Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected] PENGALAMAN SEJATI
Penyiksaan, Pelecehan, dan Skizofrenia Oleh Hady Sucarsa Namaku Hady, laki-laki, 27 tahun. Aku besar di kota Jakarta yang juga kota kelahiranku. Masa kecilku biasa saja, seperti anakanak pada umumnya. Bermain dan bercanda riang dengan kawan-kawanku setiap hari, walaupun aku sebenarnya menghadapi hal yang tidak mudah pada waktu itu. Ayahku adalah seorang otoriter. Ia menyiksaku dengan ikat pinggangnya jika aku melakukan kesalahan yang tidak diinginkannya. Namun, pada saat usiaku tujuh tahun, ayahku meninggal dunia. Aku belum mengerti apa-apa waktu itu, walaupun akhirnya aku merasa kehilangan juga. Setelah ayahku wafat, keluargaku jatuh dalam ketidakmampuan ekonomi. Untuk tetap menghidupi anak-anaknya, ibuku berjualan nasi uduk. Setiap pagi aku harus berkeliling menjajakan nasi uduk bungkus kepada para tetangga di sekitar rumah. Setiap pulang berjualan nasi uduk, aku pergi mengaji ke salah satu tempat ibadah yang berada di Jakarta Timur. di sana ada seorang ustadz yang sangat baik sikapnya kepadaku. Sebut saja namanya Ustadz SY. SY sangat perhatian kepadaku, aku seperti menemukan figur seorang ayah yang seharusnya. Dia sering bermain ke rumahku. Juga tidak jarang aku sering diajak untuk menemui anak dan istrinya yang tinggal di suatu daerah di Jawa Barat. Pada suatu hari, aku kembali diajak untuk menemui keluarga Ustadz SY di kampung. Karena hari bergeser menjadi larut, aku masuk ke dalam kamar tamu untuk tidur. Di saat aku terlelap, tiba-tiba ada
1
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
sosok yang sedang menggerayangi tubuhku. Setelah aku terjaga dengan sempurna aku melihat sosok SY yang sedang mencumbui diriku. Seketika itu aku dipaksa untuk melayani nafsu bejatnya. Padahal ketika itu usiaku baru beranjak 8 tahun. Mengawali masa remaja, aku bisa melupakan trauma dalam kehidupanku. Aku tumbuh menjadi remaja yang aktif dan selalu ceria. Aku punya banyak teman. Pada masa transisi ini aku aktif di berbagai organisasi sekolah. Dan dalam perjalanan menuju dewasa aku diterima di salah satu universitas yang berada di Jakarta, pada jurusan Manajemen Informatika. Dalam tahapan kehidupan ini, sedikit demi sedikit karakterku mulai nampak di masyarakat. Dalam keseharian aku melakukan hal-hal yang aku suka, seperti mendengarkan musik, membaca, jalan-jalan dengan teman-teman, chatting, dan bertemu teman baru. Pada masa ini aku mulai suka mendengarkan sesuatu yang inspiratif seperti kalimat-kalimat penyiar di radio. Seorang penyiar, macam Indy Barends, sangat mempengaruhi hidupku. Mungkin karena sering mendengar siaran radio, aku tumbuh menjadi seorang lelaki yang kreatif, fun, dan juga diberi gelar “Joker” oleh teman-temanku karena seringnya aku memberikan joke-joke yang segar untuk mereka. Selain sosok seperti itu, aku juga tumbuh menjadi seorang pendengar yang baik. Hal yang membuatku mudah untuk mendapatkan teman baru. Yang pasti, pada saat itu, aku merasakan kepribadianku lebih “hidup”. Dan pada saat ini pula aku merasakan indahnya jatuh cinta. Cinta yang membuat hidup jadi berbeda. Setelah lulus kuliah, aku diterima bekerja di sebuah kantor akuntan publik yang berada di Jakarta. Karirku cukup stabil, tetapi obsesiku kali ini muncul, aku ingin menjadi penyiar radio karena aku yakin bakatku memang di situ. Waktu itu, untuk mengikuti kelas penyiar radio yang bagus diperlukan biaya yang besar. Sehingga pada tahun 2004 aku pindah bekerja ke salah satu tempat hiburan, yang masih terletak di Jakarta. Di sini aku mendapatkan salary yang cukup besar sehingga kali ini aku mampu untuk mendaftar pada kelas penyiar radio yang aku inginkan. Setelah kelas penyiar radionya selesai, aku kuliah lagi hingga tingkat sarjana, kali ini di jurusan Sistem Informasi. Lalu muncullah peristiwa yang menjadi titik balik hidupku. Peristiwa yang terjadi pada suatu senja di bulan Januari 2005, di tempat kerjaku, di tempat hiburan itu. Waktu itu ada karyawan di tempatku bekerja yang kesurupan. Saat karyawan yang sedang kesurupan itu ditangani oleh beberapa ulama, tiba-tiba leherku bergetar kencang, seperti ada angin dingin yang berusaha masuk melalui leher sebelah kiriku. Aku seketika diserang ketakutan. Aku berlari ke sana ke mari, seraya meminta
2
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
