PENINGKATAN MINAT, MOTIVASI, DAN PRESTASI BELAJAR IPS MELALUI MEDIA GAMBAR Sri Suwarni, Sunarti ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan minat, motivasi, dan prestasi Belajar IPS melalui Media Gambar Pada Siswa Kelas IV SDN 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. Jenis penelitian merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Subjek dalam penelitian ini siswa kelas IV SD Negeri 2 Pacor berjumlah 25 siswa. Tahapan dalam penelitian ini meliputi empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket, pedoman observasi dan tes. Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dengan persentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Peningkatan Minat Belajar Siswa dengan menggunakan Media Gambar. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan minat belajar siswa pada pra siklus siswa yang mencapai minat belajar berkategori minimal baik sebanyak 8 siswa (32%), meningkat pada siklus I 16 siswa (64%) dan pada siklus II meningkat menjadi 24 siswa (96%). 2) Peningkatan motivasi belajar IPS dengan menggunakan Media Gambar, hal ini ditunjukkan dengan adanya motivasi belajar siswa pada kategori minimal baik pada pra siklus dicapai oleh 16 siswa (64%), meningkat pada siklus I 17 siswa (68%) dan meningkat pada siklus II 23 siswa (92%)%, 3) Peningkatan prestasi belajar IPS dengan menggunakan Media Gambar, pada pra siklus siswa yang mencapai nilai KKM 13 siswa (52%), setelah menggunakan media gambar meningkat pada siklus I menjadi 16 siswa (64%) dan pada siklus II meningkat 23 siswa (90%). Kata Kunci: minat, motivasi, prestasi belajar, media gambar
PENDAHULUAN Guru merupakan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan dapat ditempuh dengan pembaharuan proses, metode, dan media sebagai sarana penyampaian pembelajaran. Bagaimana pembelajaran yang disampaikan guru dapat dipahami oleh siswa secara benar. Dengan demikian, proses pembelajaran ditentukan sampai sejauh mana guru dapat menggunakan metode dan media pembelajaran dengan baik.Media adalah
semua bentuk perantara yang dipakai orang untuk menyebarkan ide, sehingga ide atau gagasan itu sampai pada penerima. Guru menggunakan media pembelajaran yang interaktif, kreatif, dan menarik dapat memicu keingintahuan siswa. Hal itu tidak lepas dari kemampuan guru untuk membuat, mencari, mengelola, dan menggunakan media dengan tepat sehingga akan bermanfaat saat digunakan. Berdasarkan pada hasil pembelajaran sebelumnya, terutama pada pembelajaran IPS menunjukkan bahwa proses pembelajaran masih bersifat teacher
591
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
center karena metode yang digunakan belum bervariasi, sehingga siswa kurang mendapatkan kesempatan untuk aktif berpikir, mengeluarkan pendapat, berinteraksi dengan teman sekelasnya, dan siswa merasa bosan. Guru kelas IV SDN 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo dalam proses pembelajaran sudah menggunakan buku paket sebagai sumber belajar di kelas, tetapi belum semua siswa mendapatkan dikarenakan jumlah buku paket yang tersedia tidak mencukupi. Guru dalam menyampaikan materi pelajaran IPS hanya menjelaskan pokok-pokok materi setelah itu siswa disuruh mengerjakan lembar kerja, sehingga pembelajaran kurang menarik dan untuk konsep-konsep yang bersifat abstrak masih belum divisualisasikan. Dengan demikian siswa kurang menyenangi pelajaran IPS karena menurut siswa banyak materi pelajaran yang membosankan dan penuh dengan hafalanhafalan. Guru dalam proses pembelajaran belum menggunakan media yang dapat membantu dalam menjelaskan pemahaman siswa mengenai materi pelajaran. Sementara alternatif yang bisa ditempuh oleh seorang guru dalam rangka meningkatkan hasil belajar adalah dengan menggunakan media pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi mempunyai nilai praktis antara lain: mengatasi keterbatasan pengalaman belajar siswa, mengkonkritkan pesan yang abstrak, menanamkan konsep dasar yang benar, menimbulkan keseragaman dan pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pembelajaran. Sebagai dampak dari proses kegiatan pembelajaran di atas mengakibatkan, minat, motivasi, dan hasil
belajar IPS siswa kelas IV pada semester I yang diperoleh lebih rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Hal ini dilihat pada saat peneliti melakukan observasi awal pada siswa kelas IV, pada saat observasi awal keinginan siswa untuk mengikuti pelajaran IPS terlihat kurang, hal ini dilihat saat pergantian mata pelajaran IPS banyak siswa yang mengeluh. Dan pada saat pembelajaran berlangsung, guru menggunakan metode konvensional sehingga membuat siswa kurang semangat saat pembelajaran berlangsung. Berdasarkan angket motivasi yang diberikan sebelum tindakan diperoleh siswa yang mencapai kategori baik 14 siswa (56%), dan berdasarkan hasil pengamatan minat belajar siswa juga belum menunjukkan minat yang baik hal ini dilihat dari hasil observasi yang menunjukkan bahwa 8 siswa (32%) mempunyai minat yang baik terhadap mata pelajaran IPS. Jika dilihat dari KKM IPS yaitu 70, sedangkan nilai rata-rata kelas untuk pelajaran IPS 65,76 sementara dari 25 siswa hanya 12 siswa (48%) yang mencapai KKM dan 13 siswa (52%) belum mencapai KKM. Berdasarkan masalah di atas, guru hendaknya menggunakan media dan metode yang inovatif untuk meningkatkan proses pembelajaran di kelas. Penggunaan media pembelajaran bukan sekedar upaya untuk membantu guru dalam mengajar, tetapi lebih dari itu sebagai usaha memudahkan siswa dalam mempelajari materi pelajaran. Akhirnya, media pembelajaran memang pantas digunakan oleh guru, bukan hanya sekedar alat bantu mengajar bagi guru, namun diharapkan akan timbul kesadaran baru bahwa media pembelajaran telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan, sehingga dapat 592
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk membantu kelancaran bidang tugas yang diembannya untuk kemajuan dan meningkatkan kualitas peserta didik. Anak sebagai subjek pembelajaran memiliki kekuatan psikofisik, jika memperoleh sentuhan tepat akan mendorong siswa berkembang dalam kapasitas mengagumkan. Oleh karena itu, guru harus membangun kemampuan pada dirinya agar dapat merubah gaya-gaya mengajar bersifat tradisional menjadi gaya mengajar modern, sehingga guru mengajar dengan luwes dan gembira.. Media gambar yang dominan dipakai adalah media gambar foto yang berupa, foto alat komunikasi dan foto alat transportasi. Media gambar ini mudah pengadaannya dan biasanya relatif murah. Jadi, media gambar adalah media yang dipergunakan untuk menvisualisasikan atau menyalurkan pesan dari sumber ke penerima (siswa). Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam komunikasi visual, di samping itu media gambar berfungsi pula untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak digrafiskan. Penggunaan media gambar dalam proses kegiatan pembelajaran akan memberikan hasil belajar yang optimal jika digunakan secara tepat. Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1) untuk meningkatkan Minat Belajar IPS melalui Media Gambar Pada Siswa Kelas IV SDN 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. 2) untuk meningkatkan Motivasi Belajar IPS melalui Media Gambar Pada Siswa Kelas IV SDN 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. 3) untuk meningkatkan Prestasi Belajar IPS
melalui Media Gambar Pada Siswa Kelas IV SDN 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. Menurut Dalyono (2012: 56) minat dapat timbul karena daya tarik dari luar dan juga datang dari hati sanubari. Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk mencapai atau memperoleh benda atau tujuan yang diminati itu. Timbulnya minat belajar disebabkan berbagai hal antara lain karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang. Minat belajar yang besar cenderung menghasilakan prestasi yang tinggi.Menurut Djali (2008: 121) bahwa minat pada dasarnya merupakan penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Minat sangat besar pengaruhnya dalam mencapai prestasi dalam suatu pekerjaan, jabatan, atau karier. Tidak akan mungkin orang yang tidak berminat terhadap suatu pekerjaan dapat menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan baik. Motivasi adalah perubahan dalam diri atau pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi dapat ditinjau dari dua sifat, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan pendorong dari dalam individu, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang keberadaannya karena pengaruh dari luar individu. Tingkah laku yang terjadi dipengaruhi oleh lingkungan. Perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama (Suprijono, 2009: 163). Prestasi menurut Arifin (2012: 3) adalah tingkat kemampuan peserta didik dalam menguasai materi pelajaran yang 593
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
telah disampaikan. Prestasi merupakan hasil suatu usaha yang telah dilaksanakan menurut batas kemampuan dari pelaksanaan usaha tersebut.. Menurut Arief S. Sardiman dkk, (2010: 31) gambar yang dijadikan media pembelajaran harus memenuhi syarat sebagai berikut: (a) autentik, (b) sederhana, (c) ukuran relatif, (d) mengandung gerak atau perbuatan, (e) sesuai dengan tujuan pembelajaran.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Peningkatan Minat Belajar Siswa Peningkatan minat belajar dapat dilihat dari peningkatan dari pra siklus, siklus I dan siklus II. Berdasarkan hasil pengamatan , minat siswa pada pra siklus dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.Kategori Minat Belajar Siswa Pada Pra Siklus No Kategori Frekuensi Persentase Baik 1 Sekali 0 0%
METODE PENELITIAN Jenis penelitian merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research).Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan siswa kelas IV SDN 2 Pacor UPT Dikbudpora Kecamatan Kutoarjo Kabupaten Purworejo yang berjumlah 25 siswa yang terdiri dari 13 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan dalam waktu 4 bulan terhitung dari bulan Maret 2016 sampai dengan bulan Juni 2016. Tahapan dalam penelitian ini meliputi empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket, pedoman observasi dan tes. Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dengan persentase. Indikator keberhasilan : 1) Kriteria minat belajar dikatakan berhasil jika setidaknya 90 % siswa mempunyai minat yang baik dari hasil dari observasi yang dilakukan saat tindakan. 2) Motivasi belajar dikatakan berhasil apabila setidaknya 90 % siswa mendapatkan kategori minimal dengan kriteria baik dari angket yang diberikan di akhir siklus. 3) Kriteria keberhasilan prestasi belajar dikatakan berhasil jika hasil evaluasi 90 % siswa mencapai batas KKM yang sudah ditentukan
2
Baik
8
32%
3
Cukup
17
68%
4
Kurang
0
0%
Jumlah
25
Berdasarkan tabel dan histogram tersebut dapat dijelaskan bahwa pada pra siklus ini minat belajar siswa yang berkategori baik yaitu 32%, siswa yang mempunyai minat belajar cukup68%. Minat belajar siswa masih tergolong cukup sehingga perlu ditingkatkan, oleh karena itu perlunya tindakan pada pertemuan berikutnya sehingga siswa mempunyai minat belajar yang lebih baik. Minat belajar siswa pada siklus I ini lebih baik daripada sebelumnya. Siswa terlihat tertarik saat mengikui pelajaran IPS, rasa ingin tahu siswa mulai muncul dengan adanya gambar yang diberikan oleh guru. Perhatian siswa lebih fokus dan siswa aktif terlibat dalam pengerjaan tugas kelompok. Adapun minat siswa
594
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
pada siklus ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: Tabel 2.Kategori Minat Belajar Siswa Pada Siklus I Frekue Persenta No Kategori nsi se 1
Baik Sekali
2
8%
2
Baik
14
56%
3
Cukup
9
36%
4
Kurang
0
0%
Jumlah
25
4
Jumlah
Baik
19
76%
3
Cukup
1
4%
0
0%
25
Berdasarkan tabel dan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa Minat belajar siswa pada siklus II yang tergolong cukup 1 siswa (4%), yang berkategori baik 19 siswa (76%) dan yang berkategori baik sekali 5 siswa (20%). Dengan demikian pada siklus ini terjadi peningkatan minat belajar siswa dari siklus sebelumnya, dan pada siklus II ini menunjukkan sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan. 2. Peingkatan Motivasi Belajar Siswa Peningkatan motivasi belajar dilihat dari pra siklus, siklus I dan siklus II. Berikut disajikan data motivasi belajar siswa pada pra siklus: Tabel 4.Kategori Motivasi Belajar Siswa Pada Pra Siklus N Frekuens Persentas Kategori o i e Baik 1 Sekali 2 8% 2 Baik 14 56% 3 Cukup 9 36% 4 Kurang 0 0% Jumlah 25 Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar IPS siswa pada pra siklus siswa yang mempunyai motivasi belajar cukup 9 siswa (36%), siswa yang mempunyai motivasi kategori baik sebanyak 14 siswa (56%), dan siswa yang mempunyai motivasi kategori baik sekali adalah 2 siswa (8%).
Berdasarkan tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa Minat belajar siswa pada siklus I yang tergolong cukup 9 siswa (36%), yang berkategori baik 14 siswa (56%) dan yang berkategori baik sekali 2 siswa (8%). Data minat belajar dapat dilihat di lampiran halaman 138. Dengan demikian pada siklus ini terjadi peningkatan minat belajar siswa dari siklus sebelumnya. Minat belajar siswa pada siklus II ini lebih baik daripada sebelumnya. Siswa terlihat tertarik saat mengikui pelajaran IPS, rasa ingin tahu siswa mulai muncul dengan adanya gambar yang diberikan oleh guru. Perhatian siswa lebih fokus dan siswa aktif terlibat dalam pengerjaan tugas kelompok. Adapun minat siswa pada siklus ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: Tabel 3.Kategori Minat Belajar Siswa Pada Siklus II No Kategori Frekuensi Persentase Baik 1 Sekali 5 20% 2
Kurang
595
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Motivasi belajar siswa pada tahap siklus I adalah menunjukkan peningkatan, dengan adanya media gambar siswa lebih termotivasi untuk belajar. Berdasarkan penghitungan skor angket motivasi belajar siswa dapat dideskripsikan pada tabel berikut ini:
Tabel 6.Kategori Motivasi Belajar Siswa Pada Siklus II No Kategori Frekuensi Persentase Baik 1 Sekali 3 12%
Baik
15
60%
3
Cukup
8
32%
4
Kurang
0
0%
Jumlah
Baik
20
80%
3
Cukup
2
8%
4
Kurang
0
0%
Jumlah
Tabel 5. Kategori Motivasi Belajar Siswa Pada Siklus I No Kategori Frekuensi Persentase Baik 1 Sekali 2 8% 2
2
25
Berdasarkan tabel dan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar siswa pada siklus I yang berkategori cukup sebanyak 3 siswa (12%), berkategori baik 20 siswa (80%), siswa yang mempunyai motivasi belajar cukup 2 siswa (8%). 3. Peningkatan Prestasi belajar Siswa Prestasi belajar IPS pada pra siklus ini dilihat dari nilai tes prestasi belajar yang diberikan pada saat observasi awal dengan materipentingnya koperasi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun perolehan nilai ulangan harian sebagai hasil prestasi belajar IPS sebagai berikut: Tabel 7.Rekap Prestasi belajar IPS Pada Tahap Pra Siklus Nilai Jumlah Persentase Siswa <75 12 48% (KKM) ≥ 75 13 52% (KKM) Jumlah 25 100,0 Berdasarkan tabel maka dapat dinyatakan bahwa hanya 12 siswa (48%) belum mencapai nilai KKM, sedangkan 13 siswa
25
Berdasarkan tabel dan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa motivasi belajar siswa pada siklus I yang berkategori cukup sebanyak 2 siswa (8%), berkategori baik 15 siswa (60%), siswa yang mempunyai motivasi belajar cukup 8 siswa (32%) (data selengkapnya ada di lampiran halaman 138). Dengan demikian motivasi belajar pada siklus I masih perlu ditingkatkan karena belum sesuai indikator keberhasilan yang ditentukan. Motivasi belajar siswa pada tahap siklus II menunjukkan peningkatan, dengan adanya media gambar siswa lebih termotivasi untuk belajar. Berdasarkan penghitungan skor angket motivasi belajar siswa dapat dideskripsikan pada tabel berikut ini:
596
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
(52%) siswa mencapai nilai KKM. Prestasi belajar siswa pada siklus Idisajikan pada tabel berikut : Tabel 8. Rangkuman Prestasi belajar Pada Siklus I Siklus I Nilai N % <75 9 36% ≥ 75 16 64% Jumlah
25
karena itu, peneliti perlu melakukan tindakan pada siklus berikutnya. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Peningkatan Minat Belajar Siswa dengan menggunakan Media Gambar Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016 Adanya peningkatan Minat belajar IPS pada siswa kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo setelah guru menggunakan media gambar dalams setiap proses pembelajaran. Peningkatan minat belajar tersebut didasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dengan dibantu observer. pada pra siklus siswa yang mencapai minat belajar berkategori minimal baik sebanyak 8 siswa (32%), meningkat pada siklus I 16 siswa (64%) dan pada siklus II meningkat menjadi 24 siswa (96%). Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan media gambar dapat meningkatkan minat belajar siswa, dengan adanya gambar yang ditunjukkan oleh guru lebih membuat anak untuk semangat dalam belajar. Penggunaan media gambar dalam proses pembelajaran ini dapat membuat anak tidak merasa jenuh saat di kelas, gambar-gambar yang disajikan dapat membuat siswa menggali beberapa informasi yang diperoleh dari gambar tersebut. Hal ini senada dengan pendapat yang disampaikan oleh Suyatini (2014) minat belajar siswa mengikuti pelajaran IPS melalui penerapan media gambar power point mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada pra siklus banyak siswa yang terlihat kurang antusias pada saat pembelajaran, siswa terlihat
100,0
Apabila melihat tabel di atas bahwa siswa yang mencapai nilai KKM sebanyak 16 siswa (64%) dan siswa yang belum mencapai nilai KKM sebanyak 9 siswa (36%). Dengan demikian pada sikus I ini, prestasi belajar siswa masih di bawah indikator keberhasilan yang ditentukan. Oleh karena itu, peneliti perlu melakukan tindakan pada siklus berikutnya. Berdasarkan ketuntasan belajar, maka dapat disajikan pada tabel rangkuman prestasi belajar pada siklus II sebagai berikut : Tabel 9. Rangkuman Prestasi belajar Pada Siklus II Siklus II Nilai N % <75 2 8% ≥ 75 23 92% Jumlah
25
100,0
Apabila melihat tabel di atas bahwa siswa yang mencapai nilai KKM sebanyak 23 siswa (92%) dan siswa yang belum mencapai nilai KKM sebanyak 2 siswa (8%). Dengan demikian pada sikus I ini, prestasi belajar siswa masih di bawah indikator keberhasilan yang ditentukan. Oleh 597
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
pasif. Sedangkan pada pada siklus I meningkat dari pada pra siklus, hal ini terlihat keaktifan siswa yang meningkat, akan tetapi masih ada siswa yang takut mengungkapkan pendapatnya, siswa antusias pada saat mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Pada siklus II siswa terlihat antusias dalam mengikuti pelajaran, saat mengerjakan tugas kelompok, siswa saling berinteraksi dengan baik, banyak siswa yang bertanya sehingga terjadi interaksi aktif antara guru dengan siswa. 2. Peningkatan Motivasi Belajar IPS dengan menggunakan Media Gambar siswa kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adanya peningkatan motivasi belajar IPS dengan menggunakan Media Gambar Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. Peningkatan ditunjukkan dengan motivasi belajar siswa pada kategori minimal baik pada pra siklus dicapai oleh 16 siswa (64%), meningkat pada siklus I 17 siswa (68%) dan meningkat pada siklus II 23 siswa (92%). Peningkatan motivasi belajar tersebut sangat terlihat ketika proses pembelajaran IPS, siswa terlihat antusiasme pada saat pembelajaran IPS. Dengan demikian melalui penggunaan media gambar pada pembelajaran IPS dapat meningkat motivasi belajar siswa. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran bertujuan untuk mempermudah penyampaian pesan kepada siswa, sehingga siswa akan lebih mudah
memahami materi yang disampaikan oleh guru. Dengan kemudahan memahami materi pembelajaran disampaikan oleh guru akan membantu penguasaan konsep siswa, artinya akan menbantu meningkatkan prestasi belajar siswa. Penggunaan media pembelajaran menjadi tidak bermakna apabila justru menyulitkan siswa dalam memahami materi pelajaran, dengan siswa memahami materi pelajaran tersebut maka siswa akan berusaha untuk mampu mendeskripsikan apa yang ada dalam gambar tersebut, dengan demikian siswa akan lebih termotivasi lagi dalam belajar khususnya dalam pembelajaran IPS. 3. Peningkatan Prestasi belajar IPS dengan menggunakan Media Gambar siswa kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adanya peningkatan prestasi belajar IPS dengan menggunakan penerapan media gambar dalam pembelajaran IPS siswa kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. bahwa pada pra siklus siswa yang mencapai nilai KKM 13 siswa (52%), setelah menggunakan media gambar meningkat pada siklus I menjadi 16 siswa (64%) dan pada siklus II meningkat 23 siswa(90%). Dengan demikian dengan penerapan media gambar dapat meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya siswa kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. Prestasi belajar siswa meningkat setelah guru menggunakan media gambar saat proses 598
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
pembelajaran. Siswa lebih tertarik dengan media gambar karena pelajaran lebih mudah dipahami dan lebih mudah untuk diingat, sehingga pelajaran IPS tidak membuat siswa bosan dan siswa lebih antusias pada saat kegiatan belajar mengajar.
Saran 1. Bagi Sekolah Sekolah hendaknya dapat menyediakan fasilitas pembelajaran yang lebih memadai untuk menunjang kegiatan belajar mengajar agar lebih efektif dan efisien 2. Bagi Guru a. Dalam melaksanakan pembelajaran guru harus memperhatikan karakteristik siswa dan tingkat kesulitan materi pelajaran sehingga dapat diterapkan strategi dan metode pembelajaran yang tepat. b. Hendaknya guru dapat menggunakan metode pembelajaran dengan tepat sehingga tercipta kegiatan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. 3. Bagi Siswa Hendaknya siswa dapat semaksimal mungkin memanfaatkan media pembelajaran ataupun alat peraga yang digunakan pada saat kegiatan belajar, sehingga siswa dapat memahami materi dengan sebaik-baiknya.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Peningkatan Minat Belajar Siswa dengan menggunakan Media Gambar Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan minat belajar siswa pada pra siklus siswa yang mencapai minat belajar berkategori minimal baik sebanyak 8 siswa (32%), meningkat pada siklus I 16 siswa (64%) dan pada siklus II meningkat menjadi 24 siswa (96%). 2. Peningkatan motivasi belajar IPS dengan menggunakan Media Gambar Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016, hal ini ditunjukkan dengan adanya motivasi belajar siswa pada kategori minimal baik pada pra siklus dicapai oleh 16 siswa (64%), meningkat pada siklus I 17 siswa (68%) dan meningkat pada siklus II 23 siswa (92%), 3. Peningkatan prestasi belajar IPS dengan menggunakan Media Gambar Siswa Kelas IV SD Negeri 2 Pacor UPT Dikbudpora Kutoarjo Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016, pada pra siklus siswa yang mencapai nilai KKM 13 siswa (52%), setelah menggunakan media gambar meningkat pada siklus I menjadi 16 siswa (64%) dan pada siklus II meningkat 23 siswa(90%).
DAFTAR PUSTAKA Agus Suprijono. (2013). Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Jakarta: Pustaka Pelajar Arief S. Sardiman, dkk. (2009). Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatan. Jakarta: Rajawali Pers Dalyono. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta Dimyati dan Mudjiono. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Djaali. (2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
599
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Hamzah B. Uno. (2009). Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis Di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. (2002). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineke Cipta Zaenal Arifin. (2012). Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru: Bandung: PT Remaja Rosda Karya
600
PENINGKATAN MOTIVASI, KREATIVITAS, DAN PRESTASI BELAJAR IPS MELALUI MODEL STADSISWA KELAS IX C SMP N 3 MOJOTENGAH WONOSOBO TAHUN PELAJARAN 2016/2017 Suparman, Sunarti ASBTRAK Penelitian ini bertujuan untuk 1) Meningkatkan motivasi belajar dengan menggunakan model STAD siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017. 2) Meningkatkan kreativitas belajar dengan menggunakan model STAD siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017. 3) Meningkatkan prestasi belajar dengan menggunakan model STAD siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017. Jenis penelitian merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research).Subjek dalam penelitian iniberjumlah 25 siswa.Tahapan dalam penelitian ini meliputi empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi.Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan angket, observasi, wawancara dan tes.Teknik analisis data menggunakan deskriptif kuantitatif dengan persentase. Hasil penelitian menunjukan bahwa 1) adanya peningkatan motivasi belajar siswa dengan menggunakan model STAD siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017 ditunjukkan pada pra siklus siswa yang mencapai motivasi belajar tinggi adalah 10 (40%), meningkat pada siklus I yaitu 13 siswa (52%), dan pada siklus II mencapai 16 siswa (64%). Hal tersebut menunjukkan bahwa melalui model STAD motivasi belajar siswa meningkat. 2) Adanya peningkatan kreativitas belajar siswa melalui model STAD siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017. Kreativitas belajar siswa pada pra siklus 8 siswa (32%) meningkat pada siklus I menjadi 11 siswa (44%) dan pada siklus II meningkat menjadi 15 siswa (60%).Hal ini menunjukkan bahawa melalui model STAD kreativitas belajar siswa meningkat. 3) Adanya peningkatan prestasi belajar siswa melalui model STAD siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017, siswa yang mencapai nilai KKM pada tahap pra siklus 10 siswa (40%), meningkat pada siklus I siswa yang mencapai KKM 15 siswa (60%) dan pada siklus II meningkat menjadi 20 siswa (80%). Kata Kunci : Motivasi, kreativitas, prestasi belajar, model STAD This study aims to 1) Increase Learning Motivation using STAD methods in class IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Academic Year 2016/2017. 2) Increasing the creativity to learn by using STAD methods in Class IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Academic Year 2016/2017. 3)Improving Learning achievement by using STAD methods in class IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Academic Year 2016/201 This type of reseach is a class action (classroom action research). Subjects in this study amounted to 25 student. Stages in this study included four phases: planning, implementation, observation and reflection. Data collection tchniques in this study using
601
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
observation and interviews. Data were analyzed using quantitative descriptive with percentage. The result showed that 1) the increasing motivation of student learning using STAD methods in class IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo shown in pre cycle student achieve learning motivation is 10 student (40%), increased in the first cycle 13 student (52%), and the second cycle was 16 student (64%). It shows that through STAD methods, motivation increased student learning. An increase in student creativity through STAD methods junior class IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Academic Year 2016/2017. Student creativity in pre cycle 8 student (32%), increased in the first cycle 11 student (44%) and the scond cycle increased to 15 student (60%). 3) An increase student achievement through STAD methods junior class IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Academic Year 2016/2017, student who achieve the KKM on pre cycle by 10 student (40%) increased in the first cycle of student who received the KKM 15 student (60%) and the scond cycle increased to 20 student (80%). Keyword: Motivation, creativity, academic achievement, STAD methods.
PENDAHULUAN
pembelajaran siswa, guru diharapkan mengembangkan semua potensi siswa dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman bermakna. Pemberian pengalaman yang bermakna bagi siswa dalam pembelajaran di sekolah harus direncanakan secara sadar dan sistematis karena pengalaman siswa tersebut harus dapat direncanakan, diterapkan dan dievaluasi ketepatannya dalam dunia nyata.Tanpa kesadaran yang tinggi, seorang guru sulit memberikan pengalaman yang berharga bagi anak. Salah satu usaha sadar guru adalah pemilihan strategi pembelajaran yang tepat yang akan digunakan sebagai sarana membelajarkan siswa dan memberi pengalaman yang bermakna. Pengalaman belajar akanbermanfaat dan bermakna jika mampu mencari dan menemukan sendiri konsep pengetahuan baik secara individual maupun kelompok.
Undang-undang NO 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan adalah meningkatkan kualitas pembelajaran. Pembelajaran yang berkualitas adalah ujung tombak yang menentukan tercapainya sasaran dan tujuan pendidikan secara efektif, efisien, kreatif produktif, dan bermutu. Dalam 602
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan adalah masih lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya. Kenyataan ini berlaku untuk semua mata pelajaran.Pendidikan di Sekolah terlalu menjejali otak anak dengan berbagai bahan pelajaran yang harus di hafal, pendidikan tidak diarahkan untuk membangun potensi yang dimiliki. Upaya-upaya perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh terus diupayakan pemerintah baik tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, tidak terkecuali kurikulum sebagai seperangkat rencana yang berisi tujuan, isi, dan bahan serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan untuk mencapai tujuan pendidikan. Keberhasilan pembelajaran secara khusus dan pendidikan secara umum merupakan harapan dari orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Keberhasilan pembelajaran ditandai oleh adanya kemampuan atau kecakapan yang sebelumnya tidak dimiliki, kemudian muncul setelah melakukan proses belajar mengajar sehingga hasil belajar menjadi lebih mantap dan bermakna.
Proses pembelajaran merupakan interaksi yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam pengajaran untuk mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Guru sebagai seorang profesional dalam mengembangkan pembelajaran di sekolah hendaknya mengetahui, memahami, dan mencoba untuk menerapkan metode yang dapat mendorong partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Proses pembelajaran menuntut adanya partisipasi aktif dari seluruh siswa sehingga belajar berpusat pada siswa, guru sebagai motivator dan fasilitator di dalamnya agar suasana kelas lebih hidup. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif siswa dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima ceramah guru tentang pengetahuan, sehingga jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan pada siswa untuk berperan aktif maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat belajar.
603
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Peran aktif siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan dirinya dan orang lain. Seseorang bisa dikatakan kreatif apabila ia secara konsisten dan terus menerus menghasilkan sesuatu yang kreatif, yaitu hasil yang asli/orisinal dan sesuai dengan keperluan. Kreativitas siswa bisa dilihat pada kemampuannya dalam mengajukan pertanyaan maupun menjawab pertanyaan. Selain itu kreativitas siswa juga bisa dilihat dari kecekatannya dalam mengikuti proses belajar mengajar di dalam kelas. Kreatif juga dimaksudkan guru mampu memilih materi yang akan diberikan kepada siswa agar materi yang diberikan bisa sesuai dengan kemampuan siswa. Pemilihan metode pembelajaran yang dapat mempermudah pemahaman siswa tentang materi yang diberikan dan memilih media yang tepat untuk memperlancar proses pembelajaran serta mampu menentukan evaluasi yang tepat untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan. Menyenangkan adalah suasana belajar mengajar yang membuat siswa senang sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya tinggi. Tingginya waktu curah akan meningkatkan hasil belajar. Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu
tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan yang harus dicapai. Penggunaan model pembelajaran yang monoton dapat menimbulkan kejenuhan siswa dalam belajar yang pada akhirnya dapat menurunkan motivasi, kreativitas dan prestasi belajar. Dari kondisi tersebut maka jelaslah bahwa dalam proses pembelajaran guru harus kreatif dan inovatif. Dengan guru yang kreatif dan inovatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam proses pembelajaran. Banyak kalangan pelajar menganggap belajar adalah aktivitas yang tidak menyenangkan, duduk berjam-jam dengan mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu pokok bahasan, baik yang sedang disampaikan guru maupun maupun yang sedang dihadapi di meja belajar. Kegiatan itu hampir selalu dirasakan sebagai beban daripada upaya aktif untuk memperdalam ilmu. Mereka tidak menemukan kesadaran untuk mengerjakan seluruh tugas-tugas sekolah. Banyak diantara siswa yang menganggap, mengikuti pelajaran tidak lebih sekedar rutinitas untuk mengisi daftar absensi, mencari nilai, melewati jalan yang harus ditempuh, dan tanpa diiringi kesadaran untuk menambah wawasan ataupun mengasah keterampilan. Menurunnya gairah belajar, selain disebabkan oleh 604
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
ketidaktepatan metodologis, juga berakar pada paradigma pendidikan konvensional yang selalu menggunakan metode pengajaran klasikal dan ceramah, tanpa pernah diselingi berbagai metode yang menantang untuk berusaha.Termasuk adanya penyekat ruang struktural yang begitu tinggi antara guru dan siswa. Peristiwa yang menonjol ialah siswa kurang berpartisipasi, kurang terlibat, kurang aktif dan kreatif, motivasi belajar rendah dan tidak punya inisiatif serta kontributif baik secara intelektual maupun emosional, yang pada akhirnya prestasi belajar siswa menjadi rendah. Pertanyaan dari siswa, gagasan, ataupun pendapat jarang muncul. Kalaupun ada pendapat yang muncul jarang diikuti oleh gagasan lain sebagai respon. Bertolak dari pemikiran dan kenyataan di atas, kurangnya kualitas pembelajaran IPS, maka perlu adanya pemecahan permasalahan tersebut dengan melakukan pengembangan pembelajaran kooperatif model STAD. Keunggulan model STAD adalah adanya kerjasama dalam kelompok dan dalam menentukan keberhasilan kelompok tergantung keberhasilan individu sehingga anggota kelompok tidak bisa menggantungkan pada anggota yang lain. Setiap siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk menunjang timnya mendapat nilai yang maksimum sehingga termotivasi untuk belajar. Dengan demikian, setiap individu merasa mendapat tugas dan
tanggung jawab sendiri-sendiri sehingga tujuan pembelajaran dapat berjalan bermakna dan tercapai secara optimal sesuai dengan harapan kurikulum. Dengan sistem ini, diharapkan partisipasi kontributif, inisiatif dan kreativitas siswa dalam bentuk keberanian menyampaikan pendapat, ide, gagasan, pertanyaan, sanggahan, kerjasama individu secara terstruktur, kerja kelompok serta tanggung jawab terhadap diri dan kelompoknya meningkat. Dengan kata lain, motivasi, kreativitas, dan prestasi belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar akan meningkat. Berdasarkan pengamatan yang dapat dilihat pada saat proses pembelajaran SMP N 3 Mojotengah Wonosobo,menunjukkan bahwa model pembelajaran di kelas yang masih klasikal sehingga masih minimnya kreativitas belajar siswa di Sekolah. Berdasarkan beberapa pandangan dan permasalahan di atas, maka perlu perbaikan pembelajaran yang mengupayakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa yang rendah yaitu sebesar 40-60% , kreativitas belajar siswa yang kurang yaitu sekitar 4055 % dan prestasi belajar siswa yang rendah yaitu ≤ 40 % siswa yang lulus KKM. Oleh karena itu tertarik untuk mengambil judul dalam penelitian ini yaitu “ Peningkatan Motivasi, Kreativitas, dan Prestasi Belajar IPS melalui Model STAD siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017 “. 605
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
METODE PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini dilaksankan di kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo. Adapun dipilihnya kelas tersebut sebagai objek penelitian karena peneliti adalah guru di SMP tersebut sehingga memudahkan proses penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September 2016. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX C SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 25 siswa, putra 12 anak dan putri 13 anak Penelitian tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini, menggunakan model spiral dari Kemmis dan Taggart (1988), yang bagannya dapat digambarkan sebagai berikut (Wiriaatmadja, 2006 : 66) :
1.
2.
3.
4.
5.
Gambar 2. PTK Model Spiral dari Kemmis dan Taggart Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan minimal dua kali silkus, yang setiap siklus terdiri dari empat tahap yang tergambar 606
dalam bagan di atas.Untuk memperoleh data sesuai dengan kebutuhan penelitian maka dperlukan kesesuaian antara metode pengumpulan data dan aspek yang diungkap. Data motivasi belajar dikumpulkan dengan mengisi angket motivasi belajar. Angket disusun berdasarkan teori dan kisi-kisi yang didalamnya memuat indicator motivasi belajar. Data kreativitas belajar dikumpulkan dengan mengisi angket kreativitas belajar. Angket disusun berdasarkan teori dan kisikisi yang didalamnya memuat indikator kreativitas belajar. Data prestasi belajar diperoleh melalui tes hasil belajar, yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dan kisi-kisi yang di dalamnya memuat indikator soal. Data tentang pelaksanaan tindakan pembelajaran dikumpulkan melalui observasi yang dilakukan oleh kolaborator dan guru peneliti. Aspek yang diamati meliput : Kegiatan pembelajaran siswa dan keterlaksanaan pembelajaran sesuai RPP. Data tentang mengapa penerapan model Student Teams Acievement Division (STAD) dapat meningkatkan motivasi, kreativitas dan prestasi belajar IPS, diperoleh melalui wawancara mendalam kepada guru kolaborator mata pelajaran IPS. Dalam penelitian ini, instrumen yang digunakan, adalah angket motivasi belajar siswa, angket kreativitas belajar siswa, lember observasi kegiatan guru,
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
lembar observasi kegiatan siswa dan tes hasil belajar.Teknik analisa data, adalah deskriptif kuantitatif dengan persentase. Metode deskriptif kuantitatif dengan persentase merupakan suatu metode penyajian data penelitian secara apa adanya, dengan cara menghitung pesentase dari masingmasing kategori data, untuk didapatkan suatu kesimpulan dari data tersebut. Untuk mengetahui keberhasilan tindakan yang dilakukan dalam setiap siklus diadakan penilaian dan pengukuran terhadap variabel, yaitu motivasi, kreativitas dan prestasi belajar siswa.Data dari hasil pengukuran kemudian dibandingkan dengan indikator keberhasilan.
kemudian memberikan penjelasan mengenai model STAD yang pada model ini lebih ditekankan pada kerjasama tim, akan tetapi individu juga harus belajar dengan sungguh-sungguh agar timnya mendapat nilai yang lebih tinggi dari kelompok tim lain.Model ini dilakukan dengan membuat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 orang yang dipilih secara heteregen. 2. Siklus I Hasil refleksi dari observasi pada tahap pra siklus , menjadi acuan dalam melaksanakan pembelajaran dengan model STAD untuk meningkatkan motivasi, kreativitas dan prestasi belajar siswa.Kegiatan perencanaan dilakukan secara kolaboratif melalui diskusi dengan guru mata pelajaran IPS. Hasil diskusi disepakati bahwa pembelajaran pada siklus II, akan dilakukan 3 kali pertemuan. 3. Siklus II Hasil refleksi dan observasi pada tahap siklus I, menjadi pedoman dalam melaksanakan pembelajaran dengan model STAD untuk meningkatkan motivasi, kreativitas dan prestasi belajar siswa. Kegiatan perencanaan dilakukan secara kolaboratif melalui diskusi dengan guru mata pelajaran IPS. Hasil diskusi disepakati bahwa pembelajaran pada siklus II, akan dilakukan 3 kali pertemuan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Hasil Penelitian 1. Tahap Pra Siklus Pada tahap pra siklus, dilakukan observasi terhadap pembelajaran IPS kelas IX C SMP N 3 mojotengah dan hasilhasil pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan kemudian dilakukan refleksi dengan cara diskusi dengan guru kolaborator. Peneliti kemudian menawarkan alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan pada pembelajaran dengan mengajukan pembelajaran dengan model STAD sebagai alternative untuk meningkatkan motivasi, kreativitas dan prestasi belajar siswa. Peneliti 607
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tabel 15. Peningkatan Motivasi Belajar Siswa
Pembahasan Hasil penelitian menunjukk an bahwa model STAD dapat meningkatkan motivasi, kreativitas dan prestasi belajar pada siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017. 1. Peningkatan Motivasi Belajar melalui Model STAD pada siswa kelas IXC SMP N 3 Wonosob Mojotengah Tahun Pelajaran 2016/2017 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adanya peningkatan motivasi belajar siswa melalui model STAD pada siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan motivasi belajar siswa yang berkategori tinggi pada pada pra siklus dicapai oleh 10 siswa (40%) meningkat pada siklus I menjadi 13 siswa (52%) dan pada siklus II meningkat menjadi 16 siswa (64%). Adapun peningkatan motivasi belajar dapat dideskripsikan pada tabel berikut :
Katego ri
Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Total
2.
608
Pra Siklus
Siklus I
Siklus II
N
%
N
%
N
%
3 10 5 7 25
12 40 20 28 10 0
4 13 4 4 25
16 52 16 16 10 0
4 16 3 2
16 64 3 2 10 0
Dengan demikian melalui penerapan model STAD pada pembelajara IPS dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Siswa terlihat sudah mempunyai keinginan dalam mempelajari materi yang ditentukan oleh guru, dan hampir semua siswa memperhatikan seluruh proses pembelajaran. Peningkatan Kreativitas Belajar Melalui Model STAD Pada Siswa Kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017 Adanya peningkatan kreativitas belajar pada siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosobo ditunjukkan pada saat pembelajaran di kelas, pengamatan terhadap kreativitas belajar siswa dilakukan secara langsung oleh peneliti yang dibantu oleh guru mata pelajaran IPS. Adapun peningkatan
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
kreativitas belajar siswa ditunjukkan pada tahap pra siklus siswa yang mencapai kreativitas belajar yang tinggi 8 siswa (32%) setelah model STAD diterapkan meningkat pada siklus I yaitu 11 siswa (44%) dan pada siklus II mencapai 15 siswa (60%). Hal tersebut menunjukkan bahwa melalui model STAD, kreativitas belajar siswa meningkat. Tabel 17. Peningkatan Kreativitas Belajar Siswa Kategori Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Total
Pra Siklus N % 2 8 5 2 7 0 8 2 3 8 2 3 5 2 1 2 1 0 0
Siklus I N % 1 4 3 1 6 2 1 2 1 4 4 4 2 4 5 1 6 1 0 0
kelompok yang kondusif, pada saat siswa presentasi di depan kelas terlihat siswa tenang dalam menyampaikannya, tanggapan yang diberikan juga sangat bagus. Kegiatan dialog yang berjalan lancar menunjukkan bahwa siswa mempunyai kreativitas dalam belajar yang tinggi. 3. Peningkatan Prestasi Belajar Melalui Model STAD pada siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan adanya peningkatan prestasi siswa melalui model STAD siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017, hal ini ditunjukkan dengan siswa yang mencapai nilai KKM pada pra siklus 10 siswa(40%) meningkat pada siklus I siswa yang mencapai KKM 15 siswa (60%) dan pada siklus II 20 siswa (80%). Adapun peningkatan prestasi belajar dapat dideskripsikan pada tabel berikut :
Siklus II N % 0 0 2 8 3 1 1 2 5 6 5 0 2 2 5 0 1 0 0
Kreativitas belajar siswa kelas IXC ditunjukkan seperti siswa mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, hal ini terlihat pada saat mengunjungi perpustakaan antusias siswa saat mencari literature pendukung materi yang ditentukan sangat tinggi, siswa dapat mengerjakan tugas yang diberikan oleh kelompoknya dengan baik, terciptanya suasana
Tabel 18. Peningkatan Prestasi Belajar Siswa NILAI
< 75
609
PRA SIKLUS
SIKLUS I
SIKLUS II
N
%
N
%
N
%
1 5
60
1 0
40
5
20
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016 > 75
1 0
40
1 5
60
2 0
80
JUMLA H
2 5
10 0
2 5
10 0
2 5
10 0
ISBN 978-602-73690-6-1
1.
Melalui model STAD dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Model Student Teams-Achievement Division(STAD) merupakan model pembelajaran dimana peserta didik dikelompokkan dalam tim belajar 4-5 orang yang merupakan gabungan dari bergagai tingkatan kinerja, jenis kelamin maupun etnik atau kelompok yang heterogen. Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian peserta didik bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran. Akhirnya, seluruh peserta didik dikenai kuis tentang suatu materi dan pada saat kuis mereka mengerjakan secara individual. Pembelajaran model STAD yang dilaksanakan lebih menekankan pada proses kerjasama di dalam kelompok yang heterogen baik kemampuan, jenis kelamin, ras dan sebagainya serta dalam penilaiannya dilakukan dengan penilaian individu maupun kelompok.
2.
3.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa model STAD dapat meningkatkat motivasi, kreativitas dan prestasi belajar pada siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosobo Tahun Pelajaran 2016/2017, peningkatan tersebut ditunjukkan dengan : 610
Peningkatan motivasi belajar siswa melalui model STAD pada siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Wonosbo Tahun Pelajaran 2016/2017, hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan motivasi belajar yang berkategori tinggi pada tahap pra siklus dicapai oleh 10 siswa (40%) meningkat pada siklus I 13 siswa (52%), dan pada siklus II meningkat menjadi 16 siswa (64%). Adanya peningkatan kreativitas belajar siswa melalui model STAD, ditunjukkan pada pra siklus siswa yang mencapai kreativitas belajar tinggi sebanyak 8 siswa (32%) meningkat pada siklus I menjadi 11 siswa (44%) dan pada siklus II meningkat menjadi 15 siswa (60%) Adanya peningkatan prestasi belajar siswa melalui model STAD siswa kelas IXC SMP N 3 Mojotengah Tahun Pelajaran 2016/2017, hal ini ditunjukkan dengan siswa yang mencapai nilai KKM pada pelaksanaan Ulangan Harian sebelum penelitian ini dilakukan sebanyak 10 siswa (40%), meningkat menjadi 15 (60%) pada siklus I, dan pada siklus II meningkat menjadi 20 siswa (80%).
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Certativity in Higher Education Report Creativity Project 2006-2007.Belgium : Socrates Hamzah B. Uno(2009). Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di BidangPendidikan.Jakarta : Bumi aksara Hamalik Oemar. (2010). Belajar dan Pembelajaran.Jakarta : Rineka Cipta. Istiyani.(2012). Upaya meningkatkan kreativitas, Motivasi dan Pestasi Belajar dengan menggunakan Metode Partisipatif pada siswa kelas VII B SMP N 1 Kalibawang tahun Pelajaran 2014/2015.Tesis Universitas PGRI Yogyakarta Koswara, Halimah. (2008). Bagaimana Menjadi Guru kreatif. Bandun : PT Pribumi Mekar Martin V. Covington. 2000. Goal Theory, Motivation and School Acevement : An Integrate Review. Department of Pscyhology University of California at Berkely Nana Syaodih Sukmadinata. 2011. Landasan Psikologi proses Pendidikan.Bandung : Remaja Rosdakarya. Ringgo Sumoyo. (2012). Upaya meningkatkan kreativitas dan Hasil Belajar melalui model Problem Based Kearning SMP N # Purworwejo Tahun 2011/2012. Tesis Universitas PGRI Yogyakarta Robert J. Stenberg. 2006. The Nature of Creativity. Tufl University. Creativity Research Journal Vol 18 No. 1, 87-98. Rochiati Wiriaatmadj. (2006). Metode Penelitian Tindakan Kelas : untuk meningkatkanKinerja Guru dan Dosen. (cetakan kedua). Bandung : Remaja Rosdakarya
Saran Berdasaarkan kesimpulan dan pembahasan tersebut di atas, saran dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Sekolah a. Sekolah hendaknya dapat menyediakan berbagai fasilitas pembelajaran untuk mendukung terciptanya pembelajatan yang efektif dan efisien. b. Sekolah dapat mengadakan workshop atau pelatihan mengenai strategi dan model pembelajaran untuk dapat meningkatkan motivasi, kreativitas dan prestasi belajar siswa. 2. Bagi guru a. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan karakteristik siswa dan tingkat kesulitan materi pelajaran sehingga dapat diterapkan strategi dan model pembelajaran yang tepat. b. Hendaklah guru dapat menggunakan model pembelajaran yang tepat sehingga tercipta kegiatan pembelajaran yang efektif, menyenangkan dan bermakna. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas.(2003). Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta Dimyati dan Mudjiono. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta Djamarah.S.B.(2008).Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta Europen University Association. 2007.
611
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Sardiman.(2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Samijo. 2013. Upaya Meningkatkan Kreativitas, dan Hasil Belajar IPS melalui Cooperative Learning tipe Group Investigation Siswa Kelas VI SDN Serut Kuwarasan Kebumen Tahun Pelajaran 2012/2013. Tesis Universitas PGRI Yogyakarta Slameto.(2010). Belajar dan faktor yang mempengaruhinya.Jakarta : Rineka Cipta Sujarwo.(2014). Model-model Pembelajaran. Yogyakarta: CV Venus Gold Press Suharsimi Arikunto. 2010. Dasar-dasar Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta Sapriya, (2009).Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran.Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Sri Suharti. 2012. Meningkatkan Kemampuan Kreatif Mengatasi Konflik Sosial dan Kematangan Sosial dengan Model Pembelajaran Life Skill pada siswa kelas XI-IPS SMA Negeri I Purworejo Tahun Pelajaran 2012/2013. Tesis Universitas PGRI Yogyakarta. Trianto, (2010).Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta : PT Bumi Aksara Utami Munandar. (2012). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.Jakarta : Rineka Cipta. Wasty Soemanto.(2012). Psikologi Pendidikan.Jakarta : Rineka Cipta.
612
PERANAN SUNAN GUNUNG JATI DALAM PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK, EKONOMI, DAN PENDIDIKAN Diah Azka Fadiyah dan Buchory MS * ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peranan Sunan Gunung Jati dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan di Kesultanan Cirebon pada tahun 1479-1568. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan analisis kualitatif Miles & Huberman dan validasi datanya mengunakan teknik triangulasi sumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sunan Gunung Jati memiliki peranan di Kesultanan Cirebon. Peranan Sunan Gunung Jati bidang politik seperti: mendirikan pusat pemerintahan, membuat peraturan pemerintah berdasarkan Islam, memperluas wilayah sampai ke Banten dan Sunda Kelapa, membangun sistem politik demokrasi di Kesultanan Cirebon. Peranan Sunan Gunung Jati bidang ekonomi seperti: membangun sistem perekonomian komando, membangun pusat perekonomian, membangun sarana dan prasarana, menerapkan Zakat sebagai pengganti pajak. Peranan Sunan Gunung Jati bidang pendidikan seperti: membangun pusat pendidikan, menerapkan pendidikan Islam, dan menanamkan pendidikan karakter. Kata Kunci: Sunan Gunung Jati, Kesultanan Cirebon. ABSTRACT This research aims to describe the role of Sunan Gunung jati identity in politics, economy, and education in the sultanate of Cirebon in 1479-1568. The data collection techniques interview, observation, and documentation. Data analysis used qualitative Miles & Huberman and data validated used triangulation sources technique. The research result shows that Sunan Gunung Jati has an important role in Sultanate of Cirebon. The role of Sunan Gunung Jati in politics: develop goverment center, make goverment rules based on Islam, expand the region until Banten and Sunda Kelapa, and develop democratic system.his role in economic: economic system, economic center, infrastructures, and apply alms as the alternate of tax. His contribution on education: develop education center, apply Islamic education, and embed characteristic education. Keywords: Sunan Gunung Jati, Sultanate of Cirebon.
*
Diah Azka Fadiyah adalah mahasiswa Program Pascasarjana Universitas PGRI Yogyakarta dan Buchory MS adalah dosen Program Pascasarjana Universitas PGRI Yogyakarta.
613
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panata Gama Awliya Allah Kutubizaman Khalifatur Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassalam (Irianto, 2012: 11). Menurut Wildan (2002: 299) penobatan panetep panatagama mengandung arti bahwa martabatnya telah sama dengan para wali lainnya sehingga dapat disimpulkan bahwa Sunan Gunung Jati sebagai propagandis Islam di Jawa Barat. Dengan demikian, peran dari Sunan Gunung Jati di Cirebon bukan hanya menyebarkan Agama Islam tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Zaman yang serba modern ini banyak yang beranggapan bahwa sejarah sebagai suatu hal yang membosankan sehingga tidak ada kesadaran masyarakat untuk melestarikan peninggalan bersejarah, mengkaji, dan mengambil nilai-nilai penting dari makna sejarah. Hal tersebut terbukti dengan tidak banyak orang yang mengetahui kepemimpin Sunan Gunung Jati di Kesultanan Cirebon. Saat sekarang, banyak orang yang beranggapan bahwa di Cirebon terdapat Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Padahal, dua keraton tersebut dahulu merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon, yang pada tahun 1600 M terpecah menjadi dua. Kesultanan Cirebon yang terpecah telah mengakibatkan banyak masyarakat tidak mengetahui perkembangan Kesultanan Cirebon. Kesadaran masyarakat yang hilang terhadap sejarah ini ditakutkan berpengaruh terhadap pengetahuan generasi muda tentang sejarah bangsanya yang kurang. Hal ini tentu mengakibatkan lunturnya nilai-nilai sejarah, padahal menurut Sir John Seely bahwa “belajar sejarah membuat manusia bijaksana”. Selain itu, kesadaran perlu diterapkan agar masyarakat atau generasi muda mengetahui sejarah bangsanya dan diharapkan akan membangun karakter yang cerdas, bermoral, dan memiliki jiwa nasionalisme yang kuat.
PENDAHULUAN Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah anggota walisongo dengan wilayah penyebaran Islam di daerah Jawa Barat. Menurut Sunardjo (1983) dalam buku Suryaman (2015: 64) Sunan Gunung Jati memiliki cita-cita untuk menjadi guru agama. Cita-cita ini melatar belakangi pengembaraannya untuk menggali Agama Islam di berbagai tempat, terutama mendatangi ulama-ulama terkenal pada masanya. Cirebon dipilih sebagai pusat penyebaran Agama Islam karena Sunan Ampel sebagai guru dari Sunan Gunung Jati mengetahui bahwa daerah Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana yang merupakan paman dari Sunan Gunung Jati. Dengan demikian, Sunan Ampel menilai tepat untuk memerintahkan Sunan Gunung Jati datang ke Cirebon. Kedatangan Sunan Gunung Jati di Cirebon disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana karena Sunan Gunung Jati adalah murid dari Sunan Ampel, sehingga memudahkan Sunan Gunung Jati menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mereka berbincang, barulah Pangeran Cakrabuana mengetahui bahwa Sunan Gunung Jati merupakan keponakannya dari adiknya yang bernama Nyi Mas Ratu Rarasantang yang tinggal di Mesir. Pangeran Cakrabuana menyetujui maksud kedatangan Sunan Gunung Jati dan memerintahkan Sunan Gunung Jati tinggal di Keraton Pakungwati. Pada tanggal 1478 Sunan Gunung Jati dinikahkan dengan putri dari Pangeran Cakrabuana, yaitu Nyi Mas Pakungwati. Selanjutnya, pada tahun 1479 Sunan Gunung Jati diberi amanat oleh Pangeran Cakrabuana untuk menjadi penguasa Cirebon dengan disaksikan oleh ibunya yaitu Syarifah Mudaim dan para pembesar dari tanah Sunda yang berkedudukan di Keraton Pakungwati (Wahju, 2005: 68) yang kemudian diberi gelar
614
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
1. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang bermaksud untuk mendapatkan kebenaran sejarah dengan merekontruksi peristiwa sejarah sehingga penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif dan karakteristik yang diangkat dalam penelitian kualitatif ini adalah studi historis dimana peristiwa sejarah direka ulang dengan menggunakan sumber data berupa kesaksian pelaku sejarah yang masih ada, peninggalan-peninggalan sejarah baik berupa catatan, dokumen dan benda-benda bersejarah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2016 di Keraton Kasepuhan yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon dan Komplek Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik tersebut bertujuan untuk memperoleh informasi terkait dengan penelitian. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan model analisis Miles dan Huberman yang terdiri dari empat hal, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan kesimpulan/verifikasi.
2.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sunan Gunung Jati dalam Pembangunan Bidang Politik di Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568 Politik merupakan kegiatan suatu wilayah untuk menentukan tujuan dan melaksanakan tujuan yang dapat diterima oleh masyarakat untuk mencapai kehidupan bersama yang harmonis sehingga kegiatan politik dapat menegakkan keadilan bagi masyarakatnya. Peranan Sunan Gunung Jati dalam pembangunan bidang politik di Kesultanan Cirebon tahun 1479-1568 yaitu:
4.
