan yang baik segala usaha promosi akan sia-sia (Yau, 2010). Perilaku dalam Pengelolaan Sampah Walaupun persentase masyarakat yang mengetahui untuk memisahkan sampah antara sampah basah dan sampah kering di sumber mencapai 76%, namun dari hasil kuesioner jumlah masyarakat yang sudah melaksanakan pemilahan sampah di sumber baru mencapai 34%. Sebagian masyarakat memilah sampahnya antara sampah basah dan kering, karena sampah kering akan dibakar. Pemilahan akan memudahkan masyarakat membakar sampahnya. Sebagian masyarakat memanfaatkan sampah basahnya sebagai pakan ternak atau dikomposkan. Sebagian masyarakat melakukan pemilahan terhadap sampah yang bernilai ekonomi untuk dijual ke tukang rongsokan. Sampah yang paling banyak dipilah adalah sampah kertas, koran, majalah dan kardus, yaitu sebanyak 60% seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3. Masyarakat yang melakukan pemilahan barang elektronik sebanyak 26%. Mengingat barang elektronik mengandung bahan B3 (Tsydenova dan Bengtsson, 2011), maka masyarakat juga perlu pengetahuan cara
Riantin, Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan TPST
penanganan B3 dengan benar. Untuk itu pengetahuan tentang jenis dan karakteristik sampah B3 rumah tangga dapat dilakukan dengan program penyuluhan dan sosialisasi dalam konsep 3R.
37
secara keseluruhan dalam system pengelolaan sampah. Sesuai dengan program Ditjen Cipta Karya, tujuan ini dapat dicapai dari salah satu programnya yaitu penyuluhan. Hasil penyuluhan ini diharapkan dapat meningkatkan persepsi masyarakat dalam menyetujui pembangunan TPST. Partisipasi Masyarakat Untuk Memilah Sampah
Gambar 3: Jenis barang yang dijual
Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Fasilitas Pengelolaan Sampah Sebagian besar masyarakat yaitu 54% sangat setuju dan 38% setuju dengan keberadaan fasilitas pengelolaan sampah TPST. Tabel 1 menunjukkan frekuensi yang setuju dengan fasilitas pengelolaan sampah. Tabel 1 juga menunjukkan pembobotan suntuk masingmasing pilihan. Kemudian skor yang diperolah dibandingkan dengan skor ideal. Hasil perhitungan sebesar 436/500 x 100 % = 87,2%. Kemudian hasil perhitungan diukur dengan skala Likert seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil perhitungan menunjukkan persepsi responden sangat kuat untuk menerima fasilitas daur ulang sampah. Meskipun persepsi masyarakat sangat kuat untuk menerima pembangunan TPST di lingkungan mereka, namun belum dapat menggambarkan keterlibatan mereka dalam pengelolaan TPST tersebut. Dalam jangka pendek perlu penyiapan masyarakat untuk mengetahui secara rinci proses pengelolaan sampah di TPST. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah baik di TPST maupun
Frekuensi partisipasi masyarakat untuk memilah sampah di rumah antara sampah basah dan sampah kering dapat dilihat pada Tabel 2. Sebanyak 85% masyarakat bersedia melakukan pemilahan. Pada masa yang akan datang, pengetahuan masyarakat tentang pemilahan sampah perlu ditingkatkan, tidak hanya membedakan sampah basah dan kering, tetapi juga memisahkan sampah B3. Hal ini akan menunjang keberadaan fasilitas TPSP di masa yang akan datang, karena pemilahan sampah dari sumber akan meningkatkan efisiensi pengelolaan sampah di TPST. Konsep 3R perlu digalakkan di seluruh kota di Indonesia. Kegiatan 3R ini dapat dimulai dari beberapa kota yang memang bersedia melakukan 3R, kemudian kota-kota ini diharapkan dapat menstimulasi kota-kota lainnya. Interpretasi dari skor skala Likert seperti yang dapat dilihat pada Gambar 5 berada pada posisi golongan kuat yang menggambarkan bahwa masyarakat di wilayah Kecamatan Dayeuhkolot bersedia untuk melakukan pemilahan di sumber. Meskipun begitu, mengingat masyarakat yang melakukan pemilahan baru mencapai 34%, maka diperlukan program penguatan agar partisipasi masyarakat dapat meningkat. Informasi yang perlu diberikan ke masyarakat adalah bagaimana melakukan 3R. Hasil kuesioner terhadap peran serta masyarakat, diperoleh data bahwa 76% masyarakat mengetahui cara meperlakukan sampah di sumber yaitu dipisah antara sampah basah dan sampah kering, namun baru 34% masyarakat yang melakukan pemilahan di sumber. Kondisi ini Meskipun
38
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 33-40
Tabel 1: Frekuensi dan pembobotan persepsi masyarakat terhadap fasilitas daur ulang sampah Frekuensi
%
bobot
skor
skor ideal
Sangat setuju
54
54
5
270
500
Setuju
38
38
4
152
400
Kurang setuju
1
1
3
3
300
Tidak setuju
4
4
2
8
200
Sangat tidak setuju
3
3
1
3
100
100
100
Persepsi Responden
Jumlah
436
Gambar 4. Persepsi masyarakat terhadap fasilitas daur ulang sampah
Tabel 2: Frekuensi dan pembobotan persepsi masyarakat terhadap pemilahan sampah Persepsi Responden
%
bobot
Sangat setuju
11
11
5
55
500
Setuju
74
74
4
296
400
Kurang setuju
9
9
3
27
300
Tidak setuju
6
6
2
12
200
0
0
1
0
100
100
100
Sangat tidak setuju Jumlah
skor
Skor ideal
Frekuensi
390
Gambar 5. Partisipasi masyarakat untuk pemilahan sampah
Riantin, Persepsi Masyarakat Terhadap Pembangunan TPST
menggambarkan bahwa sebagian besar tahapan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah berada pada tahap kognitif (mengetahui) maupun affektif (memperhatikan). Dalam jangka menengahpanjang melalui sosialisasi dan pembinaan tentang program pengelolaan 3R disumber, masyarakat dapat digiring untuk mencapai tahap selanjutnya. Tahap selanjutnya yaitu melakukan penilaian, mencoba dan adopsi sehingga suatu saat program 3R di sumber dapat diterapkan di Desa Dayeuhkolot. masyarakat menerima keberadaan fasilitas TPST, upaya mengintegrasikan Tempat Pengolahan Sampah terpadu (TPST) dalam pola pengelolahan sampah merupakan hal yang baru di Kecamatan Dayeuhkolot. Untuk itu masyarakat perlu disiapkan untuk mengintegrasikan system pengelolaan sampah yang dikelola oleh masyarakat dengan fasilitas-fasilitas yang ada.
untuk melakukan pemilahan di sumber berada pada posisi golongan kuat yang menggambarkan bahwa masyarakat bersedia turut berperan serta dalam melakukan pemilahan antara sampah basah dan sampah kering di sumber. Kondisi ini dapat mengurangi beban pemilahan di fasilitas TPST yang direncanakan.
Namun dalam jangka waktu pendek, masyarakat dinilai belum siap dengan program 3R di sumber, maka sampah dari sumber akan dikumpulkan dengan pola penumpulan sampah ke TPS. Wilayah yang belum mendapat pelayanan, ditingkatkan pelayanannya dengan pengadaan TPS-TPS. Dalam jangka pendek pembangunan dan pengoperasian TPST diusulkan dalam bentuk pilot project yang dikelola oleh instansi pengelola sampah yang ada. Secara bertahap, masyarakat di sekitar TPST dilibatkan dalam pengelolaannya. Ini akan memberi kesempatan kerja bagi masyarakat sekitarnya dan pada akhirnya dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah.
Colon, J., Martinez-Blanko, J., Gabarrell X., Artola A., Sanchez A., Rieradevall J., Font X., (2010), Environmental assessment of home composting, Resources, Conservation and Recycling, 54: 893-904.
4. KESIMPULAN Hasil interpretasi skor persepsi masyarakat Kecamatan Dayeuhkolot terhadap keberadaan fasilitas pengolahan sampah terpadu di wilayahnya adalah sangat kuat. Hal ini menggambarkan bahwa keberadaan fasilitas pengolahan sampah diterima oleh masyarakat. Adapun kesediaan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA Badan Standarisasi Nasional. (1995). SNI 19-3964-1995: Metoda pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah perkotaan. Chang N. dan Wang S.F. (2010), The development of material mecoveri fasilities in The United States: status and cost structure analysis, Resources, Conservation and Recycling. 13. 115128.
Latan’e, B., (1981), The Psycology of Social Impact, Journal of Waste Management. 36. 343-356. Magrinho, A., Didelet, F., Semiao, V. (2006). Municiple solid waste disposal in Portugal, waste management, 26 (12): 1477-1489 Minghua, Z., Xiumin, F., Rovetta, A., (2009), Municipal Solid Waste Management in Pudong New Area, China, Journal of Waste Management. 29. 1227 – 1233. Pitchel J., (2005) Waste Management Practice Municiple: Hazardous and Industrial. CRC Press, Taylor and Francis Group.
39
40
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 33-40
Purcell, M dan Magette, W.L., (2010). Attitides and Behaviour towards waste management in Dublin, Ireland Region, waste management. 30 (10) : 1947-2. Sauer, P., Parizkova, L. dan Hadrabova, A. (2008). Charging Systems for Municipal Solid Waste: Experience from The Czech Republic, Journal of Waste Management. 28. 2772 – 2777. Shaw, P. J. (2008). Nearest Neighbour Effects in Kerbside Household Waste Recycling, Journal of Resources,
Conservation and Recycling. 52, 775784. Tsydenova, O. dan Bengtsson M. (2011), Chemical hazards associated with treatment of waste electrical and electronic equipment, Waste Management. 31. 45-58. Yau, Y. (2010). Domestic waste recycling, collective action and economic incentive: the case in Hongkong, Waste Management. 30. 2440-244
PENGARUH TURBULENSI TERUMBU BUATAN SILINDER BERONGGA BAGI KESUBURAN PERAIRAN THE IMPACT OF ARTIFICIAL CYLINDRICAL REEF FOR WATER FERTILITY Rudhy Akhwady*), Mukhtasor2), Haryo D Armono2), dan Mahmud Musta’in2) 1) Balitbang Kelautan dan Perikanan KKP RI Jakarta, Jalan Pasir Putih 1, Ancol Timur Jakarta utara, 2) Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknik Kelautan ITS, Jalan Arif Rahman Hakim Surabaya 60111 *) E-mail :
[email protected] Abstrak Plankton sebagai indikator kesuburan perairan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara dan tingkat sebaran nutriennya. Pola sebaran dan ketersediaan unsur di sekitar habitat struktur juga dipengaruhi oleh adanya turbulensi di sekitar terumbu buatan yang terjadi. Sehingga salah satu cara meningkatkan kesuburan perairan yaitu dengan cara meningkatkan tingkat turbulensinya. Dalam makalah ini akan dikaji model pola aliran di sekitar terumbu buatan berbentuk silinder, diharapkan bentuk terumbu yang diusulkan dapat meningkatkan turbulensi dan jumlah plankton yang tertahan di sekitar terumbu buatan di tempatkan. Hasil pengukuran menunjukkan adanya peningkatan intensitas turbulen di sekitar perairan yang terjadi diantara rongga-rongga terumbu dan diukur pada saat kondisi tanpa terumbu (eksisting) sebesar 1.022 dan terdapat terumbu sebesar 0.655. Keberadaan terumbu buatan ini dapat meningkatkan kesuburan perairan dengan menahan aliran plankton agar bergerak ke dalam terumbu sehingga bisa berlindung dan tidak bergerak melewati terumbu menuju pantai. Dengan demikian plankton di dalam terumbu bisa melakukan pemijahan, perkembangbiakan serta pertumbuhan didalamnya. Kata kunci : nutrien, plankton, terumbu buatan, turbulen Abstract Plankton as an indicator of abundance was strongly influenced by nutrient availability and the distribution of nutrients. Distribution patterns and the availability of elements around the habitat structure also influenced by the turbulence around the artificial reefs that occured. Thus, the water fertility can be enhanced by improving the level of turbulence. This paper reviewed flow pattern around a cylindrical reef, with deployment of artificial reef expected increasing turbulence and amount of plankton amount in the vicinity of artificial reefs. The measurement data showed a progress about intensity of turbulence that occured between the hollows cylindrical reefs and measured in condition any reefs (existing) at least 1.022 and 0.655 in reefs condition. The existence of this artificial reefs were expected to increase plankton abundance and againts plankton then make them to keep moving inward and impassing on artificial reef toward coastal becaused of wave celerity in order to do spawning, nursing and growing safely. Keywords: artificial reefs, plankton, nutrient, turbulence
42
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 41-49
1. PENDAHULUAN Indonesia dengan luas laut 5,8 juta km2 mempunyai potensi kelautan, perikanan dan pariwisata yang sangat besar. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia sebesar 6.167.940 ton/tahun (Budiharsono, 2001). Tetapi potensi yang besar tersebut akan hilang apabila komponen pendukungnya seperti ekosistem terumbu karang mengalami kerusakan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (1996) dari luas terumbu karang yang ada di Indonesia sekitar 50.000 km2 diperkirakan hanya 7% terumbu karang yang kondisinya sangat baik, 33% baik, 46% rusak dan 15% lainnya dalam kondisi kritis (Supriharyono, 2000). Rusaknya terumbu karang tersebut akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan dan beragam biota laut lainnya. Untuk itu diperlukan suatu upaya pelestarian agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang tersebut diantaranya dengan transplantasi karang dan teknologi terumbu karang buatan (artificial reef) yang terbuat dari bahan balok beton, potongan kapal, perahu kayu, mobil bekas, dan ban bekas serta bambu. Keberadaan plankton di suatu perairan dapat digunakan sebagai dasar informasi tentang kualitas dan tingkat kesuburan perairan, maka di dalam mendesain terumbu buatan perlu meperhatikan beberapa faktor seperti cahaya dan unsur hara. Pengaruh cahaya terkait dengan produktifitas sangat kuat, dikarenakan dibutuhkan selama kegiatan fotosintesis berlangsung (Nybakken, 1992 ; Estrada dan Berdallet, 1997). Pendapat sama juga dikemukan oleh Nontji (2008) karena adanya pengaruh lingkungan dalam kegiatan produksi primer plankton yaitu cahaya matahari dengan spektrum yang lebar dengan panjang gelombang 400-720 nm, dimana suhu matahari berpengaruh pada perubahan enzimatik proses fotosintesis.
Plankton merupakan organisasi komunitas kelompok yang hidup secara kolektif di laut dengan pola melayang, dengan klasifikasi penggolongan plankton terdiri atas: zooplankton (hewani) dan fitoplankton (nabati). Penggolongan plankton dilakukan dengan melihat ukuran yang berhasil di tangkap oleh jaring plankton. Kemampuan fitoplankton mampu berfotosintesis dengan menyerap cahaya matahari, menyebabkan fitoplankton mempunyai ukuran yang lebih besar dari zooplankton. Fitoplankton merupakan tingkatan plankton jenis diatoms dan dinoflagelata, sedangkan zooplankton merupakan komunitas kelompok hewanhewan planktonik dan berada di wilayah yang terdapat makanan. Daur kehidupan fitoplankton berada di daerah yang cukup cahaya matahari untuk fotosintesis, sedangkan zooplankton hidup di daerah yang mempunyai banyak fitoplankton sebagai sumber makanan. Dari beberapa zooplankton yang hidup tersebut, merupakan sumber makanan bagi ikan yang banyak tersebar di sekeliling terumbu karang pada waktu siang hari. Sedangkan pada malam harinya, ikan-ikan bersembunyi dan mencari makan di sekitar dan di celah-celah terumbu karang. Dalam perilakunya, aktifitas ikan juga dipengaruhi oleh adanya respon terhadap terumbu karang atau yang disebut Reefiness, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Beberapa insting kelompok ikan banyak dipengaruhi oleh adanya perbedaan stimulus “Taxis” seperti: phototaxis atau cahaya dan chemotaxis atau bau (Nakamura, 1985). Sebagai contoh dari tiga kelompok jenis ikan, adanya jenis ikan A yang lebih menyukai kontak fisik dengan terumbu karang dan tinggal di tengah lubang/celah terumbu karang. Jenis ini merupakan mayoritas kelompok ikan yang menetap sebagai bentik seperti ikan karang dan ikan kod. Sedang ikan tipe B lebih banyak tinggal di sekitar terumbu buatan karena adanya pengaruh cahaya dan suara. Sebagian sisanya tinggal di dasar laut. Untuk kelompok jenis ikan B, terumbu karang yang
Akhwady, Pengaruh Turbulensi Terumbu Buatan
direncanakan mempunyai lubang dengan variasi ukuran tidak lebih besar dari 2 meter dimana lebar struktur ini dapat menghasilkan pusaran air maksimum di bawah kondisi arus yang ada. Di samping itu kecepatan arus di bagian dalam tidak melebihi tingkat yang normal, sehingga ikan-ikan dapat aman dipersembunyiannya.
Gambar 1. Reefiness sebagai respon ikan ke arah terumbu (Nakamura, 1985) Sedangkan untuk ikan tipe C, lebih banyak menunggu di atas terumbu dan sebagian jenis ini lebih banyak berada di bagian tengah dan atas kolom air. Bentuk hubungan antara suplai nutrient dan turbulen terkait dengan tingkat kesuburan perairan Arus turbulen dapat terjadi dalam perairan, ketika arus air laminar bertabrakan dengan suatu penghalang (barier) seperti terumbu buatan kemudian timbul pusaran (eddies) disekitar penghalang tersebut (Armono, 2010). Hubungan turbulen dan nutrient digambarkan dalam bentuk sistematisasi fungsi morfologi phytoplankton. Sistematisasi ini dikemukakan oleh Margalef, (1978) yang dikenal dengan Margalef’s Mandala, seperti pada Gambar 2.
