LAPORAN PENELITIAN HIBAH REVITALISASI KURIKULUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER
PENINGKATAN PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI PENERAPAN STANDARDISASI DAN SERTIFIKASI MUTU PRODUK PANGAN OLAHAN
Oleh : Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H. Edi Wahyuni, S.H., M.Hum. Johan Sandi Putra
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JEMBER FAKULTAS HUKUM 2012
i
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
IDENTITAS PENELITIAN .............................................................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
v
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1. Latar Belakang Penelitian ..................................................................
1
2. Tujuan Penelitian ...............................................................................
2
3. Manfaat Penelitian .............................................................................
2
4. Urgensi (Keutamaan Penelitian) ........................................................
3
II. STUDI PUSTAKA ..................................................................................
6
III. METODE PENELITIAN ........................................................................
16
IV. PEMBAHASAN .....................................................................................
19
1. Instrumen Hukum yang Terkait dengan Penerapan Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk Pangan Olahan serta Tanggung Jawab Produsen Pangan Olahan Dalam Upaya Menciptakan Pembangunan Ekonomi Nasional yang Berkeadilan .................................................
19
2. Penerapan Tanggung Jawab Produk, Standardisasi dan Mutu Produk
Mutu
Produk
Pangan
Olahan
untuk
Memberikan
Perlindungan Terhadap Konsumen ....................................................
42
3. Konsep Pengembangan Tanggung Jawab Produk, Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk Pangan Olahan untuk Meningkatkan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen ...................................................
63
V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
92
1. Kesimpulan ........................................................................................
92
2. Saran ...................................................................................................
93
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
95
LAMPIRAN .....................................................................................................
106
1. Curiculum Vitae Ketua Peneliti .............................................................
106
2. Curiculum Vitae Anggota Peneliti ..........................................................
115
ii
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul Penelitian
2. Bidang Ilmu 3. Ketua Peneliti a. Nama dan Gelar b. Jenis Kelamin c. NIP d. Jabatan Struktural e. Jabatan Fungsional f. Pangkat/Gol. g. Fakultas/Jurusan h. Pusat Penelitian i. Alamat Kantor j. Alamat Rumah k. Telephone l. E-mail 4. Lama kegiatan 5. Usulan Biaya 6. Sumber Pembiayaan
: Peningkatan Perlindungan Konsumen Melalui Penerapan Standardisasi dan Sertifikas Mutu Produk Pangan Olahan : Hukum Ekonomi : : : : : : : : : : : : : : :
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H. Laki-laki 19720217 199802 1 001 Lektor Penata /III-c Fakultas Hukum / Jurusan Hukum Keperdataan Lembaga Penelitian Universitas Jember Jl. Kalimantan 37, Kampus Bumi Tegal Boto Jember Perum Taman Anggrek Regency Blok C1/28 Jember 08156217697
[email protected],
[email protected] 3 (tiga) bulan Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) Dana Hibah Revitalisasi Kurikulum Fakultas Hukum Universitas Jember Jember, November 2012
Mengetahui, Dekan
Ketua Peneliti,
Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H., M.Hum NIP. 19710501 199303 1 001
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H NIP. 19720217 199802 1 001
Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian Universitas Jember,
Prof. Dr. Achmad Subagio NIP. 196905171992011001 iii
IDENTITAS PENELITIAN
1. Judul Usulan Penelitian
2. Ketua Peneliti (a) Nama lengkap (b) Bidang Keahlian 3. Anggota Peneliti 5. Objek Penelitian 6. Waktu Penelitian Mulai Selesai 7. Biaya yang Diusulkan 8. Lokasi Penelitian 9. Hasil yang Ditargetkan
: Peningkatan Perlindungan Konsumen Melalui Penerapan Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk Pangan Olahan : Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H : Hukum Ekonomi (Hukum Perlindungan Konsumen) : 1. Edi Wahjuni, S.H., M.Hum. 2. Johan Sandi Putra (Mahasiswa) : Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk Pangan Olahan : 4 (empat) bulan : Agustus 2012 : November 2012 : Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah) : Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Jember. : Menghasilkan desain/prototipe sistem (penerapan) standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan yang efektif dan efisien bagi Pelaku Usaha dan mampu meningkatkan perlindungan konsumen.
iv
ABSTRAK
Produk pangan olahan yang beredar dipasaran belum semuanya memberikan jaminan atas mutu dan keamanan pangan bagi konsumen. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya kasus yang menimpa konsumen akibat mengkonsumsi produk pangan olahan tersebut. Permasalahan ini selain dipengaruhi oleh lemahnya kesadaran pelaku usaha untuk berproduksi secara baik, juga karena belum diterapkannya standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan dengan baik serta masih lemahnya pengawasan dalam bidang ini. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang upaya peningkatan perlindungan konsumen melalui penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan desain/prototipe sistem (penerapan dan pengawasan) standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan yang efektif dan efisien bagi pelaku usaha dan yang mampu meningkatkan perlindungan konsumen. Sehingga diharapankan, proses standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan dapat dilaksanakan dengan mudah, murah dan berkualitas, sehingga akan menghasilkan produk yang berdaya saing dan aman bagi konsumen. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dengan didukung oleh data primer dan data sekunder, yang selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif dan dideskriftifkan dengan menggunakan logika deduktif maupun induktif. Penelitian ini akan dilakukan selama 4 (empat) bulan dengan tahapan kegiatan : 1) inventarisasi bahan hukum; 2) penelitian lapangan; 3) analisis data dan bahan hukum; 4) pelaporan dan evaluasi; dan 5) desiminasi dan publikasi. Berdasarkan metode di atas, hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa adanya instrumen hukum (materi dan kelembagaan) yang terkait dengan penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan di Indonesia dan produsen pangan olahan memiliki tanggung jawab berproduksi secara baik dengan memenuhi standar mutu yang ditentukan dan jika produknya merugikan konsumen, maka dia harus memberikan ganti rugi. Penerapan tanggung jawab produk pangan olahan masih menggunakan instrumen hukum yang bersifat umum yang terkandung dalam KUHPerdata dan undang-undang sektoral. Sedangkan penerapan standardisasi produk pangan, masih menggunakan instrumen hukum setingkat peraturan pemerintah dan keputusan Kepala BSN yang diadopsi dari ketentuan standar internasional, sehingga belum memberikan kepastia hukum dan daya paksa yang kuat. Untuk itu, dalam rangka pengembangan tanggung jawab produk dan standardisasi mutu produk kedepan, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: 1) penguatan regulasi dengan membentuk Undang-Undang Sistem Standardisasi Nasional dan Undang-Undang Tanggung Jawab Produk yang memasukkan prinsip tanggung jawab mutlak dan pembuktian terbalik; 2) melakukan penguatan Manajemen Teknis Pengembangan SNI; 3) penerapan teknologi informasi dan pembentukan jaringan pakar; 4) melakukan restrukturisasi kelembagaan; 5) memperkuat fungsi Masyarakat Standardisasi Indonesia;
v
BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Penelitian Semakin terbukannya pasar nasional dan internasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi yang didukung dengan kemajuan teknologi, membawa konsekuensi terhadap semakin ketatnya tingkat persaingan dan perkembangan produk pangan olahan yang beredar dipasaran. Produk dalam negeri harus mampu bersaing dengan produk asing (impor) baik dari segi kuantitas maupun kualitas, jika produk tersebut mau tetap bertahan dipasaran. Produk pangan olahan yang beredar dipasaran tersebut belum semuanya memberikan jaminan atas mutu dan keamanan bagi konsumen. Banyaknya kasus yang menimpa konsumen akibat mengkonsumsi produk pangan olahan yang tidak memenuhi standard mutu yang ditentukan, misalnya kasus susu kemasan yang mengandung melamin, ketidakhalalan bumbu masak ajinomoto, permen yang mengandung zat adiktif, dan lain-lain. Masalah-masalah tersebut dapat terjadi karena dimungkinkan: a) masih lemahnya sistem pengawasan pangan olahan yang beredar di pasaran; b) masih lemahnya penerapan standardisasi mutu produk; c) masih rendahnya kesadaran produsen untuk berproduksi secara baik (memenuhi standar yang ditentukan); dan d) masih lemahnya tingkat kesadaran konsumen. Permasalahan ini dipengaruhi (diperparah) oleh masih lemahnya regulasi yang mengatur tentang penerapan standardisasi dan sertifikasi produk (masih bersifat voluntair) dan dimungkinkan masih mahal dan berbelitnya proses standardisasi dan sertifikasi produk. Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang bagaimana upaya meningkatkan perlindungan konsumen terhadap pangan olahan melalui penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk.
1
2.
Tujuan Penelitian a.
Untuk mengetahui dan memahami ketersediaan instrumen hukum (materi dan kelembagaan) yang terkait dengan penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan di Indonesia.
b.
Untuk mengetahui dan memahami penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan dalam upaya meningkatkan perlindungan terhadap konsumen.
c.
Untuk menemukan konsep/desain sistem (penerapan dan pengawasan) standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan yang lebih efektif dan efisien bagi pelaku usaha dan yang mampu meningkatkan perlindungan terhadap konsumen.
3.
Manfaat Penelitian a. Secara Teoritis Manfaat hasil penelitian ini secara umum (eksternal) dapat memberikan sumbangan pemikiran atau bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan wawasan dibidang hukum ekonomi khususnya yang berkaitan dengan penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan dalam upaya peningkatan perlindungan
konsumen di Indonesia. Adapun secara khusus
(internal), hasil kajian dan analisis (materi) dari penelitian ini dapat menjadi bahan publikasi ilmiah baik dalam bentuk jurnal maupun buku sehingga dapat dinikmati oleh para akademisi ataupun masyarakat secara umum. b. Secara Praktis Secara praktis hasil penelitian ini (luaran) secara eksternal dapat dijadikan bahan masukan, rujukan atau pertimbangan bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) baik di instansi/lembaga/ badan pemerintah dalam membuat kebijakan atau peraturan-peraturan yang terkait dengan standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan, maupun bagi pihak swasta/pelaku usaha dalam penerapan standardisasi mutu terhadap produk pangan olahan yang dihasilkan untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan kepada konsumen.
2
4.
Urgensi (Keutamaan Penelitian) Terbukannya pasar nasional dan internasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi yang didukung dengan kemajuan teknologi, membawa konsekuensi terhadap semakin ketatnya tingkat persaingan dan perkembangan produk pangan olahan yang beredar dipasaran. Namun produk yang beredar tersebut belum semuanya memberikan jaminan atas mutu dan keamanan bagi konsumen. Banyaknya kasus yang menimpa konsumen akibat mengkonsumsi produk pangan olahan, membuktikan bahwa: a) masih lemahnya sistem pengawasan pangan olahan yang beredar di pasaran; b) masih lemahnya penerapan standardisasi mutu produk; c) masih rendahnya kesadaran produsen untuk berproduksi secara baik (memenuhi standar yang ditentukan); dan d) masih lemahnya tingkat kesadaran konsumen. Permasalahan tersebut dipengaruhi antara lain karena masih lemahnya regulasi yang mengatur tentang penerapan standardisasi dan sertifikasi produk serta dimungkinkan masih mahal dan berbelitnya proses standardisasi dan sertifikasi produk. Dari kondisi yang demikian, penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
menghasilkan
desain/prototipe
sistem
(penerapan) standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan yang efektif dan efisien bagi pelaku usaha dan mampu meningkatkan perlindungan kepada konsumen. Sehingga harapannya kedepan, proses standardisasi dan sertifikasi produk (khususnya pangan olahan) dapat dilaksanakan dengan mudah, murah dan berkualitas, sehingga akan menghasilkan produk yang berdaya saing dan memberikan perlindungan kepada konsumen. Berkaitan dengan daya saing, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, semakin terbukannya pasar (nasional/ internasional) dalam era global, maka akan semakin ketat tingkat persaingannya. Dalam hukum pasar, siapa yang tidak mampu bersaing maka dia harus minggir. Dalam tingkat persaingan produk yang tinggi, konsumen secara leluasa dapat memilih produk-produk yang dianggap murah namun memiliki kualitas yang tinggi. Salah satu indikator untuk mengukur bahwa suatu produk tersebut berkualitas atau tidak adalah dengan melihat apakah produk tersebut memenuhi standard/tersertifikasi atau tidak. Untuk memenuhi prasyarat 3
tersebut, salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah dengan menerapkan standardisasi dan sertifikasi mutu. Artinya, suatu produk yang telah memenuhi standard yang telah ditentukan, diasumsikan telah memenuhi jaminan keamanan dan keselamatan bagi konsumen serta memiliki daya saing. Meskipun dalam kenyataannya, masih ada suatu produk yang telah terstandardisasi atau tersertifikasi masih merugikan konsumen. Jika hal demikian terjadi maka permasalahannya dimungkinkan pada aspek lemahnya pengawasan atau kurangnya tanggung jawab produsen untuk berproduksi secara baik. Masing-masing hal tersebut memiliki implikasi hukum yang terkait dengan tanggung jawab hukum sesuai dengan kewenangannya. Inilah yang menjadi masalah yang urgen dari perspektif hukum. Berkaitan dengan perlindungan konsumen, sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi dan pelaku usaha (produsen) memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan, yang salah satunya adalah untuk berproduksi sesuai dengan standard mutu yang telah ditentukan. Hal ini semata-mata untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Sehingga dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen kebanyakan pasalnya mengatur kewajiban dan larangan pelaku usaha dalam berproduksi dan memasarkan hasil produksinya. Mengapa masalah perlindungan konsumen ini penting? Semua produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan dalam proses produksi (oleh pelaku usaha), ujung-ujungnya adalah untuk dipasarkan dan dikonsumsi konsumen. Konsumen sebagai end user memiliki hak yang dijamin oleh undang-undang untuk mendapatkan kenyamanan dan keamanan dari produk barang/jasa yang dikonsumsinya. Jika tidak, maka pelaku usaha harus bertanggung jawab, dengan kata lain konsumen dapat menuntut atas hak-hak tersebut kepada pelaku usaha atas produk yang dipasarkan yang tidak sesuai dengan kualifikasi yang dinyatakan baik dalam iklan, label atau pernyataan lain yang oleh karenanya konsumen tertarik untuk membeli dan mengkonsumsi barang tersebut. Dalam ranah inilah, urgensi standardisasi dan sertifikasi produk diterapkan. Selain berfungsi memberikan jaminan atas mutu/kualitas dan keamanan bagi konsumen, juga sekaligus sebagai alat ukur bagi konsumen, apakah produk tersebut benar-benar telah memenuhi standar yang telah ditentukan atau tidak. Maka jika tidak, hal ini 4
akan menjadikan dasar bagi konsumen untuk melakukan gugatan kepada pelaku usaha. Disinilah pentingnya kajian hukum yang terkait dengan standardisasi dan sertifikasi produk dengan pemenuhan hak-hak konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha.
5
BAB II STUDI PUSTAKA
Semakin terbukanya pasar nasional dan internasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi tersebut, harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan jasa termasuk produk pangan olahan yang diperoleh konsumen di pasaran. Untuk menjamin kearah itu perlu ditetapkannya standarisasi1 dan sertifikasi2 produk. Penetapan standardisasi produk dilakukan dengan tujuan: a.
meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup;
b.
membantu kelancaran perdagangan;dan
c.
mewujudkan persaingan usaha yang sehat dalam perdagangan3. Adapun tujuan dilakukannya sertifikasi adalah untuk memberikan jaminan
tertulis dari lembaga sertifikasi, lembaga pelatihan, lembaga inspeksi dan laboratorium untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses dan personel telah memenuhi standard yang dipersyaratkan. Jaminan mutu yang didukung oleh sertifikasi akan meningkatkan
1
Yang dimaksud dengan “standarisasi” menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak. Adapun pengertian “standar” adalah specifikasi teknis atau sesuatu yang dilakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syaratsyarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya (Pasal 1 angka 1 PP No. 102 Tahun 2000). Menurut International Organzation for Standardization (ISO) dan International Electrotechnical Commision (IEC), standard is a document established by consensus and approved by a recognized body, that provides, for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics or their results, aimed at the achievement ofthe optimum degree of order in a given context. Standards should be based on the consolidated results of science, technology and experience, and aim at the promotion of optimum community benefits; important benefits of standardization are improvement of the suitability of products, process and services for their intended purpose, preention of barrier to trade and facilitation of technological cooperation. 2 Yang dimaksud dengan “sertifikasi” menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap barang dan/atau jasa. Adapun yang dimaksud “sertifikat” adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personil telah memenuhi standar yang dipersyaratkan. 3 Lihat ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Sandardisasi Nasional.
6
kepercayaan konsumen (nasional maupun internasional) terhadap barang/jasa yang diproduksi. Dengan demikian standardisasi dan sertifikasi produk dapat mendorong para produsen untuk meingkatkan mutu dan daya saing produksinya, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor dan tercapainya persaingan yang sehat dalam perdagangan. Indonesia yang merupakan bagian dari ekonomi global yang ditandai dengan meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization dengan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994, membawa konsekuensi bahwa produk barang dan jasa yang dihasilkan dan dipasarkan keluar negeri (ekspor) harus memenuhi standar dan tersertifikasi secara internasional. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, maka kemungkinan besar produk barang dan jasa yang berasal dari Indonesia akan ditolak di pasar internasional. Dengan demikian, Indonesia harus mampu bersaing dan terus meningkatkan kualitas produk barang dan/atau jasa yang dihasilkannya yang memenuhi standar dan kualifikasi internasional. Di satu sisi, penerapan standard dapat mendatangkan manfaat bagi perusahaan karena dapat membantu meningkatkan kinerjannya secara profesional. Adanya kinerja yang profesional akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam proses produksi, sehingga mampu menekan biaya operasional dan meningkatkan juga kualitas produksi dan produktivitas perusahaan. Peningkatan produktivitas akan diikuti peningkatan kualitas dan kuantitas ekspor. Di sisi yang lain, penerapan standard akan memberikan jaminan kepada konsumen dan akan sangat mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu produk. Hal ini dapat dipahami karena konsumen di negara maju sudah semakin kritis dan peduli terhadap keselamatan,
keamanan dan kesehatan dirinya
dalam
mengkonsumsi suatu produk (barang maupun makanan) yang dihasilkan oleh pelaku usaha (produsen). Posisi konsumen tidak lagi mudah dipermainkan oleh pelaku usaha. Konsumen memiliki posisi tawar (bargaining posisition) dalam menentukan pasar dan dapat memboikot produk-produk yang tidak memenuhi standard yang dipersyaratkan. Dengan kondisi yang demikian, maka dapat dipahami bahwa dalam era perdagangan
7
bebas hanya produk-produk yang berkualitas yang akan mampu bersaing dan bertahan di pasar dunia. Terlepas dari pemikiran di atas, ada pandangan lain yang menyatakan bahwa penerapan standardisasi dan sertifikasi (secara internasional) dapat menimbulkan kolonialisme baru secara ekonomis dan membuat negara-negara berkembang menjadi sangat tergantung kepada negara-negara maju. Negara maju telah memiliki kapital yang kuat dan didukung dengan penguasaan teknologi yang canggih serta memiliki pemahaman manajerial yang baik. Keunggulan yang dimiliki oleh negara maju tersebut, akan memudahkan untuk menguasai pasar dunia khususnya di negara-negara sedang berkembang. Sementara, negara-negara berkembang masih sangat membutuhkan bantuan teknologi dan permodalan dari negara maju untuk dapat mengembangkan perekonomian nasionalnya. Dilihat dari kondisi ini, sangatlah tidak seimbang posisi negara maju dengan negara berkembang dalam menerapkan standarisasi dan sertifikasi atas produk yang dihasilkan oleh industrinya. Standarisasi menjadi syarat yang tidak terelakkan bagi negara-negara yang ingin mengakses pasar dunia. Melihat ketidakseimbangan posisi tersebut, tuntutan penerapan standardisasi bagi negara-negara berkembang sangatlah tidak adil. Berdasarkan pandangan negara berkembang, penerapan standarisasi dirasakan sebagai trade barrier untuk mengejar perkembangan negara-negara maju dan untuk memasuki pasar dunia (internasional). Kondisi yang demikian dapat dikatakan bahwa standarisasi merupakan usaha negara-negara maju untuk melegalkan keinginannya menguasai pasar dunia4. Dengan mengembangkan hambatan teknis berupa standar, negara-negara maju tidak akan begitu saja memberikan peluang bagi masuknya produkproduk dari negara berkembang yang tidak memenuhi syarat standard. Sementara negara-negara maju telah terlebih dahulu menerapkan sistem standardisasi, khususnya standard mutu. Dengan demikian, kesempatan ini digunakan untuk membatasi eksport hasil industri negara-negara berkembang. Standardisasi ternyata cukup menyulitkan negara-negara berkembang untuk mengejar perkembangan negara-negara maju, bahkan belum secara sepenuhnya negara4
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 16.
8
negara berkembang menerapkan sistem standard mutu ISO 9000, sudah muncul sistem baru, yaitu standard lingkungan ISO 14000. Terlepas dari pandangan yang negatif tersebut, standardisasi dan sertifikasi produk juga mempunyai aspek atau dampak positif, yaitu selain untuk memenuhi kepentingan persaingan pasar internasional, juga akan memberikan kepastian atas mutu atau kualitas dan keamanan suatu produk yang dipasarkan dan yang akan dikonsumsi oleh konsumen nasional maupun internasional. Hal ini sejalan dengan tujuan disusunnya standarisasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Agreement on Tecnical Barriers to Trade, yang mencakup : a.
Untuk Kepentingan Nasional. Penetapan standar yang disyaratkan dalam proses produksi dan perdagangan maka suatu negara dapat terhindar dari dampak-dampak yang diakibatkan oleh masuknya produk-produk impor yang kualitasnya berada di bawah standar yang telah ditetapkan, dapat terhindar dari ancaman produk-produk berbahaya dan dapat terhindar dari praktik dumping, yang kesemuanya dapat merugikan kepentingan nasional.
b.
Untuk Pencegahan dari Paraktik yang Menyesatkan. Penetapan standar juga mensyaratkan adanya sistem informasi yang terbuka, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dapat dengan mudah mengakses informasi yang diperlukan. Dengan demikian dapat terhindar dari praktikpraktik unfair trade yang akan merugikan pihak konsumen (terciptanya persaingan yang sehat).
c.
Untuk Perlindungan Kesehatan dan Keamanan Konsumen. Penerapan standar yang diikuti dengan aturan hukum yang jelas, akan memberikan kontribusi yang besar terhadap perlindungan kesehatan dan keamanan konsumen. Jika pelaku usaha karena kelalaian atau dengan sengaja melanggar peraturan yang diwajibkan baginya, maka kepadanya dapat dikenakan sanksi. Di Indonesia sendiri dalam upaya menata jaringan dan kegiatan standardisasi
yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional dan internasional, membuat suatu sistem standardisasi nasional yang di dalamnya melingkupi kegiatan penelitian 9
dan
pengembangan
standardisasi,
perumusan
standard,
penetapan
pemberlakuan standard, penerapan standard, akreditasi, sertifikasi,
standard, metrologi,
pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan standardisasi5. Terciptanya Sistem Standardisasi Nasional tersebut,
diharapkan dapat
menghasilkan6 : a.
Standard Nasional yang mencukupi serta selaras dengan standard internasional untuk kebutuhan jaminan mutu internal dan kesepakatan perdagangan;
b.
Sistem penerapan standard yang dapat menunjang peningkatan efisiensi dan produktivitas ditingkat
produksi,
menjamin
terlaksananya perlindungan
konsumen dalam aspek kesehatan, keselamatan, keamanan dan pelestarian lingkungan hidup; c.
Keunggulan kompetitif atas produk Indonesia di pasar global;
d.
Informasi standardisasi yang diperlukan oleh pelaku usaha, pemerinah dan konsumendalam rangka memperlancar arus perdagangan domestik maupun internasional; dan
e.
Tumbuh dan berkembangnya kelembagaan sertifikasi, laboratorium, dan lembaga inspeksi yang sehat, kredibel dan berdaya saing. Namun untuk mewujudkan hal tersebut di atas, masih adanya beberapa
kendala yang dihadapi, yaitu antara lain : masih rendahnya kesadaran masyarakat dan pelaku usaha terhadap sandard mutu produk, masih belum mencukupinya jumlah standard nasional yang dapat mendukung produk industri, masih belum memadainya instrumen hukum atau peraturan yang mendorong terwujudnya penerapan standar yang efektif dan efisien, masih kurangnya kelembagaan yang bergerak dibidang standardisasi dan sertifikasi produk yang kompeten, masih kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dibidang standardisasi dan sertifikasi produk, belum adanya integrasi dan koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan yang 5
Lihat pengertian Sistem Standardisasi Nasional dalam Peraturan Pemerintah No. 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dan Lampiran Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3401/BSN-I/HK.71/11/2001. 6 Lihat Bab II Kebijakan Strategis Pembangunan Standardisasi Nasional, dalam Lampiran Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3401/BSN-I/HK.71/11/2001 tentang Sistem Standardisasi Nasional.
