Pengukuran dan Analisis Overall Equipment Effectiveness pada Perusahaan Pelumas
Hanif Fikri Fakhrurrozi, Dendi Prajadhiana Ishak Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424
Abstrak Saat ini tingkat persaingan di berbagai bidang semakin ketat. Seiring dengan perkembangan teknologi, permintaan konsumen akan produk yang berkualitas semakin meningkat. Semua perusahaan kemudian berlomba-lomba untuk dapat memenuhi kebutuhan itu dan memenangkan persaingan. Hal tersebut dapat dicapai apabila perusahaan memiliki kinerja yang baik. Salah satu langkah yang bisa dilakukan yaitu dengan menerapkan Total Productive Maintenance (TPM). Strategi ini bila dilakukan dengan baik akan meningkatkan kinerja perusahaan secara signifikan. TPM ini diukur dengan menggunakan metode Overall Equipment Effectiveness (OEE) yang diuraikan ke dalam tiga komponen utamanya yaitu availability, performance rate, dan quality rate. Selain menggunakan metode pengukuran OEE, dilakukan juga pengolahan dengan metode FMEA yang kemudian dianalisis dengan bantuan diagram pareto dan fishbone. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa performance loss menjadi penyebab utama rendahnya nilai Overall Equipment Effectiveness. Kata Kunci: Overall Equipment Effectiveness (OEE), Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), Diagram Pareto, Fishbone Abstract Nowadays, the level of competition in the various fields strictly increasing. Along with the development of technology, consumer demand for quality products is increasing. All companies compete to be able to meet the needs and win the competition. This can be achieved if the company has a good performance. One step that can be done is to implement Total Productive Maintenance (TPM). This strategy will significantly improve the company's performance when it is done properly. TPM is measured by using the method of Overall Equipment Effectiveness (OEE) which is defined into three main components, namely availability, performance rate, and the quality rate. In addition to using OEE measurement method, it was performed the tabulation using FMEA method and the results was analyzed using Pareto and Fishbone diagrams. The results of this study indicate that the performance loss is a major cause of the low value of Overall Equipment Effectiveness. Keywords: Overall Equipment Effectiveness (OEE), Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), Pareto Diagrams, Fishbone
1.
Pendahuluan Seiring dengan perkembangan berbagai aspek kehidupan di era global saat ini tingkat
persaingan akan semakin kompetitif. Setiap produsen dituntut untuk memenuhi permintaan konsumen sesuai dengan spesifikasi tertentu pada waktu yang ditentukan. Untuk dapat memenuhi hal tersebut diperlukan efisiensi dan efektivitas yang tinggi dari suatu mesin produksi sehingga menunjang produktivitasnya. Unit Pelumas merupakan salah satu unit bisnis di bawah Direktorat Pemasaran dan Niaga PT Pertamina (Persero). Pangsa pasar Unit Pelumas meliputi pasar dalam dan luar negeri, dengan tingkat penguasaan lebih dari 54% untuk pasar dalam negeri. Sejak Juli 2008 Pelumas Pertamina telah diekspor ke berbagai Negara seperti Australia, Uni Emirat Arab, China, Singapura, Myanmar, Timor Leste, Jepang, dan Pakistan. Tingkat permintaan dari produk pelumas ini diprediksi akan terus naik seiring dengan tubuh pesatnya perkembangan otomotif di dunia. Salah satu lini produksi di Unit Pelumas yang cukup penting yaitu pada rotary filling. Pada lini ini dilakukan pengisian pelumas untuk produk-produk dengan ukuran 4 dan 5 liter. Produk-produk dengan ukuran tersebut cukup mendominasi permintaan konsumen. Namun, berdasarkan data historis yang disajikan pada gambar 1 di bawah, target produksi per bulan selama tahun 2012 sering tidak terpenuhi. Hal ini menjadi indikasi awal bahwa nilai Overall Equipment Effectiveness (OEE) pada perusahaan ini cukup rendah. 60000
Produksi (KL)
50000 40000 30000 20000
Target Realisasi
10000 0
Gambar 1. Perbandingan Target Produksi dan Realisasi Tahun 2012
Oleh karena itu diperlukan pengukuran dan analisis lebih lanjut terhadap OEE terutama pada lini produksi mesin rotary yang memiliki beban produksi cukup tinggi. Analisis OEE ini akan menjadi suatu masukan dan menjadi dasar atas tindakan perbaikan yang tepat pada akar permasalahannya.
