Penjara dan Narkoba dalam Konteks Kemiskinan Siradj Okta, SH., LLM. Fakultas Hukum Unika Atma Jaya
ABSTRAKSI Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan. Di satu sisi, maraknya penggunaan narkoba juga memiliki pengaruh terhadap terjadinya kejahatan. Walaupun kemiskinan secara umum tidak secara mutlak akan bersinggungan dengan dunia narkoba, akan tetapi, kemiskinan dan narkoba akan bertemu pada satu muara, yaitu penjara. Kondisi penjara serta efektifitas penanggulangan narkoba juga pada gilirannya akan mempengaruhi sukses atau gagalnya penjara. Tulisan ini akan mengangkat bagaimana intervensi pada penjara dapat berperan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
ABSTRACT Poverty is considered as one of the reason of crime commission. On the other side, illegal drug use also plays a significant role in crime commission. Poverty is not absolutely associated with drug use, however, both will end up in the same pot, that is the prison. Prison condition and the effectiveness of the fight against drug use are influential to the success of prison. This paper is emphasizing on how certain intervention (including drug interventions) in prison setting can contribute to poverty alleviation.
I. PENDAHULUAN Secara sosiologis, kemiskinan mencerminkan ketidakmampuan orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 1 Mengukur kemiskinan tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan indikator kemampuan ekonomi secara kuantitatif yang biasa digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan administratif. Kemiskinan tidak dapat diukur hanya dengan melihat besarnya pendapatan seseorang berdasarkan satndar 1
Situs Resmi Bank Dunia, http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/0,,contentMDK:20153855~me nuPK:373757~pagePK:148956~piPK:216618~theSitePK:336992,00.html, diakses 26 Maret 2010.
1
nominal tertentu, namun juga harus melihat beban pengeluaran yang mana terkait dengan kemampuannya secara de facto untuk memenuhi kebutuhan hidup, misalnya dalam hal pendidikan dan kesehatan. Lebih mendasar lagi, pemenuhan kebutuhan hidup juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan untuk menjadi produktif atau meningkatkan produktivitas dalam rangka melepaskan diri dari kemiskinan itu sendiri. Teori Nurkse mengatakan bahwa kemiskinan merupakan sebab sekaligus sebagai akibat. Teori tersebut berdasar kepada pemikiran bahwa pendapatan masyarakat menjadi rendah (miskin) karena produktivitas rendah, sementara produktivitas menjadi rendah karena rendahnya permodalan pada masyarakat berpendapatan rendah tersebut. Kemiskinan akan semakin parah ketika pada masyarakat berpendapatan rendah tersebut terdapat kecenderungan meniru corak konsumsi pada masyarakat yang lebih maju secara ekonomi. Oleh karena itulah kemudian berkembang diskursus mengenai jeratan atau lingkaran kemiskinan (poverty circle) dimana masyarakat miskin akan selalu berada dalam kemiskinan walaupun diberikan permodalan dari luar. Dalam perspektif hak asasi manusia, kemiskinan sendiri merupakan bentuk dari kegagalan atas pemenuhan hak asasi manusia. Amanat konstitusional dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”. Pasal tersebut dicerminkan juga oleh Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan 1966. Pada mukadimah kovenan tersebut, dikatakan bahwa pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Sehingga dengan demikian, bahwa negara memiliki peranan
2
