PENTINGNYA PENGENALAN TENTANG KOPERASI SYARI’AH MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEMENTERIAN AGAMA RI
Oleh : Andi Rahman Giu, SE NIP. 150332168 Widyaiswara Muda Balai Diklat Keagamaan Manado Kementerian Agama RI ABSTRAK Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme penyaluran kekayaan. Pertama: mekanisme pasar, yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya. Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian (QS al-Nisa‟ [4]: 29). Tidak sekadar diizinkan Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini, antara lain adanya larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Islam melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr); sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang. Demikian pula penimbunan emas dan perak, hal ini sesuai dengan dalil yang ada pada Al-Qur‟an, dimana Allah berfirman : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S.9:34). Koperasi syari‟ah menegakkan prinsip-prinsip ekonomi Islam, sebagai berikut: Kekayaan adalah amanah Allah SWT yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun secara mutlak; Manusia diberi kebebasan dalam mu’amalah selama tidak melanggar ketentuan syari‟ah; Manusia merupakan wakil Allah dan pemakmur di bumi; Menjunjung tinggi keadilan serta menolak setiap bentuk ribawi dan pemusatan sumber dana ekonomi pada segelintir orang atau sekelompok orang saja. Koperasi syari‟ah dalam melaksanakan kegiatannya berdasarkan pada prinsip-prinsip syari‟ah Islam Menjalin dan menguatkan kerjasama diantara anggota, antar koperasi dan atau lembaga lainnya. Perbedaan lain antara koperasi syari‟ah dengan koperasi biasa terletak dalam hal bunga, dimana koperasi syari‟ah tidak memakai sistem bunga melainkan memakai sistem bagi hasil. Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan sistem bunga dan bagi hasil ini akan diterangkan pada bab selanjutnya. Saat ini koperasi syari‟ah di Indonesia berdiri semakin kokoh, hal ini dilandasi oleh keluarnya keputusan menteri (Kepmen) Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 10 September 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Harapan dikeluarkannya keputusan ini adalah untuk memacu semangat pertumbuhan koperasi yang berbasis syari‟ah sehingga dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara ini. Kata Kunci : Koperasi Syari’at
1 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
ABSTRACT In general , the economic system of Islam specifies two mechanisms of wealth distribution . First : the market mechanism, a mechanism which occurs due to the exchange of goods and services from the owners. Among the arguments of invalidity of this mechanism is the word of Allah : who believe, do not you guys eat each other with your fellow treasure vanity path , except by way of commerce apply to consensual among you (Sura al - Nisa ' [ 4 ] : 29) . Not simply allowed Islam also outlines the various laws that govern these mechanisms, such as the prohibition of practices that undermine the market mechanism . Islam prohibits the practice of hoarding goods (al - ihtikar), a fraudulent practice that can inflate the price due to scarcity of goods in the market . Not because of the scarcity of actual facts , but because of engineering goods owners . Similarly, the hoarding of gold and silver, which is in line with the arguments that exist in the Qur'an , where Allah says : " And those who store gold and silver and do not menafkahkannya in the way of Allah , then tell them , ( that they will have ) a painful punishment " ( QS9 : 34 ). Cooperative enforce Shariah Islamic economic principles, as follows : Wealth is a trust of Allah SWT that can not be owned by any absolute; Man given freedom in mu'amalah for not violate the provisions of Shari'ah; Man is God's representative and pemakmur in earth; Upholding justice and reject any form of usury and fund concentration of economic resources on a handful of people or groups of people. Cooperative Shari'ah in its activities based on the principles of Islamic Shari'a Establish and strengthen collaboration