PENGOMPOSAN LUMPUR PENGOLAHAN AIR DENGAN LIMBAH PERTANIAN
NOVYANA KURNIASIH
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengomposan Lumpur Pengolahan Air dengan Limbah Pertanian adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Novyana Kurniasih F451100051
RINGKASAN NOVYANA KURNIASIH. Pengomposan Lumpur Pengolahan Air dengan Limbah Pertanian. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan SATYANTO KRIDO SAPTOMO. Lumpur residu pengolahan air bersih mengandung padatan organik dan anorganik yang menyebabkan kekeruhan, termasuk alga, pasir, tanah liat dan endapan bahan kimia yang terbentuk selama proses pengolahan serta kemungkinan adanya pathogen seperti bakteri dan virus. Lumpur pengolahan air juga mungkin mengandung logam yang terkonsentrasi seperti aluminum dan besi. Kekhawatiran utama dari pembuangan langsung lumpur pengolahan air adalah potensi toksisitas dari besi dan aluminum yang berasal dari Alum (Al2 (SO4)3. 18 H2O) dan ferric chloride (FeCl3.6H2O) yang merupakan koagulan utama yang biasa digunakan pada proses koagulasi dan flokulasisedimentasi pada proses pengolahan air. Namun, selain daripada aluminum dan besi, lumpur pengolahan air juga mungkin mengandung logam berat seperti Pb, yang juga mengkhawatirkan jika terpapar ke badan air ataupun tanah. Namun, pada sebagian besar Instalasi Pengolahan Air (IPA) di Indonesia lumpur dalam bentuk cair yang merupakan residu dari proses pengolahan air masih banyak dibuang langsung ke badan air seperti sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu sedangkan lumpur kering langsung ditimbun di tanah. Sering kali permasalahan biaya yang tinggi serta kerumitan proses yang perlu dilakukan menjadi kendala dalam pengadaan unit pengolahan lumpur. Bergantung pada kualitas fisik dan kimia, lumpur residu ini memungkinkan untuk diolah dan dimanfaatkan kembali. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah melalui pengomposan. Dalam penelitian ini pengomposan lumpur pengolahan air bersih dilakukan sebagai usaha pemanfaatan lumpur dengan menggunakan bahan tambahan limbah pertanian yang berupa jerami dan kotoran kambing. Jerami juga memiliki peran dan kandungan nutrien yang dapat berfungsi sebagai bulking agent sedangkan kotoran kambing memiliki peran sebagai bio-activator karena mikroorganisme yang dikandungnya . Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menerapkan teknik pengomposan pada lumpur pengolahan air sebagai alternatif penanganan lumpur yang mudah dan meminimisasi dampak negatif bagi lingkungan, (2) menganalisis pengaruh proses pengomposan terhadap kualitas lumpur dalam bentuk material kompos yang dihasilkan, dan (3) menganalisis mutu kompos yang dihasilkan berdasarkan standar mutu kompos SNI 197030-2004. Parameter yang diujikan pada penelitian ini adalah C, N, C/N, P2O5, K2O, MgO, Fe, Mn, Zn, Al, dan Pb. Pengomposan pada penelitian ini dilaksanakan dengan skala kecil menggunakan proses penumpukan antara lumpur dengan limbah pertanian. Sampel lumpur diambil dari 3 lokasi instalasi pengolahan air yaitu Instalasi Bogor, Instalasi Buaran, dan Instalasi Cibinong. Masing-masing lumpur dari ketiga sumber instalasi tersebut dikomposkan dengan bantuan limbah pertanian yaitu kotoran kambing dan jerami. Penelitian ini tidak mempertimbangkan fluktuasi perubahan kualitas air baku. Proses pengomposan menggunakan metode natural static pile composting dan dilakukan dengan rasio berat ketiga bahan baku 1:1:1. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor yang terletak di Kampung Gardu Dalam, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor. Pengujian sampel kompos dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Departemen Pertanian di Bogor. Pada proses pengomposan, kematangan tumpukan kompos akhir ditandai dengan suhu yang sesuai dengan suhu lingkungan. Pengukuran suhu kompos dilakukan untuk
melihat periode biodegradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Pengukuran suhu kompos dilakukan setiap hari selama masa pengomposan. Kematangan kompos juga terlihat dari perubahan bentuk tumpukan material kompos yang menyerupai dan berbau tanah. Hal ini ditandai dengan berkurangnya tinggi tumpukan kompos yang juga menandai berkurangnya massa dan volume tumpukan. Pada penelitian ini tumpukan mengalami tiga fase penting pengomposan yaitu fase termofilik (suhu >40 oC), fase pendinginan, dan fase pematangan. Namun, ketiganya mengalami fase termofilik dengan rentang waktu dan suhu tertinggi yang berbeda-beda. Suhu tertinggi yang dicapai oleh ketiganya berada pada kisaran 45 – 55 oC. Fase pendinginan terjadi setelah ketiga tumpukan kompos melewati suhu tertinggi dan menurun sampai dengan suhu yang hampir sama dengan suhu lingkungan. Pada fase ini, suhu ketiga kompos turun dari suhu tertinggi sampai dengan kisaran suhu 28-32oC. Fase pematangan atau juga disebut fase stabil yang diindikasikan dengan tidak terjadinya perubahan suhu, dimana suhu ketiga kompos akan tetap terus berada pada kisaran suhu 28-32oC. Analisis unsur hara kompos yang dihasilkan menunjukkan bahwa unsur hara makro yang diujikan (C, N, P, K) mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan hara yang dikandung pada lumpur saja. Peningkatan konsentrasi hara pada kompos tetap dibarengi dengan rasio C/N berada pada 10-20 yang sesuai dengan SNI 19-7030-2004. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan lumpur dengan jerami dan kotoran kambing memperkaya unsur hara kompos yang dihasilkan. Hal sebaliknya terjadi pada parameter logam yang juga merupakan unsur mikro pada kompos. Konsentrasi logam Fe, Al, dan Pb pada kompos sebagian besar mengalami penurunan yang cukup besar jika dibandingkan dengan konsentrasi awal pada lumpur. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan dapat menurunkan kandungan logam pada lumpur residu pengolahan air termasuk logam berat seperti Pb. Penurunan konsentrasi logam ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya proses pelindian selama pengomposan berlangsung. Namun, parameter Mg, Mn, dan Zn pada sebagian besar sampel mengalami peningkatan konsentrasi dari kualitas lumpur awal. Hal ini mungkin terjadi akibat mobilitas dan akumulasi logam yang terdapat pada ketiga bahan baku yang digunakan. Selain itu, peningkatan nilai logam terjadi karena penurunan massa dalam pengomposan akibat dekomposisi organik, pelepasan karbon dioksida dan air serta proses mineralisasi. Namun peningkatan konsentrasi ini bukan merupakan hal yang negatif karena walaupun mengalami peningkatan, konsentrasinya hanya sedikit melebihi baku mutu yang ditetapkan. Secara keseluruhan penelitian ini memberikan hasil yang cukup baik. Lumpur dengan kandungan pencemar terutama logam berat yang cenderung tidak stabil dapat ditangani dan diolah dengan teknik pengomposan. Proses pengomposan yang diterapkan pada lumpur dengan menggunakan jerami dan kotoran kambing memberikan pengaruh yang cukup baik bagi kompos yang dihasilkan. Proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung dengan baik dan dapat menstabilkan material organik serta logam yang terkandung pada campuran ketiga bahan baku yang digunakan. Proses pengomposan menghasilkan material humus yang lebih stabil. Kompos yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kandungan unsur hara makro dan mikro serta kandungan logam berat yang memenuhi baku mutu SNI 19-7030-2004. Hasil ini mengindikasikan bahwa kompos yang dihasilkan memiliki kandungan nutrien yang cukup untuk diaplikasikan sebagai soil conditioner.
ABSTRACT NOVYANA KURNIASIH. Composting of Water Treatment Sludge with Agricultural Waste. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and SATYANTO KRIDO SAPTOMO. Water treatment sludge (WTS) contains organic and inorganic solids including algae, pathogens such as bacteria and viruses, sand, clay, and sediment of chemicals that were formed during processing. The main concerns of direct disposal of WTS is the potential toxicity of iron and aluminum from alum and ferric chloride as the primary coagulant used, and also heavy metals content such as Pb, and Zn. Organic and inorganic materials, especially metals contained in sludge are generally labile / unstable which is a concern when exposed to the water bodies or soil. The purposes of this study were (1) to apply composting techniques to WTS as an alternative of sludge handling and to minimize negative impacts on the environment, (2) to analyze the influence of composting process on the quality of sludge in the form of compost material produced, (3) to analyze the quality of the produced compost based on national compost standard of SNI 19-70302004. The composting process used three different WTS from three different water treatment plants. Natural static pile composting method that carried out for 60 days was used in this study. Temperature changes of compost piles which were monitored daily showed that the compost pile undergoing a process of well degradation by microorganisms. This degradation process was stabilizing the concentration of macro and micro elements including heavy metals in the compost pile. Those were shown by the increase and stabilization of macro elements such as C, N, K, and P. The results also showed that composting process can be used to decrease the concentration of metal such as Fe, Al, and Pb. The composting process worked well and produced composts which comply with the compost quality standard. Based on the results obtained, the produced compost can be justified to contain nutrient which is applicable as soil conditioner. Keywords: Water treatment sludge, agricultural waste, composting, metals, nutrient
PENGOMPOSAN LUMPUR PENGOLAHAN AIR DENGAN LIMBAH PERTANIAN
NOVYANA KURNIASIH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS
Judul tesis : Pengomposan Lumpur Pengolahan Air dengan Limbah Pertanian Nama
: Novyana Kurniasih
NIM
: F451100051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Satyanto Krido Saptomo, STP, MSi Anggota
Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 16 Juli 2012
Tanggal Lulus :
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. • Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. • pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penelitian dengan judul “Pengomposan Lumpur Pengolahan Air dengan Limbah Pertanian” ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, diucapkan banyak terima kasih kepada : 1) Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc, Ph.D dan Dr. Satyanto K. Saptomo, S.TP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk mengarahkan penyusunan tesis ini; 2) PDAM Tirta Pakuan, PDAM Tirta Kahuripan, dan PT. Aetra yang telah membantu memberikan sampel dan data yang diperlukan; 3) Orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan dukungan doa, moral, dan material; 4) Dosen-dosen yang telah membantu dalam pemberian ilmu dari masa perkuliahan sampai penyusunan tesis; 5) Teman-teman mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan penelitian ini. 6) Berbagai pihak yang telah memberikan banyak bantuan selama penelitian ini berjalan. Akhir kata, diharapkan hasil penelitian ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan dapat diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 6 November 1987 dari pasangan Sugeng Sudaryanto dan Triwahyuni Yuliasih. Penulis merupakan putri pertama dari 3 bersaudara. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Indonesia pada Program Studi Teknik Lingkungan melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) tahun 2006. Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis masuk program S2 Teknik Sipil dan Lingkungan dengan sponsor I-Mhere. Selama mengikuti program S2, penulis berkesempatan untuk mengikuti “International Joint Winter Course on Practical Agriculture Education for Local Sustainability” yang berlangsung pada tanggal 18 November – 4 Desember 2011 di Ibaraki University, Jepang. Pada periode yang sama, penulis juga berkesempatan berpartisipasi dan mempresentasikan hasil penelitian dengan judul “Composting of Water Treatment Sludge with Agricultural Waste” pada konferensi mahasiswa internasional “The 7th International Student Conference at Ibaraki University” yang juga diadakan di Ibaraki University, Jepang.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… i DAFTAR TABEL……………………………………………………………………… iii DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….. iv BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………….. 1 1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. 1 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………. 3 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………... 3 1.4 Batasan Penelitian………………………………………………………. 4 1.5 Kerangka Pemikiran…………………………………………………….. 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………… 5 2.1 Lumpur Residu Pengolahan Air……………………………………….... 5 2.2 Jerami…………………………………………………………………… 10 2.3 Pupuk Kandang (Kotoran Kambing)…………………………………… 11 2.4 Fase-Fase Pengomposan…………………………………………………12 2.5 Kompos…………………………………………………………………. 15
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………………….. 20 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………… 20 3.2 Alat dan Bahan…………………………………………………………. 20 3.3 Metode Analisis……...…………………………………………………. 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… 26 4.1 Karakteristik Lumpur…...…….………………………………………… 26 4.2 Karakteristik Kompos………….……………………………………….. 28 4.3 Perhitungan Perkiraan Kompos………………………………………… 44 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………… 46 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….. 46 5.2 Saran…………………………………………………………………… 47 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………. 48
i
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Karakteristik Lumpur………………………………………………………...7 Tabel 2.2 Kandungan Hara Jerami ……………………………………………………..11 Tabel 2.3 Kandungan Hara Kotoran Kambing ………………………………………... 12 Tabel 4.1. Kualitas Awal Lumpur Sebelum Pengomposan…….……………………... 26 Tabel 4.2 Perubahan Massa Tumpukan Kompos ……………………………………... 30 Tabel 4.3 Perbandingan Kualitas Kompos dengan SNI 19-7030-2004………………... 34 Tabel 4.4 Perkiraan Kompos yang Dihasilkan Secara Teoritis………………………... 45