2.
Tinjauan Teoritis 2.1. Total Productive Maintenance Sistem pemeliharaan terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
teknologi. Lahirnya manajemen pemeliharaan moderen diawali dengan ditemukannya konsep preventive maintenance. Konsep ini pertama kali dikembangkan sekitar tahun 1950-an, yang kemudian terus berkembang dan pada tahun 1960-an munculah apa yang disebut dengan productive maintenance. Di tahun 1971, sebuah perusahaan Jepang yaitu Nippon Denso mulai memperkenalkan apa yang kemudian disebut sebagai Total Productive Maintenance (TPM). Total Productive Maintenance atau TPM adalah salah satu proses pemeliharaan yang melibatkan seluruh pihak dan divisi dalam organisasi mulai dari top management, divisi pemeliharaan, produksi, gudang, hingga operator mesin (Wireman, 2004)
[1]
. Sistem ini
dikembangkan untuk meningkatkan produktivitas di area kerja dengan cara membuat proses produksi yang lebih handal dan lebih sedikit terjadi pemborosan (waste). Ahuja (2009)
[2]
mengemukakan bahwa TPM adalah sekumpulan metodologi dan praktek yang meningkatkan kinerja peralatan, dan dikembangkan sebagai usaha untuk memaksimalkan produktivitas. Menurut Ljunberg (1998)
[3]
, TPM didasarkan pada tiga konsep utama;
memaksimalkan efektivitas peralatan, autonomous maintenance yang dilakukan oleh operator, dan kegiatan-kegiatan kelompok kecil (small group activities). Dalam pengukurannya,
Total
Productive
Maintenance
menggunakan
Overall
Equipment
Effectiveness (OEE) sebagai parameter kuantitatif untuk mengukur kinerja dari suatu sistem produksi (Hegde, Mahesh, & Doss, 2009)
[4]
. Tujuan secara umum dari TPM adalah untuk
meningkatkan Overall Equipment Effectiveness atau bisa dikatakan bertujuan untuk meningkatkan OEE fasilitas dengan mengoperasikan dan merawat mesin pada tingkat optimal. Pengukuran Overall Equipment Effectiveness tidak hanya berfokus pada masalah kerusakan mesin, tetapi semua faktor yang dapat menyebabkan kerugian produksi (Borris,
2006)
[5]
. Pengukuran Overall Equipment Effectiveness juga digunakan sebagai ukuran
keberhasilan dari pelaksanaan program TPM (Jeong dan Phillips, 2001) [6]. Metrik OEE yang awalnya dikembangkan oleh Nakajima (1988) [7] dapat mengukur tingkat efektivitas peralatan dan juga mengidentifikasi berbagai kerugian yang diklasifikasikan ke dalam enam kelompok besar (six big losses). Keenam kerugian tersebut yaitu breakdown losses, setup and adjustment losses, minor stoppage, reduced speed losses, defect/rework dan juga yield losses. Saat ini OEE memiliki peran yang semakin penting di mana kualitas dan ketepatan pengiriman produk menjadi hal yang utama bagi konsumen. Perhitungan dari OEE dapat menghasilkan suatu kesimpulan di mana perbaikan seharusnya dilakukan dan perawatan seperti apa yang sebaiknya diberikan pada mesin dalam jangka waktu yang relatif singkat. Nilai OEE menjadi salah satu tolak ukur kinerja yang paling banyak digunakan dan bisa menjadi acuan bagi perbaikan produksi bila digunakan secara tepat. OEE memberikan gambaran kinerja mesin yang diharapkan, mengukur, serta memberikan analisis dari kekurangan yang ada dan hal ini mengarahkan kepada tindakan perbaikan yang sebaiknya dilaksanakan. Matriks OEE juga dapat digunakan untuk melacak apakah suatu tindakan perbaikan yang dilakukan berkelanjutan atau tidak (Kumar, Sujatha, & Thyagarajan, 2012) [8].