among members, or between cooperatives and other institutions. Another difference between Shari'ah cooperative with regular cooperative located in terms of interest , where Shariah was not wearing a cooperative system of interest but rather use the system for results. For more details about the differences of interest and for the results of this will be explained in the next chapter. Currently cooperative Syari’ah in Indonesia stood more firmly, it is based on the release of a ministerial decree (Decree) Cooperatives and SMEs of the Republic of Indonesia Number 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 September 10, 2004 On Implementation Guidelines for Cooperative Operations Services Sharia finance. Hope issuance of this decision is to spur the growth of the cooperative spirit of Shariah-based so as to help the country's economic growth. Keywords : Cooperation Syari'a
PENDAHULUAN Ilmu ekonomi dan antropologi ekonomi adalah dua disiplin ilmu yang berbeda dalam mempelajari gejala pertukaran. Ilmu ekonomi mengkaji dan mempelajari pertukaran apabila pertukaran itu menggunakan mekanisme uang, sedangkan antropologi ekonomi pada masa awal perkembangannya lebih banyak berurusan dengan gejala pertukaran tradisional yang tidak menggunakan mekanisme uang. Pertukaran yang tidak menggunakan uang tersebut banyak terdapat pada masyarakat tradisional, misalnya pertukaran hadiah (gift exchange), perdagangan kula, dan potlatch. Kurangnya perhatian ahli antropologi terhadap gejala pertukaran yang menggunakan mekanisme uang dipengaruhi oleh kondisi awal perkembangan antropologi ekonomi itu sendiri, dimana antropologi pada saat itu menaruh perhatian kepada masyarakat tradisional dan pedesaan dengan sistem perekonomian subsisten1 mereka. Studi antropologi ekonomi, melihat pertukaran sebagai gejala kebudayaan yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial (Dalton dalam Sairin,2001;39). 2 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
Secara umum, sistem ekonomi Islam menetapkan dua mekanisme penyaluran kekayaan. Pertama: mekanisme pasar, yakni mekanisme yang terjadi akibat tukar-menukar barang dan jasa dari para pemiliknya (http://hayanmahdi.multiply.com/journal/item/9). Di antara dalil absahnya mekanisme ini adalah firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian (QS al-Nisa‟ [4]: 29). Tidak sekadar diizinkan Islam juga menggariskan berbagai hukum yang mengatur mekanisme ini, antara lain adanya larangan berbagai praktik yang merusak mekanisme pasar. Islam melarang praktik penimbunan barang (al-ihtikâr); sebuah praktik curang yang dapat menggelembungkan harga akibat langkanya barang di pasaran. Kelangkaan bukan karena fakta sesungguhnya, namun karena rekayasa pemilik barang. Demikian pula penimbunan emas dan perak, hal ini sesuai dengan dalil yang ada pada AlQur‟an, dimana Allah berfirman : “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (Q.S.9:34). Kedua logam mulia itu dalam mekanisme pasar berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange), oleh karenanya sebagai alat tukar (emas dan perak) memiliki kedudukan sangat strategis. Akibatnya, jika emas dan perak ditarik dari pasar akan berakibat pada sulitnya pertukaran barang dan jasa atau bahkan terhentinya kegiatan perekonomian. Praktik penipuan juga berdampak buruk, baik penipuan pada komoditas dan alat pembayarnya (at-tadlîs) maupun penipuan pada harga (al-ghabn al-fâhisy). Praktik curang itu juga akan menciptakan ketimpangan harga, karena pada umumnya seseorang bersedia melakukan pertukaran barang dan jasa karena ada unsur kesetaraan. Itulah sebabnya, harga barang ditentukan oleh kualitas barang, namun akibat praktik at-tadlîs yakni menutupi keburukan atau cacat pada komoditas serta menampakkannya seolaholah baik barang yang seharusnya berharga murah itu melonjak harganya. Demikian pula al-ghabn al-fâhisy (penipuan harga), pembeli atau penjual memanfatkan ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga yang berkembang di pasar. Hal ini menyebabkan, penjual atau pembeli mau melakukan transaksi dengan harga