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran…………………………………………………………...4 Gambar 2.1 Fase Pengomposan……………………………………………………………. 13 Gambar 2.2 Tumpukan Kompos…………….…………………………………………….. 16 Gambar 2.3 Skema Tumpukan Kompos (Natural Static Pile Composting)……………….. 17 Gambar 3.1 Prosedur Pengomposan……………………………………………………….. 20 Gambar 3.2 Ilustrasi Penumpukan Bahan Baku Kompos pada Bak Pengomposan……….. 21 Gambar 3.3 Bagan Alir Penelitian…………………………………………………………. 22 Gambar 3.4 Tampak Atas Bak Pengomposan (satuan meter)……………………………... 22 Gambar 3.5 Ilustrasi Bak Pengomposan satuan meter).......……………………………….. 23 Gambar 3.6. Konstruksi Bak Kompos dan Ventilasi ……………………………………… 24 Gambar 3.7 Tumpukan Kompos…………………………………………………………… 24 Gambar 4.1. Faktor Penentu Kualitas Lumpur Residu……………………………………. 27 Gambar 4.2. Kompos yang Sudah Matang ……………………………………………….. 28 Gambar 4.3. Grafik Perubahan Suhu Kompos ………………………………………..……31 Gambar 4.4 Perubahan Konsentrasi N……………………………………………………. 35 Gambar 4.5 Perubahan Konsentrasi C…………………………………………………….. 35 Gambar 4.6 Perubahan Rasio C/N ………………………………………………………… 35 Gambar 4.7 Proses Pengomposan …………………………………………………………. 36 Gambar 4. 8 Perubahan Konsentrasi P…………………………………………………….. 38 Gambar 4. 9 Perubahan Konsentrasi K …………………………………………………... 38 Gambar 4.10 Perubahan Konsentrasi Mg…………………………………………………. 40 Gambar 4.11 Perubahan Konsentrasi Fe...………………………………………………... 40 Gambar 4.12 Perubahan Konsentrasi Al…………………………………………………… 41 Gambar 4.13 Perubahan Konsentrasi Mn………………………………………………….. 41 Gambar 4.14 Perubahan Konsentrasi Zn…………………………………………………... 41 Gambar 4.15 Perubahan Konsentrasi Pb…………………………………………………... 41
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG Lumpur pengolahan air merupakan residu dari proses pengolahan air. Lumpur
residu pengolahan air terdiri dari partikel yang mengendap sebagai hasil dari proses koagulasi dan flokulasi. Proses kimia yang juga merupakan bagian dari proses pengolahan air menghasilkan lumpur sebagai residu dalam jumlah yang besar. Lumpur instalasi mengandung padatan organik dan anorganik yang menyebabkan kekeruhan, termasuk alga, bakteri, virus, pasir, tanah liat dan endapan bahan kimia yang terbentuk selama proses pengolahan (Qasim et al., 2000). Lumpur pengolahan air juga mungkin mengandung pathogen (bakteri, virus, dan protest), kontaminan organohalogen, dan logam yang terkonsentrasi seperti aluminum dan besi (Soetaro-Santos et al, 2005). Jika lumpur residu ini dibuang langsung ke badan air tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu, lumpur dapat memperburuk kualitas badan air dan membahayakan ekosistem air. Kekhawatiran utama dari pembuangan langsung lumpur residu pengolahan air ke badan air adalah potensi toksisitas dari besi dan aluminum. Alum (Al2 (SO4)3. 18 H2O) dan ferric chloride (FeCl3.6H2O) merupakan koagulan utama yang biasa digunakan pada proses koagulasi dan flokulasi-sedimentasi pada proses pengolahan air. Sumber antropogenik paling utama salah satunya adalah berasal dari proses pengolahan air minum (Soetaro-Santos et al, 2005). Secara umum, lumpur residu pengolahan air, baik lumpur alum (aluminum-based coagulant) ataupun lumpur ferric chloride, tidak menyebabkan toksisitas akut, tetapi paparan dalam jangka panjang pada FeCl3 dapat menyebabkan kematian dan menurunnya reproduksi, sementara lumpur alum hanya menyebabkan penurunan reproduksi. Hal ini disampaikan oleh Soetaro-Santos et al (2005) pada penelitian pemaparan lumpur pengolahan air pada biota air Daphnis Similis. Namun, selain daripada aluminum dan besi, lumpur pengolahan air juga memungkinkan mengandung logam berat seperti Pb yang juga mengkhawatirkan jika terpapar ke badan air ataupun tanah. Namun, pada sebagian besar Instalasi Pengolahan Air (IPA) di Indonesia masih menemui kendala dalam penanganan lumpur atau residu yang merupakan hasil sampingan dari proses penyisihan kontaminan pada proses sedimentasi dan filtrasi. Di Indonesia, lumpur dalam bentuk cair yang merupakan residu dari proses pengolahan air masih banyak dibuang langsung ke badan air seperti sungai tanpa melalui pengolahan 1
terlebih dahulu sedangkan lumpur kering langsung ditimbun di tanah. Lumpur residu ini pun masih mengandung berbagai macam polutan yang termasuk juga logam berat. Sering kali permasalahan biaya yang tinggi serta kerumitan proses yang perlu dilakukan menjadi kendala dalam pengadaan unit pengolahan lumpur. Lumpur residu pengolahan air dapat: a) dibuang langsung ke badan air penerima; b) dibuang melalui saluran sanitasi; c) di landfill, dengan asumsi lumpur residu tidak mengandung free-draining water, dan tidak memiliki karakteristik toksik seperti yang didefinisikan oleh prosedur pemeriksaan karakteristik pelepasan toksisitas; dan d) diaplikasikan pada lahan (Chwirka et al., 2001). Bergantung pada kualitas fisik dan kimia, lumpur residu ini memungkinkan untuk diolah dan dimanfaatkan kembali. Jika dilihat dari kemudahan dan kemurahan saja, membuang langsung ke badan air atau saluran ataupun melakukan landfill merupakan pilihan yang paling mudah dan sedikit mengeluarkan biaya. Namun jika dilihat pada dampak jangka panjangnya, keberadaan masalah timbulan limbah lumpur tersebut memerlukan perhatian dan solusi pengolahan lumpur dengan praktek yang tidak sekedar mudah dan murah tetapi juga tidak berdampak negatif pada lingkungan. Pada tahun 2000, telah diterbitkan sebuah petunjuk pemanfaatan lumpur residu pengolahan air oleh Cornwell et al dengan judul Commercial Application and Marketing of Water Plant Residuals. Literatur ini memberikan beberapa petunjuk mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan lumpur residu pengolahan air dan salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah pengomposan. Namun, informasi mengenai proses pengomposan pada lumpur pengolahan air masih sangat sedikit. Pengomposan lumpur pengolahan air bersih akan dilakukan sebagai usaha pemanfaatan lumpur dengan menggunakan bahan tambahan limbah pertanian yang berupa jerami dan kotoran kambing. Jerami dipilih karena menurut data Deptan (2010), Indonesia menghasilkan lebih dari 63 juta ton beras yang berarti lebih dari 63 juta ton jerami dihasilkan. Pada prakteknya, jerami yang dihasilkan belum sepenuhnya dimanfaatkan, bahkan sebagian besar jerami masih dibakar segera setelah panen. Sedangkan kotoran kambing padat merupakan limbah yang cukup banyak dihasilkan. Menurut catatan Ditjennak (2009), terdapat lebih dari 15 juta ekor populasi kambing. Jerami juga memiliki peran dan kandungan nutrien yang dapat berfungsi sebagai bulking agent sedangkan kotoran kambing
memiliki
peran
sebagai
bio-activator
karena
mikroorganisme
yang
dikandungnya. Selain daripada permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, latar 2
belakang dilakukannya penelitian ini adalah kelanjutan dari penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya oleh Ikhwan, 2000 membahas mengenai proses pengomposan jerami padi dan kotoran kambing yang juga merupakan salah satu rangkaian penelitian IMHERE.
1.2
RUMUSAN MASALAH Setelah menjabarkan latar belakang dan melihat permasalahannya, maka dapat
disusun rumusan masalah sebagai berikut : 1. Lumpur residu pengolahan air memiliki kandungan polutan serta patogen yang dapat menimbulkan pencemaran dan berdampak negatif bagi lingkungan jika tidak ditangani dengan benar. Pembuangan langsung lumpur cair residu pengolahan air ke badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu dapat mencemari badan air penerima dan membahayakan ekosistem air, sedangkan pembuangan lumpur kering residu pengolahan air ke tanah melalui proses landfill dapat dikatakan mudah, tetapi membutuhkan lahan yang cukup luas dan akan menjadi semakin luas jika lumpur terus bertambah tanpa adanya pemanfaatan lumpur secara berkala. Untuk itu, diperlukan alternatif penanganan lumpur residu yang lebih tepat. 2. Proses pengomposan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemanfaatan lumpur residu pengolahan air. Melalui proses pengomposan, diharapkan lumpur dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai tambah. 3. Jerami padi dan kotoran kambing merupakan limbah yang potensial sebagai bahan baku kompos karena mengandung nutrien dan mikroorganisme yang berguna untuk proses pengomposan. Proses pengomposan dari ketiganya diharapkan dapat menghasilkan kompos yang baik dan memenuhi standar.
1.3
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menerapkan teknik pengomposan pada lumpur pengolahan air sebagai alternatif penanganan lumpur yang mudah dan meminimisasi dampak negatif bagi lingkungan. 2. Menganalisis pengaruh proses pengomposan terhadap kualitas lumpur dalam bentuk material kompos yang dihasilkan. 3. Menganalisis mutu kompos yang dihasilkan berdasarkan standar mutu kompos SNI 19-7030-2004. 3
1.4
BATASAN PENELITIAN Ruang lingkup penelitian yang dibahas dalam penelitian ini meliputi: •
Pengujian skala kecil digunakan dalam proses pencampuran antara lumpur dengan limbah pertanian.
1.5
•
Sampel lumpur diambil dari 3 lokasi instalasi.
•
Limbah pertanian yang digunakan yaitu kotoran kambing dan jerami.
•
Tidak mempertimbangan fluktuasi perubahan kualitas air baku
•
Dilakukan dengan rasio berat ketiganya 1:1:1.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari penelitian ini secara skematis disajikan pada Gambar
1.1. Proses pengolahan air bersih, pertanian padi, dan ternak kambing masing-masing menghasilkan limbah dalam jumlah banyak. Timbulan limbah ini belum ditangani dan dimanfaatkan secara baik dan dalam skala besar, karena adanya permasalahan tenaga dan biaya yang diperlukan. Masing-masing limbah memiliki potensi mencemari lingkungan dan memerlukan penanganan yang tepat. Proses pengomposan itu sendiri merupakan proses degradasi material organik oleh mikroorganisme dan dapat mengurai material menjadi bahan humus sehingga menghasilkan berat dan volume yang lebih rendah dari bahan dasarnya. Hasil pengomposan pun menjadi stabil dengan proses dekomposisi lambat dan dapat menjadi sumber pupuk organik.
Timbulan limbah tidak ditangani dengan baik
Lumpur Kering
Jerami Padi
Kotoran Kambing
Pengomposan
Kompos Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lumpur Residu Pengolahan Air Tujuan instalasi pengolahan air minum (IPAM) adalah untuk memproduksi air yang
memenuhi standar kualitas air minum dengan harga yang terjangkau. Instalasi pengolahan air menggunakan berbagai proses pengolahan air untuk menghasilkan air produksi dengan kualitas yang diinginkan. Proses pengolahan ini secara umum di kelompokan menjadi unit operasi (UO) dan unit proses (UP). Dalam unit operasi terjadi penghilangan kontaminan melalui gaya fisik. Sedangkan di dalam unit proses, pengolahan terjadi melalui reaksi kimia atau biologi. Sebagai contoh, penghilangan kekeruhan di dapat dilakukan dengan kombinasi UO dan UP yaitu proses koagulasi (termasuk UP), flokulasi (UO) dan sedimentasi (UO). Kinerja dari IPAM juga dituntut untuk terus ditingkatkan dengan adanya standar air minum baru yang tercantum dalam Permenkes No. 492 Tahun 2010 tentang persyaratan kualitas air minum. Sebaliknya kondisi kualitas air baku seperti sungai, danau dan waduk cenderung memburuk karena pencemaran. Hal ini menyebabkan IPAM semakin sulit untuk memenuhi target kualitas air produksi yang ada dan memungkinkan IPAM menghasilkan residu lumpur yang lebih banyak dan dengan kandungan pencemar tinggi. Pada unit sedimentasi terjadi penyisihan padatan (solids) sebesar 80 – 95% melalui proses pengendapan/sedimentasi (Qasim et al., 2000). Endapan yang terbentuk akan terakumulasi dalam zona penampung lumpur di dasar unit sedimentasi. Lumpur yang terbentuk ini secara berkala harus dibuang agar kapasitas zona penampung lumpur tidak terlampaui dan menyebabkan penurunan kinerja instalasi. Selain pada unit sedimentasi, lumpur/residu juga dihasilkan oleh unit filtrasi melalui proses pencucian balik (filter backwash). Pencucian balik diperlukan untuk mengembalikan kembali kinerja unit filtrasi dengan mendorong keluar padatan yang terakumulasi di lapisan filter menggunakan air.
2.1.1
Sumber dan Karakteristik Lumpur Lumpur pengolahan air didefinisikan sebagai akumulasi padatan atau endapan
yang dikeluarkan dari bak sedimentasi, bak pengendapan, atau clarifier pada instalasi pengolahan air. Sumber utama residu pengolahan air adalah lumpur koagulasi alum atau besi, lumpur proses softening, dan pencucian balik filter. Karakteristik dari residu yang 5
dihasilkan pada dasarnya merupakan fungsi dari proses pengolahan, penambahan bahan kimia, dan kuantitas air baku. Pengertian akan kuantitas lumpur, kandungan padatan, dan sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses yang tepat (Qasim et al., 2000). Karakteristik residu dari berbagai sumber dibahas sebagai berikut :
2.1.1.1 Lumpur Alum atau Lumpur Besi Lumpur ini memiliki penampilan menyerupai gelatin yang dihasilkan dari proses penjernihan/sedimentasi dan dari backwashing dari filter. Mereka mengandung konsentrasi tinggi garam aluminium atau besi dengan campuran bahan organik dan anorganik dan presipitat hidroksida. (Qasim et al., 2000). Pengeringan lumpur koagulasi adalah tugas yang sulit dan di dulu lumpur langsung dibuang ke sumber air, seperti sungai atau danau. Namun, saat ini lumpur diolah untuk pembuangan akhir dan air backwash dan clarifier dikembalikan ke fasilitas pengolahan untuk didaur ulang. (Qasim et al., 2000). Aluminium dan garam besi merupakan bahan kimia utama yang digunakan untuk menghilangkan partikel koloid. Banyak instalasi menggunakan kapur bersama dengan alum atau besi untuk mencapai pelunakan parsial dan untuk meningkatkan koagulasi. Polimer juga digunakan sebagai koagulan dan atau pembantu filter untuk meningkatkan penghilangan partikel koloid pada proses koagulasi dan filtrasi. Activated carbon juga sering digunakan untuk kontrol rasa dan bau. Pada setiap kasus, karakteristik lumpur akan berbeda dan kondisi ini perlu diperhitungkan untuk estimasi kuantitas dan kualitas lumpur (Qasim et al., 2000). Lumpur koagulasi diproduksi melalui proses flokulasi dan pengendapan alami dari kekeruhan. Aluminium dan garam besi bereaksi dengan alkalinitas dan membentuk endapan aluminium dan ferric hidroksida. Lumpur mengandung hidroksida tersebut dan kekeruhan yang menyebabkan senyawa organik dan anorganik. Walaupun nilai BOD dan COD mungkin saja tinggi, lumpur ini tetap stabil, karena tidak terdapat material organik yang mendorong dekomposisi aktif atau mendukung kondisi anaerob. Hasilnya, lumpur dapat diakumulasi pada bak sedimentasi selama beberapa hari dan bulan, dan dibuang secara berkala. Kuantitas padatan yang dihasilkan pada koagulasi bergantung pada total padatan tersuspensi yang terkandung pada air, tipe dan dosis koagulan, dan efisiensi bak sedimentasi. Umumnya, 60-90 persen dari padatan total dihilangkan pada bak sedimentasi. Padatan yang tersisa dihilangkan pada proses filtrasi. Tidak terdapat korelasi 6
pasti antara kekeruhan dan total padatan tersuspensi. Rasio total padatan tersuspensi dengan kekeruhan normalnya bervariasi dari 0,5 sampai 2. Telah dilaporkan bahwa total padatan pada fasilitas koagulasi alum dapat bervariasi antara 8 sampai 210 kg/100 m3 dari air baku yang diolah.