615
Mendirikan Pusat Pemerintahan di Keraton Pakungwati Keraton Pakungwati dipilih sebagai pusat pemerintahan karena Keraton tersebut letaknya strategis dan dekat dengan sarana dan prasarana yang menunjang seperti pelabuhan, tempat ibadah, dan pasar. Sampai sekarang, Keraton Pakungwati masih dijaga kelestariannya. Komplek Keraton tersebut terdapat di Keraton Kasepuhan dimana bangunan Keraton Pakungwati dapat dilihat mulai dari Siti Inggil sampai ke Dalem Agung Pakungwati yang memiliki bangunan berbata merah. Membuat Peraturan Pemerintah Berdasarkan Islam Peraturan pemerintah yang diterapkan oleh Sunan Gunung Jati berdasarkan syariat Islam dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. sebagai peraturan yang utama di Kesultanan Cirebon yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Peraturan tersebut yaitu zakat, fitrah, penggunanaan uang dinardirham yang terbuat dari emas dan perak, dan hukuman yang harus dijalankan oleh masyarakat di wilayah Kesultanan Cirebon. Memperluas Wilayah Sampai Ke Banten Dan Sunda Kelapa Wilayah Kesultanan Cirebon awalnya hanya di daerah Cirebon kemudian meluas sampai ke Banten dan Jakarta. Sunan Gunung Jati menyerahkan Banten kepada putranya yaitu Pangeran Sebakingkin kemudian diangkat menjadi sultan pertama di Kesultanan Banten dengan gelar Sultan Maulana Hasanuddin. Sampai sekarang hubungan kekerabatan Keraton Kasepuhan dan Kesultanan Banten masih terjaga dengan baik. Membangun Sistem Politik Demokrasi Di Kesultanan Cirebon
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Politik Demokrasi berupayan memberi kebebasan terhadap individu, seperti kebebasan berkumpul dan mengemukakan pendapat (Luthans, 2014: 43). Sistem politik demokrasi pada pemerintahan Sunan Gunung Jati berupaya untuk mempersatukan masyarakat dalam sebuah perbedaan. Dalam kepemimpinannya tetap mempertahankan adat istiadat masyarakat yang berkembang sebelum adanya Kesultanan Cirebon. Selain itu, Sunan Gunung Jati tidak membedakan ras, agama, suku, dan adat istiadat yang sudah berlangsung. Meskipun dalam kepemimpinannya menggunakan syariat Islam. Peranan Sunan Gunung Jati dalam Pembangunan Bidang Ekonomi di Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568 Pembangunan ekonomi masa Sunan Gunung Jati berupaya untuk mengatur kegiatan ekonomi masyarakat berdasarkan kebutuhan termasuk mengatur dan memutuskan sumber daya yang ada sehingga kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Peranan Sunan Gunung Jati dalam pembangunan bidang ekonomi yaitu: 1. Membangun Sistem Perekonomian Komando Sistem ekonomi yang dianut oleh Kesultanan Cirebon yaitu perekonomian komando. Prinsip perekonomian komando yaitu adanya kekuasaan tertinggi yang memberikan perintah dan memaksakan untuk mematuhinya atas dasar komando yang diberikan (Grossman, 2004: 25). Pada sistem ini, pemerintah memiliki kendali terhadap harga dan penawaran barang atau jasa terlihat dari upaya pemerintah untuk menggunakan matauang sendiri sehingga tidak tergantung pada matauang asing. Meskipun menggunakan perekonomian komando, perekonomian
2.
616
di Kesultanan Cirebon tidak terlepas dari syariat Islam. Ekonomi Islam pada waktu itu mengharamkan riba kemudian kegiatan muamalah harus dengan jujur, adil dalam perdagangan dan pertukarannya, dan menggunakan uang emas dan perak yang disunahkan Nabi dan kemudian membayar zakat sesuai dengan syariat Islam. Membangun Pusat Ekonomi Sunan Gunung Jati berupaya untuk menerapkan kegiatan ekonomi gregation dan ekonomi layanan. Kumarappa (1957: 12) ekonomi gregation adalah pelaku ekonomi menghasilkan sesuatu bukan hanya untuk kepentingan mereka sendiri tetapi untuk kepentingan umum. Sedangkan ekonomi layanan adalah bentuk tertinggi kegiatan ekonomi apat dilihat dalam hubungan antara generasi muda dan orang tua. Antara pelaku ekonomi yang satu dengan lainnya saling membantu dalam kegiatan ekonomi. Dilihat dari sistem ekonomi yang diterapkan maka dibutuhkan kegiatan ekonomi yang saling menguntungkan antara masyarakat di Kesultanan Cirebon. Selain itu, adanya kegiatan ekonomi yang menguntungkan antara masyarakat dengan pemerintah Kesultanan Cirebon. Dari paparan tersebut maka Sunan Gunung Jati perlu membuat pusat kegiatan ekonomi agar kegiatan ekonomi di Kesultanan Cirebon dapat dilaksanakan dengan baik. Kesultanan Cirebon merupakan wilayah pesisir yang terletak di utara Jawa Barat sehingga pusat kegiatan ekonomi dilakukan di Pelabuhan Muara Jati. Pelabuhan Muara Jati letaknya sangat strategis sehingga menjadi jalur perdagangan internasional yang ramai disinggahi oleh perahu pedagang dari Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
(Singapura), Pasai, Jawa Timur, Madura, Palembang, dan Bugis. 3. Membangun Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana belum banyak dibangun karena belum banyak masyarakat yang tinggal di wilayah Kesultanan Cirebon. Sarana dan prasarana yang dibangun pada waktu itu yaitu pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan Muara Jati sebagai pusat kegiatan ekonomi, Masjid Agung Sang Ciptarasa, Pasar, jalan sebagai penghubung Keraton Pakungwati dengan Gunung Jati dan sarana transportasi yang menggunakan binatang seperti pedati. Sarana dan prasarana tersebut sampai sekarang masih ada seperti Pelabuhan Muara Jati yang sampai sekarang masih digunakan, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, jalan dari Keraton Kasepuhan menuju komplek Makam Sunan Gunung Jati, dan pasar yang sekarang beralih fungsi menjadi tempat peristirahatan wisatawan yang berkunjung ke Keraton Kasepuhan karena belum adanya revitalisasi. 4. Menerapkan Zakat sebagai Pengganti Pajak Pemerintah Sunan Gunung Jati tidak menerapkan pajak pada masyarakatnya karena pemerintahannya berdasarkan syariat Islam maka Sunan Gunung Jati memberlakukan zakat. Zakat tersebut dikelola oleh amil zakat kemudian disalurkan kepada yang membutuhkan sesuai dengan syariat Islam. Peranan Sunan Gunung Jati dalam Pembangunan Bidang Pendidikan di Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568 1. Membangun Pusat Pendidikan Sunan Gunung Jati berupaya membangun pusat pendidikan untuk menunjang perkembangan pendidikan yang dilakukan oleh Kesultanan
2.
3.
617
Cirebon. Pusat pendidikan berada di Pasembangan Jati atau sekarang disebut Komplek Makam Sunan Gunung Jati. Semenjak ibu dari Sunan Gunung Jati yaitu Nyi Mas Rarasantang meninggal kemudian dimakamkan di tempat tersebut, maka pusat pendidikan dilakukan di Keraton Pakungwati karena Pasembangan Jati beralih fungsi sebagai komplek pemakaman dan sampai sekarang tempat tersebut juga digunakan sebagai komplek pemakaman Sunan Gunung Jati dan keluarganya. Menerapkan Pendidikan Islam Pendidikan yang diterapkan masa Sunan Gunung Jati tidak terlepas dari pengembangan dakwah Islam yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, dimana beliau merupakan penyebar Agama Islam anggota Walisongo yang wilayah penyebarannya di Jawa Barat. Pendidikan dilakukan dimana saja yaitu setiap kali ada orang yang berkumpul, disitu dilakukan proses pendidikan. Menanamkan Pendidikan Karakter Pendidikan dewasa ini kehilangan nilai-nilai luhur yang terkandung. Sunan Gunung Jati dalam mengembangkan pendidikan berupaya menanamkan pendidikan karakter melalui penanaman kecerdasan berpikir, penghayatan dalam sikap, dan pengalaman sesuai dengan nilai-nilai luhur sehingga terjadi interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya. Penanaman pendidikan karakter yang diberikan Sunan Gunung Jati berdasarkan tauladan dan pembudayaan. Metode yang digunakan oleh Sunan Gunung Jati menunjukkan bahwa pendidikan yang dikembangkan oleh Sunan Gunung Jati adalah pendidikan moral atau pendidikan karakter melalui ajaran Agama Islam. Inti ajaran Sunan
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Gunung Jati terlihat dari petatah-petitih yang disampaikannya. Petatah-petitih adalah ungkapan atau ucapan yaang mengandung nasihat, kritik, dan teguran. Petatah-petitih tersebut masih diajarkan dan digunakan oleh masyarakat Cirebon sebagai nasehat dalam kehidupan karena mereka memandang Sunan Gunung Jati sebagai panutan masyarakat Cirebon.
2.
3.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sunan Gunung Jati memiliki peranan dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan di Kesultanan Cirebon tahun 1479-1568. Peranan Sunan Gunung Jati dalam bidang politik yaitu mendirikan pusat pemerintahan di Keraton Pakungwati, membuat peraturan pemerintah berdasarkan Islam, memperluas wilayah sampai ke Banten dan Sunda Kelapa, membangun sistem politik demokrasi di Kesultanan Cirebon. Peranan Sunan Gunung Jati bidang ekonomi yaitu membangun sistem perekonomian komando, membangun pusat perekonomian, membangun sarana dan prasarana, menerapkan Zakat sebagai pengganti pajak. Peranan Sunan Gunung Jati bidang pendidikan seperti: membangun pusat pendidikan, menerapkan pendidikan Islam, dan menanamkan pendidikan karakter. Saran 1. Dalam bidang politik, Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin pemerintahan memiliki jiwa kepemimpinan yang mencontoh kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW. dengan menggunakan syiar Islam dalam kepemimpinannya. Diharapkan generasi penerus bangsa mencontoh kepemimpinan tersebut sehingga antara urusan akherat dan dunia bisa berjalan bersamaan.
4.
5.
6.
Dalam bidang ekonomi yang dikembangkan oleh Sunan Gunung Jati tidak terlepas dari nilai-nilai Islam sehingga pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dapat dijadikan tauladan bagi generasi penerus bangsa dalam melakukan kegiatan ekonomi. Dalam bidang pendidikan yang dikembangkan oleh Sunan Gunung Jati adalah pendidikan moral yang sering disebut petatah-petitih. Diharapkan generasi muda memahami dan menjalankan pendidikan moral yang telah diajarkan oleh Sunan Gunung Jati. Petatah-petitih Sunan Gunung Jati hendaknya tetap dilestarikan agar anak cucu kita mengetahui pendidikan akhlak yang diajarkan oleh Sunan Gunung Jati. Keraton Kasepuhan sebagai penerus Kesultanan Cirebon memiliki kebudayaan dan tradisi yang berlaku pada masa Sunan Gunung Jati yang sampai saat ini masih dilestarikan. Sebagai warga negara Indonesia, kita sepatutnya ikut andil melestarikan dan menjaga kebudayaan dan tradisi tersebut. Cirebon sebagai daerah dengan banyak tradisi hasil peninggalan Sunan Gunung Jati. Cirebon masih menjaga tradisi tersebut dan menjalankan ritual-ritual kuno. Masyarakat sekitar juga mengikuti kegiatan tersebut dan banyak pula diantara mereka mengharapkan berkah dari kegiatan yang dilaksanakan. Peneliti menghimbau agar masyarakat mengikuti kegiatan tersebut tetapi harus mengingat bahwa berkah tersebut diperoleh dari Allah SWT.
Daftar Pustaka Bungin, Burhan. 2012. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
618
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Grossman, Gregory. 2004. Sistem-sistem Ekonomi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Irianto, Bambang. 2012. Bendera Cirebon: (Umbul-umbul Caruban Nagari) Ajaran Kesempurnaan Hidup. Jakarta: Museum Tekstil Jakarta. Kumarappa, J. C. 1957. Economy of Permanence: A quest for a social order based on non-violence (cetakan ke-3). India: Sarva Seva Sangh Prakashan. Luthans, Fred, dan Doh, Jonathan P. Manajemen Internasional: Budaya, Strategi, dan Perilaku. Jakarta: Salemba Empat. Meleong, Lexy J. 2010. Metode Penelitian Kualitatif (cetakan ke-27). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Meleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif (cetakan ke-31). Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suryaman, Eman. 2015. Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja. Bandung: Nuansa Cendekia. Wahju, Amman N. 2005. Sajarah wali: Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati (Naskah Mertasinga). Bandung: Pustaka. Wildan, Dadan. 2002. Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta) Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung: Humaniora Utama Press.
619
FULL DAY SCHOOL BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER Lis Yulianti Syafrida Siregar Program Studi Doktor Psikologi Pendidkan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
[email protected]
Abstrak : Penerapan full day school merupakan alternatif solusi dari revolusi pendidikan terhadap permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan. Full day school adalah merupakan istilah dari proses pembelajaran yang dilaksanakan secara penuh, dimana aktifitas belajar anak dilakukan lebih banyak disekolah daripada dirumah. Proses belajar mengajar diberlakukan di pagi hari sampai dengan sore hari. Full day school sebuah tawaran dari sistem pendidikan yang merupakan pendidikan penguatan karakter. Persoalan ini dikumandangkandiduniapendidikan sebagai respon atas terjadinya berbagai bentuk degradasi moral akibat kemajuan teknologi dan pengaruh budaya dan sosial. Karakter adalah tabiat, sifat-sifatkejiwaan, akhlak, atau budipekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Pendidikankarakter merupakan upaya mempengaruhi segenap pikiran dengansifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan mempunyai kepribadian Kata kunci: Full day school, Pendidikan, Karakter Beragam tanggapan muncul sehubungan dengan wacana program full day school yang digulirkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Muhadjir Effendy sebagai program belajar tambahan untuk jenjang SD dan SMP yang sifatnya kokurikuler. "Fullday sebenarnya pendidikan karakter. Itu pilihan kita menambah jam belajar di sekolah. Kemudian diisi dengan aktivitas-aktivitas macam-macam. Full day adalah cara mendongkrak sistem pendidikan kita yang masih rendah," Muhadjir Effendy di Hotel Grand Cempaka, Jalan Letjen R Soeprapto, Jakarta, Jumat (19/8/2016). 2
A. Pendahuluan Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap peserta didik yang diserahkan oleh orangtua kepada pihak sekolah agar mempunyai kemampuan dan mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang 1
1
2
Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi (Bandung: Rineka Cipta, Cet.II, 1993), hlm.14
http://news.detik.com/berita/3278860/ mendikbud-full-day-school-dongkrak-pendidikankita-yang-masih-rendah, di akses 28 september 2016
620
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Bagi beberapa sekolah keagamaan, full day school diterapkan agar para guru dapat mengajarkan nilai-nilai spiritualitas dalam frekuensi yang lebih banyak. Misalnya, sekolah Islam yang mengadakan shalat dhuha, salat dzuhur, dan salat ashar berjamaah. Pada akhirnya, orang tua menginginkan anak-anaknya dibekali dengan pengetahuan agama yang mumpuni. Sedangkan kebanyakan orang tua merasa kurang capable untuk mengajarkan hal ini kepada anak-anak. 3 Berdasarkan kajian psikologi eksperimental yang dilakukan para psikolog modern, bahwa pembagian waktu belajar atau latihan dalam jangka waktu tertentu yang diselingi masa istrahat, akan membantu dalam mempercepat proses belajar dan 4 memantapkannya dalam ingatan Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah meletakkan landasan karakter yang kuat melalui internalisasi nilai dalam pendidikan, menumbuhkan dan menanamkan kecerdasan emosi dan spiritual yang mewarnai aktivitas kehidupannya, menumbuhkan kemampuan berpikir kritis melalui pelaksanaan tugas-tugas pembelajaran, menumbuhkan kebiasaan dan berpartisipasi aktif secara teratur untuk memanfaatkan dan mengisi waktu luang dengan aktivitas belajar 5 Beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya tuntutan full day school antara lain: Pertama, minimnya waktu orang tua dirumah berinteraksi
dengan anak dikarenakan kesibukan dari tuntutan pekerjaan. Kedua, meningkatnya single parents danbanyaknya aktifitasorang tuayang kurangmemberikan perhatian pengawasan dan keamanan, serta kenyamanan terhadap segala tuntutan kebutuhan anak, terutama bagi anak usia dini. Ketiga, perlunya formulasi jam tambahan keagamaan bagi anak dikarenakan minimnya waktu orang tua bersama anak. Keempat, peningkatan kualitas pendidikan sebagai sebuah alternatif solusi terhadap berbagai permasalahan kemerosotan bangsa, terutama akhlak. Kelima, semakin canggihnya dunia komunikasi, membuat dunia seolah-olah tanpa batas (borderless world) yang dapat mempengaruhi perilaku anak jika tidak mendapat pengawasan dari orang dewasa. 6 Dari kondisi tersebut di atas, para praktisi pendidikan merumuskan suatu paradigma baru dalam pendidikan yang disebut dengan full day school. Penerapan full day school dalam rangka memaksimalkan waktu luang anak-anak agar lebih berguna. B. Konsep Dasar Full Day School Istilahfulldayschoolmerupakansadur andariB.Inggrisdimana Fullartinyapenuh, dayartinyaharidanschoolartinyasekolah. 7 . Jadisecara terminologyfulldayschoolartinyabelajarseharipen uh. Jam belajar diberlakukan dari pagi sampai sore, mulai pukul 06.45 - 15.30 WIB, dengan durasi istrahat setiap dua jam sekali. Dengan
3
Sukur Basuki, Harus Proporsional sesuai Jenis dan Jenjang Sekolah, (http: // www.strkN1 lmj.sch.id/?diakses 4 oktober 2016 4 Muhammad Usman Nadjati, Al Qur’an dan Psikologi, (Jakarta: Arus Pustaka, 2005), hlm.144 5 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Terpadu (Bandung: Rosdakarya, 2004), hlm.154
6
Agus Eko Sujianto, Penerapan Full Day School Dalam Lembaga Pendidikan Islam (Jurnal Pendidikan, Ta’allim. Vol 28.No.2, Nopember 2015 Tulungagung),hlm.204 7 Jhon Echlos, KamusInggris Indonesia, (Jakarta:Gramedia, Cet. XXIII,1996), h.259,165,504.
621
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
demikian sekolah dapat mengatur jadwal pelajaran dengan leluasa, disesuaikan dengan bobot mata pelajaran dan ditambah dengan pendalaman materi. Hal yang diutamakan dalam full day school adalah penagturan jadwal pelajaran dan pendalaman.8 Sistem full day school di Indonesia di awali dengan menjamurnya istilah sekolah unggulan sekitar tahun 1990-an, yang banyak dipelopori oleh sekolah-sekolah swasta termasuk sekolah-sekolah yang berlabel Islam. Dalam pengertian yang ideal sekolah unggul adalah sekolah yang berfokus pada kualitas proses pembelajaran, bukan pada kualitas input siswanya. Kualitas proses pembelajaran bergantung pada sistem pembelajarannya. Namun faktanya sekolah unggulan biasanya ditandai dengan biaya yang mahal, fasilitas yang lengkap dan serba mewah, elit, lain daripada yang lain, serta tenaga-tenaga pengajar yang profesional9 Tujuan pendidikan merupakan hasil akhir yang diharapkan oleh suatu tindakan mendidik. Mendidik merupakan tindakan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Sedangkan tujuan di dalam pendidikan merupakan suatu hal yang sangat urgen, sebab pendidikan tanpa sebuah tujuan bukanlah dikatakan sebagai pendidikan.10 Sebuah riset mengatakan bahwa siswa akan memperoleh banyak keuntungan secara akademik dan sosial dengan adanya full day. Lamanya waktu belajar juga merupakansalah satu dari dimensi pengalamananak. Full day school selain bertujuan mengembangkan mutu pendidikan yang paling utama adalah full day school
bertujuan sebagai salah satu upaya pembentukan akidah dan akhlak siswa dan menanamkan nilai-nilai positif. 11 Full day school merupakan suatu sistem pembelajaran yang dilaksanakan secara penuh, dimana aktifitas anak banyak dilakukan di sekolah daripada di rumah. Konsep dasar dari full day school adalah integrated curiculum dan integrated activity yang merupakan bentuk pembelajaran yang diharapkan dapat membentuk seorang anak (siswa) yang berintelektual tinggi yang dapat memadukan aspek ketrampilan dan pengetahuan dengan sikap yang baik. 12 Dasar pendidikan dari penerapan full day school sama dengan dasar pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah usaha untuk membimbing ke arah pertumbuhan kepribadian peserta didik secara sistematis dan pragmatis supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat 13 Melihat fenomena empirik yang terjadi di masyarakat, terutama terkait dengan pengaruh negatif yang disebabkan lingkungan, maka dirasa perlu untuk melakukan pengontrolan waktu luang anak. Secara utuh dapat dilihat bahwa pelaksanaan sistem full day school mengarah pada beberapa tujuan, antara lain: a. Orangtua tidak akan merasa khawatir anaknya terkena pengaruh negatif lingkungan, karena anaknya akan seharian penuh berada di sekolah yang
8
11
Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2009), hlm. 9 9 Agus Eko Sujianto, Op Cit, hlm. 204 10 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1992), h. 32.
Schudin, Pengaruh Pelaksanaan Pembelajaran Full Day School Terhadap Akhlak Siswa (Surabaya: Perpustakaan IAIN Sunan Gunung Djati, 2005), hlm.16 12 Suharsimi Arikunto, Op cit, hlm.4 13 Achmad Patoni, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bina Ilmu, 2004), hlm. 15
622
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
artinya sebagian waktunya dimanfaatkan untuk belajar b. Untuk memberikan pengayaan dan pendalaman materi sekolah c. Memberikan pembiasaan-pembiasaan hidup yang baik d. Melakukan pembinaan mental dan spiritual anak Konsep pengembangan dan inovasi sistem pembelajaran full day school adalah untuk mengembangkan kreatifitas yang mencakup integrasi dari kondisi tiga ranah yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Sistem pembelajaran full day school merupakan pengemasan dalam hal metode belajar yang berorientasi pada kualitas pendidikan berlangsung selama sehari penuh dengan menggunakan integrated activity yang menyenangkan dalam pembelajaran 14 Model atau metode pembelajaran yang bervariasi akan menambah kesan dan warna suasana pembelajaran yang berbeda-beda. Semakin bervariasi suatu metode pembelajaran,akan semakin dinamis 15 proses pembelajaran tersebut Pengajaran yang dilakukan dengan kegembiraan akan memperlambat kelelahan, baik dari pihak guru maupun dari pihak siswa. Pada segi lain pengajaran yang diisi dengan kegembiaraan dapat membantu pemusatan perhatian 16 Sistem full day school mempunyai sisi keunggulan, antara lain: 1. Sistem full day school lebih memungkinkan terwujudnya
pendidikan secara utuh. Benyamin S Bloom menyatakan bahwa sasaran obeyektifitas pendidikan meliputi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Karena memalui sistem full day school tendensi ke arah penguatan pada sisi kognitif saja dapat lebih dihindarkan, dalam arti aspek afektif siswa dapat lebih diarahkan demikian juga dengan aspek psikomotorik. 2. Sistem full day school lebih memungkinkan terwujudnya intensifikasi dan efektivitas proses edukasi. Full day school dengan menggunakan waktu lebih panjang sangat memungkinkan bagi terwujudnya intensifikasi proses pendidikan dalam arti siswa lebih mudah diarahkan dan dibentuk sesuai dengan misi dan aorientasi pendidikan, sebab aktivitas siswa lebih mudah terpantau 3. Sistem full day school merupakan sistem pendidikan yang terbukti efektif dalam mengaplikasikan kemampuan siswa dalam segala hal. 17 Jadi pelaksanaan full day school adalah memberikan dasar yang kuat terhadap siswa dan untuk mengembangkan minat dan bakat serta meningkatkan kecerdasan siswa dalam segala aspek. Hanya saja dalam aplikasinya perlu didukung oleh berbagai aspek seperti halnya sarana dan prasaran pendidikan, pendidik (guru sekolah) dan kurikulum. Dengan demikian sekolah yang disyaratkan memenuhi kriteria full day school dapat secara efektif, yang mampu mengelola dan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki.
14
Romli, Moch, ,Manajemen Pembelajaran di Sekolah Dasar Full Day School, (Disertasi UM Malang,2004),hlm.18 15 Mujamil Qomar, Kesadaran Pendidikan: Sebuah Penentu Keberhasilan Pendidikan. (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2012),hlm.75 16 Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Yogyakarta: Teras,2009), hlm.30
17
Nor Hasan, Full Day School (Model Alternatif Pembelajaran PAI). (Jurnal Pendidikan Tadris. Vol.1 No.1, 2006). hlm.114-115
623
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
C. Full day school berbasis Pendidikan Karakter Secaraharfiah,istilahkarakterbera saldaribahasa Inggris‘character’yangberartiwatak,karakter ,atausifat.DalamKamusBahasaIndonesia,wata k diartikan sebagaisifatbatinmanusiayangmempengaru hi segenap pikirandanperbuatannya, atau berartitabiat, dan budipekerti. Karakter adalah tabiat,sifatsifatkejiwaan,akhlak,ataubudipekertiyang membedakanseseorangdenganyanglain.De ngandemikian,istilah pendidikan karakter merupakan upaya mempengaruhi segenap pikiran dengansifatsifatbatintertentu,sehinggadapatmembentu k watak,budi pekerti, dan mempunyai kepribadian. Wynnedalam E.Mulyasamengemukakanbahwakarakter berasal daribahasaYunaniyangberarti“tomark”(me nandai)danmemfokuskanpadabagaimana menerapkannilai-nilaikebaikandalam tindakannyataatauperilakuseharihari.Oleh sebabitu,orangyangberperilakutidak jujur, curang,kejam,dan rakus dikatakansebagaiorang yang berkarakter jelek. Sebaliknya,yang berkelakuanbaik, jujur,dansukamenolong dikatakan sebagaiorang yang memilikikarakterbaikatau mulia. Dengandemikian,karaktermerup akansifatalamiseseorang dalam meresponsituasisecarabermoral,yangterw ujuddalam tindakannyata melaluiperilaku jujur,baik,bertanggung jawab, hormat terhadaporang lain, dannilainilaikaraktermulialainnya.Dalam kontekspemikiranIslam, karakterberkaitanerat denganimandanihsan.Halinisejalandengan apa yang
disampaikanolehAristoteles,bahwakarakte reratkaitannyadengan “habit” atau kebiasan yangterus-menerus dipraktikkan dan diamalkan. Prinsip pelaksanaan kegiatan full day schoolharus sejalan pula dengan prinsip pelaksanaan keseluruhan proses pendidikan, yaitu: a. Pengembangan diri, pribadi, karakter, serta kemampuan belajar anak diselenggarakan secara tepat, terarah, cepat dan berkesinambungan. b. Pendidikan dalam arti pembinaan dan pengembangan anak mencakup upaya meningkatkan sifat mampu mengembangkan diri dalam anak. c. Pemantapan tata nilai yang dihayati oleh anak sesuai sistem tata nilai hidup dalam masyarakat, dan dilaksanakan dari bawah dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat. d. Pendidikan anak adalah usaha sadar, usaha yang menyeluruh, terarah, terpadu, dan dilaksanakan secara bersama dan saling menguatkan oleh semua pihak yang terpanggil. e. Pendidikan anak adalah suatu upaya yang berdasarkan kesepakatan sosial seluruh lapisan dan golongan masyarakat. f. Anak mempunyai kedudukan sentral dalam pembangunan, di mana PAUD memiliki makna strategis dalam investasi pembangunan sumber daya manusia. g. Orang tua dengan keteladanan adalah pelaku utama dan pertama komunikasi dalam keluarga h. Program Pendidikan harus melingkupi inisiatif berbasis orang tua, berbasis masyarakat, dan institusi formal 18 prasekolah.
18
Damanhuri Rosadi, "Pendidikan Anak Usia Dini dalam Kerangka Otonomi Daerah", dalam
624
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tujuan pendidikan adalah meletakkan landasan karakter yang kuat melalui internalisasi nilai dalam pendidikan, menumbuhkan kecerdasan emosional, dan spiritual yang mewaranai hidupnya, kesempatan berpartisipasi aktif, kebiasaan untuk memanfaatkan dan mengisi waktu luang dengan aktivitas belajar.
c. Memahami secara sederhana kandungan amaliyah sehari-hari
isi
Dalam rangka memaksimalkan waktu luang anak-anak agar lebih berguna, maka diterapkanlah sistem full day school dengan tujuan pembentukan akhlak dan akidah dalam menanamkan nilai-nilai yang positif, serta memberikan dasar yang kuat dalam belajar di segala aspek. Agar semua dapat terakomodir, kurikulum dalam sistem pembelajaran full day school didesain untuk menjangkau masing-masing begian dari perkembangan siswa 19
D. Implementasi Full Day School dalam tinjauan Psikologi Pendidikan Sistem full day school banyak diterapkan di sekolah yang berbasis agama, yang memiliki keunggulan tersendiri, diantaranya adalah: a. Anak mendapat pengetahuan umum antisipasi terhadap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, b. Anak memperoleh pendidikan agama secara layak dan proporsional c. Anak mendapatkan pendidikan kepribadian yang bersifat antisipatif terhadap perkembangan sosial budaya yang ditandai dengan derasnya arus informasi dan globalisasi yang membutuhkan nilai saring, d. Potensi anak tersalurkan melalui kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler e. Perkembangan minat, bakat, dan kecerdasan anak terpantau dari sejak dini melalui program bimbingan dan konseling Sementara itu, garis-garis besar program full day school adalah sebagai berikut: Penguasaaan pengetahuan dan ketrampilan a. Pengetahuan materi-materi pokok program pendidikan b. Mengetahui dan terampil dalam beribadah sehari-hari
E. Penutup Mempersiapkan anak hidup pada masanya adalah kewajiban semua pihak, termasuk di dalamnya orang tua, sekolah, guru, masyarakat dan pemerintah. Faktor yang sangat menentukan mempersiapkan generasi mendatang adalah lingkungan dan pendidikan dimana anak tumbuh dan berkembang. Oleh karenanya harus dipersiapkan pola pendidikan yang dapat mengembangkan fitrah manusia serta lingkungan yang mendukung upaya pencapaian tersebut. Karakterisitik yang mendasar dalam sistem pendidikan full day school adalah proses integrasi aktivitas (integrated activity) dan integrasi kurikulum (integrated curiculum) dalam pelaksanaannya,dengan metode pengajaran yang menarik minat, kreatif, dan inovatif disertai pengayaan.Siswa dihadapkan pada aktifitas-aktifitas belajar yang menguntungkanselama sehari penuh, sehingga siswa tidak ada waktu luang untuk melakukan aktifitas-aktifitas yang sifatnya negatif dan tidak menguntungkan.
19
Bulletin PAUD, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depdiknas, Jakarta,2002, h. 51-52.
625
Schudin, Op cit, hlm.18
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Daftar Pustaka Baharuddin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2009 Jhon Echlos, KamusInggris Indonesia, Jakarta:Gramedia, Cet. XXIII,1996 1http://news.detik.com/berita/3278860/m endikbud-full-day-schooldongkrak-pendidikan-kita-yangmasih-rendah,di akses 28 september 2016 Marfiah Astuti, Implementasi Full Day School Sebagai Usaha Mendorong Perkembangan Sosial Peserta Didik TK Unggulan Al-Ya’lu Kota Malang. (Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan,Vo.1 No.2, Juli 2013 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Terpadu, Bandung: Rosdakarya, 2004
Qomar, Kesadaran Pendidikan: Sebuah Penentu Keberhasilan Pendidikan. Jogjakarta: Ar Ruzz, 2012 Romli, Moch, ,Manajemen Pembelajaran di Sekolah Dasar Full Day School, Disertasi UM Malang,2004 Sekolah Kehidupan Berbasis Realitas (Kritik Atas Gagasan Program “Full Day School”)http://researchingines.com/lidusyardi.ht ml.diakses 3 Oktober 2016 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Bandung: PT.Rineka Cipta, 1993. Sukur Basuki, Harus Proporsional sesuai Jenis dan Jenjang Sekolah, (http: // www.strkN1 lmj.sch.id/?diakses 4 oktober 2016 Mujamil
626
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SEJARAH PADA SISWA KELAS X DI SMA NEGERI 2 PURWOREJO TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Sri Rejeki 1, Sunarti 2 ABSTRACT This research was conducted to find out the influence ofJigsaw learning model’s and study motivation both individually or togetherness toward History learning outcomes of students class X in State Senior High School 2 Purworejo academic year 2015 / 2016. This research eksperimental pretest-posttest design with Control Group Design. The population of this study were student of class X State. Senior High School 2 Purworejo academic year 2015 / 2016 as many as four classes. The research sampel is a class experiment and a class control.The experiment class were learning by teaching Jigsaw, while the control class learning with lectures. The collecting data in this research are done by test and questionnaire and data analysis by ANAVA AB. Factoral 2 x 2, with significance level of 5 %. The analysis shows that : (1) there is a difference between the applying of giving Jigsaw learning model with conventional model to History learning outcomes of student class X in State Senior High School 2 Purworejo academic year 2015 / 2016, Fo = 20,770 with p = 0,000 (2) there is a difference between high study motivation and low study motivation to History learning outcomes of students class X in Senior State High School 2 Purworejo academic year 2015 / 2016,Fo = 14,642 with p = 0,000 3) there is no interaction effect between Jigsawlearning model and study motivation in increasing the History learning outcomes, Fo = 0,277 with p = 0,600. Keyword : Jigsaw Learning Model, Study Motivation, History Learning Outcomes
1
Sri Rejeki Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pendidikan IPS Universitas PGRI Yogyakarta 2016 Sunarti Dosen Pembimbing Tesis Universitas PGRI Yogyakarta 2016
2
627
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan kebutuhan dan hak bagi setiap individu.Melalui pendidikan manusia dapat memuaskan rasa keingintahuannya, memperluas wawasan serta mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi dirinya. Bahkan pendidikan menjadi ujung tombak dalam proses kemajuan bangsa. Keberadaan suatu bangsa sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, diantaranya melalui perbaikan kurikulum. Pada tahun 2013 pemerintah mensosialisasikan kurikulum baru 2013 sebagai pengganti kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ) 2006. Kurikulum 2013 baru dilaksanakan secara terbatas di sekolah yang ditunjuk. Setelah melalui proses evaluasi dan penyempurnaan direncanakan kurikulum 2013 akan diberlakukan serempak secara nasional pada tahun 2019. Usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional belum memperoleh hasil yang memuaskan, terbukti pada tahun 2014 peringkat Human Development Index (HDI) masih rendah yaitu peringkat 108 dari 188 negara ( hdr.undp.org, 2015:2 ). Komponen masyarakat menaruh harapan besar terhadap kebangkitan kualitas pendidikan. Perbaikan kurikulum diharapkan mampu meningkatkan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan dan ketrampilan ( Kemendikbud, 2014:12 ). Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar bagi siswa yang melibatkan proses fisik dan mental melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, peserta didik dengan lingkungan dan sumber
belajar lainnya untuk mencapai ketuntasan belajar. Berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di SMA Negeri 2 Purworejo, telah ditetapkan KKM untuk mata pelajaran Sejarah kelas X tahun pelajaran 2015 / 2016 adalah sebesar 75. Penetapan KKM tersebut dapat digunakan sebagai tolok ukur pencapaian kompetensi siswa.Permasalahan yang muncul di sekolah tersebut adalah belum maksimalnya hasil belajar dan kompetensi belajar yang dicapai siswa. Pada setiap mata pelajaran termasuk pada mata pelajaran Sejarah, siswa diharapkan bukan hanya sekedar mengakumulasi pengetahuan saja, namun juga diharapkan dapat menumbuhkan minat dan kemampuan untuk mencapai kompetensi.Kompetensi merupakan suatu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang telah dimiliki dan menjadi bagian dari individu sehingga mewarnai perilaku kognitif, afektif dan psikomotornya. Berkaitan dengan proses dan kemampuan pencapaian kompetensi pada mata pelajaran Sejarah, seringkali guru kurang menggunakan model pembelajaran yang bervariasi. Model pembelajaran yang diterapkan cenderung berpusat pada guru bukan pada peserta didik.Sebagian besar guru masih menggunakan model pembelajaran tradisional / ceramah.Siswa kurang mampu mengembangkan konsep dasar pembelajaran.Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi pelajaran yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahami, sehingga ketika siswa diberi soal/ diuji tidak mampu menyelesaikan dengan baik. Berdasarkan pengalaman peneliti sebagai guru Sejarah, selama pembelajaran 628
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
berlangsung siswa jarang mengajukan pertanyaan maupun menanggapi penjelasan atau pertanyaan yang diajukan guru.Siswa bersikap pasif.Hal ini menunjukkan bahwa motivasi belajar siswa terhadap pelajaran Sejarah sebagian masih rendah. Peneliti berusaha untuk mengetahui penyebab masalah tersebut dengan melakukan wawancara terstruktur.Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa diketahui beberapa penyebab mengapa siswa memiliki motivasi dan hasil belajar yang rendah.Pertama, model pembelajaran yang diterapkan guru cenderung berupa model ceramah yang kurang melibatkan siswa sehingga kurang mampu membangkitkan motivasi belajar siswa. Kedua materi pelajaran Sejarah secara umum banyak memuat fakta-fakta peristiwa masa lalu yang rumit dan siswa kurang memahami kebermaknaannya pada konteks kekinian, sehingga siswa hanya sekedar menghafalkannya saja. Hal ini justru membuat siswa menjadi malas mempelajari dan motivasi belajar siswa cenderung menjadi turun.Siswa menganggap Sejarah sebagai pelajaran yang sulit dan membosankan.Ketigaminat siswa yang masih rendah dalam mencari dan mengkaji sumber-sumber literatur sehingga kompetensi kognitifnya kurang berkembang. Berdasarkan beberapa penyebab tersebut, maka proses pencapaian tujuan pembelajaran hasilnya kurang maksimal. Siswa kelas X cenderung pasif dan bersikap individual. Menyadari kenyataan tersebut maka peneliti melakukan kajian pustaka terhadap beberapa model pembelajaran yang bersifat kooperatif untuk perbaikan pembelajaran.Peneliti
memutuskan untuk menerapkan model pembelajaran Jigsaw. Pada pembelajaran model Jigsaw siswa dituntut untuk terlibat aktif dan guru sebagai fasilitator memberikan arahan dan motivasi. Siswa mengalami hal menarik dalam proses pembelajaran sehingga diharapkan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa. Siswa diharapkan juga mampu memecahkan permasalahan-permasalahan dalam Sejarah yang membutuhkan penalaran ( logika ). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran tersebut dalam meningkatkan hasil belajar siswa.Peneliti ingin menguji efektivitas model pembelajaran Jigsaw terhadap hasil belajar Sejarah. Peneliti juga ingin mengetahui efektivitas model pembelajaran Jigsaw berdasarkan perbedaan motivasi belajar. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Purworejo.Pelaksanaan penelitian dilakukan bulan Juli-September 2015. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang terdiri dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompokkontrol . Kelas eksperimen akan mendapat perlakuan yaitu pembelajaran Sejarah dengan menggunakan model Jigsaw, sedangkan pada kelas kontrol proses pembelajaran menggunakan model ceramah.Jenis desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest-Posttest Control Group Design (Nana Syaodih, 2008: 205). Tujuan rancangan penelitian adalah penggunaan model yang tepat untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian dan yang diteliti. Berdasarkan pokok 629
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
permasalahan yang akan diteliti, penelitian Jenis desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pretest-Posttest Control Group Design (Nana Syaodih, 2008: 205). Penelitian ini menggunakan rancangan faktorial 2 X 2 untuk mengetahui pengaruh dua variabel bebasterhadapvariabel terikat. Populasi untuk penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 2 Purworejo kelas X tahun ajaran 2015 / 2016 berjumlah 128 yang terbagi ke dalam empat kelas. Peneliti mengambil 128 sampel siswa dengan tingkat kesalahan 5 %.Sampel diambil secara cluster random sampling, yaitu dengan cara menentukan kelas eksperimen (KE) dan kelas kontrol (KK)dari empat kelas yang menjadi anggota populasi penelitian. Untuk menentukan KE dan KK dilakukan dengan teknik random. Variabel bebas penelitian ini adalah model pembelajaran Jigsaw dan motivasi belajar siswa. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar mata pelajaran Sejarah. Teknik pengumpulan data berupa tes dan angket.Tes obyektif hasil belajar berjumlah 25 soal dan angket motivasi belajar siswa berjumlah 20 soal telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis data menggunakan metode statistik, yaitu Analisis Varian Dua Jalur ( ANAVA ).
Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Belajar Sejarah Perlakuan Kelas Skor Terendah = 40 Tertinggi Kontrol = 68 Mean = 54,37 Pre tes Terendah = 28 Tertinggi Eksperimen = 72 Mean = 55 Terendah = 64 Tertinggi Kontrol = 92 Mean = 76,62 Pos tes Terendah = 72 Tertinggi Eksperimen = 100 Mean = 83,62 Sumber : data diolah (2015) Berdasarkan tabel di atas nilai rata-rata prestasi belajar Sejarah sebelum diberikan model pembelajaran pada kelas kontrol ( 54,37 ) sedikit lebih rendah dibandingkan kelas eksperimen ( 55 ). Setelah diberikan model pembelajaran ceramah dan Jigsaw, nilai rata-rata hasil belajar Sejarah kelas eksperimen menjadi ( 83,62 ) lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol ( 76,62 ). 2. Data Hasil Analisis Variansi Dua Jalan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Hasil Penelitian 1. Rekapitulasi Hasil Belajar Sejarah Hasil belajar Sejarah dapat dapat dilihat pada tabel berikut.
630
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1 N Normal Mea Parame n tersª Std. Dev iati on Most Abs Extrem olut e e Differe Posi nces tive Neg ativ e KolmogorovSmirnov Z Asymp. Sig. (2tailed) a. Test distribution is Normal
Tabel 2. Rangkuman Data Hasil Analisis Varians Dua Jalan Model (X1) Jigsaw
Konvensional
Total
Motivasi (X2) Tinggi (B1)
Tendah (B2)
n= 17 ¯X = 85,88 n= 15 ¯X = 81,06
n= 15 ¯X = 80,00 n= 17 ¯X = 73,64
n= 32 ¯X = 82,94 n= 32 ¯X = 77,35
n= 32 n= 32 Total ¯X ¯X = = 83,47 76,82 Sumber : data yang diolah (2015) Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil belajar Sejarah siswa yang mempunyai motivasi tinggi dan menggunakan model Jigsaw akan menghasilkan hasil belajar yang paling tinggi yaitu sebesar 85,88. Hasil belajar terendah yaitu sebesar 73,64 dicapai oleh siswa yang mempunyai motivasi rendah dengan menggunakan model konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi belajar siswa dan menggunakan model pembelajaran yang tepat akan memperoleh hasil belajar yang tinggi. 3. Pengujian Persyaratan Analisis a. Uji Normalitas Hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
64
64
64
80.1250
74.468 8
54.6875
9.48328
7.2670 2
6.30437
.123
.147
.065
.085
.147
.059
-.123
-.087
-.065
.983
1.180
.518
.289
.124
.952
Sumber : data yang diolah (2015) Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai signifikansi dari pre tes, hasil belajar ( pos tes ) dan motivasi berturut-turut 0,289; 0,124 dan 0,952. Karena nilai signifikansinya lebih dari 0,05, maka skor hasil pengukuran pretes, hasil belajar dan motivasi belajar siswa berdistribusi normal. b. Uji Homogenitas Uji homogenitas variansi yang digunakan adalah dengan menggunakan uji F.Dari hasil uji homogenitas variansi diperoleh F hitung = 0,344 dengan p = 0,793. Jadi karena p > 0,05 menunjukkan bahwa variansi homogen.Perhitungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 4 Hasil Uji Homogenitas.
Tabel 3. Hasil Analisis Uji Normalitas PRETE S
HASI L BELAJ AR
MOTIV ASI BELAJA R
Sumber : Data diolah (2015) 631
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
4. Pengujian Hipotesis Rekapitulasi hasil pengujian hipotesis tampak sebagai berikut:
statistik deskriptif terlihat bahwa hasil belajar sejarah yang menggunakan model pembelajaran Jigsaw(mean = 83,47) lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil belajar sejarah yang menggunakan model pembelajaran konvensional (mean = 76,82). b. Pengujian Hipotesis Kedua Hipotesis kedua dalam penelitian ini berbunyi “Terdapat perbedaan pengaruh yang positif hasil belajar siswa yang bermotivasi belajar tinggi dan rendah”.Hasil perhitungan uji anava diperoleh F hitung = 14,642 dengan p = 0,00 pada taraf signikansi 5%, jadi karena p < 0,05 menunjukkan hipotesis yang menyatakan ada pengaruh positif yang signifikan motivasi belajar terhadap hasil belajar sejarah, terbukti kebenarannya. Berdasarkan hasil perhitungan statistik deskriptif terlihat bahwa hasil belajar sejarah siswa yang memiliki motivasi tinggi ( mean = 82,94 ) lebih baik bila dibandingkan dengan hasil belajar sejarah siswa. yang memiliki motivasi rendah ( mean = 77,35 ). c. Pengujian Hipotesis Ketiga Hipotesis ketiga dalam penelitian ini berbunyi “Terdapat perbedaan pengaruh yang positif hasil belajar siswa yang bermotivasi tinggi dan rendah dengan menggunakan model pembelajaran Jigsaw dengan yang menggunakan model ceramah”.Hasil perhitungan uji anava diperoleh F hitung = 0,277 dengan p = 0,600 pada taraf
Tabel 5. Hasil Uji ANOVA Variabel F p Keteran hitu gan ng terhada p Hasil Belajar 1. Model 20,7 0,0 Signifik Jigsaw 70 01 an (A) 2. Motiva si 14,6 0,0 Signifik Belajar 42 00 an (B) 3. Interak si model Tidak 0,27 0,6 Jigsaw Signifik 7 00 dengan an Motiva si Belajar Sumber : data primer yang diolah (2015) a.
Pengujian Hipotesis Pertama Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah “Terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran Jigsaw dengan model ceramah”.Hasil perhitungan uji anova diperoleh F hitung = 20,770 dengan p = 0,000 pada taraf signikansi 5%, jadi karena p < 0,05 menunjukkan hipotesis yang menyatakan ada pengaruh positif yang signifikan penggunaan model pembelajaran Jigsaw dalam meningkatkan hasil belajar sejarah, terbukti kebenarannya. Berdasarkan hasil perhitungan 632
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
signikansi 5% dengan p > 0,05 menunjukkan hipotesis yang menyatakan ada pengaruh positif yang signifikan penerapan model pembelajaran Jigsaw dan motivasi belajar terhadap hasil belajar sejarah, tidak terbukti kebenarannya.
pada model pembelajaran Jigsaw siswa tidak terlalu tergantung pada guru sehingga dapat menambah kepercayaan diri, kemampuan berpikir, menentukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa lain. Selain itu model pembelajaran kooperatif juga dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.
Pembahasan Uji Anova Model Pembelajaran Berdasarkan hasil uji Anova menunjukkan nilai F hitung = 20,770 dengan p = 0,000 pada taraf signifikansi 5 %, karena p < 0,05 maka HoA ditolak . Dengan demikian ada perbedaan hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran Jigsaw dengan model ceramah. Siswa yang diberi model pembelajaran Jigsaw memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang diberi metode ceramah. Hal ini dapat diketahui dari rerata hasil belajar siswa kelas X di SMA Negeri 2 Purworejo tahun pelajaran 2015/2016 yang diberi pembelajaran model Jigsaw83,47 lebih besar dari rerata hasil belajar yang menerapkan model ceramah yaitu 29,54. Temuan ini semakin diperkuat dengan penelitian Siti Haryati (2013) yang mengungkapkan bahwaprestasi belajar dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran yang tepat dan peningkatan motivasi berprestasi siswa. Hasil penelitian tersebut juga sejalan dengan teori Aronson (2015) bahwa Jigsaw merupakan suatu teknik pembelajaran kooperatif yang dapat menghilangkan konflik rasial diantara siswa, mengenalkan pembelajaran yang lebih baik, mengembangkan motivasi siswa dan meningkatkan kesenangan dalam belajar. Penggunaan model pembelajaran Jigsaw dapat efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa karena
Uji Anova Motivasi Belajar Berdasarkan hasil perhitungan uji Anova didapatkan nilai F hitung = 14,642 dengan p = 0,000. p<0,05 sehingga HoB ditolak. Dengan demikian ada perbedaan hasil belajar antara siswa yang mempunyai motivasi tinggi dan motivasi rendah siswa kelas X di SMA Negeri 2 Purworejo tahun pelajaran 2015 / 2016. Siswa yang mempunyai motivasi tinggi memberikan hasil belajar yang lebih baik daripada siswa yang mempunyai motivasi rendah. Temuan ini diperkuat oleh Afiffudin (2009) yang menyatakan bahwa pengelompokan siswa yang didasarkan motivasi berprestasi tinggi dan rendah cukup efektif untuk melihat pengaruh suatu model pembelajaran tertentu. Hal ini dikarenakan pada siswa dengan motivasi berprestasi tinggi mempunyai dorongan yang berhubungan prestasi, yaitu menguasai, mengorganisir lingkungan sosial maupun fisik, mengatasi rintanganrintangan dan memelihara kualitas belajar yang tinggi, bersaing dengan ukuran keunggulan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan pendapat Purwanto (2002) bahwa motivasi dapat menggerakkan keinginan dan kemampuan individu untuk melakukan sesuatu sehingga berhasil mencapai tujuan tertentu. Motivasi dalam belajar merupakan faktor penting karena mendorong kondisi siswa untuk 633
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
melakukan kegiatan belajar yang akan mempengaruhi prestasi belajarnya. Siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi akan lebih baik hasil belajarnya daripada siswa yang bermotivasi belajar rendah.
1. Terdapat perbedaan pengaruh antara penerapan model pembelajaran Jigsaw dengan model konvensional terhadap hasil belajar Sejarah siswa kelas X SMA Negeri 2 Purworejo Tahun Pelajaran 2015 / 2016. Hasil belajar Sejarah siswa dengan menggunakan model Jigsaw (83,47) lebih baik dibandingkan menggunakan model konvensional (76,82). 2. Terdapat perbedaan pengaruh antara motivasi belajar tinggi dengan motivasi belajar rendah terhadap hasil belajar belajar Sejarah kelas X SMA Negeri 2 Purworejo Tahun 2015/2016. Hasil belajar Sejarah siswa yang mempunyai motivasi tinggi ( 82,94 ) lebih baik bila dibandingkan dengan yang bermotivasi rendah ( 77,35 ). Hal ini membuktikan bahwa siswa yang bermotivasi belajar tinggi dan bermotivasi belajar rendah hasil belajarnya berbeda. Kondisi ini dapat sebagai bukti empirik bahwa pengelompokan siswa yang didasarkan motivasi belajar tinggi dan rendah cukup efektif untuk melihat pengaruh suatu model pembelajaran tertentu. 3. Tidak terdapat interaksi pengaruh antara penerapan model pembelajaran dan motivasi belajar terhadap hasil belajar Sejarah siswa kelas X SMA Negeri 2 Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. Hal ini karena kurangnya control terhadap unsur-unsur lain yang dapat mempengaruhi motivasi belajar dan hasil belajar siswa seperti unsur kondisi lingkungan, kemampuan fisik dan faktor psikologis siswa sehingga variabel-
Uji Anova Interaksi Model Pembelajaran Dan Motivasi Berdasarkan hasil perhitungan uji Anova didapatkan nilai F hitung = 0,277 dengan p = 0,600. P>0,05 sehingga HoAB diterima. Dengan demikian tidak terdapat pengaruh bersama (joint effect)antara penggunaan model pembelajaran Jigsaw dan motivasi terhadap hasil belajarsejarah. Nilai adjusted R Squared 0,357 adalah pengaruh penggunaan model pembelajaran Jigsaw , motivasi, dan interaksi. Pengaruh penggunaan model pembelajaran Jigsaw dan motivasi terhadap hasil belajar hanya sebesar 35,7%, dan sisanya64,3% dipengaruhiaspek lain di luar penelitian ini. Pengaruh lain diantaranya adalah tingkat kecerdasan siswa, kemampuan bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan baru mengingat subjek penelitiannya adalah siswa baru ( kelas X ). Siswa kelas X umumnya masih malu dan pasif ketika berdiskusi dengan teman-temannya. Guru juga mengalami kesulitan dalam membentuk kelompok heterogen mengingat responden merupakan siswa baru yang belum diketahui seberapa tingkat kompetensinya. Keterbatasan jumlah jam belajar ( 45 menit per minggu ) juga menjadi kendala dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran kooperatif. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :
634
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
variabel tersebut akan dapat mempengaruhi hasil penelitian.
perhatian dan mempermudah memahami materi pelajaran.
Implikasi
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka diajukan saran-saran sebagai berikut : 1. Bagi siswa agar lebih meningkatkan motivasi belajar dengan lebih giat belajar. Model pembelajaranJigsaw berdampak positif untuk perubahan konsep diri sehingga siswa harus selalu belajar, berani mengemukakan gagasangagasannya dan bekerja sama dengan siswa lain. 2. Bagi guru dapat mengoptimalkan penerapan model pembelajaran Jigsaw, meminimalkan waktu, menguasai materi dan media pembelajaran untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Guru perlu mengembangkan kemampuan dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan psikologi siswa, menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran, pengembangan pemecahan masalah dan ketrampilan berpikir tingkat tinggi, ketrampilan memecahkan masalah dan menerapkan penilaian autentik. Diharapkan juga guru tidak hanya sekedar dapat mentransfer pengetahuan namun juga dapat memberikan transfer nilai-nilai pada siswa. Guru harus memperhatikan motivasi belajar siswa, karena motivasi belajar yang tinggi terbukti lebih baik dalam mencapai hasil belajar.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan maka implikasi yang relevan adalah : 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model Jigsaw lebih mampu meningkatkan hasil belajar bila dibandingkan dengan menggunakan model konvensional. Model pembelajaran ini perlu dipertahankan serta ditingkatkan dalam pembelajaran Sejarah sehingga dapat membantu siswa yang mengalami kesulitan bertukar gagasan dan bersosialisasi dengan siswa lain serta memahami konsepkonsep Sejarah. 2. Motivasi belajar yang tinggi akan memberikan hasil belajar yang tinggi pula, sehingga motivasi belajar siswa harus terus ditingkatkan.Ada beberapa hal yang dilakukan guru dalam rangka meningkatkan motivasi belajar, antara lain : a. Menumbuhkan motivasi internal diiringi dengan pemberian penguatan ( reinforcement ). b. Pengorganisasian bahan ajar yang baik dan penerapan model pembelajaran yang variatif dan menarik. c. Pengkondisian suasana belajar yang nyaman sehingga mampu menumbuhkan partisipasi aktif seluruh siswa. d. Penggunaan media pembelajaran untuk menarik
DAFTAR PUSTAKA Afifuddin, Nur.2008. Perbedaan Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dan Group
635
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Investigation (GI) Terhadap Prestasi Belajar Biologi Ditinjau dari Motivasi Berprestasi Siswa.Tesis tidak diterbitkan , Universitas Sebelas Maret,Surakarta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Aronson. 2015. The Jigsaw Classroom. Dari http//www.jigsaw.org, diakses 2 September 2015 Hartono. 2011. Statistik untuk Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Haryati, Siti. 2013. Efektifitas metode Cooperative Learning Teknik Jigsaw Dibandingkan dengan Metode Konvensional Pembelajaran PKn Pada Siswa Kelas VII di SMP PGRI Sempor Kabupaten Kebumen Tahun Pelajaran
2012/2013. Tesis tidak diterbitkan , Universitas PGRI, Yogyakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Buku Guru: Sejarah Indonesia Kelas X SMA/SMK/MAK. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Purwanto, Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya Sudjana,Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Rosda Karya Syaodih, Nana.S. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. ___________ 2015. Human Developments Index 2014. Dari http//www.hdr.org. Diakses pada 3 Mei 2015.