yang terlalu murah atau terlalu mahal. Semua praktik tersebut jelas dapat mengakibatkan harga yang tidak stabil. Apabila berbagai hukum (baik itu larangan dan perintah) itu dipraktikkan, akan tercipta pasar yang benar-benar bersih dan baik. Produsen yang menginginkan barangnya berharga mahal akan kreatif memproduksi barang yang benarbenar berkualitas, bukan dengan jalan menimbun dan menipu yang akhirnya merugikan pihak lain. Kendati telah tercipta pasar yang bersih, tetap saja ada orang-orang yang tersingkir dari mekanisme pasar itu dengan berbagai sebab, seperti cacat fisik maupun non-fisik, keterampilan dan keahlian yang kurang, modal yang sedikit, tertimpa musibah, dan sebagainya. kondisi yang demikian menyebabkan mereka tidak bisa „menjual‟ sesuatu, maka mereka pun tidak bisa memperoleh hasil (pendapatan). Padahal kebutuhan primer mereka tetap harus dipenuhi, pertanyaannya dari manakah mereka memperoleh pendapatan? Itulah sebabnya untuk menjawab pertanyaan tadi Islam memberikan solusi, di samping mekanisme pasar Islam juga menyediakan mekanisme kedua: yaitu mekanisme nonpasar, yakni sebuah mekanisme yang tidak dihasilkan dari transaksi pertukaran barang dan jasa (http://hayanmahdi.multiply.com/journal/item/9). Barang dan jasa mengalir dari satu pihak kepada pihak lain tanpa meminta timbal balik. Mekanisme ini diterapkan kepada orang-orang lemah, miskin, dan kekurangan. Hadirnya mekanisme tersebut, diharapkan akan membantu mereka yang kurang mampu dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya. Lebih dari itu, mereka diharapkan dapat bangkit untuk kembali berkompetisi dalam mekanisme pasar dengan modal dari mekanisme nonpasar itu. Aliran barang dan jasa yang tidak melalui mekanisme pasar cukup banyak dalam Islam, contohnya adalah zakat, dan pinjaman (qardh), dan qardhul hasan. Islam mewajibkan orang kaya 3 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
membayar zakat, zakat itu kemudian disalurkan kepada orang yang berhak dimana sebahagian besarnya adalah orang-orang miskin dan membutuhkan pertolongan. Selain zakat, ada juga infak dan sedekah yang disunnahkan. Semua jenis pemberian itu dilakukan tanpa mengharap pengembalian (imbalan). Demikian pula hibah, hadiah, dan wasiat termasuk pula pembagian harta waris (http://hayanmahdi.multiply.com/journal/item/9). Adanya dua mekanisme itulah (yaitu mekanisme pasar dan nonpasar) yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap umat Islam. Mengingat banyaknya lembaga syari‟ah yang ada, maka penelitian ini nantinya akan difokuskan pada salah satu lembaga syari‟ah dan lembaga syari‟ah yang menjadi pilihan penulis adalah lembaga koperasi syari‟ah. Dipilihnya koperasi syari‟ah sebagai fokus penelitian bukanlah tanpa alasan, alasan yang pertama koperasi merupakan salah satu lembaga yang paling cocok dengan semangat Undangundang dasar 1945, alasan kedua yang melatarbelakanginya adalah koperasi khususnya syari‟ah di kota Medan mulai menunjukkan perkembangan yang berarti, alasan ketiga adalah sistem yang dipakai di setiap lembaga ekonomi syari‟ah adalah sama yaitu sistem ekonomi Islam yang sumbernya Al-Qur‟an dan AsSunnah. Rumusan Masalahnya yaitu : Dari Uraian yang ada pada latar belakang masalah tersebut maka penelitian ini akan memfokuskan penelitian mengenai gejala pertukaran di lembaga koperasi syari‟ah yaitu pada saat koperasi syari‟ah melaksanakan kegiatan operasionalnya, karena pada saat kegiatan operasional inilah dijumpai mekanisme pasar dan non-pasar. Tujuan Penulisannya yaitu : Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai prosesi pertukaran yang terjadi di koperasi syari‟ah, di mana pertukaran tersebut menjadi suatu kekuatan yang menjadikan koperasi syari‟ah berjalan dengan baik dan menjadi harapan perbaikan kondisi ekonomi para anggotanya. Manfaat Penulisannya yaitu : Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan pengetahuan bagi semua pihak, kemudian diharapkan hasil dari penelitian ini menjadi referensi bagi dunia antropologi dalam memahami koperasi syari‟ah dan perekonomian serta hubungannya dengan antropologi