Konferensi Nasional Teknik Sipil 3 (KoNTekS 3) Jakarta, 6 – 7 Mei 2009
PENINGKATAN MANAJEMEN PRODUKSI KONSTRUKSI INDONESIA Krishna Mochtar Guru Besar Rekayasa dan Manajemen Konstruksi pada Program Studi Teknik Sipil, Institut Teknologi Indonesia, Jl. Raya Puspiptek Serpong, Tangerang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Dari hasil Kajian Dampak Liberalisasi Jasa Konstruksi oleh Departemen PU terdeteksi tentang rendahnya daya saing penyedia jasa konstruksi domestik. Indikatornya yang membuat lemahnya daya saing secara total adalah sistem manajemen dalam perusahaan, sehingga perlu dikaji bagaimana meningkatkan indeks daya saing melalui sistem manajemen produksi. Maksud tulisan ini adalah melakukan kajian terhadap sistem manajemen produksi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) guna mendapatkan strategi peningkatan kinerja sistem manajeman produksi perusahaan jasa konstruksi. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui faktor sistem manajemen produksi dalam meningkatkan produktivitas BUJK. Dalam kerangka teori manajemen konstruksi, ada dua teori utama teori produksi: transformasi, dan aliran (flow), yang dikenal sebagai “lean construction”. Dalam kajian diadakan pengumpulan data primer, baik dari pengamatan di lapangan, diskusi dengan instansi terkait dan survei. Dengan mengacu kepada hasil kajian pustaka menajemen produksi di konstruksi, maka dibuatlah kuesioner yang ditujukan kepada 5 (lima) kontraktor (Bidang Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektrikal, Tata Lingkungan (ASMET)), setiap bidang 1 kontraktor) besar anggota Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) sebagai model dan verifikasi veriabel manajemen produksi yang penting dikaji. Kemudian, setiap Bidang ASMET dilakukan survei kepada 3 kontraktor tiap daerah) di daerah studi (Jawa Timur (Surabaya), Bali (Denpasar), Jawa Tengah (Semarang), Sulawesi Selatan (Makassar), Kalimantan Timur (Samarinda), Sumatera Utara (Medan), Maluku (Ambon). Dari kajian ini terungkap bahwa ada 12 faktor (7 faktor proses transformasi dan 5 faktor proses aliran) dan 65 subfaktor (40 subfaktor proses tranformasi dan 25 subfaktor proses aliran) sistem manajemen produksi di konstruksi yang harus diperhatikan dalam peningkatan produktifitas melalui perbaikan implementasi sistem manajemen produksi konstruksi. Kesimpulan yang didapat adalah tingkat implementasi bidang ASMET tidak jauh berbeda satu sama lain untuk semua daerah. Oleh sebab itu program untuk pembinaan dan adopsi untuk sertifikasi badan usaha dapat disamakan untuk semua bidang ASMET, tanpa tidak tertutup kemungkinan hasil kajian yang menunjukkan beberapa subfaktor dari suatu bidang ASMET yang cukup berlainan, dapat dipakai untuk membuat program pembinaan khusus dalam suatu bidang di daerah tertentu. Kata kunci: peningkatan produktifitas, lean cosntruction, survei, kontraktor, ASMET
1.
PENDAHULUAN
Dari hasil Kajian Dampak Liberalisasi Jasa Konstruksi (BPKSDM Departemen PU, 2007) terdeteksi tentang rendahnya daya saing penyedia jasa konstruksi domestik. Indikatornya yang membuat lemahnya daya saing secara total adalah sistem manajemen dalam perusahaan, sehingga perlu dikaji bagaimana meningkatkan indeks daya saing melalui sistem manajemen produksi ini. Oleh sebab itu perlu dilakukan kajian terhadap sistem manajemen produksi Badan Usaha Jasa Konstruksi (BUJK) guna mendapatkan strategi peningkatan kinerja sistem manajemen produksi perusahaan jasa konstruksi sebagai maksud dari tulisan ini. Sedangkan tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas BUJK. Pertama, akan dikaji sistem manajemen produksi yang berbasis kepada konsep “lean construction” dan peningkatan produktifitas konstruksi. Kemudian akan disajikan metoda dari kajian ini yang diteruskan dengan hasil dan pembahasannya, dan terkahir diberikan kesimpulan dan saran aksi ke depan untuk memperbaiki implementasi manajemen produksi kontraktor di Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing industri konstruksi di Indonesia.
2.
SISTEM MANAJEMEN PRODUKSI KONSTRUKSI
Teori Manajemen Produksi. Koskela (1999) merangkum mengenai teori produksi dan implikasinya di konstruksi yang akan dipresentasikan sebagai berikut. Ada dua teori utama teori produksi: transformasi, dan aliran (flow).
