PENGOMPOSAN PELEPAH DAUN KELAPA SAWIT DENGAN BIODEKOMPOSER BERBEDA SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI AMELIORAN
SRI YUNIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014 Sri Yuniati NIM A252110101
RINGKASAN SRI YUNIATI. Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran. Dibimbing oleh HARIYADI, PURWONO dan RAHAYU WIDYASTUTI. Jumlah limbah pelepah daun kelapa sawit yang dihasilkan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan produksi kelapa sawit. Adanya penumpukan pelepah di sela-sela tanaman kelapa sawit khususnya di gawangan mati beberapa perkebunan kelapa sawit berpotensi menjadi sarang / inang bagi hama dan penyakit. Pelepah daun kelapa sawit mengandung lignin dan selulosa tinggi sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama agar bisa terurai sempurna. Upaya mempercepat dan memaksimalkan pengomposan limbah pelepah daun sawit dengan penggunaan biodekomposer diharapkan bisa meminimalkan material organik yang terangkut dari lahan pada saat panen. Pangkasan daun bahkan bisa dikembalikan lagi ke lahan tersebut dalam bentuk bahan siap pakai untuk menjaga stabilitas bahan organik tanah setelah melalui proses dekomposisi . Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi isolat mikroba indigenous, membandingkan laju pengomposan dan mengkaji pengaruh penggunaan kompos terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman caisin (Brassica rapa). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) dan Kebun Percobaan Cikabayan University Farm IPB Darmaga Bogor. Identifikasi mikroba dilakukan di IPB Culture Collection (IPBCC). Analisis hara tanah dan bahan kompos dilakukan di Laboratorium Kesuburan Tanah Departemen ITSL. Analisis klorofil di Laboratorium Molecular Marker Spectrophotometry dan pengamatan stomata di Laboratorium Mikroteknik Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH). Tahapan penelitian ini berlangsung sejak bulan Oktober 2012 sampai dengan Agustus 2013. Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama yaitu eksplorasi mikroba yang akan digunakan sebagai biodekomposer. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa biodekomposer indigenous menghasilkan jumlah koloni dua kali lebih banyak dibandingkan biodekomposer komersil. Berdasarkan hasil identifikasi, mikroba indigenous yang berasal dari pelapukan alami dalam perkebunan kelapa sawit adalah jenis fungi Trichoderma asperellum. Percobaan kedua yaitu pengomposan pelepah daun kelapa sawit. Perlakuan 1 (B0) cacahan pelepah daun sawit + kotoran sapi 10 %; perlakuan 2 (B1) cacahan pelepah daun sawit + kotoran sapi 10 % + biodekomposer komersil; dan perlakuan 3 (B2) cacahan pelepah daun sawit + kotoran sapi 10 % + biodekomposer indigenous. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan 3 taraf perlakuan. Berdasarkan variabel pengamatan yaitu : Suhu, nisbah C/N, derajat kemasaman (pH), penyusutan volume, kondisi fisik bahan kompos dan analisis hara kompos menunjukkan hasil bahwa laju pengomposan oleh biodekomposer indigenous lebih tinggi dibanding biodekomposer komersil sampai 8 minggu setelah aplikasi biodekomposer. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian biodekomposer indigenous lebih efektif dibanding biodekomposer komersil diduga karena isolat mikroba perombak selulosa yang ada di dalamnya berasal dari lingkungan yang sama dengan bahan yang dikomposkan.
Pada percobaan ketiga yaitu penggunaan kompos yang dihasilkan sebagai amelioran tanaman caisin organik. Terdapat 4 perlakuan media yaitu M0 (media tanah tanpa kompos) ; M1 (media tanah + kompos B0 (tanpa biodekomposer)); M2 (media tanah + kompos B1 (dengan biodekomposer indigenous)); dan M3 (media tanah + kompos B2 (dengan biodekomposer komersil)). Kompos berasal dari limbah pelepah daun sawit yang sudah dikomposkan dengan menggunakan biodekomposer berbeda yaitu biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil (konsorsia Trichoderma harzianum DT 39 + T. Pseudokoningii DT 39, Aspergillus sp. dan fungi pelapuk putih). Media yang menggunakan kompos sebagai amelioran ditambahkan 50 g kompos per 5 kg tanah / ember. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Penggunaan kompos dengan biodekomposer indigenous memberi hasil yang lebih baik dibanding biodekomposer komersil pada peubah luas daun, sementara jumlah daun, bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk tanaman caisin pada 5 minggu setelah tanam tidak berbeda nyata sehingga penggunaan biodekomposer indigenous bisa menggantikan biodekomposer komersil. Kata kunci : bioaktivator, pengomposan, T. asperellum, limbah, bahan organik
SUMMARY SRI YUNIATI. Composting of Palm Oil Midrib-leaf with Different Biodecomposter and used as Ameliorant. Supervised by HARIYADI, PURWONO and RAHAYU WIDYASTUTI. The number of palm oil midrib-leaf wastes generated is increasing in line with the growth of palm oil production. Midrib buildup on the sidelines of palm oil plantations, especially in side off lines on several palm oil estates has the potential to become a den / host for pests and diseases. Palm oil midrib-leaf contains high lignin and cellulose that requires a long time to be able to decompose completely. Efforts to speed up and maximize the composting palm oil midrib-leaf waste with using biodecomposter expected to minimize organic matter transported from the field at harvest time. Trimming leaves can even be returned to the field in the form of materials ready used to maintain the stability of soil organic matter after going through the process of decomposition. The objective of study were to identify indigenous microbe isolates, to compare the rate of composting and to identify influence of using compost toward growth and caisin yield (Brassica rapa). This experiment was done in Laboratory of Soil Biotechnology, Department of Soil Science and Land Resources and Cikabayan Teaching Farm in IPB Dramaga Bogor. Microbe identification was held in IPB Culture Collection (IPBCC). Analysis of soil nutrients and compost materials were conducted at the Laboratory of Soil Fertility, Soil Science and Land Resources Department. Chlorophyll analysis was done in the Laboratory of Molecular Marker Spectrophotometry and stomatal observation was carried out at the Microtechnic Laboratory of Agronomy and Horticulture Department (AGH). Stages of the study were lasted from October 2012 to August 2013. This study consisted of three experiments. The first, microbe exploration was used as biodecomposter. The results obtained show that indigenous biodecomposter produce the number of colonies twice more than commercial biodecomposter. According to identification result, indigenous microbe derived from the natural weathering of oil palm estate is a type of fungi Trichoderma asperellum. The second, composting of palm oil midrib-leaf. Treatment 1 (B0) shredded palm oil midrib-leaf + cow manure by 10%; treatment 2 (B1) shredded palm oil midrib-leaf + cow manure by 10% + commercial biodecomposter; treatment 3 (B2) shredded palm oil midrib-leaf + cow manure by 10% + indigenous biodecomposter. The experimental design used was one factor Randomized Block Design (RBD) with 3 treatment levels. Based on the variables observed like temperature, the ratio C / N, the degree of acidity (pH), volume shrinkage, the physical condition of the compost materials and compost nutrient analysis show that the rate of composting of indigenous biodecomposter is higher than commercial biodecomposter up to 8 weeks after application of biodecomposter. This indicates that the treatment of indigenous biodecomposter is more effective than commercial biodecomposter, because cellulose destroyer microbial isolates which is in it comes from the same environment with the composted material. The third experiment, the compost use produced as organic caisin ameliorant. There are four media treatments namely M0 (soil media without
compost); M1 (soil media + compost B0 without biodecomposter); M2 (soil media + compost B1 with indigenous biodecomposter); M3 (soil media + compost B2 with commercial biodecomposter). Composts derived from palm oil midribleaf waste which had been composted with using different biodecomposter were indigenous biodecomposter and commercial biodecomposter (consortia of DT 39 Trichoderma harzianum + DT 39 T.pseudokoningii, Aspergillus sp. and white rot fungi). Media using compost as ameliorant was added 50 g of compost per 5 kg soil / bucket. The experimental design used was a Randomized Block Design (RBD) with four treatments and three replications. The use of compost with indigenous biodecomposter gives better result than the commercial biodecomposter in leaf area size variable. While the number of leaves, wet and dry weight of the caisin canopy to control during 5 weeks after planting (WAP) are not significantly different. So that, the use of indigenous biodecomposter can replace the use of commercial biodecomposter. Key words : bioactivator, composting, T. asperellum, waste, organic matter
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGOMPOSAN PELEPAH DAUN KELAPA SAWIT DENGAN BIODEKOMPOSER BERBEDA SERTA PEMANFAATANNYA SEBAGAI AMELIORAN
SRI YUNIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Sudradjat, MS
Judul Tesis : Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran Nama : Sri Yuniati NIM : A252110101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Hariyadi, MS Ketua
Dr Ir Purwono, MS Anggota
Dr Rahayu Widyastuti, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 12 Maret 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran : Sri Yuniati Nama NIM : A252110101
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Hariyadi, MS
Ketua
Dr Ir Purwono, MS Anggota
Dr Rahayu Widyastuti, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura
Dr Ir Maya Melati, MS, MSc
Tanggal Ujian: 12 Maret 2014
Tanggal Lulus:
115 APR 2014
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah pengelolaan limbah pertanian, dengan judul “Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran”. Penelitian ini didasari untuk percepatan proses pengomposan limbah pelepah daun kelapa sawit yang selama ini hanya mengharapkan proses pelapukan itu terjadi dengan sendirinya dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hariyadi, MS, Bapak Dr Ir Purwono, MS dan Ibu Dr Rahayu Widyastuti, MSc selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran, bimbingan dan masukan selama penelitian dan penulisan tesis ini. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Program Studi Agroteknologi atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa pula kepada Bapak dan Ibu laboran, pekerja lapang di Kebun Percobaan Cikabayan serta rekan-rekan Mayor Agronomi dan Hortikultura khususnya Angkatan 2011, yang telah membantu selama penelitian. Akhirnya dengan segala rasa hormat penulis persembahkan kepada suami, ayah (almarhum), ibu, mertua, dan anak-anakku serta seluruh keluarga yang selalu setia dan sabar memberikan dukungan dan doa untuk penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Bogor, Maret 2014 Sri Yuniati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Daun Kelapa Sawit Organisme Perombak Bahan Organik Biodekomposisi Bahan Organik Penggunaan Bahan Organik sebagai Amelioran Pupuk Kandang Cair (Urine Kelinci)
1 2 3 3 3 4 4 4 6 7 8
METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba untuk pembuatan isolat Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin
8 8 9 9 9 10 12
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba untuk pembuatan isolat Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin
13 14 15 21
PEMBAHASAN UMUM
25
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
27 27 28
DAFTAR PUSTAKA
28