10
bergerak di bidang standardisasi dan sertifikasi produk, masih kurangnya penerapan teknologi yang canggih yang mengahasilkan akurasi dan standard kualifikasi yang tinggi, dan masih banyaknya kendala-kendala lain yang bersifat teknis7. Terlepas dari masih banyaknya kendala-kendala yang dihadapi, Indonesia telah menerapkan “Standardisasi Nasional Indonesia (SNI)”. Penerapan ini dimaksudkan untuk mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personel sehingga dapat memberikan kepercayaan kepada konsumen dan pihak terkait bahwa suatu barang/jasa, proses, sistem atau personel, telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Pada akhirnya hal ini akan mewujudkan peningkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna serta perlindungan terhadap konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Kelembagaan yang mendukung diterapkannya SNI tersebut adalah antara lain Badan Standardisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan Komite Standard Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). Badan Standardisasi Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 sebagaimana yang telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2001, mempunyai tugas membantu Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang standardisasi nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi yang dimiliki BSN antara lain adalah: a.
Mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang standardisasi nasional;
b.
Mengkoordinasikan kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN;
c.
Menyelenggarakan pelancaran dan pembinaan tehadap kegiatan instansi pemerintah di bidang standardisasi nasional; dan
d.
Menyelenggarakan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di bidang standardisasi. Komite Akreditasi Nasional (KAN) merupakan lembaga non-struktural yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dengan tugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN dalam menetapkan
7
Lihat Sistem Standardisasi Nasional pada Bab II Kebijakan Strategis Pembangunan Standardisasi Nasional dalam Lampiran Keputusan Kepala BSN No. 3401/BSN-I/HK.71/11/2001, hlm. 7.
11
sistem akreditasi dan sertifikasi8. Komite Akreditasi Nasional memberikan akreditasi kepada lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium baik yang berlokasi di Indonesia maupun di luar negari. Komite Akreditasi Nasional menetapkan peraturandan persyaratan pemberian, pemeliharaan, perluasan, perpanjangan, penundaan dan pencabuan akreditasi, baik sebagian atau keseluruhan dari lingkup akreditasi. Komite Standard Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) adalah sama halnya dengan KAN sebagai lembaga non-struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas yang dimiliki adalah memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standard nasional untuk satuan ukuran. Selain ketiga lembaga di atas, ada lembaga-lembaga teknis yang mendukung penerapan standarisasi nansional, yaitu lembaga sertifikasi, laboratorium, dan lembaga inspeksi. Lembaga sertifikasi mempunyai tugas melakukan kegiatan penilaian kesesuaian terhadap persyaratan tertentu, dimana hasil penilaian dinyatakan dengan sertifikat. Misalnya sertifikat sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, sertifikasi produk, sertifikasi personel, sertifikat sistem keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control Point – HACCP) dan sertifikat lainnya di bidang standardisasi. Laboratorium meliputi laboratorium penguji dan laboratorium kalibrasi yang melakukan kegiatan pengujian dan/atau kalibrasi, dimana hasil pengujian tersebut dinyatakan dengan sertifikat hasil uji atau sertifikat kalibrasi. Lembaga inspeksi mempunyai tugas melakukan pemeriksaan kesesuaian barang dan/atau jasa terhadap ersyaratan tertentu, dimana hasil pemeriksaan dinyatakan dengan sertifikasi hasil inspeksi. Dalam perspektif hukum, penetapan standard dan/atau pemberian sertifikasi mutu atas suatu produk barang maupun jasa oleh lembaga-lembaga sebagaimana tersebut di atas, dapat dikonstruksi sebagai suatu perjanjian yang mengikat terhadap para pihak (pelaku usaha, konsumen dan lembaga yang mengeluarkan standard atau sertifikasi), jika suatu produk tersebut ditetapkan telah memenuhi suatu standar (nasional/internasional) ataupun telah bersertifikasi. Dengan demikian ada tanggung 8
Komite Akreditasi Nasional (KAN) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2001.
12
jawab hukum yang harus dipikul di dalamnya. Hubungan dan tanggung jawab hukum tersebut tidak hanya melibatkan antara produsen sebagai pihak yang memproduksi/menghasilkan suatu barang/jasa dengan konsumen sebagai pihak yang mengkonsumsi suatu produk tersebut (end user), tetapi juga lembaga atau badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan standardisasi atau sertifikasi mutu produk tersebut. Jika konsumen mengkonsumsi atau menggunakan suatu produk yang telah terstandarisasi dan tersertifikasi, tetapi produk tersebut masih merugikan konsumen, maka permasalahan hukumnya adalah siapa yang bertanggung jawab, apakah
produsen
ataukah
lembaga/badan
yang
mengeluarkan
standard
mutu/sertifikat mutu tersebut? Terlebih lagi adalah adanya produk-produk yang beredar dipasaran yang belum memenuhi standard atau belum tersertifikasi. Siapa yang bertanggung jawab jika produk tersebut mengakibatkan kerugian terhadap konsumen? Pelaku sahakah atau pemerintah? Di Indonesia, produk-produk home industry khususnya pangan olahan kebanyakan belum terstandardisasi dan tersertifikasi dengan baik. Produkproduk ini dengan bebasnya meluncur begitu saja ke pasaran tanpa adanya kontrol. Jangankan pada tuntutan standardisasi dan sertifikasi produk, untuk pelabelan saja yang dapat memberikan keterangan kepada konsumen atas komposisi bahan yang digunakan, belum tercantum label produk dalam kemasan. Melihat hal ini, sangat rentan sekali posisi konsumen terhadap jaminan kesehatan, keselamatan dan keamanan dalam mengkonsumsi produk makanan olahan yang beredar di pasaran. Melihat permasalahan tersebut, penerapan standardisasi dan sertifikasi produk (khususnya produk pangan olahan) tidak hanya untuk kepentingan peningkatan daya saing produk, sehingga produk tersebut dapat bersaing di pasaran (nasional maupun internasional), tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Memang sampai saat ini penerapan standardisasi dan sertifikasi atas suatu produk masih bersifat voluntary, belum merupakan mandatory terutama yang terkait dengan produk pangan olahan. Hanya produk-produk tertentu saja terutama yang terkait dengan konstruksi, rekayasa mekanik, rekayasa elektronik, rekayasa kima, rekayasa otomotif, obat-obatan (diluar obat tradisional dan jamu), pertambangan dan 13
radioaktif yang diwajibkan oleh instansi teknis yang bersangkutan. Oleh karena itu, produsen secara sukarela masih mempunyai pilihan, apakah produk yang dihasilkannya akan distandarisasi/disertifikasi atau tidak. Mungkin pertimbangan yang dimiliki oleh pelaku usaha tidak menstandardisasi atau mensertifikasi produk yang dihasilkannya karena mahalnya proses standardisasi atau sertifikasi atau karena tanpa itupun produk yang dihasilkannya laku dipasaran. Artinya, konsumen belum menjadikan produk yang memenuhi standard dan tersertifikasi menjadi pilihan utamanya, dengan alasan lebih mahal atau tidak ada pilihan lain. Jika suatu produk telah distandarisasi/disertifikasi, maka produk tersebut harus benar-benar memberikan jaminan atas kualitas dan keamanan dari produk yang bersangkutan. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa jika suatu produk telah memenuhi standar dan tersertifikasi, maka produk tersebut dipastikan akan memberikan jaminan dan perlindungan kepada konsumen. Namun dalam kenyataannya masih banyak ditemui produk-produk yang telah berstandar dan bersertifikasi masih merugikan konsumen, apalagi terhadap produk-produk yang belum memenuhi standar dan tersertifikasi. Padahal dengan lahirnya UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999, hak-hak konsumen secara eksplisit telah diatur, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 UUPK, yaitu: a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak 14
diskriminatif; h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian akan menjadi suatu konsekuensi jika Pelaku Usaha dalam
menjalankan usahanya tidak mengindahkan hak-hak konsumen9 dan melanggar kewajiban10 serta pelarangan11 yang harus ditaati, akan mendapatkan sanksi sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
9
Lihat ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 10 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 11 Diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
15
BAB III METODE PENELITIAN
Setiap penelitian hukum selalu mempunyai dasar filosofis, yaitu kebenaran, keadilan, kejujuran, obyektivitas, dan keteraturan. Penelitian hukum merupakan proses kegiatan berfikir dan bertindak logis, metodis, dan sistematis mengenai gejala yuridis, peristiwa hukum atau fakta empiris yang terjadi disekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran yang bermanfaat bagi kehidupan12. Dalam upaya kearah itu, metode penelitian dalam penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut : Metode
penelitian
yang
digunakan
menggambarkan dan menganalisis data
bersifat
deskriftif
analitis,
yaitu
yang diperoleh berupa data sekunder dan
didukung oleh data primer13 mengenai berbagai masalah yang terkait
dengan
penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan dalam upaya meningkatkan perlindungan konsumen. Sesuai dengan bidang kajian Ilmu Hukum, pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yang didukung dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach)14 yang terkait dengan penerapan standardisasi dan sertifikasi produk pangan olahan dalam upaya meningkatkan perlindungan konsumen. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1.
Bahan Hukum Primer dalam bentuk antara lain Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm.1-2. Lihat J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995, hlm.3. 14 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif adalah penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum secara vertikal dan horisontal dari perundang-undangan, perbandingan hukum dan sejarah hukum, lihat dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.14. Lihat pula Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Edisi I, Cetakan ke-3, 2007, hlm.93-95. 13
16
Pangan, Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standardisasi Nasional Indonesia. 2.
Bahan Hukum Sekunder berupa tulisan-tulisan para ahli di bidang hukum baik nasional maupun internasional, jurnal dan majalah hukum bisnis yang didapat melalui studi kepustakaan yang membahas tentang standardisasi dan sertifikasi barang dan jasa khususnya produk pangan olahan dan teori atau kajian tentang perlindungan konsumen.
3.
Bahan Hukum Tersier berupa kamus hukum, kamus ekonomi, ensiklopedia, artikel pada surat kabar, majalah dan internet. Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research) dan penelitian lapangan (field research) untuk mendukung bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan mulai dari inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan materi bahasan sampai pada penelitian substansi materi yang memberikan dasar pengaturan tentang diterapkannya standardisasi dan sertifikasi produk khususnya produk pangan olahan dalam upaya meningkatkan daya saing produk dan perlindungan terhadap konsumen. Selain penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, dalam penelitian kepustakaan juga melakukan inventarisasi dan kajian terhadap bahan-bahan hukum sekunder yang berupa tulisan-tulisan para ahli hukum baik nasional maupun internasional, jurnal dan majalah hukum serta bahan-bahan hukum tersier yang relevan dengan materi pembahasan. Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer sebagai data pendukung untuk melengkapi studi kepustakaan. Studi lapangan ini diperlukan untuk mendapatkan data tentang bagaimana penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan yang menjadi obyek perdagangan. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner, pedoman wawancara dan wawancara langsung dengan narasumber dan responden terpilih. Narasumber dan responden yang dimaksud adalah pihak yang dianggap mengetahui dan memahami bidang yang akan diteliti. Sesudah memperoleh bahan hukum dan data pendukung yang diperlukan, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis. Analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatif dengan menggunakan daya abstraksi dan 17
penafsiran hukum (interpretasi)15, untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk uraianuraian (deskripsi) dengan menggunakan logika deduktif maupun induktif 16. Selain itu akan digunakan analisis data berdasarkan pendekatan ekonomi sebagaimana yang dikemukakan oleh Richard A. Posner (Economic Analysis of Law)17 untuk mengetahui keterkaitan dan relevansi antara kepentingan hukum dengan kepentingan ekonomi dalam masalah penerapan standardisasi dan sertifikasi produk yang dihubungkan dengan peningkatan perlindungan terhadap konsumen. Untuk memperoleh bahan hukum dan data yang diperlukan, lokasi penelitian difokuskan pada : 1.
Perpustakaan Fakultas Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Jember;
2.
Lembaga-lembaga Akreditasi atau sertifikasi setempat;
3.
Perpustakaan atau pusat data dan informasi lain yang menyediakan bahan hukum yang berkaitan dengan materi penelitian;
4.
Situs atau jaringan internet yang menyediakan layanan data dan informasi yang berkaitan dengan materi penelitian;
5.
Pusat data dan informasi Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur dan Kabupaten Jember. Penelitian ini akan dilakukan selama 3 (tiga) bulan dengan tahapan kegiatan : 1)
inventarisasi bahan hukum; 2) penelitian lapangan; 3) analisis data dan bahan hukum; 4) pelaporan dan evaluasi; dan 5) desiminasi dan publikasi.
15
Menurut Bagir Manan, penafsiran atau interpretasi hukum adalah usaha memberi makna suatu atau sejumlah kaidah hukum agar dapat diterapkan secara wajar dalam memecahkan suatu persoalan hukum. Lihat Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII-Press, Yogyakarta, 2004, Cet. I, hlm.73-74. Lhat pula Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm.9-12. 16 Menurut M. Daud Silalahi, semua penelitian memerlukan “logical reasoning”. Reasoning adalah proses berfikir yang menggunakan hukum berfikir (rules of logic), dengan mana suatu pernyataan umum (a general statement) untuk menghasilkan kesimpulan tertentu (specific conclusion, deduction) atau sebaliknya, dari pernyataan spesific ke suatu generalisasi (induction). Pada deductive reasoning, bilamana premis benar, maka konklusi dengan sendirinya (automaticly) benar. Kesimpulan dari a deductive logical syllogism tidak akan keluar dari premis (never extend beyond the content of the premises). Lihat M. Daud Silalahi, Metodologi Penelitian Hukum (Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi/Interdisiplin), Lawencon Binding Centre, Bandung, 2001, hlm.7. 17 Lihat Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little, Brown & Company, Second Edition, 1977.
18
BAB IV PEMBAHASAN
1.
Instrumen hukum yang terkait dengan penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan serta Tanggung Jawab Produsen Pangan Olahan Dalam Upaya Menciptakan Pembangunan Ekonomi Nasional yang Berkeadilan
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), bahwa tujuan dibentuknya suatu Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Amanat ini ditindaklanjuti dalam rumusan pasal-pasal yang terkandung dalam batang tubuh UUD 1945. Dalam upaya menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 memberi arah bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Asas dan prinsip ini menurut Sri Edi Swasono mencirikan demokrasi ekonomi khas Indonesia dan menurut Muhammad Hatta sistem ekonomi ini disebut sosialisme religius, yang lebih mengutamakan pada kepentingan masyarakat atau dengan kata lain kemakmuran masyarakat dan kedudukan rakyat ditempatkan dalam posisi substansial18. Demokrasi ekonomi Indonesia selain untuk memajukan kesejahteraan umum, juga bercita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (social justice, fairness, equity, equality), sehingga menyandang pemihakan (parsialisme, special favour) terhadap yang lemah, yang miskin dan yang 18
Lihat Sri Edi Swasono, Indonesia is Not for Sale: Sistem Ekonomi untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat, Bappenas, Jakarta, 2007, hlm. 5-7, 14, dan 40, dan lihat pula Sri Edi Swasono, Keparipurnaan Ekonomi Pancasila, FEUI-Depok, 2006, hlm. 17-20.
19
terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus ke arah pemberdayaan. Parsialisme terhadap yang tertinggal ini menurut Sri Edi Swasono bukanlah sikap yang diskriminatori apalagi bersikap “sara”, melainkan memberi makna positif pada doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan Indonesia. Dari sinilah titik tolak untuk menegaskan bahwa efisiensi ekonomi berdimensi kepentingan sosial. Hal inilah yang membedakan dengan pandangan ekonomi liberal yang memaknai “efisiensi ekonomi” pada maximum gain (dalam badan usaha ekonomi) dan maximum satisfaction (dalam transaksi ekonomi orangseorang). Untuk itu, perumusan kata “efisensi berkeadilan” yang termaktub dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945, dikandung maksud untuk menangkal masuknya pandangan neoliberalisme dalam sistem demokrasi ekonomi Indonesia. Keadilan sosial sering disamakan dengan kesejahteraan sosial, keadilan hukum, keadilan ekonomi dan beragam konsep yang muncul untuk merespon kompleksitas perubahan sosial masyarakat Indonesia dan globalisasi. Pada awalnya definisi konseptual keadilan sosial lebih merujuk pada kecukupan sandang-pangan dan tiadanya kemiskinan, namun dalam perkembangannya semakin meluas yang mencakup masalah keadilan di dalam hukum, keadilan dalam hubungan sosialekonomi, adanya jaminan kesehatan dan pelayanan umum bagi seluruh masyarakat dan lain-lain. Untuk mengukur tercapainya keadilan sosial, Tap MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan (2020) menentukan indikator yang terkait dengan keadilan dan kesejahteraan. Indikator untuk mengukur tercapainya keadilan adalah : a) tegaknya hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi; b) terwujudnya institusi dan aparat hukum yang bersih dan profesional; c) terwujudnya penegakan hak asasi manusia; d) terwujudnya keadilan gender; e) terwujudnya budaya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum; f) terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumber daya eonomi dan penguasaan aset ekonomi, serta hilangnya praktik monopoli; g) tersedianya peluang yang lebih besar bagi kelompok ekonomi kecil, penduduk miskin dan tertinggal.
20
Adapun indikator untuk mengukur tercapainya kesejahteraan adalah : a) meluasnya kesempatan kerja dan meningkatnya pendapatan penduduk sehingga bangsa Indonesia menjadi sejahtera dan mandiri; b) meningkatnya angka partisipasi murni anak usia sekolah; c) terpenuhinya sistem pelayanan umum, bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk pelayanan kepada penyandang cacat dan usia lanjut, seperti pelayanan transportasi, komunikasi, penyediaan energi dan air bersih; d) tercapainya hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk melalui sistem kesehatan yang dapat menjamin terlindunginya masyarakat dan berbagai risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan merata; e) meningkatnya indeks pengembangan manusia (human development index), yang menggambarkan keadaan ekonomi, pendidikan dan kesehatan secara terpadu; dan f) terwujudnya keamanan dan rasa aman dalam masyarakat. Menurut Aristoteles, keadilan dibedakan antara keadilan distributif19 dan keadilan korektif20. Berbeda dengan John Rawls, memaknai keadilan sebagai kejujuran (justice as fairness). Jadi, prinsip keadilan yang paling fair itulah yang harus dipedomani. John Rawls, mengemukakan dua prinsip keadilan, yaitu : Pertama, setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kebebasan ini diharuskan setara, karena warga suatu masyarakat yang adil mempunyai hak-hak dasar yang sama. Kedua, ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga : a) dapat diharapkan memberikan keuntungan semua orang, dan b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. Prinsip ini berkenaan dengan distribusi pendapatan dan kekayaan serta dengan desain organisasi yang menggunakan perbedaan dalam otoritas dan tanggung jawab atau rantai komando. Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan tidak perlu sama, harus demi 19
Keadilan distributif adalah tentang soal pembagian pada masing-masing orang sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini menghendaki agar orang-orang yang mempunyai kedudukan yang samamemperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan hukum. 20 Keadilan korektif atau remedial adalah yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum seharihari, harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Standar tersebut diterapkan tanpa membeda-bedakan orang dengan perlakuan yang sama terhadap kesederajadan di hadapan hukum (equality before the law).
21
keuntungan semua orang, dan pada saat yang sama, posisi-posisi otoritas dan jabatan komando harus bisa diakses oleh semua orang. Prinsip ini menekankan keterbukaan yang dapat mengatur ketimpangan sosial-ekonomi sedemikian rupa sehingga semua orang diuntungkan21. Gustav Radbruch menyebutkan, keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai ‘tiga ide dasar hukum’ atau ‘tiga nilai dasar hukum’, yang dapat dipersamakan dengan asas hukum22. Hal ini juga dapat dilihat dari tujuan hukum. Menurut aliran etis, tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan, sedangkan menurut aliran utilitas, tujuan hukum adalah untuk menciptakan kemanfaatan. Adapun menurut aliran normatif-dogmatik, tujuan hukum untuk menciptakan kepastian hukum. Ketiga aliran tersebut menurut Achmad Ali adalah aliran konvensional yang ekstrem dan sulit untuk dianut dalam masyarakat hukum yang kompleks seperti masa sekarang ini. Dilihat dari tujuannya, hukum dapat dikaji dari tiga sudut pandang, yaitu : 1.
Sudut pandang ilmu hukum positif-normatif atau yuridis-dogmatik dimana tujuan hukum menitikberatkan pada segi kepastian hukumnya;
2.
Sudut pandang filsafat hukum dimana tujuan hukum menitikberatkan pada segi keadilannya; dan
3.
Sudut pandang sosiologi hukum dimana tujuan hukum menitikberatkan pada segi kemanfaatannya.
21
John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1995, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan (Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Masyarakat), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 72-73. 22 Gustav Radbruch, Einfuhrung in die Rechtswissenchaft, Stuuttgart, KF Kohler, yang dikutip dari Achmad Ali, op.cit., hlm. 95. Lihat pula Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 26-27.
22
Achmad Ali menyatakan bahwa hukum juga seyogianya memiliki kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas sosial, sehingga ketiga tujuan hukum tersebut dapat diwujudkan secara seimbang23. Dalam mewujudkan ketiga tujuan hukum tersebut secara bersamaan, menurut Radbruch akan mengalami kesulitan. Dalam kenyataan, seringkali antara tujuan yang satu dengan yang lainnya terjadi benturan. Untuk itu, menurutnya harus digunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Terkait hubungan antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tujuan dari hukum, Jimly Assiddiqie dapat menggambarkan dengan baik bagaimana ketiga tujuan hukum tersebut dapat berperan dalam pembangunan ekonomi nasional. Hukum dalam kepentingan ekonomi akan memberikan kepastian yang adil dan kemanfaatan yang menjamin kebebasan yang teratur dalam dinamika perekonomian, sehingga pada gilirannya dapat membawa kesejahteraan bersama dalam kehidupan masyarakat. Tanpa kepastian hukum (certainty), perekonomian tidak dapat berkembang dengan teratur; tanpa keadilan (justice), perekonomian tidak akan menumbuhkan kebebasan yang sehat dan berkeadilan; dan tanpa kebergunaan (utility), perekonomian tidak akan membawa kesejahteraan dan kedamaian. Karena pada akhirnya, hukum itu sendiri haruslah membawa kehidupan bersama kepada kesejahteraan dan kedamaian24. Keterkaitan antara hukum dan ekonomi tersebut, oleh Jimly Asshiddiqie disimpulkan bahwa dalam perkembangan ekonomi suatu negara, kedudukan dan peranan hukum dianggap sangat penting25. Bahkan Jean Jacques Rousseau pada tahun 1755, dalam bukunya
A Discourse on Political Economy, sudah
menguraikan keterkaitan antara hukum dan ekonomi26.
23
Achmad Ali, op.cit., hlm. 81. Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 13. 25 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 11. 26 Jean Jacques Rousseau, A Discourse on Political Economy, http://constitution.org. 24
23
Menurut Sunaryati Hartono27, pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana dan pranata hukum, agar pembangunan ekonomi nasional itu benar-benar mencapai tujuannya sesuai dengan yang direncanakan. Pengaturan tersebut tidak boleh hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum saja atau pertimbangan-pertimbangan ekonomi belaka, tetapi seyogianya pengaturan bidangbidang hukum ekonomi tersebut didasarkan pula pada penalaran dan pertimbangan politik ekonomi pembangunan, yang dipadukan dengan pendekatan politik hukum pembangunan
maupun
dengan
pertimbangan
politik
pembangunan
sosial/masyarakat secara intern dan transdisipliner secara holistik/sistematik28. Inilah yang menjadi tugas bidang hukum, khususnya bidang hukum ekonomi, yaitu menciptakan keseimbangan baru antara kepentingan-kepentingan konsumen, pengusaha, masyarakat dan pemerintah29. Dilihat
dari
pentingnya
persoalan
hubungan
antara
hukum
dan
pembangunan ekonomi inilah, pada tahun 1970-an dikembangkan apa yang dinamakan sebagai Law and Development Movement, yaitu suatu gerakan pemikiran yang menganjurkan agar hukum dilihat sebagai a tool of social change, sebagai sarana perubahan masyarakat30. Dewasa ini hubungan antara hukum dan pembangunan ekonomi kembali mendapat perhatian serius dalam rangka pengembangan kegiatan policy-making, karena adanya tuntutan kebutuhan dilingkungan lembaga negara/pemerintah, oganisasi internasional dan lembaga swadaya masyarakat (non-governmental organizations) untuk melakukan advokasi mengenai pentingnya penguatan rule of law di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut Sunaryati Hartono, fungsi hukum dalam pembangunan, adalah31 :
27
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 30. 28 Idem., hlm. 31. 29 Idem., hlm. 35. 30 Tom Ginsburg, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge, Massachussett, 2003, hlm. 1-20. 31 Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1982, hlm. 10.