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M – 203
Krishna Mochtar
Teori transformasi, sangat dominan dalam abad 20 yang berhubungan dengan manajemen operasi, yang berakar pada teori ekonomi; teori ini melihat proses produksi sebagai transformasi dari bahan mentah menjadi bahan jadi dengan koefisien teknis tertentu sebagai faktor produksi menjadi produk akhir. Teori ini menjadi dasar dari konsep manajemen, produksi massal dan perusahaan modern pada awal abad 20. Manajemen difokuskan kepada tiga hal: jumlah produksi yang cukup, kegiatan yang tidak perlu tidak dilakukan, dan produk sesuai dengan tujuan bisnis. Hal tersebut dilakukan dengan manajemen proyek berbasis konsep transformasi dan prinsip penguraian hirarki kerja terkait. Teori kedua melihat produksi sebagai aliran (flow), dan merupakan dasar bagi konsep “lean production”, yang diterapkan oleh pabrik mobil Ford di AS tahun 1913 dengan agak kurang tepat sehingga tidak begitu berhasil; kemudian dikembangkan oleh Jepang sejak tahun 1940an, dan akhirnya oleh pabrik mobil Toyota. Hal-hal yang penting dari teori aliran ini adalah: waste, waktu siklus, beban kerja (work in progress- WIP) dan variability. Sampai dengan tahun 1980an, manajemen produksi menggunakan kacamata transformasi; pada kondisi yang semakin kompleks, maka ketidakcocokannya dengan proses di lapangan menjadi sangat besar: adanya fenomena lain selain dari proses transformasi (seperti waste dll), dan kuatnya syarat dari klien yang menentukan nilai dari produk. Pendekatan transformasi hanya dapat mengindentifikasi kegiatan apa yang diperlukan dalam proses produksi, namun tidak dapat menjawab bagaimana agar tidak menggunakan sumber daya yang tidak perlu; pendekatan aliran (flow) lah yang dapat menjawab pertanyaan itu, dan bagaimana dampak penyimpangan produksi terhadap penggunaan sumber daya yang berlebihan tersebut. Proses dan Manajemen Produksi di Konstruksi. Di konstruksi proses produk lebih kepada tipe pemasangan (assembly), dimana berbagai tempat saling disambung (mis: baja, kayu, asesoris arsitektural dll) dan dicampur (mis: beton) menjadi produk akhir. Berbeda dengan produksi manufaktur dimana aliran material terdiri dari dua jenis, yaitu komponen yang masuk ke jalur produksi, dan jalur utamanya sendiri, di konstruksi selain kedua aliran material tersebut ada satu tambahan aliran material, yaitu aliran intermediate material ke lokasi produksi, dimana dalam suatu penelitian biaya transportasinya dapat mencapai hampir setengah dari biaya konstruksi total, dimana di dalamnya banyak terdapat biaya waste yang kalau dikelola dengan optimum dapat dikurangi dengan signifikan. Perlu diingat, bahwa bangunan konstruksi bersifat tidak bergerak, sehingga tim produksi yang harus bergerak, dan inilah yang membuat konstruksi tidak seefisien proses produksi manufaktur. Karena proses konstruksi adalah lebih kepada assembly, maka banyak prasyarat dari kelancaran proses seperti desain konstruksi, bahan dan komponen, pekerja, alat, ruang kerja, kerja persiapan sebelumnya, dan faktor eksternal (cuaca, temperatur, angin, dll). Hampir semua dari aliran prasyarat itu terjadi banyak penyimpangan. Misalnya gambar desain yang tidak jelas, pekerja yang kurang terampil, ruang kerja yang tidak kondusif untuk kerja karena adanya kegiatan paralel, dll. Jika kita asumsikan bahwa deviasi dari setiap aliran sumber daya adalah 5% dan terdapat 7 aliran dalam suatu kegiatan, maka probabilitas dari tidak adanya deviasi adalah 0.95 pangkat 7, atau 70% saja. Maka kegiatan perencanaan dan pengendalian di konstruksi adalah sangat sulit dan krusial. Maka kegiatan (transformasi) dan aliran harus ditinjau secara komprehensif karena realisasi kegiatan sangat bergantung pada aliran, dan progres aliran bergantung pada ralisasi kegiatan. Hal inilah yang menerangkan tingginya waktu non-produktif di konstruksi. Perhitungan probabilitas diatas juga merupakan dasar dari konsep manajemen kualitas Six Sigma, yang dalam kinerja yang optimalnya adalah jika deviasi hanyalah 0.03%, sehingga probablitas dengan berapapun jumlah aliran dalam proses pembuatan produk adalah relatif konstan 99.9% lebih, sehingga memuaskan klien dan dalam waktu bersamaan produktifitas meningkat. Konstruksi juga ditandai dengan sifat unik, sehingga setiap produk konstruksi adalah merupakan prototype, sehingga proses produksinya selalu dipenuhi dengan kesalahan baik dalam desain dan proses produksinya sendiri. Bahkan karena sifatnya yang unik dan organisasi yang hanya bersifat sementara (bersifat proyek), maka gambar dan instruksi pekerjaan produksi itu sendiri merupakan sumber utama kesalahan, sehingga banyak terjadi rework yang merupakan sumber dari variability. Di konstruksi, selain terjadinya hambatan/kemacetan (congestion) aliran dari semua input kegiatan (desain, material, pekerja, dst.), ada lagi yang unik yang menambah masalah produksi, yaitu hambatan lokasi kerja (workstation); hal ini hampir tidak terjadi pada manufaktur. Hal ini disebabkan sifat produk konstruksi yang tidak bergerak, melainkan tim kerja yang harus berpindah satu ruang ke ruang berikutnya, dimana sering terjadi bersamaan dengan tim kerja lain (misalnya tim pekerja ubin harus bekerja bersamaan dalam satu ruang dengan tim pekerja ducting AC), sehingga saling terganggu, ditambah lagi dengan masalah prasyarat (desain, alat dll.) yang belum terpenuhi, maka produktifitas menjadi tidak optimal dan masalah waste menjadi sering terjadi. Masalah perencanaan dan penjadwalan menjadi sangat penting untuk mengantisipasinya. Sebagai rangkuman, maka kontras dengan proses produksi manufaktur, kondisi tidak optimum yang merupakan karakteristik proses produksi di konstruksi mencakup antara lain: hambatan/kemacetan, proses kerja yang tidak