636
PERAN GURU DALAM PENANAMAN SIKAP BELA NEGARA PADA SISWA SD NEGERI ROWOPANJANG, BRUNO, PURWOREJO TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Dede Awan Aprianto, John Sabari ABSTRACT This study aims to: 1) describe the role of teachers in the planting of defending the country on student attitudes; 2) know the efforts that teachers do in planting the attitude of defending the country; 3) know the efforts that teachers do to overcome the obstacles that arise in the planting of defending the country on student attitudes Primary School Rowopanjang academic year 2015/2016. This research is a qualitative descriptive study. The data sources are all teachers teaching in primary schools Rowopanjang. Data collection techniques are participatory observation, semi-structured interviews, and documentation. Results of the study revealed that in the planting of defending the country on student attitudes: 1) the role of teachers as role models / examples, mentors, and motivator; 2) the efforts of the teachers is through the flag ceremony, learning activities, and extracurricular; 3) the efforts made to overcome the constraints of teachers is through habituation in school and communication with parents / guardians of students. Keywords: the role of teachers, planting attitude, to defend the state
PENDAHULUAN Di era kecanggihan informasi saat ini, peneliti melihat bahwa siswa sekolah belum mampu menyaring informasi mana yang baik bagi dirinya dan informasi mana yang dapat merusak pola berpikirnya. Begitu juga dalam hal wawasan kebangsaan yang merupakan jati diri akan dirinya, bangsa dan negaranya. Menurut peneliti, karakter cinta tanah air dan semangat kebangsaan perlu ditanamkan sejak dini untuk membentengi diri dari paham-paham atau ideologi yang tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi.Jangan sampai kelak dikemudian hari generasi muda penerus bangsa tidak mengenali identitas bangsanya sendiri, dasar negara, konstitusi, dan sejarah perjuangan para pahlawan dalam berjuang menegakkan NKRI.
Salah satu upaya yang paling demokratis dalam membangun kesadaran bela negara adalah melalui pendidikan.Pendidikan pada hakikatnya adalah membentuk dan mengembangkan kepribadian.Terkait dengan bela negara, maka kepribadian atau watak bangsa perlu dibentuk dan dikembangkan, guna menumbuhkan kesadaran bela negara. Kesadaran bela negara mengembangkan nilai kenegaraan, yang diperuntukkan pada pembangunan Sistem Pertahanan Negara yang terurai menjadi lima nilai dasar negara, yaitu: 1. Cinta tanah air; 2. Kesadaran berbangsa dan bernegara; 3. Yakin Pancasila sebagai falsafah dan ideology negara; 4. Rela berkorban untuk bangsa dan negara; 5. Memiliki kemampuan awal bela negara secara fisik maupun non fisik (Afandi, 2010:19).
637
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian dalam kesadaran bela negara dalam dunia pendidikan diperlukan sosok guru. Berarti guru sebagai pendidik di lingkungan sekolah memiliki kewajiban untuk menanamkan sikap bela negara kepada siswa.Ini merupakan amanat dari undang-undang dasar negara dan undangundang negara. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara (Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Upaya bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.(Penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara). Maka, guru sebagai seorang warga negara Indonesia yang berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara, salah satu cara yang dapat guru lakukan adalah dengan penanaman sikap bela negara kepada siswa. Ini merupakan sikap dan perilaku guru yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Menururt peneliti, guru harus memiliki rasa cinta tanah air, terpatri
nasionalisme, dan memiliki semangat patriotisme.Tugas guru selain mendidik adalah juga memberikan pengertian kepada siswa bahwa diri mereka adalah menjadi warga Negara Indonesia yang memiliki kewajiban bela negara dalam hal yang sederhana. Menurut peneliti, siswa Sekolah Dasar (SD) adalah anak-anak dalam tahap usia yang tepat dalam penanaman sikap dan perilaku. Siswa dengan dibimbing guru diajarkan untuk memiliki sikap-sikap yang baik sesuai perkembangan mereka. Guru yang terlatih baik, akan mempersiapkan empat bidang kompetensi guru yang efektif dalam mencapai hasil belajar yang diharapkan. Empat bidang kompetensi itu sebagai berikut (Djiwandono, 2006:17-18): 1. Memiliki pengetahuan tentang teori belajar dan tingkah laku manusia 2.Menunjukkan sikap dalam membantu siswa belajar dan memupuk hubungan dengan manusia lain secara tulus 3.Menguasai mata pelajaran yang diajarkan 4. Mengontrol keterampilan teknik mengajar sehingga memudahkan siswa belajar. Idealnya, pilihan seseorang untuk menjadi guru adalah panggilan jiwa untuk memberikan pengabdian pada sesama manusia dengan mendidik, mengajar, membimbing dan melatih, yang diwujudkan melalui proses belajar mengajar serta pemberian bimbingan dan pengarahan kepada siswa agar mencapai kedewasaan masing-masing (Mahsunah, 2012:76). Sebagian besar orang menganggap bahwa guru adalah orang yang membantu orang lain belajar. Seorang guru mempunyai peranan: (1) Guru sebagai ahli instruksional; (2) Guru sebagai motivator; (3) Guru sebagai manajer; (4) Guru sebagai 638
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
konselor; dan (5) Guru sebagai model (Djiwandono, 2006:27-29). Bela negara sesungguhnya merupakan salah satu pembentuk jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia yang bertanggung jawab, sadar hak dan kewajiban sebagai warga negara, cinta tanah air, sehingga mampu menampilkan sikap dan perilaku patriotik dalam wujud bela negara.Jiwa patriotik demi bangsa dan negara yang tampil dalam sikap dan perilaku warga negara, yang sadar bela negara merupakan bangun kekuatan bela negara dalam system pertahanan negara (Afandi, 2010:3). Peran pendidik yang diharapkan untuk meningkatkan kesadaran bela negara antara lain bisa dilaksanakan sebagai berikut (Afandi, 2010:24): 1. Memberikan pengetahuan, pemahaman dan penerapannya yang utuh dan memadai tentang arti penting kesadaran bela negara dan membangun karakter bangsa dalam kerangka pertahanan negara bagi peserta didik sebagai anak bangsa dan/atau pemudapemudi harapan bangsa dan negara di masa depan. 2. Melaksanakan kegiatan kurikuler berdasarkan kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan yang didasari oleh prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi, dan diintegrasikan dengan nilai-nilai karakteristik serta strategi pertahanan negara 3. Meningkatkan kualitas peserta didik melalui pendidikan karakter bangsa untuk menghadapi tantangan globalisasi dan kemajuan dunia. 4. Meyelenggarakan kegiatan diskusi dan kegiatan ilmiah lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pertahanan negara agar siap menghadapi kondisi kritis
kekuatan nasional, akibat adanya pengaruh dinamika globalisasi. 5. Meningkatkan kegiatan ekstrakurikuler sebagai wahana sosiopedagogis upaya peningkatan kesadaran bela negara bagi peserta didik. 6. Pendidik harus meningkatkan pemahaman secara terus menerus dan menjadi suri tauladan dalam pengembangan dan pendidikan karakter bangsa, yang bermanfaat bagi peserta didiknya. METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2016.Data yang diambil adalah mengenai peran guru, usaha-usaha yang dilakukan, dan upaya mengatasi kendala yang muncul dalam penanaman sikap bela negara pada siswa.Sumber data penelitian ini adalah semua guru pengajar di SD Negeri Rowopanjang. Teknik pengumpulan data adalah observasi partisipatif, wawancara semiterstruktur, dan dokumentasi, dengan teknik analisis data meliputi reduksi data, data display, dan conclusion drawing/verivication. Pengujian keabsahan data menggunakan triangulasi sumber, triangulasi teknik, dan menggunakan bahan referensi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam penanaman sikap bela negara pada siswa SD Negeri Rowopanjang Tahun Pelajaran 2015/2016, peran guru yang pertama adalah sebagai teladan atau contoh bagi siswanya. Perilaku guru yang menjadi teladan siswa dalam penanaman sikap bela negara ini adalah: (1) Memakai produk dalam negeri; (2) Melestarikan budaya (unggah-ungguh dan Basa Jawa);
639
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
(3) Bangga Tanah Air Indonesia (memakai pin ABITA/ pin merah putih); (4) Disiplin waktu; (5) Interaksi baik dengan rekan sesama guru; (6) Semangat mengajar; (7) Menggunakan Bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran. Peran guru yang kedua adalah sebagai pembimbing bagi siswanya. Bimbingan yang dilakukan guru dalam penanaman sikap bela negara ini adalah: (1) Membimbing siswa dalam kegiatan upacara, seperti membimbing siswa dalam latihan untuk menjadi petugas upacara, serta bagaimana tata upacara yang baik dan benar; (2) Membimbing siswa untuk melestarikan budaya(unggah-ungguh & basa jawa), Bangga Tanah Air Indonesia (memakai tanda merah putih pada seragam tertentu), Disiplin waktu, Berhubungan baik dengan sesama teman, dan memiliki semangat dalam belajar; (3) Membimbing siswa agar hapal Pancasila (bunyi sila dan lambangnya), agar siswa tahu cara pembacaan pembukaan UUD 1945 dengan lafal dan intonansi yang tepat, serta menghormati benda kesetiaan negara (garuda pancasila, sang merah putih, potret presiden dan wakilnya); (4) Membimbing siswa agar tahu, hapal, dan mengerti akan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu nasional lainnya untuk membangkitkan cinta tanah air mereka; (5) Membimbing siswa agar mematuhi tata tertib sekolah. Peran guru yang ketiga adalah sebagai motivator atau pemberi semangat/ motivasi bagi siswanya agar memiliki sikap bela negara. Motivasi dari guru tersebut berupa: (1) Menceritakan perjuangan para pahlawan dalam berjuang dari belenggu penjajah dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Memberikan semangat untuk selalu rajin belajar dalam
mengisi kemerdekaan dan membangun bangsa dan negara. Usaha-usaha yang dilakukan guru dalam penanaman sikap bela negara pada siswa adalah melalui kegiatan upacara bendera, kegiatan pembelajaran PKn dan IPS, serta kegiatan ekstrakurikuler pramuka dan anak beriman. Dengan kegiatan upacara bendera siswa memiliki sikap cinta tanah air serta kesadaran berbangsa dan bernegara.Peneliti melihat perangkat pembelajaran dari kelas 1 sampai kelas 6 pada Mata Pelajaran PKn dan IPS memuat pembelajaran yang bertujuan untuk penanaman sikap bela negara pada siswa. Begitu juga dengan hasil wawancara dari para guru yang membenarkan hasil pengamatan peneliti. Dalam kegiatan Pramuka siswa dilatih kemandirian, sikap mencintai tanah air dan lingkungannya, sikap rela berkorban, serta kesadaran berbangsa dan bernegara.Dalam kegiatan pramuka ini juga siswa dilatih untuk memiliki kesiapan fisik dalam bela negara.Kegiatan anak beriman adalah kegiatan keagamaan yang bertujuan agar siswa memiliki perilaku sebagai anak beriman yang selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.Melalui kegiatan anak beriman ini anak dilatih untuk memiliki kesiapan Psikis dalam bela negara. Usaha-usaha yang dilakukan Guru untuk mengatasi kendala yang muncul dalam penanaman sikap bela negara pada siswa adalah melalui kegiatan pembiasaan di sekolah dan melalui komunikasi dengan orang tua/wali siswa.Kegiatan pembiasaan adalah usaha yang dilakukan untuk mengatasi kendala dari dalam diri siswa yang muncul dalam penanaman sikap bela negara. Kegiatan pembiasaan di sekolah 640
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dilakukan melalui teladan guru ataupun kebiasaan siswa untuk selalu mengikuti upacara bendera. Komunikasi dengan orang tua/ wali siswa ini dilakukanuntuk mengatasi kendala yang muncul dari luar diri siswa yaitu faktor lingkungan dan pergaulan serta pengaruh negatif media elektronik seperti tayangan televisi dan game elektronik.
menanamkan sikap bela negara pada siswa.Dalam kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler pun, guru bisa berusaha untuk menanamkan sikap bela negara pada siswa.Guru harus memiliki komunikasi dan hubungan yang baik dengan orang tua/wali siswa untuk memantau perkembangan sikap pada diri siswa. DAFTAR PUSTAKA Afandi, Brigjen TNI. Drs. (2010). Peran Pendidik Dalam Upaya Bela Negara (Perspektif Pertahanan Negara)http://a-research.upi.edu/. Retrieved April 2, 2016, from aresearch.upi.edu: http://aresearch.upi.edu/operator/upload /pdt_orasi_2010_wisuda_afandi_gu ru_bela-negara.pdf makalah wisuda UPI 15 Desember 2010 Djiwandono, Sri Esti Wuryani. (2006). Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia Hadi, Yulianto. dkk. (2014) Dinamika Penanaman Nilai-nilai Bela Negara Kadet Maguwo dalam perspektif historisJurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, Nomor 2, 2014: 210-221. Mahsunah, Dian dkk.(2012) Bahan Ajar PLPG Kebijakan Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: Kemdikbud Samani, Muchlas dkk. (2011). Pendidikan Karakter. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono, Prof. Dr. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Peran guru dalam penanaman sikap bela negara pada siswa SD Negeri Rowopanjang tahun pelajaran 2015/2016 adalah sebagai sebagai teladan/contoh, pembimbing, dan pemberi motivasi.Usahausaha yang dilakukan guru dalam penanaman sikap bela negara pada siswa adalah melalui upacara bendera, kegiatan pembelajaran, dan ekstrakurikuler. Yang dilakukan guru untuk mengatasi kendala yang muncul dalam penanaman sikap bela negara pada siswa adalah melalui pembiasaan di sekolah dan komunikasi dengan orang tua/wali siswa. Saran Guru harus memiliki sikap bela negara yang meliputi Cinta tanah air; Kesadaran berbangsa dan bernegara; Yakin akan pancasila sebagai ideologi negara; Rela berkorban untuk bangsa dan negara; dan Memiliki kemampuan awal bela negara. Ini karena guru berperan sebagai teladan/contoh bagi siswa. Selain sebagai teladan, peran guru dalam penanaman sikap bela negara pada siswa adalah berperan sebagai pembimbing dan pemberi motivasi agar siswa memiliki sikap bela negara. Guru untuk selalu mengikuti kegiatan upacara bendera. Upacara bendera adalah sebagai sarana guru untuk
641
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Widodo, Suwarno. (2011). Implementasi Bela Negara Untuk Mewujudkan Nasionalisme. Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume I, No 1, Januari 2011, 18-31
642
UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK MIND MAP PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS V SD NEGERI 1 KATERBAN KUTOARJO PURWOREJO TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Kusnoto, Sunarti Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan teknik mind map dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar IPS pada siswa kelas V SDNegeri 1 Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Tahun Pelajaran 2015/2016. Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dengan mengikuti prosedur penelitian yang dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc. Taggart.Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklusnya mencakup kegiatan perencanaan (planning), tindakan (action), pengamatan (observation), dan refleksi (reflection).Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri 1 KaterbanTahun Pelajaran 2015/2016 yang berjumlah 23 siswa.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tes, angket, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa kelas V SD Negeri 1 Katerban pada pra siklus adalah 61,30 dengan persentase ketuntasan belajar 43,48%, pada siklus I nilai rata-rata hasil belajar IPS siswa meningkat menjadi 65,65 dengan persentase ketuntasan belajar 60,87% dan pada siklus II nilai rata-rata hasil belajar IPS siswa meningkat lagi 76,96 dengan persentase ketuntasan mencapai 86,96% . Motivasi belajar siswa kelas V SD Negeri 1 Katerbanpada pra siklus yang masuk dalam kategori minimal tinggi hanya sebesar 16,10% siswa, pada siklus I siswa yang motivasi belajarnya dalam kategori minimal tinggi sebesar 56,52%, dan pada siklus II siswa yang motivasi belajarnya dalam kategori minimal tinggi sebesar 78,26%. Kata kunci: mind map, motivasi, hasil belajar PENDAHULUAN Masyarakat dunia, terutama Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah semakin melebarnya kesenjangan antara kelompok maju yang memiliki IPTEK. Bagi Indonesia, salah satu cara untuk menghadapi perkembangan teknologi adalah pembangunan di bidang pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam drama kehidupan baik dengan sesama, dunia, maupun Tuhan. Pendidikan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam mempengaruhi kemampuan, kepribadian dan kehidupan.
Pendidikan adalah upaya sadar dari suatu masyarakat dan pemerintah suatu negara untuk menjamin kelangsungan hidup dan kehidupan generasi penerusnya selaku warga masyarakat, bangsa, dan negara secara berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi diri dengan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara, dan hubungan internasionalnya. Menurut Driyakarya (Dwi Siswoyo dkk, 2007:19) dijelaskan bahwa pendidikan pemanusiaan manusia muda. Di sisi lain, Sugihartono dkk (2008: 3)
643
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar sengaja untuk mengubah tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh pendidik untuk mengubah tingkah laku peserta didik baik secara individu maupun kelompok menuju kedewasaan manusia yang dilakukan melalui pengajaran dan pelatihan. Dalam kenyataannya, di SD Negeri 1 Katerban, guru hanya mengoptimalkan kerja otak kiri saja.Salah satunya terjadi pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).Istilah IPS di sekolah dasar merupakan nama mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial kehidupan. Materi IPS untuk jenjang sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu karena lebih dipentingkan adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta karakteristik kemampuan berpikir peserta didik yang bersifat holistik Sapriya (2009:20).Dengan demikian pembelajaran IPS merupakan suatu pembelajaran yang menekankan pada kehidupan sosial dan menyangkut hubungan antar subjek dan objek. Dari observasi prasiklus di kelas V SD Negeri 1 Katerban memperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 59,56 untuk mata pelajaran IPS dengan ketuntasan belajar siswa adalah 43,47%.Dari data tersebut dapat
diketahui bahwa nilai rata-ratasiswa kelas V masih rendah karena masih di bawah KKM mata pelajaran IPS kelas V yaitu sebesar 65. Lebih lanjut, pada waktu kegiatan belajar mengajar saat siswa mendengarkan dan menyimak penjelasan dari guru sikap siswa yang dilakukan untuk mengingat materi adalah dengan mencatat materi.Siswa kelas V SD Negeri 1 Katerban dalam mencatat materi IPS yang cenderung hafalan kurang didukung oleh teknik mencatat materi yang dapat meringkas materi dengan efektif dan efisien. Guru hanya mengajarkan materi pelajaran dengan cara mencatat biasa. Teknik mencatat biasa merupakan cara mencatat yang menuntut siswa untuk berpikir linier. Tindakan guru seperti itu kurang memajukan daya ingat siswa sehingga hasil ulangan akhir semester gasal yang kurang mencapai KKM. Dalam kaitan pentingnya teknik mind map terhadap hasil belajar pada pembelajaran IPS khususnya di kelas V, maka penulis tertarik untuk meneliti “Upaya Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa dengan Menggunakan TeknikMind Map pada Mata Pelajaran IPS Kelas V SD Negeri 1 Katerban Kecamatan Kutoarjo Kabupaten Purworejo Tahun Pelajaran 2015 / 2016”. Mind map merupakan suatu peta pemikiran yang ditemukan oleh Tony Buzan. Pada awalnya ia berangan-angan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dengan cepat. Suatu ketika ia menemukan sebuah cara yang efektif dan mudah menghafal pelajaran serta membuat belajar tidak bosan dengan berangan-angan keliling 644
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dunia, selanjutnya pemikiran keliling dunia ia namakan sebuah peta pemikiran atau mind map. Mind map adalah cara termudah menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak serta cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan “memetakan” pikiran-pikiran (Tony Buzan, 2008: 4). Menurut Sutanto Windura (2008: 13) mind map adalah sesuatu teknis grafis yang memungkinkan kita untuk mengeksplorasi seluruh kemampuan otak kita untuk keperluan berpikir dan belajar. Sejalan dengan pendapat Sutanto Windura (2008: 153) mendefinisikan mind map adalah teknik keseluruhan otak dengan menggunakan citra visual dan prasarana grafis lainnya untuk membentuk kesan. Belajar merupakan proses perubahan perilaku sebagai akibat interaksi individu dengan lingkungan (Sumiati dan Asra, 2012:38). Lebih lanjut belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 1995:2). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses manusia mencapai berbagai macam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Kemampuan seseorang untuk belajar merupakan karakteristik penting yang membedakan manusia dengan mahluk lain karena pada dasarnya manusia merupakan mahluk yang unik sehingga kemampuan manusia dalam
belajar juga mempunyai kapasitas yang berbeda-beda. Motivasi dapat menjadi masalah yang penting dalam pendidikan, apalagi dikaitkan dengan aktivitas seseorang dalam kehidupan seharihari.Motivasi bagi siswa dapat mengembangkan aktifitas dan inisiatif, dapat mengarahkan ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar.Di dalam belajar, banyak siswa yang kurang termotivasi terhadap pelajaran termasuk didalamnya adalah aktivitas praktek maupun teori untuk mencapai suatu tujuannya. Motivasi sangat besar pengaruhnya terhadap belajar, bila guru tidak mampu meningkatkan motivasi maka siswa tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik tersendiri baginya. Siswa segan untuk belajar, siswa tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu.Bahan pelajaran yang menarik motivasi siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan karena motivasi menambah semangat kegiatan belajar.Motivasi belajar merupakan salah satu aspek psikis yang membantu dan mendorong seseorang untuk mencapai tujuannya.Maka motivasi harus ada dalam diri seseorang, sebab motivasi merupakan modal dasar untuk mencapai tujuan. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan tersebut di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa motivasi belajar adalah salah satu kunci utama untuk memperlancar dan menggairahkan siswa dalam mempelajari sesuatu.Motivasi merupakan segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu untuk memenuhi 645
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
kebutuhan.Selain itu, dapat disimpulkan bahwa manusia memilih aktivitas yang membuat dirinya merasa gembira dan senang, sesuai dengan naluri dan kebiasaan, sesuai dengan kebudayaan tempat dimana berada dan pada hakekatnya untuk memenuhi kebutuhannya. Istilah “Ilmu Pengetahuan Sosial”, disingkat IPS, merupakan nama mata pelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah atau nama program studi di perguruan tinggi identik dengan istilah “social studies” (Sapriya, 2009:19). Istilah IPS di sekolah dasar merupakan nama mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial kehidupan. Materi IPS untuk jenjang sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu karena lebih dipentingkan adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta karakteristik kemampuan berpikir peserta didik yang bersifat holistik (Sapriya, 2009:20).Istilah IPS pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun 1972 di Tawangmangu, Solo. Adanya mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar para siswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan wawasan tentang konsep-konsep dasar ilmu sosial dan humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran terhadap masalah sosial di lingkungannya, serta memiliki ketrampilan mengkaji dan memecahkan masalah-masalah sosial tersebut. Social studies topic sometimes emphasize a single field (Ralph C.Preston, 1958:4) yang artinya
pembelajaran sosial terkadang menekankan pada satu bidang. Pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek “pendidikan ” dari pada transfer konsep karena dalam pembelajaran IPS siswa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral dan ketrampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. IPS juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya.Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat dan dihadapkan pada berbagai permasalahan di lingkungan sekitarnya. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa IPS merupakan suatu pembelajaran melalui pendekatan interdisipliner ilmu, dari keadaan alam sampai hubungan dengan manusia sehingga belajar IPS berarti belajar tentang bagaimana seseorang memahami dirinya berhubungan dengan alam maupun dengan manusia lain. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu memerlukan bantuan orang lain. Oleh karena itu, manusia dituntut mampu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar.IPS merupakan suatu pembelajaran tentang kehidupan sosial.Hakikat dari pengertian IPS selalu mengalami perubahan yang dilakukan berdasarkan kurikulum yang ada dan yang sedang digunakan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 1 Katerban, Kutoarjo, 646
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Purworejo yang letaknya berada di pusat Kecamatan Kutoarjo.SD Negeri 1 Katerban merupakan salah satu SD yang masuk dalam gugus HOS Cokroaminoto yang terletak di lingkungan perkotaan yang dekat dengan kecamatan Kutoarjo. Subjek penelitian yaitu siswa kelas V SD Negeri 1 Katerban Kecamatan Kutoarjo yang berjumlah 23 siswa dengan rincian 12 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan Metode penelitian merupakan rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi-asumsi dasar, pandanganpandangan filososfis dan ideologis, pertanyaan dan isu-isu yang dihadapi. Penelitian kuantitatif melibatkan diri pada perhitungan angka atau kuantitas, sedangkan penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. (Lexy J. Moeleong, 2012:3). Jenis penelitian yang dilakukan adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research).Penelitian ini disusun untuk memecahkan suatu masalah, diujikan dalam situasi sebenarnya serta melakukan perubahan yang berfungsi sebagai peningkatan.Penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.Tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa (Mohammad Asrori, 2012:5). Penelitian ini dilakukan untuk memberikan tindakan pada siswa kelas V SD Negeri 1 Katerban sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPS dengan
menggunakan teknik mind map. Penelitian ini diharapkan dapat membantu guru untuk memecahkan masalah. Desain penelitian tindakan kelas ini menggunakan strategi spiral atau siklus menurut Kemmis dan Mc Taggart, karena dengan jenis penelitian ini apabila dalam pelaksaaan tindakan ditemukan adanya kekurangan, maka perencanaan dan pelaksanaan perbaikan masih dapat dilanjutkan pada siklus berikutnya sehingga dapat dilaksanakan secara optimal. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket, tes, observasi, dan dokumentasi.. Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah lembar observasi , soal tes (kognitif), dan angket motivasi siswa.Hasil angket motivasi belajar siswa dikelompokkan, diorganisir, dideskripsikan dan ditarik kesimpulan.Hasil tes belajar siswa akhir siklus dihitung nilai rataratanya.Apabila mengalami kenaikan maka diasumsikan model pembelajarankontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS. Belum ada peningkatan maka akan diperbaiki pada siklus berikutnya.Data dari hasil observasi dianalisis dengan menghitung skor yang ada pada skala penilaian dengan menggunakan metode persentase.Kriteria keberhasilan dalam penelitian ini adalah apabila 75% dari jumlah siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar mendapatkan nilai standar minimal yaitu ≥65apabila 75% dari jumlah siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar motivasi belajarnya minimal dalam kategori tinggi.
647
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil penelitian yang dilaksanakan di SD Negeri 1 Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo pada siswa kelas V mata pelajaran IPS dengan menggunakan teknik mind map diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pembelajaran menggunakan teknik mind map dapat meningkatkan hasil belajar IPS pada siswa kelas V. Nilai rata-rata hasil belajarIPSkelas V SD Negeri 1 Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo pada pra siklus adalah 61,30 dengan persentase ketuntasan belajar 43,48% termasuk kriteria rendah. Setelah dilakukan tindakan siklus I nilai ratarata hasil belajar IPS siswa meningkat menjadi 65,65dengan persentase ketuntasan belajar 60,87% termasuk kriteria sedang. Kemudian setelah dilakukan tindakan siklus II nilai ratarata hasil belajar IPS siswa meningkat lagi menjadi 76,96dengan persentase ketuntasan mencapai 86,96% termasuk kriteria tinggi. Pembelajaran IPS dengan menggunakan teknik mind map dapat meningkatkan motivasi belajar pada siswa kelas V. Motivasi belajar siswa kelas V SD Negeri 1 Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo pada pra siklus yang masuk dalam kategori minimal tinggi hanya sebesar 16,10% siswa, pada siklus I siswa yang motivasi belajarnya dalam kategori minimal tinggi sebesar 56,52%, dan pada siklus II siswa yang motivasi belajarnya dalam kategori minimal tinggi sebesar 78,26%.
Pembahasan Fokus perbaikan pada penelitian ini adalah peningkatan hasil belajar IPS dan motivasi belajar siswa melalui teknik mind map.Kelebihan strategi ini adalah dapat melibatkan seluruh siswa dalam belajar dan membuat siswa menjadi aktif dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan pembelajaran di kelas V SD Negeri 1 Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo terlihat bahwa ada peningkatan hasil belajar IPS melalui teknik mind map, sebelum diadakan tindakan nilai ratarata 61,30 dengan skor tertinggi 90 dan skor terendah 40. Setelah diadakan tindakan penelitian pada siklus I skor rata-rata menjadi 65,65 dengan nilai tertinggi 100 dan skor terendah 50. Hasil siklus I dengan tingkat ketuntasan belajar siswa mencapai 60,87%. Dari jumlah siswa sebanyak 23 siswa menunjukkan bahwa pada siklus I ini hasil belajar IPS sudah meningkat, namun masih ada siswa yang belum tuntas dengan persentase 39,13%. Persentase ketuntasan belajar ini belum memenuhi ketuntasan akhir penelitian sehingga perlu diadakan perbaikan pada siklus II.Motivasi belajar siswa pada siklus I juga belum memenuhi indakator keberhasilan yang telah ditetapkan. Perolehan hasil belajar pada siklus I ini masih belum optimal, beberapa kekurangan dalam penelitian tindakan siklus I ini antara lain dalam menyampaikan tujuan pembelajaran guru terlalu cepat, sehingga siswa kurang mengerti apa yang harus dia pahami ketika pembelajaran, pembagian kelompok 648
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
yang belum disiapkan sebelumnya, dalam manajemen waktu pembelajaran perlu ditingkatkan sehingga pembelajaran berlangsung efektif dan efisien, guru kurang dalam membimbing siswa melaksanakan langkah pembelajaran, selain itu pemberian kesimpulan pada akhir pembelajaran perlu dilakukan bersama-sama siswa. Semua siswa harus beraktifitas positif dalam pembelajaran sehingga siswa memperoleh manfaat pembelajaran melalui teknik mind map. Berdasarkan dari hasil pengamatan pada siklus I yang menunjukkan hasil yang belum maksimal maka perlu ada perbaikan pada siklus II. Hal ini dapat disadari, karena berdasar hasil observasi, nampak ada kelemahan-kelemahan yang muncul yakni siswa masih banyak bergantung pada arahan guru, belum semua siswa aktif pada saat pembelajaran belangsung, siswa masih enggan saat menjawab pertanyaan dengan cara mengangkat tangan terlebih dahulu, dan siswa masih mencontek hasil kelompok lain. Berdasarkan kekurangankekurangan dari pelaksanaan pembelajaran siklus I, akan digunakan oleh peneliti dan guru kelas untuk memperbaiki proses belajar mengajar pada siklus II. Pada siklus II ini teknik mind maplebih ditekankan, sebagian besar siswa diharapkan dapat lebih aktif dan berani untuk menjawab pertanyaan dari guru tanpa ragu-ragu. Selain itu diharapkan guru dapat membiasakan siswa untuk berani mengungkapkan pendapat dan berbicara di depan kelas dengan percaya diri.
Perbaikan hasil belajar IPS pada siklus II menunjukkan adanya peningkatan baik peran guru, persentase pembelajaran maupun presentase ketuntasan belajar.Namun demikian hasil belajar IPS belum maksimal.Dari kegiatan refleksi teridentifikasi bahwa dalam menyampaikan tujuan pembelajaran guru terlalu cepat, kemudian kurang tepatnya manajemen waktu pembelajaran, guru kurang dalam membimbing siswa melaksanakan langkah pembelajaran.Belum semua siswa beraktifitas positif dalam pembelajaran. Selanjutnya pada siklus II perbaikan hasil belajar IPS difokuskan pada kekurangan pada siklus I. Selama proses pembelajaran, siswa tampak lebih beraktifitas positif. Pada penelitian siklus I ketuntasan hasil belajar IPS sebesar 60,87%, skor ratarata 65,65 dengan skor tertinggi 100 dan skor terendah 50. Pada siklus II ketuntasan belajar IPS meningkat menjadi 86,96%, siswa yang belum tuntas berkurang hanya menjadi 13,04% dan nilai rata-rata meningkat menjadi 76,96 dengan skor tertinggi 100 dan skor terendah 60. Hasil siklus II dengan tingkat keberhasilan 86,96% dari jumlah seluruh siswa 23 siswa, menunjukkan pada siklus II ini hasil belajar IPS sudah meningkat, masih ada siswa yang belum tuntas dengan persentase 13,04%. Persentase ini sudah memenuhi target indikator keberhasilan siklus II yaitu lebih dari 75% siswa memenuhi kriteria ketuntasan minimal ≥ 65. Motivasi siswa pada siklus II juga mengalami peningkatan dan telah memenuhi kriteria indikator keberhasilan yan g 649
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
telah ditetapkan, karena pada siklus II sebanyak 78,26% dari jumlah siswa sudah memiliki motivasi belajar dalam kategori tinggi. Selain hasil belajar siswa peningkatan juga terjadi pada motivasi belajar siswa.Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan motivasi siswa pada siklus I dan siklus II. Pada siklus I motivasi siswa dalam kategori tinggi dan sangat tinggi berjumlah 56,52% sedangkan pada siklus II motivasi siswa dalam kategori tinggi dan sangat tinggi meningkat menjadi 78,26%. Hipotesis tindakan dalam penelitian ini terbukti bahwa pembelajaran dengan menggunakanteknik mind mapdapat meningkatkan hasil belajar dan motivasi belajar siswa kelas V SD Negeri 1 Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo tahun pelajaran 2015/2016.
Dwi
Siswoyo,Suryati Sidharto, T. Sulistyono. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Lexy J. Moeloeng. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Mohammad Asrori. (2012). Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Wacana Prima Ralph. C. Preston. (1958). Teaching Social Studies in the Elementary School. United States of America: Holt, Rinehart and Winston Sapriya. (2009). Pendidikan IPS. Bandung: Rosdakaya Slameto. (1995). Belajar dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta Sumiatri dan Asra. (2012). Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima Sutanto Windura. (2008). Mind Map Langkah Demi Langkah. Jakarta: Elex Media Komputindo Tony Busan. (2008). Buku Pintar Mind Map. Jakarta: Gramedia
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hipotesis tindakan dalam penelitian ini terbukti bahwa teknik mind mapdapat meningkatkan hasil belajar IPS dan motivasi belajar kelas V SD Negeri 1 Katerban, Kecamatan Kutoarjo, Kabupaten Purworejo tahun pelajaran 2015/2016. Saran Guru hendaknya membiasakan untuk menerapkan teknik mind map agar bisa memperoleh manfaat peta pikiran secara utuh.Guru juga hendaknya membimbing siswa dalam membuat mind map dansenantiasa menghargai hasil pemikiran siswa. DAFTAR PUSTAKA Agus Salim (2006). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tria Wacana
650
PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI EKSTRAKURIKULER PRAMUKA DI SD NEGERI MLATI 1 SENDANGADI MLATI SLEMAN YOGYAKARTA Riski Utami, Siti Maisaroh, Universitas PGRI Yogyakarta
[email protected] ABSTRACT This research aimed to determine: the implementation of character values to students through scout extracurricular at Mlati 1 Elementary School Sendangadi Mlati Sleman, Yogyakarta and problems in implementing the character values to students through scout extracurricular at Mlati 1 Elementary School Sendangadi Mlati Sleman, Yogyakarta. This research was conducted in 30 July to 3 September 2016. Subjects were supervisor, headmaster, teachers and students. Data collection techniques used observation, interviews and documentation. Data were analyzed used descriptive analysis of data reduction, data presentation, and conclusion. The examination of the validity of data used a test of the credibility of the triangulation consisted of source triangulation and triangulation techniques. The results showed that the implementation of character values of students through scout extracurricular by implemented the “Dasa Dharma” which had covered national character for students, the supervisor has shown the implementation of 18 characters, they were : religious, honest, tolerant, disciplined, hard working, creative, independent, democratic, curiosity, the spirit of nationalism, patriotism, respect for the achievements, friends / communicative, love peace, love reading, caring environment, social care and responsibility and supported by the school facilities and infrastructure were quite complete in supporting the passage of the scouts extracurricular activities plus good communication among of headmaster, teacher and supervisor to support the growing process of character values in the non-formal education ; problems that exist in the implementation of character values of students through scout extracurricular were intern and extern factors. Intern factors such as student habit among others: at certain times such as in learning activities performed bad behaviors such as spiritless, reckless in conducting supervisor command, chatting and distracting other friends that it interferes with other friends in the scouting process. External factors like the natural environmental factors such as the natural environmental factors such as weather or rainy, so the scout activity must be cancelled. Keywords: Implementation of Elementary Schooll
Character
Values,
Scout
Extracurricular, Mlati
1
seseorang. Melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan kecerdasan, keterampilan, mengembangkan potensi
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan 651
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
diri serta dapat membentuk pribadi yang bertanggung jawab, cerdas dan kreatif. Pendidikan adalah sebuah usaha yang ditempuh oleh manusia dalam rangka memperoleh ilmu yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku. Karena itu, pendidikan merupakan salah satu proses penanaman nilai- nilai karakter manusia. Dalam keseluruhan proses yang dilakukan manusia terjadi proses pendidikan yang akan menghasilkan sikap dan perilaku yang akhirnya menjadi watak, kepribadian atau karekternya. Untuk meraih derajat manusia seutuhnya sangatlah tidak mungkin tanpa pendidikan. Pendidikan pada dasarnya berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang baik, karena karakter yang baik merupakan modal bagi manusia untuk menjadi bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahtera. Suatu bangsa akan bertahan selama mereka masih memiliki karakter yang baik, bila karakter yang baik telah lenyap dari mereka maka mereka akan lenyap pula. Dari situ sudah mendapatkan gambaran betapa pentingnya penanaman nilai-nilai karakter bagi manusia. Pada saat ini melihat realitas di suatu pendidikan hanya mengedepakan aspek keilmuan dan aspek kecerdasan siswa. Untuk aspek moral sebagai penanaman nilai- nilai karakter dan budaya semakin tersingkirkan. Dalam kondisi seperti ini pendidikan merupakan sarana dalam penanaman nilai-nilai karakter peserta didik yang memiliki andil besar untuk memajukan
bangsa agar menjadi bangsa yang semakin terdepan dengan Sumber Daya Manusia yang berilmu, berwawasan dan berkarakter. Penanaman nilai-nilai pendidikan dan pembinaan karakter bangsa sangat luas karena terkait dengan pengembangan multiaspek potensi– potensi keunggulan bangsa. Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Sekolah merupakan lembaga yang mempunyai peran penting dalam mengembangkan potensi maupun kemampuan anak sehingga menjadi manusia yang berkualitas, memiliki akar pikir yang berguna bagi kehidupan pribadi maupun kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Untuk mewujudkan manusia serta sumber daya yang berkualitas dibutuhkan kerja keras, komitmen serta konsisten dari setiap warga sekolah maupun kerjasama dengan siswa. Kasus yang ada saat ini tentang merosotnya nilai-nilai karakter yang masih kurang pada mata pelajaran disuatu pendidikan. Penanaman nilainilai karakter di sekolah merupakan salah satu program yang baik oleh pemerintah dalam menanamkan kembali nilai-nilai karakter Penanaman nilai-nilai karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari melalui suatu proses yang tidak instan. Melalui pendidikan karakter di sekolah penanaman nilai-nilai karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian nilai- nilai karakter dan akhlak mulia pada peserta didik secara utuh. Penanaman nilai-nilai karakter yang mencapai keberhasilan tidak diragukan untuk masa depan bangsa sendiri akan mengalami perubahan menuju bangsa 652
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
yang lebih baik. Dalam lembaga pendidikan sekolah memiliki tanggung jawab untuk menjadikan peserta didik yang mempunyai penge-tahuan, keterampilan, dan mengembang-kannya di dalam pendidikan formal dan non formal. Dalam pendidikan non formal sekolah memiliki program ekstrakurikuler melalui pendidikan pramuka. Ekstrakurikuler pramuka hadir sebagai alat untuk menjadi suatu wadah dalam penanaman nilai-nilai karakter yang ada dalam kegiatan pendidikan non formal tersebut. Penanaman nilai-nilai karakter melalui ekstrakurikuler pramuka di SD Negeri Mlati 1, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta ini merupakan sebuah ekstrakurikuler pramuka yang dalam kegiatan pendidikan pramuka ini mengandung nilai- nilai pendidikan karakter bangsa. Ekstrakurikuler pramuka dilaksankan setelah selasai pembelajaran, sehingga memberikan refleksi untuk peserta didik yang seharian penuh sudah melalui proses belajar mengajar dikelas. Dalam ekstrakurikuler pramuka ini juga ada kegiatan permainan yang mengandung unsur pendidikan penanaman nilai- nilai karakter serta dapat dilanjutkan dengan materi kepramukaan. Penanaman nilai-nilai karakter di sekolah melaui ekstrakurikuler pramuka menjadi sangat penting dalam membentuk karakter siswa yang unggul. Penanaman nilai-nilai karakter pada satuan pendidikan seperti SD Negeri Mlati 1, Sendangadi, Mlati, Sleman sangat mutlak dibutuhkan sebagai fondasi karakter siswa di masa yang akan datang. Hal ini sangat mendukung tujuan dari pendidikan di sekolah dasar dalam meletakan dasar-dasar kecerdasan baik
ISBN 978-602-73690-6-1
intelektual, sosial, emosional, maupun spiritual guna mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan pada jenjang yang lebih lanjut. Penanaman nilai-nilai karakter memerlukan keteladanan dan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik, pembiasaan untuk berlaku jujur, tolong menolong, toleransi, malu berbuat curang, malu bersikap malas, malu membiasakan lingkungan kotor. Karena karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius, terus menerus dan proporsional agar mencapai bentuk karakter yang ideal. Kehadiran kegiatan ekstrakurikuler pramuka ini dapat diartikan sebagai kegiatan pendidikan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muka, kegiatan pramuka juga untuk memperluas pengetahuan, meningkatkan keterampilan, serta membentuk perkembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan. Potensi yang secara khusus sebagai penunjang kegiatan ekstrakurikuler pramuka dalam pengembangan potensi dan karakter peserta didik di sekolah untuk menanamkan secara optimal tumbuhnya kemandirian yang berguna dalam masyarakat, keluarga, dan diri sendiri. . RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus masalah diatas, maka peneliti akan menyusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penanaman nilai-nilai karakter peserta didik melalui ekstrakurikuler pramuka di SD Negeri Mlati 1, Sendangadi, Mlati, Sleman? 2. Apa yang menjadi hambatan dalam penanaman nilai-nilai karakter peserta didik melalui ekstrakurikuler pramuka di 653
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
SD Negeri Mlati 1, Sendangadi, Mlati, Sleman?
3.
1)
2)
3)
KAJIAN TEORI 1. Pengertian Karakter Dharna Kesuma ( 2011: 11), mengatakan karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Sesuatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku anak yang disebut karakter. Karakter melekat dengan nilai dari perilaku. Karenaya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai. Nilai yang sangat merekat terkenal dan melekat yang mencerminkan akhlak. 2. Pendidikan Karakter Menurut pendapat Gunawan, (2014: 29) pendidikan karakter merupakan upayaupaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk menanamkan nilai-nilai perilaku peserta didik yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,budaya dan adat istiadat. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter Menurut pendapat Dharma dkk, (2011: 911) pendidikan karakter dalam seting sekolah memiliki tujuan sebagai berikut: Menguatkan dan mengembangkan nilainilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan kerakter secara bersama.
ISBN 978-602-73690-6-1
4. Faktor yang dapat Mempengaruhi pendidikan Karakter Menurut pendapat Gunawan, (2014) “faktor yang mempengaruhi pendidikan karakter adalah faktor intern dan faktor ekstern.” 1) Faktor intern Terdapat banyak hal yang mempengaruhi faktor internal ini, diantaranya adalah: a) Insting atau Naluri Insting adalah suatu sifat yang dapat menumbuhkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir lebih dahulu kearah tujuan itu dan tidak didahului latihan perbuatan itu. b) Adat atau Kebiasaan (Habit) Salah satu faktor penting dalam tingkah laku manusia adalah kebiasaan, karena sikap dan perilaku yang menjadi akhlak (karakter) sangat erat sekali dengan kebiasaan, yang dimaksud dengan kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan. c) Kehendak/Kemauan (Iradah) Kemauan ialah kemauan untuk melangsungkan segala ide dan segala yang dimaksud, walau disertai denganberbagai rintangan dan kesukaran-kesukaran, namun sekali- kali tidak mau tunduk kepada rintangan-rintangan tersebut. d) Suara Batin atau Suara Hati Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah laku manusia berada di ambang bahaya dan keburukan, kekuatan tersebut adalah suatu batin atau suara hati (dlamir). e) Keturunan Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi perbuatan manusia. Sifat yang diturunkan itu 654
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
pada garis besarnya ada dua macam yaitu: (1) Sifat jasmaniah, yakni kekuatan dan kelemahan otot-otot dan urat sarap orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya (2) Sifat ruhaniyah, yakni lemah dan kuatnya suatu naluri dapat diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi perilaku anak cucunya. 2) Faktor Ekstern Selain faktor intern (yang bersifat dari dalam) yang dapat mempengaruhi karakter juga terdapat faktor ekstern (yang bersifat dari luar) diantaranya adalah sebagai berikut: a) Pendidikan Betapa pentingnya faktor pendidikan itu, karena naluri yang terdapat pada seseorang dapat dibangun dengan baik dan terarah. b) Lingkungan Lingkungan (milie) adalah suatu yang melingkungi suatu tubuh yang hidup, seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, dan pergaulan. Adapun lingkungan di bagi ke dalam dua bagian. (1) Lingkungan yang bersifat kebendaan Alam yang melindungi manusia merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. (2) Lingkungan pergaulan yang bersifat kerohanian Seorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara langsung atau tidak langsung dapat membentuk kepribadiannya menjadi baik, begitu pula sebaliknya seseorang yang hidup dalam lingkungan kurang mendukung dalam pembentukan akhlaknya maka setidaknya dia akan terpengaruh lingkungan tersebut.
ISBN 978-602-73690-6-1
5. Pengertian Ekstrakurikuler Novan (2013: 108), mengatakan ekstrakurikuler sebagai kegiatan pendidikan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap muku. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan di dalam kelas atau di luar lingkungan sekolah untuk memperluas pengetahuan, meningkatakan ketrampilan, dan meningkatakan internalisasi nilai-nilai atau aturan–aturan agama serta normanorma sosial, baik lokal, maupu global untuk membentuk insan paripurna. 6. Pengertian Pramuka Kuwarnas (2011: 21), mengatakan pramuka adalah anggota Gerakan pramuka yang terdiri dari anggota muda yaitu peserta pendidik siaga, pengalang, penegak, pandega, dan anggota dewasa yaitu pembina pramuka, pembantu pembina pramuka, pelatih pembina pramuka, pembina profesional, pamong saka dan instruktur saka, pemimpin saka, andalan, pembantu andalan, anggota mabi dan staf karyawan kwartir. 7. Pendidikan Kepramukaan Kuwarnas (2011: 21-27), mengatakan Pendidikan Kepramukaan adalah proses pendidikan yang praktis, diluar sekolah dan di luar keluarga yang dilakukan di dalam alam terbuka dalam membentuk kegitan yang menarik, menantang, menyenangkan, sehat, teratur, dan terarah dengan prinsip dasar kepramukaan dan metode pendidikan kepramukaan yang sasaran terakhirnya adalah dapat terbentuknya kepribadian, watak, akhlak mulia dan memiliki kecakapan hidup. 8. Karakter Bangsa dalam Gerakan Pramuka Hudiyono (2012: 71), mengemukakan “nilai- nilai Pramuka dalam Dasa Dharma Pramuka telah mencakup seluruh karakter bangsa yang wajib 655
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
ditanamkan kepada siswa. Adapun seluruh karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab ”
lain gedung sekolah yang terdiri dari ruang kelas, gudang, ruang perkantoran, ruang tamu, ruang UKS, ruang komputer, perpustakaan, koperasi, mushola, kantin, tempat parkir, dapur, kamar mandi, dan halaman sekolah. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui penanaman nilai-nilai karakter peserata didik melalui ekstrakurikuler pramuka di SD Negeri Mlati 1 Sendangadi Mlati Sleman Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan pembina, kepala sekolah, guru dan siswa. Penelitian ini menggunakan tiga teknik yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kegiatan observasi dilakukan dalam ekstrakurikuler pramuka sedangkan wawancara ditujukan untuk pembina, kepala sekolah, guru dan siswa sebagai narasumber. Dokumentasi bisa berbentuk foto, rekaman, video, arsip, dan dokumen yang mendukung penelitian.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Mlati 1, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang berupaya memperoleh gambaran atau deskripsi mengenai Penanaman nilai-nilai karakter melalui ekstrakurikuler pramuka di SD Negeri Mlati 1, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Subjek penelitian meliputi pembina, kepala sekolah, guru, dan siswa.. Teknik pengumpulan data dalam penelitian inii adalah menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui proses reduksi, penyajian data dan menarik kesimpulan. Pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi teknik dan triangulasi sumber.
TEMUAN PENELITIAN Adapun temuan dari penelitian di SD Negeri Mlati 1, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi. Penanaman nilai-nilai karakter peserta didik melalui ekstrakurikuler pramuka. pada paparan data penelitian dapat dikemukakan beberapa temuan penelitian yaitu ekstrakurikuler pramuka sebagai pendidikan non formal yang dapat menanamkan penanaman nilai-nilai karakter yang terdapat dalam Dasa Dharma Pramuka telah mencakup seluruh karakter bangsa yang wajib di tanamkan kepada siswa, adapun seluruh karakter tersebut adalah religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif,
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Sekolah Dasar Negeri Mlati 1 adalah salah satu sekolah dasar yang berada dalam wilayah Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. . Sekolah Dasar Negeri Mlati 1 merupakan SD yang sudah dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai sehingga bisa menunjang terlaksananya kegiatan belajar mengajar dengan baik. Adapun sarana prasarana yang dimiliki oleh SD antara 656
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Sarana dan prasarana merupakan penunjang dalam kegiatan ekstrakurikuler pramuka berlangsung, untuk menanmakan 18 indikator karakter tersebut termasuk dalam aspek penanaman nilai-nilai karakter peserta didik melalui ekstrakurikuler pramuka, pembina pramuka menciptakan suasana lingkungan sekolah dalam ekstrakurikuler pramuka dengan menyenagkan, siswa antusias dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas-tugas dari pembina pramuka. Disamping itu, pembina memberi motivasi kepada siswa yang masih mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka dengan sembrono tidak bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas atau pun tidak menghiraukan instruksi pembina pramuka. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung menanamkan 18 indikator karakter sehingga terbentuk penanaman nilai-nilai karakter peserta didik melalui ekstrakurikuler pramuka yang baik. Dimana semua kegiatan ekstrakurikuler pramuka tersebut menjadi nilai, tradisi, prosedur dan harapan yang menciptakan lingkungan kondusif untuk keberlangsungan penanaman nilai-nilai karakter di SD Negeri Mlati 1 Sendangadi Mlati Sleman Yogyakarta secara berkesinambungan. Implikasi Berdasarkan temuan penelitian, pembahasan dan kesimpulan yang
ISBN 978-602-73690-6-1
diperoleh dapat disampaikan implikasi pemikiran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai karakter peserta didik melalui ekstrakurikuler pramuka di SD Negeri Mlati 1 Sendangadi Mlati Sleman Yogyakarta sebagai berikut. 1. Implikasi Teoritis Hasil penelitian yang telah dilaksanakan semakin memperkuat teori yang menyatakan bahwa penanaman nilainilai karakter merupakan suatu konsep yang ada dalam nilai-nilai Dasa Dharma Pramuka agar mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang ada yaitu tentang karakter bangsa. Sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak sekolah untuk mengoptimalkan 18 karakter bangsa dalam meningkatkan akhlak, sikap dan prilaku siswa daalm pendidikan non formal yaitu ekstrakurikuler pramuka di sekolah yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu dan karakter pendidikan di SD Negeri Mlati 1 Sendangadi Mlati Sleman Yogyakarta. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka peneliti mengajukan beberapa saran berkaitan dengan penanaman nilai-nilai karakter peserta didik melalui ekstrakurikuler pramuka di SD Negeri Mlati 1 Sendangadi Mlati Sleman Yogyakarta. 1. Pembina diharapkan dapat menjadi orangtua, guru, kakak, motivator, dan fasilator kepada siswa sehingga dapat terwujud kemajuan penerus bangsa yang berkarakter, berwatak, berkepribadian 657
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dan berbudipekerti luhur. 2. Pembina diharapakan dapat memberikan dorongan kepada siswa sesuai dengan tujuan gerakan pramuka yaitu membimbing dan mendidik siswa agar memiliki karakter yang baik. DAFTAR PUSTAKA Dharma Kesuma, dkk. 2011. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Heri Gunawan. 2014. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta. Hudiyono. 2012. Membangun Karakter Siswa.Jakarta: Erlangga. Jana T. Anggadiretja, dkk. 2011. Kursus Pembina Pramuka Mahir Tinggkat Dasar. Jakarta: Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Novan Ardy Wiyani. 2013. Konsep, Pratik & Strategi Membumikan Pendidikan Karakter Di SD. Yogyakarta: ArRuzz.
