PENGUATAN JIWA KEAGAMAAN PADA ANAK USIA DINI SEBAGAI PROPHETIC THINKING Oleh:
I Putu Suweka Oka Sugiharta E-mail:
[email protected]
Abstract Early childhood learning strategy can not be separated from efforts to the establishment and strengthening of religious spirit. Indonesian society, especially the Balinese society known as a religious social unity . The predicate is very difficult to be accounted. When there is the behavior of members of a religious community that violates the rules of morals, insult with outbursts of mistrust about effectiveness of religiousness for inrease the human quality will come. Seriously Fostering of religious spirit will improve the image of religiousness. Early age children are ready cadres to show the wide society that religiousness is very important. This paper discussed the model of religious spirit planting include the challenges, which derived from the Balinese culture. Keywords : Strengthening , Religious Spirit, Early Childhood , Prophetic Thinking Abstrak Strategi pembelajaran anak usia dini tidak bisa dilepaskan dari upaya penanaman dan penguatan jiwa keagamaan. Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali dikenal sebagai kesatuan sosial yang religius. Predikat tersebut kiranya sangat berat untuk dipertanggungjawabkan. Apabila ada perilaku anggota dari suatu masyarakat religius yang menyalahi aturan moral maka hujatan disertai luapan ketidakpercayaan akan keefektifan kereligiusan itu dalam membentuk manusia yang berkualitas akan berdatangan. Pembinaan jiwa keagamaan secara serius merupakan upaya untuk memperbaiki citra kereligiusan yang tercemar. Anak-anak usia dini adalah kader-kader yang siap dididik untuk menunjukkan kepada dunia bahwa kereligiusan sangat penting. Dalam tulisan ini dibahas model penanaman jiwa keagamaan berserta tantangan-tantangannya yang disarikan dari kebudayaan Bali. Kata Kunci : Penguatan, Jiwa Keagamaan, Anak Usia Dini, Prophetic Thinking
90
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
I.
Pendahuluan
Ketika membicarakan masa kanak-kanak dalam keseharian manusia Bali maka akan terlihat dua wajah dominan yakni ketidaktahuan dan pengampunan. Dalam budaya Bali pembatasan masa kanak-kanak dilakukan dengan sangat hatihati karena selain mempertimbangkan usia dan perkembangan fisik (maturation) juga melihat celah-celah kebodohan dari diri seorang individu. Pada beberapa desa yang masih terbelakang orang-orang tua seringkali mengungkapkan, “I Anu ipidan idepan suba truna nu melalung cara nak cerik” (Si anu dahulu fisiknya sudah remaja tetapi masih bertelanjang layaknya anak kecil). Sebaliknya sering pula terdengar perkataan, “Panak I Anu pentesné cara nak kelih” (anak si anu kecakapan bicaranya seperti orang dewasa). Kerap juga terdengar omelan orangtua ketika memarahi anaknya yang berbuat kesalahan, “Cai suba kelih nu dogén belog-belogan, kualne tan kodag” (Kamu sudah gedé masih saja bodoh, nakalmu tak ketulungan). Secara tradisional orang Bali tidak berani memberikan batasan usia absolut bagi seorang anak yang dikategorikan kanak-kanak dan telah lewat masa kanak-kanaknya. Semuanya dilakukan dengan mengukur kematangan yang sejati, umumnya ketika seorang gadis yang baru saja menginjak keremajaan dengan bahasa candaan ingin dipinang oleh seorang pemuda maka orangtuanya akan melakukan penolakan secara halus, “I Luh nak nu cenik konden cacep pakidih di pisaga” (si Luh masih kecil, belumlah cakap berumahtangga). Berbeda dengan kecenderungan yang terjadi pada era-era sebelumnya manakala anak wanita dinilai sudah cakap mengerjakan kewajiban-kewajiban domestik maka akan cepat-cepat dinikahkan agar tidak lama membebani orangtuanya yang ujung-ujungnya nanti akan menjadi milik keluarga suami, kini anak wanitapun dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh kedewasaannya oleh orangtuanya agar tidak memalukan atau ditindas di rumah suaminya tatkala telah membangun bahtera rumah tangga. Bagi anak lelakipun serupa, jika dahulu seorang anak lelaki mamiut (bandel, tidak bisa diatur, liar) maka ada saran, “Luungan antenang suba ya apang tusing terus mamiut, cara mikatin sampi muani ne rengas sampi luh anggo (lebih baik cepat-cepat dinikahkan saja dia agar tidak liar berkepanjangan, seperti menjinakkan sapi jantan yang liar tiada lain sapi betina yang dipakai). Saran-saran semacam itu kini tidak dipercaya lagi karena disadari kebodohan manusia pada masa kanak-kanak tidak bisa diganjar dengan pengampunan yang terlalu longgar. II.
