PENINGKATAN KUALITAS EFFLUENT LIMBAH CAIR TAHU DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM WASTEWATER DOUBLE TREATMENT (AEROB-ANAEROB) THE QUALITY IMPROVEMENT OF EFFLUENT WASTEWATER OF TOFU USING WASTEWATER DOUBLE TREATMENT (AEROB-ANAEROB) Novan Bagas Sayoga1, Nur Hidayat2, Sakunda Anggarini2 1) Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian 2) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian-Universitas Brawijaya Jl. Veteran-Malang 65145
Penulis korespondensi: email
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui peningkatan kualitas limbah cair tahu dengan menggunakan sistem wastewater double treatment (aerob-anaerob). Data yang diperoleh dari hasil penelitian double treatment (aerob-anaerob) berupa persentase reduksi yang mencakup parameter kualitas limbah cair tahu yaitu BOD, COD, TSS dan pH. Analisis data dilakukan secara deskriptif, dan selanjutnya akan diketahui peningkatan kualitas limbah cair tahu yang diamati selama 30 hari. Dalam penelitian ini dapat didapatkan hasil bahwa secara umum sistem telah mampu meningkatkan kualitas effluent limbah cair tahu dengan kemampuan mereduksi kadar BOD hingga 87%, COD hingga 94%, TSS hingga 57% dan juga mampu meningkatkan kualitas pH hingga 8. Kata Kunci : Double Treatment (Aerob-Anaerob), Kualitas, Limbah Cair Tahu
ABSTRACT The purpose of this study was to determine the increase in the quality of liquid waste out by using double wastewater treatment systems (aerobic-anaerobic). The data obtained from the study of double treatment (aerobic-anaerobic) in the form of a percentage reduction that includes effluent quality parameters to know the BOD, COD, TSS and pH. The data were analyzed descriptively, and will further increase the quality of liquid waste known idea that observed for 30 days. In this research showed that in general the system has been able to improve the effluent quality of liquid waste out with the ability to reduce up to 87% BOD, COD up to 94%, TSS by 57% and is also able to improve the quality of the pH up to 8. Keywords: Double Treatment (Aerob-Anaerob), Quality, Wastewater of tofu
1
menyelesaikan permasalahan yang ada. Aplikasi pengolahan limbah cair tahu secara double treatment ini diperkirakan dapat meningkatkan kualitas effluent limbah cair tahu tersebut dengan menurunkan kadar BOD, COD, TSS, serta dapat menaikkan pH.
PENDAHULUAN Limbah cair yang dihasilkan pada proses pembuatan tahu dapat merusak lingkungan karena rata-rata mengandung Chemical Oxygen Demand (COD) 6870-10.500 mg/l, Biological Oxygen Demand (BOD) 5643-6870 mg/l, Total Suspended Solid (TSS) 80,5-82,6 mg/l dan tingkat keasaman (pH) yang sangat tinggi. Oleh karena itu dengan kualitas limbah cair tahu yang rendah, maka perlu dilakukan pengolahan untuk meningkatkan kualitas limbah cair tahu tersebut sebelum dibuang ke lingkungan agar tidak menyebabkan pencemaran. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah menggunakan sistem double treatment (aerob-anaerob). Pada penelitian Sianita dan Ika (2006), pengolahan limbah cair industri batik dilakukan dengan mengkombinasikan proses aerob-anaerob dengan sistem batch. Diperoleh hasil penurunan kadar COD pada proses aerob dengan waktu tinggal tinggal 6 jam hingga 76,59 % dan pada kondisi anaerob dengan waktu tinggal 6 hari hingga 69,43 %. Pada penelitian Dhamayantie (2000), pengolahan limbah cair industri tekstil dengan proses anaerob-aerob menggunakan reaktor aliran kontinyu. Hasil penelitian melaporkan bahwa dalam tahap anaerob dengan suhu ruang dan waktu tinggal 12-24 jam diperoleh hasil penurunan COD sebesar 21,76%29,56% dan BOD 14,80%-41,91%. Pada penelitian ini, diaplikasikan pengolahan limbah cair secara double treatment dengan menggunakan faktorfaktor yang optimal dari penelitianpenelitian sebelumnya, yaitu aerasi, inokulum, dan waktu tinggal optimal. Penerapan sistem wastewater double treatment yaitu secara aerobik dan anaerobik dalam pengolahan daur ulang limbah cair tahu dinilai merupakan alternatif yang baik untuk