Tabel 2.1 Karakteristik Lumpur Karakteristik Fisik Kuantitas, kg/1000m3 Densitas kering, kg/m3 Dewaterability
Lumpur Alum
Lumpur Besi
8 - 210, tipikal 48 1200 - 1520 10% konsentrasi dalam 2 hari di sand beds
80 1200 - 1800 -
30 - 300 30 - 5000 6–8 0,1 - 4
30 - 300 30 -5000 7,4 – 8,5 0,25 – 3,5
15 - 40 15 - 25 -
4,6 – 20,6 5,1 – 14,1
Kimia BOD5, mg/L COD, mg/L pH Total padatan, % Karakteristik Padatan Al2O35.5H2O, % Fe, % Organik, % Volatiles, %
Sumber : Qasim et al., 2000.
2.1.2
Pembuangan dan Pemanfatan Lumpur Metode pembuangan lumpur residu pengolahan air sangat tergantung pada jenis
residu yang dihasilkan (AwwaRF, 2007). Pembuangan akhir dari lumpur pengolahan air mencakup beberapa teknik, diantaranya:
2.1.2.1 Pengolahan Mekanis Proses penanganan lumpur meliputi thickening, conditioning, dewatering, drying, chemical recovery, dan pembuangan. Sangat penting sistem pengolangan padatan/lumpur diteliti pada fase perencanaan proyek, karena modal serta biaya operasional dan perawatan dari fasilitas lumpur sering merupakan bagian terbesar dari biaya keseluruhan instalasi pengolahan air. Banyak faktor menjadi pertimbangan pada perencanaan dan desain fasilitas penanganan lumpur. Diantara faktor-faktor tersebut adalah ukuran instalasi, lahan yang tersedia, transport dan pembuangan lumpur, dan peulihan dan penggunaan kembali koagulan dan lime. (Qasim et al., 2000) 7
2.1.2.2 Landfilling Landfills mungkin pada lahan publik seperti TPA kota yang dimiliki, atau di lahan pribadi. Operator TPA umumnya membutuhkan 15 sampai 30 persen lumpur (padat). Konsentrasi minimum sering ditentukan oleh peraturan daerah sanitary landfill. Untuk endapan tawas, (yang paling umum di instalasi pengolahan air minum US) penimbunan efektif membutuhkan konsentrasi padatan menjadi setidaknya 25%. Pada konsentrasi rendah, aplikasi tanah (land application) yang lebih sesuai. (Pandit and Das, 1998) Evaluasi skala pilot selama enam bulan dilakukan terhadap lumpur yang berasal dari proses menggunakan koagulan alum dan Fe menunjukkan pelindian yang rendah dari arsenik, tembaga, besi, mangan, dan zinc, namun tidak ada konsentrasi logam yang terbawa lindi melebihi tingkat kontaminasi. (AwwaRF, 2007)
2.1.2.3 Aplikasi tanah (Land Application) Lumpur Alum, pada konsentrasi kurang dari 25%, adalah tanah yang paling baik diterapkan. Endapan dapat diterapkan untuk lahan pertanian, untuk lahan marjinal untuk reklamasi tanah, untuk lahan hutan atau ke situs khusus. Selain di situs khusus, biasanya tidak lebih dari 20 ton lumpur kering per hektar adalah tanah yang diterapkan. (Pandit and Das, 1998) Namun, untuk mengaplikasikan lumpur langsung pada lahan, perlu diketahui konsentrasi pencemar ataupun nutrien yang terkandung di dalamnya. Jumlah total residu yang dihasilkan dapat merupakan fungsi dari dosis koagulan, dan berbagai penggunaan bahan untuk mengurangi dosis koagulan (AwwaRF,2007). Untuk mengaplikasikan lumpur residu pada lahan, perlu perhatian khusus pada proses pengolahan yang digunakan. Hasil penelitian Cornwell bersama AwwaRF mengungkapkan bahwa pemilihan, penggunaan, serta pemilihan penyedia dan waktu pengiriman koagulan perlu diperhatikan dengan baik (AwwaRF,2007).
2.1.2.4 Pengomposan Lumpur Residu Pengolahan Air Pengomposan merupakan proses biologis alami yang mempercepat dekomposisi limbah padat organik menjadi material seperti tanah. Kegiatan pengomposan digunakan untuk mendaur ulang limbah padat, sampah halaman, kulit kayu, dan serbuk gergaji menjadi alternatif yang semakin popular untuk proses landfill. Beberapa komunitas
8
mendaur ulang hampir sebanyak 60 persen limbah padat melalui pengomposan. (Cornwell et al., 2000) Kegiatan pengomposan telah banyak menggunakan biosolid selama bertahuntahun sebagai bahan tambahan pada tumpukan kompos. Selama dekomposisi organik panas yang dihasilkan menghancurkan pathogen dan secara efektif mensanitasi biosolid menjadi material yang aman untuk digunakan. Penggunaan biosolid pada pengomposan mengasilkan material penyubur yang bernilai. (Cornwell et al., 2000) Belakangan ini, proses pengomposan telah dilakukan dengan menggunakan lumpur residu pengolahan air sebagai bahan pada tumpukan kompos bersama dengan sampah halaman, limbah padat, kulit pohon, dan biosolid. Penambahan lumpur residu ini telah menunjukkan manfaat yang menguntungkan pada proses pengomposan dengan menyediakan kelembaban, sisa mineral, pengaturan pH, dan berguna juga sebagai bulking agent. Pengomposan bersama menggunakan campuran lumpur residu dan biosolid telah terbukti menguntungkan proses pengomposan dan produk akhir dengan menurunkan konsentrasi logam berat yang berhubungan dengan berbagai penggunaan kembali untuk aplikasi lahan. (Cornwell et al., 2000) Material kompos yang telah dihasilkan dapat menjadi soil amendment untuk pertanian atau aplikasi lahan komersial yang bernilai dan aman bagi lingkungan. Banyak fasilitas pengomposan perkotaan yang mensuplai material kompos kepada pengguna dengan biaya yang sedikit ataupun tanpa biaya, sementara operasi pengomposan komersil menggunakan kompos yang telah jadi untuk memproduksi lapisan atas tanah dan campuran tanah untuk pot yang telah dikemas dan dijual secara komersil. (Cornwell et al., 2000) Proses pengomposan untuk mendaur ulang material organik membutuhkan empat bahan untuk menjaga mikroorganisme yang diperlukan untuk proses dekomposisi material sampah menjadi material seperti tanah. Bahan utamanya adalah udara, air, nutrisi/makanan, dan suhu. Jumlah yang tepat untuk setiap elemen bahan ini akan menghasilkan hasil pengomposan yang sukses. (Cornwell et al., 2000) Mikroorganisme kompos (bakteri, jamur, dll) membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik untuk memperbanyk dan mendekomposisi bahan organik secara efektif. Kelembaban, suhu, dan aerasi perlu dipertahankan pada level tertentu untuk pengomposan yang efisien. Tingkat suhu yang optimal untu pengomposan adalah 32 sampai 60oC. Tumpukan kompos dengan suhu dibawah 32oC akan menghasilkan proses dekomposisi yang lambat sementara suhu yang melebihi 60 oC akan menghancurkan 9
mikroorganisme. Suhu tumpukan merupakan metode terbaik untuk memonitor status kompos. Sedangkan aerasi tumpukan dibutuhkan sebagai sumber oksigen bagi mikroorganisme. Membalik-balikan tumpukan kompos memberikan kesempatan material untuk tetap teroksigenasi. (Cornwell et al., 2000) Lumpur pengolahan air telah sukses digunakan sebagai bulking agent pada proses pengomposan. Material kompos seperti dedaunan dan rumput membutuhkan bulking agent untuk meningkatkan spasi pori untuk aerasi dan distribusi kelembaban. Untuk kompos yang menerima material yang sangat kering, lumpur pengolahan air juga efektif untuk menambah kelembaban pada tumpukan yang sangat penting pada proses dekomposisi. (Cornwell et al., 2000) Lumpur pengolahan air yang digunakan perlu dikeringkan sampai dengan kandungan padatan minimal 15% untuk digunakan pada proses pengomposan. Tingkat pengeringan tergantung pada material kompos lainnya yang digunakan dan perlu disesuaikan berdasarkan kasus. Lumpur yang terlalu basah tidak direkomendasikan untuk pengomposan karena masalah pengangkutan dan penyimpanan. (Cornwell et al., 2000)
2.2
Jerami Jerami merupakan limbah organik yang banyak dihasilkan dari kegiatan budidaya
padi sawah.
Di dalam jerami terdapat beberapa unsur hara yang berguna untuk tanaman
seperti nitrogen dan kalium sehingga dengan membakar jerami berarti sama saja dengan membakar uang karena jerami yang dibakar tersebut sebenarnya dapat membantu menggantikan pupuk KCl sebanyak 1 sak (50 kg). Dengan mengembalikan jerami padi ke lahan sawah, petani dapat menghemat biaya pupuk karena tidak perlu lagi memberikan pupuk KCl (Litbang Deptan, 2010). Kandungan unsur hara jerami terlampir pada Tabel 2.2. Jerami telah banyak digunakan sebagai material kompos. Pengomposan jerami sudah banyak dikenal di Indonesia dan prosesnya telah banyak diteliti di berbagai negara. Tujuan dari pengomposan adalah menurunkan nilai rasio C/N sehingga meningkatkan kualitas kompos. Salah satu syarat pengomposan adalah tersedianya nitrogen dalam jumlah yang cukup. Tanaman padi yang memproduksi 5 ton/ha gabah kering panen mengangkut hara dari tanah sekitar 150 kg N, 20 kg P, 150 kg K, dan 20 kg S. Pada saat panen, jerami mengandung sekitar 1/3 jumlah hara N, P dan S dari total hara tanaman padi, sedangkan kandungan K rata-rata 89%. Oleh karena itu jerami padi dapat dijadikan sebagai sumber hara makro bagi tanaman. (Makirim et al., 2007) 10
Tabel 2.2 Kandungan Hara Jerami Unsur Hara N- Organik C - Organik C/N Na P2O5 K2O MgO CaO Fe Mn Cu Zn Cd Ni Pb Cr
Satuan % % % % % % % % mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Konsentrasi 0,957 49,2 51,2 0,028 2,48 0,143 0,129 0,566 420 62,8 3,6 18,9 <3 8,59 <5 6,29
Sumber : Canet et al,. (2008)
2.3
Pupuk Kandang (Kotoran Kambing) Salah satu ternak yang cukup berpotensi sebagai sumber pupuk organik adalah
kambing dan domba. Petani umumnya memelihara ternak tersebut sebagai usaha sampingan. Feses kambing-domba mengandung bahan kering dan nitrogen beturut-turut 40-50% dan 1,2-2,1%. Kotoran kambing-domba dapat dimanfaatkan secara langsung dengan mencampurkannya pada saat pengolahan tanah. Namun, untuk mendapatkan hasil lebih baik. Disarankan agar kotoran dapat diolah terlebih dahulu. Kandungan hara kotoran kambing terlampir pada Tabel 2.3. Kotoran kambing domba mengandung bahan organik yang dapat menyediakan zat hara bagi tanaman melalui proses penguraian (dekomposisi). Proses ini terjadi secara bertahap dengan melepaskan bahan organik yang sederhana untuk pertumbuhan tanaman. Feses kambing-domba mengandung sedikit air sehingga mudah diurai. Penggunaan kotoran ternak dalam bentuk kompos sebagai pupuk organik akan memperbaiki struktur dan komposisi hara tanah.
11
Tabel 2.3 Kandungan Hara Kotoran Kambing Unsur Hara N total C organik P2O5 K2O MgO CaO Fe Mn Zn Co Pb *
Satuan % % % % % % % % ppm ppm lb/ton
Konsentrasi 0,55 7,33 0,44 0,32 0,44 2 0,77 0.053 152 3 0,0049
Sumber : (Ikhwan, 2011)
2.4
Fase-Fase Pengomposan Pengomposan mendekomposisi dan mentransformasi material organik menjadi
material seperti tanah yang disebut humus. Proses pengomposan menggunakan mikroorganisme seperti bakteri dan fungi untuk memecah material organik. Agar proses bekerja dengan baik, sangat penting
bagi mikroorganisme secara terus menerus
mendapatkan asupan makanan (organik), air, dan oksigen. Begitu juga dengan mengelola suhu material kompos sangat penting untuk membuat proses bekerja. (Rudnik, 2008) Selama
pengomposan,
mikroorganisme
memecah
material
organik
dan
memproduksi karbon dioksida, air, panas, dan kompos (Rudnik, 2008): Material organik + mikroorganisme + O2 H2O + CO2 + Kompos + Panas Dibawah kondisi aerob, degradasi material organik merupakan proses exotermal yang menghasilkan energi dalam bentuk panas, yang menghasilkan peningkatan suhu dan fase suhu tinggi (thermic). Produk akhir dari proses pengomposan adalah karbon dioksida, air, mineral, dan material organik yang telah stabil (kompos yang mengandung asam humus yang tinggi). Transformasi material organik segar menjadi kompos memiliki beberapa keuntungan : mengatasi phytotoxisitas material organik yang tidak stabil, memperbaiki status higienitas material, dan memproduksi material organik yang stabil, kaya nutrient dan C yang diketahui menguntungkan untuk tanah dan tanaman. (Insam et al., 2009)
12
Perubahan kondisi habitat (suhu, pH, aerasi, kelembaban, ketersediaan substrat) menghasilkan tahapan pertumbuhan eksponensial dan fase seimbang untuk beragam mikroorganisme. Kompos bersifat heterogen, maka dari itu, tidak semua zona tumpukan kompos mencapai suhu yang serupa. (Insam et al., 2009) Proses pengomposan terus menerus dapat dianggap sebagai urutan kultur terus menerus, masing-masing dengan sifat fisik (contoh: suhu), kimia (contoh: substrat yang tersedia), dan biologi (contoh: komposisi komunitas mikroba) dan pengaruhnya. Perubahan-perubahan ini membuat proses ini sulit untuk dipelajari, yang hampir tidak mungkin untuk mensimulasikannya di laboratorium karena suhu, aerasi, kelembaban, dan lainnya, berhubungan langsung dengan rasio permukaan-volume (Insam et al., 2009). Namun, secara umum, dapat diterima bahwa pengomposan pada dasarnya adalah proses tiga fase.