Pembahasan
Kendatipun dalam ujaran verbal orangtua merasa takut untuk terus menerus mengidentifikasikan perkembangan anakanaknya sebagai kekanak-kanakan dan seolah-olah ingin SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
91
92
memposisikannya sebagai sahabat dengan menyebut-nyebut unsur kedewasaan dalam setiap percakapan, namun tidak bisa dipungkiri dalam hatinya yang terdalam masih berkecamuk berbagai macam perasaan akan ketidakmatangan anaknya. Salah satu contoh ketika sang anak diketahui membina hubungan yang spesial dengan lawan jenisnya, pada tataran ujaran orangtua berupaya menyusun kata-kata yang tidak terkesan memasung atau menyalahkan seperti, “Kamu boleh berpacaran karena memang sudah waktunya, tetapi berpacaranlah secara sehat”. Tampak ambivalensi dalam nasihat-nasihat orang tua yang pada satu sisi seolah memahami perkembangan anaknya meninggalkan dunia anak-anaknya, namun pada sisi lain juga masih memendam kegelisahan mengenai sisi kekanak-kanakan dalam diri anaknya. Ormrod (2008:32) menyebutkan bahwa suatu pertumbuhan yang relatif cepat (spurt) dapat diselingi dengan pertumbuhan yang lambat (plateau). Pertumubuhan lambat yang terkamuflase dalam pertumbuhan yang tampak cepat itulah yang dikhawatirkan oleh orangtua dan para pendidik. Alternatif untuk menghilangkan keraguan orangtua dan pendidik sekaligus mengarahkan seorang anak untuk mempersiapkan masa depannya adalah melalui pembinaan jiwa keagamaan pada usia dini. Pembinaan jiwa keagamaan dalam usia dini bukanlah pekerjaan yang mudah, bila terlalu ekstrim bisa saja bermuara pada terbentuknya pribadipribadi yang intoleran dan konservatif, jika terlalu lemah maka perkembangan anak tidak akan disusupi oleh nilai-nilai keagamaan. Individu yang fanatik eksternal terhadap ajaran agamanya dan individu yang berjiwa keagamaan lemah mengandung potensi bahayanya masing-masing. Konvensi PBB mengenai Hak-hak Anak disetujui oleh Majelis Umum pada tahun 1989 dan mulai berlaku pada tahun 1990. Disamping perlindungan terhadap sejumlah hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial yang tradisional, konvensi juga mencantumkan hak-hak tertentu yang hanya berlaku untuk anak, yang dalam rangka ini didefinisikan oleh pasal 2 sebagai “semua manusia berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undangundang yang berlaku bagi anak adalah hak atas sebuah nama, hak untuk mengetahui orang tuanya dan diasuh oleh mereka, dipertahankannya identitas si anak, kebebasan dari perlakuan seksual dan eksploitasi seksual, dari obat-obat dan perdagangan narkotik. Sejumlah ketetapan mewajibkan negara-negara peserta untuk menjamin dan mengambil langkah-langkah yang tepat agar anak-anak dimungkinkan untuk berkembang semaksima mungkin sesuai dengan kemampuan mereka (Davidson, 2008:135). Dalam beberapa kebudayaan orthodok terdapat beberapa aspek yang memarginalkan eksistensi anak usia dini, bahkan belum dianggap sebagai manusia yang utuh karena belum memiliki kemampuan seperti yang dimiliki orang dewasa. Sebuah dongeng yang berasal dari zaman Yunani Klasik menceritakan bahwa raja Minos mempunyai binatang peliharaan berupa Dewa Lembu SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