2.2. Failure Mode and Effects Analysis Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) adalah suatu manajemen risiko dan metodologi peningkatan kualitas, dengan tujuan mengidentifikasi potensi penyebab kegagalan pada produk dan proses, kuantifikasi evaluasi risiko yang terkait, peringkat masalah yang diidentifikasi terkait dengan tingkat kepentingannya serta penentuan dan penerapan langkahlangkah perbaikan untuk mengatasi masalah yang terbesar (Neago, 2008) [9]. Tujuan FMEA adalah menganalisis karakteristik desain terhadap proses manufaktur yang direncanakan untuk memastikan produk yang dihasilkan memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Failure modes mengarah pada suatu langkah atau yang biasa disebut mode yang mungkin mengalami kegagalan. Sedangkan effects analysis mengarah pada suatu kajian yang membahas tentang efek/konsekuensi dari kegagalan tersebut. FMEA memberikan analisis secara kritis dan terorganisir terhadap potensi mode kegagalan dari sistem yang didefinisikan dan mengidentifikasi penyebab yang terkait. FMEA menggunakan kejadian (occurrence) dan probabilitas terdeteksi dalam hubungannya dengan
tingkat keparahan (severity) untuk mengembangkan nilai prioritas risiko (Risk Priority Number) untuk peringkat pertimbangan tindakan korektif. RPN digunakan untuk memprioritaskan semua kegagalan potensial dan membantu dalam memutuskan tindakan apa yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko. Hal ini biasanya dilakukan dengan mengurangi kemungkinan terjadinya dan dengan meningkatkan kontrol untuk mendeteksi kegagalan (Britsman, 1993)
[10]
. Ketika mode kegagalan potensial
diidentifikasi, tindakan korektif dapat diambil untuk menghilangkan atau untuk terus mengurangi potensi terjadinya kegagalan (Mario Villacourt, 1992)[11].
3.
Metode Penelitian Penelitian ini diawali mulai dari tahapan observasi yang menggunakan bantuan
diagram alir proses dan dilengkapi dengan wawancara pada berbagai pihak mulai dari operator, teknisi, hingga tim quality control. Setelah didapatkan gambaran awal dari keseluruhan proses produksi kemudian dilakukanlah pengumpulan data-data sekunder mulai dari data jam kerja, data produksi per bulan, data kerugian waktu yang meliputi kerusakan mesin, dan data reject produk. Setelah mengumpulkan seluruh data historis, dilakukan perhitungan menggunakan metode Overall Equipment Effectiveness (OEE). Secara matematis Overall Equipment Effectiveness dirumuskan sebagai berikut: !"" = !"#$%#&$%$'(×!!"#$"%&'(! !"#$×!"#$%&' !"#$ Overall Equipment Effectiveness memiliki tiga komponen utama yaitu availability, performance rate, dan quality rate. Ketiga komponen ini harus diukur terlebih dahulu supaya didapatkan nilai OEE yang sebenarnya dan diukur menggunakan rumus berikut: !"#$%#&$%$'( % =
!"#$%#&%' !"#$ − !"#$%&'( !"#$%#&%' !"#$
!"#$%#&'()" % = !"#$%&' % =
!!"#!"×!"#$% !"#$ !"#$%#&%' !"#$%&'() !"#$
!"#$ !"#$%&'$ − !"#$% !"#"$%& !"#$ !"#$%&'$
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai potensi kegagalan, pada tahapan selanjutnya dilakukan pengolahan menggunakan metode Failure Mode and Effects Analysis (FMEA). Metode ini diawali dengan melakukan peninjauan ulang terhadap setiap proses berdasarkan diagram alir proses yang kemudian dilakukan brainstorming mengenai kemungkinan dampak dan penyebabnya. Penilaian kemudian dilakukan pada masing-masing potensi kegagalan yang didasarkan pada tingkat keseriusan (severity), tingkat kejadian (occurrence), dan kemungkinan terdeteksinya (detection). Dari ketiga ukuran ini bisa didapatkan nilai RPN (Risk Priority Number) menggunakan rumus berikut: !"# = !"#"$%&'×!""#$%&"%×!"#"$#%&' Setelah seluruh tahapan pengolahan data selesai dilakukan analisis terhadap hasil penelitian ini. Analisis dilakukan menggunakan bantuan diagram pareto dan diagram sebab akibat (fishbone) untuk dapat mengetahui akar permasalahan yang menyebabkan rendahnya nilai OEE.
