PENGGUNAAN MEDIA FILTRAN DALAM UPAYA MENGURANGI BEBAN CEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KECIL TAPIOKA
Oleh : Johannes Bangun Fernando Sihombing F34103067
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN
PENGGUNAAN MEDIA FILTRAN DALAM UPAYA MENGURANGI BEBAN CEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KECILTAPIOKA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Johannes Bangun Fernando Sihombing F34103067
Dilahirkan pada tanggal 31 Mei 1985 di Bogor
Tanggal Lulus :
Bogor, Menyetujui :
Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti
Drs. Eddy Sapto Hartanto
Dosen Pembimbing I
Pembimbing II
Johannes Bangun Fernando Sihombing. F34103067. Penggunaan Media Filtran dalam Mengurangi Beban Cemaran Limbah Cair Industri Kecil Tapioka. Di bawah bimbingan Nastiti Siswi Indrasti dan Eddy Sapto Hartanto . RINGKASAN Semakin berkembang industri-industri dewasa ini, tentu saja menghasilkan limbah yang akan membuat masalah pencemaran. Limbah-limbah yang ada dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan berbahaya bagi lingkungan ataupun makhluk hidup, sehingga memerlukan penangganan. Salah satunya adalah limbah cair industri kecil tapioka, yang umumnya memiliki kandungan bahan organik tinggi. Menurut Sundhagul (1972) limbah air pencucian umbi memiliki nilai BOD5 dan COD yang tinggi yaitu antara 200 1700 mg/l untuk BOD5 dan antara 2000 4860 mg/l untuk COD, sedangkan untuk limbah pengendapan aci memiliki nilai BOD5 dan COD yang sangat tinggi, yaitu antara 3000 4400 mg/l untuk BOD5 dan 3100 13900 mg/l untuk COD. Begitu pula dengan nilai padatan tersuspensinya yang memiliki nilai 400 6100 mg/l untuk limbah air pencucian umbi dan 1480 8400 mg/l untuk limbah pengendapan aci. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur tingkat efektivitas sistem filter dalam menangani limbah industri tapioka dengan parameter yang dianalisis berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, yang meliputi padatan tersuspensi, BOD5, COD, Sianida, pH dan parameter kekeruhan, sebagai parameter tambahan karena dalam KEP-51/MENLH/10/1995 nilai kekeruhan tidak disyaratkan. Penelitian pengolahan limbah cair industri tapioka ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 3 faktor perlakuan, yaitu faktor A jenis limbah cair yang terdiri dari 2 taraf, A1 : limbah cair pencucian singkong A2 : limbah cair pengendapan aci. Faktor B menunjukkan debit limbah cair sebagai influen yang terdiri dari 4 taraf B1 : 50 ml/menit, B2 : 100 ml/menit, B3 : 150 ml/menit, B4 : 200 ml/menit serta faktor C jenis filtran yang terdiri dari 2 taraf : C1 : media berlapis (pasir aktif : karbon aktif : zeolit), C2 : media tunggal Karbon aktif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa secara umum hasil pengujian limbah cair industri tapioka menggunakan media berlapis dan media tunggal karbon aktif menunjukkan bahwa nilai parameter pencemaran mampu diturunkan bahkan dapat memenuhi baku mutu buang limbah cair tapioka kecuali untuk nilai BOD. Penanganan terbaik untuk limbah pencucian umbi didapatkan dengan perlakuan media berlapis dengan taraf debit 50 ml/menit (A1B1C1) karena dapat mengurangi beban cemaran limbah cair industri tapioka dari 443 NTU menjadi 8 NTU, TSS dari 676 mg/l menjadi 37 mg/l, BOD5 654,5 mg/l menjadi 175,88 mg/l, COD 925,75 mg/l menjadi 279,83 mg/l, pH dari 4,4 menjadi 6,28. Penanganan terbaik untuk limbah pengendapan aci didapatkan dengan perlakuan media berlapis dengan taraf debit 50 ml/menit karena dapat mengurangi nilai kekeruhan dari 999 NTU menjadi 46,50 NTU, TSS 825 mg/l menjadi 156,5 mg/l, BOD5 2160 mg/l menjadi 793,55 mg/l, COD 3402,05 mg/l menjadi 2165,48 mg/l, pH dari 3,97 menjadi 5,73. Setelah penelitian ini dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk skala perbesaran sistem filternya agar dapat memenuhi baku mutu limbah industri tapioka dan agar dapat diterapkan dalam industri termasuk industri kecil lainnya seperti industri tahu. Dan juga dapat dilakukan perlakukan pendahuluan sebelum limbah masuk sistem filter sehingga penggunaan media fitran dapat efektif dan efisien. Perlu juga dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai adanya partikel-partikel organik yang tertahan dalam media filtran yang dapat digunakan sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme pengurai limbah.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 31 Mei 1985. Penulis merupakan anak dari D. Sihombing, S.Pd dan S. Doloksaribu. Penulis merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Pendidikan formal penulis diawali dari Taman Kanak-Kanak Regina Pacis pada tahun 1989-1991. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar Regina Pacis Bogor pada tahun 1991-1997 dan Sekolah Menengah Pertama di Regina Pacis Bogor pada 1997-2000 kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bogor lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI). Pada tahun 2006, penulis melakukan kegiatan praktek lapang dengan tema Mempelajari Peluang Penerapan Produksi Bersih di Pabrik Gula Tersana Baru Cirebon selama 3 bulan. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan judul masalah khusus Penggunaan Media Filtran untuk Mengurangi Beban Cemaran Limbah Cair Industri Kecil Tapioka.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya sehingga skripsi yang berjudul
Penggunaan Media Filtran untuk
Mengurangi Beban Cemaran Limbah Cair Industri Kecil Tapioka dapat penulis selesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Nasititi Siswi Indrasti selaku dosen pembimbing pertama, yang telah memberikan bimbingan dan arahan. 2. Drs. Edy Sapto, selaku dosen pembimbing kedua, atas segala bimbingan dan arahan yang telah diberikan selama perencanaan, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan skripsi. 3. Bapak Prayoga Suryadharma, STP, MT sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik kepada penulis selama penyusunan skripsi. 4. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian ini berlangsung. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor,
November 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................ iii DAFTAR ISI................................................................................................ iv DAFTAR TABEL........................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ viii I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ......................................................................... 1 B. TUJUAN PENELITIAN ..................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 4 A. TINJAUAN UMUM SINGKONG ................................................... 4 B. TAPIOKA DAN PENGOLAHANNYA ........................................... 5 C. LIMBAH INDUSTRI TAPIOKA .................................................... 8 D. SIANIDA ........................................................................................... 11 E. ZEOLIT ............................................................................................ 13 F. KARBON AKTIF ............................................................................. 15 G. ADSORPSI ........................................................................................ 18 H. FILTRASI .......................................................................................... 20 III. BAHAN DAN METODE ..................................................................... 22 A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 22 B. METODE PENELITIAN .................................................................. 22 1. Penelitian Tahap Pertama ........................................................ 22 2. Penelitian Tahap Kedua ........................................................... 24 C. ANALISIS LIMBAH CAIR TAPIOKA ........................................... 27 D. RANCANGAN PERCOBAAN .......................................................... 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 29 A. NERACA MASA .............................................................................. 29 B. KARAKTERISTIK AIR BAKU DAN LIMBAH INDUSTRI KECIL TAPIOKA............................................................................. 30 C. PEMILIHAN TIGA PERLAKUAN DEBIT .................................... 31 D. LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA...........................................32 1. Kekeruhan................................................................................. 33
2. Padatan Tersuspensi ................................................................. 36 3. BOD5 .......................................................................................... 39 4. COD........................................................................................... 42 5. SIANIDA ................................................................................... 45 6. pH .............................................................................................. 47
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 50 A. KESIMPULAN ................................................................................ 50 B. SARAN ............................................................................................. 51 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 52 LAMPIRAN........................................................................................... 56
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi Kimia Singkong dihitung per 100 gram bahan ............. 5 Tabel 2. Perbedaan Tekonologi Pengolahan Tapioka .................................. 6 Tabel 3. Komposisi Ampas Tapioka ........................................................... 8 Tabel 4. Karakteristik Limbah Cair pada Berbagai Industri Tapioka ........... 9 Tabel 5. Sifat Fisika dan Kimia Limbah Cair Industri Tapioka .................... 10 Tabel 6. Spesifikasi Kimia Zeolit................................................................. 11 Tabel 7. Nilai untuk penentuan ukuran unit filtrasi karbon aktif ................. 17 Tabel 8. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat filter ................................ 25 Tabel 9. Kualitas air baku dan limbah cair tapioka ...................................... 30 Tabel 10. Data nilai kekeruhan limbah pengendapan aci industri Tapioka Hasil proses penyaringan menggunakan karbon aktif .................... 32 Tabel 11. Hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap perubahan nilai pH limbah cair tapioka pada debit yang berbeda. ......................................................................................... 48
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Skema peralatan proses filtrasi .................................................... 24 Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan limbah cair secara filtrasi........... 27 Gambar 3. Neraca Massa Proses Produksi Tepung Tapioka/hari ................... 29 Gambar 4. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan kekeruhan limbah cair tapioka pada debit yang berbeda .............................................................. 34 Gambar 5. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan padatan tersuspensi limbah cair tapioka pada debit yang berbeda ........................................... 37 Gambar 6. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan BOD limbah cair tapioka pada debit yang berbeda .............................................................. 40 Gambar 7. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan COD limbah cair tapioka pada debit yang berbeda ............................................................. 43 Gambar 8. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan Sianida limbah cair tapioka pada debit yang berbeda ................................................. 46
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data hasil analisis kualitas limbah cair menggunakan media campuran ..................................................................................56 Lampiran 2. Data hasil analisis kualitas limbah cair menggunakan media karbon aktif...............................................................................57 Lampiran 3 . Baku mutu limbah cair industri tapioka dalam Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/ 10/1995 ...... 58
Lampiran 4. Pengujian analisis Limbah Cair Industri Tapioka .......................59 Lampiran 5. Kurva Standar Sianida ...............................................................63 Lampiran 6. Analisis Sidik ragam parameter kekeruhan limbah pencucian umbi .........................................................................64 Lampiran 7. Uji Duncan parameter kekeruhan limbah pencucian umbi.........65 Lampiran 8. Analisis Sidik ragam parameter TSS limbah pencucian umbi.....66 Lampiran 9. Uji Duncan parameter TSS limbah pencucian umbi ...................67 Lampiran 10. Analisis Sidik ragam parameter BOD limbah pencucian umbi .68 Lampiran 11. Uji Duncan parameter BOD limbah pencucian umbi...............69 Lampiran 12. Analisis Sidik ragam parameter COD limbah pencucian umbi .70 Lampiran 13. Uji Duncan parameter COD limbah pencucian umbi ...............71 Lampiran 14. Analisis Sidik ragam parameter pH limbah pencucian umbi.....72 Lampiran 15. Uji Duncan parameter pH limbah pencucian umbi ..................73 Lampiran 16. Analisis Sidik ragam parameter kekeruhan limbah pengendapan aci........................................................................74 Lampiran 17. Uji Duncan parameter kekeruhan limbah pengendapan aci ......75 Lampiran 18.Analisis Sidik ragam parameter TSS limbah pengendapan aci ..76 Lampiran 19. Uji Duncan parameter TSS limbah pengendapan Aci ..............77 Lampiran 20.Analisis Sidik ragam parameter BOD limbah pengendapan aci .78 Lampiran 21. Uji Duncan parameter BOD limbah pengendapan aci ..............79 Lampiran 22.Analisis Sidik ragam parameter COD limbah pengendapan aci .80 Lampiran 23. Uji Duncan parameter COD limbah pengendapan aci ..............81 Lampiran 24.Analisis Sidik ragam parameter sianida limbah pengendapan aci.......................................................................82 Lampiran 25.Uji Duncan parameter sianida limbah pengendapan aci ............83 Lampiran 26.Analisis Sidik ragam parameter pH limbah pengendapan aci ...84
Lampiran 27. Uji Duncan parameter pH limbah pengendapan .......................85 Lampiran 28.Dokumentasi
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Limbah cair industri tapioka merupakan limbah yang memiliki nilai beban pencemaran yang tinggi. Menurut Sundhagul (1972), limbah air pencucian umbi memiliki nilai cemaran yang tinggi antara 200 1700 mg/l untuk BOD5 dan antara 2000 4860 mg/l untuk COD, sedangkan untuk limbah pengendapan aci memiliki nilai antara 3000
4400 mg/l untuk BOD5 dan antara 3100
13900 mg/l untuk COD.
Begitu pula dengan nilai padatan tersuspensinya yang memiliki nilai antara 400 6100 mg/l untuk limbah air pencucian umbi dan antara 1480
8400 mg/l untuk
limbah pengendapan aci. Dengan beban cemaran yang tinggi tersebut, maka berdasarkan Kep Men LH No.51/10/1995, limbah cair tersebut tidak memenuhi syarat untuk dibuang ke badan perairan umum. Penanganan limbah cair industri tapioka sebenarnya mudah ditangani secara biologi, mengingat bahwa komponen penyusun limbah cair tapioka selain air, sebagian besar terdiri dari komponen organik yang mudah terurai oleh bakteri pengurai dalam proses anaerob maupun proses aerob, tetapi proses secara biologi memerlukan tempat yang sangat luas dan tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh industri tapioka berskala kecil, yang umumnya tidak mempunyai lahan yang memadai untuk proses pengolahan limbah cair secara biologi (Hartanto, 2006). Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan upaya yang sesuai dalam penanganan limbah cair tapioka yang berasal dari industri kecil. Salah satu proses pengolahan limbah cair industri tapioka yang mungkin diterapkan adalah dengan cara filtrasi menggunakan media filtran tertentu. Pengolahan limbah cair dengan metode filtrasi menurut Sugiarto (1987) merupakan salah satu cara untuk mengendapkan partikel dan mengambil partikel dengan jalan melewatkan air limbah ke dalam lapisan yang porus dan berlubang. Cara seperti ini lebih baik serta memerlukan tempat yang lebih kecil akan tetapi memerlukan perlakuan yang lebih khusus. Penggunaan media filter atau saringan merupakan alat filtrasi atau penyaring yang dapat memisahkan campuran solida likuida dengan media porous atau material porous lainnya untuk memisahkan sebanyak mungkin padatan tersuspensi yang paling halus dan penyaringan ini merupakan proses pemisahan antara padatan atau koloid dengan cairan.
Karbon aktif adalah karbon amorf yang memiliki porositas internal tinggi, sehingga merupakan adsorben yang baik untuk adsorpsi gas, cairan, maupun larutan. Penggunaan karbon aktif sebagai media filtrasi karena dapat berfungsi untuk menghilangkan kandungan organik, bau, rasa serta polutan mikro lainnya. Sedangkan zeolit dapat digunakan sebagai pembersih air kotor dan zat penjerap karena zeolit merupakan kristal yang unik dengan volume kosong hingga 20% - 50% dan luas permukaan internalnya mencapai ratusan ribu m2/kg juga mempunyai rongga-rongga dan saluran yang spesifik di dalam struktur kristalnya, sehingga ia juga dapat berfungsi sebagai pengadsorp. Pasir aktif dapat digunakan untuk mengurangi Fe, Mn dan partikel-partikel halus. Menurut Kusnaedi (1995), terdapat dua jenis saringan yaitu saringan tunggal dan saringan berlapis, apabila air olahan mempunyai padatan yang berukuran seragam maka saringan yang digunakan adalah saringan tunggal, sedangkan jika ukuran beragam maka digunakan saringan dua atau tiga. Media tunggal karbon aktif telah banyak digunakan oleh industri untuk mengurangi beban cemaran limbah, sedangkan media berlapis pasir aktif, karbon aktif dan zeolit telah digunakan secara komersil sebagai penjernih air pada skala rumah tangga. Dari segi biaya, harga per kilogram pasir aktif dan zeolit lebih murah dibandingkan karbon aktif, sehingga media berlapis pasir aktif, karbon aktif dan zeolit lebih ekonomis dibandingkan media tunggal karbon aktif. Efektivitas filtrasi ditentukan oleh faktor kecepatan filtrasi. Semakin kecil kecepatan filtrasi maka menghasilkan kualitas air yang lebih baik. Dalam skala pilot plant, kecepatan filtrasi perlu ditentukan secara eksperimen. Unit filtrasi yang dirancang baik akan menghasilkan air yang jernih dengan tingkat kekeruhan di bawah 0,2 NTU (Suprihatin, 2000) Penelitian pengolahan limbah cair ini dilakukan dengan metode filtrasi menggunakan dua jenis filtrasi yaitu media berlapis pasir aktif, karbon aktif, zeolit dan media tunggal karbon aktif. Dengan adanya penelitan ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kemampuan media filtran dan perlakuan debit dalam mengurangi kontaminan air limbah, sehingga diperoleh suatu cara penanganan air limbah yang relatif murah, sederhana, mudah dilakukan serta memberikan hasil yang lebih baik dan dapat divariasikan dengan metode pengolahan limbah yang lain.
B. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
Maksud penelitian ini untuk mendapatkan suatu cara yang dapat mengurangi beban cemaran limbah industri tapioka dengan hasil yang lebih baik, sederhana, mudah dilakukan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas media filtran (pasir aktif, karbon aktif dan zeolit) dan adanya pengaruh debit terhadap berkurangnya beban cemaran limbah industri tapioka selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu limbah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, yang meliputi padatan tersuspensi, BOD5, COD, Sianida, pH dan kekeruhan sebagai parameter tambahan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. SINGKONG Menurut Radley (1976), singkong (Manihot esculenta Crantz) atau biasa disebut tapioka atau manioc merupakan tanaman tropis yang dapat menghasilkan tepung. Singkong dapat tumbuh baik di daerah tropika, tanaman ini diduga berasal dari Brazilia. Singkong memiliki beberapa nama/sebutan yang bervariasi tergantung pada daerah mana ia berada; antara lain cassava (Afrika dan Inggris), yuca, manioca, mandioca (Amerika Serikat dan Lating), manioc (Madagaskar), dan kaspe atau ketele pohon (Indonesia). Singkong dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 10 permukaan air laut dengan curah hujan sebesar 700
1500 meter di atas
1000 mm/tahun. Penanaman di
daerah terbuka akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan di tempat yang terlindung. Selain itu jika daun berkurang dan kurang mendapat sinar matahari, maka proses asimilasi berjalan kurang baik, sehingga hasil umbinya akan sedikit (Nurhasan, 1991). Waktu penanaman yang baik adalah pada awal musim hujan, yaitu sekitar bulan Oktober
November. Sedangkan untuk penanaman yang kedua sebaiknya
dilakukan pada akhir musim hujan, dengan syarat bahwa musim panas berikutnya tidak berlangsung lama karena akan menyebabkan kekeringan yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Radley, 1976). Kapasitas produksi singkong sangat bergantung pada beberapa faktor yaitu faktor varietas, kesuburan tanah, iklim, pengolahan tanah yang baik, teknik penanaman, umur panen, dan cara bercocok tanam yang baik (Sosrosoedirdjo, 1982). Tanaman singkong mulai menghasilkan umbi setelah berumur enam bulan. Tanaman yang sudah berumur 12 bulan dapat menghasilkan umbi basah sampai 30 ton/ha. Ketela pohon segar mengandung air 70%, pati 22%, protein 1,2% dan lemak 0,4% (Nurhasan, 1991). Menurut daftar komposisi bahan makanan dari Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1975), komposisi singkong ditampilkan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Komposisi kimia singkong dihitung per 100 gram bahan Komposisi
Kandungan per 100 gram bahan
Kalori (kal)
146
Air (%)
62,5
Protein (%)
1,2
Lemak (%)
0,3
Karbohidrat (%)
34,7
Kalsium(mg)
33
Fosfor (mg)
40
Besi ( mg)
0,7
Vitamin B1 (mg)
0,06
Vitamin C (mg)
30
Sumber : Nurhasan (1991) diolah dari Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1975) B.TAPIOKA DAN INDUSTRI PENGOLAHANNYA Menurut Radley (1976), hampir semua industri tapioka lebih menyukai singkong jenis pahit daripada jenis manis sebagai bahan baku proses pengolahan tepung tapioka. Pemakaian jenis pahit ini disebabkan oleh produksi per areal budidayanya lebih besar, daya tahan terhadap infeksi fungi dan gangguan lain lebih tinggi dan secara mekanis kulit tipisnya lebih mudah dilepas oleh gesekan. Selain itu, untuk menghindari kerusakan akibat gangguan binatang dan pencurian. Singkong jenis pahit mempunyai umbi yang relatif lebih besar dan kandungan patinya lebih banyak dibandingkan dengan singkong manis. Pemakaian singkong yang banyak mengandung HCN dalam pembuatan tepung tapioka tidak menjadi soal karena racunnya akan hilang melalui proses ekstraksi. Pada proses ekstraksi, umbi diparut dan sel-selnya akan pecah. Enzim linamarase di dalam umbi dapat memecahkan glukosida sianogenetik dan HCN akan terlepas, yang dapat terjadi dalam waktu empat sampai enam jam Glukosida dan HCN akan terbuang bersama dengan air yang digunakan dalam proses pengolahan tepung tapioka (Darjanto dan Muryati, 1980). Tapioka adalah tepung dengan bahan baku ketela pohon dan merupakan salah satu bahan untuk keperluan industri makanan, industri farmasi, industri tekstil, industri perekat, dll.
Bahan baku tepung
tapioka adalah singkong yang diperoleh melalui pemasok. Singkong yang dipanen
setelah berumur 7 - 10 bulan akan menghasilkan tapioka berkualitas baik. Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan full otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka Proses
1.
Tradisional 2.
Semi Modern
3.
Otom atis
Pengupasan
Manual
Manual
Mesin
Pencucian
Manual
Manual
Mesin
Pemarutan
Mesin
Mesin
Mesin
Pemerasan
Mesin
Mesin
Mesin
Pengendapan
Manual
Manual
Mesin
Oven
Mesin
Pengeringan Sinar Matahari Sumber : Anonim (2005)
Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi mekanik sederhana. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan dan pengepresan, sedangkan pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar matahari. Proses Produksi Tepung Tapioka menurut Anonim (2005) adalah sebagai berikut : 1. Pengupasan Pengupasan dilakukan dengan cara manual yang bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama pengupasan juga dilakukan sortasi untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak. 2. Pencucian Pencucian dilakukan dengan cara manual yaitu dengan meremas-remas singkong di dalam bak yang berisi air, yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong. 3. Pemarutan Parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :
I.
Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya.
J.
Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator
K. Pemerasan/Ekstraksi Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu: L. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di mana cairan yang diperoleh adalah pati yang ditampung di dalam ember. M.Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (sintrik). Bubur singkong diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada saat saringan tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan. N. Pengendapan Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama 4 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan. O. Pengeringan Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur tapioka dalam nampan atau widig atau tambir yang diletakkan di atas rak-rak bambu selama 1-2 hari (tergantung dari cuaca). Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 15-19 %. Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia lebih dari 7 bulan. Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas bahan baku. Dengan kualitas bahan baku yang baik, satu ton singkong dapat menghasilkan 400 kilogram tapioka dan 160 kilogram onggok.
C. LIMBAH INDUSTRI TAPIOKA Limbah industri tapioka dapat dibedakan menjadi dua yaitu limbah padat dan limbah cair. Menurut Greenfield (1971), limbah pabrik tapioka banyak mengandung bahan organik seperti pati, serat, protein, gula dan sebagainya. Komponen limbah ini merupakan bagian sisa pati yang tidak terekstrak serta komponen non pati yang terlarut dalam air. Sehingga tepung tapioka adalah komponen pati yang hampir murni.
a. Limbah Padat Limbah padat tapioka terdiri dari kulit umbi dari proses pengupasan
15-20
% dari bobot awal dan ampas dari proses ekstraksi yang berupa onggok kering 5-20 % dari bobot awal. Dalam beberapa hal limbah padat ini kurang menimbulkan masalah karena dapat dikembangkan berbagai manfaat ekonominya (Moertinah, 1984). Menurut Winarno (1981), onggok basah dapat digunakan sebagai bahan makanan berlapis untuk oncom atau makanan ternak khususnya ternak babi. Ampas atau onggok dapat dikeringkan menjadi onggok kering. Onggok kering kemudian digiling dan diayak. Hasil ayakan tersebut adalah tepung yang disebut tepung asia. Tepung asia inilah yang digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan krupuk dan bahan pembuatan obat nyamuk. Komposisi ampas tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi ampas tapioka Bahan Penyusun
Presentase (%)
Karbohidrat
68,30
67,93
Protein
1,70
1,45
Lemak
0,22
0,30
Serat Kasar
9,42
10,54
Air
19,70
20,30
Sumber : Nurhasan (1991)
b. Limbah Cair Limbah cair tapioka berasal dari proses pencucian dan proses pengendapan pati. Limbah cair yang berasal dari proses pengendapan pati berwarna putih (Nurhasan, 1991). Menurut Sitorus (1984), limbah cair dari proses pembuatan tepung tapioka terdiri dari tiga macam, yaitu : 5. Air bekas cucian umbi yang mengandung kotoran-kotoran berupa tanah, serpihan kulit, dan pati terlarut. 6. Air bekas pengendapan yang terdiri dari tanah, protein, serat, gula dan pati terlarut. 7. Air bekas pencucian pati yang mengandung sebagian kecil pati terlarut.
Karakteristik limbah cair industri tapioka dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Karakteristik limbah cair pada berbagai industri tapioka Karakteristik
Satuan
Bahan Baku
Ton/hari 3
Kecil
Industri Menengah
5
20
Besar 200
600
Debit
M / hari
22
80
1200
BOD5
Ppm
5055,82
5439,45
3075,84
COD
Ppm
16202,37
25123,33
5158,78
TSS
Ppm
3415,45
3442,00
1342,00
pH
-
5,5
4,5
5,0
Sianida
Ppm
0,1265
0,117
0,200
Sumber : Nurhasan (1991)
Menurut Soeriatmaja (1984) ada 5 macam perubahan kualitas air oleh limbah industri tapioka yang dapat menganggu kualitas lingkungan, yaitu : P. Peningkatan taraf padatan dalam air baik secara tersuspensi, terlarut maupun secara total. Q. Peningkatan kebutuhan oksigen oleh mikroba air yang sedang melakukan pembusukan (BOD5) sehingga menimbulkan bau busuk. R. Peningkatan senyawa sianida dan zat racun lainnya dalam air. S. Peningkatan kebutuhan oksigen oleh senyawa kimia dalam air (COD)
T. Penurunan
pH
yang
tidak
mendukung
kehidupan
biota
akuatik.
Sifat fisika dan kimia limbah cair industri tapioka, dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Sifat fisika dan kimia limbah cair industri tapioka Karakteristik Air Kec. Alir (m3/hari) Temperatur (oC) pH Alkalinitas (mg/l CaCO3) Pad. Tersuspensi (mg/l) Pad. Terendapkan (mg/l) Total padatan (%) Pad. Volatil (%dari TP) DO (mg/l) BOD5 (mg/l) COD(mg/l) Amonia N (mg/l) Organik-N (mg/l) Nitrit-N (mg/l) Nitrat-N (mg/l) Phospor (mg/l PO4 =) Sumber : Sundhagul (1972)
Air bekas pengendapan 680 1250 28,5 33 3,4 4,2 667,5 860,2 1480 8400 60 200 0,56 0,93 92 98,6 0 3000 4400 3100 13900 0 4,7 19 38,9 0 0 5,6 8,5
Air pencuci umbi 760 1600 28 30 4,2 7,1 19,2 222,5 400 6100 10 100 0,02 0,55 59,4 90 0,6 5,3 200 1700 2000 4860 0,1 1,14 14,5 18,2 0,07 0,11 1,22 1,34
Limbah industri pertanian (agroindustri) termasuk tapioka, umumnya terdiri dari bahan organik yang mudah terurai oleh mikroorganisme yang jika dibuang di perairan umum akan mengakibatkan turunnya pH dan DO, naiknya BOD5 dan COD, dan timbulnya bau busuk (Partoatmodjo, 1984) Limbah cair tapioka merupakan ancaman yang potensial bagi pencemaran lingkungan. Masalah yang timbul antara lain terhambatnya daya penetrasi sinar matahari yang disebabkan oleh tingginya kadar padatan tersuspensi sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis. Jika padatan tersuspensi sudah menyelimuti organisme dasar perairan akan memungkinkan matinya organisme tersebut (Koesoebiono, 1984). Selain itu padatan tersuspensi yang terdiri atas bahan-bahan organik akan mengalami pembusukan dan bahan padatnya akan mengapung akibat adanya dorongan gas yang terbentuk dan dapat menyebabkan bau. Mukkun (1980), menemukan bahwa bahan organik dalam limbah cair menimbulkan bau busuk karena terurai menjadi asam sulfat dan fosfin oleh kegiatan mikroba. Menurut Ciptadi (1985), adanya bahan beracun seperti asam sianida, metan,
amoniak, asam sulfat, CO2 akan mengakibatkan terjadinya penurunan pH dan menimbulkan gangguan berat terhadap flora dan fauna akuatik. Pada komplek industri tapioka, ampas dan limbah cair yang dikeluarkan dari proses tidak langsung menimbulkan masalah seperti bau busuk, akan tetapi limbah cair yang keluar pada selang beberapa waktu tersebut, akan mengalami pembusukan. Hasil proses pembusukan tersebut menyebabkan bau busuk yang menganggu sampai beberapa kilometer dari lokasi pabrik (Partoatmodjo, 1984). Menurut Partoatmodjo (1984), bila air buangan industri tapioka tersebut dibuang ke badan air dapat mengakibatkan pencemaran. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan terhadap kesehatan manusia antara lain bau busuk dan menyebabkan gatal-gatal pada kulit dan juga jika air limbah masuk ke dalam tambak akan merusak tambak sehingga ikan mati serta mengurangi estetika sungai.
