PENGKAJIAN HUKUM TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA ( PERBANDINGAN BEBERAPA NEGARA)
Oleh tim Di bawah Pimpinan Dr. Abd. Rozak A. Sastra, MA
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL(BPHN) KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA JAKARTA 2011
DAFTAR ISI
Hal Halaman Sampul…………………………………………………………….
i
Kata Pengantar ………………………………………………………………
ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………
1
A. Latar Belakang ……………………………………………………
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………….
7
C. Tujuan ……………………………………………………………..
7
D. Kegunaan …………………………………………………………
8
E. Kerangka Teori dan Konsepsional …………………………….
8
1. Kerangka Teori .................................................................
8
a. Sekularisme ................................................................
8
b. Negara Sekuler ...........................................................
10
2. Konsepsional ....................................................................
11
a. Perkawinan ...................................................................
11
b. Agama ..........................................................................
11
c. Perkawinan Beda Agama .............................................
12
F. Metode Pengkajian ….………………………………………….
12
G. Personil Pengkajian ……………………………………………
14
H. Sistematika Pengkajian ……………………………………….
14
I. Jadwal Pengkajian …………………………………………….
15
BAB II NEGARA DAN AGAMA …………………………………………
16
A. SekuleSrisme ……………………………………………………
16
B. Negara Non Sekuler ……………………………………………..
23
C. Peran Negara Indonesia dalam Mengatur Persoalan Keagamaan …………………………….....................................
25
BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA DI BEBERAPA NEGARA……..
31
A. Hukum Perkawinan Beda Agama di Beberapa Negara Muslim … 31 B. Hukum Perkawinan di Barat ………………………………………
38
C. Hukum Perkawinan di ASEAN ……………………………………
43
BAB IV BERBAGAI ASPEK PERKAWINAN BEDA AGAMA …………
54
A. Perkawinan Beda Agama di Beberapa Negara Dari Berbagai Aspek ……….................................................................…………
54
1. Aspek Psikologis ...................................................................
54
2. Aspek Religius ......................................................................
58
3. Aspek Yuridis ........................................................................
83
B. Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif Indonesia ……
84
1. Ketentuan Hukum Positif .......................................................
84
2. Lembaga Pencatat Perkawinan ...........................................
86
BAB V PENUTUP …………………………………………………………… A. Kesimpulan ………………………………………………………….
89 89
B. Saran- saran ………………………………………………………… 90
DAFTAR PUSTAKA Lampiran
KAT PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan karunia-Nya hingga kami dapat menyusun laporan akhir pengkajian hukum tentang “Perkawinan Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara)” Tim pengkajian ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor PHN-26.LT.02.01 Tahun 2011 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Hukum Perkawinan Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara) Tahun Anggaran 2011. Tujuan
penyusunan
pengkajian
ini
adalah
pertama,
untuk
mengetahui dan menganalisis pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia
dan di beberapa negara dari berbagai aspek, dan kedua,
mengetahui dan menganalisi ketentuan hukum positif Indonesia tentang perkawinan beda agama. Dalam kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk melakukan pengkajian ini, serta 2. Semua pihak yang telah membantu hingga selesainya aporan pengkajian ini
Semoga pengkajian ini bermanfaat bagi pengembangan hukum nasional terutama yang berkaitan dengan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan.
Jakarta, September 2011 hormat kami, Tim Pengkajian Hukum
TTD
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan sudah merupakan sunnatullâh yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya.1 Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.2 Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan salah satu budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit dan bahkan tertutup, sedangkan dalam masyarakat modern budaya
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Cet. Ke-2, h. 1. 2
Di dalam al-Qur'an Allah berfirman, antara lain: (49: 51/رُونَ )اﻟذار ﺎ ت ْ َوﻣِنْ ُﻛ ﱢل َﺷﻲْ ٍء َﺧﻠَ ْق◌ْ َﻧﺎ َز ْوﺟَ ِْن ﻟَﻌَ ﻠﱠ ُﻛ ْم َﺗ َذ ﱠﻛ
“Tiap-tiap sesuatu Kami jadikan berpasang-pasangan (jantan dan betina), agar kamu sekalian mau mengingat akan kebesaran Allah”. (QS. al-Dzâriyât/51: 49). ُ ُﺳ ﺑْﺣنَ اﻟﱠذِيْ َﺧﻠَقَ ْاﻻَ ْز َواجَ ُﻛﻠﱠ َﺎ ﻣِ ﻣﱠﺎ ُﺗ ْﻧ ِﺑ (36 :36/ ) س. َت الْ◌ْ اَرْ ضَ َوﻣِنْ أَ ْﻧﻔُﺳِ ِ ْم َوﻣِ ﱠﻣ ﺎ ﻻَ َﻌْ ﻠَﻣ ُْون “Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan semuanya, di antaranya apa-apa yang ditumbuhkan bumi dan dari diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yâsîn/36: 36).
1
perkawinannya maju, luas serta terbuka.3
Perkawinan sudah ada
dalam masyarakat yang sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat. Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Aturan-aturan tersebut terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasan pemerintahan dan di dalam suatu negara. Perkawinan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada.
Ia
kepercayaan
bisa
dipengaruhi
oleh
dan
keagamaan
yang
pengetahuan, dianut
pengalaman,
masyarakat
yang
bersangkutan. Perkawinan (biasa disebut dengan nikah), merupakan suatu cara yang dipilih Allah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di muka bumi dengan tujuan menjaga kehormatan dan martabat
kemuliaan
manusia.
Bagi
orang
Islam
perkawinan
disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Ilahi.4 Perkawinan dilakukan dengan cara akad nikah, yaitu suatu îjâb yang dilakukan oleh pihak wali perempuan yang kemudian diikuti dengan qabûl dari bakal suami dan disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua pria dewasa.5
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Loc., Cit. 4
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. Ke-2. h. 33.
5
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. Ke-6.
2
Aturan perkawinan bagi bangsa Indonesia adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku secara resmi sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, kemudian berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut sudah berlaku secara formal yuridis bagi bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian dari hukum positif. Undang-undang
perkawinan
ini,
selain
meletakkan
asas-asas,
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia.6 Di mana dalam undangundang tersebut mengatur prinsip-prinsip perkawinan itu sendiri, harta bersama suami isteri dalam perkawinan, pembatasan thalâq dan rujûk, hubungan orang tua dengan anak dan lain-lain sebagainya. Pengaturan mengenai perkawinan beda agama di berbagai negara sangat beragam. Di satu sisi ada negara-negara yang membolehkan perkawinan beda agama, dan di sisi lain terdapat negara yang melarang, baik secara tegas maupun tidak tegas, adanya perkawinan beda agama.
6
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Cet. Ke-1, h. 16.
3
Dalam konsepsi hukum Indonesia, masalah perkawinan telah mendapat pengaturan hukumnya secara nasional, yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)7 , dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.8 Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin kompleks, permasalahan yang terjadi juga semakin kompleks. Termasuk juga kompleksitas masalah perkawinan, yang antara lain perkawinan campuran9, kawin kontrak, dan perkawinan beda agama. Terhadap perkawinan beda agama, hasil sensus tahun 1990 dan 2000 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya menunjukkan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan
trend-nya
menurun menjadi 12 kasus pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah
7
Indonesia, Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019. 8
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Taahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 197\5 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050. 9
Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.
4
(15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000).10
Tabel 1 Angka PBA Menurut Agama, Tahun dan Jenis Kelamin
1980
1990
2000
Agama Pria
Wanita Pria
Wanita Pria Wanita
0.7
0.6
0.9
0.9
2. Protestan 6.0
8.6
1. Islam
0.5
0.6
10.6 13.8
5.1
3.6 13.0
3. Katolik
13.3 15.4
11.4 8.7
6.9
4. Hindu
19.0* 9.6*
16.3 2.7
60.0 -
5. Budha
-
-
37.5 21.9
-
-
6. Lain-lain -
-
35.5 0
-
-
Jumlah
24677 24677 28668 28668 2673 2673
* Untuk SP-80, Hindhu, Budha dan lain-lain disatukan untuk analisis. Sumber: Sensus 1980, 1990 dan 2000
10
http://islamlib.com/id/artikel/fakta-empiris-nikah-beda-agama, diunduh tgl. 1 Agustus 2011
5
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai Sensus 1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan muslim (di bawah 1%). Artinya bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar. Tapi secara umum, tabel tersebut menunjukkan ketiadaan pola PBA yang khas dalam kalangan nonmuslim.11 Berusaha untuk menjawab problematika tersebut, pengkajian ini bermaksud untuk melakukan perbandingan hukum berbagai negara. Perbandingan
hukum dalam pengkajian
ini
merupakan
proses
mempelajari hukum-hukum di luar negeri dengan membandingkannya dengan hukum nasional. Tugas utamanya adalah untuk mengetahui dengan pasti perbedaan dan persamaan di dalam peraturan hukum, prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga terkait pada dua negara atau lebih
dengan
cara
pandang
untuk
permasalahan setempat.
11
Ibid.
6
menyediakan
solusi
bagi
Hal ini juga merupakan disiplin untuk memelihara “social order” berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang hidup di negaranegara lain12
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dibahas dalam penngkajian adalah : 1. Bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia dan di beberapa negara dari berbagai aspek? 2. Bagaimanakah
ketentuan
hukum
positif
Indonesia
mengatur
persoalan perkawinan beda agama?
C. Tujuan Tujuan penyusunan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dan menganalisis pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia dan di beberapa negara dari berbagai aspek. 2. Mengetahui dan menganalisi ketentuan hukum positif Indonesia tentang perkawinan beda agama.
12
http://panmohamadfaiz.com/2007/02/17/perbandingan-hukum-1/, diunduh tgl 3 Juni 2011
7
D. Kegunaan 1. Kegunaan Teoritis : Kegunaan teoritis pengkajian ini adalah untuk mendapatkan pemikiran
dan
pengembangan
ilmu
hukum
dalam
upaya
mendapatkan penyikapan terbaik atau solusi permasalahan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia. 2. Kegunaan Praktis Kegunaan praktis pengkajian ini adalah untuk mendapatkan hasil kajian yang relevan sebagai langkah awal pertimbangan pembentukan Naskah Akademik peraturan yang berkaitan dengan perkawinan beda agama.
E. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori a. Sekularisme Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.13
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme. tgl. 5 Agustus 2011
8
Sekularisme, seringkali di kaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari sekularisme.14 Kebanyakan agama menerima hukum-hukum utama dari masyarakat yang demokratis namun mungkin masih akan mencoba untuk memengaruhi keputusan politik, meraih sebuah keistimewaan khusus atau. Aliran agama yang lebih fundamentalis menentang sekularisme. Penentangan yang paling kentara muncul dari Kristen Fundamentalis dan juga Islam Fundamentalis. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dalam pemerintahan
sebagai
hal
yang
penting
untuk
menjaga
persamaan hak.15 Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya di anggap sebagai sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini.16
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid.
9
Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu
di
pisahkan
dari
masalah-masalah
pemerintahan
dan
pengambilan keputusan.17 Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi Humanisme Sekular.18
b. Negara sekuler Negara sekular adalah salah satu konsep sekularisme, dimana sebuah negara menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Negara sekular juga mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Negara sekular juga tidak memiliki agama nasional.19
17
Ibid.
18
Ibid.
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_sekular, tgl. 5 gustus 2011.
10
Negara
sekular
didefinisikan
melindungi
kebebasan
beragama. Negara sekular juga dideskripsikan sebagai negara yang
mencegah
agama
ikut
campur
dalam
masalah
pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.20
2. Konsepsional a. Perkawinan Di dalam UU no 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Agama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
20
Ibid.
11
c. Perkawinan beda agama Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita
yang
keduanya
memiliki
perbedaan
agama
atau
kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan.
F. Metode Pengkajian Pengkajian ini akan terdiri dari unsur-unsur berikut: 1. Aspek Pengkajian Pengkajian
hukum
tentang
Perkawinan
Beda
Agama
(Perbandingan Beberapa Negara), dikaji dari aspek psikologis, aspek yuridis, dan aspek religi. 2. Spesifikasi Pengkajian Pengkajian ini bersifat deskriptif yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang dikaji secara sistematis. 3. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deduktif, yakni pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum kemudian diarahkan kepada hal yang bersifat khusus.
12
4. Jenis dan Sumber Data Dalam pengkajian ini digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder mencakup:21 a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan beda agama (perbandingan beberapa negara). b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undangundang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, tesis, disertasi, jurnal dan seterusnya. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan seterusnya. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara. Metode wawancara yang digunakan di sini hanya bersifat menambahkan, karena tujuannya hanya untuk mendapatkan klarifikasi dan konfirmasi mengenai hal-hal yang belum jelas atau diragukan keabsahan dan kebenarannya.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 15. .
13
Analisis Data Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yakni analisis data melalui penafsiran atau pemaknaan terhadap permasalahan yang dikaji.
G. Personil Pengkajian Ketua
: Dr. Abd. Rozak A. Sastra, M.A.
Sekretaris : Rachmat Trijono, S.H., MH Anggota
: 1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA 2. Ahyar Gayo, S.H.,M.H 3. Hj. Hajerati, S.H., M.H 4. Heru Wahyono, S.H., M.H 5. Drs. Muchlas. 6. Sunaryo (PSIK)
Sekretaritat:
1. Teguh Irmansyah, S.Ip., M.A 2. Purwono
Narasumber: 1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (Paramadina) 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta)
H. Sistematika Pengkajian Laporan akhir pengkajian ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I merupakan bab Pendahuluan. Bab II membahas mengenai Negara dan Agama. Bab III membahas mengenai Perkawinan Beda Agama di Beberapa Negara. Bab IV membahas mengenai Berbagai
14
Aspek Perkawinan Beda Agama. Bab V merupakan bab Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran
I. Jadwal Pengkajian
No
Bulan
April
Mei Juni Juli
Agust Sept
Kegiatan 1
Pembuatan Proposal
2
Pembahasan Proposal
Xx xx
dan pembagian tugas 3
Pembahasan
tugas
xx
masing 4
Pembahasan
draft
xx
laporan akhir 5
Penyempurnaan
Xx
Laporan Akhir 6
Penyerahan
Laporan
xx
akhir
15
BAB II NEGARA DAN AGAMA
A. Sekulerisme Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka
yang
netral
dalam
masalah
kepercayaan
serta
tidak
menganakemaskan sebuah agama tertentu.1 Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Tujuan dan argumen yang mendukung sekularisme beragam. dalam Laisisme Eropa, di usulkan bahwa sekularisme adalah gerakan menuju modernisasi dan menjauh dari nilai-nilai keagamaan tradisional. Tipe sekularisme ini, pada tingkat sosial dan filsafats seringkali terjadi selagi masih memelihara gereja negara yang resmi, atau dukungan kenegaraan lainnya terhadap agama.
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_sekular, tgl. 5 gustus 2011.
16
Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya di anggap sebagai sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini. Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu di pisahkan dari masalahmasalah pemerintahan dan pengambilan keputusan. Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi Humanisme Sekular. Beberapa masyarakat menjadi semakin sekular secara alamiah sebagai akibat dari proses sosial alih-alih karena pengaruh gerakan sekular, hal seperti ini dikenal sebagai Sekularisasi Pendukung
sekularisme
menyatakan
bahwa
meningkatnya
pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjaduh dari agama dan takhyul.
17
Penentang sekularisme
melihat pandangan diatas sebagai
arrogan, mereka membantah bahwa pemerintaan sekular menciptakan lebih banyak masalah dari paa menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik. Penentang dari golongan Kristiani juga menunjukan bahwa negara Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan beragama daripada yang sekular. Seperti contohnya, mereka menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark, yang kesemuanya mempunyai hubungan konstitusional antara gereja dengan negara namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa hubungan seperti itu. Seperti contohnya, Islandia adalah termasuk dari negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan pemerintahan Finlandia menyediakan dana untuk pembangunan masjid. Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukan bahwa negara-negara Skandinavia terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama, secara sosial adalah termasuk negara yang palng sekular di dunia, ditunjukkan dengan rendahnya persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama. Komentator
modern
mengkritik
sekularisme
dengan
mengacaukannya sebagai sebuah ideologi anti-agama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme itu sendiri biasanya dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif. Walaupun tujuan utama dari negara sekular adalah untuk mencapai kenetralan di dalam agama, beberapa membantah bahwa hal ini juga menekan agama.
18
Beberapa filsafat politik seperti Marxisme, biasanya mendukung bahwasanya pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalahhal yang negatif. Di dalam negara yang mempunyai kpercayaan seperti itu (seperti negara Blok Komunis), institusi keagamaan menjadi subjek dibawah negara sekular. Kebebasan untuk beribadah dihalanghalangi dan dibatasi, dan ajaran gereja juga diawasi agar selalu sejakan dengan hukum sekular atau bahkan filsafat umum yang resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini melanggar kebebasan beragama. Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya agama (seperti pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan pendermaan) tapi bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai agama negara, mewajibkan ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada masalah pajak Liberalisme
klasik
menyatakan
bahwa
negara
tidak
dapat
"membebaskan" institusi beragama dari pajak karena pada dasarnya negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu agama. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan beragama bekerja pada ranahnya sendiri- sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti dalam isu nilai moral, keduaduanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa menundukkan agama di bawah negara atau sebaliknya.
19
Peta negara sekuler.2
Keterangan:
█ Negara sekuler ██ Negara dengan agama resmi ██ Tidak diketahui atau tidak mempunyai data
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_sekular, tgl. 5 gustus 2011.
20
Ada empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi Negara sekuler. Prinsip itu adalah sebagai berikut: 1. Negara Nasional adalah evolusi tertinggi dari komunitas politik. Dengan
lahimya
Negara
nasional,
berbagai
upaya
untuk
membangun kekhalifahan global (semacam otonom empiro atau federasi Negara Islam yang memiliki satu imam) tidak penting dan tidak perlu waktu dan energi yang ada harus diberikan kepada pembangunan Negara Nasional, bukan super nasional. 2. Dalam Negara nasional, warga Negara berasal dari agama yang beragam. Karena mereka adalah warga dari Negara yang sama, hak hak social mereka dan politik mereka (termasuk hak untuk duduk dalam
jabatan
politik,
seperti
presiden)
adalah
sama.
Konkuensinya, semua warga Negara , apapun agamanya berhak mendirikan partai politik dan berhak memperebutkan jabatan pemerintahan. 3. Ilmu pengetahuan dan manajemen modern lebih mendominasi Day To Day Politics. Bagaimana membuat sebuah public politik (dimulai dari agenda, setting, policy formulation, policy adaptation, policy implemention, dan policy evaluation) agar policy itu berguna bagi orang banyak dan semakin kecil kesalahannya, harus semakin diatur oleh pengalaman sebelumnya dan kreavitas baru, yang tercermin dari perkembangan ilmu pengetahuan dan manajemen modern. Proses dari policy making itu semakin tidak perlu disentuh doktrin agama. Untuk hal diatas, semakin sedikit keterlibatan agama,
21
semakin baik. Atau dalam bahasa kerennya "the best religion is the best religion" (untuk kasus day to day politics). Biarkan prinsip ilmu pengetahuan dan manajemen modern yang menjadi ruhnya. 4. Islam
hanya
terlibat
sebagai
sumber
moralitas
bagi
actor
pemerintahan (bukan system pemerintahan) dan moralitas bagi dunia public. Namun moralitas disini adalah moralias umum, yaitu prinsip prilaku baik, yang juga diharuskan oleh agama lainnya dan filsafat lainnya. Landasan moral bagi kehidupan public dengan sendirinya menjadi tugas bersama semua agama besar (tidak haqnya bersumber dari doktrin islam) Dengan empat prinsip dasar diatas, sebuah teologi Negara sekuler dari tradidi dan teks Islam, niscayakan menjadi sebuah revolusi paham keagamaan yang sangat penting. Teologi itu akan menjadi dasar bagi berkembangnya civic cultute dinegara yang bermayoritas muslim, yang pada gilirannya akan menjadi lahan subur bagi tumbuh dan terkonsolidasinya demokrasi.
22
B. Negara Non Sekuler Menurut Sri Wahyuni, berkaitan dengan perbandingan penerapan hukum keluarga dan hukum perkawinan di beberapa negara, ada perbedaan penting antara negara-negara barat (sekuler) dengan negara-negara muslim dalam melihat aspek perkawinan beda agama ini. Dalam lingkup dengan negara-negara muslim dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu3: 1) Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan hukum perkawinan dari berbagai mazbah Islam yang dianutnya, dan belum diubah yaitu negara Saudi Arabia; 2) Negaranegara yang telah mengubah total hukum keluarga dan hukum perkawinannya dengan hukum modern, tanpa mengindahkan agama mereka diantaranya Turki dan Albania; 3) Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern contoh negara – negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, Brunai. Untuk kelompok negara pertama yang menerapkan hukum Islam untuk aspek hukum keluarga dan perkawinannya cenderung tidak memperbolehkan perkawinan dengan beda agama, untuk kelompok ke dua yaitu negara muslim yang telah mengubah total hukum perkawinannya dan menerapkan hukum modern barat seperti Turki yang juga senada dengan negara-negara barat yang sekuler, cenderung memperbolehkan karena di barat perkawinan telah digeser 3
http://sriwahyuni-suka.blogspot.com/2010/03/artikel_25.html ”Perbandingan Hukum Indonesia, Beberapa Negara Muslim dan Barat”, diunduh tgl 3 Juni 2011
23
dari urusan keagamaan menjadi urusan public semata, sehingga perkawinan sipil marak dilakukan, dan perkawinan tidak harus berdasarkan agama. Legalitas ada dalam pencatatan oleh petugas pencacat perkawinan oleh Negara. Sehingga, apapun agama yang dianut
oleh
para
pihak,
bahkan
tidak
beragamapun,
dapat
melangsungkan perkawinannya dengan memenuhi prosedur yang ada. Sedangkan untuk kelompok ketiga yaitu negara muslim yang telah mereformasi hukum keluarganya dengan hukum modern, beberapa masih banyak yang tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Sebagai contoh dalam UU Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang Turki, diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita muslim dengan pria nonmuslim (Pasal 7 (c)). Begitu juga hukum keluarga di Jordania tahun 1951, menyatakan bahwa perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dan perkawinan antara wanita muslim dan pria non-muslim (Pasal 29). Dalam hukum Status Personal Irak tahun 1959, Bab 11 tentang larangan Perkawinan Pasal 17, dinyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah, tetapi perkawinan antara seorang wanita muslim dengan laki-laki non-muslim tidak diperbolehkan. Dari ketiga kelompok negara itu, negara-negara Asia Tenggara terutama Malaysia dan Brunai dirasa memiliki kemiripan dengan kondisi sosiologis masyarakat di Indonesia, negara-negara ini bukanlah negara theokrasi tetapi juga bukan negara sekuler, pengaturan hukum
24
kekeluargaannya walaupun mengadopsi konsep hukum agama tetapi telah di konstruksikan dengan konsep modern.
C. Peran Negara Indonesia dalam Mengatur Persoalan Keagamaan Besarnya
potensi
perkawinan
diperlukannya
peran
negara.
berkesimpulan
bahwa negara
beda
Menurut
agama, Tedi
tidak mempunyai
mendorong
Kholiludin
yang
otoritas
dalam
mengatur persoalan keagamaan masyarakat. Namun, di sisi lain ia membenarkan peran yang dimainkan negara atas dasar consent (kesepakatan) yang diberikan oleh masyarakat melalui pembatasan kekuasaan negara. Dalam peran yang dijalankan atas dasar consent tersebut, negara memegang otoritas (being an authority) untuk mengatur kehidupan beragama. Kondisi tersebut, menurut Tedi, akan berbeda ketika negara dipahami sebagai pemangku otoritas (being in authority).4 Wacana
peran
negara
di
dalam
persoalan
keagamaan
masyarakat, terutama yang berkaitan dengan umat beragama, pernah dikemukakan di dalam perumusan naskah asli Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Menurut Soekiman5,
4
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi”dan Diskriminasi Hak Sipil, cetakan Pertama (Semarang:Rasail Media Group,2009), hlm. 85.
5
Nama lengkapnya adalah dr.Soekiman Wirjosandjojo, seorang dokter partikelir di Yogyakarta. Ia pernah menulis sebuah buku yang diberi judul “Over van duur van dekunsmatige pneumothorax Behandeling der Long Tuberculose”. Latar belakang politiknya adalah sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia di Negara Belanda (1927-1933), sebagai Bendahara dan Ketua muda Partai Syarikat Islam Indonesia; Ketua Pengurus Besar Partai Islam Indonesia sampai dengan tahun 1935, sebagai anggota Majelis Pertimbangan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Safroedin Bahar, et.al, Risalah Sidang
25
sebagaimana dikemukakan di dalam rapat Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 15 Juli 1945, persoalan keagamaan masyarakat sesungguhnya telah menjadi
perhatian
sejak
masa
penjajahan
Belanda
walaupun
pemerintah Kolonial Belanda menegaskan sikap netralnya terhadap ajaran agama. Perhatian pemerintah kolonial terhadap keagamaan masyarakat itu ditunjukkan dengan adanya pengakuan di dalam Indische Staatsregeling (IS) mengenai kemerdekaan bagi penduduk pribumi di dalam menjalankan ajaran agamanya.6 Peran negara dalam keagamaan masyarakat, menurut Soekiman, tetap dibutuhkan dengan belajar dari pengalaman pada masa kolonial. Dalam pandangan Soekiman, meskipun secara normatif disebutkan adanya pengakuan kemerdekaan bagi penduduk di dalam menjalankan ajaran agama di dalam Undang-undang Dasar ketika itu (IS), dalam kenyataannya umat Islam mengalami keadaan yang tidak sesuai dengan jaminan yang diberikan di dalam IS tersebut. Pandangan Soekiman tersebut turut meramaikan pembahasan rancangan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Agama. Dihubungkan dengan peran negara dalam keagamaan masyarakat, pengaturan masalah agama di dalam Undang-undang Dasar menurut Soepomo tidak
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)- Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei-19 Agustus 1945, cetakan Kedua, (Jakarta:Sekretariat Negara Republik Indonesia,1992), bagian lampiran. 6
A.B.Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2004), hlm.376
26
dimaksudkan sebagai gewetensdwang (paksaan kebatinan terhadap agama).7 Pengaturan masalah agama di dalam Undang-undang Dasar, dengan membaca sikap Soepomo tersebut, kiranya dimaksudkan untuk menegaskan adanya tugas negara di dalam mengatur keagamaan masyarakat. Pandangan yang lebih rinci lagi mengenai peran negara di dalam keagamaan masyarakat dikemukakan oleh Hazairin di dalam bukunya “Demokrasi Pancasila”. Di dalam karyanya itu, Hazairin menafsirkan berbagai implikasi yang harus dilaksanakan oleh negara sehubungan dengan dicantumkannya Pasal 29 UUD 1945, yaitu:8 1. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi orang-orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha; 2. Negara Republik Indonesia, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat HinduBali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara;
7
Ibid, hlm. 416
8
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta:Bina Aksara, 1983), hlm. 33
27
3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya dank arena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing; 4. Jika karena salah tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara menyelip,
dijumpai sesuatu
peraturan yang
bertentangan dengan sila-sila ketiga, keempat, dan kelima dalam Pancasila, maka peraturan agama yang demikian itu, setelah diperembukkan dengan pemuka-pemuka agama yang bersangkutan, wajib dinon-aktifkan; 5. Hubungan sesuatu agama dengan sila kedua dalam Pancasila dibiarkan kepada norma-norma agama itu sendiri atau kepada kebijaksanaan pemeluk-pemeluk agama-agama itu.
Maksudnya,
sesuatu norma dalam sila ke-2 itu yang bertentangan dengan norma sesuatu agama atau dengan paham umum pemeluk-pemeluknya berdasarkan corak agamanya, tidak berlaku bagi mereka. Di dalam konteks pergaulan internasional, pengakuan terhadap keterlibatan negara di dalam keagamaan masyarakat juga ditegaskan di dalam dokumen-dokumen hukum internasional, seperti di dalam ICCPR9 dan ICESCR10 tahun 1966. Khusus di dalam ICCPR Pasal 18,
9
The International Convenant on Civil and Political tentang Hak-hak sipil dan Politik. Konvenan ini Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional
28
Rights atau Konvenan Internasional diratifikasi melalui Undang-undang Pengesahan International Convenat tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
peran negara disebutkan sebagai berikut: “The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.” Adanya keterlibatan negara di dalam persoalan keagamaan masyarakat memang menjadi persoalan tersendiri dikarenakan di dalam konsep negara moderen tidak dikenal adanya intervensi negara di dalam persoalan keagamaan masyarakat. Menurut Jimly Asshiddiqie, urusan agama tidak seharusnya dikacaukan atau dicampuradukkan dengan persoalan kenegaraan. Namun, sebagaimana yang diakuinya, dalam kenyataan empiris di hampir semua negara moderen sekalipun, tidak terbukti bahwa urusan keagamaan sama sekali berhasil dipisahkan dari persoalan-persoalan kenegaraan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan
karakteristik
pengelola
negara
yang
tidak
dapat
dilepaskan dari sifat kemanusiaannya dan terikat dengan norma-norma yang diakuinya, di antaranya adalah norma agama. Dengan mengambil contoh negara Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda, yang mempermaklumkan dirinya sebagai negara sekular, menurut Jimly dalam banyak kasus sepanjang sejarah negara-negara tersebut menunjukkan keterlibatannya dalam urusan keagamaan.11
10
The International Convenant on Economic, Sosial, Cultural Rights atau Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Konvenan ini diratifikasi melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Sosial, Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
11
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2006), hal.95
29
Keterlibatan negara dalam keagamaan masyarakat sangat relevan ketika terjadi konflik HAM dalam pelaksanaan ajaran agama. Dalam situasi tersebut, negara tidak dapat bersikap hitam-putih karena kualitas masalahnya tidak dapat disamakan dengan pelanggaran HAM secara umum. Konflik HAM dalam pelaksanaan ajaran agama, pada umumnya dipicu oleh persoalan ketidakseimbangan yang dialami oleh penganut ajaran agama tertentu terhadap penganut ajaran agama lain. Dalam konteks tersebut, Jimly Asshiddiqie merekomendasikan konsep HAM pendekatan
generasi
keempat,
yang
didasarkan
atas
ketidakseimbangan struktural yang menindas di luar pengertian yang selama ini timbul dari pola hubungan vertikal antara negara dan rakyatnya.12 Implementasi konsep generasi keempat HAM tersebut adalah dengan mengembangkan konsep agree in disagreement. Dengan merujuk kepada pendapat Satya Arinanto, implementasi pendekatan
generasi
keempat
HAM
diwujudkan
dengan
mengembangkan strategi dialog untuk membangkitkan pertumbuhan ideologi pluralisme agama, yaitu (1) dialog antarkepercayaan dan antarmasyarakat; (2) aktivitas partisipatif, dan (3) pengembangan budaya nasional yang berdasarkan pluralisme agama.
12
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, cetakan kedua (Jakarta:Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm.144
30
BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA DI BEBERAPA NEGARA
A. Hukum Perkawinan Beda Agama di Beberapa Negara Muslim Hukum perkawinan termasuk dalam hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antara anggota keluarga. Hubungan ini meliputi hubungan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dan hubungan antara keluarga dan pemerintah. Maka, cakupannya adalah peraturan tentang perkawinan, perceraian, hak-hak kebendaan dari pasangan, pengasuhan anak, kepatuhan anak terhadap orang tua dan intervensi pemerintah terhadap hubungan anak dan orang tua, serta penyelenggaraan hubungan orang tua dan anak melalui adopsi. Paling tidak, ada tiga fungsi hukum keluarga yaitu perlindungan terhadap individu dari kekerasan dalam keluarga, untuk menyediakan penyelesaian jika hubungan antara anggota keluarga putus, dan untuk memberikan dukungan masyarakat tempat keluarga itu berada.
1. Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Dalam
hal
perkawinannya,
penerapan Negara-negara
menjadi tiga yaitu:
31
hukum muslim
keluarga dapat
dan
hukum
dikelompokkan
a. Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan hukum perkawinan dari berbagai madzhab yang dianutnya, dan belum diubah; b. Negara-negara yang telah mengubah total hukum keluarga dan hukum
perkawinannya
dengan
hukum
modern,
tanpa
mengindahkan agama mereka; c. Negara-negara
yang
menerapkan
hukum
keluarga
dan
perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern. Yang termasuk kelompok pertama, yang menerapkan hukum tradisional dari madzbah-madzhab yang dianutnya, diantaranya adalah Negara Saudi Arabia yangh menganut madzhab Hambali. Hukum keluarga Islam didasarkan kepada al-Qur’an, sunnah, dan teladan dari para sahabat Rasulullah SAW. Begitu juga di Negara Qatar. Di Yaman, hukum Islam didasarkan kepada madzhab Zaidi. Namun, penduduk Yaman selatan menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi. Hukum-hukum ini tidak dikodifikasi dan legislasi. Sementara di Bahrain, madzhab Maliki, Syafi’i, dan Syi’i diterapkan secara tradisional, tanpa kodifikasi dan legislasi. Adapun
Negara
kelompok
kedua,
yaitu
yang
telah
meninggalkan hukum Islam, dan menerapkan hukum modern dari Barat adalah Turki dan Albania. Code civil diadopsi di Negara ini untuk menggantikan hukum Islam –terutama di Turki setelah jatuhnya
khilafah
Usmaniyah.
32
Turki
menerapkan
Code
Civil
Switzerland, tahun 1926. Begitu juga dinegara-negara yang terdapat muslim minoritas, seperti di Tanzania yang terdapat muslim minoritas di Zanzibar dan di Kenya. Mereka menerapkan hukum keluarga Barat modern. Kelompok ketiga, yaitu Negara-negara yang telah mereforasi hukum keluagra Islam dengan proses legislasi modern; seperti Cyprus yang melegislasikan dan mengkodifikasi hukum perkawinan dan perceraian Islam tahun 1951. di lima Negara Asia Selatan dan Tenggara, hukum keluarga Islam juga telah direformasi dengan proses legilasi hukum modern; yaitu di Brunei, Malaysia, dan Indonesia yang memiliki muslim mayoritas; dan Singapura dan Ceylon yang memiliki muslim minoritas. Lainnya yaitu LIbanon, Jordania, Algeria, Iran, yang telah mereformasi hukum keluarga Islam baik dari segi materi maupun pada aspek regulatori, dengan mengadopsi system hukum modern.
2. Perkawinan Beda Agama di Negara-negara Muslim Berdasarkan pengelompokan Negara-negara muslim berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan yang diterapkan sebagimana terpapar di atas, maka dapat dikatakan bahwa kelompok pertama yang menerapkan hukum keluarga sebagaimana dalam hukum Islam tradisional berdasarkan madzhab-madzhab yang Islam tradisional yang dikaji dalam berbagai madzhab); cenderung tidak memperbolehkan perkawinan antara seorang Muslim dengan
33
non muslim, kecuali ahli kitab (yaitu yang pada masa Nabi, mereka beragama Yahudi atau Nasrani, yang ajarannya dianggap masih murni). Dalam fiqh, biasanya seorang Muslim laki-laki diperbolehkan menikahi seorang perempuan ahli Kitab; dan sebaliknya, seorang Muslim perempuan tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki ahli Kitab. Adapun di Negara-negara kelompok ketiga --yaitu Negara yang mereformasi hukum Islam dengan system hukum modern, juga masih banyak yang tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Dalam UU Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang Turki, diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita Muslim dengan pria non-Muslim (Pasal 7 (c)). Begitu juga hukum keluarga di Jordania tahun 1951, menyatakan bahwa perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dan perkawinan antara wanita Muslim dan pria non-muslim (Pasal 29). Dalam hukum Status Personal Irak tahun 1959, Bab 11 tentang larangan Perkawinan Pasal 17, dinyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah, tetapi perkawinan antara seorang
wanita
Muslim
dengan
diperbolehkan.
34
laki-laki
non-muslim
tidak
3. Pakistan Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa merupakan negara Muslim terbesar kedua di1 dunia. Negara ini dihuni oleh beragam kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan secara damai di bawah panji agama yang beragam pula. Islam tercatat sebagai agama terbesar yang dianut oleh 97 % jumlah penduduk Pakistan. Sementara agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya, hidup secara damai di negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afghanistan di Barat Laut, India di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut. Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris
ketika
menjadi
bagian
dari
wilayah
India.
Sejarah
kontemporer anak benua India dan Pakistan bermula dari hancurnya Imperium Mughal dan pendudukan Inggris di India. Penjajahan Inggris telah menghancurkan posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi, pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita. Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik, kolonisasi ini juga mempunyaidampak dan kerugian lebih jauh pada budaya (kultural) di mana pada awalnya mereka bersikap simpatik terhadap program pendidikan tradisional Muslim dan terhadap kultur
1
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 220
35
klasik bangsa India. Namun lambat laun mereka mulai menindas praktek keagamaan dimana mereka sering menjatuhkan hukuman secara sadis dan kejam. Adapaun bahasa Inggris menjadi bahasa pemerintahan dan pengajaran dan bahasa Mughal dihapus sebagai bahasa resmi di pengadilan. Islam merupakan agama mayoritas di Pakistan. Dalam kehidupan keagamaan, di mana yang berbahasa resmi Urdu ini tumbuh beberapa aliran madzhab, madzhab Hanafi dikenal sebagai madzhab mayoritas, ditambah madzhab lain seperti Syi’ah dan Hambali. Toleransi antara umat beragama terjalin baik di Pakistan. Mereka yang minoritas seperti Hindu, Kristen dan Budha hidup dalam alam demokrasi dan toleransinya yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan lebih dari itu mereka dianggap sahabat. Kehidupan keberagamaan di Pakistan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan keberagamaan di negara muslim lainnya. Islam menjadi jalan hidup (way of life) yang mereka anut secara mendalam. Pandangan hidup, rasa dan kecenderungan mereka sepenuhnya adalah Islam, sementara tradisi dan budaya tidak berpengaruh pada karakteristik Islam secara esensial. Hampir sejak diperkenalkannya Islam di Tunisia, mayoritas Masyarakat Tunis yang beragama Islam sebagaimana kebanyakan masyarakat lain di kawasan Magribi adalah kaum Sunni yang bermadzab Maliki. Namun banyak dinasti yang memerintah di Tunisia, baik asing maupun asli Tunis memiliki keyakinan berbeda.
36
Sebuah
dinasti
Syi’ah,
Fathimiyyah
menumbangkan
dinasti
Aghlabiyyah antar 905-909 M. Akan tetapi setelah itu kaum Syi’ah bahkan menjadi kelompok minoritas dan sampai sekarang dianggap telah hilang Setelah kedatangan bangsa Turki yang memerintah di Tunisia dengan membawa madzab Hanafi maka sedikit demi sedikit baik melalui kekuasaan pemerintahan langsung maupun melalui sebuah sistem kedaerahan memberi pengaruh penting di negeri ini. Sehingga keberadaan pengikut madzab Hanafi dan Maliki keduanya saling berdampingan. Ketika Perancis menguasai Tunisia, Perancis
menyerahkan
soal-saol
hukum
keluarga,
misalnya
perkawinan, perceraian, kewarisan dan kepemilikan tanah pada yurisdiksi syariat yang dikepalai oleh hakim-hakim Hanafi atau Maliki, namun
dengan
catatan
dengan
menggunakan
prinsip-prinsip
peraturan hukum Perancis sebagaimana dalam prinsip hokum mereka yang terdapat dalam hukum perdata, pidana, niaga, dan acara di pengadilan. Situasi seperti ini berlangsung dengan mulus karena secara politis, upaya pengembangan dalam berbagai bidang termasuk hukum keluarga sangat tergantung pada peran ulama seperti Khiyar al-Din yang berusaha memahami atas konsep dan perihal baru yang datang dari Perancis. Di Tunisia sangat kecil, bahkan sama sekali tidak ada, ketegangan antara ulama dan beberapa kalangan termasuk
pejabat
Perancis.
Keduanya
37
bekerja
sama
dalam
mengembangkan berbagai hal seperti administrasi wakaf, publik dan menejemen zakat dan pajak. Setelah merdeka 1956, upaya bertahap untuk membentuk hukum
keluarga
secara
komprehensip
terus
dilakukan.
Pengembangan dan kodifikasi hukum keluarga di Tunisia terus dilakukan. Materinya adalah pemikiran hukum dari gabungan antara madzab Hanafi dan Maliki. Usaha itupun berhasil dengan berlakunya Undang-undang hukum keluargaMajalla al-Ahwal al-Syahsiyyah tahun 1956.
B. Hukum Perkawinan di Barat Keluarga di Barat merupakan satu kesatuan yang didasarkan atas monogamy dan perkawinan yang permanent, dengan konsekuensi adanya pembedaan status yang rigid antara anak-anak yang sah dan yang tidak sah. Namun, konsep ini telah berubah di masyarakat Barat. Prinsip dasar keluarga di Barat secara umum adalah suami dan istri, yang diresmikan di bawah sanksi dan otoritas gereja. Namun, saat ini sanksi formal terhadap sipil dilakukan oleha Negara. Dahulu, perkawinan yang tidak memalui sakramen pemberkatan di gereja dianggap dosa. Hubungan seksual di luar perkawinan mendapatkan sanksi sebagai pertanggungjawaban bagi pasangan tersebut, dan anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut akan terhalang untuk mendapatkan status hukum yang sah.
38
Tantang perkawinan yang permanent atau seumur hidup, merupakan prinsip dasar dari ajaran keagamaan, yaitu ide tentang sakramen perkawinan, yang diciptakan oleh Tuhan. Perkawinan adalah suci, dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, maka manusia tidak dapat memisahkannya. Gereja
Katolik
yang
mengatur
orang-orang
yang
akan
melaksanakan perkawinan, berdasarkan hukum agama. Dengan demikian, maka perpisahan perkawinan hanya karena kematian, selain itu tidak diperbolehkan. Konsep perkawinan tersebut masih kental dengan pengaruh St Agustinus. Dalam perkembangannya, terdapat pendekatan yang berbeda. Perpisahan perkawinan dapat dilakukan karena beberapa kondisi, diketengahkan oleh para penganut Katolik modern. Landasan filosofi yang mereka gunakan adalah hak individual untuk mendapatkan kebahagiaan. Manusia harus dapat menikmati kondisi tertentu yang menyebabkan mereka dapat mengembangkan kapasitasa dan potensi individunya. Bahkan, terdapat versi pendekatan yang lebih ekstrem, yang
membawa
perkawinan
kepada
teori
perjanjian, sehingga
interpretasi perkawinan adalah sebuah kontrak yang didasarkan atas kesepakatan. Menurut laporan komisi peradilan Inggris, perceraian berdasarkan perjanjian ini saat ini diakui di Bulgaria dan Portugal (untuk umat non-Katolik), tahun 1968. Hukum Perkawinan Swedia tahun 1920 juga telah mengakui perpisahan perkawinan dengan perjanjian.
39
1. Perkawinan di Inggris Perkawinan di Inggris yang menganut sistem hukum common law, tidak mensyaratkan adanya persamaan agama bagi para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Pada awalnya, hukum perkawinan yang menggunakan hukum gereja, terutama di Inggris yang hanya dimonopoli oleh Gereja Inggris, telah menuai banyak protes dari kelompok aliran lainnya. Sehingga, perkawinan dianggap tidak sekedar urusan keagamaan melainkan urusan public. Dengan adanya perkawinan gereja atau perkawinan secara agama, perbedaan agama akan menjadi permasalahan dalam pelaksanaan perkawinan. Hal ini dapat disebabkan oleh lembaga baptis yang harus berlaku. Dengan kata lain, perkawinan di gereja hanya diperuntukkan bagi orang yang telah dibaptis sebagai Kristen. Namun, dalam perkembangannya, perkawinan bergeser menjadi perkawinan sipil. Perkawinan bukan sekedar urusan agama. Sehingga, dengan cara ini, agama apapun yang dianut para pihak tidak dihiraukan lagi. Orang
yang
beragama
ataupun
tidak
beragama,
dapat
melaksanakan perkawinan sipil, dan dapat dicacatkan secara asah dengan memenuhi prosedur yang telah ditetapkan. Di Inggris, perkawinan diatur oleh Gereja. Pada masa pertengahan abad XVII, ditetapkan bahwa yang dapat melaksanakan perkawinan adalah yang perkawinannya diatur oleh gereja dan didaftarkan serta diselenggarakan di gereja. Namun, setelah
40
reformasi, gereka mentolerir perkawinan yang didasarkan pada perjanjian antara kedua belah pihak. Perkawinan seperti ini juga dianggap sah. Jika suatu pasangan sepakat untuk menjadi suami dan istri dengan menggunakan kalimat present tense (saat ini), maka mereka telah menjadi suami istri, tanpa mengindahkan ada atau tidaknya saksi. Perkawinan seperti ini dikenal dengan perkawinan informal, yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menginginkan upacara perkawinan yang cepat dan mudah. Namun, perkawinan seperti ini berisiko, ketika ternyata salah satu pasangan telah malakukan perkawinan formal, dan pasangannya menggugat perkawinan informal tersebut. Misalnya kasus Cochrane v. Campbell. Dengan demikian, maka hukum perkawinan gereja di Inggris diberlakukan kembali. Hukum perkawinan tahun 1753, bahwa perkawinan harus diselenggarakan dengan pemberkatan gereja, dengan dihadiri dua orang saksi atau lebih dan harus dicacat secara formal. Hukum
perkawinan
tahun
1836
menekankan
kepada
kepentingan Negara untuk memberikan stutus sahnya perkawinan seseorang. Sehingga, terdapat tiga proses pelaksanaan perkawinan yang harus dilalui para pasangan yaitu; pertama, pasangan harus membuat pengumuman tentang kehendaknya untuk melangsungkan perkawinan, baik kepada orang tua maupun kepada orang-orang lainnya; kedua, harus ada perayaan perkawinan itu sendiri; ketiga,
41
prosedur administrasi berupa pendaftaran dan pencatatan untuk status perkawinan suatu pasangan. Hukum perkawinan Inggris tahun 1753 dan 1836 tersebut, dianggap diskriminatif. Di dalamnya dinyatakan bahwa perkawinan hanya bisa diselenggarakan di Gereja Inggris (England Church). Sehingga, muncul protes dari Gereja Katolik Roma (Roman Church) dan aliran keagamaan yang lain, karena Kristen bukan satu-satunya agama di Inggris. Terutama, muncul gerakan liberal Yahudi, yang menuntut reformasi hukum perkawinan tersebut. Mereka merasa tidak mendapat kesetaraan dalam bidnag perkawinan. Mereka menganggap bahwa perkawinan adalah masalah public, bukan sekedar urusan keagamaan. Hingga masa perang dunia kedua (1939), tuntutan reformasi hukum perkawinan tersebut belum berhasil. Perubahan mendasar dalam hukum perkawinan Inggris ini dilakukan tahun 1970an. Tahun 1973 dibentuk tim dan konsultan untuk
melakukan
perubahan
hukum
perkawinan
ini.