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 Jumlah koloni mikroba perombak selulosa yang diisolasi dari pelepah daun sawit yang sedang melapuk menggunakan media CMC 2 Jumlah koloni mikroba perombak selulotik dari biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil 3 Penurunan nisbah C/N formula kompos pelepah daun sawit 4 Total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit 5 Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan 6 Rata-rata pH formula kompos pelepah daun sawit 7 Analisis hara kompos pelepah daun sawit 8 MSA 8 Tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun tanaman caisin pada 5 minggu setelah tanam 9 Kandungan klorofil, jumlah stomata dan kerapatan stomata daun 10 Bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar, bobot kering akar dan panjang akar tanaman caisin umur 5 minggu setelah tanam
14 15 17 18 19 20 21 22 23 24
DAFTAR GAMBAR 1 Tumpukan pelepah daun kelapa sawit PTPN VIII di kebun Cimulang, Bogor (A) pelepah daun kelapa sawit yang sedang melapuk (B) 2 Proses pencacahan dan pengomposan pelepah daun kelapa sawit 3 Perubahan rata-rata suhu harian formula kompos pelepah daun kelapa sawit pada penggunaan tanpa biodekomposer (■), biodekomposer komersil (▲) dan biodekomposer indigenous (●) 4 Sisa volume kompos pelepah daun kelapa sawit selama masa pengomposan (%) 5 Perubahan struktur dan warna yang terjadi dan hadirnya organisme lain (A) hifa dari jenis fungi, (B) dan (C) cacing pada formula bahan kompos dengan biodekomposer indigenous 6 Kandungan klorofil yang terdapat pada daun caisin untuk masingmasing perlakuan
9 11
16 18
20 23
DAFTAR LAMPIRAN 1 Identifikasi molekuler 33 2 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengomposan pelepah daun kelapa sawit pada perlakuan biodekomposer Error! Bookmark not defined.35 3 Rekapitulasi hasil sidik ragam pertumbuhan dan hasil tanaman caisin pada perlakuan kompos umur 5 minggu setelah tanam 36
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack) adalah tanaman penghasil minyak yang paling populer di Indonesia. Pertumbuhannya yang cepat dan prospeknya yang cerah karena kontribusi yang signifikan dan pengembangan minyak nabati ke pasar dunia. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit saat ini mencakup area seluas lebih dari 9.2 juta hektar (Ditjenbun 2013). Jumlah limbah yang dihasilkan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan produksi kelapa sawit. Limbah pertanian meliputi semua hasil dari proses pertanian yang tidak termanfaatkan atau belum memiliki nilai ekonomis. Salah satu limbah dari perkebunan kelapa sawit adalah pelepah daun. Populasi kelapa sawit berkisar 138 – 143 pohon/hektar. Kelapa sawit dalam setahun bisa menghasilkan sekitar 12 janjang buah/pohon. Masing-masing janjang disangga 1 – 2 pelepah dengan bobot rata-rata 10 kg/pelepah. Kandungan bahan kering mencapai 35% bobot pelepah. Jika setiap panen menghasilkan 24 pelepah ditambah dengan hasil pruning sekitar 8 pelepah, maka dalam setahun limbah pelepah yang dihasilkan bisa mencapai 32 pelepah/pohon/tahun. Hal ini menyebabkan limbah pelepah daun yang dihasilkan bisa mencapai 15 456 – 16 016 kg kandungan bahan kering pelepah/tahun/hektar (Devendra 1990). Apabila limbah pelepah daun sawit ini tidak dimanfaatkan dapat menjadi masalah lingkungan di sekitar perkebunan. Adanya penumpukan pelepah di sela-sela tanaman kelapa sawit khususnya di gawangan mati beberapa perkebunan kelapa sawit berpotensi menjadi sarang / inang bagi hama dan penyakit seperti beberapa jenis hama ulat dan kumbang pemakan daun, tikus, bahkan ular. Jenis-jenis penyakit utama kelapa sawit disebabkan oleh Ganoderma, Pythium dan Rhizoctonia (Risza 2010). Salah satu cara untuk memanfaatkan pelepah daun kelapa sawit sebagai sumber unsur hara tanaman adalah dalam bentuk kompos. Kompos yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang diharapkan bisa mengembalikan kesuburan tanahtanah perkebunan atau dapat juga digunakan sebagai bahan pembenah tanah pada tanaman hortikultura dan tanaman pangan. Dekomposisi tidak hanya penting untuk menghindari akumulasi zat berbahaya dari bahan organik tetapi juga penting untuk daur ulang hara dan bahan organik. Tanah dan mikroorganisme didalamnya berperan penting dalam proses ini. Selain itu, kesuburan tanah sebagian diantaranya banyak berkurang karena pasokan bahan organik yang tidak mencukupi atau manajemen yang tidak benar, seperti terjadinya kemasaman karena pupuk yang menghasilkan amonium. Isu-isu ini menyoroti perlunya pemikiran pengembangan alternatif, salah satunya adalah kompos (Mohammad 2012). Sesuai dengan pendapat Molla et al. (2002) bahwa kompos adalah hasil dari proses dekomposisi yang dikendalikan secara biologis dengan mengubah limbah organik menjadi seperti bahan humus. Kompos dapat didefinisikan
2
sebagai proses biokonversi substrat sampah organik menjadi stabil pada produk akhir organik. Pengomposan adalah suatu proses dekomposisi yang dilakukan oleh agen dekomposer (bakteria, actinomycetes, fungi, dan organisme tanah) terhadap buangan organik yang biodegradable (Indriani 2003). Proses pengomposan alami oleh agen dekomposer memakan waktu lama (enam bulan hingga lebih setahun). Pengomposan pelepah daun kelapa sawit saat ini pun belum banyak yang lakukan karena membutuhkan proses yang cukup lama dan bahannya yang keras mengakibatkan sulit terdekomposisi secara cepat. Oleh sebab itu, kini telah banyak dikembangkan produk agen dekomposer yang diproduksi secara komersil untuk meningkatkan kecepatan dekomposisi, meningkatkan penguraian materi organik, dan dapat meningkatkan kualitas produk akhir. Produk tersebut antara lain biodekomposer, yaitu beberapa spesies mikroorganisme pengurai materi organik yang telah diisolasi dan dioptimasi, dikemas dalam berbagai bentuk dan terdapat pada keadaan inaktif. Setelah pelepah kelapa sawit terdekomposisi sempurna menjadi kompos, selanjutnya dapat digunakan sebagai media tumbuh tanaman baik di persemaian maupun di lapangan. Salah satu indikasinya dapat ditunjukan dari kematangan kompos yang meliputi karakteristik fisik (bau, warna, dan tekstur yang telah menyerupai tanah, penyusutan berat mencapai 60 %, pH netral, suhu stabil), perubahan kandungan hara (nisbah C/N kurang dari 30), dan tingkat fitotoksisitas rendah (Lubis 2008). Adapun tanaman yang dijadikan indikator dalam pemanfaatan kompos pelepah daun kelapa sawit sebagai bahan campuran media tanam adalah caisin (Brassica rapa var. parachinensis). Tanaman ini dipilih karena berumur genjah, dapat ditanam di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah dengan pH antara 6 – 7 dengan kondisi tanah yang gembur dan subur (Nurshanti 2009). Adanya perbaikan komposisi hara dalam media tanam dengan penambahan bahan organik berupa kompos dalam budidaya caisin, diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil serta mengurangi penggunaan bahan kimia dari pupuk anorganik. Sampai saat ini penelitian yang memanfaatkan pelepah daun kelapa sawit sebagai kompos masih terbatas sehingga permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana mempercepat proses dekomposisi pelepah daun kelapa sawit dengan menggunakan biodekomposer sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan sebagai amelioran pada tanaman caisin (Brassica rapa var. parachinensis). Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi isolat mikroba indigenous yang dieksplorasi dari pelapukan alami limbah pelepah daun kelapa sawit. 2. Membandingkan laju pengomposan oleh biodekomposer indigenous dengan biodekomposer komersil. 3. Mengkaji pengaruh penggunaan kompos pelepah daun sawit dengan biodekomposer berbeda terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman caisin.
3
Hipotesis 1. Biodekomposer indigenous lebih cepat mendekomposisi limbah pelepah daun kelapa sawit dibanding biodekomposer komersil. 2. Laju pengomposan dari biodekomposer indigenous lebih tinggi dibanding biodekomposer komersil. 3. Kompos dengan biodekomposer indigenous yang digunakan sebagai amelioran pada tanaman caisin memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibanding kompos dengan biodekomposer komersil. Manfaat Penelitian Pengelolaan limbah pelepah daun kelapa sawit selain dapat menciptakan sanitasi lingkungan perkebunan yang baik, juga dapat memanfaatkan sumber hara bahan organik. Sanitasi lingkungan yang buruk dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit sebagai akibat dari tumpukan limbah pelepah daun di perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi hasil dekomposisi dapat digunakan kembali sebagai bahan pembenah tanah baik secara fisik, kimia dan biologi. Penggunaan mikroba sebagai biodekomposer pengomposan dapat lebih mengefektifkan penyerapan hara tanah oleh tanaman. Pertumbuhan dan produktivitas secara berkesinambungan dapat tercipta dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemilik perkebunan, pemerintah daerah dan masyarakat petani setempat sebagai pengelola sumber daya alam dan lingkungan serta pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan di atas. Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) dan Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor. Penelitian ini terdiri atas tiga tahapan percobaan. Pada tahap pertama dilakukan eksplorasi mikroba yang berasal dari pelapukan pelepah daun sawit secara alami di lapangan. Isolat mikroba yang dihasilkan digunakan sebagai biodekomposer indigenous pembuatan kompos pelepah daun sawit pada tahapan berikut dengan membandingkan laju dekomposisi pada perlakuan yang menggunakan biodekomposer komersil dan kontrol (tanpa penggunaan biodekomposer). Tahap akhir dalam penelitian ini adalah penggunaan hasil kompos dari tiga macam perlakuan tadi sebagai amelioran untuk melihat pengaruh pertumbuhan dan hasil tanaman caisin organik.
4
TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Daun Kelapa Sawit Taksonomi tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Embryophyta Siphonagama Kelas : Angiospermae Ordo : Monocotyledonae Famili : Arecaceae Sub Famili : Cocoideae Genus : Elaeis Spesies : E. guineensis Jack, E. Oleifera (HBK) Cortes, E.odora (Pahan 2008). Daun kelapa sawit merupakan daun majemuk, berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya sangat mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam Pelepah kelapa sawit meliputi helai daun, setiap helainya mengandung lamina (helaian) dan midrib (tulang anak daun), rachis (ruas tengah), petiole (tangkai daun) dan kelopak pelepah (seludang). Helai daun berukuran 55 cm hingga 65 cm dan mencakup dengan lebar 2,5 cm hingga 4 cm. Setiap pelepah mempunyai lebih kurang 100 pasang helai daun. Titik tumbuh aktif secara terus menerus menghasilkan primordia (bakal) daun setiap sekitar 2 minggu (pada tanaman dewasa). Daun memerlukan waktu 2 tahun untuk berkembang dari proses inisiasi sampai menjadi daun dewasa pada pusat tajuk dan dapat berfotosintesis secara aktif sampai 2 tahun lagi. Proses inisiasi daun sampai layu (senescence) sekitar 4 tahun. Jumlah pelepah yang dihasilkan meningkat 30 – 40 batang ketika berumur 3 – 4 tahun dan menurun (declines) sampai 18 pelepah untuk tanaman tua (Hakim 2007; Pahan 2008; Risza 2010). Berdasarkan aspek kondisi lahan, kondisi tanaman, dan usia tanaman rata–rata di kebun, diperkirakan pertumbuhan dan perkembangan pelepah tanaman kelapa sawit berkisar 16 – 18 pelepah setahun dalam satu pohon. Hal ini berarti bahwa dalam sebulan terdapat 1.4 – 1.5 pelepah per pohon (Pahan 2008). Organisme Perombak Bahan Organik Organisme perombak bahan organik atau biodekomposer adalah organisme pengurai nitrogen dan karbon dari bahan organik (sisa-sisa organik dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati) yaitu bakteri, fungi, dan aktinomycetes. Proses penguraian tersebut menghasilkan unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (seperti N, P, K, Ca, Mg) dan ke atmosfer (CH4 atau CO2). Unsur-unsur ini merupakan hara yang dapat digunakan kembali oleh tanaman (Saraswati et al. 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba terutama adalah komponen dari medium biakan baik internal maupun eksternal. Faktor internal seperti: pH, aktivitas air, dan tekanan osmose, serta beberapa faktor eksternal seperti suhu, oksigen dan tekanan (Handrech dan Black 1984 ; Gusmailina 2005).