24
1. sebagai pemelihara dalam ketertiban dan keamanan; 2. sebagai sarana pembangunan; 3. sebagai sarana penegak keadilan; dan 4. sebagai sarana pendidikan masyarakat. Hukum sebagai sarana pembangunan mempunyai pengertian bahwa pembangunan hukum itu perlu dilakukan sedemikian rupa, sehingga mampu menciptakan suatu sistem hukum pembangunan nasional. Berkaitan dengan itu, Mochtar Kusumaatmadja32 menyatakan bahwa hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau bisa berfungsi sebagai alat pembaruan (law as a tool of social engineering)33. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban. Hukum diperlukan bagi proses perubahan termasuk proses perubahan yang cepat yang biasanya diharapkan oleh masyarakat yang sedang membangun, apabila perubahan itu hendak dilakukan dengan teratur dan tertib. Perubahann yang teratur melalui prosedur hukum, baik yang berwujud perundang-undangan maupun keputusan badan-badan peradilan (yurisprodensi) lebih baik dari pada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata34. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, inilah tujuan pokok daripada hukum, yaitu ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini, sebagai syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan suatu fakta obyektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala bentuknya.
32
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 88. 33 Menurut Jimly Asshiddiqie, hukum selain berfungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat (tool of social engineering) juga dapat berfungsi sebagai sarana pembebasan dan emansipasi sosial (tool of social liberation and social emancipation), op.cit., hlm. 16. 34 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm. 88-89.
25
Disamping ketertiban, tujuan lain dari hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya35. Menurut Djuhaendah Hasan, konsep hukum sebagai sarana pembaharuan dalam pembangunan masyarakat sebagaimana yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja yang diilhami oleh konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe Pound, telah memberikan peran penting kepada hukum dalam pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi. Apabila dulu hukum selalu berada di belakang sebagai sarana ketertiban dan keamanan yang hanya mempertahankan status quo, maka dengan konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, hukum tampil di depan dan memberikan arah dalam pembaharuan dan pembangunan. Pembangunan hukum harus dapat mengantisipasi pembangunan masyarakat ke depan. Dengan demikian pembaharuan
hukum dan pembentukan hukum harus
melihat
kedepan,
pembentukan hukum tidak boleh hanya untuk kepentingan hari ini tetapi harus memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi untuk waktu yang akan datang seiring dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi36. Hukum dalam pandangan ekonomi mempunyai tugas untuk mengatur dan memberdayakan pelaku usaha untuk berproduksi secara baik dengan memenuhi standar mutu yang telah ditentukan, melindungi pengusaha kecil, dan menjaga persaingan usaha yang sehat. Pemenuhan standar mutu dimaksudkan selain untuk memenuhi kepentingan daya saing produk di pasaran, juga yang lebih utama adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha.Untuk itulah konsep tanggung jawab produk (product liability) dan standardisasi mutu produk diterapkan. Konsep dan regulasi yang terkait dengan tanggung jawab produk yang diberlakukan di Indonesia masih bersifat umum, sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu yang memberikan 35 36
Mochtar Kusumaadmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum..., op.cit., hlm. 2-3. Djuhaendah Hasan, op.cit., hlm.79.
26
aturan mengenai hubungan hukum yang dikerangkai dalam perikatan, tanggung jawab hukum dalam pemenuhan prestasi, tanggung jawab hukum jika terjadi wanprestasi, tanggung jawab hukum terhadap perbuatan melawan hukum, tanggung jawab hukum dalam hubungan jual beli, tanggung jawab hukum terhadap barang yang cacat tersembunyi, tanggung jawab pembuktian, dan lain-lain. Pengaturan tanggung jawab produk yang lebih spesifik diatur di dalam undangundang sektoral. Misalnya tanggung jawab produk yang terkait dengan kemanan dan mutu pangan, diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Tanggung jawab pelaku usaha
terhadap kerugian konsumen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan olehnya, diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan bagaimana pemberlakuan prinsip tanggung jawab produk dalam Hukum Indonesia dan bagaimana tanggung jawab produsen pangan olahan dikaitkan dengan standardisasi mutu produk. a.
Pemberlakuan Prinsip Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Indonesia Prinsip tanggung jawab produk (product liability principle), adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut37. Istilah product liability tersebut baru dikenal sekitar 72 tahun yang lalu yaitu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat sehubungan dengan dimulainya produk bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen, maupun penjual mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan
adanya
risiko
akibat
produk-produk
yang
cacat
atau
menimbulkan kerugian terhadap para konsumen. 37
E. Saefullah, Product Liablity..., op.cit, hlm. 36.
27
Namun demikian, sebelum berlakunya prinsip tanggung jawab produk ini, sebenarnya bagi seorang pembeli yang tertipu atau korban dari ketidakjujuran (deceit) dari penjual, hukum sudah sejak lama menyediakan cara penyelesaiannya (remedies), yaitu hak untuk menuntut berdasarkan adanya suatu jaminan (warranty) yang tidak ada hubungannya dengan suatu kontrak. Namun demikian, sampai akhir abad ke-15 tidak ada tuntutan yang dapat diajukan ke muka pengadilan terhadap suatu janji (promise) kecuali untuk kontrak under seal38. Perkembangan selanjutnya adalah terjadinya penggabungan antara warranty dan promise yang sejak abad ke-19 sangat berpengaruh terhadap hakhak pembeli. Perubahan terjadi dengan menerapkan ketentuan bahwa penjual bertanggung jawab atas semua kerugian akibat adanya pelanggaran atas jaminannya. Namun disamping itu ada juga kecenderungan yang mengurangi hak-hak pembeli barang dengan adanya ketentuan yang mensyaratkan bahwa suatu jaminan harus dibuat dengan promisory intent. Sehingga suatu pernyataan tidak dianggap sebagai jaminan kecuali dibuat with intent to contract39. Perkembangan hukum tentang product liability ini juga ditandai dengan diakuinya implied warranties yang mempunyai kekuatan sama dengan express warranties. Pembebanan tanggung jawab terhadap pihak supplier atau produsen di dasarkan atas adanya kontrak, sehingga dengan demikian ruang lingkupnya sangat terbatas, yaitu hanya timbul diantara pihak-pihak yang mengadakan kontrak yaitu antara korban (injured person) dengan supplier atau produsen barang yang cacat/rusak tersebut. Pihak lain yang juga jadi korban dari produk yang cacat atau tidak aman itu tidak terlindungi. Berdasarkan keadaan yang tidak memuaskan tersebut, maka diterapkan prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on negligence/fault liability principle) dalam product liability. Sejak itu setiap produsen atau 38 39
S.M. Waddams, Product Liability, The Carswell Company Limited, 1974, hlm.1. Idem, hlm. 9.
28
supplier dari barang bertanggung jawab terhadap setiap orang yang menderita kerugian akibat barang yang cacat jika dapat dibuktikan bahwa produsen atau supplier bersalah. Namun ternyata penerapan prinsip ini tidak lebih baik dari tanggung jawab berdasarkan implied warranty, sebab adanya keharusan membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh produsen (manufacturer) atau supplier, tidak mudah dilakukan. Disamping itu suatu produk sampai kepada konsumen biasanya harus melalui agen, grosir, distributor, dan pedagang eceran. Hal ini menambah kesulitan bagi pihak korban (konsumen) yang akan melakukan tuntutan atas kerugian yang dideritanya. Belum lagi jika rangkaian antara produsen dengan konsumen tersebut melampaui batas-batas negara, maka permasalahan hukumnya akan lebih kompleks lagi. Mengingat hal tersebut, maka hukum tentang product liability diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle). Dengan diterapkannya prinsip ini maka setiap orang/konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus membuktikan atau mempermasalahkan ada atau tidaknya unsur kesalahan di pihak produsen. Alasan-alasan yang mendasari prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle) diterapkan dalam product liability, adalah40 : a.
diantara korban/konsumen disatu pihak dan produsen dilain pihak, beban kerugian (risiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang yang cacat atau berbahaya tersebut di pasaran;
b.
dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan (asas itikad baik), dan bilamana terbukti tidak demikian, maka dia harus bertanggung jawab;
40
D.L. Dann, Strict Liability in the U.S.A, dalam Aviation Product and Grounding Liability Symposium, The Royal Aeronautical Society, London, 1972, hlm. 16-17, dalam E. Saefullah, Product Liability..., op.cit., hlm.39.
29
c.
untuk menghilangkan proses panjangnya penuntututan yaitu dari konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen dan agen kepada produsen yang memakan waktu cukup lama;
d.
berdasarkan social climate theory, produsen/manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian;
e.
konsumen secara individual mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian komplek dalam suatu perusahaan/industri. Meskipun sistem tanggung jawab pada prduct liability berlaku prinsip
strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawab, apabila41 : a.
jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation);
b.
cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau dengan kata lain terjadinya cacat atas barang tersebut baru timbul kemudian (namun bukan karena cacat tersembunyi);
c.
bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;
d.
bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi
kewajiban
yang
ditentukan
dalam
peraturan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah; e.
bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientific and technical knowledge, state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat;
f.
dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah
41
Jean-Michel Fobe, Aviation Product Liability and Insurance in the EU, Kluwer, Deventer, 1994, hlm. 44-53.
30
dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen produk tersebut; g.
bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contrybutory negligence);
h.
kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur. Dalam sistem Hukum Perdata Indonesia, yang terkait dengan tanggung
jawab produk (product liability), belum mengenal adanya prinsip strict liability. Indonesia selama ini menerapkan sistem pertanggungjawaban hukum berdasarkan tuntutan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata atau tort dengan prinsip tanggung jawab atas dasar adanya unsur kesalahan (based on fault liability)
42
, dimana pihak
penggugat/korban (konsumen) harus membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak tergugat (produsen). Hal ini diperkuat dengan adanya asas pembuktian yang terkandung dalam Pasal 1865 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Indonesia menggunakan prinsip tanggung jawab atas dasar adanya unsur kesalahan (based on fault liability). Jika dilihat dari sejarahnya, pertanggungjawaban produk di dalam common law system dan civil law system, menunjukkan perbedaan asal muasal strict liability sebagaimana dikenal sekarang. Pada saat ini strict liability lebih dikenal sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability / liability based on nofault / liability without fault), atau pertanggung-jawaban berdasarkan kerugian yang timbul (liability based on risk), sebagai dikenal dalam common law
42
Unsur yang harus dibuktikan oleh penggugat (konsumen) adalah: a. adanya perbuatan melawan hukum; b. adanya kesalahan/kelalaian produsen; c. adanya kerugian yang dialami konsumen; dan d. adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen.
31
system. Penamaan seperti ini dapat dimaklumi karena di dalam common law system, rezim strict liability merupakan transformasi (perubahan bentuk) dari pertanggungjawaban berdasarkan perjanjian (contractual liability), yang memang sama sekali tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan. Sedangkan di dalam civil law system, strict liability lebih dikenal sebagai derivasi (turunan) dari pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melawan hukum (tortious liability), dimana unsur kesalahan merupakan salah satu syarat untuk meminta pertanggungjawaban. Karena hukum perdata Indonesia menganut civil law system, dan dengan asas konkordansi B.W. Belanda diberlakukan menjadi KUHPerdata, maka tidak dikenal dalam hukum Indonesia adanya tanggung jawab mutlak (strict liability). Namun dalam perkembangannya, di dalam peraturan perundangundangan yang baru, misalnya di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sudah mulai diterapkan asas pembuktian terbalik. Di dalam asas ini, eksistensi unsur kesalahan masih terkandung di dalamnya, namun dilakukan pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan tersebut dari penggugat (konsumen) kepada tergugat (produsen) (shifting the burden of proof). b. Tanggung Jawab Produsen Pangan Olahan Seperti yang telah diketahui bersama bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional. Pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara cukup merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan43 yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan 43
Pengertian sistem pangan menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
32
dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Pangan sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Pengertian pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan atau minuman44. Pangan yang sudah diolah, disebut dengan pangan olahan, yaitu makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan45. Proses yang dimaksudkan adalah proses produksi pangan46. Pangan yang dihasilkan dari proses produksi tersebut harus memenuhi keamanan pangan, yaitu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Upaya yang dilakukan untuk menjaga keamanan pangan tersebut adalah dengan menetapkan aturan yang berkaitan dengan sanitasi pangan, penggunaan bahan tambahan pangan, proses rekayasa genetika pangan, kemasan pangan, jaminan mutu pangan dan pangan tercemar serta memberikan beban tanggung jawab kepada produsen pangan olahan untuk berproduksi secara baik. Sanitasi pangan, wajib diterapkan dalam sarana dan prasarana yang digunakan secara langsung atau tidak langsung dan penyelenggaraan dalam kegiatan
atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau
peredaran pangan. Pangan yang diproduksi tidak boleh menggunakan bahan 44
Lihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Idem., Pasal 1 angka 2. 46 Produksi pangan menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas kembali, dan atau mengubah bentuk pangan. 45
33
tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan oleh pemerintah. Terkait dengan proses rekayasa genetika pangan, untuk setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika diwajibkan terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan. Terkait dengan ini, pemerintah menetapkan
persyaratan
dan
prinsip
penelitian,
pengembangan,
dan
pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika tersebut. Berkaitan
dengan
jaminan
mutu
pangan,
setiap
orang
yang
memproduksi pangan untuk diperdagangkan diwajibkan menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris sebelum peredarannya. Pengujian tersebut dilakukan di laboratorium yang telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah47. Dalam upaya menjaga keamanan pangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Undang-undang Pangan, setiap orang tidak boleh mengedarkan pangan yang mengandung : a) bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia; b) cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; c) bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan; d) bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai sehinggga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia; dan e) pangan yang sudah kadaluwarsa. Untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan yang beredar di pasaran, pemerintah : 47
Idem., lihat ketentuan Pasal 20.
34
a.
Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan serta ambang batas maksimal cemaran yang
diperbolehkan; b.
Mengatur dan atau menetapkan persyaratan bagi penggunaan cara, metode, dan atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang dapat memiliki risiko yang merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia; dan
c.
Menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan atau penyajian pangan. Berkaitan
dengan
mutu
dan
gizi
pangan,
pemerintah
dapat
memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan serta menetapkan persyaratan sertifikasi mutu pangan yang diperdagangkan. Dengan demikian, pelaku usaha tidak boleh memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan persyaratan sertifikasi pangan sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah. Terkait tanggung jawab produsen pangan dalam labelisasi
produk,
setiap produsen yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia diwajibkan mencantumkan label pada kemasan pangan yang diperdagangkan. Label tersebut harus memuat sekurang-kurangnya keterangan mengenai48 : a.
nama produk;
b.
daftar bahan yang digunakan ;
c.
berat bersih atau isi bersih;
d.
nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indoensia.
48
e.
keterangan tentang halal; dan
f.
tangal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Idem., lihat ketentuan Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2).
35
Keterangan pada label tersebut, harus ditulis atau ditampilkan secara tegas dan jelas dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga dapat mudah dimengerti oleh masyarakat. Namun apabila tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia atau untuk digunakan dalam kepentingan perdagangan pangan ke luar negeri, maka dapat menggunakan istilah asing. Setiap label atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan tersebut harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Terkait dengan tanggung jawab importasi pangan, yang barangnya akan diedarkan/dipasarkan, pelaku usaha bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi pangan. Pemerintah dapat menetapkan persyaratan terhadap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, yaitu49 : a.
pangan harus telah diuji dan diperiksan serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu, dan gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal yang dibuktikan dengan dokumen hasil pengujian dan pemeriksaan.
b.
pangan harus terlebih dahulu diuji dan diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum diedarkan. Tanggung jawab produk oleh pelaku usaha (produsen) pangan olahan,
biasanya dihubungkan dengan adanya kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengkonsumsi pangan olahan yang diproduksi oleh pelaku usaha pangan olahan. Terkait dengan tanggung jawab industri pangan (pelaku usaha di bidang pangan), Pasal 41 Undang-undang Pangan menentukan bahwa badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan/ atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut50. Bagi orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli
49
Idem., lihat ketentuan Pasal 37. Dalam hal badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan/atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tidak diketahui atau tidak berdomisili di Indonesia, maka penggantian kerugian diberlakukan terhadap orang yang mengedarkan dan/atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPK yang menyatakan : “Importir barang bertanggung jawab sebagai 50
36
waris dari orang yang
meninggal sebagai akibat
langsung karena
mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha atau orang perseorangan dalam badan usaha yang memproduksi pangan olahan tersebut. Jika terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha atau orang perseorang dalam badan usaha tersebut, harus mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan. Namun jika badan usaha atau orang perseorang dalam badan usaha tersebut dapat membuktikan bahwa kerugian orang dimaksud bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha atau orang perseorangan dalam badan usaha tersebut tidak wajib mengganti kerugian. c.
Tanggung Jawab Produsen terhadap Standardisasi Mutu Produk Selain pertanggungjawaban dalam hal terjadinya kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha (produsen),
pelaku usaha juga dibebani tanggung jawab untuk
berproduksi secara baik. Artinya, produk-produk yang dihasilkannya harus memenuhi standard dan kualifikasi mutu yang telah ditentukan. Jika tidak, maka ada konsekuensi hukum yang harus ditanggung yang dapat berupa beban ganti rugi kepada pengguna produk (konsumen), jika produk tersebut mengakibatkan gangguan keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen atau jika pelaku usaha (produsen) yang barang produksinya telah memperoleh sertifikasi produk dan/atau tanda Standardisasi Nasional Indonesia dari lembaga sertifikasi produk, tetapi produk yang dihasilkannya tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, maka pelaku usaha (produsen)
dilarang
memperdagangkan dan memproduksi lagi produk dimaksud51. Jika hal itu tetap dilakukan, pelaku usaha (produsen) dapat dikenakan sanksi administratif
pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri”. 51 Lihat ketentuan Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
37
dan/atau sanksi pidana. Sanksi administratif tersebut dapat berupa pencabutan sertifikat produk dan pencabutan hak penggunaan tanda SNI yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk atau pencabutan ijin usaha dan penarikan barang dari peredaran oleh intansi teknis yang berwenang atau Pemerintah Daerah. Sedangkan pengenaan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku52. Penerapan standar (SNI) pada suatu produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha (produsen), pada dasarnya bersifat sukarela53, yaitu atas dasar kebutuhan pelaku usaha dalam rangka mendapatkan pengakuan atas jaminan mutu. Sehingga produk tersebut dapat bersaing di pasaran (nasional ataupun internasional). Oleh karena itu, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI tidak dilarang. Kegiatan akreditasi dan sertifikasi dalam penerapan SNI sukarela lebih bersifat pengakuan bagi pelaku usaha bahwa produknya telah memenuhi spesifikasi/ ketentuan SNI. Karena sifat penerapannya sukarela, maka sertifikasi tersebut tidak diatur dalam regulasi, namun lembaga sertifikasi produk yang menerbitkan SNI sukarela, mempunyai kewajiban untuk melakukan survailen penggunaan sertifikat tanda SNI. Pusat Sistem Penerapan Standar BSN dapat melakukan evaluasi SNI sukarela melalui pemantauan barang bertanda SNI yang telah beredar. Hasil evaluasi akan memberikan masukan informasi untuk Pusat Perumusan Standar BSN, instansi teknis, lembaga sertifikasi produk dan KAN terhadap pemenuhan persyaratan SNI dari produk tersebut. Namun, untuk produk-produk yang langsung berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat, atau kelestarian fungsi lingkungan hidup, instansi teknis terkait dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau keseluruhan spesifikasi teknis dan/atau parameter dalam SNI, yang selanjutnya disebut sebagai SNI wajib. Tetapi ada juga SNI yang tidak berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, dan 52 53
Idem., Pasal 24. Idem., Pasal 12 ayat (2).
38
kelestarian fungsi lingkungan hidup, berdasarkan pertimbangan tertentu diberlakukan penerapannya secara wajib oleh instansi teknis terkait. Pemberlakuan SNI Wajib tersebut dilaksanakan dengan menerbitkan surat keputusan tentang pemberlakuan SNI secara wajib oleh pimpinan instansi teknis terkait. Standar Nasional Indonesia yang diberlakukan penerapannya secara wajib dikenakan ketentuan yang sama, baik terhadap barang dan/atau jasa produksi dalam negeri maupun terhadap barang dan/atau jasa impor. Barang atau jasa impor tersebut, pemenuhan standarnya ditunjukkan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi atau laboratorium yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional atau lembaga sertifikasi atau laboratorium negara pengekspor yang diakui Komite Akreditasi Nasional. Pengakuan lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, lembaga pelatihan atau laboratorium negara pengekspor oleh Komite Akreditasi Nasional didasarkan pada perjanjian saling pengakuan baik secara bilateral ataupun multilateral. Dalam hal barang impor tidak dilengkapi sertifikasi, pimpinan instansi teknis dapat menunjuk salah satu lembaga sertifikasi atau laboratorium baik di dalam maupun di luar negeri yang telah diakreditasi dan diakui oleh Komite Akreditasi Nasional untuk melakukan sertifikasi terhadap barang impor dimaksud. Pemberlakuan penerapan SNI secara wajib terhadap suatu produk, harus memperhatikan : 1) Ketersediaan infrastruktur penunjang untuk penerapan SNI-wajib seperti lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi, dan laboratorium yang diakreditasi; 2) Perlu adanya masa transisi, untuk memberi kesempatan kepada pihak pelaku usaha dan/atau pemberi jasa untuk melakukan penyesuaian; Pemberlakuan SNI wajib dilakukan melalui penerbitan regulasi teknis oleh instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk meregulasi 39
kegiatan dan peredaran produk (regulator). Dalam hal ini, kegiatan dan produk yang tidak memenuhi ketentuan SNI menjadi terlarang. Dengan demikian pemberlakuan SNI wajib perlu dilakukan secara berhati-hati untuk menghindarkan sejumlah dampak : (a) dapat menghambat persaingan yang sehat; (b) dapat
menghambat
inovasi; dan (c) dapat
menghambat
perkembangan usaha kecil dan menengah. Cara yang paling baik adalah membatasi penerapan SNI wajib hanya bagi kegiatan atau produk yang memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi, sehingga pengaturan kegiatan dan peredaran produk mutlak diperlukan. Dengan kata lain, tidak semua produk harus diterapkan atau memenuhi Standar Nasional. Namun kalau demikian, bagaimana dapat memberikan jaminan bahwa suatu produk yang tidak berstandar tersebut tidak merugikan konsumen. Karena dengan tidak distandardisasi, maka produk-produk tersebut lepas dari pengawasan Komite Akrediatasi Nasional dan Badan Standardisasi Nasional. Meskipun ada lembaga tersendiri yang memiliki fungsi dan kewenangan melakukan pengawasan obat dan makanan, yaitu Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), untuk semua produk obat, makanan dan minimuan baik yang berstandar
atau
pertanggungjawaban
tidak.