M - 204
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Peningkatan Manajemen Produksi Konstruksi Indonesia
sesuai urutan kerja optimal, seringnya terpaksa berhenti dan mulai kerja lagi, tidak dapatnya perencanaan antisipatif yang rinci di awal kerja, gangguan kurang atau tidak tersedianya bahan, alat, dan instruksi kerja, peralatan (jenis, jumlah, dan kapasitas) yang tidak optimum, kerja lembur dan jumlah tenaga kerja yang tidak optimum. Hasilnya adalah sering terjadi rework, membongkar pekerjaan yang salah; lebih parahnya lagi rework ini sering dilakukan dengan persiapan perencanaan yang darurat dan lebih jelek dari persiapan pekerjaan sebelumnya. Untuk menjawab masalah tersebut di konstruksi, kiat khusus perlu dilakukan dalam desain, pengendalian dan peningkatan proses produksi di konstruksi dengan minimalisasi waste. Untuk itu perlu dievaluasi manajemen produksi eksisting yang dipraktekkan di konstruksi. Umumnya pendekatan yang dipakai adalah dengan membuat jadwal induk (master schedule) yang dimaksudkan digunakan sebagai basis perencanaan lebih spesifik seperti pengadaan, tenaga kerja dll. Namun dampak dari variability seperti yang tealh diterangkan diatas sangatlah kuat, sehingga jadwal induk ini cepat sekali menjadi ketinggalan dan tidak tepat lagi sebagai acuan kerja. Merevisi jadwal induk juga sering tidak cukup cepat, sehingga proses produksi, terutama yang jangka pendek, menjadi bersifat darurat, informal, berdasarkan pengertian bersama antara site manager dan mandor dan tim kerjanya. Jadi pada kenyataannya, peran perencanaan dalam proses produksi di konstruksi berubah dari initiating dan directing (sesuai teori) menjadi influencing dan regulating operasi yang sedang berlangsung (yang diinginkan dalam praktek), kemudian menjadi hanya melanjutkan dan melaporkan status saja (yang terjadi di praktek); kegiatan manajemen menjadi turun menjadi kegiatan yang tidak sistematik. Kesalahan utamanya adalah manajemen aliran tidak disiapkan dari awal, tapi hanya menjadi kegiatan sampingan dari manajemen. Seperti diuraikan diatas, ada tiga pilihan untuk mengurangi variability. Pertama dengan menambah cadangan (buffer) inventori (material, pekerja, alat, dll), sehingga proses produksi tidak terganggu hanya karena kurangnya input inventori. Hal ini sering dilakukan di konstruksi, sehingga terjadi penambahan biaya penanganan berulang dan/atau adanya kesalahan (multiple handling), hilangn/rusaknya inventori karena pencurian dan kehujanan (material), terhambatnya ruang kerja (karena tambahan ruang yang dipakai untuk penyimpanan), dan biaya uang karena penambahan biaya pengadaan dan waktu kerja akibat adanya buffers tersebut. Pilihan kedua, yaitu mengurangi sumber daya sangat jarang dilakukan karena akan sangat mempengaruhi durasi kerja, sedangkan volume dan waktu produk bangunan konstruksi dapat dikatakan sudah tetap, dan bahkan ada denda yang dikenakan jika melampaui waktu kontrak konstruksi. Pilihan ketiga, terjadinya produksi yang lebih kecil dari kapasitas adalah sering, terbukti dari lamanya waktu tunggu pekerja dan alat, yang banyak ditemukan dalam studi-studi, sehingga menambah biaya tanaga kerja dan alat. Jika di manufaktur hanya ada tiga pilihan diatas, di konstruksi kelihatannya ada pilihan keempat, yaitu terpaksa menerima produktifitas rendah karena kondisi kerja yang dibawah optimal, hal yang sangat sering terjadi. Akibat ikutannya cukup banyak: kualitas hasil produk yang rendah (menyebabkan rework), masalah aliran dan rantai suplai karena kontrol yang buruk. Semua ini menambah biaya akibat variability tinggi dalam proses produksi di konstruksi. Minimalisasi Variability dan Dampaknya. Ada tiga level untuk mengatasi masalah variablity: desain. kontrol, dan peningkatan dari sistem produksi. Pertama desain sistemik (System Design), yang merupakan solusi paling mendasar. Masalah lapangan dapat dikurangi dengan mengkonfigurasikan aliran material sehingga jumlah kegiatan berjalan bersamaan menjadi minimum, sesuai prinsip prosedur French sequential, yaitu seminim mungkin pekerjaan paralel dalam satu ruang/tempat. Penggunaan pracetak, prefabrikasi, modular adalah juga bagian dari prinsip ini. Kedua, kontrol produksi, termasuk menghindari buffer yang berlebihan, menghindari berkurangnya produksi (lost production), menghindari bekerja dalam kondisi tidak optimal, dan menghindari pengaruh deviasi dari satu kegiatan kepada kegiatan lainnya. Ada suatu metoda yang dikenal dengan Last Planner, yaitu melalui lima prinsip. Pertama prinsip Complete Kit, yaitu suatu kegiatan tidak dimulai sebelum semua prasyarat kegiatan telah terpenuhi; atau menghindari bekerja dalam kondisi tidak optimum. Kedua, monitor dengan ketat progres suatu kegiatan (mis: dengan metoda Percent Plan Complete (PPC)), sehingga meminimalkan pengaruh negatifnya kepada aliran dan kegiatan berikutnya. Prinsip ketiga, adalah mempelajari penyebab masalah suatu kegiatan dan dengan cepat penyebab itu diatasi (prinsip peningkatan berlanjut saat kegiatan berjalan). Keempat, selalu menyiapkan tugas cadangan kepada tim kerja, sehingga kapanpun suatu tugas tidak dapat dijalankan, maka tim kerja tidak idle karena selalu adanya tugas cadangan. Prinsip ini untuk menghindari berkurangnya produksi (akibat tidak adanya aliran) dan turunnya produktifitas (akibat kondisi tidak optimal). Akhirnya, kelima, perencanaan melihat lebih jauh kedepan (di konstruksi, artinya 3 sampai 4 minggu, dan bukannya hanya 1-2 minggu seperti umumnya) semua prasyarat yang diperlukan untuk kegiatan yang akan datang dipastikan siap dan lengkap (yang sebenarnya prinsip pull system seperti yang telah dibahas terdahulu), dengan tetap mempertahankan buffer yang tidak berlebihan. Ketiga perbaikan sistem produksi, sehingga sumber variability cepat diketahui, tindakan korektif jika perlu dapat dilakukan dan dimonitor progresnya. Metoda Last Planner diatas juga sangat efektif untuk ini, karena dapat