5
Adanya aktivitas organisme perombak bahan organik seperti mikroba dan mesofauna (hewan invertebrata) juga makrofauna, saling mendukung keberlangsungan proses siklus hara dalam tanah. Organisme perombak bahan organik juga digunakan sebagai cara untuk mempercepat proses dekomposisi sisasisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa. Selain untuk meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba tanah, juga dapat mengurangi penyakit, larva insek, biji gulma, volume bahan buangan. Oleh sebab itu pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah sehingga kandungan bahan organik dalam tanah ikut meningkat. Aktivitas fauna tanah juga memudahkan organisme perombak bahan organik untuk memanfaatkan bahan organik sehingga proses mineralisasi berjalan lebih cepat dan penyediaan hara bagi tanaman lebih baik (Saraswati et al. 2006). Menurut Eriksson et al. (1990), umumnya kelompok fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling signifikan. Fungi dapat segera menjadikan bahan organik terurai menjadi senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan nutrien di sekitar tanaman. Umumnya siklus kehidupan mikroba di alam, baik fungi maupun bakteri tergantung dari formula bahan yang akan dirombak Adakalanya degradasi atau perombakan diawali oleh mikroba golongan fungi. Setelah terjadi proses degradasi dalam kurun waktu tertentu, fungi akan mati dan tersimpan dalam bentuk spora untuk selanjutnya degradasi tersebut dilanjutkan oleh bakteri. Bisa pula terjadi sebaliknya yaitu degradasi diawali oleh bakteri untuk selanjutnya diteruskan oleh fungi. Bakteri dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pembusuk, sementara fungi berfungsi sebagai pengurai / dekomposer. Oleh sebab itu fokus pencarian mikroba adalah mikroba yang berfungsi sebagai pengurai (Higuchi 1985). Telah diketahui bahwa mikroba yang efektif sebagai pengurai pada bahan berkayu (yang mengandung lignin) adalah fungi yang termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes, atau lebih terkenal dengan white rot fungi atau fungi pelapuk putih / FPP (Blanchette et al. 1988). Fungi ini termasuk fungi tingkat tinggi dan mudah dikenal apabila ditemukan tubuh buahnya. Pada bagian bawah tubuh buah biasanya terdapat spora sebagai alat untuk perbanyak diri. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa hampir tidak pernah menemukan tubuh buah dari fungi ini. Bahkan telah berulang kali mencoba berusaha menumbuhkan tubuh buah dari fungi ini, tetapi hingga sekarang belum berhasil. Oleh sebab itu fungi yang termasuk FPP ini bukan mikroba yang menjadi target pencarian karena tidak dapat digunakan sebagai bahan utama untuk dikemas sebagai aktivator. Hal ini disebabkan karena sulit menemukan sporanya. Sehingga yang menjadi target pencarian adalah fungi tingkat rendah (Away dan Goenadi 1995). Fungi tingkat rendah mudah dijumpai di alam melalui warna dari spora. Berbagai warna dapat dijumpai mulai warna kemerahan, kekuningan, hijau atau putih. Berdasarkan hasil pengamatan serta dari beberapa ciri, acuan serta informasi yang diperoleh, sebagaian besar fungi yang didapatkan termasuk FPP dan diperkirakan genus Trichoderma. Jenis fungi ini merupakan salah satu fungi tingkat rendah yang telah banyak digunakan untuk berbagai keperluan namun belum dapat diketahui spesiesnya. Untuk menentukan spesies suatu mikroba, membutuhkan
6
waktu yang relatif lama dengan biaya yang tinggi. (Kirk dan Shimada 1984; Away dan Goenadi 1995). Jika hasil yang diperoleh sudah dapat diyakini, maka selanjutnya baru dilakukan pencarian spesies. Pengujian selanjutnya hanya dilakukan terhadap isolat fungi, karena isolat inilah yang menunjukkan aktivitas pengurai. Isolat bakteri yang diperoleh hanya bersifat pembusuk, sehingga untuk sementara tidak dilakukan pengujian lanjutan tetapi akan disimpan dalam kultur pada kondisi yang sesuai. Bila dibutuhkan, bahan tersedia untuk dipelajari (Handrech dan Black 1984). Hasil pengamatan Away dan Goenadi (1995) menunjukkan bahwa, hampir semua isolat fungi positif mempunyai kemampuan menguraikan selulosa dengan kecepatan sedang hingga cepat. Hal ini ditandai dengan penampakan luas cincin yang lebih besar dari 5 cm pada suhu 28 oC dan 37 oC. Isolat fungi tersebut umumnya melepaskan Reamazol Brilliant Blue (RBB), menghilangkan RBB, dan sekaligus menghilangkan dan melepaskan RBB. Menurut Basuki (1994), penggunaan senyawa RBB dilakukan karena molekul pewarna tersebut akan membentuk ikatan kovalen dengan unit molekul glukosa dari beberapa jenis polisakharida termasuk diantaranya selulosa. Fungi yang mempunyai kemampuan selulolitik apabila dikulturkan pada selulosa yang diberi pewarna RBB akan menghidrolisis selulosa dan melepas glukosa. Warna biru pada media disebabkan oleh pewarna RBB yang berwarna biru berikatan dengan molekul-molekul glukosa. Fenomena yang mungkin terjadi dalam pengujian ini antara lain: (a) isolat mendegradasi selulosa dari selopan sehingga pada media terjadi pelepasan warna biru, dan media akan berwarna biru, atau (b) isolat merombak pewarna RBB pada selopan sehingga warna biru dari selopan hilang dan selopan menjadi berwarna putih, atau (c) isolat mendegradasi selulosa dari selopan dan juga merombak pewarna RBB (Gusmailina 2005). Biodekomposisi Bahan Organik Pengomposan merupakan salah satu cara pemanfaatan limbah padat yang sudah lama dikenal. Salah satu faktor yang penting dalam proses pengomposan ialah nisbah C dan N. Sebenarnya setiap limbah padat yang dibuang ke tanah akan selalu diikuti pembusukan yang dilakukan oleh mikroba, baik oleh mikroba tanah ataupun mikroba yang berasal dari limbah itu sendiri. Pertumbuhan mikroba membutuhkan nitrogen. Jika nisbah C/N dalam limbah terlalu besar berarti N tidak mencukupi sehingga mikroba akan menggunakan cadangan N yang terdapat dalam tanah tersebut. Akibatnya tanah pada daerah tempat pembuangan limbah padat akan mengalami defisiensi N (PPHP 2006). Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi
7
kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Kompos yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi mikrobia efektif dikenal dengan nama bokashi. Cara ini menyebabkan proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat dibandingkan cara konvensional (Setyorini et al. 2006). Cara pembuatan kompos bermacam‐macam tergantung: keadaan tempat pembuatan, mutu yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam bahan yang tersedia dan selera si pembuat. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengomposan ialah: (1) Kelembaban timbunan bahan kompos (2) Aerasi timbunan (3) Temperatur harus dijaga tidak terlampau tinggi (maksimum 60 oC). (4) Derajat kemasaman (6) Kadang‐kadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan mikrobia yang cepat memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan untuk mikrobia sehingga perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap (Sulistyawati 2008). Keunggulan kompos dari pelepah daun kelapa sawit meliputi : kandungan kalium yang tinggi, menggunakan biodekomposer yang berasal dari hasil isolasi mikroba yang terdapat di bawah tumpukan pelepah sawit di lapangan, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan; (2) membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman; (3) bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman; (4) merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah dan (5) dapat diaplikasikan pada sembarang musim (Mukhlis 1990). Penggunaan Bahan Organik sebagai Amelioran Amelioran adalah bahan yang ditambahkan sebagai pembenah tanah baik organik maupun anorganik pada media tanam yang dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia. Salah satu jenis amelioran yang dapat digunakan adalah kompos dengan fungsi utama dapat membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah karena dapat meningkatkan jumlah rongga. Sifat kimia tanah yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan daya simpan air (water holding capacity). Perbaikan sifat biologi oleh kompos melalui peningkatan populasi mikroorganisme dalam tanah (Simamora dan Salundik 2006). Penambahan bahan organik merupakan salah satu cara dalam upaya meningkatkan kualitas tanah. Beberapa manfaat pemberian bahan organik adalah meningkatkan kandungan humus tanah, mengurangi pencemaran lingkungan, mengurangi pengurasan tanah yang terangkut dalam bentuk panenan dan erosi,
8
memperbaiki sifat-sifat tanah serta memperbaiki kesuburan tanah (Swift dan Sanchez 1984). Pemanfaatan bahan organik dan mikroorganisme yang berguna perlu dikembangkan dalam usaha menekan input bahan kimia anorganik (Pangaribuan dan Pujisiswanto 2008). Pendekatan yang telah dilakukan antara lain mengintroduksi mikroorganisme tanah potensial yang dikenal sebagai pupuk hayati (Elhassan et al. 2010). Simanungkalit (2001) mengemukakan bahwa pupuk hayati menjadi satu kontrol input produksi dalam budidaya tanaman, khususnya kegiatan yang menyangkut pemupukan. Pupuk hayati didefenisikan sebagai sebuah komponen yang mengandung mikroba untuk meningkatkan ketersediaan kandungan unsur hara bagi tumbuhan. Aplikasi pupuk hayati menjadi pelengkap yang sangat baik karena selain meningkatkan kesuburan tanah juga memacu pertumbuhan tanaman. Pupuk hayati merupakan substansi yang mengandung mikroorganisme hidup, bila diaplikasikan pada benih, permukaan tanaman atau tanah maka dapat memacu pertumbuhan tanaman tersebut (Vessey 2003). Pupuk Kandang Cair (Urine kelinci) Pupuk kandang cair (urine) dipilih karena selain dapat bekerja cepat, juga mengandung hormon tertentu yang ternyata dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Pupuk kandang dianggap sebagai pupuk lengkap karena selain menimbulkan tersedianya unsur – unsur hara bagi tanaman, juga mengembangkan kehidupan mikroorganisme di dalam tanah yang sangat penting bagi kesuburan tanah (Sutedjo 2008). Lusiana (2005) dalam Prasaja (2011) mengungkapkan bahwa kotoran dan urine kelinci memiliki kandungan unsur N, P, K yang lebih tinggi (2.72%, 1.1%, dan 0,5%) dibandingkan dengan kotoran dan urine ternak lainnya seperti kuda, kerbau, sapi, domba, babi dan ayam. Jadi, jika air kelinci ini dipadukan dengan kotoran kelinci dan dijadikan pupuk maka pupuk ini akan memiliki kandungan kandungan 2,20% Nitrogen, 87% Fosfor , 2,30% Potassium, 36 Sulfur%, 1,26% Kalsium, 40% Magnesium (hasil penelitian Badan Penelitian Ternak / Balitnak).
METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) dan Kebun Percobaan Cikabayan University Farm IPB Darmaga Bogor. Identifikasi mikroba dilakukan di IPB Culture Collection (IPBCC). Analisis hara tanah dan bahan kompos dilakukan di Laboratorium Kesuburan Tanah Departemen ITSL. Analisis klorofil di Laboratorium
9
Molecular Marker Spectrophotometry UV–VIS dan pengamatan stomata di Laboratorium Mikroteknik Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH). Tahapan penelitian ini berlangsung sejak bulan Oktober 2012 sampai dengan Agustus 2013. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah pelepah daun kelapa sawit, kotoran sapi, 1 jenis biodekomposer komersil, media CMC (Carboxy Methyl Cellulose), media TSM (Trichoderma Selective/Specific Agar Media), media PDA (Potato Dectrose Agar), aquades dan urine kelinci. Alat-alat yang digunakan terdiri atas cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, mikroskop, autoklaf, laminar flow, thermometer, thermolyne, jarum ose, lampu bunsen, timbangan, bak pengomposan berupa kotak kayu berventilasi berukuran 0.5m x 0.5m x 1m dan plastik hitam. Metode Percobaan Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama yaitu eksplorasi mikroba yang akan digunakan sebagai biodekomposer. Percobaan kedua pengomposan pelepah daun kelapa sawit. Percobaan ketiga penggunaan kompos yang dihasilkan sebagai amelioran tanaman caisin organik. Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba untuk pembuatan isolat Isolat mikroba perombak selulosa diperoleh dari sampel pelepah daun kelapa sawit yang sedang melapuk di perkebunan sawit Cimulang (Gambar 1 poin B).