Untuk
produknya
yang tentunya
tidak
berstandar,
berbeda
dengan
sistem sistem
pertanggungjawaban terhadap produk yang berstandar (bersertifikasi). Kembali pada pemberlakuan SNI wajib, bahwa pemberlakuan SNI wajib perlu didukung oleh pengawasan pasar, baik pengawasan pra-pasar untuk menetapkan kegiatan atau produk yang telah memenuhi ketentuan SNI wajib tersebut maupun pengawasan pasca-pasar untuk mengawasi dan mengkoreksi kegiatan atau produk yang belum memenuhi ketentuan SNI itu. Apabila fungsi penilaian kesesuaian terhadap SNI yang bersifat sukarela merupakan pengakuan, maka bagi SNI yang bersifat wajib penilaian kesesuaian merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh semua pihak yang terkait. Dengan demikian penilaian kesesuaian berfungsi sebagai bagian dari pengawasan pra-pasar yang dilakukan oleh regulator. 40
Mengingat bahwa pemberlakuan regulasi teknis di suatu negara yang terkait dengan SNI Wajib juga berlaku untuk produk impor, maka untuk menghindarkan terjadinya hambatan perdagangan internasional/negara anggota WTO termasuk Indonesia telah menyepakati Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT) dan Agreement on Sanitary and Phyto Sanitary Measures (SPS). Upaya pengurangan hambatan perdagangan tersebut akan berjalan dengan baik apabila masing-masing negara dalam memberlakukan standar wajib, menerapkan Good Regulatory Practices (GRP). Produsen pangan yang produknya terkena SNI Wajib, maka harus memenuhi standar nasional sebagaimana yang telah ditentukan. Dengan demikian, ada dua tanggung jawab yang harus dipikul oleh pelaku usaha (produsen) pangan olahan, yaitu : Pertama, tanggung jawab pemberlakuan SNI pada produk pangan olahan yang dihasilkannya. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, untuk produk pangan yang berkaitan dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan masyarakat atau karena pertimbangan ekonomis, diwajibkan untuk memenuhi Standar Nasional Indonesia. Jika tidak, produk pangan yang dihasilkannya dilarang untuk diedarkan/ diperdagangkan dan diproduksi kembali. Jika hal itu tetap dilakukan, pelaku usaha (produsen) dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Sanksi administratif tersebut dapat berupa pencabutan sertifikat produk dan pencabutan hak penggunaan tanda SNI yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk atau pencabutan ijin usaha dan penarikan barang dari peredaran oleh intansi teknis yang berwenang atau Pemerintah Daerah. Sedangkan pengenaan sanksi pidana dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, apabila produk pangan olahan tersebut digolongkan pada produk yang wajib berstandar, maka produk pangan dimaksud harus benar-benar memenuhi spesifikasi teknis atau parameter yang ditentukan dalam Standar Nasional Indonesia.
41
Kedua, tanggung jawab kepada konsumen atas produk pangan olahan yang dihasilkannya, yang beredar dipasaran dan telah dinyatakan memenuhi standar. Apabila pangan olahan yang diproduksi dan diedarkan di pasaran telah tersertifikasi dan bertanda SNI, diasumsikan bahwa pangan olahan tersebut telah benar-benar memenuhi spesifikasi teknis dan mutu yang ditentukan. Sehingga dipastikan akan memberikan keselamatan, keamanan dan kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. Namun jika tidak demikian, dalam arti bahwa produk pangan olahan yang dihasilkan oleh produsen yang telah tersertifikasi dan terlabeli SNI tersebut mengakibatkan kerugian kepada konsumen baik yang terkait dengan gangguan keselamatan maupun kesehatan bagi konsumen, maka konsumen dapat menggugat kepada pelaku usaha dimaksud dan pelaku usaha harus bertanggung jawab akan hal tersebut. Tanggung jawab dimaksud adalah pelaku usaha menanggung kerugian yang dialami oleh konsumen dengan memberikan ganti rugi dan memulihkan keadaan semula. Sedangkan yang terkait dengan tanggung jawab produk kepada lembaga yang memberikan sertifikasi dan label SNI, pelaku usaha harus menjelaskan mengapa produk yang dihasilkannya merugikan konsumen. Jika hasil pengujian dan pemantauan membuktikan bahwa produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan standar yang ditentukan, maka lembaga tersebut dapat mencabut ijin produksi dari perusahaan tersebut dan mewajibkan pelaku usaha menarik semua produk yang telah beredar di pasaran, dan jika ada unsur pidananya, maka diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.
Penerapan Tanggung Jawab Produk dan Standardisasi Mutu Produk Pangan Olahan untuk Memberikan Perlindungan Terhadap Konsumen a.
Instrumen Hukum Penerapan Tanggung Jawab Produk Pangan Olahan Di dalam hukum Indonesia penerapan tanggung jawab produk di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang tersebar di 42
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, Indonesia belum memiliki satu undang-undang yang khusus mengatur tentang tanggung jawab produk. Peraturan perundang-undangan dimaksud antara lain adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam undang-undang ini diatur prinsip-prinsip atau asas-asas umum tentang hubungan hukum antar subyek hukum yang dikerangkai dalam bentuk perikatan yang didalamnya melahirkan hak dan kewajiban antar kedua belah pihak. Selain itu KUHPerdata juga mengatur tanggung jawab hukum yang terkait dengan perbuatan wanprestasi, tanggung jawab hukum yang diakibatkan perbuatan melawan hukum, tanggung jawab hukum dalam hubungan jual beli, tanggung jawab hukum terhadap cacat barang yang tersembunyi, tanggung jawab pembuktian dan lainlain. Selain KUHPerdata, undang-undang lain yang mengatur tanggung jawab hukum (produk) terdapat dalam Undang-Undang Pangan, UndangUndang Kesehatan, Undang-Undang Perindustrian dan lain-lain. Adapun peraturan-peraturan teknis (pelaksanaan) yang mengatur hal tersebut, adalah antara lain Peraturan Pemerintah tentang Standardisasi dan Peraturan Pemerintah tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Di bawah ini akan diuraikan lebih lengkap muatan materi yang menjadi dasar penerapan tanggung jawab hukum dan tanggung jawab produk di dalam KUHPerdata, Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Pangan. 1) Penerapan Tanggung Jawab Hukum didasarkan pada KUHPerdata Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tidak ada ketentuan yang secara spesifik mengatur tanggung jawab produk. Namun bukan berarti ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut tidak dapat digunakan sebagai dasar penerapan tanggung jawab produk, tetapi justru dapat memberikan landasan asas dan prinsip-prinsip yang kuat dalam kaitannya dengan penerapan tanggung jawab produk. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tanggung jawab hukum akibat wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata), tanggung jawab hukum akibat perbuatan melawan hukum (Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367 43
ayat (1) KUHPerdata), dan tanggung jawab penjual terhadap barang yang cacat tersembunyi (Pasal 1504 s/d Pasal 1506 dan Pasal 1510 KUHPerdata). Pemenuhan kewajiban dalam hukum perdata dikenal dengan ‘prestasi’. Macam prestasi dalam perikatan dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam suatu perikatan akan merugikan salah satu pihak. Pihak yang dirugikan dapat menggugat pihak yang merugikan dengan dasar gugatan wanprestasi. Terkait dengan gugatan ini, pihak yang mengakibatkan
kerugian,
sesuai
dengan
ketentuan
Pasal
1243
KUHPerdata mempunyai tanggung jawab : “Pengantian biaya, rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perkatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Adapun pihak yang dirugikan memiliki hak: 1) menuntut pemenuhan perikatan (nakomen); 2) menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (ontbinding); 3) menuntut ganti rugi (schade vergoeding); 4) menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi; dan 5) menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi54. Selain tanggung jawab akibat wanprestasi, di dalam lapangan hukum perdata dikenal pula adanya tanggung jawab akibat perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut, dan setiap orang bertanggung jawab tidak 54
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., op.cit. hlm. 21.
44
saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Adapun berkaitan dengan tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain yang melawan hukum, yang orang lain tersebut menjadi tanggungannya, Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata mengatur bahwa seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kurugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Jika dilihat dari perspektif hubungan hukum antara produsen dan konsumen, tanggung jawab yang ditentukan dalam Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata tersebut memberikan kewajiban sekaligus tanggung jawab kepada produsen sebagai pihak yang menghasilkan produk, untuk menanggung segala kerugian yang disebabkan oleh keadaan barang yang dihasilkannya. mengadakan
Produsen pengawasan
bertanggung terhadap
jawab
produk
dan yang
berkewajiban dihasilkannya.
Pengawasan ini harus selalu dilakukan secara teliti dan menurut keahlian. Jika tidak, produsen selaku pihak yang menghasilakan produk dapat dianggap lalai dan kelalaian ini kalau kemudian menyebabkan sakit, cedera, atau mati/meninggalnya konsumen pemakai produk yang dihasilkannya, maka produsen harus dapat mempertanggungjawabkannya. Adanya tanggung jawab produk dari produsen membawa konsekuensi bahwa apabila terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh produsen, maka produsen harus memberikan ganti rugi baik secara langsung maupun melalui pengajuan gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum. Tuntutan ini dapat berupa ganti rugi atau pengembalian barang sambil menuntut kembali harga pembelian atau penukaran barang dengan yang baik mutunya. Tuntutan ganti rugi ini dapat ditujukan kepada produsen 45
dan juga kepada penjual sebagai pihak yang menyediakan jasa untuk menyalurkan barang/produk dari produsen kepada konsumen dengan standar dan jaminan mutu yang telah ditentukan . Jika standar ini tidak terpenuhi maka pembeli atau konsumen dapat menuntut ganti rugi dari pihak produsen/penjual. Dalam lapangan hukum perdata juga mengatur tentang tanggung jawab penjual terhadap barang yang cacat tersembunyi. Terkait dengan ini, Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga, seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang. Ketentuan pasal di atas, ditegaskan kembali dalam Pasal 1506 KUHPerdata dengan adanya pengecualian, bahwa : “Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersebunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia dalam hal yang demikian telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun”. Jika pembeli mengetahui sendiri bahwa barang yang akan dibelinya mengalami cacat (cacat yang kelihatan), sesuai dengan ketentuan Pasal 1505 KUHPerdata, maka si penjual tidak diwajibkan menanggung cacat yang kelihatan tersebut. Namun jika terdapat cacat tersembunyi pada barang yang dibeli oleh si pembeli, maka pembeli dapat memilih apakah ia akan mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali harga pembelian, atau ia akan tetap memiliki barang tersebut sambil menuntut pengembalian sebagian uang yang telah dibayarnya55. Bagi penjual yang telah mengetahui bahwa barang yang dijualnya mengalami cacat dan pembeli 55
Lihat ketentuan Pasal 1507 KUHPerdata.
46
tidak jadi membeli barang tersebut, maka penjual wajib mengembalikan harga pembelian yang telah diterimanya dan wajib mengganti segala biaya, kerugian dan bunga kepada pembeli. Namun, jika penjual tidak mengetahui cacatnya barang yang dijualnya, maka ia hanya diwajibkan mengembalikan harga pembelian dan mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pembeli dalam penyelenggaraan pembelian dan penyerahan yang telah dibayarkan oleh pembeli56. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1510 KUHPerdata, jika barang yang dijual yang mengandung cacat tersembunyi musnah karena disebabkan cacatnya barang tersebut, maka kerugiannya ditanggung oleh si penjual dan kepada si pembeli, penjual diwajibkan mengembalikan uang harga pembelian dan mengganti segala kerugian lainnya. 2) Penerapan Tanggung Jawab Produk didasarkan pada UndangUndang Kesehatan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan mengatur dan memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam bidang kesehatan. Hal ini tercermin dari adanya hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk memperoleh derajad kesehatan yang optimal57. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk memperoleh derajad kesehatan yang optimal tersebut antara lain dilakukan melalui pengamanan terhadap makanan dan minuman serta penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan58. Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat (konsumen) dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standard dan persyaratan kesehatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Kesehatan, setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi bahan yang dipakai, komposisi setiap bahan, tanggal, bulan, dan 56
Lihat ketentuan Pasal 1509 KUHPerdata. Lihat ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 58 Idem., Pasal 11 ayat (1) huruf c dan h. 57
47
tahun kedaluwarsa. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka pelaku usaha dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)59. Makanan yang tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan atau membahayakan kesehatan dilarang untuk diedarkan, harus ditarik dari peredaran dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undnagan yang berlaku60. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)61.
3) Penerapan Tanggung Jawab Produk didasarkan pada UndangUndang Perlindungan Konsumen Di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), mengatur tenggung jawab pelaku usaha dalam
hal terjadinya kerugian konsumen
akibat
mengkonsumsi/
menggunakan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Di dalam ketentuan Pasal 19 UUPK, dinyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dimaksud dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Selain terkait dengan tanggung jawab produk, UUPK juga mengatur tanggung jawab pembuktian atas unsur kesalahan yang 59
Idem., Pasal 84 angka 1. Idem., Pasal 21 ayat (3). 61 Idem., Pasal 80 ayat (4). 60
48
dibebankan kepada pelaku usaha. Hal ini merupakan pembaruan hukum dan memberikan penguatan kepada konsumen, yang selama ini menjadi beban berat bagi konsumen dalam membuktikan adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Sebab sebelum berlakunya UUPK, apabila terjadi perbuatan melawan hukum (dalam lingkungan hukum perdata), asas pembuktian yang digunakan adalah Pasal 163 HIR atau Pasal 283 Rbg atau Pasal 1865 KUHPerdata. Namun setelah berlakunya UUPK, beban pembuktian tersebut menjadi tanggung jawab pelaku usaha, baik yang menyangkut unsur kesalahan dalam kasus pidana maupun unsur kesalahan dalam kasus perdata, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 22 dan Pasal 28 UUPK. Selain mengatur tanggung jawab produk dan tanggung jawab pembuktian, UUPK banyak mengatur larangan-larangan bagi pelaku usaha dalam hal memproduksi, mengedarkan/memperdagangkan, mengiklankan suatu barang/produk yang dihasilkannya yang tidak memenuhi standard dan mutu yang telah ditentukan, tidak memenuhi ketentuan berat bersih dan pelabelan, tidak memenuhi syarat halal untuk produk pangan tertentu, mengiklankan suatu barang/produk secara tidak benar, dan membuat perjanjian baku yang merugikan konsumen. 4) Penerapan Tanggung Jawab Produk Pangan didasarkan pada Undang-Undang Pangan Berkaitan dengan tanggung jawab produk di bidang pangan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengatur kewajiban dan tanggung jawab produsen pangan untuk memenuhi jaminan mutu dan keamanan atas produk pangan yang dihasilkannya. Terkait dengan kewajiban penyelenggaraan jaminan mutu, Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Pangan, menyatakan setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksinya.
49
Terkait dengan tanggung jawab keamanan pangan oleh pelaku usaha, Pasal 41 Undang-undang Pangan menentukan bahwa badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan/ atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut. Bagi orang perseorangan yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan usaha atau orang perseorangan dalam badan usaha yang memproduksi pangan olahan tersebut. Jika terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau orang perseorang dalam badan usaha tersebut, harus mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan. Namun jika badan usaha atau orang perseorang dalam badan usaha tersebut dapat membuktikan bahwa kerugian orang dimaksud bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha atau orang perseorangan dalam badan usaha tersebut tidak wajib mengganti kerugian.
b. Instrumen Hukum Penerapan Standardisasi Mutu Pangan Olahan Di dalam hukum Indonesia, dasar penerapan standardisasi mutu produk pangan (olahan) tersebar di masing-masing undang-undang sektoral, misalnya di dalam Undang-Undang Pangan dan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Itupun tidak mengatur secara komprehensif yang terkait dengan penerapannya. Kedua undang-undang tersebut hanya memberikan dasar bahwa produk (pangan) yang beredar di pasaran diharuskan memenuhi standar dan mutu yang telah ditentukan62. Adapun bagaimana penentuan standar dan mutu 62
Lihat ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib
50
tersebut, proses dan mekanisme standardisasi dan sertifikasi produk serta ketentuan-ketentuan lain yang terkait dengan itu, belum ada undang-undang yang mengaturnya. Selama ini, regulasi yang digunakan dalam penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu (pangan) mengacu pada
Peraturan
Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, dan Standar Internasional yang diadopsi ke dalam Standar Nasional Indonesia, yaitu antara lain : 1) ISO 22000:2005, tentang Food Safety Management System Requirements for any Organization in the Food Chain yang diadopsi menjadi SNI ISO 22000:2009, tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan – Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan. 2) ISO 9001:2000, tentang Quality Management System – Requirements telah diadobsi menjadi SNI 19-9001:2001, tentang Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan. ISO 9001:2000 telah direvisi menjadi ISO 9001:2008 dan diadopsi menjadi SNI ISO 9001:2008. 3) ISO 9004:2000, tentang Quality Management System – Guidelines for Performance Improvements telah diadopsi menjadi SNI 19-9004:2002, tentang Sistem Manajemen Mutu – Panduan untuk Perbaikan Kinerja. 4) ISO 19011:2002, tentang Guidelines for Quality and/or Enveronmental Management Systems Auditing telah diadobsi menjadi SNI 1919011:2005, tentang Panduan Audit Sistem Manajemen Mutu dan/atau Lingkungan. 5) ISO/IEC Guide 62:1996, tentang General Requirements for Bodies Operating Assessment and Certification/Registration of Quality System tidak berlaku lagi dan diganti dengan ISO/IEC 17021:2006, tentang Conformity Assessment – Requirements for Bodies Providing Audit and
menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi”. Lihat pula dalam ketentuan Pasal 7 huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa : “Pelaku usaha wajib menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku”.
51
Certification of Management System yang diadobsi menjadi SNI ISO/IEC 17021:2008, tentang Penilaian Kesesuaian – Persyaratan Lembaga Auidit dan Sertifikasi Sistem Manajemen. Dalam penerapan standardisasi mutu pangan, selain didasari oleh regulasi di atas, pelaksanaan standardisasi dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait sesuai dengan bidang tugasnya. Lembaga-lembaga dimaksud adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN), Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU), komisi-komisi di lingkungan BSN, lembaga sertifikasi63, laboratorium, lembaga inspeksi, Panitia Teknis Perumusan Standar, instansi teknis dan Pemerintah Daerah. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara umum regulasi yang memberikan dasar pengaturan mengenai penerapan standaridasi produk (pangan) di Indonesia dan lembaga-lembaga yang terkait yang menangani dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan standardisasi dan sertifikasi penjaminan mutu di Indonesia. 1) Regulasi yang Digunakan dalam Penerapan Standardisasi Mutu dan Keamanan Produk Pangan Olahan a) Peraturan
Pemerintah
Nomor
102
Tahun
2000
tentang
Standardisasi Nasional Muatan materi yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardissi Nasional, adalah mencakup : a) ruang lingkup standardisasi nasional; b) tujuan 63
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan, misalnya : 1) SAI Global Indonesia No. LPK: LSMKP-001-IDN. Lingkup: Susu dan Produk susu ; Daging dan Produk Daging ; Unggas dan produk Unggas ; Ikan dan produk Ikan ; Buah dan produk Buah ; Sayuran dan Produk Sayuran ; Gula dan Produk gula ; Garam ; Produk Lemak dan Minyak ; Hotel ; Katering ; Bahan Tambahan Pangan ; Kemasan ; Telur dan produk Telur ; Produk Pengalengan ; Restoran ; Produk Minuman Kecuali Produk olahan Susu ; Produk Pasta dan Mi; 2) Mbrio dengan No. LPK : LSMKP-002-IDN. Lembaga Sertifikasi Sistem manajemen Mutu, misalnya : 1) Balai Besar Bahan dan Barang Teknik – Quality System Certification (B4&T - QSC); 2) Sucofindo International Sertification Services (SICS); 3) Aqrobase Industry Quality Assurance (ABIQA); 4) Balai Industri Semarang Quality Assurance (BISQA); 5) PT. Mutu Agung Lestari Quality Assurance (MALQA); 6) PT. SGS Indonesia; 7) PT. TUV International Indonesia (TUV Rheinland Group); 8) TUV NORD Indonesia; 9) TUV SUD PSB Indonesia; 10) Yogya Quality Assurance (YOQA); dll, dalam BSN, Sistem Informasi Standar Nasional Indonesia (SISNI), http://www.bsn.org.id.
52
dilaksanakannya standardisasi nasional; c) pengaturan kelembagaan, tugas dan fungsinya; d) perumusan dan penetapan SNI; e) penerapan SNI melalui sertifikasi dan akreditasi; larangan bagi pelaku usaha; f) pemberlakuan SNI Wajib produk dalam negeri dan produk impor; g) biaya akreditasi; h) notifikasi; i) pembinaan dan pengawasan; dan j) pemberian sanksi; b) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan Muatan materi yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Standardissi Nasional, adalah mencakup : a) ketentuan mengenai keamanan pangan yang di dalamnya mengatur masalah sanitasi, bahan tambahan pangan, pangan produk rekayasa genetika, iradiasi pangan, keamanan pangan, jaminan mutu pangan dan pemeriksaan laboratorium, serta pangan tercemar; b) mutu dan gizi pangan yang di dalamnya mengatur mutu pangan, sertifikasi mutu pangan, dan gizi pangan; c) pemasukan dan pengeluaran pangan ke dalam dan dari wilayah Indonesia; d) pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan serta pembinaan produsen pangan. c) SNI ISO 22000:2009, Sistem Manajemen Keamanan Pangan – Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan Mengingat bahaya keamanan pangan dapat terjadi pada setiap tahapan rantai pangan, maka pengendalian yang cukup diseluruh rantai pangan menjadi sangat penting. Dengan demikian keamanan pangan dijamin melalui berbagai upaya yang terpadu oleh seluruh pihak dalam rantai pangan. Organisasi yang terlibat dalam rantai pangan adalah produsen primer sampai dengan pengolah pangan, operator transportasi dan penyimpanan, outlet pengecer dan jasa boga (bersama-sama dengan organisasi yang terkait seperti produsen peralatan, bahan pengemas, bahan tambahan pangan dan ingredien).
53
SNI ISO 22000:2009 ini menetapkan persyaratan sistem manajemen keamanan pangan yang mengkombinasikan unsur-unsur komunikasi interaktif, manajemen sistem, program persyaratan dasar dan prinsip HACCP untuk memastikan kemanan pangan di dalam sepanjang rantai pangan sampai pangan tersebut dikonsumsi. Komunikasi diseluruh rantai pangan sangat penting untuk memastikan bahwa semua bahaya keamanan pangan yang elevan diidentifikasi dan dikendalikan secara cukup pada setiap tahapan rantai pangan. Hal ini menyiratkan perlunya komunikasi antar organisasi hulu dan hilir yang ada dalam rantai pangan. Komunikasi pelanggan dan pemasok mengenai bahaya tertentu dan tindakan pengendaliannya akan membantu menjelaskan persyaratan pelanggan dan pemasok yang berhubungan dengan kelayakan dan kebutuhan akan persyaratan dan dampaknya pada produk akhir. Pemahan akan peran dan posisi organisasi dalam rantai pangan sangat penting untuk memastikan komunikasi interaktif yang efektif disepanjang rantai pangan dalam rangka penyediaan produk pangan yang aman kepada konsumen. Sistem keamanan pangan yang paling efektif adalah yang ditetapkan, dioperasikan dan dimutakhirkan dalam kerangka sistem manajemen yang terstruktur dan dipadukan ke dalam keseluruhan kegiatan manajemen organisasi yang ada. Hal ini memberikan manfaat maksimum bagi organisasi dan pihak-pihak terkait. SNI ISO 22000:2009 telah diselaraskan dengan SNI ISO 9001 untuk meningkatkan kesesuaian diantara kedua standar tersebut. SNI ISO 22000:2009 dapat diterapkan secara independen terhadap standar sistem manajemen lainnya. Implementasinya dapat diselaraskan
atau
diintegrasikan
dengan
persyaratan
sistem
manajemen yang ada, disamping itu organisasi dapat memanfaatkan sistem manajemen yang ada untuk menetapkan sistem manajemen keamanan pangan yang sesuai dengan persyaratan standar ini.