D. SIANIDA
Sianida merupakan kelompok senyawa anorganik dan organik dengan siano (CN-) sebagai struktur utama. Sianida tersebar luas di perairan dan berada dalam bentuk ion sianida (CN-), hidrogen sianida (HCN-), dan metalosianida. Keberadaan sianida sangat dipengaruhi oleh pH, suhu, oksigen terlarut, salinitas dan keberadaan ion lain. Sianida dalam bentuk ion mudah terserap oleh bahan-bahan yang tersuspensi maupun oleh sedimen dasar. Sianida bersifat sangat reaktif. Sianida bebas menunjukkan adanya kadar HCN dan CN- (Effendi, 2000). Sianida dianggap sebagai pencemar (polutan) karena sifatnya yang toksik (beracun) bagi makhluk hidup yang rendah untuk waktu yang cukup lama antara lain dapat menyebabkan gangguan pernapasan (sulit bernapas), sakit kepala dan pembesaran kelenjar tyroid, sedangkan kontak pada konsentrasi tinggi dengan waktu yang singkat dapat menyebabkan gangguan pada otak, jaringan syaraf bahkan dapat menyebabkan koma dan kematian. Dengan demikian industri-industri yang menghasilkan limbah bersianida harus mengolah terlebih dahulu limbahnya sebelum dibuang ke lingkungan. Pengolahan dimaksudkan untuk menurunkan atau bahkan menghilangkan kandungan sianida dalam limbah, sehingga aman bagi lingkungan (Handayani, 2005). Upaya yang biasa dilakukan oleh pihak industri terhadap limbah sianida antara lain metode kimiawi dan metode fisik (penampungan). Proses detoksifikasi sianida secara kimiawi dapat menimbulkan persenyawaan kimia yang menghasilkan senyawa
kimia baru yang bisa jadi bersifat toksik atau tidak dapat didegradasi secara biologis. Metode penampungan limbah yang mengandung sianida di sebuah penampungan (semacam danau buatan) juga relatif tidak efisien karena memerlukan waktu yang relatif lama dan tentu saja akan merusak lingkungan (Handayani, 2005). Sianida umumnya ditemukan dalam bentuk persenyawaan dengan unsur kimia organik maupun anorganik lain membentuk suatu senyawa. Contoh yang paling sering ditemukan antara lain hidrogen sianida, sodium sianida dan potassium sianida. Hidrogen sianida berbentuk gas, tak berwarna, berbau khas dan mudah sekali menguap. Potassium sianida dan sodium sianida berbentuk padat, serbuk kristal berwarna putih dan larut dalam air (www.atsdr.cdc.gov) Ada dua jenis ubi kayu yang secara umum sering dikenal yaitu ubi kayu manis dan pahit. Rasa pahit disebabkan oleh racun asam sianida (HCN). Kandungan asam sianida (HCN) pada ubi kayu dapat mencapai 100 mg/kg, sedangkan pada ubi kayu manis sekitar 40 mg/kg. Kadar HCN pada ubi kayu dipengaruhi oleh keadaan tanah, penyiapan stek, cara bercocok tanam, iklim dan umur panen (Darjanto dan Muryati, 1980). Pengeringan dapat menurunkan kadar HCN dalam ubi kayu. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari dapat menurunkan kadar HCN dalam ubi kayu menjadi 0,0017 %, sedangkan pengeringan dengan oven dapat menurunkan kadar HCN menjadi 0,0005 %. Racun dalam umbi tidak terdapat dalam keadaan bebas, melainkan terikat dalam struktur cyanogenetik glucoside (linamarin) yang terdiri dari glukosa, aseton, dan HCN dengan rumus bangun C10 H17O6N. Linamarin yang mempunyai struktur 2-D-glucopyranosyloxy isobutyronitrile) dapat dihidrolisa oleh enzim atau asam membebaskan HCN bersama aseton dan glukosa (Darjanto dan Muryati, 1980). E. ZEOLIT Mineral zeolit pertama kali ditemukan pada tahun 1756 oleh Baron Cronsted seorang ahli mineral berkebangsaan Swedia. Kata Zeolit berasal dari bahasa Yunani, yaitu zein yang berarti mendidih dan lithos yang berarti batuan. Zeolit akan kehilangan air bila dipanaskan, sehingga disebut sebagai batu mendidih (Ming dan Mumpton, 1989). Zeolit alam merupakan mineral senyawa alumino silikat terhidrasi dari kation logam alkali dan alkali tanah yang mempunyai kerangka struktur berongga. Unit pembangun kerangka zeolit adalah SiO 44- dan AlO 45yang masing-masing tetrahedral. Secara umum rumus kimia untuk zeolit, yaitu (Mx+, My2+)(Al(x+2y)Sin-(x+2y) O 2n). mH2O
M+, M2+ adalah logam monovalen dan logam divalen. Kation-kation yang terdapat dalam tanda kurung pertama adalah kation dapat tukar (exchangeable cations), sedangkan tanda kurung kedua menyatakan kation struktural (penyusun dasar) karena bersama-sama dengan atom O menyusun kerangka zeolit. M adalah suatu bilangan tertentu yang khas untuk zeolit (Ming dan Mumpton, 1989).
Kedudukan ion silikon sebagai ion pusat pada bentuk tetrahedral dapat diganti oleh aluminium merupakan suatu proses tanpa mengalami perubahan bentuk. Penggantian suatu ion bervalensi tiga (Al3+) untuk satu ion bervalensi empat (Si4+) menimbulkan muatan negatif pada struktur kerangka zeolit. Muatan ini dinetralisasi oleh kation dari golongan alkali maupun alkali tanah seperti Na+, K+, Ca2+, dan Mg2+ (Ming dan Mumpton, 1989). Kation dapat tukar pada zeolit hanya terikat lemah di sekitar pusat tetrahedral Al, jadi dapat dihilangkan atau ditukar secara mudah melalui pencucian zeolit dengan larutan pekat dari kation lain. Kemampuan pertukaran ion zeolit merupakan parameter utama dalam menentukan kualitas zeolit yang digunakan (Ming dan Mumpton, 1989).
Zeolit dapat digunakan sebagai zat penjerap karena zeolit merupakan kristal yang unik dengan volume kosong yang berkisar dari 20% - 50% dan luas permukaan internalnya mencapai ratusan ribu m2/kg (Ming dan Mumpton, 1989). Spesifikasi kimia zeolit dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Spesifikasi kimia zeolit SiO2 Al2O3
69 13
73 % 14,71 %
Fe2O3
1
2%
CaO
2
3%
MgO
0,54
1,2 %
K2O
1 2,2 %
TiO2
< - 0,5 %
L.O.I Cation Exchange Capacity (CEC) Sumber : Anonim (2000)
5
6%
145 149 meg/100 gr
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan pada zeolit (Supriyono, 1988), yaitu 1. Ukuran butir zeolit : efisiensi zeolit menurun dengan meningkatnya ukuran butiran. 2. Kemurnian zeolit : efisiensi zeolit akan meningkat dengan semakin tingginya kemurnian. 3. Ukuran molekul adsorbat : molekul yang dapat diadsorbsi adalah molekul yang diameternya lebih kecil dari diameter pori. 4. Suhu dan tekanan : kapasitas adsorbsi turun dengan naiknya suhu dan akan naik dengan naiknya tekanan. Zeolit mampu menghilangkan kesadahan dengan cara menukar ion-ion penyebab kesadahan serta ion-ion yang lainnya dari dalam air dengan ion-ion tertentu (Kemmer, 1979). Selain itu zeolit dapat dipakai sebagai bahan penyaring dalam pemurnian air, menyerap amoniak dalam suatu perairan dan dapat mengurangi unsurunsur logam berat yang terdapat dalam air limbah (Shofianty, 1999). Resin zeolit memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengikat ion-ion dalam struktur rangkanya. Semakin lama kemampuan menukar ionnya semakin menurun, bahkan dapat mencapai tingkat kejenuhan. Jika hal ini terjadi, maka diperlukan regenerasi. Dalam regenerasi tersebut terdiri dari proses pencucian, regenerasi, pembilasan dan pemeliharaan (Kemmer, 1979). Zeolit dapat digunakan sebagai pembersih air kotor, terutama air limbah industri, dapat menghisap bau dari kotoran ternak, sehingga dapat dicampur dengan kotoran ternak untuk menghilangkan bau terhadap lingkungan, dapat menyerap nonprotein nitrogen, sehingga jika dicampurkan dengan makanan ternak, dapat menghemat/menghindari pemborosan penggunaan nitrogen untuk peternakan, dapat dipergunakan dalam sektor usaha perikanan, tambak udang, sebagai penyerap racun berupa amoniak dalam air yang berasal dari kotoran (tinja) ikan atau udang (Anonim, 2000). Zeolit mempunyai 8-12 tetrahedral mampu melewatkan molekul-molekul organik seperti halnya kation-kation (Zelazny dan Callhoun, 1977). Semakin besar jumlah tetrahedral setiap cicin yang terbentuk, semakin besar pula lebar rongga (saluran) yang terbentuk. Ukuran, jumlah dan letak rongga yang dihasilkan oleh zeolit mempengaruhi pertukaran ion yang terjadi. Selain itu zeolit juga mempunyai rongga-
rongga dan saluran yang spesifik di dalam struktur kristalnya, sehingga ia juga dapat berfungsi sebagai pengadsorp (Zelazny, 1977)
F. KARBON AKTIF Karbon aktif adalah karbon amorf yang memiliki porositas internal tinggi, sehingga merupakan adsorben yang baik untuk adsorpsi gas, cairan, maupun larutan. Adsorpsi oleh karbon aktif bersifat fisik, artinya adsorpsi terjadi jika gaya tarik van der Walls oleh molekul-molekul di permukaan lebih kuat dari pada gaya tarik yang menjaga adsorbat tetap berada dalam fluida. Adsorpsi fisik bersifat dapat balik sehingga adsorbat yang diadsorpsi karbon aktif dapat mengalami desorpsi (Roy, 1995). Sifat ini menguntungkan untuk aplikasi industri karena karbon aktif dapat dipakai ulang melalui proses regenerasi. Karbon aktif berbentuk kristal mikro karbon grafit yang pori-porinya telah mengalami proses pengembangan kemampuan untuk menjerap gas dan uap dari berlapis gas dan zat-zat yang tidak larut atau terdispersi dalam cairan (Roy, 1995). Karbon aktif adalah arang yang telah mengalami proses aktivasi untuk meningkatkan luas permukaannya dengan jalan membuka pori-pori sehingga daya adsorpsinya meningkat. Pola difraksi sinar-X menunjukkan bahwa karbon aktif
berbentuk grafit,
amorf. Karbon aktif tersusun dari atom-atom karbon berikatan secara kovalen membentuk struktur heksagonal datar. Susunan kisi-kisi heksagonal datar ini tampak seperti pelat-pelat datar yang saling bertumpuk dengan sela-sela diantaranya. Setiap kristal karbon aktif biasanya tersusun dari 3 atau 4 lapisan atom karbon dengan sekitar 20-30 atom karbon heksagonal pada tiap lapisan (Jankowska, 1991). Penggunaan karbon aktif sebagai adsorben ditentukan oleh luas permukaan, dimensi dan distribusinya yang bergantung pada bahan baku, kondisi pengarangan dan proses
pengaktifan
yang
digunakan.
Menurut
IUPAC,
diklasifikasikan berdasarkan ukuran porinya menjadi mikropori
karbon aktif (diameter< 2
nm), mesopori (diameter 2 50 nm) dan makropori (diameter>50 nm) (Baker, 1997). Karbon aktif pengadsorpsi gas berbentuk granul, keras dan rapatannya tinggi. Sedangkan pengadsorpsi cairan berbentuk serbuk, lunak, dan rapatannya rendah (Fernandez dan Delgado, 1994). Sekarang ini, karbon aktif telah digunakan secara luas dalam industri pangan, misalnya untuk pemurnian gula dan minyak, maupun non-pangan seperti kimia dan
farmasi, umumnya sebagai bahan pengadsorpsi dan pemurni yang digunakan dalam jumlah sedikit sebagai katalis. Karbon aktif juga banyak digunakan pada sistem penjernihan air (Sriwahyunu, 2002). Adsorpsi karbon aktif merupakan salah satu pengolahan limbah cair tersier yang dapat digunakan untuk mengeliminasi bahan bahan organik sulit terdegradasi maupun residu anorganik, seperti nitrogen, sulfida dan logam berat. Jika dikehendaki kandungan bahan dalam influen pada tingkat yang rendah, diperlukan regenerasi karbon yang lebih sering. Kurangnya konsistensi pH, temperatur dan laju alir dapat berbeda terhadap kinerja kontaktor karbon. (Suprihatin dan Suparno, 2000). Untuk menghilangkan bahan-bahan organik yang tidak diinginkan dapat dilakukan dengan menggunakan filtrasi karbon aktif. Bahan organik tersebut dapat berupa ikatan-ikatan organik alami seperti bahan penyebab bau, rasa, warna atau dapat juga berupa ikatan halogen sintetis seperti pestisida dan bahan pelarut. Selain itu, karbon aktif juga dapat digunakan sebagai katalisator perombakan ikatan-ikatan klor dan ozon. Adsorpsi sebenarnya berdasarkan pada atom bebas yang terdapat pada permukaan butiran, yang memiliki valensi efektif ke arah luar. Pada valensi ini, gas dan bahan terlarut dapat terikat. Sebagai daya ikat adalah gaya van der Waals, daya elektristatis, dan ikatan jembatan hidrogen. Pada banyak adsorptif, energi aktivasi yang diperlukan untuk pemisahan ikatan tersebut sangat kecil, sehingga ikatan-ikatan tersebut dilihat sebagai ikatan irreversible. Dengan demikian akan terjadi desorpsi, yaitu pelepasan bahan-bahan yang semula teradsorpsi melalui bahan-bahan yang lebih mudah teradsorpsi. Hal ini dikenal juga sebagai efek
adsorpsi saingan dan
menyebabkan diperlukannya kontrol efluen pada aplikasi karbon aktif dalam pengolahan air (Suprihatin dan Suparno, 2000). Permukaan karbon aktif merupakan kondisi ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme yang baik. Jika bahan teradsorpsi berupa bahan organik dapat terombak secara biologis, bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan makanan bagi mikroorganisme. Pada saat yang sama, diperoleh efek regenerasi kabon aktif secara biologis, karena melalui perombakan secara biokimiawi bahan yang sebelumnya teradsorpsi akan diperoleh kapasitas baru. Mikroorganisme juga mampu menggunakan bahan polutan dari larutan langsung, sehingga selain efek adsorpsi dicapai efek pengolahan air lainnya (Suprihatin dan Suparno, 2000). Kriteria untuk
penentuan ukuran unit filtrasi karbon aktif berkisar antara nilai yang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai untuk penentuan ukuran unit filtrasi karbon aktif Waktu Kontak ta (h) 10
Ketinggian h (m)
20
1,5
Kecepatan filtrasi vf (m/h)
4,0
4
20
Sumber : (Suprihatin dan Suparno, 2000) Karbon aktif dapat berfungsi untuk menghilangkan kandungan bahan organik, bau, rasa, serta polutan mikro lainnya (Said,1999:107). Rasa dan bau di dalam air disebabkan: a. Gas-gas terlarut, misal:hidrogen sulfida. b. Zat-zat organik hidup, misal:ganggang. c. Bahan organik yang membusuk. d. Limbah industri. e. Klorin, baik residu atau gabungan dengan fenol atau pun bahan bahan organik yang membusuk (Linsley dan Franzini, 1991:133). Sedangkan bentuk karbon aktif yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk granular. Menurut Indriyati (2002) kelebihan karbon aktif granular adalah: a. Pengoperasiannya mudah, karena air mengalir dalam media. b. Proses perjalanan cepat, karena lumpur menggerombol. c. Media tidak bercampur dengan lumpur sehingga dapat diregenerasi
G. ADSORPSI Adsorpsi adalah proses terjadinya perpindahan massa adsorbat dari fase gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan adsorben. Dalam proses adsorpsi, terjadi tarik-menarik antar molekul adsorbat (zat teradsorpsi) serta antara molekul-molekul adsorbat dan tapak-tapak aktif pada permukaan adsorben (pengadsorpsi). Perpindahan massa terjadi jika gaya tarik adsorben lebih kuat (Setyaningsih, 1995). Berdasarkan jenis gaya tarik ini, dikenal adsorpsi fisik (fisisorpsi) yang melibatkan gaya van der Waals dan adsorpsi kimia yang melibatkan reaksi kimia. Adsorpsi fisik memiliki H adsorpsi jauh lebih kecil daripada adsorpsi kimia (Bird, 1985). Adsorpsi fisik akan terus berlangsung sampai terbentuk multilapisan pada tekanan tinggi, tetapi pada tekanan rendah dan suhu tinggi dapat berbalik menjadi desorpsi (Alberty dan Silbey,
1992). Sebaliknya, adsorpsi kimia hanya membentuk lapisan tunggal dan prosesnya semakin cepat pada suhu tinggi (Bird, 1995). Mekanisme peristiwa adsorpsi dapat diterangkan sebagai berikut. Molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben, disebut difusi eksternal. Sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar, tetapi sebagian besar berdifusi lebih lanjut ke dalam pori-pori adsorben (difusi internal). Bila kapasitas adsorpsi masih sangat besar, sebagian besar adsorbat akan teradsorpsi dan terikat di permukaan. Namun, bila permukaan sudah jenuh atau mendekati jenuh oleh adsorbat, dapat terjadi dua hal: (1) terbentuk lapisan adsorpsi kedua dan seterusnya di atas adsorbat yang telah terikat di permukaan; gejala ini disebut adsorpsi multilapisan, atau sebaliknya (2) tidak terbentuk lapisan kedua sehingga adsorbat yang belum teradsorpsi berdifusi keluar pori dan kembali ke arus fluida. Proses adsorpsi pada karbon aktif terjadi melalui tiga tahap dasar. Pertama-tama, zat terjerap pada karbon aktif bagian luar, lalu bergerak menuju pori-pori karbon aktif, selanjutnya terjerap ke dinding bagian dalam dari karbon aktif. Adsorpsi fisika berlangsung cepat dan reversibel dengan panas adsorpsi berkisar antara 5 sampai 10 kkal/mol. Adsorbat tidak terikat secara kuat pada bagian permukaan adsorben sehingga adsorbat dapat bergerak dari bagian permukaan adsorben ke bagian lainnya dan diganti oleh adsorbat lain. Adsorpsi fisika terjadi hampir pada semua permukaan dan dipengaruhi oleh temperatur dan tekanan (Montgomery, 1985). Jika laju sorpsi sebanding dengan laju desorpsi, maka kesetimbangan dan kapasitas adsorben telah dicapai. Kapasitas adsorpsi dari adsorben secara teoritis dapat dihitung dengan menghitung isoterm adsorpsinya. Persamaan yang dapat digunakan adalah isoterm freundlich, Langmuir, isoterm Freundlich biasa digunakan untuk menerangkan karakteristik karbon aktif yang digunakan dalam pengolahan limbah cair. Selanjutnya Metcalf dan Eddy (1991) mengatakan bahwa isoterm Langmuir dapat digunakan dalam mengasumsikan bahwa permukaan adsorben mempunyai pori dalam jumlah tetap dengan energi yang sama, serta adsorpsi bersifat reversibel. Asumsi ini tidak dapat digunakan untuk setiap proses adsorpsi. Waktu kontak merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kesetimbangan pada proses adsorpsi. Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain sifat fisik dan kimia adsorben (luas permukaan, ukuran pori dan komposisi kimia), sifat fisik dan kimia adsorbat (ukuran, kepolaran dan komposisi kimia molekul), konsentrasi adsorbat
dalam fase cair, karakteristik fase cair (pH dan suhu) dan kondisi operasional adsorpsi. Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila mempunyai daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar) dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik maupun kimia. Pembesaran luas permukaan dapat dilakukan dengan pengecilan partikel adsorben (Ferry, 2002). Akan tetapi, dalam berbagai pemakaian, ukuran partikel harus memenuhi syarat lainnya, seperti tidak boleh terbawa serta dalam aliran fluida, sehingga terdapat aturan pada ukuran partikel.