43
Kerangka konsep taxonomi Margalef (1978) mengelompokkan fitoplankton ke dalam beberapa wilayah. Jenis diatoms tumbuh dengan subur di perairan yang turbulen dan nutriennya tinggi. Di bawah kondisi ini terdapat dinoflagelata yang bergerak sesuai dengan perubahan kolom air dan dipengaruhi oleh unsur sedimen yang berperan dalam penyediaan gizi.
Gambar 2: Pola Kehidupan Fitoplankton (Margalef, 1978) Beberapa planktologist sendiri juga telah membedakan skala turbulen yang terjadi berkaitan dengan fisiologi fitoplankton dan distribusinya, diantaranya adalah Yamazaki dan Osborn (1988) yang membagi ke dalam tiga skala turbulen yaitu: (1) jarak 10 km -100 km dengan perubahan gerakan air laut akibat upwelling: (2) jarak beberapa meter; dan (3) beberapa sentimenter, gerakan turbulen terjadi dekat permukaan dan di beberapa lapisan air laut akibat gravitasi, konveksi, angin dan instrusi termoheline. Gelombang yang terjadi di dalam terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 3. Menurut Kirboe (1997), turbulen skala besar akan menaikkan konsentrasi makanan dan ketersediaan makanan bagi predator. Sedang turbulen dalam skala kecil akan meningkatkan
44
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 41-49
transport nutrient ke arah permukaan sel-sel fitoplankton. Ditambahkan juga oleh McCave (1984) apabila adanya turbulen skala sedang juga dapat meningkatkan partikel tersuspensi bahkan meningkatkan nutrien dengan penguraian partikel yang terjadi. Sedangkan dengan adanya aliran vertikal turbulen menurut Estrada dan Berdalet (1997) akan menyebabkan adanya pencampuran perubahan penetrasi cahaya dan nutrien sebagai akibat adanya perbedaan kolom air.
mempunyai kekayaan alam berupa terumbu karang dan ikan-ikan hias. Kekayaan alam ekologi pantai Pasir Putih yang sekarang ini menyebabkan semakin banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun manca negara. Karena selain hal tersebut, lokasi ini juga menyediakan aktifitas wisata diving dan snorkling sebagai wisata bawah air. Posisi terumbu yang diteliti berada pada kedalaman 3,2 m dengan koordinat 113O 49,42’05 E dan 7O 41,30’60 S seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 3. Gelombang di bagian dalam Terumbu (Nakamura, 1985). Tingkat perubahan kecepatan turbulen sangat berpengaruh pada karakteristik lingkungan perairan. Menurut Mac Kenzie, et al. (1991), turbulen dapat mengurangi tingkat photoadaptive secara vertikal dari populasi plankton karena perbedaan kolom air, dan dengan terjadinya turbulen terjadi proses dispersi populasi plankton akan lebih besar dibanding di daerah yang tenang. 2. METODA Lokasi yang dipilih sebagai tempat penempatan terumbu karang buatan adalah Pantai Putih di Kecamatan Bungatan, Situbondo, Jawa Timur. Lokasi ini dipilih karena lokasi tersebut merupakan salah satu kawasan wisata dan konservasi laut yang
Gambar 4. Lokasi Penempatan Terumbu di Pasir Putih, Situbondo Penempatan dan pengukuran parameter fisik dan oseanografi terumbu dilakukan di lapangan pada tanggal 17-20 Agustus 2010, dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan setelah penempatan (deployment) terumbu karang buatan. Pengukuran dilakukan dengan Acoustic Doppler Current Profiler (ADCP) tipe Sontek Argonaut 10-XR. Pengukuran dilakukan selama 12 jam. Hasil yang diperoleh tinggi gelombang datang (incident) cukup kecil.
Akhwady, Pengaruh Turbulensi Terumbu Buatan
Gelombang yang terjadi di lapangan berkisar antara 5-15 cm, dengan periode antara 2 - 4 detik. Menurut Munson (2003), intensitas turbulen didefinisikan sebagai akar rata-rata kuadrat kecepatan fluktuatif dibagi dengan kecepatan rata-rata menurut fungsi waktu sebagaimana didefinisikan dalam persamaan (1):
I=
(u ' ) 2 u
=
1 T
to + t
∫ (u ' )
to
2
dt
1
2
..................................(1)
u
Dimana: I= Intensitas turbulen, u = kecepatan turbulen m/det, u = kecepatan turbulen ratarata. Intensitas turbulen pada daerah yang tenang akan lebih kecil nilainya daripada yang tidak tenang, misal: intensitas untuk aliran di atmosfer dan sungai nilainya lebih besar dari 0.1. Sedangkan intensitas dalam terowongan angin memiliki intensitas turbulen antara 0.0002 sampai dengan 0.01 (Munson, 2003). Semakin besar intensitas turbulen, maka fluktuasi kecepatan turbulen juga semakin besar. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran arus di sekitar lokasi pengamatan baik pada kondisi dengan maupun tanpa terumbu buatan yang dilakukan secara serentak/bersamaan pada kedua lokasi diberikan pada Gambar 5 dan 6. Pada gambar 5 berikut ini ditunjukkan hasil pengukuran pada lokasi dengan terumbu buatan pada posisi sebelum (offshore) dan sesudah terumbu buatan (onshore). Sumbu vertikal kiri menunjukkan bacaan kecepatan arus dalam cm/detik sedangkan sumbu vertikal kanan menunjukkan arah kecepatan yang dinyatakan dalam derajat. Berturut-turut arah utara dinyatakan dalam 0 atau 360o, Timur 90o, Selatan 180o, dan Barat 270o. Sumbu horizontal menunjukkan waktu pembacaan kecepatan dan arah arus secara bersamaan. Dari hasil pengukuran tercatat bahwa kecepatan di lokasi setelah terumbu buatan
45
lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi sebelum terumbu buatan. Demikian pula arah arus saat pengukuran di daerah onshore (pantai) lebih dominan ke arah utara pada awal pengukuran. Selanjutnya pada saat air menuju pasang, arus dari offshore berasal dari arah Selatan. Kecepatan arus juga mengalamai penurunan saat air menuju surut hingga mencapai titik terendahnya dan berangsur-angsur meningkat. Gambar 6 berikut menunjukkan pengukuran di lokasi tanpa terumbu buatan pada posisi offshore (laut lepas) dan onshore (dekat pantai). Seperti halnya Gambar 5 sebelumnya, sumbu vertikal kiri menunjukkan bacaan kecepatan arus dalam cm/detik, sedangkan sumbu vertikal kanan menunjukkan arah kecepatan yang dinyatakan dalam derajat. Berturut-turut arah utara dinyatakan dalam 0 atau 360o, Timur 90o, Selatan 180o, dan Barat 270o. Sumbu horizontal menunjukkan waktu pembacaan kecepatan dan arah arus secara bersamaan. Pada Gambar 5 nampak jelas pula perubahan arah pergerakan arus dari kondisi pasang menuju surut sebagaimana terlihat pada Gambar 5a. Berbeda dengan kondisi dengan terumbu, kecepatan arus lebih kecil pada lokasi onshore bila dibandingkan dengan lokasi offshore untuk lokasi tanpa terumbu buatan. Kecepatan pada lokasi onshore berkisar antara 0,5 sampai 19 cm/det sementara kecepatan pada lokasi offshore berkisar antara 1 sampai 50 cm/det. Secara sepintas nampak bahwa ada penurunan nilai koefisien transmisi hingga 30%-20%, sebagaimana terlihat pada Gambar 7, namun hasil pengukuran pada lokasi tanpa terumbu pun menunjukkan nilai Kt hingga 30%, sehingga belum terlihat secara signifikan kinerja terumbu dalam mereduksi gelombang. Hal ini mungkin disebabkan oleh kecilnya gelombang yang terjadi pada saat pengukuran, (maksimum hanya sebesar 15 cm) atau juga karena kekurangpekaan ADCP dalam mengukur tinggi gelombang karena berdasar
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 41-49
60
360
50
300
40
240
30
180
20
120
10
60
Kecepatan
Kec. Arus (cm/det)
Arah
0
0
Waktu Pengukuran (jam)
a. Kecepatan arus dengan terumbu karang buatan di Offshore 60
360
50
300
40
240
30
180
20
120
10
60
Kecepatan
Kec. Arus (cm/det)
Arah
0
0
Waktu Pengukuran (jam)
b. Kecepatan arus dengan terumbu karang buatan di Onshore Gambar 5. Hasil Pengukuran Kecepatan dan Arus Offshore dan Onshore di Sekitar Terumbu Buatan 30
360
25
300
Kecepatan Arah
Kec. Arus (cm/det)
46
20
240
15
180
10
120
5
60
0
0
Waktu Pengukuran (jam)
a.
Kecepatan arus tanpa terumbu di Offshore
Akhwady, Pengaruh Turbulensi Terumbu Buatan
47
30
360
25
300
Kecepatan
Kec. Arus (cm/det)
Arah
20
240
15
180
10
120
5
60
0
0
Waktu Pengukuran (jam)
b.
Kecepatan arus tanpa terumbu di Onshore
Gambar 6. Hasil Pengukuran Kecepatan dan Arus Tanpa Terumbu Buatan/Eksisting
Sedangkan gelombang yang melewati terumbu buatan (transmitted) memiliki tinggi geombang yang lebih kecil yaitu antara 2,5 sampai 7,5 cm dengan periode 8 sampai 10 detik pada daerah tanpa terumbu dan berkisar antara 8 sampai 12 detik pada daerah dengan terumbu (Gambar 8). Data fisik dan oseanografi hasil pengukuran berupa tinggi gelombang dan kecepatan di sekitar terumbu yang dilakukan ditampilkan dalam bentuk Tabel 2. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan, dapat dinyatakan bahwa dengan tingginya intensitas turbulen yang terjadi zona offshore (wilayah gelombang datang) dibanding zona onshore (wilayah gelombang transmisi) dimana di area ini tinggi gelombang berhasil direduksi menjadi lebih kecil dan menyebabkan tingkat kesuburan berkurang. Sehingga dengan adanya perbedaan kesuburan akibat perbedaan intensitas turbulen di sekitar terumbu, maka biota di perairan tersebut
menjadikan keberadaan terumbu buatan sebagai zona transisi atau tempat transit (shelter) agar dapat melakukan kegiatan pemijahan, pembesaran dan perkembangbiakan dengan aman.
1.0
Kondisi
Eksisting Terumbu
0.8
0.6
Kt
pada sistem pressure sensor, sehingga penempatan ADCP yang terlalu jauh di bawah laut mengurangi tingkat kepekaannya dalam mengukur tinggi gelombang,ditambah lagi tinggi gelombang yang terlalu kecil.
0.4
0.2
0.0 0.000
0.005
0.010
0.015
0.020
0.025
0.030
H/gT^2
Gambar 7. Perbandingan Kecuraman Gelombang (H/gT2)dengan Koefisien Transmisi Terumbu Terumbu Buatan
48
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 41-49
16
Tinggi Gelombang Hi (Gel. Datang) Ht (Gel. Transmisi)
14
Tinggi Gelombang (cm)
lebihbesar dibanding di daerah yang tenang (Mac Kenzie et al.,1991). 4. KESIMPULAN
12
Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa fungsi terumbu yang terpasang di Pasir Putih, Kab. Situbondo Jawa Timur selain sebagai peredam gelombang juga berfungsi sebagai tempat habitat bagi ekosistem di sekitarnya untuk kegiatan pemijahan, perkembangbiakan dan pembesaran.
10 8 6 4 2 10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21 22
23
Waktu(Jam)
Gambar 8. Hubungan Tinggi Gelombang dengan Waktu Tabel 2. Hasil Pengukuran Peredaman Bottle Reef di Situbondo Parameter Fisik Dan Oseanografi Tinggi Gelombang (cm) Kecepatan Arus (cm/dt) Periode (detik) Temperatur (o C ) Intensitas Turbulensi
Bottle Reef Incident
Transmisi
9.485
4.691
7.446
12.923
3.59 29.6
8.89 29.6
1.021
0.665
Sebagaimana beberapa hasil penelitian tentang hubungan kesuburan dengan turbulensi yang menyebutkan bahwa naiknya konsentrasi transport nutrient makanan akibat dan ketersediaan ke arah permukaan bagi sel-sel fitoplankton (Kirboe, 1997). Dengan adanya turbulen dapat meningkatkan partikel tersuspensi bahkan meningkatkan nutrient (McCave, 1984). Akibat aliran vertikal turbulen menurut menyebabkan adanya pencampuran perubahan penetrasi cahaya dan nutrien sebagai akibat adanya perbedaan kolom air (Estrada dan Berdalet,1997). Tingkat terjadinya turbulen dengan adanya proses dispersi populasi plankton akan
24
Zona offshore dengan intensitas turbulensi lebih tinggi sebesar 1.022 di banding zona onshore sebesar 0.665 membuktikan bahwa secara teoritis mempunyai tingkatan supplai nutrient bagi kesuburan perairan yang lebih baik. Sehingga dapat dinyatakan bahwa peran terumbu buatan yang terpasang dapat berfungsi sebagai zona transisi pola aliran yang berfungsi sebagai transitnya habitat (sheltering) bagi biota di perairan tersebut. Sehingga salah satu upaya untuk meningkatkan potensi ekosistem biota laut di suatu wilayah perairan dapat dilakukan dengan memasang terumbu agar terjadi peningkatan kesuburan suatu perairan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah plankton. Upaya ini dapat dilakukan dengan mendesain bentuk terumbu yang selain berfungsi sebagai fish shelter agar dapat meredam gelombang (di zona onshore) dengan cara mereduksi tinggi gelombang datang (incident) menjadi gelombang transmisi (transmitted) sehingga tinggi gelombangnya menjadi lebih rendah. Dengan adanya gelombang transmisi yang lebih kecil menyebabkan kondisi garis pantai juga tetap terlindung dari serangan gelombang penyebab terjadinya erosi di sepanjang pantai. Ucapan Terima Kasih Ditujukan kepada Dirjen Dikti Kemendiknas yang telah memberikan bantuan dukungan dana Laporan Akhir Hibah Penelitian Tim Pasca Sarjana–HPTP (Hibah Pasca) Tahun III (kontrak No: 0172.0/02304.2/XV/2010).
Akhwady, Pengaruh Turbulensi Terumbu Buatan
DAFTAR PUSTAKA Budiharsono S. (2001)., Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita. Jakarta. Bengen, D, (2001), Ekosistem dan Sumber Daya Pesisir Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, PKSPL IPB. Bleck, M and Omeraci, H. (2001). Wave Damping and Spectral Evolution at Art Reef. Proceedings 4th International Symphosium on Ocean Wave Measurement and Analysis. San Francisco, California, USA Estrada, M and Berdalet, E . (1997). Phytoplankton in a Turbulent World. SCI. MAR., 61 (Supl. 1): 125-140. Fachrul, M.F. (2005) Komunitas Phytoplankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta, Seminar Nasional FMIPA UI. Ilyas, M., (2000). Studi Awal Penerapan Teknologi Terumbu Karang Buatan di Sekitar Kepulauan Seribu, Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 2 (7) Oktober, 46-52. Kirboe, T. (1997). Small-scale Turbulence, Marine Snow Formation, and Planktivorous Feeding. Sci. Mar., 61 (Supl. 1): 141-158. Margalef, R. (1978), Life-Forms of Fitoplankton Survival Alternatives in an
49
Unstable Environment Oceanol, Acta, 1:493-509. Matsuda, S et al. (2003). Crown Height Effects on Stability of Flat Type Concrete Armor Blocks. Proceedings of The Thirteenth, International Offshore and Polar Engineering Conference. Honolulu, Hawaii, USA. McCave. IN. (1984). Size Spectra and Aggregation of Suspended Particles in the Deep Ocean. Deep Sea Res., 31:329-352. MacKenzie, et al (1991). Quantifying the Contribution of Small-Scale Turbulence to the encounter Rates Between Larval fish and their Zooplankton prey effects of Wind and Tide. Marine Ecology Progress Series.73:149-160. Munson, B.R, et al. (2003). Fundamentals of Fluid Mechanic 2. John Wiley & Son, Inc. USA. Nakamura, M. (1985). Evaluation of Artificial Fishing Ref. Concepts in Japan. Bulettin of Marine Science. 37 (1):271-278. Nontji. A. (2008), Plankton Laut. LIPI Press, Jakarta. Munson, B.R, et al. (2003). Fundamentals of Fluid Mechanic 2. John Wiley & Son, Inc. USA. Supriharyono. (2000). Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
UPAYA PENURUNAN KEKERUHAN DAN WARNA AIR SUMUR GALI MENGGUNAKAN KOAGULAN BIJI KELOR DAN FILTRASI KARBON AKTIF THE EFFORT OF TURBIDITY REDUCTION AND DIGGING WELL WATER COLOUR BY USING MORINGA SEED COAGULANT AND ACTIVATED CARBON FILTRATION Sulaiman Hamzani*), Sri Suhenry1), dan Isworo Pramudyo1) 1) Jurusan Teknik Lingkungan, Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan Yogyakarta, Jalan Janti Km. 4 Gedong Kuning Yogyakarta *) E-mail:
[email protected] Abstrak Air sumur gali yang digunakan penduduk di Perumahan Pulo Gebang, Jakarta Timur tidak memenuhi syarat sebagai air minum maupun air bersih, air terlihat keruh dan berwarna coklat kemerahan. Berdasarkan survei awal pada salah satu sumur, diketahui hasil laboratorium menunjukkan kekeruhan 29 NTU dan warna 300 TCU. Menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum kekeruhan 5 NTU dan warna 15 TCU. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis optimum koagulan biji kelor dan menghasilkan ketebalan filtrasi karbon aktif dalam penurunan tingkat kekeruhan dan warna hingga memenuhi syarat baku mutu air minum. Metode penelitian yang dilakukan adalah uji jartest koagulan biji kelor dengan variasi dosis 10-80 mg/L, selanjutnya dosis optimum digunakan pada proses koagulasiflokulasi dan filtrasi dengan variasi karbon aktif granular dengan ketebalan 10-100 cm pada tabung filter diameter 4”. Tingkat kekeruhan diukur dengan turbidimeter dan warna dengan colorimeter. Hasil yang diperoleh sesudah pengolahan untuk tingkat kekeruhan 2 NTU (efisiensi penurunan 95,6%) dan warna 10 TCU (efisiensi penurunan 88,9%). Kombinasi pengolahan ini mampu kualitas air minum memenuhi persyaratan dengan dosis optimum koagulan biji kelor 60 mg/L dan filter karbon aktif dengan ketebalan 100 cm. Kata kunci: biji kelor, karbon aktif, kekeruhan, warna Abstract Digging well water which is used in the Housing residents Pulo Gebang, East Jakarta is not qualified as drinking water and clean water, the water looks dirty and reddish brown. Based on a preliminary survey of wells, it is not eligible construction and quality. Laboratory results showed turbidity 29 NTU and color 300 TCU. According to the Minister Regulation. 492/Menkes/Per/IV/2010 about drinking water quality requirements 5 NTU turbidity and color of 15 TCU. This study aims to determine the optimum dose of coagulant Moringa seed and produce active carbon filtration thickness decreased turbidity and color levels to meet drinking water quality standard requirements. Research methodology is jartest test coagulant dose variation moringa seeds with 10-80 mg/L, then the optimum dose used in the process of coagulationflocculation and filtration with granular activated carbon variations in the thickness of 10-100 cm in diameter filter tube 4 ". Turbidity levels measured by turbidimeter and colors with a colorimeter. The results obtained after treatment for 2 NTU turbidity level (95.6% reduction efficiency) and color 10 TCU (88.9% removal efficiency). This treatment combination is able to meet the requirements of drinking water quality with optimum dose of coagulant Moringa seeds 60 mg / L and an active carbon filter with a thickness of 100 cm Keywords: activated carbon, color, moringa seeds, turbidity .