54
SNI ISO 22000:2009 menggabungkan prinsip-prinsip Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) dan langkah-langkan
penerapan
yang
dikembangkan
oleh
Codex
Alimentarius Commission (CAC). Dengan menggunakan persyaratan yang dapat diaudit, standar ini mengkombinasikan rencana HACCP dengan Program Persyaratan Dasar (PPD). Analisi bahaya merupakan kunci sistem manajemen keamanan pangan yang efektif, mengingat analisis bahaya dapat membantu mengorganisasikan pengetahuan yang diperlukan untuk menetapkan tindakan pengendalian yang efektif. SNI ISO 22000:2009 mensyaratkan bahwa semua bahaya yang mungkin timbul dalam rantai pangan, termasuk bahaya yang terkait dengan jenis proses, dan fasilitas yang digunakan, dapat diidentifikasi dan dikaji. Dengan demikian standar ini memberikan cara untuk menetapkan dan membuktikan mengapa bahaya tertentu perlu dikendalikan oleh organisasi dan mengapa yang lainnya tidak. Untuk memudahkan penerapannya,
SNI ISO 22000: 2009
dikembangkan sebagai suatu standar yang dapat diaudit. Namun demikian, organisasi bebas untuk memilih metode dan pendekatan yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan standar ini. Untuk membantu masing-masing organisasi dalam mengimplementasikan standar ini, diberikan panduan penggunaan ISO/TS 22004. Tujuan menerapkan SNI ISO 22000:2009 adalah untuk mengharmonisasikan persyaratan manajemen keamanan pangan untuk bisnis dalam rantai pangan pada tingkat global. Secara khusus standar ini
dimaksudkan
untuk
diaplikasikan
oleh
organisasi
yang
menghendaki sistem manajemen keamanan pangannya terfokus, koheren, dan terintegrasi melebihi dari yang disyaratkan oleh undangundang. Muatan materi yang terkandung dalam SNI ISO 22000:2009 adalah menyangkut : 1) ruang lingkup; 2) acuan normatif; 3) istilah dan definis; 4) sistem manajemen keamanan pangan; 5) tanggung jawab manajemen; 6) manajemen sumberdaya; 7) perencanaan dan 55
realisasi produk yang aman; dan 8) validasi, verifikasi dan perbaikan sistem manajemen keamanan pangan. Sebagaimana yang telah disinggung di awal pemaparan pada sub bab ini (B.2), bahwa Indonesia belum memiliki suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang standardisasi mutu produk. Sampai saat ini pengaturan yang terkait dengan itu masih setingkan peraturan pemerintah dan keputusan Badan Standardisasi Nasional yang dibuat dengan mengadopsi ISO Internasional, sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Untuk itu, penulis dalam hal ini mengusulkan perlunya dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk, yang di dalamnya mengatur asas, prinsip, tujuan, ruang lingkup, proses dan mekanisme standardisasi dan sertifikasi mutu produk, hak dan kewajiban serta tanggung jawab kelembagaan yang terkait proses standardisasi dan sertifikasi produk, hak dan kewajiban serta tanggung jawab pemegang SNI, produk yang wajib ber-SNI, sanksi pelanggaran penggunaan SNI, dan lain-lain. Usulan ini disampaikan dengan pertimbangan : 1) Untuk mengoptimalkan penerapan standardisasi dan sertifikasi mutu produk, sehingga produk Indonesia ke depan benar-benar dapat memenuhi kualifikasi dan standar internasional, sehingga mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional dan akan lebih memberikan jaminan keamanan, keselamatan dan kesehatan terhadap konsumen. Karena dengan diterapkan dalam undangundang akan lebih memiliki daya paksa yang kuat dan lebih memberikan kepastian hukum. 2) Memperkuat landasan pelaksanaan standardisasi nasional sehingga terjadi sinergi yang baik antar pemangku kepentingan, dan memberikan penguatan kelembagaan di bidang standardisasi. 3) Meningkatkan
kepercayaan
masyarakat
terhadap
proses
pengembangan SNI dan melakukan alignment terhadap standar internasional
tanpa
mengabaikan
perlindungan
kepentingan 56
nasional, serta memfasilitasi partisipasi pemangku kepentingan dalam proses standar dan penilaian kesesuaian. 4) Memperkuat posisi Indonesia dalam kerjasama standardisasi dan mengembangkan saling pengakuan di tingkat regional dan internasional. Hal ini sejalan dengan salah satu program (dari 7 program yang rencanakan) oleh BSN64 dalam rangka pengembangan sistem standardisasi nasional, yaitu pada pemantapan kebijakan dan peraturan perundangundangan. Program ini bertujuan memperkuat legalitas dan kebijakan yang melandasi perkembangan standardisasi nasional. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah: 1) melakukan inisiatif pembentukan Undang-Undang Sistem Standar Nasional Indonesia; dan 2) Penguatan kebijakan dan regulasi lintas sektoral di bidang standardisasi, khususnya yang berkaitan dengan pemberlakuan SNI wajib dan pendayagunaan lembaga penilaian kesesuaian secara efektif sebagai unsur pengawasan pasar. Adanya regulasi ditingkat nasional tersebut (berupa Undangundang Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk), dapat ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan-peraturan teknis yang sifatnya mengatur hal-hal teknis terkait dengan pelaksanaan standardisasi dan sertifikasi produk. Peraturan teknis dimaksud dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden maupun peraturan daerah65. Terkait dengan peraturan daerah ini, belum ada peraturan daerah yang secara khusus mengatur standardisasi dan sertifikasi produk. Hal ini dikarenakan
kebijakan pengaturan
standardisasi dan sertifikasi produk dilakukan dalam skala nasional dalam bentuk Standardisasi Nasional (SNI). Di Indonesia belum dikenal adanya standardisasi daerah. Padahal tidak semua produk yang dihasilkan 64
Lihat Rencana Strategi (Renstra) Badan Standardisasi Nasional (BSN) Tahun 2004-2009. Lihat hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 65
57
diwajibkan dan mampu memenuhi standar nasional. Karena konsekuensi dari ini terkait dengan ketersediaan sumberdaya (kelembagaan dan bahan baku) dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi standar dimaksud. Oleh karena itu, standardisasi daerah perlu dipikirkan. Hal ini terkait spesifikasi kultural daerah yang mungkin tidak dapat dipaksakan untuk memenuhi standar nasional. Misalnya adanya produk pangan olahan tertentu di daerah dengan spesifikasi bahan baku dan cara pengolahan yang khas, yang tidak mungkin dapat diukur dengan cara dan instrumen standar nasional, namun produk tersebut oleh masyarakat daerah diyakini cukup aman untuk dikonsumsi dan dapat menjadi makanan khas daerahnya. Selain itu juga produk-produk home industry, yang dari segi kemampuan sumber daya untuk memenuhi spesifikasi teknis dan parameter yang ditentukan dalam standar nasional sangat berat. Menurut penulis, sangat dimungkinkan suatu daerah dengan regulasi daerahnya, menentukan standardisasi dan sertifikasi mutu produk (barang atau pangan olahan) yang telah menjadi khas produk daerah yang bersangkutan. Dengan adanya regulasi tersebut, instrumen kelembagaan dan pengawasan akan dapat dijalankan dengan baik. Sehingga nantinya, akan dikenal dengan adanya standardisasi produk daerah dan standardisasi produk nasional. Tentunya ada perbedaan spesifikasi dan persyaratan bagaimana produk tersebut memenuhi standar produk daerah dan standar produk nasional. Yang paling penting adalah kedua standar tersebut mensyaratkan adanya jaminan keamanan, keselamatan dan kesehatan bagi konsumen jika konsumen menggunakan atau mengkonsumsi produk tersebut. 2) Kelembagaan yang menangani Standardisasi Mutu Pangan Olahan Kelembagaan
yang terkait
dengan standardisasi (termasuk
standardisasi produk pangan) adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN), Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU), komisi-komisi di lingkungan BSN, lembaga 58
sertifikasi, laboratorium, lembaga inspeksi, panitia teknis perumusan standar, instansi teknis dan pemerintah daerah. Badan Standardisasi Nasional (BSN) mempunyai tugas membantu Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan di bidang standardisasi nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk melaksanakan tugas tersebut, BSN memiliki fungsi : (a) mengkaji dan menyusun kebijakan nasional di bidang standardisasi nasional; (b) mengkoordinasikan kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BSN; (c) menyelenggarakan pelancaran dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang standardisasi nasional; (d) menyelenggarakan kegiatan kerjasama dalam negeri dan internasional di bidang standardisasi; dan (e) menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi
dan
tata
laksana,
kepegawaian,
keuangan,
kearsipan,
persandian, perlengkapan, dan rumah tangga. Komite Akreditasi Nasional mempunyai tugas menetapkan akreditasi dan memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. KAN memberikan akreditasi kepada lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium baik yang berlokasi di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam rangka saling pengakuan, KAN bertugas memperjuangkan keberterimaan atas sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi, lembaga inspeksi dan laboratorium yang telah diakreditasi oleh KAN di tingkat regional dan internasional. Sedangkan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan saran kepada BSN mengenai standar nasional untuk satuan ukuran. Untuk
memperlancar
dan
menunjang
tugas
teknis,
serta
meningkatkan partisipasi aktif pihak terkait, Kepala BSN membentuk tiga komisi, yaitu Komisi Perumusan Standar (Komisi I), Komisi Penerapan Standar (Komisi II), dan Komisi Informasi dan Pemasyarakatan 59
Standardisasi (Komisi III) yang merupakan forum komunikasi antar instansi teknis untuk kegiatan-kegiatan standardisasi. Komisi-komisi tersebut mempunyai tugas membantu Kepala BSN untuk memberi saran dan pertimbangan kepada BSN untuk hal-hal yang sangat terkait dengan kegiatan standardisasi dan melakukan pengamatan dan pengkajian terhadap kegiatan standardisasi yang telah ditetapkan. Untuk kegiatan penilaian kesesuaian terhadap persyaratan tertentu, dimana hasil penilaian dinyatakan dengan sertifikat (sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, produk, personel, sistem keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control Point – HACCP), sistem pengelolaan hutan lestari, manajemen keselamatan dan kesehatan kerja) dan sertifikat lainnya di bidang standardisasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi. Lembaga
sertifikasi
yang
memberikan
Sertifikasi
Sistem
Manajemen Keamanan Pangan, antara lain adalah : SAI Global Indonesia (No. LPK: LSMKP-001-IDN), dan Mbrio (No. LPK : LSMKP-002-IDN). Untuk lembaga yang memberikan Sertifikasi Sistem manajemen Mutu, antara lain adalah : Balai Besar Bahan dan Barang Teknik – Quality System Certification (B4&T - QSC), Sucofindo International Sertification Services (SICS), Aqrobase Industry Quality Assurance (ABIQA), Balai Industri Semarang Quality Assurance (BISQA), PT. Mutu Agung Lestari Quality Assurance (MALQA), PT. SGS Indonesia, PT. TUV International Indonesia (TUV Rheinland Group), TUV NORD Indonesia, TUV SUD PSB Indonesia, dan Yogya Quality Assurance (YOQA). Untuk kegiatan pengujian dan/atau kalibrasi, dimana hasil pengujian dan/atau kalibrasi tersebut dinyatakan dengan sertifikat/laporan hasil uji atau sertifikat kalibrasi, di lakukan oleh laboratorium yang meliputi laboratorium penguji dan/atau laboratorium kalibrasi. Sedangkan yang menyangkut pemeriksaan kesesuaian barang dan/atau jasa terhadap persyaratan tertentu, dimana hasil pemeriksaan dinyatakan dengan sertifikat hasil inspeksi, dilakukan oleh lembaga inspeksi. 60
Untuk membantu instansi teknis penanggung jawab perumusan konsep SNI dan/atau Revisi SNI yang ditetapkan BSN;
melakukan
prakonsensus dan konsensus RSNI dengan koordinasi instansi teknis yang bertugas di bidang standardisasi; serta untuk memberikan tanggapan (atas nama pemerintah Indonesia) terhadap konsep standar dari badan-badan standardisasi internasional (ISO, IEC, dan CAC) maupun regional sesuai dengan bidangnya, dibentuklah Panitia Teknis Perumusan Standar. Instansi teknis melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha di bawah kewenangannya dan masyarakat dalam menerapkan standar, meliputi
konsultasi,
pendidikan,
pelatihan
dan
pemasyarakatan
standardisasi. Pengawasan terhadap pelaku usaha, barang dan/atau jasa tersebut yang telah memperoleh sertifikat dan/atau dibubuhi tanda SNI yang diberlakukan secara wajib, dilakukan oleh pimpinan instansi teknis sesuai kewenangannya. Selain instansi teknis yang bersangkutan, Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha di bawah kewenangannya dan masyarakat
dalam menerapkan standar,
meliputi konsultasi,
pendidikan, pelatihan dan pemasyarakatan standardisasi. Pengawasan terhadap pelaku usaha, barang dan/atau jasa tersebut yang telah memperoleh sertifikat dan/atau dibubuhi tanda SNI yang diberlakukan secara wajib, dilakukan oleh pimpinan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. Berdasarkan uraian kelembagaan yang terkait dengan standardisasi produk di atas, baik yang menyangkut macam kelembagaan, kedudukan, fungsi, tugas dan kewenangan yang
dimiliki oleh masing-masing
kelembagaan tersebut, penulis menyimpulkan adanya kekurangefektifan khususnya dari segi jumlah kelembagaannya. Dari jumlah kelembagaan tersebut, dapat penulis bagi dan katagorikan kedalam 3 (tiga) jenis fungsi dan kewenangan, yaitu : 1) lembaga yang berfungsi sebagai regulator (regulatory body) dalam bidang standardisasi; 61
2) lembaga yang berfungsi sebagai pelaksana standardisasi; dan 3) lembaga yang berfungsi sebagai pengawas. Ketiga fungsi tersebut, jika dikaitkan dengan kelembagaan sebagaimana yang disebutkan di atas, maka akan terpilah sebagai berikut : (a) yang menjalankan fungsi regulator adalah Badan Standardisasi Nasional (BSN), Komite Akreditasi Nasional (KAN), Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU) dan Komisi-komisi dilingkungan BSN. Untuk mengefektifkan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, hendaknya kelembagaan ini tergabung dalam satu badan sehingga akan lebih memudahkan dalam koordinasi; (b) yang menjalankan fungsi teknis pelayanan standardisasi adalah lembaga sertifikasi, laboratorium dan panitia teknis perumusan standar. Kelembagaan ini dapat dibentuk oleh swasta (lembaga sertifikasi swasta) atau oleh pemerintah sendiri (lembaga sertifikasi pemerintah) yang sama sekali terlepas dari kelembagaan yang berfungsi sebagai regulator; (c) yang menjalankan fungsi pengawasan adalah lembaga inspeksi, instansi teknis terkait dan pemerintah daerah. Selain menjalankan fungsi pengawasan penggunaan standardisasi oleh elaku usaha, instansi teknis dan pemerintah daerah dapat memberikan masukan kepada badan regulator (regulatory body) yang terkait dengan pengembangan
sistem standardisasi nasional dan standardisasi daerah
serta dapat mengusulkan SNI wajib terhadap produk-produk yang berada di dalam ruang lingkup kerjannya. Terkait dengan adanya standardisasi daerah, perlu dipikirkan pula adanya kelembagaan sebagaimana tersebut di atas di daerah. Namun untuk masalah ini, penulis menyadari masih perlunya dilakukan pengkajian yang lebih mendalam agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari.
62
3.
Konsep Pengembangan Tanggung Jawab Produk dan Standardisasi Mutu Produk Pangan Olahan untuk Meningkatkan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen a.
Konsep Pengembangan Tanggung Jawab Produk Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, penerapan tanggung jawab produk yang dilaksanakan di Indonesia masih mengadopsi apa yang diatur di dalam KUHPerdata dan undang-undang sektoral lainnya, misalnya di dalam Undang-undang
Pangan,
Undang-undang
Kesehatan,
Undang-undang
Perlindungan Konsumen, dan lain-lain. Sistem pertanggungjawaban yang selama ini digunakan adalah sistem pertanggungjawaban hukum berdasarkan tuntutan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1365 KUHPerdata dengan prinsip tanggung jawab atas dasar adanya unsur kesalahan (based on fault liability), dimana pihak penggugat/korban (konsumen) harus membuktikan adanya unsur kesalahan di pihak tergugat (produsen), sebagaimana asas yang ditentukan dalam Pasal 1865 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Konsep ini diambil dari pengaruh civil law system yang dengan asas konkordansi memberlakukan B.W. Belanda yang diberlakukan di Hindia Belanda pada jaman penjahan menjadi hukum Indonesia, yaitu KUHPerdata yang berlaku sampai saat ini. Jika dilihat secara historis, perkembangan pertanggungjawaban produk di negara-negara yang menganut civil law system di kawasan Eropa, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Product Liability Directive 1985
yang ditetapkan oleh Masyarakat
Eropa (European
Community). Belanda yang menganut civil law system, sebagai salah satu anggota dari Masyarakat Eropa harus pula mengimplementasikan Directive tersebut di dalam hukum nasionalnya. Burgerlijk Wetboek (BW) 1838 yang
63
kemudian menjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia, merupakan BW ketiga yang pernah berlaku di negeri Belanda. Pada awal Abad ke-20, BW 1838 telah mulai dirasakan sebagai sebuah kodifikasi yang ketinggalan jaman (outdated) dalam pengaturan mengenai banyak hal. Akibatnya kesenjangan antara ketentuan yang ada dalam BW 1838 dengan perkembangan kebutuhan masyarakat pada hukum perdata yang lebih relevan, menyebabkan keputusan-keputusan pengadilan (judge made law) memiliki peranan penting dalam mengisi kesenjangan tersebut. Contohnya keputusan pengadilan yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum (unlawful acts atau onrechtmatigedaad). E.M. Meijers dari Universitas Leiden, telah lama berpendapat tentang perlunya rekodifikasi BW 1838 dan pada tahun 1947 beliau diberi tugas untuk merancang BW baru Belanda yang terdiri dari 9 buku. Dalam rancangan Buku 6 Bagian 3 NBW Belanda dibawah judul Produktenaansprakelijkheid, terdapat Pasal 185 (1407a NBW) sampai dengan Pasal 193a (1407i NBW) yang mengatur perihal pertanggungjawaban produk. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada tahun 1985 Masyarakat Eropa telah menetapkan Directive on the Approximation of the Laws, Regulations and Administrative Provisions of the Member States concerning Liability for Defective Products66, yang mengharuskan Negeri Belanda sebagai salah satu negara anggota Masyarakat Eropa untuk mengimplementasikan Directive tersebut ke dalam Hukum Nasionalnya. Dalam rangka mengimplementasikan Directive tersebut, Negeri Belanda menginkorporasikannya ke dalam NBW. Oleh karena itu pada tanggal 11 September 1986 diajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) No. 19636 ke Parlemen Belanda tentang implementasi Directive tersebut ke dalam Pasal 1407a – i NBW. RUU tersebut disahkan sebagai UU dalam Staatsblad No. 487 tanggal 13 September 1990. 66
Official Journal No. L210, 7 Agustus 1985, hlm. 29.
64
Setelah Staatsblad No. 487/1990 berlaku, maka hukum tentang pertanggungjawaban produk (product liability law) di Negeri Belanda, sebagai salah satu negara yang menganut civil law system, pada umumnya serupa dengan hukum tentang pertanggungjawaban produk yang berlaku di negaranegara anggota Masyarakat Eropa lainnya (termasuk negara anggota yang menganut common law system) yang telah mengimplementasikannya Directive tersebut ke dalam Hukum Nasionalnya masing-masing. Di dalam konsep pertanggungjawaban ini, unsur kesalahan bukan ditiadakan (without fault), melainkan dialihkan beban pembuktiannya (shifting the burden of proof) dari pihak yang dirugikan kepada pihak yang merugikan. Jika konsep ini digunakan dalam pertanggungjawaban produk, maka konsumen yang menuntut ganti rugi meskipun masih harus membuktikan adanya ketiga unsur dalam perbuatan melawan hukum, namun tidak perlu membuktikan adanya unsur kesalahan pada produsen. Sebaliknya segera setelah terjadi peristiwa yang merugikan konsumen, produsen langsung dianggap bersalah (presumption of fault), sehingga sebagai konsekuensinya produsen harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Konsep inilah yang diadopsi oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang pada Pasal 22 dan Pasal 28, menyatakan : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian”. “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha”. Berdasarkan muatan materi kedua pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa konsumen tidak membuktikan ada atau tidak adanya unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pelaku usahalah yang membuktikan apakah dirinya bersalah atau tidak. Dengan demikian, ada penerapan asas pembuktian 65
terbalik dan asas praduga bersalah (presumption of fault), yang dapat diartikan bahwa “pelaku usaha dinyatakan bersalah selama dia tidak mampu membuktikan ketidakbersalahannya”. Namun dalam praktiknya, ketentuan di atas dan asas ini jarang diberlakukan. Dalam kasus-kasus dengan gugatan perbuatan melawan hukum, tetap saja pihak penggunggat (konsumen) harus membuktikan unsur kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha (tergugat) selain juga harus membuktikan adanya unsur perbuatan melawan hukum, adanya kerugian yang dideritanya dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum tersebut dengan kerugian yang dialaminya. Untuk itu, menurut hemat penulis perlu adanya penerapan tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam sistem pertanggungjawaban hukum di Indonesia, khusunya yang terkait dengan tanggung jawab produk. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan : a.
Untuk
tuntutan
yang
didasarkan
perbuatan
melawan
hukum,
menggunakan prinsip tanggung jawab atas dasar adanya unsur kesalahan (based on fault liability), dimana pihak penggugat (konsumen) harus membuktikan adanya unsur kesalahan dipihak tergugat (produsen). Bila penggugat gagal membuktikan adanya unsur kesalahan dipihak tergugat, maka gugatannya gagal. Untuk itu, sangatlah kecil kemungkinannya konsumen mampu membuktikan unsur kesalahan yang dilakukan oleh produsen dalam berproduksi yang mengunakan teknologi yang canggih. b.
Jika konsumen menuntut pelaku usaha (produsen) dengan dasar perbuatan melawan hukum melalui pengadilan, akan memakan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Sementara, tidak semua konsumen mempunyai kemampuan ekonomi yang baik.
c.
Di antara korban atau konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/ berbahaya tersebut di pasaran. 66
d.
Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-baang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus tanggung jawab.
e.
Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen,
dan
agen
kepada
produsen.
Penerapan
strict
liability
dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini. Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip strict liability tersebut yang didasarkan pada social climate theory : a.
Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian dan pada setiap kasus yang mengharuskannya mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi risikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory.
b.
Terdapatnya kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen/korban/penggugat secara individual. Dalam hukum tentang product liability, pihak korban/konsumen yang
akan menuntut pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan tiga hal: pertama, produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen; kedua bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugaian/kecelakaan; ketiga, adanya kerugian. Namun, diakui juga secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu 67
terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen
(artinya tidak ada modifikasi-
madifikasinya). Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah67: a.
Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation)
b.
Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian.
c.
Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun diedarkan untuk diedarkan dalam rangka bisnis.
d.
Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi
kewajiban
yang
ditentukan
dalam
peraturan
yang
dikeluarkan oleh pemerintah. e.
Bahwa secara ilmiah dan teknik (state of scientific an technical knowledge, state or art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat.
f.
Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh desain dari produk itu sendiri di mana komponen telah dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang dinerikan oleh pihak produsen tersebut.
g.
Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya kerugian tersebut (contributory nigligence).
h.
Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.
67
Jean-Michel Fobe, Aviation Products Liability and Insurance in the EU, Kluwer, Deventer, 1994, hlm. 44-45.
68
b. Konsep Pengembangan Standardisasi Mutu Produk Pangan Olahan Sebelum BSN dibentuk, kegiatan standardisasi (termasuk standardisasi dibidang pangan olahan) telah lama dilaksanakan oleh berbagai departemen secara sendiri-sendiri dengan norma dan tata-cara yang berbeda-beda, sehingga pada saat itu dikenal berbagai standar sektoral. Pada tahun 1984 pemeritah membentuk Dewan Standardisasi Nasional (DSN) untuk melebur kegiatan standardisasi sektoral tersebut kedalam kegiatan standardisasi nasional. Pada tahun 1986 DSN berhasil membentuk kesepakatan semua pihak terkait untuk mengembangkan SNI dimana standar sektoral yang telah ada diadopsi menjadi SNI. Namun seluruh proses peleburan standardisasi sektoral menjadi standardisasi nasional baru selesai pada tahun 1994. Pada tahun 1992 melalui SK Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT selaku Ketua DSN No. 465/IV.2.06/HK.01/04/9/ 92, DSN juga berhasil membentuk KAN untuk mengkoordinasikan kegiatan akreditasi yang dilaksanakan oleh berbagai departemen & LPND. Di dalam perkembangannya, keperluan adanya lembaga yang secara khusus mengembangkan dan mengelola sistem standardisasi nasional semakin dirasakan karena keberadaan DSN tidak dapat lagi menangani hal tersebut secara efektif. Oleh karena itu pada tahun 1997, berdasarkan pandangan DSN, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 1997 tanggal 26 Maret 1997 untuk membentuk BSN dan membubarkan DSN. Pada saat BSN dibentuk jumlah SNI telah mencapai lebih dari 4000 judul yang sebagian besar merupakan hasil peleburan standar sektoral yang dilakukan oleh DSN. Tantangan utama yang dihadapi oleh BSN pada saat pembentukannya adalah mengembangkan tatanan, prosedur dan pengorganisasian yang memenuhi norma dan tata cara yang baik, serta selaras dengan praktek yang umum dipergunakan di dunia internasional. Oleh karena itu fokus utama pada saat itu adalah membentuk Sistem Standardisasi Nasional (SSN) serta melakukan pembenahan kelembagaan dan proses yang berkaitan dengan pelaksanaan pengembangan SNI dan pelaksanaan penilaian kesesuaian. 69
Setelah melalui berbagai kajian dan studi perbandingan untuk memahami norma dan best practices yang berlaku di tingkat regional dan internasional serta setelah melakukan koordinasi lintas sektor, kerangka SSN dapat dibakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional yang berisi pengaturan tentang kerangka kelembagaan dan pokok-pokok ketentuan yang harus dipenuhi dalam mengembangkan semua sub-sistem SSN. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, BSN kemudian melaksanakan sejumlah langkah-langkah penting sebagai berikut: a.