(minosaurus) yang setiap bulan harus diberi persembahan seorang anak manusia (Adisusilo, 2013:3). Pendiri kota Roma Romulus dan Remus putra Rhea Silvia yang menikah dengan Dewa Mars ketika masih bayi dibuang ke sungai Tiber oleh pamannya sendiri, tetapi berhasil ditolong dan dibesarkan oleh seekor serigala betina. Di Bali terdapat Satua Ni Tuwung Kuning, konflik dalam cerita memuncak manakala I Pudak sebelum berangkat berjudi berpesan kepada istrinya yang sedang hamil tua agar membunuh anaknya bila terlahir perempuan, dipotong-potong sebagai makanan ayam. Cerita rakyat Bali I Ketimun Mas juga menceritakan perjuangan seorang anak untuk menghadapi marabahaya berupa gangguan raksasa ketika ditinggal oleh sang ibu pergi ke Pasar. Versi Jawa cerita Timun Mas yang memiliki variasi agak berbeda juga menggambarkan upaya seorang anak menghadapi marabahaya, Timun Mas hanya anak yang dititipkan kepada sepasang suami istri mandul dalam wujud biji mentimun untuk disantap kelak pada waktu yang disepakati. Seorang Missionaris asal Inggris bernama Walter.H. Medhurst dan asistennya Revd Tomlin yang sesungguhnya tidak terlalu tertarik untuk menyebarkan pengkabaran injil di Pulau Bali menuliskan kisah menjijikan yang diperkirakan terjadi di wilayah Buleleng. Raja Karangasem yang bernama Gusti Moorah (Ngurah) Lanang bernazar apabila berhasil membunuh keponakannya yang bernama Dewa Pahang akan mendirikan sebuah pura dari tulang manusia. Setelah Dewa Pahang tewas di tangannya, Ngurah Lanang kemudian membayar kaulnya di Buleleng membangun sebuah pura dari tulang manusia. Dalam upacara pengorbanan itu anak-anak kecil ditangkap dengan jerat atau diculik, kemudian dipanggang. Konon peristiwa tersebut menyebabkan Ngurah Lanang kehilangan pamornya. Mantra Rgveda I.159.3 menyebutkan te sūnavaḥ svapasaḥ sudaṁsasaḥ (Putra/ anak-anak ini sangat rajin dan memiliki kekuatan yang mengangumkan). Walaupun demikian predator-predator anak tidak hanya dalam arti fisik berupa kekerasan seksual atau agresi secara fisik, namun juga predator psikis yang menyesatkan perkembangan anak sehingga tidak sukses menjalani proses pendidikan terus bermunculan. Butir-butir penanaman jiwa keagamaan tertuang dalam Geguritan Basur Karya Ki Dalang Tangsub dialihaksarakan oleh W. Simpen AB dalam Kidung Prembon, Cempaka 2 Denpasar, Agustus 1988: 1. Kocapan I Nyoman Karang, maumah ring banjar Sari, kocap ngelah pianak dadua, nanging pada eluh-eluh, né kelihan adanina Ni Sokasti, ně cerikan Ni Rijasa Terjemahan: Akisah I Nyoman Karang, tinggal di banjar Sari, punya anak dua orang, keduanya cantik ayu, yang tertua bernama, Ni Sokasti, yang kedua Ni Rijasa (Keniten, 2014:81)
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
93
94
4. Manyama kalintang tresna, tuara bisa drenggi cicing, marerama langkung bisa, pan sinangguh adiguru, I Nyoman karang ya japjap, sahi-sahi, pianake anggon déwa Terjemahan: Bersaudara amat cinta, tiada rasa iri hati, hormat pada orangtua, dipandang sebagai guru, I Nyoman Karang waswas, tiap hari, anaknya dipuja-puja (Keniten, 2014:82) 6. Inget bapa néné suba, kari biang déwa urip, pecak ya biang idéwa, laksana tuah manganggur, jumah ia I Gedé Rampag, mamipisin, teked jumah mamulisah Terjemahan: Waktu dulu ayah ingat, sewaktu ibumu hidup, saat itulah ibunda, bepergian berkunjung, ke rumah I Gedé Rampag, bergadai, tiba di rumah gelisah (Keniten, 2014:82) 7. ngorahang nyakitang basing, sagét gadang prajani, bapa ngelur gerak-gerak, teka pisagané nulung, balian liu tani balian, gipih prapti, kadapetang suba pejah Terjemahan: Bilang sakit perutnya, tak sangka mendadak mati, ayah pun teriak-teriak, datang tetangga