A
B
Gambar 1. Tumpukan pelepah daun kelapa sawit PTPN VIII di kebun Cimulang, Bogor (A) pelepah daun kelapa sawit yang sedang melapuk (B) Sampel pelepah daun kelapa sawit tersebut diencerkan dengan cara sebagai berikut : bahan sampel ditimbang sebanyak 10 g kemudian dilarutkan dalam 90 ml larutan fisiologis menggunakan erlenmeyer. Larutan bahan sampel dikocok menggunakan shaker 170 RPM (Rotary Per Minute) selama ± 30 menit. Pengenceran yang dihasilkan disebut pengenceran 10-1. Larutan yang diencerkan selanjutnya
10
disentrifuge menggunakan thermolyne. Hasil pengenceran 10-1 ini diambil 1 ml dan dilarutkan lagi dalam larutan fisiologis 9 ml menggunakan tabung reaksi untuk menghasilkan pengenceran 10-2. Tahap pengenceran dilakukan hingga -4 -3 -4 pengenceran10 . Hasil pengenceran 10 dan 10 diambil 1 ml dan disimpan dalam cawan petri yang sudah disterilisasi. Masing-masing hasil pengenceran tersebut dicampur dengan larutan media CMC dan media TSM sebagai medium seleksi. Pembuatan isolat dilakukan dalam 2 ulangan dari 10 sampel yang digunakan sehingga diperoleh 20 unit cawan media CMC dan 20 unit cawan media TSM. Pemurnian dilakukan dengan cara mengambil bakteri yang menunjukkan gejala perombakan selulose yaitu terbentuknya lingkaran bening di sekeliling bakteri. Bakteri dipindahkan ke cawan petri media CMC dengan menggunakan jarum ose. Pemurnian fungi jenis Trichoderma ditandai dengan warnanya yang kehijauan menggunakan media TSM. Kedua media ini menggunakan metode titik yang dilakukan secara steril dalam laminar flow. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setelah 3 hari. Pemurnian diulang sekali lagi dengan cara yang sama. Setelah pemurnian berhasil dan tidak ada kontaminasi, maka isolat disimpan dalam bentuk media agar miring sebagai stok pada suhu 5oC. Isolat dalam bentuk agar miring ini digunakan juga dalam proses identifikasi yang dilakukan secara molekuler. Isolat diinokulasi pada media PDA untuk mempercepat pertumbuhannya. Inokulum diperbanyak dengan menggunakan media jagung sebagai starter biodekomposer indigenous pada saat pelaksanaan percobaan pengomposan pelepah daun kelapa sawit (Gambar 2 poin C) . Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit Pelepah daun kelapa sawit yang digunakan terlebih dulu dicacah dengan menggunakan mesin chopper (Gambar 2 poin A). Hasil cacahan (Gambar 2 poin B) dimasukkan ke dalam bak pengomposan dengan menambahkan biodekomposer sesuai dengan perlakuan yaitu : Perlakuan 1 : cacahan pelepah daun sawit + kotoran sapi 10 % (B0); Perlakuan 2 : cacahan pelepah daun sawit + kotoran sapi 10 % + biodekomposer komersil (B1); Perlakuan 3 : cacahan pelepah daun sawit + kotoran sapi 10 % + biodekomposer indigenous (B2). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 9 unit satuan percobaan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan 3 taraf perlakuan. Data yang diperoleh diuji dengan Uji F pada taraf 5 %. Apabila terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNJ. Variabel pengamatan yaitu : Suhu, nisbah C/N, derajat kemasaman (pH), penyusutan volume, kondisi fisik bahan kompos dan analisis hara kompos. Pengomposan pelepah daun kelapa sawit dilakukan secara aerobik dengan menggunakan 9 bak pengomposan berukuran 0.5m x 0.5m x 1m (panjang x lebar x tinggi) yang dindingnya terbuat dari bilah bambu yang direnggangkan sehingga memudahkan sirkulasi udara. Masing-masing bak diletakkan di atas permukaan tanah dengan jarak 0.5m untuk memudahkan pengamatan dan sirkulasi udara tetap terjaga baik.
11
Bak pengomposan ditutup plastik untuk menghindari hujan yang berlebih dan sinar matahari langsung (Gambar 2 poin D). Pada sekeliling bak pengomposan dibuat parit agar tidak terjadi genangan pada bagian dasar tumpukan kompos. Suhu formula bahan kompos diukur tiap hari. Proses pembalikan bahan kompos dilakukan tiap minggu pada setiap perlakuan sambil dilakukan pengadukan untuk memperbaiki aerasi tumpukan dan diperoleh bahan kompos yang homogen (Gambar 2 poin F). Selama pengomposan kadar air tumpukan juga dipertahankan 60 % dengan cara penyiraman.
A
B
C
D
E
F
A = mesin pencacah pelepah daun sawit, B = hasil cacahan pelepah daun sawit, C = isolat mikroba indigenous yang diinokulasi ke jagung, D = wadah pengomposan yang ditutup plastik, E = susunan bahan kompos sebelum pembalikan, F = proses pembalikan bahan kompos.
Gambar 2. Proses pencacahan dan pengomposan pelepah daun kelapa sawit
12
Nisbah C/N dan derajat kemasaman (pH) dianalisis setiap 2 minggu dengan mengambil sampel bahan kompos secara komposit. Kondisi fisik bahan kompos diamati secara kualitatif berdasarkan warna, bau, perubahan kondisi fisik pada awal dan akhir pengomposan. Persentase penyusutan volume dihitung berdasarkan rumus : V0 − Vtn Vsn = x 100 % V0 Keterangan : Vsn = Volume susut minggu ke – n (cm3) V0 = Volume awal pengomposan (cm3) Vtn = Volume total minggu ke – n (cm3) Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin Pemberian kompos sebagai amelioran sesuai perlakuan masing-masing. Terdapat 4 perlakuan media yaitu : M0 : media tanah tanpa kompos M1 : media tanah + kompos B0 (tanpa biodekomposer) M2 : media tanah + kompos B1 (dengan biodekomposer indigenous) M3 : media tanah + kompos B2 (dengan biodekomposer komersil) Kompos berasal dari limbah pelepah daun sawit yang sudah dikomposkan dengan menggunakan biodekomposer berbeda yaitu biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil (konsorsia Trichoderma harzianum DT 39 + T. Pseudokoningii DT 39, Aspergillus sp. dan fungi pelapuk putih). Media yang menggunakan kompos sebagai amelioran ditambahkan 50 g kompos per 5 kg tanah / ember. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan 4 taraf perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 12 unit satuan percobaan, masing-masing terdiri atas 5 bibit tanaman. Jadi jumlah bibit seluruhnya ada 60 tanaman. Data yang diperoleh diuji dengan Uji F pada taraf 5 %. Apabila terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNJ. Bibit caisin yang sudah berdaun 3 – 4 helai (3 – 4 minggu setelah benih disemaikan) dipindahkan ke ember (1 tanaman / ember). Kebutuhan air yang digunakan oleh masing-masing perlakuan ditentukan dengan menghitung berat awal tanah yang sudah disiram air sampai mencapai kapasitas lapang. Pengurangan berat pada hari berikutnya diasumsikan sebagai evapotranspirasi yang terjadi pada masingmasing perlakuan. Perawatan dan penyiraman dilakukan setiap hari sesuai kebutuhan tanaman. Penelitian ini tidak menggunakan pupuk anorganik tetapi menggunakan pupuk cair organik yang berasal dari urine kelinci dengan perbandingan urine dan air adalah 1 : 5 yang diaplikasikan setiap minggu pada semua perlakuan. Pengamatan mulai dilakukan pada saat bibit berumur 1 MST. Pengamatan yang dilakukan yaitu pertumbuhan (morfologi) yang meliputi : 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun yang didirikan. 2. Luas daun, diukur secara gravimetri. 3. Jumlah daun, dihitung yang sudah mengembang sempurna.
13
4. Panjang akar, diukur dari leher akar hingga ke ujung akar. 5. Bobot basah tajuk, ditimbang bagian atas tanaman (batang dan daun) pada saat panen. 6. Bobot kering tajuk, ditimbang bagian atas tanaman (batang dan daun) yang telah dioven pada suhu 80 oC selama 2 x 24 jam. 7. Bobot basah akar, ditimbang akar yang sudah dipisahkan dari tajuknya mulai dari leher akar hingga ke ujung akar. 8. Bobot kering akar, ditimbang akar yang yang sudah dipisahkan dari tajuknya mulai dari leher akar hingga ke ujung akar dan telah dioven pada suhu 80 oC selama 2 x 24 jam. Respon fisiologi yang diamati yaitu : 1. Jumlah Stomata, pengamatan dilakukan dengan teknik pengeratan daun lapisan atas dengan menggunakan silet tajam hingga hanya tersisa lapisan lilin (epidermis) di permukaan bagian bawah daun. Jumlah stomata diamati dengan mikroskop pada perbesaran 40 kali. Penghitungan stomata didasarkan pada jumlah stomata yang dapat dihitung pada luas bidang pandang mikroskop. 2. Kerapatan stomata, pengamatan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 10 x 40 dengan luas bidang pandang yang sudah diketahui yaitu 0.19625 mm2 (mikroskop merk olympus). Menggunakan rumus : Kerapatan stomata =
jumlah stomata luas bidang pandang
3. Analisis kandungan klorofil dilakukan berdasarkan metode Sims, DA dan Gamon, JA (2002). Sampel daun ditimbang dengan berat ± 0,02 g. Daun tersebut dihaluskan dan ditambahkan asetris sebanyak 1 ml. Daun yang sudah halus dimasukkan ke dalam microtube 2 ml, mortar dibilas dengan asetris sampai microtube penuh 2 ml. Setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 RPM selama 10 detik. Supernatan diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan asetris 3 ml ke dalam tabung reaksi dan tutup dengan kelereng kemudian divortex. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 470 nm, 537 nm, 647 nm dan 663 nm.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan pelepah daun kelapa sawit menjadi kompos diharapkan dapat meningkatkan sanitasi lingkungan perkebunan sekaligus memanfaatkan kandungan bahan organiknya sebagai bahan pembenah tanah. Sebagai bahan organik, pelepah daun kelapa sawit memiliki komposisi hara 1.67 % N, 0.17 % P, 0.23 % K, 0.83 % Ca dan 0.26 % Mg (hasil analisis Laboratorium Kesuburan Tanah Departemen ITSL IPB 2013).
14
Pada pelepah daun kelapa sawit yang mengalami dekomposisi secara alami terdapat kandungan mikroba yang beragam jenis dan jumlah populasi yang terkandung didalamnya. Hal ini disebabkan oleh tingkat pelapukan yang berbedabeda pula sesuai lama waktu yang diperlukan untuk bisa terdekomposisi sempurna. Semakin aktif kerja mikroba perombak selulosa menunjukkan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba seperti nisbah C/N, suhu, kelembaban, pH. Mikroba akan mati atau tersimpan dalam bentuk spora ketika lingkungan tidak sesuai dengan kebutuhannya. Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba perombak selulosa untuk pembuatan isolat Hasil eksplorasi mikroba perombak selulosa dari 10 titik pengambilan sampel menunjukkan jumlah populasi yang beragam. Isolat mikroba perombak selulosa pada media CMC dihitung berdasarkan metode cawan hitung setelah diinkubasi selama 3 hari disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jumlah koloni mikroba perombak selulosa yang diisolasi dari pelepah daun sawit yang sedang melapuk menggunakan media CMC Populasi mikroba
No. Sampel
(x 10 CFU/g pelepah)
No. Sampel
1 2 3 4 5
38 16.5 19 20.5 10.5
6 7 8 9 10
4
Populasi mikroba (x 104 CFU/g pelepah) 26 58.5 47.5 45.5 39.5
CFU = Colony Forming Unit, g = gram
Adanya perbedaan jumlah kandungan mikroba yang terdapat di dalam masing-masing tumpukan pelepah yang melapuk alami di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan tingkat penguraian dan lamanya proses pelapukan yang sudah terjadi. Tingginya populasi koloni mikroba diperkirakan proses penguraian masih berlangsung secara aktif. Isolat mikroba dilakukan beberapa kali peremajaan yang dikembangkan dari pemurnian isolat dari sampel nomor 7, 8 dan 9 (Tabel 1). Sampel ini dipilih karena menunjukkan populasi mikroba yang lebih banyak dan biakan yang baik. Inokulan fungi jenis Trichoderma dapat diperbanyak dalam bentuk miselium atau spora dalam media PDA (Potato Dectrose Agar) agar didapatkan inokulum yang sehat, aktif, tersedia spora dalam jumlah yang mencukupi dan mampu berproduksi seperti yang diharapkan. Inokulan kemudian diinkubasi pada suhu ruang (sekitar 28 oC) selama 5 hari hingga spora berkembang biak. Stok ini kemudian disimpan dalam pendingin agar pertumbuhan terhenti dan stok ini dapat dipakai sewaktu-waktu untuk pembuatan starter (Setyorini et al. 2006).