ekonomi. Penelitian ini juga diharapkan menjadi bahan analisis bagi pemerintah untuk menata dan mengembangkan konsep ekonomi syari‟ah yang berbasis masyarakat. PEMBAHASAN Antropologi ekonomi menempatkan gejala pertukaran sebagai persoalan yang berdimensi luas, akan tetapi seperti yang diuraikan di awal disiplin ilmu ini pada mulanya kurang menaruh perhatian kepada pertukaran yang menggunakan. Pengertian Subsisten, menurut Wharthon (19..;2001) ada dua, yaitu sebagai tingkat hidup dan sebagai suatu bentuk perekonomian. Pengertian pertama menggambarkan suatu kondisi ekonomi yang berfungsi sekedar untuk dapat bertahan hidup, sedangkan pengertian kedua merupakan suatu sistem produksi yang hasilnya untuk kebutuhan sendiri, tidak dipasarkan, sedangkan kalau ada produksi yang dipasarkan tidak dimaksudkan untuk keuntungan komersil. mekanisme uang atau sistem ekonomi pasar. Kondisi tersebut saat ini mulai berubah, para ahli antropologi ekonomi mulai menaruh perhatian kepada permasalahan atau gejala pertukaran yang menggunakan mekanisme uang (pasar). Perhatian ini dirasa perlu sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat. Masuknya antropologi ekonomi ke 4 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
dalam penelitian yang berorientasi pasar bukanlah berarti antropologi mengurusi permasalahanpermasalahan ekonomi pasar sepenuhnya. Antropologi tetap pada tugasnya yaitu menganalisa dimensidimensi sosial budaya yang muncul pada proses ekonomi pasar tersebut. Hal ini dilakukan karena ilmu ekonomi cendrung mengabaikan variabel-variabel sosial budaya dalam menganalisis permasalahan ekonomi (Dalton dalam Sairin,2001;40). Beranjak dari pernyataan tersebut kemudian penulis merasa tertarik untuk melihat dan membahas lebih jauh gejala-gejala sosial budaya terutama gejala pertukaran yang ada di salah satu lembaga ekonomi yang menggunakan mekanisme uang (pasar), yaitu lembaga ekonomi syari‟ah. Lembaga ekonomi syari‟ah adalah lembaga ekonomi yang dalam operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip dan aturan ajaran Islam. Lembaga ini kemudian dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu lembaga ekonomi keuangan Bank dan lembaga ekonomi keuangan bukan bank. Lembaga keuangan Bank seperti Bank Syari‟ah, dan lembaga keuangan syari‟ah bukan bank seperti baitul maal, pegadaian syari‟ah, asuransi syari‟ah dan juga koperasi syari‟ah (www.dakwatuna.com). Ada hal menarik dalam sistem ekonomi syari‟ah yang di praktikkan oleh lembaga ekonomi syari‟ah, pada dasarnya sistem ekonomi syari‟ah tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu pemerataan distribusi kekayaan. Islam memang tidak mengharuskan persamaan dalam kepemilikan kekayaan, namun Islam juga tidak membiarkan buruknya distribusi kekayaan. Sebab Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh. Sebagai buktinya, banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang memerintahkan manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj (22): 28; alBaqarah (2): 177, 184, 215; al-Insan (76): 8, al-Fajr (90):13-14; dan al-Maidah (5): 89. Al-Quran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin. Allah Swt. berfirman: Pada hartaharta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS adz-Dzariyat (51): 19). Islam juga mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya (miskin) tidak memperoleh bagian. Allah Swt. berfirman: Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS alHasyr [59]: 7). Perhatian para ahli antropologi terhadap berbagai macam sistem mata pencarian atau sistem ekonomi hanya terbatas kepada sistem-sistem yang bersifat tradisional saja, terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Berbagai sistem tersebut adalah : 1. berburu dan meramu; 2. Beternak; 3. Bercocok tanam di ladang; 4. Menangkap ikan; dan 5. Bercocok tanam menetap dengan irigasi (Koentjaraningrat,2000;358). Koentjaraningrat (2000) lebih lanjut menyatakan saat ini kondisi tersebut mulai mengalami perubahan, para ahli antropologi mulai menaruh perhatian terhadap penelitian mengenai soal anggaran pendapatan dan pengeluaran