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 205
Krishna Mochtar
mengkombinasikan kontrol dan perbaikan untuk mengatasi waste dan variability, serta pula menambah keandalan dari deliveries, menambah ketepatan jadwal subkontraktor dst., sehingga aliran waste dan variability berkurang, dan durasi aliran produksi keseluruhan juga berkurang. Jadi, sebagai rangkuman dari uraian diatas adalah bahwa di konstruksi karena tingginya variability maka manajemen kegiatan menurun hanya menjadi hanya kesepakatan penyesuaian antar tim (kontraktor, pengawas, dan perencana) di lapangan, sehingga perlunya kombinasi dari manajemen kegiatan dengan menajemen aliran proses produksi; Hal ini dapat diatasi dengan berbagai cara manajemen aliran dan manajemen kegiatan yang lebih ketat, dimana metoda Last Planner (complete kit, pengawasan ketat progres pekerjaan, terus mengatasi akar penyebab masalah kegiatan berjalan, tugas cadangan bagi tim kerja, dan perencanaan lebih jauh kedepan 3-4 minggu) terbukti efektif. Lebih jauh lagi, Santos et.al. (1999) mengindentifikasikan beberapa praktek di konstruksi yang perlu untuk memperbaiki produktifitas sesuai dengan konsep aliran seperti pada Tabel 1. Lean Construction yang berasal dari konsep Lean Production dalam manufaktur berbasis pada konsep aliran yang dengan sukses diterapkan oleh pabrik mobil Toyota. Lean Construction ini juga berdasarkan pada teori gabungan TFV, yang pada dasarnya untuk mengurangi waste di industri konstruksi. Pendekatan ini membawa kepada konsep desain Buffers di konstruksi. Buffers di konstruksi dapat dibedakan dalam beberapa jenis. Pertama, “tak terduga” (contingencies) yaitu tambahan (ekstra) biaya, volume material, atau waktu untuk mengantisipasi keadaan tidak terduga. Kedua, stok ekstra (inventories) untuk keamanan, pekerjaan berjalan (work in progress- WIP). Ketiga, kapasitas operasional yaitu alokasi lebihan (ekstra) tenaga kerja, pusat produksi dan alat untuk memenuhi masalah kebutuhan nyata operasional yang sering lebih besar dari rencana. Keempat, Plans yaitu estimasi produksi nyata untuk masukan kepada aliran berikutnya yang dibuat lebih kecil (pesimistik). Akhirnya, yang kelima, buffer teknis (technical buffers) yaitu tambahan informasi (ekstra) di tahap dini proyek dalam proses perencanaan (planning) dan desain, misalnya dengan alat dan konsep teknologi informasi. Dari uraian tersebut diatas, jelas bahwa konstruksi adalah kompleks dan dinamis dalam lingkungan yan gkompleks dan dinamis pula, sehingga harus didekati dengan konsep aliran di samping transformasi; Perkembangan manajemen konstruksi menghadapi hal ini adalah dengan adanya pemikiran baru untuk mengelola sistem yang kompleks dan dinamis dengan pendekatan yang khusus, yaitu mengelola kerjasama dan pembelajaran (Bertelsen dan Koskela, 2004). Tabel 1. Tindakan untuk memperbaiki Produktifitas di Konstruksi (Santos et.al., 1999) No 1
2
Uraian Usaha Optimasi Mengurangi Waktu Siklus - Optimasi ukuran alat produksi - Optimasi volume kerja berjalan - Optimasi jarak antar unit produksi - Optimasi urutan kerja - Sinkronisasi kelancaran aliran - Isolasi kegiatan produktif dan non-produktif - Pemecahan masalah kontrol dan hambatan Mengurangi Variability - Mengukur, menemukan, dan menyelesaikan masalah dengan cepat - Standarisasi komponen dan instruksi kerja - Mencegah kesalahan produk
No 3
4
Uraian Usaha Optimasi Meningkatkan Transparansi - Mengurangi saling ketergantungan - Banyaknya kontrol lapangan (visual) - Observasi langsung Proses berjalan - Kelancaran Informasi langsung ke tempat kerja - Menjaga tempat kerja yang bersih dan rapi - Membuat semua mudah terlihat dan terawasi Membangun Perbaikan Tanpa henti - Menetapkan target kedepan - Membagi tanggungjawab untuk perbaikan -
Mengacu pada standar dalam setiap tindakan Mengukur dan monitor perbaikan yang dicapai Menghubungkan perbaikan dengan kontrol Merubah Push Orders menjadi Pull orders
Berkenaan dengan sifat kompleks dan dinamis, maka variability di konstruksi begitu tinggi maka proses menajemen di konstruksi lebih kepada mengelola perjanjian kerjasama antar pihak terkait untuk memenuhi janji bersama. Demikian pula karena sifat konstruksi yang unik dan prototype, maka proses manajemen lebih tertuju kepada bagaimana proses belajar semua pihak dalam proses produksi produk yang unik menjadi lebih efisien. Sementara itu, dalam studi mengenai peningkatan produktifitas, Mochtar (1994) meneliti parameter-parameter yang mempengaruhi peningkatan produktifitas di konstruksi seperti yang terlihat dalam Tabel 2 yaitu beberapa parameter tersebut yang sangat erat dengan konsep aliran, seperti material, pekerja, alat, rekayasa, manajemen, teknik konstruksi, dan penggunaan komputer, adalah aliran prasyarat untuk lancarnya kegiatan produksi di konstruksi. Uraian masing-masing faktor terdapat dalam Mochtar (1994). Dari survei terhadap kontraktor besar anggota AKI, terungkap bahwa masalah pengadaan subkontraktor dan pemasok, kontrol biaya, penjadwalan, dan integrasi fungsi dalam perusahaan dan sistem penyelenggaraan proyek dengan konsultan manajemen konstruksi merupakan fungsifungsi yang perlu ditingkatkan untuk meningkatkan produktifitas pelaksana jasa konstruksi. Hal ini perlu diverifikasi kembali, mengingat sudah lamanya waktu survei tahun 1994.