yang sangat penting baik pada tataran kebijakan maupun pada tataran pelaksanaan dan pengawasan untuk menyelamatkan rakyat dari kemiskinan serta dampak-dampak buruknya. Persoalan mengenai dampak kemiskinan menjadi meluas menyentuh berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pada tulisan ini akan disinggung mengenai dampak kemiskinan terhadap peristiwa kejahatan. Lebih dari itu, kemiskinan juga tidak dapat dilihat hanya sebagai pengaruh sebab terjadinya kejahatan, namun sebagai akibat dari peristiwa kejahatan itu sendiri. Kejahatan yang mempengaruhi masuknya orang ke dalam kemiskinan dalam tulisan ini akan mengarah kepada kekhususan permasalahan narkoba2. Permasalahan narkoba sendiri memiliki dua dimensi. Pertama, menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, narkoba merupakan benda yang secara umum terlarang untuk dimiliki oleh warga negara. Dimensi kedua adalah bahwa penggunaan narkoba memiliki dampak sosial yang dapat menempatkan pengguna narkoba pada posisi yang rentan untuk melakukan kejahatan. Secara kausal (teori kausalitas/causal verband) dalam kajian ilmu hukum pidana, kemiskinan tidak memiliki hubungan langsung dengan kejahatan yang terjadi. Dengan kata lain, secara normatif, kemiskinan bukanlah conditio sine qua non atas kejahatan. Kausalitas dalam hukum pidana memiliki pengertian yang sempit. Pengertian sebab akibat dalam ilmu hukum pidana baik menurut Von Buri maupun Von Bar mengharuskan
2
Narkoba: Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Berbahaya Lainnya, Situs Resmi Badan Narkotika Nasional, http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php? nama=Kamus&op=kamus&letter=n&mn=6&smn=i&rows=20, diakses 25 April 2010.
3
adanya hubungan secara langsung antara tindak pidana dan perbuatan pendahulunya. 3 Kemiskinan sebagai sebuah ’kondisi’ tidaklah memenuhi kriteria sebagai ’perbuatan’. Oleh karena itu penggunaan kajian ilmu hukum pidana secara sempit tidak dapat menguraikan kaitan antara kemiskinan dan kejahatan. Namun demikian, teori determinisme ekonomi sebagai ajaran sosialis Marx dan Engels dalam kajian kriminologi memandang bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan.4 Walaupun kemiskinan tidak dapat dijadikan legitimasi atas kejahatan, kondisi miskin membuat orang ’terpaksa’ menempuh cara-cara yang bertentangan dengan hukum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh adalah seperti yang diberitakan oleh harian Pikiran Rakyat di bawah ini: ”..."Saya terpaksa menjual ganja untuk biaya anak saya sekolah," kata Ro yang merupakan warga Kabupaten Cianjur. Ia mengaku bingung harus mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-harinya. Ketika ada teman yang menawarkan untuk menjual ganja, ia langsung menyetujuinya. "Anak saya lima, dan tiga orang masih sekolah. Apalagi yang paling besar itu kuliah," tuturnya .”5
Peredaran narkoba, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional sudah menjadi bisnis yang sangat besar. Diperkirakan, akumulasi biaya konsumsi narkoba periode 2004-2009 adalah setara dengan seperempat anggaran belanja negara pada tahun 2009 atau sekitar 200 triliun rupiah.6 Pada tahun 2006, penggunaan narkoba oleh kalangan pengangguran diperkirakan melonjak sampai lima kali lipat. 7 Kendatipun narkoba memiliki harga yang bervariasi, namun peningkatan penggunaan dari yang
3
Prodjodikoro, W., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003, hal 62. Santoso, T., Zulfa, E.A., Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 29. 5 ’Demi Biaya Anaknya, Ro Nekat Jual Ganja’, Pikiran Rakyat, 5 Desember 2009. 6 Colondam, V., ‘Kemiskinan, Narkoba, dan Peningkatan Kriminalitas’, Media Indonesia, 5 April 2008. 7 Ibid. 4
4
paling murah seperti ganja hingga ke jenis narkoba yang mahal secara bersamaan akan meningkatkan kemungkinan penggunaan kejahatan untuk pemenuhan rasa kecanduan. Hal ini dapat diartikan bahwa penggunaan narkoba merupakan ’jalan pintas’ untuk menjadi bagian dari kemiskinan. Pengguna narkoba pada awalnya akan menjual barangbarang yang dimilikinya sendiri, jika telah habis, maka kemudian akan menjual barangbarang milik kerabat atau temannya. Jika sudah tidak ada lagi yang dapat dijual, maka akan terpikir untuk mencuri, mencopet, merampok, bahkan menjadi bandar narkoba, atau dengan kata lain segala cara digunakan untuk mendapatkan narkoba.8 Bahkan perempuan pengguna narkoba memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk dimanfaatkan secara seksual, termasuk oleh pasangannya sendiri, sebagaimana kesaksian berikut ini: ”Gue dengan pacar gue udah kehabisan duit buat beli obat. Akhirnya pacar gue nyuruh gue pergi ke bandar yang katanya temannya. Gue melakukan hubungan seksual dengan bandar itu biar gue bisa pakaw. Pacar gue juga ikut make bareng gue (Y, 17 tahun, mahasiswi).”9