rumah tangga yang biasanya terlupakan oleh para ahli ekonomi. Akhir-akhir ini ada pula beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli antropologi terhadap aktivitas-aktivitas perdagangan di kota, yang terkadang meliputi daerah distribusi yang luas, tetapi biasanya para ahli antropologi membatasi diri terhadap aktivitas perdagangan yang berdasarkan volume modal yang terbatas. Ahli antropologi di Indonesia sekarang juga ada yang mempelajari pedagang kaki lima, atau para pedagang pasar. Berangkat dari hal itulah kemudian penulis berkeinginan menambah referensi mengenai aktivitas perdagangan yang ada di kota, namun memiliki volume modal yang terbatas dan pilihannya 5 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
jatuh kepada lembaga koperasi syari‟ah yang ada di kalangan mahasiswa dan masyarakat kota, terutama yang kegiatan operasionalnya berpusat pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Ilmu ekononomi dan antropologi ekonomi merupakan dua hal yang berbeda. Ilmu ekonomi hanya berurusan dengan pertukaran yang menggunakan mekanisme uang. Antropologi ekonomi pada masa awal perkembangannya, lebih banyak berurusan dengan gejala pertukaran tradisional yang tidak menggunakan mekanisme uang (Sairin,2001:38). Studi antropologi ekonomi melihat pertukaran sebagai gejala kebudayaan yang keberadaannya berdimensi luas, tidak sekedar berdimensi ekonomi, tetapi juga agama, teknologi, ekologi, politik dan organisasi sosial (Dalton dalam Sairin,2001;39). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Marcell Mauss (1992), menurutnya sistem tukar menukar merupakan suatu sistem yang menyeluruh (total system) dimana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan. Setiap pemberian dalam tukar menuukar tersebut harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis-habisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima karena bersamaan dengan pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan, apa yang saling dipertukarkan dilihat oleh Mauss sebagai sebuah prestasi. Saling tukar-menukar pemberian prestasi, yang biasanya terwujud sebagai saling tukar-menukar pemberian hadiah, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian itu diterima tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada saat yang sama, maka namanya barter. 2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai nilai sedikit lebih tinggi dari hadiah yang diterima atau setidak-tidaknya nilainya sama 3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tetapi sebagai mana atau prestasi (Mauss dalam Suparlan,1992;156). Homans dalam bukunya “Elementary forms of Social Behavior,1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :”Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cendrung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi”. Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang jika disertai dengan imbalan (http://meiliemma.wordpress.com/2008/01/27/teori-pertukaransosial/ 10/08/2009 10:52). Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : “Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali”. Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah “distibutive justice” – aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi “seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya – makin tinggi pengorbanan, makin tinggi imbalannya – dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya – makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan (http://meiliemma.wordpress.com/2008/01/27/teori-pertukaran-sosial/ 10/08/2009 10:52). Masih seputar proses pertukaran, dalam kajian ilmu antropologi ekonomi berbagai pertukaran yang terdapat dalam masyarakat tradisional yang tidak menggunakan uang tersebut sering diungkapkan dengan istilah resiprositas dan redistribusi (Sairin,2001;39). Menurut Sahlins (Dalam Sairin,2001), ada tiga macam resiprositas, yaitu : resiprositas umum (generalized resiprocity), resiprositas sebanding (balanced resiprocity), dan resiprositas negatif (negative reciprocity). 6 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
1.
2.
3.