Tim
merumuskan bahwa perkawinan sipil menjadi satu-satunya jalan paling efektif untuk melaksanakan perkawinan. Namun, cara ini juga masih menuai protes dari kelompok gereja. Akhirnya, dirumuskan prosedur bahwa orang tua harus memberikan persetujuan atas perkawinan anaknya, dengan dating sendiri ke petugas pencacat perkawinan untuk memberikan tandatangan di hadapan para saksi; harus ada penetapan dari petugas pencacat perkawinan bahwa tidak
42
ada penolakan atas perkawinan tersebut; dan harus membayar untuk
lisensi
perkawinan
pengesahan
tersebut,
perkawinan
tanpa
tersebut.
memandang
dimana
Pencatatan perayaan
perkawinan diselenaggarakan, baik di Gereja Inggris, Gereja Katolik ataupun di sekte/ aliran lainnya.
2. Hukum Perkawinan Canada Hukum perkawinan di Canada, tidak menjadikan persamaan agama sebagai sarat sah perkawinan. Sehingga, perkawinan beda agama bukan menjadi penghalang. Sahnya perkawinan di Canada adalah: a. berbeda jenis kelamin b. memiliki kemampuan seksual c. tidak ada hubungan pertalian darah atau keturunan d. tidak terikat dengan perkawinan sebelumnya e. adanya perjanjian
C. Hukum Perkawinan di ASEAN 1. Malaysia a. Gambaran Umum Malaysia adalah sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan di Asia Tenggara dengan luas 329.847 km persegi. Ibukotan Malaysia adalah Kuala Lumpur, sedangkan Putrajaya menjadi pusat
43
pemerintahan persekutuan. Jumlah penduduk negara ini melebihi 27 juta jiwa. Negara ini dipisahkan ke dalam dua kawasan — Malaysia Barat dan Malaysia Timur — oleh Kepulauan Natuna, wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan. Malaysia berbatasan dengan Thailand, Indonesia, Singapura, Brunei, dan Filipina. Negara ini terletak di dekat khatulistiwa dan beriklim tropika. Kepala negara Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong dan pemerintahannya dikepalai oleh seorang Perdana Menteri. Model pemerintahan
Malaysia
mirip
dengan
sistem
parlementer
Westminster.2 Malaysia adalah masyarakat multi-agama dan Islam adalah agama resminya. Menurut gambaran Sensus Penduduk dan Perumahan 2000, hampir 60,4 persen penduduk memeluk agama Islam; 19,2 persen Buddha; 9,1 persen Kristen; 6,3 persen Hindu; dan 2,6 persen Agama Tionghoa tradisional. Sisanya dianggap memeluk agama lain, misalnya Animisme, Agama rakyat, Sikh, dan keyakinan lain; sedangkan 1,1% dilaporkan tidak beragama atau tidak memberikan informasi.3 Semua orang Melayu dipandang Muslim (100%) seperti yang didefinisi pada Pasal 160 Konstitusi Malaysia. Statistik tambahan dari Sensus 2000 yang menunjukkan bahwa Tionghoa-Malaysia
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia, tgl 5 Agustus 2011.
3
Ibid.
44
sebagian besar memeluk agama Buddha (75,9%), dengan sejumlah signifikan mengikuti ajaran Tao (10,6%) dan Kristen (9,6%). Sebagian besar orang India-Malaysia mengikuti Hindu (84,5%), dengan sejumlah kecil mengikuti Kristen (7,7%) dan Muslim (3,8%). Kristen adalah agama dominan bagi komunitas non-Melayu bumiputra (50,1%) dengan tambahan 36,3% diketahui sebagai Muslim dan 7,3% digolongkan secara resmi sebagai pengikut agama rakyat.4 Konstitusi Malaysia secara teoretik menjamin kebebasan beragama. Tambahan lagi, semua non-Muslim yang menikahi Muslim harus meninggalkan agama mereka dan beralih kepada Islam. Sementara, kaum non-Muslim mengalami berbagai batasan di
dalam
kegiatan-kegiatan
keagamaan
mereka,
seperti
pembangunan sarana ibadah dan perayaan upacara keagamaan di beberapa negara bagian. Muslim dituntut mengikuti keputusankeputusan Mahkamah Syariah ketika mereka berkenaan dengan agama mereka. Jurisdiksi Mahkamah Syariah dibatasi hanya bagi Muslim menyangkut Keyakinan dan Kewajiban sebagai Muslim, termasuk di antaranya pernikahan, warisan, kemurtadan, dan hubungan internal sesama umat. Tidak ada pelanggaran perdata atau pidana berada di bawah jurisdiksi Mahkamah Syariah, yang memiliki hierarki yang sama dengan Pengadilan Sipil Malaysia. Meskipun menjadi pengadilan tertinggi di negara itu, Pengadilan4
Ibid
45
Pengadilan Sipil (termasuk Pengadilan Persekutuan, pengadilan tertinggi di Malaysia) pada prinsipnya tidak dapat memberikan putusan lebih tinggi daripada yang dibuat oleh Mahkamah Syariah; dan biasanya mereka segan untuk memimpin kasuskasus yang melibatkan Islam di dalam wilayah atau pertanyaan atau tantangan terhadap autoritas Mahkamah Syariah. Hal ini menyebabkan
masalah-masalah
yang
cukup
mengemuka,
khususnya yang melibatkan kasus-kasus perdata di antara Muslim dan non-Muslim, di mana pengadilan sipil telah memerintahkan non-Muslim untuk mencari pertolongan dari Mahkamah Syariah.5
b. Perkawinan beda Agama di Malaysia Malaysia merupakan salah satu negara yang melarang perkawinan beda agama. Walaupun Malaysia adalah masyarakat multi-agama, namun Islam adalah sebagai agama resmi. Negara menjamin bahwa setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan agama
5
Ibid.
46
digunakan untuk mengawasi agama tersebut.Teks pasal yang berkenaan dengan ini menyebutkan: 6 Hukum Islam serta hukum pribadi dan keluarga dari orangorang beragama Islam, termasuk hukum Islam yang berkenaan dengan warisan, ada tidaknya warisan, pertunangan, perkawinan, perceraian, perwalian, pemberian, pembagian harta benda dan barang-barang yang dipercayakan, wakaf Islam, penentuan dan pengaturan dana sosial dan agama, penunjukan wali dan pelembagaan orang-orang berkenaan dengan lembaga-lembaga agama dan sosial Islam yang seluruhnya beroperasi di dalam negara, adat Melayu, zakat fitrah, dan baitul mal atau pendapatan Islam yang serupa dengan itu. Jadi dalam situasi ini Islam adalah agama negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok agama lain juga diberi kebebasan
untuk
melaksanakan
agama
mereka
menurut
kehendak mereka. Mayoritas muslim di Malaysia adalah pengikut madzab Syafi’i, hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran madzab tersebut. Walau demikian dalam realitasnya penentuan praktek hukum
Islam
ini
harus
atas
6
kendali
Sultan-sultan
yang
Fred R. Von der Mehden, Kebangkitan Islam di Malaysia”, dalam John L. Esposito (Ed), Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm.251.
47
memimpinnya mengingat Semenanjung Malaysia pada waktu itu memang dikuasai beberapa kerajaan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan seperti di kerajaan Johor, Malaka, Kelantan dan Trengganu.7 Selama penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum
Islam
seperti
pengadilan
syari’ah
tentang
perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Keadaan
seperti
ini
berlanjut
sampai
Malaysia
meraih
kemerdekaannya. Setelah dapat melepaskan diri dari Inggris dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untuk merespon masyarakat untuk membuat UndangUndang Hukum Keluarga seperti di negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi UU Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya seperti Kedah, Malaka, Negeri Sembilan, Penang, Perlak, Perlis dan Selangor dengan administrasi UU hukum muslim. Begitu juga di negara bagian Serawak dan Sabah di mana muslim minoritas, tetap memberlakukan UU Mahkamah Melayu 1915.8
7
John L. Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, III, (Jakarta: Mizan, 2000), hlm. 329
8
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 220
48
Selama tahun 1983-1985 terjadi usaha untuk menyegarkan legislasi di Malaysia dalam bidang Hukum Keluarga yang diterapkan di beberapa negara bagian. Undang-undang Hukum Keluarga Islam 1984 ini berisi 135 pasal yang terbagi dalam 10 bagian.9 Usaha penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan yang diketuai oleh Tengku Zaid. Tugas komite ini adalah membuat draf UU Keluarga Islam. Setelah mendapat persetujuan dari majelis raja-raja, draf ini disebarkan kepada negara bagian untuk dipakai sebagai UU Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan UU tersebut. Kelantan Misalnya melakukan perbaikan atas draf. Akibatnya UU Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam sampai sekarang.10 Perbedaan di atas bisa saja diakibatkan masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan UUnya. Bagi Perlak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta Wilayah pembentukan
UU
perkawinan
daerah
ini
bertujuan
untuk
mengubah beberapa hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, maka pembentukan di sini hanya mengubah
9
Ibid. Hlm. 221.
10
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), hlm. 87
49
sebagian
saja.
Sedangkan
UU
keluarga
bertujuan
untuk
menyatukan UU yang berkaitan dengan keluarga Islam dalam berbagai bidang dan perkara supaya menjadi lebih mengikat. Berarti UU ini bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar UU tersebut dipatuhi dan diikuti. Sementara
Kelantan
selain
untuk
penyatuan
juga
untuk
meperbaharui UU yang ada. Akhirnya tujuan pembentukan Perundangan di bidang perkawinan di Malaysia adalah untuk meninggikan status wanita dan mengubah peraturan hukum syari’ah mengenai keluarga.11 2. Singapura a.
Gambaran Umum Singapura Singapura nama resminya Republik Singapura, adalah sebuah negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya, 137 kilometer (85 mil) di utara khatulistiwa di Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di utara, dan dari Kepulauan Riau, Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam
perdagangan
dan
keuangan
internasional.
Pelabuhan
Singapura adalah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia.12
11
Ibid. hlm. 88
12
http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura, tgl 5 Agustus 2011.
50
Singapura
memiliki
sejarah
imigrasi
yang
panjang.
Penduduknya yang beragam berjumlah 5 juta jiwa, terdiri dari Cina, Melayu, India, berbagai keturunan Asia, dan Kaukasoid. 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana. Pekerja asing membentuk 50% dari sektor jasa. Negara ini adalah yang terpadat kedua di dunia setelah Monako. A.T. Kearney menyebut Singapura sebagai negara paling terglobalisasi di dunia dalam Indeks Globalisasi tahun 2006.13
b. Perkawinan Beda Agama di Singapura Singapura
merupakan
salah
satu
negara
yang
memperbolehkan perkawinan beda agama. Singapura merupakan negara sekular menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Singapura mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbedabeda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Singapura juga tidak memiliki agama nasional. Salah
satu
contoh
perkawinan
beda
agama
yang
dilangsungkan di Singapura adalah perkawinan antara Iwan Suhandy yang beragama Budha dengan Indah Mayasari yang
13
Ibid
51
beragama Kristen Katholik dan keduanya berdomisili di Batam. 14 Keduanya merupakan pasangan beda agama yang tidak dapat menikah di Indonesia, dan keduanya sepakat untuk melangsungkan perkawinan di Singapura. Persyaratan utama untuk dapat melangsungkan perkawinan di Singapura adalah yang bersangkutan harus tinggal di singapura minimal 20 hari berturut-turut. Setelah memenuhi persyaratan tersebut,
calon
pengantin
baru
mulai
dapat
mengurus
administrasinya secara on line di gedung Registration for Merried. Pemerintah Singapura memberikan layanan perkawinan dengan pendaftaran on line baik bagi warga negara Singapura, permanent resident, maupun foreigner 100%. Hanya dalam waktu 20 menit mendaftarkan diri ke legislasi perkawinan Singapura dengan biaya paling banyak 20 dollar singapura, tanpa mempermasalahkan beda agama, dijamin sertifikat perkawinan legal dan bisa diterima oleh hukum manapun di dunia.15 Untuk dapat melangsungkan pernikahan oleh Bidang Konsuler, yang berkepentingan harus mengajukan surat permohonan kepada Duta Besar Republik Indonesia di Singapura, untuk perhatian/UP Kepala Bidang Konsuler, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:16 14
Certificate of Marriage tanggal 28 Oktober 2007.
15
Registry of Marriage, http//www.honey.telcom.us/2007/08/21/registry/ of/ marriage/ 16
Ibid. 52
1) Surat permohonan dari ayah atau wali calon mempelai wanita; 2) Surat persetujuan nikah dari kedua belah pihak; 3) Surat keterangan untuk nikah dari kelurahan; 4) Surat keterangan asal-usul dari kelurahn; 5) Surat keterangan orang tua dari kelurahan; 6) Akte kelahiran asli, masing-masing calon pengantin berikut foto copynya; 7) Foto copy paspor dan ijin tinggal; 8) Bagi yang menetap di Singapura, surat keterangan belum menikah dari pemerintah setempat. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, dalam waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke Indonesia wajib mendaftarkan Surat Bukti Perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil tempat tinggal mereka dengan melampirkan 1) Foto Copy Bukti Pengesahan perkawinan di luar Indonesia 2) Foto Copy Kutipan akta Kelahiran 3) Foto Copy KK dan KTP 4) Pasport kedua mempelai 5) Pas poto berdampingan ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar
53
BAB IV BERBAGAI ASPEK PERKAWINAN BEDA AGAMA
Pengkajian ini menyoroti ‘perkawinan beda agama’ di beberapa negara dari berbagai aspek, yakni aspek psikologis, aspek religius, aspek yuridis, dan ketentuan hukum positif Indonesia. Aspek psikologis ‘perkawinan beda agama’ berlaku umum di semua negara. Artinya aspek psikologis sama di untuk semua negara, oleh karena aspek ini menyangkut orang. Sedangkan aspek religius dan aspek yuridis berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya.
A. Perkawinan Beda Agama di Beberapa Negara Dari Berbagai Aspek 1. Aspek Psikologis Problem yang muncul pasangan suami-istri dari perkawinan beda agama, yang dapat berimbas kepada anak-anak mereka, antara lain: a. Memudarnya Kehidupan Rumah Tangga Kehidupan rumah tangga beda agama semakin hari serasa semakin kering. Pada awal kehidupan mereka, terutama pada waku masih pacaran, perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap saja menganga. Ada suatu kehangatan dan keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang.
54
Pada saat semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari bukanlah materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Semasa masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak berbagai masalah baru akan bermunculan. Bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman.
b. Tujuan Berumah TanggaTidak Ttercapai Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama,termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Merupakan suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa ikut bersama, pada saat seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau haji.Akan tetapi sebaliknya, merupakan suatu kesedihan ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja pada saat suami pergi umroh atau haiji.. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
55
Demikian juga ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, akan merasakan hal yang
sama,
yakni
merasa indah apabila
melakukan kebaktikan di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan belaka. Setiap agama terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga. Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukarmenukar pengalaman untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang.
Jadi,
secara
psikologis
perkawinan
beda
agama
menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti perkawinan satu agama akan terbebas dari masalah.
56
c. Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar Karakter suami dan istri yang masing-masing berbeda, merupakan
suatu
keniscayaan.
Misalnya
perbedaan
usia,
perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan saling melengkapi. Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.
d. Berebut Pengaruh Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anakanaknya. Perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak, sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis. Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua
57
sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing. Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Tetapi harapan belum tentu terwujud dan bahkan perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga. Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.
2. Aspek Religius a. Pandangan Agama Islam Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
58
mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117) 1) Lelaki
Ahli
Kitab
(Yahudi
ataupun
Nasrani)
Haram
Manikahi Muslimah Menganai lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi
wanita
Muslimah
tidak
ada
kesamaan
lagi.
Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran Surat al-Mumtahanah: 10 dan al-Baqarah : 221. Maka Imam Ibnu Qodamah AlMaqdisi menegaskan: “Dan tidak halal bagi Muslimah nikah dengan lelaki kafir, baik keadaanya kafir (Ahli Kitab) ataupun bukan Kitabi.” Karena Allah Ta’ala berfirman: Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman.” (al-Baqarah :221. Dan firman-Nya: “Maka jika telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-rang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (al-Mumtahanah : 10).
59
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy Hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab maupun bukan.. Ia mendasarkan kepada firman Allah surat al-Mumtahanah : 10. Para ulama mengemukakan larangan Muslimah dinikahi oleh lalaki Ahli Kitab atau non-Muslim itu sebagaian cukup menyebutkanya dengan lafal musyrik atau kafir, karena maknanya sudah jelas: kafir itu mencakup Ahli Kitab dan musrik. Di samping itu tidak ada ayat ataupun hadis yang membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab ataupun musyrik yang boleh menikahi Muslimah setelah turun ayat 10 Surat AlMumtahanah. Sehingga tidak ada kesamaran lagi walupun hanya disebut kafir sudah langsung mencakup kafir dari jenis Ahli Kitab dan kafir Musyrik. Bahkan lafal musrik saja, para ulama sudah memasukan seluruh non-Muslim dalam hal lelaki musrik dilarang dinikahi dengan wanita Muslimah. ْ َو َﻻ َﺗ ْﻧ ِﻛ ُﺣوا ا ْﻟ ُﻣ (221) ت َﺣ ﱠﺗﻰ ُ ْؤﻣِن ِ ﺷ ِر َﻛﺎ “Dan
janganlah kamu
menikahkan
orang-orang
musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman.“ (QS. al-Baqarah :221). Muhammad Ali as-Shabuni menjelaskan, di dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan
60
orang musyrik. Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembahan berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang murtad dari Islam. Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Jangan menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mukminah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan panghinaan terhadap Islam. Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir. Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman-Nya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (al-Baqarah :221).
2) Menikahi Wanita Muhshanat Dari Kalangan Ahli Kitab Ketika
bolehnya
menikahi
wanita
Ahli
Kitab
yang
Muahshanah ‘yang menjaga diri’ dan kehormatannya sudah tsabat ‘kuat’, lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) karerna Umar berkata kepada para shabat yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, “Talaklah mereka.” Kemudia, mereka pun mentalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar
61
berkata kepadanya (Hudzaifah), “Talaklah.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?” Umar berkata, “Dia itu jamrah ‘batu bara aktif’, maka talaklah dia.” (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?” Umar berkata, “Dia itu jamrah.” Hudzaifah berkata, “Saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal.” Oleh karena itu, ketika Hudzaifah menalak wanita kitabiyah itu, ia ditanya, “Kenapa kamu tidak menalaknya ketika disuruh umar ?” Huzaifah berkata, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan kerena barangkali hati Umar cendrung kepadanya (wanita kitabiyah itu), lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah atau menguji Umar. Dan barangkali di antara keduanya ada anak, maka cendrung kepada wanita kitabiyah.”(Hartono Ahmad Jaiz, 2004 : 204-205). Syi’ah Imamiyah mengharamkan (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firman-Nya; “ …dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman.” (2:221) Dan ayat; “ Dan jaganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (al-mumtahanah : 10).
62
3) Keputusan MUI tentang Perkawinan Antar Agama Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan Antar Agama Umat Beragama, bahwa: a) Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumya. b) Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita bukan muslimah. Tentang perkawinan atara laki-laki muslimah dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar
daripada
maslahatnya,
maka
MUI
memfatwakan
perkawinan tersebut haram kukumnya. Dengan adanya farwa ini maka Majelis Ulama Indonesia mengharapkan agar seorang pria Islam tidak boleh kawin dengan wanita non Iskam kareka haram hukumnya. Selanjutnya
Prof.
Dr.
Quraiysh
Shihab,
MA
dengan
lantangmengatakan,perkawinan ini tidak sah, baik menirut agama maupun menurut negara. Pendapat ini di kuatkan oleh Prof. Dr. Muardi Khatib, salah seorang tokoh majelis tarjih Muhammadiyah yang berpendapat bahwa persoalan ini jelas di dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 221, disana dijelaskan sercara tegas bahwa seorang wanita Muslim Haram hukumnya menikah dengan laki-laki non Muslim
63
dan sebaliknya laki-laki Muslim haram menikahi wanita non Muslim, “ini sudah menjadi konsensus ulama,” tambahnya, “Kensekwensinya perkawinan ini harus dibatalkan”. Pendapat senada juga disampaikan K.H. Ibrahim Hosen yang mengatakan, menurut madzhab Syafi’I, setelah turunnya al-Qur’an orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi disebut ahll Kitab. 1 Perkembangan
Fatwa MUI selanjutnya adalah sebagai
berikut:
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H. / 26-29 Juli 2005M., setelah MENIMBANG : 1. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; 2. Bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; 3. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; 4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman. MENGINGAT : 1. Firman Allah SWT : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau 1
Media Dakwah, Desember 1996, h. 31
64
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. al-Nisa [4] : 3); Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Rum [3] : 21); Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. alTahrim [66]:6 ); Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. al-Maidah [5] : 5); Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2] : 221) Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alllah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orangorang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar.
65
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS. alMumtahianah [60] : 10). Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budakbudak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanitawanita yang memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula) wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengamun dan Maha Penyayang (QS. al-Nisa [4] : 25). 2. Hadis-hadis Rasulullah s.a.w : Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii) karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a); 3. Qa’idah Fiqh : Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan. MEMPERHATIKAN : 1. Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan Campuran. 2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005 : Dengan bertawakkal kepada Allah SWT MEMUTUSKAN MENETAPKAN : FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul muâtamad, adalah haram dan tidak sah.
66
Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H. 29 Juli 2005 M. MUSYAWARAH NASIOANAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA, Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua, Sekretaris, K. H. MA’RUF AMIN HASANUDIN
b. Pandangan Agama Katolik Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah. Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katholik.
c. Pandangan Agama Protestan Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan
67
utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, maka:2 Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka. Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman. Ada
pula
gereja
tertentu
yang
bukan
hanya
tidak
memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja. GKI Menurut Pdt. Purboyo W. Susilaradeya3 bahwa banyak orang tidak dapat memahami mengapa dua orang yang berbeda agama tetap memutuskan menikah, walau berbagai tantangan 2
menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987:2)
3
http://gkipi.org/pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif-gki/
68
menanti
mereka
di
depan.
Dari
masalah
upacara/ibadah
pernikahan pada awal perjalanan mereka, hingga pendidikan agama bagi anak-anak mereka kelak. Dan yang biasanya lebih tidak dapat dipahami lagi adalah bahwa beberapa gereja, salah satu di antaranya adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI), bersedia melayankan kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan dari pasangan yang berbeda agama, walau berbagai tantangan juga menanti gereja di depan. Dari masalah persiapan dan penyelenggaraan upacara/ibadah pernikahan mereka, hingga pendampingan pastoral bagi mereka. Khususnya GKI, bersedia melayankan kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan beda agama. Untuk itu di bawah ini akan dipaparkan pernikahan beda di Alkitab, dalam sejarah gereja, dan di GKI, kemudian akan ditawarkan beberapa rekomendasi di sekitar pernikahan beda agama. Pernikahan Beda Agama di Alkitab Di dalam Alkitab dikisahkan beberapa orang yang menikah beda agama, misalnya Yusuf, Musa, Daud, Salomo, dan tentu saja pernikahan Boas dan Ruth. Walau yang terakhir ini tidak selalu dianggap sebagai pernikahan beda agama
karena
pernyataan Ruth kepada mertuanya yang amat terkenal itu: “…bangsamulah bangsaku, Allahmu adalah Allahku…” (Rut 1:16). Namun mesti dikatakan bahwa pada umumnya pernikahan beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL).
69
Alasannya adalah kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10). Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4, “Janganlah juga
engkau
kawin-mengawin
dengan
mereka:
anakmu
perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki;
sebab
mereka
akan
membuat
anakmu
laki-laki
menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.” Dalam Perjanjian Baru (PB) Paulus dihadapkan pada permasalahan ini khususnya di jemaat Korintus. Menjawab pertanyaan mengenai “pernikahan kembali” apabila salah satu dari pasangan meninggal, Paulus menyetujuinya asalkan seiman (1 Kor. 7:39). Pendapat Paulus ini kerap kali dianggap sebagai pendirian Paulus bahwa pernikahan hanya boleh terjadi di antara orang-orang Kristen. Namun dalam kasus seseorang yang bertobat menjadi percaya namun pasangannya tidak, Paulus tidak mendorongnya untuk bercerai, kecuali pasangan yang tidak seiman itu menghendakinya (1 Kor. 7:12-16). Dan harap dicatat bahwa
dengan
jelas
Paulus
menegaskan
bahwa
mengatakan ini bukan Tuhan, tetapi dirinya sendiri, Paulus.
70
yang
Pernikahan Beda Agama dalam Sejarah Gereja Pada awal sejarah gereja, tidak ada praktik yang seragam, walau pada prinsipnya pernikahan yang dikehendaki adalah pernikahan di antara orang-orang seiman. Keputusan resmi pertama tentang itu terjadi di Sinode di Elvira (Spanyol) pada awal abad 4. Di situ pernikahan beda agama ditolak dan diberi label “perzinahan spiritual” (spiritual adultery). Pada tahun 314 Sinode di Arles mengulangi larangan, dan untuk pertama kalinya diputuskan, bahwa para pelanggar akan dihukum dengan pengasingan dari persekutuan untuk jangka waktu tertentu. Perubahan terjadi dalam sinode ekumenis di Chalcedon tahun
451,
di
mana
ditetapkan
bahwa
orang
Kristen
diperkenankan menikah dengan orang yang tidak seiman, asalkan orang itu bertobat menjadi
Kristen serta
anak-anak dari
perkawinan itu dibaptiskan. Ketetapan ini akhirnya dihisabkan ke dalam hukum gereja Katolik Roma, dan diberlakukan sejak Mei 1918, serta menjadi kebijakan dasar pernikahan beda agama. Dalam praktik dispensasi hanya diberikan, bila pasangan yang Katolik
bebas
untuk
melaksanakan
ibadah
dan
praktik
keimanannya, serta anak-anak dibaptiskan dan dibesarkan secara Katolik. Upacara pernikahan harus menurut tata-cara Katolik dan dipimpin oleh seorang imam Katolik. Upacara lain dilarang. Konsili Vatikan yang kedua kemudian membahas dan mengevaluasi
masalah
ini
71
dengan
seksama,
berdasarkan
masukan dari berbagai bagian dunia. Berdasarkan itu ketetapan mengenai
pernikahan
beda
agama
mengalami
beberapa
perubahan penting. Pertama-tama, harapan, sejauh hal ini mungkin, agar anak-anak dibaptis dan dibesarkan secara katolik, hanya diletakkan pada pasangan yang Katolik. Sedangkan mengenai upacara pernikahan, walau itu berlangsung menurut tata-cara Gereja Katolik, uskup setempat diberi wewenang untuk apabila perlu dan tepat, mengizinkan dilaksanakannya upacara dengan cara
lain.
Dan sanksi
ekskomunikasi
dalam
hal
pernikahan beda agama ini tidak lagi diberlakukan. Gereja Ortodoks, yang juga memegangi bahwa pernikahan adalah sakramen, tetap bersiteguh bahwa pernikahan haruslah terjadi di antara dua orang yang telah dibaptiskan. Lain lagi halnya dengan gereja-gereja Prostestan. Pada umumnya mereka menolak pernikahan beda agama sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dan praktik gereja. Kecuali pasangan yang tidak seiman dibaptiskan, gereja sama sekali tidak akan memedulikannya. Akibatnya banyak pasangan yang berbeda agama menikah hanya secara hukum (“catatan sipil”) atau pasangan yang Kristen mengikuti upacara menurut agama pasangannya. Sebagai reaksi atas hal ini ada gerejagereja yang memberikan sanksi kepada anggotanya yang nekad menikah dengan orang yang tidak seiman.
72
Akhir-akhir ini, atas dasar pertimbangan pastoral, praktik “disiplin gerejawi” diperlunak. Ada gereja-gereja yang bersedia melayankan upacara pernikahan beda agama tidak di gereja, di rumah, bila pasangan yang tidak seiman setuju dilaksanakan upacara Kristen. Dan ada gereja yang untuk itu mensyaratkan pembinaan pra-nikah bagi pasangan beda agama yang akan menikah.
Pernikahan Beda Agama dalam Pemahaman dan Praktik GKI GKI menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat sebagai berikut: Jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa: - Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani. - Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani. - Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani. (Tata Laksana GKI Pasal 29:9.b) Berarti, melalui berbagai pertimbangan, GKI telah mengubah ketetapannya. Ketika masih terdiri atas 3 sinode, masing-masing sinode GKI, (setidaknya GKI Jawa Tengah) semula hanya
73
bersedia menikahkan pasangan yang tidak seiman dengan anggotanya, bila yang bersangkutan sudah dibaptis, atau berjanji (menandatangani surat perjanjian) untuk mengikuti katekisasi dan dibaptis. Dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKI Jawa Tengah yang disahkan tahun 1987, rumusan yang sama dengan rumusan dalam Tata Laksana GKI di atas diterima [Tata Laksana GKI Jateng Bab V, Pasal 1, Ayat 26, Butir 2.a.(3)]. Perubahan ini menurut hemat saya turut didorong oleh kenyataan dalam praktik. Akibat aturan yang ketat, timbullah kesulitan-kesulitan yang tak teratasi bagi pernikahan beda agama, khususnya di bagian-bagian dunia di mana orang Kristen adalah minoritas,
termasuk
di
Indonesia.
Dahulu
upaya
untuk
memberikan dispensasi dalam bentuk syarat pasangan yang tidak seiman harus dibaptis atau meminta yang bersangkutan untuk berjanji adalah tindakan pastoral untuk membantu pasanganpasangan pernikahan beda agama. Tetapi kemudian tidak jarang pasangan yang tidak seiman, walau telah dibaptis, di kemudian hari kembali ke agamanya semula, bahkan memengaruhi pasangannya untuk ikut dengannya. Dan kerap terjadi, pasangan tidak seiman yang telah berjanji untuk mengikuti katekisasi dan dibaptis, setelah pernikahan terjadi, tidak menepati janjinya itu. Namun selain pertimbangan praktis, pemahaman yang mendasari perubahan ini kiranya juga jelas. Pertama-tama, dalam identitas GKI yang kuat dan jelas, salah satu karakteristik GKI
74
sebagai
gereja
adalah
inklusivitasnya.
Secara
sederhana
paradigma GKI adalah menghisabkan orang, dan berarti sedapat mungkin menerima serta mengakomodasikan perbedaan, bukan secara mudah mempertahankan identitas dengan menyisihkan orang/pihak yang berbeda. Berikutnya, dalam pemahaman GKI, pernikahan bukanlah sakramen.
Selain
alasan
klasik,
bahwa
Kristus
tidak
menetapkannya (seperti pada Perjamuan dan Baptisan Kudus), pernikahan tidaklah terkait dengan keselamatan oleh dan dalam Kristus. Konsekuen dengan itu, pernikahan dipahami GKI sebagai sebuah akta gerejawi yang berada pada ranah pastoral untuk “mewujudkan persekutuan” sebagai bagian dari misi/tujuan GKI (dalam buku Liturgi Gereja Kristen Indonesia, liturgi peneguhan dan pemberkatan pernikahan masuk ke dalam kelompok “Liturgi Pastoral”). Beberapa Isyu Pernikahan Beda Agama Pertama-tama tentu adalah kaitan pernikahan beda agama dengan masalah hukum perkawinan di Indonesia. Pendirian gereja-gereja Protestan, termasuk GKI, dalam hal pengesahan pernikahan adalah bahwa pernikahan hanya sah bila sudah dicatatkan secara sipil. Tetapi atas desakan kelompok-kelompok Islam, yang hendak mencegah terjadinya pernikahan beda agama, hal pencatatan sipil pernikahan diperlakukan secara khusus. Tepatnya, pernikahan hanya bisa dianggap sah dan dapat
75
dicatatkan
secara
sipil,
bila sudah
dilaksanakan
upacara
keagamaan sesuai dengan kepercayaan yang bersangkutan. GKI mengakomodasikannya dengan aturan ini: Calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya, atau calon mempelai telah membuat surat pernyataan
tentang
kesediaannya
untuk
mencatatkan
pernikahannya di Kantor Catatan Sipil, yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi. (Tata Laksana GKI Pasal 28:3). Sehingga pencatatan sipil dapat dilaksanakan sesudah ibadah peneguhan dan pemberkatan pernikahan. Namun biasanya dalam kerja sama dengan petugas Kantor Catatan Sipil, pencatatan dilakukan pada hari yang sama, di gereja. Isyu berikut yang berkenaan dengan itu adalah soal agama pasangan sesuai undang-undang perkawinan tahun 1974. Karena undang-undang itu (setidaknya penafsiran atasnya) sebenarnya menuntut bahwa agama kedua belah pihak harus sama, maka untuk melaksanakan pernikahan beda agama, pasangan yang tidak seiman “mengaku” bahwa ia adalah seorang Kristen di depan petugas pencatatan sipil. Ini yang bagi beberapa jemaat GKI masih dianggap kontroversial. Jalan keluar yang “aman” adalah menikah di luar negeri (secara hukum, dicatat secara sipil, yang diterima oleh kantor
76
catatan sipil di Indonesia). Atau mengajukan ke Pengadilan Negeri permohonan untuk menikah beda agama. Walau prosesnya panjang
dan
memakan
waktu
berbulan-bulan,
biasanya
permohonan ini dikabulkan, karena menikah adalah hak setiap warga negara, yang tidak dapat dihalangi oleh apapun termasuk perbedaan agama. Isyu
berikutnya
adalah
tuntutan
(kita)
agar
upacara
pernikahan hanya dilaksanakan secara kristiani. Ini pula yang tidak jarang dipersoalkan oleh pasangan dan keluarga yang tidak seiman. Mereka biasanya menginginkan juga agar dilaksanakan menurut kepercayaan mereka, mengingat bahwa pernikahan itu adalah pernikahan beda agama,
di mana
masing-masing
mempertahankan kepercayaannya. Ada
kelompok
Islam
(misalnya
yang
pasti
adalah
“Paramadina”) yang bersedia menikahkan pasangan beda agama, di mana tidak dituntut dari pasangan yang bukan Muslim untuk mengikrarkan “kalimah syahadat”. Bahkan mereka bersedia untuk melakukan upacara pernikahan bersama sesuai agama masingmasing, dengan menghadirkan pemimpin agamanya (pendeta misalnya). Walau dalam praktik, menurut mereka justru dengan gereja Katolik mereka mengalami kesulitan kerja sama. Padahal seharusnya hal itu telah dimungkinkan berdasarkan keputusan konsili Vatikan 2.
77
Isyu yang akan tetap relevan, adalah tuntutan (kita) agar anak-anak dibaptiskan dan dididik secara Kristiani. Hal ini juga selalu diprotes oleh pasangan yang tidak seiman. Biasanya demi terlaksananya pernikahan yang bersangkutan bersedia berjanji untuk tidak menghalangi bila anak-anak mereka kelak akan dibaptis dan dididik secara kristiani. Namun dalam praktik janji ini tidak selalu ditepati. Kesimpulan dan Rekomendasi Di negeri dan masyarakat yang majemuk ini, terutama dalam hal agama, pernikahan beda agama menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Pilihannya memang cuma dua. Menolaknya secara hitam-putih, dengan dalih kemurnian ajaran, yang akan dapat berarti “mencampakkan” seorang saudara yang “memilih untuk tidak memilih”. Atau menerimanya sebagai saudara yang hendak melakukan sesuatu yang adalah hak asasinya, dan berarti bersedia menyediakan kemudahan untuk itu. Maka mengingat pernikahan (beda agama) berada dalam ranah pastoral, persoalan di sekitarnya mesti diatasi secara pastoral pula. Ketika seorang saudara (saudara seiman kita) hendak menikah dan minta agar pernikahannya diteguhkan serta diberkati, walau dengan seseorang yang tidak seiman, siapakah kita, sebagai gereja, untuk menolak permintaannya? Sebagai alat Tuhan dan damai sejahtera-Nya, permintaan peneguhan dan
78
pemberkatan nikah beda agama mestinya (tetap) dilayani dengan baik. Penerimaan dan penghargaan terhadap pasangan dan keluarga yang tidak seiman, terutama dalam rangka kehidupan bersama di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini, mestinya ditingkatkan. Bila kita (GKI) menerima pernikahan beda agama dari dua orang yang setara, mengapakah mesti berkeras menuntut agar upacara secara kristiani diutamakan. Tidakkah kita mesti belajar dari konsili Vatikan 2 dan dari kelompok Islam seperti Paramadina, yang tujuannya benar-benar hendak menolong pasangan yang hendak menikah beda agama? Sedangkan tentang tuntutan (kita) bagi anak-anak dari pernikahan beda agama agar dibaptiskan dan dididik secara kristiani, tidakkah seyogyanya hal itu kita serahkan kepada yang bersangkutan untuk menyepakatinya di antara mereka sendiri sebagai dua orang dewasa yang pasti sudah memperhitungkan berbagai hal di sekitar keputusan untuk tetap menikah walau beda agama? Untuk itu semua, gereja wajib terus mendampingi dan melayani secara pastoral pasangan-pasangan yang hendak dan sudah menikah. Akhirnya, fenomena pernikahan beda agama ini mestinya sudah kita terima dengan lapang dada. Oleh karenanya menurut hemat saya diskusi tentang isyu-isyu besar di belakang fenomena
79
ini mestinya dilakukan secara mendalam, dengan bekerjasama dengan saudara-saudara dari berbagai kepercayaan. Misalnya pemahaman tentang hakikat pernikahan dari tiap kepercayaan, isyu sosial di sekitar itu, misalnya poligami, lalu pendampingan bagi pasangan yang menikah beda agama yang seharusnya menjadi perhatian bersama dari agama-agama.
d. Pandangan Agama Hindu Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu.4 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande.
4
Menurut Dde Pudja, MA (1975:53),
80
Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi: Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak
boleh
dan
pendande/Pendeta
mengesahkan perkawinan tersebut.
81
akan
menolak
untuk
e. Pandangan Agama Budha Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewadewa umat Budha Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama
Budha,
walaupun
sebenarnya
ia
hanya
menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan
itu
dilangsungkan.
Untuk
menghadapi
praktek
perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan.
82
3. Aspek Yuridis Hukum perkawinan di berbagai negara, tidaklah sama antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Di Negara-negara muslim, hukum perkawinan didasarkan kepada ‘hukum Islam’ yang biasanya masih berupa fikih yang dipedomani di masyarakatnya. Sehingga, mazhab dominant dalam masyarakat akan mempengaruhi hukum Islam yang diterapkan di suatu negara muslim tersebut. Seperti di Indonesia, yang mayoritas menggunakan mazhab Syafi’I, maka produk hukum Islam, diderivasi dari fikih syafi’iyah. Sementara itu, di Negara Barat yang mayoritas beragama Kristen ataupun Katolik, hukum perkawinan juga banyak diadopsi dari hukum Kanonik (hukum gereja). Perkawinan dilaksanakan di Gereja dengan sakramen dan pemberkatan yang hidmat; dan musti menggunakaan hukum gereja. Seperti ajaran monogamy dan perkawinan permanent, yang masih dianut dalam hukum perkawinan Negara-negara Barat.Hukum perkawinan yang didasarkan kepada agama ini, cenderung menutup peluang perkawinan beda agama. Di Negara-negara muslim, yang masih meganut hukum Islam berupa fikih tradisional, akan melarang perkawinan beda agama, terutama perkawinan antara seorang wanita muslim dengan pria non-muslim. Karena memang ajaran fikih berkata demikian. Di Indonsia, bahkan, pelaksanaan perkawinan beda agama juga agak dipersulit.
83
Di Negara-negara Barat awal, yang menggunakan hukum kanonik, juga cenderung melarang perkawinan beda agama; karena kitab suci mereka juga melarangnya. Apalagi dahulu masyarakat Barat cenderung homogen, sehingga perkawinan beda agama kurang mendapat focus pembahasan. Sehingga, ketika perkawinan di gereja, musti kedua mempelai beragama Katolik atau Kristen. Dalam perkembangan masyarakat internasional yang mengglobal; arus migrasi tak terhindarkan. Warga minoritas dan mayoritas menyatu dalam masyarakat modern. Di sisi lain, reformasi hukum di Barat telah menggeser hukum Tuhan/ hukum agama ke hukum manusia. Sehingga, hukum perkawinan gereja relative tergeser dengan perkawinan yang berupa kontrak antara
dua pihak
berdasarkan kehendak keduanya. Dalam perkembangan ini maka, perkawinan Beda agama di Barat tidak sebegitu sulit seperti di Negara muslim.
B. Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif Indonesia 1. Ketentuan Hukum Positif Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kedua
produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama.
84
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Pasal 4: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.5 Pasal 40: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; a. Karena
wanita
yang
bersangkutan
masih
terikat
satu
perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragam Islam.6 Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”7
5
Departemen Agama Republik Indonesia, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 15.
6
Ibid., h. 28.
85
Pasal 61: “ Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien”8 Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
2. Lembaga Pencatat Perkawinan Di Indonesia terdapat dua lembaga yang mencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap masyarakat yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), terhadap masyarakat yang beragama non Islam. Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa.9
Oleh
karenanya
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
7
Ibid., h. 29.
8
Ibid., h. 36.
9
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
86
masing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun
bagaimana
dengan
perkawinan
beda
agama.
Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA, bukan beda agama. Masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba paspasan. Tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini: Pertama, salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan. Kedua, berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik
87
Nelwan (laki-laki/Kristen). Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan perkawinan di KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya
harus
dianggap
bahwa
ia
menginginkan
agar
perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan tersebut. Secara
a
contrario
maka
KUA
wajib
melangsungkan
perkawinannya, karena perempuan yang beragama Nasrani tidak lagi menghiraukan statusnya yang beragama Nasrani. Oleh karena itu melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh Hukum Islam yang terkait dengan perkawinan. Dengan demikian, dari semula pasangan yang berbeda agama tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama
88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Perkawinan beda agama di beberapa negara dari berbagai aspek adalah sebagai berikut: a. Aspek
psikologis
perkawinan
beda
agama
menimbulkan
ketidaknyamanan dalam hidup berumah tangga b. Aspek religius perkawinan beda agama adalah bahwa semua agama, baik Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu) melarang adanya perkawinan beda agama. Untuk itu adanya keinginan untuk membuat aturan perkawinan bagi yang berbeda agama merupakan cermin kurangnya penghayatan terhadap ajaran agama. c. Aspek yuridis bahwa negara sekuler (Singapura dan Australia) memperbolehkan perkawinan beda agama, sedangkan dalam negara non sekuler (Malaysia dan Indonesia) tidak diperbolehkan perkawinan beda agama. 2. Ketentuan hukum positif Indonesia tidak secara tegas melarang tentang perkawinan beda agama. Namun dari ketentuan-ketentuan yang ada serta posisi Indonesia sebagai negara yang non sekuler, maka dimaknai bahwa di Indonesia tidak dapat dilangsungkan perkawinan beda agama.
89
2. Saran Kepada seluruh masyarakat/ Bangsa Indonesia baik Muslim maupun non Muslim sesuai dengan tujuan perkawinan, maka: a. Agar dapat mengikuti aturan- aturan yang berlaku di Indonesia; b. Agar dapat mengikuti aturan- aturan yang sesuai dengan kepercayaannya masing-masing;
90
agama dan
DAFTAR PUATAKA
A. Kitab Suci Al Qur’an
B. Buku Adji, Sution Usman. Kawin Lari dan kawin Antar Agama. Yogyakarta: Liberty, 1989 Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, Cet. Ke-2. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2006. -----. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. cetakan kedua. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008 Asmin. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Dian Rakyat, 1986, Cet. Ke-1. Bahar, Safroedin et.al. Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)- Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei-19 Agustus 1945. cetakan Kedua. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,1992. Baso, Ahmad dan Ahmad Nurcholish (Editor). Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Kegamaan & Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM, 2005. Cretney, Stephen. Family Law in Twentieth Century in History. Oxford: Oxford University Press, 2005. Eoh, OS. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Srigunting, 1996
91
Esposito, John L. (Ed). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. III. Jakarta: Mizan, 2000. Friedmann, Wolfgang. Law in a Changing Society. Cet. 2. Australia: Penguin Books, 1972. Hazairin. Demokrasi Pancasila. Jakarta: Bina Aksara, 1983. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003, Cet. Ke-2 Hovius, Berend. Family Law: Cases, Notes and Materials. Totonto: Carswell, 1992 Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi”dan Diskriminasi Hak Sipil. Cetakan Pertama. Semarang: Rasail Media Group. 2009. Kusuma, A.B. Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2004.
Mahmood, Tahir. Family Law Reform in The Muslim World. Bombay: Tripathi, 1972. -----. Personal Law in Islamic Countries. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987. Melida, Djaya S. Masalah Perkawinan Antar Agamadan Kepercayaan di Indonesia dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Vrana Widya Darma, 1988 Nasution, Khoiruddin. Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia. JakartaLeiden: INIS, 2002. Saleh, K. Watjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia, 1992 Soekanto, Soerjono. Soerjono Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Ke-6. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, 1990. . Subadio, Maria Ulfa. Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan. Jakarta: Idaya, 1981.