Gambar 2.1 Fase Pengomposan Sumber : Turovskiy dan Mathai, 2006 1. Fase mesofilik (25-40oC) Pada fase awal, senyawa yang kaya akan energi, melimpah, dan mudah terdegradasi seperti gula dan protein terdegradasi oleh fungi dan bakteri yang umumnya disebut sebagai dekomposer utama (Insam et al., 2009). Pada permulaan pengomposan, bakteri mesofilik dan fungi mendegradasi senyawa yang mudah larut dan terdegradasi, seperti monosakarida, pati, dan lipid. Bakteri memproduksi asam organik, dan pH menurun sampai 5-5.5. Suhu mulai meningkat secara spontan sebagai panas dilepaskan dari reaksi degradasi eksotermis. Degradasi protein mengarah pada pelepasan ammonia,
13
dan pH meningkat tajam hingga 8-9. Fase ini berlangsung selama beberapa jam sampai beberapa hari. (Rudnik, 2008) Dengan menyertakan pengaruh mekanikal seperti pembalikan, mesofauna seperti cacing kompos, tungau, dan lipan dapat berkembang lebih subur. Dari sudut pandang mikrobial, organisme-organisme ini dapat dianggap sebagai katalis, berkontribusi pada pemecahan secara mekanik dan menawarkan habitat intestinal untuk mikroorganisme yang special. (Insam et al., 2009) 2. Fase termofilik (40-65oC) Suhu tinggi memberikan keuntungan kompetitif untuk mikroorganisme termofilik yang mengalahkan mikrobiota mesofilik. Organisme mesofilik tidak aktif karena suhu tinggi, dan bersama dengan substrat yang mudah terdegradasi, ikut terdegradasi oleh mikroorganisme termofilik. Dekomposisi terus berlangsung dengan cepat, dan berakselerasi mencapai suhu sekitar 62oC. Pada suhu dibawah 60oC, lebih dari 40% padatan terdegradasi dalam minggu pertama, hampir semua oleh bakteria. (Insam et al., 2009) Hal ini berhubungan dengan koloni mikroorganisme tertentu yang meraih dekomposisi tingkat tinggi. Kompos memasuki fase termofilik ketika suhu mencapai 40 o
C. Bakteria dan fungi termofilik mengambil alih, dan tingkat degradasi limbah
meningkat. Jika suhu melebihi 55-60 oC, aktivitas dan keragaman mikroba berkurang secara drastis. Setelah mencapai panas puncak, pH menjadi stabil pada level netral. Fase termofilik dapat bertahan selama beberapa hari sampai beberapa bulan. (Rudnik, 2008)
3. Fase Pendinginan (fase mesofilik kedua)dan Pematangan atau Curing Ketika aktivitas organisme termofilik berhenti karena kehabisan substrat dan sumber karbon yang mudah terdegradasi dikonsumsi, suhu mulai menurun. Setelah mendingin, kompos menjadi stabil. Bakteria mesofilik dan fungi muncul kembali, dan diikuti dengan fase pematangan. Namun, sebagian besar speciesnya berbeda dengan species pada fase mesofilik awal (Rudnik, 2008). Pada fase awal organisme berkemampuan mendegradasi gula, oligosaccharides dan protein, organisme mesofilik kedua dikarakterisasi dengan peningkatan jumlah organisme yang mendegradasi pati atau selulosa (Insam et al., 2009). Proses biologi sekarang menjadi lambat, tetapi kompos menjadi lebih humus dan menjadi matang. Durasi fase ini tergantung pada komposisi
14
material organik dan efisiensi proses, yang dapat ditentukan dari konsumsi oksigen. (Rudnik, 2008). Selama fase pematangan, kualitas subtrat sangat menurun, dan dalam langkahlangkah yang berurutan beberapa komposisi komunitas mikroba sepenuhnya diubah. Senyawa yang tidak terdegradasi lebih lanjut, seperti lignin humus kompleks, terbentuk dan menjadi dominan (Insam et al., 2009). Pada fase curing akhir, kompos menjadi matang melalui aktivitas mikroba lebih jauh menjadi produk yang stabil. (Turovskiy dan Mathai, 2006). Kompos segar merupakan produk menengah dari fase termofilik, sedangkan kompos matang merupakan produk akhir dari fase stabilisasi. Karakteristik kompos pada dasarnya bergantung pada bahan baku dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemajuan proses. (Rudnik, 2008)
2.5
Kompos Kompos merupakan material organik yang dapat digunakan untuk memperbaiki
tanah atau sebagai medium untuk menumbuhkan tanaman. Kompos yang telah matang merupakan material yang stabil dengan kandungan yang disebut humus yang berwarna coklat tua atau hitam dan memiliki aroma seperti tanah. Kompos dibuat dari kombinasi limbah organik (seperti sampah halaman, sisa makanan, kotoran hewan, dan lainnya) dalam rasio yang tepat menjadi tumpukan, barisan, atau dalam kontainer; menambahakan penyubur (seperti serpihan kayu) jika diperlukan untuk mempercepat pemecahan material organik; dan memungkinkan material akhir untuk stabil sepenuhnya dan matang melalui proses pemulihan. (US EPA) Kompos alami, atau dekomposisi biologis, dimulai dari tanaman pertama di bumi dan telah berlangsung sejak itu. Ketika vegetasi jatuh ke tanah, perlahan-lahan meluruh, menyediakan mineral dan nutrisi yang dibutuhkan bagi tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Kompos yang telah matang, bagaimanapun, mencakup proses produksi suhu tinggi untuk menghancurkan patogen dan bibit gulma yang tidak dihancurkan oleh dekomposisi alami. Sampah halaman dapat dikombinasikan dengan limbah organik lainnya, seperti sisa makanan, kotoran hewan, dan biosolids untuk menghasilkan berbagai produk dengan sedikit perbedaan bahan kimia dan karakteristik fisik. (US EPA)
15
Gambar 2.2. Tumpukan kompos
Kompos dapat bermanfaat untuk (US EPA) : •
Menekan penyakit tanaman dan hama.
•
Mengurangi atau menghilangkan kebutuhan untuk pupuk kimia.
•
Mendorong hasil yang lebih tinggi dari tanaman pertanian.
•
Memfasilitasi reboisasi, restorasi lahan basah, dan upaya revitalisasi habitat dengan memperbaiki tanah yang terkontaminasi, tanah yang dipadatkan, dan tanah marjinal.
•
Efektif dari segi biaya dalam meremediasi tanah yang terkontaminasi oleh limbah berbahaya.
•
Menghilangkan padatan, minyak, lemak, dan logam berat dari limpasan air hujan.
•
Menangkap dan menghancurkan 99,6 persen kandungan kimia organik yang mudah menguap (VOC) di udara yang terkontaminasi dari industri .
•
Memberikan penghematan biaya minimal 50 persen dibandingkan dengan teknologi remediasi tanah, air, dan udara konvensional, jika dapat diaplikasikan.
Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai kompos adalah (US EPA): kotoran hewan, gulungan karton, kertas bersih, kain katun, serabut pengering , kulit telur, abu pembakaran , buah-buahan dan sayuran, rumput kliping, rambut dan bulu, jerami, tanaman hias, daun, kulit kacang, serbuk gergaji, koran, bungkus the, serbuk kayu, kain wol, sampah halaman.
16
2.5.1
Natural Static Pile Composting Natural Static Pile Composting merupakan salah satu metode pembuatan kompos
yang mudah dan dan tidak membutuhkan usaha dan perhatian yang banyak. Metode pengomposan ini adalah dengan menumpukan bahan dasar kompos secara bergantian menjadi beberapa tumpukan hingga semua bahan habis. Ketika membangun sebuah tumpukan kompos, proses yang terjadi bisa dingin atau panas, tergantung pada ukuran tumpukan, serta ukuran dan campuran bahan kompos yang masuk ke tumpukan. Natural Static pile composting termasuk pada proses pengomposan dingin. Marterial dasar kompos yang telah dicacah ataupun tidak dicacah ditumpuk berlapis-lapis di dalam wadah kompos. Memotong seluruh tanaman menjadi potonganpotongan yang lebih kecil meningkatkan luas permukaan, mempercepat dekomposisi, proses pengadukan atau pembalikan tumpukan lebih mudah, dan kompos yang dihasilkan bertekstur lebih halus, namun hal ini tidak diperlukan untuk metode natural static pile composting (Masley, 2010).
Lapisan seterusnya sampai bahan habis Bahan 3 - Lapisan 3 Bahan 2 - Lapisan 3 Bahan 1 - Lapisan 3 Bahan 3 - Lapisan 2 Bahan 2 - Lapisan 2 Bahan 1 - Lapisan 2 Bahan 3 - Lapisan 1 Bahan 2 - Lapisan 1 Bahan 1 - Lapisan 1 Gambar 2.3. Skema Tumpukan Kompos (Natural Static pile composting) Tumpukan bahan kompos disimpan dalam keadaan tertutup agar tidak menjadi kering ataupun menjadi sangat basah karena hujan. Ketikan tumpukan sudah cukup besar dan matang, tumpukan dibalik dan dibiarkan kembali untuk proses pengomposan pasif (Masley, 2010). Meskipun metode ini jauh lebih sederhana daripada metode pengomposan lainnya, dan membutuhkan sedikit usaha dan perhatian, metode ini
17
menghasilkan panas pada yang lebih sedikit, dan karena hal itu, metode ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya (Masley, 2010): •
Bibit gulma dapat bertahan. Panas pada bagian tengah tumpukan mungkin cukup untuk membunuh bibit gulma di dalamnya, tetapi bibit gulma yang terdapat di sekeliling atau pinggiran tumpukan dapat bertahan.
•
Penyakit Tanaman tidak hancur oleh panas dalam kompos. Untuk alasan yang sama, penyakit di tengah tumpukan dapat hilang karena panas, tetapi penyakit yang terdapat di lapisan luar tetap bertahan.
•
Tumpukan kompos statis dapat menarik tikus, possum, dan rakun. Hal ini berlaku untuk proses pengomposan dengan bahan baku sampah dapur. Dalam prosesnya, sampah dapur akan mengeluarkan bau fermentasi yang menarik tikus dan hewan lainnya. Setelah tikus tahu ada sumber makanan yang tersedia, mereka akan memperlakukan tumpukan kompos sebagai stasiun makanan dan kembali setiap malam. Untuk alasan ini, beberapa wadah kompos dirancang untuk mencegah hewan pengerat.
2.5.2
Manfaat Pengomposan Penggunaan kompos dapat memberikan berbagai manfaat terhadap lingkungan.
Terdapat 4 manfaat penting kompos. Manfaat pertama adalah kompos memperkaya tanah. Kompos memiliki kemampuan untuk membantu regenerasi tanah yang miskin. Proses pengomposan mendorong produksi mikro-organisme yang menguntungkan (terutama bakteri dan jamur) yang pada gilirannya memecah bahan organik untuk membuat humus. Humus - bahan yang kaya akan nutrisi - meningkatkan kandungan gizi dalam tanah dan membantu menjaga kelembaban tanah. Kompos juga telah menunjukkan dapat menekan penyakit tanaman dan hama, mengurangi atau menghilangkan kebutuhan akan pupuk kimia, dan meningkatkan hasil dari tanaman pertanian. Manfaat kedua adalah kompos membantu memulihkan (remediasi) tanah yang terkontaminasi. Proses pengomposan telah terbukti dapat menyerap bau dan menagani semivolatile and volatile organic compounds (VOCs), termasuk bahan bakar pemanas, polyaromatic hidrokarbon (PAH), dan bahan peledak. Kompos juga telah terbukti dapat mengikat logam berat dan mencegah mereka dari migrasi ke sumber air atau diserap oleh tanaman. Proses pengomposan menurunkan dan, dalam beberapa kasus, sepenuhnya
18
menghilangkan pengawet kayu, pestisida, serta chlorinated dan nonchlorinated hydrocarbons di tanah yang terkontaminasi. Manfaat ketiga yaitu kompos membantu mencegah pencemaran. Pengomposan bahan organik yang telah dialihkan dari tempat pembuangan sampah akhirnya menghindari produksi metana dan formulasi lindi di landfill. Kompos memiliki kemampuan untuk mencegah polutan pada limpasan air hujan sampai atau masuk ke sumber daya air permukaan. Kompos juga telah menunjukkan dapat mencegah erosi dan pendangkalan pada tanggul yang sejajar dengan anak sungai, danau, dan sungai, dan mencegah erosi dan kehilangan tanah berumput di pinggir jalan, lereng bukit, lapangan bermain, dan lapangan golf. Manfaat kompos yang keempat adalah kmpos memberikan manfaat secara ekonomi. Menggunakan kompos dapat mengurangi kebutuhan air, pupuk, dan pestisida. Ini berfungsi sebagai komoditas yang berharga dan merupakan alternatif yang murah untuk penutup TPA standar dan perbaikan tanah buatan. Pengomposan juga memperpanjang masa aktif TPA kota dengan mengalihkan bahan organik dari landfill dan menyediakan alternatif yang lebih murah daripada metode remediasi (membersihkan) konvensional pada tanah yang terkontaminasi.
19
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Analisis kualitas akan kompos dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Kementrian Pertanian. Penelitian berjalan sejak bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan Mei 2012.
3.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bak pengomposan yang tebuat dari susunan hebel, termometer, timbangan pegas, sekop, cangkul, karung, plastik, alat tulis, seperangkat alat uji kandungan hara kompos dan bahan baku. Bahan baku yang digunakan adalah jerami, kotoran kambing, dan lumpur kering sisa pengolahan air dari PDAM Bogor, PDAM Cibinong, dan PDAM Buaran. Bahan analisis kandungan hara kompos dan bahan baku kompos juga digunakan pada penelitian ini.
3.3 Metode Analisis Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap kerja, yaitu pengomposan lumpur dan jerami, analisis kualitas bahan baku dan kualitas kompos, serta analisis potensi kompos yang dihasilkan sebagai pupuk organik. Bagan alir penelitian secara skematik disajikan pada Gambar 3.2. Proses pengomposan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengomposan aerob dengan sistem natural static pile composting dimana semua bahan dasar kompos dibiarkan terdegradasi secara alami dalam sebuah struktur beraerasi dibawah udara terbuka. Prosedur pengomposan secara skematik disajikan pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Prosedur Pengomposan 20
Prosedur pengomposan dilakukan sebagai berikut : •
Lumpur residu pengolahan air dikeringkan sampai kadar air ± 35%.
•
Sebelum dicampur dengan bahan lain, dilakukan analisis laboratorium untuk parameter logam berat yang telah ditentukan.
•
Jerami disiapkan tanpa dicacah lalu ditimbang sesuai berat yang diinginkan. Kotoran kambing disiapkan dan ditimbang dengan berat yang sama dengan jerami dan lumpur.
•
Lumpur yang telah dikeringkan, jerami, dan kotoran kambing ditumpuk dalam bak pengomposan. Rasio campuran yang digunakan adalah 1:1:1. Proses penumpukan dilakukan secara alami dengan cara menumpukan ketiga bahan baku secara bergantian (jerami – lumpur – kotoran kambing) beberapa kali pengulangan sampai semua bahan baku yang disiapkan habis. Tidak dilakukan pengadukan terhadap tumpukan bahan baku kompos.