membantu, dukun juga purapura, cepat hadir, ditemukan t‟lah meninggal (Keniten, 2014:82) 8. Gedé Rampag raris ical, mangarorod prajani, bapa enyag buka borbor, kapo idéwa enu, makadadua nunggu bapa, kari urip, tangarin déwa pang melah Terjemahan: Gedé Rampag lantas hilang, entah kemana ia pergi, ayah remuk bak terbakar, syukur Nanda masih hidup, berdua bersama ayah, hidup masih, waspada tetap selamat (Keniten, 2014:82) 9. Awak cerik tuara nawang, I Kaki Balian tresnain, I Dadong Koloke kelod, olasin darsana tuyuh, idihin sikep di raga, ané sakti, mahadan Siwa Sumedang Terjemahan: Nanda kecil tiada paham, I kaki Balian sayangi, I Dadong Kolok selatan, sayangi bantu tulus, mohon pelindung di raga, paling sakti, namanya Siwa Sumedang (Keniten, 2014:82) 11. Darma patuté telebang, bakti ring Déwa da lali, ngeliwon mangaturang canang, mabakti raris makidung, sahi nyampat di sanggah, apang titik, inih bisa masekaya Terjemahan: Kebenaran itu resapkan, jangan lupa sembah bakti, Kajeng Kliwon haturkan sajen, sembahyang lalu berkidung, rajin menyapu di sanggah, agar suci, pintarlah bermasyarakat (Keniten, 2014:83) 24. Kéto cening to ingetang, bapa mituturin malih, tingkahé mangdadi jadma, apang dadi ayu nerus, ada kojaran ring sastra, tutur luih, ento resep apang melah Terjemahan: SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Itulah Nanda diingat, ayah nasihati lagi, p‟rilaku jadi manusia, agar jadi baik selalu, ada termuat di sastra, tutur baik, itu ingat agar benar (Keniten, 2014:85) 26. Singgih Bapa sasuhunan, sanikan titiang mangiring, punika né jujur tiang, I Nyoman Karang macebur, ngurut-ngurut ngaras késa, cening kalih, ené buin padingehang Terjemahan: Ya ayahku yang kusembah, saya bersedia ikuti, itu yang ananda harap, I Nyoman Karang macebur, mengurut cium rambutnya, ini resapi didengar (Keniten, 2014:86) 27.Sang Hyang Durgané awaking, mulih ring raga sandi, ento mawak dadi merta, metu ring jaba rahayu, ento di cangkem linggihang, sabda manis, sahulane ngawé rena Terjemahan: Sang Hyang Durga dirasakan, rasuk satukan dalam diri, „tu berwujud jadi amerta, yang keluar baik muncul, di mulutmu letakkan, sabda manis, p‟rilaku tumbuhkan cinta (Keniten, 2014:86) 28. yan metu maring karna, mapangrenga dadi yukti, metu munggu maring soca, sahulaté merdu nyunyur, ento déwa ngawé rena, ayu luih, Sang Hyang Durga mamurtia Terjemahan: Keluar dari telinga, terdengar menjadi yakin, tampak sorot di mata, sorot mata jadi merdu, itu Nanda buat sayang, ayu cantik, Sang Hyang Durga punya kuasa (Keniten, 2014:86) Nyoman Karang menanamkan jiwa keagamaan/ sifat kedewataan dalam diri kedua anaknya dengan memberikan contoh sifat-sifat kedewataan, jadi bukan hanya kata-kata tetapi perilaku. Diakui oleh Nyoman Karang bahwa ketika istrinya meninggal setelah datang bertamu dari rumah Gedé Rampag, hatinya sedih serasa remuk tetapi ia tidak mengajarkan anak-anaknya untuk menyimpan dendam atau membalas dendam atas kematian sang ibu. Nyoman Karang tetap bersyukur karena kedua anaknya masih selamat. Tampak Nyoman Karang juga bukan orang sembarangan, ia menguasai ilmu kebathinan yang bernama Siwa Sumedang dan cara ngerangsuk Durga, namun semuanya diarahkan menuju kebaikan. Nyoman Karang menasehati anakanaknya agar rajin bersembahyang, membersihkan tempat suci, menyanyikan lagu-lagu keagamaan (kirtanam), tetapi semuanya akan menjadi lebih sempurna dengan berbuat kebaikan serta membina hubungan baik dengan masyarakat. Ni Sokasthi dan Ni Rijasa juga dinasehati bila nanti bersuami istri agar tidak selalu bertengkar karena tergoda oleh sifat-sifat buruk: 30. Sangkan tuyuh makurenan, mahironan sai-sai, nemah mamisuh mangembor, peta ala tan paunduk, payu sai saling jengka, eluh muani, munyi liyu tan pakrana Terjemahan:
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
95
96
Lelah berumah tangga, bertengkar tiap hari, caci maki saling sikap, perkataan tak teratur, tiap hari beda pendapat, suami istri, berbicara tak tertata (Keniten, 2014:87) 32. Yan mungguh maring karna, saparengga tan sayukti, di matané jati nongos, ulaté mrengat-mrengut, yan ring cangkem ya magenah, pesu munyi, inguh Makita miyegan Terjemahan: Yang berdiam di telinga, yang didengar tidak yakin, di mata juga tempatnya, tatapannya „tu cemberut, kalau di mulut berada, kata hadir, gelisah ingin bertengkar (Keniten, 2014:87) Dalam Versi lain Geguritan I Gede Basur Karya Ki Dalang Tangsub dialihaksarakan oleh I Made Sanggra (2006) diceritakan I Tigaron yang tidak pernah mendapat penanaman jiwa keagamaan yang benar dari ayahnya yang memang berperangai buruk merasa tidak lagi memiliki masa depan karena keinginannya memperistri Ni Sokasthi tidak terwujud. Dengan rasa patah hati yang mendalam ia merajuk: 45. Yén tan sida manah titiang, masomah ring Sokoashi, banggiang titiang sampun pejah, Nirdon hidup nemu sungsut, Tresnané tan kadagingin, Becik mati, wekasan malih manyadma Terjemahan: Tiada hasil hati saya, beristrikan Ni Sokoasthi, biarkan saya meninggal, s‟lalu sedih rugi hidup, cinta tiada terbalaskan, baik mati, nantilah lahir berulang (Keniten, 2014:106) Gede Basur yang meskipun sakti namun tidak memiliki dasar keagamaan yang kuat malah terlarut terlalu parah pada situasi kegelapan pikiran, bukannya mengarahkan anaknya agar menjadi lebih baik: 48. Ni Sokoasthi tuara tresna, Ngawé wiring buka jani, Bapa nyadia manguwalesang, Mangda ia uwug empung, meneng déwa eda nguwérayang, Yan tan mati, Nora purna manah bapa Terjemahan: Ni Sokoasthi tiada cinta, buat malu seperti ini, ayah bersedia melawan, agar ia hancur lebur, anakku jangan melawan, tiada mati, tak sempurna hati ayah (Keniten, 2014:106) Ki Dalang Tangsub rupanya merupakan sastrawan yang sangat jenius memperbandingkan tabiat Gede Basur yang sakti dan terpelajar dengan wanita keterbelakangan mental yang gila asmara bernama Ni Garu. 135.Ni Garu mangutang awak, manginyah di margi-margi, sambilang mangejuk tuma, nyakongkong druwéne mentul, mangkug alib mabo sera, keprat keprit, entut nyané mauyagan Terjemahan: Garu pergi tanpa arah, di jalan-jalan jemur diri, sambil menangkap tuma, maningkang miliknya muncul, baunya tidak sedap, bunyi nyaring, menusuk hidung kentutnya (Keniten, 2014:124)
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
136.Tuara inget basing layah, kocap sandi kala mangkin, ngalalu raris ka sétra, ditu ia medem malingkuh, suba ada asirepan, ia mangeling, ngajap-ngajap déwan setra Terjemahan: Tak ingat perutnya lapar, kisah senjakala kini, selanjutnya ia ke setra, di sana tidur meringkuk, sudah sempat tidur pulas, ia menangis, manggil-manggil penguasa kuburan (Keniten, 2014:124) 137.Gelis kuda tadah titiang, apang énggal titiang mati, jengah titiang hidup érang, Sagét ada anak rawuh, Gedé tegeh putih nyentak, susu lambih, Romo mangambahan panjang Terjemahan: Tolong cepat mangsa saya, agar cepat