658
MODUL BAHASA INDONESIA BERMUATAN NILAI KARAKTER KEBANGSAAN BAGI MAHASISWA PGSD Tabah Subekti dan Ela Minchah Laila Alawiyah FKIP, Universitas Muhammadiyah Magelang
[email protected] Abstract The research aims to develop module of bahasa which combined by national character. Background of this study is there’s no module of bahasa which combined by national character, in the other side Indonesia needs teacher who able to teach and guide the children with national character to tighten the children’s nationality. By using this product, we hope that the student of elementary school teacher education (candidate of teacher) will able to teach and guide the children with national character. The research was supported by the expert in each field. The research divided become four step which called four-D (1) define; (2) design; (3) develop; and (4) disseminate. But, the duration of the research is only one year, so it caused the research only able to achieve third level (develop). The product of this research is a module of bahasa combined by national character which ready to used by lecturer in elementary school teacher education. Object of the research are the student of elementary school teacher education (candidate of teacher) in University of Muhammadiyah Magelang, Central Java. The result of the study described that development of module bahasa is done effectively. It can be seen from the lecturers and students respond who had helped by the module. Keywords: Module, character. merupakan penerjemah kurikulum ke dalam pembelajaran di sekolah (Suryaman, 2012) oleh karenanya ketidaksiapan guru sangat berpengaruh pada ketertundaan kurikulum 2013. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelatihan dan penataran guru yang terlalu mendadak dengan jangka pelatihan yang sangat waktu singkat/terbatas berdampak pada ketidaksiapan guru dalam menerapkan kurikulum 2013, sehingga pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan SDM implementasi yang cakap dalam kurikulum 2013. Kegagalan penerapan kurikulum 2013 dapat diperparah lagi dengan banyaknya lulusan mahasiswa calon guru dari Perguruan Tinggi (baik negeri maupun swasta) yang ketika lulus kuliah ternyata belum memahami dan belum mampu menerapkan
1. PENDAHULUAN Penerapan kurikulum 2013 yang sudah dimulai sejak dua tahun terakhir ini ditunda dan terancam setelah mengalami kegagalan diterbitkannya Surat Edaran Mendikbud Nomor: 5 179324/MPK/KR/2014 tgl Desember 2014 tentang penghentian implementasi kurikulum 2013 dan penggunaan kembali kurikulum tahun 2006 (kurikulum KTSP). Selaku Menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia (Baswedan, 2014) menegaskan bahwa salah satu penyebab kegagalan/ketertundaan penerapan kurikulum 2013 ialah ketidaksiapan Sumber Daya Manusia (SDM) terutama dalam tenaga pendidik (guru) menerapkan kurikulum 2013. Guru 659
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
diantaranya dari skala terluas adalah melalui: (1)Koordinasi antar lembaga Perguruan Tinggi pencetak tenaga pendidik dan kependidikan; (2)Himbauan oleh pimpinan Perguruan Tinggi kepada Staf Pengajar untuk mengemas perkuliahan sesuai dengan penerapan kurikulum saat ini; atau (3)Inisiatif Dosen untuk mengelola perkuliahan sesuai penerapan kurikulum yang berlaku saat ini. Inisiatif tersebut dapat berupa mengembangkan metode perkuliahan, mengembangkan modul, materi, dan media, yang selaras dengan kurikulum yang berlaku. Berkaca pada beberapa hal di tersebut atas, maka salah satu upaya dapat dilakukan ialah yang mengembangkan modul perkuliahan bermuatan nilaibahasa Indonesia nilai karakter kebangsaan. Setelah mempelajari modul tersebut mahasiswa diharapkan mampu bekal pemahaman mendapatkan kurikulum 2013 yang dikenal kurikulum mampu berbasis karakter, serta mengaplikasikannya di Sekolah. Dampak positif lainnya yaitu ketika pengembangan modul bermuatan nilai karakter ini menunjukkan peningkatan signifikan, maka dapat yang untuk mengembangkan diupayakan nilai modul perkuliahan bermuatan karakter kebangsaan pada mata kuliah selain bahasa Indonesia, di Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia sehingga memperoleh dampak yang lebih luas. Kesiapan lulusan mahasiswa calon guru untuk melaksanakan kurikulum bermuatan karakter ini akan sangat mendukung pemantapan implementasi kurikulum 2013 pada masa mendatang, sehingga penerapan kurikulum 2013 tidak lagi mengalami ketertundaan/
kurikulum 2013. Ini salah satunya disebabkan karena saat berkuliah mereka masih mendapatkan materi atau modul lama yang belum mengintegrasikan nilai-nilai karakter kebangsaan didalamnya. Dengan demikian maka lulusan (calon guru) yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi pencetak guru belum menguasai dapat kurikulum 2013. Hal ini mengakibatkan ketidaksuaian antara kualitas lulusan dan tuntutan kerja. Idealnya, Perguruan Tinggi pembentuk tenaga pendidik dan kependidikan harus tenaga menjalankan program yang sejalan dengan program pemerintah terutama dalam hal pelaksanaan kurikulum berbasis karakter saat ini. Hal ini Fungsi Perguruan sesuai dengan Tinggi sebagai pembentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 4.a. UU no 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Penyelarasan Program Tinggi). Perguruan Tinggi dengan Program Pemerintah dapat dilakukan salah satunya dengan menerapkan metode perkuliahan yang dapat memberikan bekal pengetahuan mengenai konsep kurikulum 2013 terhadap mahasiswa calon guru secara mendalam. Dengan demikian lulusan mahasiswa calon pendidik dan tenaga kependidikan dipastikan mampu menerapkan konsep kurikulum 2013 dengan baik. Banyak upaya yang dapat dilakukan Perguruan Tinggi pencetak pendidik dan tenaga tenaga menyambut kependidikan dalam pelaksanaan kurikulum 2013 jika mengacu pada pasal 4a UU no 12 th di atas, beberapa 2012 tersebut 660
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
kegagalan. Luaran hasil penelitian ini berupa: (1)modul perkuliahan pendidikan bahasa Indonesia bermuatan nilai-nilai karakter kebangsaan (hard copy, dan soft copy CD); dan (2)artikel ilmiah hasil penelitian pengembangan melalui yang dipublikasikan Jurnal/Proceeding; dan (3)lulusan mahasiswa (calon guru SD) yang siap menerapkan mampu dan kurikulum 2013 pada tahun- tahun mendatang. Adapun kontribusi hasil penelitian ini antara lain: (1)bagi pemerintah, dapat mendukung kesuksesan implementasi kurikulum mengalami 2013 yang saat ini ketertundaan; (2)bagi institusi pendidikan dasar dan menengah, dapat terpenuhinya kebutuhan tenaga pengajar yang mampu dan siap menerapkan kurikulum 2013; (3)bagi Perguruan Tinggi, dapat menyelenggarakan perkuliahan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku saat ini melalui penyediaan modul yang bermuatan nilai karakter mahasiswa kebangsaan; (4)bagi calon guru, dapat meningkatkan kompetensi diri dalam rangka kurikulum 2013; dan implementasi (5)bagi peneliti, dapat meningkatkan dan profesionalisme kerja mengembangkan diri sesuai bidang keilmuan yang dimiliki.
ahli lain, dikemukakan pula bahwa adalah bahan ajar yang modul sistematis dan disusun secara menarik yang mencakup isi materi, metode dan evaluasi yang dapat digunakan secara mandiri untuk kompetensi yang mencapai (Anwar, 2010). Senada diharapkan dengan dua pendapat ahli tersebut, modul dapat pula diartikan sebagai suatu kesatuan bahan belajar yang bentuk “selfdisajikan dalam instruction”, artinya bahan belajar yang disusun di dalam modul dapat dipelajari siswa secara mandiri dengan bantuan yang terbatas dari guru atau orang lain (Depdiknas, 2006). Menurut Mulyasa dalam (Rusimamto, 2013) modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para pengajar. usaha Pengajaran modul merupakan penyelanggaraan pengajaran individual yang memungkinkan pembelajar menguasai satu unit bahan pelajaran sebelum dia beralih kepada unit berikutnya. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas disimpulkan bahwa maka dapat modul perkuliahan adalah salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara sistematis dan menarik mudah untuk dipelajari sehingga oleh mahasiswa secara mandiri maupun dengan memperhatikan klasikal individu pembelajar kemampuan (mahasiswa).
2. KAJIAN LITERATUR DAN PEGEMBANGAN HIPOTESIS Modul merupakan satuan program belajar mengajar yang oleh terkecil, yang dipelajari secara pembelajar sendiri perseorangan atau diajarkan oleh pembelajar kepada dirinya sendiri (Winkel, 2009). Sementara itu menurut
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Istilah karakter berarti sifat- sifat kejiwaan, akhlak atau 661
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dapat disimpulkan bahwa modul Indonesia perkuliahan bahasa bermuatan nilai karakter kebangsaan adalah bahan ajar yang bersifat dan praktis, diperuntukkan sistematis bagi mahasiswa PGSD dan di dalamnya memuat nilai-nilai karakter kebangsaan Modul sesuai kurikulum 2013. perkuliahan bahasa Indonesia bermuatan nilai karakter kebangsaan untuk mempermudah disusun materi mahasiswa menguasai perkuliahan bahasa Indonesia yang sesuai dengan implementasi ini. Modul kurikulum saat yang merupakan sarana belajar memiliki sifat praktis dan sistematis (Anwar,2010), sehingga mudah secara digunakan mahasiswa baik terbimbing maupun secara mandiri untuk menguasai isi materi di dalam modul. Banyak temuan-temuan para peneliti terdahulu yang bahwa penggunaan membuktikan sarana modul sebagai pembelajaran memiliki nilai efektivitas yang tinggi, seperti penelitian yang Akmalia, dalam dilakukan oleh: a. berjudul penelitian yang “Pengembangan Modul IPA Terpadu Berkarakter Tema Global untuk Siswa Pemanasan SMP/MTs” yang dimuat dalam Unnes Science Education Journal, menunjukkan yang dikembangkan bahwa modul efektif digunakan layak dan di SMP/MTs untuk pembelajaran kelas VII (Akmalia, 2013); b. Anton Ginanjar, melalui penelitian yang berjudul “Pengembangan Media Pembelajaran Modul Interaktif Mata Kuliah Pemindahan Tanah Mekanik” membuktikan bahwa tanggapan dan
budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Sementara mengatakan bahwa itu ahli lain berpikir karakter merupakan cara dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup bekerja sama, baik dalam dan keluarga, masyarakat, lingkup negara (Suyanto, bangsa, maupun 2010). Senada dengan dua pengertian tersebut dijelaskan pula bahwa karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu (Kertajaya, 2010). Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan penggerak yang bagaimana seorang mendorong bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu. Sementara itu pendidikan karakter dapat diartikan suatu usaha yang sebagai disengaja untuk membantu seseorang memahami, sehingga ia dapat memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti (Lickona, 2005). Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan di atas maka karakter adalah sifat yang bahwa menjadi ciri khas yang dimiliki seseorang untuk melakukan tindakan etis dalam hidup bermasyarakat. Secara karakter sederhana, pendidikan dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter pembelajar, ketika dewasa siswa sehingga sikap dan mampu menunjukkan perilaku luhur dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dari berbagai definisi yang dikemukakan para ahli di atas maka 662
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
minat mahasiswa dalam menggunakan modul interaktif pemindahan tanah mekanik ini termasuk dalam kategori “baik” (Ginanjar, 2010); c. Efriana, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan modul IPA Terpadu Berkarakter pada Tema Pengelolaan Lingkungan untuk Siswa Kelas VII SMP” yang dimuat dalam Unnes Science Education Juornal, modul terbukti efektif digunakan dalam pembelajaran siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kajen (Efriana, 2013); d. Ika Muryani, dalam penelitian yang berjudul “Pengembangan Modul Pembelajaran Biologi Berbasis Sains Teknologi Masyarakat (STM) untuk Siswa Kelas X SMA/MA”. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis reviewer kualitas modul tersebut sangat baik (SB) dengan presentase 85,88% dan presentase berdasarkan respon siswa 90,44 % (Muryani, 2014); e. Nisa Ul Istiqomah dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Modul Matematika Materi Ruang Dimensi Tiga Berbasis dengan Pendidikan Karakter Pendekatan Kontekstual Untuk SMA Kelas X” membuktikan bahwa rata-rata skor aspek kelayakan isi, kelayakan bahasa, kelayakan penyajian, penilaian kontekstual dan penilaian karakter dengan kriteria “Sangat Baik” serta kelayakan kegrafikaan dengan kriteria “Baik” (Istiqomah, 2012); dan f. Parmin, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan Modul Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar IPA Berbasis Hasil Penelitian Pembelajaran” yang dimuat dalam
Pendidikan IPA Indonesia Jurnal yang menunjukkan bahwa modul terbukti efektif dikembangkan nilai berdasarkan hasil perolehan mahasiswa (Parmin, 2012). 3. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilaksanakan tergolong penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D). Produk yang dikembangkan adalah bahan ajar berupa modul perkuliahan mata kuliah bahasa Indonesia bermuatan nilai karakter kebangsaan untuk mahasiswa PGSD. Model pengembangan modul perkuliahan dalam penelitian ini mengacu pada model Thiagarajan dalam (Rohmad, 2012) yang terdiri dari empat tahap pengembangan yang sering diistilahkan 4-D yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran (dessiminate). Namun karena penelitian ini dilakukan hanya satu tahun, maka pengembangan yang dilakukan hanya sampai pada tahap ketiga (develop) saja. Lingkup penelitian ini tergolong dalam penelitian pendidikan. Objek penelitian pengembangan ini adalah modul perkuliahan bahasa Indonesia bermuatan nilai karakter kebangsaan, sementara itu subjek penelitian ini yaitu dosen dan mahasiswa PGSD UMMagelang. Tempat penelitian berada di Kampus 1 Universitas Muhammadiyah Magelang. Variabel penelitian ini dapat dipilah menjadi pertama adalah dua yakni yang yang modul perkuliahan dikembangkan sedangkan variabel kedua yaitu efektivitas perkuliahan dosen dan mahasiswa. Analisis data digunakan yakni menghitung yang 663
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
hasil respon dosen dan mahasiswa. Keberhasilan penelitian terletak pada sejauh mana modul yang dikembangkan dapat membantu dosen dan mahasiswa dalam melaksanakan aktivitas perkuliahan. Kriteria yang digunakan terdiri atas lima level meliputi: (1)tidak (2)kurang membantu; membantu; (3)cukup membantu; (4)membantu; dan (5)sangat membantu.
mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan untuk mendapatkan bekal kompetensi Guru Sekolah Dasar. jumlah mahasiswa yang hendak dijadikan subjek penelitian sebanyak 280 orang dengan latar belakang yang beragam. Perlunya dilakukan analisis mahasiswa menjamin produk ialah untuk pengembangan modul yang dilakukan mampu menjawab kebutuhan mahasiswa secara tepat, mudah diteraima, dan memiliki manfaat yang mahasiswa PGSD nyata. Kondisi penelitian yang menjadi subjek pengembangan ini. Dilihat dari segi jenis kelamin, presentasae mahasiswa berkisar antara 10% mahasiswa laki-laki perempuan. dan 90% mahasiswa Sementara itu dari latar belakang yang pendidikan mahasiswa berlatarbelakang SMA IPA 45%, SMA IPS 40%, dan lainnya 15%. Latar belakang keluarga mahasiswa pun tuanya berragam misalnya orang pegawai negeri, berprofesi sebagai swasta, buruh, sopir, dan sebagainya. Analisis mengenai kondisi mahasiswa ini dijadikan pertimbangan dalam menyusun modul bermuatan nilai karakter, yakni bagaimana upaya yang untuk dapat dilakukan menginternalisasi nilai-nilai karakter kebangsaan pada mahasiswa PGSD tersebut. Materi perkuliahan yang hendak disusun senantiasa mengacu skala nasional. pada kurikulum Beberapa sumber yang dapat dirujuk diantaranya: Buku Modul yang telah disusun beberapa pakar, dan modul yang telah digunakan beberapa dosen baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Beberapa aspek yang dikaji pada modul yang hendak disusun di
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang dicapai dari pelaksanaan penelitian terbagi atas beberapa bagian sebagai berikut. Tahap A. (define) ini merupakan tahap awal yang dilakukan dalam penelitian pengembangan modul bahasa Indonesia bermuatan nilai karakter kebangsaan. Tahap ini dijadikan dasar melangkah pada tahap berikutnya yakni tahap B. (design), dan tahap C. (develop). Tahap merupakan tahapan define ini menganalisis kebutuhan modul seperti apa yang dibutuhkan mahasiswa PGSD. Pada tahap ini terdapat empat analisis meliputi: analisis awal akhir, analisis mahasiswa, analisis materi, dan analisis tugas, serta perumusan tujuan perkuliahan khusus. Rumusan analisis pada tahap ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Analisis mengenai kondisi awal dan prediksi kondisi akhir perlu dilakukan mengingat pengembangan ini dimaksudkan untuk modul pemahaman mahasiswa membekali mengenai karakter kebangsaan, kondisi bahwa awal dapat digambarkan mahasiswa belum sepenuhnya memahami karakter kebangsaan yang harus ditanamkan pada diri pribadi dan diteladankan kepada orang lain. merupakan Mahasiswa PGSD 664
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
antaranya: (1)pengertian atau hakikat bahasa dan sastra; (2)karakteristik anak usia SD (3) kompetensi kebahasaan siswa SD (4) strategi pembelajaran bahasa di SD; dan (5) inovasi pembelajaran bahasa di SD. Tahap B (design), tujuan tahap ini yaitu untuk merancang prototype modul perkuliahan yang terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) tahap penyusunan; (2) (3) tahap tahap pemilihan media; pemilihan format; dan (4) tahap rancangan awal (design awal). Dalam hal ini rancangan awal yang dibuat adalah modul perkuliahan, lembar validasi modul perkuliahan, angket respon dosen dan respon mahasiswa terhadap modul perkuliahan bermuatan nilai karakter kebangsaan. Selanjutnya rancangan awal ini disebut Draft I. Proses penyusunan draft I modul perkuliahan ini dilakukan setelah melalui berbagai pertimbangan seperti yang telah dijelaskan di muka. Pada tahap design ini pula disusun instrument untuk menguji yang digunakan kelayakan modul. Beberapa aspek yang dinilai pada instrument penelitian di antaranya: (1) kemenarikan modul
perkuliahan; (2) penggunaan modul perkuliahan dapat membantu dosen dalam menyampaikan materi perkuliahan; (3) kepraktisan dalam penggunaan modul perkuliahan; (4) kemanfaatan modul dalam proses perkuliahan; (5) penyampaian materi dengan modul perkuliahan lebih efektif dan efisien sesuai waktu yang disediakan; (6) modul perkuliahan digunakan berulang kali dapat sesuai kebutuhan; (7) Menginspirasi dosen/mahasiswa untuk lebih kreatif dalam berkuliah; (8) kemudahan dosen/mahasiswa dalam penggunaan modul perkuliahan; (9) keterbacaan bahasa dalam modul perkuliahan; materi dan (10) kejelasan penyajian dalam modul dan latihan soal perkuliahan. Tahap C (Develop,) tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan draft modul perkuliahan yang telah direvisi berdasarkan masukan validator dan coba. data yang diperoleh dari uji Pada tahap ini terdapat dua langkah modul kegiatan, yaitu: validasi perkuliahan dan uji coba modul perkuliahan. Hasil validasi tampak pada tabel.1 berikut.
Tabel. 1 Hasil Validasi draft I No Aspek yang Presentase Diamati Tingkat Kesesuaian (0 – 100%) 1 Kemenarikan modul 2 Mempermudah penyampaian materi 3 Kepraktisan 4 Kemanfaatan 5 Ketepatan waktu
67% 57% 55% 60% 40%
665
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
6 Tingkat kegunaan kembali 7 Inspiratif 8 Memudahkan mahasiswa 9 Keterbacaan 10 Kejelasan materi dan soal
ISBN 978-602-73690-6-1
70% 65% 62% 70% 55%
kurang. Hal ini tampak pada isi modul yang masih perlu dirapikan dan terlalu banyak istilah yang kurang saran mendukung. Berdasarkan tersebut, tim peneliti segera melakukan perbaikan dan penyempurnaan agar dihasilkan modul yang praktis digunakan baik oleh dosen maupun Beberapa perbaikan mahasiswa. tersebut diantaranya: (1) melakukan editing cover; (2) mengemas kembali isi modul lebih rinci; (3) mengatur tata letak paragraph, tabel, grafik, dan gambar; dan (4) memperbaiki lay out di bagian akhir modul. c. Kesesuaian alokasi waktu masingmasing sub pokok bahasan Kesesuaian antara waktu dengan isi sub pokok bahasan pada modul yang disusun masih dinilai kurang. Ini dapat dilihat dari kurang seragamnya masingmasing sub kompetensi dengan alokasi waktu yang tersedia. Masih terdapat sub kompetensi luas dengan waktu yang sedikit dan ada pula sub kompetensi sedikit dengan alokasi waktu yang terlalu luas. Berdasarkan saran validator tersebut, tim peneliti segera melakukan penyempurnaan dari segi alokasi waktu. Penyusunan kembali /pokok bahasan sub kompetensi dengan alokasi waktu juga diupayakan agar seimbang.
Tabel di atas menunjukkan bahwa masih banyak aspek yang perlu direvisi di antaranya: mempermudah penyampaian materi, kepraktisan, ketepatan waktu, dan kejelasan materi dan soal. Berdasarkan data hasil validasi ahli dan standar kriteria kevalidan di atas maka pada draft 1 masih terdapat empat aspek yang perlu diperbaiki di antaranya:
a. Membantu mempermudah penyampaian materi Peranan modul sebagai sarana penyampaian materi sangat berpepngaruh terhadap pemahaman dalam menguasai mahasiswa perkuliahan. Demikian pula modul yang harus hendak dikembangkan ini memenuhi kriteria yang baik dalam membantu mempermudah penyampaian materi. Sesuai saran validator pada instrument validasi ahli, hendaknya modul yang dikembangkan ini lebih diperjelas lagi masing-masing sub kompetensi beserta bagian-bagian pendukungnya. Berdaarkan saran itu, tim peneliti segera melakukan perbaikan melalui proses editing hingga tersusun sub-kompetensi yang teratur dan mudah dipahami. b. Kepraktisan modul Dari segi kepraktisan, modul yang sedang dikembangkan ini dinilai masih 666
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
No Aspek yang Diamati 1 Kemenarikan modul Mempermudah penyampaian 2 materi Dianalisis 3 Kepraktisan 90% 4 Kemanfaatan 86% 80% 5 Ketepatan waktu 6 Tingkat kegunaan kembali 88% 7 Inspiratif 87% PGSD semester 2 FKIP UM Magelang dengan jumlah mahasiswa sebanyak 280 Memudahkan mahasiswa 80% 8 orang. 9 Keterbacaan 93% Kegiatan perkuliahan dengan menggunakan draft II modul hasil pengembangan ini dipantau secara berkala dan hasilnya di akhir penggunaan modul. pada dosen Uji coba dilaksanakan mata kuliah bahasa pengampu Indonesia dan mahasiswa. Pelaksanaan uji coba draft II menghasilkan beberapa data yang menunjukkan bahwa modul yang digunakan telah memenuhi unsur dapat membantu kelayakan dan ini 10 proses perkuliahan. Hal Kejelasan materi dan soal 90%
d. Kejelasan materi dan daftar soal Kejelasan materi dan daftar soal pada modul yang dikembangkan masih dinilai kurang oleh validator. masih Hal ini dibuktikan dengan yang kurang ditemukannya istilah sesuai dengan isi materi modul. Selain kejelasan materi juga daftar soal dinilai kurang jelas dan perlu ini disesuaikan. Kejelasan soal dipahami seharusnya dapat mahasiswa dan berkaitan langsung dengan materi yang dibahas di muka. Berdasarkan saran dari validator peneliti segera tersebut, tim dengan melakukan perbaikan menyusun kembali uraian materi secara lebih jelas dan lugas serta menyusun butir soal yang mudah dipahami dan uraian berkaitan langsung dengan materi yang dibahas sebelumnya. Sementara itu aspek yang sudah cukup baik dan tidak memerlukan revisi di antaranya: kemenarikan modul, kemanfaatan, tingkat kegunaan kembali, inspiratif, memudahlan mahasiswa, dan keterbacaan. Hasil validasi ahli ini digunakan sebagai acuan untuk tahap berikutnya melangkah pada yakni revisi atau penyempurnaan modul agar menghasilkan produk yang lebih Tabel. 2 Hasil Validasi draft II baik lagi. Langkah berikutnya adalah menyusunan draft II. Hal ini dilakukan setelah mendapatkan masukan dari validator. Melalui perbaikan ini diharapkan dapat menghasilkan modul bagi yang layak untuk digunakan mahasiswa PGSD. Draft II yang telah tersusun selanjutnya diuji coba dengan cara digunakan untuk berkuliah.
5. KESIMPULAN dibuktikan dengan adanya respon dosen dan mahasiswa setelah menggunakan modul merasa bahwa modul bahasa Indonesia perkuliahan bermuatan nilai karakter kebangsaan telah membantu mahasiswa memahami baik isi materi maupun nilai-nilai karakter kebangsaan yang harus dijiwai dan diteladankan kepada murid SD kelak. Dalam pelaksanaannya, uji coba peranan draft II membutuhkkan dosen dan mahasiswa. Kedua unsur 667
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
tersebut merupakan pelaku utama dalam proses perkuliahan. Uji coba dilakukan secara bertahap. Pada setiap tahapan, dosen memberikan sub pokok bahasan dengan mengaitkan nilai karakter kebangsaan dalam proses perkuliahan. Adapun nilai karakter kebangsaan yang diaplikasikan adalah belas karakter sebanyak delapan seperti telah dijelaskan di muka. Hasil uji coba dan validasi draft II selanjutnya digunakan sebagai acuan untuk menyusun naskah final modul bahasa Indonesia perkuliahan bermuatan nilai karakter kebangsaan. Naskah final ini selanjutnya dapat digunakan sebagai salah satu referensi perkuliahan bahasa Indonesia pada program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Adapun hasil validasi dan uji coba draft II tampak pada tabel. 2 berikut. Mengacu pada kriteria keberhasilan penelitian yang telah dibahas pada bagian muka, serta melihat hasil validasi ahli dan respon modul dosen-mahasiswa, maka perkuliah-an bahasa Indonesia bermuatan nilai karakter kebangsaan yang disusun dan dikembangkan pada penelitian ini telah dapat dikatakan layak untuk digunakan.
Baswedan, A. (2014, 12 4). Surat Edaran Mendikbud Nomor: 179324/MPK/KR/2014. Depdiknas. (2006). Teknik Penyusunan Modul. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Efriana. (2013). Pengembangan Modul IPA Terpadu Berkarakter pada Tema Pengelolaan Lingkungan untuk Siswa Kelas VII SMP. Unnes Science Education Journal , Vol 2 (No 2), Hal 269-273. Ginanjar, A. (2010). Pengembangan Media Pembelajaran Modul Interaktif Mata Kuliah Pemindahan Tanah Mekanik. Sebelas Maret, FKIP. Universitas Surakarta: UNS Press. Istiqomah, N. U. (2012). Pengembangan Modul Matematika Materi Ruang Dimensi Tiga Berbasis Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Kontekstual Untuk SMA Kelas X. Universitas Negeri Yogyakarta, FMIPA. Yogyakarta: UNY Press. Kertajaya, H. (2010). On Brand. Bandung: Mizan Pustaka. Lickona. (2005). Smart & good high schools: Integrating excellence and ethics for success in school, work, and beyond. New York: The Character Education Partnership. Muryani, I. (2014). Pengembangan Modul Pembelajaran Biologi Berbasis Sains Teknologi Masyarakat (STM) untuk Siswa Kelas X SMA/MA. Universitas Negeri Yogyakarta, FMIPA. Yogyakarta: UNY Press. Parmin. (2012). Pengembangan Modul Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar IPA Penelitian Berbasis Hasil Pembelajaran. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia , Vol 1 (No 1), hal 8-15.
6. REFERENSI Akmalia. (2013). Pengembangan Modul IPA terpadu Berkarakter Tema Pemanasan Global untuk Siswa SMP/MTs. Unnes Science Education Journal , Vol 2 (No 1), hal 203-208. Anwar, I. (2010). Pengembangan Bahan Barat, Ajar. Bandung, Jawa Indonesia: Direktori UPI. 668
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Rohmad. (2012). Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran. Kreano , Vol 3 (No 1), Hal 59-72. Rusimamto. (2013). Pengembangan Modul Ajar Mata Kuliah Fisika II untuk Model Pembelajaran Kooperatif sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Hasil Pembelajaran di Jurusan Teknik Unesa. Seminar Elektro FT Pendidikan Teknik Nasional 901). Surabaya: Elektronika (p. Unesa Press. Suryaman, M. (2012). Metodologi Pembelajaran Bahasa Yogyakarta: UNY Press. Suyanto. (2010). Aktualisasi Pendidikan Karakte . Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Menengah . Winkel. (2009). Psikologi Pengajaran Yogyakarta. Yogyakarta: Media Abadi.
669
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS WEB UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI MAHASISWA DALAM MEMBUAT ANIMASI MATERI PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS ICT Niken Wahyu Utami FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar berbasis web yang layak (valid, praktis, dan efektif) untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam membuat animasi materi pembelajaran yang berbasis ICT. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research and Development), yang mengembangkan bahan ajar menggunakan model pengembangan 4-D yang dikembangkan oleh Thiagarajan, Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. yang dilakukan dengan 4 tahap utama yaitu Define (Pendefinisian), Design (Perancangan), Develop (Pengembangan) dan Disseminate (Penyebaran) yang telah dimodifikasi. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah lembar validasi bahan ajar, angket, dan tes. Data yang dikumpulkan berupa data tentang kualitas produk yang dikembangkan yaitu kevalidan, kepraktisan, dan keefektifannya Penelitian ini menghasilkan bahan ajar pada mata kuliah “Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Berbasis ICT” yang valid, sangat praktis, dan efektif digunakan dalam pembelajaran. Kata Kunci: bahan ajar, web, ICT 1. PENDAHULUAN Kurikulum Perguruan Tinggi menurut Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Pasal 97 dikembangkan dan dilaksanakan dengan berbasis kompetensi. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam upaya melakukan kualifikasi terhadap lulusan perguruan tinggi mengacu pada capaian pembelajaran (learning outcomes). Hal ini diatur dalam Perpres No. 08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Inodnesia (KKNI). Dalam rangka implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi di Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta, perlu dilakukan pengembangan bahan ajar sehingga capaian pembelajaran yang diharapkan dapat tercapai.
Salah satu capaian pembelajaran yang ada di Program Studi Pendidikan matematika yaitu mampu mengembangkan media dan sumber pembelajaran matematika berbasis ICT. Capain pembelajaran tersebut salah satunya tercermin dalam mata kuliah Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Berbasis ICT. Tujuan dari mata kuliah ini adalah menghasilkan lulusan yang berkompeten dalam menghasilkan media pembelajaran berbasis ICT. Salah satu hal yang berperan dalam menghasilkan lulusan yang berkompeten dalam menghasilkan media pembelajaran berbasis ICT adalah tersedianya bahan ajar yang berbasis kompetensi. Akan tetapi, bahan ajar yang berbasis kompetensi pada mata kuliah Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Berbasis ICT belum tersedia. 670
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Penyusunan bahan ajar yang layak digunakan dalam perkuliahan tidaklah mudah. Penyusunan bahan ajar yang berbasis kompetensi tidak sekedar menyusun bahan ajar saja, tetapi melihat kompetensi-kompetensi apa saja yang diperlukan untuk mencapai capaian pembelajaran yang diharapkan. Selain itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menyusun bahan ajar. Analisis karakteristik mahasiswa, lingkungan, dan lain-lain diperlukan dalam perancangannya. Kaidah-kaidah penulisan bahan ajar juga perlu diteliti oleh ahli yang terkait. Selain itu, belum tentu bahan ajar yang disusun sesuai teori pengkonstruksian bahan ajar mudah dimengerti oleh pemakai, dalam hal ini mahasiswa perserta perkuliahan. Lebih lanjut, dampak atau hasil penggunaan bahan ajar yang disusun juga perlu diperhatikan. Bahan ajar yang berkualitas efektif untuk meningkatkan suatu kompetensi yang diharapkan. Bahan ajar yang disusun akan lebih maksimal apabila tersedia dalam bentuk web. Mahasiswa dapat mengakses materi kapan saja dan dimana saja, tidak terkendala waktu dan tempat. Bahan ajar yang dipublish di web, tidak hanya dapat diakses mahasiswa melalui laptop ataupun komputer, akan tetapi dapat diakses dari HP, sehingga lebih fleksibel untuk belajar mahsiswa. Berdasarkan berbagai uraian di atas, diperlukan perancangan materi yang berupa bahan ajar berbasis web dalam pembuatan media pembelajaran matematika yang berbasis ICT. Perancangan bahan ajar tersebut perlu dilakukan melalui suatu penelitian pengembangan agar dihasilkan bahan ajar yang layak (valid, praktis, dan efektif).
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dalam bidang pendidikan. Model penelitian pengembangan dalam penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar yang layak (valid, praktis, dan efektif) dengan menggunakan tahapan-tahapan penelitian pengembangan 4-D (Thiagarajan & Semmel, 1974: 6-9) yang digambarkan dalam sebuah bagan pada Gambar 1. berikut. :Analisis karakteristik mahasiswa :Analisis latar belakang pengalaman mahasiswa : Analisis konsep-konsep utama yang akan diajarkan : Analisis ketrampilan yang diperlukan A li i t d k d l t j t j
Analisis awal-akhir Analisis mahasiswa Analisis konsep Analisis tugas A li i i dik t Mengkonstruksi beracuan kriteria: • Kevalidan • Kepraktisan • Keefektifan
tes
• Pemilihan Media • Pemilihan Format
Desain awal (Penyusunan bahan ajar)
Draft I
Validasi Ahli Revisi kecil
tidak
Ya
Revisi besar
Valid? Draft II
Uji kepraktisan dan Uji keefektifan
Revisi kecil
Ya
Praktis? Efektif?
tidak
Revisi besar
Draft Final Kelas lain/Dosen lain
Gambar 1. Prosedur Penelitian Tahapan-tahapan dalam penelitian ini yang disajikan dalam Gambar 1 di atas, diuraikan lebih rinci sebagai berikut. a. Define (Tahap Pendefinisian) Tujuan tahap ini adalah menentukan tujuan dan permasalahan sebagai patokan dalam penyusunan bahan ajar. 1) Analisis awal-akhir (front-end analysis) Analisis yang dilakukan untuk menganalisis dasar permasalahan yang dihadapi. 2) Analisis pembelajar (learner analysis) Menganalisis perkembangan psikologi mahasiswa, kompetensi yang dimiliki mahasiswa (entering competencies), dan latar belakang 671
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
pengalaman yang dimiliki mahasiswa (background experiences). 3) Analisis konsep (consept analysis) Mengidentifikasi konsep-konsep utama yang akan diajarkan, mengatur dalam urutan hierarkhi, dan memerinci konsep-konsep ke dalam atribut-atribut. Analisis ini membantu untuk memperoleh sekumpulan contoh dan bukan contoh. 4) Analisis tugas (task analysis) Menganalisis ketrampilan utama yang memadai dan diperlukan. Analisis ini untuk memastikan pemenuhan menyeluruh tugas terkandung dalam bahan pembelajaran (material instructional). 5) Analisis indikator pembelajaran (specifying instructional objectives) Mengubah hasil analisis tugas dan konsep dalam tujuan-tujuan yang berhubungan dengan tingkah laku. Sekumpulan tujuan ini menjadi dasar untuk mengkonstruksi tes dan desain instruksional yang kemudian diintegrasikan dalam bahan ajar. b. Design (Tahap Perancangan). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe bahan ajar dan alat evaluasinya. 1) Mengkonstruksi tes beracuan kriteria (constructing criterionreferenced test) Tes yang disusun merupakan tes yang digunakan dalam mengevaluasi bahan ajar yang dikembangkan yaitu mengenai: kevalidan, kepraktisan, dan keefektifannya. 2) Pemilihan media (media selection) Memilih media yang cocok untuk mempresentasikan isi pengajaran.
3) Pemilihan format (format selection) Seperti halnya dengan pemilihan media, pemilihan format juga dipilih dari berbagai format bahan ajar yang paling sesuai bergantung pada berbagai faktor yang ditentukan. 4) Desain awal (initial design) Desain awal dilakukan untuk mendesain bahan ajar dari hasil analisis yang telah dilakukan pada tahap define dan berdasarkan kriteria yang ditentukan dengan media dan format yang sesuai. c. Develop (Tahap Pengembangan). Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang valid, praktis dan efektif. 5) Penilaian ahli (expert appraisal) Sejumlah ahli diminta untuk mengevaluasi bahan ajar yang dikembangkan secara tehnik. Berbasis pada umpan balik (feedback), bahan dimodifikasi supaya menjadi lebih memadai, dapat digunakan, dan secara tehnik berkualitas tinggi. 6) Uji pengembangan (developmental testing) Uji pengembangan dilakukan melalui ujicoba bahan ajar yang dikembangkan pada kelas yang sesungguhnya untuk memperoleh bagian-bagian yang direvisi berdasarkan temuan-temuan yang ada saat ujicoba. Selain untuk keperluan modifikasi, juga dilakukan uji kepraktisan dan keefektifan bahan ajar untuk mengetahui kualitas bahan ajar yang dikembangkan.
672
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
d. Disseminate (Tahap penyebaran). Bahan ajar sampai pada tahap produksi akhir jika uji pengembangan menunjukkan bahan ajar praktis dan efektif digunakan dalam proses pembelajaran. 1) Pengujian validitas (validating testing) Setelah bahan ajar dilakukan ujicoba dan menghasilkan perangkat yang praktis dan efektif, perlu dilakukan penyebaran di kelas lain. 2) Pengemasan (packaging), difusi dan adopsi (diffusion and adoption) Pengemasan final, difusi dan adopsi merupakan bagian penting untuk mengemas bahan dalam bentuk yang diterima pengguna. Variabel Penelitian Variabel yang diamati atau diukur dalam penelitian ini berupa bahan ajar berbasis web pada mata kuliah PMPM Berbasis ICT. Subyek Penelitian Diambil sampel mahasiswa dari populasi untuk dijadikan kelas kontrol dan kelas eksperimen, yang kemudian diberi perlakuan yang berbeda. kelas kontrol tetap dengan perlakuan biasa yaitu pembelajaran konvensional dan kelas eksperimen diberi perlakuan khusus dengan menggunakan pengembangan bahan ajar berbasis web. Setelah pembelajaran dilaksanakan, kedua kelas selanjutnya diberi tes akhir yang nantinya untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara kedua kelas tersebut Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini di Prodi Pendidikan Matematika FKIP UPY Instrumen Pengumpulan Data Instrumen penelitian diarahkan untuk melihat kelayakan bahan ajar jika
digunakan dalam proses pembelajaran. Instrumen penelitian dalam penelitian ini berupa instrumen untuk memvalidasi bahan ajar, instrumen untuk melihat kepraktisan bahan ajar, dan instrumen untuk melihat keefektifan bahan ajar jika diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Instrumen tersebut, diuraikan sebagai berikut. a. Instrumen untuk Memvalidasi Bahan ajar Instrumen yang digunakan untuk memvalidasi bahan ajar disusun disesuaikan dengan konstruksi penyusunan bahan ajar yang berbasis kompetensi. Untuk keperluan itu pengukuran dilakukan dengan angket yang berupa rating dan saran secara kualitatif dari ahli untuk keperluan pertimbangan revisi bahan ajar. Kevalidan bahan ajar adalah skor yang diperoleh dari hasil pengisian lembar kevalidan bahan ajar oleh ahli. Skala pengukuran menggunakan model skala likert dengan 5 titik, yakni 1, 2, 3, 4, dan 5. Lembar kevalidan bahan ajar disusun berdasarkan kisi-kisi instrumen sebagai berikut. Tabel 1. Kisi-kisi Angket Kevalidan Bahan Ajar Indikator
Aspek
Konstruksi Bahan Ajar
Konstruksi Web
Kesesuaian materi dengan tujuan pembelajaran Kalimat dapat dipahami dengan mudah Sesuai dengan tingkat pembelajaran bagi pemula Kesesuaian kalimat dengan Ejaan yang Disempurnakan interaktivitas
No Butir 1 2 3 4 5
multimedia
6
aksesibilitas
7
b. Instrumen untuk Mengukur Kepraktisan Bahan ajar Instrumen yang digunakan untuk menilai kepraktisan bahan ajar dilakukan dengan angket yang diberikan mahasiswa untuk setiap sub bab materi dari bahan ajar 673
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
yang dihasilkan. Angket yang diberikan berupa rating yang akan diolah secara kuantitatif, dan saran-saran untuk keperluan pertimbangan revisi bahan ajar. Angket yang digunakan untuk mengetahui kepraktisan bahan ajar menggunakan skala pengukuran menggunakan model skala likert dengan 5 titik, yakni sangat setuju (SS), setuju (S), biasa saja/ragu (R), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS) dengan pembobotan berturut-turut 5, 4, 3, 2, dan 1. Lembar kepraktisan bahan ajar disusun berdasarkan kisi-kisi instrumen sebagai berikut. Tabel 2. Kisi-kisi Angket Kepraktisan Bahan Ajar
meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam menyusun animasi materi berbasis ICT. Data yang berupa komentar, dan saran dianalisis secara kualitatif, yag selanjutnya digunakan sebagai masukan untuk merevisi produk yang dikembangkan. Kriteria kevalidan bahan ajar, yang disajikan dalam tabel berikut. Tabel 4. Kriteria Kevalidan Bahan Ajar Rata-rata Skor 4 3,33
X
Sangat Valid
5
X
4
2,67 X 3,33 2 X 2,67 1 X 2
No
Aspek Kepraktisan
No Butir
1
Kemudahan dalam menggunakan
1,4,6
2 3
Kejelasan bahan ajar Kemenarikan
2,3,5,8 7
No 1 2
Indikator Soal Mahasiswa dapat membuat animasi motion tween Mahasiswa dapat membuat animasi shape tween
Aspek penilaian Kebaruan ide Kelancaran Kebaruan ide Kelancaran
Valid Sedang Rendah Sangat Rendah
Kriteria kepraktisan bahan ajar, yang disajikan dalam tabel berikut. Tabel 5. Kriteria Kepraktisan Bahan Ajar Rata-rata Skor 4 3,33 2,67 2 1
c. Instrumen untuk Mengukur Keefektifan Bahan ajar Kefektifan bahan ajar yang dikembangkan dilihat berdasarkan hasil pekerjaan mahasiswa, mengenai kebaruan ide dan kelancaran dalam menyelesaikan media pembelajaran berbasis ICT yang dihasilkan. Tabel 3 Kisi-kisi Tes Keefektifan Bahan Ajar
Kategori
X X X X X
5 4 3,33 2,67 2
Kategori Sangat Praktis Praktis Sedang Rendah Sangat Rendah
Kriteria keefektifan bahan ajar disajikan dalam tabel berikut. Tabel 6. Kriteria Keefektifan Bahan Ajar Kategori 100 Sangat Efektif Efektif 87,50 Sedang 73,61 Rendah 59,72 45,83 Sangat Rendah
Interval (%) 87,50 X 73,61 X 59,72 X 45,83 X 25 X
No Butir 1 2
Tehnik Analisis Data a. Analisis Deskriptif Data yang diperoleh dianalisis dan diarahkan untuk menjawab tujuan penelitian yaitu menghasilkan bahan ajar matematika yang layak. Kriteria layak dalam penelitian ini adalah memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, serta keefektifan dalam
b. Uji Statistik Uji statistik yang dipergunakan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama ialah dengan melakukan uji prasyarat analisis guna menentukan jenis analisis apakah yang akan digunakan untuk menguji hipotesis penelitian. 674
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Berdasarkan hasil uji persyaratan analisis yang telah dilakukan jika data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka hipotesis akan diuji menggunakan uji rata-rata satu pihak. Bentuk hipotesis uji rata-rata satu pihak adalah sebagai berikut : 𝐻𝑜 : 𝜇 ≤ 73,61 (rata-rata kompetensi mahasiswa belum melampaui kriteria) 𝐻1 : 𝜇 > 73,61 (rata-rata kompetensi mahasiswa telah melampaui kriteria) Rumus uji statistik yang digunakan (Sudjana 2005:227) adalah:
dalam penyusunan bahan ajar. Dalam tahap ini dilakukan analisis kebutuha, yang dilakukan untuk menganalisis permasalahan mendasar dalam pembelajaran matematika, psikologi belajar siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sebagai landasan dalam penyusunan bahan ajar yang dikembangkan. Analisis tersebut lebih rinci diuraikan sebagai berikut a. Analisis awal-akhir Analisis yang dilakukan digunakan untuk menganalisis permasalahan dasar yang dihadapi. Observasi awal dilakukan terhadap media pembelajaran yang disusun mahasiswa pada tahun sebelumnya. b. Analisis pembelajar Menganalisis perkembangan psikologi mahasiswa, kompetensi yang dimiliki mahasiswa, dan latar belakang pengalaman yang dimiliki mahasiswa. Observasi awal yang dilakukan terhadap perkuliahan “Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Berbasis ICT” diperoleh bahwa sebagian besar mahasiswa belum mengenal software-software yang bisa digunakan dalam menyusun media. Sebagian besar mahasiswa belum pernah menggunakan media pembelajaran matematika dalam belajar pada jenjang sebelumnya. Berdasarkan analisis tersebut, dikembangkan bahan ajar yang sesuai dengan karakteristik mahasiswa, yang disusun bagi pembelajar tingkat pemula.
−
x− µ 0 t= ; S n Keterangan : t = nilai statistik hasil perhitungan
x
= rata-rata nilai
µ 0 = nilai indikator pembanding s n
(kriteria= 73,61) = simpangan baku = banyaknya sampel
Selanjutnya hasil tersebut dibandingkan dengan nilai t tabel menggunakan dk = n − 1 dan dalam penelitian ini diambil α = 5%. Jika t hitung > t tabel. maka 𝐻0 ditolak akibatnya 𝐻1 diterima, artinya ketuntasan individual melebihi kriteria (73,61). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian dalam penelitian ini disajikan per-tahap untuk setiap tahapan penelitian pengembangan, yang diuraikan sebagai berikut. 1. Define (Tahap Pendefinisian) Tujuan tahap ini adalah menentukan tujuan dan permasalahan sebagai patokan 675
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
c. Analisis konsep Mengidentifikasi konsep-konsep utama yang akan diajarkan, mengatur dalam urutan hierarkhi, dan memerinci konsep-konsep ke dalam atribut-atribut. Analisis ini membantu untuk memperoleh sekumpulan contoh dan bukan contoh.Analisis konsep yang dilakukan pada mata kuliah “Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Berbasis ICT” ditunjukkan pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Alur Konsep d. Analisis tugas Menganalisis ketrampilan utama yang memadai dan diperlukan. Analisis ini untuk memastikan pemenuhan menyeluruh tugas terkandung dalam bahan pembelajaran (material instructional). Analisis tugas yang telah dilakukan disajikan sebagai berikut.
TEORI MEDIA PEMBELAJARAN
RANCANGAN MATERI & MEDIA
SOFTWARE
FLOWCART & STORYBOARD
TEKNIK PEMBUATAN MEDIA
PRODUK MEDIA
Tabel 7. Analisis Tugas No 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7. 8. 9.
TUGAS Mahasiswa diberikan tugas membuat makalah tentang pengembangan media pembelajaran berbasis ICT - Mahasiswa berkelompok berdiskusi untuk mendesain/merancang materi matematika - Mahasiswa diberi tugas individu untuk mendesain/merancang materi matematika yang akan dikumpulkan pertemuan selanjutnya - Mahasiswa berkelompok berdiskusi untuk membuat flowcart dan storyboard - Mahasiswa diberi tugas individu untuk membuat flowcart dan storyboard yang akan dikumpulkan pertemuan selanjutnya Mahasiswa secara aktif mempelajari dan praktek menggunakan software Flash Mahasiswa membuat animasi berbantuan computer dengan software Flash Mahasiswa secara aktif mempelajari dan praktek menggunakan software Movie Maker, Swift 3D, 3D Max Mahasiswa membuat animasi berbantuan computer dengan software Movie Maker, Swift 3D, 3D Max Mahasiswa secara aktif mempelajari dan praktek menggunakan software Lectora Mahasiswa membuat tampilan media berbantuan computer dengan software Lectora Mahasiswa praktek membuat media berdasarkan rancangan materi, flowcart, dan storyboard yang telah dibuat Mahasiswa peer teaching menggunakan media yang disusunnya Mahasiswa melakukan pameran media pembelajaran dalam rangka menawarkan ide nya ke khalayak yang lebih luas
676
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
e. Analisis indikator pembelajaran Mengubah hasil analisis tugas dan konsep dalam tujuantujuan yang berhubungan dengan tingkah laku. Sekumpulan tujuan ini menjadi dasar untuk mengkonstruksi tes dan desain instruksional yang kemudian diintegrasikan dalam bahan ajar. 2. Design (Tahap Perancangan). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan prototipe bahan ajar dan alat evaluasinya. a. Mengkonstruksi tes Tes yang disusun merupakan tes yang digunakan dalam mengevaluasi bahan ajar yang dikembangkan yaitu mengenai: kevalidan, kepraktisan, dan keefektifannya. b. Pemilihan media Pemilihan media dilakukkan untuk mencari media yang cocok digunakan dalam mempresentasikan isi pengajaran. Berdasarkan hasil penyesuaian antara analisis tugas dan konsep, karakteristik siswa, dan sumber produksi media, media yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan ajar yang disajikan dalam web dan bahan ajar yang disajikan dalam bentuk cetak. c. Pemilihan format Seperti halnya dengan pemilihan media, pemilihan format juga dipilih dari berbagai format bahan ajar yang paling sesuai bergantung pada berbagai faktor yang ditentukan. Format bahan ajar dalam penelitian ini dipilih
panduan praktek pembuatan media pembelajaran matematika menggunakan software flash, yang didesain dengan bahasa sesederhana mungkin. d. Desain awal Desain awal dilakukan untuk mendesain bahan ajar dari hasil analisis yang telah dilakukan pada tahap define dan berdasarkan kriteria yang ditentukan dengan media dan format yang sesuai. Desain awal dalam penelitian ini disebut sebagai draft-1. 3. Develop (Tahap Pengembangan). Pada tahapan ini, hasil penelitian berupa kualitas produk yang dikembangkan berdasarkan penilaian ahli dan uji pengembangan. Selain itu, penyempurnaan produk dilakukan berdasarkan saran ahli dan uji coba empiris pada mahasiswa. a. Penilaian ahli Sejumlah ahli diminta untuk mengevaluasi bahan ajar yang dikembangkan secara tehnik. Berbasis pada umpan balik (feedback), bahan dimodifikasi supaya menjadi lebih memadai, dapat digunakan, dan secara tehnik berkualitas tinggi. Berdasarkan penilaian dari ahli, kualitas bahan ajar yang dikembangkan disajikan dalam tabel berikut.
677
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tabel 8. Hasil Penilaian Ahli No
Indikator
1
Kesesuaian materi dengan tujuan pembelajaran Kalimat dapat dipahami dengan mudah Sesuai dengan tingkat pembelajaran bagi pemula Kesesuaian kalimat dengan Ejaan yang Disempurnakan interaktivitas (tersedianya jalur komunikasi yang lebih luas), multimedia, aksesibilitas (dapat diakses dari berbagai sumber belajar).
2 3 4 5 6 7
Skor 5
Kriteria Sangat Valid
4
Valid
4
Valid
4
Valid
3
Cukup valid
4 4
Valid Valid
Tabel 10. Revisi Hasil Uji Pengembangan No 1
2
Berdasarkan saran dari ahli, perbaikan yang dilakukan pada tahap ini disajikan dalam tabel berikut. Tabel 9. Revisi Ahli No
Sebelum
Sesudah
Sebelum
Sesudah
Hal 49 (tidak ada catatan Catatan: tambahan. Mahasiswa kesulitan 1. Animasi shape tween ini secara teknis) digunakan untuk animasi yang berupa perubahan bentuk benda, baik itu berubah bentuk ke bentuk lebih kecil dan ke bentuk lebih besar. Animasi ini juga bisa digunakan untuk benda yang berbeda ataupun benda berubah menjadi tulisan. 2. Animasi ini bisa dilakukan untuk benda-benda yang bentuknya sudah berupa noktah-noktah (terlihat titik-titik). Apabila belum, maka bisa dilakukan Modify -> Break Apart berkali kali sampai bentuknya telah menjadi noktah-noktah.
Selain untuk keperluan modifikasi, juga dilakukan uji kepraktisan dan keefektifan bahan ajar untuk mengetahui kualitas bahan ajar yang dikembangkan. Berdasarkan uji pengembangan, kepraktisan bahan ajar yang dikembangkan disajikan dalam tabel berikut. Tabel 11. Kepraktisan Bahan Ajar
1
2
3
b. Uji pengembangan Uji pengembangan dilakukan melalui ujicoba bahan ajar yang dikembangkan pada kelas yang sesungguhnya untuk memperoleh bagian-bagian yang direvisi berdasarkan temuan-temuan yang ada saat ujicoba. Berdasarkan hasil uji pengembangan, perbaikan yang dilakukan pada tahap ini disajikan dalam tabel berikut.
No
Aspek Kepraktisan
Skor
Kriteria
1
Kemudahan dalam menggunakan
4,33
Sangat Praktis
2 3
Kejelasan bahan ajar Kemenarikan
4,67 5
Sangat Praktis Sangat Praktis
Selain kepraktisan, keefektifan bahan ajar diukur melalui sebuah tes. Hasil tes tersebut, diolah secara statistik menggunakan uji t. Sebelum uji t dilakukan, tentu saja dilakukan uji prasyarat, yaitu uji normalitas data, yang disajikan sebagai berikut.
678
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
kriteria valid, sangat praktis, dan efektif digunakan dalam perkuliahan mata kuliah “Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Berbasis ICT”. Keefektifan bahan ajar untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa ini, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Andi Prastowo (2012: 28) yang menyatakan bahwa salah satu manfaat penggunaan bahan ajar adalah peserta didik mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus dikuasainya. 4. KESIMPULAN Berdasarkan kajian teori yang didukung oleh hasil penelitian serta tujuan penelitian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bahan ajar yang dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran, dengan rician 1) bahan ajar valid ditinjau dari hasil penilaian ahli, 2) bahan ajar sangat praktis ditinjau dari hasil penilaian mahasiswa, 3) bahan ajar efektif ditinjau dari hasil pekerjaan mahasiswa.