H. FILTRASI Filtrasi merupakan operasi yang paling sering diterapkan dalam pengolahan air. Selain efek utama, penyaringan padatan secara mekanis, di dalam filtrasi juga berlangsung proses biologis atau reaksi kimia. Ukuran terpenting unit filtrasi adalah luas permukaan, dapat dilihat pada persamaan 1 menurut Nathanson (1997) : Q F=
------Vf
[m2] ...................................(1)
di mana : F = Luas permukaan (m2), Q = laju aliran air (m3/h), vf = kecepatan filtrasi (m/h)
Kecepatan filtrasi ini menentukan efektivitas filtrasi dan lama waktu siklus filtrasi. Semakin kecil kecepatan filtrasi semakin lama siklus pencucian, dan menghasilkan kualitas air lebih baik, tetapi membutuhkan ukuran unit filtrasi lebih besar. Perlu diperhatikan bahwa kecepatan filtrasi aktual air di dalam filter jauh lebih besar, karena air mengalir hanya melalui penampang pori-pori filter. Dalam penelitian skala pilot plant, kecepatan filtrasi perlu ditentukan secara eksperimen, dimana satu sisi waktu penggunaan filter di antara pencucian selama mungkin dan di sisi lain ukuran unit filtrasi sekecil mungkin. Juga kedalam/ketebalan filter perlu ditentukan secara eksperimen dengan skala pilot plan. Unit filtrasi yang dirancang dengan baik akan menghasilkan air yang jernih, dengan tingkat kekeruhan di bawah 0,2 NTU (Suprihatin, 2000).
Butiran filter berukuran besar akan lebih cepat mengendap dibanding dengan butiran berukuran kecil.
Pada aliran ke bawah, pengklasifikasian tersebut tidak
menguntungkan, karena air baku pertama-tama melewati bahan filter halus dengan pori-pori filter lebih besar. Sebagai alternatif pemecahan masalah ini adalah dengan cara membuat bet filter dalam beberapa lapis, dengan diameter butiran filter dari atas semakin menurun semakin kecil ukurannya. Agar setelah backwashing tidak terjadi pengklasifikasian, maka bahan filter bagian atas memiliki densitas lebih kecil, dan butiran filter bagian bawah dengan densitas lebih besar (Suprihatin, 2000).
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair bekas pencucian umbi dan limbah cair pengendapan pati dari industri kecil tapioka yang berada di Tanah Baru Bogor, bahan aktif penyaring yaitu karbon aktif, zeolit, pasir aktif yang diperoleh dari Toko Kimia di Bogor. Bahan-bahan pembantu yang digunakan adalah bahan kimia untuk analisis limbah cair seperti kalium dikromatmerkuri sulfat, larutan asam sulfat-perak sulfat, indikator feroin, ferro ammonium sulfat, larutan mangan sulfat, larutan alkali iodida azida, asam sulfat pekat, larutan standar tiosulfat, indikator kanji, larutan NaOH, larutan NaH2PO4.H20, Chloramine T solution, pyridine-barbituric acid reageant, Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung filter yang terbuat dari pipa PVC dengan ketinggian 43 cm dan diameter 16 cm. Peralatan lainnya seperti pompa, selang, jerigen, termometer, ember, gelas ukur dan stop watch. Selanjutnya alat yang digunakan untuk analisis diantaranya destilator, botol winkler, pipet, spektrofotometer Hach DR/2000, Spektrofotometer PerkinElmer Lamda 25, buret, gelas piala, neraca analitik, pHmeter, termometer, Turbidimeter , tabung uji COD, heating block, botol BOD5.
B. METODE PENELITIAN Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian tahap pertama dan penelitian kedua. 1. Penelitian Tahap Pertama Kegiatan yang dilakukan pada penelitian tahap pertama meliputi: a. Melakukan analisis limbah Limbah yang dianalisis adalah limbah cair industri kecil tapioka yaitu limbah bekas pencucian umbi dan limbah cair pengendapan pati. Analisis yang dilakukan berdasarkan persyaratan mutu dalam Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP 51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, yang meliputi pH, kekeruhan, padatan tersuspensi, BOD5, COD, sianida. Metode analisis yang digunakan mengacu pada APHA dan Standar Nasional Indonesia. Pengujian parameter TSS berdasarkan SNI 06-2413-1991. Pengujian parameter COD berdasarkan
metode refluks tertutup (SNI 06.2504.1991), BOD5 berdasarkan metode Winkler (SNI 06.2503.1991), sianida berdasarkan metode spektrofotometri (APHA 18 th ed 1992, 4500-CN.E) Tujuan penelitian tahap pertama adalah mengetahui karakteristik limbah cair tapioka yang akan ditangani, sehingga dapat diperkirakan rancangan sistem filter yang akan digunakan. b. Menentukan perlakuan debit Tujuannya untuk mendapatkan nilai kekeruhan yang terkecil pada berbagai taraf perlakuan debit, untuk dijadikan acuan perlakuan debit pada penelitian tahap kedua. Dalam penelitian skala pilot plant, kecepatan filtrasi perlu ditentukan secara eksperimen (suprihatin, 2000), dimana kecepatan berbanding lurus dengan debit. Untuk memudahkan pemilihan perlakuan debit yang akan diujikan maka dilakukan terlebih dahulu pengujian debit secara berulang yang kemudian dianalisis sesuai dengan parameter yang diuji. Pemilihan debit pertama dilakukan dengan mengukur debit maksimal yang dilewatkan pada filter dengan kondisi kran terbuka penuh yaitu sebesar 5000 ml/menit, lalu dilakukan penurunan debit bertahap 4000 ml/menit, 3000 ml/menit, 2000 ml/menit dan 1000 ml/menit. Nilai kekeruhan dari setiap debit tersebut semuanya melebihi 999 NTU dan secara kasat mata terlihat limbah sangat keruh. Sehingga dilakukan lagi penurunan debit bertahap dari 1000 ml/menit menjadi 800 ml/menit, ml/menit.
600 ml/menit, 400 ml/menit dan 200
2. Penelitian Tahap Kedua Pada penelitian tahap kedua dilakukan penyaringan limbah industri kecil tapioka dengan menggunakan media filtran yang berbeda. Media yang digunakan terdiri dari dua jenis yaitu media karbon aktif yang sering digunakan sebagai penjernih air. Penggunaan karbon aktif dalam penelitian ini karena karbon aktif dapat berfungsi untuk menghilangkan kandungan zat organik, bau, rasa serta polutan mikro lainnya (Said, 1999) dan media berlapis yang terdiri dari pasir aktif : karbon aktif : zeolit dengan perbandingan
6:3:1 yang digunakan sebagai
penjernih air (Bratachem, 2003). Limbah yang dilewatkan ke filter adalah limbah pencucian umbi dan limbah pengendapan aci dari industri kecil tapioka. Proses filtrasi dilakukan dengan cara melewatkan limbah cair ke filter yang dirancang oleh Alamsyah Sujana (2005) dengan ukuran 8 inci dan panjang yang diperkecil 1/3 kalinya menjadi 43,33 cm dengan maksud untuk mempermudah pengerjaan. Sedangkan perlakuan debitnya dipilih debit 200 ml/menit karena memiliki nilai kekeruhan terkecil, dan dilakukan penurunan debit bertahap kembali menjadi 150 ml/menit, 100 ml/menit dan 50 ml/menit untuk mendapatkan nilai kekeruhan terkecil. Karena nilai kekeruhan berhubungan lurus dengan nilai parameter baku mutu yang diuji untuk limbah industri tapioka. Sistem operasi yang diterapkan adalah sistem aliran dari atas ke bawah yang disebut lampik tetap atau kolom. Skema peralatan pada proses filtrasi dapat dilihat pada Gambar 1.
6 3
1 C
4 A
7 5
Keterangan : A = Tabung Filter B = Wadah penampung effluent C = Wadah influent 1 = Tutup CO atas 2 = Tutup CO bawah 3 = keran saluran masuk dan pengatur debit 4 = keran pengurasan 5 = saluran keluar 6 = saluran masuknya air limbah 7 = Pompa
2 B
Bahan yang dibutuhkan untuk membuat filter dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Bahan yang dibutuhkan untuk membuat filter
Cara kerja filter No
Komponen
Ukuran
Jumlah
1
Pipa PVC
8 inci, 43 cm
1 batang
2
Pipa PVC
¾ inci
1 batang
3.
Elbow
¾ inci
2 buah
4.
Tester (letter T)
¾ inci
3 buah
5.
Sock drat dalam
¾ inci
3 buah
6
Tutup atau CO (cap out)
4 inci
2 buah
7
Noksel
¾ inci
2 buah
8
Dop (tutup) atas
10 inci
1 buah
9
Dop bawah + dudukan
10 inci
1 buah
10
Stop keran
¾ inci
3 buah
11
Lem PVC
12
Pompa AQUILA P1200
AC 220V/240 V 50 Hz 13 W
1 buah
FLmax tertulis = 10000ml/menit Media dimasukkan ke tabung filter melalui lubang CO. Proses pemasukan air limbah dan pengaturan debitnya dengan membuka dan mengatur keran nomer 3, sedangkan keran nomer 4 dibiarkan tertutup. Air limbah yang masuk akan difilter oleh media filtran, selanjutnya menuju saluran keluar (nomer 5). Pompa yang digunakan adalah pompa yang bertekanan, berdebit tetap dan memiliki saluran bypass. Pencucian Media (backwash) Pencucian media bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada media filter. Pencucian dilakukan secara berkala, minimal dua minggu sekali. Jika tidak dibersihkan, terdapat kotoran yang menumpuk dan menyumbat media filter. Akibatnya, kualitas air kurang baik dan debit air yang keluar semakin kecil. Untuk mencuci media filter (backwash) tidak perlu mengeluarkan media filter, yaitu dengan menutup keran nomer 3 (pemasukan), kemudian membuka kran nomor 4 (pengeluaran). Air dari tendon akan mengalir dari saluran keluar (dari bawah) kemudian keluar melalui saluran masuk pada bagian atas. Air cucian dikeluarkan melalui kran nomor 4 yang dibiarkan terbuka. Setelah itu, putar balik arah alirannya
dengan membuka-tutup keran seperti proses pemasukan. Lakukan secara berulangulang sampai air yang keluar dari filter terlihat jernih. Perawatan filter Filter penjernih air perlu dirawat dan dibersihkan secara periodik agar tetap berfungsi dengan baik. Pengontrolan secara rutin kondisi media filter setidaknya dilakukan dua minggu sekali. Apabila media sudah tidak berfungsi dengan baik (pipa tersumbat atau media filter sudah jenuh), sebaiknya pipa dibersihkan dan media filter diganti (apabila sudah jenuh). Media filter yang sudah jenuh menyebabkan kualitas air yang keluar kurang baik. Media filter berjangka kurang lebih satu tahun. Jika tidak dilakukan perawatan, media filter tidak akan tahan lama. Merawat media filter dilakukan dengan cara mencuci media (backwash). Apabila kualitas air yang dikeluarkan kurang baik, walaupun media filter telah dicuci, dipastikan media filter sudah jenuh dan tidak dapat berfungsi dengan baik. Media filter perlu diganti.
Diagram alir proses penelitian disajikan pada Gambar 2.
Mulai A : Jenis limbah A1: Limbah pencucian umbi A2: Limbah pengendapan aci B : Taraf Debit B1: 50 ml/mnt B2: 100 ml/mnt B3 : 150 ml/mnt B4: 200 ml/mnt C : Jenis Filtrasi C1: Media berlapis C2: Media tunggal
Selesai
Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan limbah cair secara filtrasi
C. ANALISIS LIMBAH CAIR TAPIOKA Untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap kualitas limbah maka dilakukan analisis limbah cair tapioka sebelum dan sesudah proses filtrasi. Parameter yang dianalisis berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-51/MENLH/10/1995, tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, yang meliputi padatan tersuspensi, BOD5, COD, Sianida, pH dan kekeruhan, sebagai parameter tambahan.
D. RANCANGAN PERCOBAAN
Penelitian pengolahan limbah cair industri tapioka ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 3 faktor perlakuan. Adapun perlakuan yang dicobakan dalam pengolahan limbah cair industri tapioka ini meliputi : Faktor A menunjukkan limbah tapioka yang akan diolah yang terdiri atas 2 taraf yaitu A1 : limbah cair pencucian umbi ; A2 : limbah cair pengendapan aci. Faktor B menunjukkan debit limbah cair sebagai influen yang terdiri atas 4 taraf, yaitu B1 : 50 ml/menit; B2 : 100 ml/menit; B3 : 150 ml/menit, B4 : 200 ml/menit dan faktor C menunjukkan jenis media filtran yang terdiri atas 2 taraf yaitu C1 : filtran berlapis (pasir aktif : karbon aktif : zeolit) ; C2 : filtran media tunggal karbon dengan ulangan dilakukan sebanyak 2 kali. (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. NERACA MASSA Berdasarkan neraca massa proses produksi tepung tapioka, diperoleh keseimbangan massa air dan keseimbangan bahan baku. Jumlah total bahan baku yang masuk ke dalam proses adalah sebesar 840 kg/hari singkong yang telah dikupas kulitnya. Jumlah total air yang masuk ke dalam proses adalah 13,58 m3 dengan peruntukan 1,16 m3 air untuk pencucian umbi dan 12,42 m3 untuk pengendapan aci. Air yang digunakan dalam proses, seluruhnya akan dikeluarkan menjadi limbah cair yang akan langsung dibuang ke sungai, tidak ada air yang disirkulasi kembali ke dalam proses. Dari input sebanyak itu diperoleh output berupa 300 kg aci, onggok basah sebanyak 150 kg, sisanya menjadi lindur atau elot dan padatan yang tak terendapkan lalu dibuang ke sungai.
Gambar 3. Neraca Massa Proses Produksi Tepung Tapioka/hari
B. ANALISIS KARAKTERISTIK AIR BAKU DAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA Berdasarkan pengamatan terhadap limbah cair sisa pencucian singkong, limbah ini memiliki warna cokelat keruh, berbau dan bercampur antara tanah dan singkong kupasan. Sedangkan limbah sisa pengendapan aci berwarna putih, bertekstur kental, dan berbau seperti singkong parutan. Limbah cair sisa pencucian singkong dibuang ke sungai, umumnya pada pagi hingga siang hari antara pukul 10.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB, sedangkan limbah pengendapan aci dibuang ke sungai, umumnya pada malam hari antara pukul 19.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Hasil analisis limbah cair industri kecil tapioka sebelum dilakukan proses pengolahan dan analisis air baku proses disajikan pada Tabel 9. Air baku untuk proses diambil dari sumber mata air yang mengalir menuju sungai tanah baru. Sebelum digunakan, air telah mengalami proses penyaringan melalui penyaringan sederhana yang dibuat dengan menggunakan batang pohon aren.