Hamzani, Upaya Penurunan Kekeruhan Air Sumur Gali
1.
PENDAHULUAN
Secara nasional penyediaan air dari PDAM masih rendah, dimana data yang diperoleh menunjukkan tahun 1985 sebesar 10,77%, tahun 1995 sebesar 16,08% dan tahun 2010 sebesar 26,72%. Sementara sekitar 73% penduduk Indonesia masih tergantung dengan air permukaan maupun air tanah (Said, 2010). Penduduk di perumahan Pulo Gebang Jakarta Timur masih menggunakan air sumur gali yang secara kualitas tidak memenuhi syarat untuk keperluan sehari-hari, mereka terpaksa menggunakan air tersebut mengingat jaringan PDAM belum menjangkau wilayahnya. Secara kuantitas sebagian besar sumur-sumur gali di perumahan Pulo Gebang tidak pernah kering pada waktu musim kemarau. Hanya saja untuk kondisi seperti ini diperlukan adanya teknologi yang tepat guna agar bisa memperbaiki kualitas air, dimana teknologi itu harus mudah diterapkan, bahannya mudah diperoleh dan biayanya relatif murah. Menurut Linsley (1986), sumber air tanah biasanya tidak bersih sempurna, selalu mengandung unsur pencemar. Sumber utama air tanah adalah air hujan yang dapat menembus tanah secara langsung ke air tanah dan merembes ke bawah melalui alur ke air tanah. Keadaan geologis menentukan jalur perjalanan air dari presipitasi hingga mencapai zona jenuh. Bila permukaan air tanah dekat dengan tanah, maka akan terjadi banyak rembesan melalui tanah. Hal ini jelas mempunyai pengaruh terhadap kualitas kekeruhan dan warna air tanah tersebut. Sumber air yang tercemar, terutama pada daerah yang tingkat pelayanan air bersih dan sanitasinya kurang, menjadi faktor penyebab masalah kesehatan. Hal ini disebabkan air merupakan media penyebaran mikroorganisma (Nishi et al., 2012). Banyak pencemar pada air dan air limbah terdapat sebagai koloid yang tidak dapat diendapkan. Kekeruhan dalam air disebabkan oleh adanya zat padat yang tersuspensi seperti lempung, zat organik, plankton dan zat-zat halus lainnya (Pritchard et al., 2010). Air yang
51
keruh merupakan indikasi bahwa air tersebut tercemar dan mengandung mikroorganisma yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Proses koagulasi-flokulasi tidak akan ekonomis apabila kekeruhan tinggi karena merupakan habitat dari bakteri pathogen. Warna dalam air disebabkan oleh adanya ionion metal seperti besi dan mangan, partikel tersuspensi, koloid lainnya, mikroorganisma yang hidup dalam air, penguraian asam humus yang berasal dari penguraian zat-zat organik. Warna dapat berpengaruh terhadap pembubuhan bahan kimia yang diperlukan guna memperbaiki kualitas air yang diolah yaitu makin pekat warna, maka dosis koagulan makin tinggi. Warna dalam air keberadaannya tidak dihendaki, penurunan warna dapat dilakukan dengan proses koagulasi-flokulasi menggunakan koagulan bahan kimia atau koagulan nabati seperti penggunaan biji kelor yang telah dihaluskan. Salah satu alternatif yang tersedia secara lokal adalah penggunaan koagulan alami dari tanaman yang dapat diperoleh disekitar kita seperti biji dari tanaman kelor atau Moringa oleifera, di mana biji tanaman ini telah terbukti efektif untuk menurunkan kekeruhan (Ghebremichael et al., 2005; Sciban et al., 2009; Pritchard et al., 2010; Nishi et al., 2012). Perbedaan penjernihan air dengan menggunakan tawas dan serbuk biji kelor adalah pada lamanya waktu pengendapan partikel setelah pengadukan, yaitu hanya 5 menit, sedangkan dengan kelor mencapai 10 hingga 15 menit. Penggunaan serbuk biji kelor lebih ekonomis dibanding tawas, karena tanaman kelor dapat dibudidayakan (Irianty, 2002). Di samping itu pemakaian bahan alami dapat meningkatkan kualitas air produksi, karena mengurangi pemakaian bahan kimia (Bergamasco, 2010).Menurut Arung (2000) selain untuk perjernihan air, biji kelor juga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas limbah cair Industri Kayu Lapis. Biji buah kelor mengandung zat aktif rhamnosyloxybenzil-isothiocyante, yang mampu mengadsorbsi dan menetralisir partikel-
52
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 50-57
partikel lumpur serta logam yang terkandung dalam limbah tersuspensi dengan partikel kotoran yang melayang dalam air. Biji kelor diketahui mengandung polielektrolit kationik dan flokulan alamiah dengan komposisi kimia berbasis polipeptida yang mempunyai berat molekul 6.000-16.000 dalton, mengandung 6 asam-asam amino sehingga dapat mengkoagulasi dan flokulasi kekeruhan air (Narasiah et al., 2002).
Gebang, Jakarta Timur untuk dilakukan pemeriksaan awal tingkat kekeruhan dan warna. Kemudian dilakukan jartest untuk menentukan dosis optimum koagulan biji kelor dengan variasi dosis 10-80 mg/L. Selanjutnya dosis optimum digunakan pada proses koagulasi-flokulasi dan filtrasi dengan variasi ketebalan karbon aktif granular 10-100 cm pada tabung filter berdiameter 4”. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses pengolahan air dengan filter karbon aktif dapat dilakukan untuk menghilangkan zat-zat yang sukar dihilangkan seperti logam berat, penyebab bau, warna, dan senyawa fenol. Penyerapan oleh karbon aktif merupakan adsorpsi fisika, maka prosesnya berjalan cepat dan karbon yang sudah jenuh dapat diregenerasi kembali. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul zat yang diserap/adsorbat dan adsorbennya (Supranto, 1996). Kelebihan karbon aktif granular adalah: pengoperasiannya mudah karena air mengalir dalam media, proses perjalanan cepat karena lumpur menggerombol, media tidak bercampur dengan lumpur sehingga dapat di regenerasi (Supranto, 1996; Indriyati, 2002). Dari berbagai penjelasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah menentukan dosis optimum biji kelor sebagai koagulan untuk menurunkan kekeruhan dan warna air tanah. 2.
METODA
Bahan-bahan yang digunakan meliputi air sumur gali, biji kelor, karbon aktif granular dan kapur untuk menstabilkan pH. Peralatan yang digunakan adalah alat uji jartest, seperangkat alat koagulasi-flokulasi dan tabung filtrasi diameter 4” seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Peralatan yang digunakan untuk menganalisis parameter penelitian antara lain: pH Meter Orion Model 420 A, Turbidimeter Hach Model 2100 A, Colorimeter dan Timbangan Analitis Merk Haus. Percobaan dimulai dengan pengambilan sampel air sumur gali di Perumahan Pulo
Kekeruhan dan warna air sumur gali dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium tingkat kekeruhan dan warna air sumur gali di perumahan Pulo Gebang, Jakarta Timur melebihi persyaratan kualitas air minum Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010. Ditinjau dari segi kesehatan, air sumur gali tersebut tidak layak dipergunakan untuk konsumsi air minum maupun air bersih. Penurunan kekeruhan dan warna air sumur gali sesudah jartest dengan koagulan biji kelor disajikan pada Tabel 2. Dari percobaan penentuan dosis optimum, diperoleh dosis optimum koagulan biji kelor untuk penurunan kekeruhan dan warna air sumur gali sebesar 60 mg/L. Pada dosis tersebut diperoleh hasil kekeruhan sebesar 12 NTU atau penurunan sebesar 73,3%. Penurunan warna optimum, juga diperoleh pada dosis 60 mg/L. Pada dosis tersebut diperoleh hasil warna sebesar 27,5 TCU atau penurunan sebesar 69,4%. Hasil uji jartest ini belum memenuhi persyaratan kualitas air minum Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010. Menurut Muyubi dalam Irianty (2002) kekeruhan air dapat berkurang dengan kisaran sekitar 36-98,2% dengan pemakaian biji kelor sebanyak 100-450 mg/L. Untuk memaksimumkan penurunan tingkat kekeruhan dan warna, maka dosis optimum 60 mg/L. Hasil jartest selanjutnya digunakan pada proses koagulasi-flokulasi dan filtrasi dengan variasi ketebalan karbon aktif untuk mencapai baku mutu air minum. Secara grafik hubungan penurunan tingkat kekeruhan dan
Hamzani, Upaya Penurunan Kekeruhan Air Sumur Gali
warna air sumur gali pada uji jartest dengan variasi dosis koagulan biji kelor dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa kekeruhan dan warna air sumur gali mengalami penurunan maksimal pada dosis 60 mg/L, dimana kekeruhan sebesar 12 NTU dan warna sebesar 27,5 TCU. Kondisi ini disebabkan karena padatan yang tersuspensi ataupun koloid-koloid yang bermuatan negatif, asam-asam humat yang terkandung dalam air sumur gali bereaksi dengan asam amino dari protein yang terkandung dalam biji kelor. Sedangkan pada penambahan biji kelor lebih besar dari 60 mg/L terjadi kenaikan kekeruhan dan warna, karena kontribusi karbohidrat yang dikandung dalam biji kelor. Menurut Anselme dan Narasiah (1997), dibandingkan dengan tawas, koagulan biji kelor (Moringa oleifera) tidak memerlukan penyesuaian pH dan alkalinitas serta tidak mengakibatkan masalah korosi. Biji kelor menghasilkan volume lumpur jauh lebih kecil dan tidak berbahaya. Biji kelor merupakan alternatif yang lebih layak dibanding koagulan tawas untuk dikembangkan di seluruh dunia. Untuk mengaplikasi dosis optimum koagulan biji sebesar 60 mg/L pada proses lanjutan, maka dilakukan perhitungan konsentrasi dosis koagulan dalam bentuk larutan. Adapun perhitungan konsentrasi larutan koagulan biji kelor adalah sebagai berikut: (1) Dosis optimum koagulan biji kelor 60 mg/L, (2) Debit air olahan untuk uji coba 1 L/menit, (3) Injeksi larutan koagulan 0,01 L/menit, (4) Bak penampung larutan koagulan 1 L. Maka konsentrasi dosis koagulan yang dilarutkan dalam bak penampung larutan koagulan adalah: 6000 mg/menit. Jika kemurnian koagulan 60%, maka pembubuhan sebanyak 1 L/menit. Tingkat kekeruhan dan warna sesudah pengolahan dengan menggunakan dosis optimum koagulan biji kelor 60 mg/L pada proses koagulasi-
53
flokulasi dan filtrasi dengan variasi ketebalan karbon aktif 10-100 cm, disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 hasil pemeriksaan laboratorium sebelum pengolahan kekeruhan 45 NTU, sesudah pengolahan pada proses koagulasiflokulasi kekeruhan menjadi 26 NTU. Sesudah filtrasi dengan karbon aktif penurunan maksimal diperoleh pada ketebalan 100 cm, dimana kekeruhan dimana kekeruhan menjadi 2 NTU dengan efisiensi sebesar 95,6%. Tabel 4 hasil pemeriksaan laboratorium sebelum pengolahan warna 90 TCU, sesudah pengolahan pada proses koagulasi-flokulasi warna menjadi 52,2 TCU. Sesudah filtrasi dengan karbon aktif penurunan maksimal diperoleh pada ketebalan 100 cm, dimana warna menjadi 10 TCU dengan efisiensi 88,9%. Secara grafik tingkat penurunan kekeruhan dan warna air sumur gali dengan variasi ketebalan filtrasi karbon aktif. Gambar 3 menunjukkan bahwa semakin tebal filtrasi karbon aktif granular, maka penurunan kekeruhan dan warna semakin lebih baik. Pada ketebalan maksimal 100 cm mampu memenuhi persyaratan kualitas air minum, dimana kekeruhan dari 45 NTU menjadi 2 NTU (efisiensi penurunan 95,6%) dan warna dari 90 TCU menjadi 10 TCU (efisiensi penurunan 88,9%). Sementara menurut Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum untuk kekeruhan 5 NTU dan warna 15 TCU. Menurut Indriyati (2002), bahwa semakin tebal media filter karbon aktif, maka luas permukaan penahan partikel semakin besar dan jarak yang ditempuh oleh air olahan semakin panjang. Waktu kontak yang lama ini memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorben berlangsung lebih baik tebal media filter karbon aktif, maka luas permukaan penahan partikel
54
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 50-57
Gambar 1 Alat koagulasi-flokulasi dan filtrasi
Tabel 1 Kualitas Air Baku Parameter Kekeruhan Warna
Satuan
Hasil Pemeriksaan
Persyaratan Kualitas Air Minum*)
NTU CTU
45 90
5 15
Keterangan: *) Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010
Tabel 2 Hasil Uji Jartest Dosis Koagulan Biji Kelor (mg/l) 0 10 20 30 40 50 60 70 80
Kekeruhan (NTU) 45 20 19 16 14 13 12 14 20
Efisiensi Penurunan (%) 0 55,6 57,8 64,4 68,9 71,1 73,3 68,9 55,6
Warna (TCU) 90,0 45,0 42,5 35,0 32,5 30,0 27,5 32,5 45,0
Efisiensi Penurunan (%) 0 50,0 52,8 61,1 63,9 66,7 69,4 63,9 50,0
Hamzani, Upaya Penurunan Kekeruhan Air Sumur Gali
55
Gambar 2 Grafik Penurunan Kualitas Kekeruhan dan Warna pada Uji Jartest
Tabel 3 Tingkat Penurunan Kekeruhan Sesudah Pengolahan Kekeruhan Air Baku (NTU)
45
Kekeruhan Sesudah Koagulasi-Flokulasi (NTU)
26
Variasi Ketebalan Karbon Aktif (cm)
Kekeruhan Sesudah Filtrasi (NTU)
Efisiensi Penurunan Kekeruhan (%)
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
20 19 18 13 12 11 8 7 5 2
55,6 57,8 60,0 71,1 73,3 75,6 82,2 84,4 88,9 95,6
Tabel 4 Tingkat Penurunan Warna Sesudah Pengolahan Warna Air Baku (TCU)
90
Warna Sesudah Koagulasi-Flokulasi (TCU)
52,5
Variasi Ketebalan Karbon Aktif (cm)
Warna Sesudah Filtrasi (TCU)
Efisiensi Penurunan Warna (%)
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
45,0 42,5 40,0 30,0 27,5 25,0 20,0 17,5 15,0 10,0
50,0 52,8 55,6 66,7 69,4 72,2 77,8 80,6 83,3 88,9
56
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 50-57
Gambar 3 Grafik Penurunan Kekeruhan dan Warna Sesudah Filtrasi semakin besar dan jarak yang ditempuh oleh air olahan semakin panjang. Waktu kontak yang lama ini memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorben berlangsung lebih baik. 4. KESIMPULAN Tingkat penurunan kekeruhan dari 45 NTU menjadi 2 NTU (efisiensi penurunan 95,6%) dan warna dari 90 TCU menjadi 10 TCU (efisiensi penurunan 88,9%). Kombinasi pengolahan ini mampu memenuhi persyaratan kualitas air minum dengan dosis optimum koagulan biji kelor 60 mg/L dan filter karbon aktif dengan ketebalan 100 cm. DAFTAR PUSTAKA Anselme, N. dan Narasiah, K.S. (1997). Quality of Water Treated by Coagulation Using Moringa Oleifera Seeds, Department of Civil Engineering, University of Sherbrooke, Sherbrooke, Quebec, Canada J1K 2R1 Arung (2000). Pemanfaatan Jaringan Tanaman Kelor (Moringa oleifera Lamk.) sebagai Bahan Penjernih Limbah Cair Industri Kayu Lapis. Jurnal Ilmiah Kehutanan “Rimba Kalimantan”. 4. 85100.