bantuan kepada orang yang ada. Lalu aku jatuh, dan tubuhku seperti kemasukan setan yang tertabrak di lampu merah. Lalu beberapa saat kemudian aku seperti setan gagu, mengeluarkan suara yang bukan berupa kata-kata. Beberapa ustadz menolongku dengan lantunan ayatayat Al-Quran. Pandanganku semakin buram. Aku tidak dapat mengendalikan diriku. Dalam keadaan seperti itu aku diantar pulang oleh beberapa temanku. Sesampainya di rumah, aku semakin gelisah, aku seperti didatangi malaikat pencabut nyawa. Aku merasa sesaat lagi maut akan menjemputku. Aku berkali-kali menyebutkan ayat-ayat suci Al-Quran. Berkali-kali pula aku mengulurkan tangan untuk meminta maaf kepada setiap orang. Kegelisahanku semakin memuncak, aku semakin takut jika aku benar-benar akan mati, karena pikiranku berkilas-balik ke masa lalu. Semua dosa-dosaku, kesalahanku, kenakalanku, semua terlintas berulang-ulang di pikiranku. Aku semakin panik dan takut, kemudian keluargaku membawaku pergi, yang belakangan kusadari dibawa ke rumah sakit. Ketika berjalan menuju mobil, aku melihat matahari terbenam, yang membuatku berpikir bahwa pintu tobat sudah tertutup. Ketika itu aku yakin bahwa aku akan masuk ke neraka. Sementara itu, kesalahan-kesalahanku yang sudah kuperbuat sering terlintas di pikiranku. Setibanya di rumah sakit, aku kembali ketakutan, karena malaikat pencabut nyawa mengikutiku. Setiap kali melihat tirai ia berdiri di sana. Tentu saja aku semakin ngeri. Kesehatanku kemudian diperiksa. Tapi entah kenapa aku kemudian dibawa pulang, padahal jantungku berdebar sangat keras. Aku kedinginan dan pandanganku menjadi kabur. Sesampainya di rumah, aku tidak bisa tidur sedetik pun. Aku semakin gelisah, kali ini tanpa bisa menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Esok paginya bicaraku sudah mulai tidak teratur. Di dalam pikiranku terlintas masa-masa bahagia yang sudah aku lalui. Sesekali aku tersenyum mengenangkannya. Tapi aku tak mengerti kenapa seluruh keluargaku menangis. Menjelang siang, beberapa “orang pintar” datang ke rumahku. Mereka mencoba menolongku. Pada saat itu aku merasa bahwa aku harus ditolong sebelum jam 12 siang, karena kalau tidak, aku akan dibawa pergi oleh makhluk halus. Setelah makan siang, bicaraku semakin tidak karuan. Aku kian lama kian merasa bahwa makhluk halus itu memang benar-benar akan membawaku pergi. Tapi kali ini nampaknya ada makhluk halus lain yang akan menolongku, namanya Demang Mester. Keadaanku semakin parah, aku mulai mendengar bisikan-bisikan yang membuatku semakin bingung. Karena mendengar bisikan-bisikan
3
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
itu aku menjadi takut kepada setiap orang yang berada di sekitarku. Aku juga takut melihat rumahku, karena seolah-olah rumahku sudah menjadi tempat tinggal makhluk halus. Saat ditolong oleh keluargaku, aku berontak, berusaha melepaskan diri dari cengkraman. Bahkan aku meludahi mereka, karena aku merasa mereka sudah bersekongkol dengan setan-setan itu yang akan menjadikan aku tumbalnya. Aku mengamuk dengan sangat hebat, dan kali ini keluargaku membawaku ke tempat perawatan psikiatrik dan bukan unit rawat jalan umum. Aku kembali mengamuk dengan sangat hebat di bangsal psikiatri. Yang aku pikirkan, aku harus masuk ke tempat ibadah, agar aku bisa bersujud memohon pertolongan Tuhan Yang Maha Esa, karena aku sudah merasa menjadi bagian dari setan yang laknat. Tapi kemudian datang beberapa dokter yang menyuntikkan sesuatu ke dalam tubuhku. Lalu aku tidak sadarkan diri. Ketika siuman, aku merasa sedang berada di neraka. Tapi aku mulai mengenali satu-satu keberadaan keluargaku. Aku dirawat selama empat hari, setelah itu aku diizinkan pulang. Di rumah, kerjaku hanya melamun; pandanganku jauh menerawang, pandanganku kosong. Masa depanku nampaknya sudah hancur. Tapi untuk membuang waktu, aku kembali masuk kuliah. Di kampus aku tidak dapat sepenuhnya mengikuti pelajaran, dan gaya bicaraku masih kikuk. Namun segalanya dapat dilalui, dalam jangka waktu setahun setelah itu, aku sidang skripsi, dan aku dinyatakan lulus. Gelar sarjana berhasil aku raih. Namun keadaan sudah jauh berbeda. Dulu aku adalah penghibur tapi kini aku adalah seorang pemurung. Dulu aku ceria, tapi kini menjadi pemarah. Yang membuatku semakin bertambah sedih, temanku menjauh dariku, dan aku mulai kehilangan mereka satupersatu. Aku, sejak perawatan di bangsal psikiatri itu, tetap rutin minum obat. Dan kini, setelah empat tahun berlalu, keadaan jauh lebih baik. Aku kembali ke rutinitasku: membaca, mendengarkan musik, berenang, dan menonton acara yang lucu-lucu. Bahkan kini aku punya usaha yang lumayan maju. Aku menyuplai beberapa makanan kecil ke beberapa koperasi di pabrik-pabrik. Dan dari pekerjaanku dan keseluruhan hidupku itu aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Bahwa perubahan harus diusahakan dengan ikhtiar. Tanpa hal itu semuanya hanyalah mimpi yang takkan pernah jadi nyata.