Tabel 9. Kualitas air baku dan Limbah cair tapioka Beban Pencemaran Limbah Limbah Parameter Satuan Pencucian Pengendapan Umbi Aci Kekeruhan NTU 0 443 999 TSS mg/l 3 676,00 825 mg/l ** 654,50 2160 BOD5 COD mg/l ** 925,75 3402,05 5,714 Sianida(CN) mg/l 0,05 pH 5,41 4,02 4,35 KMnO4 mg/l 1,42 *) Sumber : Kep Men LH No. KEP-51/MENLH/10/1995 (Anonim, 1996) Air Baku Proses Produksi
Baku Mutu Limbah Cair industri Tapioka*) 100 150 300 0,3 6-9 -
**). Tidak dianalisis
Kandungan organik air baku diketahui melalui parameter KMnO4. Parameter BOD5 dan COD tidak masuk dalam parameter yang harus dianalisis menurut persyaratan air bersih sesuai dengan Permenkes
No.
416/MENKES/PER/IX/1990, karena air baku memiliki kandungan organik yang sangat kecil sehingga jika diuji dengan parameter BOD5 dan COD maka akan ada pengganggu yang membuat nilai menjadi minus. Dari data air baku diketahui bahwa nilai KMnO4 yang sangat rendah menandakan air baku memiliki kandungan organik
yang sangat kecil. Air baku bersifat asam dengan pH bernilai 5,41 karena bersumber dari air sungai yang berasal dari mata air yang dipengaruhi oleh air hujan. Namun, setelah digunakan dalam proses produksi sebagai pelarut dalam proses pencucian umbi dan pengendapan aci, kualitas air semakin menurun bahkan menjadi berbahaya bagi lingkungan jika tidak ditangani terlebih dahulu, karena memiliki kadar organik yang tinggi yang berasal dari larutan komponen kimia yang ada di singkong seperti pati, gula, lemak, protein, serat dengan air sebagai pelarutnya. Air setelah proses pencucian umbi menjadi memiliki nilai kekeruhan yang sangat tinggi yaitu 443 NTU sedangkan setelah proses pencucian umbi memiliki nilai kekeruhan 999 NTU. Nilai TSS yang tinggi menggambarkan adanya partikel-partikel kecil yang berdiamater > 1 µm di air keluaran proses produksi. Air yang memiliki kandungan organik yang tinggi cenderung akan menjadi asam, karena asam merupakan bentuk oksidasi maksimum dari bahan organik sebelum terbentuk karbondioksida dan air, dan juga dikarenakan singkong memiliki kandungan asam yang dikarenakan adanya kandungan sianida dalam singkong. Berdasarkan analisis limbah cair industri tapioka, terlihat bahwa kualitas limbah, tidak memenuhi persyaratan baku mutu untuk dibuang ke badan perairan umum,
karena
jauh
melampaui
ketentuan
yang
berlaku
berdasarkan
KEP-51/MENLH/10/1995 untuk baku mutu limbah cair industri tapioka. Hanya parameter sianida pada limbah pencucian umbi yang memenuhi persyaratan buang, yaitu senilai 0,05 mg/l dengan syarat baku mutu buang 0,3 mg/l. Hal ini disebabkan sedikitnya pati yang terlepas ketika pengupasan kulit dan proses pencucian menggunakan air yang banyak.
C. PEMILIHAN TIGA PERLAKUAN DEBIT Limbah cair yang digunakan dalam penelitian tahap awal adalah limbah pengendapan aci, karena nilai kekeruhannya lebih tinggi dibandingkan limbah pencucian umbi. Sedangkan filter yang digunakan adalah filter tunggal karbon aktif. Tabel 10. Data nilai kekeruhan (NTU) limbah pengendapan aci industri tapioka hasil proses penyaringan menggunakan karbon aktif Debit (ml/menit) Ulangan
Nilai Kekeruhan Awal
200
400
600
800
1000
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Rata-rata Efisiensi
999 999 999 999 -
262 188 192 214 78,58
469 326 400 398 60,16
667 465 464 532 46,75
889 507 608 668 33,13
999 549 664 737 26,23
Pada Tabel 10 terlihat bahwa limbah cair pengendapan aci yang dilewatkan pada media tunggal karbon aktif pada variasi debit yang berbeda 200, 400, 600, 800, 1000 ml/menit memiliki perbedaan efisiensi. Perlakuan debit
200 ml/menit
merupakan perlakukan yang memiliki efisiensi tertinggi yaitu dapat menurunkan kekeruhan menjadi 214 NTU (78,58 %). Sedangkan debit
400 ml/menit
dapat menurunkan kekeruhan menjadi 398 NTU (60,16 %). Debit
600
ml/menit pada limbah pengendapan aci dapat menurunkan nilai kekeruhan 999 NTU menjadi 532 NTU (46,75 %), sedangkan debit 800 ml/menit dapat menurunkan menjadi 668 NTU (33,13 %). Debit 1000 ml/menit memiliki efisiensi penurunan kekeruhan terkecil hanya dapat menurunkan menjadi 737 NTU (26,23%). Dari data analisis tahap awal, perlakuan debit 200 ml/menit memiliki efisiensi penurunan nilai kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan debit
400,
600, 800 dan 1000 ml/menit. Kekeruhan disebabkan oleh banyak faktor antara lain oleh bahan organik atau bahan anorganik yang akan mempengaruhi nilai TSS, BOD5 dan COD. Berdasarkan penelitian tahap pertama ini maka dipilih debit 50 ml/menit, 100 ml/menit, 150 ml/menit dan 200 ml/menit sebagai variasi debit dalam penelitian kedua untuk penanganan limbah cair tapioka.
D. LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA Limbah cair dari pencucian singkong mengandung sejumlah padatan terendapkan yaitu tanah, pasir, serpihan kulit dan mungkin pati terlarut. Bila air limbah masuk ke sungai maka di badan air akan mengalami proses pembusukan, yaitu terurainya asam sulfida dan fosfin sehingga menimbulkan bau busuk (Mukkun, 1980). Sedangkan limbah cair sisa pengendapan aci merupakan limbah yang kaya akan bahan organik seperti pati, serat, protein, gula dan sebagainya. Komponen limbah ini sebagian besar mengandung sisa pati yang belum mengendap dan komponen non pati yang terlarut dalam air. Proses pembusukan limbah cair ini dapat bersifat bersifat aerob (membutuhkan oksigen) dan dapat pula bersifat anaerob (tidak membutuhkan
oksigen). Hasil proses pembusukan tersebut berupa bau yang berasal dari H2S dan NH3 serta berbagai gas berbau menyengat lainnya. Pada proses filtrasi, terdapat partikel-partikel yang tertahan oleh media filtran baik dalam pori-pori maupun di permukaan filtran. Dan proses filtrasi diharapkan semua partikel tertahan sehingga dihasilkan efluen dengan kualitas tinggi. Penurunan beban cemaran limbah cair industri tapioka hasil filtrasi ditentukan oleh efisiensi penurunan beban cemaran limbah cair tersebut. Proses penanganan limbah cair menggunakan filtrasi ditentukan oleh efisiensi penurunan beban cemaran limbah cair tersebut dengan parameter yang ditentukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-51/MENLH/10/ 1995, tentang Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri, yang meliputi padatan tersuspensi, BOD5, COD, Sianida, pH dan kekeruhan, sebagai parameter tambahan. Efisiensi penurunan dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan suatu filter untuk memisahkan komponen tertentu. Efisiensi dipengaruhi oleh porositas atau ukuran partikel yang dipisahkan.
1. Kekeruhan Kekeruhan disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adanya bahan yang tidak terlarut seperti debu, tanah liat, bahan organik atau anorganik dan mikroorganisme air. Limbah pencucian umbi memiliki nilai kekeruhan sebesar
443
NTU. Sedangkan nilai kekeruhan hasil pengukuran limbah pengendapan aci melebihi 999 NTU. Nilai kekeruhan limbah pengendapan aci lebih tinggi dari pada limbah sisa pencucian umbi, disebabkan karena kandungan organik yang tersuspensi dalam limbah pengendapan aci lebih banyak dibandingkan limbah pencucian..umbi. Hasil filtrasi dengan menggunakan filtran menunjukkan penurunan nilai kekeruhan,
Penurunan Kekeruhan (% )
penurunan disajikan pada gambar grafik di bawah ini. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Keterangan : A1C1 (limbah pencucian umbi+Media berlapis) A2C1 (limbah pengendapan aci+Media berlapis) A1C2 (Limbah pencucian umbi+Media tunggal) A2C2 (Limbah pengendapan aci+Media tunggal)
50
100
150
Debit (ml/m enit)
200
Gambar 4. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan kekeruhan limbah cair tapioka pada debit yang berbeda. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi debit maka efisiensi penurunan nilai kekeruhan semakin rendah. Media filtran berlapis memiliki efisiensi penurunan nilai kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan media filtran karbon aktif. Perlakuan dengan media berlapis untuk limbah pencucian umbi (A1B1C1) dengan debit 50 ml/menit dapat mengurangi nilai kekeruhan dari 443 NTU menjad 8 NTU atau memiliki efisiensi penurunan kekeruhan tertinggi sebesar 98,19 %, perlakuan A1B2C1 debit 100 ml/menit mengurangi nilai kekeruhan menjadi 11 NTU (97,52 %), perlakuan A1B3C1 debit 150 ml/menit dapat mengurangi nilai kekeruhan menjadi 12,5 NTU (97,23 %), sedangkan perlakuan A1B4C1 debit 200 ml/menit dapat mengurangi nilai kekeruhan menjadi 13,5 NTU (96,95 %). Perlakuan media karbon aktif untuk limbah pencucian umbi (A1B1C2) dengan debit 50 ml/menit dapat mengurangi kekeruhan menjadi 9 NTU atau memiliki efisiensi penurunan kekeruhan sebesar 97,97 %, perlakuan A1B2C2 debit 100 ml/menit dapat mengurangi kekeruhan menjadi 12,5 NTU atau memiliki nilai penurunan kekeruhan sebesar 97,18 %, perlakuan A1B3C2 debit
150
ml/menit dapat mengurangi kekeruhan menjadi 13,5 NTU atau memiliki efisiensi penurunan kekeruhan sebesar 96,95 %, perlakuan A1B4C2 debit
200
ml/menit dapat mengurangi kekeruhan menjadi 14 NTU atau memiliki efisiensi penurunan kekeruhan sebesar 96,84 %. Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya perlakuan debit yang berpengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan untuk limbah pencucian umbi hanya pada debit 50 ml/menit yang berbeda nyata dengan debit
200 ml/menit. Nilai
rata-rata menunjukkan debit yang semakin kecil memberikan nilai kekeruhan yang semakin kecil, perlakuan media berlapis memberikan nilai kekeruhan lebih kecil dari pada perlakuan dengan media karbon aktif, tetapi perbedaan media tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kekeruhan disebabkan oleh adanya partikel-partikel kecil dan koloid yang berukuran 10 nm sampai
10
m. Perlakuan media berlapis
memberikan nilai kekeruhan lebih kecil, hal ini dikarenakan susunan filternya, yaitu susunan pasir aktif yang rapat, sehingga terjadi penahanan terhadap bahan yang
menyebabkan kekeruhan, lalu terjadi proses adsorpsi dan absorpsi pada media karbon aktif dan zeolit. Sedangkan karbon aktif dapat menangkap partikel yang sangat halus berukuran
0,01
0,0000001 mm, sehingga kedua perlakuan media filtran
memiliki kemampuan yang tinggi untuk menurunkan nilai kekeruhan. Hal yang berpengaruh signifikan adalah waktu kontak limbah dengan media filter pada debit 50 ml/menit dan 200 ml/menit. Penanganan limbah pengendapan aci dengan perlakuan media berlapis (A2B1C1) pada debit 50 ml/menit dapat menurunkan nilai kekeruhan sebesar 46,5 NTU atau memiliki efisiensi penurunan kekeruhan sebesar 95,35 %, perlakuan A2B2C1 debit 100 ml/menit dapat menurunkan kekeruhan menjadi 101,5 NTU (89,84 %), perlakuan A2B3C1 150 ml/menit dapat menurunkan nilai kekeruhan sebesar 164,5 NTU (83,53 %), dan perlakuan A2B4C1 200 ml/menit dapat menurunkan nilai kekeruhan sebesar 225,5 NTU (77,43 %). Perlakuan dengan media karbon aktif (A2B1C2) pada debit 50 ml/menit dapat menurunkan nilai kekeruhan menjadi 117,5 NTU atau memiliki efisiensi penurunan sebesar 88,24 %, perlakuan A2B2C2 debit 100 ml/ menit, A2B3C2 debit 150 ml/menit, dan A2B4C2 debit 200 ml/menit dapat menurunkan nilai kekeruhan menjadi 166,5 NTU (83,33 %), 268 NTU (73,17 %), 356 NTU (64,36 %). Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya perlakuan debit yang berpengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan untuk limbah pencucian umbi, hanya debit 50 ml/menit yang berbeda nyata dengan taraf debit
200
ml/menit. Nilai rata-rata menunjukkan debit yang semakin kecil memberikan nilai kekeruhan yang semakin kecil, perlakuan media berlapis memberikan nilai kekeruhan lebih kecil dari pada perlakuan dengan media karbon aktif. Faktor yang berpengaruh pada nilai kekeruhan limbah pengendapan aci sama dengan faktor yang berpengaruh pada limbah pengendapan aci. Tetapi dibandingkan dengan nilai persen penurunan, limbah pencucian umbi memiliki persen penurunan yang lebih tinggi dibandingkan limbah pengendapan aci. Hal ini dikarenakan beban cemaran pada limbah pengendapan aci lebih besar, partikel-partikel penyebab kekeruhan lebih banyak dan berukuran lebih kecil dibandingkan pada limbah pencucian umbi. Sehingga ada partikel yang tidak tertahan dan tidak terikat oleh media filtrannya. Jika menggunakan filter yang berdimensi sama, maka hasilnya akan lebih baik untuk penanganan limbah pencucian umbi.
Penggunaan media berlapis memiliki efisiensi penurunan kekeruhan lebih tinggi dibandingkan dengan media karbon aktif, hal ini berhubungan dengan ukuran partikel pasir aktif 100 mesh sehingga susunan filter menjadi lebih rapat dan mampu untuk menahan partikel-partikel yang lebih kecil ukurannya yang terdapat di limbah pencucian umbi maupun limbah pengendapan aci. Ada kecenderungan semakin rendah debit limbah cair maka akan semakin tinggi efisiensi penurunan kekeruhan hal ini dikarenakan waktu kontak limbah dengan media akan lebih lama sehingga memberikan kesempatan partikel yang lebih kecil tertahan, terjerap, terserap juga terjadi pertukaran ion..
2. Padatan Tersuspensi (TSS) Zat padat tersuspensi dapat diklasifikasikan menjadi zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat terendap yang dapat bersifat organis dan inorganis (Alaerts, 1984). Hasil analisis awal padatan tersuspensi limbah pencucian umbi adalah sebesar 676 mg/l, sedangkan limbah pengendapan aci lebih besar dari 825 mg/l. Nilai ini masih jauh di atas baku mutu limbah cair industri tapioka yang disyaratkan
berdasarkan
keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
KEP
51/MENLH/10/1995 yang mensyaratkan nilai padatan tersuspensi sebesar 100 mg/l. Tingginya nilai TSS tersebut disebabkan karena adanya akumulasi partikel-partikel yang besar seperti tanah, pasir, kerikil. Bila limbah yang banyak mengandung muatan ini dibuang ke sungai, maka kandungan oksigen akan habis sehingga anaerobic putrefaction
terjadi dan kehidupan tinggi akan mati.