Lapisan seterusnya sampai bahan habis Kotoran Kambing - Lapisan 3 Lumpur - Lapisan 3 Jerami - Lapisan 3 Kotoran Kambing - Lapisan 2 Lumpur - Lapisan 2 Jerami - Lapisan 2 Kotoran Kambing - Lapisan 1 Lumpur - Lapisan 1 Jerami - Lapisan 1 Gambar 3.2 Ilustrasi Penumpukan Bahan Baku Kompos pada Bak Pengomposan •
Suhu tumpukan bahan kompos diperiksa setiap hari pada waktu yang sama di enam titik berbeda dan diambil rata-rata suhu setiap harinya.
•
Setelah proses pengomposan berlangsung selama dua bulan, dilakukan analisis mutu kompos di laboratorium.
21
Gambar 3.3 Bagan Alir Penelitian
Gambar 3.4 Tampak Atas Bak Pengomposan (satuan meter) 22
Gambar 3.4 merupakan tampak atas dari bak pengomposan. Bak pengomposan merupakan bak yang terbuat dari hebel dengan ukuran 60 x 20 x 7,5 cm yang ditumpuk secara berurutan tanpa direkatkan menggunakan bahan lain seperti semen. Hebel ditumpuk berurutan tidak rapat ke samping untuk menciptakan rongga yang berfungsi sebagai ventilasi udara. Ventilasi yang tercipta berukuran 0.018 m sampai dengan 0.027 m. Tidak ada pengukuran khusus pada pembuatan bak. Pembuatan bak disesuaikan dengan luas lahan yang ada. Struktur bak pengomposan dapat dilihat pada Gambar 3.4 dan 3.5.
Gambar 3.5 Ilustrasi Bak Pengomposan (satuan meter)
23
Gambar 3.6 Konstruksi Bak Kompos dan Ventilasi
Metode natural static pile composting merupakan salah satu metode yang sangat mudah dan tidak memerlukan banyak peralatan maupun tenaga sejak mulai sampai proses pengomposan selesai. Pada penelitian ini, pengomposan dilakukan dengan menumpukan bahan dasar kompos secara bergantian menjadi beberapa tumpukan hingga semua bahan habis. Marterial dasar kompos yaitu lumpur, kotoran kambing dan jerami yang tidak dicacah ditumpuk berlapis-lapis di dalam bak kompos. Gambar 3.7 merupakan hasil penumpukan ketiga bahan dasar kompos yang digunakan.
Gambar 3.7 Tumpukan Kompos
24
3.3.1
Analisis Kualitas Bahan Baku dan Mutu Kompos Analisis kualitas dilakukan pada bahan baku kompos dan pada kompos yang
sudah matang. Bahan baku yang diuji hanya kualitas lumpur kering. Parameter yang diukur pada penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua bagian. Parameter pertama merupakan parameter logam berat yang terkandung pada lumpur kering sebelum dan sesudah diberi perlakuan dengan proses pengomposan. Parameter kedua merupakan parameter kandungan nutrien pada kompos yang disesuaikan dengan SNI: 19-7030-2004. Parameter yang diujikan dalam penelitian ini adalah C organik, N total, C/N, P2O5, K2O, MgO, Fe, Mn, Zn, Al, dan Parameter yang diukur dalam menentukan kualitas kompos yang dihasilkan adalah hanya
parameter yang penting untuk pertumbuhan
tanaman yang terdapat pada SNI: 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik. Pengukuran semua parameter kompos dilakukan hanya pada hari terakhir atau pada saat kompos telah melewati masa aktif dan masa pasif pengomposan yaitu setelah 2 bulan. Namun, pengukuran suhu dilakukan setiap hari untuk melihat perubahan suhu setiap harinya dan dibuat pada grafik.
3.3.2
Analisis Data Analisis data dilakukan setelah pengumpulan dan pengolahan data. Data primer
dan sekunder akan dianalisis secara deskriptif dan komparatif. Metode deskriptif adalah suatu prosedur pengolahan data dengan menggambarkan dan meringkas data secara ilmiah dalam bentuk tabel atau grafik (Nursalam, 2008) Metode ini digunakan untuk menggambarkan analisis proses yang berlangsung selama masa pengomposan dengan melihat data uji laboratorium serta hasil pengukuran suhu setiap harinya. Metode ini juga digunakan untuk menganalisis terjadinya perjalanan unsur hara ataupun logam berat yang terdapat pada bahan baku dan pengaruhnya terhadap mutu kompos yang dihasilkan. Metode komparatif adalah metode yang menggambarkan perbedaan dari hasil penelitian dan membandingkan perbedaan tersebut. Metode komparatif digunakan untuk membandingkan pengaruh yang ditimbulkan proses pengomposan terhadap parameter yang diujikan dan kemungkinan pengaruh yang dapat timbul terhadap pertumbuhan tanaman jika diterapkan.
25
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Lumpur Bahan baku dari pengomposan ini adalah lumpur residu pengolahan air, jerami padi, dan kotoran kambing. Ketiga bahan baku ini memiliki peran yang berbeda dalam proses pengomposan yang dilakukan. Lumpur residu pengolahan air merupakan bahan baku utama pada penelitian ini. Lumpur residu pengolahan air yang digunakan sebagai sampel adalah lumpur kering yang berasal dari tiga instalasi pengolahan air di Bogor, Cibinong, dan Bekasi. Salah satu hal yang penting dalam pengomposan ini adalah kualitas lumpur kering yang digunakan untuk pengomposan. Kualitas ini akan menentukan kualitas akhir kompos yang dihasilkan yang juga mendapatkan pengaruh dari jerami dan kotoran kambing. Jerami dan kotoran kambing pada proses ini mempunyai peran sebagai bulking agent dan bio activator yang kualitasnya pun akan mempengaruhi hasil akhir pengomposan yang dilakukan. Kualitas lumpur sebelum masuk pada proses pengomposan diperlihatkan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Kualitas Awal Lumpur sebelum Pengomposan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Parameter N C C/N P K Mg Fe Al Mn Zn Pb
Satuan % % % % % % % ppm ppm ppm
Lumpur Bogor 0,09 1,1 12 0,45 0,1 0,14 3,39 9,22 1311 18 11
Lumpur Cibinong 0,13 1,69 13 0,43 0,14 0,24 5,49 14,42 1418 39 29
Lumpur Buaran 0,13 1,53 12 0,5 0,29 0,48 3,43 8,62 3289 49 29
Kualitas lumpur residu pengolahan air bersih dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kualitas air baku, pH, suhu air, tambahan bahan kimia, musim, dan pengolahan yang diterapkan. Pada penelitian ini, instalasi pengolahan air bersih yang dijadikan sebagai sumber bahan baku menggunakan proses yang hampir sama dan konvensional. Namun, terdapat beberapa perbedaan pada kualitas lumpur yang dihasilkan yang mungkin disebabkan oleh penggunaan koagulan, kualitas air baku, dan lamanya
26
waktu tinggal lumpur dalam bak penampung ataupun setelah melalui proses pengeringan. Pada penelitian ini, kualitas air baku termasuk pH dan suhu air serta musim tidak dijadikan sebagai parameter pembanding untuk kualitas lumpur. Tabel 4.1 menunjukkan bahwa ketiga lumpur memiliki kemiripan konsentrasi hampir pada setiap parameter. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa lumpur memiliki kandungan bahan organik seperti N, C, P, dan K yang cukup rendah. Lumpur yang digunakan juga mengandung logam Al, Fe, Mn, Zn, dan Pb. Walaupun konsentrasi logam yang terkandung pada lumpur tidak terlalu tinggi, konsentrasi logam perlu distabilkan agar tidak berdampak negatif bagi lingkungan. Konsentrasi Al yang ditemukan pada kualitas lumpur residu pengolahan air dari ketiga sumber menunjukkan nilai Al yang cukup tinggi. Hasil ini menguatkan dugaan sebelumnya bahwa lumpur residu pengolahan air yang menggunakan alum sebagai koagulan akan mengandung konsentrasi Al yang cukup tinggi. Namun, data kualitas lumpur juga menunjukkan bahwa parameter Mn memiliki nilai yang cukup tinggi. Konsentrasi ini dimungkinkan dimiliki oleh lumpur residu ini karena kualitas air baku dan juga bahan kimia yang digunakan pada proses pengolahan air. Selain itu, tingginya konsentrasi parameter logam mungkin berhubungan dengan kualitas koagulan yang digunakan pada proses pengolahan air dan kemungkinan kontaminan yang terdapat didalamnya. Telah diketahui juga bahwa dewasa ini, kontaminasi logam pada lumpur pengolahan air mungkin berasal dari koagulan yang digunakan (Cornwell et al., 2000). Namun, pada penelitian ini, tidak dilakukan analisis lebih jauh mengenai kualitas lumpur. Kualitas ini digunakan hanya sebagai perbandingan dengan kompos yang dihasilkan dan menentukan kinerja serta pengaruh proses pengomposan terhadap kualitas lumpur.
Gambar 4.1 Faktor Penentu Kualitas Lumpur Residu 27
4.2 Karakteristik Kompos Kompos dinyatakan telah matang ketika bentuk dan teksturnya telah menyerupai tanah dan berbau seperti tanah serta berwarna kehitaman. Namun, karena metode pengomposan yang digunakan pada penelitian ini adalah natural static pile composting, maka tidak dilakukan pembalikan atau pengadukan secara berkala seperti proses pengomposan pada umumnya. Hal tersebut menyebabkan tidak dapat terlihatnya bentuk ataupun warna kompos yang dihasilkan sebelum dilakukan proses panen kompos matang. Pada penelitian ini, penentuan kematangan kompos dilakukan dengan melihat perubahan suhu kompos yang dipantau setiap harinya. Material kompos yang telah melewati proses pengomposan diujikan kandungan hara dan logam yang terkandung di dalamnya untuk mengetahui kualitas kompos dan menjustifikasi kelayakan kompos yang dihasilkan untuk digunakan secara praktis.
Gambar 4.2 Kompos yang Sudah Matang
4.2.1
Karakteristik Fisik Kompos Karakteristik fisik kompos matang dapat dilihat secara langsung pada akhir
pengomposan. Analisis kondisi fisik kompos matang terdiri dari massa, bau, warna, dan tekstur kompos yang dihasilkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengomposan yang berlangsung selama 60 hari menyebabkan terjadinya pengurangan massa yang cukup banyak dari tumpukan awal material kompos. Perubahan massa kompos dapat dilihat pada Tabel 4.2. Perubahan massa tumpukan kompos secara otomatis menyebabkan terjadinya perubahan volume. Volume tumpukan kompos semakin berkurang seiring dengan berjalannya proses pengomposan.
28
Pengomposan mendekomposisi dan mentransformasi material organik menjadi material seperti tanah yang disebut humus. Dekomposisi adalah pemecahan fisik dan kimia dari detritus (yaitu, tumbuhan mati, hewan, dan mikroba). Dekomposisi menyebabkan penurunan massa detrital, bahan akan diubah dari bahan organik mati menjadi unsur hara anorganik dan CO2 (Chapin et al., 2002). Proses ini menggunakan asupan makanan (organik), air, dan oksigen bagi mikroorganisme. Proses dekomposisi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya sangatlah penting bagi perjalanan proses pengomposan. Proses dekomposisi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan fisik, kualitas dan kuantitas dari substrat yang tersedia untuk dekomposer, serta karakteristik dari komunitas mikroba (Chapin et al., 2002). Kondisi lingkungan fisik yang mempengaruhi proses dekomposisi diantaranya adalah suhu, kelembaban, properti tanah, serta gangguan yang terjadi pada tanah. Kulitas dan kuantitas substrat yang dapat mempengaruhi dekomposisi adalah sampah atau residu itu sendiri dan materi organik tanah. Sedangkan karakteristik dari komunitas mikroba merupakan kombinasi keadaan antara komposisi dari komunitas mikroba itu sendiri dengan kapasitas enzimatis yang tercipta atau terjadi akibat dari komposisi komunitas mikroba tersebut. Massa tumpukan yang hilang kemungkinan besar adalah gas-gas hasil penguraian oleh mikroba yang terbuang ke udara, misalnya amonia dan uap air sehingga menyebabkan berat bahan akhir menjadi berkurang (Cahaya dan Nugroho, 2008). Perubahan volume yang terjadi pada proses pengomposan ini disebabkan oleh berubahnya material baku kompos menjadi material dengan bentuk atau tekstur yang lebih sederhana dan halus. Perubahan bentuk material ini membuat material awal dengan bentuk yang berbeda-beda (daun, batang, butiran) menjadi bentuk yang seragam yang menyerupai bentuk dan tekstur tanah, sehingga mengurangi penggunaan ruang pada bak pengomposan yang menyebabkan berkurangnya volume kompos. Material yang dinyatakan sebagai kompos yang dihasilkan adalah material yang lolos saringan dengan diameter 1,18 mm, sedangkan yang tertinggal merupakan sisa bahan yang tidak terkomposkan seperti sisa kotoran kambing yang tidak terdekomposisi dan batuan yang ikut masuk dalam proses penumpukan. Tingkat pengomposan dianggap terbesar selama fase awal ketika substrat organik mudah tersedia dan nutrisi yang digunakan oleh mikroorganisme menghasilkan panas, CO2, air dan bentuk lebih stabil dari bahan organik, yang mengakibatkan berkurangnya massa (Zheng et al., 2007) .
29
Tabel 4.2 Perubahan Massa Tumpukan Kompos Kompos Bogor Cibinong Buaran
Massa Awal Tumpukan (kg)
Massa Kompos Halus (disaring) (kg)
Massa Sisa Kompos (kg)
Massa Tumpukan yang Hilang (kg)
600 600 600
231,9 220,0 220,0
252,4 239,4 237,8
115,7 140,6 142,2
Kompos yang telah matang berbau seperti tanah karena material awal kompos telah bercampur dan berubah menjadi material yang meyerupai tanah dan berwarna coklat kehitam-hitaman. Hal ini terbentuk akibat dari
proses penghumusan dan perubahan
bahan organik yang menjadi stabil selama proses pengomposan. Selain itu, tekstur akhir kompos yang lebih halus dan tidak terlihat bantuk material awalnya disebabkan oleh leburnya material awal akibat penguaian alami oleh mikroorganisme yang hidup di dalam kompos. Karakteristik fisik kompos yang dihasilkan pada penelitian ini sesuai dengan standar SNI 19-7030-2004.