4
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected] NASIONAL
Kematian di Panti Laras adalah Pelanggaran Hak Warga Negara Oleh dr. Irmansyah, SpKJ(K)
Para warga binaan sosial yang sedang berjemur di terik matahari. Menurut Kepala Panti Daan Mogot, aktivitas berjemur dilakukan untuk menghilangkan penyakit kulit. Kematian yang seharusnya bisa dicegah terjadi di dalam institusi pemerintah. Seorang penderita psikotik yang berada dalam Panti Laras Ceger, Jakarta Timur, meninggal dunia setelah menderita diare berat selama 3 hari. Kematian tersebut seharusnya bisa dicegah bila pengobatan optimal diberikan sejak hari pertama sakit. Yang mengenaskan, Panti Laras tidak memiliki obat dan fasilitas untuk menangani penderita ini, sementara tempat tidur di RS Duren Sawit yang menjadi RS rujukan bagi Panti Laras sudah penuh. Selama beberapa hari penderita psikotik yang mengalami diare ini dibiarkan sakit dan akhirnya menemui ajal. Kemudian terungkap bahwa kematian ini bukan yang pertama. Dari hasil Rapat Koordinasi Merespon Berbagai Berita di Media tentang Banyaknya Penghuni Panti Sosial yang Meninggal Dunia
5
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
terungkap bahwa pada tahun 2007 ada 104 kematian, pada tahun 2008 ada 194 kematian, dan pada tahun 2009 ada 61 kematian, termasuk di RS Duren Sawit sebagai RS rujukan bagi keempat panti itu. Angka ini mengejutkan. Apa lagi jika dilihat penyebab kematian umumnya adalah malnutrisi, anemia berat, infeksi kronis dan diare, penyakit-penyakit yang seharusnya bisa diobati. Patut dipertanyakan mengapa selama ini jumlah kematian yang luar biasa ini luput dari perhatian? Apakah karena penghuni Panti Laras adalah penderita gangguan jiwa, berasal dari mereka yang menggelandang dan tidak ada keluarga? Kejadian ini memberi indikasi yang jelas akan adanya pengabaian atas hak konsumen layanan kesehatan jiwa untuk mendapat layanan yang optimal atas penyakit jiwa maupun penyakit fisik yang diderita. Atas kematian yang terjadi, jelas nampak telah terjadi pelanggaran yang lebih serius yaitu pelanggaran terhadap hak hidup penderita. Pemerintah gagal dalam pemberikan perlindungan terhadap penghuni Panti Laras dan mengabaikan hak hidup mereka. Mengingat model penanganan dan fasilitas yang seragam, kematian yang terjadi di Panti Laras, mungkin juga terjadi di panti sejenis yang dikelola pemerintah melalui Departemen atau dinas sosial yang jumlahnya mencapai puluhan di seluruh negara Indonesia ini. Bila di Jakarta yang memiliki fasilitas lebih banyak dan lengkap kematian masih banyak terjadi, bagaimana dengan panti-panti sejenis di daerah lain? Pengabaian hak hidup dan hak untuk mendapatkan pengobatan yang optimal juga terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Banyak penderita gangguan psikiatri berat (misalnya orang dengan skizofrenia) yang dipasung atau dibiarkan terlantar dan menggelandang. Ada yang langsung dipasung oleh keluarga dan masyarakat karena dianggap menderita penyakit yang membahayakan dan ada yang dipasung setelah keluarga tidak mampu mengobati pasien. Secara keseluruhan di Indonesia dipercaya terdapat ribuan penderita mengalami pemasungan atau cara isolasi lain yang tidak manusiawi, sangat merendahkan martabat dan melanggar prinsip dasar hak azasi manusia. Pemasungan dan penelantaran para konsumen layanan kesehatan jiwa ini umumnya terjadi karena dua hal. Pertama, karena pengetahuan yang salah dari masyarakat tentang gangguan jiwa, dan kedua karena akses pengobatan yang sulit. Pemerintah gagal memberikan informasi yang sesuai terhadap masyarakat umum, sehingga hingga kini banyak anggota masyarakat memperlakukan penderita dengan salah, dan tidak mengobati dengan sungguhsungguh yang membawa penderita semakin jauh dari kesembuhan. Akses penderita terhadap layanan kesehatan sangat sulit, mengingat