Bergamasco R., Leila Cristina KonradtMoares, Marcelo Fernandes Vieira, M.R.F Klen, A.M. S Vieira (2011), Performance of a coagulationultrafiltration hybrid process for water supply treatment, Chemical Engineering Journal. 166. 483-489. Ghebremichael, K.A., K.R. Gunaratna, H. Henriksson, H. Brumer dan G. Dalhammar (2005). A simple purification and activity assay of the coagulant protein from Moringa oleifera seed, Water Research. 39. 2338-2344. Indriyati (2002), Pengaruh Ketebalan Arang Aktif Tempurung Kelapa terhadap Peurunan Tingkat Kekeruhan pada Sumur Gali di Desa Kepuh Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Irianty R.S. (2002), Pengaruh Massa Biji Kelor (Moringa oleifera Lamk.) dan Waktu Pengendapan pada Pengolahan Air Gambut, Universitas Muhammadiyah. Linsley, R. (1986). Teknik Sumberdaya Air, Jilid I dan Jilid II Edisi 3, Erlangga, Jakarta.
Hamzani, Upaya Penurunan Kekeruhan Air Sumur Gali
Narasiah, K. S., Vogel, A., dan Kramadhati, N.N. (2002). Coagulation of Turbid Water using Moringa Oleifera Seeds from Two Distinct Source, J. Water Supply, 2 (5). 83 – 88. Nishi, L., A.M Salcedo Vieira, M. Fernandes Vieira, M. Bongiovani, F. Pereira Camacho, R. Bergamasco (2012). Hybrid pracess of coagulation/flocculation with Moringa oleifera followed by ultrafiltration to remove Microcystis cells from water supply, Procedia Engineering . 42. 865-872. Pritchard M., T. Craven, T. Mkandawire, A.S. Edmondson, J.G. O’Neill (2010). A study of the parameters affecting the effectiveness of Moringa oleifera in drinking water purification, Physics and Chemistry of the Earth. 35. 791-797.
57
Pritchard M., T. Craven, T. Mkandawire, A.S. Edmondson, J.G. O’Neill (2010). A comparison between Moringa oleifera and chemical coagulates in the purification of drinking water – An alternative sustainable solution for developing countries, Physics and Chemistry of the Earth. 35. 798-805. Said, N.I. (2008). Teknologi Pengolahan Air Minum Teori & Pengalaman Praktis, Pusat Teknologi Lingkungan BPPT, Jakarta
EFEKTIFITAS FLUIDISASI TIGA FASE DALAM MENURUNKAN PARAMETER ORGANIK DALAM AIR EFFECTIVENESS OF THE THREE PHASES FUIDIZATION IN REDUCING ORGANIC PARAMETERS IN THE WATER 1)
Bagus Dwi Cahyono1) dan Novirina Hendrasarie*) Jurusan Teknik Lingkungan - UPN “Veteran” Jawa Timur Jl. Raya Rungkut Madya. Surabaya 60294 *) E-mail:
[email protected]
Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk menentukan kemampuan reaktor fluidisasi tiga fase dalam meningkatkan kandungan DO dan menurunkan kandungan organik yaitu COD dan mempelajari pengaruh waktu kontak terhadap penurunan COD. Penelitian ini, menggunakan reaktor fluidisasi tiga fase berbentuk Kolom kaca dengan ukuran diameter 10 cm dan ketinggian 150 cm. Variable yang digunakan adalah variable kecepatan superficial air 7 cm/dt dan kecepatan superficial udara 1,229 cm/detik dengan waktu kontak 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit. Air yang digunakan untuk penelitian adalah air kali Surabaya, dan sebagai kontrol digunakan air PDAM. Hasil penelitian menunjukkan penurunan kandungan COD tertinggi terjadi pada menit ke 60 dengan persentase penurunan 85 % atau nilai COD sebesar 12 mg/l yang memenuhi standard air bersih menurut PP No. 82 tahun 2001. Kata kunci : COD, DO, fluidisasi tiga fase, kandungan organik Abstract The purpose this study is to determine the ability of three-phases fluidization reaktor in increasing DO content and lower organic content of the COD and study the effect of contact time on the COD reduction in organic content. In this study, using a three-phase fluidization reaktor-shaped glass column with a diameter of 10cm and height of 150 cm. Variable used is variable superficial velocity of water 7 cm / sec and the air superficial velocity 1.229 cm / sec with a contact time of 0, 10, 20, 30, 40, 50 and 60 minutes. Water samples used for research are the river of Surabaya and control water used PDAM water. The result of this research showed decreased in concentration of COD was highest at minute 60 with a percentage decrease of 85%. COD values 12mg/l meet clean water standards according to the PP. 82 in 2001. Key words: COD, DO, organic ingredient, Three-phase fluidization
Hendrasarie, Efektifitas Fluidisasi Tiga Fase
1. PENDAHULUAN Kemajuan teknologi dan industri seringkali berdampak terhadap kualitas sumber air, baik air sungai, air laut, air danau maupun air tanah. Dampak ini disebabkan oleh adanya pencemaran air yang disebabkan oleh berbagai parameter yang terkandung dari air limbah yang masuk ke dalam badan air. Mikroorganisma akan memanfaatkan oksigen terlarut untuk mendegradasi bahan organik dalam air, sehingga oksigen terlarut dalam air akan berkurang. Padahal oksigen terlarut sangat penting untuk kelangsungan hidup biota air (Zhang dan Li, 2010). Salah satu cara untuk menilai seberapa jauh sumber air telah tercemar adalah dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Kandungan air kurang dari 2 mg/l akan menyebabkan efek negative terhadap ekosistem air (Zhang dan Li, 2010). COD dan BOD merupakan parameter organik yang sangat penting dalam air bersih. Apabila parameter COD dan BOD terlalu tinggi maka akan mengakibatkan penurunan parameter DO dalam air. Oleh karena itu perlu dilakukan pengolahan sampai memenuhi standar kualitas air bersih yang berlaku. Fluidisasi merupakan salah satu teknik pengontakan fluida baik gas maupun cairan dengan butiran padat. Fluidisasi tiga fasa (gas-cairan-padatan) dapat digunakan untuk proses fisik, kimia dan biologi (Zhang et al., 1998, Zhang et al. 2000). Pada fluidisasi kontak antara fluida dan partikel padat terjadi dengan baik karena permukaan kontak yang Dalam sistem fluidisasi tiga fasa, luas. perilaku dispersi partikel dan dispersi gelembung memainkan peranan yang penting dalam proses perpindahan massa, di mana secara keseluruhan perilaku tersebut menggambarkan interaksi dari masing-masing fasa (Zhang et al. 2000). Pada penelitian terdahulu dikemukakan bahwa terjadinya perilaku partikel padat seperti unggun fluida disebabkan karena adanya peningkatan gaya gesek dan gaya tekan ke atas dari aliran fluida yang melewati partikel
59
tersebut. Dengan adanya perilaku partikel dan gelembung tersebut diharapkan dapat membantu pelarutan oksigen kedalam air. Tiga bentuk regime aliran gelembung di dalam kolom unggun fluidisasi tiga fasa dapat diklarifikasikan berdasarkan pola perilaku gelembung dalam kolom unggun fluidisasi, yaitu: Coalessed buble, dispersed buble dan slugging regime. Di dalam regime dispersi, tidak ada kejadian yang menunjukkan bahwa gelembung akan bersatu. Di dalam regime ini bentuk ukuran gelembung sama dan ukurannya kecil. Regime dispersi dominan terbentuk pada kecepatan liquida tinggi dan kecepatan gas rendah-menengah. Di dalam sistem kolom unggun fluidisasi regime aliran bervariasi tergantung dari diameter kolom (Muroyama dan Fan, 1985). Di samping itu menurut Jean dan Fan (1986) sifat-sifat dan diameter partikel juga akan mempengaruhi regime aliran. Di dalam pola gelembung, Tang dan Fan (1989) mendapatkan suatu hasil bahwa di dalam dispersed bubble, kecepatan fasa gas hanya sedikit berpengaruh terhadap distribusi dari hold up padat. Pola penyebaran dari fasa padat akan meningkat sebanding dengan penurunan kecepatan fasa liquid nya. Pada regime transisi, yang merupakan daerah peralihan pola gelembung antara regime dispersi dan regime coalessed, kecepatan fasa gas sedikit pengaruhnya terhadap distribusi hold up padat. Pengembangan teknik sistem fluidisasi tiga fasa di dalam aplikasi penggunaannya, terutama di dalam kriteria perencanaan pada unit instalasi pengolahan air sangat terbatas. Padahal teknologi ini dapat membantu meningkatkan oksigen terlarut (Wan et al., 2010). Di samping itu sekaligus penyisihan bahan organik (Hamdad et al., 2007). Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui besar peningkatan oksigen pada sistem fluidisasi tiga fase serta penurunan kandungan organik dalam air. 2. METODA
Penelitian ini, menggunakan skala laboratorium. Variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu: kecepatan air 5,9
60
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 58-64
cm/detik, kecepatan udara 1,91 cm/detik, media tertahan yang digunakan adalah kelereng dengan diameter 1,5 cm setinggi 5 cm, media terfluidakan yang digunakan pasir kuarsa dengan diameter 0, 7-1.18 mm dengan ketinggian 10 cm. Sampel yang digunakan untuk metode fluidisasi bermedia dan tidak bermedia, (sistem aerasi) adalah air kali Surabaya dan air kontrol untuk fluidisasi bermedia adalah air PDAM. Variabel yang diatur, adalah waktu tinggal di dalam Fluidized Bed : 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit. Rangkaian alat dari Fluidisasi tiga phase dalam penelitian ini, ada dalam Gambar 1.
air mineral untuk analisa COD dan TSS. Pengambilan sampel dilakukan pada menit ke 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60. Disertai dengan pengukuran suhu dan pH air. Pengukuran DO menggunakan, pengukuran COD dengan metoda Winkler dan pengukuran TSS menggunakan metoda gravivetri. Pengukuran dilakukan sesuai dengan standard method (APHA, 1985). 1
Prosedur Penelitian Fluidisasi bermedia Reaktor di cuci menggunakan air aquades. Media pasir Kuarsa di cuci Dengan Menggunakan Air Panas, setelah itu di masukkan kedalam rektor hingga 10 cm. Memasukkan air sampel kedalam bak penampung. Mengatur tekanan udara dan tekanan air sesuai tekanan yang diperlukan Mengalirkan Udara dan air sesuai dengan laju yang diperlukan kedalam kolom. Mengambil sampling dengan hati–hati dengan menggunakan botol winkler untuk analisa kadar oksigen terlarut dan botol air mineral untuk analisa COD dan TSS. Pengambilan sampel dilakukan pada menit ke 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60. Disertai dengan pengukuran suhu dan pH air. Fluidisasi tidak bermedia Mengeluarkan media pasir kuarsa pada reaktor. Reaktor di cuci menggunakan air aquades. Hal ini dilakukan untuk membersihkan reaktor. Memasukkan air kemasan kedalam bak penampung. Mengatur tekanan udara dan tekanan air sesuai tekanan yang diperlukan. Mengalirkan Udara dan air sesuai dengan laju yang diperlukan kedalam kolom. Mengambil sampling dengan hati–hati dengan menggunakan botol Winkler untuk analisa kadar oksigen terlarut (DO) dan botol
2
4 3 5
9
8
4
6 7
Gambar 1. Rangkaian Alat Penelitian Keterangan gambar : 1. Tangki overflow 2. Media pasir kuarsa 3. Media glass beads 4. Kompresor 5. Orificemeter 6. Bak penampung limbah 7. Pompa 8. Valve 9. Manometer
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kemampuan reaktor fluidisasi tiga fase dalam meningkatkan kandungan DO dan menurunkan
Hendrasarie, Efektifitas Fluidisasi Tiga Fase
61
kandungan organik yaitu COD dilakukan serta membandingkan efektifitas fluidisasi tiga fase dengan aerasi dalam menurunkan parameter organik yaitu COD dengan menggunakan variable kecepatan superficial air 5,9 cm/dt dan kecepatan superficial udara 1,91 cm/detik dengan waktu kontak 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60 menit. Pemilihan variable ini didasarkan pada penelitian terdahulu dan kemampuan peralatan serta kemudahan bukaan valve.
peningkatan konsentrasi oksigen terlarut semakin meningkat (Wan et al., 2010). Sedangkan pada air kontrol terlihat konsentrasi oksigen terlarut semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena aktifitas penguraian bahan organik yang terjadi pada air kontrol sangat sedikit. Sehingga kandungan oksigen terlarut hanya sedikit yang dimanfaatkan untuk penguraian bahan organik.
Partikel yang digunakan dalam penelitiian ini adalah pasir kuarsa dengan ukuran 0,7– 1,18mm. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan reaktor fluidisasi bermedia dan tidak bermedia. Reaktor fluidisasi tidak bermedia dimaksudkan sebagai metode Aerasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan antara metode fluidisasi dengan metode aerasi. Sedangkan pada variable kontrol digunakan air kemasan untuk menghindari terlalu besarnya aktifitas mikroorganisma d idalam air kontrol. Gambar 2 menunjukkan bahwa peningkatan oksigen tertinggi terjadi pada reaktor fluidisasi dengan media pada awal percobaan. Peningkatan tertinggi terjadi pada menit ke 10 yaitu sebesar 5,59 mg/l dan mengalami sedikit penurunan pada menit selanjutnya. Tetapi masih pada nilai stabil yaitu pada konsentrasi 5,..mg/l. Sedangkan pada reaktor fluidisasi tidak bermedia (Aerasi) mengalami peningkatan tertinggi pada menit ke 30, yaitu sebesar 5,23mg/l dan mengalami sedikit penurunan pada menit selanjutnya. Tetapi masih pada nilai stabil yaitu pada konsentrasi 5,..mg/l. Perbedaan ini menunjukkan bahwa besar peningkatan kandungan oksigen terlarut pada reaktor fluidisasi bermedia lebih cepat dan lebih besar dibandingkan pada reaktor tidak bermedia (Aerasi). Hal ini dikarenakan pada reaktor fluidisasi bermedia mengalami regime dispers yang disebabkan adanya gaya saling menabrak antar partikel terfluidakan (Muroyama dan Fan, 1985). Ini menyebabkan pecahnya gelembung udara besar menjadi gelembung udara kecil-kecil, sehingga
Gambar 2. Hubungan Konsentrasi DO dengan waktu proses Gambar 3 menunjukkan bahwa persen peningkatan oksigen tertinggi terjadi pada reaktor fluidisasi dengan media. Peningkatan tertinggi terjadi pada menit ke 10 yaitu sebesar 77,46%. Selanjutnya mengalami penurunan pada menit-menit berikutnya. Pada reaktor fluidisasi tidak bermedia (Aerasi) mengalami persen peningkatan tertinggi pada menit ke 30, yaitu sebesar 66,03%. Perbedaan ini menunjukkan bahwa persen peningkatan kandungan oksigen pada reaktor fluidisasi bermedia lebih besar dibandingkan pada reaktor tidak bermedia (Aerasi). Dari persentase ini dapat dilihat bahwa fluidisasi bermedia lebih efektif dalam meningkatkan kandungan oksigen dibandingkan dengan fluidisasi tidak bermedia (Aerasi). Peningkatan yang terjadi pada reaktor fluidisasi dengan media terjadi dikarenaka pola aliran cenderung mengikuti pola regime disperse. Hal ini yang mengakibatkan
62
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 58-64
pelarutan oksigen semakin besar. Selain itu dengan adanya media pada reaktor fluidisasi bermedia, waktu kontak antara udara dengan air semakin lama. Udara yang mengalir tertahan oleh media yang terfluidakan, sedangkan pada fluidisasi tanpa media (Aerasi), pola aliran cenderung mengikuti pola regime Coalessed, sehingga pelarutan oksigen lebih sedikit dibandingkan pada reaktor fluidisasi bermedia.
Gambar 4 membuktikan bahwa reaktor fluidisasi bermedia lebih efektif dari pada reaktor fluidisasi tidak bermedia (Aerasi) dalam menurunkan parameter organik.
Gambar 4. Hubungan penurunan Konsentrasi COD dengan waktu proses Gambar 3. Prosentase Penambahan Konsentrasi DO dengan waktu proses Gambar 4 menunjukkan bahwa pada reaktor fluidisasi bermedia pada menit ke 0 sampai 20 aktifitas mikroorganisma masih dalam proses penyesuaian, sehingga penurunan kandungan COD masih rendah. Pada menit ke 20 sampai 30 penurunan kandungan COD menurun sangat tinggi. Hal ini dikarenakan pada menit ke 20 samapi 30 merupakan fase perkembang biakan mikroorganisma sehingga penguraian bahan organik sangat tinggi. Dan selanjutnya mengalami proses kematian pada menit ke 30 sampai 50 dan mengalami regenerasi atau perkembangbiakan pada menit ke 50 sampai 60. Sedangkan pada reaktor fluidisasi tidak bermedia (Aerasi) pada menit ke 0 sampai 20 aktifitas mikroorganisma masih dalam proses penyesuaian sehingga penurunan masih stabil. Sedangkan pada menit ke 20 sampai 30 juga mengalami fase perkembangbiakan tetapi penurunan kandungan organik lebih rendah dibandingkan fluidisasi bermedia dan mengalami penurunan stabil sampai menit ke 60.
Hal ini dikarenakan suplai udara pada reaktor fluidisasi bermedia lebih tinggi dibandingkan dengan fluidisasi tidak bermedia (Aerasi). Sehinggga memicu pertumbuhan mikroorganisma yang ada didalam air.Selain itu adanya media pada reaktor fluidisasi bermedia juga mengakibatkan peningkatan mikroorganisma yang terjadi. Karena media akan dimanfaatkan untuk berkembang biak oleh mikroorganisma. Gambar 5 menunjukkan bahwa besar penurunan konsentrasi tertinggi ada pada reaktor bermedia, pada menit ke-60 yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena adanya aktifitas penguraian bahan organik yang terdapat didalam air. Semakin lama waktu pemaparan, konsentrasi COD semakin menurun. Hal ini dikarenakan suplai oksigen didalam air cukup tingi untuk menguraikan bahan-bahan organik didalam air. Nilai COD pada reaktor bermedia pada menit ke-60 sebesar 12 mg/l. nilai ini sudah memenuhi baku mutu air untuk golongan 2, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
Hendrasarie, Efektifitas Fluidisasi Tiga Fase
63
kegunaan tersebut. (pp no. 82 tahun 2001). Sedangkan pada reaktor fluidisasi tidak bermedia (Aerasi) peningkatan tertinggi ada pada menit ke 60 yaitu sebesar 60 % dengan nilai konsentrasi 32 mg/l. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa reaktor fluidisasi bermedia lebih efektif dalam menurunkan kandungan organik (COD) didalam air. Hal ini dikarenakan besar penurunan konsentrasi organik sudah masuk pada baku mutu air untuk golongan 2 dan mendekati golongan 1. Sedangkan pada reaktor tidak bermedia (Aerasi) masih belum mendekati golongan 2. Sedangkan pada air kontrol penurunan kandungan organik lebih cepat habis dibandingkat dengan yang lain. Hal ini dikarenakan pada air kontrol kandungan organiknya sangat sedikit. Sehingga dengan suplay udara yang cukup. Maka COD di dalam air akan lebih cepat habis atau 0.