92
Sosroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Von der Mehden, Fred R. Kebangkitan Islam di Malaysia”, dalam John L. Esposito (Ed), Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial. Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
C. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019. Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Taahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 197\5 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050. Indonesia. Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000. The International Convenant on Civil and Political Rights atau Konvenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenat on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). The International Convenant on Economic, Sosial, Cultural Rights atau Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Sosial, Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
93
D. Internet http://islamlib.com/id/artikel/fakta-empiris-nikah-beda-agama, tgl. 1 Agustus 2011
diunduh
http://panmohamadfaiz.com/2007/02/17/perbandingan-hukum-1/, diunduh tgl 3 Juni 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme. tgl. 5 Agustus 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_sekular, tgl. 5 gustus 2011. http://sriwahyuni-suka.blogspot.com/2010/03/artikel_25.html ”Perbandingan Hukum Indonesia, Beberapa Negara Muslim dan Barat”, diunduh tgl 3 Juni 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia, tgl 5 Agustus 2011. http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura, tgl 5 Agustus 2011. Certificate of Marriage tanggal 28 Oktober 2007. Registry of Marriage, http//www.honey.telcom.us/2007/08/21/registry/ of/ marriage/ http://gkipi.org/pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif-gki/
94
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkawinan sudah merupakan sunnatullâh yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya.1 Perkawinan adalah tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.2 Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia perkawinan merupakan salah satu budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit dan bahkan tertutup, sedangkan dalam masyarakat modern budaya
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Cet. Ke-2, h. 1. 2
Di dalam al-Qur'an Allah berfirman, antara lain: (49: 51/رُونَ )اﻟذار ﺎ ت ْ َوﻣِنْ ُﻛ ﱢل َﺷﻲْ ٍء َﺧﻠَ ْق◌ْ َﻧﺎ َز ْوﺟَ ِْن ﻟَﻌَ ﻠﱠ ُﻛ ْم َﺗ َذ ﱠﻛ
“Tiap-tiap sesuatu Kami jadikan berpasang-pasangan (jantan dan betina), agar kamu sekalian mau mengingat akan kebesaran Allah”. (QS. al-Dzâriyât/51: 49). ُ ُﺳ ﺑْﺣنَ اﻟﱠ ِذيْ َﺧﻠَقَ ْاﻻَ ْز َواجَ ُﻛﻠﱠ َﺎ ﻣِ ﻣﱠﺎ ُﺗ ْﻧ ِﺑ (36 :36/ ) س. َت الْ◌ْ اَرْ ضَ َوﻣِنْ أَ ْﻧﻔُﺳِ ِ ْم َوﻣِ ﱠﻣ ﺎ ﻻَ َﻌْ ﻠَﻣ ُْون “Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan semuanya, di antaranya apa-apa yang ditumbuhkan bumi dan dari diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yâsîn/36: 36).
1
perkawinannya maju, luas serta terbuka.3
Perkawinan sudah ada
dalam masyarakat yang sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat. Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan perkawinan. Aturan-aturan tersebut terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasan pemerintahan dan di dalam suatu negara. Perkawinan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada.
Ia
kepercayaan
bisa
dipengaruhi
oleh
dan
keagamaan
yang
pengetahuan, dianut
pengalaman,
masyarakat
yang
bersangkutan. Perkawinan (biasa disebut dengan nikah), merupakan suatu cara yang dipilih Allah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di muka bumi dengan tujuan menjaga kehormatan dan martabat
kemuliaan
manusia.
Bagi
orang
Islam
perkawinan
disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Ilahi.4 Perkawinan dilakukan dengan cara akad nikah, yaitu suatu îjâb yang dilakukan oleh pihak wali perempuan yang kemudian diikuti dengan qabûl dari bakal suami dan disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua pria dewasa.5
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Loc., Cit. 4
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. Ke-2. h. 33.
5
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Cet. Ke-6.
2
Aturan perkawinan bagi bangsa Indonesia adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berlaku secara resmi sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 2 Januari 1974, kemudian berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang tersebut sudah berlaku secara formal yuridis bagi bangsa Indonesia, dan telah menjadi bagian dari hukum positif. Undang-undang
perkawinan
ini,
selain
meletakkan
asas-asas,
sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat Indonesia.6 Di mana dalam undangundang tersebut mengatur prinsip-prinsip perkawinan itu sendiri, harta bersama suami isteri dalam perkawinan, pembatasan thalâq dan rujûk, hubungan orang tua dengan anak dan lain-lain sebagainya. Pengaturan mengenai perkawinan beda agama di berbagai negara sangat beragam. Di satu sisi ada negara-negara yang membolehkan perkawinan beda agama, dan di sisi lain terdapat negara yang melarang, baik secara tegas maupun tidak tegas, adanya perkawinan beda agama.
6
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Cet. Ke-1, h. 16.
3
Dalam konsepsi hukum Indonesia, masalah perkawinan telah mendapat pengaturan hukumnya secara nasional, yakni Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan)7 , dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.8 Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang semakin kompleks, permasalahan yang terjadi juga semakin kompleks. Termasuk juga kompleksitas masalah perkawinan, yang antara lain perkawinan campuran9, kawin kontrak, dan perkawinan beda agama. Terhadap perkawinan beda agama, hasil sensus tahun 1990 dan 2000 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya menunjukkan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan
trend-nya
menurun menjadi 12 kasus pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah
7
Indonesia, Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019. 8
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Taahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 197\5 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050. 9
Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.
4
(15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000).10
Tabel 1 Angka PBA Menurut Agama, Tahun dan Jenis Kelamin
1980
1990
2000
Agama Pria
Wanita Pria
Wanita Pria Wanita
0.7
0.6
0.9
0.9
2. Protestan 6.0
8.6
1. Islam
0.5
0.6
10.6 13.8
5.1
3.6 13.0
3. Katolik
13.3 15.4
11.4 8.7
6.9
4. Hindu
19.0* 9.6*
16.3 2.7
60.0 -
5. Budha
-
-
37.5 21.9
-
-
6. Lain-lain -
-
35.5 0
-
-
Jumlah
24677 24677 28668 28668 2673 2673
* Untuk SP-80, Hindhu, Budha dan lain-lain disatukan untuk analisis. Sumber: Sensus 1980, 1990 dan 2000
10
http://islamlib.com/id/artikel/fakta-empiris-nikah-beda-agama, diunduh tgl. 1 Agustus 2011
5
Tabel di atas juga menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai Sensus 1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan muslim (di bawah 1%). Artinya bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar. Tapi secara umum, tabel tersebut menunjukkan ketiadaan pola PBA yang khas dalam kalangan nonmuslim.11 Berusaha untuk menjawab problematika tersebut, pengkajian ini bermaksud untuk melakukan perbandingan hukum berbagai negara. Perbandingan
hukum dalam pengkajian
ini
merupakan
proses
mempelajari hukum-hukum di luar negeri dengan membandingkannya dengan hukum nasional. Tugas utamanya adalah untuk mengetahui dengan pasti perbedaan dan persamaan di dalam peraturan hukum, prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga terkait pada dua negara atau lebih
dengan
cara
pandang
untuk
permasalahan setempat.
11
Ibid.
6
menyediakan
solusi
bagi
Hal ini juga merupakan disiplin untuk memelihara “social order” berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang hidup di negaranegara lain12
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dibahas dalam penngkajian adalah : 1. Bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia dan di beberapa negara dari berbagai aspek? 2. Bagaimanakah
ketentuan
hukum
positif
Indonesia
mengatur
persoalan perkawinan beda agama?
C. Tujuan Tujuan penyusunan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dan menganalisis pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia dan di beberapa negara dari berbagai aspek. 2. Mengetahui dan menganalisi ketentuan hukum positif Indonesia tentang perkawinan beda agama.
12
http://panmohamadfaiz.com/2007/02/17/perbandingan-hukum-1/, diunduh tgl 3 Juni 2011
7
D. Kegunaan 1.Kegunaan Teoritis : Kegunaan teoritis pengkajian ini adalah untuk mendapatkan pemikiran
dan
pengembangan
ilmu
hukum
dalam
upaya
mendapatkan penyikapan terbaik atau solusi permasalahan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia. 2.Kegunaan Praktis Kegunaan praktis pengkajian ini adalah untuk mendapatkan hasil kajian yang relevan sebagai langkah awal pertimbangan pembentukan Naskah Akademik peraturan yang berkaitan dengan perkawinan beda agama.
E. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Konsepsional a. Perkawinan Di dalam UU no 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
8
b. Agama Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
c. Perkawinan beda agama Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita
yang
keduanya
memiliki
perbedaan
agama
atau
kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan.
3. Kerangka Teoritis a. Sekularisme Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan antara agama dan pemerintahan. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterikatan antara pemerintahan dan agama negara, mengantikan hukum keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan
9
dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama minoritas.13 Sekularisme, seringkali di kaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan Laisisme di Perancis, didasarkan dari sekularisme.14 Kebanyakan agama menerima hukum-hukum utama dari masyarakat yang demokratis namun mungkin masih akan mencoba untuk memengaruhi keputusan politik, meraih sebuah keistimewaan khusus atau. Aliran agama yang lebih fundamentalis menentang sekularisme. Penentangan yang paling kentara muncul dari Kristen Fundamentalis dan juga Islam Fundamentalis. Pada saat yang sama dukungan akan sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dalam pemerintahan
sebagai
hal
yang
penting
untuk
menjaga
persamaan hak.15 Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya di anggap sebagai sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang
13
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme. tgl. 5 Agustus 2011
14
Ibid.
15
Ibid.
10
muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini.16 Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu
di
pisahkan
dari
masalah-masalah
pemerintahan
dan
pengambilan keputusan.17 Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi Humanisme Sekular.18
b. Negara sekuler Negara sekular adalah salah satu konsep sekularisme, dimana sebuah negara menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Negara sekular juga mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbeda-beda, dan juga menyatakan tidak
16
Ibid.
17
Ibid.
18
Ibid.
11
melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Negara sekular juga tidak memiliki agama nasional.19 Negara
sekular
didefinisikan
melindungi
kebebasan
beragama. Negara sekular juga dideskripsikan sebagai negara yang
mencegah
agama
ikut
campur
dalam
masalah
pemerintahan, dan mencegah agama menguasai pemerintahan atau kekuatan politik.20
F. Metode Penelitian Pengkajian ini akan terdiri dari unsur-unsur berikut: 1. Aspek Pengkajian Pengkajian
hukum
tentang
Perkawinan
Beda
Agama
(Perbandingan Beberapa Negara), dikaji dari aspek psikologis, aspek yuridis, dan aspek religi. 2. Spesifikasi Pengkajian Pengkajian ini bersifat deskriptif yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang dikaji secara sistematis. 3. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deduktif, yakni pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum kemudian diarahkan kepada hal yang bersifat khusus.
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_sekular, tgl. 5 gustus 2011.
20
Ibid.
12
4. Jenis dan Sumber Data Dalam pengkajian ini digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder mencakup:21 a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan beda agama (perbandingan beberapa negara). b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya, rancangan undangundang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, tesis, disertasi, jurnal dan seterusnya. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan seterusnya. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara. Metode wawancara yang digunakan di sini hanya bersifat menambahkan, karena tujuannya hanya untuk mendapatkan klarifikasi dan konfirmasi mengenai hal-hal yang belum jelas atau diragukan keabsahan dan kebenarannya.
21
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 15. .
13
Analisis Data Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yakni analisis data melalui penafsiran atau pemaknaan terhadap permasalahan yang dikaji.
G. Personil Pengkajian Ketua
: Dr. Abd. Rozak A. Sastra, M.A.
Sekretaris
: Rachmat Trijono, S.H., MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA 2. Ahyar Gayo, S.H.,M.H 3. Hj. Hajerati, S.H., M.H 4. Heru Wahyono, S.H., M.H 5. Drs. Muchlas. 6. Sunaryo (PSIK)
Sekretaritat: 1. Teguh Irmansyah, S.Ip., M.A 2. Purwono Narasumber: 1. Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer (Paramadina) 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta)
H. Sistematika Pengkajian Laporan akhir pengkajian ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab I merupakan bab Pendahuluan. Bab II berisi hasil tinjauan kepustakaan. Bab III berisi hasil pengkajian. Bab IV merupakan analisis dari berbagai aspek, dan
14
Bab IV merupakan penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran I. Jadwal Pengkajian No
Bulan
April
Mei Juni Juli
Agust Sept
Kegiatan 1
Pembuatan Proposal
2
Pembahasan Proposal
Xx xx
dan pembagian tugas 3
Pembahasan
tugas
xx
masing 4
Pembahasan
draft
xx
laporan akhir 5
Penyempurnaan
Xx
Laporan Akhir 6
Penyerahan
Laporan
xx
akhir
15
BAB II NEGARA DAN AGAMA
A. Sekulerisme Sekularisme atau sekulerisme dalam penggunaan masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama atau kepercayaan. Sekularisme dapat menunjang kebebasan beragama dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka
yang
netral
dalam
masalah
kepercayaan
serta
tidak
menganakemaskan sebuah agama tertentu.22 Sekularisme juga merujuk ke pada anggapan bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutamanya yang politis, harus didasarkan pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, dan bukan berdasarkan pengaruh keagamaan. Tujuan dan argumen yang mendukung sekularisme beragam. dalam Laisisme Eropa, di usulkan bahwa sekularisme adalah gerakan menuju modernisasi dan menjauh dari nilai-nilai keagamaan tradisional. Tipe sekularisme ini, pada tingkat sosial dan filsafats seringkali terjadi selagi masih memelihara gereja negara yang resmi, atau dukungan kenegaraan lainnya terhadap agama.
22
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_sekular, tgl. 5 gustus 2011.
16
Dalam kajian keagamaan, masyarakat dunia barat pada umumnya di anggap sebagai sekular. Hal ini di karenakan kebebasan beragama yang hampir penuh tanpa sangsi legal atau sosial, dan juga karena kepercayaan umum bahwa agama tidak menentukan keputusan politis. Tentu saja, pandangan moral yang muncul dari tradisi kegamaan tetap penting di dalam sebagian dari negara-negara ini. Sekularisme juga dapat berarti ideologi sosial. Di sini kepercayaan keagamaan atau supranatural tidak dianggap sebagai kunci penting dalam memahami dunia, dan oleh karena itu di pisahkan dari masalahmasalah pemerintahan dan pengambilan keputusan. Sekularisme tidak dengan sendirinya adalah Ateisme, banyak para Sekularis adalah seorang yang religius dan para Ateis yang menerima pengaruh dari agama dalam pemerintahan atau masyarakat. Sekularime adalah komponen penting dalam ideologi Humanisme Sekular. Beberapa masyarakat menjadi semakin sekular secara alamiah sebagai akibat dari proses sosial alih-alih karena pengaruh gerakan sekular, hal seperti ini dikenal sebagai Sekularisasi Pendukung
sekularisme
menyatakan
bahwa
meningkatnya
pengaruh sekularisme dan menurunnya pengaruh agama di dalam negara tersekularisasi adalah hasil yang tak terelakan dari Pencerahan yang karenanya orang-orang mulai beralih kepada ilmu pengetahuan dan rasionalisme dan menjaduh dari agama dan takhyul.
17
Penentang sekularisme
melihat pandangan diatas sebagai
arrogan, mereka membantah bahwa pemerintaan sekular menciptakan lebih banyak masalah dari paa menyelesaikannya, dan bahwa pemerintahan dengan etos keagamaan adalah lebih baik. Penentang dari golongan Kristiani juga menunjukan bahwa negara Kristen dapat memberi lebih banyak kebebasan beragama daripada yang sekular. Seperti contohnya, mereka menukil Norwegia, Islandia, Finlandia, dan Denmark, yang kesemuanya mempunyai hubungan konstitusional antara gereja dengan negara namun mereka juga dikenal lebih progresif dan liberal dibandingkan negara tanpa hubungan seperti itu. Seperti contohnya, Islandia adalah termasuk dari negara-negara pertama yang melegal kan aborsi, dan pemerintahan Finlandia menyediakan dana untuk pembangunan masjid. Namun pendukung dari sekularisme juga menunjukan bahwa negara-negara Skandinavia terlepas dari hubungan pemerintahannya dengan agama, secara sosial adalah termasuk negara yang palng sekular di dunia, ditunjukkan dengan rendahnya persentase mereka yang menjunjung kepercayaan beragama. Komentator
modern
mengkritik
sekularisme
dengan
mengacaukannya sebagai sebuah ideologi anti-agama, ateis, atau bahkan satanis. Kata Sekularisme itu sendiri biasanya dimengerti secara peyoratif oleh kalangan konservatif. Walaupun tujuan utama dari negara sekular adalah untuk mencapai kenetralan di dalam agama, beberapa membantah bahwa hal ini juga menekan agama.
18
Beberapa filsafat politik seperti Marxisme, biasanya mendukung bahwasanya pengaruh agama di dalam negara dan masyarakat adalahhal yang negatif. Di dalam negara yang mempunyai kpercayaan seperti itu (seperti negara Blok Komunis), institusi keagamaan menjadi subjek dibawah negara sekular. Kebebasan untuk beribadah dihalanghalangi dan dibatasi, dan ajaran gereja juga diawasi agar selalu sejakan dengan hukum sekular atau bahkan filsafat umum yang resmi. Dalam demokrasi barat, diakui bahwa kebijakan seperti ini melanggar kebebasan beragama. Beberapa sekularis menginginkan negara mendorong majunya agama (seperti pembebasan dari pajak, atau menyediakan dana untuk pendidikan dan pendermaan) tapi bersikeras agar negara tidak menetapkan sebuah agama sebagai agama negara, mewajibkan ketaatan beragama atau melegislasikan akaid. Pada masalah pajak Liberalisme
klasik
menyatakan
bahwa
negara
tidak
dapat
"membebaskan" institusi beragama dari pajak karena pada dasarnya negara tidak mempunyai kewenangan untuk memajak atau mengatu agama. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa kewenangan duniawi dan kewenangan beragama bekerja pada ranahnya sendiri- sendiri dan ketka mereka tumpang tindih seperti dalam isu nilai moral, keduaduanya tidak boleh mengambil kewenangan namun hendaknya menawarkan sebuah kerangka yang dengannya masyarakat dapat bekerja tanpa menundukkan agama di bawah negara atau sebaliknya.
19
Peta negara sekuler.23
Keterangan:
█ Negara sekuler ██ Negara dengan agama resmi ██ Tidak diketahui atau tidak mempunyai data
23
http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_sekular, tgl. 5 gustus 2011.
20
Ada empat prinsip dasar bagi landasan dari teologi Negara sekuler. Prinsip itu adalah sebagai berikut: 1. Negara Nasional adalah evolusi tertinggi dari komunitas politik. Dengan
lahimya
Negara
nasional,
berbagai
upaya
untuk
membangun kekhalifahan global (semacam otonom empiro atau federasi Negara Islam yang memiliki satu imam) tidak penting dan tidak perlu waktu dan energi yang ada harus diberikan kepada pembangunan Negara Nasional, bukan super nasional. 2. Dalam Negara nasional, warga Negara berasal dari agama yang beragam. Karena mereka adalah warga dari Negara yang sama, hak hak social mereka dan politik mereka (termasuk hak untuk duduk dalam
jabatan
politik,
seperti
presiden)
adalah
sama.
Konkuensinya, semua warga Negara , apapun agamanya berhak mendirikan partai politik dan berhak memperebutkan jabatan pemerintahan. 3. Ilmu pengetahuan dan manajemen modern lebih mendominasi Day To Day Politics. Bagaimana membuat sebuah public politik (dimulai dari agenda, setting, policy formulation, policy adaptation, policy implemention, dan policy evaluation) agar policy itu berguna bagi orang banyak dan semakin kecil kesalahannya, harus semakin diatur oleh pengalaman sebelumnya dan kreavitas baru, yang tercermin dari perkembangan ilmu pengetahuan dan manajemen modern. Proses dari policy making itu semakin tidak perlu disentuh doktrin agama. Untuk hal diatas, semakin sedikit keterlibatan agama,
21
semakin baik. Atau dalam bahasa kerennya "the best religion is the best religion" (untuk kasus day to day politics). Biarkan prinsip ilmu pengetahuan dan manajemen modern yang menjadi ruhnya. 4. Islam
hanya
terlibat
sebagai
sumber
moralitas
bagi
actor
pemerintahan (bukan system pemerintahan) dan moralitas bagi dunia public. Namun moralitas disini adalah moralias umum, yaitu prinsip prilaku baik, yang juga diharuskan oleh agama lainnya dan filsafat lainnya. Landasan moral bagi kehidupan public dengan sendirinya menjadi tugas bersama semua agama besar (tidak haqnya bersumber dari doktrin islam) Dengan empat prinsip dasar diatas, sebuah teologi Negara sekuler dari tradidi dan teks Islam, niscayakan menjadi sebuah revolusi paham keagamaan yang sangat penting. Teologi itu akan menjadi dasar bagi berkembangnya civic cultute dinegara yang bermayoritas muslim, yang pada gilirannya akan menjadi lahan subur bagi tumbuh dan terkonsolidasinya demokrasi.
B. Negara Non Sekuler Menurut Sri Wahyuni, berkaitan dengan perbandingan penerapan hukum keluarga dan hukum perkawinan di beberapa negara, ada perbedaan penting antara negara-negara barat (sekuler) dengan negara-negara muslim dalam melihat aspek perkawinan beda agama ini. Dalam lingkup dengan negara-negara muslim dapat dikelompokkan
22
menjadi tiga yaitu24: 1) Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan hukum perkawinan dari berbagai mazbah Islam yang dianutnya, dan belum diubah yaitu negara Saudi Arabia; 2) Negaranegara yang telah mengubah total hukum keluarga dan hukum perkawinannya dengan hukum modern, tanpa mengindahkan agama mereka diantaranya Turki dan Albania; 3) Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern contoh negara – negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, Malaysia, Brunai. Untuk kelompok negara pertama yang menerapkan hukum Islam untuk aspek hukum keluarga dan perkawinannya cenderung tidak memperbolehkan perkawinan dengan beda agama, untuk kelompok ke dua yaitu negara muslim yang telah mengubah total hukum perkawinannya dan menerapkan hukum modern barat seperti Turki yang juga senada dengan negara-negara barat yang sekuler, cenderung memperbolehkan karena di barat perkawinan telah digeser dari urusan keagamaan menjadi urusan public semata, sehingga perkawinan sipil marak dilakukan, dan perkawinan tidak harus berdasarkan agama. Legalitas ada dalam pencatatan oleh petugas pencacat perkawinan oleh Negara. Sehingga, apapun agama yang dianut
oleh
para
pihak,
bahkan
tidak
beragamapun,
dapat
melangsungkan perkawinannya dengan memenuhi prosedur yang ada. 24
http://sriwahyuni-suka.blogspot.com/2010/03/artikel_25.html ”Perbandingan Hukum Indonesia, Beberapa Negara Muslim dan Barat”, diunduh tgl 3 Juni 2011
23
Sedangkan untuk kelompok ketiga yaitu negara muslim yang telah mereformasi hukum keluarganya dengan hukum modern, beberapa masih banyak yang tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Sebagai contoh dalam UU Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang Turki, diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita muslim dengan pria nonmuslim (Pasal 7 (c)). Begitu juga hukum keluarga di Jordania tahun 1951, menyatakan bahwa perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dan perkawinan antara wanita muslim dan pria non-muslim (Pasal 29). Dalam hukum Status Personal Irak tahun 1959, Bab 11 tentang larangan Perkawinan Pasal 17, dinyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah, tetapi perkawinan antara seorang wanita muslim dengan laki-laki non-muslim tidak diperbolehkan. Dari ketiga kelompok negara itu, negara-negara Asia Tenggara terutama Malaysia dan Brunai dirasa memiliki kemiripan dengan kondisi sosiologis masyarakat di Indonesia, negara-negara ini bukanlah negara theokrasi tetapi juga bukan negara sekuler, pengaturan hukum kekeluargaannya walaupun mengadopsi konsep hukum agama tetapi telah di konstruksikan dengan konsep modern.
C. Peran Negara Indonesia dalam Mengatur Persoalan Keagamaan Besarnya diperlukannya
potensi peran
perkawinan negara.
beda
Menurut
24
agama, Tedi
mendorong
Kholiludin
yang
berkesimpulan
bahwa negara
tidak mempunyai
otoritas
dalam
mengatur persoalan keagamaan masyarakat. Namun, di sisi lain ia membenarkan peran yang dimainkan negara atas dasar consent (kesepakatan) yang diberikan oleh masyarakat melalui pembatasan kekuasaan negara. Dalam peran yang dijalankan atas dasar consent tersebut, negara memegang otoritas (being an authority) untuk mengatur kehidupan beragama. Kondisi tersebut, menurut Tedi, akan berbeda ketika negara dipahami sebagai pemangku otoritas (being in authority).25 Wacana
peran
negara
di
dalam
persoalan
keagamaan
masyarakat, terutama yang berkaitan dengan umat beragama, pernah dikemukakan di dalam perumusan naskah asli Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Menurut Soekiman 26, sebagaimana dikemukakan di dalam rapat Badan untuk Menyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 15 Juli 1945, persoalan keagamaan masyarakat sesungguhnya telah menjadi
perhatian
sejak
masa
penjajahan
Belanda
walaupun
pemerintah Kolonial Belanda menegaskan sikap netralnya terhadap 25
Tedi Kholiludin, Kuasa Negara atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi”dan Diskriminasi Hak Sipil, cetakan Pertama (Semarang:Rasail Media Group,2009), hlm. 85. 26
Nama lengkapnya adalah dr.Soekiman Wirjosandjojo, seorang dokter partikelir di Yogyakarta. Ia pernah menulis sebuah buku yang diberi judul “Over van duur van dekunsmatige pneumothorax Behandeling der Long Tuberculose”. Latar belakang politiknya adalah sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia di Negara Belanda (1927-1933), sebagai Bendahara dan Ketua muda Partai Syarikat Islam Indonesia; Ketua Pengurus Besar Partai Islam Indonesia sampai dengan tahun 1935, sebagai anggota Majelis Pertimbangan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Safroedin Bahar, et.al, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)- Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei-19 Agustus 1945, cetakan Kedua, (Jakarta:Sekretariat Negara Republik Indonesia,1992), bagian lampiran.
25
ajaran agama. Perhatian pemerintah kolonial terhadap keagamaan masyarakat itu ditunjukkan dengan adanya pengakuan di dalam Indische Staatsregeling (IS) mengenai kemerdekaan bagi penduduk pribumi di dalam menjalankan ajaran agamanya.27 Peran negara dalam keagamaan masyarakat, menurut Soekiman, tetap dibutuhkan dengan belajar dari pengalaman pada masa kolonial. Dalam pandangan Soekiman, meskipun secara normatif disebutkan adanya pengakuan kemerdekaan bagi penduduk di dalam menjalankan ajaran agama di dalam Undang-undang Dasar ketika itu (IS), dalam kenyataannya umat Islam mengalami keadaan yang tidak sesuai dengan jaminan yang diberikan di dalam IS tersebut. Pandangan Soekiman tersebut turut meramaikan pembahasan rancangan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tentang Agama. Dihubungkan dengan peran negara dalam keagamaan masyarakat, pengaturan masalah agama di dalam Undang-undang Dasar menurut Soepomo tidak dimaksudkan sebagai gewetensdwang (paksaan kebatinan terhadap agama).28 Pengaturan masalah agama di dalam Undang-undang Dasar, dengan membaca sikap Soepomo tersebut, kiranya dimaksudkan untuk menegaskan adanya tugas negara di dalam mengatur keagamaan masyarakat. Pandangan yang lebih rinci lagi mengenai peran negara di
27
A.B.Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2004), hlm.376
28
Ibid, hlm. 416
26
dalam keagamaan masyarakat dikemukakan oleh Hazairin di dalam bukunya “Demokrasi Pancasila”. Di dalam karyanya itu, Hazairin menafsirkan berbagai implikasi yang harus dilaksanakan oleh negara sehubungan dengan dicantumkannya Pasal 29 UUD 1945, yaitu:29 1. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu Bali bagi orang-orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang-orang Budha; 2. Negara Republik Indonesia, wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat HinduBali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara; 3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya dank arena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing; 4. Jika karena salah tafsir atau oleh karena dalam kitab-kitab agama, mungkin secara menyelip,
dijumpai sesuatu
peraturan yang
bertentangan dengan sila-sila ketiga, keempat, dan kelima dalam 29
Hazairin, Demokrasi Pancasila, (Jakarta:Bina Aksara, 1983), hlm. 33
27
Pancasila, maka peraturan agama yang demikian itu, setelah diperembukkan dengan pemuka-pemuka agama yang bersangkutan, wajib dinon-aktifkan; 5. Hubungan sesuatu agama dengan sila kedua dalam Pancasila dibiarkan kepada norma-norma agama itu sendiri atau kepada kebijaksanaan pemeluk-pemeluk agama-agama itu.
Maksudnya,
sesuatu norma dalam sila ke-2 itu yang bertentangan dengan norma sesuatu agama atau dengan paham umum pemeluk-pemeluknya berdasarkan corak agamanya, tidak berlaku bagi mereka. Di dalam konteks pergaulan internasional, pengakuan terhadap keterlibatan negara di dalam keagamaan masyarakat juga ditegaskan di dalam dokumen-dokumen hukum internasional, seperti di dalam ICCPR30 dan ICESCR31 tahun 1966. Khusus di dalam ICCPR Pasal 18, peran negara disebutkan sebagai berikut: “The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.” Adanya keterlibatan negara di dalam persoalan keagamaan masyarakat memang menjadi persoalan tersendiri dikarenakan di
30
The International Convenant on Civil and Political Rights atau Konvenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik. Konvenan ini diratifikasi melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenat on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
31
The International Convenant on Economic, Sosial, Cultural Rights atau Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Konvenan ini diratifikasi melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Sosial, Cultural Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya).
28
dalam konsep negara moderen tidak dikenal adanya intervensi negara di dalam persoalan keagamaan masyarakat. Menurut Jimly Asshiddiqie, urusan agama tidak seharusnya dikacaukan atau dicampuradukkan dengan persoalan kenegaraan. Namun, sebagaimana yang diakuinya, dalam kenyataan empiris di hampir semua negara moderen sekalipun, tidak terbukti bahwa urusan keagamaan sama sekali berhasil dipisahkan dari persoalan-persoalan kenegaraan. Jimly Asshiddiqie menyebutkan
karakteristik
pengelola
negara
yang
tidak
dapat
dilepaskan dari sifat kemanusiaannya dan terikat dengan norma-norma yang diakuinya, di antaranya adalah norma agama. Dengan mengambil contoh negara Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda, yang mempermaklumkan dirinya sebagai negara sekular, menurut Jimly dalam banyak kasus sepanjang sejarah negara-negara tersebut menunjukkan keterlibatannya dalam urusan keagamaan.32 Keterlibatan negara dalam keagamaan masyarakat sangat relevan ketika terjadi konflik HAM dalam pelaksanaan ajaran agama. Dalam situasi tersebut, negara tidak dapat bersikap hitam-putih karena kualitas masalahnya tidak dapat disamakan dengan pelanggaran HAM secara umum. Konflik HAM dalam pelaksanaan ajaran agama, pada umumnya dipicu oleh persoalan ketidakseimbangan yang dialami oleh penganut ajaran agama tertentu terhadap penganut ajaran agama lain. Dalam konteks tersebut, Jimly Asshiddiqie merekomendasikan konsep HAM pendekatan
generasi
keempat,
32
yang
didasarkan
atas
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta:Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2006), hal.95
29
ketidakseimbangan struktural yang menindas di luar pengertian yang selama ini timbul dari pola hubungan vertikal antara negara dan rakyatnya.33 Implementasi konsep generasi keempat HAM tersebut adalah dengan mengembangkan konsep agree in disagreement. Dengan merujuk kepada pendapat Satya Arinanto, implementasi pendekatan
generasi
keempat
HAM
diwujudkan
dengan
mengembangkan strategi dialog untuk membangkitkan pertumbuhan ideologi pluralisme agama, yaitu (1) dialog antarkepercayaan dan antarmasyarakat; (2) aktivitas partisipatif, dan (3) pengembangan budaya nasional yang berdasarkan pluralisme agama.
33
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, cetakan kedua (Jakarta:Bhuana Ilmu Populer, 2008), hlm.144
30
BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA DI BEBERAPA NEGARA
A. Hukum Perkawinan Beda Agama di Beberapa Negara Muslim Hukum perkawinan termasuk dalam hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antara anggota keluarga. Hubungan ini meliputi hubungan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dan hubungan antara keluarga dan pemerintah. Maka, cakupannya adalah peraturan tentang perkawinan, perceraian, hak-hak kebendaan dari pasangan, pengasuhan anak, kepatuhan anak terhadap orang tua dan intervensi pemerintah terhadap hubungan anak dan orang tua, serta penyelenggaraan hubungan orang tua dan anak melalui adopsi. Paling tidak, ada tiga fungsi hukum keluarga yaitu perlindungan terhadap individu dari kekerasan dalam keluarga, untuk menyediakan penyelesaian jika hubungan antara anggota keluarga putus, dan untuk memberikan dukungan masyarakat tempat keluarga itu berada.
1. Hukum Keluarga di Negara-negara Muslim Dalam
hal
perkawinannya,
penerapan Negara-negara
hukum muslim
keluarga dapat
dan
hukum
dikelompokkan
menjadi tiga yaitu: a. Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan hukum perkawinan dari berbagai madzhab yang dianutnya, dan belum diubah;
31
b. Negara-negara yang telah mengubah total hukum keluarga dan hukum
perkawinannya
dengan
hukum
modern,
tanpa
mengindahkan agama mereka; c. Negara-negara
yang
menerapkan
hukum
keluarga
dan
perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern. Yang termasuk kelompok pertama, yang menerapkan hukum tradisional dari madzbah-madzhab yang dianutnya, diantaranya adalah Negara Saudi Arabia yangh menganut madzhab Hambali. Hukum keluarga Islam didasarkan kepada al-Qur’an, sunnah, dan teladan dari para sahabat Rasulullah SAW. Begitu juga di Negara Qatar. Di Yaman, hukum Islam didasarkan kepada madzhab Zaidi. Namun, penduduk Yaman selatan menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi. Hukum-hukum ini tidak dikodifikasi dan legislasi. Sementara di Bahrain, madzhab Maliki, Syafi’i, dan Syi’i diterapkan secara tradisional, tanpa kodifikasi dan legislasi. Adapun
Negara
kelompok
kedua,
yaitu
yang
telah
meninggalkan hukum Islam, dan menerapkan hukum modern dari Barat adalah Turki dan Albania. Code civil diadopsi di Negara ini untuk menggantikan hukum Islam –terutama di Turki setelah jatuhnya
khilafah
Usmaniyah.
Turki
menerapkan
Code
Civil
Switzerland, tahun 1926. Begitu juga dinegara-negara yang terdapat muslim minoritas, seperti di Tanzania yang terdapat muslim minoritas
32
di Zanzibar dan di Kenya. Mereka menerapkan hukum keluarga Barat modern. Kelompok ketiga, yaitu Negara-negara yang telah mereforasi hukum keluagra Islam dengan proses legislasi modern; seperti Cyprus yang melegislasikan dan mengkodifikasi hukum perkawinan dan perceraian Islam tahun 1951. di lima Negara Asia Selatan dan Tenggara, hukum keluarga Islam juga telah direformasi dengan proses legilasi hukum modern; yaitu di Brunei, Malaysia, dan Indonesia yang memiliki muslim mayoritas; dan Singapura dan Ceylon yang memiliki muslim minoritas. Lainnya yaitu LIbanon, Jordania, Algeria, Iran, yang telah mereformasi hukum keluarga Islam baik dari segi materi maupun pada aspek regulatori, dengan mengadopsi system hukum modern.
2. Perkawinan Beda Agama di Negara-negara Muslim Berdasarkan pengelompokan Negara-negara muslim berkaitan dengan hukum keluarga dan hukum perkawinan yang diterapkan sebagimana terpapar di atas, maka dapat dikatakan bahwa kelompok pertama yang menerapkan hukum keluarga sebagaimana dalam hukum Islam tradisional berdasarkan madzhab-madzhab yang Islam tradisional yang dikaji dalam berbagai madzhab); cenderung tidak memperbolehkan perkawinan antara seorang Muslim dengan non muslim, kecuali ahli kitab (yaitu yang pada masa Nabi, mereka beragama Yahudi atau Nasrani, yang ajarannya dianggap masih
33
murni). Dalam fiqh, biasanya seorang Muslim laki-laki diperbolehkan menikahi seorang perempuan ahli Kitab; dan sebaliknya, seorang Muslim perempuan tidak diperbolehkan menikah dengan seorang laki-laki ahli Kitab. Adapun di Negara-negara kelompok ketiga --yaitu Negara yang mereformasi hukum Islam dengan system hukum modern, juga masih banyak yang tidak memperbolehkan perkawinan beda agama. Dalam UU Pekawinan dan Perceraian Cyprus tahun 1951, untuk orang-orang Turki, diantara perkawinan yang dilarang adalah perkawinan antara orang wanita Muslim dengan pria non-Muslim (Pasal 7 (c)). Begitu juga hukum keluarga di Jordania tahun 1951, menyatakan bahwa perkawinan yang dilarang adalah perkawinan yang masih ada hubungan darah dan perkawinan antara wanita Muslim dan pria non-muslim (Pasal 29). Dalam hukum Status Personal Irak tahun 1959, Bab 11 tentang larangan Perkawinan Pasal 17, dinyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan ahli kitab adalah sah, tetapi perkawinan antara seorang
wanita
Muslim
dengan
diperbolehkan.
34
laki-laki
non-muslim
tidak
3. Pakistan Negara Pakistan terletak di Asia Selatan dan menurut perhitungan kalkulasi populasi tahun 2004 berjumlah 159.196.336 juta jiwa merupakan negara Muslim terbesar kedua di34 dunia. Negara ini dihuni oleh beragam kelompok etnis yang berbeda, yang seluruhnya hidup berdampingan secara damai di bawah panji agama yang beragam pula. Islam tercatat sebagai agama terbesar yang dianut oleh 97 % jumlah penduduk Pakistan. Sementara agama lain seperti Kristen, Hindu dan lainnya, hidup secara damai di negara yang berbatasan dengan Iran di Barat, Afghanistan di Barat Laut, India di Tenggara dan Kashmir di Timur Laut. Negara yang beribukota Islamabad ini adalah bekas koloni Inggris
ketika
menjadi
bagian
dari
wilayah
India.
Sejarah
kontemporer anak benua India dan Pakistan bermula dari hancurnya Imperium Mughal dan pendudukan Inggris di India. Penjajahan Inggris telah menghancurkan posisi politik tertinggi yang dimiliki umat Islam. Kehidupan pribumi, pedagang kecil, pengrajin dan kaum buruh sangat menderita. Tidak hanya kerugian dalam bidang ekonomi dan politik, kolonisasi ini juga mempunyaidampak dan kerugian lebih jauh pada budaya (kultural) di mana pada awalnya mereka bersikap simpatik terhadap program pendidikan tradisional Muslim dan terhadap kultur
34
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 220
35
klasik bangsa India. Namun lambat laun mereka mulai menindas praktek keagamaan dimana mereka sering menjatuhkan hukuman secara sadis dan kejam. Adapaun bahasa Inggris menjadi bahasa pemerintahan dan pengajaran dan bahasa Mughal dihapus sebagai bahasa resmi di pengadilan. Islam merupakan agama mayoritas di Pakistan. Dalam kehidupan keagamaan, di mana yang berbahasa resmi Urdu ini tumbuh beberapa aliran madzhab, madzhab Hanafi dikenal sebagai madzhab mayoritas, ditambah madzhab lain seperti Syi’ah dan Hambali. Toleransi antara umat beragama terjalin baik di Pakistan. Mereka yang minoritas seperti Hindu, Kristen dan Budha hidup dalam alam demokrasi dan toleransinya yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan lebih dari itu mereka dianggap sahabat. Kehidupan keberagamaan di Pakistan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan keberagamaan di negara muslim lainnya. Islam menjadi jalan hidup (way of life) yang mereka anut secara mendalam. Pandangan hidup, rasa dan kecenderungan mereka sepenuhnya adalah Islam, sementara tradisi dan budaya tidak berpengaruh pada karakteristik Islam secara esensial. Hampir sejak diperkenalkannya Islam di Tunisia, mayoritas Masyarakat Tunis yang beragama Islam sebagaimana kebanyakan masyarakat lain di kawasan Magribi adalah kaum Sunni yang bermadzab Maliki. Namun banyak dinasti yang memerintah di Tunisia, baik asing maupun asli Tunis memiliki keyakinan berbeda.
36
Sebuah
dinasti
Syi’ah,
Fathimiyyah
menumbangkan
dinasti
Aghlabiyyah antar 905-909 M. Akan tetapi setelah itu kaum Syi’ah bahkan menjadi kelompok minoritas dan sampai sekarang dianggap telah hilang Setelah kedatangan bangsa Turki yang memerintah di Tunisia dengan membawa madzab Hanafi maka sedikit demi sedikit baik melalui kekuasaan pemerintahan langsung maupun melalui sebuah sistem kedaerahan memberi pengaruh penting di negeri ini. Sehingga keberadaan pengikut madzab Hanafi dan Maliki keduanya saling berdampingan. Ketika Perancis menguasai Tunisia, Perancis
menyerahkan
soal-saol
hukum
keluarga,
misalnya
perkawinan, perceraian, kewarisan dan kepemilikan tanah pada yurisdiksi syariat yang dikepalai oleh hakim-hakim Hanafi atau Maliki, namun
dengan
catatan
dengan
menggunakan
prinsip-prinsip
peraturan hukum Perancis sebagaimana dalam prinsip hokum mereka yang terdapat dalam hukum perdata, pidana, niaga, dan acara di pengadilan. Situasi seperti ini berlangsung dengan mulus karena secara politis, upaya pengembangan dalam berbagai bidang termasuk hukum keluarga sangat tergantung pada peran ulama seperti Khiyar al-Din yang berusaha memahami atas konsep dan perihal baru yang datang dari Perancis. Di Tunisia sangat kecil, bahkan sama sekali tidak ada, ketegangan antara ulama dan beberapa kalangan termasuk
pejabat
Perancis.
Keduanya
37
bekerja
sama
dalam
mengembangkan berbagai hal seperti administrasi wakaf, publik dan menejemen zakat dan pajak. Setelah merdeka 1956, upaya bertahap untuk membentuk hukum
keluarga
secara
komprehensip
terus
dilakukan.
Pengembangan dan kodifikasi hukum keluarga di Tunisia terus dilakukan. Materinya adalah pemikiran hukum dari gabungan antara madzab Hanafi dan Maliki. Usaha itupun berhasil dengan berlakunya Undang-undang hukum keluargaMajalla al-Ahwal al-Syahsiyyah tahun 1956.
B. Hukum Perkawinan di Barat Keluarga di Barat merupakan satu kesatuan yang didasarkan atas monogamy dan perkawinan yang permanent, dengan konsekuensi adanya pembedaan status yang rigid antara anak-anak yang sah dan yang tidak sah. Namun, konsep ini telah berubah di masyarakat Barat. Prinsip dasar keluarga di Barat secara umum adalah suami dan istri, yang diresmikan di bawah sanksi dan otoritas gereja. Namun, saat ini sanksi formal terhadap sipil dilakukan oleha Negara. Dahulu, perkawinan yang tidak memalui sakramen pemberkatan di gereja dianggap dosa. Hubungan seksual di luar perkawinan mendapatkan sanksi sebagai pertanggungjawaban bagi pasangan tersebut, dan anak yang dihasilkan dari hubungan tersebut akan terhalang untuk mendapatkan status hukum yang sah.
38
Tantang perkawinan yang permanent atau seumur hidup, merupakan prinsip dasar dari ajaran keagamaan, yaitu ide tentang sakramen perkawinan, yang diciptakan oleh Tuhan. Perkawinan adalah suci, dan apa yang telah disatukan oleh Tuhan, maka manusia tidak dapat memisahkannya. Gereja
Katolik
yang
mengatur
orang-orang
yang
akan
melaksanakan perkawinan, berdasarkan hukum agama. Dengan demikian, maka perpisahan perkawinan hanya karena kematian, selain itu tidak diperbolehkan. Konsep perkawinan tersebut masih kental dengan pengaruh St Agustinus. Dalam perkembangannya, terdapat pendekatan yang berbeda. Perpisahan perkawinan dapat dilakukan karena beberapa kondisi, diketengahkan oleh para penganut Katolik modern. Landasan filosofi yang mereka gunakan adalah hak individual untuk mendapatkan kebahagiaan. Manusia harus dapat menikmati kondisi tertentu yang menyebabkan mereka dapat mengembangkan kapasitasa dan potensi individunya. Bahkan, terdapat versi pendekatan yang lebih ekstrem, yang
membawa
perkawinan
kepada
teori
perjanjian, sehingga
interpretasi perkawinan adalah sebuah kontrak yang didasarkan atas kesepakatan. Menurut laporan komisi peradilan Inggris, perceraian berdasarkan perjanjian ini saat ini diakui di Bulgaria dan Portugal (untuk umat non-Katolik), tahun 1968. Hukum Perkawinan Swedia tahun 1920 juga telah mengakui perpisahan perkawinan dengan perjanjian.
39
1. Perkawinan di Inggris Perkawinan di Inggris yang menganut sistem hukum common law, tidak mensyaratkan adanya persamaan agama bagi para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Pada awalnya, hukum perkawinan yang menggunakan hukum gereja, terutama di Inggris yang hanya dimonopoli oleh Gereja Inggris, telah menuai banyak protes dari kelompok aliran lainnya. Sehingga, perkawinan dianggap tidak sekedar urusan keagamaan melainkan urusan public. Dengan adanya perkawinan gereja atau perkawinan secara agama, perbedaan agama akan menjadi permasalahan dalam pelaksanaan perkawinan. Hal ini dapat disebabkan oleh lembaga baptis yang harus berlaku. Dengan kata lain, perkawinan di gereja hanya diperuntukkan bagi orang yang telah dibaptis sebagai Kristen. Namun, dalam perkembangannya, perkawinan bergeser menjadi perkawinan sipil. Perkawinan bukan sekedar urusan agama. Sehingga, dengan cara ini, agama apapun yang dianut para pihak tidak dihiraukan lagi. Orang
yang
beragama
ataupun
tidak
beragama,
dapat
melaksanakan perkawinan sipil, dan dapat dicacatkan secara asah dengan memenuhi prosedur yang telah ditetapkan. Di Inggris, perkawinan diatur oleh Gereja. Pada masa pertengahan abad XVII, ditetapkan bahwa yang dapat melaksanakan perkawinan adalah yang perkawinannya diatur oleh gereja dan didaftarkan serta diselenggarakan di gereja. Namun, setelah
40
reformasi, gereka mentolerir perkawinan yang didasarkan pada perjanjian antara kedua belah pihak. Perkawinan seperti ini juga dianggap sah. Jika suatu pasangan sepakat untuk menjadi suami dan istri dengan menggunakan kalimat present tense (saat ini), maka mereka telah menjadi suami istri, tanpa mengindahkan ada atau tidaknya saksi. Perkawinan seperti ini dikenal dengan perkawinan informal, yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang menginginkan upacara perkawinan yang cepat dan mudah. Namun, perkawinan seperti ini berisiko, ketika ternyata salah satu pasangan telah malakukan perkawinan formal, dan pasangannya menggugat perkawinan informal tersebut. Misalnya kasus Cochrane v. Campbell. Dengan demikian, maka hukum perkawinan gereja di Inggris diberlakukan kembali. Hukum perkawinan tahun 1753, bahwa perkawinan harus diselenggarakan dengan pemberkatan gereja, dengan dihadiri dua orang saksi atau lebih dan harus dicacat secara formal. Hukum
perkawinan
tahun
1836
menekankan
kepada
kepentingan Negara untuk memberikan stutus sahnya perkawinan seseorang. Sehingga, terdapat tiga proses pelaksanaan perkawinan yang harus dilalui para pasangan yaitu; pertama, pasangan harus membuat pengumuman tentang kehendaknya untuk melangsungkan perkawinan, baik kepada orang tua maupun kepada orang-orang lainnya; kedua, harus ada perayaan perkawinan itu sendiri; ketiga,
41
prosedur administrasi berupa pendaftaran dan pencatatan untuk status perkawinan suatu pasangan. Hukum perkawinan Inggris tahun 1753 dan 1836 tersebut, dianggap diskriminatif. Di dalamnya dinyatakan bahwa perkawinan hanya bisa diselenggarakan di Gereja Inggris (England Church). Sehingga, muncul protes dari Gereja Katolik Roma (Roman Church) dan aliran keagamaan yang lain, karena Kristen bukan satu-satunya agama di Inggris. Terutama, muncul gerakan liberal Yahudi, yang menuntut reformasi hukum perkawinan tersebut. Mereka merasa tidak mendapat kesetaraan dalam bidnag perkawinan. Mereka menganggap bahwa perkawinan adalah masalah public, bukan sekedar urusan keagamaan. Hingga masa perang dunia kedua (1939), tuntutan reformasi hukum perkawinan tersebut belum berhasil. Perubahan mendasar dalam hukum perkawinan Inggris ini dilakukan tahun 1970an. Tahun 1973 dibentuk tim dan konsultan untuk
melakukan
perubahan
hukum
perkawinan
ini.