M - 206
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Peningkatan Manajemen Produksi Konstruksi Indonesia
3.
METODOLOGI
Dalam kajian ini diadakan pengumpulan data primer, baik dari pengamatan di lapangan, diskusi dengan instansi terkait dan survei. Dengan mengacu kepada faktor-faktor hasil kajian pustaka menajemen produksi di konstruksi diatas dan verifikasi dengan kontraktor besar yang telah mengimplementasikan manajemen produksi dengan baik , maka dibuatlah kuesioner yang ditujukan kepada 3 kontraktor tiap daerah) di daerah studi (Jawa Timur (Surabaya), Bali (Denpasar), Jawa Tengah (Semarang), Sulawesi Selatan (Makassar), Kalimantan Timur (Samarinda), Sumatera Utara (Medan), Maluku (Ambon). Di dalam kusioner diassess mengenai tingkat implementasi dari masing-masing faktor dari sistem manajemen produksi, dengan menggunakan sistem scoring 1=tidak diaplikasikan sampai dengan 6= diaplikasikan dengan sangat baik, sehingga interpretasi yang digunakan adalah suatu faktor sistem manajemen produksi dengan nilai rata-rata dibawah median 3.50 adalah diaplikasikan dengan buruk, sebaliknya diatas median 3.50 adalah katagori diaplikasikan dengan baik. Analisis data dilakukan dengan melakukan analisis dari nilai rata-rata dari tingkat implementasi dari masing-masing faktor manajemen produksi untuk diidentifikaiskan faktor-faktor yang lemah guna menyusun suatu indikasi usaha yang diperlukan untuk meningkatkannya.
4.
PENINGKATAN MANAJEMEN PRODUKSI
Dari hasil kajian (BPKSDM Departemen PU, 2008), sesuai dengan ruang lingkup dari studi ini, maka semua fungsi manajemen produksi yang dikaji dan diverifikasi kepada perusahaan kontraktor model di Jakarta, maka ditemukan bahwa semua fungsi tersebut telah terverifikasi dan semuanya dalam katagori ”urgen”. Berdasarkan temuan ini maka semua faktor tersebut dapat dipakai sebagai acuan sistem manajemen produksi di Indonesia dalam kajian ini. Fungsi-fungsi apa yang perlu mendapat prioritas dalam kegiatan pembinaan manajemen produksi kontraktor di Indonesia akan dibahas pada alinea berikut ini. Dalam kajian ini, dari hasil survei di daerah (Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Samarinda, Makassar, dan Ambon), maka dapat dikatakan bahwa umumnya untuk bidang ASMET ada empat fungsi manajemen produksi yang secara konsisten belum terimplementasikan dengan baik, yaitu ”rekayasa”, ”teknik konstruksi”, ”penggunaan komputer”, dan ”manajemen”. Oleh sebab itu fungsi ”teknik konstruksi” dan ”rekayasa” dapat menjadi prioritas utama dan fokus dalam usaha pembinaan kontraktor di Indonesia. Kemudian disusul dengan fungsi ”penggunaan komputer” dan ”manajemen” yang dapat dijadikan prioritas berikutnya. Untuk fungsi ”teknik konstruksi” maka dapat dikembangkan pelatihan dan pembinaan kepada kontraktor di daerah mengenai studi teknik konstruksi apa yang paling tepat untuk dikembangkan di masing-masing daerah maupun kendala-kendalanya kontraktor di daerah untuk dapat mengimplementasikan teknik konstruksi yang lebih baik. Misalnya mengenai kendala peralatan konstruksi yang belum menunjang, ataupun kesulitan modal dalam pengadaan suatu alat untuk teknik konstruksi tertentu. Hasil studi ini dapat dibicarakan dengan pihak terkait seperti pemerintah pusat, institusi keuangan, dan lain-lain, untuk dicarikan dan dibantu solusinya. Sosialisasi solusi tersebut dapat diadakan, sehingga semua kontraktor dapat menjalankan program solusi tersebut sesuai keperluan dan kemampuan masing-masing. Pelatihan yang dapat dikembangkan berkenaan dengan fungsi ini adalah perencanaan dan pelaksanaan teknik konstruksi pracetak untuk berbagai elemen struktur (pelat lantai, pelat balok, balok, kolom, rangka atap), sosialisasi berbagai perkembangan elemen pracetak baik produksi dalam negeri maupun luar negeri, pelatihan mengenai sistem sambungan elemen pracetak yang handal dan murah, dan lain-lain. Hal yang sama juga dapat dibuat untuk sistem modular, sistem knock down dan lain-lain. Untuk fungsi ”rekayasa” terutama dapat diadakan sosialisasi dan pelatihan pentingnya dari teknik ”value engineering” kepada kontraktor daerah, terutama untuk kepentingan mereka sendiri dalam optimalisasi pendapatan/keuntungan. Sementara itu, pelatihan kepada para pemilik proyek ,mengenai pentingnya klausul kontrak pembagian penghematan dengan kontraktor dengan sistem ”value engineering” juga sangat strategis, sehingga dengan klausul kontrak seperti itu, maka kontraktor akan lebih terstimulasi untuk menerapkan ”value engineering” dengan baik. Selain itu pelatihan mengenai rekayasa desain untuk pembuatan proposal teknis pelelangan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan implementasi dari kontraktor di daerah. Untuk fungsi ”penggunaan komputer” banyak sekali pelatihan yang dapat dilaksanakan untuk perbaikan manajemen produksi kontraktor di daerah, seperti kursus komputer untuk drafting (menggambar), akuntansi, perkantoran, inventori bahan dan alat, internet, scheduling, estimating, dll. Jika kontraktor di daerah sudah terampil dalam halhal diatas, maka secara sendirinya manajemen produksi mereka akan lebih efisien dan produktif. Akhirnya, dalam hal fungsi ”manajemen”, dari hasil proses data keseluruhan (nasional), terungkap bahwa sub faktor ”knowledge management” (KM) untuk hampir semua bidang ASMET mempunyai tingkat implementasi yang buruk (3.22-3.43), dan relatif lebih rendah daripada subfaktor lainnya (3.56-4.56). KM adalah cara pengelolaan dan berbagi (sharing) dari knowldege. Ketidak efisienan dalam konstruksi sering terjadi karena belum dipraktekkannya
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 207
Krishna Mochtar