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair industri tahu yang terdapat di sekitar Kecamatan Junrejo Kota Batu Malang. Bahan analisis dan pembantu lainnya yang digunakan lainnya adalah aquades, alkohol, nutrient broth untuk penumbuhan bakteri, minyak goreng, dan sludge (lumpur) yang diambil dari aliran pembuangan limbah cair tahu sebelum masuk ke badan sungai. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalahReaktor tangki aerob berbentuk balok yang terbuat dari besi dengan spesifikasi panjang 60 cm, lebar 29 cm, dan tinggi 30 cm. Media biofilter adalah kerikil berdiameter ± 2 cm. Reaktor tabung anaerob yang terbuat dari baja dengan spesifikasi diameter 32 cm dan tinggi 44,5 cm. Media penyangga biofilter yang digunakan adalah benang woll dengan panjang ± 34 cm. Jurigen untuk media pengangkut limbah cair tahu Erlenmeyer sebagai tempat proses penumbuhan bakteri. Autoklaf untuk proses sterilisasi peralatan yang digunakan untuk proses up scaling dan untuk sterilisasi media limbah cair tahu. Laminar Air Flow sebagai tempat untuk melakukan kegiatan inokulasi / penanaman dalam keadaan aseptis, dalam hal ini yaitu proses up scaling. Peralatan pembantu lainnya yang digunakan yaitu masker, sarung tangan, kertas label, kain saring, benang, kawat ayakan, beaker glass, gelas ukur, pipet, kapas, aluminium foil, dan kain kasa.
2
Penggambaran sistem double treatment dapat dilihat pada Gambar 1.
mengambil sludge (lumpur) dari saluran pembuangan air limbah tahu, kemudian sludge tersebut disaring untuk menghilangkan kotoran, selanjutnya 10 mL sludge yang telah disaring dicampur dengan 90 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer untuk dibiakkan selama 2 hari. Setelah 2 hari, 1mL sludge yang telah dibiakkan tersebut dicampurkan dengan Natrium Agar (NA), dimana dalam 10 ml NA dimasukkan 1 ml bakteri pada cawan petri kemudian dicampur dan diinkubasi sampai bakteri membentuk koloni. Setelah bakteri membentuk koloni, kemudian koloni terbanyak (yang paling dominan) digesekkan pada agar miring dalam tabung reaksi dan diinkubasi selama 2 hari. Setelah bakteri tumbuh, bakteri di masukkan kedalam Nutrient Broth (NB) 5 mL dan kembali dibiakkan. Pembuatan inokulum anaerob secara keseluruhan hampir sama dengan pembuatan inokulum aerob, namun yang membedakan yaitu pemberian minyak goreng ke dalam tabung rekasi pada saat pencampuran 1 mL sludge yang telah dibiakkan dan 5 mL NB. Pemberian minyak goreng ini berfungsi untuk menjaga bakteri dalam kondisi anaerob, karena oksigen tidak akan bisa menembus lapisan minyak. Setiap 2 hari sekali inokulum yang ada diremajakan dengan tujuan untuk memperbarui nutrisi bagi mikroorganisme yang ditumbuhkan.
Gambar 1. Sistem Double Treatment (AerobAnaerob) Keterangan: A = Tempat masuk limbah cair aerob B = Tempat proses biofiter aerob C = Tempat keluar limbah cair aerob D = Tempat masuk limbah cair anaerob E = Tempat proses biofilter anaerob F = Tempat keluar limbah cair anaerob G = Aerator
Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2013 hingga bulan Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biondustri Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang dan di Ds. Sumbersekar Kec. Dau Malang. Pengujian kandungan limbah dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Perusahaan Umum Jasa Tirta Malang. Metode Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa tahapan yang dilakukan selama penelitian dilakukan, yaitu tahap pembuatan inokulum, tahap adaptasi sistem, tahap penerapan double treatment dan analisa data. Berikut di bawah ini penjelasannya:
ADAPTASI SISTEM Adaptasi sistem dilakukan dengan cara mencampurkan inokulum yang telah disiapkan sebelumnya dengan limbah cair tahu pada bak dengan ukuran yang telah ditentukan pada rancangan percobaan (volume total 25 L). Pada sistem aerob, persentase inokulum yang digunakan adalah 15% dari volume total biofilter, kemudian campuran dari inokulum dan limbah
PEMBUATAN INOKULUM Inokulum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam inokulum, yaitu inokulum aerob dan inokulum anaerob. Proses pembuatan inokulum aerob yaitu dimulai dari
3
cair tahu tersebut dimasukkan ke dalam biofilter dan diaerasi 0,45 vvm. Pada sistem anaerob, persentase inokulum yang digunakan adalah 5% dari volume total biofilter, kemudian campuran dari inokulum dan limbah cair tahu tersebut dimasukkan dalam tabung reaktor anaerob dan kran inlet dan outletnyaditutup. Limbah dan inokulum tersebut didiamkan selama 5 hari, kemudian pada hari ke 6 dan ke 7 dilakukan pergantian limbah dengan tujuan untuk memperbarui nutrisi bagi mikroorganisme di dalam tangki reaktor.