Tim
merumuskan bahwa perkawinan sipil menjadi satu-satunya jalan paling efektif untuk melaksanakan perkawinan. Namun, cara ini juga masih menuai protes dari kelompok gereja. Akhirnya, dirumuskan prosedur bahwa orang tua harus memberikan persetujuan atas perkawinan anaknya, dengan dating sendiri ke petugas pencacat perkawinan untuk memberikan tandatangan di hadapan para saksi; harus ada penetapan dari petugas pencacat perkawinan bahwa tidak
42
ada penolakan atas perkawinan tersebut; dan harus membayar untuk
lisensi
perkawinan
pengesahan
tersebut,
perkawinan
tanpa
tersebut.
memandang
dimana
Pencatatan perayaan
perkawinan diselenaggarakan, baik di Gereja Inggris, Gereja Katolik ataupun di sekte/ aliran lainnya.
2. Hukum Perkawinan Canada Hukum perkawinan di Canada, tidak menjadikan persamaan agama sebagai sarat sah perkawinan. Sehingga, perkawinan beda agama bukan menjadi penghalang. Sahnya perkawinan di Canada adalah: a. berbeda jenis kelamin b. memiliki kemampuan seksual c. tidak ada hubungan pertalian darah atau keturunan d. tidak terikat dengan perkawinan sebelumnya e. adanya perjanjian
C. Hukum Perkawinan di ASEAN 1. Malaysia a. Gambaran Umum Malaysia adalah sebuah negara federasi yang terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan di Asia Tenggara dengan luas 329.847 km persegi. Ibukotan Malaysia adalah Kuala Lumpur, sedangkan Putrajaya menjadi pusat
43
pemerintahan persekutuan. Jumlah penduduk negara ini melebihi 27 juta jiwa. Negara ini dipisahkan ke dalam dua kawasan — Malaysia Barat dan Malaysia Timur — oleh Kepulauan Natuna, wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan. Malaysia berbatasan dengan Thailand, Indonesia, Singapura, Brunei, dan Filipina. Negara ini terletak di dekat khatulistiwa dan beriklim tropika. Kepala negara Malaysia adalah Yang di-Pertuan Agong dan pemerintahannya dikepalai oleh seorang Perdana Menteri. Model pemerintahan
Malaysia
mirip
dengan
sistem
parlementer
Westminster.35 Malaysia adalah masyarakat multi-agama dan Islam adalah agama resminya. Menurut gambaran Sensus Penduduk dan Perumahan 2000, hampir 60,4 persen penduduk memeluk agama Islam; 19,2 persen Buddha; 9,1 persen Kristen; 6,3 persen Hindu; dan 2,6 persen Agama Tionghoa tradisional. Sisanya dianggap memeluk agama lain, misalnya Animisme, Agama rakyat, Sikh, dan keyakinan lain; sedangkan 1,1% dilaporkan tidak beragama atau tidak memberikan informasi.36 Semua orang Melayu dipandang Muslim (100%) seperti yang didefinisi pada Pasal 160 Konstitusi Malaysia. Statistik tambahan dari Sensus 2000 yang menunjukkan bahwa Tionghoa-Malaysia
35
http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia, tgl 5 Agustus 2011.
36
Ibid.
44
sebagian besar memeluk agama Buddha (75,9%), dengan sejumlah signifikan mengikuti ajaran Tao (10,6%) dan Kristen (9,6%). Sebagian besar orang India-Malaysia mengikuti Hindu (84,5%), dengan sejumlah kecil mengikuti Kristen (7,7%) dan Muslim (3,8%). Kristen adalah agama dominan bagi komunitas non-Melayu bumiputra (50,1%) dengan tambahan 36,3% diketahui sebagai Muslim dan 7,3% digolongkan secara resmi sebagai pengikut agama rakyat.37 Konstitusi Malaysia secara teoretik menjamin kebebasan beragama. Tambahan lagi, semua non-Muslim yang menikahi Muslim harus meninggalkan agama mereka dan beralih kepada Islam. Sementara, kaum non-Muslim mengalami berbagai batasan di
dalam
kegiatan-kegiatan
keagamaan
mereka,
seperti
pembangunan sarana ibadah dan perayaan upacara keagamaan di beberapa negara bagian. Muslim dituntut mengikuti keputusankeputusan Mahkamah Syariah ketika mereka berkenaan dengan agama mereka. Jurisdiksi Mahkamah Syariah dibatasi hanya bagi Muslim menyangkut Keyakinan dan Kewajiban sebagai Muslim, termasuk di antaranya pernikahan, warisan, kemurtadan, dan hubungan internal sesama umat. Tidak ada pelanggaran perdata atau pidana berada di bawah jurisdiksi Mahkamah Syariah, yang memiliki hierarki yang sama dengan Pengadilan Sipil Malaysia. Meskipun menjadi pengadilan tertinggi di negara itu, Pengadilan37
Ibid
45
Pengadilan Sipil (termasuk Pengadilan Persekutuan, pengadilan tertinggi di Malaysia) pada prinsipnya tidak dapat memberikan putusan lebih tinggi daripada yang dibuat oleh Mahkamah Syariah; dan biasanya mereka segan untuk memimpin kasuskasus yang melibatkan Islam di dalam wilayah atau pertanyaan atau tantangan terhadap autoritas Mahkamah Syariah. Hal ini menyebabkan
masalah-masalah
yang
cukup
mengemuka,
khususnya yang melibatkan kasus-kasus perdata di antara Muslim dan non-Muslim, di mana pengadilan sipil telah memerintahkan non-Muslim untuk mencari pertolongan dari Mahkamah Syariah.38
b. Perkawinan beda Agama di Malaysia Malaysia merupakan salah satu negara yang melarang perkawinan beda agama. Walaupun Malaysia adalah masyarakat multi-agama, namun Islam adalah sebagai agama resmi. Negara menjamin bahwa setiap kelompok agama berhak mengurusi masalahnya sendiri. Apabila orang non-Islam dilindungi secara konstitusional dan legal, maka muslim berada dibawah hukum Islam, dimana Sultan yang mengurus kepentingan mereka dan pengadilan agama
38
Ibid.
46
digunakan untuk mengawasi agama tersebut.Teks pasal yang berkenaan dengan ini menyebutkan: 39 Hukum Islam serta hukum pribadi dan keluarga dari orangorang beragama Islam, termasuk hukum Islam yang berkenaan dengan warisan, ada tidaknya warisan, pertunangan, perkawinan, perceraian, perwalian, pemberian, pembagian harta benda dan barang-barang yang dipercayakan, wakaf Islam, penentuan dan pengaturan dana sosial dan agama, penunjukan wali dan pelembagaan orang-orang berkenaan dengan lembaga-lembaga agama dan sosial Islam yang seluruhnya beroperasi di dalam negara, adat Melayu, zakat fitrah, dan baitul mal atau pendapatan Islam yang serupa dengan itu. Jadi dalam situasi ini Islam adalah agama negara sedangkan hukum Islam mengatur tingkah laku orang-orang yang beriman, namun secara konstitusional kelompok agama lain juga diberi kebebasan
untuk
melaksanakan
agama
mereka
menurut
kehendak mereka. Mayoritas muslim di Malaysia adalah pengikut madzab Syafi’i, hal ini lebih jelas lagi dalam praktek kehidupan beragama khususnya berhubungan dengan hukum Islam seperti dalam hukum keluarga dan warisan masih tetap mengikuti aliran madzab tersebut. Walau demikian dalam realitasnya penentuan praktek hukum
Islam
ini
harus
atas
39
kendali
Sultan-sultan
yang
Fred R. Von der Mehden, Kebangkitan Islam di Malaysia”, dalam John L. Esposito (Ed), Kebangkitan Islam pada Perubahan Sosial, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm.251.
47
memimpinnya mengingat Semenanjung Malaysia pada waktu itu memang dikuasai beberapa kerajaan Islam yang dipimpin langsung oleh Sultan seperti di kerajaan Johor, Malaka, Kelantan dan Trengganu.40 Selama penjajahan Inggris, sistem regulasi terjadi perubahan di mana bentuk dan peraturan lokal yang berhubungan dengan praktek hukum
Islam
seperti
pengadilan
syari’ah
tentang
perkawinan, perceraian dan kewarisan mengikuti model Inggris. Keadaan
seperti
ini
berlanjut
sampai
Malaysia
meraih
kemerdekaannya. Setelah dapat melepaskan diri dari Inggris dan pemerintahan Malaysia berbentuk federal 1963, telah banyak usaha untuk merespon masyarakat untuk membuat UndangUndang Hukum Keluarga seperti di negara bagian Johor dan Trengganu yaitu Administrasi UU Hukum Islam dan juga negara bagian lainnya seperti Kedah, Malaka, Negeri Sembilan, Penang, Perlak, Perlis dan Selangor dengan administrasi UU hukum muslim. Begitu juga di negara bagian Serawak dan Sabah di mana muslim minoritas, tetap memberlakukan UU Mahkamah Melayu 1915.41
40
John L. Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, III, (Jakarta: Mizan, 2000), hlm. 329
41
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), hlm. 220
48
Selama tahun 1983-1985 terjadi usaha untuk menyegarkan legislasi di Malaysia dalam bidang Hukum Keluarga yang diterapkan di beberapa negara bagian. Undang-undang Hukum Keluarga Islam 1984 ini berisi 135 pasal yang terbagi dalam 10 bagian.42 Usaha penyeragaman UU Keluarga Islam di Malaysia pernah dilakukan yang diketuai oleh Tengku Zaid. Tugas komite ini adalah membuat draf UU Keluarga Islam. Setelah mendapat persetujuan dari majelis raja-raja, draf ini disebarkan kepada negara bagian untuk dipakai sebagai UU Keluarga. Sayangnya tidak semua negeri menerima isi keseluruhan UU tersebut. Kelantan Misalnya melakukan perbaikan atas draf. Akibatnya UU Keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak seragam sampai sekarang.43 Perbedaan di atas bisa saja diakibatkan masing-masing negara bagian mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan UUnya. Bagi Perlak, Selangor, Negeri Sembilan dan Akta Wilayah pembentukan
UU
perkawinan
daerah
ini
bertujuan
untuk
mengubah beberapa hal di bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara lain yang berhubungan dengan kehidupan keluarga, maka pembentukan di sini hanya mengubah
42
Ibid. Hlm. 221.
43
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Sebuah Studi Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia dan Malaysia, (Jakarta-Leiden: INIS, 2002), hlm. 87
49
sebagian
saja.
Sedangkan
UU
keluarga
bertujuan
untuk
menyatukan UU yang berkaitan dengan keluarga Islam dalam berbagai bidang dan perkara supaya menjadi lebih mengikat. Berarti UU ini bertujuan untuk membuat suatu peraturan yang komprehensif dan agar UU tersebut dipatuhi dan diikuti. Sementara
Kelantan
selain
untuk
penyatuan
juga
untuk
meperbaharui UU yang ada. Akhirnya tujuan pembentukan Perundangan di bidang perkawinan di Malaysia adalah untuk meninggikan status wanita dan mengubah peraturan hukum syari’ah mengenai keluarga.44 2. Singapura a. Gambaran Umum Singapura Singapura nama resminya Republik Singapura, adalah sebuah negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya, 137 kilometer (85 mil) di utara khatulistiwa di Asia Tenggara. Negara ini terpisah dari Malaysia oleh Selat Johor di utara, dan dari Kepulauan Riau, Indonesia oleh Selat Singapura di selatan. Singapura adalah pusat keuangan terdepan keempat di dunia dan sebuah kota dunia kosmopolitan yang memainkan peran penting dalam
perdagangan
dan
keuangan
internasional.
Pelabuhan
Singapura adalah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia.45
44
Ibid. hlm. 88
45
http://id.wikipedia.org/wiki/Singapura, tgl 5 Agustus 2011.
50
Singapura
memiliki
sejarah
imigrasi
yang
panjang.
Penduduknya yang beragam berjumlah 5 juta jiwa, terdiri dari Cina, Melayu, India, berbagai keturunan Asia, dan Kaukasoid. 42% penduduk Singapura adalah orang asing yang bekerja dan menuntut ilmu di sana. Pekerja asing membentuk 50% dari sektor jasa. Negara ini adalah yang terpadat kedua di dunia setelah Monako. A.T. Kearney menyebut Singapura sebagai negara paling terglobalisasi di dunia dalam Indeks Globalisasi tahun 2006.46
b. Perkawinan Beda Agama di Singapura Singapura
merupakan
salah
satu
negara
yang
memperbolehkan perkawinan beda agama. Singapura merupakan negara sekular menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Singapura mengklaim bahwa mereka memperlakukan semua penduduknya sederajat, meskipun agama mereka berbedabeda, dan juga menyatakan tidak melakukan diskriminasi terhadap penduduk beragama tertentu. Singapura juga tidak memiliki agama nasional. Salah
satu
contoh
perkawinan
beda
agama
yang
dilangsungkan di Singapura adalah perkawinan antara Iwan Suhandy yang beragama Budha dengan Indah Mayasari yang
46
Ibid
51
beragama Kristen Katholik dan keduanya berdomisili di Batam. 47 Keduanya merupakan pasangan beda agama yang tidak dapat menikah di Indonesia, dan keduanya sepakat untuk melangsungkan perkawinan di Singapura. Persyaratan utama untuk dapat melangsungkan perkawinan di Singapura adalah yang bersangkutan harus tinggal di singapura minimal 20 hari berturut-turut. Setelah memenuhi persyaratan tersebut,
calon
pengantin
baru
mulai
dapat
mengurus
administrasinya secara on line di gedung Registration for Merried. Pemerintah Singapura memberikan layanan perkawinan dengan pendaftaran on line baik bagi warga negara Singapura, permanent resident, maupun foreigner 100%. Hanya dalam waktu 20 menit mendaftarkan diri ke legislasi perkawinan Singapura dengan biaya paling banyak 20 dollar singapura, tanpa mempermasalahkan beda agama, dijamin sertifikat perkawinan legal dan bisa diterima oleh hukum manapun di dunia.48 Untuk dapat melangsungkan pernikahan oleh Bidang Konsuler, yang berkepentingan harus mengajukan surat permohonan kepada Duta Besar Republik Indonesia di Singapura, untuk perhatian/UP Kepala Bidang Konsuler, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:49 1) Surat permohonan dari ayah atau wali calon mempelai wanita; 47
Certificate of Marriage tanggal 28 Oktober 2007.
48
Registry of Marriage, http//www.honey.telcom.us/2007/08/21/registry/ of/ marriage/
49
Ibid.
52
2) Surat persetujuan nikah dari kedua belah pihak; 3) Surat keterangan untuk nikah dari kelurahan; 4) Surat keterangan asal-usul dari kelurahn; 5) Surat keterangan orang tua dari kelurahan; 6) Akte kelahiran asli, masing-masing calon pengantin berikut foto copynya; 7) Foto copy paspor dan ijin tinggal; 8) Bagi yang menetap di Singapura, surat keterangan belum menikah dari pemerintah setempat. Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, dalam waktu 1 tahun setelah mereka kembali ke Indonesia wajib mendaftarkan Surat Bukti Perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil tempat tinggal mereka dengan melampirkan 1) Foto Copy Bukti Pengesahan perkawinan di luar Indonesia 2) Foto Copy Kutipan akta Kelahiran 3) Foto Copy KK dan KTP 4) Pasport kedua mempelai 5) Pas poto berdampingan ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar
53
BAB IV BERBAGAI ASPEK PERKAWINAN BEDA AGAMA
Pengkajian ini menyoroti ‘perkawinan beda agama’ di beberapa negara dari berbagai aspek, yakni aspek psikologis, aspek religius, aspek yuridis, dan ketentuan hukum positif Indonesia. Aspek psikologis ‘perkawinan beda agama’ berlaku umum di semua negara. Artinya aspek psikologis sama di untuk semua negara, oleh karena aspek ini menyangkut orang. Sedangkan aspek religius dan aspek yuridis berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya.
A. Perkawinan Beda Agama di Beberapa Negara Dari Berbagai Aspek 1. Aspek Psikologis Problem yang muncul pasangan suami-istri dari perkawinan beda agama, yang dapat berimbas kepada anak-anak mereka, antara lain: a. Memudarnya Kehidupan Rumah Tangga Kehidupan rumah tangga beda agama semakin hari serasa semakin kering. Pada awal kehidupan mereka, terutama pada waku masih pacaran, perbedaan itu dianggap sepele, bisa diatasi oleh cinta. Tetapi lama-kelamaan ternyata jarak itu tetap saja menganga. Ada suatu kehangatan dan keintiman yang kian redup dan perlahan menghilang.
54
Pada saat semakin menapaki usia lanjut, kebahagiaan yang dicari bukanlah materi, melainkan bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga yang diikat oleh iman dan tradisi keagamaan. Ketika itu tak ada, maka rasa sepi kian terasa. Semasa masih berpacaran lalu menikah dan belum punya anak,cinta mungkin diyakini bisa mengatasi semua perbedaan. Tetapi setelah punya anak berbagai masalah baru akan bermunculan. Bagi seorang muslim, ketika usia semakin lanjut, tak ada yang diharapkan kecuali untaian doa dari anaknya. Mereka yakin doa yang dikabulkan adalah yang datang dari keluarga yang seiman.
b. Tujuan Berumah TanggaTidak Ttercapai Agama ibarat pakaian yang digunakan seumur hidup. Spirit, keyakinan, dan tradisi agama senantiasa melekat pada setiap individu yang beragama,termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Merupakan suatu kebahagiaan jika istri dan anakanaknya bisa ikut bersama, pada saat seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau haji.Akan tetapi sebaliknya, merupakan suatu kesedihan ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja pada saat suami pergi umroh atau haiji.. Salah satu kebahagiaan seorang ayah muslim adalah menjadi imam salat berjamaah bersama anak istri.
55
Demikian juga ketika Ramadhan tiba,suasana ibadah puasa menjadi perekat batin kehidupan keluarga. Tetapi keinginan itu sulit terpenuhi ketika pasangannya berbeda agama. Di sisi istrinya, yang kebetulan beragama Kristen misalnya, akan merasakan hal yang
sama,
yakni
merasa indah apabila
melakukan kebaktikan di gereja bersanding dengan suami. Namun itu hanya keinginan belaka. Setiap agama terdapat ritual-ritual keagamaan yang idealnya dijaga dan dilaksanakan secara kolektif dalam kehidupan rumah tangga. Contohnya pelaksanaan salat berjamaah dalam keluarga muslim, atau ritual berpuasa. Semua ini akan terasa indah dan nyaman ketika dilakukan secara kompak oleh seluruh keluarga. Setelah salat berjamaah, seorang ayah yang bertindak sebagai imam lalu menyampaikan kultum dan dialog, tukarmenukar pengalaman untuk memaknai hidup. Suasana yang begitu indah dan religius itu sulit diwujudkan ketika pasangan hidupnya berbeda agama. Kenikmatan berkeluarga ada yang hilang.
Jadi,
secara
psikologis
perkawinan
beda
agama
menyimpan masalah yang bisa menggerogoti kebahagiaan. Ini tidak berarti perkawinan satu agama akan terbebas dari masalah.
56
c. Perkawinan Mempertemukan Dua Keluarga Besar Karakter suami dan istri yang masing-masing berbeda, merupakan
suatu
keniscayaan.
Misalnya
perbedaan
usia,
perbedaan kelas sosial, perbedaan pendidikan, semuanya itu hal yang wajar selama keduanya saling menerima dan saling melengkapi. Namun, untuk kehidupan keluarga di Indonesia, perbedaan agama menjadi krusial karena peristiwa akad nikah tidak saja mempertemukan suami-istri, melainkan juga keluarga besarnya. Problem itu semakin terasa terutama ketika sebuah pasangan beda agama telah memiliki anak.
d. Berebut Pengaruh Dampak psikologis orang tua yang berbeda agama juga akan sangat dirasakan oleh anakanaknya. Perbedaan agama bagi kehidupan rumah tangga di Indonesia selalu dipandang serius. Ada suatu kompetisi antara ayah dan ibu untuk memengaruhi anak-anak, sehingga anak jadi bingung. Namun ada juga yang malah menjadi lebih dewasa dan kritis. Orang tua biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang diyakininya. Kalau ayahnya Islam, dia ingin anaknya menjadi muslim. Kalau ibunya Kristen dia ingin anaknya memeluk Kristen. Anak yang mestinya menjadi perekat orang tua
57
sebagai suami-isteri, kadang kala menjadi sumber perselisihan. Orang tua saling berebut menanamkan pengaruh masing-masing. Pasangan yang berbeda agama masing-masing akan berharap dan yakin suatu saat pasangannya akan berpindah agama. Tetapi harapan belum tentu terwujud dan bahkan perselisihan demi perselisihan muncul. Akhirnya suami dan istri tadi masing-masing merasa kesepian di tengah keluarga. Mereka bingung siapa yang harus diikuti keyakinannya. Terlebih fase anak yang tengah memasuki masa pembentukan dan perkembangan kepribadian di mana nilai-nilai agama sangat berperan. Kalau agama malah menjadi sumber konflik, tentulah kurang bagus bagi anak.
2. Aspek Religius a. Pandangan Agama Islam Pandangan Agama Islam terhadap perkawinan antar agama, pada prinsipnya tidak memperkenankannya. Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman. Sesungguh nya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkah orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
58
mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221)
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk kawin dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. (O.S. Eoh, 1996 : 117) 1) Lelaki Ahli Kitab (Yahudi ataupun Nasrani) Haram Manikahi Muslimah Menganai lelaki Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) haram menikahi
wanita
Muslimah
tidak
ada
kesamaan
lagi.
Sebagaimana ditegaskan dalam Alquran Surat al-Mumtahanah: 10 dan al-Baqarah : 221. Maka Imam Ibnu Qodamah AlMaqdisi menegaskan: “Dan tidak halal bagi Muslimah nikah dengan lelaki kafir, baik keadaanya kafir (Ahli Kitab) ataupun bukan Kitabi.” Karena Allah Ta’ala berfirman: Dan janganlah kamu menikahi orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman.” (al-Baqarah :221. Dan firman-Nya: “Maka jika telah mengetahui bahwa mereka (benarbenar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-rang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (al-Mumtahanah : 10).
59
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairy Hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlak, baik Ahlul Kitab maupun bukan.. Ia mendasarkan kepada firman Allah surat al-Mumtahanah : 10. Para ulama mengemukakan larangan Muslimah dinikahi oleh lalaki Ahli Kitab atau non-Muslim itu sebagaian cukup menyebutkanya dengan lafal musyrik atau kafir, karena maknanya sudah jelas: kafir itu mencakup Ahli Kitab dan musrik. Di samping itu tidak ada ayat ataupun hadis yang membolehkan lelaki kafir baik Ahli Kitab ataupun musyrik yang boleh menikahi Muslimah setelah turun ayat 10 Surat AlMumtahanah. Sehingga tidak ada kesamaran lagi walupun hanya disebut kafir sudah langsung mencakup kafir dari jenis Ahli Kitab dan kafir Musyrik. Bahkan lafal musrik saja, para ulama sudah memasukan seluruh non-Muslim dalam hal lelaki musrik dilarang dinikahi dengan wanita Muslimah. ْ َو َﻻ َﺗ ْﻧ ِﻛ ُﺣوا ا ْﻟ ُﻣ (221) ت َﺣ ﱠﺗﻰ ُ ْؤﻣِن ِ ﺷ ِر َﻛﺎ “Dan
janganlah kamu
menikahkan
orang-orang
musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sehingga mereka beriman.“ (QS. al-Baqarah :221). Muhammad Ali as-Shabuni menjelaskan, di dalam ayat ini, Allah Ta’ala melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan
60
orang musyrik. Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembahan berhala, Majusi, Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang murtad dari Islam. Al-Imam Al-Qurthubi berkata, “Jangan menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mukminah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan panghinaan terhadap Islam. Ibnu Abdil Barr berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir. Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah, berdasarkan firman-Nya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (al-Baqarah :221).
2) Menikahi Wanita Muhshanat Dari Kalangan Ahli Kitab Ketika
bolehnya
menikahi
wanita
Ahli
Kitab
yang
Muahshanah ‘yang menjaga diri’ dan kehormatannya sudah tsabat ‘kuat’, lalu yang lebih utama hendaknya tidak menikahi wanita kitabiyah (Yahudi dan Nasrani) karerna Umar berkata kepada para shabat yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, “Talaklah mereka.” Kemudia, mereka pun mentalaknya, kecuali Hudzaifah. Lalu Umar
61
berkata kepadanya (Hudzaifah), “Talaklah.” Dia (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?” Umar berkata, “Dia itu jamrah ‘batu bara aktif’, maka talaklah dia.” (Hudzaifah) berkata, “Anda bersaksi bahwa dia (wanita kitabiyah) itu haram ?” Umar berkata, “Dia itu jamrah.” Hudzaifah berkata, “Saya telah mengerti bahwa dia itu jamrah, tetapi dia bagiku halal.” Oleh karena itu, ketika Hudzaifah menalak wanita kitabiyah itu, ia ditanya, “Kenapa kamu tidak menalaknya ketika disuruh umar ?” Huzaifah berkata, “Aku tidak suka kalau orang-orang memandang bahwa aku berbuat suatu perkara yang tidak seyogyanya bagiku. Dan kerena barangkali hati Umar cendrung kepadanya (wanita kitabiyah itu), lalu dia (wanita kitabiyah itu) memfitnah atau menguji Umar. Dan barangkali di antara keduanya ada anak, maka cendrung kepada wanita kitabiyah.”(Hartono Ahmad Jaiz, 2004 : 204-205). Syi’ah Imamiyah mengharamkan (menikahi wanita Ahli Kitab) dengan firman-Nya; “ …dan janganlah menikahi wanita musyrikat sehingga mereka beriman.” (2:221) Dan ayat; “ Dan jaganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (al-mumtahanah : 10).
62
3) Keputusan MUI tentang Perkawinan Antar Agama Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 juni 1980 tentang Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan Antar Agama Umat Beragama, bahwa: a) Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non muslimah adalah haram hukumya. b) Seorang laki-laki muslimah diharamkan mengawini wanita bukan muslimah. Tentang perkawinan atara laki-laki muslimah dengan wanita Ahli Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadahnya lebih besar
daripada
maslahatnya,
maka
MUI
memfatwakan
perkawinan tersebut haram kukumnya. Dengan adanya farwa ini maka Majelis Ulama Indonesia mengharapkan agar seorang pria Islam tidak boleh kawin dengan wanita non Iskam kareka haram hukumnya. Selanjutnya
Prof.
Dr.
Quraiysh
Shihab,
MA
dengan
lantangmengatakan,perkawinan ini tidak sah, baik menirut agama maupun menurut negara. Pendapat ini di kuatkan oleh Prof. Dr. Muardi Khatib, salah seorang tokoh majelis tarjih Muhammadiyah yang berpendapat bahwa persoalan ini jelas di dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 221, disana dijelaskan sercara tegas bahwa seorang wanita Muslim Haram hukumnya menikah dengan laki-laki non Muslim dan sebaliknya laki-laki Muslim
63
haram menikahi wanita non Muslim, “ini sudah menjadi konsensus ulama,” tambahnya, “Kensekwensinya perkawinan ini harus dibatalkan”. Pendapat senada juga disampaikan K.H. Ibrahim Hosen yang mengatakan, menurut madzhab Syafi’I, setelah turunnya al-Qur’an orang Yahudi dan Nasrani tidak lagi disebut ahll Kitab. 50 Perkembangan Fatwa MUI selanjutnya adalah sebagai berikut:
KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII MUI, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H. / 26-29 Juli 2005M., setelah MENIMBANG : 1. Bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; 2. Bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; 3. Bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; 4. Bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman. MENGINGAT : 1. Firman Allah SWT : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. alNisa [4] : 3); Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih 50
Media Dakwah, Desember 1996, h. 31
64
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Rum [3] : 21); Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. al-Tahrim [66]:6 ); Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanitawanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. alMaidah [5] : 5); Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2] : 221) Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alllah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suamisuami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS. al-Mumtahianah [60] : 10). Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
65
mereka dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula) wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengamun dan Maha Penyayang (QS. al-Nisa [4] : 25). 2. Hadis-hadis Rasulullah s.a.w : Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii) karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tanganmu (Hadis riwayat muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a); 3. Qa’idah Fiqh : Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan. MEMPERHATIKAN : 1. Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan Campuran. 2. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005 : Dengan bertawakkal kepada Allah SWT MEMUTUSKAN MENETAPKAN : FATWA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul muâtamad, adalah haram dan tidak sah. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 22 Jumadil Akhir 1426 H. 29 Juli 2005 M. MUSYAWARAH NASIOANAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA, Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa Ketua, Sekretaris, K. H. MA’RUF AMIN HASANUDIN
66
b. Pandangan Agama Katolik Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Bagi Gereja Katholik menganggap bahwa perkawinan antar seseorang yang beragama katholik dengan orang yang bukan katholik, dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik dianggap tidak sah. Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katholik dengan orang yang bukan Katholik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katholik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama katholik. (Ibid. , h. 118-119). c. Pandangan Agama Protestan Pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, maka:51 Mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana
51
menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987:2)
67
kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus. Pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka. Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman. Ada
pula
gereja
tertentu
yang
bukan
hanya
tidak
memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja. GKI Menurut Pdt. Purboyo W. Susilaradeya52 bahwa banyak orang tidak dapat memahami mengapa dua orang yang berbeda agama tetap memutuskan menikah, walau berbagai tantangan menanti
mereka
di
depan.
Dari
masalah
upacara/ibadah
pernikahan pada awal perjalanan mereka, hingga pendidikan agama bagi anak-anak mereka kelak. Dan yang biasanya lebih tidak dapat dipahami lagi adalah bahwa beberapa gereja, salah satu di antaranya adalah Gereja Kristen Indonesia (GKI), bersedia melayankan kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan dari pasangan yang berbeda agama, walau berbagai tantangan 52
http://gkipi.org/pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif-gki/
68
juga menanti gereja di depan. Dari masalah persiapan dan penyelenggaraan upacara/ibadah pernikahan mereka, hingga pendampingan pastoral bagi mereka. Khususnya GKI, bersedia melayankan kebaktian peneguhan dan pemberkatan pernikahan beda agama. Untuk itu di bawah ini akan dipaparkan pernikahan beda di Alkitab, dalam sejarah gereja, dan di GKI, kemudian akan ditawarkan beberapa rekomendasi di sekitar pernikahan beda agama. Pernikahan Beda Agama di Alkitab Di dalam Alkitab dikisahkan beberapa orang yang menikah beda agama, misalnya Yusuf, Musa, Daud, Salomo, dan tentu saja pernikahan Boas dan Ruth. Walau yang terakhir ini tidak selalu dianggap sebagai pernikahan beda agama
karena
pernyataan Ruth kepada mertuanya yang amat terkenal itu: “…bangsamulah bangsaku, Allahmu adalah Allahku…” (Rut 1:16). Namun mesti dikatakan bahwa pada umumnya pernikahan beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Alasannya adalah kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Allah Israel akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10). Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4, “Janganlah juga
engkau
kawin-mengawin
dengan
mereka:
anakmu
perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu
69
laki-laki;
sebab
mereka
akan
membuat
anakmu
laki-laki
menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.” Dalam Perjanjian Baru (PB) Paulus dihadapkan pada permasalahan ini khususnya di jemaat Korintus. Menjawab pertanyaan mengenai “pernikahan kembali” apabila salah satu dari pasangan meninggal, Paulus menyetujuinya asalkan seiman (1 Kor. 7:39). Pendapat Paulus ini kerap kali dianggap sebagai pendirian Paulus bahwa pernikahan hanya boleh terjadi di antara orang-orang Kristen. Namun dalam kasus seseorang yang bertobat menjadi percaya namun pasangannya tidak, Paulus tidak mendorongnya untuk bercerai, kecuali pasangan yang tidak seiman itu menghendakinya (1 Kor. 7:12-16). Dan harap dicatat bahwa
dengan
jelas
Paulus
menegaskan
bahwa
yang
mengatakan ini bukan Tuhan, tetapi dirinya sendiri, Paulus. Pernikahan Beda Agama dalam Sejarah Gereja Pada awal sejarah gereja, tidak ada praktik yang seragam, walau pada prinsipnya pernikahan yang dikehendaki adalah pernikahan di antara orang-orang seiman. Keputusan resmi pertama tentang itu terjadi di Sinode di Elvira (Spanyol) pada awal abad 4. Di situ pernikahan beda agama ditolak dan diberi label “perzinahan spiritual” (spiritual adultery). Pada tahun 314 Sinode di Arles mengulangi larangan, dan untuk pertama kalinya
70
diputuskan, bahwa para pelanggar akan dihukum dengan pengasingan dari persekutuan untuk jangka waktu tertentu. Perubahan terjadi dalam sinode ekumenis di Chalcedon tahun
451,
di
mana
ditetapkan
bahwa
orang
Kristen
diperkenankan menikah dengan orang yang tidak seiman, asalkan orang itu bertobat menjadi
Kristen serta
anak-anak dari
perkawinan itu dibaptiskan. Ketetapan ini akhirnya dihisabkan ke dalam hukum gereja Katolik Roma, dan diberlakukan sejak Mei 1918, serta menjadi kebijakan dasar pernikahan beda agama. Dalam praktik dispensasi hanya diberikan, bila pasangan yang Katolik
bebas
untuk
melaksanakan
ibadah
dan
praktik
keimanannya, serta anak-anak dibaptiskan dan dibesarkan secara Katolik. Upacara pernikahan harus menurut tata-cara Katolik dan dipimpin oleh seorang imam Katolik. Upacara lain dilarang. Konsili Vatikan yang kedua kemudian membahas dan mengevaluasi
masalah
ini
dengan
seksama,
berdasarkan
masukan dari berbagai bagian dunia. Berdasarkan itu ketetapan mengenai
pernikahan
beda
agama
mengalami
beberapa
perubahan penting. Pertama-tama, harapan, sejauh hal ini mungkin, agar anak-anak dibaptis dan dibesarkan secara katolik, hanya diletakkan pada pasangan yang Katolik. Sedangkan mengenai upacara pernikahan, walau itu berlangsung menurut tata-cara Gereja Katolik, uskup setempat diberi wewenang untuk apabila perlu dan tepat, mengizinkan dilaksanakannya upacara
71
dengan cara
lain.
Dan sanksi
ekskomunikasi
dalam
hal
pernikahan beda agama ini tidak lagi diberlakukan. Gereja Ortodoks, yang juga memegangi bahwa pernikahan adalah sakramen, tetap bersiteguh bahwa pernikahan haruslah terjadi di antara dua orang yang telah dibaptiskan. Lain lagi halnya dengan gereja-gereja Prostestan. Pada umumnya mereka menolak pernikahan beda agama sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran dan praktik gereja. Kecuali pasangan yang tidak seiman dibaptiskan, gereja sama sekali tidak akan memedulikannya. Akibatnya banyak pasangan yang berbeda agama menikah hanya secara hukum (“catatan sipil”) atau pasangan yang Kristen mengikuti upacara menurut agama pasangannya. Sebagai reaksi atas hal ini ada gerejagereja yang memberikan sanksi kepada anggotanya yang nekad menikah dengan orang yang tidak seiman. Akhir-akhir ini, atas dasar pertimbangan pastoral, praktik “disiplin gerejawi” diperlunak. Ada gereja-gereja yang bersedia melayankan upacara pernikahan beda agama tidak di gereja, di rumah, bila pasangan yang tidak seiman setuju dilaksanakan upacara Kristen. Dan ada gereja yang untuk itu mensyaratkan pembinaan pra-nikah bagi pasangan beda agama yang akan menikah. Pernikahan Beda Agama dalam Pemahaman dan Praktik GKI
72
GKI menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat sebagai berikut: Jika salah seorang calon mempelai bukan anggota gereja, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh Majelis Sinode bahwa: - Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani. - Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/isterinya untuk tetap hidup dan beribadat menurut iman Kristiani. - Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik secara Kristiani. (Tata Laksana GKI Pasal 29:9.b) Berarti, melalui berbagai pertimbangan, GKI telah mengubah ketetapannya. Ketika masih terdiri atas 3 sinode, masing-masing sinode GKI, (setidaknya GKI Jawa Tengah) semula hanya bersedia menikahkan pasangan yang tidak seiman dengan anggotanya, bila yang bersangkutan sudah dibaptis, atau berjanji (menandatangani surat perjanjian) untuk mengikuti katekisasi dan dibaptis. Dalam Tata Gereja dan Tata Laksana GKI Jawa Tengah yang disahkan tahun 1987, rumusan yang sama dengan rumusan dalam Tata Laksana GKI di atas diterima [Tata Laksana GKI Jateng Bab V, Pasal 1, Ayat 26, Butir 2.a.(3)]. Perubahan ini menurut hemat saya turut didorong oleh kenyataan dalam praktik. Akibat aturan yang ketat, timbullah
73
kesulitan-kesulitan yang tak teratasi bagi pernikahan beda agama, khususnya di bagian-bagian dunia di mana orang Kristen adalah minoritas,
termasuk
di
Indonesia.
Dahulu
upaya
untuk
memberikan dispensasi dalam bentuk syarat pasangan yang tidak seiman harus dibaptis atau meminta yang bersangkutan untuk berjanji adalah tindakan pastoral untuk membantu pasanganpasangan pernikahan beda agama. Tetapi kemudian tidak jarang pasangan yang tidak seiman, walau telah dibaptis, di kemudian hari kembali ke agamanya semula, bahkan memengaruhi pasangannya untuk ikut dengannya. Dan kerap terjadi, pasangan tidak seiman yang telah berjanji untuk mengikuti katekisasi dan dibaptis, setelah pernikahan terjadi, tidak menepati janjinya itu. Namun selain pertimbangan praktis, pemahaman yang mendasari perubahan ini kiranya juga jelas. Pertama-tama, dalam identitas GKI yang kuat dan jelas, salah satu karakteristik GKI sebagai
gereja
adalah
inklusivitasnya.
Secara
sederhana
paradigma GKI adalah menghisabkan orang, dan berarti sedapat mungkin menerima serta mengakomodasikan perbedaan, bukan secara mudah mempertahankan identitas dengan menyisihkan orang/pihak yang berbeda. Berikutnya, dalam pemahaman GKI, pernikahan bukanlah sakramen.
Selain
alasan
klasik,
bahwa
Kristus
tidak
menetapkannya (seperti pada Perjamuan dan Baptisan Kudus), pernikahan tidaklah terkait dengan keselamatan oleh dan dalam
74
Kristus. Konsekuen dengan itu, pernikahan dipahami GKI sebagai sebuah akta gerejawi yang berada pada ranah pastoral untuk “mewujudkan persekutuan” sebagai bagian dari misi/tujuan GKI (dalam buku Liturgi Gereja Kristen Indonesia, liturgi peneguhan dan pemberkatan pernikahan masuk ke dalam kelompok “Liturgi Pastoral”). Beberapa Isyu Pernikahan Beda Agama Pertama-tama tentu adalah kaitan pernikahan beda agama dengan masalah hukum perkawinan di Indonesia. Pendirian gereja-gereja Protestan, termasuk GKI, dalam hal pengesahan pernikahan adalah bahwa pernikahan hanya sah bila sudah dicatatkan secara sipil. Tetapi atas desakan kelompok-kelompok Islam, yang hendak mencegah terjadinya pernikahan beda agama, hal pencatatan sipil pernikahan diperlakukan secara khusus. Tepatnya, pernikahan hanya bisa dianggap sah dan dapat dicatatkan
secara
sipil,
bila sudah
dilaksanakan
upacara
keagamaan sesuai dengan kepercayaan yang bersangkutan. GKI mengakomodasikannya dengan aturan ini: Calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya, atau calon mempelai telah membuat surat pernyataan
tentang
kesediaannya
untuk
mencatatkan
pernikahannya di Kantor Catatan Sipil, yang formulasinya dimuat
75
dalam Peranti Administrasi. (Tata Laksana GKI Pasal 28:3). Sehingga pencatatan sipil dapat dilaksanakan sesudah ibadah peneguhan dan pemberkatan pernikahan. Namun biasanya dalam kerja sama dengan petugas Kantor Catatan Sipil, pencatatan dilakukan pada hari yang sama, di gereja. Isyu berikut yang berkenaan dengan itu adalah soal agama pasangan sesuai undang-undang perkawinan tahun 1974. Karena undang-undang itu (setidaknya penafsiran atasnya) sebenarnya menuntut bahwa agama kedua belah pihak harus sama, maka untuk melaksanakan pernikahan beda agama, pasangan yang tidak seiman “mengaku” bahwa ia adalah seorang Kristen di depan petugas pencatatan sipil. Ini yang bagi beberapa jemaat GKI masih dianggap kontroversial. Jalan keluar yang “aman” adalah menikah di luar negeri (secara hukum, dicatat secara sipil, yang diterima oleh kantor catatan sipil di Indonesia). Atau mengajukan ke Pengadilan Negeri permohonan untuk menikah beda agama. Walau prosesnya panjang
dan
memakan
waktu
berbulan-bulan,
biasanya
permohonan ini dikabulkan, karena menikah adalah hak setiap warga negara, yang tidak dapat dihalangi oleh apapun termasuk perbedaan agama. Isyu
berikutnya
adalah
tuntutan
(kita)
agar
upacara
pernikahan hanya dilaksanakan secara kristiani. Ini pula yang tidak jarang dipersoalkan oleh pasangan dan keluarga yang tidak
76
seiman. Mereka biasanya menginginkan juga agar dilaksanakan menurut kepercayaan mereka, mengingat bahwa pernikahan itu adalah pernikahan beda agama, di mana masing-masing mempertahankan kepercayaannya. Ada
kelompok
Islam
(misalnya
yang
pasti
adalah
“Paramadina”) yang bersedia menikahkan pasangan beda agama, di mana tidak dituntut dari pasangan yang bukan Muslim untuk mengikrarkan “kalimah syahadat”. Bahkan mereka bersedia untuk melakukan upacara pernikahan bersama sesuai agama masingmasing, dengan menghadirkan pemimpin agamanya (pendeta misalnya). Walau dalam praktik, menurut mereka justru dengan gereja Katolik mereka mengalami kesulitan kerja sama. Padahal seharusnya hal itu telah dimungkinkan berdasarkan keputusan konsili Vatikan 2. Isyu yang akan tetap relevan, adalah tuntutan (kita) agar anak-anak dibaptiskan dan dididik secara Kristiani. Hal ini juga selalu diprotes oleh pasangan yang tidak seiman. Biasanya demi terlaksananya pernikahan yang bersangkutan bersedia berjanji untuk tidak menghalangi bila anak-anak mereka kelak akan dibaptis dan dididik secara kristiani. Namun dalam praktik janji ini tidak selalu ditepati. Kesimpulan dan Rekomendasi Di negeri dan masyarakat yang majemuk ini, terutama dalam hal agama, pernikahan beda agama menjadi sesuatu yang tak
77
terhindarkan. Pilihannya memang cuma dua. Menolaknya secara hitam-putih, dengan dalih kemurnian ajaran, yang akan dapat berarti “mencampakkan” seorang saudara yang “memilih untuk tidak memilih”. Atau menerimanya sebagai saudara yang hendak melakukan sesuatu yang adalah hak asasinya, dan berarti bersedia menyediakan kemudahan untuk itu. Maka mengingat pernikahan (beda agama) berada dalam ranah pastoral, persoalan di sekitarnya mesti diatasi secara pastoral pula. Ketika seorang saudara (saudara seiman kita) hendak menikah dan minta agar pernikahannya diteguhkan serta diberkati, walau dengan seseorang yang tidak seiman, siapakah kita, sebagai gereja, untuk menolak permintaannya? Sebagai alat Tuhan dan damai sejahtera-Nya, permintaan peneguhan dan pemberkatan nikah beda agama mestinya (tetap) dilayani dengan baik. Penerimaan dan penghargaan terhadap pasangan dan keluarga yang tidak seiman, terutama dalam rangka kehidupan bersama di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini, mestinya ditingkatkan. Bila kita (GKI) menerima pernikahan beda agama dari dua orang yang setara, mengapakah mesti berkeras menuntut agar upacara secara kristiani diutamakan. Tidakkah kita mesti belajar dari konsili Vatikan 2 dan dari kelompok Islam seperti Paramadina, yang tujuannya benar-benar hendak menolong pasangan yang hendak menikah beda agama?
78
Sedangkan tentang tuntutan (kita) bagi anak-anak dari pernikahan beda agama agar dibaptiskan dan dididik secara kristiani, tidakkah seyogyanya hal itu kita serahkan kepada yang bersangkutan untuk menyepakatinya di antara mereka sendiri sebagai dua orang dewasa yang pasti sudah memperhitungkan berbagai hal di sekitar keputusan untuk tetap menikah walau beda agama? Untuk itu semua, gereja wajib terus mendampingi dan melayani secara pastoral pasangan-pasangan yang hendak dan sudah menikah. Akhirnya, fenomena pernikahan beda agama ini mestinya sudah kita terima dengan lapang dada. Oleh karenanya menurut hemat saya diskusi tentang isyu-isyu besar di belakang fenomena ini mestinya dilakukan secara mendalam, dengan bekerjasama dengan saudara-saudara dari berbagai kepercayaan. Misalnya pemahaman tentang hakikat pernikahan dari tiap kepercayaan, isyu sosial di sekitar itu, misalnya poligami, lalu pendampingan bagi pasangan yang menikah beda agama yang seharusnya menjadi perhatian bersama dari agama-agama.