atau kurang baiknya KM. KM adalah cara yang paling efektif dalam implementasi ”Lean Construction” (Ahn et. al., 2007; Oshima, 2002). Eksplisit Knowledge adalah yang terbaik dalam KM. Implementasi dari berbagi dan pengelolaan konwledge ini ternyata masih rendah di badan usaha konstruksi Indonesia. Akibatnya kesalahan berulang yang terjadi dalam proyek konstruksi akan lebih sering terjadi, walaupun sebenarnya knowledge untuk menghindari kesalahan tersebut sebenarnya terdapat dalam badan usaha tersebut, tetapi tidak ada pengelolaan yang baik. Akibatnya produktifitas konstruksi menjadi tidak optimum. Oleh sebab itu, pelatihan mengenai subfaktor ”knowledge management” menjadi sangat perlu dan strategis disamping pelatihan-pelatihan dalam sub-faktor lainnya seperti manajemen keuangan, bahan, alat, SDM, waktu, komunikasi dan lain-lain akan dapat meningkatkan implementasi yang baik dari fungsi tersebut, dan pada gilirannya akan memperbaiki kinerja manajemen produksi kontraktor di daerah. Tabel 2. Paramater Peningkatan Produksi/Produktifitas (Mochtar, 1994) No
Parameter/sub-parameter
No
Parameter/sub-parameter
1
Rekayasa Desain - Standar Desain - Praktek desain - Rakayasa sistemik - Penggambaran - Spesifikasi - Value Enginering Material - Pengadaan - Delivery - Penyimpanan - Packaging - Pre-fabrikasi - Standarisasi - Ketersediaan - Produk baru Tenaga Kerja - Mobilisasi - Keteersediaan - Keterampilan - Kontrol Alat Kerja - Umur teknis - Kapasitas - Kemudahan mengoperasikan - Kemudahan pemeliharaan - Tingkat automatisasi
5
Teknik Konstruksi - Pracetak - Pre-assembled - Modular Penggunaan Komputer dalam: - Perencanaan - Penjadwalan - Manajemen Bahan - Manajemen Alat Konstruksi Manajemen - Perencanaan - Penjadwalan - Estimasi Biaya/ Perencanaan Keuangan - Kontrol Jadwal Waktu - Kontrol Biaya - Kontrol Kualitas - Inspeksi Lapangan - Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) - Pemasaran - Komunikasi - Rapat Lapangan rutin Proyek - Rapat Internal rutin Proyek - Rapat rutin Perusahaan
2
3
4
6
7
Lebih jauh lagi, dari data keseluruhan daerah survei (nasional), juga didapatkan bahwa walaupun secara keseluruhan faktor ”membangun perbaikan berkelanjutan” sudah ”baik” (3.71-4.18), tetapi dari segi subfaktor ”menetapkan target jauh (3-4 minggu) kedepan” implementasinya terungkap masih buruk (2.47-3.11). Dengan menetapkan target lebih jauh ke depan, maka tindakan antisipatif potensi masalah yang akan datang akan dapat lebih dipersiapkan; pada saatnya jika potensi masalah tersebut benar-benar terjadi, manajemen sudah lebih siap dan kegiatan produksi akan tetap optimum. Menurut Koskela (2000) untuk konstruksi dimana permasalahan lapangan lebih besar dibandingkan dengan kegiatan produksi industri lainnya waktu 3-4 minggu adalah sudah cukup optimum untuk mengantisipasi potensi permasalahan lapangan yang akan datang. Dari hasil survei, kebanyakan responden menetapkan target hanya 1 sampai 2 minggu kedepan. Suatu pelatihan untuk meningkatkan hal ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja manajemen produksi konstruksi di Indonesia. Implementasi subfaktor ”otomatisasi kerja” dari faktor ”peralatan kerja” di hampir semua bidang secara nasional masih dalam katagori ”buruk” (2.77-3.11). Sebagai perbandingan, perusahaan pembanding di Jakarta mengimplementasi subfaktor tersebut dalam katagori ”baik” (5). Usaha otomatisasi di konstruksi masih sangat rendah jika dibandingkan industri lainnya seperti manufaktur. Otomatisasi kerja di konstruksi sampai tingkat tertentu dilakukan dengan menggunakan alat kerja yang cukup mahal biaya kepemilikan dan sewanya. Misalnya pekerjaan penggalian, secara (semi) otomatis dapat dilakukan dengan alat berat seperti backhoe, sedangkan secara manual dilakukan secara padat karya dengan manusia dan alat sederhana (cangkul, sekop, dan pengki). Begitu juga dengan pekerjaan pengaspalan jalan yang dapat menggunakan alat Asphlat Mixing Plant (AMP) sebagai usaha otomatisasi kerja peningkatan kinerja produksi. Tampaknya tingkat keuntungan kontraktor di daerah masih belum memadai untuk menggunakan alat berat dalam manajemen produksi mereka, termasuk untuk biaya sewa alat kerja yang masih cukup mahal dibandingkan dengan biaya dengan cara manual, walaupun jika dilihat secara lebih jauh lagi penggunaan otomatisasi kerja akan lebih meningkatkan produktifitas kerja secara signifikan. Dari data survei,
M - 208
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Peningkatan Manajemen Produksi Konstruksi Indonesia
30% dari kontraktor daerah yang mengisi menyewa alat 50% sampai 100% alat berat dalam pekerjaan mereka. Sebaliknya untuk kontraktor besar seperti kontraktor pembanding di Jakarta sudah tidak menjadi masalah lagi menggunakan alat berat dengan lebih optimum. Perlu dipikirkan suatu cara untuk membantu kontraktor daerah bisa meningkatkan implementasi subfaktor ini, seperti mendorong usaha persewaaan alat berat yang lebih terjangkau melalui kemudahan perbankan untuk usaha alat berat konstruksi, dan lain-lain. Secara keseluruhan (Nasional) 3 faktor yang terimplementasi dengan nilai paling tinggi (4.26-4.82) dibandingkan faktor yang lainnya adalah Optimasi Waste, Optimasi Waktu Siklus, dan Transparansi. Perlu dicatat bahwa ketiga faktor tersebut masih dalam batas nilai yang secara masIh jauh dari sempurna (6) yang ditemukan dalam kebanyakan implementasi oleh perusahaan besar di Jakarta sebagai bandingan. Ketiga faktor tersebut juga adalah faktor dari teori aliran (flow). Temuan ini penting, karena dapat diintrepretasikan bahwa kontraktor sudah (agak) baik menerapkan ketiga faktor tersebut, sehingga dapat dipakai sebagai permulaannya faktor yang juga diassess dalam proses sertifikasi badan usaha, yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut khusus mengenai sistem sertifikasi dan pembinaan badan usaha.
