SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009
Penggunaan Linear Matrix Inequality (LMI) Pada Perancangan Kendali Modus Luncur Untuk Motor DC *)
Ika Noer Syamsiana
Abstract—In this paper, Sliding Mode Controller (SMC) is applied to a model of DC Motor. The design of SMC is based on solving an associated Linear Matrix Inequality (LMI). The design method is adopted from a previously published paper by Edwards et. al. The results are compared to those from the SMC design using standard SMC design and Genetic Algorithm optimization. Index Terms— sliding mode controller, sliding motion, sliding surface, LMI. Abstrak—Pada makalah ini, SMC di aplikasikan pada Motor DC. Perancangan SMC didasarkan pada pemecahan dengan Linear Matrix Inequality (LMI). Metode perancangan diadopsi dari paper Edward dkk yang telah diterbitkan. Hasilnya di bandingkan dengan perancangan SMC yang menggunakan perancangan SMC standar dan optimasi Algoritma Genetik. Kata Kunci—kendali modus luncur, gerak luncur, permukaan luncur, LMI dan segala karakteristik yang dimilikinya merupakan salah satu jawaban untuk kelemahan metode perancangan sistem non linier [6][7].
I. PENDAHULUAN Motor DC sangat luas digunakan pada industrial dan peralatan rumah tangga. Meluasnya penggunaan motor DC disebabkan karena controllability dan compabilitasnya dengan peralatan elektronik/mekanikal baru seperti sistem digital, disamping itu juga karena kemudahan dalam pengendaliannya[7]. Tiga dekade yang lalu, kendali non linier banyak digunakan dalam pengendalian motor DC baik dengan atau tanpa sikat (brushless DC Motor). Metode tersebut melakukan proses identifikasi parameter dan estimasi status didasarkan dan terbatas pada model sistem linier, sebagai pendekatan pada sistem yang non linier. Pendekatan tersebut direalisasikan dengan berdasarkan pada pemotongan deret Taylor hingga pangkat pertama di sekitar titik tertentu. Kelemahan dari pendekatan tersebut adalah pengendali tidak disintesis untuk memperbaiki kinerja sistem sebenarnya yang non linier. Sehingga apabila dinamika sistem bergerak menjauhi titik operasi, maka kinerja pengendali dapat berkurang dan sistem dapat dengan
mudah menjadi tidak stabil. Hal tersebut dikarenakan sistem kendali hanya bekerja dengan baik hanya di daerah yang amat dekat dengan titik operasi. Kendali Modus Luncur (KML) dengan umpan balik *) Staf Pengajar, Politeknik Negeri Malang, Malang, Indonesia (email:
[email protected])
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Linear Matrix Inequality (Pertidaksamaan Matriks Linier) 2.1.1 Pendahuluan Menurut [3] dalam sejarahnya, pertama kali Linear Matrix Inequality (LMI) muncul sekitar tahun 1890 saat Lyapunov menunjukkan persamaan differensial, d (1) x (t ) = Ax(t ) dt adalah stabil jika dan hanya jika terdapat sebuah solusi untuk pertidaksamaan matriks (2) AT P + PA < 0 P = P T > 0 yang linier dengan matriks P yang diketahui. Beberapa sejarah mencatat bahwa pada tahun 1940an Lu’re, Postnikov dkk di Uni Soviet mengaplikasikan pendekatan Lyapunov untuk kontrol dengan spesifikasi non linieritas pada aktuator, mereka mendapatkan kriteria kestabilan dalam bentuk LMI (meskipun mereka tidak mendapatkan secara eksplisit bentuk pertidaksamaan matriks). Pertidaksamaan tersebut adalah pertidaksamaan polinomial (tergantung pada frekuensi). Selanjutnya dikemukan [3] diawal tahun 1960an Yakubovich, Popov, Kalman, Anderson dkk mendapatkan lemma positif real, yang mereduksi permasalahan dari Linear Matrix Inequality untuk kriteria grafik sederhana (kriteria Popov, Circle dan Tsypkin). Peneliti-penelitian lain seperti Williems pada tahun 1970an memfokuskan pada pemecahan solusi persamaan algebraic seperti