6
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
hampir semua Rumah Sakit Jiwa terletak di ibukota propinsi. Obat untuk penderita tidak tersedia di layanan primer, bila ada dengan jumlah yang sangat sedikit dan sangat ketinggalan zaman. Banyak layanan primer (puskesmas) dan rumah sakit umum yang menolak mengobati penderita dengan alasan tidak memiliki kemampuan. Karena tidak mendapatkan hak mendapat pengobatan atas penyakitnya, serta penolakan masyarakat dan keluarga terhadap penderita maka banyak penderita yang akhirnya menggelandang. Berbagai kondisi yang buruk dihadapi oleh penyandang gangguan jiwa ini selama menggelandang. Mereka berhadapan dengan berbagai penyakit infeksi karena tidur dan makan di lingkungan yang buruk. Mereka juga tidak mendapatkan makan yang cukup. Mereka juga jelas tidak mendapat kesempatan untuk menjaga kebersihan diri sehingga sangat rentan menderita berbagai penyakit. Di kota-kota besar seperti di Jakarta sebagian dari mereka terjaring operasi penertiban dan akhirnya menjadi penghuni Panti Laras sebagai penyandang masalah sosial. Sayangnya dalam menangani penderita, Panti Laras lebih menekankan pada penanganan masalah sosial dan kurang menekankan pada masalah kesehatan. Padahal jelas bahwa panti-panti tersebut memang ditujukan untuk menangani orang terlantar (gelandangan) yang menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam berbagai kesempatan petugas panti mengakui bahwa para penghuni yang baru saja datang dari hasil penertiban, selain mengalami gangguan kesehatan jiwa juga telah mengalami berbagai gangguan kesehatan fisik yang serius. Jadi penghuni panti mengalami masalah kesehatan yang bertumpuk sehingga sudah seharusnya mendapatkan layanan kesehatan yang optimal selama di dalam panti. Namun berbagai kendala fasilitas dan tenaga menjadi alasan mengapa penanganan kesehatan para penghuni selama di panti tidak optimal. Selain itu panti-panti menyerahkan penanganan masalah kesehatan yang serius pada rumah sakit rujukan. Sayangnya sistim rujukan juga bermasalah. Selama ini keempat panti di Jakarta, hanya merujuk ke RS Duren Sawit yang menetapkan kuota terbatas untuk merawat penderita gangguan jiwa dari panti. Akibatnya banyak penderita yang memerlukan perawatan di rumah sakit menjadi tertunda karena alasan keterbatasan tempat. RS Duren Sawit kadang merujuk ke RS Umum lain untuk mendapatkan perawatan atas penyakit fisik lain. Namun dari keterangan berbagai sumber RS Umum lain sering menolak merawat pasien dari panti dengan alasan untuk penderita gangguan jiwa sering mengganggu pasien lain sehingga mengurangi kenyamanan rumah sakit. Pelayanan kesehatan yang kurang memadai di dalam panti, penolakan RS rujukan karena keterbatasan tempat, serta penolakan
7
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
RS lain untuk merawat dan mengobati penderita gangguan jiwa dari Panti Laras adalah bentuk pelanggaran yang nyata terhadap hak warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan. Pengabaian terhadap masalah ini yang telah berlangsung lama mengakibatkan jatuhnya korban meninggal yang cukup banyak. Atas adanya berbagai pelanggaran terhadap hak-hak dasar warga negara, dalam kasus ini terhadap konsumen layanan kesehatan jiwa, maka Perhimpunan Jiwa Sehat mengharapkan berbagai pihak menaruh perhatian yang serius terhadap masalah ini. Selanjutnya kami berharap agar lembaga-lembaga negara mendesak pihak-pihak yang terkait dengan masalah ini untuk segera memperbaiki layanan kesehatan terhadap konsumen layanan kesehatan jiwa dengan memperhatikan beberapa rekomendasi di bawah ini. Terhadap masalah banyaknya kernatian di panti-panti sosial: 1. Memperbaiki fasilitas layanan kesehatan di panti-panti sosial sehingga memadai untuk menangani jumlah penghuni yang ada. 2. Memperbaiki sistem rujukan sehingga memungkinkan panti merujuk ke RS lain jika RS Duren Sawit yang selama ini menjadi RS rujukan tidak mampu menampung pasien dari panti. 