5.
KESIMPULAN
Dari kajian ini maka dapat disimpulkan dan diusulkan sebagai berikut: 1.
Jasa konstruksi di Indonesia harus lebih mempersiapkan diri dalam persaingan global. Dengan terbukanya pasar jasa konstruksi di Indonesia bagi kontraktor asing maka daya saing kontraktor Indonesia harus ditingkatkan secara sistematis dan terencana oleh semua pemangku kepentingan.
2.
Untuk meningkatkan daya saing dan produktifitas dari jasa konstruksi (kontraktor), perbaikan manajemen produksi kontraktor dalam setiap proyek adalah hal yang sangat penting dan strategis. Sistem manajemen produksi yang berkembang dalam dekade terakhir ini adalah apa yang dikenal sebagai ”Lean Construction”, yang melihat manajemen produksi terdiri dari dua proses, yaitu proses transformasi dan proses aliran (flow).
3.
Dari kajian ini terungkap bahwa ada 12 faktor (7 faktor proses transformasi dan 5 faktor proses aliran) dan 65 subfaktor (40 subfaktor proses tranformasi dan 25 subfaktor proses aliran) sistem manajemen produksi di konstruksi yang harus diperhatikan dalam peningkatan produktifitas melalui perbaikan implementasi sistem manajemen produksi konstruksi. Seluruh faktor dan subfaktor tersebut diatas telah diverifikasi tingkat urgensi/validitasnya kepada perusahaan kontraktor yang termasuk katagori terbaik di Indonesia melalui survei di Jakarta untuk semua bidang ASMET. Sistem manajemen produksi tersebut terangkum dalam Gambar RE.1 yang dapat dijadikan acuan sistem pembinaan dan peningkatan sistem sertifikasi badan usaha dengan memperhatikan aspek manajemen produksi.
4.
Dari hasil survei secara random kepada kontraktor bidang ASMET di 7 kota di seluruh Indonesia (Medan, Semarang, Surabaya, Denpasar, Samarinda, Makassar, dan Ambon) mengenai tingkat implementasi dari faktor dan subfaktor manajemen produksi tersebut diatas, terungkap beberapa hal: a.
Tingkat implementasi bidang ASMET tidak jauh berbeda satu sama lain untuk semua daerah. Oleh sebab itu program untuk pembinaan dan adopsi untuk sertifikasi badan usaha dapat disamakan untuk semua bidang ASMET, tanpa tidak tertutup kemungkinan hasil kajian yang menunjukkan beberapa subfaktor dari suatu bidang ASMET yang cukup berlainan, dapat dipakai untuk membuat program pembinaan khusus dalam suatu bidang di daerah tertentu. Sebagai contoh: Pelatihan khusus faktor Manajemen untuk bidang T (Tata lingkungan) daerah Semarang/Jawa Tengah yang terungkap lebih rendah dibandingkan dengan bidang lainnya (ASME).
b.
Faktor yang masih lemah dalam implementasi untuk tiap daerah adalah sebagai berikut: i. Semarang: Rekayasa, Teknik Konstruksi, Penggunaan Komputer Surabaya: Perbaikan Menerus, Rekayasa, Material, Peralatan, Teknik Konstruksi, Manajemen ii. Denpasar: Rekayasa iii. Medan: Rekayasa, Teknik Konstruksi, Penggunaan Komputer iv. Samarinda: Rekayasa, Teknik Konstruksi v. Makassar: Optimasi Waste, Minimalisasi Kesalahan, Transparansi, Perbaikan Menerus, Rekayasa, Peralatan, Teknik Konstruksi, Penggunaan Komputer, Manajemen vi. Ambon: Teknik Konstruksi
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 209
Krishna Mochtar
Temuan faktor-faktor tersebut diatas dapat sebagai masukan para institusi pembina seperti BPKSDM, LPJK, Asosiasi, Perguruan Tinggi, dll. untuk membuat program pembinaan khusus didaerah masingmasing tersebut diatas sehingga lebih tepat sasaran dan efektif, terutama kepada kontraktor yang selama ini sudah menunjukkan keseriusannya untuk menjadi kontraktor yang baik dan profesional, yaitu melalui pengamatan dalam proyek yang lalu oleh para mantan klien kontraktor tersebut. c.