Resiprositas yang terakhir ini, yaitu resiprositas negatif sebenarnya kata lain dari sistem pertukaran pasar atau jual beli. Berikut penjelasan ringkas mengenai tiga macam resiprositas tersebut : Resiprositas Umum Resiprositas umum ini berarti individu atau kelompok memberikan barang dan jasa kepada individu atau kelompok lain tanpa menentukan batas waktu pengembalian. Resiprositas umum ini tidak mengenal hukum-hukum yang dengan ketat mengontrol seseorang untuk memberikan atau mengembalikan. Moral saja yang mengontrol dan mendorong pribadi-pribadi untuk menerima resiprositas umum sebagai kebenaran dan tidak boleh dilanggar. Sistem resiprositas umum dapat menjamin individu-individu terpenuhi kebutuhannya pada waktu mereka tidak mampu membayar atau mengembalikannya secara langsung atas apa yang mereka terima dan pakai. Sistem ini biasanya berlaku di lapangan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat yang dekat (Swartz dan Jordan dalam Sairin,2001;50). Resiprositas umum pada masyarakat industri tetap berlaku dikalangan orang yang sekerabat, namun resiprositas yang cocok untuk masyarakat tersebut adalah resiprositas simbolik. Resiprositas simbolik merupakan suatu adat kebiasaan memberi atau menerima sebagai sarana untuk menjalin hubungan persahabatan semata, tanpa mempunyai makna yang dekat dengan usaha memenuhi kebutuhan ekonomi. Resiprositas umum pada masyarakat sederhana cenderung memusat di kalangan orang yang mempunyai hubungan kerabat dekat, pada masyarakat agraris resiprositas umum antarkerabat sangat penting sebab mereka terikat oleh harta warisan yang merupakan sumber mata pecaharian hidup mereka. Dalam koperasi syari‟ah hal ini dapat kita lihat nantinya pada proses mudharabah (sistem bagi hasil). Resiprositas Sebanding Resiprositas ini menghendaki barang atau jasa yang dipertukarkan mempunyai nilai yang sebanding, kemudian disertai pula dengan perjanjian kapan pertukaran itu berlangsung, kapan memberikan, menerima, dan mengembalikan. Ciri resiprositas sebanding yaitu adanya norma-norma, aturan-aturan, atau sanksi-sanksi sosial untuk mengontrol individu-individu dalam melakukan transaksi. Ciri lainnya adalah keputusan untuk melakukan kerja sama resiprositas berada di tangan masing-masing individu dan individu-individu yang melakukan kerja sama resiprositas tidak mau rugi. Fungsi resiprositas sebanding adalah membina solidaritas sosial dan menjamin kebutuhan ekonomi sekaligus mengurangi resiko kehilangan yang dipertukarkan. Resiprositas sebanding ini dapat kita lihat nantinya di koperasi syari‟ah pada saat terjadinya transaksi murabahah (jual beli) dan musyarakah (kerjasama dalam hal modal). Resiprositas Negatif Dalam sejarah ekonomi, resiprositas merupakan bentuk pertukaran yang muncul sebelum pertukaran pasar. Lambat laun resiprositas tersebut lenyap dan kehilangan fungsi-fungsinya sebagai akibat masuknya sistem ekonomi uang (Nash, 1966), contohnya disini adalah hilangnya budaya gotong royong yang diganti dengan sistem uang (Sairin,2001;49-63). Resiprositas sering dinilai sebagai bentuk pertukaran yang manusiawi jika dibandingkan dengan pertukaran pasar, prinsip kekeluargaan dan kesetiakawanan merupakan bukti dari hal tersebut. Wajah resiprositas yang bersifat manusiawi itu, dilain pihak sering dipakai para politisi untuk memobilisasi sumber daya dalam masyarakat. Masuknya sistem ekonomi uang inilah yang dimaksudkan dengan resiprositas negatif, atau dengan kata lain resiprositas negatif adalah resiprositas yang sudah terpengaruh oleh sistem ekonomi uang atau pasar. Lain resiprositas lain lagi redistribusi, redistribusi berarti suatu proses perpindahan hak dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu kelompok ke kelompok yang lain, biasanya yang berpindah adalah barang dan jasa (Sairin,2001;68). Hal yang membedakan redistribusi dan resiprositas adalah pada hal pelaksanaannya, dimana redistribusi memang murni penyaluran suatu barang atau jasa tanpa ada maksud apa-apa di balik penyaluran barang dan jasa tersebut sedangkan resiprositas masih ada unsur balas jasa dalam hal