saya mati, saya malu hidup jengah, tak nyana ada yang muncul, putih bening tinggi besar, susu m‟jangi, rambut mengurai memanjang (Keniten, 2014:124) 138.Enyén ené padidian, medem malingkuh tur ngeling, Ni garu raris anembah, titiang mawasta Ni garu, Titiang kaérangan manah, suwéca mangkin, Ratu ngicén panugrahan Terjemahan: Siapa ini sendirian? Tidur meringkuk menangis, “Ni garu lalu menyembah, “Hamba Ni Garu ini, hati hamba malu amat, anugerahi, Ratu beri anugerah (Keniten, 2014:124) 139.Apang titiang bisa ngiwa, musuh titiang apang mati, I Gedé Basur ia bregah, titiang mrika saking patut, manelokin I Tigaron, Ipun pedih, manundung tur mangandupang Terjemahan: Agar bisa ilmu hitam, musuh hamba agar mati, I Gede basur yang kasar, hamba bermaksud bagus, mengunjungi I Tigaron, marah sinis, mengusir bersorak (Keniten, 2014:124) 140.Yan I Ratu suwéca, pademang titiang né mangkin, jengah titiang malipetan, sengsara titiang enu idup, Betari Durgha ngandika, medep cening, meme ngicén pangléyakan Terjemahan: Jika Hyang Dewi tak sedia, bunuhlah hamba kini, malu hamba balik pulang, sengsara hamba masih hidup, “Betari Durgha berkata, “t‟rima ini, Betari beri pengleakan (Keniten, 2014:125) 148.Buka patpat ngelah roang, pada mapitulikur siki, yéning kumpulang punika, dadi ia satus kutus, Kéto Garu eda sengsaya, Nah né jani, Alih I Basur pejahang Terjemahan: Keempatnya punya pasukan, dua puluh tujuh ini, jika dikumpulkan semua, seratus delapan itu, Garu jangan ragu hilangkan, ayo kini cari I basur bunuhlah (Keniten, 2014:126) Ni Garu ingin menumpahkan birahinya bersama I Tigaron namun diusir oleh Gede Basur. Gede Basur tidak mampu bercermin diri, marah ketika lamarannya ditolak oleh Nyoman Karang, namun memperlakukan Ni Garu seenaknya. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
97
Sesungguhnya pengarang ingin menampilkan jika sifat keduanya memiliki kemiripan. Kenekatan keduanya juga mirip, Gede Basur mencederai Ni Sokasthi dengan ilmu pangleakan yang dipelajarinya demikian pula dengan Ni Garu yang ingin membunuh Gede Basur melalui aktivitas nyeraya (bertapa di Kuburan) untuk menguasai ilmu hitam. Manusia seterpelajar Gede Basur berpotensi mati di tangan manusia keterbelakangan mental, artinya seseorang berpendidikan tinggi bisa saja menemui kehancuran karena bersikap seperti orang yang tidak terpelajar. Keluarga yang meskipun terhormat dan terpelajar berpeluang menghancurkan masa depan generasi penerusnya bila tidak menanamkan jiwa keagamaan dengan benar dan menggantinya dengan sikap dengki, pemarah, pendendam, serta sejenisnya. Pada kehancuran semacam itu akarnya adalah sindrom self-incurred tutelage (ketidakdewasaan yang disebabkan oleh dirinya sendiri). Kehancuran yang serupa juga ditemui keluarga Ki Balian Batur manakala Ki Balian Batur sebagai kepala keluarga cepat terpancing emosi dan membalas dendam kepada musuhmusuhnya dengan aji ugig. Diceritakan ketika tengah malam tiba Ki Balian Batur memanggil istri dan semua anak-anaknya untuk duduk berkumpul di bale daja (balai yang ada di sebelah utara). I Ketut Lengka tidak ikut ketika itu karena sudah tidur lelap dan masih kanak-kanak. Ki Balian Batur kemudian memberikan wejangan kepada semuanya, “wahai istri dan anak-anakku, karena telah tersebar luas bahwa aku Ki Balian Batur diberitakan bisa ngeleak, maka kita semua sepatutnya waspada dan hati-hati. Karena tanpa diduga-duga musuh pasti akan menghampiri dan