Dari temuan diatas, maka dapat diinterpretasikan bahwa secara umum, faktor yang masih lemah terimplementasi di Indonesia adalah ”Rekayasa” (terutama ”value engineering”) dan ”Teknik Konstruksi”. Perlu dipikirkan cara mendorong penerapan value engineering pada proyek pemerintah dengan alternatif-alternatif yang sesuai dengan peraturan perundangan dan prinsip audit, seperti menerapkan pembagian penghematan bukan berupa uang tunai bagi kontraktor, tetapi pemotongan nilai proyek, serta prinsip audit yang berpegang kepada kinerja kontraktor (performance-based), yaitu melalui optimasi metoda kerja, design review (re-engineering). Semua itu dapat diatur di dalam klausul kontrak, sehingga manajemen kontrak menjadi sangat penting, bahkan dengan mengeksplor kemungkinan menerapkan standar kontrak konstruksi internasional seperti FIDIC yang juga mengatur penerapan value engineering dalam proyek konstruksi. Secara khusus, dari data Nasional, walaupun manajemen secara umum faktor yang bersangkutan sudah baik, namun subfaktor ”knowledge management” (faktor ”manajemen”) dan ”menetapkan target jauh (3-4 minggu) kedepan” (faktor ”membangun perbaikan berkelanjutan”) masih sangat lemah implementasinya. Oleh sebab itu dapat dibuat program pembinaan secara nasional untuk subfaktorsubfaktor tersebut diatas untuk kontraktor semua bidang ASMET di seluruh Indonesia. Selain itu subfaktor ”otomatisasi kerja” dari faktor ”peralatan kerja” masih sangat rendah. Diindikasikan disebabkan oleh masih mahalnya biaya kepemilikan dan sewa alat berat di konstruksi. Oleh karena itu, program pengembangan usaha penyewaan alat berat di Indonesia (koordinasi Departemen PU, dunia perbankan, Departemen Keuangan, dll.) sangat penting dalam usaha keterjangkauan biaya sewa alat berat bagi konstraktor di daerah sehingga perbaikan manajemen produksi melalui otomatisasi kerja dapat terlaksana, misalnya alat AMP dalam pekerjaan pengaspalan jalan, dll.
d.
Terintegrasi dengan program pembinaan diatas, maka selanjutnya diusulkan suatu peningkatan sistem sertifikasi badan usaha jasa konstruksi (kontraktor) di Indonesia, yaitu secara bertahap memasukkan faktor sistem manajemen produksi di dalam proses sertifikasi, untuk mengukur kinerja manajemen produksinya. Agar tidak mengganggu usaha jasa konstruksi yang sedang berjalan, maka diusulkan dimulai dengan faktor yang sesuai temuan survei ini relatif sudah cukup baik terimplementasi oleh kontraktor seperti faktor-faktor ”optimasi waste”, ”optimasi waktu siklus”, dan ”transparansi”, disamping sistem sertifikasi eksisting. Secara berkala (misalnya 3 tahun) kemudian dievaluasi kembali untuk menambah dan mengurangi faktor manajemen produksi dalam sistem sertifikasi tersebut. Perbaikan sistem eksisting, seperti pengalaman perusahaan yang juga memasukkan penilaian pemilik proyek yang lalu, dll. Juga perlu dilakukan sehingga sistem sertifikasi menjadi lebih komprehensif dan objektif dalam menilai kinerja badan usaha konstruksi (kontraktor).Cara sertifikasinya adalah masingmasing badan usaha membuat self assesment/evaluation (misalnya dalam bentuk bagian yang relevan dari borang kuesioner tahap 2) mengenai implementasi faktor/subfaktor dengan lampiran dari bukti/keterangan implementasinya disusul dengan wawancara atau kunjungan ke perusahaan atau proyek yang sedang berjalan jika diperlukan, untuk verifikasi implementasi faktor manajemen produksi tersebut, sehingga dapat disimpulkan tingkat implementasinya. Penilaian seperti ini dapat dilakukan pada saat proses SBU maupun sebagai penilaian rutin oleh lembaga pembina yang ingin melakukan seperti pemerintah (pusat dan daerah), LPJK, asosiasi, dan lain-lain untuk keperluan pembinaan ke depan. Dengan sistem seperti ini, maka diharapkan semua kontraktor termasuk yang kecil (gret 2-4, sesuai katagori dalam Peraturan Pemerintah) di daerah dapat terukur dan dibina tingkat kinerja produksinya, atau dengan kata lain menjadi kontraktor spesialis yang profesional.
DAFTAR PUSTAKA Ahn, C., Park, M., Lee, H.S., Roh, S. (2007). ”Project-based Knowledge Management System for Lean Construction.” Proceedings IGLC, Michigan, USA. BPKSDM Departemen PU (2007). “Kajian Dampak Liberalisasi Jasa Konstruksi.” Jakarta. BPKSDM Departemen PU (2008). “Kajian Sistem Manajemen Produksi bagi Perusahaan Jasa Konstruksi.” Jakarta. Koskela, L. (1999). “Management of Production in Construction: A Theoretical Review” Procceding IGLC-7 2628 July 1999, University of California, Berkeley, CA, USA.
M - 210
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Peningkatan Manajemen Produksi Konstruksi Indonesia
Koskela, L. (2000). “An Exploration towards a Production Theory and its Application to Construction.” Dissertation for the degree of Doctor of Technology to be presented with due permission for public examination and debate in Luna Auditorium in Spektri Duo at Helsinki University of Technology (Espoo, Finland) on the 19th of May, 2000. Mochtar, K. (1994). “Productivity Improvement on the US and Indonesia Construction Industries.” MS Thesis, Illinois Institute of Technology, Chicago, US. Oshima, E. (2002). “Knowledge Management (KM).” RCS Institute Inc., November 2002. Santos, A., Powell, J., dan Formoso, C.T. (1999). “ Evaluation of Current Use of Production Managment Principles in Construction Practice.” Procceding IGLC-7 26-28 July 1999, University of California, Berkeley, CA, USA. Bertelsen, S. dan Koskela, L. (2004). “Construction beyond Lean: A New Understanding of Construction Management.” 12th annual Conference in the International Group for Lean Construction, Elsinore, Denmark.
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 211
Ko NT Ja ka ekS rta 3 ,6 ,U – 7 PH M –U ei 20 AJY 09
Krishna Mochtar
M - 212
Universitas Pelita Harapan – Universitas Atma Jaya Yogyakarta