A2-132
SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009
yang dilakukan Lyapunov atau persamaan Riccati dibandingkan LMI. Banyak permasalahan dalam sistem dan teori kontrol dapat dituangkan sebagai atau dituangkan kembali kedalam permasalahan convex. yang termasuk didalamnya adalah Linear Matrix Inequality (LMI) yang nantinya dalam penulisan selanjutnya lebih dikenal dalam istilah bahasa Indonesia sebagai ”Pertidaksamaan Matriks Linier”. Dalam banyak kasus pertidaksamaan mempunyai bentuk yang simultan dengan Lyapunov atau pertidaksamaan aljabar Riccati seperti yang telah dijelaskan diatas. 2.1.2 Linear Matrix Inequality Robust Control Toolboox 3 User Guide mengatakan bahwa Pertidaksamaan Matriks Linier (PML) dan teknik PML muncul sebagai tool desain yang powerful dalam jangkauan control engineering untuk identifikasi sistem dan desain struktural. Tiga faktor yang membuat teknik PML menarik : 1. Keanekaragaman spesifikasi desain dan konstrain dapat diekspresikan sebagai PML. 2. Permasalahan yang diformulasikan kedalam PML dapat dipecahkan secara tepat (exactly) dengan algoritma optimasi convex. 3. Kebanyakan permasalahan dengan banyak konstrain atau tujuan kurang solusi analitisnya dalam persamaan matriks, sering hal tersebut mudah dikerjakan dalam PML framework. Inilah yang membuat PML digunakan sebagai dasar dalam mendesain sebagai alternatif metode analitis klasik. Menurut [8] Pertidaksamaan Matriks linier (PML) memiliki bentuk persamaan sebagai berikut: ∆
m
F ( x ) = F0 + ∑ xi Fi > 0
(3)
i =1
di mana x ∈ ℜ m merupakan variabel dan matriks simetrik Fi = FiT ∈ ℜ nxn dengan i = 0,..., m . Tanda pertidaksamaan memiliki arti positif definit, sehingga untuk semua eigenvalue adalah positif. Kita hanya akan membahas PML yang non-strict, yang mempunyai bentuk sebagai berikut: (4) F ( x) ≥ 0 PML strict ditunjukkan oleh persamaan (3), dan PML non-strict persamaan (4). PML pada persamaan (3) adalah sebuah convex dengan konstrain x. Kelipatan PML F (1) ( x ) > 0,..., F ( p ) ( x ) > 0 dapat dituliskan sebagai PML tunggal diag ( F (1) ( x ) > 0,..., F ( p ) ( x)) > 0 . Karena itu kita tidak akan membuat perbedaan antara satu set PML dan PML tunggal. ” PML F (1) ( x ) > 0,..., F ( p ) ( x ) > 0 ” akan berarti “ diag ( F (1) ( x ) > 0,..., F ( p ) ( x)) > 0 ”. Saat Matriks Fi diagonal PML F ( x ) > 0 hanya merupakan satu set dari pertidaksamaan linier. Pertidaksamaan non linier (convex) diubah ke
A2-133
dalam bentuk LMI dengan menggunakan komplemen Schur. Ide dasarnya adalah sebagai berikut: Q( s) S ( x) (5) S ( x )T R ( x ) > 0 di mana Q( x) = Q ( x )T R( x ) = R( x )T dan S (x ) tergantung affine pada x, persamaan menjadi : (6) R ( x ) > 0 , Q ( x ) − S ( x ) R ( x ) − 1 S ( x )T > 0 Dengan kata lain pertidaksamaan non linier (6) dapat direpresentasikan sebagai PML (5). 2.2 Metode Kendali Modus Luncur Pendekatan yang sesuai dengan ketidaklinieran motor DC adalah dengan SMC (Sliding Mode Control). Dalam penulisan selanjutnya Sliding Mode Control akan ditulis sebagai Kendali Modus Luncur (KML). Metode KML ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan metode kontrol yang lainnya (Mattavelli 1993), (Rossetto 1994), (Spiazzi 1997), (Forsyth 1998), (Utkin 1999 a), (Castilla 2000), (Alarcon 2001), yaitu: • Kestabilan terjadi pada jangkauan lebar dan beban yang berbeda-beda. • Robustness • Respon dinamik yang baik dan • Implementasi sederhana Dalam prakteknya KML telah diaplikasikan pada manipulator robot, sistem aktive suspensi, sistem magnetik suspensi dan bearing magnetik. Pengaruh metode KML yang digunakan dan diterapkan dibawah ini diambil dari rujukan [2]. 