3. Mengingatkan kembali bahwa RS Umum tidak dibenarkan menolak pasien termasuk pasien dengan masalah kesehatan jiwa. 4. Mendesak kerjasama antar instansi khususnya antara dinas sosial dengan dinas kesehatan. Dengan kerja sama yang baik diharapkan panti laras yang berada di bawah dinas sosial tetap masuk masuk dalam sistem kesehatan, untuk memastikan layanan kesehatan yang optimal bagi penghuni panti. 5. Meningkatkan program rehabilitasi untuk mengembalikan penghuni panti pada keluarga dan pada kehidupan normal di tengah masyarakat. Terhadap penanganan masalah kesehatan jiwa secara umum: 1. Agar pemerintah dan instansi terkait memberikan informasi yang terus menerus tentang berbagai masalah kesehatan jiwa sehingga terbentuk sikap yang positif dari masyarakat terhadap konsumen layanan kesehatan jiwa. 2. Memastikan bahwa konsumen layanan kesehatan jiwa mendapatkan perlakuan yang sama dengan konsumen layanan kesehatan fisik lainnya. 3. Memberikan akses yang mudah terhadap konsumen layanan kesehatan jiwa untuk memperoleh layanan kesehatan yang optimal. 4. Untuk menjamin akses yang mudah maka layanan kesehatan primer (puskesmas) dan rumah sakit umum di tingkat kabupaten harus mampu memberikan layanan kesehatan jiwa. 5. Masalah kesehatan jiwa adalah masalah yang kompleks, karenanya pemerintah harus terus meningkatkan kerjasama lintas sektoral.
8
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
6. Perlu dibentuk institusi nasional yang bertanggungjawab untuk memastikan layanan kesehatan yang optimal bagi konsumen layanan kesehatan jiwa. 7. Perlu dilahirkan Undang-Undang Kesehatan Jiwa untuk memastikan perlindungan yang menyeluruh terhadap hak-hak konsumen layanan kesehatan jiwa serta pelayanan kesehatan yang optimal untuk mereka.
RESENSI BUKU
Seorang Kontributor Oxford English Dictionary adalah Penderita Skizofrenia? Oleh Lili Suwardi Kereta kuda yang dikendarai oleh James Murray, editor Oxford English Dictionary, menyusuri jalan pedesaan Berkshire. Ia hendak menemui salah satu kontributor kamus itu. Selama ini dia sangat terheran-heran mengapa orang yang begitu rajin membantunya sehingga ia memperoleh berbagai penghargaan nasional dan internasional begitu pemalu untuk menunjukkan diri. Orang itu sudah bekerja selama dua dasawarsa untuk kamus unggul itu, namun ia selalu menolak undangan ke London yang ditawarkan olehnya. Lewat dua puluh menit, kendaraan itu berbelok memasuki jalan yang dihimpit cemara yang tinggi-tinggi, dan akhirnya berhenti di luar rumah bata merah yang besar serta angker. Sang editor diantar ke atas oleh seorang pelayan yang khidmat, memasuki perpustakaan yang dipenuhi deretan buku. Di belakang meja mahogani yang lebar, duduk seorang pria yang jelas tampak berwibawa. Murray membungkuk hormat dan langsung melontarkan sambutan pendek yang telah lama ia latih: “Selamat sore, Sir. Saya James Murray dari London Philological Society, dan editor Oxford English Dictionary. Saya sangat terhormat dan gembira karena akhirnya dapat berkenalan dengan Anda – sebab Anda pasti orang yang telah begitu rajin membantu saya, Dr. W.C. Minor?” Ada jeda sesaat, hening sejenak ketika keduanya merasa risih. Sebuah jam berdetak keras. Suara langkah kaki teredam dari arah lorong. terdengar gemerincing kunci di kejauhan. Kemudian pria di belakang meja itu berdehem, lalu bicara:
9
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