Menjabarkan sistem kelembagaan SSN yang diperlukan untuk melaksanakan
standardisasi
nasional
dan
menstimulasi
pembentukannya. b.
Menetapkan pedoman-pedoman yang diperlukan untuk menjamin keteraturan proses pengembangan standar, pelaksanaan penilaian kesesuaian dan pemberlakuan SNI wajib sesuai dengan norma dan ketentuan yang berlaku di tingkat internasional.
c.
Membentuk sekitar 90 buah Panitia Teknik SNI yang sekretariatnya tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah lain, untuk memfasilitasi peranserta pemangku kepentingan dalam perumusan SNI.
d.
Mereposisi KAN dan memperkuat dukungan bagi KAN sehingga dapat memenuhi persyaratan untuk diterima dalam perjanjian MRA APLAC/ILAC dan PAC/IAF.
e.
Memfasilitasi
pembentukan
Masyarakat
Standardisasi
Indonesia
(MASTAN) suatu organisasi non-pemerintah yang diperlukan untuk memberikan wadah dan saluran yang seluas mungkin bagi pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam berbagai proses standardisasi. f.
Mewakili Indonesia dalam keanggotaan ISO, yang telah terdaftar sejak tahun 1954 atas nama YDNI (Yayasan Dana Normalisasi Indonesia), dan terpilih menjadi anggota ISO Council untuk periode tahun 20052006.
70
g.
Mewakili kepentingan Indonesia dalam berbagai forum kerjasama standar dan penilaian kesesuaian, baik di tingkat regional (ACCSQ di ASEAN, SCSC dan PASC di Asia-Pasifik, ASEM-SCA) maupun dalam organisasi standardisasi di tingkat internasional (ISO, IEC, dan CAC).
h.
Mengembangkan fungsi “notification body & enquiry point” dalam rangka pelaksanaan perjanjian TBT-WTO.
i.
Menstimulasi kerjasama bilateral di bidang standar dan penilaian kesesuaian. Sampai akhir tahun 2004 jumlah SNI telah mencapai 6520 judul
dengan penambahan rata-rata sebanyak 260 standar per tahun. Pada saat BSN dibentuk telah ada SNI yang merupakan hasil standar sektoral sebanyak 4480 judul. Oleh karena SNI tersebut telah berumur lebih dari 5 tahun dan banyak yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pedoman Standardisasi Nasional, maka standar tersebut perlu dikaji ulang. Di samping itu, sejalan dengan perkembangan kerjasama regional baik di lingkungan ASEAN maupun APEC, serta sesuai pula dengan perjanjian TBT-WTO, sejumlah
SNI
telah
diharmonisasikan
dengan
standar
internasional.
Harmonisasi SNI seharusnya terus ditingkatkan sejalan dengan pelaksanaan kaji ulang dan revisi SNI. Beberapa upaya yang dapat dilaksanakan BSN di bidang ini adalah sebagai berikut: a.
Melakukan penguatan Manajemen Teknis Pengembangan SNI (MTPS), penerapan teknologi informasi dan pembentukan jaringan pakar untuk mendukung pengendalian mutu, agar pengembangan SNI dapat dilaksanakan secara teratur dan efektif sesuai dengan norma pengembangan SNI yang telah dibahas terdahulu.
b.
Melakukan
restrukturisasi
kelembagaan
dengan
pembentukan
badan/kelembagaan yang terpisah antara badan regulator, badan pelaksana dan badan pengawas, agar masing-masing memiliki lingkup
71
fungsi, tugas dan kewenangan yang jelas, terstruktur, dan tidak tumpang tindih satu sama lain. c.
memperkuat fungsi MASTAN dalam proses pengembangan SNI agar partisipasi dan pelaksanaan konsensus pihak berkentingan dapat semakin luas.
d.
Melakukan perubahan sistem pengembangan SNI yang mencakup penyusunan dan revisi pedoman yang berkaitan dengan pembentukan Panitia Teknis, pengembangan SNI, penulisan SNI, adopsi standar internasional, serta Pedoman Standardisasi Nasional lainnya yang terkait dengan pengembagan SNI. Memberikan dorongan di lingkungan ILAC/APLAC, KAN untuk
menjadi signatory member untuk MRA di bidang akreditasi laboratorium uji dan laboratorium kalibrasi serta lembaga inspeksi. Sementara itu di lingkungan PAC/IAF, KAN didorong menjadi signatory member untuk MLA di bidang akreditasi lembaga sertifikasi sistem manajemen mutu dan lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan hidup. Persiapan diri untuk menghadapi international peer review dalam rangka mendapatkan MLA di bidang sertifikasi produk, harus terus tetap dilaksanakan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan KAN untuk memperbaiki dan mengembangkan sistem penilaian kesesuaian, adalah: a.
Menyempurnakan persyaratan dan kualitas proses akreditasi agar semakin terpercaya dan status sebagai signatory member MRA/MLA di atas dapat dipertahankan.
b. Menyempurnakan sistem akreditasi lembaga sertifikasi produk dengan sasaran agar KAN siap untuk di peer review untuk dapat menjadi signatory member PAC/IAF di bidang akreditasi ini. c.
Mengembangkan dan mengoperasikan berbagai skema akreditasi yang spesifik, seperti akreditasi untuk lembaga sertifikasi eko-label, akreditasi untuk lembaga sertifikasi produk pertanian pangan organik, akreditasi untuk lembaga sertifikasi laboratorium klinik, serta 72
mengembangkan infrastruktur lembaga penilaian kesesuaian untuk mendukung pelaksanaan skema yang ditetapkan oleh IEC. d. Mengembangkan pengetahuan sumber daya manusia dan penerapan teknologi IT untuk peningkatan kualitas pelayanan KAN. e.
Memberikan dukungan untuk menstimulasi perkembangan NMI serta memperkuat koordinasi dengan Direktorat Metrologi Departemen Perdagangan yang menangani metrologi legal. Di samping itu, KAN juga harus mengupayakan MRA secara bilateral
dengan sejumlah negara tujuan ekspor, terutama untuk area produk yang peredaran pasarnya cenderung diawasi oleh pemerintah negara-negara tersebut. Perkembangan SNI sangat dipengaruhi oleh berbagai daya penggerak (driving forces). Sejumlah daya penggerak yang memiliki peran yang strategis adalah : a.
Persepsi Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Persepsi pemangku kepentingan terhadap kegunaan standar (di dalamnya termasuk
standar
mutu
pangan),
merupakan
daya
penggerak
perkembangan SNI yang sangat penting. Pemahaman tentang fungsi standar dalam kegiatan produksi, akan mempengaruhi tarikan pasar bagi perkembangan SNI, sekaligus akan mendorong pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam proses pengembangan SNI. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkembangan SNI pada dasarnya berakar pada persepsi dan pemahaman pemangku kepentingan terhadap kegunaan standar. b.
Kepercayaan Terhadap Proses Pengembangan SNI Daya penggerak kedua yang sangat penting adalah kepercayaan terhadap proses
pengembangan
SNI.
Perkembangan
persepsi
pemangku
kepentingan tentang pentingnya standar hanya akan menjadi tarikan pasar yang riil bagi perkembangan SNI apabila kepercayaan mereka terhadap proses pengembangan SNI cukup baik, karena: (1) terbuka bagi partisipasi 73
pemangku kepentingan; (2) prosesnya transparan, tidak memihak serta menjunjung tinggi konsensus; dan (3) pelaksanaannya efektif karena menjawab kebutuhan pasar, sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta koheren dengan berbagai standar dan praktek perdagangan internasional. Gambar 1 Siklus Perkembangan SNI Perkembangan SNI
Keberterimaan SNI oleh pihak berkepentingan
Partisipasi Pihak Berkepentingan
Investasi untuk penerapan SNI & penilaian kesesuaian
Efektifitas SNI sebagai Faktor Pasar
Sumber : BSN diolah Seperti tampak pada Gambar 1, partisipasi pemangku kepentingan dalam pengembangan dan pemanfaatan SNI sebagai faktor pasar hanya terjadi apabila proses pengembangan SNI diterima oleh masyarakat. c.
Kepercayaan Terhadap Proses Penilaian Kesesuaian Kepercayaan terhadap proses penilaian kesesuaian juga merupakan faktor yang sangat penting. Apabila penerapan SNI didukung oleh penilaian kesesuaian yang dapat diandalkan dan terpercaya, maka penerapan SNI tersebut akan semakin dirasakan sebagai faktor yang dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi transaksi perdagangan, serta membentuk kepastian bisnis dan iklim persaingan yang sehat. Kepercayaan terhadap penilaian kesesuaian sangat dipengaruhi oleh perkembangan lembaga dan ruang lingkup penilaian kesesuaian pihak ketiga yang memiliki 74
kompetensi dan sistem manajemen yang profesional serta melaksanakan praktek bisnis yang baik. Dengan demikian keandalan proses akreditasi yang diselenggarakan oleh KAN juga merupakan kunci perkembangan SNI yang penting. d.
Kemampuan BSN dan KAN Kemampuan BSN dan KAN yang dibentuk oleh pemerintah untuk mendorong perkembangan semua sub-sistem SSN, tentu juga merupakan daya penggerak perkembangan SNI yang penting. Bagaimana BSN dan KAN dapat mempengaruhi pertumbuhan ketiga daya penggerak tersebut yang telah dibahas di atas, tentunya juga merupakan kunci perkembangan SNI yang penting. Demikian pula kemampuan BSN dan KAN untuk memperkuat
keterkaitan
holistik
antara
transaksi
pasar
dengan
perkembangan SNI, antara penerapan SNI dan ketersediaan penilaian kesesuaian, antara penilaian kesesuaian dengan kemampuan di bidang metrologi, merupakan kunci perkembangan SNI yang penting pula. Gambar 2 Siklus Proses Standardisasi Nasional
Kebutuhan SNI 1
Pengembangan SNI
Transaksi Pasar
Penerapan SNI Perlu dukungan 3
2
Kelayakan
Referensi
Penilaian Kesesuaian
Ketelusuran
4
Ketidakpastian
Kalibrasi Peralatan Uji Sumber : BSN diolah
75
Seperti tampak pada Gambar 2, pengembangan SNI harus dilandaskan pada kebutuhan pasar dan penggunaannya dalam transaksi pasar memerlukan dukungan penilaian kesesuaian yang dapat dijadikan referensi yang terpercaya. Penilaian kesesuaian juga memerlukan dukungan prasarana metrologi, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan kalibrasi dan uji profisiensi untuk menjamin unjuk kerja hasil pengujian. Kelemahan salah satu aspek tersebut dapat mengurangi efektivitas SNI sebagai faktor pasar. e.
Liberalisasi Perdagangan Perkembangan liberalisasi perdagangan juga merupakan daya penggerak yang penting. Berbagai perjanjian internasional baik di lingkungan lembaga-lembaga PBB dan WTO mengikat semua anggotanya untuk menerapkan keteraturan tertentu dalam transaksi perdagangan antar negara, sehingga masing-masing negara anggota tidak lagi menerapkan berbagai hambatan perdagangan dengan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Harmonisasi standar nasional terhadap standar internasional, pengembangan saling pengakuan (MRA) dalam pelaksanaan penilaian kesesuaian, dan keterbukaan serta transparansi dalam penerapan regulasi teknis merupakan sejumlah aspek yang selalu menjadi pokok perundingan. Sebagai contoh di lingkungan WTO telah disepakati perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) yang mengatur penerapan standar, penilaian kesesuaian dan regulasi teknis secara transparan, berdasarkan kebutuhan yang sah dan tidak dimaksud atau menimbulkan hambatan perdagangan yang berkelebihan, tidak membedakan perlakuan bagi produk dalam dan luar negeri, serta tidak melakukan diskriminasi atau memberikan perlakuan istimewa terhadap suatu negara tertentu. Prinsip-prinsip tersebut kemudian diadopsi ke dalam berbagai perjanjian tingkat regional, baik ASEAN maupun APEC. Perkembangan tersebut menimbulkan kesempatan sekaligus tantangan. Bagi negara-negara yang dapat memenuhi tingkat keteraturan yang digariskan oleh perjanjianperjanjian tersebut, terbuka kesempatan yang lebih luas untuk memasuki 76
pasar regional dan internasional. Sementara bagi yang tidak, mereka akan kurang mampu memanfaatkan kesempatan itu namun mereka harus membuka pasar di negaranya bagi pihak-pihak yang telah mencapai tingkat keteraturan tersebut. Gambar 3 mengilustrasikan sejumlah tantangan yang dihadapi oleh para produsen di Indonesia sejalan dengan perkembangan liberalisasi perdagangan. Gambar 3 Tantangan bagi Produsen Kemajuan teknologi
Global Market
Keteraturan transaksi perdagangan global
Perkembangan Standar Internasional MRA di tingkat Regional & Internasional
Produsen Dalam Negeri Domestic Market
Keteraturan pasar dalam negeri
Kesiapan prasarana penilaian kesesuaian Kualitas SNI
Kesiapan produsen
Sumber : BSN diolah
Apabila 3 (tiga) daya penggerak yang secara langsung mempengaruhi perkembangan SNI – yaitu persepsi pemangku kepentingan terhadap SNI, kepercayaan terhadap proses pengembangan SNI dan kepercayaan terhadap penilaian
kesesuaian,
digunakan
sebagai
dasar
untuk
menganalisis
perkembangan SNI di masa mendatang, maka diperoleh sejumlah skenario yang mungkin terjadi sebagaimana dilustrasikan dalam Gambar 4 di bawah ini.
77
Gambar 4 Skenario Perkembangan SNI Persepsi Stakeholder terhadap Standar Mengecewakan Buruk
Baik
Buruk
Tidak Menentu Baik
Baik Lambat
Sehat
Stagnasi
Buruk
Kepercayaan thd Penilaian Kesesuaian
Kepercayaan thd Proses Produksi SNI
Sumber : BSN diolah Pada skenario pertama, persepsi masyarakat terhadap standar tidak baik (buruk). Dalam skenario ini perkembangan SNI akan mengalami stagnasi karena walaupun jumlah SNI terus bertambah, namun para pelaku pasar tidak merasakan kebutuhannya sehingga SNI tersebut tidak dimanfatkan. Dalam kondisi ini SNI tidak akan berkembang sebagai faktor pasar. Dengan demikian pasar bagi bisnis penilaian kesesuaian juga terbatas sehingga perkembangan lembaga penilaian kesesuaian juga akan terhambat. Dengan demikian posisi Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan regional dan internasional akan melemah pula. Pada skenario kedua, masyarakat khususnya produsen, memiliki persepsi yang cukup baik terhadap kegunaan standar namun kepercayaan terhadap proses pengembangan SNI dan penilaian kesesuian tidak baik. Dalam kondisi ini masyarakat akan kecewa dan tidak akan berpartisipasi dalam pengembangan SNI serta menggunakan SNI sebagai acuan. Mereka akan lebih mengandalkan standar internasional atau standar negara lain. Seperti skenario pertama, perkembangan SNI tidak akan menstimulasi pasar bagi bisnis
78
penilaian kesesuaian, yang pada akhirnya akan memperlemah posisi Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan regional maupun internasional. Pada skenario ketiga, masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap kegunaan standar, kepercayaan pada proses penilaian kesesuaian juga baik, namun kepercayaan terhadap proses pengembangan SNI masih buruk. Pada kondisi seperti yang dialami Indonesia dewasa ini, perkembangan SNI tidak menentu. Pada area bisnis yang mengalami tekanan kuat dari produk impor berkualitas rendah yang murah, produsen dalam negeri akan berusaha menggunakan pemberlakuan SNI wajib sebagai proteksi. Sementara pada area bisnis lain SNI tidak terlalu dipertimbangkan sebagai faktor pasar. Walaupun demikian, keberadaan penilaian kesesuaian yang terpercaya merupakan faktor yang penting untuk memperkuat posisi dalam berbagai perjanjian regional dan internasional. Pada skenario keempat, masyarakat memiliki persepsi yang baik terhadap kegunaan standar, kepercayaan pada proses pengembangan SNI juga baik, namun kepercayaan terhadap proses penilaian kesesuaian masih buruk. Pada kondisi yang demikian SNI masih akan berkembang walaupun lambat, karena pelaku pasar masih akan berpartisipasi dalam pengembangan SNI dan menggunakan SNI sebagai acuan kegiatan produksi dan perdagangan. Namun tidak adanya penilaian kesesuaian yang terpercaya dapat mengurangi makna penggunaan SNI sebagai faktor pasar, dan dapat memperlemah posisi dalam berbagai perjanjian regional dan internasional. Pada skenario kelima persepsi masyarakat, kepercayaan terhadap proses pengembangan SNI dan penilaian kesesuaian berkembang dengan baik. Dalam kondisi semacam ini SNI akan berkembang secara sehat, dipergunakan secara efektif dalam kegiatan produksi dan perdagangan, serta akan menimbulkan tarikan pasar yang kuat bagi perkembangan bisnis penilaian kesesuaian. Keadaan ini akan mempengaruhi keteraturan dan sofistikasi pasar dalam negeri, sehingga kualitas produksi akan menjadi lebih baik pula. 79
Kesiapan produsen dan keberadaan penilaian kesesuaian yang terpercaya akan memperkuat posisi dalam berbagai perjanjian regional dan internasional. c.
Perlindungan Konsumen dan Peningkatan Daya Saing Produk melalui Penerapan Standardisasi Mutu Produk Sesuai dengan arah kebijakan pembangunan nasional di bidang ekonomi, sebagaimana yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)68, pembangunan ekonomi nasional ditujukan untuk menjawab berbagai permasalahan dan tantangan dengan tujuan akhir adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan amanat dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada alenia keempat, bahwa salah satu tujuan dibentuknya suatu Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum yang didasarkan pada keadilan sosial. Dalam upaya pencapaian kesejahteraan umum yang didasarkan pada keadilan sosial tersebut, Pasal 33 UUD 1945 telah menggariskan bahwa: “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Pemaknaan Pasal 33 UUD 1945 di atas, ada tiga hal yang dapat disimpulkan, yaitu adanya tanggung jawab negara di bidang ekonomi, sistem demokrasi ekonomi Indonesia dan tujuan dari demokrasi ekonomi Indonesia, yaitu terciptanya kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
68
Lihat dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, Buku II, Bab III Ekonomi, hlm. II.3-1.
80
Tercapainya peningkatan kesejahteraan rakyat memerlukan terciptanya kondisi-kondisi dasar yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; (2) penciptaan sektor ekonomi yang kokoh serta; (3) pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Salah satu instrumen yang di perlukan untuk
mendorong terwujudnya tujuan tersebut
adalah melalui penerapan
standardisasi produk untuk meningkatkan mutu dan daya saing produk serta perlindungan terhadap konsumen, yang akhirnya dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, dan terciptanya pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Pertumbuhan ekonomi
nasional tersebut
perlu didukung oleh
peningkatan produktivitas dan efisiensi serta sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan dan pemantapan program pembangunan nasional di sektor ekonomi agar dapat menjadi penggerak utama ekonomi yang efisien, berdaya saing tinggi, dan mempunyai struktur yang makin mantap. Peningkatan kesejahteraan rakyat yang berlandaskan pengembangan usaha berkeunggulan kompetitif, termasuk usaha kecil, menengah dan koperasi, perlu diarahkan untuk kemandirian perekonomian nasional, meningkatkan efisiensi, produktivitas masyarakat, dan daya saing dalam menghasilkan barang dan/atau jasa yang makin bernilai tambah tinggi dengan selalu menjaga kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Salah satu alat pendorong untuk menciptakan keunggulan kompetitif adalah peningkatan mutu dan efisiensi perindustrian nasional dengan memfokuskan pada kegiatan standardisasi. Oleh karena itu, kegiatan standardisasi di Indonesia perlu disempurnakan dan disosialisasikan agar yang berkepentingan dengan standardisasi (stakeholders) dan masyarakat lebih menyadari arti penting standardisasi. Stakeholders dalam kegiatan standardisasi meliputi konsumen, pelaku usaha, ilmuwan, dan pemerintah. Keberadaan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) sangat diperlukan untuk mendukung produk nasional dalam menghadapi era perdagangan bebas, 81
guna menjamin terciptanya perdagangan yang adil dan jujur serta menunjang pertumbuhan produk nasional dan perlindungan masyarakat, khususnya dalam hal keselamatan, keamanan, kesehatan dan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk nasional, diperlukan pengembangan prasarana teknis standardisasi yang meliputi metrologi, standar, pengujian, dan penilaian mutu dalam rangka meningkatkan dan menjamin mutu barang dan/atau jasa. Pengembangan prasarana teknis tersebut diusahakan agar manfaatnya dapat lebih dirasakan oleh semua pihak. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, standardisasi dapat digunakan sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi secara lebih baik dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Hal ini selaras dengan dianutnya negara kesejahteraan (welfare state) oleh Indonesia, dimana negara dapat ikut campur dalam perekonomian nasional dengan tujuan untuk mewujukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Landasan
konstitusionalnya adalah sebagaimana yang termaktub dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa : “...Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Dilihat dari tugas dan tanggung jawab tersebut, dapatlah dikatakan bahwa negara (pemerinah) Indonesia menganut faham negara kesejahteraan (welfare state)69. Hal ini tercermin pula dalam Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31 dan Pasal 34 UUD 1945, yang memuat kewajiban negara dalam mengelola sumber
69
Lihat pernyataan Sri Wahyu Kridasakti dalam buku Hukum Administrasi Negara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1998, hlm. 9.10, yang menyatakan “Secara konstitusional negara Indonesia menganut prinsip welfare state maka dengan sendirinya tugas dari pemerintah sangatlah luas. Pemerintah wajib berusaha memberikan perlindungan kepada seluruh masyarakat baik dalam bidang politik maupun sosial ekonomi. Untuk melaksanakan tugas yang luas tersebut, pemerintah secara legal diberi kewenangan (fries ermessen) untuk campur tangan dalam berbagai bidang kegiatan sosial guna membangun kesejahteraan sosial... ”.
82
daya untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Manuel Kaisiepo70, jika menilik cita-cita dan pemikiran perumusan Pasal 33 UUD 1945, yang selanjutnya dijadikan landasan konstitusional perekonomian Indonesia, maka model negara yang paling sesuai untuk merealisasikan cita-cita tersebut adalah negara kesejahteraan (welfare state). Secara teoritik, dalam negara kesejahteraan, peran pemerintah dituntut responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan perekonomian nasionalnya untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga negaranya. Menurut G. Esping-Andersen, suatu negara dapat katakan menganut faham negara kesejahteraan, apabila negara tersebut menjalankan nilai-nilai sosialisasi hak dan kewajiban warga negara (social citizenship); demokrasi penuh (full democracy); sistem hubungan industrial modern (modern industrial relation systems); hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengembangan sistem pendidikan modern (rights to education and the expansion of modern mass education system); dan produksi serta penyediaan kesejahteraan warga negara tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pasar71. Adapun tiga kunci utama yang harus dijalankan oleh negara yang menganut faham kesejahteraan adalah kebijakan makro-ekonomi yang Keynesian, kebijakan penciptaan lapangan kerja yang penuh dan daya beli yang tinggi dari warga negara, serta program-program jaminan sosial. Ketiga kunci utama tersebut, dalam rangka menjawab perubahan dan transformasi ekonomi dunia, menurut Anthony Giddens, harus dibarengi dengan prinsipprinsip persamaan, perlindungan yang lemah, kebebasan dalam bentuk otonomi, hak yang disertai tanggung jawab, otoritas yang dibentuk atas dasar partisipatoris dan solidaritas dalam pluralisme72. Jadi di dalam negara
70
Lihat Manuel Kaisiepo, Pancasila dan Keadilan Sosial : Peran Negara, dalam buku Restorasi Pancasila (Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas), Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Jakarta, FISIP UI dan Brigten Press, 2006, hlm. 187. 71 G. Esping-Andersen, Three World of Welfare Capitalism, Oxfort University Press, 1990, hlm.78. Lihat pula dalam Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Harian Kompas, 9 Mei 2006. 72 Anthony Giddens, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998), yang dalam edisi Indonesia berjudul “Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial”, Jakarta, Gramedia, 1999.