Pondok Indah, 25 Oktober 2010
d. Pandangan Agama Hindu Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Suatu perkawinan batal
79
karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu.53 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk itu. Di samping itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande. Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi: Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula 53
Menurut Dde Pudja, MA (1975:53),
80
dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggaal bunuh diri. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak
boleh
dan
pendande/Pendeta
akan
menolak
untuk
mengesahkan perkawinan tersebut. e. Pandangan Agama Budha Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajidkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka” yang merupakan dewadewa umat Budha Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Di samping itu, dalam upacara perkawinan itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang
81
Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama
Budha,
walaupun
sebenarnya
ia
hanya
menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan
itu
dilangsungkan.
Untuk
menghadapi
praktek
perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan. 3. Aspek Yuridis Hukum perkawinan di berbagai negara, tidaklah sama antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Di Negara-negara muslim, hukum perkawinan didasarkan kepada ‘hukum Islam’ yang biasanya masih berupa fikih yang dipedomani di masyarakatnya. Sehingga, mazhab dominant dalam masyarakat akan mempengaruhi hukum Islam yang diterapkan di suatu negara muslim tersebut. Seperti di Indonesia, yang mayoritas menggunakan mazhab Syafi’I, maka produk hukum Islam, diderivasi dari fikih syafi’iyah. Sementara itu, di Negara Barat yang mayoritas beragama Kristen ataupun Katolik, hukum perkawinan juga banyak diadopsi dari hukum Kanonik (hukum gereja). Perkawinan dilaksanakan di Gereja dengan sakramen dan pemberkatan yang hidmat; dan musti menggunakaan hukum gereja. Seperti ajaran monogamy dan perkawinan permanent, yang masih dianut dalam hukum perkawinan
82
Negara-negara Barat.Hukum perkawinan yang didasarkan kepada agama ini, cenderung menutup peluang perkawinan beda agama. Di Negara-negara muslim, yang masih meganut hukum Islam berupa fikih tradisional, akan melarang perkawinan beda agama, terutama perkawinan antara seorang wanita muslim dengan pria non-muslim. Karena memang ajaran fikih berkata demikian. Di Indonsia, bahkan, pelaksanaan perkawinan beda agama juga agak dipersulit. Di Negara-negara Barat awal, yang menggunakan hukum kanonik, juga cenderung melarang perkawinan beda agama; karena kitab suci mereka juga melarangnya. Apalagi dahulu masyarakat Barat cenderung homogen, sehingga perkawinan beda agama kurang mendapat focus pembahasan. Sehingga, ketika perkawinan di gereja, musti kedua mempelai beragama Katolik atau Kristen. Dalam perkembangan masyarakat internasional yang mengglobal; arus migrasi tak terhindarkan. Warga minoritas dan mayoritas menyatu dalam masyarakat modern. Di sisi lain, reformasi hukum di Barat telah menggeser hukum Tuhan/ hukum agama ke hukum manusia. Sehingga, hukum perkawinan gereja relative tergeser dengan perkawinan yang berupa kontrak antara
dua pihak
berdasarkan kehendak keduanya. Dalam perkembangan ini maka, perkawinan Beda agama di Barat tidak sebegitu sulit seperti di Negara muslim. C. Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif Indonesia
83
4. Ketentuan Hkm Positif Di Indonesia, secara yuridis formal, perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawian dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kedua
produk perundang-undangan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan termasuk perkawinan antar agama. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal senada diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Pasal 4: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”.54 Pasal 40: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu;
54
Departemen Agama Republik Indonesia, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h. 15.
84
a. Karena
wanita
yang
bersangkutan
masih
terikat
satu
perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragam Islam.55 Pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”56 Pasal 61: “ Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien”57 Dengan demikian, menurut penjelasan pasal-pasal tersebut bahwa setiap perkawinan yang dilaksanakan dalam wilayah hukum Indonesia harus dilaksanakan dalam satu jalur agama, tidak boleh dilangsungkan perkawinan masing-masing agama, dan jika terjadi maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
5. Lembaga Pencatat Perkawinan Di Indonesia terdapat dua lembaga yang mencatat perkawinan, yakni Kantor Urusan Agama (KUA), terhadap masyarakat yang
55
Ibid., h. 28.
56
Ibid., h. 29.
57
Ibid., h. 36.
85
beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), terhadap masyarakat yang beragama non Islam. Perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.58 Oleh karenanya perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya itu serta telah dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun
bagaimana
dengan
perkawinan
beda
agama.
Perkawinan beda agama bukanlah perkawinan campuran dalam pengertian hukum nasional kita karena perkawinan campuran menurut UU Perkawinan disebut sebagai perkawinan yang terjadi antara WNI dengan WNA, bukan beda agama. Masyarakat yang pluralistik seperti di Indonesia, sangat mungkin terjadi perkawinan diantara dua orang pemeluk agama yang berlainan. Beberapa diantara mereka yang mempunyai kelimpahan materi mungkin tidak terlampau pusing karena bisa menikah di negara lain, namun bagaimana yang kondisi ekonominya serba paspasan. Tentu ini menimbulkan suatu masalah hukum Ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama ini: Pertama, salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelundupan hukum, karena yang terjadi 58
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
86
adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan. Kedua, berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen). Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan perkawinan di KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang Perkawinan dan karenanya
harus
dianggap
bahwa
ia
menginginkan
agar
perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan tersebut. Secara
a
contrario
maka
KUA
wajib
melangsungkan
perkawinannya, karena perempuan yang beragama Nasrani tidak lagi menghiraukan statusnya yang beragama Nasrani. Oleh karena itu melakukan penundukkan hukum secara jelas kepada seluruh Hukum Islam yang terkait dengan perkawinan. Dengan demikian, dari semula pasangan yang berbeda agama tidak perlu melakukan penyelundupan hukum dengan mengganti agama untuk sementara, namun bisa melangsungkan perkawinan tanpa berpindah agama
87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Perkawinan beda agama di beberapa negara dari berbagai aspek adalah sebagai berikut: a. Aspek
psikologis
perkawinan
beda
agama
menimbulkan
ketidaknyamanan dalam hidup berumah tangga b. Aspek religius perkawinan beda agama adalah bahwa semua agama, baik Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu) melarang adanya perkawinan beda agama. Untuk itu adanya keinginan untuk membuat aturan perkawinan bagi yang berbeda agama merupakan cermin kurangnya penghayatan terhadap ajaran agama. c. Aspek yuridis bahwa negara sekuler (Singapura dan Australia) memperbolehkan perkawinan beda agama, sedangkan dalam negara non sekuler (Malaysia dan Indonesia) tidak diperbolehkan perkawinan beda agama. 2. Ketentuan hukum positif Indonesia tidak secara tegas melarang tentang perkawinan beda agama. Namun dari ketentuan-ketentuan yang ada serta posisi Indonesia sebagai negara yang non sekuler,
88
maka dimaknai bahwa di Indonesia tidak dapat dilangsungkan perkawinan beda agama.
2. Saran Kepada seluruh masyarakat/ Bangsa Indonesia baik Muslim maupun non Muslim sesuai dengan tujuan perkawinan, maka: a. Agar dapat mengikuti aturan- aturan yang berlaku di Indonesia; b. Agar dapat mengikuti aturan- aturan yang sesuai dengan kepercayaannya masing-masing;
89
agama dan
DAFTAR PUATAKA
Adji, Sution Usman. Kawin Lari dan kawin Antar Agama. Yogyakarta: Liberty, 1989
Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, Cet. Ke-2. Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Dian Rakyat, 1986, Cet. Ke-1.
90
Asmin. Status Perkawinan Antar Agama. Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986.
Baso, Ahmad dan Ahmad Nurcholish (Editor). Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen Kegamaan & Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM, 2005.
Cretney, Stephen. Family Law in Twentieth Century in History. Oxford: Oxford University Press, 2005.
Eoh, OS. Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Srigunting, 1996
Friedmann, Wolfgang. Law in a Changing Society. Cet. 2. Australia: Penguin Books, 1972.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 2003, Cet. Ke-2
Hovius, Berend. Family Law: Cases, Notes and Materials. Totonto: Carswell, 1992
Mahmood, Tahir. Family Law Reform in The Muslim World. Bombay: Tripathi, 1972
91
Melida, Djaya S. Masalah Perkawinan Antar Agamadan Kepercayaan di Indonesia dalam Perspektif Hukum. Jakarta: Vrana Widya Darma, 1988 Saleh, K. Watjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia, 1992
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. Ke-6. Subadio, Maria Ulfa. Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan. Jakarta: Idaya, 1981.
92
Marriage Act 1961 Act No. 12 of 1961 as amended This compilation was prepared on 19 April 2011 taking into account amendments up to Act No. 5 of 2011 The text of any of those amendments not in force on that date is appended in the Notes section The operation of amendments that have been incorporated may be affected by application provisions that are set out in the Notes section Prepared by the Office of Legislative Drafting and Publishing, Attorney-General’s Department, Canberra
Contents Part I—Preliminary 1 2 5 5A 6 7 8 9 9A
1 Short title [see Note 1] ...................................................................1 Commencement [see Note 1] ..........................................................1 Interpretation .................................................................................1 Application of the Criminal Code ...................................................4 Act not to exclude operation of certain State and Territory laws ...............................................................................................4 Validity of certain marriages not affected........................................4 Extension of Act to Territories etc. .................................................5 Arrangements with State ................................................................5 Persons who may exercise certain powers may be restricted by Proclamation .............................................................................6
Part IA—Marriage education 9B 9C 9E
7 Grants to approved organisations ....................................................7 Approval of voluntary organisations ...............................................7 Reports and financial statements of approved organisations .............8
Part II—Marriageable age and marriages of minors 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
9 Application of Part .........................................................................9 Marriageable age............................................................................9 Authorisation of marriage of person under age of 18 years in exceptional circumstances ..............................................................9 Marriage of minor not to be solemnised without consent of parents etc.................................................................................... 10 Persons whose consent is required ................................................ 12 Prescribed authority may dispense with consent in certain cases............................................................................................ 12 Consent by magistrate where parent etc. refuses consent etc. ......... 13 Re-hearing of applications by a Judge ........................................... 15 Provisions applicable to inquiries by Judge or magistrate............... 15 Restriction on applications under sections 12, 15 and 16................ 16 Effect of consent of magistrate or Judge........................................ 16 Consent by magistrate or Judge and dispensation with consent to be ineffective after 3 months etc. .................................. 17
Part III—Void marriages
18
Division 1—Marriages solemnised on or after 20 June 1977 and before the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 22 23
18 Division to be subject to application of private international law .............................................................................................. 18 Grounds on which marriages are void ........................................... 18
Marriage Act 1961
iii
Division 2—Marriages solemnised after the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 23A 23B
20 Application of Division ................................................................ 20 Grounds on which marriages are void ........................................... 20
Part IV—Solemnisation of marriages in Australia Division 1—Authorised celebrants
22 22
Subdivision A—Ministers of religion 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
22 Interpretation ............................................................................... 22 Recognised denominations ........................................................... 22 Registers of ministers of religion .................................................. 22 Transfer of State registers ............................................................. 23 Qualifications for registration under this Subdivision .................... 23 Registrar to register applicant ....................................................... 24 Applicant may be refused registration in certain circumstances .............................................................................. 24 Effect of registration .................................................................... 24 Removal from register .................................................................. 25 Review of refusal to register or removal from register ................... 26 Change of address etc. to be notified ............................................. 27 Transfer to another State etc. ........................................................ 27 Furnishing of information by recognised denominations ................ 27 Registrars to furnish information to Attorney-General ................... 28
Subdivision B—State and Territory officers etc. 39
28 Authorisation of State and Territory officers etc. ........................... 28
Subdivision C—Marriage celebrants 39A 39B 39C 39D 39E 39F 39G 39H 39I 39J 39K 39L 39M
28 Registrar of Marriage Celebrants .................................................. 28 Register of marriage celebrants ..................................................... 29 Entitlement to be registered as a marriage celebrant....................... 29 Registration as a marriage celebrant .............................................. 30 Capping of number of marriage celebrants for 5 years ................... 31 Effect of registration .................................................................... 32 Obligations of each marriage celebrant ......................................... 32 Performance reviews .................................................................... 32 Disciplinary measures .................................................................. 33 Review of decisions ..................................................................... 35 Additional functions of the Registrar ............................................ 35 Registrar not liable for damages.................................................... 36 Evidence of registration etc. ......................................................... 36
Division 2—Marriages by authorised celebrants 40 41
iv
37 Application of Division ................................................................ 37 Marriages to be solemnised by authorised celebrant ...................... 37
Marriage Act 1961
42 42A 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Notice to be given and declaration made ....................................... 37 Commissioner of Australian Federal Police or approved authority may issue special notice ................................................. 40 Marriage may be solemnised on any day etc.................................. 40 Witnesses .................................................................................... 41 Form of ceremony ........................................................................ 41 Certain authorised celebrants to explain nature of marriage relationship .................................................................................. 41 Ministers of religion not bound to solemnise marriage etc. ............ 42 Certain marriages not solemnised in accordance with this Division to be invalid ................................................................... 42 Authorised celebrant to retain consents, statutory declarations etc. ........................................................................... 43 Marriage certificates..................................................................... 43 Incorrect marriage certificates ...................................................... 45
Division 3—Marriages by foreign diplomatic or consular officers 52 53 54 55 56 57 58 59
46 Interpretation ............................................................................... 46 Application of Division ................................................................ 46 Governor-General may declare countries to be proclaimed overseas countries ........................................................................ 46 Solemnisation of marriages in Australia by foreign diplomatic or consular officer ....................................................... 46 Recognition of marriages.............................................................. 47 Registrar and Deputy Registrar of Foreign Marriages .................... 47 Register of Foreign Marriages Solemnised in Australia ................. 48 Searches and certified copies ........................................................ 48
Part V—Marriages of members of the Defence Force overseas
49
Division 3—Marriages of members of the Defence Force overseas 71 72
49 Marriages of members of the Defence Force overseas ................... 49 Form and ceremony of marriage ................................................... 49
Division 4—General 73 74 75 76 77 78 79 80 81
50 Validity of marriages.................................................................... 50 Declaration to be made before chaplain......................................... 50 Chaplain to be satisfied of parties’ identity .................................... 50 Additional consent to marriage of minor domiciled outside Australia ...................................................................................... 50 Restriction on solemnisation of marriages under this Part .............. 51 Solemnisation of marriages where a party to the marriage is not an Australian citizen etc.......................................................... 51 Chaplain to retain consents etc...................................................... 52 Marriage certificate and registration of marriages .......................... 52 Power to refuse to solemnise marriage .......................................... 54
Marriage Act 1961
v
82 83 84 85 86 87 88
Marriages may be solemnised on any day and at any time ............. 54 Validity of marriages under this Part ............................................. 54 Registration of overseas marriages attended by a chaplain ............. 55 Certificates of marriages solemnised in accordance with local law in an overseas country ................................................... 55 Evidence ...................................................................................... 56 Validity of marriages otherwise than under this Part not affected........................................................................................ 56 Imperial Foreign Marriage Acts .................................................... 56
Part VA—Recognition of foreign marriages 88A 88B 88C 88D 88E 88EA 88F 88G
57 Object of Part............................................................................... 57 Interpretation ............................................................................... 57 Application of Part ....................................................................... 57 Validity of marriages.................................................................... 58 Validity of certain marriages not affected by this Part .................... 59 Certain unions are not marriages ................................................... 60 Incidental determination of recognition of certain foreign marriages ..................................................................................... 60 Evidence ...................................................................................... 61
Part VI—Legitimation 89 90 91 92 93
Part VII—Offences 94 95 98 99 100 101 103 104 105 106
62 Legitimation by virtue of marriage of parents ................................ 62 Legitimacy of children of certain foreign marriages....................... 63 Legitimacy of children of certain void marriages ........................... 64 Declarations of legitimacy etc....................................................... 64 Operation of certain State and Territory laws ................................ 66
67 Bigamy........................................................................................ 67 Marrying person not of marriageable age etc. ................................ 68 Contravention of subsection 13(3) ................................................ 69 Solemnising marriage where notice or declaration not given or made etc. ................................................................................. 70 Solemnising marriage where reason to believe there is a legal impediment.......................................................................... 70 Solemnisation of marriage by unauthorised person ........................ 70 Going through ceremony of marriage before person not authorised to solemnise it ............................................................. 71 Giving defective notice etc. .......................................................... 71 Failure to comply with notice under section 51.............................. 71 Failure by interpreter to furnish certificate etc. .............................. 71
Part VIII—Transitional provisions 107
vi
73 Exercise of powers etc. before commencement of Act ................... 73
Marriage Act 1961
108 109
Application of offence provisions to notices etc. given before commencement of this Act ........................................................... 73 Consents etc. given under State or Territory laws .......................... 74
Part IX—Miscellaneous 111 111A 112 113 114 115 116 117 118 120
75 Certain marriages and legitimations to be valid in all the Territories .................................................................................... 75 Abolition of action for breach of promise ...................................... 75 Interpreters at marriage ceremonies .............................................. 75 Second marriage ceremonies ........................................................ 76 Correction of errors in marriage registries ..................................... 78 Publication of lists of authorised celebrants ................................... 79 Judicial notice of signatures of Registrars, celebrants etc. .............. 80 Evidence of registration etc. ......................................................... 80 Right of ministers of religion to receive fees ................................. 81 Regulations .................................................................................. 81
The Schedule—Persons whose consent is required to the marriage of a minor
83
Part I
83
Part III
85
Notes
87
Marriage Act 1961
vii
An Act relating to Marriage Part I—Preliminary 1 Short title [see Note 1] This Act may be cited as the Marriage Act 1961.
2 Commencement [see Note 1] (1) Sections 1, 2 and 3, subsection 5(1), section 9, Parts III and VIII and section 120 shall come into operation on the day on which this Act receives the Royal Assent. (2) The remaining provisions of this Act shall come into operation on a date to be fixed by Proclamation.
5 Interpretation (1) In this Act, unless the contrary intention appears: Ambassador includes Minister, Head of Mission and Chargé d’Affaires. approved organisation means an organisation approved or deemed to be approved under Part IA. artificial conception procedure includes: (a) artificial insemination; and (b) the implantation of an embryo in the body of a woman. Australia includes Norfolk Island. Australian Consular Officer and Australian Diplomatic Officer have the same respective meanings as in the Consular Fees Act 1955. authorised celebrant means: (a) a minister of religion registered under Subdivision A of Division 1 of Part IV; or (b) a person authorised to solemnise marriages by virtue of Subdivision B of Division 1 of Part IV; or
Marriage Act 1961
1
Part I Preliminary
Section 5 (c) a marriage celebrant. chaplain means a chaplain in the Defence Force. Consul includes Consul-General, Vice-Consul, Pro-Consul and Consular Agent. Family Court of a State means a Family Court of a State that has jurisdiction under the Family Law Act 1975 by virtue of a Proclamation under section 41 of that Act. Judge, in relation to the performance of a function under this Act in a State or Territory, means a person who is: (a) a Judge of the Family Court of Australia, or a Federal Magistrate of the Federal Magistrates Court, who is appointed by the Minister to be a person authorised to perform that function; (b) a Judge of a court of that State in respect of whom an appropriate arrangement in force under section 9 is applicable; or (c) a Judge of the Supreme Court of that Territory. magistrate means: (a) in relation to a State—a person who holds office as a Chief, Police, Stipendiary, Resident or Special Magistrate of the State and in respect of whom an appropriate arrangement in force under section 9 is applicable; and (b) in relation to a Territory—a person who holds office as a Chief, Police, Stipendiary, Resident or Special Magistrate of the Territory. marriage means the union of a man and a woman to the exclusion of all others, voluntarily entered into for life. marriage celebrant means a person registered under Subdivision C of Division 1 of Part IV. minister of religion means: (a) a person recognised by a religious body or a religious organisation as having authority to solemnise marriages in accordance with the rites or customs of the body or organisation; or
2
Marriage Act 1961
Preliminary Part I
Section 5 (b) in relation to a religious body or a religious organisation in respect of which paragraph (a) is not applicable, a person nominated by: (i) the head, or the governing authority, in a State or Territory, of that body or organisation; or (ii) such other person or authority acting on behalf of that body or organisation as is prescribed; to be an authorised celebrant for the purposes of this Act. minor means a person who has not attained the age of 18 years. overseas country means a country or place other than a part of the Queen’s dominions, and, in Part V, includes a vessel which is for the time being in the territorial waters of such a country or place. prescribed authority means: (a) in relation to a marriage proposed to be solemnised in Australia—a person, being an officer or employee of the Commonwealth, a State or a Territory, appointed by the Minister to be a prescribed authority; (c) in relation to a marriage proposed to be solemnised in accordance with Division 3 of Part V—a chaplain. recognised denomination means a religious body or a religious organisation in respect of which a Proclamation under section 26 is in force. Territory means: (a) the Australian Capital Territory; or (b) the Northern Territory; or (c) Norfolk Island; or (d) the Territory of Christmas Island; or (e) the Territory of Cocos (Keeling) Islands. the commencement of this Act means the time of commencement of the provisions other than the provisions referred to in subsection 2(1). the Queen’s dominions includes a British protectorate and a British protected State.
Marriage Act 1961
3
Part I Preliminary
Section 5A (2) Where: (a) a marriage is solemnised in the presence of a person, being a person in whose presence a marriage may, in accordance with this Act, be lawfully solemnised; and (b) that person consents to the marriage being solemnised in his or her presence; that person shall, for the purposes of this Act, be deemed to solemnise the marriage. (3) Any appointment or authorisation under this Act may be an appointment or authorisation of: (a) a named person only; or (b) every person from time to time holding or acting in a specified office of the Commonwealth or of a State or Territory.
5A Application of the Criminal Code Chapter 2 of the Criminal Code applies to all offences against this Act. Note:
Chapter 2 of the Criminal Code sets out the general principles of criminal responsibility.
6 Act not to exclude operation of certain State and Territory laws This Act shall not be taken to exclude the operation of a law of a State or of a Territory, in so far as that law relates to the registration of marriages, but a marriage solemnised after the commencement of this Act is not invalid by reason of a failure to comply with the requirements of such a law.
7 Validity of certain marriages not affected Subject to subsection 4(2) of this Act and to the operation of the Part repealed by the Marriage Amendment Act 1976 before the date fixed under subsection 2(2) of this Act, this Act does not affect the validity or invalidity of a marriage that took place before the date so fixed.
4
Marriage Act 1961
Preliminary Part I
Section 8
8 Extension of Act to Territories etc. (1) The whole of this Act extends to the following Territories: (a) Norfolk Island; (b) the Territory of Christmas Island; (c) the Territory of Cocos (Keeling) Islands. (2) Part V applies both within and without Australia. (3) Part VII applies to and in relation to: (a) marriages solemnised, or intended or purporting to be solemnised, in Australia; and (b) marriages solemnised, or intended or purporting to be solemnised, under Part V; and, in relation to such marriages, applies both within and without Australia. (4) Section 73, Part VA and section 111 extend to all the external Territories.
9 Arrangements with State (1) The Governor-General may make arrangements with the Governor of a State: (b) for the performance by all or any of the persons who from time to time hold office as Judges of any Court of that State of the functions of a Judge under sections 12, 16 and 17; (c) for the performance by all or any of the persons who from time to time hold office as Chief, Police, Stipendiary, Resident or Special Magistrates in that State of all or any of the functions of a magistrate under this Act; (d) for the performance by officers of that State of the function of solemnising marriages in accordance with Division 2 of Part IV; (e) for enabling officers of that State to be appointed as prescribed authorities; (f) for enabling officers of that State to be appointed as Registrar and Deputy Registrar of Ministers of Religion for that State under Subdivision A of Division 1 of Part IV; and (g) for enabling officers of that State to be appointed as authorised officers for the purposes of section 51.
Marriage Act 1961
5
Part I Preliminary
Section 9A (2) A copy of each arrangement made under this section shall be published in the Gazette.
9A Persons who may exercise certain powers may be restricted by Proclamation (1) The Governor-General may, by Proclamation, declare that, on and after a date fixed by the Proclamation, a power or function under this Act that is specified in the Proclamation, being a power or function expressed by this Act to be exercisable by a Judge, or by a Judge or magistrate, is not to be exercised, or is not to be exercised in a specified part of Australia, otherwise than by a Judge who is a Judge of the Family Court of Australia or of the Family Court of a State or a Federal Magistrate of the Federal Magistrates Court. (2) Proclamations under this Part in respect of different parts of Australia may be made from time to time.
6
Marriage Act 1961
Marriage education Part IA
Section 9B
Part IA—Marriage education 9B Grants to approved organisations The Minister may, from time to time, out of moneys appropriated by the Parliament for the purposes of this Part, grant to an approved organisation, upon such conditions as the Minister thinks fit, such sums by way of financial assistance as the Minister determines for the conduct of programs of marriage education.
9C Approval of voluntary organisations (1) A voluntary organisation may apply to the Minister for approval under this Part as an organisation conducting programs of marriage education. (2) The Minister may approve the organisation if the Minister is satisfied that the organisation is willing and able to conduct programs of marriage education. (3) The approval of an organisation under this section may be given subject to such conditions as the Minister determines. (4) Where the approval of an organisation is subject to conditions, the Minister may, from time to time, revoke or vary all or any of those conditions or add further conditions. (5) The Minister may, at any time, revoke the approval of an approved organisation where: (a) the organisation has not complied with a condition to which the approval of the organisation is subject; (b) the organisation has not furnished, in accordance with section 9E, a statement or report that the organisation was required by that section to furnish; or (c) the Minister is satisfied that the organisation is not adequately carrying out programs of marriage education. (6) Notice of the approval of an organisation under this section, and notice of the revocation of the approval of an approved
Marriage Act 1961
7
Part IA Marriage education
Section 9E organisation, shall be published in such manner as the Minister considers appropriate.
9E Reports and financial statements of approved organisations (1) An approved organisation that has received a grant under this Act in the period of 12 months that ended on 30 June in any year shall, not later than 30 September in that year, furnish to the Minister, in respect of that period of 12 months: (a) an audited financial statement of the receipts and payments of the organisation, in which receipts and payments in respect of its marriage education activities are shown separately from other receipts and payments; and (b) a report on its marriage education activities, including information as to the programs conducted by the organisation during the period and the number of participants in those programs. (2) Where the Minister is satisfied that it would be impracticable for an organisation to comply with the requirements of subsection (1) or that the application of those requirements to an organisation would be unduly onerous, the Minister may, by writing signed by the Minister, exempt the organisation, wholly or in part, from those requirements.
8
Marriage Act 1961
Marriageable age and marriages of minors Part II
Section 10
Part II—Marriageable age and marriages of minors 10 Application of Part (1) The whole of this Part applies, notwithstanding any common law rule of private international law, in relation to: (a) marriages to which Division 2 of Part IV applies; and (b) marriages under Part V. (2) Sections 11 and 12 and, so far as they have application in relation to those sections, sections 18 and 19 apply in relation to: (a) marriages to which Division 3 of Part IV applies; and (b) the marriage of a person domiciled in Australia, wherever that marriage takes place.
11 Marriageable age Subject to section 12, a person is of marriageable age if the person has attained the age of 18 years.
12 Authorisation of marriage of person under age of 18 years in exceptional circumstances (1) A person who has attained the age of 16 years but has not attained the age of 18 years may apply to a Judge or magistrate in a State or Territory for an order authorising him or her to marry a particular person of marriageable age despite the fact that the applicant has not attained the age of 18 years. (2) The Judge or magistrate shall, subject to subsection (4), hold an inquiry into the relevant facts and circumstances and, if satisfied that: (a) the applicant has attained the age of 16 years; and (b) the circumstances of the case are so exceptional and unusual as to justify the making of the order; the Judge or magistrate may, in his or her discretion, make the order sought, but otherwise the Judge or magistrate shall refuse the application. Marriage Act 1961
9
Part II Marriageable age and marriages of minors
Section 13 (3) Subject to subsection (5), where a Judge or a magistrate has made such an order, the person on whose application the order was made is, in relation to his or her marriage to the other person specified in the order, but not otherwise, of marriageable age. (4) Where a Judge or a magistrate to whom an application is made under this section is satisfied that the matter could more properly be dealt with by a Judge or a magistrate sitting at a place nearer the place where the applicant ordinarily resides, the Judge or magistrate may, in his or her discretion, refuse to proceed with the hearing of the application, but such a refusal shall not, for the purposes of section 19, be deemed to be a refusal of the application. (5) Where an order is made under this section and the marriage to which the order relates does not take place within 3 months after the date of the order, the order ceases to have effect.
13 Marriage of minor not to be solemnised without consent of parents etc. (1) Subject to this Part, where a party to an intended marriage, not having previously been married, is a minor, the marriage shall not be solemnised unless there is produced to the person by whom or in whose presence the marriage is solemnised: (a) in respect of each person whose consent is required by this Act to the marriage of the minor, not being a person to whom paragraph (b) is applicable: (i) the consent in writing of that person, duly witnessed and dated not earlier than 3 months before the date on which the marriage is solemnised or, in such cases as are prescribed, such other evidence that the consent of that person to the intended marriage has been given not earlier than that time as the regulations declare to be sufficient for the purposes of this section; or (ii) an effective consent in writing of a magistrate or a Judge under this Part in place of the consent of that person; and (b) in respect of any person whose consent to the marriage of the minor has been dispensed with by a prescribed authority— the dispensation in writing signed by the prescribed authority.
10
Marriage Act 1961
Marriageable age and marriages of minors Part II
Section 13 (2) For the purposes of subsection (1), the consent of a person is only duly witnessed if the signature of that person was witnessed: (a) if the consent is signed in Australia—by one of the following persons: (i) an authorised celebrant; (ii) a Commissioner for Declarations under the Statutory Declarations Act 1959; (iii) a justice of the peace; (iv) a barrister or solicitor; (v) a legally qualified medical practitioner; (vi) a member of the Australian Federal Police or the police force of a State or Territory; or (b) if the consent is signed in any other place—by one of the following persons: (i) an Australian Diplomatic Officer; (ii) an Australian Consular Officer; (iii) a minister of religion of that place; (iv) a judge of a court of that place; (v) a magistrate or justice of the peace of or for that place; (vi) a notary public; (vii) an employee of the Commonwealth authorised under paragraph 3(c) of the Consular Fees Act 1955; (viii) an employee of the Australian Trade Commission authorised under paragraph 3(d) of the Consular Fees Act 1955. (3) A person shall not subscribe his or her name as a witness to the signature of a person to a consent to a marriage unless: (a) the person is satisfied on reasonable grounds as to the identity of that person; and (b) the consent bears the date on which the person subscribes his or her name as a witness. (4) A person shall not solemnise a marriage if the person has reason to believe that: (a) a person whose consent in writing to the marriage of one of the parties is or has been produced for the purposes of this section has revoked his or her consent;
Marriage Act 1961
11
Part II Marriageable age and marriages of minors
Section 14 (b) the signature of a person to a consent produced for the purposes of this section is forged or has been obtained by fraud; (c) a consent produced for the purposes of this section has been altered in a material particular without authority; or (d) a dispensation with the consent of a person that has been produced in relation to the marriage has ceased to have effect.
14 Persons whose consent is required (1) The person or persons whose consent is required by this Act to the marriage of a minor shall, subject to this section, be ascertained by reference to the Schedule according to the facts and circumstances existing in relation to the minor. (2) For the purposes of the Schedule, a minor is an adopted child if the minor was adopted under the law of a State or Territory or under the law of any other place. (3) Where an Act, a State Act or an Ordinance of any Territory of the Commonwealth provides that a person specified in the Act, State Act or Ordinance is to be the guardian of a minor, or requires that a specified person is to be deemed to be the guardian of a minor, to the exclusion of any parent or other guardian of the minor, that person is the person whose consent is required by this Act to the marriage of the minor. (4) Where, under a State Act or an Ordinance of any Territory of the Commonwealth, a person specified in the State Act or Ordinance is to be, or is to be deemed to be, a guardian of a minor in addition to the parents or other guardian of the minor, the consent of that person is required to the marriage of the minor in addition to the consent of the person or persons ascertained in accordance with the Schedule.
15 Prescribed authority may dispense with consent in certain cases (1) Subject to this section, a prescribed authority may, upon application in writing by a minor, dispense with the consent of a person to a proposed marriage of the minor where the prescribed authority:
12
Marriage Act 1961
Marriageable age and marriages of minors Part II
Section 16 (a) is satisfied that it is impracticable, or that it is impracticable without delay that would, in all the circumstances of the case, be unreasonable, to ascertain the views of that person with respect to the proposed marriage; (b) has no reason to believe that that person would refuse his or her consent to the proposed marriage; and (c) has no reason to believe that facts may exist by reason of which it could reasonably be considered improper that the consent should be dispensed with. (2) An application under this section shall be supported by a statutory declaration by the applicant setting out the facts and circumstances on which the application is based and may be supported by the statutory declaration of some other person. (3) The applicant shall state in his or her statutory declaration whether he or she has made any previous applications under this section that have been refused and the date on which each such application was refused. (4) This section does not authorise a prescribed authority to dispense with the consent of a person to a marriage of a minor where any other person whose consent to the marriage is required by this Act has refused to give consent, unless a magistrate or a Judge has, in pursuance of this Part, given consent in place of the consent of that other person. (5) For the purposes of this section, the fact that a person does not reside in, or is absent from, Australia shall not of itself be deemed to make it impracticable to ascertain the views of that person.
16 Consent by magistrate where parent etc. refuses consent etc. (1) Where, in relation to a proposed marriage of a minor: (a) a person whose consent to the marriage is required by this Act refuses to consent to the marriage; or (b) an application by the minor under section 15 to dispense with the consent of a person to the marriage is refused; the minor may apply to a Judge or magistrate for the consent of a Judge or the magistrate to the marriage in place of the consent of that person.
Marriage Act 1961
13
Part II Marriageable age and marriages of minors
Section 16 (2) The Judge or magistrate shall, subject to subsections (2A) and (3), hold an inquiry into the relevant facts and circumstances and, if satisfied: (a) in a case to which paragraph (1)(a) applies—that the person who has refused to consent to the marriage has refused consent unreasonably; or (b) in a case to which paragraph (1)(b) applies—that, having proper regard for the welfare of the minor, it would be unreasonable for the Judge or magistrate to refuse consent to the proposed marriage; may give consent to the marriage in place of the consent of the person in relation to whose consent the application is made. (2A) A Judge or magistrate shall not proceed with an inquiry in accordance with subsection (2) unless: (a) there has been produced to the Judge or magistrate a certificate in the prescribed form signed by a family counsellor certifying that the applicant has received counselling from the family counsellor in relation to the proposed marriage; or (b) the Judge or magistrate is satisfied that counselling by a family counsellor is not reasonably available to the applicant. (3) Where a magistrate to whom an application is made under this section is satisfied that the matter could more properly be dealt with by a magistrate sitting at a place nearer the place where the applicant ordinarily resides, the magistrate may, in his or her discretion, refuse to proceed with the hearing of the application, but such a refusal shall not, for the purposes of sections 17 and 19, be deemed to be a refusal of the application. (4) Where a magistrate grants an application under subsection (1), the magistrate shall not issue consent in writing to the marriage before the expiration of the time prescribed for the purposes of section 17 and if, within that time, a request for a re-hearing is made under that section, the magistrate shall not issue consent unless that request is withdrawn. (5) Where a Judge or magistrate gives consent to the marriage of a minor in place of the consent of a person who has refused to consent to the marriage, the Judge or magistrate may also, upon application by the minor, give consent in place of the consent of
14
Marriage Act 1961
Marriageable age and marriages of minors Part II
Section 17 any other person if the Judge or magistrate is satisfied that it is impracticable, or that it is impracticable without delay that would, in all the circumstances of the case, be unreasonable, to ascertain the views of that person with respect to the proposed marriage. (6) For the purposes of subsection (5), the fact that a person does not reside in, or is absent from, Australia shall not of itself be deemed to make it impracticable to ascertain the views of that person. (7) In this section family counsellor has the same meaning as in the Family Law Act 1975.
17 Re-hearing of applications by a Judge (1) Where: (a) an application to a magistrate under subsection 16(1) or (5) is refused; or (b) an application to a magistrate under subsection 16(1) is granted; the applicant or the person in relation to whose consent the application was made, as the case requires, may, in the prescribed manner and within the prescribed time, request that the application be re-heard by a Judge in the State or Territory in which it was heard, and a Judge may re-hear the application accordingly. (2) The provisions of subsections 16(2), (5) and (6) apply, so far as they are applicable, in relation to the re-hearing of an application made under section 16 and, for the purpose of such a re-hearing, references in those provisions to the magistrate dealing with an application shall be read as references to the Judge re-hearing the application.
18 Provisions applicable to inquiries by Judge or magistrate (1) In conducting an inquiry under this Part, a Judge or a magistrate: (a) is not bound by the rules of evidence; and (b) shall give to the applicant and, so far as is reasonably practicable, any person whose consent to the marriage of the applicant is required by this Act, an opportunity of being heard.
Marriage Act 1961
15
Part II Marriageable age and marriages of minors
Section 19 (2) An inquiry by a Judge or a magistrate under this Part shall be held in private. (3) An applicant or other person who is given an opportunity of being heard at an inquiry under this Part may be represented by a barrister or solicitor.
19 Restriction on applications under sections 12, 15 and 16 (1) Where, in relation to a proposed marriage of a minor to a particular person: (a) an application under section 15 has been refused by a prescribed authority; (b) an application under section 16 has been refused by a magistrate or a Judge; or (c) an application under section 12 has been refused by a magistrate or a Judge; a further application under the same section by the same person in relation to the proposed marriage shall not be considered by any prescribed authority, magistrate or Judge within 6 months after the refusal of the application, unless the applicant satisfies the prescribed authority, magistrate or Judge to whom the further application is made that there has been a substantial change in the relevant facts or circumstances since the refusal of the former application. (2) The fact that an application is heard or dealt with in contravention of subsection (1) does not affect the validity of an order made, or the effectiveness of a consent given, upon the application or the re-hearing of the application or make ineffective any dispensation with a consent granted on the application.
20 Effect of consent of magistrate or Judge Subject to section 21, where a magistrate or a Judge gives his or her consent to the marriage of a minor in place of the consent of another person, his or her consent operates, for the purposes of this Act, as the consent of that other person.
16
Marriage Act 1961
Marriageable age and marriages of minors Part II
Section 21
21 Consent by magistrate or Judge and dispensation with consent to be ineffective after 3 months etc. (1) A consent to a marriage given by a magistrate or a Judge in place of the consent of another person ceases to have effect if the marriage does not take place within 3 months after the date of the consent. (2) A dispensation with the consent of a person to a marriage ceases to have effect if: (a) the marriage does not take place within 3 months after the date of the dispensation; or (b) before the marriage takes place, the person whose consent has been dispensed with notifies, by writing signed by the person or in any other prescribed manner, the person to whom notice of the intended marriage has been given under this Act or, in the case of an intended marriage under Division 3 of Part V, the chaplain by whom or in whose presence the marriage is intended to be solemnised, that the first-mentioned person does not consent to the marriage. (3) Where a consent by a magistrate or a Judge or a dispensation with the consent of a person by a prescribed authority has ceased to have effect, the provisions of this Act apply as if the consent had not been given or dispensed with, as the case may be.
Marriage Act 1961
17
Part III Void marriages Division 1 Marriages solemnised on or after 20 June 1977 and before the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985
Section 22
Part III—Void marriages Division 1—Marriages solemnised on or after 20 June 1977 and before the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 22 Division to be subject to application of private international law Subject to section 10, Part V, section 56 and any regulations made in accordance with paragraph 120(f), this Division has effect subject to the common law rules of private international law.
23 Grounds on which marriages are void (1) A marriage that took place on or after 20 June 1977 and before the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 is void where: (a) either of the parties was, at the time of the marriage, lawfully married to some other person; (b) the parties are within a prohibited relationship; (c) by reason of section 48 the marriage is not a valid marriage; (d) the consent of either of the parties was not a real consent because: (i) it was obtained by duress or fraud; (ii) that party was mistaken as to the identity of the other party or as to the nature of the ceremony performed; or (iii) that party was mentally incapable of understanding the nature and effect of the marriage ceremony; or (e) either of the parties was not of marriageable age; and not otherwise. (2) Marriages of parties within a prohibited relationship are marriages: (a) between a person and an ancestor or descendant of the person; or (b) between a brother and a sister (whether of the whole blood or the half-blood).
18
Marriage Act 1961
Void marriages Part III Marriages solemnised on or after 20 June 1977 and before the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 Division 1
Section 23 (3) Any relationship specified in subsection (2) includes a relationship traced through, or to, a person who is or was an adopted child, and, for that purpose, the relationship between an adopted child and the adoptive parent, or each of the adoptive parents, of the child, shall be deemed to be or to have been the natural relationship of child and parent. (4) Nothing in subsection (3) makes it lawful for a person to marry a person whom the first-mentioned person could not lawfully have married if that subsection had not been enacted. (5) For the purposes of this section: (a) a person who has at any time been adopted by another person shall be deemed to remain the adopted child of that other person notwithstanding that any order by which the adoption was effected has been annulled, cancelled or discharged or that the adoption has for any other reason ceased to be effective; and (b) a person who has been adopted on more than one occasion shall be deemed to be the adopted child of each person by whom he or she has been adopted. (6) For the purposes of this section: adopted, in relation to a child, means adopted under the law of any place (whether in or out of Australia) relating to the adoption of children. ancestor, in relation to a person, means any person from whom the first-mentioned person is descended including a parent of the first-mentioned person.
Marriage Act 1961
19
Part III Void marriages Division 2 Marriages solemnised after the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985
Section 23A
Division 2—Marriages solemnised after the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 23A Application of Division (1) Notwithstanding subsection 42(2) of the Family Law Act 1975, but subject to subsection (2) of this section, this Division applies in relation to: (a) all marriages solemnised in Australia; and (b) all marriages under Part V. (2) This Division does not apply in relation to marriages to which Division 3 of Part IV applies.
23B Grounds on which marriages are void (1) A marriage to which this Division applies that takes place after the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 is void where: (a) either of the parties is, at the time of the marriage, lawfully married to some other person; (b) the parties are within a prohibited relationship; (c) by reason of section 48 the marriage is not a valid marriage; (d) the consent of either of the parties is not a real consent because: (i) it was obtained by duress or fraud; (ii) that party is mistaken as to the identity of the other party or as to the nature of the ceremony performed; or (iii) that party is mentally incapable of understanding the nature and effect of the marriage ceremony; or (e) either of the parties is not of marriageable age; and not otherwise. (2) Marriages of parties within a prohibited relationship are marriages: (a) between a person and an ancestor or descendant of the person; or
20
Marriage Act 1961
Void marriages Part III Marriages solemnised after the commencement of section 13 of the Marriage Amendment Act 1985 Division 2
Section 23B (b) between a brother and a sister (whether of the whole blood or the half-blood). (3) Any relationship specified in subsection (2) includes a relationship traced through, or to, a person who is or was an adopted child, and, for that purpose, the relationship between an adopted child and the adoptive parent, or each of the adoptive parents, of the child shall be deemed to be or to have been the natural relationship of child and parent. (4) Nothing in subsection (3) makes it lawful for a person to marry a person whom the first-mentioned person could not lawfully have married if that subsection had not been enacted. (5) For the purposes of this section: (a) a person who has at any time been adopted by another person shall be deemed to remain the adopted child of that other person notwithstanding that any order by which the adoption was effected has been annulled, cancelled or discharged or that the adoption has for any other reason ceased to be effective; and (b) a person who has been adopted on more than one occasion shall be deemed to be the adopted child of each person by whom the first-mentioned person has been adopted. (6) For the purposes of this section: adopted, in relation to a child, means adopted under the law of any place (whether in or out of Australia) relating to the adoption of children. ancestor, in relation to a person, means any person from whom the first-mentioned person is descended including a parent of the first-mentioned person.
Marriage Act 1961
21
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 25
Part IV—Solemnisation of marriages in Australia Division 1—Authorised celebrants Subdivision A—Ministers of religion 25 Interpretation (1) In this Subdivision: (a) a reference to a Registrar shall be read as a reference to a Registrar of Ministers of Religion; and (b) a reference to a register shall be read as a reference to a register kept for the purposes of this Subdivision. (2) For the purposes of this Subdivision, a person who is serving outside Australia as a member of the Defence Force and was, immediately before the person became a member of the Defence Force, ordinarily resident in a State or Territory shall be deemed, while the person is so serving, to be ordinarily resident in that State or Territory.
26 Recognised denominations The Governor-General may, by Proclamation, declare a religious body or a religious organisation to be a recognised denomination for the purposes of this Act.
27 Registers of ministers of religion (1) For the purposes of this Subdivision, there shall be, for each State and Territory, a Registrar of Ministers of Religion and a Deputy Registrar of Ministers of Religion, who shall be appointed by the Minister. (2) In the event of the absence, through illness or otherwise, of the Registrar, or of a vacancy in the office of the Registrar, the Deputy Registrar has all the powers, and shall perform all the duties and functions, of the Registrar during the absence or vacancy.
22
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Authorised celebrants Division 1
Section 28 (3) Unless and until another person is appointed to be the Registrar of Ministers of Religion for a particular Territory, the person having, under the law of that Territory, the function of maintaining a register of all marriages solemnised in that Territory shall be the Registrar for that Territory. (4) The Registrar for a State or Territory shall keep a register, in such form as the Minister determines, of ministers of religion ordinarily resident in the State or Territory who are entitled to registration under this Subdivision.
28 Transfer of State registers (1) The Governor-General may make arrangements with the Governor of a State for the transfer to the Commonwealth of any register of persons authorised to solemnise marriages in that State kept by an officer of that State immediately before the commencement of this Act. (2) A copy of each arrangement made under this section shall be published in the Gazette. (3) A register of a State transferred to the Commonwealth in pursuance of an arrangement made under this section, and a register of persons authorised to solemnise marriages kept in relation to a Territory immediately before the commencement of this Act, shall be deemed to form part of the register kept for that State or that Territory, as the case may be, for the purposes of this Subdivision. (4) A person registered in a register so transferred or kept who is, immediately after the commencement of this Act, a minister of religion of a recognised denomination shall be deemed to be so registered in pursuance of this Subdivision, and the Registrar by whom the register is kept shall remove from that register the name of any other person.