4.
Hasil dan Pembahasan Nilai Overall Equipment Effectiveness merupakan hasil perkalian dari ketiga
komponennya yaitu availability, performance rate, dan quality rate. Sebelum mendapatkan nilai OEE, dilakukan perhitungan ketiga komponen tersebut pada tiap bulannya. Perbandingan hasil perhitungan dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 120.0% 100.0% 80.0% 60.0% 40.0% 20.0% 0.0%
Availability Performance Rate Quality Rate
Gambar 2. Grafik Perbandingan Tiga Komponen OEE
Dari gambar 2 tersebut dapat kita lihat bagaimana perbandingan ketiga komponen OEE. Terlihat bahwa quality rate memiliki nilai yang relatif lebih tinggi dari komponen yang lain dengan rata-rata sebesar 95,7%. Pada urutan kedua yaitu availability dengan nilai ratarata sebesar 86,9%. Sedangkan di urutan paling bawah yaitu performance rate dengan nilai rata-rata hanya sebesar 60,5% sangat jauh di bawah kedua komponen lainnya. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi kecenderungan nilai OEE yang ditampilkan sebagai berikut.
90.0% 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0%
OEE
World Class
10.0% 0.0%
Gambar 3. Grafik Kecenderungan OEE
Dari gambar 3 di atas terlihat bagaimana fluktuasi nilai OEE selama tahun 2010 hingga 2012. Nilai OEE ini memiliki kecenderungan yang cukup positif, tetapi masih sangat jauh di bawah standar world class yang ditunjukkan oleh garis merah. Hal ini tentunya disebabkan oleh ketiga komponennya yang juga masih di bawah standar tersebut sehingga menghasilkan nilai rata-rata OEE yang hanya sebesar 50,3%. Nilai ini sangat jauh di bawah standar world class yaitu sebesar 85%. Apabila dirinci lagi pencapaian nilai availability, performance rate, quality rate, dan OEE terhadap standar world class ditampilkan pada gambar 4 berikut ini.
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Availability
Performance Rate World Class
Quality Rate
OEE
Pencapaian
Gambar 4. Perbandingan Pencapaian OEE dengan World Class
Dari gambar di atas terlihat sangat jelas bahwa pada pencapaian semua komponen OEE masih berada di bawah world class. Namun, yang paling mencolok di sini yaitu pencapaian nilai performance rate yang sangat jauh di bawah world class. Hasilnya yaitu nilai rata-rata OEE yang jauh pula di bawah standar dan terlihat pada grafik batang yang paling kanan pada gambar di atas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa performance rate inilah yang menjadi faktor utama rendahnya nilai Overall Equipment Effectiveness. Setelah dilakukan perhitungan nilai Overall Equipment Effectiveness, langkah selanjutnya yaitu dengan melakukan perhitungan proporsi atau persentase masing-masing kerugian yang terdeteksi. Persentase ini kemudian ditampilkan dalam bentuk diagram pareto. 370410 308675 246940 185205
92.1%
96.8%
99.2%
81.1% 69.2%
123470 61735 0
Gambar 5. Diagram Pareto Tingkat Kerugian
100.0%
100.0% 90.0% 80.0% 70.0% 60.0% 50.0% 40.0% 30.0% 20.0% 10.0% 0.0%
Dari diagram pareto tersebut terlihat bahwa kerugian akibat performance loss dan breakdown menjadi dua faktor utama terhadap permasalahan rendahnya nilai OEE ini. Oleh karena itu pada analisis ini akan lebih difokuskan pada kedua hal tersebut. Analisis dilakukan dengan menggunakan bantuan grafik sebab akibat (fishbone) untuk dapat mengetahui akar permasalahannya. Mesin