4.2.2
Suhu dan Tingkat Stabilisasi Kompos Kompos dinyatakan telah matang ketika suhunya telah mencapai atau hampir
sama dengan suhu lingkungannya. Perubahan suhu kompos dapat dilihat pada gambar 4.3. Data menunjukkan bahwa suhu kompos dipengaruhi oleh waktu pengomposan, ketiga tumpukan kompos menunjukkan peningkatan suhu yang cepat dan cukup tinggi pada minggu awal pengomposan dan mengalami penurunan pada minggu-minggu berikutnya. Penurunan suhu kompos yang terjadi lalu diikuti dengan kondisi suhu yang dapat dikatakan konstan dan mendekati suhu udara ambien pada akhir pengomposan. Perubahan suhu pada proses pengomposan pada umumnya terjadi dalam tiga fase, yaitu fase mesofilik, fase termofilik, serta fase pendinginan dan pematangan. Seperti yang terlihat pada Gambar 4.3, perubahan suhu yang terjadi mengindikasikan fase yang dialami oleh ketiga kompos berbeda-beda. Fase yang terjadi merupakan fase pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik yang terdapat pada bahan baku kompos.
30
60
Temperatur (oC)
50
40
30
20 PDAM Tirta Pakuan 10
PDAM Cibinong PDAM Buaran
0 0
10
20
30
40
50
60
Waktu (Hari)
Gambar 4.3 Grafik Perubahan Suhu Kompos Variasi perubahan suhu yang terjadi pada proses pengomposan dapat terjadi akibat perbedaan jumlah material organik yang dapat terdegradasi serta kemampuan dan jumlah mikroorganisme yang terdapat pada tumpukan kompos. Seperti yang terlihat pada data, masing-masing kompos yang diamati mengalami tiga fase: (i) Fase mesofilik (25-40oC) merupakan fase awal di mana senyawa yang kaya akan energi, melimpah, dan mudah terdegradasi seperti gula dan protein terdegradasi oleh fungi dan bakteri yang umumnya disebut sebagai dekomposer utama (Insam et al., 2009). Pada permulaan pengomposan, bakteri mesofilik dan fungi mendegradasi senyawa yang mudah larut dan terdegradasi, seperti monosakarida, pati, dan lipid. Suhu mulai meningkat secara spontan sebagai panas dilepaskan dari reaksi degradasi eksotermis. Fase ini berlangsung selama beberapa jam sampai beberapa hari (Rudnik, 2008). Kompos 1 (PDAM Bogor) mengalami fase ini selama 4 hari pertama, kompos 2 (PDAM Cibinong) mengalami fase ini selama 9 hari, dan kompos 3 (PDAM Buaran) mengalami fase ini selama 10 hari. (ii) Kompos memasuki fase termofilik ketika suhu mencapai 40 oC. Bakteria dan fungi termofilik mengambil alih, dan tingkat degradasi limbah meningkat (Rudnik, 2008). Fase termofilik (40-65oC) seperti yang terlihat pada grafik, suhu campuran kompos 1 (PDAM Bogor) berkembang memasuki fase termofilik pada hari ke 5 dan bertahan 31
selama 17 hari dan mencapai suhu tertinggi 55 oC pada hari ke 9 dan 10. Kompos 2 (PDAM Cibinong) dan kompos 3 (PDAM Buaran) juga melewati suhu 40 oC, namun tidak melewati suhu 55oC. Suhu tertinggi pada kompos 2 hanya mencapai 45 oC, sedangkan untuk kompos 3 hanya mencapai 48 oC. Suhu tinggi memberikan keuntungan kompetitif untuk mikroorganisme termofilik yang mengalahkan mikrobiota mesofilik. Organisme mesofilik tidak aktif karena suhu tinggi, dan bersama dengan substrat yang mudah terdegradasi, ikut terdegradasi oleh mikroorganisme termofilik. (Insam et al., 2009). Bakteria dan fungi termofilik mengambil alih, dan tingkat degradasi limbah meningkat. Fase termofilik dapat bertahan selama beberapa hari sampai beberapa bulan (Rudnik, 2008). (iii) Fase pendinginan (fase mesofilik kedua) dan pematangan (curing) terjadi setelah ketiga tumpukan kompos melewati suhu tertinggi dan menurun sampai dengan suhu yang hampir sama dengan suhu lingkungan. Pada fase ini, suhu ketiga kompos turun dari suhu tertinggi sampai dengan kisaran suhu 28-32oC. Ketika aktivitas organisme termofilik berhenti karena kehabisan substrat dan sumber karbon yang mudah terdegradasi dikonsumsi, suhu mulai menurun. Setelah mendingin, kompos menjadi stabil. Bakteria mesofilik dan fungi muncul kembali, dan diikuti dengan fase pematangan. Namun, sebagian besar speciesnya berbeda dengan species pada fase mesofilik awal (Rudnik, 2008). Fase pematangan atau juga disebut fase stabil yang mengindikasikan tidak terukurnya perubahan suhu yang berarti, dimana suhu akan tetap terus berada pada kisaran suhu 28-32oC. Proses biologi sekarang menjadi lambat, tetapi kompos menjadi lebih humus dan menjadi matang. Pada fase curing akhir, kompos menjadi matang melalui aktivitas mikroba lebih jauh menjadi produk yang stabil. (Turovskiĭ et al., 2006). Tinggi rendahnya suhu kompos dan durasi suhu berada pada suatu nilai mengindikasikan kuantitas material organik yang dapat terdegradasi. Semakin tinggi suhu dan semakin lama kompos berada pada suhu tinggi, mengindikasikan bahwa material organik yang dapat terdegradasi semakin banyak. Data menunjukkan bahwa material organik yang dapat terdegradasi oleh proses pengomposan cukup banyak. Aktivitas mikroorganisme menyebabkan meningkatnya temperatur dari campuran bahan baku yang digunakan. Penurunan suhu menunjukkan penurunan aktivitas mikroorganisme yang juga berhubungan dengan semakin habisnya material organik yang dapat terdegradasi. Pada penelitiannya, Haroun et al., (2007) menyatakan bahwa jumlah mikroorganisme menurun karena semakin berkurangnya jumlah nutrisi dari medium dan atau dari menurunnya suhu
32
tumpukan kompos selama masa termofilik. Pada suhu tinggi yang sampai pada 60oC, pathogen yang ada pada tumpukan kompos akan lebih cepat mati. Peningkatan suhu erat hubungannya dengan stabilisasi material kompos untuk menentukan kelayakan suatu material digunakan sebagai kompos pada tanah. Telah diketahui sebelumnya bahwa penggunaan praktis kompos pada pertanian membutuhkan pengetahuan yang baik mengenai kematangan dan level stabilisasi material organik yang dapat dicapai pada akhir pengomposan. Penggunaan material dengan kandungan material organik yang tidak stabil pada tanah dapat menyebabkan kompetisi dalam pengambilan oksigen antara mikroorganisme dan akar tanaman (Grigatti et al., 2011). Jika hanya dilihat melalui perubahan suhu yang terjadi, proses pengomposan dapat dikatakan terjadi dengan baik. Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah melalui 60 hari pengomposan, semua parameter yang diamati mengalami penguraian dan mencapai tingkat yang relatif stabil yang mencerminkan stabilitas dan kematangan produk akhir. Hal ini mengungkapkan bahwa biodegradasi komponen yang dapat dengan mudah dibaur oleh mikroorganisme. Hal yang sama juga dialami dan diuraikan oleh Haroun et al., (2009) pada penelitiannya. Pada masa akhir pengomposan juga terlihat bahwa suhu mencapai suhu yang stabil dan mendekati suhu ambien, sehingga kompos yang dihasilkan dapat dikatakan telah matang dan mencapai kestabilan. Pada Gambar 4.2, suhu kompos mengalami penurunan setelah kompos mengalami suhu tertinggi, namun penurunan suhu yang terjadi tidak terlalu tajam. hal ini mungkin disebabkan oleh metode pengomposan yang digunakan. Berbeda dengan proses pengomposan konvensional yang juga menyertakan proses pembalikan atau pengadukan sebagai usaha sirkulasi oksigen yang baik dan merata pada semua bagian kompos, metode natural static pile composting ini mendapatkan suplai oksigen hanya dari celah pada konstruksi bak yang berfungsi sebagai ventilasi. Namun, hasil yang didapatkan (perubahan suhu), memenuhi proses yang perlu dilalui sebagaimana umumnya. Hasil ini menyatakan bahwa, metode natural static pile composting merupakan metode yang mudah namun dengan proses yang cukup baik.
4.2.3
Kualitas Hara Kompos Tabel 4.3 menunjukkan kualitas kompos yang dihasilkan dari proses
pengomposan lumpur residu pengolahan air dengan jerami dan kotoran kambing. Untuk menjustifikasi apakah sebuah material yang telah melewati proses pengomposan dapat dikatakan sebagai kompos, perlu dilakukan komparasi kualitas material dengan kualitas 33
kompos menurut SNI yang berlaku. Perbandingan kualitas kompos yang dihasilkan dengan SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik dilakukan untuk mengetahui apakah kompos memenuhi baku mutu nasional yang telah ditentukan. Dapat dilihat bahwa parameter Mg, Al, dan Mn pada semua sampel serta Fe pada kompos buaran memiliki konsentrasi di atas baku mutu. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya konsentrasi awal dari parameter-paramter tersebut. Untuk parameter Mg dan Mn pada semua kompos dan Fe pada kompos buaran, konsentrasi yang dihasilkan masih dapat ditoleransi karena perbedaannya tidak terlalu besar. Perbedaan tertinggi hanya mencapai 0,54 lebih tinggi dari baku mutu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompos jerami memenuhi syarat dan menunjukkan kualitas kompos yang cukup baik. Tabel 4.3 menunjukkan sebagian besar kualitas kompos yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan SNI. Namun, untuk lebih mengetahui pengaruh pengomposan terhadap lumpur residu pengolahan air, maka dilakukan perbandingan kualitas sebelum dan sesudah proses pengomposan seperti pada Gambar 4.5 sampai 4.7 dan Gambar 4.9 sampai 4.16.
Tabel 4.3 Perbandingan Kualitas Kompos dengan SNI 19-7030-2004 No.
Parameter
Satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
N C C/N P K Mg Fe Al Mn Zn Pb
% % % % % % % % ppm ppm
Kompos Bogor 0,93 12,46 13 0,39 0,52 0,82 * 1,57 6,71 * 0,16 * 28 td
Kompos Cibinong 0,84 10,28 12 0,51 0,72 1,09 * 1,3 4,28 * 0,17 * 31 Td
Kompos Buaran 1,11 12,85 12 0,5 0,83 1,14 * 2,46 * 7,25 * 0,17 * 82 td
SNI > 0,4 9,8 - 32 10 - 20 > 0,1 > 0,2 < 0,6 <2 < 2,2 < 0,1 < 500 < 150
Keterangan : td (tidak terdeteksi), limit deteksi Pb : 0,8 ppm *) tidak sesuai SNI
Gambar 4.5 sampai 4.7 dan Gambar 4.9 sampai 4.16 menunjukkan bahwa hampir semua parameter mengalami perubahan konsentrasi, baik meningkat maupun menurun dari kualitas lumpur awal sebelum dikomposkan. Hanya nilai C/N yang nilainya cukup stabil dari lumpur sampai menjadi kompos. Namun yang membedakan adalah konsentrasi
34
C dan N yang terkandung pada lumpur dan kompos jauh berbeda. Seperti terlihat pada gambar, konsentrasi C dan N meningkat tajam setelah menjadi kompos. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan lumpur dengan jerami dan kotoran kambing memberikan masukan atau tambahan bahan organik pada lumpur dalam bentuk kompos. Peningkatan konsentrasi C dan N ini kemungkinan disebabkan oleh tercampurnya hara yang dikandung jerami dan kotoran kambing dengan lumpur, sehingga terjadi reaksi antara ketiganya dan menghasilkan kompos dengan kandungan hara yang baik, stabil, dan
1.2
14
1
12 Konsentrasi (%)
Konsentrasi (%)
memenuhi standar kompos yang disyaratkan.
0.8 0.6 0.4
10 8 6 4
0.2
2
0
0 Bogor
Lumpur
Cibinong
Buaran
Bogor
Kompos
Lumpur
Gambar 4.4 Perubahan Konsentrasi N
Rasio
13 12 11 10
Lumpur
Cibinong
Buaran
Kompos
Gambar 4.6 Perubahan Rasio C/N
35
Buaran
Kompos
Gambar 4.5 Perubahan Konsentrasi C
14
Bogor
Cibinong
Perubahan nilai C dan N ketiga kompos merefleksikan dekomposisi material organik dan proses stabilisasi selama proses pengomposan berlangsung. Nitrogen dibutuhkan oleh mikroorganisme sebagai sumber makanan untuk pembentukan sel-sel tubuhnya dan karbon sebagai sumber tenaga bagi mikroorganisme untuk berkembang biak dengan baik dan mampu menghasilkan panas yang lebih tinggi (Cahaya dan Nugroho, 2008). Perubahan rasio C/N disebabkan oleh pembentukan dan kehilangan CO2 seperti juga yang disebutkan oleh Haroun et al., (2007) pada penelitiannya. Salah satu parameter kompos yang penting adalah rasio C/N yang biasa digunakan sebagai indikator baik atau tidaknya suatu kompos. Nilai C/N yang terlalu tinggi dapat menghambat mobilisasi N dan dapat mengurangi kandungan unsur hara tanah jika diaplikasikan. Sedangkan nilai C/N yang terlalu rendah dapat memicu volatilisasi N. Seperti yang disampaikan oleh Grigatti et al., (2011), nilai C/N erat hubungannya dengan mineralisasi karbon dan nitrogen, hal ini menunjukkan bahwa material yang digunakan pada campuran kompos akan mempengaruhi nilai N organik dan secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai C/N. Hubungan ini terlihat dari nilai N-organik pada lumpur awal dan kompos yang dihasilkan mengalami peningkatan, tetapi dengan peningaktan yang berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan material lumpur yang digunakan berasal dari sumber yang berbeda, sehingga berbeda pula tingkat mineralisasi material organiknya dan merefleksikan terjadinya penurunan nilai C/N yang juga hampir mirip dengan yang disampaikan oleh Grigatti et al., (2011) dan Rashad et al., (2010).