Setelah dilakukan uji prasyarat, sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, selanjutnya dilakukan uji t. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh t hitung 1,996645 lebih besar dari t tabel 1,701, sehingga Ho ditolak, artinya rata-rata kompetensi mahasiswa telah melampaui kriteria. 4. Disseminate (Tahap penyebaran). Berdasarkan hasil pada tahaptahap sebelumnya, bahan ajar menunjukkan bahan ajar praktis dan efektif digunakan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu, bahan ajar yang dikembangkan disebar pada kelas lain. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak sampai pada tahap validitas testing. Bahan ajar yang dikembangkan, selain dikemas dalam web, juga disajikan dalam bentuk cetak. B. Pembahasan Penelitian ini menghasilkan bahan ajar dengan kualitas baik, dengan kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. Kevalidan bahan ajar dihitung melalui angket penilaian ahli, yang dalam hal ini berada dalam kategori valid. Keefektifan bahan ajar, dilihat berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh t hitung 1,996645 lebih besar dari t tabel 1,701. Dengan kata lain Ho ditolak, artinya rata-rata kompetensi mahasiswa telah melampaui criteria. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, diperoleh bahwa bahan ajar yang dikembangkan telah memenuhi
5. REFERENSI Andi Prastowo. (2012). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press. Thiagarajan, S., Semmel, D., & Semmel, M. I. (1974). Instructional development for training teachers of exceptional children: A Sourcebook. Minnesota: Central for Innovation on Teaching the Handicaped
679
PENINGKATAN MINAT, KOMITMEN DAN KEMAMPUAN MENYUSUN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MELALUI PENDAMPINGAN BERKELANJUTAN GURU IPS SMP KECAMATAN MINGGIR Sardiyono ABSTRACT This research aims to acknowledge how to improve the teacher interest, commitment and competency in designing lesson plan through continue guidance for social science junior high school teacher of Minggir district in 2016/2017 academic year.The subject of this research are the Social Science teachers of Junior High School in the Minggir district. There are eleven teachers. This research is focused in improving interest in designing lesson plan, commitment in designing lesson plan and competency in in designing lesson plan. The research is done by particpating the head master as the collaborator. The instrument in collecting data are questionaire, test, interview anddocumentary. The technique of analysis data use the qualutative and quantitatif descriptive. The result of research shows that the teachers’ interest in in designing lesson plan increase from the beginning into the second cycle from 73.82 to 94.36 with advance level. The teachers’ commitment in designing lesson plan from the beginning into the second cycle from 63.86 to 95.00 with advance level. The teachers’ competency in designing lesson plan from the beginning into the second cycle from 65.30 to 98.13 with the advance level. The implication of the continue guidance in designing lesson plan, teachers try to apply the theory that they get in the future and become the source for other teachers in designing lesson plan. Key words: interest, commitment, designing lesson plan, continue guidance PENDAHULUAN Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan membawa inovasi lain dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, yaitu menekankan pada pembelajaran peserta didik aktif dan bermakna. Pengembangan kurikulum ini merupakan upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan, baik mutu proses maupun mutu hasil lulusan. Oleh karena itu, syarat pertama dan utama yang harus dimiliki adalah kepedulian dan komitmen atau kebulatan tekad terhadap mutu pendidikan (quality of education). Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 Bab XI pasal 40 ayat 2 menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang
bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan. Menurut Wina Sanjaya (2016: 2) proses pendidikan yang terencana itu diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, hal ini berarti pendidikan tidak boleh mengesampingkan proses belajar. Proses belajar-mengajar atau proses pengajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum suatu lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi para peserta didik mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan pada dasarnya mengantarkan para peserta didik menuju pada perubahan tingkah laku baik
680
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
intelektual, moral maupun sosial agar dapat hidup mandiri sebagai individu dan makluk sosial. Dalam mencapai tujuan tersebut siswa berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur guru melalui proses pengajaran. Menurut Asmani (2009 :37) Guru adalah profesi mulia. Dia memegang peranan signifikan dalam melahirkan satu generasi yang menentukan perjalanan manusia. Profesionalisme menjadi sebuah keharusan sejarah. Peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa. Guru professional harus memiliki 4 kompetensi yang salah satunya adalah penyusunan program yaitu menyusun RPP untuk mempersiapkan dalam proses pembelajaran . Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Akademik Guru, dan Permendiknas Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Dalam realitasnya, sebagian besar guru masih kesulitan dalam menyusun RPP. Berdasarkan pengamatan peneliti di SMP Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman sebagian besar guru belum mampu menunjukkan RPP yang baik dan benar. Minat mempunyai pengaruh yang besar untuk mencapai keberhasilan. Dengan adanya minat terhadap sesuatu akan membawa seseorang menekuni suatu bidang dengan sepenuhnya guna memperoleh keberhasilan. Minat merupakan alat motivasi utama yang dapat membangkitkan kegairahan untuk melaksanakan sesuatu. Witherington dalam Eko Mulyadi (2014: 55), minat adalah kesadaran seseorang dalam sesuatu obyek seseorang, suatu soal atau situasi mengandung sangkut paut dengan dirinya. Pengetahuan
atau informasi tentang seseorang atau suatu obyek pasti harus ada terlebih dahulu dapat minat obyek tadi. Menurut Hilgar dalam Slameto (2013: 57) memberi rumusan tentang minat sebagai berikut: “Interest is persisting tendency to pay attention to and enjoy some activity or content”. Maksudnya minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang beberapa kegiatan Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus menerus yang disertai rasa senang. Minat mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan. Untuk meningkatkan profesionalisme selain memiliki minat, guru juga harus memiliki komitmen yang tinggi. Menurut Ramdhani (2012: 86) Komitmen berasal dari kata dalam bahasa Inggris, Commitment yang berarti (1) the trait of sincere and steadfast fixily of porpose, (2) the act of binding yourself inteltually of emotionally to a corse of action. Difinisi pertama mempunyai makna sifat tulus dan menetap terhadap suatu tujuan. Sedangkan definisi kedua adalah tindakan mengikatkan diri secara intelektual dan emosional terhadap sesuatu hal. Guru yang mempunyai komitmen tinggi senantiasa melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai guru secara professional. Komitmen tinggi yang harus dimiliki seorang guru dalam menyusun RPP, antara lain: mengerti akan tujuan menyusun RPP, memiliki motivasi yang tinggi dalam menyusun RPP. berkemauan keras untuk menyelesaikan tugas penyusunan RPP, bekerja dan berusaha dengan teliti dan cermat dalam menyusun RPP, tidak suka menunda tugas dan pekerjaan, percaya diri dalam menghadapi tugas, rajin, ulet dan tabah, mendayagunakan waktu secara tepat dan terarah pada sasaran. Komitmen tinggi ini diiringi perilaku tepat 681
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
waktu, tepat janji, dan peduli terhadap kualitas, serta berjuang untuk berprestasi. Seorang guru hendaknya memulai disiplin diri dan berjanji dalam diri sendiri. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas pembelajaran terlebih dahulu guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, merupakan acuan utama bagi guru dalam merencanakan proses pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, penilaian serta tindak lanjutnya. Namun hingga penelitian ini dilaksanakan RPP yang ditunjukkan guru-guru umumnya masih menggunakan skenario pembelajaran konvensional. Masih dominan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centre oriented). Menggunakan strategi pembelajaran ekspositori dengan didominasi oleh metode ceramah, diskusi dan tanya jawab. Masih banyak RPP yang menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centre oriented) dengan pendekatan diskoveri inkuiri tidak tampak adanya proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi oleh peserta didik. Pembuatan RPP bagi guru adalah sangat urgen. Berdasarkan pengalaman yang peneliti lakukan ketika melaksanakan supervisi akademik pada satuan pendidikan, banyak guru yang tidak dapat menunjukkan perencanaan pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang baik. Pada saat peneliti meminta guru untuk menunjukkan rencara pelaksanaan pembelajaran, ternyata belum memenuhi prinsip penyusunan RPP secara benar. Guru menunjukkan RPP hanya copy paste dan sudah kedaluwarsa. Guru tidak membuat RPP sendiri tetapi menggunakan RPP yang dibuat kelompok MGMP tanpa direvisi terlebih dahulu. RPP hasil MGMP
tersebut hanya sekedar contoh, sehingga strategi pembelajaran yang dicantumkan dalam RPP seharusnya disesuaikan dengan situasi dan kondisi satuan pendidikan. Melihat keadaan yang demikian, penulis mengajak guru untuk memahami betapa pentingnya menyusun RPP yang baik dan benar. Perencanaan pelaksanaan pembelajaran perlu disusun secara professional agar kualitas hasil pembelajaran bisa optimal. Hal itu dimaksudkan agar hasilnya dapat seperti yang diharapkan. Oemar Hamalik ( 2014: 5) selaku tenaga professional, guru harus mampu membuat desain pendidikan atau desain instrusional karena setiap guru menginginkan hasil pendidikannya berhasil dengan baik. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap, sistematis,dan sesuai prinsip penyusunan RPP. Berkaitan dengan hal itu, para guru perlu pendampingan secara berkelanjutan untuk meningkatkan minat, komitmen dan kemampuannya dalam menyusun RPP. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tindakan sekolah bertujuan untuk meningkatkan minat, komitmen, dan kemampuan menyususn RPP melalui pendampingan berkelanjutanguru IPS SMP Kecamatan Minggir tahun pelajaran 2016/2017. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMP se-Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Subjek penelitian guru-guru IPS SMP seKecamatan Minggir Sleman. Jumlah SMP di Kecamatan Minggir ada 4 sekolah. Jumlah guru yang diteliti ada11 guru, semuanya berlatar belakang pendidikan IPS.
682
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan Juli - September 2016. Prosedur penelitian minat, komitmen dan kemampuan menyusun RPP melalui pendampingan berkelanjutan guru SMP Kecamatan Minggir tahun pelajaran 2016/2017 dilaksanakan dengan penelitian tindakan sekolah dengan prinsip daur ulang. Tindakan pendampingan dilaksanakan melalui siklus-siklus. Setiap satu siklus terdiri dari langkah-langkah perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Setiap siklus dianalisis, dievaluasi, dan dilakukan refleksi untuk diambil tindakan perbaikan. Untuk mempermudah pemahaman dan pelaksanakan, langkah-langkah penelitian tindakan sekolah ini merujuk pada model siklus dari Kemmis dan Taggart (Madya 1994:25). Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah angket, tes, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dengan teknik analisis deskriptif kualitatif, dengan menggunakan criteria sebagai berikut: NO SKOR KATEGORI 1 91- 100 Amat Baik (A) 2 81- 90 Baik (B) 3 71 – 80 Cukup (C) 4 61 – 70 Kurang (K) 5 60 ke Sangat Kurang bawah (SK)
yang dikumpulkan sebelum pelaksanaan tindakan. Hasil observasi dokumen pra siklus tentang rencana pelaksanaan pembelajaran rata-rata nilai kemampuan menyusun RPP guru IPS 65.30 dengan kategori kurang. Nilai dari 11 guru semuanya masih di bawah target minimal 81. RPP yang dibuat oleh para guru belum sesuai standar permendiknas 41 tahun 2007. Mereka memiliki RPP sekedar punya bahkan ada beberapa yang copy paste dari sekolah lain serta hasil MGMP yang tidak direvisi sesuai dengan kondisi di sekolah masing-masing. Setelah dilakukan pengamatan dengan beberapa guru ternyata sebagian besar belum memiliki kemampuan menyusun RPP secara mandiri. Beberapa kelemahan guru dalam menyusun RPP antara lain: perumusan indikator belum ada kesesuaian antara rumusan dengan aspek keterampilan, perumusan tujuan pembelajaran belum sesuai dengan aspek audience, behavior, condition, dan degree, pemilihan materi ajar belum sesuai dengan karakteristik peserta didik, dalam pemilihan media pembelajaran masih ada yang belum sesuai dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan, begitu pula dalam menentukan metode belum sesuai dengan ketentuan tujuan pembelajaran, makna dan manfaat RPP kurang diperhatikann, skenario pembelajaran masih ada sebagian yang belum menuliskan eksplorasi elaborasi konfirmasi secara benar, dan rancangan penilaian autentik masih ada sebagian guru yang belum sesuai antara bentuk teknik dan instrument dengan indicator pencapaian kompeten. Berdasarkan angket minat menyusun RPP menunjukkan bahwa minat menyusun RPP guru IPS SMP pada pra siklus masih rendah dengan rata-rata 73.82 dari target minimal 81. Dari 11 guru yang
Indikator keberhasilan penelitian tindakan sekolah ini adalah adalah sekurang kurangnya 91% guru yang mengikuti pendampingan berkelanjutan memperoleh nilai baik. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kondisi Awal Kondisi kemampuan menyusun RPP Guru IPS SMP se-Kecamatan Minggir diperoleh dengan melihat hasil RPP awal 683
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
memenuhi taget minimal minat menyusun RPP baru ada 1 guru nilai 82 dengan kategori baik. Sedangkan 10 belum memenuhi target minimal 81. Berdasarkan angket komitmen guru dalam menyusun RPP guru IPS ternyata masih rendah. Penilaian komitmen menyusun RPP guru IPS SMP rata-rata baru
mencapai 63.86 dari target minimal 81. Dari 11 (sebelas) guru, komitmen menyusun RPP Guru IPS Kecamatan Minggir belum ada yang memenuhi target minimal 81. Hasil peningkatan minat, komitmen, dan kemampuan menyusun RPP guru IPS SMP Kecamatan Minggir adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan Minat Menyusun RPP Guru IPS Dari hasil penilaian minat menyusun RPP guru IPS SMP Kecamatan Minggir seperti tabel berikut ini: Tabel 1. Minat Menyusun RPP Guru IPS SMP Kecamatan Minggir No
Kategori
1 2 3 4 5 Jumlah
SB B C K SK
Pra Siklus Absolut 1 7 3 11
% 0 9.09 63.63 27.27 0 100
Siklus I Absolut 2 9 11
% 18.18 81.81 0 0 0 100
Siklus II Absolut 11 11
% 100 0 0 0 0 100
Keterangan Tercapai
Berdasarkan tabel di atas angket minat menyusun RPP guru IPS menunjukkan peningkatan dari pra siklus sampai siklus II mencapai 100% 2. Peningkatan Komitmen Menyusun RPP Guru IPS Hasil penilaian komitmen menyusun RPP guru IPS SMP Kecamatan Minggir seperti tabel berikut ini: Tabel 2. Komitmen Menyusun RPP Guru IPS SMP Kecamatan Minggir No 1 2 3 4 5 Jumlah
Kategori SB B C K SK
Pra Siklus Absolut 4 5 2 11
% 0 35.36 45.45 18.18 100
Siklus I Absolut 1 10 11
% 9.09 90.90 0 0 0 100
Siklus II Absolut 11 11
Keterangan % 100 0 0 0 0 100
Tercapai
Berdasarkan tabel di atas angket komitmen menyusun RPP guru IPS menunjukkan peningkatan dari pra siklus sampai siklus II mencapai 100%
3. Peningkatan Menyusun RPP Guru IPS Hasil penilaian kemampuan menyusun RPP guru IPS SMP Kecamatan Minggir seperti tabel berikut ini: Tabel 3. Kemampuan Menyusun RPP Guru IPS SMP Kecamatan Minggir
684
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
No
Kategori
1 2
SB B
3 4 5
C K SK Jumlah
Pra Siklus Absolut % 0 0 3 6 2 11
ISBN 978-602-73690-6-1
Siklus I Absolut % 1 9.09 4 36.35
27.27 54.54 18.18 100
6 11
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa prestasi guru dalam menyusun RPP meningkat dari 11 guru pada pra siklus, sampai siklus II mengalami peningkatan sampai 100% dengan kategori amat baik. Seperti yang ditunjukkan dengan hasil wawancara terhadap guru pada siklus II. Pada akhir siklus guru diwawancarai mengenai pendampingan berkelanjutan yang dilakukan pengawas ternyata salah satu jawaban yang diberikan guru bahwa pendampingan yang dilakukan oleh pengawas sangat membantu pemahaman penyusunan. Guru lebih memahami teori dalam penyusunan RPP. Selain itu dapat menambah peningkatan minat dan komitmen dalam penyusunan RPP . Penilaian pada semua komponen RPP guru IPS SMP pada siklus II rata-rata 98.13 melebihi target minimal 81. Angket minat menyusun RPP rata-rata 94,36 dengan kategori amat baik. Selain itu angket komitmen menyusun RPP rata-rata 95 dengan kategori amat baik.
54.54 0 0 100
Siklus II Absolut % 11 100 0 11
Keterangan Tercapai
0 0 0 100
spiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. RPP disusun setiap kompetensi dasar yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru sering mengalami kesulitan dalam penyusunan RPP, sehingga diperlukan pendampingan dari pengawas secara berkelanjutan. Pendampingan merupakan kegiatan untuk membantu individu maupun kelompok yang dimulai dari kebutuhan dan kemampuan yang didampingi dengan mengembangkan proses interaksi dan komunikasi dari, oleh, dan untuk anggota kelompok. Dalam upaya pendampingan, pengawas memfasilitasi cara pemecahan masalah dalam penyusunan RPP IPS. Tahapannya mulai dari idendifikasi permasalahan, mencari alternatis pemecahan masalah, sampai pada implementasinya.Pendamping memberikan alternative pemecahan masalah dalam penyusunan RPP.Kemudian guru dapat memilih alternative pemecahan masalah sesuai kondisi yang ada. Melalui pendampingan berkelanjutan guru dapat mengetahui kekurangakekurangan dalam menyusun RPP IPS. Selanjutnya dibimbing agar mempunyai kemampuan untuk memperbaikinya. Pemec-
Pembahasan Hasil Penelitian Dari uraian yang terdahulu menunjukkan bahwa melalui pendampingan berkelanjutan dapat meningkatkan kemampuan menyusun RPP para Guru IPS SMP se Kecamatan Minggir. Setiap satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsungsecara interaktif, in-
685
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
ahan secara bersama-sama dengan difasilitasi pengawas akan membuat upaya tersebut lebih efektif, dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peningkatan kemampuan menyusun RPP Guru IPS SMP. Selain itu upaya peningkatan kemampuan menyusun RPP guru IPS akan lebih efektif lagi jika disertai upaya peningkatan minat dan komitmen guru dalam menyusun RPP. Upaya peningkatan dapat dilakukan dengan memberikan nasehat, kritik yang bersifat membangun, pemberian informasi terbaik yang berguna untuk mendorong bertindak selanjutnya. Upaya yang dilakukan pengawas akan berguna bagi guru dalam memahami masalah dan pemecahannya. Pada akhirnya dengan adanya minat, komitmen dan kemampuan yang tinggi dalam menyusun RPP akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan.
85.22 dan siklus II menjadi 95 dengan kategori amat baik. Upaya tindak lanjut guru setelah diberi pendampingan secara berkelanjutan dalam penyusunan RPP, berusaha menerapkan teori yang sudah diperoleh ke dalam penyusunan RPP di waktu yang akan datang, dan berusaha menjadi sumber informasi terhadap para guru yang lain dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Saran 1. Para guru agar bertanya kepada pengawas binaan tentang penyusunan RPP guna meningkatkan kompetensi guru khususnya dalam penyusunan RPP agar sesuai standar yang telah ditentukan 2. Kepala Sekolah hendaknya sering melakukan penelitian di bidang pendidikan, salah satu diantaranya adalah penelitian tindakan sekolah agar mengetahui permasalahan di sekolah dan mencari solusinya, pelaksanaannya dapat berkolaborasi dengan pengawas pembina di sekolah. 3. Pemerintah/instansi terkait, para pemangku kepentingan di bidang pendidikan hendaknya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pengawas, kepala sekolah, guru untuk melakukan penelitian di bidang pendidikan, kesempatan tersebut baik dalam bentuk dana, motivasi maupun penghargaan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa melalui pendampingan secara berkelanjutan dapat meningkatkan minat menyusun RPP, komitmen menyusun RPP dan kemampuan menyusun RPP guru IPS SMP se-Kecamatan Minggir . Kemampuan menyusun RPP meningkat secara signifikan dari rata-rata pra siklus 65.30, siklus I 81.21 dan siklus II menjadi 97.58 dengan kategori amat baik Minat guru dalam menyusun RPP meningkat dari rata-rata dari pra siklus sampai siklus II meningkat dari pra siklus 73.8, siklus I 84, siklus II menjadi 94.36 dengan kategori amat baik. Komitmen guru dalam menyusun RPP meningkat dari rata-rata pra siklus sampai siklus II meningkat dari pra 63.86, siklus I
DAFTAR PUSTAKA Asmani, Jamal Ma’mur (2009), 7 Kompetensi Guru Menyenangkan dan Profesional, Yogyakarta:Power Books Eko Mulyadi (2014). ”Peningkatan Minat Belajar dan Prestasi Siswa Mata Pelajaran Fisika Kelas XIITPI dan XIIAVI di SMK N 3 Yogyakarta”. 686
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Jurnal Adi Karsa Teknologi Komunikasi Pendidikan, volume V No. 6. Yogyakarta Juli 2014 Hamalik, Oemar (2014). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Siste,Jakarta: Bumi Aksara. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan Sumber daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012). Penelitian Tindakan Sekolah. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Badan Pengembangan
Sumber daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2010). Pedoman Pendampingan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Ramdhani, Neila (2012), Menjadi Guru Inspiratif, Jakarta: Titian Foundation. Slameto (2013), Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi, Jakarta: Rineka Cipta. Suharsimi Arikunto, Suharjono, dan Supardi, ( 2006 ), Penelitian Tindakan Sekolah, Jakarta ,Bumi Aksara Sunarti dan Selly Rahmawati (2014), Penilaian dalam Kurikulum 2013, Yogyakarta: C.V Andi Offset. Wina Sanjaya (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Media Group
687
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN TRAVEL GAME PADA MATERI INTEGRAL TAK TENTU Laela Sagita1) 1FKIP, UPY
[email protected] Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran berupa permainan edukatif dengan nama “Travel Game” yang akan digunakan pada materi Integral Tak Tentu pada Mata kuliah Kalkulus sehingga tercipta pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa secara efektif dan signifikan. Media pembelajaran yang dihasilkan pada penelitian ini hanya terbatas pada aplikasi teori yang telah disampaikan, serta pemecahan masalah guna menunjang pembelajaran yang menyenangkan. Target yang ingin dicapai yaitu tersusunnya media permainan edukatif travel game yang valid, praktis pada mata kuliah Kalkulus, yang mana berisi latihan soal yang dapat dilakukan secara berkelompok. Hasil penelitian ini adalah : (1) kriteria kevalidan dapat ditunjukkan melalui penilaian ahli materi dan media, menurut ahli materi menunjukkan dalam kategori baik dengan keidealan 24,5, (2) kriteria kepraktisan media interaktif yang telah dikembangkan dapat dilihat dari hasil angket respon mahsiswa dengan presentase keidealan 71,22% dengan kategori tinggi. Keywords: media, travel game, pembelajaran 1. PENDAHULUAN Program Studi Pendidikan Matematika merupakan salah satu program studi yang akan mencetak guru matematika tingkat SMP, SMA, dan SMK. Dimana dalam kurikulum di Prodi Pendidikan Matematika yang ada di Universitas PGRI Yogyakarta satu mata kuliah yang merupakan dasar dari ilmu matematika yaitu kalkulus, baik kalkulus diferensial maupun Kalkulus disajikan pada tingkat dasar yaitu semester III yang merupakan kelanjutan dari Kalkulus I (Kalkulus Diferensial). Berdasarkan minat mahasiswa terhadap Mata Kuliah seri kalkulus diperoleh hasil bahwa sebagian besar berada pada kategori sangat tinggi (40,68 %), tinggi (54,24%), cukup (5,09%), dan kurang (0%). Kenyataan yang
bertolakbelakang jika dikorelasikan dengan prestasi belajar dimana hasil angket menunjukkan 94,82% minat mahasiswa pada mata kuliah Kalkulus pada kategori tinggi dan sangat tinggi. Berdasarkan ratarata nilai akhir yang diperoleh pada tahun akademik 2012-2013 untuk Mata Kuliah kalkulus I sebesar 45,47 dengan tingkat kelulusan sebesar 35%. Sedangkan pada tahun akademik 2013-2014 mengalami sedikit peningkatan dimana nilai rata-rata hasil ujian akhir sebesar 65,59 dengan tingkat kelulusan 45%. Berpedoman pada data di atas, peran dosen agar dapat mengkaji dengan baik bahan materi yang akan disajikan, mengetahui derajat kesukaran tiap-tiap materi kemudian memilih cara penyajian yang tepat, sehingga dengan minat belajar yang sudah tinggi diperlukan sebuah 688
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
terobosan guna meningkatkan prestasi belajar mahasiswa dan pengalaman mahasiswa dalam belajar. Penggunaan permainan edukatif sebagai media pembelajaran pada beberapa pertemuan akan mengurangi kemonotonan dari proses pembelajaran. travel game adalah salah satu media permainan edukatif yang dapat disajikan sebagai salah satu permainan. Dengan pengembangan media permainan travel game yang disesuaikan dengan karakteristik mahasiswa yang memenuhi kriteria valid, efektif, dan efisien diharapkan prestasi belajar mahasiswa dapat lebih meningkat. Tujuan kegiatan ini yaitu (1) menghasilkan prototipe media permainan travel game Mata Kuliah Kalkulus dengan memenuhi kriteria kevalidan, keefektifan, dan kepraktisan, (2) media permainan travel game yang dikembangkan dapat menumbuhkembangkan prestasi belajar secara efektif dan signifikan
media belajar yang hidup dalam kelas. Oleh sebab itu, penampilan dosen ikut membantu keberhasilan tercapainya tujuan pembelajaran. Media pembelajaran dapat membantu dalam mewujudkannya, seperti yang dikemukakan oleh Levie & Lentz (Arsyad, 2005) terdapat empat fungsi dari media pembelajaran, yaitu (1) Fungsi Atensi ; menarik dan mengarahkan perhatian mahasiswa untuk berkonsentrasi kepada isi pembelajaran, (2) Fungsi Afektif : dapat terlihat dari kenikmatan mahasiswa ketika belajar, (3) Fungsi Kognitif ; media pembelajaran dapat memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang disampaikan, dan (4) Fungsi Kompensatoris; untuk mengakomodasikan mahasiswa yang lemah dan dapat menerima serta memahami isi pelajaran yang disajikan secara verbal. Menurut Gerlach, dkk (1980) dan Raharjo (1984) media pembelajaran bukan semata-mata sebagai alat bantu bagi dosen dalam proses pembelajaran, namun lebih ditekankan sebagai pembawa isi pembelajaran yang dibutuhkan mahasiswa, dan dapat dimanfaatkan sendiri oleh mahasiswa Permainan matematika sangat bervariasi macam dan kegunaannya, untuk itu dosen matematika dapat memilih permainan-permainan yang akan digunakan dalam pengajaran. Seorang dosen matematika harus pandai dalam memilih permainan yang akan digunakan, karena permainan yang akan digunakan itu bukan sekedar membuat mahasiswa senang dan tertawa, tetapi permainan tersebut harus menunjang tujuan instruksional pengajaran matematika serta pelaksanaannya harus terencana. Dengan tercapainya tujuan instruksional pengajaran, pelaksanaan permainan
2. KAJIAN LITERATUR DAN HIPOTESIS PENELITIAN Pengertian media menurut Ely&Gerlach (Arsyad, 2005) terbagi mnjadi dua bagian, yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, media dapat berwujud : grafik, foto, alat mekanik, dan elektronik yang digunakan untuk menangkap, memproses serta menyampaikan informasi. Menurut arti secara luas, media adalah kegiatan yang dapat menciptakan suatu kondisi sehingga memungkinkan peserta didik memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang baru. Kemampuan seorang dosen dalam memilih media pembelajaran sangat menentukan kualitas belajar mengajar yang akan dikelolanya. Dosen adalah suatu 689
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
matematika dalam pembelajaran tidak akan sia-sia dan membuang waktu. Jadi, permainan matematika bisa menjadi salah satu alat yang efektif untuk pembelajaran. Travel Game atau permainan berjalan merupakan suatu permainan yang idenya berawal dari sebuah artikel The Mathematics Teacher yang diterbitkan pada tahun 1976 (Gilman, Rowe, & Hildenberger, 1976), dan berjudul “Games in Senior High Math Classes”. Menurut Allan Leslie White (2011) permainan ini membuat penyisihan hingga empat pemain dalam setiap papan permainan.Hal ini memudahkan dosen untuk membentuk kelompok sesuai dengan jumlah mahasiswa di kelas. Travel Game dirancang untuk mengetahui kemampuan mahasiswa setelah proses pembelajaran disampaikan. Permainan ini menggunakan dadu dan kartu soal. Dadu berisi pertanyaan yang sifatnya berdasarkan satu karakter tipe soal.Sedangkan di dalam kartu soal berisi soal-soal yang sifatnya lebih luas sesuai dengan materi yang diberikan. Untuk mempermudah mahasiswa dalam bermain dosen menyiapkan lembar jawaban dari masing-masing pertanyaan yang terdapat di dalam dadu dan kartu. Tidak semua peserta dalam permainan tersebut mempunyai lembar jawaban. Lembar jawaban hanya diberikan kepada salah satu dari mereka yang belum bertugas menjadi pemain dalam masing-masing kelompok. Penggunaan media permainan travel game dalam perkuliahan tidak dilaksakanan sepenuhnya sepanjang pembelajaran 3x50 menit dan dapat menggunakan model pembelajaran yang disesuaikan. Pada prinsipnya, penyampaian materi dapat diseragamkan, penggunaan media permainan dikombinasikan pada model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament.
Berikut rancangan proses perkuliahan yang akan dilaksanakan. Hipotesis penelitian terhdap pengembangan media permainan travel game adalah tersusunnya media permainan travel game yang memenuhi kriteria kevalidan, keefektifan, dan kepraktisan. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan (development research). Menurut Van den Akker dan Plomp dalam (Hadi: 2001), bahwa tujuan penelitian pengembangan adalah : 1) untuk mendapatkan prototype produk dan untuk perumusan saran-saran metodologis, 2) untuk pendesainan dan evaluasi prototype produk tersebut. Produk yang dikembangkan adalah Media Permainan Travel Game yang digunakan pada perkuliahan Kalkulus. Alat pengumpul data yang digunakan dalam pada tahap evaluasi pada pengembagan media travel game untuk pengecekan kevalidan, keefektivan, dan kepraktisan, sebagai berikut (1) Lembar angket (2) Tes kognitif (3) Lembar penilaian kevalidan (4) Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran 4. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahapan Pelaksanaan Tahap persiapan meliputi beberapa kegiatan, yaitu melakukan review terhadap silabus mata kuliah Kalkulus 2, mempelajari dan menganalisis literatur yang akan digunakan dalam pembuatran media travel game, sera menyusun rencana pembelajaran. Berdasarkan hasil review terhadap silabus dan literatur, ditetapkan materi yang akan digunakan dalam pembuatan media travel game adalah metode pengintegralan subtitusi dan parsial. 690
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Sedangkan model yang akan digunakan dala pembelajaran adalah model kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT). B. Tahapan Evaluasi Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelaksanaan adalah mengembangkan media permainan travel game berdasarkan pada materi yang telah di susun pada tahap persiapan. Pengkajian terhadap media oleh dua orang pakar (expertjudment) dengan melihat beberapa aspek kelayakan isi dan fisik dari media. Berdasarkan hasil penilaian ahli diperoleh skor keidealan 24,5 dengan kategori baik. Dengan beberapa masukan, diantaranya (1) eraturan permainan perlu diperbaiki, agar dalam menggunakan lebih mudah dalam memahami alur permainan, (2) soal yang terdapat pada kartu agar dikelompokkan dalam 2 tipe soal, berdasarkan tingkat kesulitan. Pengecekan Keefektifan Media Permainan Travel Game dilakukan dengan memberikan tes kognitif terhadap hasil belajar mahasiswa sesudah menggunakan media permainan travel game Kalkulus, kemudian hasilnya dianalisis dan dideskripsikan secara kuantitatif. Pengecekan kepraktisan media permainan Travel Game melalui respon mahasiswa terhadap media interaktif diukur dengan menggunakan instrument angket. Untuk selanjutnya angket dianalisis secara kuantitatif. Hasil analisis respon mahassiwa terhadap media interaktif menunjukkan bahwa : (1) aspek perhatian mahasiswa terhadap media interaktif memiliki presentase sebesar 74.40 dengan kategori sangat baik (2) aspek keterkaitan mahasiswa terhadap media travel game memiliki presentase sebesar 70.24 dengan kategori baik (3) aspek keyakinan
mahasiswa terhadap media interaktif memiliki presentase sebesar 68.57 dengan kategori cukup (4) aspek kepuasan mahasiswa terhadap media travel game memiliki presentase sebesar 74.40 dengan kategori baik. Berdasarkan hasil analisis dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa respon mahasiswa untuk seluruh aspek maupun peraspek menunjukkan respon positif (baik). 5. KESIMPULAN Media Travel Game yang dikembangkan memenuhi kriteria kevalidan, keefektifan, dan kepraktisan. 1. Kriteria kevalidan dapat ditunjukkan melalui penilaian ahli materi dan media, menurut ahli materi menunjukkan dalam kategori baik dengan keidealan 24,5 . 2. Kriteria kepraktisan media interaktif yang telah dikembangkan dapat dilihat dari hasil angket respon mahsiswa dengan presentase keidealan 71,22% dengan kategori tinggi. 6. REFERENSI Arsyad, Azhar. 2005.Media Pembelajaran. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Gerlach, Vernon S.; Ely, Donald P., dan Melnick, Rob. 1980. Teaching and Media. A Systematic Approach.Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Hadi, Sutrisno. 2001.Metode Research, Jilid I, Yogyakarta: ANDI. Raharjo. 1984. Media Pembelajaran.Dalam Yusufhadi Miarso. 1984. Teknologi Komunikasi Pendidikan. Pengertian dan Penerapannya di Indonesia.Seri Pustaka Teknologi Pendidikan No.
691
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
1. Jakarta: Pustekkom Dikbud dan CV Rajawali. (p.47-76). White, Allan L. 2011. The Travel Game. Yogyakarta: SEAMEO QITEP in Mathematics.
692
Kepemimpinan Moral dalam Serat Murtasiyah; Kajian Sosiologi Sastra Gramscian Rika Novita Kusumaningrum FKIP, Universitas PGRI Yogyakarta
[email protected] Abstract Theoretically, this research aims to analyze Serat Murtasiyah text as a work of literature use to Gramscian literature sociology approach to explore morale leadership. This research practice aim is explains codicology and textology use modern filology approach. Research method what used is qualitative descriptive research to analyze language and content. Data population for this research are 22 variants codex. So this research data sample is codex variant of Yogyakarta Sonobudoyo Museum collection by codex number PB A.214. Be based on study of codicology, this text is dominated words and loan idioms from Arabic. Morale leadership contained the text is represented by a wise female figure, whose name is Murtasiyah. She is intellect in patriarchat domination at Java Culture. A fusion of beautifulness, emotional quotion, and intelectual quotion is a significant modale to reach for morale leadership that give effects fair, comfortable, and elegant. More than morale leadership whose content, this text could was been enable as Java tasawuf text. Keywords : Serat, modern filology, Gramscian literature sociology, morale leadership, and tasawuf. 1. PENDAHULUAN Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi penulisan ini. Pertama, teks Murtasiyah populer karena mendapat sambutan dalam khasanah kesusastraan lampau Nusantara berupa karya sastra lisan dan tulis. Dalam tradisi tulis di Melayu, dikenal dengan Hikayat Darma Tasiyah (lihat Behrend, 1998:292), di Bugis Daramatasia (Paeni dkk., 2003:108), di Sunda Wawacan Murtasiyah (Tim Mahasiswa, 1989:50), dan di Jawa Serat Murtasiyah (Behrend, 1990:210--211, 325, 494, 505--506). Sambutan dalam tradisi lisan Jawa yaitu dalam Cerita Kentrung Murtasiyah (Hutomo, 1998:64; Pudjirahardjo, 1997:50). Kedua, potensipotensi perempuan Jawa dalam teks Murtasiyah beraksara pegon menarik dikaji karena perempuan diberi peran besar sekaligus diposisikan inferior. Ketiga, relevansi teks dengan situasi aktual dalam masyarakat. Secara teoritis, penelitian ini
bertujuan menganalisis teks Serat Murtasiyah sebagai suatu karya sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra Gramscian untuk memaparkan kepemimpinan moral yang terkandung di dalam teks itu. Tujuan praktis penelitian ini adalah memaparkan pernaskahan dan perteksan dengan menggunakan pendekatan filologi modern. Adapun penelitian terdahulu tentang Serat Murtasiyah adalah sebagai berikut. Penelitian pertama dilakukan oleh Jandra (1987) dengan objek penelitian naskah pegon dari Museum Negeri Sonobudoyo. Hasil penelitian ini berupa pembahasan asal-usul naskah, deskripsi naskah, transliterasi, sinopsis, dan analisis teks. Metode penyuntingan yang digunakan adalah metode penyuntingan naskah tunggal dengan edisi diplomatik. Penelitian ini mengikuti pandangan Munawar Khalil tentang nilai wanita dan Saparinah Sadli tentang wanita Jawa 693
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
(Jandra, 1987:21). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sumarno (1991) dengan ruang lingkup pupuh XXVI--XXXII. Hasil penelitian ini meliputi suntingan, deskripsi fisik naskah dan teks, ringkasan teks, terjemahan, aparat kritik, dan analisis teks untuk mengungkap ajaran dalam SrtM (Sumarno, 1991:10,16--17). Populasi penelitian ini terdiri dari 8 naskah yang tersimpan di Yogyakarta dan Surakarta. Empat naskah Surakarta dijadikan sampel (Sumarno, 1991:12--14, 32--37). Metode suntingan yang dipilih adalah metode landasan dan teori resepsi untuk menganalisis teks (Sumarno, 1991:15). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Pudjirahardjo (1997) dengan mengikuti pandangan filologi tradisional dengan menyusun silsilah naskah serta menerapkan metode landasan (legger) sebagai metode edisi kritik teks. Penelitian ini disertai pembahasan SrtM sebagai salah satu bentuk karya sastra (Pudjirahardjo, 1997:8). Penelitian berikutnya dilakukan oleh Waluyo (2003) dengan menggunakan sumber data dari buku Serat Centini Laras II pupuh 148--154 yang disalin dalam bahasa Jawa dan beraksara Latin. Penelitian ini menggunakan teori struktural Robert Stanton untuk menganalisi teks (Waluyo, 2003:48). Penelitian terakhir dilakukan oleh Kusumaningrum (2016: 262-282) berupa penelitian filologi dengan mengikuti pandangan filologi modern.
(dalam Jabrohim, 2001:17) pemilihan teori dan metode yang memadai menempati peran yang penting untuk menghasilkan penelitian yang memiliki validitas dan realibilitas yang tinggi. Untuk itu, terdapat tiga teori dalam penelitian terhadap teks SrtM yaitu teori filologi dan teori sosiologi sastra. 2.1 Teori Filologi Teori filologi digunakan sebagai landasan teoretis dalam membahas pernaskahan dan perteksan, menentukan naskah dasar kajian, dan menyunting SrtM PB.A.214–sebagai naskah terpilih. Objek penelitian filologi adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya (Baroroh-Baried dkk., 1994:6). Berangkat dari latar belakang lahirnya filologi sebagai satu istilah bagi suatu bentuk studi, filologi diperlukan karena munculnya varianvarian dalam teks yang tersimpan dalam naskah. Hal ini memperlihatkan gejala bahwa dalam penyalinan naskah, teks senantiasa mengalami perubahan sehingga muncul teks yang bervariasi. Dengan demikian, adanya varian-varian yang mengandung informasi dalam naskah itulah yang melahirkan kerja filologi. Berkaitan dengan varian, dalam kajian filologi terdapat dua sikap kontradiktif. Pertama, sikap yang memandang varian sebagai bentuk korup yang berarti sebagai wujud kelengahan dan kesalahan penyalin, melahirkan pandangan filologi tradisional. Dalam konsep ini, filologi memandang varian secara negatif. Akibatnya, teks harus dibersihkan dari bentuk-bentuk korup. Kedua, sikap yang memandang varian sebagai bentuk kreasi melahirkan pandangan yang disebut filologi modern. Dalam kosep ini, varian dipandang secara positif yaitu menampilkan wujud resepsi
1. KAJIAN LITERATUR Objek penelitian ini adalah karya sastra lampau. Sementara itu, karya-karya yang tercipta dari latar waktu yang berlainan akan menimbulkan persoalan yang berhubungan dengan pergeseran makna --selain persoalan yang berkaitan dengan media yang berupa naskah. Dalam hal ini, menurut Chamamah-Soeratno 694
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
penyalin. Dalam pandangan yang kedua ini perlu diingat bahwa gejala keteledoran penyalin tetap dipertimbangkan dalam pembacaan (Baroroh-Baried dkk., 1994:5-6). Penelitian ini mengikuti pandangan kedua.
konsep hegemoni adalah suatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep itu untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural dan ideologis tertentu. Gramsci mendikotomikan konsep hegemoni dengan dominasi. Pengertian dominasi bagi Gramsci adalah kepemimpinan yang bersifat memaksa pada suatu masyarakat oleh suatu kelas fundamental. Gramsci meneliti jajaran fungsi-fungsi dan efek-efek dari sastra yang diistilahkan sebagai fungsionaris hegemoni-kaum intelektual dan berbagai situs hegemoni-pendidikan, berbagai macam bentuk kebudayaan tinggi dan popular. Semennya adalah ideologi, kepercayaan-kepercayaan popolar, dan common sense. Dalam konsep hegemoni dengan berbagai konteksnya, Gramsci membuat tiga tantangan. Pertama, tantangan terhadap tradisi idealis liberal yang memahami persoalan-persoalan kebudayaan sebagai sesuatu yang hakikatnya apolitis atau sebagai persoalan "roh" yang tidak bersangkutan dengan politik. Tantangan kedua terhadap teoti Marxis yang membalikkan prosedur tersebut dan mereduksi kebudayaan semata-mata sebagai refleksi dasar ekonomik masyarakat. Gramsci menyebut kecenderungan itu sebagai ekonomisme atau kadang-kadang materialisme vulgar. Tantangan ketiga adalah terhadap zamannya sendiri untuk mentransformasi hegemoni negara menjadi suatu kepemimpinan moral dan intelektual yang akan meluas dan demokratik. Dengan demikian, menurut Gramsci (dalam Faruk, 1994:63), ada suatu pertalian yang penting antara kebudayaan dengan politik, tetapi pertalian itu bukanlah pertalian yang sederhana dan mekanis. Kebudayaan harus dipecah-pecah menjadi berbagai macam bentuknya,misalnya
2.2 Teori Sosiologi Sastra Gramscian Penelitian ini mengaplikasikan teori sosiologi sastra Gramscian. Teori ini tidak hanya mengakui keberadaan sastra sebagai lembaga sosial yang relatif otonom tetapi mempunyai kemungkinan bersifat formatif terhadap masyarakat. Teori ini ditemukan terutama dalam teori kultural atau ideologis general dari Gramsci yang kemudian diterapkan di dalam sastra (Faruk, 1994:61). Teori Hegemoni Gramscian membuka dimensi baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang sematamata sabagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem tersendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Menurut Faruk (1994:62) persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya berlangsung proses yang rumit. Gagasangagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, irradiasi, penyebaran dan persuasi. Kemampuan gagasan atau opini menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni. Secara literal hegemoni berarti "kepemimpinan". Kata ini sering digunakan oleh komentator politik untuk menunjuk kepada pengertian dominasi. Akan tetapi, bagi Gramsci, 695
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
kebudayaan tinggi atau rendah, kebudayaan elit atau popular, filsafat atau common sense. Pertalian-pertalian itu dianalisis dalam batas-batas efektivitasnya dalam penyemenan bentuk-bentuk kepemimpinan yang kompleks. Gramsci menolak konsepsi Marxis yang lebih kasar dan lebih ortodoks mengenai dominasi kelas dan menyukai satu pasangan konsep yang lebih canggih dan bernuansa, yaitu kekerasan dan kesetujuan. Konsep itu terutama berurusan dengan serangkaian cara-cara yang kompleks dan menyeluruh dari praktek-praktek kultural, politis, dan ideologis. Prekatek-praktek itu bekerja untuk menyemen masyarakat menjadi satu-kesatuan yang relatif walaupun tidak pernah lengkap. Gramsci membuat hubungan-hubungan yang mungkin tidak pernah kita perhatikan sebelumnya, ia mempersoalkan wilayah-wilayah seperti common sense yang mungkin dianggap lugu dan spontan, menginterogasi jajaran luas bentuk-bentuk kultural dari yang tampaknya "tertinggi" sampai yang "terendah" dan menerapkan situs-situs historis dan politis dari interaksi dan formasinya. Teorinya memungkinkan dipertanyakannya tentang sebab-sebab suatu bentuk kultural dianggap rendah atau tinggi secara historis dan efek-efek dari pembagian kultural itu. Dalam kerangka teori Gramsci menurut Faruk (2000:65), setidaknya terdapat enam konsep kunci, yaitu kebudayaan, hegemoni, ideologi, kepercayaan populer, kaum intelektual, dan negara. Dengan mempertimbangkan karakteristik teks Murtasiyah yang terpilih dari naskah dasar kajian, penelitian ini menerapkan satu dari enam kerangka teori di atas yaitu hegemoni dan kaum intelektual. Ruang lingkup teks Mutasiyah itu adalah sebuah keluarga inti yang terdiri
dari suami, istri, dan anak. Kedua kerangka teori itu diuraikan sebagai berikut. Akan tetapi, sebuah keluarga kecil dalam konteks teori ini cukup merepresentasikan sebuah negara dalam sebuah kultur yaitu kultur Jawa. Menurut Gramsci (dalam Faruk, 1994:68), kriteria metodologis yang menjadi dasar studinya adalah asumsi bahwa supremasi suatu kelompok sosial menyatakan dirinya dalam dua cara, yaitu sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan moral intelektual. Suatu kelompok sosial mendominasi kelompokkelompok antagonistik yang cenderung dihancurkan atau ditaklukkan dengan kekuatan tentara atau kelompok tersebut memimpin kelompok yang sama dan beraliansi dengannya. Suatu kelompok sosial dapat melaksanakan kepemimpinan sebelum memenangkan kekuasaan pemerintahan. Ia menjadi dominan apabila menjalankan kekuasaan, tetapi bahkan jika sudah memegang dominasi itu, ia harus meneruskannya untuk memimpinnya juga. Kepemimpinan itulah yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Hegemoni itu, oleh Gramsci, didefinisikan sebagai suatu yang kompleks, yang sekaligus bersifat ekonomik dan etis-politik. Hal yang harus diperhatikan juga adalah interes-interes kelompok dan kecenderungankecenderungannya pelaksanaan hegemoni itu dalam suatu kelompok masyarakat. Di dalam hegemoni, suatu keseimbangan kompromis antara interes-interes tersebut harus di bentuk. Dengan kata lain, kelompok pemimpin harus membuat pengorbanan-pengorbanan tertentu. Akan tetapi, pengorbanan tersebut tidak dapat menyentuh yang esensial, yaitu interes ekonomi, sebab, walaupun hegemoni bersifat etis-politis, ia juga harus bersifat ekonomik, harus didasarkan pada fungsi 696
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
yang menentukan, yaitu inti aktivitas ekonomi (lihat Faruk, 1994:68). Jadi, sebuah kepemimpinan hegemonik tidak hanya bersifat etis politis tetapi “mencukupi” dari segi ekonomi seluruh kelompok dalam masyarakatnya. Inti aktivitas ekonomik tersebut merupakan prinsip pertama yang harus diperhitungkan, tetapi bukan merupakan satu-satunya determinan. Terdapat tiga moment dalam inti aktivitas ini, moment pertama, mungkin terbentuk kesadaran kolektif yang bersifat ekonomis dalam lingkup satuan sosial tertentu, misalnya hubungan antar pedagang. Akan tetapi, pada momen itu, solidaritas satuan ekonomi dalam lingkup yang lebih besar belum terbentuk, misalnya antara pedagang dengan pabrik-pabrik. Momen kedua adalah momen yang di dalamnya kesadaran solidaritas dicapai di antara seluruh anggota dari satu kelas, tetapi masih dalam lapangan yang murni ekonomik. Momen ketiga adalah momen yang di dalamnya seseorang menjadi sadar bahwa interes korporasinya, dalam perkembangan sekarang dan akan datang, mengatasi batas-batas korporasi dari kelas yang secara murni ekonomik, melainkan menjangkau kelompok-kelompok lain yang subordinat. Momen ini merupakan fase yang paling politis dan menandai suatu perpindahan yang menentukan dari struktur ke lingkungan superstruktur yang kompleks. Pada momen ini terdapat fase ideologi-ideologi yang sebelumnya berkembang berubah menjadi partai, masuk ke dalam konfrontasi dan konflik sedemikian hingga hanya tinggal salah satunya saja, atau sekurangnya kombinasi tunggal darinya, yang cenderung menjadi pemenang. Kemudian menyebarkan dirinya pada seluruh masyarakat untuk menghasilkan tidak hanya persesuaian tujuan-tujuan politis dan ekonomik
melainkan juga kesatuan moral dan intelektual. Pada momen inilah apa yang disebut hegemoni itu terjadi, kepemimpinan suatu kelompok fundamental atas kelompok-kelompok subordinat. Bagi Gramsci (menurut Faruk, 1994:69), sejarah adalah suatu proses konflik-konflik dan kompromi-kompromi yang di dalamnya suatu kelas fundamental akan muncul sekaligus sebagai dominan dan direktif, tidak hanya dalam batas-batas ekonomik saja tetapi juga dalam batasbatas moral dan intelektual. Di sini negara muncul sebagai pemersatu dan arbitrator interes-interes dan konflik yang bermacammacam. Dalam suatu bentuk yang ekstensif dan efektif dari hegemoni itu akan ada satu keseimbangan dan harmoni yang relatif. Relatif karena ada periode-periode ketika hegemoni itu, dengan berbagai alasan, akan terpecah, dan ketika kelas dominan akan mengambil tindak kekerasan. Gramsci mendefinisikan hal itu sebagai suatu "krisis otoritas". "if the ruling class has lost its consensus, i.e.is no longer 'leading' but only 'dominant', exercising coercive force alone; this means precisely that the great masses have become detached from their traditional ideologies, and no longer believe what they used to belief previously, etc. The crisis consists precisely in the fact the old is dying and the new cannot be born; in this interragnum a great variety of morbid symptoms appear (Bennet, 1983: 199)." Di sini hegemoni mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara massa rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat: suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian 697
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Nama Kota Surakarta
Tempat Asal ∑ EkKoleksi semplar 1. Sasanapustaka 4 2. Keraton 2 3. Kasunanan 1 Reksapustaka Keraton Mangkunagaran Museum Negeri Radyapustaka Yogya- 4. Museum Negeri 7 karta 5. Sonobudoyo 1 Widyabudaya 6. 2 Keraton Yogyakarta Hadiningrat Pura Pakualaman Jakarta 7. Perpustakaan 4 Nasional Republik Indonesia Suraba- 8. Perpustakaan 1 ya Nasional Republik Indonesia Jumlah 22 eksemplar Tabel Populasi Penelitian Dikutip dari Kusumaningrum (2016:674).
yang sempit tetapi juga persoalan mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan secara berlebihan pada pentingnya dasar ekonomik masyarakat dan filsafat liberal pada peranan gagasan-gagasan, Gramsci berpegang teguh pada penyatuan kedua aspek itu secara bersama-sama. Salah satu cara yang di dalamnya pemimpin dan yang dipimpin disatukan adalah lewat kepercayaan-kepercayaan popular. Penelitian ini akan menganalisis teks Murtasiyah dengan asumsi bahwa teks itu adalah semesta imajinasi penyalinnya sebagai sebuah entitas yang menyerupai sebuah miniatur negara dengan segala peran pemimpin dan yang dipimpinnya dengan segala interes-interes, common sense, dan inti aktivitas politiknya. 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan menganalisis bahasa dan isi. Populasi data untuk penelitian ini sejumlah 22 naskah varian Murtasiyah. Kemudian sampel data penelitian ini adalah varian naskah dari koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta dengan nomor kodeks PB A.214 (lihat Kusumaningrum, 2016:674). Perhatikanlah tabel populasi penelitian di bawah ini.
No
Kritik teks memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti, dan menempatkan teks pada tempatnya. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks asli (constituo textus) (Baroroh-Baried dkk., 1994:61). Penerapan kritik teks (textual criticism) dalam penelitian terhadap SrtM dilakukan dengan metode filologi modern yang tidak mementingkan keaslian sebuah teks. Dengan demikian, dalam analisisnya tidak dilakukan rekonstruksi teks berdasarkan ketentuan stema (Reynolds
698
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dan Wilson, 1991:186--190; Teeuw, 1984:264). Setiap naskah SrtM dianggap sebagai saksi tradisi, jaman, dan lingkungan yang khas (Teeuw, 1984:269). Meskipun metode stema tidak begitu dipentingkan dalam penelitian ini, tetapi dalam upaya pengelompokan naskah atas dasar versinya masing-masing, prinsipprinsip metode itu akan dimanfaatkan secara terbatas. Setelah naskah dasar kajian ditentukan, tahapan kerja selanjutnya adalah menganalisis Serat Murtasiyah dengan nomor kodeks PB A.214 dengan menerapkan teori sosiologi sastra hegemoni Gramsci. Untuk aplikasinya, teori hegemoni Gramsci memiliki enam perangkat konsep. Dengan mempertimbangkan karakteristik teks Serat Murtasiyah bernomor kodeks PB A.214 -yang memiliki ruang sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-perangkat konsep teori hegemoni Gramsci yang diaplikasikan hanyalah konsep hegemoni dan konsep kaum intelektual. Hasil analisis ini dirancang sedemikian rupa agar menghasilkan aspek-aspek kepemimpinan moral sebagai ekstrak dari teks di atas.
sastra hegemoni Gramsci diaplikasikan untuk menganalisis aspek content atau isi Serat Murtasiyah yang berorientasi pada teks. Secara fisik teks, teks Serat Murtasiyah bersifat abstrak. Pernaskahan dan perteksan dibahas lebih awal kemudian disusul pemaparan hasil anaslisis teori sosiologi sastra hegemoni Gramsci. 3.1. Pernaskahan dan Perteksan Pernaskahan dan perteksan yang dipaparkan pada bagian ini adalah hasil aplikasi teori filologi modern pada Serat Murtasiyah bernomor kodeks PB A.214. Pada bagian ini juga dianalisis Serat Murtasiyah bernomor kodeks PB A.214 sebagai naskah dasar kajian. Pemaparan pernaskahan, naskah dasar kajian, dan perteksan SrtM dibahas dalam subsubjudul terpisah. Hasil analisis ketiga aspek itu diuraikan sebagai berikut. Pernaskahan SrtM PB A.214 Sebagaimana telah disebutkan pada subjudul “Metode Penelitian”, bahwa populasi penelitian ini terdiri dari 22 naskah salinan SrtM (lihat Kusumaningrum, 2016: 659-675). Masingmasing naskah diberi nama menggunakan 22 abjad Latin. Sistem penamaan ini hanya untuk memudahkan pengidentifikasian objek formal penelitian ini. Masing-masing naskah dideskripsikan sebagai berikut. Naskah A (Sasanapustaka Surakarta, 117 na) berjudul Serat Dara Murtasiyah I. Naskah ini selesai disalin pada tanggal 24 Februari 1876 oleh Ngabehi Harjadikrama (seorang abdi dalem carik di kadipaten) di Surakarta. Pemrakarsa penyalinan adalah Paku Buwana IX. Manuskrip sudah dialihhurufkan ke dalam tulisan Latin oleh Endang Tri Winarni pada bulan Mei 1985 (Girardet, 1983:45--46; Florida, 1993: 251). Naskah B (Sasanapustaka Surakarta, 4.1.1
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Subjudul ini memaparkan analisis seluruh data-data yang telah diperoleh dengan mengaplikasikan teori filologi modern dan teori sosiologi sastra hegemoni Gramsci. Kedua teori memiliki paradigma berbeda. Teori filologi modern diaplikasikan untuk menganalisis aspek form atau bentuk Serat Murtasiyah yang berorientasi pada naskah dengan istilah lain dalam kajian filologi kodeks (codex). Secara fisik, naskah Serat Murtasiyah bersifat konkret dan dapat disentuh ataupun diraba. Akan tetapi, teori sosiologi 699
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
118 na) yang juga disalin di Surakarta dengan judul Serat Dara Murtasiyah II adalah lanjutan dari naskah A. Naskah ini dimungkinkan oleh Florida (1993:251) selesai disalin pada tahun 1876. Manuskrip ini telah dialihurufkan pada bulan Mei 1985 (Girardet, 1983:160; Florida, 1993:252). Naskah C (Sasanapustaka Surakarta, 90 na) berjudul Serat MurtasiyahJoharmanik. Naskah C disalin di Surakarta dan selesai disalin pada tanggal 20 Januari 1814 oleh seorang abdi dalem carik yang diprakarsai oleh Paku Buwana IV (Girardet, 1983:47; Florida, Naskah D (Sasnapustaka 1993:71). Surakarta, 241 ca) (Florida, 1993:192) berbentuk sekumpulan teks. Naskah yang disalin di Surakarta ini tidak diketahui secara persis tarikh penyalinannya, berdasarkan kertas sebagai media alas tulisnya dapat dimungkinkan pada permulaan abad XX. Adapun penyalin anonim dan pemrakarsa penyalinan tidak diketahui. Naskah A, B, C, dan D adalah koleksi Perpustakaan Karaton Kasunanan Surakarta. Naskah E (Reksapustaka Surakarta, A 262) (Florida, 2000:266) ini sudah dialihurufkan pada tahun 1993.Tempat penyalinan naskah di Surakarta dan selesai disalin pada tanggal 20 November 1870 dengan pemrakarsa penyalinan Paku Buwana IX. Naskah F (Reksapustaka Surakarta, O 14) (Florida, 2000: 266) berjudul Serat Linglang-Linglung dan telah dialihhurufkan pada tahun 1997. Naskah E dan F adalah koleksi Perpustakaan Reksapustaka Puri Mangkunegaran Surakarta. Adapun Naskah G (Radyapustaka Surakarta, 255) (Girardet, 1983:551) yang berjudul Serat Murtasiyah ini koleksi Museum Negeri Radyapustaka Surakarta dan satu-satunya naskah yang penyalinannya diprakarsai seorang perempuan yaitu Ndara Sardinah
Purwadiningratan; selesai disalin tahun 1888. Naskah H (Sonobudoyo Yogyakarta, SB 11) (Behrend, 1990:210) yang berjudul Serat Ambiya, Amat Mukhamat, Murtasiyah tidak memiliki kolofon. Melihat gaya tulisan, naskah ini disalin di pesisir timur Pulau Jawa. Naskah ini diperoleh dari Sasradanakusuma di Madura.Naskah I (Sonobudoyo Yogyakarta, PB A. 95) (Behrend, 1990:325) berjudul Serat Joharmanik saha Serat Murtasiyah. Halaman depan dan belakang naskah ini rusak dan hilang sehingga tidak ditemukan Naskah J (Sonobudoyo kolofon. Yogyakarta, PB A. 214) (Behrend, 1990:494) yang berjudul Serat Murtasiyah ini disalin di Cirebon dan selesai disalin pada tahun 1914. Pemrakarsa penyalinan adalah Pangeran Hadimulya. Ini adalah satusatunya naskah yang dilengkapi dengan ilustrasi gambar pada separuh lebih dari keseluruhan halaman naskahnya. Naskah K (Sonobudoyo Yogyakarta, PB E. 16-19) (Girardet, 1983:850; Behrend, 1990:325) adalah satu-satunya naskah yang disalin dengan huruf Latin dengan ejaan lama sebagai alih huruf dari naskah J. Naskah yang disalin di Surakarta pada masa Panti Budaya ini selesai disalin pada tahun 1936 dengan pemrakarsa penyalinan Th. van Naskah L (Sonobudoyo Pigeaud. Yogyakarta, PB D. 13) (Girardet, 1983:893; Behrend, 1990:505) disalin di Cirebon tetapi tidak disebutkan tarikh penyalinan. Naskah M (Sonobudoyo Yogyakarta, PB A. 130) (Girardet, 1983:877-878; Behrend, 1990:506) memiliki judul Serat Murtasiyah. Tempat penulisan naskah ini di pesisir utara Pulau Jawa dan tempat penyalinannya di Yogyakarta dengan tarikh 1914.Naskah N (Sonobudoyo Yogyakarta, PB C.49) (Girardet, 1983:934; Behrend, 1990:656) yang berjudul Caŧetan 700
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Murtasiyah. Naskah anonim ini juga tidak diketahui tempat, tarikh, dan pemrakarsa penyalinannya. Naskah U (Jakarta, BR 261) (Behrend, 1998:95) berjudul Lessen aan Fatimah. Naskah ini tidak terbaca dan teksnya tidak runtut. Akibatnya, tidak dapat diketahui tempat, tarikh, dan pemrakarsa penyalinannya. Naskah V (Surabaya) (Pudjirahardjo, 1995:33--35) tidak dikatalogkan dan milik seseorang yang berdomisili di Surabaya bernama Bapak Wilangun sebagai warisan dari orang tua. Teks ini berjudul Serat Murtasiyah. Tidak terdapat kolofon, akibatnya asal-usul naskah tidak diketahui. Berdasarkan teksnya yang seredaksi dengan naskah J (PB A.214), Pudjirahardjo (1995:35) memperkirakan naskah V ini disalin pada tahun 1914. Dari kedua puluh dua naskah yang disebutkan di atas, terdapat 18 naskah yang terbaca dan 3 naskah yang tidak terbaca. Ketiga naskah tersebut meliputi naskah R (BR 188), S (CS 36), dan U (BR 261). Adapun sampel penelitian ini adalah 7 naskah yang dihadirkan atau dibaca oleh peneliti. Ketujuh naskah tersebut meliputi naskah A (117 na), B (118 na), E (A 262), F (O 14), J (PB A.214), K (PB E. 16-19), dan T (BR 139).