Putrefaction
adalah
dekomposisi protein secara aerobik. Berdasarkan hasil analisis TSS untuk limbah pencucian umbi menunjukkan bahwa proses filtrasi dapat menurunkan nilai TSS sampai dapat memenuhi baku mutu limbah cair berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No KEP51/MENLH/10/1995, karena nilai TSS akhir proses sudah di bawah nilai 100 mg/l.
Penurunan TSS (%)
Efisiensi penurunan padatan tersuspensi setelah filtrasi dapat dilihat pada Gambar 5.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Keterangan : A1C1 (limbah pencucian umbi+Media berlapis) A2C1 (limbah pengendapan aci+Media berlapis) A1C2 (Limbah pencucian umbi+Media tunggal) A2C2 (Limbah pengendapan aci+Media tunggal)
50
100
150
200
Gambar 5. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan padatan tersuspensi limbah cair tapioka pada debit yang berbeda. Pada gambar 5 dapat terlihat bahwa perlakuan A1C1 dan A1C2 memiliki efisiensi penurunan TSS yang hampir sama. Perlakuan dengan media berlapis A1B1C1 pada debit 50 ml/menit dapat mereduksi TSS menjadi 37 mg/l atau memiliki efisiensi penurunan sebesar 94,53 %, perlakuan A1B2C1 debit
100
ml/menit, perlakuan A1B3C1 debit 150 ml/menit dan perlakuan A1B4C1 debit 200 ml/menit masing-masing dapat mengurangi nilai TSS menjadi 45 mg/l (93,34%), 54,71 mg/l (91,91 %) dan 64 mg/l (90,53 %). Perlakuan A1B1C2 media karbon aktif, pada debit 50 ml/menit dapat mereduksi TSS menjadi 41 mg/l atau sebesar 93,93 %, sedangkan perlakuan A1B2C2 debit 100 ml/menit, A1B3C2 debit 150 ml/menit dan A1B4C2 debit 200 ml/menit dapat mengurangi nilai TSS menjadi 51,50 mg/l (92,38 %), 58,79 mg/l (91,30 %) dan 66 mg/l
(90,24 %).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya faktor debit yang berpengaruh nyata terhadap nilai TSS limbah pencucian umbi. Uji lanjut Duncan menyatakan bahwa debit 50 ml/menit berbeda nyata dengan debit 150 ml/menit dan debit 200 ml/menit. Dan debit 100 ml/menit berbeda nyata dengan debit
200
ml/menit. Nilai rata-rata menyatakan bahwa semakin kecil debit akan menghasilkan nilai TSS yang semakin kecil pula. Karena tidak ada perbedaan yang nyata pada faktor media, berarti dua jenis media ini mempunyai kemampuan yang hampir sama dalam menurunkan nilai padatan tersuspensi.. Faktor debit akan mempengaruhi waktu kontak limbah dengan media, sehingga semakin kecil debitnya maka waktu kontak limbah dengan media semakin lama dan semakin banyak partikel tersuspensi yang tertahan oleh pasir aktif juga terjerap dan terserap oleh karbon aktif dan zeolit. Ukuran partikel menyebab TSS yang lebih besar dari ukuran kekeruhan dapat menyumbat pori-pori media karbon aktif maupun zeolit untuk melakukan absorpsi. Sehingga mengurangi kemampuan media dalam melakukan proses absorpsi. Limbah pengendapan aci memiliki nilai padatan tersuspensi 825 mg/l lebih tinggi dari limbah pencucian umbi, karena kandungan organiknya lebih banyak. Dari
gambar di atas dapat dilihat bahwa perbedaan perlakuan media menghasilkan perbedaan efisiensi penurunan yang berbeda pula. Penanganan limbah pengendapan aci dengan perlakuan media berlapis (A2B1C1) pada debit 50 ml/menit dapat menurunkan nilai TSS menjadi 156,5 mg/l atau memiliki efisiensi penurunan sebesar 81,03 % , perlakuan A2B2C1 100 ml/menit, A2B3C1 150 ml/menit dan A2B4C1 200 ml/menit dapat menurunkan nilai TSS menjadi 183 mg/l (77,82 %), 201,57 mg/l (75,57 %), 212,5 mg/l (74,24 %). Sedangkan dengan media karbon aktif (A2B1C2) pada debit 50 ml/menit dapat menurunkan nilai TSS menjadi 257,5 mg/l atau mempunyai nilai efisiensi sebesar 68,79 %, perlakuan A2B2C2 debit 100 ml/menit, A2B3C2 debit 150 ml/menit dan A2B4C2 debit 200 ml/menit dapat menurunkan nilai TSS menjadi 540,5 mg/l (34,48 %). Ada kecenderungan semakin kecil debit akan semakin tinggi penurunan nilai TSS. Perlakuan terbaik untuk limbah pengendapan aci didapatkan pada media filtran berlapis (A2B1C1) dengan debit 50 mg/l yang dapat menurunkan nilai TSS limbah pengendapaan aci dari 825 mg/l menjadi 156,5 mg/l (81,03 %). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan faktor debit dan faktor media berpengaruh nyata terhadap nilai TSS limbah pengendapan aci. Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa debit 50 ml/menit berbeda nyata dengan debit 150 ml/menit dan debit 200 ml/menit. Debit 100 ml/menit berbeda nyata dengan debit 200 ml/menit. Nilai rata-rata menujukkan bahwa debit yang semakin kecil dan jenis media berlapis menghasilkan nilai TSS yang lebih kecil. Limbah pengendapan aci memiliki partikel tersuspensi halus yang lebih banyak dibandingkan dengan partikel tersuspensi kasarnya. Karakter limbah yang memiliki ukuran partikel yang beragam lebih mudah ditangani dengan media filter berlapis dari pada media tunggal, karena partikel tersuspensi kasar dan halus ada yang tertahan pada lapisan pasir aktif, lalu akan terjerap dan terserap pada pori-pori karbon aktif juga pori-pori zeolit.
3. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD5) Kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD5) didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod, 1973). Limbah tapioka banyak mengandung senyawa karbohidrat, protein, dan lemak yang menyebabkan nilai BOD5 yang tinggi
Nilai BOD5 dijadikan indikator besarnya muatan organik dalam air yang dibatasi oleh kecepatan aktivitas mikroorganisme pengurai dalam mendekomposisi muatan bahan organik serta kecepatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh dekomposer tersebut untuk aktivitasnya. Sistem filtrasi pada penelitian ini ternyata dapat menurunkan nilai BOD5. Persentase penurunan nilai BOD5 setelah proses
Penurunan BOD (%)
filtrasi dapat dillihat pada Gambar 6.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Keterangan : A1C1 (limbah pencucian umbi+Media berlapis) A2C1 (limbah pengendapan aci+Media berlapis) A1C2 (Limbah pencucian umbi+Media tunggal) A2C2 (Llim bah pengendapan aci+Media tunggal)
50
100
150
200
Debit (m l/menit)
Gambar 6. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan BOD5 limbah cair tapioka pada debit yang berbeda. Dari gambar di atas diketahui, bahwa semakin tinggi debit maka nilai penurunan BOD5 (%) pun semakin rendah. Berdasarkan pengamatan didapatkan bahwa limbah awal untuk limbah pencucian umbi memiliki nilai BOD5 sebesar 654,50 mg/l. Perlakuan dengan media berlapis (A1B1C1) pada debit 50 ml/menit dapat menurunkan nilai BOD5 dari 654,50 mg/l menjadi 175,88 mg/l dengan persentase penurunan nilai BOD5 sebesar 73,13 %, sedangkan perlakuan A1B2C1 debit 100 ml/menit, perlakuan A1B3C1 debit 150 ml/menit dan perlakuan A1B4C1 debit 200 ml/menit masing-masing dapat menurunkan nilai BOD5 menjadi 227,89 mg/l (65,18 %), 251,53 mg/l (61,57 %) dan 282,27 mg/l Perlakuan dengan media karbon aktif (A1B1C2) pada debit
(56,87 %). 50
ml/menit dapat menurunkan nilai BOD5 dari 654,50 mg/l menjadi 203,54 mg/l dengan persentase penurunan nilai BOD5 sebesar 68,90 %, sedangkan perlakuan A1B2C2 debit 100 ml/ menit, A1B3C2 debit 150 ml/menit dan A1B4C2 debit 200 ml/menit masing-masing dapat menurunkan nilai BOD5 menjadi 228,46 mg/l (65,1 %), 264,46 mg/l (59,59 %) dan 295,84 mg/l (54,80 %).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor media dan faktor debit berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai BOD5 limbah pencucian umbi yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menyatakan bahwa semua taraf perlakuan debit saling berbeda nyata. Media berlapis dan semakin kecilnya debit akan memberikan nilai BOD5 yang semakin kecil. Besarnya nilai BOD menunjukkan besarnya kandungan organik pada limbah. Media berlapis memberikan nilai efisiensi yang lebih tinggi, karena ada bahan organik yang tertahan pada lapisan pertama pasir aktif, lalu terjadi jerapan pada karbon aktif, dan ada pula yang terserap ke dalam pori-pori karbon aktif, bahan organik yang tidak tertangkap oleh karbon aktif akan tertangkap di media zeolit, bahan organik yang bersifat polar akan membuat terjadinya reaksi tarikmenarik antara media zeolit yang bermuatan dengan molekul-molekul yang bersifat polar. Dibandingkan dengan media tunggal karbon aktif, pada media ini, mekanisme yang terjadi adalah jerapan dan serapan oleh karbon aktif. Limbah pengendapan aci memiliki nilai BOD5 sebesar 2160 mg/l. Perlakuan dengan menggunakan media berlapis A1B1C2 debit 50 ml/menit dapat menurunkan nilai BOD5 dari 2160 mg/l menjadi 793,5 mg/l (63,26 %), sedangkan perlakuan A1B2C2 debit 100 ml/menit, perlakuan A1B3C2 debit 150 ml/menit, dan perlakuan A1B4C2 debit 200 ml/menit dapat menurunkan nilai BOD5 menjadi 1483 mg/l (31,43 %), 1594,81 mg/l (26,17 %), 1763,83 (18,34 %). Perlakukan dengan menggunakan media karbon aktif (A2B1C2) debit
50 ml/menit dapat menurunkan
nilai BOD5 dari 2160 mg/l menjadi 1203,57 mg/l (44,28 %), sedangkan perlakuan A2B2C2 debit 100 ml/menit, A2B3C2 debit
150 ml/menit, dan perlakuan
A2B4C2 debit 200 ml/menit dapat menurunkan nilai BOD5 menjadi 1564,43 mg/l (27,57 %), 1649 mg/l (23,66 %), 1785,51 mg/l (17,34 %). Perlakuan yang terbaik untuk menangani limbah pengendapan aci adalah media filtran berlapis (A2B1C1) dengan debit 50 ml/menit yang dapat mengurangi nilai BOD5 menjadi 793,5 mg/l atau sebesar 63,26 %. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor debit, faktor media dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap nilai BOD limbah pengendapan aci yang dihasilkan. Uji lanjut duncan menyatakan bahwa debit 50 ml/menit berbeda nyata dengan semua taraf debit. Debit 100 ml/menit berbeda nyata dengan debit 200 ml/menit. Penggunaan media berlapis dan semakin kecilnya debit akan menghasilkan nilai BOD limbah pengendapan aci yang semakin kecil.
Limbah pengendapan aci memiliki kandungan organik yang lebih banyak dibandingkan dengan limbah pencucian umbi, sehingga beban cemarannya pun semakin besar untuk filter. Media berlapis memberikan nilai efisiensi yang lebih tinggi, karena sebagian bahan organik yang tertahan pada lapisan pertama pasir aktif, lalu terjadi jerapan pada karbon aktif, ada pula yang terserap ke dalam pori-pori karbon aktif, bahan organik yang tidak tertangkap oleh karbon aktif akan tertangkap di media zeolit, bahan organik yang bersifat polar akan membuat terjadinya reaksi tarik-menarik antara media zeolit yang bermuatan dengan molekul-molekul yang bersifat polar. Sedangkan pada media tunggal karbon aktif mekanisme yang terjadi adalah jerapan dan serapan. Nilai efisiensi penurunan BOD5 untuk limbah pengendapan aci lebih rendah dibandingkan limbah pencucian umbi dikarenakan limbah pengendapan aci memiliki beban cemaran organik yang lebih tinggi dengan kandungan zat organis yang terlarut lebih banyak dibandingkan dengan zat organis yang tersuspensi dalam air. Hasil analisis BOD5 untuk limbah pencucian umbi, setelah filtrasi cenderung dapat menurunkan nilai BOD5 bahkan sampai dapat memenuhi baku mutu limbah cair berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No
KEP-
51/MENLH/10/1995, karena sudah dibawah nilai baku mutu yaitu 150 mg/l. Penanganan limbah pengendapan aci, setelah filtrasi cenderung dapat menurunkan nilai BOD5 tetapi masih diatas nilai baku mutu limbah cair tapioka yang telah ditetapkan, perlakuan terbaik hanya dapat mengurangi dari 2160 mg/l sampai 793,50 mg/l dengan menggunakan media berlapis. Penurunan BOD5 diikuti langsung dengan peningkatan pH. Hal ini dapat dipahami apabila oksigen yang diperlukan untuk pemecahan bahan organik menurun maka CO2 yang dihasilkan pun menurun yang berakibat langsung pada kenaikan pH.
4. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) COD
merupakan penunjuk
adanya
kandungan bahan organik baik
biodegradable maupun non biodegradable. COD menggunakan oksidator kuat yaitu Kalium Dikromat (K2Cr2O7) yang mampu menguraikan secara sempurna seluruh bahan organik. Tingginya nilai COD mencerminkan tingginya kandungan bahan organik. Komponen organik berasal dari tanah dan pati terlarut yang berasal dari pengupasan singkong dan penyikatan singkong. Selain itu terdiri dari HCN terlarut yang berasal dari kulit umbi pada saat pencucian. Pengukuran terhadap nilai COD
limbah sisa pencucian umbi menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu 925,75 mg/l. Tingginya nilai COD mencerminkan tingginya kandungan organik. Persentase penurunan COD setelah proses filtrasi dapat dilihat pada Gambar 7.