“Sayang sekali, sir, saya bukan dr. Minor. Ini sama sekali tidak seperti yang Anda harapkan. Sebenarnya saya kepala Broadmoor Criminal Lunatic Asylum (Rumah Sakit Jiwa Kriminal Broadmoor). Dr Minor memang berada di sini. tapi dia seorang narapidana. Sudah lebih dari dua puluh tahun ia menjadi pasien di sini. ia penghuni kami yang tinggal paling lama.” Demikianlah pembuka dari buku sejarah ini; buku yang sangat langka, karena isinya tidak hanya melukiskan bagaimana dunia perkamusan Inggris bermula, tapi juga menceritakan tentang William Chester Minor, sang kontributor utama yang menderita skizofrenia, dan James Murray, seorang editor handal bagi kamus besar itu, yang juga adalah seorang doktor bahasa yang melarat. Simon Winchester menulis buku ini dengan sangat apik, dengan ungkapan-ungkapan yang lugas dan bergaya. Amatlah tepat jika mengatakan buku ini adalah buku sejarah semi-sastrawi. Banyak sekali yang menyangka Judul : The Professor and The bahwa buku ini adalah novel, Madman: Sebuah Dongeng tentang karena di sampul depan Pembunuhan, Kegilaan, dan Pembuatan dicantumkan sub-judul ‘Sebuah Oxford English Dictionary dongeng tentang pembunuhan, Penulis : Simon Winchester kegilaan, dan pembuatan Oxford Penerbit : Serambi English Dictionary’. Kata dongeng Tahun Terbit : 2007 membuat beberapa toko buku Tebal : 343 halaman mengiranya sebagai novel, dan Harga : Rp 39.900,karena itu mereka menempatkannya dalam rak novel dan cerpen. Oxford English Dictionary (OED) terbit pertama kali antara tahun 1884-1928, terdiri atas 12 jilid, yang di waktu kemudian ditambahi dengan 5 suplemen (edisi kedua, 1989, terbit dengan 20 jilid). Walaupun harganya luar biasa aduhai akan tetapi ia tetap dibeli oleh kaum berpendidikan dan menjadi penghuni utama bagi semua perpustakaan di dunia yang “berkelas”. Edisi pertama kamus ini mendefinisikan 414.825 kata dan mencantumkan 1.827.306 kutipan
10
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
ilustratif. Definisinya jauh lebih memuaskan daripada kamus Bahasa Inggris pertama karya Robert Cawdrey A Table Alphabeticall (1604), dan rajanya semua kamus di negeri Inggris sebelum kelahiran OED, A Dictionary of English Language (1755) karya Samuel Johnson. Lagipula, para kontributor OED mempersembahkan hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, yaitu penelusuran sejarah kata dan perbandingan bentuk kata dalam Bahasa Inggris dengan semua Bahasa Indo-Eropa (keluarga bahasa yang mencakup bahasa-bahasa di India dan Eropa) yang tidak pernah dilakukan baik oleh Cawdrey maupun Johnson. Juga, OED menampilkan perkembangan sejarah kata itu dalam bentuk contoh-contoh kalimat yang diambil dari banyak buku, koran, majalah, dan berbagai materi tercetak lainnya. Sehingga jika Anda membaca OED Anda tidak hanya mendapati definisi dan etimologi, seperti pada kebanyakan kamus-kamus Bahasa Inggris sekarang, tapi juga tercantum informasi perkembangan penggunaan kata-kata tersebut dari masa ke masa yang dimaktubkan dalam contoh kalimat yang berangka tahun. Contoh-contoh perkembangan penggunaan kata dari masa ke masa yang didefinisikan tersebut adalah keahlian Minor yang layak dipuji. Karena orang lain yang melakukannya tidak sebaik dan seteliti Minor. Bayangkan, bagaimana kita akan mengutip ratusan buku-buku tua hingga modern, mulai dari zaman Geoffrey Chaucer hingga era Victoria dengan hanya menggunakan kertas dan pena? Hal semacam itu di era komputer sekarang mungkin tidak aneh lagi, karena kita dapat membuat indeks dengan mudah. Apalagi search engine di Internet saat ini amatlah canggih, sehingga kita dapat mencari penggunaan suatu kata hanya dengan mengetikkan kata kunci di Google, Yahoo, Bing, dan banyak lagi situs pengindeks lainnya.