Warna-Warni ini selesai disalin pada tanggal 13 Februari 1788. Tempat penyalinan tidak diketahui dan nama penyalin adalah Kunjanapapa. Naskah H, I, J, K, L, M, dan N adalah koleksi Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. (Widyabudaya Naskah O Yogyakarta, C.23) (Girardet, 1983:675; Lindsay, 1994:196) yang berjudul Serat Murtasiyah disalin paling rapi dan berhias iluminasi paling indah. Sebagai satusatunya teks Murtasiyah di Perpustakaan Widyabudaya Karaton Ngayogyakarta, naskah ini disalin selama tujuh bulan (22 November 1851 sampai dengan 9 Juni 1852) diprakarsai oleh Hamengku Buwana Naskah P (Pura Pakualaman V. Yogyakarta, St.27) (Saktimulya, 2005:158) yang berjudul Dara Murtasiyah ini tidak memiliki kolofon. Naskah Q (Pura Pakualaman Yogyakarta, St.28) (Saktimulya, 2005:159) yang disalin oleh Ki Patra Prajaka (seorang abdi dalem jajar gandhek tengen) juga berjudul Dara Murtasiyah. Adapun pemrakarsa penyalinannya adalah B.R.M.H. Purwadiningratan dengan tempat penyalinan di Surakarta. Naskah P dan Q adalah koleksi Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta. Naskah R (Jakarta, BR 188) (Behrend, 1998:92) yang berjudul teks Murtasiya kondisinya baik tetapi karena kotor – karena sudah lapuk dan terkena bocoran atau rembesan air— naskah ini sulit dibaca sehingga tidak ditemukan informasi tentang tempat, tarikh, dan pemrakarsa penyalinan. Naskah S (Jakarta, CS 36) (Behrend, 1998:122) berjudul teks Dewi Murtasiyah. Naskah yang disalin dari naskah babon milik K.F. Holle ini disalin di Garut Batavia pada tahun 1865 oleh P.R. Suryawijaya. Naskah T (Jakarta, BR 139) (Behrend, 1998:83) berjudul Dewi
4.1.2
Naskah Dasar Kajian Naskah dasar kajian adalah salah satu dari tujuh naskah sampel penelitian ini yaitu naskah J bernomor kodeks PB A.214 koleksi Museum Negeri Sonobudoyo Yogyakarta. Adapun naskah J menggunakan tiga jenis aksara. Aksara Pegon digunakan untuk menyalin teks, aksara Arab untuk menyalin hadist dan ungkapan berbahasa Arab, dan aksara Jawa digunakan secara minim untuk memberi keterangan pada ilustrasi gambar. Aksara Jawa disalin di bawah gambar 701
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
ilustrasi, dengan kalimat beraksara Jawa untuk setiap gambar ilustrasi. Adapun aksara Arab dalam naskah J adalah perpaduan antara jenis khatnaskhi dan khatijazah. Dilihat dari gaya tulisan, dimungkinkan bahwa penyalinnya adalah seorang yang mahir tulis-menulis Arab. Kemungkinan penyalin naskah J adalah seorang anggota komunitas pesantren. Alasannya adalah tebal-tipis goresan kalamnya ajeg, kemiringan tulisan seragam, dan tulisan begitu rapi --tidak terdapat banyak coretan sebagai koreksi atas salah-salin. Unsur-unsur kebahasaan itu meliputi empat hal sebagai berikut, (1) Fonemfonem khas bahasa Jawa, Terdapat enam fonem khas Jawa yang ditemukan dalam SrtM yaitu /e/, /c/, /dh/, /g/, /ny/, /p/, dan /th/ (bandingkan dengan Jandra, 1987: 38). Keenam fonem tersebut tidak dimiliki aksara Arab. Deskripsi keenam fonem tersebut dan pemakaian lambangnya dalam naskah akan diuraikan sebagai berikut. (2) Kata ulang dalam bahasa Jawa, terdapat tiga cara pengulangan dalam bahasa naskah sebagai berikut: pengulangan seluruh kata tanpa perubahan fonem, pengulangan suku kata pertama, pengulangan yang digabung dengan imbuhan (afiks) yang meliputi awalan (prefiks), sisipan (infiks), dan akhiran (sufiks). (3) Kata, frasa, dan kalimat pinjaman bahasa Arab. Ungkapan Arab yang digunakan dalam naskah adalah kutipan istilah-istilah tasawuf, ilmu fiqih, dan ayat-ayat Al Qur’an. Kata-kata pinjaman dari bahasa Arab yang digunakan dalam SrtM meliputi nama diri, nama tempat, dan kosakata agama Islam. Dari uraian tentang deskripsi bahasa naskah di atas dapat diidentifikasi ketidakajegan penyalinan naskah dasar kajian. Terkait dengan ketidakajegan ini,
dapat ditarik dua butir kesimpulan sebagai berikut : (a) Penyalin adalah seorang santri Jawa yang mahir baca-tulis aksara Pegon tetapi kurang mahir tata bahasa Arab dan (b) terdapat transformasi budaya spiritual Arab ke dalam budaya spiritual Jawa. (4) Kata-kata khas dialek Cirebon yaitu adanya pengaruh dialek Cirebon pada unsur kebahasaan pada bahasa naskah (J[PB A.214]). Pengaruh tersebut terdapat pada tataran ejaan, pemakaian kosakata, dan pemakaian frasa. Naskah J (P.B. A 214) (terdiri dari 8 pupuh) berisi episode pengembaraan Murtasiyah. Alasan mutlak untuk naskah terpilih yaitu terjangkau dan terbaca. Adapun dua alasan lainnya sebagai berikut : (1) Dari segi pernaskahan, naskah ini unik. Keunikan yang mendasar adalah, naskah ini khas pesisiran. Sebagaimana diuraikan dalam pernaskahan, naskah ini beraksara pegon, berbahasa Jawa dialek Cirebon, dan disalin di Cirebon. (2) Dari segi perteksan, teks ini memuat episode pengembaraan Murtasiyah ini mencerminkan potensi perempuan Jawa. Tokoh Dewi Murtasiyah mengembara karena diusir oleh suaminya, Syekh Ngarip. Pengembaraan ini dijalani dengan gemilang berkat keoptimalan mengekspresikan potensi diri sehingga diterima kembali suaminya. Jadi, penentuan naskah J (P.B.A 214) sebagai dasar kajian dalam penelitian ini menggunakan metode landasan, yaitu memilih salah satu di antara 21 naskah dengan kriteria sebagaimana dimaksudkan pada butir ke-2. Untuk menyunting teks SrtM dipergunakan metode edisi diplomatis (Robson, 1978). Adapun kedua puluh naskah yang lain dimanfaatkan sebagai pembanding dan pelengkap data teks. Dalam arti, naskah-naskah itu digunakan untuk melengkapi 702
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
ketidakajegan bacaan dan ketidakjelasan huruf dalam proses penyuntingan.
bentuk feminine (muannats) yang dapat diartikan ‘orang (perempuan) yang disuapi’ (lihat Nuh dan Bakry, 1997:27). Berdasarkan uraian di atas, kata Serat Murtasiyah dapat diartikan surat atau tulisan yang biasanya berisi petuah atau pitutur tentang perempuan yang disuapi. Adapun bentuk teks P.B.A 214 Teks SrtM berbentuk puisi, yaitu puisi Jawa yang terkenal dengan sebutan “tembang macapat” yang terdiri dari delapan pupuh yang tersusun dari 242 bait (bandingkan dengan Jandra, 1987:62).
Perteksan SrtM PB A.214 Bagian ini membahas tentang karakteristik dan bentuk teks PB.A 214. Karakteristik teks dimulai dengan pembahasan judul teks. Dari dua puluh dua salinan teks, terdapat 16 salinan yang judul teksnya menggunakan kata Murtasiyah. Pengertian kata serat menurut dalam bahasa Jawa ngoko berarti ‘urat, serat (kayu)’; arti dalam bahasa Jawa krama berati ‘surat; sisir’. Dalam Jaka krama, kata dipun serat berarti ‘ditulis, dibatik’ (Prawiroatmodjo, 1980:190). Robson dan Wibisono (2002:673) memberikan pengertian kata serat sebagai berikut : (1) letter; (2) book (krama for layang); nyerat to write (krama for mbathik). Jadi, pengertian yang sesuai dengan konteks ini adalah “surat”. Kesimpulan ini memiliki beberapa alasan sebagai berikut : (1) Cara bercerita Serat Murtasiyah menggunakan sudut pandang orang pertama seperti halnya cara bercerita surat dari pengirim atau pembuat surat yang ditujukan kepada penerimanya. “Pengirim” menyampaikan pesan kepada penerimanya. Dalam konteks serat ini dapat dipahami bahwa “pengirim” pesan adalah kaum pria Jawa dan “penerima” pesan serat ini adalah kaum perempuan Jawa. Makna harfiah dari kata Murtasiyah yang dipinjam dari bahasa Arab ini diuraikan sebagai berikut. Kata murtasiyah ﻤﺮ ﺘﺸﻴﺔadalah kata indefinitif yang berasal dari akar kata ﺸوﺍ، ﻴﺮﺸﻮ ر، رﺸﺎyang berarti ‘menyuap’. Bentuk definitive dari akar kata itu adalah ﺍﻠﻤﺮﺘشdibaca al-murtasyi.Adapun kata ﺍﺭﺘﺶdibaca irtasya berarti ‘memakan suap’.Kemudian kata ﻤﺮﺘﺶ dibaca murtasyaberarti ‘orang (laki-laki) yang disuapi’.Sebaliknya, kata ﻤﺮﺘﺸﻴﺔadalah 4.1.3
4.2 Analisis Sosiologi Sastra Gramscian Teks Serat Murtasiyah P.B.A 214 adalah teks produk masyarakat Jawa disalin pada tahun 1845. Perhatikan terjemahan kutipan berikut ini: “Ketika itu ditulis yaitu pada hari Rabu dan tanggalnya tepat pada tanggal keenam kalinya. Sawal Mulud bulannya pada tahun 1332 Je juga Hijriah Babad jaman Kalinenggi pada tahun 1845” (SrtM hlm 12). Jika berbicara tentang masyarakat Jawa, dalam kajian sosiologi sastra diperlukan determinasi kelompok masyarakat manakah yang diwakili oleh teks ini. Untuk itu, perlu dirunut siapa atau dari kelompok manakah penyalin teks. Siapakah pemrakarsa penyalinan teks. Teks ini mewakili kelompok masyarakat manakah dalam struktur masyarakat Jawa. Menurut hasil penelitian Kusumaningrum (2016:671) identitas penyalin teks ini anonim dengan kata lain tanpa identitas. Anonimitas penyalin dalam kajian filologi Nusantara adalah hal lazim. Penyalinnya adalah seorang santri Jawa dari Cirebon. Penyalin merasa kurang patut menuliskan nama diri karena dia menulis diupah oleh seorang patron yang seorang penguasa di wilayahnya. Rupanya telah terjadi penyemenan konsep hegemoni pada klien 703
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
–yang diperankan oleh orang upahan semacam penyalin. Penyalin adalah orang yang mencari penghidupan dengan mengabdi pada patronnya dengan imbalan keluarga inti –bahkan hingga seluruh keluarga besarnya—ditanggung kebutuhan ekonominya oleh sang patron dengan diberi tanah perdikan atau tanah bengkok. Dalam SrtM disebutkan tanah perdikan. Perhatikan kutipan di berikut ini (SrtM hlm 10) : “Dukuhnya Ki Seh Arif berbentuk persegi dengan kesuburan di setiap jangkal tanahnya, subur tetanamannya. Sebuah dukuh perdikan baru. Tersebutlah Dukuh Sabah.” Berdasarkan kutipan itu juga peneliti menengarai bahwa penyalin SrtM P.B.A. 214 adalah salah seorang ulama lokal dari Keraton Cirebon. Sistem pemilikan tanah pada masyarakat Jawa tradisional berdasarkan sebuah jabatan. Tanah perdikan biasanya dituruntemurunkan karena jabatan dalam sistem pemerintahan Jawa juga turuntemurun. Luas tanah perdikan mencapai luas teritorial satu desa pada masa modern. Kemudian tanah bengkok mirip tanah perdikan hanya berbeda secara kuantitas, tanah bengkok antar 0,25 ha sampai dengan 1 ha. Adapun penyalinan teks ini diprakarsai oleh salah seorang penguasa lokal Cirebon berdasarkan kutipan berikut ini (SrtM hlm. 5) Tertanda dalam tulisan ini, kelak ketahuilah ! Tulisan ini milik seorang pangeran yaitu Jeng Pangeran Hadimulya di Pakubon Pakalipan yaitu putra Pangeran Kusumadibrata. Jadi, hegemoni seorang pangeran Kraton Cirebon dalam dunia pernaskahan Jawa sangatlah kuat dibuktikan dengan interes penyalin dan teksnya yang sekaligus memiliki fungsi inti aktivitas ekonomi. Dua tokoh dalam teks ini adalah sepasang suami istri Syeh Arif dan Dewi Murtasiyah merupakan manifestasi dua
buah kelompok dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dimanifestasikan oleh tokoh Dewi Murtasiyah dan Islam dengan segala perangkat hegemoninya dimanifestasikan oleh tokoh seorang syeh bernama Syeh Arif. Terdapat motif cerita pengusiran Dewi Murtasiyah hanya karena sang dewi mencabut tujuh helai rambutnya tanpa persetujuan suaminya. Perhatikan kutipan hlm 14—15 SrtM berikut ini. Kemudian Seh Arif bersantap. Sang istri melayaninya dengan menjaga nyala lentera sambil memangku bayinya. Sungguhsungguh terasa kurang nyaman lentera itu suram cahayanya; hampir mati. Karena terusik tangisan anaknya, paniklah perasaan Nyi Murtasiyah. Dengan gugup, dia mencabut rambutnya. Dipilinnya segera kira-kira menjadi tiga lembar. Niatnya digunakan untuk sumbu agar nyala dian itu terang kembali. Lentera itu menyala dengan terang. Seh Arif usai makan, lalu sajian diambil dari meja makan. Berkatalah Seh Arif kepada istrinya “Aku bertanya kepadamu, Dinda, masalah lentera ini. Semula redup cahayanya malahan hampir mati, tiba-tiba menyala kembali. Lentera ini menyala terang”. Dewi Murtasiyah menyembah berkata kepada Seh Arif, “Mohon ampun Tuan, saya mengatakan dengan terus terang. Tabiat cepat bertindak terburu-buru dalam mengambil keputusan. Panik perasaanku terganggu oleh tangisan bayi. Rambut saya ini kucabut 704
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
untuk sumbu kira-kira tujuh lembar”. Seh Arif diam tanpa berkatakata, seketika tidak berucap apapun. Jengkel dalam hatiku membekas semu sakit hati, “Hem, astaghfirullah, memalukan Kamu, perempuan ! Perbuatan yang tanpa ilmu penghabisannya menjadi salah. Perbuatan kamu gegabah tanpa menggunakan kerelaan suami. Eh, Murtasiyah, apa maumu? Janjinya seorang perempuan, jika durhaka kepada suami durhakalah kepada Rasulullah. Barang siapa durhaka kepada nabi maka durhaka pula kepada Yang Widi, memproleh laknat dari Yang Agung. Pastilah perempuan itu celaka dipastikan masuk neraka dunia dan akhirat.”
pascapengusiran. Kemudian muncullah tokoh deux eux machina, tokoh yang muncul tiba-tiba. Arti harfiah istilah Perancis itu adalah tokoh yang muncul dari atas panggung yang dikerek menggunakan mesin pada pertunjukan teater. Murtasiyah tidak memberikan perlawanan fisik tetapi melakukan perlawanan intelektual dengan menyamar berganti nama Sangkadimapa memenangkan pertandingan permainan tebakan (dalam bahasa disebut badhikan atau bedhekan) melawan Syeh Arif. Motif cerita tanding badhikan inipun dipilih penyalin sebagai ajang kompetisi yang strategis dalam rangka mematahkan (secara halus, santun, dan intelek) dominasi Syeh Arif –sebagai manifestasi dogma agama—sekaligus mendidik dan menyadarkan sebuah kekeliruan dan kekhilafan. Memang sebuah kekeliruan jika aturan atau dogma dalam sebuah agama apapun diaplikasikan secara strict atau zakelijk apalagi secara emosinal tanpa mempertimbangkan aspek-aspek humanisme. Buktinya, efek dari kesalahan ini adalah terlantarnya bayi Candradewi (anak semata wayang Murtasiyah dan Syeh Arif) karena Syeh Arif tidak sanggup mengurus bayi seorang diri tanpa bantuan istri. Begitu juga efek dari kesalahan ini dalam ruang lingkup kelompok masyarakat akan mengorbankan seluruh anggota masyarakat yang direpresentasikan oleh bayi Candarewi. Padahal rakyat seharusnya dilindungi oleh pemimpinnya. Fokus dari kepemimpinan moral dalam SrtM adalah kecemerlangan langkah, ide, dan konsistensi Murtasiyah dalam mengapliasikan common sense masyarakat Jawa glurug tanpa bala yang artinya ‘menyerbu tanpa pasukan’ dengan hasil menang tanpa ngasorake yang artinya ‘menang tanpa membuat lawan terhina’.
Penyalin mengkritisi dogma Islam dengan mempertemukan Murtasiyah dengan Malaikat Jibril. Dalam pertemuan itu, sang dewi tidak diadili atau disalahkan tetapi sebaliknya diberi petunjuk atas nama Allah yang mengutusnya untuk kembali menemui dan menyadarkan suaminya. Tidak hanya itu, sang dewi disarankan menyamar, dituntun sholat, dan dimandikan dengan air suci yang memberi efek cantik lahir batin. Efek ini yang membuat Syeh Arif tertarik bahkan terkagum-kagum dengan istrinya. Kepemimpinan moral dalam teks ini ditunjukkan dengan kesantunan Murtasiyah menghadapi dominasi Syeh Arif. Puncak ikhtiar Murtasiyah adalah berserah diri sepenuhnya kepada kekuatan Yang Maha Tunggal dalam pengembaraannya di tengah hutan 705
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tradisi dan kultur Jawa yang penuh kelembutan sangat memungkinkan menghasilkan tatanan komunal yang nyaman dan kondusif untuk setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini berlaku untuk semua orang dan tidak hanya untuk pemeluknya saja. Kentara sekali, penyalin berniat menyuarakan tentang konsep kekuatan moral-intelektual, kekuatan Murtasiyah yang seorang perempuan menjadi implisit lebih tangguh dibandingkan suaminya yang menonjolkan sifat emosional karena Murtasiyah memiliki kekuatan intelektual yang lebih unggul. Dalam hal ini memang juga ditemukan keberpihakan penyalin pada tokoh Murtasiyah. Hal yang pasti adalah, penyalin adalah seorang Jawa meskipun dia seorang santri. Ditambah lagi, pemrakarsa penyalinan teks ini juga seorang Jawa meskipun seorang pangeran dari kelompok aristrokat. Berbicara tentang intensi ‘niatan’, dimungkinkan pula penyalin ingin menyuarakan kata hatinya sebagai orang dari golongan “akar rumput” kepada para pangeran penguasa di kraton Cirebon dengan menggubah serat Murtasiyah –yang semula dalam bentuk sastra lisan-- yang dimungkinkan oleh peneliti masuk ke tanah Jawa melalui tanah Sunda dari Bugis kemudian masuk ke Melayu. Berdasarkan hasil kajian pernaskahan, memang teks ini didominasi kosakata dan ungkapan pinjaman dari bahasa Arab (Kusumaningrum, 2016:270). Memang bisa dalam perspektif budaya, Islam identik dengan Arab. Kemudian Islam sendiri sebagai sebuah agama datang dari jazirah Arab yang memiliki kondisi alam cukup keras dan sulit karena didominasi oleh gurun pasir. Berdasarkan kajian kritik teks yang diterapkan secara terbatas sebagai sarana pengkajian transformasi teks Murtasiyah di
tanah Jawa, dimungkinkan bahwa teks Murtasiyah setelah masuk ke Cirebon kemudian disalin di Kraton Jogja dan Solo. Teks ini digemari di tanah Jawa. Rupanya teks Murtasiyah sendiri telah merah hegemoni di di masyarakat Jawa pada zamannya. Jadi inti dari konsep kepemimpinan moral dalam SrtM adalah sikap tulus dan apa adanya dalam memimpin dan dipimpin pada masyarakat Jawa. 5 KESIMPULAN Kepemimpinan moral dalam teks ini direpresentasikan oleh seorang tokoh perempuan bernama Murtasiyah. Dia bijak dalam menyikapi dominasi patriarki dalam kultur Jawa. Sebuah perpaduan antara keanggunan, kecerdasan emosi, dan kecerdasan intelektual menjadi modal signifikan dalam mencapai kepemimpinan moral yang memberi efek adil, nyaman, dan lembut. Terlepas dari kepemimpinan moral yang ada di dalamnya, teks ini dapat dimungkinkan sebagai teks tasawuf Jawa. Sikap apa adanya dan ketulusan merupakan modal utama dalam sebuah kepemimpinan moral. Teks ini merupakan sinkretisasi antara kultur Islam dan Jawa. Dengan prespektif sosiologis, penelitian tentang teks Murtasiyah akan sangat menarik dan berguna jika dilakukan penelitian komprehensif terhadap naskahnaskah Murtasiyah yang tersimpan di Pura Pakualaman, kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Kraton Kasunanan Surakarta, sebab para penyalinnya memiliki latar belakang yang berbeda dengan naskah Cirebon yang menjadi objek formal penelitian ini.
706
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Manuscripts of the Mangkunagaran Palace. New York: Southeast Asia Programe Cornell University. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe: The Free Press. Girardet, Nikolaus. 1983. Descriptive Catalogue of the Javanesse Manuscripts and Printed Books in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Weisbaden: Franz Stiener Verlag. Hutomo, Suripan Sadi. 1979. “Cerita Kentrung sebagai Warisan Tradisi”. Basis Edisi Mei Tahun 1979. _________________.1998. Kentrung Warisan Tradisi Lisan Jawa. Malang: Yayasan Mitra Alam Sejati (MIAS). _________________.1998. “Lintasan Sepintas Perkembangan Sastra Jawa (Refleksi Wawasan Sastra, Ilmu Sastra, dan Penelitian Sastra)”. Horison.Edisi XXXIII/11/1998. Jakarta. Istanti, Kun Zachrun. 2008. Sambutan Hikayat Amir Hamzah dalam Sejarah Melayu, Hikayat Umar Umayah, dan Serat Menak. Yogyakarta: Seksi Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Jandra, Mifedwil. 1987. Dewi Murtasiyah Profil Wanita Tama. Laporan Penelitian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Kusumaningrum, R.N. 2016. “Serat Murtasiyah dan Penyalinnya; sebuah Kajian Filologi” dalam Prosiding Konferensi Bahasa dan Sastra I (Bahasa dan Sastra Berwawasan Konservasi). Semarang: Cipta Prima Nusantara.
6 REFERENSI Baroroh-Baried, S., Sulastin Sutrisno, S. Chamamah-Soeratno, Sawu, Kun Zachrun Istanti. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan penelitian dan Publikasi fakultas (BPPF) Seksi Filologi FIB UGM. Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk NaskahNaskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Française d’Extreme-Orient. ____________. 1999. Katalog Induk NaskahNaskah Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan. Bennet, Tony CS., 1983, Culture, Ideology, and Social Process, London: Bastford Academic and Education Ltd. in Association with the Open University Press. Chamamah-Soeratno, Siti. 2001. “Penelitian Sastra Tinjauan tentang Teori dan Metode sebuah Pengantar” dalam Jabrohim (ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Hanindita Widya Graha. Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dari Dekonstruksi sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Florida, Nancy K. 1981. Javanese Language Manuscripts of Surakarta, Central Java: A Preliminary Descriptive Catalogue Volume III (not published yet) New York: Southeast Asia Programe Cornell University. ______________. 1993. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts Volume I (Introduction and Manuscripts of the Karaton Surakarta). New York: Southeast Asia Program Cornell University. ______________. 2000. Javanese Literature in Surakarta Manuscripts Volume II
707
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Pembangunan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktur Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sumarno. 1991. Serat Murtasiyah Pupuh XXVI-XXXII Suatu Tinjauan Filologis. Skripsi (tidak diterbitkan). Solo: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra.Jakarta: Balai Pustaka. Waluyo.2003. Cerita Dewi Murtasiyah Sebuah Analisis Struktural Model Robert Stanton. Skripsi, tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Lindsay, Jennifer, R.M. Soetanto, dan Alan Feinstein. 1994. Katalog Induk NaskahNaskah Nusantara Jilid 2 Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nuh, Abdullah bin dan Oemar Bakry. 1997. Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Paeni, Mukhlis dkk. 2003. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia bekerja sama dengan The Ford Foundation, Universitas Hasanudin, dan Gadjah Mada University Press. Poerbatjaraka, R. Ng. 1952. Kapustakan Djawi. Jakarta: Penerbit Djambatan. Prawiroatmojo. 1980. Bausastra JawaIndonesia Jilid I. Cetakan ke-2. Jakarta : Gunung Agung. Pudjirahardjo, Christianto. 1997. Serat Murtasiyah: Sebuah Telaah Filologis. Tesis, tidak dipublikasikan. Bandung: Universitas Padjajaran. Reynold, L.D. and Wilson. 1991. Scribes and Sholars A Guide to Transmission of Greek and Latin Literature, Third Edition. Oxford : Clarendon Press. Robson, Stuart. 1978. “Pengkajian SastraSastra Tradisional Indonesia”, Bahasa dan Sastra.Tahun IVNomor 6.Jakarta: Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ____________ and Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary. North Clarendon: Periplus Editions. Saktimulya, Sri Ratna. 2005. Katalog NaskahNaskah Perpustakaan Pura Pakualaman. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia da Toyota Foundation. Simuh. 1985. “Unsur-Unsur Islam dalam kepustakaan Jawa” dalam Soedarsono dkk. (1985) Pengaruh India, Islam, dan Barat dalam Proses
Lampiran Sinopsis Serat Murtasiyah PB A.214 Dewi Murtasiyah bersuamikan seorang ahli ibadah bernama Ki Seh Arif. Mereka tinggal di sebuah dukuh perdikan bernama Dukuh Sabah yang subur.Ki Seh Arif memiliki sebuah pertapaan bernama Argasunya. Pada suatu hari Ki Seh Arif berpamitan untuk berangkat bertapa. Dia meminta istrinya menjaga dan mengelola rumah, sawah, dan pekarangan. Ketika itu Nyi Murtasiyah mengabarkan kehamilannya. Ki Seh Arif menganjurkan bersyukur dengan tidak meninggalkan sholat lima waktu dan bersedekah pada masing-masing bulan kehamilan. Bulan pertama, dianjurkan bersedekah tumpeng dengan lauk telur dan berdoa dengan menyebutkan kehamilan bulan yang pertama itu. Bulan kedua, bersedekah tumpeng berisi panganan. Menjelang tiga bulan, bersedekah nasi ketan berwarna
708
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
kuning menggunakan enten-enten dan doanya ‘aafinah. Menjelang bulan keempat, bersedekah ketupat dengan lauk pindang ayam. Tiba saatnya bulan kelima, bersedekah nasi langgi dengan semua lalaban, doanya ţawwil’umuur. Kehamilan enam bulan, bersedekah kue apem besar dengan mengundang para pemuda dan doanya tolak balak. Tiba kehamilan tujuh bulan, bersedekah rujak. Teristimewa menjelang delapan bulan, bersedekah bubur halus berwarna putih dan merah doanya qunuut. Menjelang bulan kesembilan, bersedekah minyak, bunga, telur berwarna menyala, daun salam, dan sejumlah uang sesuai kemampuan. Semua itu diletakkan di atas bokor berisi air dan doanya tabarak. Setelah melahirkan, bersedekah nasi langgi dengan beraneka ragam sayur-mayur dan berbagai jenis ikan. Sebelum pergi Ki She Arif menitipkan dua calon nama, Ahmad, jika lahir bayi laki-laki dan Candradewi jika lahir bayi perempuan. Seh Arif tiba di pertapaan. Dia mengheningkan cipta dengan tujuan manunggal dengan Gusti. Di kediamannya, Murtasiyah melahirkan bayi perempuan yang berwajah cantik, berbadan sehat, dan berkulit kuning bersih. Bayi ini diberi nama Candradewi. Menjelang senja, Ki Seh Arif tiba di rumah. Dengan tergopoh-gopoh, Murtasiyah menyambutnya. Seh Arif bersantap sementara sang istri melayaninya dengan menjaga nyala lentera sambil memangku bayi. Lentera itu redup hampir mati. Karena terusik tangisan bayi, paniklah perasaan Nyi Murtasiyah. Dengan spontan, dia mencabut dan memilin tiga helai rambutnya untuk mengganjal sumbu lentera. Ki Seh Arif bertanya kenapa lentera yang semula hampir mati menyala
kembali. Murtasiyah menjawab bahwa karena panik dengan suara tangisan bayi, dia telah mencabut tujuh helai rambutnya untuk dijadikan pengganjal sumbu lentera. Murtasiyah meminta maaf karena mencabut rambutnya tanpa ijin. Akibatnya, Murtasiyah diusir.Murtasiyah menyadari bahwa kemalangan yang menimpa dirinya merupakan takdir dari Sang Pencipta yang tidak dapat dipungkiri. Dia berniat singgah di rumah orang tuanya (Seh Akbar dan Nyi Rubiah Andawiyah) untuk memperoleh perlindungan. Jika dia singgah, Seh Akbar melarang istrinya memberi makan dan minum karena karena takut tertulari dosa.Kemudian dia pergi berkelana. Ketika Murtasiyah beristirahat hendak menunaikan sholat, dia bertemu Malaikat Jabarail yang ditugaskan memberi anugerah berupa air untuk bersuci, kain dodot, wewangian, kemenyan, jebat, kasturi, dan air mawar. Dititahkan barangbarang itu untuk diberikan kepada Dewi Murtasiyah. Jabarail menyampaikan pesan Yang Sukma kepada Murtasiyah bahwa dia diperintahkan segera mandi untuk bershalat. Seusai mandi, muka dan sekujur tubuh Dewi Murtasiyah diusap bulu oleh Jabrail. Jabarail menyuruhnya segera pulang karena dosanya telah diampuni. Setelah itu, Murtasiyah menjadi lebih cantik, berubahpulacara bertutur kata, dan air mukanya. Dia ditakdirkan memperoleh rahmat Yang Wiđi dan segala kehendaknya tercapai. Murtasiyah terlebih dahulu singgah di rumah orang tuanya. Dengan nama samaran Satcawakcah, tiada seorangpun yang mengenalinya, begitu juga ketika dia ke rumah suaminya dengan nama samaran Sengkadimapa. Seh Arif jatuh cinta dengan Sengkadimapa dan berniat memperistrinya. Sengkadimapa 709
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
memberikan syarat yaitu harus menjawab pertanyaannya dengan benar. Pertanyaan pertama, yang disebut dengan ilmu rasa terdapat sembilan perkara. Ilmu rasa berkaitan dengan badan manusia dan dilakukan setiap hari. Seh Arif diminta memaparkan kesembilan hal itu. Ki Seh Arif menjawab bahwa ilmu rasa maqamatnya terdapat dalam badan. Perkara itu pertama disebut bangsa badan, kedua bangsa hati, dan ketiga bangsa nyawa. Masing-masing perkara memiliki tiga bagian. Jadi, jumlah keseluruhannya sembilan. Pertanyaan kedua, terdapat suami istri yang saling mengasihi. Sang suami ahli ibadah. Ketika shalat maghrib, istrinya mengajak bercinta. Manakah yang diwajibkan, shalat atau menuruti permintaan istri? Padahal keduanya wajib; jika mendahulukan shalat akan mengakibatkan jatuh talak. Sengkadimapa menuntut Seh Arif memberikan hukum yang adil untuk itu.Ki Seh Arif kesulitan menjawab karena tergolong hal tasawur. Jika menuruti keinginan istri, maka mereka tidak akan sanggup menunaikan sembahyang maghrib karena waktunya terlalu pendek. Akan tetapi, jika mengerjakan shalat, maka dia akan kehilangan istri. Karena Seh Arif tidak berhasil, Sengkadimapa berpamitan karena suami
dan anaknya sedang menanti. Akhirnya, Sengkadimapa mengakui bahwa suaminya bernama Ki Seh Arif. Dengan serta merta, Ki Seh Arif menubruk dan merangkulnya. Ki Seh Arif mengucapkan puji syukur kepada Yang Agung atas segala yang telah diterimanya hari itu. Murtasiyah masih mempunyai satu pertanyaan lagi: Terdapat sepasang suami istri yang keduanya sama-sama ahli beribadah. Ketika itu waktu lepas dzuhur, sebelum sang suami pergi, dia berpesan kepada istrinya. Jika dia belum pulang, janganlah sholat ashar. Jika si istri sholat tanpa menunggu kedatangan suami, maka jatuh talak. Setelah itu, si suami pergi. Dia menanti hingga senjakala.Itu artinya menjelang qadla’. Kemudian sang istri memaksa diri bershalat. Karena ada yang muwalaq, jatuh talak ataukah tidak? Bagaimanakah hukum sholatnya? Seh Arif tidak sanggup menjawab karena lebih sulit dari pertanyaan yang sebelumnya. Kisah ini diakhiri pesan dari penyalin bahwa cinta kasih antara suami istri tiada ada bandingannya di dunia ini. Jika memungkinkan, cinta kasih itu utuh seperti permulaannya ketika terjalin sehingga hati selalu merasakan suka dan gembira menghadapi berbagai kesulitan hidup.
710
EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA Fury Alfiani Safitri1), Ch. Eva Nuryani2) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta
[email protected],1
[email protected] ABSTRACT This study aims to determine the effectiveness of direct learning and problem based learning model in the learning of mathematics in terms of mathematical problem solving ability. After that, it will be done t test to determine the Problem Based Learning (PBL) model is more effective if compared with direct learning model in terms of mathematical problem solving ability in grade VIII SMP Negeri 3 Pandak. Type of this research is quasi experiment (quasi-experimental) study design with pretest posttest control group design. The data analysis is conducted the analysis results of observation, mathematical problem solving ability test, requirements test and hypotheses test. The research result that conducted on control class that use direct learning model and experiment class that use PBL model towards the ability of mathematical problem solving show that the value of pretest and posttest both classes are normally distributed and the variances of both classes are homogeneous. Based on the calculation t test on the control class t values obtained 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑡ℎ𝑚𝑒𝑡𝑖𝑐 = −15.1863 < −𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 = −2.0595. It means that direct learning model is effectively used in the study of mathematics, while based on the t-test on the experimental class values obtained 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑡ℎ𝑚𝑒𝑡𝑖𝑐 = −10 625 < −𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 = −2055. Then, it can be concluded that PBL model is effectively used in mathematics. If both models compared to the t test calculation based on two samples obtained value 𝑡𝑎𝑟𝑖𝑡ℎ𝑚𝑒𝑡𝑖𝑐 at 3.7396 and 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 at 2.0075. So, it can be concluded that PBL model is more effective than direct instructional model when viewed from mathematical problem solving ability. Keywords: effectiveness, PBL, mathematical problem solving ability. 1. PENDAHULUAN Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Selain itu, fungsi matematika adalah sebagai media atau sarana siswa dalam mencapai kompetensi. Secara rinci, tujuan pembelajaran matematika dipaparkan dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu: (1) Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan,
perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. (2) Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. (2) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. (4) Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan melalui pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Dengan mempelajari materi matematika diharapkan siswa mampu menguasai
711
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
seperangkat kompetensi yang telah ditetapkan. Pada saat pembelajaran matematika, diperlukan model pembelajaran dimana aktivitas siswa tidak hanya melihat, mendengarkan dan mencatat yang dijelaskan oleh guru. Siswa harus aktif saat pembelajaran berlangsung atau dapat dikatakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center) bukan berpusat pada guru (teacher center). Hasil observasi yang dilakukan di SMP Negeri 3 Pandak, pembelajaran berpusat pada guru. Hasil Ujian Tengah Semester, rata-rata nilai matematika siswa kelas VIII hanya mencapai 46,31 yang berarti jauh di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), dengan ketentuan KKM dari sekolah yaitu 75. Dari empat kelas hanya satu siswa yang nilainya berada diatas KKM. Sedangkan hasil rata-rata pretest kemampuan pemecahan masalah matematika yang dilakukan yaitu 57,25. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Pandak masih rendah. Berdasarkan masalah tesebut, peneliti berpendapat bahwa agar siswa memiliki kompetensi dalam pemecahan masalah matematika, maka guru harus mampu memilih model pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan dalam pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan harus memungkinkan siswa belajar keterampilan memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah dengan memberinya kesempatan untuk mengembangkan keterampilan tersebut. Maka menurut peneliti, kurangnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat diatasi dengan menerapkan model Problem Based Learning
(PBL) dalam proses pembelajaran matematika. Model Problem Based Learning (PBL) digunakan untuk merangsang dan melibatkan siswa dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini dapat mengembangkan keahlian dalam mengidentifikasi permasalahan. Pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) akan lebih terfokus pada memecahkan masalah. Siswa bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah. Guru menuntun siswa dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat siswa berusaha memecahkan masalah. Dari pemaparan di atas peneliti ingin mengetahui efektivitas model Problem Based Learning (PBL) jika diterapkan dalam proses pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII SMP N 3 Pandak. 2.
712
KAJIAN LITERUR a. Efektivitas Efektivitas berasal dari kata efektif yang menurut KBBI efektif adalah ada pengaruhnya, akibatnya. Efektivitas adalah kegiatan yang dapat mempengaruhi atau mengakibatkan terhadap sesuatu. Efektivitas pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dapat mempengaruhi hasil belajar. b. Pembelajaran Matematika Menurut Susanto (2015:186) pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Pembelajaran matematika
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
merupakan salah satu proses belajar mengajar yang mengandung dua jenis kegiatan yang tidak terpisahkan yaitu belajar dan mengajar. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara siswa dengan guru, antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungan disaat pembelajaran matematika sedang berlangsung. c. Pembelajaran Langsung Pembelajaran langsung adalah proses pembelajaran siswa yang dilakukan dengan pola kegiatan bertahap, selangkah demi selangkah baik berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktek, dan menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. d. Model Problem Based Learning (PBL) Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu masalah dalam dunia nyata, sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah serta memperoleh pengetahuan baru terkait dengan permasalahan. Karakteristik-karakteristik model Problem Based Learning (PBL) menurut Scott dan Laura, dalam Paul & Kauchak (2012:307) memiliki tiga karakteristik yaitu: (1) pelajaran berfokus pada memecahkan masalah, (2) tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa dan (3) guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah. Maka langkah-langkah
model Problem Based Learning (PBL) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) mengarahkan
siswa
pada
masalah,
2) mengorganisasikan siswa untuk belajar,
3) membimbing
melakukan penyelidikan secara mandiri atau kelompok,
4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan
5) menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah. e. Pemecahan Masalah Matematika Kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan menyelesaikan masalah rutin, non-rutin, rutin terapan, rutin non-terapan, non-rutin terapan, dan masalah non-rutin nonterapan dalam bidang matematika (Lestari dan Yudhnegara, 2015:85). Adapun indikator kemampuan pemecahan masalah menurut Polya antara lain: 1) memahami masalah, 2) merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah, 3) melaksanakan strategi pemecahan masalah, dan 4) memeriksa kembali kebenaran hasil atau solusi. 3.
713
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group Design. Penelitian ini melibatkan dua kelas yang diberi perlakuan berbeda. Kelas yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL) sebagai kelas eksperimen dan kelas yang menggunakan model
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Data Hasil Pretest Kelas Kontrol dan Eksperimen Statistik Kelas Kelas Kontrol Eksperimen Rata-rata 54.09 60.73 Variansi 119.264 199.553 Nilai 31.25 37.50 Terendah Nilai 79.17 87.50 Tertinggi 2) Deskripsi Data Hasil Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Hasil dari observasi dengan pedoman lembar observasi yang dilakukan observer digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen yaitu menggunakan model Problem Based Learning (PBL). Hasil dari observasi tersebut disajikan dalam bentuk tabel berikut. Hasil Observasi Keterlaksanaan Model PBL
pembelajaran langsung sebagai kelas kontrol. Pretest diberikan pada kedua kelas eksperimen untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Kemudian kelas ekperimen diberikan perlakuan (treatment) dengan model Problem Based Learning (PBL)dan pada kelas control dengan model pembelajaran langsung. Posttest diberikan pada kedua kelas setelah diberikan perlakuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika. Desain Penelitian Eksperimen Kelompok Eksperimen Kontrol
Pretest 𝑂𝐸1 𝑂𝐾3
Perlakuan 𝑋𝐸 𝑋𝐾
Posttest 𝑂𝐸2 𝑂𝐾4
Keterangan: 𝑋𝐸 = perlakuan terhadap kelas eksperimen menggunakan model PBL 𝑋𝐾 = perlakuan pada kelas control menggunakan pembelajaran Langsung 𝑂𝐸1 = Pretest kelas eksperimen O E2 = Posttest kelas eksperimen 𝑂𝐾3 = Pretest kelas kontrol 𝑂𝐾4 = Posttest kelas control
4.
Kelas Eksperimen Pertemuan 1 Pertemuan 2
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian Data yang diperoleh dari hasil pretest, observasi keterlaksanaan, dan posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen adalah sebagai berikut: 1) Deskripsi Data Hasil Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Setelah dilakukan pretest pada kelas kontrol dan eksperimen diperoleh deskripsi data sebagai berikut:
3)
714
Persentase (% ) 90% 95%
Keterangan
Sangat Baik Sangat Baik
Dari hasil perhitungan tersebut, maka keterlaksanaan model Problem Based Learning (PBL) masuk ke dalam kriteria sangat baik. Deskripsi Data Hasil Posstest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Setelah dilakukan pembelajaran (treatment) maka dilakukan pengambilan nilai posttest pada kelas kontrol dan eksperimen diperoleh deskripsi data sebagai berikut:
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Data Hasil Posttest Kelas Kontrol dan Eksperimen Statistik Rata-rata Variansi Nilai Terendah Nilai Tertinggi
Kelas Kontrol 84.29 28.90
Kelas Eksperimen 89.27 18.26
72.92
81.25
93.75
95.83
4)
Deskripsi Data Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Hasil dari nilai tes kemampuan pemecahan masalah matematika setiap aspek disajikan dalam tabel berikut:
Nilai Pretest Kemampuan Pemecahan Masalah Nilai Pretest Kelas Aspek A B C D
Kontrol
Ket.
Eksp.
Ket.
66.98 64.42 63.14
Cukup Cukup Cukup
75.62 66.36 70.06
Baik Cukup Baik
21.79
Gagal
30.86
Gagal
Dari hasil perhitungan nilai pretest baik kelas kontrol maupun kelas eksperimen, kemampuan siswa dalam pemecahan masalah masih kurang.
Kelas Aspek
Nilai Posttest Kemampuan Pemecahan Masalah Nilai Posttest Kontrol
Ket
Eksp
91.67 Sangat Baik 95.99 A 81.73 Baik 85.19 B 93.91 Sangat Baik 92.90 C 69.87 Cukup 83.95 D Keterangan : A : Aspek memahami masalah B : Aspek merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah C : Aspek melaksanakan rencana pemecahan masalah D : Aspek memeriksa hasil b. Pembahasan Berdasarkan hasil dari pengamatan observer diperoleh, keterlaksanaan pembelajaran yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL) oleh guru dan siswa pada pertemuan 1 sebesar 90% dan pertemuan 2 sebesar 95%, artinya model Problem Based Learning (PBL)
Ket Sangat Baik Sangat Baik Sangat Baik Baik
berjalan optimal. Hasil observasi dalam penelitian ini hanya sebagai faktor pendukung untuk mengetahui ketelaksanaan model Problem Based Learning (PBL). Berdasarkan analisis data yang telah diuraikan diatas, hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi awal kelas kontrol dan kelas eksperimen 715
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dalam keadaan setimbang. Hal ini disimpulkan dari hasil analisis nilai pretest antara kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah dilakukan uji beda rata-rata dengan independent sample t test, menunjukkan bahwa kedua kelas sampel mempunyai nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah yang sama. Hasil dari posttest pada kedua kelas sampel dilakukan uji t satu pihak dengan paired sample t test. Dari hasil analisis uji t menunjukkan bahwa kelas kontrol yang menggunakan model pembelajaran langsung dan kelas eksperimen yang menggunakan model Problem Based Learning (PBL) keduanya efektif. Kemudian dilakukan uji independent samples t test yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata kedua kelas. Dari hasil uji t satu pihak menunjukkan bahwa model Problem Based Learning (PBL) lebih efektif dari pada model pembelajaran langsung. Hasil penelitian yang menunjukkan bahwa model Problem Based Learning (PBL) dan model pembelajaran langsung keduanya efektif dimunginkan karena pembelajaran yang dilakukan dikaitkan dengan permasalahan nyata, selain itu pemberian materi baru tidak terlepas dari materi sebelumnya sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Ausubel (2000) dalam Lestari dan Yudhanegara (2015:34) bahwa, metode ceramah (ekspositori) juga lebih bermakna jika dikaitkan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari dan disesuaikan dengan struktur kognitif siswa.
Pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning (PBL) lebih efektif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika dibandingkan dengan model pembeljaran langsung dimungkinkan pengaruh dari model pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan permasalahan nyata serta siswa melakukan penyelidikan secara mandiri untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ward (2002) dalam Lestari dan Yudhanegara, (2015:42) bahwa, “Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menyelesaikan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut sekaligus memiliki keterampilan untuk menyelesaikan masalah”. 5.
716
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti dapat disimpulkan: a) Model pembelajaran langsung efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan nilai t yaitu 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = −15.1863 < −𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = −2.0595, maka H 0 ditolak dan H 1 diterima. Jadi dapat disimpulkan model pembelajaran langsung efektif. b) Model Problem Based Learning (PBL) efektif digunakan dalam pembelajaran matematika ditinjau
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
c)
ISBN 978-602-73690-6-1
dari kemampuan pemecahan masalah matematika. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan nilai t yaitu 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = −10.625 < −𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = −2.055, maka H 0 ditolak dan H 1 diterima. Jadi dapat disimpulkan model Problem Based Learning (PBL) efektif. Model Problem Based Learning (PBL) lebih efektif daripada model pembelajaran langsung. Hal ini dapat dilihat dari dari perhitungan nilai t yaitu 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 3.7396 >
Heri Haryubi. 2014. Teori-teori Belajar dan Aplikasi Pembelajaran Motorik. Bandung: Nusa Media. Heris Hendriana dan Utari Soemarmo. 2014. Penilaian Pembelajaran Matematika. Bandung: Refika Aditama. J. Tombokan Runtukahu dan Sepius Kandou. 2014. Pembelajaran Matematika Dasar Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Yogyakarta: ArRuzz Media. Karunia Eka Lestari dan Mokhammad Ridwan Yudhanegara. 2015. Penelitian Pendidikan Matematika. Bandung: Refika Aditama. Kokom Komalasari. 2014. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama. M. Cholik Adinawan dan Sugijono. 2010. Mathematics for Junior High SchoolGrade VIII. Jakarta: Erlangga. Made Wena. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Komputer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara. Nor Sa’idah. 2007. Keefektifan Model Problem Based Learning Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa SMP Negeri 22 Semarang Kelas VIII Semester II Tahun Pelajaran 2006/2007. Disertasi tidak diterbitkan. Semarang: Program Sarjana Universitas Negeri semarang. Eggen, Paul dan Kauchak, Don. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan Konten dan Ketrerampilan Berpikir. Terjemahan oleh Satrio Wahono, 2012. Jakarta: Permata Puri Media. Purwanto. 2011. Statistika untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 2.0075 sehingga H 0 ditolak sehingga H 1 diterima. Jadi dapat disimpulkan model Problem Based Learning (PBL) lebih efektif dibandingkan dengan model pembelajaran langsung.
6.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Susanto. 2013. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Jacobsen, David A., dkk. 2009. Methods for Teaching (Metode-metode Pengajaran Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA). Terjemahan oleh Ahcmad Fawaid dan Khoirul Anam, 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. E. Mulyasa. 2012. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Fadjar Shadiq. 2014. Pembelajaran Matematika Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hamzah B. Uno, dkk. 2014. Variabel Penelitian dalam Pendidikan dan Pembelajaran. Jakarta: Ina Publikatama. 717
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Rudi Hartono. 2013. Ragam Model Mengajar yang Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: Diva Press. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Bandung: Alfabeta. Suharsimi Arikunto. 2014. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Syaiful Sagala. 2014. Konsep dan Makna Pembelajaran untuk Membantu Memecahkan Problematika Balajar dan Mengajar. Bandung: Alfabeta. Trianto. 2009a. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. . 2009b. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum KTSP. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. . 2011. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivitis. Jakarta: Prestasi Pustaka. .2014. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, dan Kontekstual. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Wafik Khoiri. 2013. Implementasi Model Problem Based Learning Berbantuan Multimedia Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Kelas VII Smp Negeri 4 Kudus Pada Materi Segitiga. Disertasi tidak diterbitkan. Semarang: Program Sarjana Universitas Negeri Semarang.