2.2.1 Model Sistem Model sistem linier uncertain dalam persamaan status diberikan sebagai berikut: (7) x& ( t ) = Ax ( t ) + B(u ( t ) + ξ( t , x , u )) n di mana status x ∈ ℜ dan sinyal kontrol u ∈ ℜ m . Sinyal yang tidak diketahui ξ : ℜ + xℜ n xℜ m → ℜ m merepresentasikan matched uncertainty dan diasumsikan batas norm dengan fungsi yang diketahui ρ (t , x, u ) . Asumsi distribusi input matriks B adalah full rank dan matriks pasangan (A,B) controllable. 2.2.2 Metode Perancangan Kendali Modus Luncur Dalam merancang hukum kendali modus luncur, ada 2 permasalahan yang harus dipertimbangkan adalah : 1. Pemilihan Permukaan Luncur (8) s = {x : Sx = 0} mxn dengan S ∈ ℜ adalah matriks full rank yang dibutuhkan untuk perancangan agar hubungan order tereduksi modus luncur saat status sistem di batasi s, mempunyai dinamika yang diinginkan. 2. Merancang masukan kendali (9) u (t ) = u eq (t ) + u n (t )
SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009
Dengan u eq (t ) adalah masukan kendali bagian kontinyu (disebut kendali ekivalen) dan u n (t ) adalah masukan kendali bagian tidak kontinyu (bagian tersaklar). Masukan kendali u eq berfungsi untuk membawa status sistem menuju dan masuk ke permukaan luncur, sedangkan masukan kendali u n menjaga satus sistem tetap berada dalam kondisi luncur. Berdasarkan [2] struktur masukan kendali diasumsikan mempunyai struktur sebagai berikut: u eq = −( SB) −1 ( SA − ΦS ) x(t )
dengan
Φ ∈ ℜ mxm
adalah matriks stabil, dan P s (t ) jika s (t ) ≠ 0 un (t ) = − ρ (t , x, u )( SB )−1 2 P2 s (t ) dengan P2 ∈ ℜ mxm adalah symmetric positive definite (s.p.d) matriks Lyapunov untuk Φ . Dan fungsi switching: s (t ) = Sx (t ) sehingga masukan kendali dalam persamaan 9 menjadi: (10) u (t ) = −( SB ) −1 ( SA − Φ S ) x (t ) + u n (t ) Fungsi skalar ρ (.) harus dipilih mendekati batas atas dari matched uncertainty satisfying. ρ (t , x, u ) ≥ SBξ (t , x, u ) Dengan mensubtitusikan persamaan 10 ke dalam persamaan nominal sistem linier, fungsi switching satisfies x& (t ) = Ax (t ) + B (−( SB ) −1 ( SA − Φ S ) x (t ) + un (t ) + ξ (t , x, u )) = [ A − B ( SB ) −1 ( SA − Φ S )]x (t ) + Bu n (t ) + Bξ (t , x, u ))
A A = 11 A21
A12 , 0 (12) B= A22 I m di mana A11 ∈ ℜ ( n − m ) x ( n − m ) . Pada koordinat sistem ini
matriks fungsi switching menjadi: (13) S = S 2 [M I m ] mx ( n − m ) mxm di mana M ∈ ℜ dan S 2 ∈ ℜ adalah non singular. Secara teori pemilihan S 2 tidak berpengaruh pada order tereduksi gerak luncur. Jika (x1,x2) merepresentasikan partisi dari status dengan ben s (t ) = Sx (t ) x1 0 = S 2 [M I m ] x2 0 = S 2 ( M 1 x1 + I m x2 ) M 1 x1 + I m x2 = 0 Mx (14) x2 = − 1 → x2 = − Mx1 Im Dengan mensubtitusikan persamaan 14 ke dalam persamaan 7, sehingga: x& 1 A11 A12 x1 x& = A 2 21 A 22 x 2
x&1 (t ) = A11 x1 (t ) + A12 x 2 (t ) dan gerakan luncur dipastikan oleh matriks sistem ( A11 − A12 M ) . Jika tidak ada uncertainty ( ξ (.) = 0 ) pada persamaan 7, dengan ρ (.) → 0 maka persamaan 10 menjadi linier. Maksud dari merancang fungsi switching matriks M pada persamaan 13 agar kontrol effort yang timbul dari nominal hukum kontrol linier untuk minimum cost function. Pemilihan S dan Φ yang tepat dan masuk akal akan menghasilkan cost function yang minimum. ∞
s&(t ) = Sx& (t )
= S ([ A − B ( SB ) ( SA − Φ S )]x (t ) + Bu n (t ) + Bξ (t , x, u ))) P s (t ) = S ([ A − B( SB)−1 ( SA − ΦS )]x (t ) − Bρ (t , x, u )(SB) −1 2 P2 s (t ) −1