Tentu saja, kondisi seperti ini dapat memperparah dampak ekonomi kehidupan pengguna narkoba. Perilaku seks yang tidak terlindungi tersebut dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan dimana kondisi tersebut akan memperberat beban ekonomi pengguna narkoba. Adanya kecenderungan pengguna narkoba untuk masuk ke dalam dunia kejahatan juga akan meningkatkan jumlah narapidana, baik yang menjalani hukuman karena kejahatannya itu sendiri maupun yang menjalani hukuman karena tertangkap sebagai pengguna narkoba.
8
Gordon, J. S. H, Hasan, A. B. P., Gordon, D. D., Perempuan di Balik Tirai Narkoba: Menguak Realita Menjangkau Harapan, Jakarta: Ford Foundation, 2004, hal. 91. 9 Ibid. Hal. 69.
5
Tulisan ini akan mengangkat bagaiman penjara sebagai muara baik bagi kejahatan karena kemiskinan, maupun kejahatan karena narkoba, dapat berperan dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
II. PEMBAHASAN A. Penjara Sebagai Lembaga Koreksional Penjara sebagai lembaga koreksional mendapatkan amanat undang-undang sebagai tempat pelaksanaan hukuman. Pidana Pokok dalam Pasal 10 Kitab UndangUndang Hukum Pidana: 1. Pidana Mati; 2. Penjara; 3. Kurungan; 4. Tutupan ; 5. Denda; Pada abad ke-20, pemenjaraan narapidana mengalami pergeseran tujuan, terutama setelah Perang Dunia II. Pemenjaraan yang sebelumnya bertujuan semata-mata untuk pembalasan, kini bergeser menjadi cenderung ke arah perbaikan. Pergeseran ini dicerminkan dengan kemunculan berbagai perjanjian internasional yang mengangkat masalah kelayakan penjara serta adanya upaya penghapusan hukuman mati. Di tingkat internasional, penjara harus mengikuti standar minimum yang ditetapkan oleh prinsip-prinsip sebagaimana tercantum dalam: Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966; Aturan-aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap Narapidana 1955/1977; Peraturan Pelaksanaan Petugas Penegakan
6
Hukum 1978; Prinsip-prinsip Etika Kedokteran Terkait Peranan Petugas Kesehatan dalam Perlindungan Narapidana dari Penyiksaan dan Perlakuan Kejam, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Hukuman yang Merendahkan 1982; Prinsip-Prinsip Perlindungan Semua Orang dalam Semua Jenis Penahanan atau Pemenjaraan 1988; Prinsip Dasar Perlakuan terhadap Narapidana 1990. Menurut standar-standar minimum tersebut, secara umum penjara harus memenuhi kriteria sebagai berikut:10 1.aman; 2.terlindungi; 3.reformis dan menjaga kesehatan; 4.mengutamakan ketentraman dan menghormati hak asasi manusia; 5.perlakuan terhadap narapidana sesuai hukum; 6.fasilitas yang bersih dan terawat; 7.memberikan perhatian kepada narapidana dengan kebutuhan khusus; 8.melindungi narapidana dari dampak buruk pemidanaan; 9.penyelenggaraan yang membuat pemidanaan mudah dilalui; 10. perlakuan yang adil dan konsisten dari petugas ;
B. Permasalahan Kondisi penjara Penjara pada umumnya dapat dikatakan belum terlepas dari berbagai masalah. 11 Pertama, masalah overcrowding atau tingkat hunian yang terlalu padat. 12 Indonesia yang 10
Hayton, P., ‘Protecting and Promoting Health in Prisons: A Settings Approach’, Health in Prisons: WHO Guide to the Essentials in Prison Health, WHO, 2007, hal. 17. 11 UNODC, HIV/AIDS in Places of Detention: A Toolkit for Policy Makers, Managers, and Staff, UNODC and WHO, 2007, hal. 15. 12 Ibid.