15
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa Trichoderma sp pada media PDA lebih cepat pertumbuhannya dibanding media TSM. Adapun media TSM digunakan untuk mendapatkan jenis Trichoderma yang lebih spesifik berasal dari pelapukan pelepah daun sawit. Isolat ini kemudian diinokulasikan dalam media jagung yang telah disterilkan dalam autoklaf (Gambar 2 poin C). Inokulum ini menginokulasi media jagung dengan baik sekitar 5 hari, selanjutnya dapat diaplikasikan setelah 10 hari diinkubasi. Serasah alang-alang atau jagung, bila diaplikasikan ke dalam tanah dapat meningkatkan populasi Trichoderma (Wahyuno et al. 2003). Biodekomposer indigenous berupa media jagung sebagai starter kompos dibandingkan dengan biodekomposer komersil. Hasil isolat fungi yang diperoleh dari media TSM menunjukkan bahwa jumlah koloni yang terdapat pada biodekomposer indigenous lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding biodekomposer komersil. Hal ini menunjukkan bahwa pada biodekomposer indigenous memiliki biakan mikroba yang lebih baik dibanding biodekomposer komersil (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah koloni mikroba perombak selulotik dari biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil Sampel Ulangan Jumlah koloni (x 108 CFU/g)a Biodekomposer indigenous 1 17 2 15 Biodekomposer komersil a
1 2
5 9
) CFU = Colony Forming Unit, g = gram
Hasil identifikasi secara molekuler menunjukkan bahwa mikroba yang ditemukan dari hasil isolasi pelepah daun sawit ini adalah jenis fungi Trichoderma asperellum (Lampiran 1). Fungi ini dulu merupakan jenis T. viride tetapi setelah ditemukan beberapa ciri berbeda sehingga berubah menjadi spesies baru (Samuels et al. 1999; Rasu et al. 2012). Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit Suhu Hasil pengukuran suhu pada timbunan bahan kompos menunjukkan bahwa proses pengomposan berlangsung pada suhu mesofilik atau tahap penghangatan saja (Gambar 3).. Menurut Hirrel dan Rilley (2002) peningkatan suhu pada timbunan bahan kompos dapat terjadi dengan cepat yang berkisar antara 30 – 60 oC yang merupakan suhu optimum dalam pengomposan. Namun pada penelitian pengomposan pelepah daun kelapa sawit ini, kisaran suhu hanya mencapai 34 oC (Gambar 3). Hal ini menyebabkan proses pengomposan tidak mengalami fase thermofilik yang suhunya berkisar antara 45 – 75 oC.
16
............................................. 35 34 33
Suhu oC
32 31 30 29 28 27
26 25 3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
36
39
42
Lama Pengomposan (hari)
Gambar 3 Perubahan rata-rata suhu harian formula kompos pelepah daun kelapa sawit pada penggunaan tanpa biodekomposer (■), biodekomposer komersil (▲) dan biodekomposer indigenous (●) Belum tercapainya suhu thermofilik ini diduga karena rendahnya aktivitas mikroba yang terdapat didalam campuran bahan kompos sehingga suhu yang dihasilkan juga kurang panas. Rendahnya suhu ini menandakan bahwa komposisi bahan kompos belum sesuai dengan kebutuhan mikroba untuk mempercepat proses pengomposan. Hasil penelitian Setiawan (2009) menunjukkan, suhu optimum yang diperoleh pada pengomposan berbagai macam limbah yaitu eceng gondok, limbah pasar dan abaca dengan menambahkan cacing, EM4 dan pupuk kandang sebagai campuran bahan kompos hanya mencapai suhu 33.67 di minggu pertama pengomposan. Rendahnya suhu optimal yang dicapai diduga disebabkan juga oleh kurangnya volume bahan kompos serta tingkat curah hujan yang tinggi sehingga mempengaruhi kelembaban, difusi oksigen ke dalam kompos, suhu di luar kompos rendah yang merupakan faktor pembatas dalam proses pengomposan (Asyerem, 2011). Pada Gambar 3 juga menunjukkan bahwa penurunan aktivitas mikroba secara bertahap diikuti juga dengan penurunan suhu mencapai 28 oC kurang lebih seperti suhu awal sebelum pengomposan. Nisbah C/N Nisbah C/N yang dihasilkan mengalami penurunan selama masa pengomposan. Pada formula kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous memiliki nisbah C/N paling rendah dibanding perlakuan lain namun tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 3).
17
Nisbah C/N suatu bahan organik memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan tersebut didegradasi, tingkat kematangan dan mobilisasi nitrogen yang dikandungnya. Nisbah C/N nyata dipengaruhi oleh waktu dekomposisi, nisbah C/N menurun dengan semakin lamanya waktu dekomposisi. Penurunan C/N ini biasanya sejalan dengan proses perubahan suhu timbunan kompos. Oleh karena suhu pengomposan tidak mencapai tahap thermofilik, maka penurunan nisbah C/N juga berjalan lambat (Tabel 3). Tabel 3 Penurunan nisbah C/N formula kompos pelepah daun sawit Minggu ke – Perlakuan 2 4 6
8
(%) B0 (tanpa biodekomposer) B1 (biodekomposer komersil) B2 (biodekomposer indigenous)
49.92 49.54 50.21
41.50 42.57 42.51
35.88 35.30 35.93
32.29 32.72 28.01
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan berbagai biodekomposer tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap kontrol pada kadar C kompos, karena di dalam ketiga formula bahan kompos mengandung mikroba pengurai yang kemungkinan hampir sama dalam cara kerjanya. Salah satunya adalah mikroba selulotik yang mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa lalu dihidrolisis lagi menjadi D-Glukosa dan difermentasikan menjadi asam laktat, etanol, CO2 dan amonia (Indriani 2003). Meskipun biodekomposer indigenous dapat menurunkan nisbah C/N lebih rendah dibanding perlakuan lainnya, namun tidak berbeda nyata antar perlakuan. Biodekomposer indigenous yang digunakan lebih efektif karena berasal dari biakan mikroba yang berasal dari pelapukan secara alami pelepah daun kelapa sawit itu sendiri. Laju penyusutan volume kompos Persentase total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit yang terjadi selama pengomposan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata antara formula bahan kompos yang menggunakan biodekomposer baik komersil maupun indigenous terhadap kontrol (Tabel 4). Selama proses pengomposan pelepah daun sawit, terjadi perbedaan laju penyusutan antara masing-masing formula bahan kompos. Hal ini dikarenakan perlakuan biodekomposer yang berbeda pula. Tabel 4 menunjukkan bahwa formula kompos yang menggunakan biodekomposer mengalami penyusutan yang lebih besar dibanding kontrol (tanpa penggunaan biodekomposer). Namun antara biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil tidak memperlihatkan perbedaan nyata. Diduga bahwa dengan penambahan biodekomposer akan meningkatkan jumlah mikroba yang bertugas mendekomposisi formula bahan organik yang dikomposkan sehingga laju penyusutan bahan kompos pun meningkat.
18
Tabel 4 Total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit Perlakuan
2
B0 (tanpa biodekomposer) B1 (biodekomposer komersil) B2 (biodekomposer indigenous)
18.43b 22.60a 24.07a
Minggu ke – 4 6 (%) 27.43b 35.27b 32.93a 39.30a 34.03a 40.53a
8 38.40ba 45.07a 46.23a
a
) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %
Laju penyusutan volume kompos pelepah daun sawit selama pengomposan memperlihatkan hasil penyusutan tertinggi terjadi pada awal pengomposan yaitu 2 minggu setelah aplikasi (Gambar 4).
% Volume Kompos
100 80 60 40 20 0
01
2
64
43
85
Waktu Pengamatan (MSA) Tanpa Biodekomposer
Biodekomposer komersil
Biodekomposer Indigenous
MSA = minggu setelah aplikasi
Gambar 4
Sisa volume kompos pelepah daun kelapa sawit selama masa pengomposan (%)
Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa penyusutan tertinggi terjadi pada 2 MSA karena aktivitas mikroba juga masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan berjalan aktif dan bahan organik mampu diuraikan dengan baik. Sebaliknya pada 8 MSA penyusutan semakin kecil dibanding penyusutan yang terjadi di minggu-minggu sebelumnya. Namun dari pengamatan hasil penyusutan bahan kompos menunjukkan, penggunaan biodekomposer indigenous dapat menggantikan fungsi biodekomposer komersil ditunjukan dari pencapaian total penyusutan volume kompos yang tidak berbeda nyata antara keduanya.
19
Seiring dengan lamanya waktu pengomposan yang dibutuhkan, maka tingkat penyusutan bahan kompos yang terjadi semakin kecil karena bahan organik yang bisa didekomposisi juga semakin berkurang. Hal ini juga berdampak pada suhu pengomposan yang semakin menurun menunjukkan aktivitas mikroba yang juga makin berkurang. Adanya korelasi antara suhu dengan penyusutan bahan kompos menyebabkan laju penyusutan bahan kompos yang cepat ketika mencapai suhu optimum. Demikian juga dengan nisbah C/N yang semakin menurun setiap minggu diikuti dengan penyusutan bahan kompos karena semakin banyak bahan C organik yang dirombak oleh mikroba. Kondisi fisik bahan kompos Hasil pengamatan kondisi fisik bahan kompos yang dilakukan secara visual menunjukkan perubahan warna dari coklat terang dengan tekstur kasar yang masih jelas berbentuk cacahan pelepah daun, berbau khas cacahan daun dan kotoran sapi, dipegang terasa hangat di awal pengomposan mengalami perubahan setelah mengalami proses dekomposisi setelah 8 MST (Tabel 5). Tabel 5 Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan Perlakuan B0 (tanpa biodekomposer)
B1 (biodekomposer komersil)
B2 (biodekomposer indigenous)
Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan Berbentuk cacahan sedikit kasar, berwarna coklat tua, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah Berbentuk cacahan lebih halus, berwarna coklat gelap, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah Berbentuk cacahan lebih halus dan remah, berwarna coklat kehitam-hitaman, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah
Pada awal pengomposan tekstur bahan kompos terlihat masih berupa serasah yang kering berwarna coklat terang dengan tingkat kelembaban rendah karena mengalami penguapan yang cepat. Setelah mengalami pengadukan, berangsurangsur tekstur bahan kompos berubah menjadi lebih remah karena sudah mulai terjadi proses dekomposisi dengan warna coklat gelap dan berangsur menjadi berwarna coklat kehitaman. Senyawa polifenol yang dihasilkan pada proses pengomposan senyawa lignoselulosa menjadi kuinon. Kuinon selanjutnya bereaksi dengan senyawa amino membentuk asam fulvik yang berwarna gelap (hitam) (MAF 1998). Salah satu indikasi tingkat kematangan kompos adalah dengan perubahan warna menjadi coklat kehitaman menyerupai tanah. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya senyawa humik pada proses pengomposan. Pernyataan Setyorini (2006) dan Asyerem (2011) bahwa kompos yang berwarna kehitaman mengandung senyawa humus seperti asam humik, asam fulvik dan hematomalanik yang lebih banyak. Perubahan tekstur bahan kompos menjadi lebih remah dan hancur juga mengakibatkan perubahan warna menjadi coklat kehitaman.
20
Pada campuran bahan kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous menunjukkan adanya kehidupan organisme lain seperti ditunjukan dari adanya hifa berwarna putih dari jenis fungi dan cacing (Gambar 5).