pertama. Proses pengambilan sampel dilakukan hingga hari ke-30 sistem. Sampel yang telah diambil, kemudian diujikan ke Perum Jasa Tirta Kota Malang untuk dianalisa parameterparameter dalam limbah cair tahu yaitu BOD, COD, TSS, dan pH. ANALISA DATA Data yang diperoleh dari hasil penelitian double treatment (aerobanaerob) berupa persentase reduksi yang mencakup parameter kualitas limbah cair tahu yaitu BOD, COD, TSS dan pH. Analisis data dilakukan secara deskriptif, dan selanjutnya akan diketahui peningkatan kualitas limbah cair tahu yang diamati selama 30 hari.
PENERAPAN DOUBLE TREATMENT AEROB-ANAEROB Dalam penelitian ini, sistem dioperasikan secara batch sesuai HRT masing–masing reaktor. Sebelum sistem dioperasikan, terlebih dahulu pengujian awal limbah cair tahu untuk mengetahui kandungan awal BOD, COD, SS, dan pH. Reaktor yang digunakan terdiri dari 2 macam yaitu reaktor aerob dan reaktor anaerob. Media biofilter yang digunakan pada reaktor aerob yaitu kerikil, sedangkan media biofilter pada reaktor anaerob yaitu benang wol. Sebelumnya reaktor dan media biofilter dibersihkan terlebih dahulu, selanjutnya masing-masing reaktor diisi dengan limbah cair sebanyak 25 liter dengan persen inokulum pada tangki aerob 15%, waktu tinggal (HRT) 9 jam dan aerasi 0,45 vvm, sedangkan pada tangki anaerob persen inokulum adalah 5% dan HRT 12 jam. Sistem dimulai dengan memasukkan limbah ke dalam reaktor aerob, setelah 9 jam kemudian limbah dari reaktor aerob dialirkan ke dalam reaktor anaerob, setelah 12 jam kemudian sebagian limbah diambil dan dimasukkan ke dalam wadah botol (sampel 1). Untuk hari berikutnya, proses pengambilan sampel sama seperti pengambilan sampel pada hari
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Limbah Cair Tahu Karakteristik awal limbah tahu pada pabrik tahu Junrejo sebelum dilakukan pengolahan, dapat dilihat pada Tabel 1 : Tabel 1. Karakteristik Awal Limbah Cair Tahu Hasil Analisa Penelitian No Parameter Sampel Lainnya 1 COD 29700mg/l 7050mg/l (*) 2 BOD 8852 mg/l 4583mg/l (*) 3 TSS 936 mg/l 850mg/l (**) 4 pH 3,8 4 (**) ( ) ( ) Sumber: * Pohan, 2008 ; ** Astuti dkk,2007
Dibandingkan karakteristik limbah cair tahu pada umumya, kualitas limbah cair hasil pabrik tahu Junrejo sangat buruk. Hal ini disebabkan karena perbedaan proses produksi pada pabrik tahu Junrejo bila dibandingkan dengan pabrik tahu pada penelitian Pohan (2008) dan Astuti (2007). Pada pabrik tahu Junrejo tidak melakukan proses pengupasan kedelai, serta air yang digunakan selama proses pembuatan
4
tahu diambil dari bak penampungan, tidak dari pompa secara langsung. Hal ini yang menyebabkan kualitas limbah cair tahu di pabrik Junrejo menjadi sangat rendah karena mengandung kadar cemaran yang sangat tinggi dibandingkan dengan kadar cemaran limbah cair tahu pada umumnya.