Peningkatan ini terjadi dikarenakan pada reaktor fluidisasi bermedia mempunyai media yang digunakan sebagai tempat berkembang biaknya mikroorganisma. Dikarenakan adanya tumbukan antar partikel media yang terjadi, biofilm yang terbentuk pada media akan terlepas dan mengakibatkan air semakin keruh.
Gambar 5 menunjukkan bahwa peningkatan padatan tersuspensi pada reaktor bermedia mengalami peningkatan yang lebih besar dari reaktor tidak bermedia. Hal ini menunjukkkan bahwa pada reaktor bermedia mengalami peningkatan jumlah mikroorganisma yang lebih banyak dibandingkan pada reaktor tidak bermedia.
Peningkatan mikroorganisma ini yang mengakibatkan oksigen terlarut pada menit 20 sampai 60 mengalami penurunan. Dikarenakan pada menit-menit ini mikroorganisma malakukan aktifitasnya, yaitu mendegradasi zat–zat organik yang terkandung didalam air.
Gambar 5. Peningkatan TSS Peningkatan jumlah mikroorganisma ditandai oleh semakin keruhnya air sample. Apabila semakin keruh air sample, semakin banyak pula mikroorganisma yang terkandung didalam air sampel tersebut. Juga sebaliknya.
Peningkatan jumlah mikroorganisma dikarenakan suplai udara pada reaktor bermedia lebih bagus daripada pada reaktor tidak bermedia. Peningkatan ini dikarenakan regime gelembung yang terjadi pada reaktor bermedia adalah regime disperse. Dengan regime ini, peningkatan oksigen terlarut akan semakin bagus karena semakin bnyaknya permukaan udara yang kontak dengan air sampel. Selain itu, adanya media pada reaktor ini dapat digunakan sebagai tempat tumbuh kembangnya mikoorganisme pada air.
4. KESIMPULAN
Reaktor Fluidisasi tiga fase mampu meningkatkan kandungan DO dalam air dengan konsentrasi tertinggi terjadi pada menit ke 10 sebesar 77,46 % dan mampu menurunkan kandungan organik pada air (COD) dengan konsentrasi terendah terjadi pada menit ke 60 sebesar 85%. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa reaktor fluidisasi bermedia lebih efektif dalam menurunkan kandungan organik (COD) di dalam air. Penurunan parameter organik tertinggi terjadi didalam reaktor fluidisasi tiga fase bermedia pada menit ke 60 sebesar 85%. Sedangkan pada reaktor fluidisasi tidak bermedia peningkatan tertinggi ada pada menit ke 60 yaitu sebesar 60 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada menit yang sama penurunan COD pada reaktor fluidisasi lebih besar dibandingkan dengan reaktor tidak bermedia. Oleh karena itu rekator fluidisasi
64
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 58-64
tiga fase lebih efektif dalam menurunkan kandungan organic (COD) dalam air dibandingkan dengan reaktor aerasi.
DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association (1985). Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, Washington, D.C. Hamdad I., Hazemi S., Rossi D., dan Maccho A. (2007). Oxygen transfer and hydrodynamic in three-phase inverse fluidized beds, Chemical Engineering Science. 62. 7399-7405. Jean, R.H. dan Fan, L.S. (1986). A simple correlation for solids holdup in a gasliquid-solid fluidized bed, Chemical Engineering Science. 41 (11) . 2823-2828. Muroyama K. dan Fan L.S., (1985) Fundamentals of Gas-Liquid-Solid Fluidization', AIChE J. 113 (1). 1-32. Muroyama K., Nakade T., dan Kato T. (2001). Wall to liquid mass transfer in a gas-slurry transport bed, Chemical Engineering Science. 56. 6099-6106.
Tang, W.T. dan Fan, L.S. (1989). Hydrodynamics of a three-phase fluidized bed containing low-density particles, American Institute of Chemical Engineering Journal. 35 (3). 355-364. Wan L., Alvarez-Cuenza, S.R. Upreti dan A. Lohi (2010). Development of a three-phase fluidized bed reaktor with enhanced oxygen transfer, Chemical Engineering and Processing. 49. 2-8. Zhang, J.P., N. Epstein, dan J.R. Grace (1998). Minimum fluidization velocities for gas - liquid-solid three phase systems, Powder Technology. 100. 113-118. Zhang J.P., Yong Li dan Liang Shih-Fan, (2000). Discrete phase simulation of gasliquid-solid fluidization systems: single bubble rising behavior, Powder Technology. 113. 310-326. Zhang dan Li (2010). Effects of physical and biochemical processes on the dissolved oxygen budget for the Pearl River Estuary during summer, Journal of Marine System. 79. 65-88.
RANCANG BANGUN DAN UJI KINERJA HIGH VOLUME AIR SAMPLER UNTUK MENGUKUR TOTAL SUSPENDED PARTICULATE DESIGN AND PERFORMANCE TEST OF HIGH VOLUME AIR SAMPLER TO MEASURE TOTAL SUSPENDED PARTICULATE Arief Sabdo Yuwono*) dan Astiti Puriwigati1) 1) Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan-IPB Kampus IPB Darmaga, PO Box 220 Bogor 16002 *) E-mail:
[email protected] Abstrak Total Suspended Particulate (TSP) adalah partikel halus dalam udara ambien yang mengendap sangat lambat dan biasanya diukur menggunakan High Volume Air Sampler (HVAS). HVAS perlu memenuhi beberapa kriteria desain, diantaranya mampu menghasilkan kecepatan volumetrik udara sebesar 1,13 sampai 1,70 m3/menit. Pada penelitian ini, dihasilkan empat (4) buah HVAS dengan menggunakan jenis kipas dan pompa udara yang berbeda-beda, yaitu kipas sentrifugal, kipas aksial, pompa vakum 600 Watt dan pompa vakum 1000 Watt. Pada saat alat beroperasi, kecepatan volumetrik udara terbesar dihasilkan oleh HVAS dengan pompa vakum 1000 Watt, yaitu sebesar 0,518 m3/menit. Hasil uji kinerja dengan membandingkan antara HVAS hasil rancangan dengan HVAS acuan menunjukkan bahwa konsentrasi TSP udara ambien hasil pengukuran HVAS rancangan sebesar 60,3% hasil pengujian dengan HVAS acuan. Kata kunci: TSP, partikulat, kualitas udara ambien, High Volume Air Sampler Abstract Total suspended particulate (TSP) is fine particles in ambient air that settles very slowly and is normally measured using High Volume Air Sampler (HVAS). A HVAS should meet several design criteria, such as air flow rate of 1.13 to 1.70 m3/min according to national standard (SNI). This research produced four HVAS units using different types of fan and air vacuum pumps, i.e. centrifugal fan, axial fan, vacuum pumps with the power of 600 Watt and 1000 Watt. During performance test, the highest flow rate in the order of 0,518 m3/min was produced by 1000 Watt vacuum pump HVAS. Comparison test between designed HVAS and the reference HVAS showed that the ambient TSP concentration was 60.3% of those measured by reference HVAS. Keywords: TSP, particulate matter, ambient air quality, High Volume Air Sampler
66
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 65-75
1. PENDAHULUAN Dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Anonim, 2004) disebutkan bahwa TSP (total suspended particulate) merupakan salah satu parameter kualitas udara ambien. Suspendable particles (suspended particulate) atau partikel debu tersuspensi adalah padatan halus dalam udara ambien yang mengendap sangat lambat dan akan tetap tinggal di atmosfer hingga terlarut bersama air hujan. Ukuran maksimumnya adalah sekitar 10 mikron (de Nevers, 1995). Keberadaan partikel debu ini dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan (Artiola et al., 2004) dan kesehatan manusia terutama pada saluran pernafasan (Zhang, 2005). Pengukuran konsentrasi TSP udara ambien saat ini umumnya menggunakan High Volume Air Sampler (HVAS) dimana udara ambien dihisap dengan kecepatan volumetrik berkisar antara 1,13 sampai 1,70 m3/menit sesuai dengan SNI 19-7119.3-2005 (Anonim, 2005) kemudian dialirkan melalui filter. Pengukuran dengan menggunakan metode ini memiliki tingkat akurasi cukup tinggi. Namun demikian, aplikasi metode ini juga memerlukan biaya cukup mahal karena peralatan yang digunakan masih diproduksi di luar negeri. Oleh karena itu, diperlukan langkah inovatif agar alat sampling TSP dapat diproduksi di Indonesia dengan harapan agar harga alat tersebut lebih murah serta mudah perawatannya karena suku cadangnya tersedia di dalam negeri. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Merancang dan membangun High Volume Air Sampler (HVAS) yang portable dengan menggunakan bahan-bahan lokal yang mudah diperoleh di Indonesia. Kedua, melakukan uji kinerja dengan menentukan besarnya penurunan kecepatan volumetrik udara alat HVAS hasil rancangan dengan aplikasi filter. Menghitung rasio konsentrasi TSP udara ambien yang diukur dengan unit HVAS hasil rancangan terhadap HVAS acuann. Mengukur tingkat
kebisingan yang ditimbulkan dari operasi HVAS hasil rancangan.
2. METODA Tahapan penelitian dibagi menjadi perancangan unit, pembuatan unit, dan uji kinerja. Secara garis besar, metodologi kajian ditunjukkan pada Gambar 1. Apabila hasil sudah baik maka akan terbangun unit HVAS. Sedangkan bila HVAS yang dirancangbangun belum memenuhi standar maka akan dilakukan perbaikan rancangan dan pengembangannya.
Rancangan Fungsional Secara umum, High Volume Air Sampler (HVAS) memiliki beberapa komponen utama, yaitu kipas, dinamo, casing, pengunci filter, filter dan tombol pengatur on/off. Masingmasing komponen tersebut memiliki fungsi seperti disajikan dalam Tabel 1.
Rancangan Struktural Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka dirancang empat (4) buah HVAS dengan bentuk dan kipas/pompa udara yang berbedabeda untuk kemudian dibandingkan kinerjanya. Instrumen HVAS terdiri dari beberapa komponen, yaitu inlet, penyangga filter, penggerak udara, pengontrol laju alir dan timer. Uraian singkat tentang komponen struktur HVAS disajikan dalam bagian berikut.Dalam penelitian ini dibuat empat buah rancangan HVAS dengan jenis pompa yang berbeda-beda, yaitu sentrifugal, aksial, pompa vakum kapasitas sedang dan pompa vakum kapasitas besar. Spesifikasi dari setiapkipas/pompa udara beserta dinamonya dapat dilihat pada Tabel 2 Casing atau pelindung alat dirancang sesuai dengan bentuk dan dimensi kipas/pompa udara yang digunakan. Bahan yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan. Material dasar casing adalah baja (stainless steel) dan polimer (PVC).
67
Yuwono, Rancang Bangun dan Uji Kinerja
Gambar 1. Metodologi kajian Tabel 1. Komponen utama HVAS dan fungsinya Komponen Utama Kipas/pompa udara
Fungsi Menghisap udara dari lingkungan
Motor listrik
Memutar kipas
Casing
Melindungi kipas/pompa dan komponen di dalamnya
Pengunci filter
Mengunci filter atau mempertahankan posisi filter
Filter
Menyaring partikel berukuran lebih besar dari 0,45 µm
Tombol on/off
Mengaktifkan dan mematikan motor listrik
Tabel 2. Spesifikasi kipas/pompa udara dan dinamo yang digunakan Jenis kipas/pompa
Diameter (inchi)
Spesifikasi dinamo/motor
Sentrifugal
3
50 Hz; 28 W; 0,13 A; 2680 rpm
Aksial
8
50/60 Hz; 65/75 W; 0,29/0,33A;230 V; 2500/2700 rpm
Vakum #1
4
240 V; 50 Hz; 600 Watt
Vakum #2
5
230 ;50 Hz;1000 Watt
68
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 65-75
Untuk HVAS yang menggunakan pompa sentrifugal dan vakum 600 W, pengunci filter yang digunakan berupa pengait dinamis berukuran kecil yang terdapat di pasaran. Sedangkan untuk HVAS dengan menggunakan kipas aksial dan vakum 1000 W, pengunci filter dibuat khusus dengan mesin bubut dan dibuat sepasang ulir agar mudah untuk dibuka-tutup. Filter yang digunakan merupakan filter standar berbahan fiber glass dengan ukuran pori pada filter yaitu berkisar antara 0,3-0,45 µm. Dimensi filter disesuaikan dengan ukuran inlet pada rancangan.
Uji Kinerja Pengukuran Kecepatan Volumetrik Udara Kecepatan volumetrik adalah banyaknya volume udara yang dapat dipindahkan per satuan waktu. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan anemometer dengan merk dan tipe Extech 451104. Pengukuran kecepatan volumetrik udara dilakukan sebanyak lima kali pembacaan pada anemometer dan tiga kali ulangan untuk setiap unit HVAS hasil rancangan. Perlakuan yang digunakan yaitu pengukuran tanpa filter dan pengukuran dengan aplikasi filter.
Perhitungan Penurunan Kecepatan Volumetrik Akibat Aplikasi Filter Setelah diperoleh hasil pengukuran kecepatan volumetrik unit tanpa filter dan dengan aplikasi filter, kemudian dilakukan perhitungan besarnya penurunan kecepatan volumetrik udara akibat aplikasi filter pada alat.
Perhitungan Rasio Konsentrasi TSP
Hasil
Pengukuran
Penentuan rasio hasil pengukuran konsentrasi TSP dilakukan dengan membandingkan hasil kinerja antara unit yang dirancang dengan alat High Volume Air Sampler buatan Amerika yang telah ada di pasaran sebagai instrumen
acuan. Besaran yang akan dibandingan berupa berat partikel yang dapat disaring oleh filter. Pengambilan sampel dilakukan selama 45 menit dengan menggunakan dua instrumen sekaligus, yaitu unit hasil rancangan dengan hasil terbaik dan instrumen acuan. Selama pengujian berlangsung, dilakukan pengukuran debit udara, baik ketika memulai pengujian maupun saat akhir pengujian. Selanjutnya, sampel dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
Pengukuran Tingkat Kebisingan HVAS Hasil Rancangan Pengukuran kebisingan dilakukan untuk mengetahui tingkat keamanan dalam penggunaan HVAS. Kebisingan pada tingkat lebih dari 85 dB dan berlangsung secara kontinu selama 8 jam dapat menyebabkan kehilangan pendengaran pada manusia (Ladou, 2007). Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan di ruangan terbuka dengan menggunakan sound level meter. Jarak antara alat ukur tingkat kebisingan dengan sumber bising adalah 5 meter dan diberi notasi sebagai “r1”. Pembacaan angka dilakukan setiap 10 detik selama 5 menit sesuai dengan aturan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan. Setelah itu, seluruh angka yang telah terbaca dihitung nilai rataratanya dan kemudian ditentukan tingkat kebisingan pada jarak 10 meter, 15 meter, 20 meter, dan seterusnya hingga 100 meter.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Rancang bangun HVAS Pada studi ini, dibuat empat buah unit HVAS dengan menggunakan jenis kipas yang berbeda-beda dengan tujuan untuk mengetahui besarnya penurunan kecepatan volumetrik udara untuk setiap jenis kipas. Untuk memudahkan penjelasan selanjutnya
69
Yuwono, Rancang Bangun dan Uji Kinerja
maka masing-masing unit diberi nama seperti disajikan dalam Tabel3. Tabel 3. Penamaan HVAS berdasarkan jenis kipas dan pompa udara Nama Unit HVAS-S1 HVAS-A1 HVAS-V1 HVAS-V2
Jenis Pompa/Kipas Sentrifugal Aksial Vakum Vakum
Daya (Watt) 28 65/75 600 1000
Motor
Casing untuk HVAS-V1 berupa pipa dengan bahan PVC. Karena ukuran motor yang relatif kecil, maka digunakan sambungan reducer pipa PVC untuk pipa ukuran 4 inchi ke 2 inchi (4”×2”). Panjang sambungan pipa tersebut 18 cm dan sangat sesuai untuk motor vakum yang digunakan. Motor vakum yang digunakan sudah memiliki potensiometer sehingga kecepatan putar motor dapat diatur. Untuk tujuan keamanan, pengatur kecepatan putar motor dan tombol on/off motor diberi kotak pelindung (Gambar 3). Penyangga filter terbuat dari kawat nyamuk berbahan aluminium dan akrilik (acrylic). Sama halnya dengan HVAS-S1, filter dan penyangga filter tersebut dijepit oleh pelat ring berbahan besi berdiameter luar 6,8 cm dan diameter dalam 4,7 cm serta dikencangkan oleh tiga buah pengunci di sisi melingkarnya (Gambar 4).
HVAS-S1 Pada HVAS-S1 ini, jenis kipas sentrifugal yang digunakan adalah jenis backward inclined dengan Merk Windy Model DB-85. HVAS-S1 menggunakan sambungan reducer pipa PVC ukuran 3 inchi ke 2,5 inchi (3”×2,5”), filter serat kaca, ring plat, kawat nyamuk, 3 buah pengunci filter dan steker. Pada HVAS-S1 udara dihisap melalui saluran inlet yang berukuran 3 inchi kemudian keluar melalui saluran outlet berukuran 25 cm2. Untuk menyesuaikan dengan filter yang digunakan yang berukuran 5 cm, maka inlet pada HVAS-S1 dirancang berukuran 2 inchi.