83
kesejahteraan, menurut Bagir Manan73, negara atau pemerintah tidak sematamata hanya sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kerangka itu, Indonesia menerapkan Sistem Standardisasi Nasional sebagai salah satu kebijakan pemerintah yang responsif untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga negaranya, yaitu yang terkait dengan keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen dalam mengkonsumsi produk yang beredar di pasaran. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan standar nasional dengan mutu yang makin meningkat dan dapat memenuhi persyaratan internasional, untuk menunjang tercapainya tujuan strategis, antara lain, peningkatan ekspor barang dan/atau jasa Indonesia, peningkatan daya saing barang dan/atau jasa Indonesia terhadap barang dan/atau jasa impor, peningkatan efisiensi nasional, dan menunjang program keterkaitan sektor ekonomi dengan berbagai sektor lainnya. Dengan demikian diperlukan suatu Sistem Standardisasi Nasional yang merupakan tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras dan terpadu serta berwawasan nasional dan internasional. Perkembangan perekonomian internasional yang menuju ke arah penghilangan batas antar negara (borderless state) telah mendorong banyak negara membentuk blok-blok perdagangan dalam rangka melindungi dan mempertahankan kepentingan perdagangannya. Dengan menguatnya saling ketergantungan antar negara dan saling keterkaitan masalah secara regional dan internasional maka muncullah berbagai blok perdagangan, seperti AFTA (ASEAN Free Trade Area), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), EU (European Union), NAFTA (North American Free Trade Agreement), dan sebagainya. Kecenderungan liberalisasi perdagangan tersebut ditandai dengan adanya perubahan menuju kesamaan terms of trade, kebijakan yang berupa 73
Lihat Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi Ekonomi”, makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1996, hlm. 16.
84
hambatan perdagangan seperti subsidi input, tarif impor, pajak ekspor, kuota, dan lain-lainnya secara bertahap akan dihapuskan. Untuk menjaga dan melindungi kepentingan domestik dari serbuan masuknya barang impor, kini banyak negara menggunakan instrumen non tarif, antara lain dengan pemberlakuan standar dan penilaian kesesuaian. Oleh karenanya, peran standar dan penilaian kesesuaian kini menjadi semakin besar dalam kegiatan perdagangan internasional.
Hal ini ditandai dengan
meningkatnya kegiatan standar dan penilaian kesesuaian di berbagai blok perdagangan regional maupun internasional, seperti ACCSQ (ASEAN Consultative Committee for Standards and Quality), APEC-SCSC (Standards and Conformance Sub-Committee), dan ASEM-TFAP-on SCA (Asian European Meeting-Trade Facilitation Action Plan on Standards and Conformity Assessment ). Indonesia telah menandatangani kesepakatan pada beberapa organisasi dan blok perdagangan untuk melaksanakan liberalisasi perdagangan, antara lain WTO, AFTA, APEC, dan ASEM. Kesepakatan dalam blok-blok perdagangan yang diikuti memaksa Indonesia harus melaksanakan liberalisasi perdagangan internasional secara konsekwen. Berarti kebijakan perdagangan Indonesia yang selama ini masih mengandung unsur restriksi/proteksi harus secara
berangsur-angsur
dihilangkan.
Keadaan
ini
juga
mendorong
meningkatnya peran standardisasi di Indonesia. Peranan standardisasi dalam perekonomian nasional juga mengalami perkembangan yang berarti, misalnya diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang secara spesifik mengamanatkan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang/jasa
yang
tidak
memenuhi
standar
yang
dipersyaratkan; terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional; meningkatnya peran aktif Indonesia dalam kegiatan standardisasi regional dan internasional seperti ISO (International 85
Organization for Standardization), IEC (International Electrotechnical Commission), CAC (Codex Alimentarius Commission), ILAC (International Laboratory Accreditation Cooperation), APLAC (Asia Pasific Laboratory Accreditation Cooperation), dan sebagainya. Namun di sisi lain, kesadaran masyarakat dan pelaku usaha terhadap standar dan mutu produk relatif masih rendah, jumlah standar nasional yang dapat mendukung produk industri masih dianggap belum mencukupi, peraturan yang mendorong terwujudnya penerapan standar yang efektif juga masih belum memadai, dan hal lain yang diperlukan dalam rangka memfasilitasi perdagangan dan terjaminnya mutu produk dalam negeri. Mengingat pentingnya peran standardisasi di masa kini dan masa yang akan datang dalam meningkatkan daya saing produk dan perlindungan terhadap konsumen serta untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional, maka diperlukan suatu sistem yang dapat dipakai sebagai landasan dalam menciptakan pola kebijakan dan program pengembangan standardisasi nasional ke depan, dan yang mampu untuk mengatasi permasalahanpermasalahan atau kendala-kendala yang dihadapi sebagaimana tersebut di atas. Tantangan bangsa Indonesia di masa mendatang adalah globalisasi yang menuntut persaingan yang sangat ketat. Untuk itu, bangsa Indonesia perlu memperkuat landasan ekonomi yang berfokus pada keunggulan kompetitif. Dua faktor yang mendukung hal tersebut adalah peningkatan efisiensi dan produktivitas. Sebagai pendorong peningkatan efisiensi dan produktivitas diperlukan adanya suatu infrastruktur standar dan penilaian kesesuaian yang dapat dikembangkan untuk mendukung pembangunan nasional dalam menghadapi era globalisasi dengan persaingan yang tajam. Terciptanya Sistem Standardisasi Nasional yang efektif dan efisien diharapkan dapat menghasilkan : 86
1) Standar Nasional Indonesia yang mencukupi serta selaras dengan standar
internasional untuk kebutuhan jaminan mutu internal dan
kesepakatan perdagangan; 2) Sistem penerapan standar yang dapat menunjang peningkatan efisiensi dan produktivitas di tingkat produksi, menjamin terlaksananya perlindungan
konsumen
dalam
aspek
kesehatan,
keselamatan,
keamanan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup; 3) Keunggulan kompetitif atas produk Indonesia di pasar global; 4) Informasi standardisasi yang diperlukan oleh pelaku usaha, pemerintah dan konsumen dalam rangka memperlancar arus perdagangan domestik maupun internasional. 5) Tumbuh dan berkembangnya kelembagaan sertifikasi, laboratorium, dan lembaga inspeksi yang sehat, kredibel dan berdaya saing. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diperlukan suatu usaha yang didukung oleh seluruh stakeholders dan diarahkan pada : 1) Upaya mewujudkan pusat pengembangan di bidang standardisasi dengan memanfaatkan seluruh sumber daya manusia, sarana dan prasarana secara terpadu dan terkoordinasi yang langsung mendukung pelaksanaan pembangunan; 2) Pembentukan jaringan pusat informasi dan pemanfaatan informasi di bidang standardisasi yang diwujudkan melalui pemanfaatan pusat informasi standardisasi yang ada di dalam negeri (Jaringan Nasional Informasi Standardisasi), dan di luar negeri (ISO Information Network); 3) Peningkatan hubungan kerjasama dengan badan standardisasi nasional negara mitra dagang, lembaga standardisasi internasional dan regional, pemerintah dan/atau swasta baik di dalam negeri maupun di luar negeri 4) Ekivalensi Standar Nasional Indonesia dengan Standar Internasional; 5) Ekivalensi kegiatan penilaian kesesuaian dengan mitra dagang Indonesia;
87
6) Penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi untuk menunjang kelancaran perdagangan di pasar global; 7) Pengembangan sumber daya manusia melalui pembinaan yang konsisten untuk meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan program; serta 8) Pembinaan usaha kelembagaan laboratorium uji, lembaga sertifikasi dan lembaga inspeksi yang sehat dan kredibel melalui program akreditasi. Terkait dengan itu, visi besar yang harus dicapai adalah terwujudnya standardisasi nasional yang mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing nasional yang tinggi serta dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan perekonomian nasional, dalam upaya mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut,
misi yang harus
dijalankan adalah : (1) mewujudkan jaminan mutu barang dan/atau jasa nasional; (2) menunjang dihasilkannya barang dan/atau jasa yang berdaya saing tinggi; (3) melindungi kepentingan masyarakat sesuai dengan ketentuan internasional yang telah disepakati; dan (4) memberdayakan sumberdaya dalam negeri. Dalam rangka menjalankan misi di atas, kebijakan standardisasi nasional dapat diarahkan pada : 1) Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap standar dan budaya mutu; 2) Peningkatan perlindungan masyarakat (konsumen), dan lingkungan melalui penerapan standar jaminan mutu dan penegakan hukum; 3) Peningkatan perumusan standar dan penyelarasan dengan standar internasional; 4) Peningkatan infrastruktur standardisasi; 5) Peningkatan peran aktif dalam kerjasama standardisasi nasional, regional, multilateral dan internasional. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, program kerja yang dapat dijalankan adalah :
88
1) memantapkan dan meningkatkan ekspor barang dan/atau jasa Indonesia melalui peningkatan produksi, dan penggunaan produk dalam negeri; 2) mengembangkan dan memantapkan SNI dan SSN dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat di dalam dan luar negeri akan hasil barang dan/atau jasa Indonesia; 3) mengembangkan program jaminan mutu, keselamatan, keamanan, kesehatan,
dan
pelestarian
fungsi
lingkungan
hidup
dengan
mengembangkan jaringan informasi nasional dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang standardisasi; 4) meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas pelaku usaha di Indonesia, dalam rangka peningkatan daya saing dan bernilai tambah dalam menghasilkan barang dan/atau jasa dan penguasaan pasar dalam dan
luar
negeri dengan
meningkatkan sarana dan prasarana
standardisasi; 5) meningkatkan partisipasi aktif Indonesia dalam kegiatan standardisasi regional dan internasional; 6) mengembangkan dan menyempurnakan kegiatan standardisasi dalam rangka memperoleh pengakuan pada tingkat internasional melalui kerjasama saling pengakuan baik bilateral maupun multilateral. Tabel 1 Kebijakan dan Program Kerja Standardisasi Nasional dalam Pengembangan Perekonomian Nasional Kebijakan
Program Kerja
1. Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap standard dan budaya mutu 2. Peningkatan perlindungan masyarakat dan lingkungan melalui penerapan standar jaminan mutu dan penegakan hukum
a. Pengembangan sistem informasi standardisasi nasional b. Sosialisasi standardisasi a. Pengembangan penerapan Good Regulatory Practice (GRP) b. Peningkatan pemberlakuan SNI Wajib c. Penyusunan sistem penerapan dan pemanfaatan SNI d. Penyusunan dan pengembangan sistem pengawasan produk yang bertanda SNI
89
3. Peningkatan perumusan standard dan penyelarasan standard dengan standard internasional 4. Peningkatan infrastruktur standardisasi
5. Peningkatan peran aktif dalam kerja sama standardisasi nasional, regional, multilateral dan internasional
a. Penyelarasan SNI terhadap standar internasional b. Perumusan standard prioritas
a. Pengembangan sistem penilaian kesesuaian yang memperoleh pengakuan ditingkat regional dan internasional b. Pengembangan kerjasama internasional untuk ketelusuran standard nasional c. Peningkatan SDM, sarana dan prasarana standardisasi yang kredibel d. Penelitian dan pengembangan standardisasi nasional a. Peningkatan kerjasama di tingkat nasional, regional dan internasional b. Pengembangan saling pengakuan (MRA) bilateral dan multilateral.
Sumber : Disarikan dari pembahasan.
Melalui langkah atau upaya sebagaimana tersebut di atas, diharapkan penerapan standardisasi mutu produk dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan nasional, khususnya di bidang ekonomi. Hal ini tercermin dengan semakin banyaknya produk yang memenuhi standar nasional maupun internasional, produk tersebut akan mampu bersaing di pasaran. Dengan demikian sektor produksi akan berjalan dengan baik dan produk yang dihasilkannya akan terserap oleh pasar. Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional (khususnya disektor produksi) akan berjalan dengan baik, meskipun ini bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi. Namun setidaknya, ada kontribusi yang signifikan (berperanan), dengan banyaknya produk (khususnya pangan olahan) yang memenuhi standar (baik nasional maupun internasional) di pasaran, dari segi kepentingan konsumen akan memberikan perlindungan dari aspek keamanan, keselamatan dan kesehatan jika mengkonsumsi produk dimaksud dan dari kepentingan produk itu sendiri akan memberikan nilai tawar dan daya saing 90
yang tinggi. Sehingga akan menjadi pilihan konsumen dan mampu bersaing dengan produk-produk impor. Selain itu, dengan terpenuhinya standar mutu produk khususnya pangan, akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap produktifitas kerja yang akhirnya mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional.
91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan a.
Instrumen hukum (materi dan kelembagaan) yang terkait dengan standardisasi dan sertifikasi mutu produk pangan olahan di Indonesia telah tersedia. Dengan demikian, produsen pangan olahan harus bertanggung jawab terhadap produk pangan yang dihasilkannya, jika produk tersebut mengakibatkan kerugian bagi konsumen, dengan memberikan ganti rugi dan/atau pemulihan ke dalam keadaan semula. Produsen juga bertanggung jawab untuk berproduksi secara baik dengan memenuhi standar mutu yang ditentukan, terutama pada produk yang diwajibkan berstandar nasional. Jika hal ini tidak dipenuhi, produsen dapat dikenai sanksi administratif ataupun pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Penerapan tanggung jawab produk pangan olahan di Indonesia masih menggunakan instrumen hukum yang terkandung di dalam KUHPerdata dan undang-undang sektoral yang terkait dengan pangan dan perlindungan konsumen, yang belum memasukkan dan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle) di dalamnya. Demikian halnya pada aspek pembuktian, belum menerapkan asas pembuktian terbalik, yang berlaku adalah asas “siapa yang mendalilkan, dialah yang harus membuktikan”. Dengan demikian berarti bahwa pihak yang dirugikan atau penggugatlah yang harus membuktikan. Adapun yang terkait dengan penerapan standardisasi produk pangan, masih menggunakan instrumen hukum setingkat peraturan pemerintah dan keputusan Kepala BSN yang diadopsi dari ketentuan standar internasional.
c.
Pengembangan tanggung jawab produk dan standardisasi mutu produk dalam meningkatkan daya saing dan pegembangan perekonomian nasional, dapat dilakukan dengan : 1) penguatan regulasi dengan membentuk Undang-Undang Sistem Standardisasi Nasional dan Undang92
Undang Tanggung Jawab Produk yang memasukkan prinsip tanggung jawab mutlak dan pembuktian terbalik; 2) Melakukan penguatan Manajemen Teknis Pengembangan SNI (MTPS), penerapan teknologi informasi dan pembentukan jaringan pakar; 3) melakukan restrukturisasi kelembagaan dengan pembentukan badan/kelembagaan yang terpisah antara badan regulator, badan pelaksana dan badan pengawas, agar masing-masing memiliki lingkup fungsi, tugas dan kewenangan yang jelas, terstruktur, dan tidak tumpang tindih satu sama lain; 4) memperkuat fungsi MASTAN; 5) melakukan perubahan sistem pengembangan SNI yang mencakup penyusunan dan revisi pedoman yang berkaitan dengan pembentukan Panitia Teknis, pengembangan SNI, penulisan SNI, adopsi standar internasional, serta Pedoman Standardisasi Nasional lainnya yang terkait dengan pengembagan SNI.
2.
Saran a.
Perlu dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang tanggung jawab produk dengan memasukkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle) ke dalam norma pengaturannya dan beban pembuktian terbalik dalam sistem pembuktiannya.
b.
Perlu dibuat suatu undang-undang yang khusus mengatur tentang Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk, yang di dalamnya mengatur asas, prinsip, tujuan, ruang lingkup, proses dan mekanisme standardisasi dan sertifikasi mutu produk, hak dan kewajiban serta tanggung jawab kelembagaan yang terkait proses standardisasi dan sertifikasi produk, hak dan kewajiban serta tanggung jawab pemegang SNI serta produk yang wajib ber-SNI. Sebab selama ini pengaturan standardisasi nasional hanya diatur di dalam peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
c.
Untuk lebih mengoptimalkan penerapan standardisasi, perlu adanya peningkatan kualitas SDM, teknologi pengujian produk, pemantauan, pengawasan dan pembinaan khususnya terhadap penerapan SNI Wajib 93
yang diterapkan kepada pelaku usaha untuk menjaga konsistensi dan ketaatan pelaku usaha dalam menerapkan SNI Wajib serta perlu dilakukan penataan
kelembagaan
dengan
memisahkan
secara
tegas
mana
kelembagaan standardisasi yang berfungsi sebagai regulator, sebagai pelaksana standardisasi dan yang berfungsi sebagai lembaga pengawas.
94
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku, Jurnal dan Makalah Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. _______, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), Chandra Pratama, 1996. Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk dan sejarah Perkembangannya di Beberapa Negara, Makalah Penataran Hukum Perikatan II Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia, Jogyakarta, 1988. Agro Observer Jurnal, No. 2, Tahun 1, November-Desember 2006. Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2000. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Alien, Louis A., Karya Managemen, Pustaka Sarjana, Jakarta, tth. Asia Development Bank (ADB), Key Indicator 2007, Vol. 38, Manila, 2007. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Hasil Kajian BPKN di Bidang Pangan Terkait Perlindungan Konsumen, Jakarta, 2008. Badan Standardisasi Nasional, SNI ISO 22000:2009 tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan – Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan, BSN, Jakarta, 2009. _______, Rencana Strategi (Renstra) Badan Standardisasi Nasional 2005 – 2009. Bagir Manan, “Politik Perundang-undangan dalam Rangka Mengantisipasi Liberalisasi Ekonomi”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional di Fakultas Hukum Universitas Lampung, 1996. _______, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), FH UII-Press, Yogyakarta, 2004.
95
Baron, Otto van Wassennaer van Catwijk, Product Liability In Europe, The American Journal of Comparative Law, Volume 34, 1986. Basuki Ismail, Negara Hukum Toleransi (Telaahan Filosofis atas John Locke), Intermedia, Jakarta, 1993. Braun, Von J., Agriculture for Sustainable Economic Development: Global R&D Initiative to Avoid a Deep and Complex Crisis, Charles Valentine Rile Memorial Lecturer, Washington DC, February 2008. Brevet, Karel W., Product Liability, Chapter 22 Dutch Business Law, Kluwer 1991. Chaidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1976. Clark, Alistair M., Product Liability, Sweet & Maxwell, 1989. Clutterbuck, J., Karl Llewellyn and the Intellectual Foundations of Enterprise Liability, 97 Yale Journal 1988. Cohen, Steven, Total Quality Management in Government, Jossey-Bass Inc., San Francisco, 1993. Coie, Perkins, Product Lability in the United States (A Primer for Manufacturers and Their Employeers), Product Liability Practice Group, Washington D.C., 1991. Cruz, Peter de, Comparative Law in a Changing World, London-Sydney: Cavendish Publishing Limited, 1999, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Narulita Yusron, Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law, Common Law dan Socialist Law), Nusa Media, Cet. I, April 2010. Dadang Kurnia dan Mai Damai Ria, Model Pengawasan Industri Pangan untuk Menjamin Keamanan Pangan Dalam Rangka Meningkatkan Daya Saing Produk Makanan dan Minuman, Hasil Kajian Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, LIPI, 2007. Daud Silalahi, M., Metodologi Penelitian Hukum (Preferensi Khusus pada Pendekatan Multi/Interdisiplin), Lawencon Binding Centre, Bandung, 2001. Dann, D.L., Strict Liability in the U.S.A, dalam Aviation Product and Grounding Liability Symposium, The Royal Aeronautical Society, London, 1972. Diederick-Verschoor, Simillarities and Differences between Air and Space Law, Primarily in the Fields of Private International Law, dalam Academy of International Law, tth. 96
Djuhaendah Hasan, “Sistem Hukum, Asas-asas, dan Norma Hukum dalam Pembangunan Hukum Indonesia”, dalam Rudi Rizky, et.al (Editor), Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir), Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008. Esping, G.,-Andersen, Three World of Welfare Capitalism, Oxfort University Press, 1990. Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Fardiaz, S., Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis, makalah disampaikan dalam Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan bagi Staf Pengajar, diselenggarakan kerjasama antara Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Ditjen Pendidikan Tinggi, Bogor, 1997. Fatimah Zulfah Padmadinata, Standar Keamanan Pangan sebagai Perlindungan Terhadap Konsumen dan Faktor Daya Saing Produk, Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian, LIPI, Jakarta, tth. Fernandez, Ricardo R., Mutu Terpadu dalam Manajemen Pembelian dan Pemasok, Pustaka Binaman Pressindo, 1996. Fobe, Jean-Michel, Aviation Product Liability and Insurance in the EU, Kluwer, Deventer, 1994. Friedman, Milton dan Rose Friedman, Free to Choose, Secker & Warburg, London, 1980. Giddens, Anthony, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998), yang dalam edisi Indonesia berjudul “Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial”, Jakarta, Gramedia, 1999. Ginsburg, Tom, Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge, Massachussett, 2003. Gunawan Sumodiningrat, Sistem Ekonomi Pancasila dalam Perspektif, Impac Wahana Cipta, Jakarta, 1999. Hadiwihardjo, B.H., Mutu dan Keamanan Pangan dan Perdagangan Internasional, dalam Prosiding Seminar Nasional Pangan : Penelitian dan Pengembangan di Bidang Industri Pangan untuk Meningkatkan Mutu dan Daya Saing di Era Pasar Bebas, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kimia Terapan-LIPI, Bandung, 1998. 97
Hartkamp, Arthur S., Civil Code Revision In The Netherlands 1947-1992. Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia (Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Hubeis, M., Pemasyarakatan ISO9000 untuk Industri Pangan di Indonesia, Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Vol. V (3), Fakultas Teknologi IPB, Bogor, 1994. Husein Sawit, M., Liberalisasi Pangan : Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO, Lembaga Penerbit, Fakultas Ekonomi UI, Jakarta, 2007. _______, Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO : Implikasi buat Indonesia, makalah disampaikan dalam Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional, dalam rangka background study RPJM 2010-2014, yang diselenggarakan oleh Bappenas, Jakarta, 11 Agustus 2008. IFPRI, High Food Prices : The What, Who, and How of Proposed Policy Actions, IFPRI Policy Brief No. 1, Mey 2008. Iwan Gardono Sujatmiko, Keadilan Sosial dalam Masyarakat Indonesia , dalam buku Restorasi Pancasila (Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas), Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Jakarta, FISIP UI dan Brigten Press, 2006. Jean-Michel Fobe, Aviation Products Liability and Insurance in the EU, Kluwer, Deventer, 1994. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, PT. Kompas, Jakarta, 2010. Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia), Bayu Media Publishing, Malang, 2006. Juran, A.M., Juran on Leadership for Quality, Juran Institute Inc., USA, 1989, yang diterjemahkan oleh Edi Nugroho, Kepemimpinan Mutu (Pedoman Peningkatan Mutu untuk Meraih Keunggulan Kompetitif), Lembaga PPM dan PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1995. Kadarisman, D., ISO (9000 dan 14000) dan Sertifikasi, Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Vol. VII (3), Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor, 1996. Kramer, A., dan B.A., Twigg, Fundamental of Quality Control for the Food Industry, The AVI Pub. Inc., USA, 1983. 98
Landreth, Harry and Davit C. Colander, History of Economic Thought, Third Edition, Houghton Mifflin Company, Boston, 1994. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, Cet. ke-3, 2002. Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Manuel Kaisiepo, Pancasila dan Keadilan Sosial : Peran Negara, dalam buku Restorasi Pancasila (Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas), Prosiding Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila, Jakarta, FISIP UI dan Brigten Press, 2006. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002. ________, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, yang diedarkan oleh Penerbit Binacipta, tth. ________, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, 1976. Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, GalaMedia, Yogyakarta, 1999. ________, Demokrasi dan Konstitusi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000. Moleong, J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1995. Mubyarto, Gagasan dan Metode Berfikir Tokoh-tokoh Besar Ekonomi dan Penerapannya Bagi Kemanusiaan, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar di Universitas Gajah Mada Yogyakarta tanggal 11 Mei 1979. _______, Beberapa Ciri dan Landasan Pikir Sistem Ekonomi Pancasila, Yogyakarta, Fakultas Pascasarjana UGM, 1984. ________, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan, LP3ES, Jakarta, 1993. Mubyarto dan Boediono (eds), Ekonomi Pancasila, Yogyakarta, BPFE, 1981. Myrdal, Gunnar, Asian Drama : An Inquiry Into The Poverty of Nations, Pantheon Books, New York, 1968. 99
Nevizond Chatab, Mendokumentasi Sistem Mutu ISO 9000, Penerbit ANDI, Yogyakarta, tth. Nimatul Huda, Negara, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005. Official Journal No. L210, 7 Agustus 1985. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Edisi I, Cetakan ke-3, 2007. Phillips, Jerry J., Products Liability, In A Nutshell, 3rd ed., West Publishing Co., 1988. Posner, Richard A., Economic Analysis of Law, Little, Brown & Company, Second Edition, 1977. Puri S.C., ISO 9000 and Total Quality Management, Standards-Quality Management Group, Ottawa and Washington, D.C., 1992. Purwahid Patrik, Beberapa Segi Tanggung Gugat Perdata dalam Perbuatan Melawan Hukum, tth. Rawls, John, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1995, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan (Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Masyarakat), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. Reardon, T. dan A. Gulati, The Supermarket Revolution in Developing Countries, IFPRI Policy Brief No. 2, Juni 2008. Rothery, Brian, Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14000, Dilengkapi : Hubungan ISO 9000 dan ISO 14000, Manual Manajemen Mutu, Manual Manajemen Lingkungan, Daftar Periksa Prasertifikasi ISO 9000 dan ISO 14000, Pustaka Binaman Pressindo, 1995. Rousseau, Jean Jacques, A Discourse on Political Economy, http://constitution.org. Sadono Sukirman, Pengantar Teori Mikroekonomi, Edisi Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Saefullah, E., Perkembangan Hukum Tentang Product Liability di Bidang Penerbangan, Majalah Padjadjaran, Jilid XV, No. 1-2 Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 1985. 100
_______, Product Liability (Tanggung Jawab Produsen di Era Perdagangan Bebas), dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 5, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 1998. Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Cet. ke-1, Jakarta, 2001. Samuelson, Paul A. dan William D. Nordhaus, Microeconomics, Fourteenth Edition, Mc Graw-Hill Inc., Edisi Indonesia, Mikroekonomi, alih bahasa Haris Munandar dkk, Erlangga , Jakarta 1997. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Soekarno K., Dasar-dasar Managemen, Miswar, Jakarta,tth. Soekarto, Dasar-dasar Pengawasan dan Standardisi Mutu Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB Press, Bogor, 1990. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personeen en Familierecht), Airlangga University Press, Surabaya, 2000. Sri Edi Swasono (ed.), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, UI-Press, 1987. ________, Keparipurnaan Ekonomi Pancasila, FEUI-Depok, 2006. ________, Indonesia is Not for Sale: Sistem Ekonomi untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat, Bappenas, Jakarta, 2007. ________, Tentang Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi, bahan masukan penyusunan RUU Demokrasi Ekonomi yang disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum DPR RI, tangal 11 Desember 2008. Sri Wahyu Kridasakti, Hukum Administrasi Negara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka, 1998. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra Arbadin, Jakarta, 1999. Stapleton, Jene, Product Liability, Butterworths, 1994. Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Internusa, Cet. ke-30, Jakarta, 2002.