Lalu siapakah sebenarnya William Chester Minor? William Chester Minor adalah seorang dokter militer yang berpangkat kapten di masa Perang Saudara di Amerika Serikat. Ia menyaksikan banyak kekejaman perang, sewaktu banyak serdadu sudah muak pada perang dan lebih memilih untuk melarikan diri (desertir) dari militer daripada memenangkan pertarungan. Namun nasib Minor teramat naas, ia adalah seorang dokter yang diperintahkan untuk menjalankan tugas yang tidak berperikemanusiaan. Ia harus menghukum para serdadu Irlandia yang desertir dengan cap besi panas di pipinya. Ia tak kuasa namun ia tetap melakukannya. Ia mendengar para serdadu yang dihukum itu mengucapkan ancaman karena dendam. Yang membuat Minor dihantui oleh perasaan takut yang kian hari kian parah. Minor mulai dihinggapi rasa curiga terhadap kawan-kawan sesama prajurit. Ia menuduh mereka berbisik-bisik membicarakan dirinya,
11
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
melirik-lirik ke arahnya sepanjang waktu. Seorang perwira khususnya mengusik Minor. Ia mulai menggoda Minor, mengolok-olok, memperlakukannya dengan cara-cara yang tidak pernah mau dibahas Minor. Minor menantang orang itu berduel dan mendapat teguran dari komandan benteng. Perwira itu adalah seorang sahabat karib Minor. Baik komandan maupun sang teman nyaris tak percaya hubungan mereka bisa pecah berantakan tanpa alasan yang jelas. Tak seorang pun menjelaskan bahwa sahabatnya tidak sedang menyusun rencana jahat terhadapnya, tidak berkongkalikong, tidak punya niat menyakitinya. tak ada yang dapat meyakinkan Minor. semua hal itu membingungkan, dan teman-teman serta keluarga sangat prihatin. Klimaksnya terjadi pada musim panas 1868. setelah dilaporkan terlalu lama berjemur di bawah matahari Florida, kapten itu mulai mengeluh didera pusing-pusing hebat dan vertigo yang dahsyat. dikawal juru rawat, ia dikirim ke New York, untuk melapor pada unit dan dokter lamanya. Ia diwawancarai, diperiksa, diteliti, dan dicermati. Pada bulan September, jelaslah bahwa dia sakit parah. Untuk pertama kalinya kecurigaan menjadi kepastian, dengan indikasi formal bahwa pikirannya mulai kacau (halaman 109). April berikutnya, para komandan sampai pada kesimpulan yang tidak optimis. Mereka bilang, kemungkinan besar Minor takkan bisa disembuhkan, dan harus secara formal ditempatkan dalam Daftar Pensiunan Tentara. Sidang yang diikuti oleh satu brigadir jenderal, dua kolonel, satu mayor, dan seorang kapten dokter itu berlangsung lama. Mereka mendengarkan sambil berdiam diri, pemaparan dokter demi dokter mengenai kemerosotan anak muda yang dulunya begitu menjanjikan. Mungkin kondisi mental yang dideritanya disebabkan oleh terik matahari Florida, usul seorang dokter; mungkin kondisinya diperburuk oleh matahari itu, usul dokter lain. Barangkali semua itu akibat keterlibatannya dalam perang, salah satu konsekuensi dari halhal mengerikan yang telah disaksikannya. Terlepas bagaimana persisnya gangguan jiwanya timbul, akhirnya dewan sampai pada satu-satunya kesimpulan yang pas untuk menanggapinya, secara administratif. Menurut pendapat resmi Angkatan Darat, William Chester Minor telah sepenuhnya “dibuat cacat oleh hal-hal yang dialaminya selama tugasnya”—dan pernyataan pentingnya — “serta harus segera dipensiunkan” (halaman 113). Minor dirawat di Government Hospital for The Insane di Washington, DC selama beberapa lama. Namun ia kemudian dibebaskan dan diperbolehkan pulang ke rumah. Saat ia di rumah, ia berpikir untuk berlibur dan beristirahat di Eropa. Maka Ia pun pergi ke Eropa dengan kapal laut pada suatu pagi di bulan November. Namun nyatanya di sana penyakitnya semakin parah. Ia sering berteriak-teriak karena orang-orang Irlandia
12
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
mendobrak kamarnya dan menyiksa dirinya. Peristiwa yang terjadi hampir tiap malam, dan itu pasti cukup membuatnya untuk senantiasa tidur dengan menyiapkan revolver di balik bantal. Pada suatu malam yang sunyi seorang Irlandia mendobrak kamarnya lagi. Orang Irlandia itu bermaksud menyiksanya lagi tapi kemudian kabur keluar kamar saat ia mengarahkan revolvernya. Orang itu berlari tergopoh-gopoh di jalan yang lengang. Minor menembak hingga empat kali. Ia menembak sekali lagi, dan akhirnya orang itu rebah bersimbah darah. Minor ditangkap dan diadili. Pemeriksaan-pemeriksaan menunjukkan bahwa ia memang membunuh karena menderita gangguan jiwa. Orang yang dibunuhnya, George Merret, hanyalah seorang juru api di pabrik bir. Ketika peristiwa itu terjadi Merret sedang berangkat menuju tempat kerjanya