Metode
Umur mesin tua Sering terjadi idle
Kecepatan produksi menurun
Line produksi tidak balance
Pemeliharaan kurang maksimal
Tingginya Performance Loss
Terburu-buru
Banyaknya supplier
Kejenuhan Spesifikasi berbeda
Setting tidak sempurna
Operator kurang cermat
Operator kurang terlatih
Material
Kelelahan
Manusia
Gambar 6. Diagram Sebab Akibat Tingginya Performance Loss
Pada gambar di atas menunjukkan hubungan sebab akibat yang mempengaruhi tingginya performance loss. Berbagai sebab diklasifikasikan ke dalam empat kelompok besar yaitu material, mesin, manusia, serta metode. Faktor penyebab yang cukup dominan yaitu pemeliharaan yang kurang maksimal serta lini produksi yang tidak seimbang. Mesin
Metode Tidak ada pengarsipan historical data
Usia mesin tua
Belum berjalannya preventive maintenance Tidak ada evaluasi kinerja mesin
Lead time supplier tinggi Tidak tersedianya sparepart
Tidak adanya sense of belonging Teknisi kurang terampil
Rendahnya awareness
Belum ada perencanaan yang baik
Pelatihan kurang
Kurang motivasi
Material
Tingginya Breakdown
Manusia
Gambar 7. Diagram Sebab Akibat Tingginya Breakdown Loss
Pada gambar di atas menunjukkan hubungan sebab akibat dari berbagai faktor yang dapat mempengaruhi tingginya breakdown loss. Dari fishbone tersebut terlihat bahwa faktor penyebab yang cukup mendominasi yaitu belum berjalannya preventive maintenance dan juga masalah ketersediaan sparepart. Tahapan selanjutnya yaitu melakukan analisis dengan metode FMEA. Pengolahan terhadap data FMEA dilakukan secara bertahap dan dari hasil penilaian severity, occurrence, dan detection didapatkan pula nilai prioritas risiko (RPN). Tabel 1. Hasil Pengolahan FMEA
Dari hasil pengolahan FMEA di atas diketahui bahwa proses filling memiliki potensi kegagalan yang paling tinggi, disusul dengan proses capping dan induction sealing. Upaya perbaikan selanjutnya akan lebih difokuskan pada kesalahan-kesalahan yang memiliki nilai RPN lebih besar dari 100. Supaya lebih jelas usulan-usulan perbaikan ini disajikan dalam tabel 2 berikut. Tabel 2. Usulan Perbaikan Berdasarkan FMEA Function
Failures
RPN
Usulan Melakukan regular check tiap bulan secara
Filling
Nosle bocor
144
menyeluruh pada setiap nosle untuk memastikan kondisi selang angin tidak pecah.
Function
Failures Sensor filling tidak berfungsi Valve tidak menutup sempurna
Capping
Cap tidak tepat posisinya
RPN
Usulan Melakukan pengecekan rutin setiap pagi hari
256
sebelum shift pertama dimulai pada bagian sirkuit elektrik dan kabel-kabel. Melakukan penggantian seal secara rutin sehingga
256
dapat menghindari kebocoran pelumas yang mengganggu jalannya produksi. Melakukan
144
pelatihan
ulang
kepada
operator
supaya dapat melakukan penyetelan secara tepat dalam waktu yang singkat. Melakukan pengecekan rutin setiap pagi hari
Induction
Alumunium foil
Sealing
tidak terpasang
120
sebelum shift pertama dimulai untuk memastikan pemanas alumunium foil berada dalam kondisi yang baik.
5.
Kesimpulan Selama tahun 2010 hingga 2012 nilai OEE tidak pernah mencapai standar world class.