7
terdiri dari Rumah Tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dihuni oleh 137.000 orang dimana kapasitas normalnya adalah 88.000 orang. Ini berarti terdapat kelebihan sebesar hampir 100%.13 Kepadatan yang berlebih ini membawa masalah lanjutan berupa menurunnya tingkat kesehatan lingkungan di dalam penjara. Selain itu, overcrowding juga membawa masalah sosial yaitu dengan terjadinya ketidaknyamanan psikologis yang pada tingkat tertentu dapat memicu konflik antar narapidana. Masalah kedua adalah adanya kelompok-kelompok narapidana atau yang biasa dikenal sebagai geng.14 Gejala munculnya geng serta adanya kekuasaan beberapa narapidana tertentu mendorong terjadinya kekerasan di dalam penjara, baik berupa perkelahian ataupun penyiksaan serta pelecehan. Masalah ketiga adalah terkait dengan fakta bahwa setiap penjara dihuni oleh satu jenis kelamin dan bahwa penjara didominasi oleh laki-laki. Kenyatan ini mendorong terjadinya hubungan seks sesama jenis.15 Permasalahan yang muncul adalah bahwa hubungan seks sesama jenis tersebut ada yang dilakukan tidak konsensual karena terkait dengan permasalahan geng atau kekuasaan sekelompok narapidana. Lanjutan dari permasalahan ini adalah bahwa hubungan seks tersebut, baik yang konsensual maupun yang tidak, dilakukan secara tidak aman dalam perspektif kesehatan dalam arti mengandung risiko tinggi akan penularan berbagai penyakit. Masalah keempat adalah adanya peredaran narkoba di dalam penjara. 16 Secara khusus, penggunaan narkoba suntik di dalam penjara akan meningkatkan juga penularan
13
Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php? option=com_content&task=view&id=2793&Itemid=99999999, diakses 27 Maret 2010. 14 Op. cit. UNODC, hal. 16. 15 Ibid. 16 Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php? option=com_content&task=view&id=361&Itemid=99999999, diakses 26 Maret 2010.
8
penyakit menular. Ketiadaan suntik di dalam penjara membuat penggunaan narkoba suntik dilakukan secara bersama-sama dengan peralatan yang tidak steril. Beberapa penyakit yang dapat menular melalui darah dengan kegiatan penggunaan narkoba suntik secara bersama-sama adalah HIV/AIDS dan hepatitis. Indonesia memiliki 54% pengguna narkoba suntik diantara total kasus HIV di seluruh nusantara. 17 Sebagai gambaran, di Ukraina, prevalensi HIV di dalam penjara adalah sepuluh kali lebih tinggi daripada prevalensi HIV pada populasi umum.18 Terbatasnya layanan kesehatan di dalam penjara juga memperburuk hal ini. Adanya peredaran narkoba suntik di dalam penjara19 secara tidak langsung telah membelokkan cita-cita penjara sebagai lembaga koreksional dimana narapidana yang sebelumnya bukan pengguna narkoba dapat beralih menjadi pengguna narkoba suntik ketika menjalani hukuman di dalam penjara. Selain itu, bukan tidak mungkin adanya pertemuan bandar besar dan bandar kecil di dalam penjara justru akan memperkuat jaringan peredaran narkoba setelah narapidana keluar dari penjara. Untuk jangka panjang, permasalahan penjara sebagai ’sekolah’ untuk menjadi pengguna narkoba akan memperbesar angka kemiskinan karena akan munculnya masalah kecanduan yang dapat menurunkan produktifitas. Lebih jauh lagi, permasalahan kecanduan akan mendorong kembali terjadinya kejahatan sebagai cara untuk dapat membeli narkoba. Dari aspek kesehatan, penggunaan narkoba suntikan di dalam penjara juga meningkatkan penyebaran penyakit menular bahkan hingga ke luar lingkungan penjara.