A
B
C
Gambar 5 Perubahan struktur dan warna yang terjadi dan hadirnya organisme lain (A) hifa dari jenis fungi, (B) dan (C) cacing pada formula bahan kompos dengan biodekomposer indigenous Derajat kemasaman (pH) Derajat kemasaman (pH) formula bahan kompos hanya berbeda di minggu ke2 setelah aplikasi pada biodekomposer komersil dan biodekomposer indigenous tetapi tidak berbeda nyata terhadap kontrol (Tabel 6). Tabel 6 Rata-rata pH formula kompos pelepah daun sawit
Perlakuan 2 6.77ab a B0 (tanpa biodekomposer) B1 (biodekomposer komersil) 6.70b B2 (biodekomposer indigenous) 6.83a
Minggu ke – 4 6 6.93 7.17 6.93 7.27 7.03 7.33
8 6.93 7.07 7.07
a
) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %
Perubahan nilai pH juga menunjukkan adanya aktivitas pengomposan (Tabel 6). Perubahan pH selama proses pengomposan menunjukkan bahwa di awal pengomposan yang dilakukan secara aerobik, pH lebih rendah karena masih dihasilkan asam-asam organik sederhana melalui proses nitrifikasi dari hasil penguraian bahan organik secara intensif yang dilakukan oleh mikroba seiring dengan peningkatan suhu (Nurisamunandar 1999; Asyerem 2011; Ningsih et al. 2013). Nilai pH secara perlahan kembali meningkat seiring dengan penurunan nisbah C/N dan perubahan asam-asam organik sederhana lebih lanjut diubah menjadi CO2
21
dan bebasnya asam amoniak sebagai akibat dari proses mineralisasi yaitu mikroorganisme mulai melepaskan unsur hara. Namun perubahan pH ini tidak signifikan karena perubahan suhu yang mempunyai rentang yang sangat pendek menjadikan kisaran pH pengomposan masih berada dalam kisaran normal (Tabel 6). Nilai pH yang diperoleh pada akhir pengomposan pelepah daun kelapa sawit ini masih sesuai SNI kompos 19-7030-2004 yaitu 6.80 – 7.49 dimana cukup ideal dalam menunjang pertumbuhan tanaman caisin ketika diaplikasikan sebagai tambahan bahan organik pada media tanam. Analisis hara kompos Hasil analisis hara kompos yang dilakukan pada 8 minggu setelah aplikasi menunjukkan bahwa penggunaan biodekomposer indigenous pada pembuatan kompos pelepah daun kelapa sawit menghasilkan kompos yang mutunya lebih baik dibandingkan biodekomposer komersil dan tanpa biodekomposer (Tabel 7). Tabel 7 Analisis hara kompos pelepah daun sawit 8 MSA Kompos pelepah daun sawit B0 (tanpa biodekomposer) B1 (biodekomposer komersil) B2 (biodekomposer indigenous) SNI kompos Min : Max : 19-7030-2004 Suriadikarta dan Setyorini (2006)a
C N P K C/N ............. .............. .....(%)..... ............. ................. 40.46 1.27 0.17 0.23 32.29 41.86 1.28 0.18 0.27 32.72 40.06 1.43 0.20 0.29 28.01
6.97 7.03 7.17
9.8 32 ≥12
0.4 ~
pH
0.1 ~
0.2 *
10 – 20 -
6.8 7.49
˂5
˂5
20-25
6.8-7.9
Keterangan : (~) tak terhingga, (*) lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari maksimum, (a) Balai Besar litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
Diduga unsur-unsur hara makro pada pupuk kandang yang ditambahkan dalam proses pengomposan hanya sebagian saja yang dipergunakan oleh bakteri pengurai. Sisa unsur makro yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri tetap bercampur pada kompos yang dihasilkan, yang selanjutnya berfungsi juga sebagai penambah unsur hara makro dalam kompos yang dihasilkan. Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin Respon tanaman caisin terhadap penggunaan kompos pelepah daun kelapa sawit dengan menggunaan biodekomposer berbeda memperlihatkan hasil beragam pada peubah tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun (Tabel 8). Pada peubah tinggi tanaman tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan. Penggunaan kompos dengan biodekomposer indigenous memperlihatkan hasil lebih baik dibanding kompos tanpa biodekomposer dan media tanpa kompos (kontrol) pada peubah jumlah daun. Meskipun demikian, antara kompos biodekomposer indigenous dan kompos
22
biodekomposer komersil tidak menunjukkan perbedaan nyata. Sebaliknya pada peubah luas daun perlakuan kompos biodekomposer komersil hasilnya tidak berbeda nyata dengan kompos tanpa biodekomposer dan kontrol. Namun media kompos biodekomposer indigenous tetap menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan media kompos biodekomposer komersil dan media tanpa kompos (kontrol) seperti yang tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 Tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun tanaman caisin pada 5 minggu setelah tanam Tinggi tanaman Jumlah daun Luas daun Perlakuan (cm) (helai) (cm2) Tanpa kompos (kontrol) 23.01 8.8c 59.39b Kompos tanpa biodekomposer 24.09 9.9b 64.98ab Kompos biodekomposer komersil 25.05 10.3ab 52.78b Kompos biodekomposer indigenous 32.38 10.8a 90.40a a
) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %
Hasil pengamatan jumlah daun caisin menunjukkan bahwa penambahan kompos dengan biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil berbeda nyata dengan kontrol (tanpa kompos). Namun kontrol tidak berbeda nyata dengan kompos yang tanpa biodekomposer (Tabel 8). Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi tanah dengan menggunakan kompos lebih mampu menyediakan air di daerah perakaran sedangkan pada perlakuan kontrol yang tidak menggunakan kompos air akan terus bergerak ke bawah mengisi pori-pori tanah sehingga hal ini menyebabkan perbedaan pertambahan jumlah daun caisin. Luas daun 5 MST pada perlakuan kompos biodekomposer indigenous berbeda nyata dengan kompos biodekomposer komersil dan kontrol tetapi tidak berbeda nyata dengan kompos tanpa biodekomposer (Tabel 8). Permukaan daun caisin yang luas diharapkan proses fotosintesis tanaman juga lebih maksimal karena jumlah stomata daun yang juga lebih banyak (Gardner et al. 1991). Adanya perbedaan nyata luas daun yang terdapat pada perlakuan kompos biodekomposer indigenous dengan kompos biodekomposer komersil 5 MST menunjukkan bahwa dengan penggunaan kompos biodekomposer indigenous mampu menggantikan dan memberikan hasil lebih baik dibanding kompos biodekomposer komersil. Hal ini disebabkan oleh hasil yang sama antara perlakuan kompos biodekomposer komersil dengan kontrol (Tabel 8). Kandungan klorofil daun yang merupakan faktor internal, turut mempengaruhi laju fotosintesis daun (Tabel 9). Mikroba yang terdapat dalam biodekomposer yang digunakan dalam proses pengomposan diduga sudah mengalami proses mineralisasi yaitu suatu proses ketika mikroorganisme mulai melepaskan unsur hara sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pelepasan N dari bahan organik yang telah melapuk tersebut ke dalam tanah. Rendahnya C/N pada kompos dengan biodekomposer indigenous juga menyebabkan N lebih cepat tersedia. C/N yang
23
masih tinggi mengakibatkan immobilisasi yaitu suatu proses dimana mikroorganisme pengurai bahan organik masih memanfaatkan unsur hara untuk aktivitas hidupnya. Hasil analisis kandungan klorofil memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 9 dan Gambar 6). Demikian pula halnya hasil pengamatan jumlah stomata dan kerapatan stomata daun (Tabel 9). Tabel 9 Kandungan klorofil, jumlah stomata dan kerapatan stomata daun Kandungan Jumlah Kerapatan Perlakuan klorofil Stomata stomata 2 (mg/g) (u/mm ) (u/mm2) Tanpa kompos (Kontrol) 1.90 102.33 521.44 Kompos tanpa biodekomposer 1.77 102.00 519.75 Kompos biodekomposer komersil 2.00 106.67 543.52 Kompos biodekomposer indigenous 2.05 110.33 562.21 Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 10 x 40 dengan luas bidang pandang yang sudah diketahui yaitu 0.19625 mm2 menunjukkan bahwa jumlah dan kerapatan stomata yang diamati dari keempat perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (uji BNJ). Begitu juga dengan kandungan klorofilnya (Tabel 9). 2.500
2.000 1.500 1.000 0.500 0.000
Klorofil a (mg/g)
Klorofil b (mg/g)
Antosianin (µmol/g)
Karoten (mg/g)
Total klorofil (mg/g)
Tanpa kompos (kontrol)
Kompos tanpa biodekomposer
Kompos biodekomposer komersil
Kompos biodekomposer indigenous
Gambar 6 Kandungan klorofil masing perlakuan
yang terdapat pada daun caisin untuk masing-
Daun yang memiliki kandungan klorofil tinggi diharapkan lebih efisien dalam menangkap cahaya matahari untuk fotosintesis (Gardner et al. 1991, Sulistyaningsih
24
2005). Walaupun tidak memperlihatkan perbedaan nyata tetapi dari luas daun bisa menunjukkan total kandungan klorofil pada tanaman caisin antar perlakuan. Pada Gambar 6 menunjukkan adanya perbedaan kandungan klrorofil yang lebih tinggi pada perlakuan kompos dengan biodekomposer indigenous dibandingkan dengan perlakuan lain. Walaupun secara sidik ragam tidak berbeda nyata dimungkinkan karena umur panen tanaman caisin yang cukup singkat. Diduga hal ini bisa memberi peran pada peningkatan kandungan klorofil pada tanaman yang masa panennya lebih lama dibanding caisin. Bobot Tajuk, Bobot Akar dan Panjang Akar Hasil pengamatan bobot tajuk menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous dan kompos tanpa biodekomposer terhadap kontrol pada pengamatan bobot basah tajuk. Pada pengamatan bobot kering tajuk, perbedaan nyata terjadi pada kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous terhadap kontrol sedangkan terhadap perlakuan lainnya tidak berbeda nyata. Pada peubah bobot basah akar, bobot kering akar dan panjang akar tidak menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan (Tabel 10). Tabel 10 Bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar, bobot kering akar dan panjang akar tanaman caisin umur 5 minggu setelah tanam bobot bobot bobot bobot basah kering basah kering panjang Perlakuan tajuk tajuk akar akar akar (g) (g) (g) (g) (cm) Tanpa kompos (kontrol) 10.76b 0.87b a 0.30 0.07 9.64 Kompos tanpa biodekomposer 18.65a 1.38ab 0.32 0.09 11.71 Kompos biodekomposer komersil 16.49ab 1.10ab 0.34 0.10 9.89 Kompos biodekomposer indigenous 19.80a 1.90a 0.35 0.12 13.04 a
) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (Uji BNJ), MST = minggu setelah tanam
Hasil pengamatan bobot tajuk, bobot akar dan panjang akar menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous dan kompos tanpa biodekomposer terhadap kontrol pada pengamatan bobot basah tajuk. Pada pengamatan bobot kering tajuk, perbedaan nyata terjadi pada kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous terhadap kontrol sedangkan terhadap perlakuan lainnya tidak berbeda nyata (Tabel 10). Hal ini diduga bahwa serapan hara tanaman yang terjadi pada kompos dengan biodekomposer indigenous lebih efisien dibanding perlakuan lainnya. Seperti dinyatakan Purwani (2011) bahwa efisiensi pemanfaatan unsur hara oleh tanaman ditentukan oleh gabungan antara tanggap tanah dan tanaman terhadap serapan hara.