sehingga proses penyisihan kadar BOD relatif kecil. Pada batch ke-7 persentase reduksi mengalami penurunan hingga 12%, ini dikarenakan biofilm yang telah mulai bertumpuk pada media menjadi terlepas karena proses penggantian limbah pada batch ke-6 sehingga persentase reduksi mengalami penurunan. Namun pada batch ke-7 hingga batch ke-14 persentase reduksi BOD kembali mengalami peningkatan yang berkisar antara 12% hingga 71%, ini dikarenakan mikrooganisme pada limbah mulai tumbuh kembali sehingga mulai menumpuk pada media dan kembali membentuk biofilm. Pola yang sama kembali terlihat pada batch ke-15 hingga 25, dan batch ke-26 hingga 30 yaitu persentase reduksi yang berkisar antara 44% hingga 81% dan 35% hingga 68%. Proses penggantian limbah secara keseluruhan inilah yang menyebabkan persentase reduksi BOD menjadi fluktuatif, karena biofilm pada media yang mulai menumpuk menjadi terlepas karena proses penggantian limbah yang diganti secara keseluruhan.
BOD Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengujian BOD mampu mereduksi hingga 87%. Persentase reduksi BOD selama sistem dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Persentase Reduksi BOD
Persentase reduksi BOD pada gambar terlihat fluktuatif, ini disebabkan karena pada proses penggantian limbah pada penelitian ini menggunakan sistem batch, sehingga proses penyisihan bahan organik menjadi tidak stabil. Menurut Astuti dkk (2007), pengolahan limbah cair dengan sistem continue, lebih mampu mereduksi kadar senyawa organik dalam limbah secara stabil dibandingkan sistem batch. Hal ini dikarenakan pada sistem continue, limbah pada reaktor tidak diganti secara keseluruhan sehingga mikrorganisme pada reaktor dapat tumbuh secara stabil sehingga mampu mereduksi kadar organik secara stabil. Gambar 2 juga menunjukkan pada batch ke-1 hingga batch ke-6 persentase reduksi BOD masih relatif kecil hanya berkisar antara 26% hingga 34%. Hal ini dikarenakan masih belum banyak terbentuknya biofilm dalam reaktor,
COD Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengujian COD mampu mereduksi hingga 94%, namun masih menunjukkan persentase yang fluktuatif. Persentase reduksi COD setelah dilakukan pengolahan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase Reduksi COD
Pada batch ke-1 hingga batch ke6, persentase reduksi masih relatif kecil yaitu 7% hingga 40%. Hal ini dikarenakan tempat kontak antara 5
mikoorganisme dengan limbah belum tersedia cukup banyak. Seoerti yang dikatakan Husin (2008), pada saat awal operasi, keaktifan mikroba masih cukup besar karena tempat kontak antara mikroba dengan limbah cair tersedia cukup banyak, sedangkan setelah 3 hari mikroba mulai saling bertumpuk sedemikian rupa sehingga menghambat kontak antar mikroba dan limbah cair. Namun pada batch ke-7 persentase reduksi kembali mengalami penurunan dan kembali meningkat hingga batch ke-11. Pola fluktuatif yang sama kembali terlihat pada batch ke-15 hingga 25 dan batch ke-26 hingga 30, yaitu 51% hingga 88% dan 37% hingga 69%. Sama seperti reduksi BOD, yang menyebabkan persentase reduksi COD terlihat fluktuatif karena proses penggantian limbah yang dilakukan secara batch. Mikroorganisme yang telah mulai menumpuk dan telah membentuk biofilm menjadi terlepas, sehingga proses penyisihan tidak sempurna dan persentase reduksi menjadi turun. Persentase reduksi kembali meningkat karena mikroorganisme mulai kembali menumpuk dan membentuk biofilm, sehingga terjadi proses penyisihan COD.