17
Open Society Institute (OSI), Harm Reduction Development 2008: Countries with Injection-Driven HIV Epidemics, OSI International Harm Reduction Development Program, 2008, hal. 52 18 Ibid. Hal. 29. 19 Op. cit. Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM (note 16).
9
Prevalensi HIV/AIDS di kalangan pengguna narkoba secara umum adalah 22%20, sementara jumlah pengguna narkoba semakin meningkat yang salah satu indikasinya adalah langkah pemerintah untuk menambah 13 penjara narkoba.21 Dengan demikian, prevalensi tersebut juga akan tercermin di dalam penjara narkoba sebagai kelompok bagian dari kalangan pengguna narkoba secara umum. Hal ini dapat menggambarkan tingginya risiko penularan HIV/AIDS, serta penyakit menular lainnya, di dalam penjara. Ilustrasi yang dapat dikembangkan adalah ketika narapidana yang terinfeksi HIV/AIDS atau penyakit menular lainnya telah selesai menjalani hukuman, maka akan ada potensi penyebaran penyakit-penyakit tersebut ke populasi umum. Model penyebaran penyakit seperti ini kemudian akan menambah beban kesehatan pada populasi umum, yang pada gilirannya akan memperberat kemiskinan. Bagi mantan narapidana, potensi untuk terjebak pada lingkaran kemiskinan akan semakin besar karena buruknya penerimaan mantan narapidana di dunia kerja.22
C. Penanggulangan Narkoba Penanggulangan narkoba secara internasional mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Pendekatan pertama adalah supply reduction atau pengurangan pemasokan.23 Untuk pendekatan ini, pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah represif dengan 20
Winarso, I., Irawati, I., Eka, B., Nevendorff, L., Handoyo, P., Salim, H., Mesquita, F., ‘Indonesian National Strategy for HIV/AIDS Control in Prisons: A Public Health Approach for Prisoners’, International Journal of Prisoner Health, 2(3), 2006, hal. 243-249. 21 Irawati I., Mesquita F., Winarso I., Hartawan , Asih, P.,‘Indonesia Sets Up Prison Methadone Maintenance Treatment’, Addiction (News and Notes), Volume 10, 2006, hal. 15 22 Giguere, R., & Dundes, L., ‘Help Wanted: A Survey of Employer Concerns About Hiring Ex-Convicts’, Criminal Justice Policy Review 13, 2002, hal. 396-408 23 WartaAIDS, Menanggapi Epidemi HIV di Kalangan Pengguna Narkoba Suntikan: Dasar Pemikiran Pengurangan Dampak Buruk Narkoba, Jakarta: WartaAIDS, 2001, hal. 54.