718
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE (TPS) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA PESERTA DIDIK Nurjanah1), Ch. Eva Nuryani2) 21Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta 1
[email protected],
[email protected] ABSTRAK The objective of this research is to investigate: (1) whether the effect of cooperative learning model type of Think Pair Share (TPS) toward understanding mathematical concepts learners class 7 in SMP N 1 Turi on triangle material, (2) whether the effect of the model learning direct toward understanding mathematical concepts learners class 7 in SMP N 1 Turi on triangle materia, (3) how the influence of cooperative learning type of Think Pair Share (TPS) and learning model direct toward understanding mathematical concepts learners class 7 in SMP N 1 Turi on triangle material. This research is a quasi-experimental research with the entire population of learners in SMP N 1 Turi. Sampling was done by Simple Random Sampling technique. The results were obtained three conclusions : (1) cooperative learning model Think Pair Share (TPS) can be done well, (2) cooperative learning model Think Pair Share (TPS) to give effect to the understanding mathematical concepts students in the experimental class, with a significance level of 0.05 and degrees of freedom 57, obtained 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,428 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,672; (3) direct instructional model to give effect to the understanding mathematical concepts of students in the control class, with a significance level of 0.05 and degrees of freedom 59, obtained 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,848 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,671; and (4) cooperative learning model Think Pair Share (TPS) has more effect on the understanding mathematical concepts learners rather than using direct learning model with a significance level of 0.05 and degrees of freedom 57, obtained 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,932 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,672. Key words: Cooperative learning, Think Pair Share, understanding mathematical concepts. 1. PENDAHULUAN Faktor lemahnya kemampuan pemahaman konsep peserta didik adalah model yang digunakan dalam proses pembelajaran merupakan model pembelajaran langsung, sehingga guru cenderung aktif dalam menyampaikan materi dari awal hingga akhir pelajaran. Model pembelajaran langsung di awali dari menyampaikan materi pokok yang akan dipelajari, menjelaskan, memberikan contoh soal, memberikan latihan soal, dan memberikan soal untuk pekerjaan rumah (PR). Model pembelajaran langsung ini membuat guru lebih banyak menjelaskan,
sehingga peserta didik cenderung pasif dalam pembelajaran matematika. Seharusnya pembelajaran matematika terhadap pemahaman konsep itu tidak bisa tidak bisa diterima begitu saja sesuai dengan penjelasan guru tanpa adanya pemahaman dan penalaran, tetapi peserta didik sendirilah yang harus aktif mencerna dan mencari pengetahuan yang diperolehnya. Mengaktifkan peserta didik dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran ini sangat cocok karena model pembelajaran ini menuntut peserta didik untuk berpikir, saling berdiskusi, 719
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dan berbagi. Keunggulan dari model pembelajaran Think Pair Share (TPS) adalah pembagian kelompok yang mudah diatur dan akan lebih efektif dalam berdiskusi. Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini mengggunakan metode diskusi berpasangan yang dilanjutkan dengan diskusi pleno. Metode diskusi ini merupakan proses berfikir bersamasama untuk memahami suatu masalah dan menemukan sebab akibat, serta mencari pemecahan masalahnya. Metode diskusi yang digunakan dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS) ini membagi peserta dalam kelompok, dimana kelompok tersebut berpasangan atau dua orang, sehingga akan lebih banyak waktu untuk saling bertukar pikiran dengan kelompoknya. Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan cara berdiskusi tersebut akan mempermudah peserta didik dalam pemahaman konsep materi yang diajarkan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di kelas 7 SMP N 1 Turi, pada saat proses pembelajaran berlangsung banyak peserta didik yang tidak memperhatikan, berbicara sendiri, bermain handphone, dan asyik bercanda dengan teman. Selain itu, masalah yang sering ada di dalam kelas adalah banyak peserta didik yang tidak paham dan tidak mengerti dengan materi pelajaran yang diberikan. Hal seperti itu dapat disebabkan karena peserta didik tidak fokus ketika mengikuti proses pembelajaran, serta kurangnya minat terhadap pelajaran matematika. Hasil pengamatan dari nilai ratarata ulangan harian pada materi
bilangan dan pecahan kelas 7 semester 1 di SMP N 1 Turi dapat ditunjukkan dengan tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Rata-rata Ulangan Harian Bilangan dan Pecahan Kelas 7 SMP N 1 Turi Kelas 7A 7B 7C 7D Rata- 78,5 74,8 66,6 74,3 rata Soal ulangan matematika tersebut berupa pilihan ganda dan uraian. Soal uraian yang diberikan tersebut mengandung dua indikator pemahaman konsep yaitu menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis dan mengaplikasikan konsep atau algoritma pada pemecahan masalah. Selain itu, indikator pemahaman konsep lainnya terdapat dalam soal yang berbentuk pilihan ganda. Dari pekerjaan peserta didik dalam beberapa indikator tersebut masih salah. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika yang dimiliki kelas 7 di SMP N 1 Turi masih rendah. Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian tentang pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap pemahaman konsep matematika peserta didik di SMP N 1 Turi pada pokok bahasan segitiga. 2. KAJIAN TEORI A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Robert E. Slavin (2005: 257) mengatakan Model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dikembangkan oleh Frank Lyman dari University of Maryland. Think Pair Share merupakan salah satu 720
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
model pembelajaran kooperatif yang sederhana. Dalam Think Pair Share (TPS) peserta didik dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas dua orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan inti materi kompetensi yang ingin dicapai lalu peserta didik diminta untuk berpikir tentang materi atau permasalahan yang disampaikan oleh guru. Kemudian peserta didik bekerja berpasangan dengan tim masing-masing kelompok. Guru memberikan pertanyaan dan peserta didik dengan kelompoknya bekerja sama memikirkan jawaban. Mereka saling bertukar pikiran dan memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya, peserta didik membagi hasil diskusi di depan kelas agar mendapat sanggahan dari kelompok lain. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran, inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai. 2) Think (Berfikir) Guru mengajukan pertanyaan dan memberi waktu beberapa menit untuk peserta didik berfikir secara individu. 3) Pair (Berpasangan) Guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari
2 peserta didik yang heterogen. Di dalam kelompok peserta didik saling berinteraksi melakukan diskusi. 4) Share (Berbagi). Guru meminta tiap kelompok untuk membagi hasil diskusi di depan kelas. Peserta didik akan mempresentasikan dan mempertanggungjawabkan jawaban yang telah didiskusikan. 5) Melakukan evaluasi Guru dapat memberikan soal-soal ulangan ataupun kuis yang sesuai dengan materi yang dipelajari. 6) Memberikan penghargaan Guru memberikan umpan balik seperti nilai bagi yang dapat mengerjakan evaluasi secara benar dan memberikan poin plus berupa nilai tambahan bagi kelompok yang melakukan diskusi dengan baik. B. Pemahaman Konsep Matematika Menurut Asep Jihad dan Abdul Haris (2008: 149) mengatakan bahwa pemahaman konsep merupakan kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam memahami konsep dan dalam melakukan prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien, dan tepat. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika 721
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
adalah mengerti apa yang diajarkan dan mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dari ide (abstrak) yang dapat digunakan untuk mengelompokkan sesuatu objek yang berwujud pengertianpengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran yang berhubungan dengan matematika.
P : kelompok (kelas) pembanding T 1 : hasil pretest kelompok eksperimen hasil pretest kelompok T3 : pembanding X : perlakuan (treatment) dengan menggunakan model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) pengaruh (hasil post-test) T2 : kelompok eksperimen pengaruh (hasil post-test) T4 : kelompok pembanding
3. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian eksperimen semu (Quasi Experimental). Pengambilan sampel ini dengan menggunakan Simple Random Sampling. Simple Random Sampling merupakan salah satu teknik pengambilan sampel Probability Sampling, sehingga Simple Random Sampling merupakan pengambilan anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono, 2014: 120) Desain penelitian eksperimen ini menggunakan True Experimental Design dalam bentuk Pretest-Posttest Control Grup Design yang sesuai dengan Sugiyono (2014: 112). Bentuk dari desain penelitian ini dapat ditunjukkan dalam tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Desain Penelitian “PretestPosttest Control Grup Design” Kelompo Pretes Perlakua Postte t st k n E T1 X T2 P T3 T4 Keterangan: E : kelompok (kelas) eksperimen
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1) Observasi Hasil dari observasi guru dan peserta didik dapat ditunjukkan dengan tabel di bawah ini. Tabel 3. Hasil Observasi Guru dan Peserta Didik Hasil Persentase No. Observasi Keterlaksanaan 1 Guru 87,5 % Peserta 2 72,23 % didik
2)
722
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) sudah terlaksana dengan baik. Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen Setelah dilakukan Pretest dan Posttest di kelas eksperimen diperoleh data skor pemahaman konsep sebagai berikut:
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tabel 4. Skor Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen Tiap Indikator Skor Nilai Skor Maks Indi Pre Post Pre Post Indi 1 19 37 96 19,79 38,54 Indi 2 55 51 96 57,29 53,13 Indi 3 313 276 608 47,51 48,35 Indi 4 22 39 128 17,19 30,47 Indi 5 52 48 128 40,63 37,5 Indi 6 70 181 288 24,3 62,85 Indi 7 7 40 64 10,96 62,5 3)
Pemahaman Konsep Kelas Kontrol Setelah dilakukan Pretest dan Posttest di kelas kontrol diperoleh data skor pemahaman konsep sebagai berikut.
Indi Indi 1 Indi 2 Indi 3 Indi 4 Indi 5 Indi 6 Indi 7
Tabel 5. Skor Pemahaman Konsep Kelas Kontrol Tiap Indikator Skor Nilai Skor Maks Pre Post Pre Post 12 19 96 12,5 19,79 50 47 96 52,08 48,96 238 349 608 38,79 57,99 47 33 128 36,72 25,78 61 78 128 47,66 60,94 78 97 288 27,08 33,68 14 23 64 21,88 35,94
Perbandingan Posttest Pemahaman Konsep Matematika Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Setelah dilakukan Posttest di kelas eksperimen dan kelas kontrol diperoleh data skor pemahaman konsep sebagai berikut. Tabel 6. Pencapaian Pemahaman Konsep Matematika Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Skor Nilai Indi Kelas eks Kelas kon Kelas eks Kelas kon Indi 1 37 19 38,54 19,79 Indi 2 51 47 53,13 48,96 Indi 3 276 349 48,35 57,99 Indi 4 39 33 30,47 25,78 Indi 5 48 78 37,5 60,94 Indi 6 181 97 62,85 33,68 Indi 7 40 23 62,5 35,94 4)
723
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
B. Pembahasan Dalam penelitian ini terdapat tujuh aspek pemahaman konsep yang diukur oleh peneliti dapat ditunjukkan dengan tabel berikut ini. Tabel 7. Kesimpulan Setiap Aspek Pemahaman Konsep Matematika Aspek
1
2
3
4
5
6
Soal No.
1
1
2a, 2b, dan 2c
3
4a dan 4b
5a dan 5b
Indikator Peserta didik diminta untuk menjelaskan pengertian dari jenisjenis segitiga ditinjau dari ukuran sudut Peserta didik diminta untuk menyebutkan jenis-jenis segitiga ditinjau dari ukuran sudut Peserta didik diminta untuk mengelompokkan bangun datar yang merupakan segitiga sebarang, segitiga lancip, dan segitiga siku-siku sama kaki Peserta didik diminta untuk menafsirkan gambar yang sesuai dengan ilustrasi soal cerita, kemudian menentukan jenis bangun segitiga tersebut Peserta didik diminta untuk menghitung sudut dari suatu segitiga jika salah satu sudutnya diketahui Peserta didik diminta untuk menghitung sudut dari suatu segitiga jika salah satu sudutnya diketahui, serta menentukan luas segitiga
Kesimpulan Eksperimen Posttest lebih besar dari Pretest
Kontrol Posttest lebih besar dari Pretest
Kesimpulan Posttest Eksperimen lebih besar dari Kontrol
Pretest lebih besar dari Posttest
Pretest lebih besar dari Posttest
Eksperimen lebih besar dari Kontrol
Posttest lebih besar dari Pretest
Posttest lebih besar dari Pretest
Kontrol lebih besar dari Eksperimen
Posttest lebih besar dari Pretest
Pretest lebih besar dari Posttest
Eksperimen lebih besar dari Kontrol
Pretest lebih besar dari Posttest
Posttest lebih besar dari Pretest
Kontrol lebih besar dari Eksperimen
Posttest lebih besar dari Pretest
Posttest lebih besar dari Pretest
Eksperimen lebih besar dari Kontrol
724
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
7
6
Peserta didik diminta untuk menyelesaikan permasalahan seharihari yang berkaitan dengan menghitung keliling segitiga
ISBN 978-602-73690-6-1
Posttest lebih besar dari Pretest
Hasil penelitian di atas didukung oleh hasil pengamatan atau observasi yang dilakukan di kelas eksperimen dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) sudah terlaksana dengan baik selama penelitian berlangsung. Proses pembelajaran model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) membawa perubahan dalam proses pembelajaran. Peserta didik yang awalnya pasif dalam pembelajaran yang hanya menunggu penjelasan dari guru menjadi lebih aktif dengan kelompok belajarnya saling bertukar pikiran dengan teman kelompoknya. LKS yang digunakan pada saat pembelajaran sangat membantu peserta didik berdiskusi bersama kelompok mempelajari materi dan memberikan kesimpulan dari LKS yang dikerjakan. Mereka tidak segan untuk bertanya pada guru dan memberikan pendapat pada teman kelompoknya, karena membagi kelompok dengan jumlah peserta didik dua orang membuat peserta didik lebih banyak mengungkapkan pendapat mereka kepada kelompoknya. LKS yang digunakan di kelas eksperimen dibuat sendiri oleh peneliti yang berisi materi tentang segitiga. Model pembelajaran kooperatif
Posttest lebih besar dari Pretest
Eksperimen lebih besar dari Kontrol
tipe Think Pair Share (TPS) memberikan waktu perserta didik untuk berpikir bagaimana menyelesaikan LKS, kemudian mereka berpasangan membagi pendapat kepada teman sekelompoknya, lalu mereka akan berlatih percaya diri untuk mengungkap atau berbagi hasil diskusi kelompok di depan kelas agar memperoleh kritik dan saran dari kelompok lain. Dari model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) banyak manfaat yang diperoleh peserta didik seperti saling bertukar pikiran, saling menghormati pendapat orang lain, dan melatih kepecayaan diri peserta didik. 5. KESIMPULAN 1) Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dapat terlaksana dengan baik. 2) Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) memberikan pengaruh terhadap pemahaman konsep matematika peserta didik di kelas eksperimen, dengan taraf signifikan 0,05 dan derajat kebebasan 57, diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,428 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,672. 3)
725
Model pembelajaran langsung memberikan pengaruh terhadap pemahaman konsep matematika peserta didik di kelas kontrol, dengan taraf signifikan 0,05 dan
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
4)
ISBN 978-602-73690-6-1
Emzir. 2014. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers. Eveline Siregar dan Hartini Nara. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Fadjar Shadiq. 2014. Pembelajaran Matematika (Cara Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa). Yogyakarta: Graha Ilmu. Hamzah B. Uno dan Satria Koni. 2014. Assessment Pembelajaran. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Imas Kurniasih dan Berlin Sani. 2014. Perancangan Pembelajaran Prosedur Pembuatan RPP Sesuai dengan Kurikulum 2013. Yogyakarta: Kata Pena. Imas Kurniasih dan Berlin Sani. 2015. Ragam Pengembangan Model Pembelajaran. Yogyakarta: Kata Pena. Isriani Hardini dan Dewi Puspitasari. 2012. Strategi Pembelajaran Terpadu (Teori, Konsep, & Implementasi). Yogyakarta: Familia Group Relasi Inti Media. Kurniawan. 2003. Evaluasi Mandiri Matematika SMP untuk Kelas VII. Jakarta: Erlangga. Ngalim Purwanto. 2013. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Padma Mike Putri. 2012. “Pemahaman Konsep Matematika Pada Materi Turunan Melalui Pembelajaran Teknik Probing”. Jurnal Pendidikan Matematika, Part 2 : Hal. 68-72. Pujiono. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Terhadap Hasil Belajar Matematika Materi Garis dan Sudut Siswa Kelas VIIB SMP NEGERI 3 Getasan. Skripsi
derajat kebebasan 59, diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,848 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,671.
Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematika peserta didik daripada dengan menggunakan model pembelajaran langsung dengan taraf signifikan 0,05 dan derajat kebebasan 57, diperoleh 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 2,932 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,672.
6. DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid. 2013. Strategi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Ahmad Yani. 2014. Mindset Kurikulum 2013. Bandung: Alfabeta. Asep Jihad dan Abdul Haris. 2008. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo. Bintang Wicaksono. 2013. Perbandingan Kemampuan Representasi Dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa Yang Mendapat Pembelajaran Kooperatif Disertai Quantum Learning Dengan Siswa Yang Mendapat Pembelajaran Kontekstual Ditinjau Dari Kemampuan Awal Siswa. Tesis Pendidikan Matematika, UNS. Surakarta. Cholik Adinawan dan Sugijono. 2006. Matematika untuk SMP Kelas VII Semester 1. Jakarta: Erlangga. Dewi Nuharini dan Tri Wahyuni. 2008. Matematika Konsep Dan Aplikasinya Kelas VII (BSE). Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
726
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Sudaryono. 2012. Dasar-dasar Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, R & D). Bandung: Alfabeta. Suharmi Arikunto. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Walpole, Ronald E dan Raymond H. Myers. 1995. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan (Edisi 4). Bandung: ITB. Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group. Wina Sanjaya. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Kencana Prenadamedia Group. Zainal Arifin. 2014. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pendidikan Matematika, Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Purwanto. 2011. Statistika untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rusman. 2013. Model-model Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sri Wardhani. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika.Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning (Teori, Riset, dan Praktik). Bandung: Nusa Media. Sudaryono, dkk. 2013. Pengembangan Instrumen Penelitian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
727
PENINGKATAN KUALITAS HIDUP ANAK YANG CERDAS DAN SEHAT MELALUI KOMUNITAS ATAU SANGGAR BELAJAR 1Christina
Eva Nuryani, dan 2Abdul Aziz Saefudin Universitas PGRI Yogyakarta 1
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Kebiasaan belajar dan hidup sehat harus ditanamkan sejak dini karena pembiasaan sejak dini lebih efektif dibandingkan jika dia sudah dewasa kelak. Dengan terbiasa membaca buku dan mengkonsumsi makanan dan minuman sehat maka kebiasaan ini dapat dilanjutkan secara terus menerus sehingga generasi yang terbentuk adalah generasi yang sehat dan cerdas. Dalam pengabdian ini, melihat situasi dua buah komunitas mitra yakni sanggar belajar Konco Cilik dan Omah Pohon akan dilaksanakan program yang bertujuan memberi fasilitas untuk anak-anak semakin gemar membaca dan belajar serta mengajak untuk selalu kritis terhadap makanan yang masuk dalam tubuhnya. Dengan berbagai aktivitas yang dilakukan dalam sebuah komunitas diharapkan anak semakin paham bagaimana caranya belajar. Pemahaman cara belajar inilah belajar yang sesungguhnya, dengan demikian kebiasaan menumbuhkan sikap kritis dan kreatif dalam menghadapi permasalahan hidupnya kelak di kemudian hari. Permasalahan yang dihadapi kedua mitra ini adalah: ketersediaan buku bacaan sangat minim, anak-anak belum memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi makanan sehat, minimnya sarana dan prasarana sanggar belajar serta jumlah fasilitator/pendamping sedikit. Berbagai metode pendekatan yang akan dilakukan dalam program ini selain pembuatan perpustakaan komunitas adalah: pendampingan belajar, pendampingan membaca buku, pelatihan pengelolaan perpustakaan, bercerita, mendongeng, membuat mainan dengan barang bekas, bermain musik, menyanyi, field trip ke lingkungan sekitar, masak bersama, lomba menggambar, pentas seni, pameran karya anak, workshop. Beberapa luaran yang dihasilkan adalah metode dan barang. Luaran metode adalah pendampingan dan pengelolaan perpustakaan. Luaran berupa barang yaitu buku-buku untuk perpustakaan komunitas, metode pendampingan belajar dan pengelolaan perpustakaan, poster-poster untuk mengkampanyekan hidup sehat dan cerdas serta semua karya anak misalnya gambar, tulisan, mainan dan lain-lain. Kata Kunci: Anak Sehat dan Cerdas, Sanggar Belajar, Perpustakaan
PENDAHULUAN Sumber belajar masyarakat yang sangat populer digunakan dalam segala bidang adalah buku. Ungkapan “buku sumber ilmu” menempatkan buku pada
ranking teratas yang dapat memenuhi kebutuhan semua orang untuk memperoleh wawasan dan ilmu pengetahuan demi meningkatkan kualitas hidupnya. Begitu banyak buku yang
728
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
diterbitkan sehingga masyarakat mendapat berbagai kemudahan dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang ingin dikuasainya. Kebutuhan membaca masyarakat sebenarnya sudah bisa dipenuhi dengan adanya begitu banyak penerbit buku cetak maupun elektronik yang semakin berkembang hingga saat ini. Namun demikian sebagian masyarakat tidak menempatkan kebutuhan anak-anak dalam membaca menjadi agenda kebutuhan mereka, apalagi dengan kemajuan teknologi dewasa ini, orang sering menyebut sekarang ini jamannya gadget. Kemajuan teknologi memang tidak bisa dihindari, bahkan sebagian besar masyarakat mampu mengakses kemajuan tersebut. Telah dilakukan banyak studi tentang dampak gadget untuk anak dan remaja. Di samping dampak positif (kemudahan berkomunikasi, akses informasi tentang perkembangan teknologi, memperluas jaringan pertemanan atau persahabatan) namun justru dampak negatiflah yang lebih banyak jika seorang anak terlalu banyak menggunakan waktu luangnya (di luar jam sekolah) untuk bermain gadget tanpa pendampingan orang dewasa. Beberapa dampak negatif tersebut adalah efek radiasi mengganggu kesehatan, kecanduan, pemborosan, perubahan perilaku misalnya anak menjadi antisosial yang kini dikenal dengan istilah monophobia.Jika kebiasaan anak bermain dengan gadget dibiarkan tanpa pendampingan intensif dari orang tua maka bukan tidak mungkin di masa yang akan datang perkembangan motorik, afektif maupun kognitif anak tersebut akan terganggu. Tentu saja masalah ini harus diatasi sejak dini, salah satunya dengan mengajak anak untuk memiliki kebiasaan positif.
Salah satu kebiasaan positif yang sebaiknya dilakukan anak-anak adalah membaca. Jika anak-anak memilikiminat membaca yang tinggi maka diharapkan perkembangan kognisi dan kreativitasnya baik. Beberapa pasal Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan PBB tahun 1989 telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Salah satu pasal yang diratifikasi adalah pasal 17 tentang “Hak anak mendapatkan informasi layak anak”. Menumbuhkan minat membaca pada masa kanak-kanak lebih efektif. Bagaimana menumbuhkan minat baca anak Indonesia sekarang? Salah satu usaha yang telah dilakukan adalah dengan menyediakan sumber bacaan, tentunya yang layak untuk anak.Pendidikan baik formal maupun non formal menempatkan buku sebagai sumber bacaan yang utama. Buku adalah jendela dunia, istilah yang sudah tidak asing lagi bagi kita.Berbagai usaha telah dilakukan salah satunya dengan mendekatkan bahan bacaan layak anak, misalnya program perpustakaan daerah yang menyediakan ratusan hingga ribuan judul buku, perpustakaan komunitas maupun perpustakaan keliling yang sudah dilaksanakan di berbagai daerah. Banyak komunitas baca bermunculan di Indonesia namun belum juga cukup menjangkau seluruh anak. Masih sangat banyak anak yang belum terfasilitasi dengan perpustakaan yang menyediakan bacaan layak anak. Program pengabdian kepada masyarakat ini adalah menyediakan sumber belajar, dalam hal ini buku bagi dua komunitas mitra yang sudah memiliki aktivitas yang mengarah pada pembiasaan hal positif pada anak. Dua komunitas mitra dampingan dalam pengabdian ini adalah sanggar Konco Cilik 729
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
dan Omah Pohon. Adanya perpustakaan sangat diperlukan bagi kedua komunitas tersebut agar kebutuhan anak akan sumber belajar berupa buku terpenuhi. Omah Pohon adalah komunitas yang berada di sekitar Kali Gajah Wong, Pringgodani, Yogyakarta. Komunitas ini dibentuk sejak 21 Maret 2014 oleh beberapa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Kegiatan di komunitas ini seputar dunia anak, seperti membuat mainan, memasak, menggambar, bercerita, membaca buku, bermain musik perkusi dan belajar pelajaran sekolah. Setiap kegiatan yang dilakukan di Omah Pohon memiliki tujuannya masing–masing, seperti kegiatan membuat mainan,kegiatan ini nampak sepele, namun kegiatan ini berguna untuk menangkal budaya instan yang sekarang menjangkiti anak–anak. Memasak merupakan kegiatan dwimingguan di Omah Pohon yang berguna untuk membuka kesadaran anak–anak mengenai kesetaraan gender. Menggambar dan perkusi merupakan kegiatan yang bertujuan sebagai media untuk menyalurkan emosi anak yang (mungkin) tidak tersalurkan di tempat lain. Bercerita dan berdialog merupakan kegiatan yang rutin dilakukan setiap kali pertemuan. Kegiatan ini bertujuan untuk membiasakan anak mengungkapkan isi hati dan kepalanya. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan dapat menjadi media anak untuk belajar berani dan meminimalisir kekerasan yang terjadi pada anak–anak. Minat anak untuk membaca buku sudah mulai tumbuh di komunitas Omah Pohon namun jumlah buku yang tersedia sangat minim.Selain keterbatasan buku juga ada kendala jumlah fasilitator yang minim. Aktivitas di komunitas ini dilaksanakan setiap hari Selasa dan Minggu, pukul 16.00–18.00. Jumlah seluruh anak yang
tergabung dalam komunitas ini 30 anak. Visi Sanggar Omah Pohon ini adalah menyediakan ruang ramah anak sedangkan misinya adalah meningkatkan kesadaran cinta diri dan orang lain; meningkatkan kesadaran cinta lingkungan dan meningkatkan kebiasaan dialog. Sedangkan Sanggar Konco Cilik memiliki visi membentuk pribadi anak yang penuh percaya diri, bertanggung jawab, saling menghargai, jujur, kreatif, dan kompetitif. Misinya menciptakan suasana belajar yang nyaman, mendukung anak untuk membuka diri, menentukan potensi diri yang terpendam dalam diri anak, membantu anak menjadi mandiri serta membantu anak untuk menghasilkan karya. Kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan selama ini adalah pemanfaatan barang bekas, mendongeng, membaca bersama, belajar menjadi reporter cilik, belajar di kebun binatang, pentas menyanyi di beberapa kampus di Yogyakarta. Peserta yang didampingi adalah anak-anak usia TK, SD, dan SMP di sekitar Kalasan, Yogyakarta. Kendala yang selama ini dihadapi adalah kurang sarana dan prasarana seperti buku bacaan serta penyesuaian waktu pertemuan antara pendamping dan anak-anak. Selain masalah hak anak atas informasi layak anak, ada hak anak yang sangat mendasar yang menjadi perhatian pemerintah dan termasuk dalam UndangUndang Hak Anak yang sudah diratifikasi yakni masalah makanan dan kesehatan. Hak anak untuk mendapat asupan nutrisi yang cukup melalui makanan yang layak merupakan hak mendasar, hal ini juga mengingat bahwa anak merupakan generasi penerus masa depan suatu bangsa. Dengan memberikan makanan dengan gizi yang seimbang maka kesehatan setiap anak tetap terjaga. 730
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Kebutuhan akan makanan sehat dan asupan nutrisi dan gizi yang seimbang bagi anak-anak menjadi perhatian dalam pengabdian ini. Masalah makanan yang bernutrisi dan bergizi ini akan dikampanyekan mulai dari Komunitas Omah Pohon dan Sanggar Konco Cilik. Sebagai bagian dari masyarakat yang telah menyadari arti pentingnya hidup sehat kita telah memulai dari kebiasaan makan pangan sehat. Salah satu prinsip makan makanan sehat yang sudah dijalani selama beberapa tahun terakhir adalah prinsip menolak 4P (Pengawet, Pewarna buatan, Pemanis buatan dan Penguat rasa). Hal ini dilakukan karena adanya kesadaran bahwa keempat unsur tersebut memiliki berbagai efek negatif terlebih bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan apalagi pada usia emas mereka. Anak-anak yang terbiasa dengan mengkonsumsi makanan sehat diharapkan memahami arti pentingnya hal tersebut, selalu kritis terhadap makanan yang masuk ke dalam tubuh, apakah makanan tersebut berguna atau tidak, mengganggu atau tidak, merusak atau tidak. Dengan memahami hal-hal tersebut diharapkan selalu menerima makanan sehat dan menolak makanan yang tidak dibutuhkan oleh tubuh, misalnya dengan membaca dulu komposisi makanan kemasan yang dijual di pasaran, jika mengandung salah satu atau lebih dari 4P (Pengawet, Pewarna buatan, Pemanis buatan dan Penguat rasa) maka sebaiknya makanan tersebut tidak dikonsumsi. Pembiasaan makan makanan sehat dalam keluarga diharapkan akan melahirkan generasi selanjutnya yang juga sehat. Kebanyakan warga masyarakat berpikir bahwa membeli makanan matang lebih praktis dibandingkan memasak sendiri di rumah, padahal hampir bisa
dipastikan bahwa masakan yang kita beli menggunakan penguat rasa dalam masakannya. Bagi orang dewasa tidak terlalu berpengaruh namun bagi anak, zat yang terkandung dalam penguat rasa tersebut membawa dampak yang merugikan dalam perkembangan anak tersebut. Berdasarkan berbagai penelitian yang sudah ada, salah satu efek negatif penguat rasa adalah adanya karsinogen yang bisa memicu munculnya penyakit kanker. Di samping itu juga membuat perkembangan fisik dan mental anak kurang optimal. Dengan demikian, target dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah 1) untuk memberikan bimbingan kepada anak-anak yang selama ini belum lancar membaca semakin lancar dalam membaca; 2) Memberikan pemahaman kepada anak-anak untuk mengurangi dalam mengkonsumsi makanan dan minuman instan yang mengandung pengawet dan bahan tambahan lain yang tidak sehat; 3) Memberikan pemahaman kepada orang tua, terutama orang tua dari anak-anak yang belajar di sanggar terlibat aktif dalam mendampingi anak-anak; dan 4) Memberikan kampanye pemahaman untuk mengkonsumsi makanan sehat kepada masyarakat di sekitar sanggar belajar. Luaran yang diharapkan adalah: 1) Metode pendampingan belajar dan pengelolaan perpustakaan; 2) Barang yang berupa buku-buku cetak di perpustakaan komunitas Sanggar Omah Pohon dan Sanggar Konco Cilik dengan jumlah koleksi minimal 250 judul; 3) Buku-buku elektronik minimal 50 judul dan setiap bulan menambah koleksi buku elektronik sebanyak 10 judul; 4) Poster-poster untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat dan cerdas, dan 5) Semua karya anak sanggar
731
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
berupa gambar, tulisan, mainan dan lainlain.
sebuah desa di pinggiran kota yakni di Gg. Gathotkaca 8, Pringgondani, Sleman. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan selama program pengabdian di antaranya assessment awal untuk melihat situasi dan kondisi sanggar, kegiatan-kegiatan pendampingan serta mengusahakan perpustakaan. Setiap kegiatan selalu diakhiri dengan menceritakan apa yang telah dilakukan, misalnya menggambar kemudian menceritakan tentang gambar yang telah dibuat. Setiap akan memulai kegiatan dan mengakhirinya dilakukan yel-yel dengan gerakan tertentu. Yel-yel tersebut dipimpin anak secara bergiliran. Kegiatan-kegiatan pendampingan yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Memasak sayur kemudian makan bersama dengan tujuan untuk mengajarkan tentang sayuran kepada anak-anak dan tentang pentingnya makan sayur. Dengan kebiasaan makan sayur maka badan akan sehat karena tidak penambahan zat aditif ketika memasak. 2) Membuat pembatas buku (gambar) sesuai kreativitas anak, kemudian menceritakan apa makna gambarnya dengan tujuan untuk memunculkan sisi afektif anak. 3) Workshop karya dari barang bekas untuk membuat kerajinan atau hiasan dengan tujuan mengembangkan kreativitas dan kesabaran bagi si anak dan juga psikomotorik anak. 4) Kegiatan meronce manik-manik, membuat gantungan kunci, kalung, gelang dan lain-lain dengan tujuan untuk mengembangkan motorik kasar dan
METODE Metode pendekatan yang akan dilakukan dalam pengabdian ini adalah: 1) Pendampingan belajar; 2) Pendampingan membaca buku; 3) Pelatihan pengelolaan perpustakaan; 4) Bercerita dan mendongeng; 5) Membuat mainan dari barang bekas; 6) Bermain musik, menyanyi; 7) Field trip ke lingkungan sekitar; 8) Masak bersama; 9) Lomba menggambar; 10) Pentas seni; 11) Pameran karya anak; dan 12) Workshop. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL 1. Sanggar Omah Pohon Kegiatan di Omah Pohon dilaksanakan seminggu sekali setiap hari Minggu dalam waktu dua hingga tiga jam. Anak-anak berkegiatan ditemani oleh 3 – 4 orang fasilitator. Selama program pengabdian ada dua orang asisten yang turut serta membantu sebagai fasilitator kegiatan. Pada bulan Oktober hingga November ini ada kegiatan rutin lain di hari Kamis dan Jumat. Hari Kamis latihan teater dan hari Jumat latihan tari. Kegiatan ini diikuti anak-anak anak-anak dengan antusias. Pada setiap kegiatan, jumlah anak di Sanggar Omah Pohon yang biasa mengikuti kegiatan adalah sekitar 15 anak. Usia anak sekitar 4 (usia PAUD) hingga 11 tahun (kelas 4 atau 5 SD). Pada kagiatan tertentu semua anak bisa berkumpul, sekitar 33 anak, misalnya saat lomba, field trip, jalan-jalan, kegiatan di luar sanggar lainnya. Sanggar Omah Pohon berada di
732
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
halus serta ketelitian. 5) Bercerita setelah membaca buku atau setelah mengalami berbagai pengalaman berharga dengan tujuan untuk melatih berbicara secara terstruktur dan mendengarkan secara fokus dan penuh perhatian. 6) Workshop wayang plastik, menggunakan barang bekas (botol minuman) untuk membuat wayang yang menarik. 7) Menonton pentas wayang plastik 8) Membuat layang-layang dengan kertas koran. 9) Melakukan serah terima buku-buku, alat peraga, 1 unit komputer dan alat tulis. 10) Melaksanakan lomba menyambut hari raya kemerdekaan Indonesia sehingga rasa nasionalisme anakanak dikembangkan dengan mensyukuri kemerdekaan. 11) Pembagian hadiah dan bernyanyi untuk melatih kepercayaan dirinya dengan bernyanyi baik sendiri maupun menyanyi bersama-sama. 12) Field Trip dilakukan ke lapangan Realino. 13) Membaca dan bercerita (2 kali pertemuan) dilakukan sebagai latihan membaca cerita dengan baik, menceritakan kembali apa yang sudah dibacanya. 14) Workshop melukis talenan, anak-anak melukis di atas talenan dengan tema pahlawan. 15) Workshop membuat boneka tangan dan bercerita. Anakanak belajar percaya diri dan menyusun kalimat dengan baik. Tema masih tentang pahlawan. 16) Memasak makanan sehat dan makan bersama. 17) Membuat poster makanan sehat, anak-anak diajak untuk kembali mengingat bermacam sayur yang dimasak minggu sebelumnya kemudian membuat poster dengan pesan-pesan untuk
kita selalu mengkonsumsi makanan sehat setiap hari. 18) Membaca dan berceritasebagaimana dilakukan sebelumnya untuk memanfaatkan buku-buku yang tersedia. 19) Membuat kartu pos untuk dikirimkan ke sahabat-sahabat sanggar di tempat lain. Anak-anak membuat gambar yang menurut mereka menarik berupa kartu pos, kemudian kakak fasilitator mengirimkan ke teman-teman sanggar lain. Kegiatan yang dilakukan di samping kegiatan yang telah terpogram kita lebih sering mengikuti kemauan anak, selama keinginan mereka baik positif dan murah akan dilaksanakan. Jadi pada setiap akhir pertemuan akan ada dialog menanyakan kegiatan apa yang ingin dilakukan anak-anak. Tidak jarang ketika anak kebingungan maka fasilitator akan membuat tawaran kegiatan yang dirasa menyenangkan bagi anakanak misalnya kegiatan membuat wayang plastik. Anak-anak belajar mengungkapkan pendapat dan secara kreatif membuat kegiatan. Kegiatan lain yang dilaksanakan adalah pelabelan buku, membuat sistem peminjaman buku. Kegiatan mengajak orang tua untuk terlibat belum terlaksana dengan baik. Dalam berkegiatan di luar biasanya sangat menarik bagi anakanak, sehingga hampir semua anak ikut serta dalam kegiatan ini misalnya kegiatan field trip, ke Taman Budaya untuk melihat pameran dan workshop, dan lainlain. Selain itu kegiatan lomba juga sangat menarik sehingga hampir 733
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
semua anak berkumpul untuk memeriahkan kegiatan. Namun jika hanya ada sedikit anak pun kegiatan tetap dilaksanakan, kakak-kakak fasilitator tidak pernah membatalkan kegiatan.
dan bercerita, bernyanyi, menulis cerita dan bercerita, membuat pembatas buku, membuat karya dari barang bekas, mendongeng dengan boneka tangan, lomba-lomba dalam rangka merayakan kemerdekaan, pembagian hadiah, membuat mozaik, membaca buku dan bercerita, menanam di polibag, origami, kirigami, membuat poster.
2.
Sanggar Konco Cilik Sanggar Konco Cilik terletak di Kringinan Tirtomartani RT 05/RW 10 Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Jarak dari kota Yogyakarta sekitar 10 km ke arah timur. Berdasarkan assessment yang dilakukan di Sanggar Konco Cilik terdapat sekitar 45 anak, namun yang hadir setiap pertemuan tidak semua. Terkadang 20 atau 15 atau 30 anak tergantung situasi, kita tidak bisa memaksa anak untuk datang. Kegiatan biasa dilaksanakan seminggu sekali, yakni setiap hari Kamis sore. Lamanya pertemuan sekitar dua sampai tiga jam, dalam satu pertemuan bisa melakukan beberapa kegiatan sekaligus misalnya menyanyi, permainan, menggambar dan lain-lain. Fasilitator berusaha membuat kegiatan yang menarik sehingga anak tertarik untuk selalu datang pada setiap pertemuan. Selama kegiatan program pengabdian ada dua fasilitator tambahan dari mahasiswa Universitas PGRI Yogyakarta. Kegiatan pengabdian ini sampai pada tahap pembuatan perpustakaan secara fisik maupun soft copy. Pelabelan buku dan pencatatan setiap ada peminjaman sudah dilakukan. Kegiatan pendampingan oleh pengabdi sudah dilakukan beberapa kali. Kegiatan yang telah dilakukan antara lain:meronce, menggambar
B.
PEMBAHASAN Berbagai kegiatan yang dilakukan di sanggar belajar dapat membangkitkan kreativitas anakanak sanggar misalnya kegiatan membuat pembatas buku. Dari kegiatan tersebut anak-anak dengan merdeka membuat gambar yang disukai dengan sedikit bantuan fasilitator bagi anak-anak yang masih kecil misalnya 3 atau 4 tahun. Gambar yang dibuat mengekspresikan diri anak-anak, dan setelah membuat pembatas buku tersbut anak-anak bisa menceritakan tentang apa yang digambarnya. Sanggar Omah Pohon menggunakan pendekatan seni pendidikan pemerdekaan dengan proses awal menggali potensi kemudian refleksi, selanjutnya relasi seni dilanjutkan membuat karya kemudian apresiasi dan kembali lagi menggali potensi dan seterusnya. Daur belajar tersebut yang diterapkan dengan proses yang berulang-ulang seperti spiral. Selama proses belajar dan bermain anakanak diajak berdiskusi dan berefleksi tentang proses yang sudah dijalani. Kemerdekaan anak sangat diperhatikan dalam proses belajar di kedua sanggar belajar tersebut.
734
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Berbagai kegiatan yang dilakukan selalu mempertimbangkan pendapat anak-anak tentang kegiatan apa yang menarik dan menyenangkan bagi mereka. Tentu saja dengan pertimbangan beberapa aspek misalnya aspek kognitif, aspek psikomotorik dan afektif. Ketiga aspek itulah yang ingin dikembangkan oleh Sanggar Omah Pohon maupun Sanggar Konco Cilik. Beberapa evaluasi kegiatan ini adalah mengenai sarana dan prasarana tempat yang kurang memadai. Di Omah Pohon menggunakan ruangan yang sempit sehingga jika semua anak berkumpul akan kekurangan tempat, masih ditambah kakak-kakak fasilitatornya. Sanggar Konco Cilik menggunakan teras rumah untuk bertemu dan ada ketergantungan dengan koordinator (tuan rumah). Namun demikian anak-anak selalu bersemangat dan selalu ceria mengikuti kegiatan. Jumlah anak yang datang di Sanggar Omah Pohon terkadang sedikit karena tidak bisa mewajibkan anak untuk datang. Jika terkendala hujan maka akan sedikit anak yang datang, demikian juga jika sedang ada tes. Dengan jumlah anak yang sedikit pun kegiatan tetap berjalan sesuai dengan rencana. Pada akhirakhir pertemuan sering banyak yang datang karena kegiatan yang dilakukan cukup menarik dan ada ketertarikan anak untuk selalu melaksanakan kegiatan yang sudah mereka rencanakan sendiri. Khusus untuk Sanggar Konco Cilik anak-anak selalu banyak yang datang akan tetapi jumlah kakak fasilitatornya sedikit jadi kurang
dapat terdampingi dengan baik. Sementara belum bisa melibatkan orang tua untuk menjadi fasilitator karena kesibukan mereka. Keterlibatan orang tua kemarin nampak pada saat lomba-lomba dan karena diminta khusus untuk membantu. Manfaat IbM di antaranya adalah sebagai literasi awal (menumbuhkan habit membaca sejak dini). Selain itu mengajarkan kepada anak tentang pentingnya pola hidup sehat, menolak 4P: penguat rasa, pengawet buatan, pemanis buatan, pewarna buatan. Dengan alat peraga boneka tangan memunculkan keberanian berbicara, bercerita, kemudian muncul ide membuat kegiatan drama/teater dan tari. Menggunakan komputer untuk kegiatan positif misalnya membuat undangan, membaca bacaan soft copy, dan lain-lain.Anak-anak bisa belajar sambil bermain, menumbuhkan kreativitas anak, bisa mengajarkan kepada anak memanfaatkan barang bekas untuk kerajinan atau mainan, menumbuhkan keaktifan anak, menumbuhkan sikap sosial bertoleransi, menerapkan 4 kata ajaib: maaf, permisi, tolong danterima kasih. Membiasakan anak untuk memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat, melatih bekerjasama yang baik dan saling tolong menolong. KESIMPULAN Setiap anak itu unik oleh karena itu pendekatan kepada setiap anak perlu khusus kepada setiap anak. Setiap kegiatan hendaknya mengembangkan kreativitas 735
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
anak dan tidak merenggut keceriaan anak. Kegiatan pendampingan perlu dilanjutkan dengan kreativitas dan penuh rasa sayang kepada anak. Kebiasaan positif anak perlu terus dipupuk dan dikembangkan. Perlu diperhatikan pula asupan gizi untuk anak karena mereka sedang masa pertumbuhan, kebutuhan tubuh untuk tumbuh dan berkembang perlu mendapat perhatian.
Mencentak Anak Cerdas dan Kreatif, Penerbit Buku Kompas. Muchlisin, BK, 2014, Resiko dan Dampak Negatif Gadget Bagi Anak. (http://keluargacinta.com/resikodan-dampak-negatif-gadget-bagianak) diunduh Selasa, 7 April 2015 Agung Swastika Pinatih, 2014, Makanan Sehat Seimbang. (https://agungswastika.wordpress.c om/kesehatan/makanan-sehatseimbang/) diunduh Jumat, 10 April 2015. Hamid Patilima, 2014, Konvensi Hak Anak 1989, (http://hukum.kompasiana.com/201 4/04/22/konvensi-hak-anak-1989650042.html) diunduh Jumat, 10 April 2015
DAFTAR PUSTAKA Chugani, Shoba Dewey, 2009, Anak yang Cerdas Anak yang Bermain, PT Gramedia Pustaka Utama Ditlitabmas, Dikti. Panduan Pelaksanaan Penelitian dan PPM Edisi IX Tahun 2013. Rahmawati, Shinta (editor), 2001, Kumpulan Artikel Kompas:
736
PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA Ellina Yeni Kurnia1), Ch.Eva Nuryani2) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta 1
[email protected],
[email protected] ABSTRACT The influence of contextual learning approaches to creative thinking abilities eighth grade students of State Junior High School 15 Yogyakarta. Faculty of Teaching and Education PGRI University of Yogyakarta 2016. This research aims to determine the influence of contextual learning approach to learning mathematics in terms of the ability to think creatively eighth grade students of State Junior High School 15 Yogyakarta. This research was conducted in Junior High School 15 Yogyakarta. This is quasi experiment research, which is designed by Pretest Posttest Control Group Design. The subjects were the VIIIA and VIIID students of State Junior High School 15 Yogyakarta, academic year 2015/2016 and the object of the research is creative thinking ability of students in learning Math using contextual learning approaches. The results showed that the experiment class use a contextual approach to learning and control class use conventional teaching, where both classes have been given pretest to determine student’s initial ability. Analysis technique used in this research is validitas instrument, reliabilitas instrument, the difficult level instrument and the different instrument. Pretest results indicate that two classes in the same state or balanced. Normality test the value pretest using software SPPS 20 values obtained p − value = 0, 200 > 0, 05 in the control class and experimental class so that it can be concluded that both classes of normally distributed. Then test the homogeneity of the pretest value and values obtained p − value = 0,150 > 0, 05 means that both classes have a variety homogenous. The average value posttest experiment class reached 79 with thitung = 2, 275 > ttabel = 1, 692 , so that the effect of contextual learning approach. T-test for two independent samples showed the value of the two sides posttest p − value = 0,538 > 0, 05 , so it can be concluded both classes have average value of the same. The next results of an independent two sample 0,538 t-test for two-side (left side) posttest shows the value p − value = = 0, 269 > 0, 05 , so it can be 2 2 concluded that contextual learning approach is no more influential than conventional teaching. Keywords: contextual learning approaches, influences, creative thinking 1. PENDAHULUAN Sekolah menjadi suatu kebutuhan mendasar bagi semua manusia, mengingat perkembangan zaman yang semakin mengedepankan pendidikan sebagai salah satu tolok ukur kemajuan bangsa. Banyak anggapan bahwa sekolah merupakan rumah ke dua untuk mendapatkan pendidikan setelah
pendidikan pertama yang didapat ketika di rumah bersama dengan orang tua. Belajar dan pembelajaran di sekolah merupakan suatu konsep yang saling berkaitan. Belajar merupakan proses atau usaha yang dilakukan tiap individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik dalam bentuk ilmu pengetahuan, ketrampilan 737
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
maupun sikap. Sedangkan pembelajaran merupakan seperangkat tindakan yang dirancang untuk mendukung proses belajar siswa. Menurut NRC (National Research Council, 1989:1) yang dikutip dari Fadjar Shadiq (2014:3) mengungkapkan bahwa matematika adalah kunci ke arah peluang-peluang. Bagi seorang siswa, keberhasilan mempelajarinya akan membuka pintu karier yang cemerlang. Bagi warganegara, matematika akan menunjang pengambilan keputusan yang tepat. Bagi suatu negara, matematika akan menyiapkan warganya untuk bersaing dan berkompetisi di bidang ekonomi dan teknologi. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam dunia pendidikan meskipun banyak ilmu yang berperan terhadap perkembangan zaman akan tetapi matematika merupakan ilmu yang berperan sangat penting dalam kemajuan individu ataupun kelompok. Bahkan sejak sekolah dasar matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sudah mulai diperkenalkan kepada siswa. Selama ini banyak yang beranggapan bahwa matematika merupakan sesuatu yang abstrak atau sulit untuk dikaitkan dalam dunia nyata. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam memahami matematika. Bagi beberapa guru penyampaian materi pada mata pelajaran matematika di sekolah masih dirasa banyak kesulitan begitu juga bagi siswa dalam menerima materi pembelajaran matematika di sekolah juga masih dirasa banyak kesulitan yang dihadapi. Banyak yang beranggapan bahwa dalam proses pembelajaran yang berlangsung disekolah terutama pada materi
pelajaran matematika guru cenderung hanya memberikan rumus-rumus yang semuanya harus dipahami oleh siswa. Dalam pembelajaran matematika guru memberikan ide dan konsep dan diharapkan siswa dapat mengembangkan ide dan konsep yang telah diterimanya melalui kemampuan berpikir kreatif yang ada pada dirinya. Menurut David J. Schwartz (1999) dalam Hamzah B. Uno (2014:113) berpikir kreatif adalah menemukan cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan segala sesuatu. Banyak model pembelajaran atau pendekatan pembelajaran yang berpengaruh dalam meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa adalah pendekatan pembelajaran kontekstual. Pendekatan pembelajaran kontekstual menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan konteks dimana materi tersebut digunakan, serta berhubungan dengan cara belajar siswa. Dengan melihat karakteristik pendekatan pembelajaran kontekstual yang menekankan pada penggunaan konteks dari materi yang sedang dipelajari, dirasa mampu untuk meningkatkan berpikir kreatif siswa. Dengan menggunaan konteks dari materi yang sedang digunakan siswa akan terlibat aktif dalam pembelajaran dan siswa mampu mengeksplorasi suatu permasalahan. Mengeksplorasi suatu permasalahan bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari 738
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
permasalahan dengan bentuk penyelesaian yang beragam dan benar secara lancar. Observasi yang dilaksanakan di kelas VIII D SMP N 15 Yogyakarta bertujuan memberikan gambaran terhadap proses pembelajaran yang sudah berlangsung dan sekaligus memberikan gambaran sejauh mana kemampuan berpikir kreatif siswa. Pada saat observasi dilaksanakan, guru memulai dengan memberi pertanyaan dan memancing siswa untuk kembali mengingat materi sebelumnya. Ketika tanya jawab berlangsung, siswa dengan baik menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Selanjutnya, guru mulai menjelaskan materi pelajaran. Ketika guru menjelaskan materi pelajaran, beberapa siswa terlihat melakukan aktifitas diluar kegiatan pembelajaran seperti bergurau dengan teman sebangku atau bermalasan ketika guru menjelaskan materi pelajaran. Setelah materi diberikan, guru memfasilitasi siswa dengan media pembelajaran yang berupa LKS. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok heterogen dengan satu kelompok terdiri dari 3-4 siswa. Selanjutnya guru membagikan LKS kepada setiap kelompok dan memberi waktu untuk berdiskusi. Ketika diskusi berlangsung keadaan kelas berjalan kurang kondusif, banyak siswa yang sibuk bergurau dengan teman lainnya dan melakukan aktifitas diluar kegiatan pembelajaran. Hanya satu atau dua anggota dari kelompok saja yang melakukan diskusi. Selesai berdiskusi guru mulai mengkondisikan kelas dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka, namun respon siswa terlihat kurang
baik sehingga guru berinisiatif untuk menunjuk salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Melihat respon siswa yang rendah memberikan gambaran bahwa siswa masih ragu-ragu untuk menyampaikan hasil dari pemikirannya kepada banyak orang. Dengana demikian siswa tergolong memiliki kemampuan berpikir kreatif adalah siswa yang tidak ragu-ragu dalam menyampaikan ide-ide atau gagasan didepan banyak orang dan siap untuk menerima dengan baik masukan dari banyak orang kemudian mengembangkannya menjadi suatu ideide atau gagasan baru. Selain berdasarkan hasil observasi di kelas, hasil nilai Ulangan Tengah Semester (UTS) siswa juga menunjukkan kurangnya pemahaman siswa terhadap mata pelajaran matematika. Hal tersebut terlihat dari nilai UTS yang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) hanya 41,8% dari total keseluruhan siswa kelas VIII SMP N 15 Yogyakarta. Siswa dengan nilai UTS yang belum memenuhi KKM merupakan siswa yang masih mengalami kesulitan terhadap pelajaran matematika. Kesulitan dalam pelajaran matematika berpengaruh pula terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa mengingat bahwa matematika erat hubungannya dengan kemampuan berpikir kreatif yang dimiliki siswa. Dapat disimpulkan bahwa suatu proses pembelajaran di kelas seharusnya mampu menciptakan suasana kelas yang aktif yaitu suasana yang menitikberatkan keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Keterlibatan siswa dalam pembelajaran diantaranya adalah dengan diadakannya diskusi 739
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
berkelompok kemudian dipresentasikan sehingga memungkinkan siswa untuk mengembangkan ide atau konsep yang dimiliki sehingga dengan demikian pula siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif. Oleh karena itu, peneliti tertarik menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaraan dan diharapkan pendekatan pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Dari pemaparan di atas, peneliti ingin melakukan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui apakah dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual lebih dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dibandingkan dengan pembelajaran yang biasanya dilakukan di kelas. Judul yang diambil peneliti adalah “Pengaruh pendekatan pembelajaran kontekstual terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP N 15 Yogyakarta”.
Indikator berpikir kreatif yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Hamzah B. Uno yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu kemampuan menyelesaikan suatu permasalahan dengan memberi jawaban yang beragam dan benar secara lancar kemampuan (Fluency), menyelesaikan suatu permasalahan dengan berbagai cara yang berbeda (Flexibility), kemampuan menyelesaikan suatu permasalahan dengan memberikan jawaban yang tidak lazim, lain dari yang lain, yang jarang diberikan kebanyakan orang (Originality), dan kemampuan memperinci secara detail suatu permasalahan menjadi lebih sederhana (Elaboration). b. Hakikat Pembelajaran Kontekstual Menurut Satiatava Rizema Putra (2013:243) pembelajaran kontekatual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa sekaligus mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan suatu pembelajaran dimana guru mengaitkan materi pada kehidupan nyata serta guru mendorong siswa untuk memecahkan permasalahan dengan menghubungkan pengetahuan yang telah dimilikinya kedalam kehidupan sehari-hari.
2. LANDASAN TEORI a. Berpikir Kreatif Berpikir kreatif adalah suatu bentuk pemikiran untuk menemukan jawaban, metode atau cara-cara yang baru dalam menanggapi suatu persoalan untuk memecahkan masalah (Hamzah B. Uno, 2014:115) Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah ketrampilan atau kecakapan untuk menghasilkan sebuah ide dan gagasan baru dengan menggabungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
740
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tabel 1 Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pengajaran Konvensional Kontekstual Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan Selalu mengaitkan informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang
Beberapa komponen-komponen utama dalam pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas dalam Sitiatava Rizema Putra (2013:247-251) 1) Konstruktivisme (Constructivism 2) Menemukan (Inquiry) 3) Bertanya (Questioning) 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) 5) Pemodelan (Modeling) 6) Refleksi (Reflection) 7) Penilaian yang Sebenaarnya (Authentic Assessment) c. Pengajaran Konvensional Menurut Ratumanan (2015:16) pengajaran konvensional pada umumnya menekankan penguasaan konsep dan keterampilan yang sudah dirumuskan guru sebelumnya. Siswa mengikuti penjelasan guru, mengerjakan tugas yang diberikan guru berkaitan dengan materi yang telah dijelaskan, selanjutnya menunjukkan hasil kerjanya sebagai ukuran apakah siswa telah menguasai materi yang dipelajari. d. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pengajaran Konvensional
Konvensional Pemilihan informasi ditentukan oleh guru Siswa secara pasif menerima informasi Pembelajaran sangat abstrak dan teoretis Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya diperlukan Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu
e. Materi Ajar 1) Peluang a) Tindakan Acak atau Kejadian Acak b) Titik Sampel dan Ruang Sampel c) Peluang Empirik d) Peluang Teoretik f. Kerangka Berpikir Proses pembelajaran yang berlangsung di SMP Negeri 15 Yogyakarta masih menggunakan pendekatan pembelajaran yang sebagian besar belum menitikberatkan pada siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung. Sebagian besar kegiatan pembelajaran masih didominasi oleh guru. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Siswa banyak yang asik berbicang-bincang dengan teman dan melakukan kegiatan di luar kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Kurangnya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran sangat berpengaruh terhadap kemampuan
741
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
berpikir kreatif siswa. Untuk menciptakan suatu proses pembelajaran yang aktif sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa upaya yang harus dilakukan adalah dengan memilih satu pendekatan pembelajaran yang tepat dimana pendekatan pembelajaran tersebut dapat memancing siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan siswa mampu mengekspresikan ide-ide yang dimilikinya secara bervariasi. Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang mempunyai karakteristik untuk melibatkan siswa dalam proses pembelajaran dan mengarahkan siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif yang dimilikinya. Siswa dilibatkan secara aktif untuk kegiatan mengeksplorasi suatu permasalahan dengan penggunaan konteks yang nyata. Hasil eksplorasi siswa bukan hanya untuk menemukan jawaban akhir namun juga siswa diarahkan untuk mengembangkan jawaban yang telah ditemukan dengan penyelesaian yang bervariasi. Dalam penelitian ini, pendekatan pembelajaran kontekstual diterapkan agar berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kubus dan balok siswa kelas VIII SMP Negeri 15 Yogyakarta. g. Hipotesis Penelitian Berdasar dari landasan teori dan kerangka berfikir maka hipotesis pada penelitian ini adalah:
1) Pendekatan Pembelajaran Kontekstual pada pembelajaran matematika berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. 2) Pengajaran Konvensional pada pembelajaran matematika berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. 3) Pendekatan Pembelajaran Kontekstual lebih berpengaruh dibanding Pengajaran Konvensional terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa. 3. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain Pretest Posttest Control Group Design. Penelitian ini melibatkan dua kelas yang diberi perlakuan berbeda. Kelas yang menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual sebagai kelas eksperimen 1 dan kelas yang menggunakan pengajaran konvensional sebagai kelas eksperimen 2. Pretest diberikan pada kedua kelas eksperimen untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Kemudian kelas ekperimen 1 diberikan perlakuan (treatment) dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan pada kelas eksperimen 2 dengan pengajaran konvensional. Posttest diberikan pada kedua kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan pembalajaran dalam hal meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Tindakan dalam penelitian ini dilakukan 3 kali pertemuan baik di kelas eksperimen 1 maupun eksperimen 2. 742
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Data hasil pretest kelas kontrol dan kelas eksperimen dalam bentuk diagram adalah sebagai berikut: Gambar 1 Diagram Nilai Pretest Kelas Kontrol dan Kelas Kontekstual
Pada kelas eksperimen 1, pertemuan pertama digunakan untuk melaksanakan pretest dan dilanjutkan dengan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. Pertemuan kedua melanjutkan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kontekstual dan pada pertemuan ketiga digunakan untuk posttest. Sedangkan pada kelas eksperimen 2, pertemuan pertama digunakan untuk melaksanakan pretest dan dilanjutkan dengan pembelajaran dengan pengajaran konvensional. Pertemuan kedua melanjutkan pembelajaran dengan pengajaran konvensional dan pada pertemuan ketiga digunakan untuk posttest.