menumpuk dan mengakibatkan batch ke 25 sampai 30 terjadi peningkatan kadar TSS. Persentase reduksi TSS dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Persentase Reduksi TSS
Dari Gambar 4 dapat diketahui bahwa persentase reduksi kadar TSS dalam limbah terlihat fluktuatif. Sama seperti reduksi BOD dan reduksi COD, yang menyebabkan persentase reduksi menjadi fluktuatif karena proses penggantian limbah yang diganti secara keseluruhan, sehingga biofilm yang telah terbentuk menjadi terlepas dan terjadi peningkatan kembali karena biofilm mulai kembali terbentuk sehingga terjadi kembali proses penyisihan kadar TSS. Seperti yang terjadi pada batch ke-1 hingga batch ke8 yang mencapai persentase 6% hingga 57%. Pada fase ini, proses pembentukan biofilm semakin banyak sehingga persentase reduksi meningkat. Namun pada batch ke-9 kembali mengalami penurunan, hal ini dikarenakan biofilm terlepas pada saat penggantian limbah pada batch sebelumnya. Pola fluktuatif yang sama terlihat pada batch ke-9 hingga 13 dan batch ke-17 hingga 25 dan turun secara signifikan pada batch ke-26 hingga 30. Penurunan yang signifikan pada 5 batch terakhir ini diduga karena pada saat proses pembuatan tahu tidak dilakukan proses pengupasan bahan baku kedelai sehingga menambah jumlah padatan dalam limbah, serta tidak dilakukannya proses penyaringan terhadap limbah cair tahu yang akan diolah sehingga padatan
TSS Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengujian TSS mampu mendegradasi sampai 57% namun masih menunjukkan terjadinya kenaikan dan penurunan yang tidak stabil (fluktuatif), serta terdapat beberapa sampel dimana kadar TSS dalam sistem melebihi kadar TSS sebelum dilakukan dilakukan pengolahan, hal ini terjadi pada 5 batch terakhir sebelum sistem selesai. Diduga kenaikan kadar TSS tersebut di akibatkan karena tidak adanya proses penyaringan pada saat dilakukan proses pengolahan, sehingga padatan dari proses pengolahan
6
menjadi sistem.
menumpuk
hingga
akhir
mengubah 70% COD semula menjadi asam. Pada saat proses fermentasi asam cenderung menyebabkan penurunan pH di bawah netral (pH=7) karena adanya produksi asam lemak volatil dan intermediet-intermediet lain yang memisahkan dan memproduksi proton, sehingga menyebabkan bakteri-bakteri metanogenik tidak dapat tumbuh karena pH menjadi asam (Lettinga, 1994). Penurunan pH yang sangat signifikan terjadi pada batch 29, diduga hal ini karena populasi bakteri metanogenik tidak cukup untuk mengkonsumsi jumlah asam yang berlebih pada limbah, sehingga pH menjadi asam kembali. Seperti yang dikatakan Anunputtikul & Rodtong (2004), laju pertumbuhan bakteri pembentuk asam berjalan lebih cepat daripada laju pertumbuhan bakteri metanogenik, sehingga populasi dari bakteri metanogenik tidak cukup untuk mengkonsumsi jumlah asam yang diproduksi oleh bakteri-bakteri asetogenik. Proses metanogenesis hanya dapat terjadi pada pH di atas 6,2 dengan kondisi yang anaerob (Lettinga dkk, 1994). Diduga yang menyebabkan pH turun secara signifikan pada batch 29 selain faktor dari produksi asam yang berlebih, adalah kondisi reaktor yang yang tidak benar-benar dalam kondisi anaerob karena reaktor yang sering dibuka tutup saat penggantian limbah dan pengambilan sampel, sehingga proses metanogenesis tidak terjadi. Seperti yang dikatakan Khaerunnisa dan Rachmawati (2013), proses metanogenesis akan terjadi jika fermentasi anaerobik pada reaktor benar-benar pada kondisi tanpa oksigen. Kondisi yang memungkinkan masuknya oksigen pada reaktor adalah ketika dilakukannya pengambilan sampel bahan dari dalam reaktor.
pH Dari hasil pengujian, sistem double treatment Aerob-Anaerob telah mampu meningkatkan pH dalam limbah yaitu antara 4 hingga 8. Grafik peningkatan pH selama sistem dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Peningkatan pH
Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa pH dalam limbah relatif mengalami peningkatan dari hari ke hari, meskipun terdapat beberapa grafik yang menunjukkan penurunan, namun secara umum pH dalam limbah mengalami peningkatan. Peningkatan pH tertinggi terjadi pada batch ke-28 yang mencapai 8,4. Derajat keasaman pH air limbah akan sangat menentukan aktivitas mikrorganisme, pH optimum adalah berkisar antara 6,5 – 8,3. Mikroorganisme, tidak tahan terhadap kondisi lingkungan dengan pH > 9,5 dan < 4, karena pada pH yang sangat kecil atau sangat besar, mikroorganisme tidak aktif, atau bahkan akan mati (Jenie dan Rahayu, 2007). pH yang dihasilkan dari penelitian ini cenderung fluktuatif. Fluktuatif nilai pH pada setiap batch dipengaruhi oleh jumlah mikroorganisme pembentuk asam laktat. Menurut Yazid dkk (2012), aktifitas mikroorganisme dipengaruhi oleh pH. Aktifitas mikroorganisme yang dapat diterima dalam pembentukan asam terjadi pada pH di bawah 5,0. Turunnya nilai pH disebabkan adanya aktifitas bakteri asetogenik yang
7
Karbon Aktif Dengan Variasi Waktu Tunggal. Universitas Trisakti. Jakarta Barat. Jurnal Teknik Lingkungan 4 (2): 30-35
KESIMPULAN Sistem telah mampu meningkatkan kualitas effluent limbah cair tahu dengan kemampuan mereduksi kadar BOD hingga 87%, COD hingga 94%, TSS hingga 57% dan juga mampu meningkatkan pH hingga 8.