25
PEMBAHASAN UMUM Upaya mempercepat dan memaksimalkan pengomposan limbah pelepah daun sawit bisa meminimalkan material organik yang terangkut dari lahan pada saat panen. Pangkasan daun bahkan bisa dikembalikan lagi ke lahan tersebut dalam bentuk bahan siap pakai untuk menjaga stabilitas bahan organik tanah setelah melalui proses dekomposisi oleh mikroba. Hal ini perlu diperhatikan agar produktivitas lahan dan produksi tanaman tetap terjaga secara berkesinambungan. Eksplorasi mikroba bertujuan untuk mencari mikroba perombak selulosa yang akan digunakan kembali sebagai aktivator pada pengomposan pelepah daun sawit. Isolasi dilakukan berdasarkan intensitas pengenceran, bertujuan agar sel-sel mikroba lebih terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga lebih mudah untuk melakukan isolasi (Ruel dan Barnoud 1985; Away dan Goenadi 1995). Hasil yang diperoleh melalui cara pengenceran juga lebih akurat, terutama dalam hal kemurniannya (Gusmailina 2005). Mikroba dibiakan dalam media CMC (Carboxy Methyl Cellulose) untuk melihat adanya bakteri selulotik dan media TSM (Trichoderma Selective/Specific Agar Media) untuk mendapatkan jenis Trichoderma yang digunakan sebagai isolat biodekomposer indigenous. Meskipun sebelumnya pada tahap awal pembuatan biodekomposer indigenous, telah diperoleh hasil biakan mikroba yang jumlah koloninya dua kali lipat lebih banyak dibanding dengan yang terkandung dalam biodekomposer komersil namun ternyata hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan proses pengomposan pada perlakuan biodekomposer komersil dan tanpa biodekomposer (kontrol). Hal ini diduga karena komposisi bahan kompos yang belum sesuai dengan kebutuhan mikroba yang terkandung di dalamnya. Isroi (2004) juga menyatakan bahwa membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses tersebut meliputi pembuatan campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Proses pengomposan bahan organik seperti pelepah daun sawit yang memiliki kandungan lignin yang tinggi, membutuhkan waktu yang lebih lama sampai bahanbahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman (Landau 2002). Bahan yang mengandung lignin menjadi penghalang akses enzim selulotik pada degradasi bahan organik yang berlignoselulosa dan dapat menghambat proses dekomposisi. Formulasi mikroba dalam bentuk starter yang tepat dimungkinkan akan lebih mempermudah proses dekomposisi ini. Terlebih lagi mikroba yang digunakan sebelumnya berada dalam kondisi inaktif. Kompos pelepah daun sawit yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulotik unggul, tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai pengendali hayati penyakit tanaman atau dikenal sebagai kompos bioaktif. Mikroba yang digunakan sebagai biodekomposer tersebut akan tetap hidup dan aktif di dalam kompos sehingga ketika diberikan ke tanah, dapat berasosiasi mengendalikan organisme penyebab penyakit tanaman. Selain itu juga dapat membantu dalam penyerapan unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman (Isroi 2004; Bonanomi et al. 2007; Asyerem 2011; Purwani
26
2011). Masto et al. (2007) juga menyatakan bahwa tidak semua hara dapat tersedia bagi tanaman karena sebagian besar hara terikat pada proses-proses kimia di dalam tanah. Ketersediaan hara tertentu yang berlebihan juga akan mempengaruhi hara lainnya. Trichoderma spp dapat membentuk simbiosis mutualisme dengan tanaman karena kemampuan strain Trichoderma untuk berkembang biak dan fungsinya dalam mengontrol patogen akar (Harman et al. 2004; Hohmann et al. 2011). Bio inokulan yang efektif tidak hanya pada patogen akar yang menyerang secara langsung tetapi juga bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dan memberi kekuatan melalui berbagai mekanisme seperti mobilisasi hara dan menginduksi inang pertahanan (Vinale et al. 2008; Hohmann et al. 2011). Kualitas tanah menjadi penentu kesuburan sehingga tanah lebih produktif dan selanjutnya memberi efek bagi ekosistem tanah, sementara kesuburan tanah tergantung pada kandungan bahan organik dan anorganik (Tisdale dan Nelson 1975). Diduga, unsur-unsur hara makro pada pupuk kandang yang ditambahkan dalam proses pengomposan, hanya sebagian saja yang dipergunakan oleh bakteri pengurai. Sisa unsur makro yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri tetap bercampur pada kompos yang dihasilkan, yang selanjutnya berfungsi juga sebagai penambah unsur hara makro dalam kompos yang dihasilkan, sehingga pada hasil analisis kimia kompos yang telah matang, kandungan unsur makronya paling tinggi. Kompos pelepah daun kelapa sawit dihasilkan melalui proses pengomposan secara aerobik yaitu menggunakan oksigen sehingga dalam pembuatannya memperhatikan sistem aerasi dalam bahan dan wadah kompos. Aerasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CO2, CH4, N2O dan NH3 dari proses pengomposan. Berdasarkan percobaan Chowdhury et al. (2014) hilangnya C kumulatif dari emisi CO2 berkisar 11.4 – 22.5% dan CH4 berkisar 0.004 – 0.2% dari total karbon awal, sementara N yang hilang sebagai emisi terdiri 0.05 – 0.1% N2O dan 0.8 – 26.5% NH3 dari total nitrogen awal. Pada percobaan Jiang et al. (2011) hilangnya C dalam bentuk CO2 sekitar 23.9% - 45.6% dan CH4 sebesar 0.8 – 7.5% dari total karbon organik. Umumnya nitrogen yang hilang dalam bentuk NH3 berkisar 9.6 – 32.4% nitrogen awal. Salah satu pendekatan untuk mengetahui jumlah klorofil daun adalah dengan mengukur tingkat kehijauan daun. Daun yang lebih hijau diduga memiliki kandungan klorofil yang tinggi. Daun merupakan organ utama tempat berlangsungnya fotosintesis. Kedudukan batang caisin pada poros utamanya menyebar secara merata. Oleh karena itu jumlah daun yang optimum memungkinkan distribusi (pembagian) cahaya antar daun lebih merata. Distribusi cahaya yang lebih merata antar daun mengurangi kejadian saling menaungi antar daun sehingga masing-masing daun dapat bekerja sebagaimana mestinya. Pada penelitian Sulistyaningsih et al. (2005) perlakuan penyungkupan dan warna sungkup tidak mempengaruhi tingkat kehijauan daun. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan hara yang terdapat pada media tanam bisa mempengaruhi kandungan klorofil tanaman dibandingkan dengan perlakuan penyungkupan. Pupuk nitrogen berperan penting terhadap pembentukan klorofil, kekurangan pupuk nitrogen akan menyebabkan daun menjadi kuning dan mati. Selain itu dengan
27
tersedianya unsur nitrogen yang banyak, maka klorofil yang terbentuk akan semakin tinggi karena klorofil berfungsi penting dalam proses fotosintesis. Penambahan unsur hara media tanam dilakukan melalui pemberian urine kelinci setiap minggu. Air kencing kelinci merupakan cairan yang mampu memberikan suplai nitrogen yang cukup tinggi bagi tanaman, hal ini disebabkan oleh tingginya kadar nitrogen yang terdapat didalamnya. Urine kelinci mengandung unsur 0.14 % N, 0.50 % P, 3.50 % K, 0.02 % Ca, dan 0.35 % Mg (hasil analisis laboratorium Kesuburan Tanah Departemen ITSL IPB 2013). Unsur nitrogen sangat penting bagi tanaman caisin karena merupakan sayuran daun yang dipanen sebelum fase generatif, sehingga pertumbuhan daun yang banyak dan berwarna hijau akan memberikan hasil yang lebih baik. Sejalan dengan pernyataan Sugito dan Tugeno (1999) adanya unsur nitrogen yang cukup, akan menambah pertumbuhan daun, jumlah unsur nitrogen yang tinggi mempercepat pengubahan karbohidrat menjadi protein yang kemudian diubah menjadi protoplasma. Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmiati et al. (2003) yang menyatakan bahwa nitrogen dibutuhkan oleh tanaman untuk membentuk protein, sehingga dengan tercukupinya kebutuhan nitrogen bagi tanaman jumlah protein yang terbentuk semakin banyak dan akan menambah jumlah protoplasma pada sel tanaman dan akhirnya akan menambah lebar daun yang kaya akan klorofil. Pemberian bahan organik selain dapat memperbaiki sifat kimia tanah, juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Pemberian bahan organik memantapkan agregat tanah terhadap penghancuran oleh air, meningkatkan kemampuan tanah menahan air, meningkatkan permeabilitas tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation, mengurangi pengaruh buruk Fe2+ dan Al3+, meningkatkan pH dan hasil dekomposisinya meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P, K dalam tanah (Tisdale dan Nelson 1975; Haynes dan Mokolobate 2001; Saidy et al. 2003; Koesrini dan William 2006).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Hasil eksplorasi dari pelepah daun kelapa sawit lapuk diketahui bahwa mikroba yang digunakan sebagai biodekomposer indigenous teridentifikasi dari jenis fungi Trichoderma asperellum. 2. Laju pengomposan oleh biodekomposer indigenous lebih tinggi dibanding biodekomposer komersil sampai 8 MSA. 3. Penggunaan kompos dengan biodekomposer indigenous memberi hasil yang lebih baik dibanding biodekomposer komersil pada peubah luas daun. Sementara jumlah daun, bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk tanaman caisin pada 5 minggu setelah tanam tidak berbeda nyata sehingga penggunaan biodekomposer indigenous bisa menggantikan biodekomposer komersil.
28
Saran Perlu adanya penambahan volume kompos minimal 1 m3 untuk meningkatkan aktivitas mikroba sehingga bisa mencapai suhu thermofilik. Selain itu pengamatan sebaiknya dilakukan lebih lama sampai kondisi kompos sesuai SNI.
DAFTAR PUSTAKA Asyerem FSJ. 2011. Pemanfaatan agen hayati Trichoderma spp. Dan bakteri selulotik untuk pengomposan Ageratum conyzoides var hirtum (Lam), Tithonia diversifolia (Hamsley) A. gay dan ampas sagu sebagai pupuk organik pada cabai merah (Capsicum annuum L) [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Away Y, Goenadi DH. 1995. Isolasi dan seleksi fungi pelapuk putih dari tandan kosong kelapa sawit. Menara Perkebunan. Jurnal Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Tahun ke 63 No. 3. Bogor (ID). Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Basuki T. 1994. Biopulping, biobleaching dan biodegradasi limbah industri pulp kertas oleh jamur Basidiomycetes phanerochaete chrysosporium. Laporan Penelitian PAU. Bioteknologi. Bandung (ID). Institut Teknologi Bandung. Blanchette RA, Burnes TA, Leatham GF, Effland MJ. 1988. Selection of White Root Fungi for Biopulping. Biomass 15 : 93 – 101. Bonanomi G, Antignani V, Pane C, Scala F. 2007. Suppression of soilborne fungal desease with organic amandments. J. Plant Pathol; 89(3): 311-324. Chowdhury MA, Neergaard A, Jensen LS. 2014. Potential of aeration flow rate and bio-char addition to reduce greenhouse and ammonia emissions during manure composting. Chemosphere. Vol. 97 : 16-25. [Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia 2011-2012 : Kelapa Sawit. Jakarta (ID). Direktorat Jenderal Perkebunan. Elhassan GA, Abdelgani ME, Osman AG, Mohammed SS, Abdelqadir S. 2010. Potential Production and Application of Biofertilizers in Sudan, Pakistan Journal of Nutrition 9(9) : 926-934. Eriksson KEL, Blanchette RA, Ander P. 1990. Microbial and enzymatic degradation of wood and wood components. Springer Verlag Heilddeberg. New York. Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Physiology of Crop Plants (Fisiologi Tanaman Budidaya, alih bahasa oleh Susilo H). Universitas Indonesia Press. Jakarta. (ID). Gusmailina. 2005. Isolasi dan Seleksi Mikroba Potensial sebagai Aktivator Pengomposan untuk Mendekomposisi Limbah Kulit Acacia mangium [Internet]. [diunduh 2012 Februari 19] Tersedia pada : http://www.forda-mof.org/files /GUSMAILINA ISOLASI%20.pdf. Hakim. 2007. Kelapa Sawit, Teknis Agronomis dan Manajemennya. Jakarta (ID). Lembaga Pupuk Indonesia.
29
Handrech KA, Black ND. 1984. Growing Media for Ornamental Plants and Turf. Sydney (AU) New South Wales University Press. Harman GE, Howell CR, Viterbo A, Chet I, Lorito M. 2004. Trichoderma species – opportunistic, avirulent plant symbionts. Nature Reviews Microbiology 2 : 43 – 56. Haynes RJ, Mokolobate. 2001. Amelioration of Al toxicity and P deficiency in acid soils by additions of organic residue: a critical review at the phenomenon and the mechanisms involved. Nutrient Cycling in Agroecosystems 59:47-63. Higuchi T. 1985. Biosynthesis and Biodegradation of Wood Components. New York (US) Academic Press, Inc. Hirrel SS, Riley T. 2002. Understanding The Composting process [Internet]. [Diunduh 2011 Feb 25]. Arkansas (US) : University of Arkansas. 4 hlm. Tersedia pada : http://www.uaex.edu/other_areas/publications/pdf/fsa-6036.pdf Hohmann P, Jones EE, Hill RA, Stewart A. 2011. Understanding Trichoderma in the root system of Pinus Radiata : associations between rhizosphere colonisation and growth promotion for commercially grown seedlings. British Mycological Society. Fungal Biology 115 (2011) 759 – 767. Indriani YH. 2003. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta (ID) PT. Penebar Swadaya. Isroi 2004. Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik [Internet]. [Diunduh 2013 Oktober 31]. Tersedia pada : http://www.litbang.deptan.go.id/artikel /one/89/pdf/ Bioteknologi%2520Mikroba%2520untuk%2520Pertanian%2520Organik.pdf. Jiang T, Schuchardt F, Li G, Guo R, Zhao Y. 2011. Effect of C/N ratio, aeration rate and moisture content on ammonia and greenhouse gas emission during the composting. Journal of Environmental Sciences. Vol. 23. Pages 1754 – 1760. Kirk TK, Shimada M. 1984. Lignin Biodegradation: The Micro Organisme Involved And The Physiology and Biochemistry of Degradation by White Rot Fungi. New York (US) Academic Press, Inc. Koesrini, William, E. 2006. Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap pertumbuhan dan hasil cabai merah (Capsicum annum L.) di lahan sulfat masam. Bul. Agron. (34) (3) 153 – 159. Landau JK. 2002. Penyediaan bibit unggul dalam proses pembuatan kompos. Workshop Bidang Mikrobiologi. [2001 Oktober 29]. Bogor (ID) : LIPI. Hlm 1 – 16. Lubis AU. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis quineensis Jack) di Indonesia. Pematang Siantar (ID). Pusat Perkebunan Marihat. Prasaja H. 2011. Air kencing kelinci : cairan ajaib untuk pertanian. [Internet].[Diunduh 2012 Oktober 2013]. Tersedia pada http://www.spi.or.id/?p=3350. [MAF] Ministry of Agriculture and Food. 1998. British Columbia Agricultural Composting Handbook. 2nd ed [Internet]. [Diunduh 2011 Des 13]. Canada (Ca) : Agassiz. 62 hlm. Tersedia pada : http://www.agf.gov.bc.ca /resmgmt/publist/300Series/382500-0.pdf.