100
Penurunan COD (%)
90
Keterangan :
80 70
A1C1 (limbah pencucian umbi+Media berlapis)
60
A2C1 (limbah pengendapan aci+Media berlapis)
50 A1C2 (Limbah pencucian umbi+Media tunggal)
40
A2C2 (Llimbah pengendapan aci+Media tunggal)
30 20 10 0 50
100
150
200
Debit (m l/m enit)
Gambar 7. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan COD limbah cair tapioka pada debit yang berbeda. Dari Gambar 7 diatas, diketahui semakin tinggi debit maka nilai penurunan COD (%) pun semakin rendah. Perlakuan media berlapis untuk limbah pencucian umbi (A1B1C1) dengan taraf debit 50 ml/menit adalah perlakuan yang memiliki nilai penurunan COD yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain karena dapat menurunkan nilai COD dari 925,75 mg/l menjadi
279,83 mg/l (69,77
%), sedangkan perlakuan A1B2C1 debit 100 ml/menit, A1B3C1 debit 150 ml/menit dan A1B4C1 debit 200 ml/menit dapat menurunkan nilai COD menjadi 342,78 mg/l (62,97 %), 408,58 mg/l (55,86 %) dan
471,86 mg/l (49,03 %). Perlakuan
dengan media karbon aktif (A1B1C2) untuk limbah pencucian umbi dengan debit 50 ml/menit mampu mengurangi nilai COD dari 925,75 mg/l menjadi 448,63 mg/l (51,54 %), sedangkan perlakuan A1B2C2 debit 100 ml/menit, A1B3C2 debit 150 ml/menit dan A1B4C2 debit 200 ml/menit dapat menurunkan nilai COD menjadi sebesar 515,17 mg/l (44,35 %),
539,63 mg/l (41,71 %) dan 574,62 mg/l (37,93
%). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya faktor media yang berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai COD limbah pencucian umbi yang dihasilkan. Penggunaan media berlapis memberikan efisiensi penurunan COD yang lebih besar dari pada penggunaan media tunggal karbon aktif. Hal ini karena susunan
pasir aktif yang rapat sehingga dapat menahan bahan organik yang berukuran besar, jika ada partikel yang terlepas maka akan dijerap dan diserap oleh karbon aktif dan zeolit. Bahan organik yang bersifat polar dapat menyebabkan terjadinya pertukaran ion pada media zeolit, dimana kation-kation pada zeolit yang mudah lepas akan tergantikan oleh
partikel bahan organik yang bersifat polar. Nilai COD limbah
pencucian umbi memiliki nilai lebih besar dari nilai BOD yang menggambarkan adanya bahan organik dalam limbah tapioka yang tidak dapat dioksidasi oleh bakteri, salah satunya adalah HCN yang berasal dari tanah dan pati yang terlarut ketika dicuci. Limbah pengendapan aci mempunyai nilai COD sebesar 3402,05 mg/l. Nilai COD limbah pengendapan aci lebih tinggi daripada limbah sisa pencucian, disebabkan karena kandungan bahan organik dan anorganik dalam limbah sisa ekstraksi pati lebih tinggi dibandingkan sisa pencucian dan lebih sulit terdegradasi. Penggunaan media berlapis dan karbon aktif pada debit 50 ml/menit sampai 200 ml/menit membuat nilai COD berada diantara nilai 2000
3000 mg/l. Perlakuan
terbaik untuk limbah pengendapan aci adalah perlakuan A2B1C2 menggunakan media karbon aktif dengan debit 50 ml/menit yang mampu mengurangi nilai COD menjadi 2061,975 mg/l (39,39 %). Perlakuan A2B2C2 debit 100 ml/menit, A2B3C2 debit 150 ml/menit dan A2B4C2 debit 200 ml/menit mampu mengurangi beban cemaran COD menjadi 2280,38 mg/l (32,97 %), 2581,9 mg/l (24,11 %) dan 2654,1 mg/l (21,99 %). Penggunaan media berlapis untuk limbah pengendapan aci (A2B1C1) dengan debit 50 ml/menit mampu menurunkan nilai COD dari 3402,05 mg/l menjadi 2165,48 mg/l (36,35 %), sedangkan perlakuan A2B2C1 debit
100 ml/menit,
A2B3C1 debit 150 ml/menit dan A2B4C1 debit 200 ml/menit mampu menurunkan nilai COD hingga mencapai 2446,65 mg/l (28,08 %), 2617,45 mg/l (23,06 %) dan 2733,09 mg/l (19,66 %). Hasil analisis sidik ragam diketahui bahwa hanya faktor debit yang berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai COD limbah pengendapan aci yang dihasilkan. Uji Duncan menyatakan bahwa debit 50 ml/menit berbeda nyata dengan semua taraf debitnya. Debit 100 ml/menit berbeda nyata dengan debit 200 ml/menit. Nilai rata-rata menujukkan bahwa semakin kecil debit maka akan menghasilkan nilai COD untuk limbah pengendapan aci yang semakin kecil pula. Masih tingginya nilai COD setelah pengendapan disebabkan adanya beberapa senyawa tertentu yang sebelumnya tidak terukur menjadi terukur karena ikut teroksidasi selama analisa COD
berlangsung. Senyawa tersebut antara lain nitrit (NO2-) yang teroksidasi menjadi nitrat (NO3-), lignin merupakan senyawa yang sulit untuk didegradasi, dan diduga karena adanya bahan toksik dalam limbah yang tidak terukur dengan uji BOD tetapi terukur dengan uji COD. Bahan toksik tersebut adalah HCN yang merupakan komponen racun pada umbi yang terlarut dan terbuang bersama air limbah sisa pencucian ubi kayu. Hasil analisis COD untuk limbah pencucian, setelah proses filtrasi ternyata dapat menurunkan nilai COD sampai dapat memenuhi baku mutu limbah cair, yaitu perlakuan A1B1C1 dengan debit 50 ml/menit. Untuk limbah pengendapan aci, setelah filtrasi cenderung dapat menurunkan nilai COD meskipun belum mampu memenuhi baku mutu limbah cair berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No KEP51/MENLH/10/1995, karena nilai COD harus bernilai 300 mg/l
5. Sianida Sianida merupakan kelompok senyawa anorganik dan organik dengan siano (CN-) sebagai struktur utamanya. Limbah pencucian umbi memiliki nilai sianida sebesar 0,05 mg/l. Nilai ini dibawah baku mutu sianida industri kecil tapioka yaitu sebesar 0,3 mg/l. Sedangkan limbah pengendapan aci memiliki nilai sianida di atas baku mutu sianida industri kecil tapioka yaitu sebesar 5,71 mg/l. Berdasarkan hasil analisis sianida terhadap limbah pengendapan aci menunjukkan bahwa proses filtrasi ternyata dapat menurunkan nilai sianida. Persentase penurunan kadar sianida dapat
Penurunan sianida (%)
dilihat pada Gambar 8.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Keterangan :
A2C1 (limbah pengendapan aci+Media berlapis)
A2C2 (Llimbah pengendapan aci+Media tunggal)
50
100
150
200
Debit (m l/m enit)
Gambar 8. Grafik hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap persentase penurunan kadar sianida limbah cair tapioka pada debit yang berbeda.
Penanganan
sianida
dengan
media
berlapis
(A2B1C1)
pada
debit
50 ml/menit dapat menurunkan kadar sianida dari 5,71 mg/l menjadi 0,4 mg/l atau memiliki efisiensi penurunan nilai sianida sebesar 93,08 %, sedangkan perlakuan A2B2C1 debit 100 ml/menit, perlakuan A2B3C1 debit 150 ml/menit dan perlakuan A2B4C1 debit 200 ml/menit dapat menurunkan kadar sianida menjadi 0,621 mg/l (89,12 %), 1,03 mg/l (82,05 %), 1,21 mg/l (78,86 %). Perlakuan dengan menggunakan media karbon aktif (A2B1C2) pada debit 50 ml/menit dapat menurunkan kadar sianida dari 5,69 mg/l menjadi 0,613 mg/l dengan efektifitas penurunan sianida sebesar 89,27 %, sedangkan perlakuan A2B2C1 pada debit 100 ml/menit, A2B3C1 debit 150 ml/menit dan A2B4C1 debit 200 ml/menit dapat menurunkan kadar sianida menjadi 0,75 mg/l (86,93 %), 1,64 mg/l (71,22 %), 2,14 mg/l (62,60 %). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor debit, media dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap penurunan nilai sianida limbah pengendapan aci yang dihasilkan. Uji lanjut duncan menyatakan bahwa perlakuan debit 50 ml/menit berbeda nyata dengan debit 150 ml/menit, 200 ml/menit. Dan debit 100 ml/menit berbeda nyata dengan debit 150 ml/menit dan 200 ml/menit. Penggunaan media berlapis dan debit yang semakin kecil juga adanya interaksi antar perlakuan debit dengan media yang digunakan menghasilkan nilai sianida yang semakin kecil. Perlakuan terbaik didapatkan dengan menggunakan media berlapis dengan debit 50 ml/menit, namun perlakuan tersebut belum dapat memenuhi baku mutu limbah cair industri tapioka dalam KEP-51/MENLH/10/1995 yaitu sebesar 0,3. Faktor debit akan berhubungan dengan waktu kontak limbah dengan media, yang akan mempengaruhi mekanisme proses penjerapan, penyerapan dan pertukaran ion. Semakin lama waktu kontaknya, maka mekanisme proses penjerapan, penyerapan dan pertukaran ion akan mudah terjadi. Faktor media ternyata memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan kadar sianida, hal ini dikarenakan terjadinya proses penjerapan dan penyerapan oleh media karbon aktif dan zeolit. Diameter molekul siandia yang lebih kecil dari diameter pori karbon aktif dan zeolit menyebabkan terjadinya mekanisme penyerapan. Dan adanya perbedaan valensi antara molekul sianida dengan atom-atom bebas pada permukaan zeolit dan karbon aktif menyebabkan terjadinya mekanisme penjerapan.
6. pH Limbah cair industri tapioka, mudah sekali berubah pHnya dan cenderung semakin asam, hal ini disebabkan limbah cair industri tapioka merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan aktifitas jasad renik yang mengubah protein dan badan bahan organik lainnya menjadi hidrogen sulfida dan amoniak menyebabkan limbah akan semakin asam (Saeni, 1989). Berdasarkan hasil pengukuran nilai pH untuk limbah pencucian umbi didapatkan nilai sebesar 4,4. Hal ini pun dipengaruhi oleh pH awal air baku yang bersifat asam senilai 5,41. Nilai pH menunjukkan proses penguraian bahan organik menjadi asam-asam organik mulai berlangsung lalu terjadi lagi perombakan asam-asam organik menjadi CO2 dan H2S. Hasil fitrasi dengan menggunakan filtran menunjukkan adanya perubahan pada nilai pH, perubahannya disajikan pada Tabel 12. Pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa nilai pH limbah cair pencucian umbi semakin tinggi, seiring dengan semakin kecilnya debit. Perlakuan dengan media berlapis A1B1C1 debit 50 ml/menit dapat menaikkan nilai pH dari 4,02 menjadi 6,28, sedangkan perlakuan A1B2C1 debit 100 ml/menit, A1B3C1 debit
150
ml/menit dan A1B4C1 debit 200 ml/menit masing-masing menaikkan nilai pH menjadi 6,26; 6,03; dan 5,86. Perlakuan dengan menggunakan media karbon aktif (A1B1C2) debit 50 ml/menit dapat menaikkan nilai pH dari 4,02 menjadi 6,88, sedangkan perlakuan A1B2C2 debit 100 ml/menit, A1B3C2 debit
150
ml/menit dan A1B4C2 debit 200 ml/menit dapat menaikkan pH menjadi 6,7 ; 6,62 ; 6,53. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa hanya faktor media yang berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai pH limbah pencucian umbi. Penggunaan media karbon aktif dapat menaikkan nilai pH limbah pencucian umbi, hal ini dikarenakan media karbon aktif bersifat basa memiliki pH bernilai 9.
Tabel 11. Hubungan antara perlakuan media filtran pada jenis limbah tapioka terhadap perubahan nilai pH limbah cair tapioka pada debit yang berbeda. Perlakuan A1B1C1 A1B2C1 A1B3C1 A1B4C1 A1B1C2
Nilai PH Akhir 6,28 6,26 6,03 5,86 6,88
A1B2C2 A1B3C2 A1B4C2 A2B1C1 A2B2C1 A2B3C1 A2B4C1 A2B1C2 A2B2C2 A2B3C2 A2B4C2
6,70 6,62 6,53 5,73 5,55 5,49 5,44 5,56 5,37 5,19 4,96
Limbah pengendapan aci mempunyai pH 3,97. Perlakuan media berlapis A2B1C1 debit 50 ml/menit mampu menaikkan nilai pH menjadi 5,73, sedangkan perlakuan A2B2C1 debit 100 ml/menit, A2B3C1 debit 150 ml/menit, A2B4C1 debit 200 ml/menit masing-masing mampu menaikkan nilai pH menjadi 5,55; 5,49; 5,44. Sedangkan perlakuan dengan media karbon aktif A2B1C2 debit
50 ml/menit
mampu menaikkan nilai pH menjadi 5,56, perlakuan A2B2C2 debit 100 ml/menit, A2B3C2 debit 150 ml/menit, A2B4C2 debit 200 ml/menit mampu menaikkan nilai pH menjadi 5,37; 5,19; 4,96. Dari data di atas diketahui bahwa penggunaan media filtran dapat menaikkan nilai pH, tetapi masih belum memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan
oleh
Keputusan
Menteri
Lingkungan
Hidup
No.KEP-
51/MENLH/10/1995, yang menyaratkan pH 6-9. Berdasarkan analisis ragam dengan selang kepercayaan 95%, tidak ada faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pH pada limbah pengendapan aci. Peningkatan
pH dapat
disebabkan oleh
terpakainya
oksigen
untuk
menguraikan bahan organik sehingga kadar CO2 pun menurun dan tertahannya bahan organik yang mempengaruhi pH pada media filtran. Perlakuan media karbon aktif dapat menaikkan nilai pH, hal ini dikarenakan karbon aktif dan zeolit yang digunakan bersifat basa. Peningkatan pH pada limbah pengendapan aci lebih rendah dibanding limbah pencucian umbi, dikarenakan keberadaan bahan organik yang lebih banyak pada limbah pengendapan aci, sehingga mikroorganisme penyebab asam pun lebih banyak. Limbah yang memiliki kandungan organik yang tinggi cenderung akan menjadi asam, karena asam merupakan bentuk oksidasi maksimum dari bahan organik sebelum
terbentuk karbondioksida dan air, dan juga dikarenakan adanya kandungan asam dari sianida dalam singkong.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penggunaan media filtran berlapis dan tunggal, secara umum dapat mengurangi beban cemaran limbah pencucian umbi indusri tapioka juga limbah pengendapan acinya. Media filtran berlapis memiliki tingkat efektivitas penurunan limbah yang lebih tinggi untuk semua parameter dibandingkan dengan media filtran tunggal. 2. Debit 50 ml/menit memiliki tingkat efektivitas penurunan limbah yang lebih tinggi dibandingkan dengan taraf debit yang lainnya. Semakin kecil laju debit limbah masuk ke media filtran, semakin tinggi efisiensi penurunan limbahnya hal ini dikarenakan waktu kontak limbah dengan media filtran menjadi lebih lama.. 3. Penanganan terbaik untuk limbah pencucian umbi didapatkan dengan perlakuan media berlapis dengan taraf debit 50 ml/menit (A1B1C1) karena dapat mengurangi beban cemaran limbah cair industri tapioka dari 443 NTU menjadi 8 NTU, TSS dari 676 mg/l menjadi 37 mg/l, BOD5 654,5 mg/l menjadi
175,88 mg/l, COD
925,75 mg/l menjadi 279,83 mg/l, pH dari 4,4 menjadi 6,28. Bahkan dapat memenuhi baku mutu limbah cair industri tapioka dalam Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP 51/MENLH/10/1995 untuk parameter TSS, COD, Sianida dan pH 4. Penanganan terbaik untuk limbah pengendapan aci didapatkan dengan perlakuan media berlapis dengan taraf debit 50 ml/menit karena dapat mengurangi nilai kekeruhan dari 999 NTU menjadi 46,50 NTU, TSS 825 mg/l menjadi 156,5 mg/l, BOD5 2160 mg/l menjadi 793,55 mg/l, COD 2165,48 mg/l, pH dari 3,97 menjadi 5,73
3402,05 mg/l menjadi
B. SARAN 1. Perlu peningkatan waktu kontak antara limbah dan media filtran dengan cara menambah ketebalan pada media filtran, sehingga kualitas keluaran limbah pencucian umbi dan pengendapan aci semakin baik. 2. Untuk mengefektifkan dan mengefisienkan pemakaian filter, maka dapat dilakukan perlakuan/penanganan pendahuluan sebelum limbah masuk sistem filter. 3. Air bekas pencucian umbi setelah diolah dapat digunakan kembali untuk proses produksi untuk menghemat pemakaian air. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penanganan limbah secara biologi akibat adanya partikel-partikel organik yang tertahan dalam media filtran. 5. Didalam kegiatan pengendalian pencemaran limbah, tidak hanya dilakukan pengolahan limbah saja, namun kegiatan untuk mengurangi jumlah limbah yang keluar dari industri juga merupakan suatu langkah yang akan membantu menurunkan beban pencemaran.