10
berupaya
membongkar
sindikat
peredaran
narkoba
internasional,
melakukan
penggrebekan tempat pembuatan narkoba, dan menangkap pengedar-pengedar narkoba. Pada pendekatan ini, pemerintah Indonesia memiliki dukungan instrumen hukum berupa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, selain juga memperkuat lembaga kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Namun demikian, undang-undang tersebut memiliki 39 pasal dengan ancaman pidana yang tidak memperhatikan unsur kesengajaan atau dengan kata lain bahwa peraturan tersebut memiliki motif kriminalisasi yang sangat luas. Demikianlah ironisnya bahwa di tengah rentannya kondisi penjara terhadap peredaran gelap narkoba, upaya penanggulangan narkoba dari pendekatan supply reduction memiliki konsekuensi untuk melahirkan narapidana lebih banyak lagi. Pendekatan kedua adalah demand reduction atau pengurangan permintaan.24 Pada pendekatan ini strategi diarahkan kepada pencegahan primer dan pemberdayaan masyarakat melalui penyebarluasan informasi, penyuluhan, serta program-program pemulihan kecanduan yang dikembangkan baik oleh pemerintah maupun oleh lembagalembaga swadaya masyarakat. elalui kegiatan-kegiatan pencegahan maka diharapkan masyarakat dapat menolak kehadiran narkoba. Pendekatan ini juga dilakukan kepada narapidana karena, oleh karena itu karena telah mengabaikan perawatan dan kesehatan. Pada konsiderans Melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi dikatakan bahwa karena sebagian besar narapidana kasus narkoba merupakan golongan pemakai narkoba maka pemenjaraan bukanlah langkah yang tepat, selain itu kondisi lembaga pemasyarakatan tidak mendukung perawatan dan pengobatan karena keterpengaruhan oleh perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan 24
Ibid. Hal. 61.
11
kesehatan pengguna narkoba. Oleh karena itu, terhadap pengguna narkoba dalam kategori pemakai, hakim diperintahkan untuk menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi narkoba.25 Pendekatan ketiga adalah harm reduction atau pengurangan dampak buruk.26 Perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai narkotika semakin mengarah kepada semangat bahwa pengguna narkoba sejatinya adalah korban dari kejahatan yang dilakukan oleh para pengedar narkoba. Pengedar narkoba dipandang sebagai pihak yang mengambil keuntungan dari adanya kecanduan pada diri pengguna narkoba. Sementara, pengguna narkoba dan orang-orang di sekitarnya (contoh: teman sebaya dan pasangan seks) berada pada posisi yang rentan terhadap penularan penyakit. Oleh karena itu, pemerintah melakukan kegiatan pengurangan dampak buruk berupa terapi rumatan metadon27 dan juga melalui layanan jarum suntik steril, serta dukungan sebaya. Pendekatan ini dilindungi oleh Peraturan Menko Kesra Nomor 02 Tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik yang menyatakan bahwa kegiatan harm reduction merupakan komponen penting dalam program penanggulangan AIDS di Indonesia.
25
Pasal 2 (b) Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. 26 WHO, Status Paper on Prisons, Drugs, and Harm Reduction, WHO, 2005, hal. 5. 27 Terapi rumatan metadon: Terapi substitusi terutama ditujukan kepada pasien ketergantungan opioida. Sasaran terapi; mengurangi perilaku kriminal, mencegah penularan HIV/AIDS, mempertahankan hidup yang produktif dan menghentikan kebiasaan penggunaan rutin Napza, khususnya opioida. Substitusi yang digunakan dapat bersifat agonis (methadone), agonis partial (buphrenorphine) atau antagonis (naltrexone). Methadone Maintance Therapy (MMT), sering disebut Terapi Rumatan Metadone (TRM) yang paling umum dijalankan. Pasien yang mengikuti terapi substitusi tidak memerlukan hospitalisasi (rawat residensi) jangka panjang. Terapi ini akan berjalan dengan sangat efektif bila disertai dengan konsultasi dan intervensi perilaku. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 567/SK/VIII/2006, Hal. 37.