29 Qualifications for registration under this Subdivision Subject to this Subdivision, a person is entitled to registration under this Subdivision if: (a) the person is a minister of religion of a recognised denomination;
Marriage Act 1961
23
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 30 (b) the person is nominated for registration under this Subdivision by that denomination; (c) the person is ordinarily resident in Australia; and (d) the person has attained the age of 21 years.
30 Registrar to register applicant (1) Subject to this Subdivision, the Registrar for a State or Territory shall, on application in accordance with the regulations, by a person ordinarily resident in that State or Territory who is entitled to registration under this Subdivision, register that person in the register kept by that Registrar. (2) The particulars set out in an application for registration under this Subdivision shall be verified by the applicant by statutory declaration.
31 Applicant may be refused registration in certain circumstances (1) A Registrar to whom an application for registration under this Subdivision is made may refuse to register the applicant if, in the opinion of the Registrar: (a) there are already registered under this Subdivision sufficient ministers of religion of the denomination to which the applicant belongs to meet the needs of the denomination in the locality in which the applicant resides; (b) the applicant is not a fit and proper person to solemnise marriages; or (c) the applicant is unlikely to devote a substantial part of his or her time to the performance of functions generally performed by a minister of religion.
32 Effect of registration A minister of religion who is registered under this Subdivision in any register may solemnise marriages at any place in Australia.
24
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Authorised celebrants Division 1
Section 33
33 Removal from register (1) Subject to this section, a Registrar shall remove the name of a person from the register kept by that Registrar if he or she is satisfied that: (a) that person has requested that his or her name be so removed; (b) that person has died; (c) the denomination by which that person was nominated for registration, or in respect of which that person is registered, no longer desires that that person be registered under this Subdivision or has ceased to be a recognised denomination; (d) that person: (i) has been guilty of such contraventions of this Act or the regulations as to show him or her not to be a fit and proper person to be registered under this Subdivision; (ii) has been making a business of solemnising marriages for the purpose of profit or gain; or (iii) is not a fit and proper person to solemnise marriages; or (e) that person is, for any other reason, not entitled to registration under this Subdivision. (2) A Registrar shall not remove the name of a person from a register under this section on a ground specified in paragraph (1)(d) or (e) unless: (a) the Registrar has, in accordance with the regulations, served on the person a notice in writing: (i) stating the Registrar’s intention to do so on that ground unless, not later than a date specified in the notice and being not less than 21 days from the date of service of the notice, the person satisfies the Registrar that the person’s name should not be removed from the register; and (ii) informing the person that any representations made to the Registrar before that date will be considered by the Registrar; (b) the Registrar has considered any representations made by the person before the date specified in the notice; and (c) the removal takes place within 14 days after the date specified in the notice.
Marriage Act 1961
25
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 34 (3) Where notice is served on a person under subsection (2), that person shall not solemnise a marriage unless and until: (a) the person is notified by the Registrar that the Registrar has decided not to remove the person’s name from the register; (b) a period of 14 days has elapsed from the date specified in the notice under subsection (2) and the person’s name has not been removed from the register; or (c) the person’s name, having been removed from the register, is restored to the register.
34 Review of refusal to register or removal from register (1) An application may be made to the Administrative Appeals Tribunal for a review of a decision of a Registrar made on or after 1 July 1976: (a) refusing to register a person who has applied for registration under this Subdivision; or (b) removing the name of a person from a register in pursuance of section 33. (3) The reference in subsection (1) to a decision of a Registrar includes a reference to a decision of a Deputy Registrar of Ministers of Religion given in pursuance of subsection 27(2). (4) Where the Tribunal sets aside a decision refusing to register a person or a decision under section 33 removing the name of a person from a register, the appropriate Registrar shall forthwith register the person, or restore the name of the person to the register, as the case requires. (5) For the purposes of the making of an application under subsection (1) and for the purposes of the operation of the Administrative Appeals Tribunal Act 1975 in relation to such an application, where a person has made application under subsection 30(1) for registration under this Subdivision and, at the expiration of a period of 3 months from the day on which the application was made, the person has not been registered and has not been notified by the Registrar that that person’s application has been refused, the Registrar shall be deemed to have decided, on the last day of that period, not to register that person.
26
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Authorised celebrants Division 1
Section 35
35 Change of address etc. to be notified (1) Where a person registered under this Subdivision: (a) changes his or her name, address or designation; or (b) ceases to exercise, or ceases to be entitled to exercise, the functions of a minister of religion of the denomination by which he or she was nominated for registration or in respect of which he or she is registered; the person shall, within 30 days thereafter, notify the Registrar by whom the register in which the person is registered is kept of that fact in accordance with the regulations. (2) The Registrar may, upon receiving notification of a change of name, address or designation under subsection (1) or if the Registrar is otherwise satisfied that the particulars shown in the register in respect of a person are not correct, amend the register accordingly.
36 Transfer to another State etc. (1) Where a person whose name is included in the register for a particular State or Territory is ordinarily resident in another State or Territory, the Registrar by whom the register is kept shall, subject to this section, remove the name of that person from that register. (2) Where the name of a person referred to in subsection (1) is not included in the register for the State or Territory in which the person is ordinarily resident, the Registrar for that State or Territory may enter the name of that person in the register kept by that Registrar, and the name of that person shall not be removed from a register by virtue of subsection (1) unless and until it has been so entered.
37 Furnishing of information by recognised denominations The regulations may make provision for, and in relation to, the furnishing to Registrars by each recognised denomination of: (a) information as to matters affecting the right to registration under this Subdivision of persons who are so registered as ministers of religion of that denomination; and
Marriage Act 1961
27
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 38 (b) an annual list of persons registered under this Subdivision as ministers of religion of that denomination who are exercising the functions of a minister of religion of that denomination.
38 Registrars to furnish information to Attorney-General Each Registrar shall, if the Secretary of the Department so requests, furnish to the Secretary: (a) a list of ministers of religion registered by that Registrar under this Subdivision during the period specified in the request, showing the full name, designation, residential or postal address and religious denomination of each minister; and (b) particulars of any other alterations to the register kept by that Registrar under this Subdivision made during that period.
Subdivision B—State and Territory officers etc. 39 Authorisation of State and Territory officers etc. (1) A person who, under the law of a State or Territory, has the function of registering marriages solemnised in the State or Territory or a part of the State or Territory may solemnise marriages in that State or Territory or in that part of the State or Territory, as the case may be. (2) The Minister may, by instrument in writing, authorise other officers of a State or Territory to solemnise marriages. (3) An authorisation under subsection (2): (a) may authorise a person to solemnise marriages at any place in Australia or only in the part or parts of Australia specified in the instrument of authorisation; and (b) is subject to such conditions (if any) as are specified in the instrument.
Subdivision C—Marriage celebrants 39A Registrar of Marriage Celebrants
28
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Authorised celebrants Division 1
Section 39B (1) There is to be a position occupied (on an acting, permanent, full-time or part-time basis) by an APS employee in the Department, the duties of which are expressed to consist of, or include, the performance of the functions given to the Registrar of Marriage Celebrants by or under this Act. (2) The APS employee occupying the position from time to time is the Registrar of Marriage Celebrants. (3) The Registrar of Marriage Celebrants is to perform those functions and has power to do all things necessary or convenient to be done for or in connection with the performance of those functions.
39B Register of marriage celebrants (1) The Registrar of Marriage Celebrants is to maintain a register of marriage celebrants. (2) The register may be kept in any way the Registrar thinks appropriate, including by electronic means. (3) The register may be made available for inspection in any way the Registrar thinks appropriate. (4) All information contained in the register must be made available on the internet. (5) Any or all of the information contained in the register may also be disseminated in any other way the Registrar thinks appropriate, including by electronic means.
39C Entitlement to be registered as a marriage celebrant (1) A person is only entitled to be registered as a marriage celebrant if the person is an individual and the Registrar of Marriage Celebrants is satisfied that the person: (a) is aged 18 years or over; and (b) has all the qualifications, and/or skills, determined in writing to be necessary by the Registrar in accordance with regulations made for the purposes of this paragraph; and (c) is a fit and proper person to be a marriage celebrant.
Marriage Act 1961
29
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 39D (2) In determining whether the Registrar is satisfied that the person is a fit and proper person to be a marriage celebrant, the Registrar must take into account: (a) whether the person has sufficient knowledge of the law relating to the solemnisation of marriages by marriage celebrants; and (b) whether the person is committed to advising couples of the availability of relationship support services; and (c) whether the person is of good standing in the community; and (d) whether the person has been convicted of an offence, punishable by imprisonment for one year or longer, against a law of the Commonwealth, a State or a Territory; and (e) whether the person has an actual or potential conflict of interest between his or her practice, or proposed practice, as a marriage celebrant and his or her business interests or other interests; and (f) whether the person’s registration as a marriage celebrant would be likely to result in the person gaining a benefit in respect of another business that the person owns, controls or carries out; and (g) whether the person will fulfil the obligations under section 39G; and (h) any other matter the Registrar considers relevant to whether the person is a fit and proper person to be a marriage celebrant. (3) Nothing in this section affects the operation of Part VIIC of the Crimes Act 1914 (which includes provisions that, in certain circumstances, relieve persons from the requirement to disclose spent convictions and require persons aware of such convictions to disregard them).
39D Registration as a marriage celebrant (1) A person may apply to be registered as a marriage celebrant by giving the Registrar of Marriage Celebrants: (a) a completed application in the form specified by regulations made for the purposes of this paragraph; and (b) any statutory declarations required by the form.
30
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Authorised celebrants Division 1
Section 39E (2) The Registrar must deal with applications in the order in which they are received. (3) In dealing with an application, the Registrar: (a) must have regard to the information in the application; and (b) may have regard to any other information in his or her possession; and (c) is not required to seek any further information. (4) The Registrar must register a person as a marriage celebrant if: (a) the person has applied in accordance with subsection (1); and (b) the Registrar is satisfied that the person is entitled to be registered as a marriage celebrant. The Registrar must not register a person as a marriage celebrant in any other circumstances. (5) The Registrar registers a person as a marriage celebrant by entering in the register of marriage celebrants all details relating to the person that are required by regulations made for the purposes of this subsection. (6) If the Registrar registers a person as a marriage celebrant, the Registrar must notify the person in accordance with regulations made for the purposes of this subsection. (7) If the Registrar decides not to register a person as a marriage celebrant after dealing with the person’s application, the Registrar must inform the applicant in writing of: (a) the decision; and (b) the reasons for it; and (c) the person’s right under section 39J (if any) to apply for review of the decision.
39E Capping of number of marriage celebrants for 5 years (1) Despite subsection 39D(4), the Registrar of Marriage Celebrants must not register a person as a marriage celebrant if doing so would cause the breach of any applicable limit on the number of marriage celebrants determined in accordance with regulations made for the purposes of this subsection. Note:
A person who, because of this section, is not registered is entitled to written notice under subsection 39D(7).
Marriage Act 1961
31
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 39F (2) Subsection (1) ceases to have effect at the end of the period of 5 years after this section commences.
39F Effect of registration A person who is registered as a marriage celebrant may solemnise marriages at any place in Australia.
39G Obligations of each marriage celebrant A marriage celebrant must: (a) conduct himself or herself in accordance with the Code of Practice for marriage celebrants prescribed by regulations made for the purposes of this paragraph; and (b) undertake all professional development activities required by the Registrar of Marriage Celebrants in accordance with regulations made for the purposes of this paragraph; and (c) notify the Registrar, in writing, within 30 days of: (i) a change that results in the details entered in the register in relation to the person no longer being correct; or (ii) the occurrence of an event that might have caused the Registrar not to register the person as a marriage celebrant if the event had occurred before the person was registered. Note:
If a marriage celebrant fails to comply with these obligations, the Registrar may take disciplinary measures under section 39I.
39H Performance reviews (1) The Registrar of Marriage Celebrants must regularly review each marriage celebrant’s performance to determine whether the Registrar considers that the marriage celebrant’s performance is satisfactory. (2) The first review must be completed within 5 years of the marriage celebrant being registered and must cover the period between registration and the end of the review. Each later review must be completed within 5 years of the previous review and must cover the period since the previous review. (3) In reviewing the performance of a marriage celebrant, the Registrar:
32
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Authorised celebrants Division 1
Section 39I (a) must consider the matters prescribed by regulations made for the purposes of this paragraph; and (b) may have regard to any information in his or her possession, but is not required to seek any further information. (4) The Registrar must not determine that a marriage celebrant’s performance in respect of a period was not satisfactory unless: (a) the Registrar has, in accordance with regulations made for the purposes of this paragraph, given the marriage celebrant a written notice: (i) stating the Registrar’s intention to make the determination unless, before the date specified in the notice (which must be at least 21 days after the date on which the notice was given), the marriage celebrant satisfies the Registrar that the marriage celebrant’s performance in respect of the period was satisfactory; and (ii) informing the marriage celebrant that any representations made to the Registrar before that date will be considered by the Registrar; and (b) the Registrar has considered any representations made by the marriage celebrant before the date specified in the notice; and (c) the determination is made in writing within 14 days after the date specified in the notice.
39I Disciplinary measures (1) The Registrar of Marriage Celebrants may only take disciplinary measures against a marriage celebrant if the Registrar: (a) is satisfied that the marriage celebrant is no longer entitled to be registered as a marriage celebrant; or (b) is satisfied that the marriage celebrant has not complied with an obligation under section 39G; or (c) has determined in writing under section 39H that the marriage celebrant’s performance in respect of a period was not satisfactory; or (d) is satisfied that it is appropriate to take disciplinary measures against the marriage celebrant after considering a complaint in accordance with the complaints resolution procedures established under paragraph 39K(c); or
Marriage Act 1961
33
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 39I (e) is satisfied that the marriage celebrant’s application for registration was known by the marriage celebrant to be false or misleading in a material particular. (2) The only disciplinary measures that the Registrar may take against a marriage celebrant are to: (a) caution the marriage celebrant in writing; or (b) in accordance with regulations made for the purposes of this paragraph, require the marriage celebrant to undertake professional development activities determined in writing by the Registrar; or (c) suspend the marriage celebrant’s registration for a period (the suspension period) of up to 6 months by annotating the register of marriage celebrants to include: (i) a statement that the registration is suspended; and (ii) the dates of the start and end of the suspension period; or (d) deregister the marriage celebrant by removing his or her details from the register of marriage celebrants. Note:
A decision to suspend a marriage celebrant’s registration, or to deregister a marriage celebrant, is reviewable under section 39J.
(3) If the Registrar suspends a marriage celebrant’s registration for a particular period, section 39F does not apply in respect of the marriage celebrant during the period. (4) If the Registrar decides to take disciplinary measures against a marriage celebrant, the Registrar: (a) must give the marriage celebrant written notice of: (i) the decision; and (ii) the reasons for it; and (iii) the disciplinary measure that is being taken; and (iv) the marriage celebrant’s right under section 39J to apply for review of the decision; and (b) may inform the community, in any way the Registrar thinks appropriate, including by electronic means, that the disciplinary measure is being taken against the marriage celebrant.
34
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Authorised celebrants Division 1
Section 39J
39J Review of decisions (1) An application may be made to the Administrative Appeals Tribunal for a review of a decision of the Registrar of Marriage Celebrants: (a) not to register a person as a marriage celebrant (unless a ground for the decision was that the Registrar would breach section 39E by registering the person); or (b) to suspend a person’s registration as a marriage celebrant; or (c) to deregister a marriage celebrant. (2) For the purposes of both the making of an application under subsection (1) and the operation of the Administrative Appeals Tribunal Act 1975 in relation to such an application, if: (a) a person has made application for registration as a marriage celebrant under section 39D; and (b) at the end of 3 months after the day on which the application was made, the person has not been: (i) registered; or (ii) notified by the Registrar that that person’s application has been refused; the Registrar is taken to have decided, on the last day of the 3 month period, not to register that person as a marriage celebrant. (3) The Registrar must take such action as is necessary to give effect to the Tribunal’s decision (even if doing so at the time the action is taken would cause a breach of a limit under section 39E).
39K Additional functions of the Registrar The Registrar of Marriage Celebrants must: (a) amend the register of marriage celebrants in accordance with regulations made for the purposes of this paragraph; and (b) keep records relating to marriage celebrants, and the register of marriage celebrants, in accordance with regulations made for the purposes of this paragraph; and (c) establish complaints resolution procedures, in accordance with regulations made for the purposes of this paragraph, to resolve complaints about the solemnisation of marriages by marriage celebrants; and
Marriage Act 1961
35
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 1 Authorised celebrants
Section 39L (d) perform any additional functions specified in regulations made for the purposes of this paragraph.
39L Registrar not liable for damages The Registrar of Marriage Celebrants is not liable to an action or other proceeding for damages in respect of anything done, or omitted to be done, in good faith in: (a) the exercise or performance; or (b) the purported exercise or performance; of powers or functions under this Act.
39M Evidence of registration etc. A certificate, signed by the Registrar of Marriage Celebrants, stating that, at a specified time, or during a specified period: (a) a person was registered as a marriage celebrant; or (b) a person’s registration as a marriage celebrant was suspended; or (c) a person was not registered as a marriage celebrant; is prima facie evidence of that fact.
36
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Marriages by authorised celebrants Division 2
Section 40
Division 2—Marriages by authorised celebrants 40 Application of Division (1) Subject to subsection (2), this Division applies to and in relation to all marriages solemnised, or intended to be solemnised, in Australia. (2) This Division does not apply to or in relation to marriages to which Division 3 of this Part applies.
41 Marriages to be solemnised by authorised celebrant A marriage shall be solemnised by or in the presence of an authorised celebrant who is authorised to solemnise marriages at the place where the marriage takes place.
42 Notice to be given and declaration made (1) Subject to this section, a marriage shall not be solemnised unless: (a) notice in writing of the intended marriage has been given in accordance with this section and has been received by the authorised celebrant solemnising the marriage not earlier than 18 months before the date of the marriage and not later than 1 month before the date of the marriage; (b) there has been produced to that authorised celebrant, in respect of each of the parties: (i) an official certificate, or an official extract of an entry in an official register, showing the date and place of birth of the party; or (ii) a statutory declaration made by the party or a parent of the party stating that, for reasons specified in the declaration, it is impracticable to obtain such a certificate or extract and stating, to the best of the declarant’s knowledge and belief and as accurately as the declarant has been able to ascertain, when and where the party was born; or (iii) a passport issued by a government of an overseas country, showing the date and place of birth of the party; and
Marriage Act 1961
37
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 2 Marriages by authorised celebrants
Section 42 (c) each of the parties has made and subscribed before that authorised celebrant a declaration, in accordance with the prescribed form, as to: (i) the party’s conjugal status; (ii) the party’s belief that there is no legal impediment to the marriage; and (iii) such other matters as are prescribed. (2) A notice under subsection (1): (a) shall be in accordance with the prescribed form and contain such particulars in relation to the parties as are indicated in the prescribed form; and (b) must be signed by each of the parties; and (c) if a party signs the notice in Australia—must be signed in the presence of: (i) an authorised celebrant; or (ii) a Commissioner for Declarations under the Statutory Declarations Act 1959; or (iii) a justice of the peace; or (iv) a barrister or solicitor; or (v) a legally qualified medical practitioner; or (vi) a member of the Australian Federal Police or the police force of a State or Territory; and (d) if a party signs the notice outside Australia—must be signed in the presence of: (i) an Australian Diplomatic Officer; or (ii) an Australian Consular Officer; or (iii) a notary public; or (iv) an employee of the Commonwealth authorised under paragraph 3(c) of the Consular Fees Act 1955; or (v) an employee of the Australian Trade Commission authorised under paragraph 3(d) of the Consular Fees Act 1955. (3) However, if the signature of a party to an intended marriage cannot conveniently be obtained at the time when it is desired to give notice under this section, a notice duly signed by the other party and otherwise complying with the provisions of this section shall, if it is signed by the first-mentioned party in the presence of an
38
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Marriages by authorised celebrants Division 2
Section 42 authorised celebrant before the marriage is solemnised, be deemed to have been a sufficient notice. (4) Where a party to an intended marriage is unable, after reasonable inquiry, to ascertain all of the particulars in relation to that party required to be contained in a notice under this section, the failure to include in the notice such of those particulars as the party is unable to ascertain does not make the notice ineffective for the purposes of this section if, at any time before the marriage is solemnised, that party furnishes to the authorised celebrant solemnising the marriage a statutory declaration as to that party’s inability to ascertain the particulars not included in the notice and the reason for that inability. (5) Despite a notice required by subsection (1) having been received later than 1 month before the date of the marriage, a prescribed authority may authorise an authorised celebrant to solemnise a marriage if the authority is satisfied that one or more of the circumstances prescribed in the regulations have been met. (5A) An authorised celebrant shall, as soon as practicable after receiving the notice referred to in subsection (1), give to the parties a document in the prescribed form outlining the obligations and consequences of marriage and indicating the availability of marriage education and counselling. (6) Where, by reason of the death, absence or illness of an authorised celebrant to whom a notice of intention to marry has been given, or for any other reason, it is impracticable for that person to solemnise the marriage, the marriage may be solemnised by any authorised celebrant who has possession of the notice. (7) The declarations of the parties required by subsection (1) shall both be written on the one paper and on the same side of that paper. (8) An authorised celebrant shall not solemnise a marriage: (a) unless the authorised celebrant has satisfied himself or herself that the parties are the parties referred to in the notice given under this section in relation to the marriage; or (b) if the authorised celebrant has reason to believe that: (i) a notice given under this section; or
Marriage Act 1961
39
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 2 Marriages by authorised celebrants
Section 42A (ii) a declaration made and subscribed under this section, or a statutory declaration made for the purposes of this section; in relation to the marriage, contains a false statement or an error or is defective. (9) An authorised celebrant may permit an error in a notice under this section to be corrected in his or her presence by either of the parties at any time before the marriage to which it relates has been solemnised and may treat the corrected notice as having been originally given in its corrected form. (10) Where the declaration made by a party under subsection (1) states that that party is a divorced person or a widow or widower, an authorised celebrant shall not solemnise the marriage unless there is produced to him or her evidence of that party’s divorce, or of the death of that party’s spouse, as the case requires.
42A Commissioner of Australian Federal Police or approved authority may issue special notice (1) If the Commissioner of the Australian Federal Police or a person who is an approved authority for the purposes of the Witness Protection Act 1994 gives to a Registrar a certificate under section 14 of that Act stating that the person has received the evidence referred to in paragraphs (b) and (c) of that section and the statutory declaration referred to in paragraph (d) of that section, the Registrar: (a) if he or she is to solemnise the marriage himself or herself— is to treat the certificate as satisfying the requirements of section 42; or (b) in any other case—is to give to the celebrant a notice in the prescribed form stating that the celebrant should treat the requirements of section 42 of this Act as having been met. (2) The names specified in the certificate are to be used in the marriage certificate.
43 Marriage may be solemnised on any day etc. A marriage may be solemnised on any day, at any time and at any place.
40
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Marriages by authorised celebrants Division 2
Section 44
44 Witnesses A marriage shall not be solemnised unless at least 2 persons who are, or appear to the person solemnising the marriage to be, over the age of 18 years are present as witnesses.
45 Form of ceremony (1) Where a marriage is solemnised by or in the presence of an authorised celebrant, being a minister of religion, it may be solemnised according to any form and ceremony recognised as sufficient for the purpose by the religious body or organisation of which he or she is a minister. (2) Where a marriage is solemnised by or in the presence of an authorised celebrant, not being a minister of religion, it is sufficient if each of the parties says to the other, in the presence of the authorised celebrant and the witnesses, the words: “I call upon the persons here present to witness that I, A.B. (or C.D.), take thee, C.D. (or A.B.), to be my lawful wedded wife (or husband)”; or words to that effect. (3) Where a marriage has been solemnised by or in the presence of an authorised celebrant, a certificate of the marriage prepared and signed in accordance with section 50 is conclusive evidence that the marriage was solemnised in accordance with this section. (4) Nothing in subsection (3) makes a certificate conclusive: (a) where the fact that the marriage ceremony took place is in issue—as to that fact; or (b) where the identity of a party to the marriage is in issue—as to the identity of that party.
46 Certain authorised celebrants to explain nature of marriage relationship (1) Subject to subsection (2), before a marriage is solemnised by or in the presence of an authorised celebrant, not being a minister of religion of a recognised denomination, the authorised celebrant shall say to the parties, in the presence of the witnesses, the words:
Marriage Act 1961
41
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 2 Marriages by authorised celebrants
Section 47 “I am duly authorised by law to solemnise marriages according to law. “Before you are joined in marriage in my presence and in the presence of these witnesses, I am to remind you of the solemn and binding nature of the relationship into which you are now about to enter. “Marriage, according to law in Australia, is the union of a man and a woman to the exclusion of all others, voluntarily entered into for life.”; or words to that effect. (2) Where, in the case of a person authorised under subsection 39(2) to solemnise marriages, the Minister is satisfied that the form of ceremony to be used by that person sufficiently states the nature and obligations of marriage, the Minister may, either by the instrument by which that person is so authorised or by a subsequent instrument, exempt that person from compliance with subsection (1) of this section.
47 Ministers of religion not bound to solemnise marriage etc. Nothing in this Part: (a) imposes an obligation on an authorised celebrant, being a minister of religion, to solemnise any marriage; or (b) prevents such an authorised celebrant from making it a condition of his or her solemnising a marriage that: (i) longer notice of intention to marry than that required by this Act is given; or (ii) requirements additional to those provided by this Act are observed.
48 Certain marriages not solemnised in accordance with this Division to be invalid (1) Subject to this section, a marriage solemnised otherwise than in accordance with the preceding provisions of this Division is not a valid marriage. (2) A marriage is not invalid by reason of all or any of the following: (a) failure to give the notice required by section 42, or a false statement, defect or error in such a notice;
42
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Marriages by authorised celebrants Division 2
Section 49 (b) failure of the parties, or either of them, to make or subscribe a declaration as required by section 42, or a false statement, defect or error in such a declaration; (c) failure to produce to the authorised celebrant a certificate or extract of an entry or a statutory declaration as required by section 42, or a false statement, defect or error in such a statutory declaration; (d) failure to comply with any other requirement of section 42, or any contravention of that section; (e) failure to comply with the requirements of section 44 or 46; (f) failure to comply with the requirements of section 13. (3) A marriage is not invalid by reason that the person solemnising it was not authorised by this Act to do so, if either party to the marriage, at the time the marriage was solemnised, believed that that person was lawfully authorised to solemnise it, and in such a case the form and ceremony of the marriage shall be deemed to have been sufficient if they were such as to show an intention on the part of each of the parties to become thereby the lawfully wedded spouse of the other.
49 Authorised celebrant to retain consents, statutory declarations etc. An authorised celebrant to whom a consent, dispensation with consent or statutory declaration is produced under this Act shall retain it in his or her possession until he or she deals with it in accordance with section 50.
50 Marriage certificates (1) Where an authorised celebrant solemnises a marriage, the authorised celebrant shall: (a) prepare a certificate of the marriage, in accordance with the prescribed form, for the purpose of issue to the parties to the marriage; and (b) prepare 2 official certificates of the marriage in accordance with the prescribed form. (1A) Notwithstanding paragraph (1)(b), the regulations may provide that the person for the time being holding or acting in a specified office
Marriage Act 1961
43
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 2 Marriages by authorised celebrants
Section 50 of a specified State or Territory shall prepare only 1 official certificate under that paragraph. (2) Immediately after the solemnisation of the marriage, the authorised celebrant, each of the parties to the marriage and 2 witnesses of the marriage who are, or appear to the authorised celebrant to be, over the age of 18 years shall sign each of the certificates so prepared. (3) One of the official certificates or the official certificate, as the case may be, shall be on the reverse side of the paper bearing the declarations made by the parties under section 42. (4) The authorised celebrant shall hand the certificate referred to in paragraph (1)(a) to one of the parties to the marriage on behalf of the parties, and: (a) where 2 official certificates have been prepared: (i) within 14 days after the solemnisation of the marriage, forward the official certificate to which subsection (3) applies, together with the notice under section 42, the order (if any) under section 12 and any statutory declarations, consents and dispensations with consents relating to the marriage that are in his or her possession, to the appropriate registering authority of a State or Territory ascertained in accordance with the regulations; and (ii) retain the other official certificate and deal with it in accordance with the regulations; or (b) where only 1 official certificate has been prepared—retain that certificate and deal with it in accordance with the regulations. (5) Where the authorised celebrant dies without having prepared and signed the certificates of the marriage, or where by reason of other special circumstances the Minister thinks it necessary to do so, the Minister may, if satisfied that the marriage was duly solemnised, prepare and sign the certificates with such modifications as are appropriate. (6) A certificate prepared and signed by the Minister under subsection (5) has the same force and effect as if it had been prepared and signed, in accordance with this section, by the authorised celebrant.
44
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Marriages by authorised celebrants Division 2
Section 51 (7) The regulations may make provision for and in relation to the furnishing of a substitute certificate in the event of the loss or destruction of a certificate of a marriage previously forwarded in pursuance of this section.
51 Incorrect marriage certificates (1) Where an authorised officer is satisfied, by statutory declaration or otherwise, that any particular in a certificate of marriage prepared and signed under section 50 is incorrect, the authorised officer may: (a) in the case of a certificate that has been handed to a party to the marriage or retained by the authorised celebrant—correct the certificate; and (b) in the case of a certificate that has been forwarded to a registering authority—certify to that authority that a specified correction is necessary. (2) For the purposes of exercising his or her powers under paragraph (1)(a) in relation to a certificate, an authorised officer may, by notice in writing served on a party to the marriage, or the authorised celebrant, as the case requires, require the party or the authorised celebrant to produce or forward the certificate to the authorised officer within a period (not being less than 7 days from the date of service of the notice) specified in the notice. (2A) Where a marriage has been solemnised, or purports to have been solemnised, under this Part, and the marriage is void, an authorised officer may, by notice in writing served on a party to the marriage, require the party to deliver or forward to the authorised officer, within a period (not being less than 7 days from the date of service of the notice) specified in the notice, the certificate required, by subsection 50(4), to be handed to a party to the marriage. (3) A notice referred to in subsection (2) or (2A) may be served by post. (4) In this section, authorised officer means a person authorised by the Minister to perform the functions of an authorised officer under this section.
Marriage Act 1961
45
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 3 Marriages by foreign diplomatic or consular officers
Section 52
Division 3—Marriages by foreign diplomatic or consular officers 52 Interpretation In this Division, unless the contrary intention appears: diplomatic or consular officer, in relation to an overseas country, means a person recognised by the Government of the Commonwealth as a diplomatic or consular representative of that overseas country in Australia. proclaimed overseas country means an overseas country in respect of which a Proclamation under section 54 is in force. the Registrar means the Registrar of Foreign Marriages.
53 Application of Division This Division applies to marriages, in accordance with the law or custom of a proclaimed overseas country, between parties of whom one at least possesses the nationality of that country.
54 Governor-General may declare countries to be proclaimed overseas countries The Governor-General may declare by Proclamation that a country is a proclaimed overseas country for the purposes of this Division if he or she is satisfied that the country’s law or custom authorises the solemnisation, by or in the presence of either or both diplomatic or consular officers of that country, of marriages outside that country.
55 Solemnisation of marriages in Australia by foreign diplomatic or consular officer Nothing in this Act prevents the solemnisation in Australia of a marriage to which this Division applies by or in the presence of a diplomatic or consular officer of a proclaimed overseas country if: (a) neither of the parties is an Australian citizen; and
46
Marriage Act 1961
Solemnisation of marriages in Australia Part IV Marriages by foreign diplomatic or consular officers Division 3
Section 56 (b) the marriage, were it a marriage to and in relation to which Division 2 of this Part applied, would not be void by reason of a circumstance set out in paragraph 23B(1)(a), (b) or (e).
56 Recognition of marriages (1) Subject to subsection (2), a marriage solemnised in Australia by or in the presence of a diplomatic or consular officer of a proclaimed overseas country, being a marriage to which section 55 was applicable, shall be recognised as valid in Australia if: (a) the marriage is recognised as a valid marriage by the law or custom of the overseas country; and (b) the marriage has been registered under this Division. (2) Subsection (1) does not apply in relation to a marriage where, if the marriage were a marriage to and in relation to which Division 2 of this Part applied, the marriage would be void by reason of a circumstance set out in paragraph 23B(1)(d).
57 Registrar and Deputy Registrar of Foreign Marriages (1) For the purposes of this Division, there shall be a Registrar of Foreign Marriages, who shall be appointed by the Minister. (2) The Registrar shall have a seal, which shall be in such form as the Minister determines. (3) The Minister may appoint a person to be Deputy Registrar of Foreign Marriages and, in the event of the absence, through illness or otherwise, of the Registrar, or of a vacancy in the office of Registrar, the Deputy Registrar has all the powers, and shall perform all the duties and functions, of the Registrar during the absence or vacancy. (4) The Deputy Registrar appointed under this section may, during any such absence, or vacancy in the office, of the Registrar, certify copies of entries, or extracts of entries, in the Register of Foreign Marriages Solemnised in Australia under his or her signature and the seal of the Registrar, and a copy or extract so certified has the same force and effect as if it had been certified by the Registrar under his or her signature and seal.
Marriage Act 1961
47
Part IV Solemnisation of marriages in Australia Division 3 Marriages by foreign diplomatic or consular officers
Section 58
58 Register of Foreign Marriages Solemnised in Australia (1) The Registrar shall keep a register, to be called the Register of Foreign Marriages Solemnised in Australia, in such form as the Minister directs. (2) The Registrar shall register in the Register every marriage notified to the Registrar that he or she is satisfied: (a) is a marriage to which section 55 was applicable; and (b) has been solemnised in Australia by or in the presence of a diplomatic or consular officer of a proclaimed overseas country who was competent to solemnise the marriage. (3) The Registrar shall keep an index of the entries in the Register.
59 Searches and certified copies (1) Subject to payment of the prescribed fee, a person may, upon satisfying the Registrar that the person has good reason for so doing, cause a search to be made for an entry in the Register of Foreign Marriages Solemnised in Australia and receive a copy of the entry, or an extract of the entry, certified by the Registrar under his or her signature and seal to be a copy of the entry or an extract of the entry, as the case may be. (2) A copy of an entry in the Register certified in accordance with subsection (1) is, for all purposes, evidence of the marriage recorded in the entry.
48
Marriage Act 1961
Marriages of members of the Defence Force overseas Part V Marriages of members of the Defence Force overseas Division 3
Section 71
Part V—Marriages of members of the Defence Force overseas Division 3—Marriages of members of the Defence Force overseas 71 Marriages of members of the Defence Force overseas (1) Subject to this Part, a marriage between parties of whom one at least is a member of the Defence Force may be solemnised in an overseas country by or in the presence of a chaplain. (2) The Governor-General may, by Proclamation, declare that a part of the Queen’s dominions that has been occupied by a state at war with the Commonwealth and in which facilities for marriage in accordance with the local law have not, in the opinion of the Governor-General, been adequately restored shall be deemed to be an overseas country for the purposes of this section.
72 Form and ceremony of marriage (1) A marriage under this Division shall be solemnised: (a) at such place as the chaplain thinks fit, in the presence of at least 2 witnesses who are, or appear to the chaplain to be, over the age of 18; and (b) according to such form and ceremony as the chaplain thinks proper. (2) Unless, having regard to the form and ceremony of the marriage, the chaplain considers it unnecessary for the parties to the marriage to do so, each of the parties shall, in some part of the ceremony and in the presence of the chaplain and the witnesses, say to each other the words: “I call upon the persons here present to witness that I, A.B. (or C.D.), take thee, C.D. (or A.B.), to be my lawful wedded wife (or husband)”; or words to that effect.
Marriage Act 1961
49
Part V Marriages of members of the Defence Force overseas Division 4 General
Section 73
Division 4—General 73 Validity of marriages A marriage solemnised under this Part, being a marriage which, if it had been solemnised in Australia in accordance with Division 2 of Part IV would have been a valid marriage, is valid throughout Australia and the external Territories.
74 Declaration to be made before chaplain (1) A marriage shall not be solemnised under this Part unless each of the parties to the marriage has made and subscribed before the chaplain solemnising the marriage a declaration, in accordance with the prescribed form, as to: (a) the party’s conjugal status; (b) the party’s belief that there is no legal impediment to the marriage; and (c) such other matters as are prescribed. (2) The declarations of the parties required by subsection (1) shall both be written on the one paper and on the same side of that paper. (3) A chaplain shall not solemnise a marriage under this Part if he or she has reason to believe that a declaration made and subscribed under this section in relation to the marriage contains a false statement or an error or is defective.
75 Chaplain to be satisfied of parties’ identity A chaplain shall not solemnise a marriage under this Part unless the chaplain has satisfied himself or herself as to the identity of the parties.
76 Additional consent to marriage of minor domiciled outside Australia (1) Where: (a) a party to an intended marriage under this Part, not being an Australian citizen, has not attained the age of 18 years and is domiciled in a place outside Australia; and 50
Marriage Act 1961
Marriages of members of the Defence Force overseas Part V General Division 4
Section 77 (b) the law of that place requires the consent of a person, other than a person whose consent is required under Part II, to the marriage of that party; the marriage shall not be solemnised unless the chaplain is satisfied that consent to the marriage has been given by that person. (2) The requirement of subsection (1) is in addition to the requirements of Part II with respect to consents to the marriages of minors.
77 Restriction on solemnisation of marriages under this Part (1) A marriage shall not be solemnised in an overseas country under this Part unless the chaplain is satisfied: (a) that each of the parties to the intended marriage is an Australian citizen or a member of the Defence Force; (b) where 1 party to the intended marriage is not an Australian citizen or a member of the Defence Force: (i) that that party is not a subject or citizen of the overseas country; or (ii) that sufficient facilities do not exist for the solemnisation of the marriage in the overseas country in accordance with the law of that country; (c) where 1 party to the intended marriage is a subject or citizen of the overseas country, that objection will not be taken by the authorities of that country to the solemnisation of the intended marriage under this Part; or (d) that a marriage in the overseas country between the parties in accordance with the law of that country would not be recognised throughout Australia. (2) In this section, overseas country includes a country that is deemed to be an overseas country for the purposes of section 71.
78 Solemnisation of marriages where a party to the marriage is not an Australian citizen etc. (1) Subject to subsection (2), a marriage shall not be solemnised under this Part if 1 party to the intended marriage (in this section called the non-Australian) is not an Australian citizen or a member of the Defence Force.
Marriage Act 1961
51
Part V Marriages of members of the Defence Force overseas Division 4 General
Section 79 (2) Subsection (1) does not apply where the chaplain is satisfied: (a) that the marriage will be recognised by the law of the country to which the non-Australian belongs; (b) that some other marriage ceremony, in addition to the ceremony under this Part, has taken place, or is about to take place, between the parties and that the other ceremony is, or, when it has taken place, will be, recognised by the law of the country to which the non-Australian belongs; or (c) that the Minister has approved of the solemnisation of the marriage under this Part.
79 Chaplain to retain consents etc. A chaplain to whom a consent, dispensation with consent or statutory declaration is produced under this Act shall retain it in the possession of the chaplain until he or she deals with it in accordance with section 80.
80 Marriage certificate and registration of marriages (1) Where a chaplain solemnises a marriage under this Part, the chaplain shall: (a) prepare a certificate of the marriage, in accordance with the prescribed form, for the purpose of issue to the parties to the marriage; and (b) prepare 2 official certificates of the marriage in accordance with the prescribed form. (2) Immediately after the solemnisation of the marriage: (a) the chaplain; and (b) each of the parties to the marriage; and (c) 2 witnesses of the marriage who are, or appear to the chaplain to be, over the age of 18 years; shall sign each of the certificates so prepared. (3) One of the official certificates shall be on the reverse side of the paper bearing the declarations made by the parties under section 74.
52
Marriage Act 1961
Marriages of members of the Defence Force overseas Part V General Division 4
Section 80 (4) The chaplain shall: (a) hand the certificate referred to in paragraph (1)(a) to one of the parties to the marriage on behalf of the parties; (b) forward the official certificate referred to in subsection (3), together with any statutory declarations, consents or dispensations with consents relating to the marriage that are in his or her possession, to the Registrar; and (c) retain the other copy of the certificate in his or her possession for the prescribed period and, upon the expiration of that period, deal with the copy in accordance with the regulations. (5) Where the chaplain dies without having prepared and signed the certificates of the marriage, or where by reason of other special circumstances the Minister thinks it necessary to do so, the Minister may, if satisfied that the marriage was duly solemnised, prepare and sign the certificates with such modifications as are appropriate. (6) A certificate prepared and signed by the Minister under subsection (5) has the same force and effect as if it had been prepared and signed, in accordance with this section, by the chaplain. (7) Upon the receipt by the Registrar of the official certificate required to be forwarded to the Registrar in respect of a marriage, the Registrar shall register the marriage. (8) In the month of January in each year, a chaplain by whom, or in whose presence, a marriage has been, or marriages have been, solemnised in the preceding year shall forward to the Registrar, in accordance with the prescribed form, particulars of that marriage or those marriages. (9) If the certificate of a marriage is not received by the Registrar, the chaplain by whom it was issued shall, at the request of the Registrar: (a) prepare a copy of the certificate; (b) certify, by writing signed by the chaplain, that the copy is a true copy of the certificate; and (c) forward the copy to the Registrar.
Marriage Act 1961
53
Part V Marriages of members of the Defence Force overseas Division 4 General
Section 81 (10) A certified copy of a certificate prepared by a chaplain under subsection (9) has, for all purposes, the same force and effect as the certificate of which it is a copy.
81 Power to refuse to solemnise marriage A chaplain may refuse to solemnise a marriage under this Part on any grounds which appear to the chaplain to be sufficient and, in particular, on the ground that, in the opinion of the chaplain, the solemnisation of the marriage would be inconsistent with international law or the comity of nations.
82 Marriages may be solemnised on any day and at any time A marriage under this Part may be solemnised on any day and at any time.
83 Validity of marriages under this Part (1) A marriage under this Part is not invalid by reason of all or any of the following: (d) failure of the parties, or either of them, to make or subscribe a declaration required by section 74, or a false statement, defect or error in such a declaration; (e) the fact that the marriage was solemnised in contravention of any provision of section 72, 74, 75, 76, 77 or 78; (f) failure to comply with the requirements of section 13. (2) A marriage under this Part is not invalid by reason that the person solemnising it was not a chaplain if either party to the marriage, at the time the marriage was solemnised, believed that that person was lawfully authorised to solemnise it, and in such a case the form and ceremony of the marriage shall be deemed to have been sufficient if they were such as to show an intention on the part of each of the parties to become thereby the lawfully wedded spouse of the other.
54
Marriage Act 1961
Marriages of members of the Defence Force overseas Part V General Division 4
Section 84
84 Registration of overseas marriages attended by a chaplain (1) Where: (a) a chaplain has attended a marriage in an overseas country between parties of whom at least one was an Australian citizen or a member of the Defence Force; and (b) the chaplain is satisfied that the marriage has taken place in accordance with the law of that country; and (c) a party to the marriage informs the chaplain, in writing, that he or she desires the marriage to be registered under this section; the chaplain shall forward to the Registrar a certificate, in accordance with the prescribed form, in respect of the marriage. (2) Upon receipt by the Registrar of a certificate under subsection (1) in respect of a marriage, the Registrar shall, subject to the regulations, register the marriage.
85 Certificates of marriages solemnised in accordance with local law in an overseas country (1) Where: (a) a marriage takes place in a prescribed overseas country in accordance with the law of that country between parties of whom one at least is an Australian citizen or a member of the Defence Force; (b) a party to the marriage who is an Australian citizen or a member of the Defence Force produces to a chaplain in the country in which the marriage was solemnised: (i) a copy of the entry in respect of the marriage in the marriage register of that country certified by the appropriate authority in that country to be a true copy of that entry; and (ii) if the copy of that entry is not in the English language— a translation into the English language of that copy; and (c) the chaplain is satisfied that the copy of the entry in the marriage register is a true copy and that the translation, if any, is a true translation; the chaplain shall certify, upon the copy, that he or she is satisfied that the copy is a true copy of the entry in the marriage register and, upon the translation, that he or she is satisfied that the
Marriage Act 1961
55
Part V Marriages of members of the Defence Force overseas Division 4 General
Section 86 translation is a true translation of the copy and shall transmit the copy and the translation to the Registrar. (2) The Registrar shall, upon payment of the prescribed fee, issue to a person who so desires a copy of any document received by the Registrar under subsection (1) certified by the Registrar, under his or her signature and seal, to be a true copy of that document. (3) A document relating to a marriage in an overseas country transmitted in pursuance of section 26 of the Marriage (Overseas) Act 1955 and received by the Registrar of Overseas Marriages appointed under that Act shall, for the purposes of this section, be deemed to have been, in pursuance of this section, transmitted to, and received by, the Registrar of Overseas Marriages appointed, or deemed to have been appointed, under this Act. (4) A document relating to a marriage in an overseas country issued under subsection (2) is admissible in evidence in any proceedings as if it were a certificate duly issued by the authorities of that country.
86 Evidence A notice, certificate or other document kept in pursuance of this Part by any person, or in the records of the office of any person, is admissible in evidence on its mere production from the custody of that person or from the custody of an officer of the Department.
87 Validity of marriages otherwise than under this Part not affected Nothing in this Part in any way affects the validity of a marriage solemnised in an overseas country otherwise than under this Part.
88 Imperial Foreign Marriage Acts This Act shall not be taken to repeal or amend the Imperial Acts known as the Foreign Marriage Acts, 1892 and 1934, in so far as those Acts are part of the law of the Commonwealth.
56
Marriage Act 1961
Recognition of foreign marriages Part VA
Section 88A
Part VA—Recognition of foreign marriages 88A Object of Part The object of this Part is to give effect to Chapter II of the Convention on Celebration and Recognition of the Validity of Marriages signed at The Hague on 14 March 1978.
88B Interpretation (1) In this Part, unless the contrary intention appears: Australia includes the external Territories. local law, in relation to a marriage solemnised in a foreign country, means the law in force in the foreign country or in that part of the foreign country in which the marriage was solemnised. (2) A marriage shall be taken, for the purposes of this Part, to have been solemnised in a foreign country by or in the presence of a diplomatic or consular officer of another foreign country if the marriage was solemnised in the first-mentioned foreign country by or in the presence of a person who was recognised by the government of that country as a diplomatic or consular representative of the other foreign country. (3) In this Part, a reference to a marriage includes a reference to a purported marriage that is void or voidable but does not include a reference to a marriage solemnised under Part V. (4) To avoid doubt, in this Part (including section 88E) marriage has the meaning given by subsection 5(1).