DAFTAR PUSTAKA Abrar, A. 2001. Ekplorasi Mikroba Rumen Pendegradasi Sianida [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pasca Sarjana. ATSDR Information Center. 2003. Cyanide. http://www.atsdr.cdc.gov/tfacts8.html. [07 Januari 2004]. Anonim. 1996. Kep Men LH No. KEP 51/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Bapedal, Jakarta. Anonim. 2005. Sipuk-Bank Sentral Republik Indonesia Alaerts dan Santika. 1984. Metoda Penelitan Air. Usaha Nasional. Surabaya Alamsyah S. 2005. Merakit Sendiri Alat Penjernih Air untuk Rumah Tangga. Kawan Pusataka. Jakarta Benefield LD, F, Joseph, JR Judkins, BL Weand. 1982. Process Chemistry for Water and Wastewater Treatment. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Bratachem. 2007. Pedoman Penjernihan Air2007. PT. Bratachem. Brosur Budijono. 2000. Chironomus sp Sebagai Indikator Kualitas Air Sungai Bawang Sekitar Industri Tapioka PT. Bumi Sari Swakarsa Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi. Lembaga Penelitian Universitas Riau Pekan Baru. Chapatwala, K.D., G.R.V. Babu, O.K. Vijaya, K.P. Kumar dan J.H. Wolfram. 1998. Biodegradation of cyanides, cyanates and thiocyanates to ammonia and carbon dioxide by immobilezed cells of Pseudomonas putida. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology 20:28-33. Ciptadi W. 1985. Telaah Kualitas dan Kuantitas Limbah Industri Tapioka Serta Cara Pengendalian di Daerah Bogor dan Sekitarnya. Desertasi. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor Darjanto dan Muryati. 1980. Khasiat, Racun, dan Masakan Ketela Pohon. Yayasan Dewi Sri, Bogor Darjanto dan Muryati. 1989. Organic Waste Recycling. John Wiley and Sons, New York Effendi H. 2000. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta
Greenfield, R.E. 1965. Starch and Starch Products. Di dalam Industrial Wastewater Contorl. Academy Press, Inc., New York.
Greenfield, R.E. 1971. Industrial Waste Water Control, A Text Book and Reference Book. Departement of Civil Engineering Illionis, Institute of Technology Chicago, Illionis. Hanatiah, K.A. 1994. Rancangan Percobaan:Teori dan Aplikasi. PT. RajaGrafindo Perada. Jakarta Handayani. 2005. Isolasi Bakteri Pendegradasi Sianida dari Tailing Pongkor [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Sarjana Hamidy R. 1984. Keragaman dan keasaman Benthos Dua Buah Anak Sungai Kecil di Kawasan Balai Penelitian The dan Kina Gambung Jawa Barat. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor Hindarko S. 2003. Mengolah Air Limbah Supaya Tidak Mencemari Orang Lain. ESHA. Jakarta
Holt, J.G., N.R. Kriey, P.H.A. Sneath dan J.T. Staley. 1994. Bergey`s Manual of : Determinative Bacteriology. Ninth edition. Lippincott Williams and Wilkins. Baltimore. USA
Indriyati, 2002. Pengaruh Ketebalan Arang Aktif Tempurung Kelapa terhadap Penurunan Tingkat Kekeruhan pada Sumur Gali di Desa Kepuh Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.(Karya Tulis Ilmiah). Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jordan, T.S dan C.A. Young. 2001.Cyanide Remediation : Current and Past Technologies. Di dalam : Proceedings of the 10th Annual Conference on Hazardous Waste Research. hlm 110-111. Koesoebiono. 1984. Industri Tapioka : Kandungan Limbah Cair dan Padat. Makalah Lokakarya Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka. Makalah Lokakarya Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka. Bogor 4-5 September 1984. Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. PUSDI-PSL. IPB Bogor. Linsley R.K.dan J Franzini.1991.Teknik Sumber Daya Air. Jakarta : Erlangga Mattjik A.A dan I.M Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor Ming DW and Mumpton. 1989. Zeolites in Soils. Di dalam: Dixon JB, Weed SB, editor. Mineral in Soil Environment, Ed ke-2. Madison: Soil Science Society of America. Montgomery, J.M. 1985. Water Treatment Principles and Design. John Willey and Sons Inc.,New York
Mukkun L. 1990. Studi Fermentasi Limbah Cair Industri Tapioka sebagai Bahan Baku Kecap. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor Nasoetion, A.H dan Barizi. 1983. Metode Statistika untuk Penarikan Kesimpulan. PT. Gramedia. Jakarta Nathanson, J. A. 1997. Basic Environmental Technology. 2 nd ed. Prentice-Hall International, New Jersey Nurhasan dan Bb. Pramudyanto. 1991. Buku Panduan Penanganan Limbah Cair Tapioka. Jakarta, Indonesia Partoatmodjo, S. 1984. Masalah Limbah Industri Tapioka di Indonesia.Makalah Lokakarya Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka. Bogor, 4-5 September 1984. Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. PUSDI PSL. IPB, Bogor. Pescod, M.D. 1973. Investigation of Rational Effluen dan Stream Standards for Tropical Countries. A.I.T. Bangkok. Radley, J.A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers. LTD, London Ridwansaifudin. 2004. Efektivitas kombinasi filter pasir-Zeolit, Pasir-Karbon aktif dan zeolit-karbon aktif terhadap penurunan kadar mangan (Mn) di desa Danyung kecamatan grogol kabupaten Sukoharjo. (Skripsi). Said N.I. 1999. Kesehatan Masyarakat dan Teknologi Peningkatan Kualitas Air. Direktorat Teknologi Lingkungan Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Bantenn. Dalam : Foraminifera sebagai Bioindikator Pencemaran, Hasil Studi di Perairan Estuarin Sungai Dadap, Tangerang. Sularso, AD.1998. Penurunan Kadar Fe dan Mn Air sumur dengan Kombinasi Proses Aerasi dan Proses Saringan Pasir Cepat Perumnas II Tangerang JawaBarat. (Skripsi). Yogyakarta: STTlYLH. Schroedi ED. 1977. Water and Wastewater Treatment. New York:McGraw-Hill. Siregar Syafaruddin. 2004. Statistik Terapan untuk Penelitian. PT. Grasindo. Jakarta Sitorus, F. 1984. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tapioka. Makalah Lokakarya Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka. Makalah Lokakarya Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka. Bogor 4-5 September 1984. Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Lingkungan. PUSDI-PSL. IPB Bogor. Soeriatmaja, R.E. 1984. Azas-azas Pengolahan Limbah Tapioka Lokakarya Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka. PUSDI. IPB. Bogor
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI-Press, Jakarta Sundhagul, M. 1972. Feasibility Study on Tapioca Water Recovery. Di dalam Paper pada Work Study on Waste Recovery by Micro-organisme. Kuala Lumpur. Suprihatin. 2005. Modul Training Desain dan Optimasi Instalasi Pengolahan Limbah Cair. Lab. Teknologi dan Manajemen Lingkungan. Departemen Tekonologi Industri Pertanian IPB. Bogor. Suprihatin dan Suparno. 2000. Teknologi Air Bersih. IPB. Bogor Supriyono, E. 1988. Pengaruh Pemberian Health Stone Terhadap Perubahan Kualitas Air dan Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) Fakulatas Perikanan, IPB. Bogor Sutamihardja, R.T.M. 1978. Kualitas dan Pencemaran Lingkungan. PUSDI IPB, Bogor.
PSL,
Waluyo, S.D. 2001. Statistika untuk Pengambilan Keputusan. Ghalia Indonesia. Jakarta Winarno, F.G. 1981. Penanganan Singkong dan Ubi Jalar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan. IPB, Bogor. Wikipedia. 2003. Singkong. http://id.wikipedia.org/wiki/Singkong [07 Januari 2004].
Zelazny, L.W. dan F.G. Callhoun. 1977. Polygarskite, Sepiolite, Talc, Phyrophillite and Zeolit. Di dalam mineral in Soil Environments. Soil Sci. Soc. Of America, Madison, Wiconsin.
Lampiran 9. Uji Duncan parameter TSS limbah pencucian umbi
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: TSS Type III Sum of Squares 1576,318a 43680,896 68,654 1497,491 10,173 636,347 45893,561 2212,665
Source Corrected Model Intercept Media Debit Media * Debit Error Total Corrected Total
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 225,188 43680,896 68,654 499,164 3,391 79,543
a. R Squared = ,712 (Adjusted R Squared = ,461)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets TSS a,b
Duncan Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
1 39,0000 48,2500
,181
Subset 2 48,2500 56,7498 ,215
3
56,7498 65,0000 ,227
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 79,543. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 2,831 549,146 ,863 6,275 ,043
Sig. ,084 ,000 ,380 ,017 ,987
er kekeruhan limbah pencucian umbi
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kekeruhan Type III Sum of Squares 69,000a 2209,000 4,000 64,500 ,500 66,000 2344,000 135,000
Source Corrected Model Intercept Media Debit Media * Debit Error Total Corrected Total
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 9,857 2209,000 4,000 21,500 ,167 8,250
a. R Squared = ,511 (Adjusted R Squared = ,083)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets Kekeruhan a,b
Duncan Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
Subset 1 2 8,5000 11,7500 11,7500 13,0000 13,0000 13,7500 ,066 ,372
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8,250. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 1,195 267,758 ,485 2,606 ,020
Sig. ,401 ,000 ,506 ,124 ,996
Lampiran 11. Uji Duncan parameter BOD limbah pencucian umbi
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: BOD Type III Sum of Squares 22689,007a 931089,422 749,103 21572,025 367,879 859,377 954637,807 23548,384
Source Corrected Model Intercept Media Debit Media * Debit Error Total Corrected Total
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 3241,287 931089,422 749,103 7190,675 122,626 107,422
F 30,173 8667,575 6,973 66,938 1,142
a. R Squared = ,964 (Adjusted R Squared = ,932)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets BOD a,b
Duncan
Subset Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
1 189,7100
2
3
228,1700 257,9973 1,000
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 107,422. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
4
289,0525 1,000
Sig. ,000 ,000 ,030 ,000 ,389
Lampiran 13. Uji Duncan parameter COD limbah pencucian umbi
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: COD Type III Sum Source of Squares Corrected Model 140833,447a Intercept 3206061,245 Media 82657,544 Debit 54886,795 Media * Debit 3289,108 Error 80209,278 Total 3427103,970 Corrected Total 221042,725
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 20119,064 3206061,245 82657,544 18295,598 1096,369 10026,160
a. R Squared = ,637 (Adjusted R Squared = ,320)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets COD a,b
Duncan Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
Subset 1 364,2300 428,9700 474,1078 523,2400 ,068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 10026,160. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 2,007 319,770 8,244 1,825 ,109
Sig. ,175 ,000 ,021 ,221 ,952
Lampiran 15. Uji Duncan parameter pH limbah pencucian umbi
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Type III Sum of Squares 1,693a 653,825 1,320 ,343 ,030 ,873 656,391 2,566
Source Corrected Model Intercept Media Debit Media * Debit Error Total Corrected Total
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square ,242 653,825 1,320 ,114 ,010 ,109
a. R Squared = ,660 (Adjusted R Squared = ,362)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets pH a,b
Duncan Debit 200 150 100 50 Sig.
N 4 4 4 4
Subset 1 6,1900 6,3275 6,4775 6,5750 ,160
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,109. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 2,217 5992,703 12,100 1,048 ,090
Sig. ,144 ,000 ,008 ,423 ,963
Lampiran 17. Uji Duncan parameter kekeruhan limbah pengendapan aci
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kekeruhan Type III Sum of Squares 138198,000a 522729,000 34225,000 101189,500 2783,500 89123,000 750050,000 227321,000
Source Corrected Model Intercept Media Debit Media * Debit Error Total Corrected Total
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 19742,571 522729,000 34225,000 33729,833 927,833 11140,375
a. R Squared = ,608 (Adjusted R Squared = ,265)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets Kekeruhan a,b
Duncan Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
Subset 1 2 82,0000 134,0000 134,0000 216,2500 216,2500 290,7500 ,123 ,079
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 11140,375. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 1,772 46,922 3,072 3,028 ,083
Sig. ,220 ,000 ,118 ,093 ,967
Lampiran 19. Uji Duncan parameter TSS limbah pengendapan aci
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media Debit
1 2 50 100 150 200
8 8 4 4 4 4 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: TSS Type III Sum Source of Squares Corrected Model 272372,869a Intercept 1388691,373 Media 180503,895 Debit 63515,793 Media * Debit 28353,181 Error 26288,841 Total 1687353,083 Corrected Total 298661,711
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 38910,410 1388691,373 180503,895 21171,931 9451,060 3286,105
F 11,841 422,595 54,929 6,443 2,876
a. R Squared = ,912 (Adjusted R Squared = ,835)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets TSS
Duncana,b
Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
1 207,0000 270,2500
,157
Subset 2 270,2500 324,6775 ,216
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3286,105. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
3
324,6775 376,5000 ,237
Sig. ,001 ,000 ,000 ,016 ,103
Lampiran 21. Uji Duncan parameter BOD limbah pengendapan aci
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: BOD Type III Sum Source of Squares Corrected Model 1540932,363a Intercept 35032353,2 Media 80476,044 Debit 1362741,799 Media * Debit 97714,519 Error 48107,479 Total 36621393,1 Corrected Total 1589039,841
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 220133,195 35032353,25 80476,044 454247,266 32571,506 6013,435
a. R Squared = ,970 (Adjusted R Squared = ,943)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets BOD a,b
Duncan Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
1 998,5325
Subset 2
3
1523,7125 1621,9035 1,000
,111
1774,6650 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6013,435. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 36,607 5825,681 13,383 75,539 5,416
Sig. ,000 ,000 ,006 ,000 ,025
Lampiran 23. Uji Duncan parameter COD limbah pengendapan aci
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: COD Type III Sum Source of Squares Corrected Model 854198,655a Intercept 95462914,5 Media 36924,505 Debit 808335,127 Media * Debit 8939,023 Error 162779,576 Total 96479892,7 Corrected Total 1016978,231
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square 122028,379 95462914,51 36924,505 269445,042 2979,674 20347,447
a. R Squared = ,840 (Adjusted R Squared = ,700)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets COD a,b
Duncan Debit 50 100 150 200 Sig.
N
Subset 1 2 3 4 2113,7275 4 2363,5125 4 2599,6775 4 2693,5950 1,000 1,000 ,379
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 20347,447. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 5,997 4691,641 1,815 13,242 ,146
Sig. ,011 ,000 ,215 ,002 ,929
Lampiran 25. Uji Duncan parameter sianida limbah pengendapan aci
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Sianida Type III Sum of Squares 4,925a 17,619 ,898 3,609 ,419 ,247 22,791 5,172
Source Corrected Model Intercept Media Debit Media * Debit Error Total Corrected Total
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square ,704 17,619 ,898 1,203 ,140 ,031
a. R Squared = ,952 (Adjusted R Squared = ,911)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets Sianida a,b
Duncan Debit 50 100 150 200 Sig.
N 4 4 4 4
1 ,5050 ,6825
Subset 2
3
1,3375 ,191
1,000
1,6725 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,031. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F 22,822 571,466 29,118 39,019 4,527
Sig. ,000 ,000 ,001 ,000 ,039
Lampiran 27. Uji Duncan parameter pH limbah pengendapan aci
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N Media
1 2 50 100 150 200
Debit
8 8 4 4 4 4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Type III Sum of Squares ,809a 468,181 ,322 ,425 ,062 4,233 473,224 5,042
Source Corrected Model Intercept Media Debit Media * Debit Error Total Corrected Total
df 7 1 1 3 3 8 16 15
Mean Square ,116 468,181 ,322 ,142 ,021 ,529
a. R Squared = ,160 (Adjusted R Squared = -,574)
Post Hoc Tests Debit Homogeneous Subsets pH a,b
Duncan Debit 200 150 100 50 Sig.
N 4 4 4 4
Subset 1 5,2000 5,3350 5,4600 5,6425 ,440
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,529. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. b. Alpha = ,05.
F ,218 884,770 ,609 ,268 ,039
Sig. ,970 ,000 ,458 ,847 ,989
Lampiran 28. Dokumentasi Penelitian
Industri tapioka
Proses Pencucian umbi
Proses Pencucian umbi
Proses Pemarutan Umbi
Proses Pemerasan Aci
Proses Pengendapan Aci
Proses Penjemuran Aci
Aci
Pasir Aktif
Karbon Aktif
Zeolit
Filter
Limbah pengendapan Aci setelah dileeewaktn media katbon aktif
Limbah pencucian umbi setelah dilewatkan media berlapis
Limbah pencucian umbi setelah dilewatkan media berlapis (A) dan media karbon aktif (B) pada debit 150 ml/menit
Spektrofotometer DR 2000
Inkubator BOD
Spektrofotometer PerkinElmer Lamnda 25
Reaktor COD
Hasil uji Sianida limbah pengendapan aci awal, dan setelah penanganan debit 50, 100, 150, dan 200 ml/menit