HVAS-A1 Rancangan kedua yaitu HVAS dengan menggunakan kipas aksial sebagai penggerak udara. Seperti disajikan pada Gambar 2, casing kipas HVAS-A1 menggunakan bahan stainless steel dengan ketebalan 1 mm agar tidak berkarat, awet dan memiliki bobot yang relatif ringan. Ukuran lubang inlet pada HVAS-A1 dibuat sedikit lebih besar daripada rancangan sebelumnya, yaitu berdiameter 6 cm. Pengunci filter dibuat dengan sistem ulir agar mudah untuk dibuka-tutup. Penutup belakang casing HVAS-A1 menggunakan plat stainless steel berlubang 8 mm di seluruh permukaannya sehingga gerakan udara dapat berjalan dengan baik .
Penurunan Kecepatan Volumetrik Udara Ketika filter standar berbahan serat kaca (fiber glass) diaplikasikan pada alat HVAS, maka akan terjadi penurunan kecepatan volumetrik udara karena aliran udara terhambat oleh filter tersebut Berdasarkan besarnya penurunan kecepatan volumetrik tersebut dapat diketahui besarnya kapasitas motor yang seharusnya digunakan untuk perancangan HVAS. Hasil pengukuran penurunan kecepatan volumetrik udara HVAS hasil rancangan disajikan dalam Tabel 4. Pada HVAS-S1 dan HVAS-A1 dengan aplikasi filter kecepatan volumetrik udara tidak terdeteksi oleh anemometer. Untuk HVASS1, tidak adanya aliran udara disebabkan oleh kapasitas kipas masih terlalu kecil. Penggunaan jenis kipas sentrifugal berukuran kecil dilakukan agar tercapai tujuan pembuatan alat yang mudah untuk dibawa. Selain itu, hal ini dapat terjadi karena salah satu karakteristik kipas sentrifugal dimana aliran udara cenderung turun secara signifikan pada saat tekanan sistem meningkat (Munson et al., 2006). Oleh karena itu, kipas jenis ini kurang sesuai untuk diterapkan pada HVAS. Seperti pada HVAS-S1, kecepatan volumetrik udara pada HVAS-A1 dengan aplikasi filter
70
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 65-75
Gambar 2. Casing HVAS-A1 bagian depan (kiri) dan bagian belakang (kanan)
Gambar 3. Casing HVAS-V1 bagian depan (kiri) dan bagian belakang (kanan)
Penyangga filter (kawat aluminium)
Penjepit filter
Penyangga filter (acrylic)
Gambar 4. Komponen penyangga dan pengunci filter pada HVAS-V1
71
Yuwono, Rancang Bangun dan Uji Kinerja
Gambar 5. Casing HVAS-V2 berbahan stainless steel
Tutup pengunci berulir
Penyangga filter Penjepit filter (bahan silikon)
Gambar 6. Komponen penyangga, penjepit dan pengunci filter HVAS-V2 tidak terukur oleh anemometer. Ini berarti bahwa penurunan kecepatan volumetrik udara hampir mencapai 100%. Kipas aksial yang digunakan memiliki diameter 8 inchi dengan kecepatan udara normal (tanpa casing) ratarata 9,03 m/detik atau setara dengan 18,11 m3/menit.Namun demikian, ketika kipas ditutup oleh casing yang memiliki bentuk kerucut di bagian depan, kecepatan volumetrik menurun tajam hingga menjadi hanya 1,786 m3/menit. Ketika filter diaplikasikan, kecepatan volumetrik udara tidak terukur oleh anemometer sehingga HVAS-A1 tidak mungkin berfungsi untuk menghisap debu tersuspensi (TSP) dalam udara ambien. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kipas aksial untuk HVAS tidak sesuai, karena jenis kipas ini tidak dapat digunakan untuk sistem yang memiliki efek penyumbatan terlalu besar. HVAS ketiga (HVAS-V1) dibangun menggunakan pompa vakum kapasitas kecil dengan daya 600 Watt.
Sebelum filter diaplikasikan, pompa udara ini menghasilkan kecepatan volumetrik udara sebesar 3,115 m3/menit. Namun demikian, ketika filter diaplikasikan pada lubang inlet, terjadi penurunan kecepatan volumetrik sebesar rata-rata 88,9% sehingga kecepatan volumetrik udara menjadi 0,345 m3/menit. Untuk HVAS-V2, jenis pompa yang digunakan adalah pompa vakum yang memiliki kapasitas yang lebih besar dengan daya hingga 1000 Watt. Kecepatan volumetrik rata-rata yang dihasilkan oleh HVAS-V2 sebelum pemasangan filter sebesar 5,124 m3/menit. Ketika filter diaplikasikan pada inlet HVAS-V2, rata-rata kecepatan volumetrik yang terukur mengalamipenurunan 89,9% sehingga kecepatan volumetriknya menjadi 0,518 m3/menit. Berdasarkan nilai penurunan kecepatan volumetrik yang terjadi pada HVAS-V1 dan HVAS-V2 tersebut serta untuk mencapai nilai standar nasional kecepatan volumetrik pada pengambilan
72
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 65-75
Tabel 4. Hasil pengukuran penurunan kecepatan volumetrik udara dengan HVAS hasil rancangan Unit
Jenis pompa
HVAS-S1 Sentrifugal HVAS-A1 Aksial HVAS-V1 Vakum 600 Watt* HVAS-V2 Vakum 1000 Watt * Pengukuran pada RPM maksimal
Kecepatan (m3/menit) Tanpa filter 2,049 1,786 3,115 5,124
sampel TSP dengan metode HVAS sebesar 1,13-1,70 m3/menit, maka diperlukan pompa yang memiliki kecepatan volumetrik hingga 11,3-17,0 m3/menit dengan desain casing yang sama Uji Banding Pengukuran Konsentrasi TSP Berdasarkan hasil pengukuran besar kecepatan volumetrik pada masing-masing unit HVAS dengan jenis kipas yang berbedabeda, HVAS-V2 memiliki kecepatan volumetrik rata-rata paling besar, yaitu 0,5182 m3/menit, sedangkan jenis kipas yang lain memiliki kecepatan volumetrik yang masih sangat jauh dari target yang diharapkan. Oleh karena itu, pengujian banding dengan alat HVAS acuan (referensi) hanya berlaku untuk HVAS vakum berdaya 1000 Watt (HVAS-V2). Alat HVAS Model No. 2000 HX yang digunakan sebagai instrumen acuan dalam pengujian ini diproduksi oleh General Metal Works Inc dengan tegangan listrik 220 V. Filter untuk instrumen acuan berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 8 inchi × 10 inchi dan inlet udara sebesar 7 inchi × 9 inchi. Sedangkan untuk HVAS-V2, filter berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 8 cm dengan inlet udara berdiameter 6 cm. Pengambilan sampel dilakukan di dalam ruang bengkel Akademi Kimia Analisis, Bogor. Pemilihan tempat pengukuran di dalam ruangan bertujuan untuk menghindari perubahan cuaca mendadak seperti pada pengukuran yang dilakukan di luar ruangan dimana dapat mengakibatkan gangguan ketika pengukuran berlangsung. Hasil yang diperoleh dari uji banding alat HVAS-V2 dengan instrumen acuan dapat dilihat pada
volumetrik Dengan filter 0 0 0,345 0,518
udara
Penurunan kecepatan volumetrik (%) 100 100 88,9 89,9
Tabel 5. Konsentrasi TSP yang terukur oleh HVAS-V2 sudah cukup baik seperti terlihat dari rasio konsentrasi kedua HVAS yaitu sebesar 60,3%. Namun demikian, kecepatan volumetrik yang dihasilkan oleh HVAS-V2 masih belum memenuhi kriteria sebagai HVAS menurut standar nasional (SNI). Semakin besar kecepatan volumetrik yang dihasilkan oleh pompa vakum, maka semakin besar ukuran partikel yang dapat terbawa oleh udara yang terhisap. Dengan kecepatan volumetrik berkisar antara 1,13-1,70 3 m /menit, partikel yang dapat terbawa bisa berukuran hingga 100 µm. Karena kecepatan volumetrik pada HVAS hasil rancangan masih setengah dari kecepatan volumetrik standar, maka ukuran partikel yang terhisap pun hanya berupa partikel ringan sehingga bobot total partikel lebih ringan daripada HVAS acuan. Gambar 7 menunjukkan banyaknya TSP yang tersaring pada filter setelah 45 menit pengoperasian intrumen acuan dan HVAS-V2. Bila ditinjau dari aspek lain, HVAS-V2 memiliki beberapa keunggulan, yaitu mudah dibawa dan dipindahkan karena ukurannya yang tidak terlalu besar, meskipun masih belum dapat dinyatakan sebagai HVAS karena kecepatan volumetrik udara pada saat alat beroperasi belum sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk pengukuran TSP. Uji Tingkat Kebisingan Sesuai definisi dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan (Anonim, 2004), kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau
73
Yuwono, Rancang Bangun dan Uji Kinerja
kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Salah satu masalah pada HVAS adalah kebisingan yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengoperasiannya. Kebisingan bisa menimbulkan ketidaknyamanan operator pada saat pengambilan sampel dan dapat juga mengganggu kegiatan di sekitar lokasi pengambilan sampel. Oleh karena itu, tingkat kebisingan alat perlu dijadikan salah satu
bahan pertimbangan kelayakan teknis rancangan dan penggunaan alat tersebut. Pengujian tingkat kebisingan HVAS hasil rancangan dengan pompa vakum berdaya 1000 Watt (HVAS-V2) dilakukan di ruangan terbuka dengan titik pengukuran tingkat kebisingan berjarak mulai dari 5 meter dari sumber bising. Gambar 8 menunjukkan tingkat kebisingan yang diakibatkan oleh alat HVAS tersebut ketika beroperasi terhadap jarak dari sumber.
Tabel 5. Hasil uji banding unit HVAS acuan dan HVAS hasil rancangan Besaran
Satuan
Tekanan udara Kelembaban relatif udara
mm Hg %
Simbol
P RH T1 Suhu lingkungan K T2 Durasi pengujian menit t Q1 Kecepatan volumetrik terukur m3/min Q2 Qs1 3 Kecepatan volumetrik terkoreksi m /min Qs2 Volume udara m3 V Bobot filter kosong gram M1 Bobot filter setelah pengujian gram M2 Bobot TSP gram M2-M1 Konsentrasi TSP µg/Nm3 C Rata-rata C µg/Nm3 Crata-rata Rasio konsentrasi TSP hasil HVAS-V2 dengan instrumen acuan (%)
HVAS Acuan Ulangan ke 1 2 741 741 71,4 70,6 302,1 302,6 302,6 302,9 45 45 1,176 1,12 1,176 1,12 1,153 1,097 1,152 1,097 51,877 49,374 4,9415 4,9881 4,9561 4,9972 0,0146 0,0091 281,435 184,307 232,871
HVAS Rancangan Ulangan ke 1 2 741 741 73,75 71,4 301 302,1 301,6 302,6 45 45 0,497 0,541 0,536 0,491 0,488 0,530 0,526 0,482 22,815 22,763 0,5252 0,4994 0,5287 0,5033 0,0035 0,0039 153,409 171,332 140,431
3 741 70,6 302,6 302,9 45 0,500 0,486 0,490 0,476 21,750 0,5072 0,5093 0,0021 96,551
60,3
.
Gambar 7. TSP tersaring oleh filter pada instrumen acuan (kiri) dan HVAS-V2 (kanan)
74
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 65-75
Gambar 8. Tingkat kebisingan HVAS-V2 hasil rancangan
Sesuai dengan Gambar 8, HVAS-V2 menghasilkan bunyi yang cukup bising pada jarak yang dekat dengan sumber. Pada jarak 5 meter dari sumber, tingkat kebisingan yang terukur adalah sebesar 75,5 dB. Bila mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan (Anonim, 2004) maka tingkat kebisingan yang dihasilkan oleh HVAS hasil rancangan akan memenuhi baku mutu untuk daerah industri (70 dB) bila kegiatan operasi alat tersebut berjarak minimal sekitar sepuluh 10 meter dari objek pendengar.
Rasio hasil pengukuran konsentrasi TSP dengan menggunakan HVAS hasil rancangan terhadap HVAS acuan adalah sebesar 60,3%. HVAS hasil rancangan belum sepenuhnya memenuhi kriteria sebagai pengambil sampel TSP dengan metode high volume air sampling dipandang dari aspek kecepatan volumetrik udara.
4. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Penelitian ini menghasilkan empat (4) buah rancangan dan unit contoh High Volume Air Sampler dengan menggunakan jenis kipas dan pompa yang berbeda-beda, yaitu kipas sentrifugal, kipas aksial dan dua macam pompa vakum.
Anonim (2004). Himpunan Peraturan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penegakan Hukum Lingkungan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.
Uji kinerja menunjukkan bahwa penurunan kecepatan volumetrik udara akibat aplikasi filter pada saluran inlet paling tinggi terjadi pada HVAS dengan menggunakan pompa sentrifugal dan aksial yaitu sebesar 100%. Pada HVAS dengan menggunakan pompa vakum, penurunan kecepatan volumetrik sebesar 88,9% untuk HVAS-V1 dan 89,9% untuk HVAS-V2.
Tingkat kebisingan HVAS hasil rancangan yang diukur pada jarak 5 meter sebesar 76,5 dB dan akan memenuhi baku mutu untuk daerah industri (70 dB) bila berjarak minimal sekitar 10 meter dari pendengar.
Anonim (2005). SNI Nomor 19-7119.3-2005. Cara Uji Partikel Tersuspensi Total Menggunakan Peralatan High Volume Air Sampler (HVAS) dengan Metoda Gravimetri. Badan Standarisasi Nasional. Artiola, JF, Pepper, IL, and Brusseau, ML. (2004). Environmental Monitoring and Characterization. Elsevier Academic Press. San Diego, USA.
Yuwono, Rancang Bangun dan Uji Kinerja
75
De Nevers, N. (1995). Air Pollution Control Engineering. McGraw-Hill, Co. New York.
Munson, BR, Young, DF, Okiishi, TH. (2006). Fundamental of Fluid Mechanics 5th ed. John Wiley & Sons, Inc. USA.
LaDou, J. (2007). Current Occupational & Environmental Medicine. 4th ed. McGraw Hill. New York, USA.