+ Bξ (t , x, u )))
A2-134
(11)
diasumsikan bahwa: ξ (.) = 0 s (t ) → 0 asimtotik Sehingga persamaan 11 menjadi: s&(t ) = S ([ A − B( SB)−1 ( SA − ΦS )]x (t ) − 0 − 0) s&(t ) = S ([ A − B( SB)−1 (SA − ΦS )]x(t ) = Φs (t ) Berdasarkan [4] diasumsikan bahwa Φ = λI m dengan λ adalah skalar negatif dan P2 sembarang matriks s.p.d. Tanpa kehilangan keumumannya, diasumsikan P2 = I m . Dalam merancang permukaan luncur pemilihan matriks S biasanya dilakukan secara tepat untuk mengasumsikan sistem ke dalam bentuk pada umumnya [9]. Berdasarkan paper Edward sebagai rujukan, dilakukan perlakuan koordinat yang berbeda sebagai titik awal. Sehingga matriks dalam persamaan nominal sistem linier memiliki bentuk:
J = ∫ x(τ ) T Qx(τ ) + u (τ ) T Ru (τ )dτ
(15)
0
di mana Q ∈ ℜ nxn merupakan symmetric semidefinite matrix dan R ∈ ℜ mxm adalah matriks s.p.d, dengan Φ = λI m di mana λ adalah konstanta negatif yang tidak berada disepanjang spektrum A. Sehingga status feedback kontroller dapat dituliskan sebagai: (16) u (t ) = Lx (t ) dengan L = [M I m ](λI n − A) (17) 2.3 Pemodelan Motor DC
Gambar 1. Diagram Skematik motor DC Menurut [6] fungsi alih dari pemodelan motorservo DC dengan tegangan medan terkendali (field-controlled DC motor) diatas adalah sebagai berikut:
SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009
ω (s)
=
K2 ( L f s + R f )( Js + f )
(18)
E f ( s) di mana E f (s ) adalah tegangan medan sebagai masukan sistem ω (s ) adalah kecepatan sudut rotor sebagai keluaran sistem. Berikut ini nilai-nilai parameter yang digunakan dalam simulasi: E f : Masukan sistem = 110 V i a : Arus Jangkar = 15 A (konstan) Lf
A2-135
~ λ 0 A11 A12 0 B = ( − ) 0 λ A21 A22 I m ~ − A12 B= λI m − A22 Status penguatan linier umpan balik persamaan 17 menjadi: ~ L = [M I m ](λI n − A)(λI n − A)−1 = [M I m ] dan fungsi switching menjadi: S = S 2 [M I m ](λI n − A) −1
(20) pada (21) (22)
: Induktansi Medan = 20 H
R f : Resistansi Medan = 120 Ω 2
J : Inersia Sistem = 1 lb-ft-sec f : Koefisen Gesekan = 0.5 lb-ft/rad/sec K 2 : Konstanta Motor = 68.5 lb-ft/A Dengan memasukkan nilai-nilai parameter di atas dan mendefinisikan peubah x1 = ω adalah kecepatan sudut rotor dan x2 = ω& adalah percepatan sudut rotor, dan keluaran yang diinginkan y = ω = x1 , maka akan diperoleh matriks status sebagai berikut: x& = Ax + Bu 1 x1 0 x&1 0 x& = − 3 − 6.5 x + 3.425u 2 2 y = Cx x y = [1 0] 1 x2
III. PERANCANGAN Sebelum melakukan perancangan terlebih dahulu kita tentukan parameter-parameter perancangan. Berdasarkan persamaan 7: x& ( t ) = Ax ( t ) + B( u ( t ) + ξ( t , x , u )) berikut ini kita asumsikan bahwa: A1 : A,B,C,D adalah matriks konstan dan bersesuian. A2 : Distribusi matriks input B adalah full rank m
3.1 Optimasi LMI Dalam perancangan KML kali ini dilakukan dengan salah satu pendekatan yang telah dilakukan oleh Edward yaitu dengan pendekatan blok diagonal approximation [2]. Masih tetap menggunakan hubungan persamaan 19 dan 20 dan meminimumkan cost function pada persamaan 15 maka permasalahan ini dapat dituangkan ke dalam permasalahan optimasi PML, sebagai berikut: Mendapatkan hasil minimum dari hasil trace (λI n − A)T X −1 (λI n − A) pada subjek ~~ ~~ ~ ( A + BL ) X + X ( A + B L ) T XQqT XLT R1 / 2 (23) − Iq 0 Qq X <0 ~ 0 − I m R1 / 2 L X (24) X >0 dengan persamaan di atas akan didapatkan hasil ~ variabel L dan X, di mana X ∈ ℜ nxn adalah matriks s.p.d. Di sini diasumsikan matriks s.p.d X pada persamaan 24 mempunyai struktur diagonal blok. X1 0 X = 0 X2 di mana X 1 ∈ ℜ( n − m ) x ( n − m ) dan X 2 ∈ ℜ mxm dan mendefinisikan sebuah variabel baru yaitu; ~ (25) N = L X = [N1 X 2 ] mx ( n − m ) di mana N1 ∈ ℜ . Dengan memilih Z ∈ ℜ nxn adalah matriks s.p.d dan mensubtitusikan persamaan 25 ke dalam 23, menghasilkan permasalahan optimasi convex: Mendapatkan hasil minimum dari hasil trace (Z) untuk menghasilkan variabel X,Y,Z dan N dengan subjek ~ ~ AX + XAT + BN + ( B N ) T XQqT N T R1 / 2 (26) Qq X − Iq 0 <0 R1 / 2 N 0 − I m −Z (λI n − A) T (27) <0 −X (λI n − A) dan Z>0. (28) IV . SIMULASI DAN ANALISIS Pada simulasi ini akan diperlihatkan kinerja dari optimasi PML untuk mendapatkan nilai konstanta permukaan luncur yang dibandingkan dengan nilai konstanta permukaan luncur yang dihasilkan dari
SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009
hasil perhitungan secara konvensional dan kinerja optimasi algoritma genetik [1]. Pada simulasi diberikan masukan berupa fungsi step dan nilai awal kedua status nol. Sebagai perbandingan kinerja dari ketiga optimasi tersebut maka dipilih settling time (ts) sebagai indikator. Kinerja dari optimasi dikatakan baik jika ts ≤ 1s, dengan error steady state (ess) =0.02, dan mempunyai cost function dan energi kontrol yang paling minimum. Berikut ini data hasil simulasi dari ketiga optimasi dengan waktu pengambilan data 0≤t≤1, dapat dilihat pada tabel 1 dan 2:
Tabel 1. Data Hasil Simulasi Dengan k=13 dan Bobot Matriks Q=[255 0; 0 0], R=1. Indikator Kinerja S Cost Function Energi kontrol ts (s) tr (s) Amplitudo Maks Sinyal Kendali
Metode Pencarian nilai S Optimasi Perhitungan GA LMI [10.3093 [4.2923 1] [10 1] 1.0176] 472.2
471.6
354.2
154.5 0.52 0.276
156.2 0.525 0.285
172.3 0.97 0.53
13.57
13.855
15.465
Sedangkan untuk k=13 dengan bobot matriks Q=[900 0; 0 0] dan R=1, diperlihatkan pada tabel 2. Tabel 2. Data Hasil Simulasi Dengan k=13 dan Bobot Matriks Q=[900 0; 0 0], R=1. Indikator Kinerja S Cost Function Energi kontrol ts (s) tr (s) Amplitudo Maks Sinyal Kendali
A2-136
yang semakin besar maka cost function semakin besar pula. Hubungan tersebut diperlihatkan oleh persamaan 15, ∞
J = ∫ x(τ ) T Qx(τ ) + u (τ ) T Ru (τ )dτ 14243 14243 0
state cost
control effort
karena tujuan merancang pengendali ini adalah untuk meminimumkan cost function maka kita dapat merubah nilai state cost maupun control effort. Jika kita memperkecil state cost maka konsekuensi yang terjadi pada control effort akan menjadi besar, demikian sebaliknya jika kita memperkecil control effort maka state cost menjadi besar. Inilah yang dikatakan trade-off pada cost function. Dari tabel juga diperlihatkan pengaruh pemilihan bobot matriks Q mempengaruhi hasil optimasi LMI untuk mendapatkan harga yang paling optimal pada konstanta permukaan luncur (S), hubungan tersebut diperlihatkan oleh persamaan 25. Hasil kinerja optimasi LMI memperlihatkan pencapaian nilai cost function mendekati hasil nilai metode pencarian S dengan perhitungan, hal tersebut dikarenakan nilai konstanta permukaan luncur hasil optimasi LMI sebesar S=[10.3093 1] mendekati nilai hasil perhitungan sebesar S=[10 1]. Sementara itu pencapaian nilai settling time untuk nilai bobot matriks 255 0 Q= 0 0 pada optimasi LMI lebih cepat dibandingkan dengan 2 kinerja lainnya yaitu ts=0.52 s. Secara keseluruhan data hasil kinerja optimasi LMI telah memenuhi spesifikasi perancangan yaitu nilai settling time kurang dari 1s, dan nilai cost function mendekati nilai hasil perhitungan, yaitu 472.2, serta nilai energi kontrol yang paling minimum yaitu 134. Berikut ini diperlihatkan hasil tanggapan transien dari optimasi LMI.