Dhamayantie, B. 2000. Pengolahan Limbah Cair Industri Textile Dengan Proses Anaerob. Thesis. Program Studi Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Bandung
SARAN Sebaiknya dalam percobaan selanjutnya untuk mengolah limbah cair tahu secara double treatment AerobAanerob dilakukan secara sistem continue. Dengan sistem continue akan dapat diketahui stabilitas dalam mereduksi bahan organik dalam limbah cair tahu dibandingkan dengan sistem batch.
Herlambang, A dan Marsidi,R. 2003. Proses Denitrifikasi dengan Sistem Biofilter untuk Pengolahan Air Limbah yang Mengandung Nitrat. Jurnal Teknologi Lingkungan 4 (1): 4655 Hidayat, N., Suhartini, S., dan Indriana, D. 2012. Horizontal Biofilter System in Tapioca Starch Wastewater Treatment: The Influence of Filter Media on the Effluent Quality. Agroindustrial Journal 1 (1): 1-6
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Dirjen DIKTI, Kementrian Pendidikan & Kebudayaan sebagai pemberi/penyokong dana pada Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Madya Tahun Anggaran 2013 melalui DIPA Universitas Brawijaya Nomor:DIPA-023.04.2.414989/2013 dan Berdasarkan SK Rektor Universitas Brawijaya Nomor:295/SK/2013 tanggal 12 Juni 2013
Husin, A. 2003. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Menggunakan Biji Keor (Moringa Oleifera Seeds) sebagai koagulan. laporan Penelitian Dosen Muda. Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Medan
DAFTAR PUSTAKA Anunputtikul, W., Rodtong, S. 2004. Investigation Of The Potential Production Of Biogas From Cassava Tuber. Abstract Of The 15th Annual Meeting Of Thai Society For Biotechnology and JSPS-NRCT symposium. Thailand. p. 70
Husin, A. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Biofiltrasi Anaerob Dalam Reaktor Fixed-Bed. Thesis Master. Program Pasca Sarjana. Universitas Sumatra Utara. Medan.
Astuti, D. A., Wisaksono, W., dan Nurwini, A. R. 2007. Pengolahan Air Limbah Tahu Menggunakan Bioreaktor Anaerob-Aerob Bermedia
Jenie, B.S dan Rahayu, W.P. 2007. Penanganan Limbah Industri Pangan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hal 92-95.
8
Khaerunnisa, G dan Rachmawati, I. 2013. Pengaruh pH Dan Rasio COD:N Terhadap Produksi Biogas Dengan Bahan Baku Limbah Industri Alkohol (Vinase). Jurnal Teknologi kimia dan industri 2 (3): 1-7
Sianita, D dan Ika, S. N. 2006. Kajian Pengolahan Limbah Cair Industri Batik, Kombinasi Aerob–Anaerob dan Penggunaan Koagulan Tawas. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro. Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan 4 (6): 25-30
Lettinga, Gatze and Haandel, A.C.V. 1994. Anaerobic Sewage Treatment, a Practical Guide for Regions with a Hot Climate. John wiley and Son. London
Yazid, F.R., Syafrudin, dan Samudro, G. 2012. Pengaruh Variasi Konsentrasi Dan Debit Pada Pengolahan Air Artifisial (Campuran Grey Water Dan Black Water) Menggunakan Reaktor UASB. Jurnal Presipitasi 9 (1): 31-40
Pohan, N. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Dengan Proses Biofilter Aerobik. Thesis Master. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan
9