menyerang kita. Untuk melindungi diri, maka aku Ki Balian Batur akan menurunkan semua yang aku miliki untuk kalian semua. Ilmu pengiwa yang dulu dianugrahkan oleh Ida Bethari Danu, akan aku turunkan kepadamu (Supatra, 2012:27). Untuk persiapan, Ki Balian Batur menyuruh istri dan anak-anaknya membersihkan diri dan berkonsentrasi. Ketika semuanya sudah bersih dan ngulengin kayun (konsentrasi), pada saat itu Ki Balian Batur memulai prosesinya. Istri dan anak-anaknya diberikan rerajahan (gambar mistis) yang berisikan aksara sakti sambil berkomat-kamit mengucapkan mantra sakti. Rerajahan tersebut diberikan pada bagian buku-buku(persendian), layah (lidah), mata, gigi, gidat (dahi), dan pabaan (ubun-ubun). Dilengkapi dengan sesaji yang diperlukan (Supatra, 2012:28). III. Penutup
98
Pada tahap perkembangan kognitif yang memungkinkan sikap atau perilaku egosentrisme seorang anak berkurang, lazimnya pertimbangan moral (moral reasoning) anak tersebut menjadi lebih matang. Sebaliknya, anak-anak yang masih diliputi sikap dan perilaku mementingkan diri sendiri hanya akan mampu memahami kaidah sosial yang hanya menguntungkan diri sendiri. SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016
Oleh karenanya, agar anak-anak yang egois menyadari kesalahan sosialnya dan sekaligus berperilaku moral secara memadai, pengenalan mereka terhadap wewenang orang dewasa dan penerimaan mereka terhadap aturannya perlu ditanamkan (Syah, 2012:38). Jikalau penanaman aturan dan penyadaran gagal dilakukan oleh lingkungan pendidikan untuk mengokohkan jiwa keagamaan maka seorang individu akan mempertahankan sikap egosentrisnya yang selalu ingin menang sendiri hingga dewasa bahkan tua. Pendidik yang mengenalkan aturan juga haruslah berjiwa keagamaan yang matang agar dapat diimitasi oleh anak didik. Model penanaman jiwa keagamaan yang benar pada anak selain dapat ditiru dari I Nyoman Karang dalam Geguritan Basur juga ditemui dalam Geguritan Japatvan. Suatu saat setelah berumur tujuh tahun memohon kepada kedua orangtuanya agar ia diperkenankan berguru dari seorang rsi atau pertapa. Orangtuanya sangat senang menyambut keinginan anaknya itu, kemudian orang tua japatvan hanya mengingatkan agar baik-baik berperilaku kepada Guru. Selanjutnya, Japatvan datang berguru pada seorang mahārsi. Setelah selesai menimba ilmu dari mahārsi kemudian I Japatvan kembali rumahnya untuk mengamalkan segala pengetahuan yang diterima dari sang mahārsi. (Titib, dalam Suastika dan Sukartha (ed), 2012:93). Penanaman jiwa keagamaan adalah perwujudan prophetic thinking (pemikiran mengantisipasi tantangan masa depan). Orangtua yang mengabaikan atau merusak jiwa keagamaan anaknya sesungguhnya telah membunuh masa depan anaknya. Daftar Pustaka Adisusilo, Sutarjo.2013.Sejarah Pemikiran Barat.Jakarta:PT RajaGrafindo Persada Davidson, Scott.2008.Hak Asasi Manusia.Jakarta:Graviti Keniten, IBW Widiasa. 2014.Eksistensi Basur.Tabanan:Pustaka Ekspresi Ormrod, Jeanne Ellis.2008.Psikologi Pendidikan.Jakarta:Erlangga Supatra, Kanduk.2012.Ki Balian Batur.Denpasar:Pustaka Bali Post Syah, Muhibbin.2012.Psikologi Belajar.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Titib, I Made.2012.Transformasi Sungai Gaṅgā Kahyangan dalam Svargarohaṇaparva Jawa Kuna ke dalam Susastra Bali tentang Eschatology. Dalam Sukartha dan Suastika (ed).Sastra Jawa Kuna.Denpasar:Cakra Press 99
SEMINAR NASIONAL | PGPAUDH-FDA-IHDN DENPASAR 19 AGUSTUS 2016