5 JUMLAH SISWA
NILAI PRETEST
0
29 38 44 49 51 56 63 68 75 83 92 99 Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
NILAI
b. Deskripsi Data Hasil Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Observasi dilakukan guna mengetahui keterlaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen. Kelas eksperimen adalah kelas dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual. Dalam penelitian ini peneliti didampingi oleh 2 observer dengan menggunakan pedoman lembar observasi. Berikut adalah ringkasan hasil observasi yang disajikan dalaam bentuk tabel. Tabel 3 Ringkasan Hasil Observasi Keterlaksanaan Pembelajaran Kelas Eksperimen Keterlaksanaan PertemuanPertemuan Pembelajaran 1 2 Persentase 98,07% 100%
4. Deskripsi Data Penelitian Data yang berhasil diperoleh dari hasil pretest, observasi keterlaksanaan dan posttest kelas kontrol dan kelas eksperiemen adalah sebagai berikut: a. Diskripsi hasil pretest kelas kontrol dan kelas eksperimen Setelah dilakukan pretest pada kelas kontrol dan kelas eksperimen diperoleh deskripsi data sebagai berikut: Tabel 2 Data Hasil Pretest Kelas Kelas Kontrol Eksperimen Statistik (VIIID) (VIIIA) Rata-rata 56 67 Variansi 303 445 Simpangan 17 21 Baku Nilai 29 33 Terendah Nilai 92 100 Tertinggi
c. Deskripsi Data Hasil Posttest Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen Setelah dilaksanakan posttest pada kelas kontrol dan kelas eksperimen maka diperoleh data sebagai berikut:
743
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tabel 4 Data Hasil Posttest Kelas Kelas Statistik Kontrol Eksperimen (VIIIA) (VIIID) Rata-rata 77,2 79 Variansi 59,29 107,2 Simpangan 7,7 10,35 Baku Nilai 58 58 Terendah Nilai 92 96 Tertinggi Data nilai posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen jika disajikan dalam bentuk diagram sebagai berikut:
Pada analisis data yang telah diuraikan hasil penelitian menunjukkan kondisi awal kelas kontrol dan kelas eksperimen dalam keadaan yang seimbang. Hal tersebut dapat disimpulkan dari hasil analisis nilai pretest antara kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah dilakukan uji normalitas dengan hasil yang sama untuk kelas kontrol dan kelas eksperimen yaitu dan uji p − value = 0, 200 > 0, 05 homogenitas memperoleh
kelas hasil p − value = 0,150 > 0, 05 sehingga
kedua
kedua kelas memiliki variansi yang homogen. Hasil analisis nilai posttest pada kedua kelas sampel selain menggunakan uji normalitas dan homogenitas juga dilakukan uji t dua sampel independen untuk dua sisi. Dari analisis nilai posttest dengan menggunakan uji normalitas memperoleh hasil p − value = 0, 086 > 0, 05 untuk kelas
Gambar 2 Diagram Nilai Posttest Kelas Kontrol dan Kelas Kontekstual
NILAI POSTTEST
JUMLAH SISWA
10
pada
5
kontrol dan p − value = 0,181 > 0, 05 untuk kelas eksperimen sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua kelas berdistribusi normal. Hasil analisis uji homogenitas pada kedua kelas memperoleh hasil p − value = 0, 082 > 0, 05 maka dapat
0 58 63 67 71 72 75 78 79 82 83 88 92 96
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
NILAI
d. Pembahasan Berdasarkan hasil dari pengamatan para observer (tabel 11) diperoleh bahwa keterlaksanaan pendekatan pembelajaran kontekstual pada pertemuan pertama sebesar 98,07% dan pada pertemuan kedua sebesar 100%. Maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kontekstual berlangsung secara efektif.
disimpulkan bahwa kedua kelas memiliki variansi yang homogen setelah dilakukan posttest. Setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas kemudian dilakukan uji t dua sampel independen untuk dua sisi dengan hasil . Dari hasil p − value = 0, 538 > 0, 05 uji t dua sampel independen untuk dua sisi yang telah dilakukan
744
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kreatif siswa sama antara pendekatan pembelajaran kontekstual dengan pengajaran konvensional. Selanjutnya dilakukan uji t dua sampel independen untuk satu sisi (sisi kiri) dengan hasil p − value 0, 538 = = 0, 269 > 0, 05 . 2 2 Dari hasil uji t dua sampel independen untuk satu sisi (sisi kiri) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual tidak lebih berpengaruh dibandingkan pengajaran konvensional ditinjau dari kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP N 15 Yogyakarta.
dengan
α =(0, 05)
sehingga
dapat
disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual tidak lebih berpengaruh dibandingkan pengajaran konvensional ditinjau dari kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP N 15 Yogyakarta. 6. DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Saefudin. 2012. Pengembangan Kemampuan Berfikir Kreatif Siswa Dalam Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) diakses di http://journal.uinsuka.ac.id/albid ayah/article/view/22/25 pada 1 Mei 2016, pukul 19:21 WIB. Eko Putro Widoyoko. 2016. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. . 2012. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hamzah B. Uno. 2014. Variabel Penelitian dalam Pendidikan dan Pembelajaran. Jakarta: PT Ina Rublikatama. Karunia Eka dan Yudhanegara M, R. 2015. Penelitian Pendidikan Matematika. Bandung: Rafika Aditama Lilik Nurdiana. 2012. Upaya Meningkatkan Hail Belajar Siswa dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kontekstual pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Kelas IV Sekolah Dasar diakses di http://ejournal.unesa.ac.id/article /1327/18/article.pdf pada 1 Mei 2016, pukul 18:11 WIB) Ratumanan. 2015. Inovasi Pembelajaran. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
5. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian eksperimen yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa: 1) Dari hasil hipotesis yaitu
1, 715 > 1, 692 thitung ≥ t(0,05)(32) = sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan pengajaran konvensional berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP N 15 Yogyakarta. 2) Dari hasil hipotesis yaitu thitung ≥ t(0,05)(32) =2, 275 > 1, 692 Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP N 15 Yogyakarta. 3) Dari hasil uji t dua sampel independen untuk satu sisi (sisi kiri) p − value 0,538 yaitu = = 0, 269 > α 2 2 745
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Satiatava Rizema Putra. 2013. Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta: Diva Press. Fadjar Shadiq. 2014. Pembelajaran Matematika. Yogyakarta. Graha Ilmu. Stanislaus S. Uyanto. 2009. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta:Graha Ilmu Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Suharsimi Arikunto. 2010. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresi, Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Prenada Media Group.
746
STORY-TELLING ACTIVITY IN ENGLISH SUBJECT FOR ELEMENTARY SCHOOL TEACHER STUDY PROGRAM STUDENTS PGRI UNIVERSITY OF YOGYAKARTA Nafisah Endahati Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas PGRI Yogyakarta
[email protected] Abstract The effort of the institution in improving students’ competency especially in teaching students of elementary schools, is giving English lesson to the students. Students have to take English lesson as their credit in semester 1. The freshmen are supposed to have good competencies in whole learning aspects of language comprehension. They are given chance to increase their language competencies in all aspects of language skills. The teaching and learning of English to students also aims at preparing students to achieve good performance of delivering material or lesson to students. It must be followed by giving students experience in teaching children using English. One activity which is successfully applied to invite students to become involved in learning process is story telling activity. This study is held to describe students of Elementary School Teacher Training Study Program in performing story telling activity. The students were given chance to demonstrate story telling by using English language. There were four meetings of performance and each meeting consisted of 7 to 10 students. The result of the study shows that students of Elementary School Teacher Study Program do some steps for preparing the story telling activity. The steps are looking for title and theme of the story, understanding the content and its messages, making the media, practicing telling the story, memorizing and focusing on mental preparation. Based on the study, the functions of story-telling activity are improving students’ selfconfidence, comprehending English language, improving pronunciation, increasing vocabulary, improving English communication, training learner’s mental and physical aspects, and motivating learner’s to study English. Key words : story-telling, English, children in teaching children. The effort of the institution in improving students’ competence especially in teaching students of elementary school, is giving English lesson to the students. Students have to take English lesson as their credit in semester 1. The freshmen are supposed to have good competencies in whole learning aspects of language comprehension. They are given chance to increase their language competencies
1. INTRODUCTION Elementary School Teacher, Faculty of Teacher Training and Education, PGRI University of Yogyakarta has duty to prepare students to be a professional teacher and educator who has high competence in teaching students of elementary school students. As a teacher to be, they are taught and provided good competencies 747
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
especially in reading, writing, listening and speaking. They should also acquire competence in teaching children using English. As this goal successfully achieved, they are given such opportunity to use media of teaching students of elementary schools. This effort means as their good preparation for being teacher of elementary school students. Delivering lesson to students of elementary school is not an easy way. The teacher should deliver the lesson by applying such interesting technique. Some language teaching technique and media can be used in teaching students. As having skill of teaching the lesson to students of elementary school achieved, it is mentioned in the syllabus that the goal of the English lecture is improving students’ comprehension of English written text and spoken sources dealing with teaching and learning children. It also focuses on structure and vocabulary comprehensions to write and deliver lesson material to students in English. The previous learning process of English given to the students of was mainly conventional method. Students were learning about structure. They were learning English not communicative way. The goal of the teaching process was mainly about comprehending the structure of English. The students were not given chance to improve their communicative competence. They were also not trained to experience how to deliver information and material to students through communicative activities. Students of Elementary School Teacher have experienced learning English since they were schooling at
junior and senior high schools. The fact found that the students are lack of English pronunciation. This could be happened because English is not their mother language. The students also found that they have difficulties in English speaking skill because they have limited time to have conversation practice at class. It is also worsen by the opinion that speaking English is difficult and students are feeling shy of having English conversation with other friends. As mentioned, that the aim of giving English lesson to students of Elementary School Teacher is to improve students ability in written and spoken English expression. This goal deals with students’ preparation to become good teacher. They should acquire English lesson and elementary school lesson material delivered using English language. Finally, they must experience an interesting technique of how to deliver material lesson to students. 2. THEORETICAL REVIEW Some approaches had been done by the educators to teach English as both foreign language and second language teaching. Approaches to be applied were increasing since the goal of language teaching-learning was not grammatical competence but communicative ability both written and spoken forms. Educators found better way of teaching to improve students’ ability in communicative competence. They moved from grammatical approach to communicative approach. It can be mentioned that there are three phases of trends in language teaching: (1) traditional approaches (up to the late 60s), (2) classic communicative language 748
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
teaching (1970s to 1990s) and (3) current communicative language teaching (late 1990s to the present)
information they share, and the function of the interaction. The discourse competence is the ability to interpret a series sentences or utterances in order to form a meaningful whole and to achieve coherent texts that is relevant to a given context. Strategic competence is the ability to compensate for imperfect knowledge of linguistic, sociolinguistic, and discourse rules or limiting factors in their applications such as fatigue, distraction, and inattention.
a. Communicative Approach There are some goals of communicative approach. Richards and Rodgers (1986: 66) mention that aims of communicative approach are (1) to make communicative competence the goal of language teaching, (2) to develop procedures for the teaching of four language skills that acknowledge the interdependence of language and communication. In addition, Littlewood (1981) mentions that one of the most characteristic features of communicative language teaching is that it pays systematic attention to functional as well as structural aspects of language. Communicative competence (Savignon, 1983) may be defined as the ability to function in a truly communicative setting – that is in a dynamic exchange in which linguistic competence must adapt itself to the total information input, both linguistic and paralinguistic, of one or more interlocutors. There are four components of communicative competence (Savignon, 1983). Those are grammatical competence, sociolinguistics competence, discourse competence, and strategic competence. The grammatical competence is the mastery of the linguistic code, the ability to recognize the lexical, morphological, syntactic, and phonological features of language and to manipulate these features to form words and sentences. Sociolinguistic competence requires an understanding of the social context in which language is used: the roles of participants, the
b. Classroom Activities in Language Teaching 1) Accuracy vs Fluency Activities Fluency practice can be contrasted with accuracy practice, which focuses on creating correct examples of language use. Differences between activities that focus on fluency and those that focus on accuracy can be summarized as follows: (Richards, 2008: 13). a. Activities focusing on fluency - Reflect natural use of language - Focus on achieving communication - Require meaningful use of language - Require the use of communication strategies - Produce the language that may not be predictable - Seek to link language use to context b. Activities focusing on accuracy - Reflect classroom use of language - Focus on the information of correct examples of language - Practice language out of context - Practice small samples of language - Do not require meaningful communication - Choice of language is controlled.
749
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
2) Story Telling Storytelling is a means for sharing and interpreting experiences. Stories are universal in that they can bridge cultural, linguistic, and age-related divides. Storytelling can be adaptive for all ages, leaving out the notion of age segregation. Story-telling can be used as a method to teach ethics, values, and cultural norms and differences. Learning is most effective when it takes place in social environments that provide authentic social cues about how knowledge is to be applied. Stories function as a tool to pass on knowledge in a social context. Stories are effective educational tools because listeners become engaged and therefore remember. Storytelling can be seen as a foundation for learning and teaching. While the storylistener is engaged, they are able to imagine new perspectives, inviting a transformative and empathetic experience. This involves allowing the individual to actively engage in the story as well as observe, listen and participate with minimal guidance. Listening to a storyteller can create lasting personal connections, promote innovative problem solving, and foster a shared understanding regarding future ambitions. The listener can then activate knowledge and imagine new possibilities. Together a storyteller and listener can seek best practices and invent new solutions. Because stories often have multiple layers of meanings, listeners have to listen closely to identify the underlying knowledge in the story. Storytelling is used as a tool to teach children the importance of respect through the practice of listening. As well as connecting children with their
environment, through the theme of the stories, and give them more autonomy by using repetitive statements, which improve their learning to learn competence. It is also used to teach children to have respect for all life, value inter-connectedness, and always work to overcome adversity. To teach this a Kinesthetic learningstyle would be used, involving the listeners through music, dream interpretation, or dance. Harmer (2007: 150) says that story telling can be used to teach live listening. There are several forms of live listening language teaching can be done. Those can be explained as the following. a. Reading aloud It allows the students to hear a clear spoken version of a written text and can be extremely enjoyable if the teacher is prepared to read with expression and conviction. b. Story-telling Teachers are ideally placed to tell story which provide excellent listening material. At any stage of the story, the students can be asked to predict what is coming next, to describe people in the story or past comment on it in some other way. Story telling is a powerful way of increasing language competence. c. Interviews In such situation, students really listen for answers they themselves have asked for rather than adopting other people’s questions. d. Conversation Teacher can hold conversation with students about English or any other topic. Students then have the chance to watch the interaction as well as listen to it. 750
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
By story-telling activity, English classroom can be done successfully especially English for young learners. It is due to stories can provide meaningful context, and natural repetition. Stories also develop children’s listening skill, encourage active participation. It is useful for teaching young learners.
freshmen. The class consisted of 38 students. 4. RESEARCH FINDINGS AND DISCUSSION a. The preparation of Story Telling Activity The implementation of story telling activity consisted of two processes. The process was the preparation and the performance of story-telling. The preparation of story-telling performance was done to check and guide the students to have good performance. In this preperformance, the students were given some times to serve the material of performance. It consisted of the following steps.
3. METHODOLOGICAL FRAMEWORK This research method used a descriptive qualitative method. Hancock and Algozzine (2006:16) state that this method attempts to present a complete description performance of a phenomenon within its context. Hancock and Algozzine (2006:8) state that a qualitative research goal is to understand the situation under investigation primarily from the participant’s and not the researcher’s perspective that is called the emic or insider’s perspective as opposed to etic, or outsider’s perspective. The data collected were in the form of words or pictures rather than in the form of numbers. The data included field notes, interview transcripts, and other official record. The data was descriptive narrative obtained from a series of in-depth interviews with the participants. The observation data were gained from a series of observations on learning English of students. The interview data were obtained from the participants opinion, idea, experience and feeling. The research subjects were the students of Elementary School Teacher Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, PGRI University of Yogyakarta. The students took English subject. They were the
1) Finding material Students were given some times to find the best material or story to be read by them. The story could be taken from books. Students might also brows from the internet. Most students found their material of storytelling by browsing from the internet. It could be accepted because stories could be varies. There were some typical stories obtained by the students. a) The Myth Myth is an ancient story or set of stories, especially explaining in a literary way the early history of a group of people or about natural events and facts. (Cambridge Advanced Learners Dictionary 3rded). b) The Fable
751
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Fable is a short story which tells a general truth or is only partly based on fact, or literature of this type. (Cambridge Advanced Learners Dictionary 3rded). c) The Legend Legend is a very old story or se of stories from ancient times, or the stories, not always true, hat people tell about a famous event or person. (Cambridge Advanced Learners rd Dictionary 3 ed).
teacher, the methods, material and media or aids used. English teaching media are very important to help students acquire new concepts of, the skills and language competences. They are many kinds of media which can be used by the teachers in the teaching learning process, but the teacher should be selective when choosing. This paper discusses about Kinds of Instructional Media for Teaching English. This case followed their picture, definition and how to use in English teaching.
2) Selecting media In delivering a story telling, students must be able to serve a media. Media carries information between source and a receiver. It is a channel of communication. Instructional media means media that carry messages with instructional purpose. Instructional media serves to facilitate students learning. It demonstrates process in the case of motion media and sequential skill visuals such as the process of installing new gadget or making something. Media also increases students’ interest and motivation to learn. Learning and teaching a foreign language needs a lot of patience, energy, time, creativity and competence. The success of the teaching and learning of foreign language skills including English is determined by a number of factors both linguistic and nonlinguistic such as the students, the
b. The Implementation of Story Telling Activity The implementation of the story telling activity in teaching English to children was individually. Student should prepare his or her performance by him or herself. Students were freely used their media to motivate children to hear the story. The performance of story-telling activity was divided into four meetings. There were 7 students to perform story telling in each class. One performer was given 7 minutes performance. 1) Performance 1 Performance 1 was held in the first day of class after students did the mid semester examination. There were 7 students to have performance. There were two types of story in the first performance of storytelling, there were fable and legend. The fable stories which were told by students were as follows. 752
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
1) The Origin of Landak River 2) The Ant and Grasshoper 3) A Dog and Wolf 4) The Fox and the Crow 5) Birds and Tortoise 6) The Lion and The Mouse 7) The Rabbit and Turtle 8) The Arrogant Deer 9) The Wolf and the Stork 10) Elephants and Friends
were almost the same with the first day of performance. 3) Performance 3 Third day of performance resulted good performance of the students. They were improving their performance after observing their friends performance. The improvement was the use of media in story telling. The third day of presentation students involved ten students. Firstly, they met the lecturer for consulting the title and the media that would be used in the activity. It was done not only to improve their performance but also to have high self-confidence while telling the story. So, the consultation was done two days before the presentation. The title of the stories was mostly about fable. They had the same title as their friends but in performing the story, they used different media. The third day of performance students felt high self-confidence. They prepared well by practicing story telling activity before. 4) Performance 4 The final day of story-telling presentation was successful. End day of the story telling performance was full of surprised. The students enjoyed their performance. Ten students performed their story telling by using different media. They also perform the
Meanwhile, the legend were used by the students to perform story telling was only one, named MalinKundang. It was Indonesia story. The studenst performed the story by using a series picture of MalinKundang legend. The same as MalinKundang story teller, other performers also used media. The media used by them were pictures, dolls, origami, and others. 2) Performance 2 The second meeting of the story-telling presentation was started by some students were late to get into the classroom. It was because they were not ready for making media to facilitate the story telling performance. The second day of performance consisted of 7 students. They showed story telling individually. The students who presented story telling without media were three students. They did not use media as facilitator of presentation. They only read the stories in front of the audience. The titles of the story 753
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
story telling with interesting mimic. They adapted the types of the story to show the best mimic. Mimic and body language placed important role in story-telling. They improved their performance and made the listeners got into the story. If possible, it can be achieved by the sound. The story teller could imitate varieties of sound, for instance as dog, monkey, or cat. The ability would enhance and direct the audience attention, especially children. Children would be motivated to listen the story.
- Training learner’s to carry out English classroom especially English for young learners - Giving young learner’s chance to interact in English language - Motivating learner’s to study English. REFERENCE Creswell, John. (2003). Research design: qualitative, quantitative, and mixed methods approaches. California: Sage Publications. Hancock D. R., and Algozzine B. 2006. Doing case study research. New York: Teachers College Press. Harmer, Jeremy.(2007). The practice of english language teaching (4th ed). New York: Pearson Longman. Holliday, A. (2002). Doing and writing qualitative research. London: SAGE Publications, Ltd. Littlewood.W. (1981).Communicative language teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Richards, Jack C. (2008). Communicative language teaching today. London: Cambridge. Savignon, J.S. (1983) Communicative competence: theory and classroom practice. USA: Addison-Wesley Publishing Company Inc.
5. CONCLUSION The research has been done. It can be concluded that the implementation of story telling activity is useful for the improving students’ competence at English language and the skill of teaching children. The use of story telling activity can be stated as the following. - Improving self confidence - Comprehending English language - Improving English pronunciation - Increasing vocabulary comprehension - Improving learner’s English communication - Training learner’s mental and physical aspects
754
PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENGGUNAKAN LECTORA INSPIRE PADA MATERI OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT Ibnu Sidiq Ertanto 1 , Niken Wahyu Utami 2 1,2 Pendidikan Matematika,FKIP Universitas PGRI Yogyakarta 1 email:
[email protected] 2 email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) bagaimana langkah-langkah pengembangan media pembelajaran matematika menggunakan lectora inspire sebagai sumber belajar untuk siswa SMP kelas VII, (2) kualitas hasil pengembangan media pembelajaran matematika menggunakan lectora inspire sebagai sumber belajar siswa SMP kelas VII. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dan mengacu pada model Plomp, yang terdiri dari 3 fase yaitu; (1) Fase Preliminary Research (investigasi awal), (2) Fase Development or Prototyping (interasi analisis, desain, pengembangan, evaluasi formatif, dan revisi), dan (3) Fase Assessment (penilaian semi sumatif). Subjek penelitian adalah 25 siswa SMP kelas VII. Teknik pengumpulan data menggunakan angket validasi ahli, angket respon siswa, dan tes prestasi siswa. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif kuantitatif. Hasil yang peneliti peroleh adalah: (1) Produk yang dikembangkan layak digunakan oleh peserta didik. (2) Media pembelajaran yang dikembangkan dinyatakan valid dengan rata-rata perolehan skor validasi ahli materi, ahli media, dan evaluasi guru sebesar 3,68; 3,09; dan 3,88 yang termasuk dalam kriteria baik dan cukup. (3) Media pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria praktis dengan memperoleh respon yang positif dari siswa sebesar 79,42%. (4) Media pembelajaran memenuhi kriteria efektif digunakan dalam pembelajaran berdasarkan tes prestasi siswa dengan persentase siswa yang tuntas mencapai 68,00% yang termasuk dalam kriteria baik. Kata Kunci : Media Pembelajaran, Operasi Hitung Bilangan Bulat, Software Lectora Inspire 1. PENDAHULUAN Matematika adalah salah satu mata pelajaran penting yang dipelajari pada semua jenjang pendidikan. Pada tingkat dasar dan menengah matematika dimasukkan dalam kelompok dasar yang harus dikuasai peserta didik. Karena pentingnya matematika pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tersebut, maka mata pelajaran matematika menempati urutan pertama dalam hal jumlah jam pelajaran. Hal tersebut menunjukkan kepada semua orang bahwa matematika menjadi mata pelajaran wajib di sekolah, serta menjadi salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam UN (Ujian Nasional). Selain itu, matematika juga menjadi momok bagi banyak orang termasuk peserta didik. Hal ini dikarenakan banyak siswa yang
menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit. Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan, terlihat ada beberapa alat peraga yang berada di dalam almari. Namun tidak terlihat ada media pembelajaran yang berbentuk CD di sekolah tersebut. Hal tersebut disayangkan sekali karena di dalam masing-masing kelas sudah terdapat LCD yang dapat digunakan untuk menampilkan media pembelajaran yang berbentuk CD dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan LCD dapat membuat siswa lebih bersemangat dalam belajar. Dilihat dari beberapa ruangan seperti perpustakan, ruang pendaftaran siswa baru, dan ruang TIK, terdapat banyak komputer yang masih bagus dan dapat berjalan dengan lancar, namun jarang digunakan oleh pihak
755
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
sekolah kecuali pada waktu pebelajaran TIK. Misalnya, komputer yang berada di perpustakaan hanya digunakan bermain game oleh siswa pada waktu jam istirahat. Oleh sebab itu, perlu adanya pemanfaatan yang maksimal dalam penggunaan sarana dan prasarana yang disediakan sekolah. Dengan adanya sarana dan prasarana yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran, maka terdapat banyak inovasi yang dilakukan oleh guru dalam melakukan pembelajaran. Namun, pembelajaran yang dilakukan masih menggunakan metode ceramah. Metode yang sudah digunakan sejak dulu. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dapat dibenahi supaya siswa tidak merasa jenuh ketika pembelajaran. Guru dapat menggunakan berbagai media pembelajaran, metode pembelajaran, serta pendekatan pembelajaran yang berbeda. Sebelum guru menggunakan media, metode, serta pendekatan yang akan digunakan, guru harus mengetahui tentang karakter siswa serta sarana dan prasarana yang dapat digunakan. Dengan mengetahui sarana dan prasaran serta karakteristik siswa, maka guru dapat menggunakan media pembelajaran ketika proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perlu adanya penelitian pengembangan media pembelajaran. Media yang dikembangkan adalah media pembelajaran interaktif menggunakan Lectora Inspire dengan software pendukung yaitu menggunakan Macromedia Flash pada materi operasi bilangan bulat untuk SMP kelas VII. Dengan penelitian pengembangan media pembelajaran tersebut diharapkan media yang akan digunakan sesuai dengan kemauan guru dan siswa menjadi tertarik dan termotivasi untuk mengikuti pembelajaran dengan semangat.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian pengembangan yang berorientasi pada pengembangan produk. Produk yang dihasilkan berupa media pembelajaran matematika berbasis Lectora Inspire pada materi pokok operasi hitung bilangan bulat untuk SMP kelas VII. Penelitian pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan model pengembangan Plomp. Model pengembangan Plomp (Plomp &Nieveen, 2013) ini memiliki 3 fase yaitu; fase Preliminary Research (investigasi awal), fase Development or Prototyping (interasi analisis, desain, pengembangan, evaluasi formatif, dan revisi), dan fase Assessment (penilaian semi sumatif).
Gambar 1. Model Pengembangan Plomp Pada penelitian ini subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP N 1 Sentolo berjumlah 25 siswa. Jenis data yang digunakan merupakan data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil angket validasi ahli, angket respon siswa, dan tes prestasi siswa. Sedangkan data kualitatif diperoleh setelah penolahan hasil angket dan tes prestasi siswa.
756
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Subjek Penelitian Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah siswa kelas VII SMP N 1 Sentolo yang berjumlah 25 siswa. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah suatu alat bantu yang dipilih oleh peneliti dalam kegiatan mengumpulkan data agar penelitian berjalan sistematis. Peneliti menggunakan beberapa instrumen penelitian yaitu: 1. Instrumen untuk mengukur kevalidan a. Lembar validasi angket ahli media Lembar validasi ini dibuat untuk memperoleh data tentang kevalidan produk di pandang dari segi kualitas media. Lembar ini diberikan kepada orang yang ahli dalam bidang media. Setelah divalidasi, kemudian analisisnya digunakan untuk merevisi kembali produk yang dihasilkan. b. Lembar validasi angket ahli materi Lembar validasi dibuat untuk memperoleh data tentang produk di pandang dari segi keakuratan materi yang ada di dalam produk. Lembar ini ditujukan kepada orang yang sudah ahli materi. Hasil dari analisa tersebut, selanjutnya digunakan untuk merevisi produk yang dibuat. c. Lembar validasi angket praktisi (guru) Lembar validasi angket ini dibuat untuk mengetahui praktis atau tidaknya sebuah produk sebelum diujicoba. Lembar ini ditujukan kepada guru karena yang sudah mengetahui praktis atau tidaknya media. 2. Instrumen untuk mengukur kepraktisan a. Lembar angket respon siswa Instrumen ini digunakan untuk mendapatkan data mengenai pendapat/respon siswa terhadap penggunaan media pembelajaran
dengan materi operasi hitung bilangan bulat. b. Lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran Lembar observasi digunakan untuk memberikan penguatan terhadap instrumen angket yang diberikan kepada siswa mengenai keterlaksanaan pembelajaran. 3. Instrumen untuk mengukur keefektifan a. Tes prestasi belajar Tes prestasi belajar betujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa dalam mempelajari materi dengan menggunakan media pembelajaran. Tes juga digunakan sebagai data tambahan untuk mengukur kualitas media pembelajaran berdasarkan aspek keefektifan pengguna media pembelajaran. Tes prestasi belajar siswa ini berupa 9 butir soal essay. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil Penelitian 1) Langkah Penelitian a) Fase Preliminary Research Termasuk dalam fase ini adalah identifikasi masalah, studi literatur, dan rencana penyelesaian masalah. (1) Identifikasi Masalah Pada langkah ini peneliti melakukan observasi di SMP N 1 Sentolo kelas VII untuk mengetahui masalah dasar yang terjadi dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat. Setelah melakukan observasi langsung di SMP N 1 Sentolo dan melakukan diskusi dengan guru mata pelajaran, peneliti memperoleh beberapa informasi diantaranya adalah : (1) siswa kelas VII lama kelamaan merasa bosan ketika pembelajaran matematika berlangsung dikarenakan pembelajaran yang
757
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
monoton; (2) metode pembelajaran yang diterapkan adalah konvensional sehingga siswa kurang terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran; (3) guru masih belum menggunakan media dalam pembelajaran operasi hitung bilangan bulat karena kurang tersedianya media pembelajaran; (4) kurang maksimalnya penggunaan laboratorium komputer dalam proses pembelajaran sehingga ruangan tersebut tidak pernah digunakan kecuali waktu pembelajaran TIK. (2) Studi Literatur (a) Analisis Kebutuhan Hasil dari analisis kebutuhan ini adalah membutuhkan media pembelajaran yang memberikan manfaat sebagai berikut: (1) dapat membantu siswa untuk memvisualisasikan sebuah permasalahan terkait dengan operasi hitung bilangan bulat; (2) dapat membuat siswa aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak hanya menerima langsung dari penjelasan guru. (b) Analisis topik Pada langkah ini peneliti melakukan analisis konsep-konsep yang akan dimasukkan dalam media pembelajaran. Hasilnya adalah topik yang peneliti peroleh yaitu pokok bahasan pada materi operasi hitung bilangan bulat. Sub pokok bahasan yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
Gambar 2. Analisis Topik Operasi Hitung Bilangan Bulat Keterangan: = Pokok Bahasan = Sub Pokok Bahasan = Sub Sub Pokok Bahasan = Terdiri dari (c) Tujuan pembelajaran Pada tahap ini peneliti merumuskan hasil topik menjadi tujuan pembelajaran. (3) Rencana Penyelesaian Masalah Rancangan penyelesaian masalah tersebut adalah sebagai berikut: (a) Menggunakan media yang mampu membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan dalam menyelesaikan operasi hitung bilangan bulat, yaitu melalui software Lectora Inspire pada bagian evaluasi. (b) Mengembangkan media menggunakan software Lectora Inspire untuk memvisualisasikan beberapa contoh penerapan operasi hitung bilangan bulat dalam kehidupan sehari-hari. (c) Menambahkan musik dalam media pembelajaran Lectora Inspire dengan maksud agar siswa tidak merasa jenuh ketika proses pembelajaran.
758
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
b) Fase Development or Prototyping Tujuan dari fase development or prototyping ini adalah untuk menghasilkan prototype 1 atau draft awal. Kegiatan pada tahap ini adalah merancang media pembelajaran, evaluasi/validasi, dan revisi. (1) Rencana Awal Hal yang dilakukan dalam tahap ini adalah pembuatan flowchart media. Selain flowchart, storyboard juga dibuat untuk menjelaskan mengenai tata letak tampilan media pembelajaran yang dilengkapi dengan penjelasan tampilan yang ada. Storyboard dibuat untuk mempermudah proses penggabungan komponenkomponen media pembelajaran. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi produk yang telah dibuat. Penyusunan instrumen dilakukan berdasarkan aspek-aspek yang disesuaikan dengan tujuan angket. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah angket validasi ahli, angket evaluasi guru, angket respon siswa, dan tes prestasi belajar. (2) Evaluasi/Validasi Dalam penelitian ini, proses validasi memilih validator yang kompeten dan mengerti tentang pengembangan media pembelajaran serta mampu memberi masukan/saran untuk menyempurnakan produk yang dibuat. Saran-saran dari validator tersebut akan dijadikan bahan untuk merevisi prototype 1.
(3) Revisi Berdasarkan hasil validasi, terdapat beberapa hal yang harus diperbaiki. Berikut ini adalah hasil revisi produk berdasarkan saran dari ahli materi dan ahli media. (a) Perubahan halaman pembuka yang sebelum revisi terlihat seperti presentasi biasa. (b) Penyesuaian background, judul pada setiap halaman, penambahan animasi, dan tombol pada setiap halaman agar tidak motonon (c) Perubahan tombol agar terlihat menarik (d) Menyesuaikan angka pada garis bilangan dengan soal cerita (e) Pengubahan contoh soal cerita pada operasi perkalian dan pembagian operasi hitung bilangan bulat agar terlihat praktis (f) Perubahan soal cerita dalam setiap operasi hitung bilangan bulat ditambahkan tombol koreksi (g) Pada halaman evaluasi di ubah karena terdapat eror system dalam menampilkan hasil tes evaluasi. (h) Penambahan background musik pengiring pada setiap halaman agar siswa tidak merasa jenuh c) Fase Assessment Dalam fase assessment ini dilakukan uji coba terhadap media pembelajaran yang sudah dinilai valid oleh para ahli. Uji coba dilaksanakan di dalam laboratorium komputer dengan diikuti 25 siswa kelas VII A. Waktu penelitian ini pada
759
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Tabel 3 Hasil Angket Evaluasi Media oleh Guru
tanggal 28 Juni 2016 s/d 28 September 2016. 2) Kelayakan Media Pembelajaran a) Validasi Media Pembelajaran Menurut Ahli Media Validasi media pembelajaran menurut ahli media divalidasi oleh 2 ahli media. Hasilnya adalah sebagai berikut. Tabel 1 Hasil Angket Validasi Ahli Media
Dari hasil tersebut, maka media pembelajaran dapat dikatakan valid. d) Kepraktisan Media Pembelajaran Untuk mengetahui kepraktisan suatu media pembelajaran, di dapat dari angket respon siswa. Berikut ini adalah hasil angket respon yang diberikan siswa. Tabel 4 Hasil Angket Respon Siswa
Maka, media pembelajaran dikatakan valid oleh ahli media b) Validasi Media Pembelajaran Menurut Ahli Materi Validasi media pembelajaran menurut ahli materi divalidasi oleh 2 ahli media. Hasilnya adalah sebagai berikut. Tabel 2 Hasil Angket Validasi Ahli Materi
Dari data angket tersebut, dapat disimpulkan bahwa produk yang dikembangkan memiliki tingkat kepraktisan dengan respon positif dari siswa dengan persentase sebesar 79,42% sehingga media pembelajaran dapat dinyatakan praktis. e) Keefektifan Media Pembelajaran Untuk mengetahui keefektifan suatu media pembelajaran, data yang diperoleh adalah dari tes prestasi siswa yang dikerjakan. Hasilnya adalah 68% siswa yang tuntas mengerjakan tes tersebut. Jadi, media dapat dikatakan efektif digunakan dalam proses pembelajaran.
Maka, media pembelajaran dikatakan valid menurut ahli materi c) Validasi Media Pembelajaran Menurut Praktisi Validasi media pembelajaran menurut praktisi, hasil yang di dapat adalah sebagai berikut.
760
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
b. Pembahasan Penelitian pengembangan ini menggunakan model pengembangan Plomp (Plomp &Nieveen, 2013), yaitu fase preliminary research, fase development or prototyping, dan fase assessment. Fase premilinary research meliputi: (1) Identifikasi masalah yang membahas tentang masalah yang dihadapi siswa kelas VII SMP N 1 Sentolo dan pemanfaatan laboratorium yang kurang maksimal; (2) Studi literatur yang meliputi: analisis kebutuhan, analisis topik, dan tujuan pembelajaran. Dalam mengidentifikasi masalah dan studi literatur peneliti berdiskusi dengan guru mata pelajaran matematika; (3) Rencana penyelesaian masalah yang membahas mengenai penyusunan rencana penyelesaian permasalahan yang telah dianalisa sebelumnya. Pada fase development or prototyping dilakukan kegiatan (1) rancangan awal yakni mendesain media pembelajaran pada materi operasi hitung bilangan bulat yang akan menghasilkan prototype 1 beserta instrumen penelitian. (2) Evaluasi/Validasi, yakni penilaian dari para ahli mengenai media pembelajaran yang sedang dikembangkan. Dalam hal ini, peneliti memilih 3 validator yang ahli dalam bidangnya untuk mengevaluasi/memvalidasi media pembelajaran. Kemudian (3) Revisi yakni perbaikan terhadap produk yang sedang dikembangkan berdasarkan saran oleh para ahli/validator sehingga diperoleh media pembelajaran yang siap diujicobakan. Pada fase ketiga adalah fase assessment yakni penilaian terhadap media pembelajaran mengenai kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan perangkat pembelajaran, sedangkan untuk mengetahui efektifitas media
pembelajaran maka dilakukan uji coba di kelas. Kualitas media pembelajaran tersebut dijabarkan di bawah ini: 1) Kevalidan Hasil Media Pembelajaran a) Validasi Ahli Materi Media pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian ini dari validasi ahli materi memiliki rata-rata total validitas sebesar 3,68 yang berarti media pembelajaran yang dikembangkan tersebut telah valid b) Validasi Ahli Media Media pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian ini dari validasi ahli media memiliki rata-rata total validitas sebesar 3,10 yang berarti dari segi media produk ini telah valid c) Validasi Media Untuk Guru Media pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian ini dari hasil validasi media untuk guru memiliki rata-rata validasi sebesar 3,88 yang berarti dari penilaian guru media yang dikembangkan ini telah valid 2) Kepraktisan Hasil Media Pembelajaran Hasil penelitian pada lembar angket respon siswa terlihat bahwa respon siswa terhadap media pembelajaran adalah positif dengan persentase 79,42%. Hal ini menunjukkan bahwa produk yang dikembangkan dapat diterima dengan baik oleh siswa dan dinyatakan praktis. 3) Keefektifan Media Pembelajaran Hasil analisis tes prestasi belajar siswa menunjukkan bahwa 17 siswa yang tuntas dan 8 siswa yang belum tuntas dengan perolehan ratarata persentase sebesar 68,00%. Dari 8 siswa yang belum tuntas disebabkan karena kurang teliti dalam
761
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
menemukan hasil bilangan bulat.
ISBN 978-602-73690-6-1
pengoperasian
4. KESIMPULAN Pengembangan media pembelajaran ini menggunakan model pengembangan Plomp, yang terdiri dari 3 fase yaitu fase preliminary research, fase development or prototyping, dan fase assessment. Media pembelajaran menggunakan lectora inspire ini dikatakan memiliki kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran karena media pembelajaran tersebut dikatakan valid oleh validasi ahli, praktis digunakan dalam proses pembelajaran, dan efektif. DAFTAR PUSTAKA Plomp, T and Nieveen, N. 2013. Educational Design Research. Netherlands: SLO, Esnchede.
762
MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR MENGGUNAKAN METODE TALKING STICK PEMBELAJARAN IPS Rifa Zaidah, Sunarti * Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar peserta didik dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo yang berjumlah 28 siswa. Teknik pengumpulan data menggunakan angket dan tes. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan motivasi belajar dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick pada peserta didik. Hal ini dibuktikan dengan motivasi belajar siswa pada pra siklus yang mencapai kategori minimal baik adalah 12 siswa (42.86%), meningkat pada siklus I 15 siswa (53.57%), meningkat pada siklus II menjadi 17 siswa (60.72%) dan pada siklus III menjadi 24 siswa (85.71%). Peningkatan hasil belajar dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick pada peserta didik. Hal ini dibuktikan dengan siswa yang mendapatkan hasil belajar sesuai dengan nilai KKM pada pra sikus 14 siswa (50%), meningkat pada siklus I 18 siswa (64,29%), meningkat pada siklus II menjadi 22 siswa (78,57) dan pada siklus III 27 siswa (96,43%). Kata kunci : motivasi belajar, hasil belajar, metode talking stick. Improve Learning Motivation and Learning Outcomes Method Using Talking Stick In social studies Abstract The purpose of this research is to increase the motivation of learners and the learning outcomes of students in lessons IPS using the talking stick. This research is a class act. Subjects in this study were students of class VIII C SMP N 1 Sukoharjo totaling 28 students. The technique of collecting data using questionnaires and tests. Data were analyzed using quantitative descriptive analysis with percentages. The results showed the increase motivation to learn in social studies using the talking stick learner. This is evidenced by students' motivation on reaching pre-cycle at a minimum category is 12 students (42.86%), increased in the first cycle of 15 students (53.57%), increased in the second cycle to 17 students (60.72%) and the third cycle to 24 students (85.71%). 2) Improvement of learning outcomes in social studies using the talking stick learner. This is evidenced by the students who had learning outcomes in accordance with the KKM on pre sikus 14 students (50% ), increased in the first cycle of 18 students (64.29%), increased in the second cycle to 22 students (78.57) and the third cycle 27 students (96.43%). Keywords: learning motivation, learning outcome, talking stick method.
*
Rifa Zaidah adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Pascasarjana Universitas PGRI Yogyakarta dan Sunarti adalah Guru Besar Program Pascasarjana Universitas PGRI Yogyakarta
763
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
PENDAHULUAN Motivasi sering diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan sehingga tujuan yang dikehendaki akan dapat tercapai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi adalah sesuatu yang komplek. Motivasi belajar ini sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan dan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran.Motivasi itu dapat datang dari dalam individu maupun dari luar individu. Contoh motivasi yang datang dari dalam individu adalah siswa berkeinginan mendapatkan nilai yang baik dan lulus ujiannya maka ia kemudian belajar dengan baik. Sedangkan contoh motivasi belajar yang datangnya dari luar adalah anak akan belajar karena takut dimarahi orang tuannya. Setiap anak memiliki latar belakang yang berbeda, baik dari segi keluarga, lingkungan sekolah sebelumnya, bakat, maupun minat serta kemampuan anak dalam belajar dan mengurai suatu permasalahan. Mata pelajaran yang harus mereka pelajari juga beraneka ragam, sehingga memerlukan kemauan yang kuat agar semua mata pelajaran yang nanti dipelajarinya akan mendapat nilai yang memuaskan. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), merupakan pelajaran yang terpadu dari ekonomi, sejarah, geografi dan sosiologi. Mata pelajaran ini juga disinyalir merupakan suatu pelajaran yang selalu mengikuti perkembangan zaman dan banyak menghafal dibandingkan dengan menghitung, seperti pada pelajaran exacta. Anak tidak hanya dituntut mampu memahami pengetahuan saja karena tujuan pembelajarannya harus mencakup dalam tiga ranah yaitu: kognitif, afektif dan psikomotor.Anak sudah tidak nyaman lagi
apabila belajar hanya dengan mendengarkan ceramah dari guru. Saat ini penulis merupakan salah satu guru yang mengajarmata pelajaran IPS di SMP Negeri 1 Sukoharjo, Kabupaten Wonosobo.Lokasi sekolah yang terletak jauh di pedesaan dengan latar belakang lingkungan orang tua yang bermata pencaharian sebagai petani salak. Transportasi menuju ke sekolah dapat dikatakan masih sulit, meskipun jalan raya sudah halus, karena angkutan pedesaan yang sampai di tempat kami tidak setiap jam ada. Sulitnya angkutan dapat diatasi dengan sepeda motor,sehingga kami memperbolehkan anak-anak membawa sepeda motor untuk menuju ke sekolah.Anak-anak yang kami ajarpun berasal dari lingkungan keluarga yang komplek dengan permasalahan, seperti: anak dari keluarga yang broken home sehingga harus dibesarkan oleh neneknyasetelah ibu dan bapaknya bercerai, ada juga anak yang hanya mendapatkan perhatian dari bapak karena ibuya bekerja ke luar negeri, atau anak yatim/ piatu dan lain sebagainnya. Untuk memudahkan belajar maka kami membagi jumlah rombongan belajar siswa 12 orang per kelompok, dan masingmasing kelasnya kurang lebih 20–25 siswa. Minat belajar anak masih rendah, hal ini penulis ketahui dari jawaban-jawaban yang diberikan oleh anak ketika penulis menanyakannya. Saat penulis menanyakan siapa saja yang dirumah belajar? Sungguh jawabannya sangat mengejutkan,karena paling banyak yang tunjuk tangan hanya 6/ 7 anak dari setiap kelasnya, hal inilah yang menjadi keprihatinan bagi kami. Dapat dikatakan waktu paling banyak untuk belajar anak sewaktu disekolahan saja. Padahalproses pembelajaran akan berhasil apabila ada kerjasama antara lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga/ masyarakat.
764
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk pelajaran IPS kelas VIII di SMP N 1 Sukoharjo adalah 75. Apabila anak dalam ulangan harian sudah mencapai nilai diatas 75 maka anak tersebut dikatakan sudah tuntas, sedangkan apabila nilainya dibawah 75 (dibawah KKM) maka mereka belum bisa dikatakan tuntas. Untuk anak-anak yang sudah mencapai nilai diatas 75 mereka akan mendapatkan pengayaan, sedangkan yang mendapatkan nilai dibawah KKM akan mendapatkan remidi dari guru yang bersangkutan. Tujuan dalam penelitian ini adalah: Untuk meningkatkan motivasi belajar dan hasil belajar peserta didik kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick pada tahun pelajaran 2013/ 2014.
Tindakan Kelas yang penulis lakukan mulai dilaksanakan pada bulan November 2013 Subjek penelitiannya adalah siswa kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo , dengan jumlah siswa 28 orang terdiri dari 15 lakilaki dan 13 perempuan. Kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo. Mereka berasal dari lingkungan keluarga yang sangat komplek. Orang tua mereka ada yang sebagai petani, guru, dan pedagang. Objek penelitian. Objek penelitianya adalah Meningkatan Motivasi Belajar dan Hasil Belajar IPS Menggunakan Metode Talking Stick pada kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo Tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang dilakukan dengan siklus. Masing-masing siklus mengacu pada tujuan utama yaitu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa pada materi standar kompetensi, yaitu memahamipranata dan penyimpangan sosial. Teknik pengumpulan data pada Penelitian Tindakan kelas ini menggunakan : Tes dan Non tes. Dalam penelitian tindakan kelas ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan soal tes, pengamatan/ observasi dan penyebaran angket. (Pupuh Fathurahman, 2011: 242).Angket diberikan kepada siswa untuk mendapatkan jawaban tentang motivasi belajar. Tes dilakukan oleh penulis untuk mengetahui hasil belajar siswa. Tes yang dilakukan berbentuk tes tertulis dengan butir soal uraian. Pemberian tes dilakukan setelah penyampaian materi selesai diberikan guru. Penulis menggunakan tes produk untuk mengukur aspek kognitif yang telah dimiliki siswa. Teknik analisa data yang dipergunakan dalam penelitian Tindakan Kelas ini adalah analisis diskriptif – komparatif yaitu membandingkan data kuantitatif dari kondisi awal siklus I ,II siklus III. Dengan menghitung nilai rata-rata dan persentase ketuntasan (KKM).
METODE PENELITIAN Penelitian Tindakan Kelas yang akan penulis laksanakan di SMP N 1 Sukoharjo, merupakan tempat para peserta didik belajar dan kami mengajar. SMP N 1 Sukoharjo bertempat di kecamatan Sukoharjo kabupaten Wonosobo. Peneliti merupakan guru mata pelajaran IPS. Mengajar pada kelas VIII dan IX. Kelas VIII terdiri dari VIII A, VIII B, VIII C dan VIII D. Sedangkan kelas IX terdiri dari kelas IX A, IX B, IX C dan IX D. Jadwal waktu yang realistis sangat diperlukan untuk melakukan suatu penelitian. Pada prinsipnya waktu berisi langkah atau tahap kegiatan dalam inggu atau bulan yang diperlukan untuk setiap langkah kegiatan dalam bentuk matrik. Selain itu dari jadwal waktu akan terlihat, apakah pengumpulan data dilakukan secara cross-sectional yaitu dilakukan satu kali pengumpulan atau longitudinal yaitu bila data dikumpulkan lebih dari dua titik waktu dengan menggunakan kelompok responden yang sama. (Suprapto: 2013, 63). Penelitian
765
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Siklus I Motivasi belajar pada siklus ini berkategori baik sekali 4 siswa (14.29%), siswa yang motivasi belajarnya baik sejumlah 11 siswa (39.29%), dan siswa yang cukup mempunyai 13 siswa (62.50%). Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa pada siklus I ini siswa yang mencapai nilai KKM adalah 18 siswa (64,29%). Dan hal ini belum sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan sehingga masih perlu tindakan pada pertemuan berikutnya. Siklus II Motivasi belajar pada siklus ini berkategori baik sekali 7 siswa (25%), siswa yang motivasi belajarnya baik sejumlah 10 siswa (35.72%), dan siswa yang cukup mempunyai 11 siswa (39.28%). Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa pada siklus II ini siswa yang mencapai nilai KKM adalah 22 siswa (78,57%). Dan hal ini belum sesuai dengan indikator keberhasilan yang telah ditentukan sehingga masih perlu tindakan pada pertemuan berikutnya.
Berdasarkan hasil tindakan yang dilakukan peneliti dan observer, maka dapat dilihat peningkatan motivasi belajar siswa ketika guru menggunakan metode pembelajaran talking stick. Motivasi merupakan faktor dasar yang menentukan semangat dan gairah belajar, sehingga siswa yang bermotivasi kuat akan memiliki energi banyak untuk melakukan kegiatan belajar. Motivasi merupakan motor penggerak yang mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar mengajar.Dengan menggunakan metode talking stick siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran IPS, metode ini membuat suasana belajar tidak monoton dan membuat jenuh siswa. Hal ini dapat mendongkrak keinginan siswa untuk tetap belajar dan senang dengan pelajaran IPS. Oleh karena itu metode talking stick mempunyai andil yang cukup besar dalam meningkatkan motivasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Resti Fitrianingrum (2013) yang melakukan penelitian dengan bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar IPS tentang kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya alam dan potensi lain di daerah di kelas 4 SD Negeri 3 Jatipohon Grobogan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode talking stick. Hasil penelitian diperoleh dari pembelajaran dengan menggunakan metode talking stick dalam pembelajaran IPS pada siswa kelas 4 SD Negeri 3 Jatipohon dapat meningkatkan motivasi belajar. Dengan demikian dengan metode pembelajaran talking stick mampu meningkatkan motivasi belajar siswa.
Siklus III Motivasi belajar pada siklus ini berkategori baik sekali 7 siswa (25%), siswa yang motivasi belajarnya baik sejumlah 17 siswa (60.71%), dan siswa yang cukup mempunyai 4 siswa (14.29%). Berdasarkan data tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa pada siklus III ini siswa yang mencapai nilai KKM adalah 27 siswa (96.43%). Hal ini lebih dari cukup dari indikator keberhasilan yang telah ditetapkan. Pembahasan
2. Peningkatan
hasil belajar dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick pada peserta didik kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2013/ 2014 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dengan menggunakan metode talking stick dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas
1. Peningkatan motivasi belajar dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick pada peserta didik kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2013/ 2014
766
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
VIII C SMP N 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2013/ 2014. Dengan metode ini, siswa merasa dilibatkan pada proses KBM. Dengan metode ini siswa dapat bertukar pikiran dan mengetahui hasil diskusi kelompok lain. Hasil yang diperoleh dari kelompok lain tersebut didiskusikan dengan teman sekelompoknya, dalam diskusi inilah siswa dapat mengungkapkan beberapa idenya atau jawaban dalam kelompoknya. Akan tetapi, dengan menggunakan metode ini pembelajaran akan berlangsung lama dan tidak efektif, mengingat diskusi kelompok yang terkadang membutuhkan waktu yang lama karena menggabungkan beberapa jawaban dari masing-masing anggota kelompoknya yang disimpulkan dalam satu pikiran yang tepat. Dengan metode ini, siswa siswa lebih memahami materi, siswa dapat belajar berdiskusi antar kelompok dan belajar memahami pendapat teman sekelompok atau kelompok lain dengan begitu pembelajaran dapat berlangsung secara aktif tidak hanya guru saja yang menerangkan tetapi siswa mampu mencurahkan pendapatnya pada saat kegiatan belajar mengajar. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erlis Sudarmani (2011). Dalam penelitian tersebut memaparkan penggunaan metode talking stick dalam meningkatkan hasil belajar PKn pada siswa kelas IV SD Negeri 01 Jatipuro Karanganyar Tahun Pelajaran 2010/2011. Dengan demikian dengan penggunaan metode talking stick dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
SMP N 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2013/ 2014. Peningkatan hasil belajar dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick pada peserta didik kelas VIII C SMP N 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2013/ 2014. Saran Untuk guru, kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan metode talking stick sangat memotivasi peserta didik dalam belajar, sehingga guru sebaiknya menggunakan metode-metode pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Untuk Sekolah, perhatian dan motivasi dari kepala sekolah perlu ditingkatkan agar guru terinspirasi dan bersedia menerapkan metode pembelajaran yang menyenangkan dalam setiap kegiatan belajar mengajarnya. DAFTAR PUSTAKA Arthur K. Ellis. (1998). Teaching and Learning Elementary Social Studies. Seattle Pacific University. Hamzah B Uno. (2011). Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di bidang Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara. Hasibuan (Ed.). (1988). Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remadja Karya. Isjoni. (2009). Guru Sebagai Motivator Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kunandar. (2008). Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo. Mahmud H. (2011).Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia. Nana Sudjana.(1998).Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar.Bandung: Sinar Baru Algensindo. Ngalim Purwanto.(1997).Psikologi Pendidikan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Riduwan.(2010). Skala Pengukuran VariabelVariabel Penelitian. Bandung: Afabeta.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Peningkatan motivasi belajar dalam pelajaran IPS dengan menggunakan metode talking stick pada peserta didik kelas VIII C
767
Seminar Nasional Universitas PGRI Yogyakarta 2016
ISBN 978-602-73690-6-1
Slameto.(2010).Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya.Jakarta: Rineka Cipta. Sumadi Suryabrata.(1987).Pengembangan Tes Hasil Belajar.Jakarta: Rajawali. Suprapto.(2013).Metodologi Penelitian Ilmu Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan sosial.Yogyakarta: CAPS. Suharsimi Arikunto.(2014).Penelitian Tindakan Kelas.Jakarta: PT Bumi Aksara. Trianto.(2011).Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) Teori Dan Praktik.Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
768