Rata-rata pencapaian nilai OEE hanya sebesar 50,3% dengan nilai OEE tertinggi yang pernah dicapai pada bulan Desember 2012 yaitu sebesar 67,5%. Namun, pencapaian ini masih tetap berada jauh di bawah world class yaitu sebesar 85%. Rendahnya nilai OEE tersebut tidak lain karena dipengaruhi ketiga komponennya yang juga di bawah standar world class. Berdasarkan analisis menggunakan diagram pareto, kerugian (losses) yang paling mempengaruhi rendahnya nilai OEE yaitu performance loss dengan bobot sebesar 69,21% kemudian disusul dengan breakdown loss dengan bobot sebesar 11,87%. Lalu faktor lainnya secara berurutan yaitu setup 11,02%, defect loss 4,66%, material loss 2,41%, dan faktor lainnya 0,83%. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa penyebab utama rendahnya nilai OEE yaitu karena nilai performance rate yang sangat jauh di bawah standar. Selain itu, dalam penelitian ini dilengkapi dengan analisis menggunakan metode FMEA untuk mengetahui pada proses manakah yang memiliki risiko kegagalan paling tinggi. Dari hasil pengolahan kemudian diketahui bahwa pada proses filling, capping, serta induction sealing memiliki risiko yang paling tinggi. Oleh karena itu sebaiknya tindakan perbaikan difokuskan dari faktor-faktor yang memiliki dampak paling besar tersebut.
6.
Saran Setelah melakukan pengolahan data, analisis, dan menyimpulkan keseluruhan
penelitian ini berikut akan dikemukakan beberapa saran mengenai penelitian yang sebaiknya dilakukan selanjutnya: 1. Melakukan penelitian terhadap kondisi masing-masing mesin dan merancang suatu program preventive maintenance supaya dapat meminimalisir terjadinya breakdown. 2. Melakukan analisis dan evaluasi terhadap keseluruhan lini produksi yang ada di perusahaan, serta melakukan line balancing pada proses yang masih belum seimbang supaya dapat meminimalisir adanya idle time. 3. Melakukan penelitian mengenai cost benefit analysis atas opsi penggantian mesinmesin yang sudah tua. 4. Melakukan penelitian OEE kembali pada setiap penerapan tindakan perbaikan yang dikombinasikan pula dengan metode improvement lain seperti VALSAT, SMED, dan lain sebagainya.
7.
Referensi [1] Wireman, Terry. (2004). Total Productive Maintenance, 2nd Edition. New York: Industrial Press Inc [2] Ahuja, P. (2009). Handbook of Maintenance Management and Engineering. London: Springer. [3] Ljunberg, Orjan. (1998). Measurement of Overall Equipment Effectiveness as A Basic of TPM Activities. International Journal of Operations and Production Management, MCB University Press. [4] Harsha G. Hegde, N. S. Mahesh, & Kishan Doss. (2009). Overall Equipment Effectiveness Improvement by TPM and 5S Techniques in a CNC Machine Shop. SASTech-Technical Journal, Vol.8 No.2. [5] Borris, Steven. (2006). Total Productive Maintenance. New York: McGraw-Hill. [6] Jeong, K., dan Phillips, D.T. (2001). Operational efficiency and effectiveness measurement. International Journal of Operations and Production Management, Vol.21 No.11, 1404-1416.
[7] Nakajima, S. (1988). Introduction to Total Productive Maintenance. Cambridge: Productivity Press Inc. [8] J. Suresh Kumar, G.Sujatha, dan D.Thyagarajan. (2012). Assessment of Overall Equipment Effectiveness, Efficiency and Energy Consumption of Breakfast Cereal. International Journal of Applied Engineering and Technology, Vol. 2, 3948. [9] Neago B.S, Martinescu I. (2008). The Specifics of The Application of The Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) in The Automotive Industry. Quality Management Department, University Transilvania of Brasov. [10] Britsman, C. dkk. (1993). Handbook FMEA. Uppsala: Forfattarna och Forlags AB Industrilitteratur. [11] Villacourt, Mario. (1992). Failure Modes and Effects Analysis, Reliability, Functional, Risk Priority Number. International SEMATECH, Inc.