dan tak pernah mendobrak paksa kamar Minor. Minor kemudian dimasukkan ke Broadmoor Criminal Lunatic Asylum, Inggris. Ia ditempatkan dalam sel yang sama dengan seorang pembunuh lain yang diklasifikasikan sebagai “Terlalu Sakit Jiwa untuk Diadili”. Minor pada April 1879 membaca selebaran pengumuman James Murray, sang editor OED itu, pada selembar kertas bungkus dari barang-barang yang dikirimkan kepadanya. Pengumuman itu mengharapkan ada orang yang bersedia membantu penyusunan kamus besar yang pada waktu itu masih dinamai A New English Dictionary on Historical Principle. Pengumuman itu meminta agar kontributor membaca buku-buku yang mereka kirimkan dan membuat kutipan-kutipan berharga yang diminta. Minor tertarik dan menyurati Murray, dan itulah awal keterlibatannya dalam OED. Minor mengirimkan kutipannya tiap minggu. Kutipan-kutipan yang membuat para kontributor lain ternganga-nganga. Minor dapat memberikan contoh-contoh kalimat dari kata-kata dalam semua derivasinya yang sedang digarap oleh staf OED dengan hasil yang sesuai harapan mereka; yang oleh sebagian orang waktu itu dianggap teramat sukar dan membutuhkan kerja ekstra keras; karena sejak awal ia berniat bergabung dalam proyek OED ia membuat indeks dari semua buku-buku tua miliknya, yang dibelinya dengan uang pensiun dinas militernya, yang besarnya 1200 dollar per tahun. Semula kontribusinya terkalahkan oleh Fitzedward Hall, seorang professor Bahasa Sansekerta yang penyendiri, sulit bergaul, dan berwatak gurat batu. Namun kemudian Minor dapat melampauinya sehingga dalam OED edisi perdana, kutipan-kutipan selama empat abad terakhir sebagian besar berasal dari Minor. Kurang lebih ia menyumbang untuk 10.000 entri. Minor telah membentuk karakter OED yang tidak ditemui pada kamus-kamus lain, yaitu menjelaskan perkembangan bahasa dengan kutipan-kutipannya yang berangka tahun. Hal yang
13
Newsmail Jiwa Sehat JUNI 2009
[email protected]
tetap dipertahankan oleh OED hingga saat ini, dan hal itu membuat editor OED, James Murray, meraih penghargaan di dalam dan luar negeri sebagai penyusun kamus yang memerikan dengan jelas perkembangan sejarah kata-kata. Tangan takdir yang pengasih turut campur. pada tahun 1910, setelah 38 tahun mendekam dalam sel, perdana menteri waktu itu, Winston Churchill, menandatangani Surat Pembebasan dengan syarat Minor “pada waktu pelepasannya akan meninggalkan Inggris dan tidak pernah akan kembali”. Minor pun pulang ke Amerika dengan dijemput oleh adiknya. Namun sistem kesehatan jiwa waktu itu sangat jauh dari ramah, di Amerika ia kembali dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa, kembali di Government Hospital for The Insane di Washington, DC. Setelah melanglang buana ke benua lain, ia akhirnya dimasukkan lagi ke rumah sakit jiwa yang sama. Tahun 1919, keponakannya, Edward Minor mengajukan permohonan kepada Angkatan Darat untuk mengeluarkannya dari RSJ itu ke rumah sakit jiwa khusus manula di Hartford, Connecticut, yang dikenal sebagai The Retreat. Mereka setuju. Minor tidak pernah pulang ke rumahnya. Ia harus menanggung akibat dari gangguan jiwa yang dideritanya di sepanjang hayatnya. Total jenderal, ia dikungkung di dalam rumah sakit jiwa selama 47 tahun. Sebuah kekangan yang mengikis habis kewarasan yang tersisa. Riwayatnya tak dimuat di koran, yang ada hanya berita kematian pendek sepanjang dua baris dalam kolom Deaths dalam New Haven Register. Ia wafat pada usia delapan puluh lima tahun sembilan bulan. Jasadnya dibawa ke kota kelahirannya dan dikebumikan di Evergreen Cemetry, di petak makam keluarga yang dibangun oleh ayahnya, Eastman Strong Minor. Nisannya kecil dan sederhana, batu pasir kemerahan, dan hanya terukir dengan nama William Chester Minor. Pada alas patung di sebelah berdiri malaikat yang menerawangi langit, dengan sebuah gravir, My Faiths Looks Up to Thee (Imanku Khidmat Kepada-Mu). Sebuah pagar tinggi mengitari Evergreen Cemetery, memisahkan makam itu dari salah satu kawasan angker New Haven, jauh dari keanggunan kaum terpelajar. Pagar tersebut menegaskan realita yang ironis dan menyedihkan: dr. William Minor, salah seorang kontributor terbesar kamus Bahasa Inggris paling hebat di dunia, wafat tanpa dikenal, terlupakan, dan dikubur bersebelahan dengan sebuah daerah kumuh. Minor, adalah orang yang ikut menyumbang pada peradaban. Namun peradaban, tanpa kenal welas asih, telah membalas jasanya dengan mengisolasinya selama hampir 5 dasawarsa di tempat yang seperti penjara. Hanya karena menderita gangguan jiwa, seorang terpelajar harus menderita di sepanjang hidupnya.
14