101
Subekti dan Tjiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986. Suhardjo, Peraturan Perundang-undangan tentang Mutu Gizi Pangan, makalah yang disampaikan dalam Pelatihan Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan bagi Staf Pengajar, diselenggarakan kerjasama antara Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Ditjen Pendidikan Tinggi, Bogor, 1997. Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1991. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1982. _______, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, 1993. The Law Commission, “Privity of Contract : Contracts for the Benefit of Third Parties”, Consultation Paper No. 12 (London, HMSO, 1991). Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Vries, F.J. De, Product Liability, Recent Developments in Dutch Law, Varia Peradilan V, Vol. 58, Juli 1990. Waddams, S.M., Product Liability,The Carswell Company Limited, 1974. Watson, Alan, Legal Transplants, 1974. Winardi, Azas-azas Managemen, Alumni, Bandung,tth. Wirakartakusumah dan Dahrul Syah, Perkembangan Industri Pangan di Indonesia, Buletin Teknologi dan Industri Pangan, Vol. II (5), Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor, 1990. World Bank, The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy, 1993.
102
World Trade Organization, Doha Declaration : Doha Development Agenda, Genewa, 2001. _______, International Trade Statistics 2005, Genewa, 2005. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Yun, Chang Zeph, dkk., The Quest for Global Quality (A Manifestation of Total Quality Management by Singapore Airlines), Addison-Wesley Publishers Ltd., yang dialihbahasakan oleh Dian Paramesti Bahar, Kualitas Global (Perwujudan Manajemen Kualitas Total – TQM di Singapura Airlines – SIA), Pustaka Delapratasa, Jakarta, 1998. Zen Umar Purba, A., Kesederajadan Kedudukan antara Konsumen dan Pengusaha: Beberapa Catatan, makalah pada diskusi terbatas Development oh Indonesia Consumer Protection Act, yang diselenggarakan oleh YLKI, 27 Oktober 1994. Zweigert dan Kotz, An Introduction to Comparative Law, Vol. I, 1987.
B. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan World Trade Organization. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
103
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1989 tentang Standard Nasional untuk Satuan Ukuran. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Sandardisasi Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standardisasi Nasional Indonesia. Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Akreditasi Nasional (KAN). Lampiran Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional No. 3401/BSNI/HK.71/11/2001 tentang Sistem Standardisasi Nasional. Hague Convention on the Law Applicable to Product Liability. International Organzation for Standardization (ISO). International Electrotechnical Commision (IEC). Role Abr. 96, 81 E R. 354 Association Europeene D’Etudes Juridiques et Fiscales. Uniform Commercial Code (UCC) s2 - 318; 2 - 316, 2 - 302, 2 – 719(3); 2 – 607(3) (a); 2 – 725. ISO 9001:2000, Quality Management System – Requirements telah diadobsi menjadi SNI 19-9001:2001, Sistem Manajemen Mutu – Persyaratan. ISO 9001:2000 telah direvisi menjadi ISO 9001:2008 dan diadopsi menjadi SNI ISO 9001:2008.
104
ISO 9004:2000, Quality Management System – Guidelines for Performance Improvements telah diadopsi menjadi SNI 19-9004:2002, Sistem Manajemen Mutu – Panduan untuk Perbaikan Kinerja. ISO 19011:2002, Guidelines for Quality and/or Enveronmental Management Systems Auditing telah diadobsi menjadi SNI 19-19011:2005, Panduan Audit Sistem Manajemen Mutu dan/atau Lingkungan. ISO/IEC Guide 62:1996, General Requirements for Bodies Operating Assessment and Certification/Registration of Quality System tidak berlaku lagi dan diganti dengan ISO/IEC 17021:2006, Conformity Assessment – Requirements for Bodies Providing Audit and Certification of Management System yang diadobsi menjadi SNI ISO/IEC 17021:2008, Penilaian Kesesuaian – Persyaratan Lembaga Auidit dan Sertifikasi Sistem Manajemen. ISO 22000:2005, Food Safety Management System - Requirements for any Organization in the Food Chain yang diadopsi menjadi SNI ISO 22000:2009, Sistem Manajemen Keamanan Pangan – Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan.
C. Internet dan Media Massa Badan Standardisasi Nasional, Sistem Informasi Standar Nasional Indonesia (SISNI), http://www.bsn.org.id. Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, Harian Kompas, 9 Mei 2006. Tempo Media, http://www.tempointeraktif.com
105
LAMPIRAN
1.
Curiculum Vitae Ketua Peneliti
A. DATA PRIBADI Nama Nomor Induk Pegawai Pangkat / Golongan Tempat, tanggal lahir Agama Jenis Kelamin Jabatan Akademik
: : : : : : :
Riwayat Pekerjaan/Jabatan
:
Alamat Kantor
:
Alamat Rumah
:
Unit Kerja No. Telepon Kantor No. Telepon rumah No. HP
: : : :
E-mail
:
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H. 19720217 199802 1 001 Penata / III-c Pacitan, 17 Pebruari 1972 Islam Laki-laki Lektor 1. Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember (1998 s/d sekarang) 2. Kepala Laboratorium Hukum FH UNEJ (2011 s/d 2015) Jl. Kalimantan 37 Kampus Bumi Tegal Boto Jember (68121) Taman Anggrek Regency, Blok C-1 / 28 Jl. M. Yamin, Kaliwates – Jember Fakultas Hukum Universitas Jember (0331) 335462, 322808, 322809 08156217697
[email protected] [email protected]
B. DATA AKADEMIK/PENDIDIKAN STRATA 1 Universitas Fakultas Jurusan/Bagian Program Studi Lulus tahun
: : : : : :
Universitas Jember Fakultas Hukum Hukum Keperdataan Ilmu Hukum 1996 106
Judul Skripsi
Pembebanan Ganti Rugi Materiil dan Immateriil Akibat Perbuatan Melawan Hukum pada Lembaga : Pendidikan Airlangga Student Group (ASG) Surabaya (Studi Kasus No. 356/Pdt.G/1995/PN.Sby).
STRATA 2 (Magister) Universitas Fakultas Jurusan/BKU Program Studi Lulus tahun Bidang Keahlian
: : : : : : :
Judul Thesis
STRATA 3 (Doktor) Universitas Fakultas Jurusan Lulus tahun Bidang Keahlian
Judul Disertasi
Promotor
Universitas Padjadjaran Pascasarjana Universitas Padjadjaran Hukum Bisnis Ilmu Hukum 2005 Hukum Perlindungan Konsumen Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK Dalam Upaya Peningkatan Perlindungan : Konsumen di Indonesia Didasarkan Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. : : : : : :
Universitas Padjadjaran Bandung Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung Ilmu Hukum 2010 Standardisasi Produk dan Perlindungan Konsumen Tanggung Jawab Produk Atas Pangan Olahan Sebagai Obyek Perdagangan Dikaitkan Dengan : Standardisasi Mutu Produk Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing dan Pengembangan Perekonomian Nasional. Prof. Dr. Hj. Djuhaendah Hasan, S.H. (Ketua) : Prof. Dr. M. Daud Silalahi, S.H. (Anggota) Dr. Supraba Sekarwati, S.H., C.N. (Anggota)
107
Bidang Ilmu yang diasuh Strata 1 (S-1)
: : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) Hukum Perdata Internasional (HPI) Hukum Bangunan Hukum Perlindungan Konsumen Filsafat Hukum Hukum Industri
Strata 2 (S-2)
: 1. 2. 3. 4.
Ilmu Hukum Hukum Perlindungan Konsumen Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi Hukum Persaingan Usaha
Strata 3 (S-3)
: -
C. PENELITIAN (7 tahun terakhir) 1.
2. Judul Penelitian Lima Tahun Terakhir termasuk karya penelitian (TTG & HaKI (Potensi/varietas/ Desain industri)
3.
4. :
5.
Analisis Perlindungan Konsumen Terhadap Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Indonesia (Didanai oleh : Technological and Professional Development Sector Project (TPSDP) – ADB Loan 1792-INO, 2005). Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui BPSK dalam Upaya Peningkatan Perlindungan Konsumen di Indonesia Didasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Penelitian Tesis – Pascasarjana Universitas Padjadjaran Badung, 2005). Kajian dan Analisis Kebijakan Pemerintah di Bidang Kondisi Pelayanan Transportasi (Kereta Api) di Indonesia (Didanai oleh : Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) – Departemen Perdagangan RI, 2006). Model Draft Peraturan Daerah Tentang Pangan Guna Mewujudkan Ketahanan Pangan Mandiri Berdasarkan Optimalisasi Potensi Lokal (Hibah Bersaing, September 2009). Peningkatan Daya Saing dan Perlindungan Konsumen Terhadap Pangan Olahan Melalui Penerapan Standardisasi dan Sertifikasi Mutu Produk (Hibah Disertasi, 2010). 108
6.
7.
8.
Tanggung Jawab Produk Atas Pangan Olahan Sebagai Obyek Perdagangan Dikaitkan Dengan Standardisasi Mutu Produk Dalam Rangka Peningkatan Daya Saing dan Pengembangan Perekonomian Nasional (Penelitian Disertasi, 2010). Analisis Kebutuhan Tenaga Kerja Sebagai Tenaga Kerja Luar Negeri di Jawa Timur (Kerjasama Lemlit UNEJ dengan Pemprov Jatim, 2011). Identifikasi Potensi Industri Makanan dan Minuman yang Mempunyai Legalitas di Jawa Timur (Kerjasama Lemlit dengan Disperindag Jatim, 2011).
D. KARYA ILMIAH YANG DIPUBLIKASIKAN 1.
2.
1. Naskah Ilmiah yg dipublikasikan
3. :
4.
5.
Judul : Regeling dan Beschikking ditinjau dari Aspek Konsepsi, Jenis dan Materi Hukumnya, disampaikan dalam Bimbingan Teknis Legal Drafting Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI, tanggal 24 Juni 2008. Judul : Praktik Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen (disampaikan dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat Angkatan V, Tanggal 16 Agustus 2008). Judul : Modul Pelatihan Metodologi Penelitian, disampaikan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Staff Parliamentary Research Center Timor Leste National Parliament, Dili, tanggal 17 s/d 19 Juni 2009. Judul : Mengembangkan Peraturan Daerah yang Sensitif Konflik Melalui Program Legislasi Daerah, disampaikan dalam Workshop DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Maluku, tanggal 16 November 2009. Judul : Perencanaan Pembangunan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berbasis Tata Ruang Kepulauan yang Sensitif Konflik dalam 109
Perspektif Regulasi, disampaikan dalam Dialog Eksekutif, Legislatif dan Perguruang Tinggi tentang Perencaaan & Pelaksanaan Pembangunan di Maluku yang Partisipatif & Sensitif Konflik Berbasis Tata Ruang Kepulauan, tanggal 14 Desember 2009. 6. Judul : Pengaturan Lembaga Legislatif Daerah dalam UU No. 27/2009 dan PP No. 16/2010, disampaikan dalam Workshop DPRD Kota Madiun, tanggal 5 Maret 2010. 7. Judul : Pengaruh Neoliberalisme dalam Politik Legislasi di Indonesia, disampaikan dalam Seminar Nasional dalam Rangka Munas ALSA, yang diselenggarakan oleh Asean Law Student Assosiation (ALSA), tanggal 9 Maret 2010. 8. Judul : Persaingan Usaha yang Sehat dan Tidak Monopolistik dalam Perspektif Kepentingan Konsumen, disampaikan dalam Seminar Nasional Menggagas Persaingan Usaha yang Sehat dan Tidak Monopolistik yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Jember, tanggal 25 November 2010. 9. Judul : Peran DPD dalam Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional, disampaikan dalam Diklat Legislative Drafting Sekretariat Jendral DPD RI, tanggal 8 Desember 2010. 10. Judul : Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (Terkait dengan Labelisasi Ramah Lingkungan), disampaikan dalam Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, tanggal 15 Desember 2010. 11. Judul : Strategi Pengembangan Pasar Modal Melalui Pembaruan Hukum Perjanjian dan Hukum Benda di Indonesia, disampaikan dalam Seminar Nasional Pasar Modal yang diselenggarakan oleh BEI, Krisna Securitas, Fak. Hukum dan Fak. Ekonomi UNEJ, 2011. 110
2. Buku yang ber ISBN
:
1. Judul ………Th. …………ISBN…………
Terbit………
Penerbit
3. Artikel Ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal
:
1. Judul : Strategi Pengembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia. Nama jurnal : Arena Hukum, Nomor & Th. Terbit : Nomor 3, Tahun 2, Januari 2009. Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ISSN 20126 – 0235 2. Judul : Pandangan Strict Liability dalam Hukum Perlindungan Konsumen Ditinjau dari Common Law System dan Civil Law System. Nama Jurnal/Majalah Ilmiah: Hukum dan Kemasyarakatan, No. I/TH.XXXV/2010. Penerbit : Fak. HukumUniv. Jember, ISSN : 0852-6206. 3. Judul : Problematika Penerapan Sistem Keperdataan Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Upaya Pengembalian Kerugian Negara (Suatu Tinjauan dan Telaahan Yuridis Terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi). Nama Jurnal : Jurnal Anti Korupsi, Vol. 01, No. 1, Hal. 1-22, Mei 2011. Penerbit : Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fak. Hukum Univ. Jember. ISSN : 2088-3161
4. Disertasi yang dipublikasikan
:
1. Judul …….. disajikan pada ***) …….. ….tahun …………………
111
E. LAIN-LAIN Pendidikan/Pengalaman 1. Tambahan Prototype, : Karya Seni/Metode Pembelajaran 2. 3.
4.
5.
6.
7. 8. 9.
10.
11.
12.
13.
Diklat Legal Drafting diselenggarakan kerjasama Badan Legislasi DPR RI-PSHK dan AUSAid, Depok, 2006; Diklat Legal Drafting diselenggarakan Depkumham dengan LPPSK, Jakarta, 2006. Diklat Harmonisasi PERDA terkait dengan HAM yang diselenggarakan oleh Dirjend HAMDEPKUMHAM yang bekerjasama dengan Pemerintah Canada, Jakarta, 2006. Workshop Legislation Drafting I dan II yang diselenggarakan oleh LIPPI dan DRSP yang bekerjasama dengan BALEG DPR RI, Jakarta, 2007. Diklat Fungsi Legislasi di Bidang Pertahanan dan Keamanan yang diselengarakan oleh LESPERSSI yang berkerjasama dengan DCAF, Bogor, 2009. Diklat Legislative Drafting yang diselenggarakan oleh DEPKUMHAM dan CILC Belanda, Jakarta, 2009. Menyusun Draft RUU Jamsostek (Badan Legislasi DPR RI, 2006) Menyusun Draft RUU KUHAP (Badan Legislasi DPR RI, 2006) Menyusun Draft RUU Perubahan atas UU No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial (Badan Legislasi DPR RI, 2006) Menyusun Draft RUU Perubahan Kedua atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung (Badan Legislasi DPR RI, 2006) Menyusun Draft RUU Perubahan atas UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Badan Legislasi DPR RI, 2006) Menyusun Draft RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Badan Legislasi DPR RI, 2007) Menyusun Draft Pembuatan Naskah Akademik 112
14.
15.
16.
17. 18. 19.
20.
21.
22.
Pengalaman sebagai Konsultan
:
dan Perancangan Perubahan UU Kekuasaan Kehakiman, UU Peradilan Umum, UU Peradilan Tata Usaha Negara dan UU Peradilan Agama (Badan Legislasi DPR RI, 2008) Pembuatan Naskah Akademik dan Rancangan UU tentang Otonomi Khusus Provinsi Bali (Badan Legislasi DPR RI, 2008) Pembuatan Naskah Akademik dan Rancangan UU tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Badan Legislasi DPR RI, 2009). Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom (Badan Legislasi DPR RI, 2007). Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Migas (Badan Legislasi DPR RI, 2009). Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Arsitek (Badan Legislasi DPR RI, 2009). Harmonisasi Rancangan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran (Badan Legislasi DPR RI, 2009). Menyusun beberapa Naskah Akademik dan Draft Rancangan Peraturan Daerah di Kabupaten Banyuwangi. Menyusun beberapa Naskah Akademik dan Draft Rancangan Peraturan Daerah di Kabupaten Sampang. Menyusun beberapa Naskah Akademik dan Draft Rancangan Peraturan Daerah di Kabupaten Gresik.
1. Staf Ahli Badan Legislasi DPR RI (Maret 2007 s/d Desember 2009) 2. Konsultan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian bagi Staff Ahli Parliamentary Research Centre (PRC) Timor Leste (17 – 19 Juni 2009). 3. Konsultan Peace Trough Development (PTD) 113
UNDP – BAPENAS dalam Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU Penanganan Konflik Sosial (Tahun 2008 – 2009). 4. Pembuatan NA & Draft Raperda di Kabupaten Sampang (2009 s/d 2010) 5. Konsultan Penyusunan NA & Perancangan Draft RAPERDA Kab. Banyuwangi (2011)
Penghargaanpenghargaan
:
1. Lulus Program Magister (S-2) dengan predikat Cumlaude (IPK 3,88). 2. Lulus Program Doktor (S-3) dengan predikat Cumlaude (IPK 3,81) 3. Dosen Teladan Peringkat III se-Universitas Jember (2005).
Jember, November 2012
Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H. NIP. 19720217 199802 1 001
114
2. Curiculum Vitae Anggota Peneliti (1) A. Data Pribadi Nama Lengkap
: EDI WAHJUNI, S.H., M.Hum.
Golongan/ Jabatan
: III.c/Lektor
NIP
: 196812302003122001
Tempat/ Tanggal Lahir
: Kediri, 30 Desember 1968
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember
Alamat Kantor
: Jl. Kalimantan Nomor 37 Jember, nomor telepon : 0331335462, 330482
Alamat Rumah
: Jl. Kalimantan I nomor 67 Jember, nomor telepon : 0331325324, nomor Handphone 082132200324 Alamat E-mail :
[email protected]
Pendidikan Terakhir
: Program Pasca Sarjana (S2) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
B. Pengalaman di Bidang Penelitian : 1) 2007, Pendaftaran dan Sertipikasi Tanah Wakaf sebagai upaya memberikan kepastian Hukum di kabupaten jember (Anggota Peneliti), sumber dana DIPA UNEJ; 2) 2008, Efektifitas Sanksi Pidana sebagai upaya Perlindungan Hukum terhadap Hak Cipta Perangkat Lunak Komputer di Kabupaten Jember (Ketua Peneliti), sumber dana DIPA UNEJ; 3) 2009, Pertanggungan atas Tanggung Jawab Bisnis (Majalah Ilmiah Hukum dan Masyarakat, nomor : I/TH.XXXIV/2009, ISSN : 0852-6206); 4) 2009, Asas Publisitas Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Majalah Ilmiah Hukum dan Masyarakat, nomor : II/TH.XXXIV/2009, ISSN : 0852-6206); 5) 2009, Dampak Pencemaran Udara oleh Bahan Buangan Kendaraan Bermotor terhadap Lingkungan Hidup di Kotamadi Surabaya (Penelitian Mandiri); 115
6) 2010, Asuransi Tanggung Jawab Bisnis oleh PT. Asuransi Jasa Indonesia terhadap Kerugian Hotel Indonesia di Jakarta (Penelitian Mandiri); 7) 2011, Perlindungan Hukum bagi Pekerja Ditinjau dari Aspek Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) (Majalah Ilmiah Hukum dan Masyarakat, nomor : III/TH.XXXV/2010, ISSN : 0852-6206); 8) 2011, Penerapan Manajemen Risiko dalam Mencegah Kerugian yang Diderita oleh Pihak Tertanggung (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, Volume XIII, Edisi September 2011, ISSN : 1411-5352).
3. Curiculum Vitae Anggota Peneliti (2) A. Data Pribadi Nama Lengkap
: JOHAN SANDI PUTRA
NIM
: 090710101167
Tempat/ Tanggal Lahir
: BATAM, 25 Februari 1991
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember
Alamat Rumah
: Jl. Karimata Perumahan Lembah Permai nomor 40 Gumuk Kerang Kabupaten Jember, nomor Handphone 083853353698 Alamat E-mail :
[email protected]
Pendidikan Terakhir
: SMA 7 Negeri Kota Kediri
B. Data Akademik/ Pendidikan 1998-1999 : SD Djuwita, P. Batam 1999-2001 : SD Barru I, Kabupaten Baru-Sulawesi Selatan 2001-2002 : SDN 006, P.Batam 2002-2003 : SDN Kuningan VII, Kuningan-Jawa Barat 2003-2004 : SMP Negeri 1, Kuningan-Jawa Barat 2004-2006 : SMP Negeri 4, Kediri-Jawa Timur 2006-2009 : SMA Negeri 7, Kediri-Jawa Timur C. Lain-Lain 1) Program Magang Kerja Mandiri di Kejaksaan Negeri Kabupaten Kediri, 2011 116
2) Anggota Posko Bantuan Hukum di Pengadilan Agama Jember, 2012; 3) Peserta Kuliah Umum “ Reformasi Regulasi Dalam Rangka Mendukung Pencapaian Prioritas Pembangunan Nasional”, yang disampaikan oleh : Arif Christiono Soebroto, S.H., M.Si. (Direktur Analisa Peraturan Perundangundangan BAPPENAS) Jember, 29 Maret 2012; 4) Peserta Kuliah Umum “ Revitalisasi Peran dan Fungsi Advocat dalam Penegakan Hukum” yang diselenggrakan oleh Dewan Pimpinan Nasional PERADI, Dewan Pimpinan Cabang PERADI Jember dan Fakultas Hukm Universitas Jember, pada tanggal 1 April 2012; 5) Peserta Seminar Nasional “ Bersama Kopersi Bnagkitkan Perekonomian Indonesia “ yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Koperasi Mahasiswa Indonesia, pada tanggal 06 April 2012 di UIN-Malang; 6) Peserta Diklat Kepengawasan dan Musyawarah Nasional “ Bersama Kopersi Bnagkitkan Perekonomian Indonesia “ yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Koperasi Mahasiswa Indonesia, pada tanggal 08 April 2012 di UIN-Malang; 7) Peserta Kuliah Umum “ Legal Aspek dan Dokumen Penerbitan Sukuk Negara” yang diselenggrakan oleh Fakultas Hukm Universitas Jember, pada tanggal 12 April 2012;
117