88C Application of Part (1) This Part applies to and in relation to every marriage solemnised, whether before or after the commencement of this Part, in a foreign country where: (a) under the local law, the marriage was, at the time when it was solemnised, recognised as valid; or
Marriage Act 1961
57
Part VA Recognition of foreign marriages
Section 88D (b) if the marriage was solemnised by or in the presence of a diplomatic or consular officer of another foreign country: (i) under the law of that other foreign country, the marriage was, at the time when it was solemnised, recognised as valid; and (ii) at the time when it was solemnised, the solemnisation of the marriage was not prohibited by the local law. (2) Where a marriage (not being a marriage referred to in subsection (1)) that was solemnised, whether before or after the commencement of this Part, in a foreign country: (a) is, at any time in relation to which the validity of the marriage falls to be determined, recognised as valid under the local law; or (b) if the marriage was solemnised by or in the presence of a diplomatic or consular officer of another foreign country and, at the time when it was solemnised, the solemnisation of the marriage was not prohibited by the local law—is, at any time in relation to which the validity of the marriage falls to be determined, recognised as valid under the law of that other foreign country; this Part applies to and in relation to the marriage from and including that time.
88D Validity of marriages (1) Subject to this section, a marriage to which this Part applies shall be recognised in Australia as valid. (2) A marriage to which this Part applies shall not be recognised as valid in accordance with subsection (1) if: (a) either of the parties was, at the time of the marriage, a party to a marriage with some other person and the last-mentioned marriage was, at that time, recognised in Australia as valid; (b) where one of the parties was, at the time of the marriage, domiciled in Australia—either of the parties was not of marriageable age within the meaning of Part II; (c) the parties are within a prohibited relationship within the meaning of section 23B; or (d) the consent of either of the parties was not a real consent for a reason set out in subparagraph 23B(1)(d)(i), (ii) or (iii).
58
Marriage Act 1961
Recognition of foreign marriages Part VA
Section 88E (3) Where neither of the parties to a marriage to which this Part applies was, at the time of the marriage, domiciled in Australia, the marriage shall not be recognised as valid in accordance with subsection (1) at any time while either party is under the age of 16 years. (4) A marriage solemnised in a foreign country, being a marriage to which this Part applies, shall not be recognised as valid in accordance with subsection (1) at any time while the marriage is voidable: (a) except in a case to which paragraph (b) applies—under the local law; or (b) if the marriage was solemnised in a foreign country by or in the presence of a diplomatic or consular officer of another foreign country—under the law of that other foreign country. (5) Notwithstanding any other provision of this Part, where: (a) a marriage (in this subsection referred to as the initial marriage) has, whether before or after the commencement of this Part, been solemnised in a foreign country; (b) at the time of the solemnisation of the initial marriage, that marriage was not recognised in Australia as valid; (c) after the solemnisation of the initial marriage, and whether before or after the commencement of this Part, either party to that marriage entered into another marriage (in this subsection referred to as the subsequent marriage); and (d) at the time when the subsequent marriage was solemnised: (i) the subsequent marriage was recognised in Australia as valid; and (ii) the initial marriage was not recognised in Australia as valid; the initial marriage shall not be recognised at any time in Australia as valid.
88E Validity of certain marriages not affected by this Part (1) Subject to subsection (2), a marriage solemnised in a foreign country that would be recognised as valid under the common law rules of private international law but is not required by the provisions of this Part apart from this subsection to be recognised as valid shall be recognised in Australia as valid, and the operation
Marriage Act 1961
59
Part VA Recognition of foreign marriages
Section 88EA of this subsection shall not be limited by any implication arising from any other provision of this Part. (2) Notwithstanding subsection (1), a marriage of a person domiciled in Australia, being a marriage solemnised in a foreign country, shall not be recognised in Australia as valid if, at the time of the marriage, either party to the marriage was not of marriageable age within the meaning of Part II. (3) Where a marriage solemnised in a foreign country is not required by virtue of this Part to be recognised in Australia as valid, this Part shall not be taken to limit or exclude the operation of a provision of any other law of the Commonwealth, or of a law of a State or Territory, that provides, expressly or impliedly, for such a marriage to be recognised as a valid marriage for the purposes of the law in which the provision is included. (4) This Part shall not be taken to limit or exclude the operation of a provision of any other law of the Commonwealth, or of a law of a State or Territory, that deems a union in the nature of a marriage to be a marriage for the purposes of the law in which the provision is included.
88EA Certain unions are not marriages A union solemnised in a foreign country between: (a) a man and another man; or (b) a woman and another woman; must not be recognised as a marriage in Australia.
88F Incidental determination of recognition of certain foreign marriages Notwithstanding any other law, the question whether a marriage solemnised in a foreign country is to be recognised in Australia as valid shall be determined in accordance with the provisions of this Part, whether or not the determination of the question is incidental to the determination of another question.
60
Marriage Act 1961
Recognition of foreign marriages Part VA
Section 88G
88G Evidence (1) A document purporting to be either the original or a certified copy of a certificate, entry or record of a marriage alleged to have been solemnised in, or under the law of, a foreign country and purporting to have been issued by: (a) in the case of a marriage alleged to have been solemnised in a foreign country—an authority of that country or of that part of the country in which the marriage was allegedly solemnised; or (b) in the case of a marriage alleged to have been solemnised under the law of a foreign country—an authority of that country; is, for all purposes, prima facie evidence of the facts stated in the document and of the validity of the marriage to which the document relates. (2) Subsection (1) does not apply to or in relation to a document if it is proved that the authority of the foreign country or of the part of a foreign country by which the document purports to have been issued was not, at the time of issue, a competent authority. (3) In subsection (2), competent authority means: (a) in relation to a foreign country: (i) any authority that is prescribed in relation to that country by regulations made for the purposes of this paragraph; or (ii) any other authority that is competent, under the law in force in that country, to issue the original or a certified copy of a certificate, entry or record of a marriage solemnised in, or under the law of, that country; and (b) in relation to a part of a foreign country: (i) any authority that is prescribed in relation to that part of that country by regulations made for the purposes of this paragraph; or (ii) any other authority that is competent, under the law in force in that part of that country, to issue the original or a certified copy of a certificate, entry or record of a marriage solemnised in that part of that country.
Marriage Act 1961
61
Part VI Legitimation
Section 89
Part VI—Legitimation 89 Legitimation by virtue of marriage of parents (1) A child (whether born before or after the commencement of this Act) whose parents were not married to each other at the time of his or her birth but have subsequently married each other (whether before or after the commencement of this Act) is, by virtue of the marriage, for all purposes the legitimate child of his or her parents as from his or her birth or the commencement of this Act, whichever was the later. (2) Subsection (1) applies in relation to a child whether or not there was a legal impediment to the marriage of his or her parents at the time of his or her birth and whether or not the child was still living at the time of the marriage or, in the case of a child born before the commencement of this Act, at the commencement of this Act. (3) Subsection (1) does not apply in relation to a child unless: (a) at the time of the marriage of the child’s parents: (i) where that marriage took place before the commencement of section 24 of the Marriage Amendment Act 1985—the child’s father was domiciled in Australia; or (ii) in any other case—one of the child’s parents was domiciled in Australia; or (b) the marriage of the child’s parents took place in Australia, or outside Australia under Part V of this Act or under the Marriage (Overseas) Act 1955. (4) Nothing in this section renders ineffective any legitimation that took place before the commencement of this Act by or under a law of a State or Territory or shall be taken to exclude the continued operation of such a law in relation to such a legitimation. (5) This section does not apply in relation to a child so as to affect any estate, right or interest in real or personal property to which a person has become, or may become, entitled, either mediately or immediately, in possession or expectancy, by virtue of a disposition that took effect, or by devolution by law on the death of
62
Marriage Act 1961
Legitimation Part VI
Section 90 a person who died, before the marriage of the parents of the child or the commencement of this Act, whichever was the later.
90 Legitimacy of children of certain foreign marriages (1) Where: (a) the parents of a child born illegitimate have married each other or the parents of a child born in a place the law of which did not recognise the status of illegitimacy have married each other; (b) the marriage took place outside Australia; (c) neither parent of the child was domiciled in Australia at the time of the marriage; and (d) the law of the place where a parent of the child was then domiciled did not recognise the status of illegitimacy or, if the law of the place where a parent of the child was then domiciled did recognise that status, the child was, by that law, legitimated by virtue of the marriage; the child is for all purposes the legitimate child of his or her parents as from the time of the marriage or the commencement of section 25 of the Marriage Amendment Act 1985, whichever was the later. (2) Where the relationship of a child and his or her father and mother is, for the purposes of the law of a place, required by a law in force in that place to be determined irrespective of whether or not the father and mother are or have been married to each other, the law of that place shall, for the purposes of this section, be taken not to recognise the status of illegitimacy. (3) Subsection (1) applies in relation to a child: (a) whether the child was born before or after the commencement of section 25 of the Marriage Amendment Act 1985, whether the marriage of the parents of the child took place before or after that commencement and whether or not the child was still living at the time of the marriage or, in the case of a child born before that commencement, at that commencement; and (b) in the case of a child born illegitimate who, by virtue of the marriage of the child’s parents, was legitimated by the law of the place where a parent of the child was domiciled at the time of the marriage—whether or not the law of the place in Marriage Act 1961
63
Part VI Legitimation
Section 91 which that parent or the other parent was domiciled at the time of the birth of the child permitted or recognised legitimation by subsequent marriage.
91 Legitimacy of children of certain void marriages (1) Subject to this section, a child of a marriage that is void shall be deemed for all purposes to be the legitimate child of his or her parents as from his or her birth or the commencement of this Act, whichever was the later, if, at the time of the intercourse that resulted in the birth of the child or the time when the ceremony of marriage took place, whichever was the later, either party to the marriage believed on reasonable grounds that the marriage was valid. (2) Subsection (1) does not apply unless one of the parents of the child was domiciled in Australia at the time of the birth of the child or, having died before that time, was domiciled in Australia immediately before his or her death. (3) Subsection (1) applies in relation to a child whether the child was born before or after the commencement of this Act, whether the ceremony of marriage took place before or after the commencement of this Act and whether the ceremony of marriage took place in or outside Australia. (4) This section does not apply in relation to a child so as to affect any estate, right or interest in real or personal property to which a person has become, or may become, entitled, either mediately or immediately, in possession or expectancy, by virtue of a disposition that took effect, or by devolution by law on the death of a person who died, before the birth of the child or the commencement of this Act, whichever was the later.
92 Declarations of legitimacy etc. (1) A person may apply to the Family Court of Australia, the Federal Magistrates Court, a Family Court of a State or the Supreme Court of a State or Territory for an order declaring: (a) that the person is the legitimate child of his or her parents; or (b) that the person or his or her parent or child or a remoter ancestor or descendant is or was a legitimated person; and the Court may, in its discretion, make the order. 64
Marriage Act 1961
Legitimation Part VI
Section 92 (2) The Supreme Courts of the States and any Family Court of a State are invested with federal jurisdiction and jurisdiction is conferred, to the extent that the Constitution permits, on the Supreme Courts of the Territories, to hear and determine applications under this section. (4) The Court to which an application under this section is made may: (a) direct that notice of the application be given to such persons (who may include the Attorney-General of the Commonwealth or of a State or the Northern Territory) as the Court thinks fit; (b) direct that a person be made a party to the application; or (c) permit a person having an interest in the matter to intervene in, and become a party to, the proceedings. (5) Where the Court makes an order upon the application, it may include in the order such particulars in relation to the legitimacy or legitimation of the person to whom it relates as the Court finds to be established. (6) An order made under this section binds the Crown in right of the Commonwealth or of a State or the Northern Territory or Norfolk Island, whether or not notice was given to the Attorney-General of the Commonwealth or of that State or Territory, but does not affect: (a) the rights of another person unless that other person was: (i) a party to the proceedings for the order or a person claiming through such a party; or (ii) a person to whom notice of the application for the order was given or a person claiming through such a person; or (b) an earlier judgment, order or decree of a court of competent jurisdiction, whether in exercise of federal jurisdiction or not. (7) The Governor-General may, by Proclamation, fix a date as the date on and after which proceedings under this section may not be instituted in, or transferred to, the Supreme Court of a State or Territory specified in the Proclamation and that Supreme Court shall not hear and determine any such proceedings so instituted in, or transferred to, that Court on or after that date.
Marriage Act 1961
65
Part VI Legitimation
Section 93
93 Operation of certain State and Territory laws (1) Nothing in this Part shall be taken to operate in relation to a child so as to affect the validity or effect of an adoption of the child, whether the adoption took place before, or takes place after, the commencement of this Act. (2) Nothing in this Part shall be taken to exclude the operation of a law of a State or Territory in so far as it provides for the making or altering of entries in a register, but a legitimation under this Part is not affected by any failure to comply with such a law. (3) Nothing in this Part shall be taken to affect the validity or effect of a law of a State or Territory (however expressed and whether enacted before or after the commencement of this subsection) that operates to require a child born to a woman as a result of the carrying out of a artificial conception procedure in relation to the woman: (a) to be treated as the child of the woman; (b) to be treated as the child of the woman and a particular man; or (c) to be treated as the child of a particular man.
66
Marriage Act 1961
Offences Part VII
Section 94
Part VII—Offences 94 Bigamy (1) A person who is married shall not go through a form or ceremony of marriage with any person. Penalty: Imprisonment for 5 years. (1A) For the purposes of an offence against subsection (1), strict liability applies to the physical element of circumstance, that the person was married when the form or ceremony took place. Note:
For strict liability, see section 6.1 of the Criminal Code.
(2) It is a defence to a prosecution for an offence against subsection (1) if the defendant proves that: (a) at the time of the alleged offence, the defendant believed that his or her spouse was dead; and (b) the defendant’s spouse had been absent from the defendant for such time and in such circumstances as to provide, at the time of the alleged offence, reasonable grounds for presuming that the defendant’s spouse was dead. (3) For the purposes of subsection (2), proof by a defendant that the defendant’s spouse had been continually absent from the defendant for the period of 7 years immediately preceding the date of the alleged offence and that, at the time of the alleged offence, the defendant had no reason to believe that the defendant’s spouse had been alive at any time within that period is sufficient proof of the matters referred to in paragraph (2)(b). (3A) To avoid doubt, section 9.2 of the Criminal Code (mistake of fact) does not apply in relation to the matters mentioned in subsections (2) and (3). (4) A person shall not go through a form or ceremony of marriage with a person who is married, knowing, or having reasonable grounds to believe, that the latter person is married. Penalty: Imprisonment for 5 years.
Marriage Act 1961
67
Part VII Offences
Section 95 (5) It is not an offence against this section for a person to go through a form or ceremony of marriage with that person’s own spouse. (6) In a prosecution for an offence against this section, the spouse of the accused person is a competent and compellable witness for either the prosecution or the defence. (7) In a prosecution for an offence against this section, the fact that, at the time of the alleged offence, a person was married shall not be taken to have been proved if the only evidence of the fact is the evidence of the other party to the alleged marriage. (7A) In a prosecution for an offence against this section, the court may receive as evidence of the facts stated in it a document purporting to be either the original or a certified copy of a certificate, entry or record of a marriage alleged to have taken place whether in Australia or elsewhere. (8) This section operates to the exclusion of any law of a State or Territory making it an offence: (a) for a person who is married to go through a form or ceremony of marriage with any person; or (b) for a person to go through a form or ceremony of marriage with a person who is married; but does not affect the operation of such a law in relation to acts and things done before the commencement of this Act.
95 Marrying person not of marriageable age etc. (1) A person shall not go through a form or ceremony of marriage with a person who is not of marriageable age. Penalty: Imprisonment for 5 years. (1A) For the purposes of an offence against subsection (1), strict liability applies to the physical element of circumstance, that the person is not of marriageable age. Note:
For strict liability, see section 6.1 of the Criminal Code.
(2) A person shall not go through a form or ceremony of marriage with a person (in this subsection referred to as the other party to the marriage) who is a minor unless:
68
Marriage Act 1961
Offences Part VII
Section 98 (a) the other party to the marriage has previously been married; or (b) the written consent of the person, or of each of the persons, whose consent to the marriage of the other party to the marriage is required by this Act, has been given or dispensed with in accordance with this Act. Penalty: $500 or imprisonment for 6 months. (2A) For the purposes of an offence against subsection (2), strict liability applies to the physical element of circumstance, that the other party to the marriage is a minor. Note:
For strict liability, see section 6.1 of the Criminal Code.
(3) It is a defence to a prosecution for an offence against subsection (1) if the defendant proves that he or she believed on reasonable grounds that the person with whom he or she went through the form or ceremony of marriage was of marriageable age. (3A) To avoid doubt, section 9.2 of the Criminal Code (mistake of fact) does not apply in relation to the matters mentioned in subsection (3). (4) It is a defence to a prosecution for an offence against subsection (2) if the defendant proves that he or she believed on reasonable grounds: (a) that the person with whom he or she went through the form or ceremony of marriage had attained the age of 18 years or had previously been married; or (b) that the consent of the person, or of each of the persons, referred to in paragraph (2)(b) had been given or dispensed with in accordance with this Act. (5) To avoid doubt, section 9.2 of the Criminal Code (mistake of fact) does not apply in relation to the matters mentioned in subsection (4).
98 Contravention of subsection 13(3) (2) A person shall not subscribe his or her name as a witness to the signature of a person to a consent to the marriage of a minor in contravention of subsection 13(3).
Marriage Act 1961
69
Part VII Offences
Section 99 Penalty: $500 or imprisonment for 6 months.
99 Solemnising marriage where notice or declaration not given or made etc. (1) An authorised celebrant shall not solemnise a marriage under Division 2 of Part IV in contravention of section 42 or 44. (3) A chaplain shall not solemnise a marriage under Division 3 of Part V in contravention of section 74, 75, 76, 77 or 78. (4) A person shall not solemnise a marriage in contravention of section 13 or 112. (5) A person shall not solemnise a marriage in contravention of subsection 33(3). (6) A person shall not, in contravention of subsection 113(1), purport to solemnise a marriage between persons who inform the first-mentioned person that they are already legally married to each other or whom the first-mentioned person knows or has reason to believe to be already legally married to each other. Penalty: $500 or imprisonment for 6 months.
100 Solemnising marriage where reason to believe there is a legal impediment A person shall not solemnise a marriage, or purport to solemnise a marriage, if the person has reason to believe that there is a legal impediment to the marriage or if the person has reason to believe the marriage would be void. Penalty: $500 or imprisonment for 6 months.
101 Solemnisation of marriage by unauthorised person A person shall not solemnise a marriage, or purport to solemnise a marriage, at a place in Australia or under Part V unless the person is authorised by or under this Act to solemnise marriages at that place or under that Part, as the case may be. Penalty: $500 or imprisonment for 6 months.
70
Marriage Act 1961
Offences Part VII
Section 103
103 Going through ceremony of marriage before person not authorised to solemnise it A person shall not go through a form or ceremony of marriage with another person knowing that the person solemnising the marriage is not authorised to solemnise it and having reason to believe that the other party to the marriage believes that the person solemnising the marriage is so authorised. Penalty: $500 or imprisonment for 6 months.
104 Giving defective notice etc. (1) A person shall not give a notice to an authorised celebrant under section 42, or sign a notice under section 42 after it has been given, if, to the knowledge of that person, the notice contains a false statement or an error or is defective. Penalty: $500 or imprisonment for 6 months.
105 Failure to comply with notice under section 51 (1) A person on whom a notice under section 51 has been duly served shall not fail to comply with the notice. Penalty: $100. (2) Subsection (1) does not apply if the person has a reasonable excuse. Note:
A defendant bears an evidential burden in relation to the matter in subsection (2) (see subsection 13.3(3) of the Criminal Code).
(3) Subsection (1) is an offence of strict liability. Note:
For strict liability, see section 6.1 of the Criminal Code.
106 Failure by interpreter to furnish certificate etc. A person who has acted as interpreter at the solemnisation of a marriage shall not: (a) fail to comply with subsection 112(3); or (b) intentionally make a false statement in a certificate under that subsection.
Marriage Act 1961
71
Part VII Offences
Section 106 Penalty: $500 or imprisonment for 6 months.
72
Marriage Act 1961
Transitional provisions Part VIII
Section 107
Part VIII—Transitional provisions 107 Exercise of powers etc. before commencement of Act (1) Section 4 of the Acts Interpretation Act 1901 applies in relation to the provisions that are to come into operation on a date to be fixed by Proclamation as if those provisions were an Act. (2) For the purpose of enabling marriages to be solemnised in Australia in accordance with Division 2 of Part IV from the commencement of this Act: (a) a notice of intention to marry may be given, and a declaration may be made, under section 42; (b) any consent to the marriage of a minor required by Part II may be given; and (c) any power conferred on a prescribed authority may be exercised; at any time after the day on which the Proclamation under section 2 has been published in the Gazette and before the commencement of this Act, as if the provisions of this Act to which the Proclamation relates had come into operation on that day. (3) For the purposes of the operation of subsection (2), any person who is authorised under a law of a State or Territory to solemnise marriages shall be deemed to be an authorised celebrant.
108 Application of offence provisions to notices etc. given before commencement of this Act (1) The provisions of section 98 and subsection 104(1) apply to and in relation to acts done, notices given and declarations made before the commencement of this Act in relation to marriages that take place in Australia after the commencement of this Act or that have not taken place but were intended to be solemnised in Australia in accordance with this Act. (2) For the purposes of the application of section 98 and subsection 104(1) to and in relation to an act done or a notice given at a time before the commencement of this Act in relation to such a marriage, a person who at that time was authorised under a law of a
Marriage Act 1961
73
Part VIII Transitional provisions
Section 109 State or Territory to solemnise marriages shall be deemed to have been an authorised celebrant at that time.
109 Consents etc. given under State or Territory laws (1) A consent in writing to the marriage of a minor given by a person before the commencement of this Act in accordance with the law of a State or Territory shall, if the marriage in respect of which the consent was given takes place after the commencement of this Act in that State or Territory, be deemed to have been duly given and witnessed for the purposes of section 13. (2) Where the consent of a person to the marriage of a minor has, before the commencement of this Act, been dispensed with in pursuance of a law of a State or Territory, the consent of that person shall, if the marriage in respect of which it was dispensed with takes place after the commencement of this Act in that State or Territory, be deemed to have been dispensed with by a prescribed authority under Part II. (3) Where a person or authority has, before the commencement of this Act, in pursuance of a law of a State or Territory, given consent to the marriage of a minor in place of the consent of a person whose consent would otherwise be required, the consent so given shall, if the marriage in respect of which the consent was given takes place after the commencement of this Act in that State or Territory, be deemed to have been given by a magistrate under Part II.
74
Marriage Act 1961
Miscellaneous Part IX
Section 111
Part IX—Miscellaneous 111 Certain marriages and legitimations to be valid in all the Territories (1) A marriage solemnised in accordance with Division 2 of Part IV that is a valid marriage in Australia is valid in the external Territories. (2) A person who is, or is deemed to be, as from a particular time, the legitimate child of that person’s parents by virtue of section 89, 90 or 91 is, or shall be deemed to be, for all purposes the legitimate child of that person’s parents as from that time in the external Territories. (3) The operation of subsection (2) in relation to a child to whom section 89 or 91 applies is subject to a like qualification to that provided by subsection 89(5) or 91(4), as the case requires. (4) Subsection (2) shall not be taken to operate in relation to a child so as to affect the validity or effect of an adoption of the child, whether the adoption took place before, or takes place after, the commencement of this Act.
111A Abolition of action for breach of promise (1) A person is not entitled to recover damages from another person by reason only of the fact that that other person has failed to perform a promise, undertaking or engagement to marry the first-mentioned person. (2) This section does not affect an action for the recovery of any gifts given in contemplation of marriage which could have been brought if this section had not been enacted.
112 Interpreters at marriage ceremonies (1) Subject to this section, where the person by whom or in whose presence a marriage is to be solemnised considers that it is desirable to do so, the person may use the services of an
Marriage Act 1961
75
Part IX Miscellaneous
Section 113 interpreter, not being a party to the marriage, in or in connexion with the ceremony. (2) A person shall not solemnise a marriage in or in connexion with the ceremony of which the services of an interpreter are used unless the person has received a statutory declaration by the interpreter stating that the interpreter understands, and is able to converse in, the languages in respect of which he or she is to act as interpreter. (3) A person who has acted as interpreter in or in connexion with a ceremony of marriage shall, forthwith after the ceremony has taken place, furnish to the person solemnising the marriage a certificate signed by the first-mentioned person, in the prescribed form, of the faithful performance of the first-mentioned person’s services as interpreter. (4) This section applies in relation to marriages to which Division 2 of Part IV applies and marriages under Part V.
113 Second marriage ceremonies (1) Except in accordance with this section: (a) persons who are already legally married to each other shall not, in Australia or under Part V, go through a form or ceremony of marriage with each other; and (b) a person who is authorised by this Act to solemnise marriages shall not purport to solemnise a marriage in Australia or under Part V between persons who inform the first-mentioned person that they are already legally married to each other or whom the first-mentioned person knows or has reason to believe to be already legally married to each other. (2) Where: (a) 2 persons have gone through a form or ceremony of marriage with each other, whether before or after the commencement of this Act; and (b) there is a doubt: (i) whether those persons are legally married to each other;
76
Marriage Act 1961
Miscellaneous Part IX
Section 113 (ii) where the form or ceremony of marriage took place outside Australia, whether the marriage would be recognised as valid by a court in Australia; or (iii) whether their marriage could be proved in legal proceedings; those persons may, subject to this section, go through a form or ceremony of marriage with each other in accordance with Division 2 of Part IV or under Part V as if they had not previously gone through a form or ceremony of marriage with each other. (3) Where 2 persons wish to go through a form or ceremony of marriage with each other in pursuance of subsection (2), they shall furnish to the person by whom, or in whose presence, the form or ceremony is to take place or be performed: (a) a statutory declaration by them stating that they have previously gone through a form or ceremony of marriage with each other and specifying the date on which, the place at which and the circumstances in which they went through that form or ceremony; and (b) a certificate by a barrister or solicitor, being a certificate endorsed on the statutory declaration, that, on the facts stated in the declaration, there is, in his or her opinion, a doubt as to one of the matters specified in paragraph (2)(b). (4) The person by whom or in whose presence a form or ceremony of marriage takes place or is performed in pursuance of subsection (2) shall make an endorsement in accordance with the regulations on each certificate issued in respect of it. (4A) A marriage which takes place after the commencement of this subsection in pursuance of subsection (2) is not invalid by reason of any failure to comply with the requirements of subsection (3) or (4). (5) Nothing in this Act shall be taken to prevent 2 persons who are already legally married to each other from going through a religious ceremony of marriage with each other in Australia where those persons have: (a) produced to the person by whom or in whose presence the ceremony is to be performed a certificate of their existing marriage; and
Marriage Act 1961
77
Part IX Miscellaneous
Section 114 (b) furnished to that person a statement in writing, signed by them and witnessed by that person, that: (i) they have previously gone through a form or ceremony of marriage with each other; (ii) they are the parties mentioned in the certificate of marriage produced with the statement; and (iii) they have no reason to believe that they are not legally married to each other or, if their marriage took place outside Australia, they have no reason to believe that it would not be recognised as valid in Australia. (6) The provisions of sections 42, 44, 50 and 51 do not apply to or in relation to a religious ceremony of marriage in accordance with subsection (5) and the person by whom, or in whose presence, the ceremony is performed shall not: (a) prepare or issue in respect of it any certificate of marriage under or referring to this Act; or (b) issue any other document to the parties in respect of the ceremony unless the parties are described in the document as being already legally married to each other. (7) A person who is not an authorised celebrant does not commit an offence against section 101 by reason only of his or her having performed a religious ceremony of marriage between parties who have complied with the requirements of subsection (5) of this section.
114 Correction of errors in marriage registries (1) In this section, the registrar means the Registrar of Foreign Marriages or the Registrar of Overseas Marriages. (2) Where the registrar is satisfied that a register of marriages kept by the registrar contains an error or a mis-statement in, or an omission from, the particulars of a marriage entered in it, the registrar may correct the register by causing the true particulars of the marriage or the particulars omitted from the register, as the case may be, to be entered in the margin of the register opposite to the entry of the marriage. (3) Where the registrar causes particulars to be entered in the margin of a register under this section, the registrar shall sign his or her
78
Marriage Act 1961
Miscellaneous Part IX
Section 115 name immediately under those particulars and write in the margin the date on which the particulars were so entered. (4) The registrar may, before correcting an error, mis-statement or omission under this section, require the true particulars of the marriage, or the particulars omitted from the register, as the case may be, to be verified by the statutory declaration of the parties to the marriage or a person who satisfies the registrar that that person has personal knowledge of those particulars. (5) Subject to subsection (6), where a copy of, or extract from, an entry in a register of marriages that has been corrected under this section is issued, the copy or extract shall contain the particulars that would be contained in the entry if the particulars in fact contained in the entry were corrected so as to accord with the particulars entered in the margin of the register. (6) A copy of, or extract from, an entry in a register shall contain the particulars contained in the entry and the particulars entered, in relation to the entry, in the margin of the register if the registrar is satisfied that the person requiring a copy or extract has proper reasons for requiring a copy or extract containing those particulars.
115 Publication of lists of authorised celebrants (1) The Minister shall cause to be published in such manner as the Minister considers appropriate, as soon as practicable after each 14 March: (a) a list of the persons who are authorised celebrants; and (b) a list of the persons who are prescribed authorities in relation to marriages in Australia. (2) The list referred to in paragraph (1)(a) shall show: (a) in respect of each minister of religion registered under Subdivision A of Division 1 of Part IV—his or her full name, designation, address and religious denomination; and (b) in respect of each other person—his or her full name, designation (if any) and address and, where appropriate, the religious body or religious organisation to which he or she belongs. (3) The list referred to in paragraph (1)(b) shall show the full name, designation (if any) and address of each prescribed authority.
Marriage Act 1961
79
Part IX Miscellaneous
Section 116 (4) The inclusion of the name of a person in the latest list published in pursuance of paragraph (1)(a) is evidence that that person is an authorised celebrant and inclusion of the name of a person in the latest list published in pursuance of paragraph (1)(b) is evidence that that person is a prescribed authority.
116 Judicial notice of signatures of Registrars, celebrants etc. (1) Judicial notice shall be taken of the signature of a person who holds or has held, or is acting or has acted in, the office of: (a) Registrar of Foreign Marriages; (b) Deputy Registrar of Foreign Marriages; (c) Registrar of Overseas Marriages; or (d) Deputy Registrar of Overseas Marriages; appearing on a document under this Act and of the fact that, at the time the document was signed by the person, he or she held, or was acting in, that office. (2) Judicial notice shall be taken of the signature of a person who is, or has been, an authorised celebrant or chaplain appearing on a document under this Act and of the fact that, at the time the document was signed by the person, he or she was an authorised celebrant or chaplain, as the case may be. (3) Judicial notice shall be taken of the signature of a person who has, at any time: (a) performed the functions of a Judge or magistrate under Part II of this Act or of a Judge under the Part repealed by the Marriage Amendment Act 1976; (b) performed the functions of a prescribed authority under this Act; or (c) kept a register under Division 1 of Part IV of this Act; appearing on a document under this Act and of the fact that, at the time the document was signed, that person was duly authorised to perform those functions or to keep that register, as the case may be.
117 Evidence of registration etc. (1) A certificate under the hand of a person by whom a register under a Subdivision of Division 1 of Part IV (other than Subdivision C of that Division) is kept stating that a specified person was, at a date
80
Marriage Act 1961
Miscellaneous Part IX
Section 118 specified in the certificate, registered under that Subdivision in the register kept by the first-mentioned person for the purposes of that Subdivision is evidence that the person specified in the certificate was registered under that Subdivision at the date so specified. (2) A certificate under the hand of the Minister stating that a person specified in the certificate was not, at a date specified in the certificate, registered under a Subdivision of Division 1 of Part IV (other than Subdivision C of that Division) is evidence that the person specified in the certificate was not registered under that Subdivision at the date so specified. (2A) A certificate under the hand of the Minister stating that a specified person was at a specified date: (a) a person authorised under section 39 to solemnise marriages at the place and subject to the conditions (if any) specified in the certificate; or (b) an officer or employee of the Commonwealth, a State or a Territory, appointed by the Minister to be a prescribed authority; is prima facie evidence of the matters stated in the certificate. (3) In a prosecution for an offence against this Act, an averment by the prosecutor in the information or complaint that the defendant or any other person specified in the averment is identical with the person specified in a certificate under this section is evidence of that fact.
118 Right of ministers of religion to receive fees Nothing in this Act affects the right of a minister of religion who is an authorised celebrant to require or receive a fee for or in respect of the solemnisation of a marriage.
120 Regulations The Governor-General may make regulations, not inconsistent with this Act, prescribing all matters which by this Act are required or permitted to be prescribed, or which are necessary or convenient to be prescribed for carrying out or giving effect to this Act, and, in particular: (a) prescribing the forms to be used under this Act;
Marriage Act 1961
81
Part IX Miscellaneous
Section 120 (b) prescribing the practice and procedure in relation to inquiries under Part II by a Judge or a magistrate, including the summoning of witnesses, the production of documents, the taking of evidence on oath or affirmation, the administering of oaths or affirmations and the payment to witnesses of fees and of allowances for expenses; (c) prescribing the manner of making application for registration under Division 1 of Part IV; (e) prescribing the conditions under which, and the manner in which, marriages solemnised in accordance with the law of an overseas country may be registered under section 84; (f) making provision for the recognition in Australia of marriages solemnised under a law in force in a place outside Australia, being a law which makes provision appearing to the Governor-General to be similar to any provision made by Part V; (g) requiring the furnishing, to the persons by whom registers of births are kept under a law of the Commonwealth or a State or of any Territory, of information with respect to: (i) legitimations effected by sections 89, 90 and 91; and (ii) orders made under section 92; (h) making provision for and in relation to: (i) registration of legitimations effected by sections 89, 90 and 91 in cases where the births of the legitimated children are not registered in any register of births kept under a law of the Commonwealth or a State or of any Territory (including provision requiring the furnishing of information); and (ii) the issue and effect of certificates in respect of any such registration; and (j) prescribing penalties not exceeding a fine of $200 for offences against the regulations.
82
Marriage Act 1961
Persons whose consent is required to the marriage of a minor The Schedule
The Schedule—Persons whose consent is required to the marriage of a minor Section 14
Part I Where the Minor is not an Adopted Child Circumstances in relation to the Minor
1.
Person or persons whose consent is required
Where both parents of the minor are alive— (a) in any case other than a case to which paragraph (b) or (c) is applicable (b) if the parents live separately and apart— (i) if the minor lives permanently with one parent or lives more with one parent than with the other (ii) if the minor does not live with either parent and the parents have never been married to each other (c) if both parents have been deprived of the custody of the minor by the order of a court
Both parents
The parent with whom the minor so lives
The mother
The person or persons having the custody of the minor under the order of the court
Marriage Act 1961
83
The Schedule Persons whose consent is required to the marriage of a minor
Circumstances in relation to the Minor
2.
Where only one parent of the minor is alive— (a) if the parents had, at any time, been married to each other— (i) if the surviving parent has not been deprived of the custody of the minor by the order of a court (ii) if the surviving parent has been deprived of the custody of the minor by the order of a court (b) if the parents had never been married to each other— (i) if the surviving parent is the mother and she has not been deprived of the custody of the minor by the order of a court (ii) if the surviving parent is the mother and she has been deprived of the custody of the minor by the order of a court (iii) if the surviving parent is the father— (A) if the minor lives permanently with the father (B) if the minor does not live permanently with the father and there is or are a guardian or guardians of the minor (C) if the minor does not live permanently with the father and there is no guardian of the minor
84
Marriage Act 1961
Person or persons whose consent is required
The surviving parent
The person or persons having the custody of the minor under the order of the court
The mother
The person or persons having the custody of the minor under the order of the court
The father
The guardian or guardians
A prescribed authority
Persons whose consent is required to the marriage of a minor The Schedule
Circumstances in relation to the Minor
3.
Person or persons whose consent is required
Where both parents of the minor are dead— (a) if there is or are a guardian or guardians of the minor (b) if there is no guardian of the minor
The guardian or guardians A prescribed authority
Part III Where the Minor is an Adopted Child Circumstances in relation to the Minor
Person or persons whose consent is required
1.
Where the minor was adopted by a husband and wife jointly
The person or persons who would be the prescribed person or persons under Part I of this Schedule if the minor had been born in lawful wedlock to his or her adoptive parents
2.
Where the minor was adopted by one person only— (a) if the adoptive parent is alive and has not been deprived of the custody of the minor by the order of a court (b) if the adoptive parent is alive but has been deprived of the custody of the minor by the order of a court (c) if the adoptive parent is dead— (i) if there is or are a guardian or guardians of the minor (ii) if there is no guardian of the minor
The adoptive parent
The person who has the custody of the minor under the order of the court
The guardian or guardians
A prescribed authority
Marriage Act 1961
85
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Acts
Notes to the Marriage Act 1961 Note 1 The Marriage Act 1961 as shown in this compilation comprises Act No. 12, 1961 amended as indicated in the Tables below. All relevant information pertaining to application, saving or transitional provisions prior to 24 November 2000 is not included in this compilation. For subsequent information see Table A.
Table of Acts Act
Number and year
Date of Assent
Date of commencement
Marriage Act 1961
12, 1961
6 May 1961
Ss. 1–3, 5(1) and 9, Part III (ss. 22–24), Part VIII (ss. 107–110) and s. 120: 6 May 1961 Rem ainder: 1 Sept 1963 (see Gazette 1963, p. 1977)
Statute Law Revision (Decimal Currency) Act 1966
93, 1966
29 Oct 1966
1 Dec 1966
—
Marriage Act 1973
35, 1973
27 May 1973
1 July 1973 (see Gazette 1973, No. 70, p. 3)
Ss. 8(2) and 12(2)
Statute Law Revision Act 1973
216, 1973
19 Dec 1973
31 Dec 1973
Ss. 9(1) and 10
Marriage Amendment Act 1976
209, 1976
20 Dec 1976
Ss. 1, 2 and 30: Royal Assent Ss. 14 and 31: 1 July 1976 Rem ainder: 20 June 1977 (see Gazette 1977, No. S93)
Ss. 2(4), 14(2), 15(2), 23(2) and 30
Domicile (Consequential Amendments) Act 1982
2, 1982
4 Mar 1982
1 July 1982 (see s. 2 and Gazette 1982, No. G26, p. 2)
—
Marriage Amendment Act 1985
7, 1985
29 Mar 1985
Ss. 4, 10–13 and 23: 7 Apr 1986 (see Gazette 1986, No. S153) Rem ainder: 26 Apr 1985
Ss. 8(2), (3) and 25(2)
Marriage Act 1961
Application, saving or transitional provisions
87
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Acts Act
Number and year
Date of Assent
Date of commencement
Application, saving or transitional provisions
Statute Law (Miscellaneous Provisions) Act 1988
38, 1988
3 June 1988
S. 3: Royal Assent (a)
—
Law and Justice Legislation Amendment Act 1990
115, 1990
21 Dec 1990
S. 49: Royal Assent (b)
—
Sex Discrimination Amendment Act 1991
71, 1991
25 June 1991
Part 3 (ss. 11–17): 1 Aug 1991 (c)
Ss. 3 and 17
Territories Law Reform Act 1992
104, 1992
30 June 1992
S. 24: 1 July 1992 (d)
—
Witness Protection Act 1994
124, 1994
18 Oct 1994
18 Apr 1995
—
Family Law Reform (Consequential Amendments) Act 1995
140, 1995
12 Dec 1995
Schedule 1 (Part 7): 11 June 1996 (see s. 2(4) and Gazette 1996, No. GN5) (e)
—
Statute Law Revision Act 1996
43, 1996
25 Oct 1996
Schedule 5 (item 79): Royal Assent (f)
—
Law and Justice Legislation Amendment Act 1999
125, 1999
13 Oct 1999
Schedule 13: Royal Assent (g)
—
Criminal Code Amendment (Theft, Fraud, Bribery and Related Offences) Act 2000
137, 2000
24 Nov 2000
Ss. 1–3 and Schedule 1 (items 1, 4, 6, 7, 9–11, 32): Royal Assent Rem ainder: 24 May 2001
Sch. 2 (items 418, 419) [see Table A]
Law and Justice Legislation Amendment (Application of Criminal Code) Act 2001
24, 2001
6 Apr 2001
S. 4(1), (2) and Schedule 34: (h)
S. 4(1) and (2) [see Table A]
Marriage Amendment Act 2002
77, 2002
8 Oct 2002
Schedule 2 (items 1–14, 16–56): 5 Nov 2002 Schedule 2 (item 15): 8 Apr 2003 Schedule 1: 1 Sept 2003 (see Gazette 2003, No. GN31) Rem ainder: Royal Assent
Sch. 1 (item 27) and Sch. 2 (items 5, 10, 17) [see Table A]
Marriage Amendment Act 2004
126, 2004
16 Aug 2004
16 Aug 2004
—
Family Law Amendment (Shared Parental Responsibility) Act 2006
46, 2006
22 May 2006
Schedule 4 (items 114–117): 1 July 2006
—
Statute Law Revision Act 2010
8, 2010
1 Mar 2010
Schedule 5 (item 137(a)): (i)
—
88
Marriage Act 1961
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Acts Act
Number and year
Date of Assent
Date of commencement
Application, saving or transitional provisions
Statute Law Revision Act 2011
5, 2011
22 Mar 2011
Schedule 4 (items 1–24): Royal Assent Schedule 4 (item 25): (j) Schedule 7 (item 92): 19 Apr 2011
—
Marriage Act 1961
89
Notes to the Marriage Act 1961
Act Notes (a)
The Marriage Act 1961 was amended by section 3 only of the Statute Law (Miscellaneous Provisions) Act 1988, subsection 2(1) of which provides as follows: (1) Subject to this section, this Act commences on the day on which it receives the Royal Assent.
(b)
The Marriage Act 1961 was amended by section 49 only of the Law and Justice Legislation Amendment Act 1990, subsection 2(1) of which provides as follows: (1) Subject to this section, this Act commences on the day on which it receives the Royal Assent.
(c)
The Marriage Act 1961 was amended by Part 3 (sections 11–17) only of the Sex Discrimination Act 1991, subsection 2(1) of which provides as follows: (1) Part 1, sections 4, 7 and 8, Parts 3 and 4 and the Schedule commence on 1 August 1991.
(d)
The Marriage Act 1961 was amended by section 24 only of the Territories Law Reform Act 1992, subsection 2(3) of which provides as follows:
(e)
The Marriage Act 1961 was amended by Schedule 1 (Part 7) by the Family Law Reform (Consequential Amendments) Act 1995, subsection 2(4) of which provides as follows:
(3) The remaining provisions of this Act commence on 1 July 1992.
(4) The amendments made by Part 7 of Schedule 1 commence on the commencement of section 5 of the Family Law Reform Act 1995. (f)
The Marriage Act 1961 was amended by Schedule 5 (item 79) only of the Statute Law Revision Act 1996, subsection 2(1) of which provides as follows: (1) Subject to subsections (2) and (3), this Act commences on the day on which it receives the Royal Assent.
(g)
The Marriage Act 1961 was amended by Schedule 13 only of the Law and Justice Legislation Amendment Act 1999, subsection 2(1) of which provides as follows: (1) Subject to this section, this Act commences on the day on which it receives the Royal Assent.
(h)
The Marriage Act 1961 was amended by Schedule 34 only of the Law and Justice Legislation Amendment (Application of Criminal Code) Act 2001, subsection 2(1)(a) of which provides as follows: (1) Subject to this section, this Act commences at the later of the following times: (a) immediately after the commencement of item 15 of Schedule 1 to the Criminal Code Amendment (Theft, Fraud, Bribery and Related Offences) Act 2000; Item 15 commenced on 24 May 2001.
(i)
Subsection 2(1) (items 31 and 38) of the Statute Law Revision Act 2010 provides as follows: (1) Each provision of this Act specified in column 1 of the table commences, or is taken to have commenced, in accordance with column 2 of the table. Any other statement in column 2 has effect according to its terms.
Commencement information Column 1
Column 2
Column 3
Provision(s)
Commencement
Date/Details
31. Schedule 5,
The day this Act receives the Royal Assent.
1 March 2010
38. Schedule 5,
Immediately after the provision(s) covered by table
1 March 2010
Parts 2 and 3
item 31.
items 1 to 51
90
Marriage Act 1961
Notes to the Marriage Act 1961
Act Notes (j)
Subsection 2(1) (items 11 and 12) of the Statute Law Revision Act 2011 provides as follows: (1) Each provision of this Act specified in column 1 of the table commences, or is taken to have commenced, in accordance with column 2 of the table. Any other statement in column 2 has effect according to its terms.
Provision(s)
Commencement
Date/Details
11. Schedule 4,
The day this Act receives the Royal Assent.