Gambar 4.7 Proses Pengomposan
36
Selain daripada nilai N-organik, keberadaan karbon juga memegang peran penting pada imobilisasi N seperti yang tercatat sebelumnya oleh Barrington et al., (2002). Konsentrasi C umumnya menurun selama periode pengomposan berlangsung sedangkan N total stabil setelah minggu 4. Hal ini menunjukkan fase pendinginan (curing) yang terjadi setelah fase pengomposan aktif, ketika ketersediaan bahan organik labil membatasi laju mineralisasi mikroba dan pembentukan lambat material humus terjadi (Tognetti et al., 2007). Barington et al., (2002) menyebutkan bahwa kehilangan dari N dengan volatilisasi tidak terpengaruh oleh kelembaban atau adanya aerasi, tetapi dengan hilangnya C selama proses pengomposan. Tingkat C tersedia dalam kompos memiliki korelasi yang lemah dengan kehilangan N, menunjukkan bahwa faktor, seperti ukuran partikel, mempengaruhi ketersediaan C. Sebuah analisis regresi antara kehilangan N dan C menunjukkan bahwa 85% dari semua bulking agent dari N tersedia untuk degradasi selama pengomposan. Selanjutnya, mikroba menyebabkan immobilisasi C dan N memiliki C / N rasio sebesar 8,6 dan hilangnya C dengan penguapan sebagai CO2 mewakili 133% dari yang bergerak. Peningkatan total nitrogen selama pengomposan disebabkan oleh berkurangnya substrat karbon yang menyebabkan kehilangan CO2. Nitrogen anorganik N–NH4 dan N– NO3 bisanya dipengaruhi oleh kegaitan proteolytic bakteria dan sebagian juga terbentuk menjadi bentuk organik yang stabil. Material organik terdekomposisi dan berubah menjadi material humus yang stabil. (Haroun et al., 2009). Hal ini berbeda dari hasil yang disampaikan Barington et al., (2002). Material humus memiliki kapasitas untuk berinteraksi dengan ion logam, dan memiliki kemampuan penyangga pH dan untuk berperan sebagai sumber nutrien yang potensial untuk tanaman. Keberadaan P, Ca, K, Mg, dan Na serta Fe dan Mn merupakan material yang lebih penting untuk digunakan sebagai mineral pada pupuk (Soumare et al., 2003). Maka dari itu, aplikasi material kompos akan meningkatkan nilai N organik dan karbon humus dan meningkatkan elemen mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Perbedaan pada hasil untuk elemen dan beberapa sampel dimungkinakan oleh karena hasil dari pelindian. Peningkatan konsentrasi hara juga terjadi pada paramter P dan K yang juga merupakan parameter penting untuk material pupuk ataupun soil conditioner. Makirim et al., (2007) menyebutkan bahwa di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0,4% N; 0,02% P; 1,4 K; dan 5,6% Si. Untuk setiap 1 ton gabah tanaman padi, akan dihasilkan sekitar 1,5 ton jerami yang mengandung 9 kg N, 2 kg P, 25 kg K, dan 2 kg Mg. Dari hasil 37
yang didapatkan dan berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa jerami memberikan kontribusi pada peningkatan P dan K yang dimiliki oleh kompos. Pada grafik terlihat bahwa konsentrasi K jauh lebih tinggi peningkatan konsentrasinya dibandingkan dengan peningkatan yang dialami oleh P. Hal ini berbanding lurus dengan pernyataan Makirim et al., (2007) yang menyebutkan bahwa jika dilihat pada kandungan hara jerami seperti yang telah disebutkan di atas, jerami padi tidak efektif dan tidak efisien bila diandalkan sebagai sumber hara P, tetapi cukup efektif sebagai sumber K. Penurunan atau tidak adanya peningkatan P pada kompos yang dihasilkan pada kompos Bogor dan Buaran juga mungkin disebabkan oleh unsur P lebih banyak digunakan oleh mikroorganisme dalam proses pengomposan. Seperti yang disebutkan oleh Cahaya dan Nugroho (2008), kotoran kambing merupakan penyedia unsur P bagi mikroorganisme, sehingga mikroorganisme yang terdapat dalam tumpukan kompos Bogor dan Buaran dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga proses
0.6
1
0.5
0.8
Konsentrasi (%)
Konsentrasi (%)
dekomposisi dan penstabilan unsur-unsur pada kompos dapat berjalan dengan baik pula.
0.4 0.3 0.2
0.4
0.1
0.2
0
0 Bogor
Lumpur
Cibinong
Buaran
Kompos
Gambar 4. 8 Perubahan Konsentrasi P
4.2.4
0.6
Bogor
Lumpur
Cibinong
Buaran
Kompos
Gambar 4. 9 Perubahan Konsentrasi K
Kualitas Logam Kompos Logam berat yang kelimpahannya sangat perlu diperhatikan adalah Pb, Cr, As,
Zn, Cd, Cu, dan Hg. Logam berat tersebut sangat penting karena keberadaannya mampu menurunkan produksi tanaman yang disebabkan oleh resiko dari bioakmulasi dan biomagnifikasi pada rantai makanan. Keberadaan dan transport dari logam berat tergantung pada formula dan spesiasi kimianya. Distribusi dari logam berat dikontrol oleh reaksi dari logam berat itu sendiri, seperti presipitasi dan pelepasan mineral; pertukaran
38
ion, adsorpsi, desorpsi; aqueous complexation; imobilisasi dan mobilisasi biologis; dan penyerapan oleh tanaman (Wuana dan Okieimen, 2011). Sifat-sifat distribusi logam inilah yang dapat mempengaruhi mobilitas logam pada kompos dan mempengaruhi kualitas dari hasil akhir kompos yang didapatkan. Pada penelitian ini, logam yang diujikan adalah Mg, Fe, Al, Mn, Zn, dan Pb. Pada tabel 4.3, terlihat bahwa parameter Mg mengalami peningkatan konsentrasi dari kualitas lumpur awal. Peningkatan konsentrasi yang terjadi merupakan hasil dari mobilitas serta akumulasi logam yang terdapat pada ketiga bahan baku yang digunakan. Proses pengomposan itu sendiri merupakan proses penghumusan dari material dasar yang digunakan. Proses pengomposan yang terjadi adalah merubah wujud bahan baku dari daun, kotoran kambing dan lumpur menjadi bahan yang memiliki sifat seperti tanah tetapi dengan kandungan hara yang lebih banyak. Namun peningkatan konsentrasi ini bukan merupakan hal yang negatif karena walaupun mengalami peningkatan, konsentrasinya tidak melebihi jauh dari baku mutu yang ditetapkan. Perbedaan tertinggi hanya mencapai 0,54 lebih tinggi dari baku mutu. Hal yang sama terjadi pada parameter Zn dan Mn. Dua dari tiga sampel kompos menunjukkan terjadinya peningkatan konsentrasi dari kualitas lumpur awal. Tidak dapat dijelaskan secara lebih jauh mengenai penyebab terjadinya peningkatan konsentrasi logam-logam tersebut. Namun, pada penelitiannya, Garcia et al., (1995) menyatakan bahwa secara umum peningkatan konsentrasi logam karena pengomposan diakibatkan oleh berkurangnya massa karena mineralisasi. Berkurangnya konsentrasi logam bergantung pada proses pelindian. Peningkatan level logam diakibatkan oleh kehilangan massa pada proses pengomposan mengikuti dekomposisi material organik, pelepasan karbon dioksida dan air, dan proses mineralisasi. (Wagner et al., 1990; Canaruttto et al., 1991). Zn memiliki karakteristik amfoter dan senyawanya serta kelarutan yang relatif tinggi pada rentang nilai pH yang lebar (Haroun et al., 2007). Karena itu, diasumsikan bahwa Zn secara bersamaan bergerak dan menyebabkan kecenderungan untuk terjadinya pelindian. Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi total Zn menurun. Namun, seperti terlihat pada gambar 4.14, kompos Bogor dan Buaran justru mengalami peningkatan konsentrasi Zn. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih kuatnya Zn berada pada fraksi padat sehingga proses pelindian cukup terhambat. Namun peningkatan ini bukan merupakan hal yang negatif, karena konsentrasi Zn masih berada pada batas yang
39
diizinkan pada SNI. Peningkatan ini sebaliknya memberikan hasil yang cukup baik karena memperkaya hara kompos. Hal sebaliknya terjadi pada parameter logam yang juga merupakan unsur mikro pada kompos. Konsentrasi logam Fe, Al, dan Pb pada kompos mengalami penurunan yang cukup besar jika dibandingkan dengan konsentrasi awal pada lumpur. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan dapat menurunkan kandungan logam pada lumpur resisu pengolahan air termasuk logam berat seperti Pb. Penurunan konsentrasi logam ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya proses pelindian selama pengomposan berlangsung. Leaching atau pelindian oleh air memindahkan material yang larut menjauh dari bahan organik yang terdekomposisi. Pelindian adalah proses fisik yang mana mineral ion dan kecil dari senyawa organik yang mudah larut dalam air, melarut dalam air dan bergerak melalui tanah. Pelindian dimulai ketika jaringan masih hidup dan paling penting adalah ketika masa pembusukan. Kehilangan akibat pelindian dari limbah secara proporsional lebih penting untuk nutrien daripada karbon. Senyawa yang larut pada lindi dari dedaunan adalah gula, asam amino, dan senyawa lain yang labil (mudah rusak/terpecah) atau diserap utuh oleh mikroba tanah. Lindi seringkali mendukung
1.2
6
1
5 Konsentrasi (%)
Konsentrasi (%)
pertumbuhan mikroba dan respirasi. (Chapin et al., 2002).
0.8 0.6 0.4
4 3 2
0.2
1
0
0 Bogor Lumpur
Cibinong
Buaran
Kompos
Gambar 4.10 Perubahan Konsentrasi Mg
Bogor Lumpur
Cibinong
Buaran
Kompos
Gambar 4.11 Perubahan Konsentrasi Fe
40
0.35 0.3 Konsentrasi (%)
Konsentrasi (%)
16 14 12 10 8 6 4 2 0
0.2 0.15 0.1 0.05 0
Bogor Lumpur
Cibinong
Buaran
Bogor
Kompos
Lumpur
Gambar 4.12 Perubahan Konsentrasi Al
Cibinong Buaran Kompos
Gambar 4.13 Perubahan Konsentrasi Mn
35
100
30
80
Konsentrasi (%)
Konsentrasi (ppm)
0.25
60 40 20
25 20 15 10 5 0
0 Bogor
Lumpur
Cibinong
Bogor
Cibinong
Buaran
Lumpur
11
29
29
Kompos
0
0
0
Buaran
Kompos
Gambar 4.14 Perubahan Konsentrasi Zn
Gambar 4.15 Perubahan Konsentrasi Pb (konsentrasi Pb pada kompos <0,8 ppm)
Penurunan konsentrasi logam berat tergantung pada kehilangan logam akibat proses leaching atau pelindian selama proses pengomposan berlangsung (Haroun et al., 2007). Kehilangan ini sebagian besar terjadi pada fase termofilik dan dapat berhubungan dengan suhu juga dapat berhubungan dengan pelepasan logam yang terjadi akibat dekomposisi material organik, peningkatan kelembaban, perubahan kondisi oxidic dan anionik lainnya dalam medium sehingga meningkatkan kelarutan logam (Soumare et al., 2003; Zorpas et al., 2003). Menurunkan jumlah logam berat tergantung pada hilangnya logam melalui pelindian. Peningkatan nilai logam terjadi karena penurunan massa dalam pengomposan akibat dekomposisi organik, pelepasan karbon dioksida dan air dan proses mineralisasi. Selain itu, proses pengomposan merupakan proses pengolahan lingkungan yang penting untuk mengeliminasi fraksi logam yang labil/tidak stabil, terutama pada saat 41
fase dekomposisi aktif. Bahkan setelah fase stabilisasi, konsentrasi logam menjadi steady, mengindikasikan bahwa proses pelindian telah berhenti, menunjukkan adanya keuntungan untuk aplikasi lahan dari kompos matang. (Amir et al., 2005; Haroun et al., 2007). Perubahan konsentrasi logam sebagai unsur serta logam berat pada kompos menunjukkan terjadinya penurunan yang bermakna jika dibandingkan dengan konsentrasi logam pada lumpur awal. Pada penelitian ini parameter Pb mengalami penurunan yang cukup bermakna karena pada kompos yang dihasilkan, tidak terdeteksi parameter Pb (konsentrasi Pb <0,8 ppm). Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan bekerja dengan baik dan memberikan reaksi positif dengan menurunkan konsentrasi Pb dalam jumlah yang cukup besar bagi lumpur dengan kandungan logam berat. Pada penelitiannya, Haroun et al., (2007) mendapatkan hasil bahwa Pb lebih giat bergerak selama masa-masa akhir proses dekomposisi.
Hal
ini
memungkinkan
bahwa
proses
dekomposisi
membantu
menformulasikan species Pb yang lebih mudah larut seperti hydrated oxide dan nitrat, atau species yang tidak larut terbuang bersama lindi, dalam ikatan (Haroun et al., 2007). Lebih jauh lagi, hasil penelitian tersebut menunjukkan derajat rendah dari kemampuan retensi/tinggal dari Pb, hal ini mengagetkan mengingat faktanya pada lingkungan, keberadaan Pb biasanya bersifat tidak larut atau memiliki kemampuan larut sebagian saja. Hal ini dimungkinkan baik proses dekomposisi membantu formasi Pb menjadi lebih mudah larut. Tandy et al., (2009) menyatakan adanya kemungkinan terjadinya kerusakan bahan organik yang menyebabkan pelepasan Pb. Indikasi-indikasi seperti yang telah diuraikan di atas yang mungkin menyebabkan terjadinya penurunan yang juga masih meninggalkan sisa konsentrasi Pb ataupun logam lainnya. Hasil penelitian ini tidak dapat menjelaskan penurunan yang terjadi pada logam secara keseluruhan dan mendetail karena tidak dilakukan penelitian lebih jauh mengenai hal tersebut. Namun, dapat dikatakan bahwa penurunan konsentrasi logam yang terjadi, secara umum dimungkinkan terjadi akibat sebagian konsentrasi logam terlarut oleh air dan terbuang bersama lindi dalam ikatan. Sedangkan sisanya tidak bergerak dalam fraksi padat. Implikasi dari ini adalah bahwa pelindian terhambat, baik secara kimia atau fisik, karena peningkatan retensi dalam fraksi padat. Perbandingan dilakukan untuk mengetahui proses dan mobilitas kandungan hara maupun logam selama masa pengomposan sampai kompos matang dihasilkan. Setelah melakukan perbandingan, dapat terlihat bahwa telah terjadi distribusi logam yang diantaranya diakibatkan oleh berbagai reaksi logam seperti adsorbsi, desorbsi, pertukaran 42
ion, maupun mobilisasi logam. Pengomposan merupakan proses lingkungan yang penting untuk mengeliminasi fraksi logam yang tidak stabil, utamanya pada saat fase dekomposisi aktif. Setelah fase stabilisasi, konsentrasi total logam menjadi stabil, mengindikasikan proses eliminasi melalui lindi telah selesai, dan menandakan kompos matang dan dapat diaplikasikan. (Haroun et al., 2007). Sayangnya, pada penelitian ini, konsentrasi logam tidak diperiksa secara berkala, sehingga hanya dilihat hasil akhirnya saja. Berdasarkan hasil yang didapat, reaksi yang terjadi belum dapat dikatakan memberikan hasil yang baik dalam rangka menstabilkan kandungan lumpur, tetapi material yang dihasilkan dapat dikatakan sebagai kompos karena telah memiliki hara dan kualitas yang sesuai dengan baku mutu kompos. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengomposan memberikan pengaruh yang positif bagi lumpur. Proses pengomposan meningkatkan kandungan hara makro pada lumpur yang telah menjadi kompos dan menurunkan konsentrasi logam yang awalnya dikandung oleh lumpur. Perubahan konsentrasi dari lumpur menjadi kompos yang dihasilkan tidak berbanding lurus dengan kualitas lumpur awal. Konsentrasi pencemar yang sama pada lumpur belum tentu menghasilkan konsentrasi kompos yang sama pula. Hal ini tergantung pada proses dekomposisi yang terjadi pada setiap tumpukan kompos yang juga dipengaruhi oleh kualitas bahan tambahan (jerami dan kotoran kambing), sifat dan reaksi dari bahan-bahan yang digunakan terhadap proses pengomposan yang berlangsung serta faktor-faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi yang terjadi. Metode pengomposan yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode pengomposan natural static pile composting yang merupakan metode pengomposan yang mudah dan tidak memerlukan banyak perlakuan, sehingga pada prakteknya tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Pengomposan ini merupakan penelitian awal mengenai pengomposan lumpur pengolahan air. Penelitian ini dibuat untuk mengetahui pengaruh atau reaksi lumpur terhadap proses pengomposan, sehingga tidak dilakukan banyak variasi perlakuan ataupun rasio pencampuran. Metode ini merupakan metode yang diusahakan dapat dilaksanakan dan berjalan dengan sealami mungkin. Proses pertukaran udara yang dialami oleh tumpukan kompos ini pun terjadi secara alami atau tanpa dorongan atau tambahan udara. Begitu pula dengan bahan-bahan yang digunakan, bahan mentah ditumpuk tanpa dilakukan pencacahan ataupun perlakuan apapun sebelum proses pengomposan.