7 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
pelaksanaannya. Contoh lain dalam sistem pertukaran ini adalah seperti apa yang pernah digambarkan oleh Malinowsky, ketika meneliti sistem perdagangan kula pada masyarakat Trobriand. Sistem kula terebut pada dasarnya adalah sistem barter atau pertukaran, yang memperebutkan Sulava (kalung-kalung kerang yang beredar ke satu arah mengikuti arah jarum jam) dan Mwali (gelanggelang kerang yang beredar berlawanan dengan arah jarum jam), yaitu dua buah benda yang sangat tinggi nilainya di mata penduduk Trobriand (Koentjaraningrat,1987 ;164-165). Sistem pertukaran lain yang sempat populer dan menjadi bahan penelitian antropologi adalah potlatch. Dalam kamus istilah antropologi potlatch adalah pesta adat orang Indian di daerah barat laut Amerika Utara dimana dipamerkan harta kekayaan sebagai tanda gengsi yang kemudian dibagi-bagikan atau dirusak (Koentjaraningrat,dkk,2005;194-195). Perkataan potlatch dalam bahasa Inggris-Amerika dapat dihubungkan dengan pesta atau berdagang, di mana dalam pengertian terakhir tercakup juga pengertian jual dengan harga, tetapi dalam arti teknis antropologi perkataan tersebut menunjukkan suatu pranata yang kompleks dari pengumpulan dan penyebaran kekayaan barang-barang upacara yang diketemukan dalam berbagai bentuk diantara kelompok-kelompok budaya yang berada di Pantai Barat laut Amerika Utara (Cyril S. Belshaw,1981;26-27). Penyebaran kekayaan itulah yang sebenarnya juga ada di dalam koperasi syari‟ah, karena dengan motif ekonomi dan sosialnya, tujuan koperasi sendiri nantinya adalah mensejahterakan anggotanya, dan kesejahteraan anggota koperasi syari‟ah didapatkan karena adanya proses penyebaran kekayaan atau lebih tepatnya pendistribusian kekayaan. Koperasi berasal dari kata cooperation (Inggris), secara sederhana koperasi berarti kerja sama. Kata koperasi mempunyai padanan makna dengan kata syirkah dalam bahasa arab. Syirkah ini merupakan wadah kemitraan, kerja sama, kekeluargaan, baik dan halal yang sangat terpuji dalam Islam. Menurut Bahasa koperasi didefinisikan sebagai wadah perkumpulan (asosiasi) sekelompok orang untuk tujuan kerjasama dalam bidang bisnis yang saling menguntungkan di antara anggota perkumpulan (Muhammad,2007;93). Bibit koperasi di Indonesia tumbuh di Purwokerto pada tahun 1896 yang dipelopori oleh seorang pamong praja bernama R.Aria Wiria Atmaja yang mendirikan sebuah bank yang diberi nama “Hulph-en Spaar Bank” (Bank Pertolongan dan Simpanan). Bank itu dimaksudkan untuk menolong para priyayi (pegawai negeri) yang terjerat hutang pada lintah darat. Fungsi utama dari bank itu adalah meminjamkan dana kepada para pegawai negeri atau usaha ini semacam koperasi simpan pinjam pada saat itu (Anoraga dalam Atozisochi Daeli,2002:10-11). Pengertian dari Koperasi menurut Undang-Undang No.25 tahun 1992 adalah suatu badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau kumpulan dari beberapa koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan (Modul Pelatihan Koperasi,2005;3). Tidak berbeda dengan koperasi umum, koperasi syari‟ah juga memiliki pengertian yang sama. Syari‟ah sendiri mengandung arti ajaran atau tuntunan hukum agama (Muhammad Ali,1994;388). Oleh karena itu secara garis besar koperasi syari‟ah memiliki aturan yang sama dengan koperasi umum, namun yang membedakannya adalah produk-produk yang ada di koperasi umum diganti dan disesuaikan nama dan sistemnya dengan tuntunan dan ajaran agama Islam. Sebagai contoh produk jual beli dalam koperasi umum diganti namanya dengan istilah murabahah, produk simpan pinjam dalam koperasi umum diganti namanya dengan mudharabah (Modul Pelatihan Koperasi,2005;68). Tidak hanya perubahan nama, sistem operasional yang digunakan juga berubah, dari sistem konvesional (biasa) ke sistem syari‟ah yang sesuai dengan aturan Islam. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan : Ada tiga Landasan koperasi syari‟ah yaitu: koperasi syari‟ah berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, koperasi syari‟ah berazaskan kekeluargaan, koperasi syari‟ah berlandaskan 8 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