12
Ketiga pendekatan ini dilakukan secara bersamaan karena jika hanya dilakukan supply reduction saja maka demand akan mencari jalur peredaran baru, sementara harm reduction harus dilakukan untuk melindungi pengguna narkoba dari dampak buruk baik secara sosial maupun fisik. Untuk penjara, ketiga pendekatan ini juga sudah mulai diterapkan walaupun belum menyeluruh. Akan tetapi, tantangan yang menghalang juga semakin membesar bahwa selain peredaran narkoba tetap berlangsung, dampak lanjutan dari penggunaan narkoba juga semakin luas dan belum dapat tertangani seluruhnya baik itu masalah kesehatan maupun kejahatan.
III. KESIMPULAN Salah satu cara untuk menekan kemiskinan dan dampaknya adalah dengan membuat jarak sejauh-jauhnya antara kemiskinan dan narkoba. Kombinasi antara kemiskinan dengan narkoba pada lingkungan mana pun akan memperluas dan memperparah
kemiskinan
itu
sendiri.
Pemerintah
melalui
tiga
pendekatan
penanggulangan narkoba telah berupaya memperbesar jarak tersebut. Pada posisinya, penduduk miskin di luar penjara memiliki pilihan yang lebih leluasa untuk terhindar dari narkoba. Sementara, narapidana yang berada dalam suatu lingkungan tertutup dengan segala permasalahan pada kondisi penjara, memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk bersentuhan dengan narkoba. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa penjara merupakan tempat yang sangat ideal untuk bertemunya kemiskinan dengan narkoba. Ketiga pendekatan penanggulangan narkoba yang kuat di dalam penjara akan memperbesar jarak antara kemiskinan dan narkoba. Keberlanjutan kegiatan harm reduction karena narapidana berhak atas perlindungan dirinya dari infeksi penyakit dan
13
perlindungan demikian tidak dapat menunggu keberhasilan demand reduction. Sejalan dengan hal tersebut, dalam kaitannya dengan adanya hubungan seks sesama jenis yang tidak aman, maka harm reduction berupa penyediaan pengaman seks (kondom) bagi narapidana juga menjadi bentuk perlindungan narapidana atas hak untuk kesehatan. Sebagai tempat yang ideal untuk bertemunya kemiskinan dengan narkoba, maka upaya pemutusan lingkaran kemiskinan harus menempatkan penjara sebagai area utama. Paling tidak, penjara harus mendapat perhatian yang cukup dan setara dengan masalah sosial lainnya di luar penjara. Populasi narapidana secara statistik sangat kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan populasi Republik Indonesia, namun demikian narapidana tidak dapat dipisahkan dari populasi umum karena para narapidana pada suatu waktu akan kembali ke masyarakat. Narapidana yang telah bebas dan kembali ke masyarakat akan membawa serta apa yang didapat di dalam penjara, termasuk faktorfaktor kemiskinan. Kondisi penjara yang tidak layak dapat membawa narapidana keluar sebagai pengguna narkoba, jaringan pengedar narkoba, atau sebagai orang dengan infeksi berbagai penyakit yang pada akhirnya menambah beban ekonomi bagi masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi penjara merupakan salah satu pengaruh dalam bergulirnya lingkaran kemiskinan. Upaya perbaikan kondisi penjara tersebut adalah dengan melakukan perbaikan dalam segala aspek, termasuk dalam hal pengelolaan populasi, perbaikan sarana dan sanitasinya, perbaikan aspek sosial hubungan antar narapidana, dan pemberdayaan petugas penjara. Layanan kesehatan yang memadai dapat meliputi tersedianya layanan tes HIV, penyuluhan seks aman, penyuluhan narkoba, layanan harm reduction termasuk kondom, pengobatan, dan dukungan sosial. Selain itu, penjara juga harus memiliki
14
program pra-pelepasan dimana narapidana yang dalam waktu dekat akan segera dibebaskan supaya mendapatkan persiapan terlebih dahulu. Persiapan ini dapat mencakup pemberian informasi mengenai ketersediaan layanan-layanan kesehatan lanjutan dan informasi mengenai kemungkinan pemberdayaan ekonomi keluarga. Dengan adanya prapelepasan ini, diharapkan narapidana dapat melanjutkan program harm reduction yang sudah dikenalnya di dalam penjara. Perbaikan kondisi penjara akan mengurangi risiko lahirnya pengguna narkoba baru disamping menurunkan risiko penularan penyakit. Dengan demikian, penjara dapat menjadi lembaga koreksional sebagaimana mestinya. Selain perbaikan kondisi penjara, pelaksanaan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 yang memerintahkan program rehabilitasi bagi terdakwa kasus narkoba dalam kategori pemakai dapat secara signifikan mengurangi dampak negatif pemenjaraan. Pemilihan rehabilitasi sebagai pemidanaan dapat mengurangi risiko penularan penyakit, selain itu, melalui rehabilitasi maka narapidana terhindar dari stigma penjara sehingga dapat lebih diterima di dunia kerja untuk pemenuhan kebutuhan ekonominya.