Zhang, Y. (2005). Indoor Air Quality Engineering. CRC Press. Boca Raton, Florida
BIOREMOVAL PEWARNA TEKSTIL MENGGUNAKAN KAYU APU DAN ECENG GONDOK ALIRAN KONTINYU COLOR DYES BIOREMOVAL BY USING WATER LETTUCE AND WATER HYACINTH WITH CONTINUOUS FLOW Nicko Hendrawan Suronegoro1) dan Alia Damayanti*) 1) Jurusan Teknik Lingkungan ITS, Kompleks Kampus ITS Sukolilo, Surabaya *) E-mail:
[email protected] Abstrak Penggunaan tanaman air merupakan salah satu alternatif yang murah dan efisien dalam pengolahan limbah. Pada penelitian ini digunakan variasi pengaturan urutan tanaman uji secara seri (kayu apu – eceng gondok dan eceng gondok – kayu apu) dan variasi konsentrasi limbah zat warna buatan (0,01; 0,005 dan 0,0025 mg/L). Prosedur untuk penelitian ini adalah disiapkan tiga konsentrasi limbah buatan yang berbeda yang diletakkan dalam reservoir. Pada tiap reservoir diparalel menjadi dua rangkaian reaktor, yaitu rangkaian reaktor kayu apu – eceng gondok dan rangkaian reaktor eceng gondok – kayu apu, yang dialirkan secara gravitasi dan kontinu. Pada hari ke nol semua reaktor diisi limbah warna buatan dengan tinggi basah 30 cm kemudian dimasukkan tanaman uji dengan kepadatan 40 mg/cm2 pada tiap-tiap reaktor. Kran pengatur debit dibuka dan dialirkan dengan debit konstan, yaitu 1,32 L/hari. Langkah selanjutnya dilakukan pengamatan untuk parameter warna, COD dan pH setiap dua hari sekali selama 14 hari. Hasil dari parameter akan ditampilkan perubahan parameter dan prosentasenya dalam tabel dan grafik yang kemudian akan dilakukan analisa. Didapatkan hasil removal warna dan COD terbesar terjadi pada reaktor eceng gondok-kayu apu pada konsentrasi 0,0025 gr/L. Sedangkan rangkaian tanaman eceng gondok-kayu apu pada konsentrasi limbah 0,01 gr/L menghasilkan laju penyisihan warna dan COD perhari yang terbaik. Variasi konsentrasi limbah berpengaruh terhadap kemampuan removal oleh tanaman, dan perubahan nilai pH tidak terpengaruh oleh variasi konsentrasi limbah zat warna tekstil buatan tetapi terpengaruh oleh aktifitas tanaman uji dan aktifitas mikroorganisma dalam reaktor. Nilai pH cenderung semakin turun hingga hari terakhir penelitian. Nilai pH terendah dicapai reaktor eceng gondok – kayu apu pada konsentrasi limbah zat warna 0,0025 gr/L, yakni 7,2. Kata Kunci : COD (Chemical Oxygen Demand), Eceng gondok, Kayu apu, pH,Quinone, Warna Abstract Wastewater treatment with water plants has been one of alternative treatment which is efficient and cheap enough, especially to remove colour in textile wastewater. This experiment used synthetic colour of textile wastewater that containing quinone by dissolved methylene blue in PDAM water. With variate sequencing places of water lettuce –water hyacinth and the colour concentration of textile wastewater to parameter of this research, hoped the ability of water plant to remove colour wastewater can be known. It can be concluded from the research that the water hyacinth –water lettuce reactor series in concentration 0,0025 gr/L has the best ability to remove textile colour and COD. The best average removal a day, just had been done by the plant, happened in waste concentration 0,01 gr/L in the water hyacinth–water lettuce reaktor for colour and COD. The variations of waste concentration influence removal ability of water plant and the changing of pH values has been influenced by the activities of water plants and the activities of microorganism in reactor. pH values decrease until the end of research, with the smallest pH is 7,2 that happened in the water hyacinth–water lettuce reaktor series on 0,0025 gr/L water concentration. Keywords: Colour, COD, pH, Quinone, Water hyacinth, Water lettuce
Suronegoro, Bioremoval Pewarna Tekstil
1. PENDAHULUAN Pengolahan air limbah dengan sistem bioremoval memanfaatkan tumbuhan air telah menjadi salah satu alternatif yang cukup murah dan efisien dalam penerapannya, dari hasil pilot plan yang telah dilakukan di berbagai negara maju. Pada umumnya pengolahan air limbah di negara berkembang seperti Indonesia terbentur pada masalah pembiayaan instalasi pengolahan air limbah, untuk itu pengolahan air limbah menggunakan tumbuhan air merupakan alternatif pengolahan dengan pembiayaan yang relatif rendah. Keuntungan cara ini adalah biaya operasional yang relatif murah dan efisiensi yang dihasilkan cukup tinggi meskipun dibutuhkan waktu cukup lama dalam prosesnya, selain itu tumbuhan air yang digunakan dapat diambil sisi ekonomisnya (Khiatuddin, 2003). Zat warna yang paling banyak digunakan sebagai pewarna tekstil adalah zat warna mono-azo asam turunan benzonaphthalene, zat warna mono-azo asam turunan azonaphthalene, zat warna langsung dan zat warna reaktif serta zat warna dengan gugus Quinone (Tjahjati, 2005). Zat warna dalam limbah tekstil perlu untuk didegradasi karena merupakan zat yang stabil. Zat warna terdiri dari gugus diazo dan quinone. Quinone sendiri mempunyai sifat yang reaktif. Beberapa tumbuhan air yang sering digunakan dalam pengolahan air limbah adalah kayu apu, eceng gondok, kangkung air dan duckweed. Keempat tumbuhan air ini banyak terdapat di perairan air tawar dan pada penelitian terdahulu (Sari, 1999; Sooknah dan Wilkie, 2004) menunjukkan bahwa keempat tumbuhan air ini mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam pengolahan air limbah. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan kemampuan antara kombinasi rangkaian kayu apu (Pistia stratiotes)–eceng gondok (Eichornia crassipes) serta eceng gondok–kayu apu dalam menghilangkan warna dan COD limbah zat warna buatan, menentukan
77
pengaruh variasi konsentrasi limbah zat warna buatan terhadap nilai prosentase removal warna limbah zat warna oleh rangkaian tanaman uji, dan mencari pengaruh rangkaian reaktor tanaman terhadap perubahan nilai pH limbah zat warna. 2. METODA Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi maksimum limbah zat warna dan kepadatan tanaman optimum yang akan digunakan dalam penelitian. Penelitian pendahuluan dilakukan masingmasing selama tujuh hari secara berurutan. Selanjutnya dilakukan penelitian secara kontinu menggunakan variasi konsentrasi limbah zat warna dan variasi urutan peletakan rangkaian tanaman. Parameter penelitian yang akan diteliti adalah pH, warna dan COD. Penelitian dilaksanakan selama empat belas hari. Persiapan alat dan bahan meliputi :Bahanbahan pereaksi kimia dan peralatannyaAlat yang diperlukan dalam penelitian ini, sesuai dengan variasi yang direncanakan adalah sebagai berikut :Limbah yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah zat warna tekstil buatan yang mengandung gugus Quinone. Pembuatan limbah ini menggunakan limbah buatan campuran antara bubuk methylene blue dengan air PDAM sebagai pelarut Reaktor. Macam reaktor yang digunakan, yaitu: Dibutuhkan tiga buah bak reservoir untuk menampung tiga jenis konsentrasi yang berbeda. Tiap-tiap bak reservoir terbuat dari plastik berwarna hitam dengan volume sebesar 60 L yang mudah ditemui di pasaran. Dari tiap-tiap reservoir air limbah dialirkan menuju rangkaian bak berisi tanaman uji dengan volume masing-masing bak ± 30 L. Bak berisi tanaman uji dan bak kontrol mempunyai volume basah yang sama yaitu ± 19 L.
78
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 76-86
EG I
KA I
RESERVOIR 60 L
I KA I
EG I
Dengan Konsentrasi 0,01 gr/L VALVE E G II
K A II
K A II
E G II
REAKTORVALVE
II
Dengan Konsentrasi 0,005 gr/L
EG III
K A III
K A III
EG III
III
VALVE
Dengan Konsentrasi 0,0025 gr/L
KI
K II
K III
Reaktor kontrol Gambar 3.2 Denah Tiap-tiap Reaktor Penelitian Keterangan : KAI: kayu apu dan konsentrasi larutan 0,01 gr/L KAII: kayu apu dan konsentrasi larutan 0,005 gr/L KAIII: kayu apu dan konsentrasi larutan 0,0025 gr/L EGI: eceng gondok dan konsentrasi larutan 0,01 gr/L EGII: eceng gondok dan konsentrasi larutan 0,005 gr/L EGIII: eceng gondok dan konsentrasi larutan 0,0025 gr/L KI: kontrol dan konsentrasi larutan 0,01 gr/L KII: kontrol dengan konsentrasi larutan 0,005 gr/L KIII: kontrol dengan konsentrasi larutan 0,0025 gr/L
Gambar 3.4 RangkaianReaktorPenelitian Penelitian dilakukan dalam rumah plastik berukuran (3,6 x 3) m2. Rumah plastik ini memiliki atap dari plastik dan dinding terbuat dari kain kasa nyamuk. Pelapisan dengan plastik dan kain kasa nyamuk dimaksudkan agar tanaman terlindung dari gangguan air hujan dan hama tetapi tetap mendapatkan sinar matahari dan sirkulasi udara yang cukup. Jenis tanaman air yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu apu dan eceng gondok. Tanaman ini dipakai dengan pertimbangan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang pengolahan limbah dengan menggunakan tanaman air, tanaman tersebut memberikan hasil yang cukup baik. Kriteria tanaman air yang digunakan adalah sebagai berikut :Kayu apu, Jumlah helai daun 4 – 6 helai, Tinggi tanaman 8 – 12 cm. Kemudian Eceng gondok, jumlah helai daun 3 – 5 helai dan tinggi tanaman: 10 – 15 cm
Suronegoro, Bioremoval Pewarna Tekstil
Aklimatisasi Tanaman Aklimatisasi tanaman dilakukan selama empat hari untuk mengondisikan tanaman air yang digunakan agar dapat beradaptasi dengan media tanam yaitu air limbah tekstil buatan dengan gugus Quinone. Kemampuan untuk beradaptasi dapat dilihat dari layu atau tidaknya tanaman tersebut selama masa aklimatisasi. Selain itu, perubahan ukuran daun juga menunjukkan bahwa tanaman tersebut telah beradaptasi dengan lingkungan barunya. Setelah masa aklimatisasi selesai, maka tanaman tersebut siap untuk dipergunakan dalam penelitian. Proses aklimatisasi dilakukan sebagai berikut: Persiapan media tanam dengan menggunakan limbah buatan Quinone dan air pengencer (air PDAM). Penanaman tanaman air pada media tanam selama 4 hari. Pada hari ke empat, dilakukan pemilihan tanaman air yang tidak layu (tidak ada warna coklat pada daun) seperti pada awal penanaman, untuk kemudian tanaman air tersebut siap untuk diaplikasikan. Penelitian Pendahuluan Pelaksanaan penelitian pendahuluan dilakukan sebelum penelitian utama dimulai, penelitian ini diadakan dalam dua tahap, yakni Penelitian Untuk Mengetahui Nilai Konsentrasi Maksimum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai maksimum limbah zat warna yang digunakan, dimana tanaman uji dapat hidup normal dan mampu mendegradasikan limbah tersebut. Nilai konsentrasi maksimum yang didapatkan akan digunakan dalam penelitian selanjutnya. Pengamatan dilakukan dalam reaktor diam (batch reaktor). Pengamatan yang dilakukan meliputi kondisi kesegaran daun (tidak ada warna coklat pada daun) tanaman uji dan nilai removal COD. Pengamatan juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kepekatan warna dengan konsentrasi COD dalam air limbah. Prosedur penelitian adalah sebagai berikut: Pembuatan media air limbah zat
79
warna bergugus Quinone dengan variasi konsentrasi 0,1; 0,05; 0,01 dan 0,005 gr/L (nilai tersebut didapatkan dari penelitian sebelumnya). Masing-masing media diletakkan dalam reaktor dengan ketinggian basah sama, yakni 30 cm dengan kepadatan tanaman 40 mg/cm2. Dilakukan pengamatan terhadap tanaman uji selama 7 hari dengan pengambilan sampel setiap 2 hari sekali. Konsentrasi limbah buatan zat warna maksimum dimana tanaman uji dapat meremoval COD dan tetap segar (tidak terdapat daun berwarna coklat) sampai hari terakhir pengamatan akan digunakan sebagai konsentrasi limbah buatan maksimum. Penelitian Untuk Mengetahui Kepadatan Optimum Tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan optimum tanaman kayu apu dan eceng gondok yang ideal untuk tiap-tiap reaktor yang digunakan dalam penelitian utama nantinya. Kepadatan nantinya dinyatakan dalam berat basah tanaman persatuan luasan reaktor (mg/cm2). Untuk uji pendahuluan ini dilakukan pengamatan Pengamatan dilakukan dalam reaktor diam (batch reaktor). Pengamatan yang dilakukan meliputi pengamatan kesegaran daun dan juga dilihat nilai penurunan COD yang trennya selalu turun. Prosedur penelitian adalah sebagai berikut: Penanaman tanaman uji pada media air limbah zat warna buatan dengan konsentrasi larutan 0,01 mg/L pada nilai kepadatan 10, 20, 30 dan 40 mg/cm2 (range kepadatan yang didapat dari beberapa percobaan sebelumnya). Masing-masing media diletakkan dalam reaktor dengan ketinggian basah sama, yakni 30 cm.Dilakukan pengamatan terhadap tanaman uji selama 7 hari dengan pengambilan sampel setiap 2 hari sekali. Kepadatan tanaman dimana tanaman uji mempunyai nilai removal COD terbaik dan tetap segar sampai hari terakhir pengamatan dengan akan digunakan sebagai kepadatan tanaman dalam penelitian nantinya. Penelitian Utama
80
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 76-86
Pada penelitian ini, untuk setiap unit media termasuk variabel tanaman menggunakan sistem aliran kontinu, terkecuali pada reaktor kontrol menggunakan aliran diam. Wadah yang digunakan sebagai tempat media tanam adalah bak-bak dari plastik yang dirangkai secara paralel untuk konsentrasi yang sama. Variasi yang dilakukan adalah jenis pengaturan tanaman air yaitu kayu apu dan eceng gondok secara seri dengan pengaturan variasi konsentrasi limbah zat warna buatan. Sistem pencahayaannya menggunakan sinar matahari. Agar kayu apu mendapatkan cahaya matahari yang cukup, maka reaktor dalam rumah kaca diletakkan pada ruang terbuka sehingga dapat menerima cahaya matahari secara langsung. Penelitian ini dilakukan selama 14 hari dan setiap dua hari sekali dilakukan pengamatan untuk mengukur perubahan warna, COD dan pH media tanam. Pada penelitian ini digunakan variasi pengaturan urutan tanaman uji secara seri (kayu apu – eceng gondok atau eceng gondok – kayu apu) dan variasi konsentrasi limbah zat warna buatan (0,01; 0,005 dan 0,0025 mg/L). Prosedur untuk penelitian ini adalah : Disiapkan tiga konsentrasi limbah buatan yang berbeda yang diletakkan dalam reservoir. Pada tiap reservoir diparalel menjadi dua rangkaian reaktor, yaitu rangkaian reaktor kayu apu–eceng gondok dan rangkaian reaktor eceng gondok–kayu apu, yang dialirkan secara gravitasi dan kontinu. Disiapkan tiga reaktor kontrol tanpa tanaman dengan tiga konsentrasi yang berbeda yang dioperasikan secara batch. Pada hari ke nol semua reaktor diisi limbah warna buatan dengan tinggi basah 30 cm kemudian dimasukkan tanaman uji dengan kepadatan 40 mg/cm2 pada tiap-tiap reaktor. Kran pengatur debit dibuka dan dialirkan dengan debit konstan, yaitu 1,32 L/hari (perhitungan debit dilampirkan dalam lampiran C). Selanjutnya dilakukan pengamatan untuk parameter warna, COD dan pH setiap dua hari sekali
selama 14 hari. Hasil dari parameter akan ditampilkan perubahan parameter dan prosentasenya dalam Tabel dan grafik yang kemudian akan dilakukan analisa. Parameter yang Dianalisa Analisa parameter dilakukan pada tiap variasi jenis tanaman air dan zat warna tekstil. Pengamatan tanaman dilakukan selama 14 hari dengan analisa dilakukan setiap 2 hari sekali. Metode analisa yang digunakan adalah sebagai berikut (selengkapnya dilampirkan dalam lampiran B. Analisa Warna Pengukuran warna menggunakan spektrofotometer, dengan panjang gelombang optimum hasil kalibrasi zat warna tekstil buatan yang digunakan (kalibrasi warna terdapat di lampiran A). Analisa pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan keakuratan ± 0,1. Pengukuran COD ditentukan dengan metode titrimetrik refluks tertutup seperti prosedur yang terdapat dalam Alaerts dan Santika (1984) dengan pengenceran 10 kali. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penentuan Konsentrasi Maksimum Air Limbah Penelitian pendahuluan diperlukan untuk mencari faktor-faktor yang akan diterapkan dalam penelitian nantinya. Faktor-faktor tersebut adalah nilai maksimum dari limbah zat warna tekstil buatan yang masih mampu untuk dibiodegradasikan oleh tanaman uji dan kepadatan optimum tanaman uji dalam reaktor penelitian. Untuk menentukan konsentrasi maksimum air limbahmempunyai konsentrasi yang diujikan adalah 0,1; 0,05; 0,01 dan 0,005 gr/L. Penelitian pendahuluan ini dilakukan pada keadaan batch untuk tiap tanaman uji dengan kepadatan tanaman uji 40 mg/cm2. Dari Tabel 1, nilai COD pada konsentrasi warna 0,1 gr/L (A1); 0,05 gr/L (A2); 0,01 gr/L (A3) dan 0,005 gr/L (A4) berturut-turut adalah 1.877
Suronegoro, Bioremoval Pewarna Tekstil
81
mg/L COD, 1.481 mg/L COD, 1.086 mg/L COD dan 691 mg/L COD. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara konsentrasi limbah zat warna dengan nilai COD yaitu, semakin tinggi konsentrasi limbah zat warna, maka semakin tinggi nilai COD-nya. Hal ini sama dengan hasil penelitian lain yang juga menggunakan limbah zat warna tekstil buatan dengan gugus quinone (Chantiratikul et al., 2008). Tabel 1. Penentuan Konsentrasi maksimum COD pada Kayu Apu Hari Nilai COD (mg/L) Ke A1 A2 A3 A4 K 0 1.877 1.481 1.086 691 691 1 1.845 1.409 1.027 636 655 3 1.953 1.395 977 595 623 5 2.329 1.418 861 506 587 7 2.526 1.684 737 421 547 Keterangan : A1 : reaktor kayu apu konsentrasi limbah 0,1 gr/L A2 : reaktor kayu apu konsentrasi limbah 0,05 gr/L A3 : reaktor kayu apu konsentrasi limbah 0,01 gr/L A4 : reaktor kayu apu konsentrasi limbah 0,005 gr/L K : reaktor kontrol konsentrasi limbah 0,005 gr/L