syari‟ah Islam yaitu Al-Qur‟an dan As-Sunnah dengan saling tolong menolong dan saling menguatkan. Ada dua prinsip dasar pada koperasi syari‟ah, yaitu: 1. Koperasi syari‟ah menegakkan prinsip-prinsip ekonomi Islam, sebagai berikut: a. Kekayaan adalah amanah Allah SWT yang tidak dapat dimiliki oleh siapapun secara mutlak; b. Manusia diberi kebebasan dalam mu’amalah selama tidak melanggar ketentuan syari‟ah; c. Manusia merupakan wakil Allah dan pemakmur di bumi; d. Menjunjung tinggi keadilan serta menolak setiap bentuk ribawi dan pemusatan sumber dana ekonomi pada segelintir orang atau sekelompok orang saja. 2. Koperasi syari‟ah dalam melaksanakan kegiatannya berdasarkan pada prinsip-prinsip syari‟ah Islam 3. Menjalin dan menguatkan kerjasama diantara anggota, antar koperasi dan atau lembaga lainnya. Perbedaan lain antara koperasi syari‟ah dengan koperasi biasa terletak dalam hal bunga, dimana koperasi syari‟ah tidak memakai sistem bunga melainkan memakai sistem bagi hasil. Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan sistem bunga dan bagi hasil ini akan diterangkan pada bab selanjutnya. Saat ini koperasi syari‟ah di Indonesia berdiri semakin kokoh, hal ini dilandasi oleh keluarnya keputusan menteri (Kepmen) Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 10 September 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Harapan dikeluarkannya keputusan ini adalah untuk memacu semangat pertumbuhan koperasi yang berbasis syari‟ah sehingga dapat membantu pertumbuhan ekonomi negara ini. Saran : 1. Keanggaotaan bersifat sukarela dan terbuka; 2. Keputusan ditetapkan secara musyawarah dan dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen; 3. Pengelolaan dilakukan secara transparan dan profesional; 4. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil, sesuai dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota; 5. Pemberian balas jasa modal dilakukan secara terbatas dan profesional menurut sistem bagi hasil; 6. Jujur, amanah, dan mandiri; 7. Mengembangkan sumber daya manusia, sumber daya ekonomi dan sumber daya informasi secara optimal; DAFTAR PUSTAKA Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. Anshori, Abdul Ghofur. 2010. Hukum Perjanjian Islam di Indonesia (Konsep, Regulasi, dan Implementasi), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Antonio , Muhammad Syafii, 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani. Aziz, Amin, M. 1996. Mengembangkan Bank Islam di Indonesia.Jakarta:Penerbit Bangkit. Badrulzaman, Mariam Darus. 1994.Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti. Barkatulah, Abdul Halim, 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran. Banjarmasin: FH Unlam Press. Fuadi, Munir, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Salim, H.S, 2008. Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPERDATA, Rajawali Pers, Mataram. Kasmir. 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: Rajagrafindo Persada. Margono, Suyud. 2000. 9 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id
ADR dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Jakarta : Ghalia Indonesia. Perwaatmadja, Karnaen dan M. Syafii Antonio. 1997. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta : PT. Dana Bhakta Wakaf. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yudo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muhammad, Abdulkadir.1992. Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Bandung: Citra Aditya Bakti. Nasution, A.Z. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Jakarta: Diadit Media. Perwaatmadja Kamaen, Muhammad Syafii Antonio. 1992. Prinsip Operasional Bank Syariah, Jakarta : Risalah Masa.
10 Jurnal Ilmiah “Pentingnya Pengenalan Tentang Koperasi Syari‟ah Melalui Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama RI” Balai Diklat Keagamaan Manado www.bdkmanado.kemenag.go.id