43
Dapat dilakukan pengembangan ataupun perbaikan mutu kompos yang belum memenuhi baku mutu SNI 19-7030-2004. Perbaikan dan pengembagan dapat dilakukan dengan menerapkan rasio masa pada bahan baku yang digunakan untuk mengetahui rasio masa yang paling efektif. Penggantian sumber bulking agent dan bio-activator juga dapat dilakukan untuk mendapatkan material kompos yang mengandung hara yang lebih baik.
4.3 Perhitungan Perkiraan Kompos Pada penelitian ini, proses pengomposan dapat digunakan sebagai alternatif penanganan lumpur yang dihasilkan oleh instalasi pengolahan air. Namun, agar dapat dilakukan proses pengomposan, lumpur perlu dikeringkan terlebih dahulu sampai dengan kadar air ± 35%. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan proses transport lumpur dari instalasi sampai pada lokasi pengomposan, serta memudahkan proses penumpukan material kompos. Untuk mendapatkan lumpur kering, hal yang dapat dilakukan dan sudah dilakukan oleh beberapa instalasi pengolahan air di Indonesia adalah dengan proses dewatering menggunakan drying beds. Dengan proses pengeringan tersebut, dapat dihasilkan 100300 kg lumpur kering per m2 per tahun. Drying beds umumnya memiliki kedalaman 0,3 sampai 1 m. Namun, drying beds hanya dapat menghasilkan lumpur kering dengan kandungan padatan 15-30% (kadar air 70-85%) dalam waktu 3 sampai 4 hari dengan massa jenis 1200- 1520 kg/m3 (Qasim et al., 2000). Maka dari itu, proses pengeringan perlu dilakukan lebih lama, setidaknya 5 sampai 7 hari untuk mendapatkan lumpur yang lebih kering. Penelitian ini menggunakan 200 kg lumpur dengan kadar air ±35%. Lumpur dalam jumlah tersebut dikomposkan dengan tambahan jerami dan kotoran kambing dengan rasio 1:1:1 menghasilkan rata-rata 224 kg kompos halus yang dapat diaplikasikan. Hasil tersebut memberikan efisiensi pengomposan sebesar 37,3%. Secara teori, idealnya drying beds menghasilkan maksimal 300 kg lumpur per m2 dengan kadar air ±70%. Dengan nilai tersebut, maka dapat dilakukan perhitungan perkiraan kompos yang dapat dihasilkan sebagai berikut:
44
Tabel 4.4 Perkiraan Kompos yang Dihasilkan Secara Teoritis Parameter
Satuan
Nilai
2
Berat lumpur per m per tahun (kadar air 70% basis basah)
kg
300
Untuk memperkirakan jumlah kompos yang dihasilkan berdasarkan hasil penelitian, maka perlu dilakukan
100%
pengeringan lumpur sampai kadar airnya mencapai 35% Kadar air lumpur awal Estimasi berat padatan Berat padatan kering
% %
70 100%
kg
90
kg
49
kg
139
kg
417
kg
156
Berat air dalam lumpur setelah dikeringkan Berat lumpur per m2 per tahun (kadar air 35% basis basah) Berat total bahan baku kompos (dengan tambahan jerami dan kotoran kambing rasio massa 1:1:1) Berat kompos yang dapat dihasilkan (dengan tambahan jerami dan kotoran kambing rasio massa 1:1:1)
Perhitungan di atas memberikan hasil bahwa dengan mencampurkan 139 kg lumpur, 139 kg jerami, dan 139 kg kotoran kambing serta efisiensi produksi kompos sebesar 37,3%, dapat dihasilkan kompos sebanyak 156 kg.
45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Lumpur dengan kandungan pencemar terutama logam berat yang cenderung tidak stabil dapat ditangani dan diolah dengan teknik pengomposan. Teknik pengomposan lumpur dengan jerami dan kotoran kambing yang menggunakan metode natural static pile composting memberikan hasil kompos dengan kualitas yang memenuhi baku mutu kompos. Metode natural static pile composting merupakan metode yang cukup mudah dan praktis untuk diterapkan pada proses pengomposan lumpur ataupun bahan lainnya. 2. Proses pengomposan yang diterapkan pada lumpur dengan menggunakan jerami dan kotoran kambing memberikan pengaruh yang cukup baik bagi kompos yang dihasilkan. Proses degradasi oleh mikroorganisme berlangsung dengan baik dan dapat menstabilkan material organik serta logam yang terkandung pada campuran ketiga bahan baku yang digunakan. Hal ini ditandai dengan laju suhu yang sesuai dan terjadinya penurunan kandungan logam serta terbentuknya unsur hara yang lebih baik. Proses pengomposan menghasilkan material humus yang lebih stabil. 3. Kompos yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki kandungan unsur hara makro dan mikro serta kandungan logam berat yang memenuhi baku mutu SNI 19-70302004. Berdasarkan hasil yang didapat, kompos yang dihasilkan dapat dikatakan memiliki kandungan hara yang cukup baik untuk diterapkan sebagai soil conditioner.
5.2 Saran Berikut merupakan saran yang dapat diberikan untuk mengembangkan penelitian ini : 1. Penelitian
selanjutnya
diharapkan
dapat
menyertakan
variabel
lain
yang
mempengaruhi kualitas lumpur dalam proses analisisnya agar pergerakan pencemar ataupun logam yang terkandung di dalamnya dapat lebih terlacak. 2. Analisis kandungan unsur hara makro dan mikro perlu dilakukan pada semua parameter yang tercantum pada SNI 19-7030-2004 untuk mendapatkan hasil yang lebih terperinci.
46
3. Pengembangan penelitian ini dapat dilakukan dengan memvariasikan perbandingan massa bahan baku pengomposan yang akan digunakan untuk mengetahui rasio massa yang paling efektif dalam rangka mendapatkan hasil kompos yang lebih baik. 4. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang lebih jauh, pengukuran setiap parameter yang diujikan perlu dilakukan secara berkala agar diketahui proses perubahan parameter yang terjadi selama proses pengomposan berlangsung.
47
DAFTAR PUSTAKA
Amir S, Hafidi M, Merlina G, Revel JC. 2005. Sequential extraction of heavy metals during composting of sewage sludge. Chemosphere 59: 801–810. [AwwaRF] AWWA Research Foundation. 2007. Advancing the Science of Water: AwwaRF and Water Treatment Residuals. Barrington S, Choiniere D, Trigui M, Knight W. 2002. Effect of carbon source on compost nitrogen and carbon losses. Bioresource Technology 83: 189–194. Cahaya TSA, Nugroho DA. 2008. Pembuatan kompos dengan menggunakan limbah padat organik (sampah sayuran dan ampas tebu) [Makalah Konferensi atau Lokakarya]. Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/1451/1/Makalah_Penelitian.pdf Canaruttto S, Petruzzelli G, Lubrano L, Guidi G.V. 1991. How composting affects heavy metal content. BioCycle 32, 48–50 dalam Amir S, Hafidi M, Merlina G, Revel JC. 2005. Sequential extraction of heavy metals during composting of sewage sludge. Chemosphere 59: 801–810. Canet R, Pomares F, Cabot B, Chaves C, Ferrer E, Ribo´ M, Albiach MR. 2008. Composting olive mill pomace and other residues from rural southeastern Spain. Waste Management 28: 2585–2592. Chapin FS, Matson AP, Mooney HA. 2002. Principles of Terrestrial Ecosystem Ecology. New York: Springer-Verlag. Chwirka JD, Narasimhan R, Scheuer N, Rousseau G. 2001. The impact of residuals on the selection of an arsenic treatment process. WEF/AWWA/CWEA Joint Residuals and Biosolids Management Conference, Feb 21–24, 2001. Biosolids 2001: “Building Public Support”. San Diego, CA. dalam Agyin-Birikorang S, O'Connor G.A. 2009. Aging effects on reactivity of an aluminum-based drinking-water treatment residual as a soil amendment. Science of the total environment 407: 826–834. Cornwell DA, Mutter RN, Vandermeyden C. 2000. Commercial Application and Marketing of Water Plant Residuals. Denver: American Water Works Association Research (AWWA) Foundation. [Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Produksi padi di indonesia menurut provinsi tahun 2002–2011. http://tanamanpangan.deptan.go.id/doc_upload/SERIES%20PRODUKSI %20PADI%202002-2011.pdf. [6 Agustus 2011]. [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan : Populasi Kambing. http://ditjennak.deptan.go.id/index.php?page=statistik&action=populasi. [6 agustus 2011]. García C, Moreno JL, Hernández T, Costa F, Polo A. 1995. Effect of composting on sewage sludges contaminated with heavy metals, Bioresource Technology 53: 13 – 19.
48
Grigatti M, Cavani L, Ciavatta C. 2011. The evaluation of stability during the composting of different starting materials: Comparison of chemical and biological parameters, Chemosphere 83: 41-48. Haroun M, Idris A, Omar SRS. 2007. A study of heavy metals and their fate in the composting of tannery sludge. Waste Management 27: 1541–1550. Haroun M, Idris A, Omar SRS. 2009. Analysis of heavy metals during composting of the tannery sludge using physicochemical and spectroscopic techniques. Journal of Hazardous Materials 165: 111–119. Hu Z, Liu Y, Chen G, Gui X, Chen T, Zhan X. 2011. Characterization of organic matter degradation during composting of manure–straw mixtures spiked with tetracyclines. Bioresource Technology 102: 7329-7334. Ikhwan N. 2011. Pengomposan Jerami Padi Organik Menuju “Zero Waste Production Management” [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Insam H, Franke-Whittle I, Goberna M. 2009. Microbes at Work: From Wastes to Resources. Berlin Heidelberg: Springer. Komilis D, Evangelou A, Voudrias E. 2011. Monitoring and optimizing the cocomposting of dewatered sludge: A mixture experimental design approach, Journal of Environmental Management 92: 2241-2249. [Litbang Deptan] Badan Litbang Pertanian. 2010. Pembuatan Kompos Jerami Padi dengan Aktivator. Trichoderma.http://bengkulu.litbang.deptan.go.id/ind/index.php? option=com_content&view=article&id=80:pembuatan-kompos-jerami&catid=14 :alsin. [28 April 2011] Makirim AK, Sumarno, Suyamto. 2007. Jerami Padi Pengelolaan dan Pemanfaatan. Pusat Penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/2/. [30 Juni 2011] Masley S. 2010. Types of Composting: Static Pile Composting. http://www.grow-itorganically.com/build-a-compost-pile.html. [28 April 2011] Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2 Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta ; Salemba Medika Pandit M and Das S. 1998. Sludge Disposal. Water Treatment Primer, Virginia Polytechnic Institute and State University (Virginia Tech). http://www.elaguapotable.com/WT%20-%20Sludge%20Disposal.htm [28 April 2011] Qasim SR, Motley EM, Zhu G.2000. Water Works Engineering: planning, design, and operation. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
49
Rashad FM, Saleh WD, Mohamed A, Moselhy MA. 2010. Bioconversion of rice straw and certain agro-industrial wastes to amendments for organic farming systems: 1. Composting, quality, stability and maturity indices. Bioresource Technology. 101: 5952–5960. Rudnik E. 2008. Compostable Polymer Materials. Oxford : Elsevier. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Standar Nasional Indonesia No. 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Badan Standarisasi Nasional. Soetaro-Santos RB, Rocha O, Povinelli J. 2005. Evaluation of water treatment sludges toxicity using the Daphnia bioassay, Water Research 39: 3909–3917. Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta. Soumare M, Tack FMG, Verloo MG. 2003. Characterization of Malian and Belgian solid waste composts with respect to fertility and suitability for land application. Waste Management 23: 517–522. Tandy S, Healey JR, Nason MA, Williamson JC, Jones DL. 2009. Heavy metal fractionation during the co-composting of biosolids, deinking paper fibre and green waste. Bioresource Technology 100: 4220–4226. Tognetti C, Mazzarino MJ, Laos F. 2007. Co-composting biosolids and municipal organic waste: effects of process management on stabilization and quality. Biol. Fert. Soils 43: 387–397. Turovskiy IS, Mathai PK. 2006. Wastewater Sludge Processing. New Jersey: John Wiley & Sons. [US EPA] United States Environmental Protection Agency. Municipal and Industrial Solid Waste Division. Office of Solid Waste. 1999. Biosolids Generation, Use, and Disposal in the United States. Washington DC. http://www.epa.gov/osw/conserve/rrr/composting/pubs/biosolid.pdf [28 April 2011] Wagner DJ, Bacon GD, Knocke WR, Switzenbaum MS. 1990. Changes and variability in concentration of heavy metals in sewage sludge during composting. Environ. Technol. 11, 949–960 dalam Amir S, Hafidi M, Merlina G, Revel JC. 2005. Sequential extraction of heavy metals during composting of sewage sludge. Chemosphere 59: 801–810. Wuana RA, Okieimen FE. 2011. Heavy Metals in Contaminated Soils: A Review of Sources, Chemistry, Risks and Best Available Strategies for Remediation. ISRN Ecology. Volume 2011 : Article ID 402647, 20 pages. doi:10.5402/2011/402647 Zheng GD, Gao DT, Chen TB, Luo W. 2007. Stabilization of nickel and chromium in sewage sludge during aerobic composting. J. Hazard. Mater. 142: 216–221.
50
Zorpas AA, Arapoglou D, Panagiotis K. 2003. Waste paper and clinoptilolite as a bulking material with dewatered anaerobically stabilized primary sewage sludge (DASPSS) for compost production. Waste Management 23: 27–35.
51