15
DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Colondam, V., ‘Kemiskinan, Narkoba, dan Peningkatan Kriminalitas’, Media Indonesia, 5 April 2008. ’Demi Biaya Anaknya, Ro Nekat Jual Ganja’, Pikiran Rakyat, 5 Desember 2009 Giguere, R., & Dundes, L., ‘Help Wanted: A Survey of Employer Concerns About Hiring Ex-Convicts’, Criminal Justice Policy Review 13, 2002 Gordon, J. S. H, Hasan, A. B. P., Gordon, D. D., Perempuan di Balik Tirai Narkoba: Menguak Realita Menjangkau Harapan, Jakarta: Ford Foundation, 2004 Hayton, P., ‘Protecting and Promoting Health in Prisons: A Settings Approach’, Health in Prisons: WHO Guide to the Essentials in Prison Health, WHO, 2007 Irawati I., Mesquita F., Winarso I., Hartawan , Asih, P.,‘Indonesia Sets Up Prison Methadone Maintenance Treatment’, Addiction (News and Notes), Volume 10, 2006 Open Society Institute (OSI), Harm Reduction Development 2008: Countries with Injection-Driven HIV Epidemics, OSI International Harm Reduction Development Program, 2008 Prodjodikoro, W., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003 Santoso, T., Zulfa, E.A., Kriminologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 UNODC, HIV/AIDS in Places of Detention: A Toolkit for Policy Makers, Managers, and Staff, UNODC and WHO, 2007 WartaAIDS, Menanggapi Epidemi HIV di Kalangan Pengguna Narkoba Suntikan: Dasar Pemikiran Pengurangan Dampak Buruk Narkoba, Jakarta: WartaAIDS, 2001 WHO, Status Paper on Prisons, Drugs, and Harm Reduction, WHO, 2005 Winarso, I., Irawati, I., Eka, B., Nevendorff, L., Handoyo, P., Salim, H., Mesquita, F., ‘Indonesian National Strategy for HIV/AIDS Control in Prisons: A Public Health Approach for Prisoners’, International Journal of Prisoner Health, 2(3), 2006 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan 1966 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 567/SK/VIII/2006 Peraturan Menko Kesra Nomor 02 Tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi.
16
Situs Internet Situs Resmi Badan Narkotika Nasional, http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php? nama=Kamus&op=kamus&letter=n&mn=6&smn=i&rows=20, diakses 25 April 2010. Situs Resmi Bank Dunia, http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTPOVERTY/0,,co ntentMDK:20153855~menuPK:373757~pagePK:148956~piPK:216618~theSiteP K:336992,00.html, diakses 26 Maret 2010. Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php? option=com_content&task=view&id=361&Itemid=99999999, diakses 26 Maret 2010. Situs Resmi Kementerian Hukum dan HAM, http://hukumham.info/index.php? option=com_content&task=view&id=2793&Itemid=99999999, diakses 27 Maret 2010.
17