Metode Pencarian nilai S Optimasi LMI Perhitungan GA [13.7522 [4.2923 1] [10 1] 1.0176] 727.3
731.2
522.8
134 0.49 0.29
156.2 0.52 0.285
172.3 0.965 0.53
13.58
13.859
15.5
Indikator energi kontrol dalam simulasi ini di hitung dengan menggunakan persamaan berikut: t Energi Kontrol = u 2 dt
∫
0
Dari hasil simulasi diatas, pada optimasi LMI terlihat bahwa dengan pemberian bobot matriks Q
Gambar 2. Tanggapan Kecepatan Terhadap Waktu Dari Sistem dengan Metode Hasil Pencarian Nilai S menggunakan Optimasi LMI dengan Bobot Matriks Q=[255 0; 0 0], R=1
SEMINAR NASIONAL ELECTRICAL, INFORMATICS, AND IT’S EDUCATIONS 2009
[3]
[4]
[5]
[6]
Gambar 3. Tanggapan Percepatan Terhadap Waktu Dari Sistem dengan Metode Hasil Pencarian Nilai S menggunakan Optimasi LMI dengan Bobot Matriks Q=[255 0; 0 0], R=1
[7]
[8]
[9]
Gambar 4. Dinamika Sistem dalam Bidang Fasa Dari Sistem dengan Metode Hasil Pencarian Nilai S menggunakan Optimasi LMI dengan Bobot Matriks Q=[255 0; 0 0], R=1
V. KESIMPULAN Dari data-data hasil simulasi ketiga kinerja tersebut diperlihatkan bahwa optimasi LMI memiliki kinerja yang lebih baik jika dibandingkan dari 2 kinerja yang lainnya. Pemberian bobot matriks yang semakin besar memberikan konsekuensi semakin besarnya energi yang dibutuhkan. Pemilihan konstanta permukaan luncur (S) yang tepat dapat menghasilkan kinerja pengendali yang lebih baik, perbaikan tersebut terlihat dari tanggapan sistem yang lebih cepat. Keuntungan dari optimasi LMI adalah kemudahan dalam memecahkan permasalahan dengan banyak kendala, misalkan penempatan pole pada daerah tertentu [2]. VI. DAFTAR REFERENSI [1]
[2]
Ahmad Riyad Firdaus, Arief Syaichu Rohman, Hilwadi Hindersah, ”Perancangan Pengendali Modus Luncur untuk Motor DC dengan Optimasi Algoritma Genetik”, SITIA, 2008, pp.109-114. Christopher Edwards, “A Practical Methodfor The Design Of Sliding Mode Controller Using
A2-137
Linear Matrix Inequalties”, 2004, Automatica, 40, pp.1761-1769. Didier Henrion,October-November 2001. Avaiable: www.laas.fr/
[email protected] Han Choi, “A new methode for variable structre control system design: A Linear Matrix Inequality Approach”, 1997, Automatica, 33, 2089-2092 Mohammad Ahmed, “Sliding Mode Control For Switched Mode Power Supplies”, 2004.pp.45. Riko Nofendra, “Pengendali Modus Luncur Untuk Motor Listrik”, Tesis Program Studi Teknik Elektro ITB, 2006, hal. 22-30. Sarwer, M.G., Rafiq, M.A., Ghosh, B.C. ”Sliding Mode Speed Controller of DC Motor Drive, Journal of Electrical Engineering, The Institution of Engineers, 2004, vol. EE 31, No.I & II, December, Bangladesh, 45-49. Stephen Boyd, Larent El Ghaoui, Eric Feron, and Venkataramanan Balakhirhnan, “Liniear Matrix Inequalities in System and Control Theory, siam, 1994, pp.7-8. Utkin, V. “Sliding modes in control optimization”, 1992, Berlin: springer.