Tabel 2. Penentuan Konsentrasi Maksimum COD Dengan Eceng Gondok Hari Ke 0 1 3 5 7
E1 1.877 1.818 1.860 1.924 2.105
Nilai COD (mg/L) E2 E3 1.481 1.086 1.364 955 1.209 744 1.215 709 1.263 632
E4 691 591 465 405 316
K 691 655 623 587 547
Keterangan : E1: reaktor eceng gondok konsentrasi limbah 0,1 gr/L E2: reaktor eceng gondok konsentrasi limbah 0,05 gr/L E3: reaktor eceng gondok konsentrasi limbah 0,01 gr/L E4: reaktor eceng gondok konsentrasi limbah 0,005 gr/L K: reaktor kontrol konsentrasi limbah 0,005 gr/L
Pada reaktor A3, A4 dan K nilai COD menurun sebanding dengan lamanya waktu pengamatan. Sedangkan pada reaktor A1 dan A2 nilai COD awalnya turun, tetapi akan naik hingga hari terakhir pengamatan. Kenaikan nilai COD pada reaktor A1 dan A2 disebabkan tanaman uji yang ditanam pada reaktor, mulai layu dan akhirnya mengalami
kematian. Kematian tersebut menambah jumlah COD dalam reaktor A1 dan A2. Jadi pada reaktor A1 dan A2 justru terjadi penambahan COD yang mana bertentangan dengan tujuan penelitian untuk menurunkan nilai COD. Karena itu konsentrasi limbah pada A1 (0,1 gr/L) dan A2 (0,05 gr/L) tidak dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya. Nilai konsentrasi limbah pada reaktor A3 dan A4 yang besarnya masing-masing 0,01 gr/L dan 0,005 gr/L dapat digunakan dalam penelitian nantinya. Percobaan terhadap enceng gondok dilakukan dengan konsentrasi limbah pada E1, E2, E3, E4 dan K adalah 0,1; 0,05; 0,01; 0,005 dan 0,005 gr/L. Hasil penurunan kandungan COD dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 1 dan 2 dapat disimpulkan, konsentrasi maksimum yang dapat didegradasi oleh kedua tanaman uji adalah 0,01 gr/L. Dari kedua tanaman juga dapat disimpulkan enceng gondok lebih tahan terhadap limbah dari pada kayu apu. Penentuan Kepadatan Optimum Tanaman Uji Kepadatan tanaman uji yang dianalisa adalah 10, 20, 30 dan 40 mg/cm2. Konsentrasi limbah zat warna yang digunakan adalah 0,005 gr/L dan 0,01 gr/L. Hasil penurunan kandungan COD dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perubahan Nilai COD Pada Tanaman Kayu Apu Hari Ke 0 1 3 5 7
A1 691 664 688 810 895
Nilai COD (mg/L) A2 A3 A4 691 691 691 655 636 627 651 614 586 648 608 506 789 632 400
K 691 655 623 587 547
Dari Tabel 3 terlihat nilai COD mengalami penurunan pada tiap-tiap reaktor. Penurunan terbesar terjadi pada reaktor A4, dengan nilai COD di akhir pengamatan sebesar 400 mg/L COD. Terlihat bahwa semakin besar nilai kepadatan kayu apu per satuan luas maka semakin besar pula nilai COD yang mampu
82
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 76-86
dibiodegradasikan kayu apu. Tetapi tidak pada semua kerapatan, tanaman kayu apu mampu menyisihkan COD. Pada reaktor A1, A2 dan A3 dengan kerapatan 10 mg/cm2, 20 mg/cm2 dan 30 mg/cm2, nilai COD bahkan semakin tinggi. Hal tersebut menandakan bahwa terjadi penambahan COD pada reaktor-reaktor A1 – A3. Perlakuan yang sama untuk mencari konsentrasi limbah maksimum dan kepadatan tanaman optimum dilakukan pada tanaman eceng gondok, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Perubahan Nilai COD Pada Tanaman Enceng gondok Hari Ke 0 1 3 5 7
E1 691 655 633 648 842
E2 691 645 605 587 579
Nilai COD (mg/L) E3 E4 691 691 636 591 558 465 506 405 421 316
K 691 655 623 587 547
Terjadinya layu atau mati pada tanaman uji saat penelitian pendahuluan berpengaruh dalam nilai COD yang diamati. Kematian tanaman uji dapat disebabkan karena semakin berkurangnya nutrien dalam media tanam dan juga efek dari kandungan unsur-unsur yang kompleks serta jumlahnya yang terlalu tinggi sehingga tanaman uji tidak mampu untuk melakukan proses penyisihan air limbah atau untuk sekedar beradaptasi. Hal itu menyebabkan nilai COD malah bertambah naik pada akhir penelitian pendahuluan. Sehingga dari penelitian pendahuluan tersebut didapatkan nilai konsentrasi limbah maksimum sebesar 0,01 gr/L dan kepadatan tanaman uji optimum adalah 40 mg/cm2. Pengaruh variasi yang digunakan terhadap perubahan konsentrasi warna Untuk penelitian utama, yaitu pengaruh variasi terhadap perubahan warna, COD dan pH. Konsentrasi limbah dan kepadatan optimum tanaman menggunakan hasil dari penelitian pendahuluan. Konsentrasi limbah zat warna yang digunakan dengan nilai konsentrasi limbah maksimumnya, yakni
sebesar 0,01 gr/L. Dan untuk konsentrasi selanjutnya dengan penurunan 50% berturutturut adalah 0,005 gr/L dan 0,0025 gr/L. Sedangkan untuk kepadatan tanaman yang digunakan, yakni sebesar 40 mg/cm2. Dari Tabel 5 terlihat kecenderungan nilai warna turun dari awal waktu pengambilan sampel ke waktu pengambilan berikutnya pada semua reaktor. Penurunan warna terlihat terjadi secara bertahap baik pada reaktor kontinu ataupun pada reaktor kontrol, tetapi pada reaktor kontrol penurunan warna cenderung lebih rendah daripada penurunan warna pada reaktor yang ditanami tanaman uji. Pada hari pertama dalam konsentrasi yang sama terlihat penurunan di reaktor eceng gondok – kayu apu lebih tinggi daripada di reaktor kayu apu – eceng gondok, dapat dilihat pada Tabel 5. Reaktor EA1 yang berwarna merah lebih cepat penurunannya daripada grafik reaktor AE1 yang berwarna kuning. Hal yang relatif sama terjadi pada reaktor dengan konsentrasi limbah warna yang lainnya. Tingkat penurunan terbesar terjadi pada reaktor EA1 yang berwarna merah, walau nilai warna terendah terjadi dalam reaktor EA3 yang berwarna biru. Dapat disimpulkan bahwa pada tiap-tiap reaktor baik reaktor dengan tanaman uji atau reaktor kontrol terjadi penurunan nilai warna akibat adanya proses removal warna. Removal warna terjadi diakibatkan oleh beberapa proses fisik, kimiawi dan biologis yang terjadi dalam reaktor. Proses fisik yang terjadi adalah karena proses sedimentasi partikel-partikel tersuspensi ataupun koloid partikel padat dalam air limbah karena gaya gravitasi bumi dan berat jenis partikel tersuspensi yang lebih besar daripada berat jenis partikel air limbah. Proses ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya sedimen di dasar bak reaktor, baik yang terdapat tanaman atau yang tidak terdapat tanaman.Proses fisik-kimiawi yang terjadi adalah terjadinya adsorpsi oleh tanaman terhadap koloida padat karena
Suronegoro, Bioremoval Pewarna Tekstil
adanya gaya tarik-menarik antar partikel (gaya Van der Waals). Proses kimiawi yang terjadi karena penguraian atau perubahan bentuk senyawa organik yang kurang stabil oleh pengaruh radiasi sinar UV, oksidasi dan reduksi. Proses biologis yang terjadi adalah absorpsi unsur-unsur hara yang diperlukan oleh tanaman uji dan proses metabolisme mikroorganisma dalam air limbah dan akar tanaman. Pengaruh Variasi Yang Digunakan Terhadap Perubahan Nilai COD Dari Tabel 6 terlihat adanya kecenderungan bahwa semakin besar konsentrasi limbah zat warna, makin besar nilai COD-nya. Misalnya, pada reaktor dengan konsentrasi limbah 0,01 gr/L nilai COD-nya sebesar 1.185 mg/L COD dan pada reaktor dengan konsentrasi limbah 0,0025 mg/L nilai COD-nya sebesar 494 mg/L COD. Hal ini dikarenakan dalam larutan warna limbah terdapat bahan-bahan organik, sehingga semakin besar (pekat) konsentrasi limbah zat warna buatan semakin tinggi nilai COD-nya. Nilai COD pada konsentrasi limbah yang sama tampak lebih besar penurunannya pada rangkaian reaktor eceng gondok–kayu apu daripada rangkaian reaktor kayu apu–eceng gondok pada hari pengamatan yang sama. Misalnya tampak pada reaktor EA1 dan AE1 pada awal pengamatan dengan konsentrasi COD sebesar 1.185 mg/L COD, pada hari ke empat pengamatan menjadi masing-masing berurutan pada EA1 dan AE1 adalah 744 dan 1.023. Nilai COD terkecil yang mampu dihasilkan adalah pada reaktor EA3 dengan nilai 91 mg/L COD yang terjadi pada hari ke14 pengamatan. Tetapi jenis mikroorganisma dalam reaktor dengan tanaman air lebih banyak (Polprasert, 1989). Pengaruh Variasi Terhadap Nilai pH
Yang
digunakan
Pengukuran pada awal percobaan memperlihatkan kalau pH berada pada range yang hampir sama pada tiap-tiap konsentrasi
83
yang berbeda, yaitu antara 8,8 – 8,9. Kayu apu memiliki rentang pH yang optimum untuk pertumbuhannya antara 6,5 – 8 (Vesely et al., 2011). Nilai pH pada awal percobaan tentunya berada di luar range kriteria optimum untuk pertumbuhan kayu apu tersebut. Sedangkan pertumbuhan eceng gondok mempunyai pH optimum sebesar 7,5 –9,5 (Gopal, 1987). Berarti nilai pH pada pengukuran awal berada di dalam range yang menunjang pertumbuhan eceng gondok. Nilai pH pada semua reaktor relatif mengalami penurunan dari awal hingga akhir penelitian. Selama berlangsungnya penelitian, penurunan pH relatif lebih tajam terjadi pada reaktor yang terdapat tanaman uji daripada reaktor kontrol yang tidak terdapat tanaman uji. Penurunan pH yang terjadi pada reaktor kontrol K1 – K3 antara 0,6 – 0,8. Sedangkan pada reaktor dengan tanaman uji di dalamnya mempunyai rentang penurunan pH antara 1,4–1,6. Pengamatan dari Tabel 7 memperlihatkan kalau pH nilainya berfluktuasi dengan range yang tidak begitu lebar dari awal pengamatan hingga hari terakhir pengamatan. Nilai pH terendah terjadi pada reaktor EA3 pada hari terakhir pengamatan, yakni 7,2. Dari pengamatan tersebut dapat terlihat tidak terdapat hubungan antara perubahan konsentrasilimbah zat warna buatan dengan perubahan nilai pH. Nilai pH cenderung dipengaruhi oleh faktor tanaman dan mikroorganisma yang terdapat dalam bak dalam rangkaian reaktor tersebut. Dapat dilihat beberapa kecenderungan yang terjadi, yaitu :Perubahan nilai pH tidak berhubungan dengan perubahan konsentrasi limbah zat warna yang ada. Perubahan pH yang ada lebih cenderung disebabkan oleh aktifitas tanaman uji yang terdapat dalam bak dalam tiap rangkaian reaktor yang ada. Pada reaktor dengan rangkaian eceng gondok – kayu apu range penurunan pH relatif lebih sedikit daripada reaktor dengan rangkaian kayu apu – eceng gondok. Perbedaan itu disebabkan perbedaan kemampuan tanaman terhadap pH.
84
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 76-86
Kayu apu dan mikroorganisma cenderung untuk menurunkan nilai pH, sedangkan eceng gondok cenderung untuk menaikkan nilai pH. Fakta-fakta tersebutbersesuaian dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, yaitu: bak yang ditanami kayu apu memiliki kemampuan untuk menurunkan nilai pH (Mercado dan Vega,1975), dan eceng gondok memberi kontribusi terhadap
Tabel 5 Perubahan Nilai Warna Nilai Warna (mg/L) AE2 EA3 AE3
Hari Ke
EA1
AE1
EA2
K1
K2
K3
0
0,425
0,425
0,1970
0,1970
0,1024
0,1024
0,4255
0,1970
0,1024
1
0,346
0,3940
0,1576
0,1812
0,0788
0,0867
0,4097
0,1891
0,0945
4
0,267
0,3546
0,1182
0,1655
0,0630
0,0788
0,3703
0,1733
0,0867
6
0,220
0,3230
0,0867
0,1261
0,0552
0,0630
0,3624
0,1655
0,0788
8
0,189
0,2758
0,0788
0,1103
0,0473
0,0552
0,3388
0,1497
0,0709
11
0,157
0,2364
0,0709
0,1024
0,0315
0,0473
0,3230
0,1339
0,0630
14
0,133
0,1655
0,0473
0,0709
0,0158
0,0236
0,2600
0,1103
0,0552
Tabel 6 Perubahan Nilai Konsentrasi COD Hari Ke
EA1
AE1
EA2
AE2
0 1 4 6 8 11 14
1.185 1.000 744 608 526 449 364
1.185 1.091 1.023 911 737 629 455
790 636 465 344 316 270 182
790 718 651 506 453 404 273
Nilai COD (mg/L) EA3 AE3 494 409 326 253 211 180 91
494 436 372 304 263 225 136
K1
K2
K3
1.185 1.136 1.023 1.013 947 899 727
790 745 707 658 579 539 455
494 455 419 405 389 360 318
Tabel 7. Perubahan nilai pH Nilai pH Hari Ke EA1 AE1 EA2 AE2 EA3 0 8,9 8,9 8,8 8,8 8,8 1 8,8 8,7 8,9 8,6 8,6 4 8,5 8,4 8,4 8,3 8,4 6 8,2 8,1 8,2 8,0 8,1 8 8,0 7,9 7,9 7,8 7,9 11 7,7 7,6 7,6 7,5 7,6 14 7,5 7,4 7,4 7,3 7,4 Keterangan: EA1 : reaktor eceng gondok & kayu apu konsentrasi limbah 0,01 gr/L AE1 : reaktor kayu apu & eceng gondok konsentrasi limbah 0,01 gr/L EA2 : reaktor eceng gondok & kayu apu konsentrasi limbah 0,005 gr/L AE2 : reaktor kayu apu & eceng gondok konsentrasi limbah 0,005 gr/L EA3 : reaktor eceng gondok & kayu apu konsentrasi limbah 0,0025gr/L AE3 : reaktor kayu apu & eceng gondok konsentrasi limbah 0,0025gr/L K1 : reaktor kontrol 0,01 gr/L K2 : reaktor kontrol 0,005 gr/L K3 : reaktor kontrol 0,0025 gr/L
kenaikan pH, hal itu disebabkan jumlah penyerapan proton yang dilakukan eceng gondok relatif melebihi hasil proton proses
AE3 8,8 8,6 8,2 7,9 7,7 7,4 7,2
K1 8,9 8,9 8,7 8,6 8,6 8,4 8,3
K2 8,8 8,8 8,6 8,5 8,4 8,2 8,0
K3 8,8 8,8 8,7 8,6 8,5 8,3 8,1
mikrobial (Mangkoediharjo, 2002). Selain itu, penurunan pH pada media dapat disebabkan karena adanya gas yang dihasilkan oleh
Suronegoro, Bioremoval Pewarna Tekstil
mikroorganisma yang terdapat pada media (Dwidjoseputro, 1980). Gas-gas yang timbul sebagai hasil pembongkaran (fermentasi, respirasi) oleh mikroorganisma dapat berupa karbondioksida (CO2), hidrogen (H2). 4.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah:Tanaman air yang digunakan memiliki kemampuan untuk menurunkan warna dan COD limbah zat warna buatan yang digunakan dalam penelitian ini. Rangkaian reaktor eceng gondok – kayu apu memiliki kemampuan menurunkan yang lebih baik daripada reaktor kayu apu – eceng gondok. Prosentase removal terbaik dicapai rangkaian reaktor eceng gondok – kayu apu pada konsentrasi limbah zat warna 0,0025 gr/L, yaitu : Prosentase removal COD = 81,59 % , Prosentase removal warna = 84,62 % . Dibanding dengan removal terbaik yang dicapai rangkaian kayu apu – eceng gondok pada konsentrasi limbah zat warna 0,0025 gr/L sebesar : Prosentase removal COD = 72,39 % , Prosentase removal warna = 76,92 %. Laju penyisihan warna dan COD oleh tanaman saja terbaik dicapai tanaman pada rangkaian reaktor eceng gondok – kayu apu pada konsentrasi limbah 0,01 gr/L, yaitu :Laju penyisihan COD rata-rata = 25,97 mg/L/hari, Laju penyisihan warna rata-rata = 0,0090 mg/L/hari. Dibanding dengan laju penyisihan yang dicapai rangkaian kayu apu – eceng gondok pada konsentrasi limbah zat warna 0,01 gr/L sebesar : Laju penyisihan COD ratarata = 19,48 mg/L/hari, Laju penyisihan warna rata-rata = 0,0068 mg/L/hari.Variasi konsentrasi limbah zat warna quinone berpengaruh terhadap kemampuan removal warna oleh tanaman. Pada konsentrasi 0,01 gr/L quinone penyisihan tertinggi dicapai oleh reaktor eceng gondok – kayu apu dengan efisiensi 68,52 %; pada konsentrasi 0,005 gr/L dicapai oleh reaktor eceng gondok – kayu apu dengan
85
efisiensi 76 %; dan pada konsentrasi 0,0025 gr/L dicapai oleh reaktor eceng gondok – kayu apu dengan efisiensi 84,62 %. Perubahan nilai pH tidak terpengaruh perubahan nilai konsentrasi limbah zat warna yang diujikan atau urutan rangkaian reaktor tanaman, tetapi terpengaruh aktifitas tanaman uji dan mikroorganisma dalam reaktor. Nilai pH cenderung semakin turun hingga hari terakhir penelitian. Nilai pH terendah dicapai reaktor kayu apu – eceng gondok pada konsentrasi limbah zat warna 0,0025 gr/L, yaitu 7,2. DAFTAR PUSTAKA Alaerts, G., dan Santika, S.S. (1987) Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional Indonesia, Surabaya. Chantiratikul, A., Atiwetin, P., Chantiratikul, P. (2008). Feasibility of Producing Selenium-Enriched Water Lettuce (Pistia stratiotes L.). Journal of Biological Science. 3(8). 644-648. Dwijoseputro, D. (1980) Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT. Gramedia, Jakarta. Gopal, B. (1987) Water Hyacinth. Elsevier Science Publisher B.V., Khiatuddin, M. (2003). Melestarikan Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta Kusumawati, Y. (2005). Biodegradasi Pewarna Tekstil Bergugus Quinone Oleh Bakteri Tanah. Laporan Tugas Akhir. Jurusan Teknik Lingkungan ITS, Surabaya. Mangkoedihardjo, S. (2002). Efek Zat Organik Air Limbah Terhadap Pertumbuhan Eceng Gondok. Disertasi. Program Pasca Sarjana Unibraw, Malang.
86
Jurnal Purifikasi, Vol. 13, No. 1, Juli 2012: 76-86
Mercado, B.L., dan Vega, M. (1975). Biology and Control Water Lettuce (Pistia stratiotes L.). Sooknah, R.D. dan Wilkie, A.C. (2004). Nutrient Removal by Floating Aquatic Macrophytes Cultured in Anaerobically Digested Flushed Dairy Manure Wastewater. Polprasert, C. (1989). Organic Waste Recycling. Environmental Engineering Division Asian Institute Technology, Bangkok, Thailand.
Soemantojo, Antara Dalam Gondok. 17 (2).
R.W. (1997). Kesetimbangan Pertumbuhan Dan Panenan, Rangka Pemanfaatan Eceng Lingkungan Dan Pembangunan.
Vesely, T., Tlustos, P., Skacova, J. (2011). The used of water lettuce (Pistia stratiotes) of rhizofiltration of highly polluted solution by cadmium and lead. International Journal of Phytoremediation. 13:859-872.