22 March 2011
12. Schedule 4,
Immediately after the commencem ent of the
22 March 2011
item 25
provision(s) covered by table item 11.
items 1 to 24
Marriage Act 1961
91
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Amendments
Table of Amendments ad. = added or inserted
Provision affected
am. = amended
rep. = repealed
rs. = repealed and substituted
How affected
Part I S. 2 ........................................ am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 S. 3 ........................................ rep. No. 216, 1973 S. 4 ........................................ am. No. 209, 1976 rep. No. 38, 1988 S. 5 ........................................ am. No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 2, 1982; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 104, 1992; No. 77, 2002; No. 126, 2004; No. 5, 2011 S. 5A ...................................... ad. No. 24, 2001 S. 6 ........................................ rs. No. 209, 1976 am. No. 5, 2011 S. 7 ........................................ am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 S. 8 ........................................ am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 104, 1992; No. 5, 2011 S. 9 ........................................ am. No. 209, 1976; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 9A ...................................... ad. No. 209, 1976 am. No. 77, 2002 Part IA Heading to Part IA ................... am. No. 7, 1985 Part IA .................................... ad. No. 209, 1976 Heading to s. 9B ...................... am. No. 5, 2011 S. 9B ...................................... ad. No. 209, 1976 am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 5, 2011 Heading to s. 9C...................... am. No. 5, 2011 S. 9C ...................................... ad. No. 209, 1976 am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No.115, 1990; No. 5, 2011 Heading to s. 9D...................... am. No. 140, 1995 S. 9D ...................................... ad. No. 209, 1976 am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 140, 1995 rep. No. 46, 2006 Heading to s. 9E ...................... am. No. 5, 2011 S. 9E ...................................... ad. No. 209, 1976 am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 5, 2011 Part II S. 10....................................... am. No. 209, 1976 S. 11....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 rs. No. 71, 1991 S. 12....................................... am. No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 71, 1991 Heading to s. 13 ...................... am. No. 5, 2011 S. 13....................................... am. No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 14....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985
Marriage Act 1961
93
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Amendments ad. = added or inserted
Provision affected
am. = amended
rep. = repealed
rs. = repealed and substituted
How affected
S. 15....................................... am. No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 16....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 140, 1995; No. 46, 2006 S. 17....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 S. 19....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 S. 20....................................... am. No. 7, 1985 S. 21....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 Part III Part III..................................... rs. No. 209, 1976 Division 1 Heading to Div. 1 of Part III ...... ad. No. 7, 1985 rs. No. 5, 2011 Ss. 22, 23 ............................... rs. No. 209, 1976 am. No. 7, 1985 Division 2 Heading to Div. 2 of Part III ...... rs. No. 5, 2011 Div. 2 of Part III ....................... ad. No. 7, 1985 S. 23A .................................... ad. No. 7, 1985 am. No. 5, 2011 S. 23B .................................... ad. No. 7, 1985 S. 24....................................... rep. No. 209, 1976 Part IV Heading to Part IV ................... rs. No. 5, 2011 Division 1 Heading to Div. 1..................... rs. No. 77, 2002; No. 5, 2011 of Part IV Subdivision A Heading to Subdiv. A .............. ad. No. 77, 2002 of Div. 1 of Part IV S. 25....................................... am. No. 7, 1985; No. 77, 2002 S. 26....................................... am. No. 5, 2011 S. 27....................................... am. No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 28....................................... am. No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 29 ...................... am. No. 77, 2002 S. 29....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 30....................................... am. No. 7, 1985; No. 77, 2002 S. 31....................................... am. No. 35, 1973; No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 32....................................... am. No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 33....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 34....................................... rs. No. 209, 1976 am. No. 7, 1985; No. 77, 2002 S. 35....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 77, 2002 S. 36....................................... am. No. 7, 1985 S. 37....................................... am. No. 77, 2002; No. 5, 2011
94
Marriage Act 1961
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Amendments ad. = added or inserted
Provision affected
am. = amended
rep. = repealed
rs. = repealed and substituted
How affected
S. 38....................................... rs. No. 35, 1973 am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Subdivision B Heading to Subdiv. B .............. ad. No. 77, 2002 of Div. 1 of Part IV Heading to s. 39 ...................... am. No. 77, 2002 S. 39....................................... am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Subdivision C Subdiv. C of Div. 1 of Part IV .... ad. No. 77, 2002 S. 39A .................................... ad. No. 77, 2002 S. 39B .................................... ad. No. 77, 2002 am. No. 8, 2010 S. 39C .................................... ad. No. 77, 2002 am. No. 5, 2011 Ss. 39D, 39E ........................... ad. No. 77, 2002 S. 39F..................................... ad. No. 77, 2002 am. No. 5, 2011 Ss. 39G–39J ........................... ad. No. 77, 2002 S. 39K .................................... ad. No. 77, 2002 am. No. 5, 2011 Ss. 39L, 39M ........................... ad. No. 77, 2002 Division 2 S. 40....................................... am. No. 7, 1985; No. 5, 2011 Heading to s. 41 ...................... am. No. 5, 2011 S. 41....................................... am. No. 5, 2011 S. 42....................................... am. No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 42A .................................... ad. No. 124, 1994 Heading to s. 43 ...................... am. No. 5, 2011 S. 43....................................... am. No. 5, 2011 S. 44....................................... am. No. 209, 1976; No. 5, 2011 S. 45....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 46....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 5, 2011 Heading to s. 47 ...................... am. No. 5, 2011 S. 47....................................... am. No. 43, 1996; No. 5, 2011 Heading to s. 48 ...................... am. No. 5, 2011 S. 48....................................... am. No. 209, 1976; No. 5, 2011 S. 49....................................... am. No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 50....................................... am. No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 5, 2011 S. 51....................................... am. No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 43, 1996; No. 125, 1999; No. 5, 2011 Division 3 S. 52....................................... am. No. 209, 1976; No. 5, 2011
Marriage Act 1961
95
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Amendments ad. = added or inserted
Provision affected
am. = amended
rep. = repealed
rs. = repealed and substituted
How affected
S. 54....................................... am. No. 209, 1976 rs. No. 77, 2002 am. No. 5, 2011 Heading to s. 55 ...................... am. No. 5, 2011 S. 55....................................... am. No. 216, 1973; No. 209, 1976 rs. No. 7, 1985 am. No. 5, 2011 S. 56....................................... am. No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 57....................................... am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 5, 2011 Heading to s. 58 ...................... am. No. 5, 2011 S. 58....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 5, 2011 S. 59....................................... am. No. 7, 1985; No. 5, 2011 Part V Heading to Part V .................... rs. No. 77, 2002 Div. 1 of Part V ........................ rep. No. 77, 2002 S. 60....................................... rep. No. 77, 2002 S. 61....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988 rep. No. 77, 2002 S. 62....................................... am. No. 7, 1985; No. 38, 1988 rep. No. 77, 2002 S. 63....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988 rep. No. 77, 2002 S. 64....................................... am. No. 7, 1985 rep. No. 77, 2002 Div. 2 of Part V ........................ rep. No. 77, 2002 S. 65....................................... rep. No. 77, 2002 S. 66....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988 rep. No. 77, 2002 S. 67....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 rep. No. 77, 2002 S. 68....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988 rep. No. 77, 2002 S. 69....................................... am. No. 209, 1976 rep. No. 77, 2002 S. 70....................................... rep. No. 77, 2002 Division 3 Heading to Div. 3 of Part V ....... rs. No. 77, 2002 S. 71....................................... am. No. 5, 2011 S. 72....................................... am. No. 209, 1976; No. 5, 2011 Division 4 S. 73....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 Heading to s. 74 ...................... am. No. 77, 2002 S. 74....................................... am. No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 75 ...................... am. No. 77, 2002 S. 75....................................... am. No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011
96
Marriage Act 1961
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Amendments ad. = added or inserted
Provision affected
am. = amended
rep. = repealed
rs. = repealed and substituted
How affected
S. 76....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 77 ...................... am. No. 5, 2011 S. 77....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 71, 1991; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 78 ...................... am. No. 5, 2011 S. 78....................................... am. No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 71, 1991; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 79 ...................... am. No. 77, 2002 S. 79....................................... am. No. 7, 1985; No. 77, 2002 S. 80....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 81 ...................... am. No. 5, 2011 S. 81....................................... am. No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 82 ...................... am. No. 5, 2011 S. 82....................................... am. No. 5, 2011 S. 83....................................... am. No. 209, 1976; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 84 ...................... am. No. 77, 2002 S. 84....................................... am. No. 7, 1985; No. 77, 2002 Heading to s. 85 ...................... am. No. 5, 2011 S. 85....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 86....................................... am. No. 38, 1988 S. 87....................................... am. No. 5, 2011 Part VA Part VA ................................... ad. No. 7, 1985 S. 88A .................................... ad. No. 7, 1985 S. 88B .................................... ad. No. 7, 1985 am. No. 126, 2004; No. 5, 2011 S. 88C .................................... ad. No. 7, 1985 am. No. 5, 2011 Ss. 88D, 88E ........................... ad. No. 7, 1985 am. No. 71, 1991; No. 5, 2011 S. 88EA .................................. ad. No. 126, 2004 Ss. 88F, 88G ........................... ad. No. 7, 1985 am. No. 71, 1991; No. 5, 2011 Part VI S. 89....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 S. 90....................................... rs. No. 7, 1985 am. No. 5, 2011 S. 91....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 S. 92....................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002 S. 93....................................... am. No. 7, 1985; No. 38, 1988
Marriage Act 1961
97
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Amendments ad. = added or inserted
Provision affected
am. = amended
rep. = repealed
rs. = repealed and substituted
How affected
Part VII S. 94....................................... am. No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 24, 2001 S. 95....................................... am. No. 93, 1966; No. 35, 1973; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 24, 2001 Ss. 96, 97 ............................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 7, 1985 rep. No. 137, 2000 Heading to s. 98 ...................... rs. No. 137, 2000 S. 98....................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 137, 2000 Heading to s. 99 ...................... am. No. 5, 2011 S. 99....................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 Heading to s. 100 .................... am. No. 5, 2011 S. 100 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 Heading to s. 101 .................... am. No. 5, 2011 S. 101 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 102 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 7, 1985 rep. No. 137, 2000 Heading to s. 103 .................... am. No. 5, 2011 S. 103 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 5, 2011 S. 104 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 105 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 24, 2001 S. 106 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 24, 2001; No. 5, 2011 Part VIII S. 107 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 108 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 137, 2000; No. 5, 2011 S. 109 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 S. 110 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985 rep. No. 77, 2002 Part IX S. 111 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 111A .................................. ad. No. 209, 1976 Ss. 112, 113 ............................ am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 5, 2011 S. 114 ..................................... am. No. 7, 1985 S. 115 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 116 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 117 ..................................... am. No. 209, 1976; No. 7, 1985; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011 S. 118 ..................................... am. No. 5, 2011 S. 119 ..................................... am. No. 209, 1976 rep. No. 7, 1985 S. 120 ..................................... am. No. 93, 1966; No. 209, 1976; No. 38, 1988; No. 77, 2002; No. 5, 2011
98
Marriage Act 1961
Notes to the Marriage Act 1961
Table of Amendments ad. = added or inserted
Provision affected
am. = amended
rep. = repealed
rs. = repealed and substituted
How affected
The Schedule The Schedule .......................... am. No. 35, 1973; No. 38, 1988
Marriage Act 1961
99
Notes to the Marriage Act 1961
Table A
Table A Application, saving or transitional provisions Criminal Code Amendment (Theft, Fraud, Bribery and Related Offences) Act 2000 (No. 137, 2000)
Schedule 2 418 Transitional—pre-commencement offences (1)
Despite the amendment or repeal of a provision by this Schedule, that provision continues to apply, after the commencement of this item, in relation to: (a) an offence committed before the commencement of this item; or (b) proceedings for an offence alleged to have been committed before the commencement of this item; or (c) any matter connected with, or arising out of, such proceedings; as if the amendment or repeal had not been made.
(2)
Subitem (1) does not limit the operation of section 8 of the Acts Interpretation Act 1901.
419 Transitional—pre-commencement notices If: (a) a provision in force immediately before the commencement of this item required that a notice set out the effect of one or more other provisions; and (b) any or all of those other provisions are repealed by this Schedule; and (c) the first-mentioned provision is amended by this Schedule; the amendment of the first-mentioned provision by this Schedule does not affect the validity of such a notice that was given before the commencement of this item.
100
Marriage Act 1961
Notes to the Marriage Act 1961
Table A Law and Justice Legislation Amendment (Application of Criminal Code) Act 2001 (No. 24, 2001)
4 Application of amendments (1) Subject to subsection (3), each amendment made by this Act applies to acts and omissions that take place after the amendment commences. (2) For the purposes of this section, if an act or omission is alleged to have taken place between 2 dates, one before and one on or after the day on which a particular amendment commences, the act or omission is alleged to have taken place before the amendment commences.
Marriage Amendment Act 2002 (No. 77, 2002)
Schedule 1 27 Registration of existing marriage celebrants (1)
In this item: existing marriage celebrant means a person: (a) in respect of whom an instrument made under subsection 39(2) of the Marriage Act 1961 was in force immediately before the commencehment of item 18 of this Schedule; and (b) who was not authorized by that instrument to solemnize marriages as an officer of a State or Territory.
(2)
Each existing marriage celebrant is taken to have been registered under Subdivision C of Division 1 of Part IV of the Marriage Act 1961 as a marriage celebrant on the date of the commencement of item 18 of this Schedule.
(3)
As soon as practicable after the commencement of item 18 of this Schedule, the Registrar of Marriage Celebrants must enter in the register of marriage celebrants all details relating to the person that are required by regulations made for the purposes of subsection 39D(5) to be entered in the register in respect of a person who is registered as a marriage celebrant.
Marriage Act 1961
101
Notes to the Marriage Act 1961
Table A
Schedule 2 5 Application of items 4 and 56 The amendments made by items 4 and 56 apply in relation to appointments of prescribed authorities made after those items commence.
10 Application of item 9 The amendment made by item 9 applies in relation to notices of intention to marry given after the item commences.
17 Application of item 16 The amendment made by item 16 applies in relation to Proclamations declared after the item commences.
102
Marriage Act 1961
MINISTRY OF LAW
(Legislative Department) New Delhi, the 31st August, 1969/Bhadra 9, 1981 (Saka) The following Act of Parliament received the assent of the President on the 31st August, 1969, and is hereby published for general information:
THE FOREIGN MARRIAGE ACT, 1969 No. 33 of 1969
(31st August, 1969) An Act to make provision relating to marriages of citizens of India outside India. Be it enacted by Parliament in the Twentieth Year of the Republic of India as follows :
CHAPTER I PRELIMINARY 1. Short Title.This Act may be called the Foreign Marriage Act, 1969. 2. Definitions.In this Act, unless the context otherwise requires, (a) "degrees of prohibited relationship" shall have the same meaning as in the Special Marriage Act, 1954 (43 of 1954); (b) "district", in relation to a Marriage Officer, means the area within which the duties of his office are to be discharged; (c) "foreign country" means a country or place outside India, and includes a ship which is for the time being in the territorial waters of such a country or place; (d) "Marriage Officer" means a person appointed under section 3 to be a Marriage Officer; (e) "official house", in relation to a Marriage Officer, means (i) the official house of residence of the officer; (ii) the office in which the business of the officer transacted; (iii) a prescribed place; and (f) "prescribed" means prescribed by rules made under this Act.
is
3. Marriage Officers.For the purposes of this Act, the Central Government may, by notification in the official Gazette, appoint such of its diplomatic or consular officers as it may think fit to be Marriage Officers for any foreign country. Explanation.In this section "diplomatic officer" means an ambassador, envoy, minister, high commissioner, commissioner, charge d' affairs or other diplomatic representative or a counsellor or secretary of an embassy, legation or high commission.
CHAPTER II SOLEMNIZATION OF FOREIGN MARRIAGES 4. Conditions relating to solemnization of foreign marriages.A marriage between parties one of whom at least is a citizen of India may be solemnized under this Act by or before a Marriage Officer in a foreign country, if, at the time of the marriage, the following conditions are fulfilled, namely: (a) neither party has a spouse living; (b) neither party is an idiot or a lunatic; (c) the bridegroom has completed the age of twenty-one years and the bride the age of eighteen years at the time of the marriage, and (d) the parties are not within the degrees of prohibited relationship; Provided that where the personal law or a custom governing at least one of the parties permits of a marriage between them, such marriage may be solemnized, notwithstanding that they are within the degrees of prohibited relationship. 5. Notice of intended marriage.When a marriage is intended to be solemnized under this Act, the parties to the marriage shall give notice thereof in writing in the form specified in the First Schedule to the Marriage Officer of the district in which at least one of the parties to the marriage has resided for a period of not less than thirty days immediately preceding the date on which such notice is given, and the notice shall state that the party has so resided. 6. Marriage notice book.The Marriage Officer shall keep all notices given under section 5 with the records of his office and shall also forthwith enter a true copy of every such notice in a book prescribed for that purpose, be called the "Marriage Notice Book", and such book shall be open for inspection at all reasonable times, without fee, by any person desirous of inspecting the same. 7. Publication of notice.Where a notice under section 5 is given to the Marriage Officer, he shall cause it to be published(a) in his own office, by affixing a copy thereof to a conspicuous place, and (b) in India and in the country or countries in which the parties are ordinarily resident, in the prescribed manner. 8. Objection to marriage.(1) Any person may, before the expiration of thirty days from the date of publication of the notice under section 7, object to the marriage on the ground that it would contravene one or more of the conditions specified in section 4. Explanation.Where the publication of the notice by affixation under clause (a) of section 7 and in the prescribed manner under clause (b) of that section is on different dates, the period of thirty days shall, for the purposes of this sub-section, be computed from the later date. (2) Every such objection shall be in writing signed by the person making it or by any person duly authorised to sign on his behalf, and shall state the ground of objection; and the Marriage Officer shall record the nature of the objection in his Marriage Notice Book. 9. Solemnization of marriage where no objection made.If no objection is made within the period specified in section 8 to an intended marriage, then, on the expiry of that period, the marriage may be solemnized.
10. Procedure on receipt of objection.(1) If an objection is made under section 8 to an intended marriage, the Marriage Officer shall not solemnize the marriage until he has inquired into the matter of the objection in such manner as he thinks fit and is satisfied that it ought not to prevent the solemnization of the marriage or the objection is withdrawn by the person making it. (2) Where a Marriage Officer after making any such inquiry entertains a doubt in respect of any objection, he shall transmit the record with such statement respecting the matter as he thinks fit to the Central Government; and the Central Government; after making such further inquiry into the matter and after obtaining such advice as it thinks fit, shall give its decision thereon in writing to the Marriage Officer, who shall act in conformity with the decision of the Central Government. 11. Marriage not to be in contravention of local laws.(1) The Marriage Officer may, for reasons to be recorded in writing, refuse to solemnize a marriage under this Act if the intended marriage is prohibited by any law in force in the foreign country where it is to be solemnized. (2) The Marriage Officer may, for reasons to be recorded in writing, refuse to solemnize a marriage under this Act on the ground that in his opinion, the solemnization of the marriage would be inconsistent with international law or the comity of nations. (3) Where a Marriage Officer refuses to solemnize a marriage under this section, any party to the intended marriage may appeal to the Central Government in the prescribed manner within a period of thirty days from the date of such refusal; and the Marriage Officer shall act in conformity with the decision of the Central Government on such appeal. 12. Declaration by parties and witnesses.-Before the marriage is solemnized, the parties and three witnesses shall, in the presence of the Marriage Officer, sign a declaration in the form specified in the Second Schedule, and the declaration shall be countersigned by the Marriage Officer. 13. Place and form of solemnization.(1) A marriage by or before a Marriage Officer under this Act shall be solemnized at the official house of the Marriage Officer with open doors between the prescribed hours in the presence of at least three witnesses. (2) The marriage may be solemnized in any form which the parties may choose to adopt: Provided that each party declares the three witnesses take thee (B), to be
it shall not be complete and binding on the parties unless to the other in the presence of the Marriage Officer and and in any language understood by the parties,-"I, (A), my lawful wife (or husband)":
Provided further that where the declaration referred to in the preceding proviso is made in any language which is not understood by the Marriage Officer or by any of the witnesses, either of the parties shall interpret or cause to be interpreted the declaration in a language which the Marriage Officer or, as the case may be, such witness understands. 14. Certificate of marriage.(1) Whenever a marriage is solemnized under this Act, the Marriage Officer shall enter a certificate thereof in the form specified in the Third Schedule in a book to be kept by him for that purpose and to be called the Marriage Certificate Book, and such certificate shall be signed by the parties to the marriage and the three witnesses.
(2) On a certificate being entered in the Marriage Certificate Book by the Marriage Officer, the certificate shall be deemed to be conclusive evidence of the fact that a marriage under this Act has been solemnized, and that all formalities respecting the residence of the party concerned previous to the marriage and the signatures of witnesses have been complied with. 15. Validity of foreign marriages in India.Subject to the other provisions contained in this Act, a marriage solemnized in the manner provided in this Act shall be good and valid in law. 16. New notice when marriage not solemnized within six months.Whenever a marriage is not solemnized within six months from the date on which notice thereof has been given to the Marriage Officer as required under section 5 or where the record of a case has been transmitted to the Central Government under section 10, or where an appeal has been preferred to the Central Government under section 11, within three months from the date of decision of the Central Government in such case or appeal, as the case may be, the notice and all other proceedings arising therefrom shall be deemed to have lapsed, and no Marriage Officer shall solemnize the marriage until new notice has been given in the manner laid down in this Act.
CHAPTER III REGISTRATION OF FOREIGN MARRIAGE SOLEMNIZED UNDER OTHER LAWS 17. Registration of foreign marriages.(1) Where (a) a Marriage Officer is satisfied that a marriage has been duly solemnized in a foreign country in accordance with the law of that country between parties of whom one at least was a citizen of India; and (b) a party to the marriage informs the Marriage Officer in writing that he or she desires the marriage to be registered under this section, the Marriage Officer may, upon payment of the prescribed fee, register the marriage. (2) No marriage shall be registered under this section unless at the time of registration it satisfies the conditions mentioned in section 4. (3) The Marriage Officer may, for reasons to be recorded in writing, refuse to register a marriage under this section on the ground that in his opinion the marriage is inconsistent with international law or the comity of nations. (4) Where a Marriage Officer refuses to register a marriage under this section the party applying for registration may appeal to the Central Government in the prescribed manner within a period of thirty days from the date of such refusal; and the Marriage Officer shall act in conformity with the decision of the Central Government on such appeal. (5) Registration of a marriage under this section shall be effected by the Marriage Officer by entering a certificate of the marriage in the prescribed form and in the prescribed manner in the Marriage Certificate Book, and such certificate shall be signed by the parties to the marriage and by three witnesses. (6) A marriage registered under this section shall, as from the date of registration, be deemed to have been solemnized under this Act.
CHAPTER IV MATRIMONIAL RELIEF IN RESPCT OF FOREIGN MARRIAGES 18. Matrimonial relief to be under Special Marriage Act, 1954.(1) Subject to the other provisions contained in this section the provisions of Chapters IV, V, VI and VII of the Special Marriage Act, 1954, shall apply
in relation to marriages solemnized under this Act and to any other marriage solemnized in a foreign country between parties of whom one at least is a citizen of India as they apply in relation to marriages solemnized under that Act. Explanation:In its application to the marriages referred to in this subsection, section 24 of the Special Marriage Act, 1954, (43 of 1954) shall be subject to the following modifications, namely:(i)
the reference in sub-section (1) thereof to clauses (a), (b), (c) and (d) of section 4 of that Act shall be construed as a reference to clauses (a), (b), (c) and (d) respectively of section 4 of this Act, and
(ii)
nothing contained in section 24 aforesaid shall apply to any marriage (a) which is not solemnized under this Act; or (b) which is deemed to be solemnized under this Act by reason of the provisions contained in section 17:
Provided that the registration of any such marriage as is referred to in sub-clause (b) may be declared to be of no effect if the registration was in contravention of sub-section (2) of section 17. (2) Every petition for relief under Chapter V or Chapter VI of the Special Marriage Act, 1954, (43 of 1954) as made applicable to the marriages referred to in sub-section (1), shall be presented to the district court within the local limits of whose ordinary civil jurisdiction(a) the respondent is residing at the time of the presentation of the petition; or (b) the husband and wife last resided together; or (c) the petitioner is residing at the time of the presentation of the petition, provided that the respondent is at that time residing outside India. Explanation :In this section, "district court" has the same meaning as in the Special Marriage Act, 1954 (43 of 1954). (3) Nothing contained in this section shall authorise any court(a) to make any decree of dissolution of marriage, except where(i) the parties to the marriages are domiciled in India at the time of the presentation of the petition ; or (ii) the petitioner, being the wife, was domiciled in India immediately before the marriage and has been residing in India for a period of not less than three years immediately preceding the presentation of the petition ; (b) to make any decree annulling a voidable marriage, except where(i) the parties to the marriage are domiciled in India at the time of the presentation of the petition ; or (ii) the marriage was solemnized under this Act and the petitioner, being the wife, has been ordinarily resident in India for a period of three years immediately preceding the presentation of the petition ; (c) to make any decree of nullity of marriage in respect of a void marriage, except where (i) either of the parties to the marriage is domiciled in India at the time of the presentation of the petition, or (ii)
the marriage was solemnized under this Act and the petitioner is residing in India at the time of the presentation of the petition;
(d) to grant any other relief under Chapter V or Chapter VI of the Special Marriage Act 1954 (43 of 1954) except where the petitioner is residing in India at the time of the presentation of the petition. (4) Nothing contained in sub-section (1) shall authorise any court to grant any relief under this Act in relation to any marriage in a foreign country not solemnized under it, if the grant of relief in respect of such marriage (whether on any of the grounds specified in the Special Marriage Act, 1954, (43 of 1954) (or otherwise) is provided for under any other law for the time being in force.
CHAPTER V PENALTIES 19. Punishment for Bigamy.(1) Any person whose marriage is solemnized or deemed to have been solemnized under this Act and who, during the subsistence of his marriage, contracts any other marriage in India shall be subject to the penalties provided in section 494 and section 495 of the Indian Penal Code (45 of 1860) and the marriage so contracted shall be void. (2) The provisions of sub-section (1) apply also to any such offence committed by any citizen of India without and beyond India. 20. Punishment for Contravention of certain other Conditions for Marriage.Any citizen of India who procures a marriage of himself or herself to be solemnized under this Act in contravention of the condition specified in clause (c) or clause (d) of section 4 shall be punishable(a) in the case of a contravention of the condition specified in clause (c) of section 4, with simple imprisonment which may extend to fifteen days or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both; and (b) in the case of a contravention of the condition specified in clause (d) of section 4, with simple imprisonment which may extend to one month, or with fine which may extend to one thousand rupees, or with both. 21. Punishment for False Declaration.-If any citizen of India for the purpose of procuring a marriage, intentionally(a) where a declaration is required by this Act, makes a false declaration; or (b) where a notice or certificate is required by this Act, signs a false notice or certificate; he shall be punishable with imprisonment for a term which may extend to three years and shall also be liable to fine. 22. Punishment for Wrongful Action of Marriage Officer.-Any Marriage Officer who knowingly and wilfully solemnizes a marriage under this Act in contravention of any of the provisions of this Act shall be punishable with simple imprisonment which may extend to one year, or with fine which may extend to five hundred rupees, or with both.
CHAPTER VI MISCELLANEOUS 23. Recognition of Marriages Solemnized under Law of other Countries.If the Central Government is satisfied that the law in force in any foreign country for the solemnization of marriages contains provisions similar to those contained in this Act, it may, by notification in the Official Gazette, declare that marriages solemnized under the law in force in such foreign country shall be recognised by courts in India as valid.
24. Certification of Documents of Marriages Solemnized in accordance with Local Law in a Foreign Country.(1) Where (a) a marriage is solemnized in any foreign country specified in this behalf by the Central Government, by notification in the Official Gazette, in accordance with the law of that country between parties of whom one at least is a citizen of India ; and (b) a party to the marriage who is such citizen produces to a Marriage Officer in the country in which the marriage was solemnized(i) a copy of the entry in respect of the marriage in the marriage register of that country certified by the appropriate authority in that country to be a true copy of that entry; and (ii) if the copy of that entry is not in the English language,a translation into the prescribed language of that copy; and (c) the Marriage Officer is satisfied that the copy of the entry in the marriage register is a true copy and that the translation, if any, is a true translation ; the Marriage Officer, upon the payment of the prescribed fee, shall certify upon the copy that he is satisfied that the copy is a true copy of the entry in the marriage register and upon the translation that he is satisfied that the translation is a true translation of the copy and shall issue the copy and the translation to the said party. (2) A document relating to a marriage in a foreign country issued under sub-section (1) shall be admitted in evidence in any proceedings as if it were a certificate duly issued by the appropriate authority of that country. 25. Certified copy of Entries to be Evidence.Every certified copy purporting to be signed by the Marriage Officer of an entry of a marriage in the Marriage Certificate Book shall be received in evidence without production or proof of the original. 26. Correction of Errors.(1) Any Marriage Officer who discovers any error in the form or substance of any entry in the Marriage Certificate Book may within one month next after the discovery of such error, in the presence of the persons married, or, in case of their death or absence, in the presence of two other witnesses, correct the error by entry in the margin without any alteration of the original entry and add thereto the date of such correction. (2) Every correction made under this section shall be attested by the witnesses in whose presence it was made. 27. Act not to affect Validity of Marriages outside it.Nothing in this Act shall in any way affect the validity of a marriage solemnized in a foreign country otherwise than under this Act. 28. Power to make Rules.(1) The Central Government may, by notification in the Official Gazette, make rules for carrying out the purposes of this Act. (2) In Particular, and without prejudice to the generality of the foregoing power, such rules may provide for all or any of the following matters, namely : (a) the duties and powers of Marriage Officers and their districts ; (b) the manner in which a Marriage Officer may hold any inquiry under this Act ; (c) the manner in which notices of marriage shall be published ; (d) the places in which and the hours between which marriages under this Act may be solemnized ; (e) the form and the manner in which any books required by or under this Act to be kept shall be maintained ;
(f) the form and manner in which certificates of marriages may be entered under sub-section (5) of section 17; (g) the fees that may be levied for the performance of any duty imposed upon a Marriage Officer under this Act ; (h) the authorities to which, the form in which and the intervals within which copies of entries in the Marriage Certificate Book shall be sent, and, when corrections are made in the Marriage Certificate Book, the manner in which certificates of such corrections shall be sent to the authorities ; (i) the inspection of any books required to be kept under this Act and the furnishing of certified copies of entries therein ; (j) the manner in which and the conditions subject to which any marriage may be recognized under section 23 ; (k) any other matter which may be, or requires to be, prescribed. (3) Every rule made under this section shall be laid as soon as may be after it is made before each House of Parliament while it is in session for a total period of thirty days which may be comprised in one session or in two successive sessions, and if before the expiry of the session in which it is so laid or the session immediately following, both Houses agree in making any modification in the rule or both Houses agree that the rule should not be made, the rule shall thereafter have effect only in such modified form or be of no effect, as the case may be; so, however, that any such modification or annulment shall be without prejudice to the validity of anything previously done under that rule. 29. Amendment of Act 43 of 1954.In the Special Marriage Act 1954, (a) in section 1, in sub-section (2), for the words "outside the said territories". the words "in the State of Jammu and Kashmir" shall be substituted ; (b) in section 2 clauses (a) and (c) shall be omitted. (c) in section 3, for sub-section (2), the following sub-section shall be substituted, namely : "(2) For the purposes of this Act, in its application to citizens of India domiciled in the territories to which this Act extends who are in the State of Jammu and Kashmir, the Central Government may, by notification in the Official Gazette, specify such officers of the Central Government as it may think fit to be the Marriage Officers for the State or any part thereof" ; (d) in section 4, for clause substituted, namely : "(e) where the marriage is Kashmir, both parties are territories to which this Act
(e),
the
following
clause
shall
be
solemnized in the State of Jammu and citizens of India domiciled in the extends." ;
(e) in section 10, for the words "outside the territories to which this Act extends in respect of an intended marriage outside the said territories"; the words "in the State of Jammu and Kashmir in respect of an intended marriage in the State" shall be substituted; (f) in section 50, in sub-section (1), the words "diplomatic and consular officers and other" shall be omitted. 30. Repeal. The Indian Foreign Marriage Act, 1903, (14 of 1903) is hereby repealed.
THE FIRST SCHEDULE (See section 5)
FORM OF NOTICE OF INTENDED MARRIAGE
TO
The Marriage Officer for .....................
We hereby give you notice that a marriage under the Foreign Marriage Act, 1969 is intended to be solemnized between us within three months from the date hereof. Name & Father's name
A.B.
Condition Occupation
Date of Dwelbirth ling place
Unmarried
Permanent Length of dwelling residence place & in the present present dwelling dwelling place if place not permanent
Widower Divorcee C.D.
Unmarried Widow Divorcee Witness our hands, this............. day of............ 19........
Sd. A.B. Sd. C.D.
THE SECOND SCHEDULE
(See section 12) DECLARATION TO BE MADE BY THE BRIDEGROOM I, A.B. hereby declare as follows: 1. I am at the present time unmarried (or a widow or a divorcee as the case may be). 2. I have completed . . . . . . . . years of age. 3. I am not related to C.D. (the bride) within the degrees of prohibited relationship. 4. I am a citizen of . . . . . . . . (to be filled up) 1. I am aware that, if any statement in this declaration is false, I am Liable to imprisonment and also to fine. Sd. A.B. (the bridegroom)
DECLARATION TO BE MADE BY THE BRIDE I, C.D., hereby declare as follows :
1. I am at the present time unmarried (or a widow, or a divorcee, as the case may be). 2. I have completed..........years of age. 3. I am not related to A.B. (the bride-groom) within the degrees of prohibited relationship. 4. I am a citizen of........... (to be filled up). 5. I am aware that, if any statement in this declaration is false. I am liable to imprisonment and also to fine. Sd. C. D. (the bride) Signed in our presence by the above named A.B. and C.D. So far as we are aware, there is no lawful impediment to the marriage. Sd. G.H. Sd. I.J. Sd. K.L.
Three witnesses. (Countersigned) E.F. Marriage Officer
Dated the........day of......19......
THE THIRD SCHEDULE
(See section 14) FORM OF CERTIFICATE OF MARRIAGE I, E.F., hereby certify that on the........ day of......19......A.B. and C.D........*appeared before me and that the declaration required by Section .........† of the Foreign Marriage Act, 1969, was duly made, and that a marriage under that Act was solemnized between them in my presence and in the presence of three witnesses who have signed hereunder. Sd. E.F. Marriage Officer Sd. A.B. (bridegroom) Sd. C.D. (Bride) Sd. G.H. Sd. I.J. Three witnesses, Sd. K.L. Dated the...........day of........19.......
(N. P. D. NANBOODIRIPAD) Joint Secy. to the Govt. of India
*Herein give particulars of the parties. †To be entered.
ANNEXURE II THE GAZETTE OF INDIA
No. 45, New Delhi, Saturday, November 8, 1969 PART IISECTION 3SUB-SECTION (1)
MINISTRY OF EXTERNAL AFFAIRS
New Delhi, the 19th August, 1970
G.S.R. 2559.In exercise of the powers conferred by section 3 of the Foreign Marriage Act, 1969 (33 of 1969) and in supersession of the notification of the Government of India No. G.S.R. 1489, dated the 12th July, 1968, the
Central Government hereby appoints every diplomatic and consular officer of the rank of Second Secretary and above in an Indian Mission or Post abroad to be the Marriage Officer for the country, place or area falling under the consular jurisdiction of such Mission or Post. (No. F.T. 434(8)/69) Sd/-
(P. C. BHATTACHARJEE)
Under Secretary to the Government of India.
Foreign Marriage Rules, 1970 MINISTRY OF EXTERNAL AFFAIRS New Delhi, the 19th August 1970 G.S.R. 1274.In exercise of the powers conferred by section 28 of the Foreign Marriage Act, 1969 (33 of 1969) and in supersession of the Special Marriage (Diplomatic and Consular Officers) Rules, 1955, published with the notification of the Government of India in the Ministry of External Affairs No. S.R.O. 1679, dated the 29th July, 1955, the Central Government hereby makes the following rules, namely 1. Short Title.These rules may be called the Foreign Marriage Rules, 1970. 2. Definitions.In these rules, unless the context otherwise requires(a) "Act" means the Foreign Marriage Act, 1969 (33 of 1969) ; (b) "form" means a form appended to these rules ; (c) "Marriage Officer" means a person appointed under section 3 of the Act to be a Marriage Office; (d) "section" means a section of the Act. 3. Particulars regarding Name, etc., of Marriage Officer to be Displayed in his Office Building.Every Marriage Officer shall arrange to have his name, designation and the working hours of his office to be written in English, Hindi and the language of the country, place or area in which he functions as such, and displayed in a conspicuous part of the building in which his office is situated. 4. Notice of Intended Marriage.(1) When a marriage is intended to be solemnised under the Act by or before a Marriage Officer, the parties to the intended marriage shall give notice thereof in writing in the form specified in the first Schedule to the Act to such Officer either in person or by registered post.
(2) The notice shall be accompanied by a statement containing the following particulars :(i) Present addresses of the parents of the parties to the intended marriage. (ii) Name or names of the country or countries in which the parties are ordinarily resident. (iii) State or States in India to which the parties or, as the case may be, the Indian party, to the marriage belong or belongs. 5. Payment of Fee.(1) Where the notice is delivered in person, the fee prescribed therefor in rule 15 shall be paid in cash to the Marriage Officer. (2) Where the notice is sent by registered post, the fee shall be remitted by money order at the remitter's expense and the receipt issued to the remitter by the post office through which the remittance is made shall be attached to the notice. 6. Procedure after Notice.(1) As soon as the notice is received by the Marriage Officer, a distinctive serial number shall be entered on it and such number and the date of receipt of the notice shall be attested by the signature of the Marriage Officer.
(2) If the notice is in conformity with the requirements of the Act, it shall be entered in the Marriage Notice Book which shall be a bound volume, the pages of which are machine numbered consecutively with a normal index attached. (3) If the notice is not in conformity with the requirements of the Act, it shall be got rectified by the parties if they are present, or returned to them by post for rectification and retransmission within a date to be fixed for this purpose, if they are not present. (4) The Marriage Officer shall have every item of rectification attested by both the parties. 7. Publication of Notice.The Marriage Officer shall cause the notice to be published: (a) by affixing a true copy thereof under his seal and signature to some conspicuous place in his office ; (b) by serving, personally, or by registered post acknowledgement due true copies thereof under his seal and signature on the parents of the parties to the marriage ; and (c) by publishing it in a newspaper having circulation,(i) in the State or States in India to which the parties or, as the case may be, the Indian party, to the marriage belong or belongs; and (ii) in the country or countries in which the parties are ordinarily resident. 8. Procedure for Inquiry into Objection.(1) If any objection to the solemnisation of the intended marriage together with the fee prescribed therefor in rule (5) is received by the Marriage Officer, he shall record the nature of the objection in his Marriage Notice Book and fix the date and time for inquiry into the objection and cause notice thereof to be served, personally or by registered post acknowledgement due, in Form I on the person. (2) On the date so fixed or on any other date to which the inquiry may be adjourned, the Marriage Officer shall make an inquiry into the objection and record in his own hand in the manner prescribed in the Code of Civil Procedure 1908 (5 of 1908), the evidence given.
8A. Acknowledgement in case of Personal Service.Where a notice is personally served under rule 7 or rule 8, the person on whom such notice is served shall sign an acknowledgement of service of the notice. 9. Time and Place of Solemnisation.The intended marriage may be solemnised any time during office hours of the Marriage Officer or at any other time convenient to him(a) at the official house of residence of the Marriage Officer, or (b) at the office in which the business of the Marriage Officer is transacted, or (c) at such other place within a reasonable distance from such official house or office as the Marriage Officer may in his discretion approve: Provided that additional fees as specified in rule 15 shall be payable for the solemnisation of any marriage at a place referred to in clause (c).
10. Manner of Registration of Marriages.Registration of a marriage under section. 17 shall be effected by the Marriage Officer by entering a certificate of the marriage in Form 11 in the Marriage Certificate Book. 11. Appeals to the Central Government.An appeal to the Central Government under sub-section (3) of section 11 or sub-section (4) of section 17 shall be in the form of a memorandum which shall be accompanied by a certified copy of : (i) (ii)
the notice of the intended marriage or, as the case may be, of the application for registration of the marriage ; the statement of the reasons for which the Marriage Officer refused to solemnise or, as the case may be, register the marriage.
12. Language for Purposes of Section 24.The language for purposes of sub-clause (ii) of clause (b) of sub-section (1) of section 24 shall be English, Hindi or any other language approved by the Marriage Officer. 13. Transmission of copies of Entries in Marriage Records.The Marriage Officer shall send to the Secretary to the Government of India. Ministry of External Affairs, New Delhi, three true copies certified in Form III of all entries or corrections made by him in the Marriage Certificate Book at intervals of three months on, or as early as possible after, the 1st day of January, April, July and October in each year and one such copy shall be transmitted by the said Secretary to the Registrar-General or to each of the Registrars-General of Births, Deaths and Marriages of the State or States in India to which the parties to the marriage belong. 14. Form of Marriage Certificate Book.(1) The Marriage Certificate Book shall be a bound volume. the pages of which are machine-numbered consecutively with a nominal index attached. Every marriage certificate entered therein during each calendar year shall be consecutively numbered and every authenticated copy of a certificate issued to the parties shall bear the number and date, month and year in which the certificate was entered. (2) For the removal of doubts it is hereby provided that the Marriage Certificate Book maintained under the Special Marriage (Diplomatic and Consular Officer) Rules, 1955, may be continued to be used with necessary adaptations as the Marriage Certificate Book for the purposes of these rules and the Act.
15. Scale of fees.The following fees shall be levied by the Marriage Officers: Matters in respect of which a fee is leviable
Amount of fee Category
Category countries
'A' countries
'B'
2
3
1 (i) For every notice of an intended marriage (ii) For publication of notice . . .
. .
.
Note : A suitable amount will be taken as an advance towards Cost of publication of notice in newspapers. (iii) For receiving and possessing or dealing with an objection (iv) For solemnising a marriage . . . . (v) For solemnising a marriage at a place referred to in rule 9(c) Note : This will be in addition to the fee referred to in item (iv) above. (vi) For receiving notice of a caveat . . . (vii) For certificate by Marriage Officer of notice having been given and posted up . . . (viii) For a certified copy of reasons recorded under section 11 or section 17 for refusal to solemnise or as the case may be for refusal to register, a marriage. . (ix) For certified copy of an entry : (a) in the Marriage Note Book . . (b) in the Marriage Certificate Book . . (x) For certification of a document referred to in subsection (1) of section 24 . . . . (xi) For making a search : (a) if the entry is of the current year . . (b) if the entry relates to any previous year or years
Rs. 120.00 Actual charges
Rs. 80.00 Actual Charges
300.00 240.00
200.00 160.00
90.00
60.00
240.00
160.00
45.00
30.00
24.00
16.00
24.00 24.00
16.00 16.00
9.00
6.00
24.00
16.00
45.00
30.00
Explanation.Category 'A' countries are : (a) all countries in North and South America ; (b) all countries in Europe including U.S.S.R. ; (c) all countries in West Asia and North Africa, excluding People's Democratic Republic of Yemen, Yemen Arab Republic, Sudan and Somalia ; (d) Australia, New Zealand, Japan, Hong Kong, and Singapore. Category "B" countries are : All other countries (excluding countries mentioned under Category "A").
FORM I [See rule 8(1)] Notice Before the Marriage Officer. . . . . . . . . . . . . . . . . Place
In the matter of the Foreign Marriage Act, 1969 (33 of 1969). and
In the matter of the intended marriage between
AB
and
CD EF
Give names and addresses Person making the objection
To .............................. Whereas notice of an intended marriage between A B and C D was received by the Marriage Officer ...................., And whereas E F has preferred certain objections (set out overleaf) to the solemnisation of the marriage; And whereas the Marriage Officer will hold an inquiry into the matter of the said objections on the..........day of ........... 19........ at his office; You are hereby required to be present at ...... a.m./p.m. on the said day together with all documents on which you rely and witnesses whom you may desire to be examined on your behalf. Take notice that in default of your appearance at the time specified above on the aforesaid day the inquiry will be made, and the matter aforesaid decided, in your absence. Given under my hand and seal Station Date (Set out the objection on the reverse of this notice).
Signature Marriage Officer Seal
FORM II (See rule 10) Certificate of registration of marriage I, E F, hereby certify that A B and C D* informed me in writing that he/she desires his/her marriage*/they desire their marriage to be registered. under section 17 of the Foreign Marriage Act, 1969 (33 of 1969) and that each of the parties to the said marriage, in my presence and in the presence of three witnesses who have signed hereunder, have declared that a ceremony of marriage has been performed between them and that they have been living together as husband and wife since the time of marriage, and the said marriage has this day of ................ 19 ............. been registered under this Act. (Sd.) EF
......
(Sd.) (Sd.) (Sd.) (Sd.) (Sd.)
Marriage Officer for
A B (Husband) C D (Wife) GH OS Three witnesses. KL
Dated, the ........ day of ........ 19 *Strike out whatever is inapplicable.
..........
FORM III (See rule 13) Form of Certificate Certified that the above entires from the Marriage Certificate Book in this office bearing serial number ...... are true copies of all the entries and corrections in the Marriage Certificate Book kept by me during the three months ending ................. Signature Marriage Officer.
Lampiran 3
MARRIAGE IN SINGAPORE
The Singapore Consulate-General is not authorised to perform marriages. A Singaporean who is desirous of marrying a work permit/exwork permit holder is required to seek the prior approval of the Controller of Work Permits before contracting marriage in Singapore or elsewhere. If approval is granted, the couple can then call personally at the Singapore Registry of Marriages with their identity card/passport, birth certificate and the approval letter to file the required 21 day notice of marriage. Solemnization of the marriage can be effected after the expiration of 21 days but before the expiration of 3 months from the date of the notice of marriage. Please contact the Marriage Screening Section, Ministry of Manpower 18 Havelock Road Singapore 059764. Tel: 6539 5321 on the procedure for applying for approval to marry a work permit/ex-work permit holder and whether there is a need for approval if you do not intend to reside in Singapore. All valid marriages contracted/solemnised outside Singapore and registered in accordance with the law of the place in which the marriages were contracted/celebrated are recognised by our Government for all purposes of the Law of Singapore unless there are reasons to doubt the particular marriage was not validly contacted. In such cases, the Court of
Law is the final arbiter as to whether the marriage is recognised by the Singapore Law. Please visit the Registry of Marriages website for other details on marriages. There is no provision in the Women's Charter (Chapter 353) to empower the Registrar of Marriages to re-register a marriage contracted and already registered outside Singapore. The registration of marriage between a non-Singaporean and a Singapore citizen or Singapore permanent resident does not automatically accord the non-Singaporean spouse the right of permanent residence in Singapore. The Singapore Registry of Marriages does not issue a Certificate of No Impediment. However, a Singaporean may apply to ROM and obtain a Marital Status Search Result. Singaporeans who are overseas may apply for the Search Results by correspondence or ask a friend or relative in Singapore to obtain the search result from a search machine located at the Registry of Marriages. For more details, please visit the Registry of Marriages' Homepage. If you like further information on marriage related matters, you may write or fax to: Registry of Marriages 7 Canning Rise Singapore 179869 Tel : 1800-337 5339 (toll free), (65) 6339 8783, 6338 7808, 63389987 Fax : (65)6339 3328 Homepage: http://www.rom.gov.sg
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 1
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 2
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 3
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 4
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 5
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 6
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 7
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 8
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 9
In do ne si a
es i on In d
A
gu
ng
M
R
ah
ep
ka
ub
m
lik
ah
A
gu ng
R
ah k
ep
am
ub lik
ah
A
gu
ng
R
In do ne si a
e
hk
putusan.mahkamahagung.go.id
ik
h
Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun d Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : Email :
[email protected] Telp : 021-384 3348 (ext.318)
Halaman 10