30
Masto RE, Chhonkar PK, Singh D, Patra AK. 2007. Soil quality response to longterm nutrient and crop management on a semi-arid Inceptisols. Agri. Ecost. and Env. 118 : 130-142. Mohammad N, Alam MZ, Kabbashi NA, Ahsan A. 2012. Effective composting of oil palm industrial waste by filamentous fungi : A review. Resources, Conservation and Recycling 58 : 69– 78 Molla AH, Fakhrul-Razi A, Abd-Aziz S, Hanafi MM, Roychoudhury PK, Alam MZ. 2002. A potential resource for bioconversion of domestic wastewater sludge. Bioresource Technology. Volume 85 : 263–272. http://dx.doi.org/10.1016/S09608524(02)00117-7. Mukhlis 1990. Pemanfaatan Abu Janjang Kelapa Sawit sebagai Pengganti Kapur. [Tesis] Medan (ID) : Universitas Sumatera Utara. Ningsih RZ, Fitrihidajati H, Rahayu YS. 2013. Pengaruh penambahan daun lamtoro terhadap kualitas kompos kertas-lamtoro dan pemanfaatannya terhadap pertumbuhan tanaman bayam merah. [Internet]. [Diunduh 2012 Maret 20]; Tersedia pada http://ejournal .unesa.ac.id/index.php/lenterabio. Lentera Bio 2(1):149-154. Nurisamunandar A. 1999. Pengomposan limbah ampas sagu (Metroxylon sago Rottb.) dengan aktivator dan waktu pengomposan yang berbeda, pengaruhnya terhadap pertumbuhan selada (Lactuca sativa) [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Nurshanti DF. 2009. Pengaruh pemberian pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sawi caisin (Brassica juncea L.). Baturaja (ID) : Agronobis Vol. 1 No. 1 Maret 2009. Pahan I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Bogor (ID) : Penebar Swadaya. Pangaribuan D, Pujisiswanto H. 2008. Pemanfaatan Kompos Jerami untuk Meningkatkan Produksi dan Kualitas Buah Tomat. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II. Bandar Lampung, 17 – 18 Nopember 2008. Bandar Lampung : Universitas Lampung. Hlm. 1 – 10. [PPHP] Pusat Pengolahan Hasil Pertanian 2006. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit. Subdit Pengelolaan Lingkungan. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. Jakarta (ID) : Ditjen PPHP Departemen Pertanian. Purwani J. 2011. Pemanfaatan limbah sebagai pupuk dan fungisida organik untuk bibit lada (Piper nigrum L.) [Tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Rakhmiati, Yatmin, Fahrurrozi. 2003. Respon tanaman sawi terhadap proporsi dan takaran pemberian N. Jurnal Wacana Pertanian Vol. III. Hal 119-121. Bandar Lampung. Rasu T, Sevugapperumal N, Thiruvengadam R, Ramasamy S. 2012. Trichoderma asperellum, identified as a novel fungal biocontrol agent for the control of plant pathogen. International Conference on Bioscience, Biotechnology and Healthcare Science (ICBBHS) December 14 – 15. Singapore. Risza S. 2010. Masa Depan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Yogyakarta (ID) : Penerbit Kanisius.
31
Ruel K, Barnoud F. 1985. Degradaton of Wood by Microorganisms. In T. Higuchi (ed). Byosynthetic and Biodefradation Wood Component. Academic Press, New York. Saidy AR, Arifin, Londong P. 2003. Respon tanaman jagung terhadap pemberian kotoran ayam: pengaruh sifat kimia tanah. Agroscientiae 10(1):33-43. Samuels GJ, Lieckfeldt E, Nirenberg HI. 1999. Trichoderma asperellum, a new species with warted conidia, and redescription of T. viridae. Sydowia 51(1) : 71 : 88. Saraswati R, Santosa E, Yuniarti E. 2006. Organisme Perombak Bahan Organik. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DDA, Hartatik W, editor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor (ID). Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Setiawan E. 2009. Pengaruh empat macam pupuk organik terhadap pertumbuhan sawi (Brassica juncea L.). Embryo Vol. 6 No.1 Hal. 27-34. Setyorini D, Saraswati R, Anwar EK. 2006. Kompos. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DDA, Hartatik W, editor. Bogor (ID) : Balai Besar Litbang Sumber daya Lahan Pertanian. Bogor (ID). Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Simanungkalit RDM. 2001. Aplikasi Pupuk Hayati dan Pupuk Kimia : Suatu Pendekatan Terpadu. Bul. Agrobiol 4:56 – 61. Simamora S, Salundik. 2006. Jakarta (ID).
Meningkatkan Kualitas Kompos. AgroMedia Pustaka.
Sugito, Tugeno. 1999. Pengaruh dosis pupuk organik Azolla dan EM-4 terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman caisim. Habitat Vol 10 : 51-58. Faperta Unbraw Malang Sulistyaningsih E, Kurniasih B, dan Kurniasih E. 2005. Pertumbuhan dan hasil caisin pada berbagai warna sungkup plastik. Ilmu Pertanian Vol. 12. No.1 : 65 76 Sulistyawati 2008. Pengaruh Agen Dekomposer terhadap Kualitas Hasil Pengomposan Sampah Organik Rumah Tangga. (Makalah) dipresentasikan pada Seminar Nasional Penelitian Lingkungan di Perguruan Tinggi, 7 Agustus 2008 di Universitas Trisakti, Jakarta. Suriadikarta DDA, Setyorini D. 2006. Baku Mutu Pupuk. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DDA, Hartatik W, editor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor (ID). Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sutedjo MM. 2008. Pupuk dan Cara Pemupukan. Cetakan 8. Rineka Cipta, Jakarta. Swift HJ, Sanchez PA. 1984. Biological Management of Tropical Soil Fertility for Sustained Productivity. Nature and Resources. 20 (4) : 2 – 10 Tisdale SL, & Nelson WL. 1975. Soil Fertility and Fertilizer Edisi ke-3. McMillan Publishing Co.New York. 768 p. Vessey JK. 2003. Plant Growth Promoting Rhizobacteria As Biofertilizer. Plant and Soil 255 : 571 – 586.
32
Vinale F, Sivasithamparam K, Ghisalberti EL, Marra R, Woo SL, Lorito M. 2008. Trichoderma – plant – pathogen interactions : Soil Biology & Biochemistry 40: 1 – 10. Wahyuno D, Manohara D, dan Mulya K. 2003. Peranan bahan organik pada pertumbuhan dan daya antagonisme Trichoderma harzianum dan pengaruhnya terhadap Phytophthora capsici. Jakarta (ID) : Jurnal Fitopatologi Indonesia 7 (2) : 7682.
IPB Culture Collection Departemen Biologi Fakultas Matematika dan
IpA
Jln Agatis, Gedung Perikanan Lt 5/Wing 3 Kampus IPB Darmaga, Bogor 16880
Tel. /Fax: (0251) 8627378
E-mail: ipbcc@ipb. ac. id,
[email protected] Http //www.mikrobiologiipb. com :
Nomor Seri Serial Number
: 49IIPBCC lldent.,7l}}l3
Kepada : Yth. Sri Yuniati. L.Biotek ITSL-IPB To
Berkaitan dengan regarding to
:
Surat/Permohonan Analisis Tanggal Letter/Analysis Request dated
:
1
Juli 2013
Nomor Order Request Number Tanggal Penerbitan Date of issue
:49 : 3 Oktober 2013
Dengan hormat kami sampaikan hasil pengujian Kindly be informed the result of testing
Contoh Sample (s)
Isolat fungi
Untuk pengujian For analysis
Identifikasi
Keterangan Contoh Description of sample Tanggal penerimaan contoh Date of sample recipient
1
Tanggal pelaksanaan analisis Date of analysis
2 Juli- 2 Okt.2013
Juli 2013
Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih Thankyoufor your attention and cooperation.
IPB Cul Tec
Dr. Nisa Rachmania IPBCC HANYA BERTANGGIING JAWAB ATAS HASIL CONTOH YANG DIUJI DI IPBCC DAN TIDAK BERTANGGLTNG JAWAB ATAS UJI BANDING CONTOH
FT.5.10 Laporan Hasil Uji (LHU 49)
Halaman
l dariZ
IPB Culture Collection Biologi Fakultas Matematika dan IPA Departemen Jln Agatis, Gedung Perikanan Lt 5AMing 3 Kampus IPB Darmaga, Bogor 16880 Tel. lFax: (0251) 8627378
E-mail:
[email protected],
[email protected] Http ://www.milaobiologiipb. com
LAPORAN HASIL UJI TEST RESULT No. Order/Request Number No. Contoh/Sampel Number Kode Contoh
49 I IPB CC I ldent.I 7 I 20 I 3
93
HASIL IDENTIFIKASI. No.Contoh
Hasil ldentifikasi**
93
Tr icho
derma osper ellum
**Sub kontrak ke Laboratorium PAU-IPB.
Metode Molekuler (18 s RNA)
Paraf Kurator
w^ Manajer Teknis/
Dr. Nisa Rachmania Mubarik, M.Si
IPBCC I{ANYA BERTANGGUNG JAWAB ATAS HASIL CONTOH YANG DIUJI DI IPBCC DAN TIDAK BERTANGGLING JAWAB ATAS UJI BANDING CONTOH
Halaman FT.5.10 Laporan Hasil
Uji (LHU 49)
2 dari2
35
Lampiran 2
Rekapitulasi hasil sidik ragam pengomposan pelepah daun kelapa sawit pada perlakuan biodekomposer
Peubah Nisbah C/N
Umur (MSA) 2 4 6 8 2 4 6 8 2 4 6 8 8 8 8 8
Perlakuan 0.9701tn 0.9721 tn 0.9759 tn 0.2996 tn 0.0037* 0.0019* 0.0017* 0.0032* 0.0400* 0.4444 tn 0.2630 tn 0.7029 tn 0.4649 tn 0.4067 tn 0.0610 tn 0.1031 tn
KK (%) 6.73 14.60 10.85 11.32 Penyusutan volume 4.20 2.93 1.81 2.94 pH 0.60 1.43 1.45 3.06 Analisis hara C kompos 4.15 Analisis hara N kompos 11.01 Analisis hara P kompos 5.78 Analisis hara K kompos 10.33 tn Keterangan : KK = Koefisien Keragaman; * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%, = tidak nyata
36
Lampiran 3 Rekapitulasi hasil sidik ragam pertumbuhan dan hasil tanaman caisin pada perlakuan kompos umur 5 minggu setelah tanam Peubah Tinggi tanaman Jumlah daun Luas daun Kandungan klorofil Jumlah stomata Kerapatan stomata Bobot basah tajuk Bobot kering tajuk Bobot basah akar Bobot kering akar Panjang akar
Perlakuan 0.1087 tn 0.0009* 0.0158* 0.9275 tn 0.7447 tn 0.7447 tn 0.0125* 0.0250* 0.1641 tn 0.0927 tn 0.4533 tn
KK (%) 15.91 2.99 14.99 29.28 10.01 10.01 14.20 22.84 6.68 21.16 25.08
Keterangan : KK = Koefisien Keragaman; * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%
tn
= tidak
37
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Baubau pada tanggal 6 Juni 1976 sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Drs H Yusri B, MSi dan Hj Wa Ode Hayati. Penulis menikah dengan Drs Ahmad Basri pada tanggal 29 September 2003 dan telah dikaruniai tiga orang anak bernama Mohammad Iman Haykal, Fadhil Satyapraja dan Balqis Athifah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari, lulus tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister Sains diperoleh pada tahun 2011, pada Program Studi Agronomi dan Hortikultura, Sekolah Pascasarjana IPB dengan mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, Sulawesi Tenggara sejak tahun 2007.